ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · rumah yang memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat...
TRANSCRIPT
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perumahan dan Permukiman Perkotaan Menurut UU RI No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman, disebutkan bahwa pengertian perumahan adalah kelompok rumah-
rumah yang memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Sementara
pengertian permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan
lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian, dan tempat melakukan
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Kebijakan tentang perumahan dan permukiman Indonesia tahun 2000-2020
antara lain adalah lokasi perumahan dikembangkan dengan memperhatikan
jumlah penduduk dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan,
tersedianya fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan (Kemenpera,
2007).
Didalam UU RI No. 1/2011 dikatakan bahwa selain untuk memenuhi
kebutuhan rumah sebagai kebutuhan dasar melalui penataan untuk mewujudkan
perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman,
serasi dan teratur, pengembangan perumahan dan permukiman juga mempunyai
tujuan untuk memberi arahan pada pertumbuhan wilayah dan penyebaran
penduduk yang rasional serta menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial,
budaya dan bidang-bidang lain.
Didalam undang-undang tentang perumahan dan kawasan permukiman
dijelaskan beberapa hal penting yang terkait dengan pengadaan perumahan di
Indonesia, yaitu:
1. Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati/menikmati/ memiliki
rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.
2. Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan
kawasan permukiman skala besar yang terencana, menyeluruh dan terpadu
dengan pelaksanaan secara bertahap.
3. Pemerintah melakukan pembinaan di bidang perumahan dan permukiman
dalam bentuk pengaturan dan bimbingan, pemberian bantuan, kemudahan,
penelitian dan pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan, serta
pengawasan dan pengendalian.
10
Menurut Komarudin (1996), perumahan dan permukiman merupakan
tempat aktifitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari suatu kawasan budidaya.
Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan ketersediaan
sumberdaya pendukung serta keterpaduannya dengan aktifitas lain. Dalam
kenyataannya hal tersebut sering terabaikan sehingga tidak berfungsi secara
optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan kota. Oleh karena itu,
diperlukan upaya perencanaan dan perancangan pembangunan perumahan yang
kontributif terhadap tujuan penataan ruang.
Dari beberapa pengertian di atas, tampak bahwa aspek perumahan dan
permukiman sangat terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan
ruang, dimana lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan dalam
berbagai bentuk dan ukuran dengan panataan tanah dan ruang, prasarana, dan
sarana lingkungan yang terstruktur. Sementara itu, prasarana lingkungan
merupakan kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan
permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Berbagai fakta menunjukkan
banyaknya permukiman yang dibangun tidak dilengkapi dengan sarana dan
prasarana yang memadai sebagai kelengkapan fasilitas, kalaupun ada kualitasnya
sangat rendah atau tidak berfungsi dengan baik.
2.1.1 Rumah dan Perumahan Rumah memiliki pengertian sebagai bangunan yang direncanakan dan
digunakan sebagai tempat kediaman atau tempat tinggal oleh satu keluarga atau
lebih. Perumahan adalah sekelompok tempat kediaman yang dilengkapi dengan
prasarana lingkungan dan fasilitas sosial, sedangkan tempat kediaman adalah
tempat tinggal untuk seseorang atau satu keluarga yang terdiri dari ruangan dan
pekarangan. (Buku Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana –
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/KPTS/1986). Jadi, rumah dan
perumahan merupakan satu kesatuan sebagai tempat bermukim manusia.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
829/Menkes/SK/VII/1999, rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia
yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk
berlindung dari iklim dan makhluk hidup lainnya, serta sebagai tempat
pengembangan kehidupan keluarga. Rumah terdiri dari ruangan, halaman dan
area sekelilingnya, sedangkan perumahan terdiri dari rumah-rumah atau kelompok
rumah, baik kelompok rumah dalam satu tapak ataupun kelompok rumah dalam
11
satu bangunan seperti rumah susun atau kondominium, beserta sarana dan
prasarana pendukungnya.
Menurut Kirmanto (2002) beberapa permasalahan di bidang perumahan
yang terjadi saat ini adalah: a) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat,
b) ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, dan perumahan,
c) konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan, d) masalah lingkungan
dan eksploitasi sumberdaya alam, dan e) komunitas lokal yang tersisih dimana
orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu. Kirmanto
(2002) juga mengemukakan tantangan perkembangan pembangunan perumahan
yang akan datang antara lain:
1. Urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk
berupaya agar pertumbuhan lebih merata,
2. Perkembangan tak terkendali pada daerah yang memiliki potensi untuk
tumbuh,
3. Marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global,
4. Kegagalan implementasi dari kebijakan penentuan lokasi perumahan.
Permen PU RI No. 45 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan
Bangunan Gedung Negara. menjelaskan bahwa berdasarkan luasannya,
perumahan dibedakan menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu: tipe rumah mewah, tipe rumah
menengah, dan tipe rumah sederhana. Lebih jauh dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan tipe rumah mewah adalah rumah yang dibangun di atas tanah
dengan luas kavling lebih dari > 600 m2 atau biaya pembangunan per m2 diatas
harga satuan tertinggi per m2 untuk pembangunan perumahan dinas pemerintah
kelas A yang berlaku. Tipe rumah menengah adalah rumah yang dibangun di atas
tanah dengan luas kavling antara 200 m2 – 600 m2 atau biaya pembangunan per m2
diatas harga satuan tertinggi per m2 untuk pembangunan perumahan dinas
pemerintah kelas C sampai A yang berlaku. Sementara tipe rumah sederhana
adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling antara 54 m2
sampai 200 m2 atau biaya pembangunan per m2 diatas harga satuan tertinggi per
m2
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia selain kebutuhan
sandang dan pangan. Menurut Maslow (1954) dalam memenuhi kebutuhan dasar
manusia terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yaitu:
untuk pembangunan perumahan dinas pemerintah kelas C yang berlaku.
1. Kebutuhan fisiologis, yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang meliputi:
12
a. Udara segar dan lingkungan yang hijau, b. Air bersih (minum, masak, MCK, dll), c. Makanan yang sehat dan pakaian yang layak, d. Tempat tinggal yang memadai.
2. Kebutuhan keamanan, yaitu kebutuhan dimana manusia terbebas dari rasa takut, yang meliputi : a. Perlindungan dari bencana alam dan kriminalitas, b. Perlindungan dari kemiskinan, kelaparan, dan penyakit, c. Struktur Kelembagaan, hukum, pemerintahan dan adat istiadat.
3. Kebutuhan interaksi sosial, yaitu kebutuhan dalam hidup bermasyarakat atau berkelompok, meliputi : a. Rasa setia kawan, dicintai dan disenangi di dalam kelompok, b. Mau bekerja sama dalam hal positif.
4. Kebutuhan penghargaan dan pengakuan diri, meliputi : a. Penghargaan dari orang lain, b. Memperoleh keadilan dan kebebasan, c. Mendapatkan kepercayaan diri, d. Prestise.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri, yaitu harapan untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan sesuai dengan potensi tanpa mengganggu orang lain, serta
memberikan kebaikan kepada orang lain.
UU RI No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
menjelaskan definisi rumah yaitu sebuah bangunan yang terdiri dari beberapa
ruang yang memiliki fungsi yang berbeda. Berdasarkan pedoman teknis
pembangunan perumahan, persyaratan bangunan rumah secara umum harus
cukup memenuhi syarat teknis dan kesehatan, yaitu:
1. Udara di dalam ruangan tidak boleh lembab atau harus ada sirkulasi udara
yang baik, yaitu dengan adanya ventilasi sehingga udara dapat mengalir
dengan baik dan selalu berganti.
2. Penetrasi sinar matahari harus cukup bisa masuk ke dalam ruangan untuk
membunuh bibit-bibit penyakit dan menghindari kelembaban.
3. Perletakan rumah sebaiknya mempertimbangkan arah mata angin guna
memperlancar sirkulasi udara dari luar ke dalam bangunan atau sebaliknya.
4. Antara rumah yang satu dengan rumah yang lain harus memiliki jarak yang
cukup agar memperoleh sinar matahari yang cukup, menghindari bahaya
kebakaran dan penyakit menular, serta untuk tujuan keindahan (estetika).
5. Kebutuhan ruang-ruang di dalam rumah harus sesuai dengan kebutuhan.
Biasanya tergantung dari adat dan kebiasaan, serta kemampuan penghuni.
13
6. Rumah harus memberikan rasa nyaman, aman dan tenteram bagi
penghuninya.
Rumah sebagai tempat pertemuan berbagai kegiatan keluarga mempunyai
arti penting dalam memberikan ruang dan suasana yang dapat menunjang
kegiatan itu sendiri. Oleh karena itu, rumah yang sehat sangat diperlukan agar
tercipta suasana hidup yang tentram, aman dan tertib.
Menurut Komarudin (1997) rumah sehat harus memenuhi persyaratan
penyehatan lingkungan, ketertiban, dan keserasian lingkungan. Komponen
lingkungan perumahan yang mempengaruhi kesehatan masyarakat hendaknya
dilengkapi sesuai dengan kebutuhan, antara lain penyediaan prasarana lingkungan
yang memadai dan sesuai dengan jumlah penghuni, serta pengamanan
lingkungan perumahan terhadap pencemaran (pemeliharaan sumber air bersih,
pengelolaan air limbah dan sampah).
Ditjen Cipta Karya menegaskan bahwa rumah sehat harus memenuhi
4 (empat) persyaratan yaitu: aspek kesehatan, kekuatan bangunan, kenyamanan,
dan keterjangkauan. United Nation Center for Human Settlement (UNCHS)
menetapkan 11 (sebelas) persyaratan rumah sehat, yaitu: 1) Proteksi terhadap
penyakit yang dapat menular, 2) Proteksi terhadap kecelakaan dan gangguan
pencemaran pada peralatan rumah tangga, polusi udara, zat kimiawi, dan
penggunaan rumah untuk tempat kerja, 3) Promosi kesehatan mental, 4) Promosi
kesehatan lingkungan permukiman, 5) Promosi kebersihan rumah dan lingkungan
yang mendorong penghuni untuk selalu menjaga kesehatan keluarga, 6)
Penciptaan keamanan lingkungan dan upaya peniadaan gangguan terhadap ibu,
wanita, dan anak-anak. 7) Penciptaan kesehatan sejalan dengan kebijaksanaan
pemerintah dan swasta, 8) Penciptaan kesehatan yang selalu dikaitkan dengan
daya dukung tanah, ruang terbuka dan lingkungan, 9) Rumah merupakan wadah
proses pengembangan sosial ekonomi, 10) Pendidikan kesehatan umum dan
profesi hendaknya secara langsung mendorong upaya penciptaan rumah sehat,
11) Partisipasi masyarakat harus diwujudkan dalam proses pembangunan
perumahan sehat dalam lingkungan yang sehat (UNCHS, 1999). Komarudin
(1997) menjelaskan beberapa indikator rumah sehat, yaitu:
1. Perilaku hidup sehat penduduk kota. Membuang sampah ke sungai, buang
hajat besar di sungai, membiarkan selokan kotor dan air tergenang di halaman,
merupakan perilaku hidup tidak sehat. Perilaku hidup sehat adalah budaya
hidup bersih di rumah, halaman, dan lingkungan.
14
2. Berkenaan denga kondisi fisik perumahan, yaitu ukuran rumah dan
pengaruhnya terhadap kesehatan, lingkungan fisik perumahan, kualitas udara
permukiman, ventilasi, dan sarana kesehatan lingkungan permukiman.
Program Perbaikan Kampung di DKI Jakarta telah mendefinisikan dengan
jelas bahwa lingkungan permukiman sehat harus memenuhi persyaratan berikut:
1. Fisik, yaitu tersedianya sarana air bersih yang memenuhi syarat fisik,
bakteriologis, dan kimia, sarana sanitasi, pengelolaan sampah, air limbah, dan
perumahan sehat.
2. Biologis, yaitu lingkungan bebas dari binatang serangga dan pengerat.
3. Sosial, yaitu perilaku hidup bersih dan sehat. Indikator penting adalah
menurunnya angka penyakit saluran pencernaan, pernapasan, dan kulit.
Komarudin (1997) mengatakan sehat tidaknya rumah ditentukan oleh
sistem pengadaan air di rumah yang baik dan memenuhi syarat kesehatan.
Tersedianya fasilitas untuk mandi, cuci, dan kakus, sistem pembuangan air bekas
atau limbah, pembuangan tinja, tersedianya ventilasi dan jendela untuk sirkulasi
udara, serta kekuatan bangunan rumah. Komarudin (1997) menyimpulkan bahwa
Rumah Sehat harus memenuhi 4 (empat) persyaratan utama, yaitu:
1. Memenuhi kebutuhan fisik penghuni, meliputi: suhu lingkungan dapat
dipertahankan, cukup penerangan, ventilasi yang sempurna, dan terlindung
dari pengaruh bising.
2. Memenuhi kebutuhan kejiwaan, menjamin hubungan yang serasi antar
anggota keluarga, menyediakan sarana tanpa menimbulkan kelelahan,
membina dan menjamin kepuasan estetis, sesuai dengan kehidupan
masyarakat di sekitarnya.
3. Dapat melindungi penghuni dari kemungkinan penularan penyakit.
4. Dapat melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya/kecelakaan.
2.1.2 Permukiman dan Degradasi Lingkungan Menurut Sujarto (1990), permukiman sebagai salah satu fungsi kawasan
memiliki 3 (tiga) komponen utama, yaitu : tempat tinggal (place), tempat kerja
(work), dan tempat bermasyarakat (folk), Sujarto juga menjelaskan bahwa
Permukiman Manusia merupakan suatu totalitas lingkungan yang terbentuk oleh
unsur-unsur yang eksistics yang terdiri dari ‘Alam’ (nature) yaitu bahwa
permukiman akan sangat ditentukan oleh adanya alam baik sebagai lingkungan
hidup maupun sebagai sumber daya (geografis, topografi, geologi, iklim, flora dan
fauna).
15
Kualitas suatu lingkungan permukiman sangat ditentukan oleh
ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Dengan demikian masyarakat
yang tinggal di lingkungan permukiman yang bersih dan sehat akan dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik pula. Sebaliknya permukiman yang
tidak direncanakan dengan baik, lambat laun akan mengalami penurunan kualitas
lingkungan (degradasi) yang menyebabkan lingkungan permukiman menjadi tidak
layak huni.
Pertumbahan penduduk yang sangat drastis serta derasnya arus
urbanisasi, menyebabkan pembangunan perumahan dan permukiman menjadi
suatu kegiatan industri yang sangat kompleks. Menurut Budihardjo (1987), bahwa
pembangunan dan pengembangan kawasan permukiman merupakan prakondisi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan produktivitas
manusia sangat tergantung pada tersedianya wadah yang memadai untuk bekerja,
beristirahat, berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat.
Budihardjo (1987) juga mengatakan bahwa permukiman memiliki dwi fungsi
yaitu fungsi pasif, sebagai penyedia sarana dan prasarana fisik dan fungsi aktif
yaitu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kehendak, aspirasi, adat
istiadat dan tata cara hidup para penghuni dengan segenap dinamika
perubahannya.
Menurut Sinulingga et al. (1995) permukiman yang ideal harus memenuhi
beberapa ketentuan seperti lokasi terletak sedemikian rupa sehingga tidak
terganggu oleh kegiatan lain misalnya aktifitas pabrik, jauh dari lokasi pembuangan
sampah, mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti pelayanan
pendidikan, kesehatan, perdagangan, serta mempunyai saluran drainase yang
dapat mengalirkan air hujan dengan cepat sehingga tidak menimbulkan genangan
air disaat hujan lebat. Selain itu juga harus tersedia fasilitas penyediaan air bersih,
dilengkapi dengan pembuangan air limbah/tinja, pembuangan sampah, jaringan
listrik, jaringan telepon serta fasilitas umum seperti taman bermain dan ruang
terbuka umum (public open space).
Sinulingga et al. (1995) juga menyatakan bahwa secara garis besar
permukiman terdiri dari berbagai komponen, yaitu:
1. Pertama, lahan atau tanah yang diperuntukan untuk permukiman, dimana
kondisi tanah akan mempengaruhi harga rumah yang dibangun diatas lahan
tersebut.
16
2. Kedua, prasarana lingkungan yaitu jalan lokal, jaringan air bersih, saluran air
hujan, saluran air limbah dan tempat pembuangan sampah, yang kesemuanya
sangat menentukan kualitas permukiman yang dibangun.
3. Ketiga, yaitu perumahan (unit rumah) yang dibangun sebagai tempat tinggal.
4. Keempat, fasilitas umum dan fasilitas sosial, yaitu termasuk fasilitas
pendidikan, kesehatan, peribadatan, perdagangan, jaringan listrik dan telepon,
serta taman bermain atau ruang terbuka dalam lingkungan permukiman
tersebut.
2.1.3 Developer dan Industri Perumahan
Ledakan penduduk dan derasnya arus urbanisasi menyebabkan
pembangunan perumahan menjadi suatu kegiatan industri yang sangat kompleks.
Industri perumahan kemudian dikenal dengan istilah real estate yang sekarang
diubah menjadi realestat. Profesi realestat di Indonesia dapat dikatakan masih
relatif baru sekalipun berbagai disiplin dari profesi tersebut telah lama diterapkan.
Usaha realestat pada dasarnya adalah suatu usaha yang kegiatannya
berhubungan dengan persoalan tanah, termasuk segala kegiatan yang dilakukan
di atasnya. Dari berbagai usaha dibidang realestat yang berkembang di Indonesia
baru berupa pengembangan tanah dan bangunan. Usaha ini mencakup
pengembangan wilayah dan pembangunan permukiman, pengadaan papan dan
tempat usaha seperti gedung-gedung perkantoran, pusat-pusat rekreasi dan
bangunan komersial lainnya.
Para pengusaha realestat tergabung dalam suatu wadah organisasi yang
disebut REI (Real Estate Indonesia) yang didirikan pada tanggal 11 Pebruari 1972
di Jakarta. Pembangunan oleh para pengembang yang seperti yang disebutkan di
atas dengan istilah populernya real estate dilaksanakan dengan cara membeli
sejumlah lahan yang direncanakan untuk pembangunan permukiman dan setelah
selesai dibangun kemudian dijual kepada masyarakat. Budihardjo (1987)
menjelaskan bahwa pembangunan yang dilaksanakan oleh pengembang memiliki
beberapa keuntungan, yaitu:
1. Rencana tapak (tata bangunan), intensitas pembangunan dan lebar jalan dapat
disesuaikan dengan rencana kota dan standar yang ada karena rencana
permukiman ini dibuat secara menyeluruh dengan terlebih dahulu diperiksa
oleh aparat pemerintah kota, apabila mendapat persetujuan baru dapat
dilaksanakan.
17
2. Lahan untuk fasilitas umum dan sosial dapat sekaligus disediakan oleh para
pengembang karena sudah merupakan ketentuan dalam standar perencanaan.
Hal ini mengurangi beban pemerintah dalam hal pengadaan lahan bahkan
bangunannya pun terkadang dikerjakan oleh pihak swasta.
3. Lingkungan permukiman selain tertata dengan baik juga harus memperhatikan
estetika lingkungan dan bangunan mengingat persaingan antar para
pengembang sehingga mereka akan berupaya untuk menciptakan lingkungan
dengan nilai estetika yang baik untuk memasarkan produknya.
4. Oleh karena pembangunan lingkungan ini terorganisasi melalui pengembang
maka semua bangunan akan mempunyai ijin bangunan, sehingga
meningkatkan pendapatan pemda kota disamping turut menunjang pengadaan
permukiman dengan tata hunian yang tertib.
Disamping keuntungan yang diperoleh juga terdapat faktor-faktor negatif
yang terjadi apabila pembangunan dilaksanakan oleh pengembang, yaitu:
1. Harga rumah akan lebih mahal karena pengembang cenderung memperoleh
keuntungan yang setinggi-tingginya.
2. Kualitas rumah sering tidak sesuai dengan yang ditawarkan karena
pelaksanaan dalam jumlah yang besar sehingga kurang pengawasan.
Seringkali pembeli merasa kecewa ketika menempati rumah tersebut seperti
terjadi kebocoran, air yang tidak lancar, pembuangan air kotor tidak berfungsi
dan lain-lain. Demikian juga untuk fasilitas umum dan sosial yang seharusnya
diadakan oleh pengembang seringkali tidak tersedia.
3. Para pengembang hanya memfokuskan pada prasarana di lokasi permukiman
saja padahal sistem prasarana dan sarana lingkungan permukiman misalnya
drainase, berkaitan dengan sistem di luar kawasan permukiman. Hal ini
menyebabkan kawasan permukiman yang baru dibangun dan daerah
disekitarnya sering terkena genangan air.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa permukiman
realestat adalah suatu satuan lingkungan permukiman yang merupakan kawasan
perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang,
sarana dan prasarana lingkungan yang terstruktur, serta dibangun oleh
perusahaan swasta yang disebut developer atau pengembang.
18
2.2 Infrastruktur Berwawasan Lingkungan (Green Infrastructure)
Infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi,
pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan
ekonomi (Grigg et al., 1988). Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama
fungsi-fungsi sistem sosial dan system ekonomi dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau
struktur-struktur dasar, peralatan ataupun instalasi yang dibangun dan dibutuhkan
untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Grigg, 2000).
Sebagai salah satu konsep atau pola pikir, Grigg et al. (2000)
mengilustrasikan diagram tentang peranan infrastruktur dalam suatu sistem yang
saling terkait (Gambar 2).
(Sumber: Grigg et al., 2000)
Gambar 2. Peran infrastruktur dalam suatu sistem lingkungan
Gambar 2 menjelaskan bahwa lingkungan alam merupakan pendukung dasar dari
semua sistem yang ada. Peran infrastruktur sebagai mediator antara sistem
ekonomi dan sosial dalam tatanan kehidupan manusia menjadi sangat penting.
Infrastruktur yang kurang atau bahkan tidak berfungsi, akan memberikan dampak
yang besar bagi manusia. Sebaliknya, infrastruktur yang terlalu berlebihan tanpa
memperhitungkan kapasitas dan daya dukung lingkungan akan merusak alam,
yang pada hakekatnya akan merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Social System
Economic System
Technology & Infrastructure
Environment & Natural Resources
Carrying Capacity of Environment
19
Lebih lanjut Grigg et al., (2000) membagi infrastruktur ke dalam 7 (tujuh)
kelompok kategori yang meliputi:
1. Transportasi (jalan dan jembatan) 2. Pelayanan transportasi (stasiun, bandara, dan pelabuhan) 3. Komunikasi 4. Keairan (sumber daya air, air limbah, sungai, saluran, dan pipa) 5. Pengelolaan limbah (sampah) 6. Bangunan 7. Distribusi dan produksi energi.
Menurut Sinulingga et al., (1995), permukiman pada garis besarnya terdiri
dari berbagai komponen yaitu pertama, lahan atau tanah yang diperuntukan untuk
permukiman dimana kondisi tanah akan mempengaruhi harga dari satuan rumah
yang dibangun diatas lahan itu; kedua, prasarana lingkungan yaitu jalan lokal,
saluran air hujan, saluran air limbah, jaringan air bersih, serta tempat
penampungan sampah, yang semuanya juga turut menentukan kualitas
permukiman yang dibangun. Ketiga, perumahan (tempat tinggal) yang dibangun.
Keempat, fasilitas umum dan fasilitas sosial seperti fasilitas pendidikan, kesehatan,
peribadatan, penerangan, telekomunikasi, dan lapangan bermain didalam
lingkungan permukiman.
Berbagai fakta menunjukkan banyaknya permukiman yang dibangun tidak
dilengkapi dengan sarana dan prasarana sebagai kelengkapan dasar fisik yang
memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagimana mestinya.
Kalaupun ada, kualitasnya sangat rendah atau tidak berfungsi dengan baik.
Selain konsep infrastruktur konvensional yang dikenal sebagai ‘grey
infrastructure’, belakangan dikenal juga konsep pembangunan kota berbasis
infrastruktur hijau (green infrastructure). Konsep ini juga menjadi trend dalam
pembangunan wilayah di Amerika Serikat dan berbagai belahan dunia lainnya.
Benedict et al. (2006) dalam Suhono (2008) mendefinisikan infrastruktur hijau
sebagai ‘jejaring ruang terbuka lainnya (termasuk kawasan alamiah dan
kelengkapannya, daerah konservasi, kawasan budidaya yang mempunyai nilai
konservasi, dan kawasan terbuka yang dilindungi) yang saling berhubungan baik
yang direncanakan maupun dikelola agar berfungsi melindungi nilai-nilai dan
fungsi ekosistem alam dan menyediakan berbagai manfaat bagi manusia dan
makhluk hidup lainnya’. Infrastruktur hijau juga diartikan sebagai keterhubungan
jaringan ruang hijau yang direncanakan dan dikelola bagi kepentingan nilai sumber
20
daya dan manfaatnya bagi penduduk di sekitarnya. Perkembangan infrasruktur
hijau sebenarnya merupakan solusi dari kompleksitas pembangunan ekonomi
yang semakin maju yang menuntut adanya pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan.
Green Infrastructure terdiri dari 3 (tiga) sistem utama yakni a) Hubs,
merupakan jangkar dari jaringan infrastruktur hijau yang menyediakan komponen
ekosistem alam. Hubs bisa berdiri sendiri dari berbagai bentuk dan ukuran seperti
daerah perlindungan, hutan lindung, taman nasional dan sebagainya. b) Links,
merupakan komponen yang menghubungkan antar hubs tersebut. Links dapat
berupa jalan air (flood plain), sungai, kawasan penyangga (green belt) maupun
jaringan jalan. c) Sites, merupakan komponen yang lebih kecil dari hubs dan bisa
terhubung ataupun tidak dengan hubs namun menjadi bagian penting dalam
jaringan infrastruktur hijau. Sites pada kenyataannya dapat berupa taman ataupun
ruang terbuka hijau baik yang berada di komunitas permukiman maupun di
kawasan rekreasi/tempat wisata alam.
Lebih lanjut Benedict et al. (2006) dalam Suhono (2008) menyatakan bahwa
green infrastructure memiliki sepuluh prinsip dasar agar ia dapat bekerja dengan
lebih efektif yaitu : 1) keterhubungan, 2) konteks kepentingan, 3) berlandaskan
pada teori dan dasar ilmiah yang kuat, 4) berfungsi sebagai kerangka berwawasan
lingkungan, konservasi, dan pembangunan, 5) direncanakan dan dilindungi
sebelum dilakukan pembangunan, 6) investasi publik harus didanai lebih awal (up
front), 7) harus memberikan manfaat kepada alam dan manusia, 8) respek
terhadap kepentingan pemilik lahan dan stakeholders, 9) membutuhkan hubungan
antar kegiatan didalam dan diluar komunitas, dan 10) memerlukan komitmen
jangka panjang.
Posisi infrastruktur hijau ini dibanding dengan modal-modal lainnya seperti
sumber daya alam (natural capital), human and social capital, dapat dilihat pada
Gambar 3 berikut ini. Grigg et al. (2000) dalam gambar tersebut juga menjelaskan
bahwa green infrastructure merupakan landasan utama untuk grey infrastructure
yang merupakan ujung tombak dari piramida keberlanjutan.
21
(Sumber : Grigg et al., 2000)
Gambar 3. Piramida keberlanjutan dan posisi green infrastructure
Dalam kenyataannya, green infrastruktur dapat meningkatkan kualitas
kehidupan dan kesehatan kepada masyarakat yang tertinggal. Disamping itu
membuat lingkungan menjadi lebih asri, secara psikologis dapat mengurangi
stress. Menghirup udara yang segar dengan kualitas udara yang baik akan
memberikan kesempatan kepada alam untuk melakukan water recharge dan
penyerapan air yang lebih maksimal sehingga akan mengurangi kemungkinan
terjadinya banjir pada musim penghujan dengan mempertahankan daerah hulu
sebagai daerah konservasi dan peningkatan ruang terbuka hijau didaerah
perkotaan serta greenway dibantaran sungai yang melewati kawasan perkotaan
dan mempertahankan keberadaan hutan kota.
2.3 Konsep dan Teori Perkotaan
Kota pada umumnya berawal dari suatu permukiman kecil, yang secara
spasial mempunyai lokasi yang strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy,
1978) dalam Sujarto (2005). Seiring dengan berjalannya waktu, kota mengalami
perkembangan sebagai akibat dari pertambahan penduduk, perubahan kondisi
sosial, ekonomi dan budaya, serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah
disekitarnya. Secara fisik, perkembangan suatu kota dapat dicirikan dari
Built Capital
(Grey Infrastructure)
Human and Social Capital
(People, place, connection)
Natural Capital (land, water, energy, etc)
Viable Ecosystem (Green Infrastructure)
22
penduduknya yang semakin bertambah dan makin padat, bangunan-bangunannya
yang semakin rapat, dan wilayah terbangun terutama permukiman yang cenderung
semakin luas, serta semakin lengkapnya fasilitas kota yang mendukung kegiatan
sosial–ekonomi kota.
Kota-kota di Indonesia pada umumnya merupakan hasil perkembangan
dari suatu desa. Keragaman aktivitas yang berlangsung di suatu kota akan sangat
menentukan besar kecilnya klasifikasi kota tersebut, disamping luas wilayah dan
jumlah penduduknya. Bentuk suatu kota juga bergantung pada fisiografi atau
aspek perencanaan kota itu sendiri. Kota yang berada pada kondisi alam yang
banyak rintangannya, dalam perkembangannya akan melakukan penyesuaian
bentuk sehingga pola kota menjadi tidak teratur. Ciri khas sebuah kota adalah
bahwa pada umumnya kota bersifat mandiri (self contained), yang berarti para
penduduknya mencari nafkah, memenuhi kebutuhan, dan berkreasi di dalam kota
itu sendiri.
Budihardjo et al. (1993) menyatakan, kota sebagai bagian integral dari
suatu lingkungan terutama di Indonesia pada umumnya berkembang secara
laissez-faire yaitu perkembangan tanpa dilandasi perencanaan kota yang
menyeluruh dan terpadu. Kota-kota tersebut tidak betul-betul dipersiapkan atau
direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam
kurun waktu yang relatif singkat. Seharusnya semenjak awal proses penyusunan
perencanaan, terutama dalam penentuan tujuan dan perumusan masalah
perkotaan segenap pihak (stakeholders) harus terlibat secara aktif.
Budihardjo et al. (1999) menjelaskan beberapa pandangan para perencana
kota (urban planner) tentang berbagai pengertian dan defini kota adalah sebagai
berikut :
Dickinson menjelaskan bahwa kota adalah suatu permukiman dengan bangunan
rumah yang rapat dan penduduknya bermata pencaharian bukan pertanian.
Christaller menyatakan fungsi kota adalah sebagai penyelenggara dan penyedia
jasa-jasa bagi daerah di sekitarnya. Dengan kata lain, pada awalnya kota adalah
sebuah pusat pelayanan dan bukan tempat bermukim.
Mayer melihat kota sebagai tempat bermukim penduduknya. Baginya yang
terpenting bukanlah rumah tinggal, kantor, tempat ibadah, jalan raya, taman dan
sebagainya, melainkan penghuni kota lah yang menciptakan semua itu. Kota
memiliki peradaban yang berbeda dengan pedesaan, kota memiliki jiwa tersendiri
dengan kebudayaannya sendiri, sedangkan desa merupakan kawasan yang
melingkupi sebuah kota.
23
Wirth merumuskan kota sebagai permukiman yang relative besar, padat dan
permanen dengan penduduk yang heterogen kedudukan sosialnya. Karena itu
hubungan sosial antar penghuninya serba longgar, acuh dan relasinya bukan
pribadi (impersonal relations).
Harris dan Ullman melihat kota sebagai pusat permukiman dan pemanfaatan
sumber daya alam oleh manusia. Manusia menempati serta mengeksploitasi
sumber daya alam yang ada, sehingga mendorong pertumbuhan kota menjadi
sangat pesat, tetapi menimbulkan terjadinya pemiskinan dan berbagai masalah
sosial.
Freeman mengemukakan bahwa kota mempunyai 4 (empat) ciri, yang meliputi:
a) penyedia fasilitas untuk seluruh penduduknya, b) penyedia jasa (tenaga),
c) penyedia jasa professional (bank, kesehatan, dan pendidikan), d) memiliki
pabrik-pabrik (industri).
Berdasarkan jumlah penduduk di perkotaan, maka dapat diklasifikasikan
kota-kota di Indonesia menjadi 4 (empat) kategori, yaitu :
1. Kota Metropolitan dengan jumlah penduduk > 1.000.000 juta jiwa 2. Kota Besar dengan jumlah penduduk 500.000 – 1.000.000 jiwa 3. Kota Sedang dengan jumlah penduduk 100.000 – 500.000 jiwa 4. Kota Kecil dengan jumlah penduduk < 100.000 jiwa
Jumlah penduduk suatu kota sangat mempengaruhi tingkat kepadatan
penduduk kota tersebut, dimana kepadatan penduduk dihitung berdasarkan jumlah
jiwa dalam satu kilometer persegi lahan (jiwa/km2). Terdapat 5 (lima) klasifikasi
kepadatan penduduk yaitu :
1. Sangat tinggi > 5.000 jiwa/km2. Tinggi 1.000 – 5.000 jiwa/km
2
3. Sedang 500 – 1.000 jiwa/km
2
4. Rendah 100 – 500 jiwa/km
2
5. Sangat rendah < 100 jiwa/km
2
Perencanaan kota mempunyai tujuan untuk menciptakan keselarasan
sosial dan ekonomi bagi kepentingan publik maupun individu. Perencanaan kota
yang baik akan mengalokasikan lahan secara efisien. Perencanaan kota
merupakan seni untuk menduga perubahan, mengatur kekuatan tertentu seperti
fisik, sosial, ekonomi, dan politik dalam menentukan lokasi dan bentuk sektor
tertentu (Osborn et al., 1963). Sedangkan tujuan dari perencanaan kota adalah
untuk meningkatkan lingkungan fisik yang harmonis, menyenangkan dan nyaman,
untuk kepuasan dan kebahagiaan penduduknya.
2
24
Menyadari gejala perkotaan yang semakin rusak, Howard (1902)
mengajukan perencanaan humanopolis yaitu kota yang lembut dan manusiawi
dengan menyembuhkan luka-luka yang diakibatkan oleh perbuatan manusia yang
sewenang-wenang terhadap alam dengan cara mengolah lingkungan manusia dan
lingkungan binaannya secara lebih akrab, arif dan bijaksana.
2.3.1 Teori Spasial Perkotaan Kota sebagai perwujudan spasial akan cenderung mengalami perubahan-
perubahan baik secara fisik maupun non fisik. Perkembangan perkotaan adalah
suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu kondisi ke kondisi yang lain
dalam suatu periode waktu yang berbeda. Perkembangan kota dapat terjadi
secara alami, maupun terjadi secara artifisial dengan campur tangan manusia
yang mengatur arah perubahan keadaan tersebut.
Terdapat 3 (tiga) teori klasik tentang struktur keruangan (spasial) kota,
yaitu: teori konsentris, teori sektoral, dan teori inti ganda (Rahardjo, 2004):.
A. Teori Konsentris (Burgess - Tahun 1925)
Teori ini dikemukakan oleh E.W Burgess seorang sosiolog beraliran human
ecology pada tahun 1925. Teori ini merupakan hasil penelitiannya mengenai
morfologi kota Chicago, yang diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul
‘The City’. Menurut teori cincin konsentris Burgess ini, bahwa kota-kota besar
memiliki kecenderungan berkembang atau memekarkan diri kearah luar di
semua bagian kota tersebut. Oleh karena semua bagian berkembang ke
segala arah, maka pola keruangan yang di hasilkan akan membentuk lingkaran
yang berlapis-lapis, dimana daerah pusat kegiatan berfungsi sebagai intinya
(Gambar 4).
Secara berurutan, tata guna lahan yang mengikuti pola konsentris ini
adalah sebagai berikut :
1. Zona Kawasan Pusat Bisnis (KPB) atau dikenal juga dengan istilah
Central Bussines District (CBD), merupakan kawasan pusat bisnis yang
disebut sebagai loop dan menjadi pusat kegiatan ekonomi, sosial, budaya
dan politik. Fungsi bangunan yang terdapat pada zona ini antara lain :
perkantoran, pertokoan, bank, gedung pertunjukan, dan sebagainya.
2. Zona transisi atau disebut juga zona peralihan, pada awalnya merupakan
perumahan tua dan beralih fungsi menjadi perkantoran dan industri ringan.
25
3. Zona perumahan masyarakat penghasilan rendah, merupakan daerah
tempat tinggal para buruh pabrik berupa rumah tua dengan kepadatan
tinggi.
4. Zona perumahan masyarakat penghasilan menengah keatas, merupakan
kawasan hunian masyarakat berkelas dengan tingkat kerapatan bangunan
sedang karena masih terdapat jarak antar bangunan.
5. Zona penglaju (commuter), yaitu zona pinggiran yang merupakan tempat
bermukim masyarakat penglaju yaitu masyarakat yang tinggal di daerah
pinggiran namun bekerja di pusat kota.
Gambar 4. Teori Konsentri (Burgess)
B. Teori Sektoral (Homer Hoyt – tahun 1939)
Teori ini dikemukakan oleh seorang ekonom bernama Homer Hoyt pada
tahun 1939. Hoyt mengemukakan bahwa perkembangan yang terjadi pada
suatu kota akan mengarah keluar pusat kota dan membentuk sektor-sektor
baru, dimana pengelompokan tata guna lahan yang terjadi akan membentuk
pola seperti irisan kue tar. Perkembangan dalam sector-sektor tersebut
kemudian oleh para analis ruang dihubungkan lagi dengan latar belakang
kondisi geografi dari kota yang bersangkutan dan jalur transportasi yang ada.
Hoyt juga mengemukakan bahwa pajak tanah dan bangunan juga berbeda-
beda berdasarkan sektor-sektor yang terbentuk. Jadi, tidak berarti bahwa pajak
tertinggi harus berada di dekat pusat kota seperti halnya teori Burgess.
Secara berturut-turut tata guna lahan yang terbentuk pada teori sektoral dapat
dilihat pada Gambar 5.
Keterangan :
1. Zona Kawasan Pusat Bisnis 2. Zona Pabrik Ringan 3. Zona Permukiman kelas
Rendah 4. Zona Permukiman kelas
Menengah Keatas 5. Zona Penglaju (commuter)
26
Gambar 5. Teori Sektoral (Homer Hoyt)
Berdasarkan teori sektoral ini, ditemukan pula bahwa makin ke pusat kota
(dalam sektor yang sama) bangunan gedung atau perumahan makin kuno, dan
juga makin ke pusat kota fungsi industri semakin berkurang atau mengalami
perubahan. Sebaliknya perindustrian lebih berkembang pesat di wilayah
pinggiran kota dimana zona sektornya cenderungan lebih besar.
C. Teori Inti Ganda (Harris & Ullman - Tahun 1945)
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Harris dan Ullman pada tahun
1945, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Readings
In Urban Georaphy. Mereka berpendapat, meskipun pola konsentris dan pola
sektoral suatu kota memang ada, namun kenyataannya lebih kompleks dari
apa yang sekedar di teorikan oleh Burgess dan Hoyt. Dijelaskan secara khusus
bahwa pertumbuhan kota yang bermula dari suatu pusat akan menjadi lebih
kompleks polanya. Hal ini disebabkan oleh munculnya pusat-pusat baru yang
masing-masing akan berfungsi sebagai kutub pertumbuhan. Di sekitar kutub-
kutub baru tersebut akan mengelompok tata guna lahan yang bersambungan
secara fungsional. Keadaan seperti itu akan melahirkan struktur kota yang
memiliki sel-sel pertumbuhan.
Tempat-tempat yang merupakan inti-inti (Nucleus) dapat berupa pelabuhan
udara, universitas, kawasan industry, pelabuhan laut, ataupun stasiun-stasiun
besar. Yang memiliki Nucleus bukan hanya kota, melainkan juga desa-desa
besar atau kota-kota kecil yang pusatnya merupakan pusat pelayanan bagi
penduduk. Kemudian di sekitarnya terjadi pengelompokan tata guna lahan
dengan pertimbangan keuntungan ekonomis. Industri mencari lokasi dekat
terminal transportasi, sedangkan perumahan baru mencari lokasi dekat dengan
pusat-pusat perbelanjaan.
Keterangan :
1. Zona Kawasan Pusat Bisnis (CBD) 2. Zona Industri (pabrik ringan) 3. Zona Permukiman kelas Rendah 4. Zona Permukiman kelas Menengah 5. Zona Permukiman kelas Atas
27
Secara berturut-turut tata guna lahan yang terbentuk pada teori inti ganda
ini dijelaskan pada Gambar 6:
Keterangan :
1. Zona CBD 2. Zona pabrik ringan 3. Perumahan masyarakat kelas rendah 4. Perumahan masyarakat kelas sedang 5. Zona perumahan masyarakat kelas atas 6. Zona pabrik-pabrik besar 7. Pusat perdagangan dipinggiran kota 8. Zona perumahan penglaju (Commuter) 9. Zona daerah industry diluar kota
Gambar 6. Teori Inti Ganda (Harris & Ullman)
2.3.2 Teori Wilayah Inti dan Hinterland
Urban Fringe dapat diartikan sebagai wilayah pinggiran. Selain dalam
pengertian batas administratif, wilayah pinggiran biasanya juga merupakan daerah
transisi antara built up areas dan non built up areas. Secara fisik, wilayah pinggiran
tersebut dapat dicirikan oleh kegiatan pedesaan (rural) yang bercampur dengan
kegiatan perkotaan (rural-urban), atau dapat juga wilayah tersebut sudah fully
build-up. Bergantung pada lokasinya, setiap wilayah pinggiran mempunyai
karakteristik unik tersendiri.
Friedmann (1967) menganalisis aspek-aspek tata ruang, lokasi, serta
persoalan kebijakan dan perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang
lingkup yang lebih general. Friedmann mengemukakan teori wilayah intinya yang
berjudul ‘A General Theory of Polarized Development’ dan teori lainnya tentang
pengembangan wilayah yang berjudul ‘Regional Development and Planning’.
Menurut Friedmann, di sekitar daerah inti terdapat daerah-daerah pinggiran atau
periphery regions atau hinterland. Daerah-daerah pinggiran seringkali disebut juga
daerah pedalaman atau daerah sekitar.
Pengembangan dipandang sebagai proses inovasi yang diskontinu tetapi
kumulatif yang berasal dari sejumlah kecil pusat-pusat pertumbuhan, yang terletak
pada titik interaksi yang memiliki potensi tertinggi. Pembangunan inovatif
28
cenderung menyebar keluar dari pusat-pusat (wilayah inti) ke daerah-daerah yang
lebih rendah yang mempunyai potensi interaksi yang baik (Gambar 7).
Gambar 7. Daerah inti dan daerah pinggiran (urban fringe)
Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar, atau kota
metropolitan, ataupun kota megapolitan yang dikategorikan sebagai daerah-
daerah inti (sentral), sedangkan daerah-daerah pinggiran yang relatif statis
merupakan subsistem yang kemajuan pembangunannya ditentukan oleh aktifitas
di daerah inti yang artinya bahwa daerah pinggiran berada dalam suatu hubungan
ketergantungan yang substansial. Wilayah inti dan daerah pinggiran secara
bersama-sama membentuk suatu sistem spasial yang lengkap.
Proses dimana daerah inti mengkonsolidasikan dominasinya terhadap
daerah pinggiran dilakukan melalui pengaruh-pengaruh umpan balik. Menurut
Hasen (1972) dalam Rahardjo (2004) pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:
a. Pengaruh dominasi, yaitu dengan cara melemahkan perekonomian didaerah
pinggiran sebagai akibat dari mengalirnya SDA/SDM dan modal ke wilayah inti.
b. Pengaruh informasi, yaitu peningkatan dalam interaksi potensial yang dapat
menunjang pembangunan inovatif.
c. Pengaruh psikologis, penciptaan kondisi yang memicu terjadinya kegiatan
inovatif yang lebih nyata.
d. Pengaruh mata rantai, yaitu kecenderungan inovasi-inovasi yang ada untuk
menghasilkan inovasi baru lainnya.
e. Pengaruh produksi, yaitu penciptaan struktur balas jasa yang menarik untuk
menghasilkan interaksi yang lebih inovatif.
Pada umumnya daerah inti melaksanakan fungsi pelayanan terhadap
daerah sekitarnya. Beberapa daerah inti memperlihatkan fungsi yang khusus,
Daerah Inti
Daerah Pinggiran
Daerah Pinggiran
29
seperti : sebagai pusat perdagangan dan industri, serta pusat pemerintahan.
Sehubungan dengan peranan wilayah inti dalam pembangunan spasial, Friedmann
(1967) mengemukakan 5 (lima) preposisi utama sebagai berikut :
1. Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan daerah sekitarnya
melalui sistem suplai, pasar, dan wilayah administrasi.
2. Daerah inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan inovasi ke
daerah sekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya.
3. Sampai pada suatu titik tertentu, pertumbuhan daerah inti cenderung
mempunyai pengaruh positif dalam proses pembangunan system spasial, akan
tetapi mungkin pula mempunyai pengaruh negatif jika penyebaran
pembangunan wilayah inti ke daerah sekitarnya tidak berhasil diciptakan
sehingga nilai ketergantungannya menjadi rendah.
4. Dalam suatu system spasial, hirarki daerah inti ditetapkan berdasarkan
kedudukan fungsionalnya masing-masing, seperti karakteristik dan prestasi
yang dimiliki.
5. Kemungkinan inovasi-inovasi akan ditingkatkan ke seluruh sistem spasial
dengan cara mengembangkan pertukaran informasi.
Meskipun hubungan antara daerah inti – daerah pinggiran sebagai
kerangka dasar kebijakan dan perencanaan pembangunan regional masih
dianggap sederhana dan masih bersifat umum, namun hal ini dapat digunakan
sebagai acuan untuk menjelaskan hubungan dan ketergantungan antara daerah
pusat dengan wilayah disekitarnya.
2.3.3 Perkembangan Kota Baru (New Town)
Fenomena kota baru sesungguhnya bukanlah hal baru dalam sejarah
pengembangan kota di Indonesia. Dalam dasawarsa terakhir, pengembangan kota
baru menjadi trend sebagai salah satu isu pokok dalam pengembangan kota di
Indonesia, khususnya dalam rangka pengembangan kota-kota Metropolitan.
Pengembangan kota baru akhir-akhir ini seringkali diartikan sebagai
pengembangan permukiman skala besar di wilayah-wilayah metropolitan. Dalam
hal ini, pembangunan kota baru menjadi sangat kompleks dan sangat terkait
dengan berbagai aspek kehidupan, seperti: masalah lingkungan, pertanahan,
transportasi, pembebasan lahan, peluang lapangan kerja dan sektor bisnis yang
cukup menggiurkan sampai pada aspek perencanaan kota.
30
A. Pengertian Umum Kota Baru
Advisory Commission on Inter-governmental Relations (Pei dan Verma,
1972) dalam Sujarto (1993) memberikan pengertian tentang kota baru sebagai
“Permukiman yang mandiri dan berencana dengan skala yang cukup besar
sehingga: a) memungkinkan untuk menunjang kebutuhan berbagai jenis rumah
tinggal dan kegiatan ekonomi sebagai lapangan kerja bagi penduduk di dalam
permukiman itu sendiri; b) dikelilingi oleh jalur hijau yang menghubungkan secara
langsung dengan wilayah pertanian di sekitarnya dan juga sebagai pembatas
perkembangan kota dari segi jumlah penduduk dan luas wilayahnya; c) dengan
mempertimbangkan kendala dan limitasi yang ada dapat menentukan suatu
proporsi peruntukan lahan yang sesuai untuk kegiatan industri, perdagangan,
perumahan, fasilitas dan utilitas umum serta ruang terbuka, pada proses
perencanaannya; dan d) dengan mempertimbangkan fungsi kota serta lahan yang
tersedia dapat ditentukan pola kepadatan penduduk yang serasi”.
Berdasarkan masa perencanaan dan perkembangannya, Osborn dan
Whittick (1963) menekankan bahwa kota baru sebenarnya merupakan alternatif
upaya untuk memecahkan dan mengatasi masalah pertumbuhan permukiman
yang tersebar secara tidak terkendali serta kemacetan di kota-kota besar yang
disebabkan semakin berkembangnya kegiatan usaha dan penduduk kota besar
akibat perkembangan industri secara besar-besaran pada awal abad ke-20.
Yudohusodo (1988) menjabarkan beberapa pengertian Kota Baru menurut
beberapa ahli perencana kota sebagai berikut:
Von Hertzen dan Spreiregen (1973), memberikan pengertian kota baru dari
segi letak geografisnya adalah suatu kota yang direncanakan, didirikan, dan
dibangun di atas suatu lahan perawan yang terlepas sampai suatu jarak
tertentu yang jelas dari suatu kota induk yang lebih besar.
Golany (1978) mengemukakan pengertian kota baru sebagai kota khusus yang
dikembangkan sehubungan adanya upaya pengembangan fungsi tertentu
seperti kota pengusahaan industri, kota pertambangan, kota perkebunan, kota
penunjang instalasi tertentu seperti instalasi militer. Selanjutnya dikemukakan
dalam wawasan yang lebih luas suatu pengertian kota baru bahwa tidaklah
selalu dibangun sama sekali baru di atas suatu wilayah lahan perawan, tetapi
juga mungkin merupakan suatu pengembangan dan pembaharuan
permukiman pedesaan atau kota kecil secara total menjadi kota lengkap yang
mandiri.
31
Dengan melandaskan pada beberapa pengertian tentang kota baru di atas,
maka secara umum kota baru dapat diartikan sebagai berikut (Sujarto dan
Benedictus, 1989):
1. Ditinjau dari segi letak geografisnya, kota baru adalah kota yang mandiri yang
direncanakan, didirikan atau dibangun di atas suatu lahan perawan pada suatu
jarak tertentu yang jelas, terlepas dari kota induk yang lebih besar atau kota-
kota lainnya sebagai alternatif mengatasi masalah perkotaan (pertumbuhan
permukiman yang tidak terkendali, kekurangan perumahan, dan kemacetan
lalulintas), yang kemudian dikembangkan secara lengkap dengan
pertimbangan proporsi peruntukan lahan yang sesuai.
2. Ditinjau dari segi fungsionalnya, kota baru adalah kota khusus yang
dikembangkan sehubungan dengan adanya upaya pengembangan fungsi
tertentu misalnya kota pemerintahan, kota industri, kota pertambangan, kota
perkebunan, kota penunjang instalasi, dan lain-lain, sehingga kota tersebut
tidak selalu dibangun di atas suatu wilayah lahan perawan, akan tetapi
merupakan suatu pengembangan dan pembaharuan permukiman pedesaan
atau kota kecil secara total.
B. Faktor Perkembangan dan Klasifikasi Kota Baru Pengembangan dan perkembangan kota baru dalam berbagai kurun waktu
dilandasi oleh berbagai motivasi yang berbeda. Perwujudan pengembangan kota-
kota baru ini kemudian sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh berbagai faktor.
Secara deskriftif mengenai evolusi kota baru, maka dapat diidentifikasikan
bahwa sesuai dengan fungsi tujuannya kota baru sangat bervariasi dari segi lokasi,
jenis, dan pola fisiknya. Golany (1978) menjelaskan bahwa ditinjau dari letak
geografisnya, kota baru dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu:
1. Kota baru dalam kota (New Town in Town), yaitu suatu lingkungan baru
berskala besar yang dikembangkan pada wilayah kantong yang belum
terbangun di dalam kota atau di wilayah pinggiran yang berbatasan langsung
dengan kota induk.
2. Kota baru satelit (Dormitory Town), yaitu suatu lingkungan baru berskala besar
yang dikembangkan sebagai tempat tinggal yang letaknya terpisah pada jarak
tertentu dari kota induk, tetapi secara fungsional sangat tergantung pada kota
induk.
32
3. Kota baru mandiri (Independent New Town), yaitu suatu kota baru yang
dikembangkan dengan tujuan membentuk kota yang mandiri dalam memenuhi
kebutuhan dan kegiatan usaha penduduknya. Contoh: kota baru pemerintahan
4. Kota baru khusus, yaitu kota baru yang dikembangkan sehubungan dengan
kegiatan tertentu, seperti: kemiliteran, pertambangan, dan perkebunan. Kota
baru khusus ini dapat bersifat mandiri ataupun satelit terhadap kota induknya.
Selanjutnya, Sujarto (1993) mengklasifikasikan kota baru secara fungsional
menjadi 2 (dua) macam yaitu kota baru mandiri dan kota baru penunjang (Tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi Kota Baru di Indonesia
Sifat dan Kemampuan Jenis Kota Baru Fungsi Kota Kota Baru
1. Kota Baru Mandiri 1. Kota Umum Pusat Pemerintahan
2. Kota Perusahaan Industri Pertambangan Kehutanan
3. Kota Khusus Militer Pusat Penelitian Pusat Rekreasi Permukiman Khusus
2. Kota Baru Penunjang 1. Kota Baru Satelit Permukiman skala besar
2. Kota Baru Metropolitan Permukiman skala besar tetapi sebagian besar penduduknya bekerja di kota inti.
Sumber : Sujarto D (1993)
2.3.4 Pola Perkembangan Kota A. Pola dasar lokasi kota Pola perkembang kota menggambarkan pola perkembangan suatu kota
dilihat dari aspek dimensi (ukuran) dan bentuk ruang yang berbeda-beda. Setiap
pola merupakan hasil pembentukan dari fungsi-fungsi dan infrastruktur, yang telah
ditetapkan pada lokasi tertentu. Gallion et al. (1992) menjelaskan bahwa terdapat 3
(tiga) pola dasar lokasi kota dalam ukuran dan bentuk, yaitu :
1. Pola linier, yaitu pola perkembangan kota yang berjajar disepanjang jalur
transportasi (misalnya : jalan, rel kereta api, sungai, dan garis pantai).
2. Pola berkelompok, yaitu pola kota yang terbentuk akibat dari pemusatan
aktivitas (misalnya: kota industri yang menyebabkan aktivitas penduduk
terkonsentrasi pada kegiatan industri di kota tersebut).
33
3. Pola hierarki, yaitu pola yang terbentuk dari kumpulan beberapa kota dengan
ukuran yang berbeda dalam suatu wilayah, sehingga membentuk pola yang
teratur.
Gambar 8. Pola dasar lokasi kota dalam ukuran dimensi dan bentuk
B. Pola umum perkembangan permukiman perkotaan
Semakin besar skala suatu kota semakin beragam pula aktivitas komersial
penduduk kota tersebut, yang ditunjukkan dengan semakin beragamnya
penggunaan lahan oleh berbagai kategori bangunan. Secara fungsi, kategori
utama penggunaan bangunan di daerah perkotaan terdiri dari : permukiman,
komersial, industri, pusat pemerintahan, sarana dan prasarana kota serta fasilitas
umum lainnya.
Jalur-jalur transportasi yang direpresentasikan dalam bentuk jaringan jalan
merupakan pembentuk pola penggunaan lahan yang paling dominan. Pada
awalnya penempatan bangunan-bangunan hanya menunjukkan pola sirkulasi
setempat, dimana bangunan-bangunan tersebut diatur menurut pola jalan yang
tersedia. Seiring dengan perkembangan yang terjadi, akan terbentuk kelompok-
kelompok bangunan yang saling berhubungan satu dengan lainnya, demikian juga
dengan jaringan utilitas dan fasilitas umum lainnya.
Jalur transportasi dan utilitas kota menjadi pembentuk utama pola
penggunaan lahan dan penyebaran bangunan di kota. Sejak awal pertumbuhan,
berbagai kegiatan usaha akan memilih lokasi strategis di sepanjang jalur-jalur lalu
lintas utama dan di tempat-tempat yang menjadi konsentrasi aktivitas komersial.
34
Gambar 9 berikut adalah contoh pola umum perkembangan permukiman kota:
Gambar 9. Pola umum perkembangan permukiman perkotaan
2.4 Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Sejak tahun 1984 konsep pembangunan berkelanjutan menjadi pusat
perhatian dalam pertimbangan kebijakan di seluruh dunia sebagai basis dari upaya
mewujudkan pembangunan yang seimbang. Laporan WCED (World Commision on
Environment and Development dalam ‘Our Common Future’ (1984),
menyampaikan tentang konsep pembangunan berkelanjutan sebagai berikut:
‘sustainable development is development which meets the needs of the
present without compromising the ability of future generations to meet
their own needs’.
Prinsipnya bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus menghalangi pemenuhan kebutuhan
generasi mendatang.
Pembangunan berkelanjutan merupakan kerangka pikir yang telah menjadi
wacana internasional. Kerangka pikir ini kemudian disepakati oleh negara-negara
di dunia termasuk Indonesia didalam KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 untuk
digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan pembangunan. Hasil KTT Bumi
tersebut dikenal dengan Agenda 21.
Menurut Soemarwoto (2002) pembangunan berkelanjutan dapat
didefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan
kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak
berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin ekonomi tumbuh
35
jika tergantung pada keterbatasan sumber daya alam yang tersedia. Beberapa
sumber daya alam seperti bahan mineral (tambang) termasuk non-renewable dan
sumber daya alam seperti tanaman pangan, air dan udara termasuk renewable.
Lebih lanjut Timmer dan Kate (2006) menjelaskan bahwa keberlanjutan
(sustainability) adalah menyeimbangkan upaya untuk memenuhi kebutuhan saat
ini dengan keharusan untuk menyisakan warisan positif kepada generasi masa
yang akan datang. Semua komponen ekonomi, lingkungan dan sosial sebenarnya
saling berkaitan dan tidak dapat digarap sendiri-sendiri. Oleh karena itu perlu
mengembangkan pendekatan kemitraan terhadap semua permasalahan.
Menurut WCED – World Commision on Environment and Development
(1987) terkandung 2 gagasan penting dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu :
a. Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia
yang harus diprioritaskan.
b. Gagasan keterbatasan, yaitu keterbatasan yang bersumber pada kondisi
teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan.
Beberapa pengertian lain terkait pembangunan berkelanjutan dalam
Agenda 21 Sektoral (UNDP, 1997) sebagai berikut:
Dunia masa mendatang tergantung pada keterkaitan antara pertumbuhan
penduduk, pengelolaan sumber daya energy dan proteksi lingkungan secara
harmonis.
Pembangunan berkelanjutan menjadi bagian penting suatu pendekatan
nasional dan internasional untuk mengintegrasikan aspek ekonomi,
lingkungan, sosial, dan etika sehingga kualitas kehidupan yang baik bagi
generasi sekarang dan genersai mendatang dapat dipenuhi.
Penafsiran tentang pembangunan yang berkelanjutan diartikan sebagai daya
upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan
kebutuhan generasi mendatang. Dengan kata lain, proses pembangunan harus
bisa berlangusng secara terus menerus dan berkesinambungan.
International Labour Organization (ILO) mengemukakan bahwa tujuan
pembangunan berkelanjutan adalah membuat semua anggota masyarakat
mendapatkan elemen-elemen kunci bagi kehidupan, seperti: pangan yang cukup,
sandang, pemukiman, perawatan kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja.
Konsep pembangunan berkelanjutan adalah upaya mengkombinasikan kebutuhan
mendesak dengan pentingnya melindungi lingkungan Saroso (2002) dalam
Santoso (2009).
36
Munasinghe et al. (1995) mengemukakan bahwa aspek-aspek penting
pembangunan berkelanjutan meliputi: 1) keberlanjutan ekonomi, 2) keberlanjutan
ekologi dan 3) keberlanjutan sosial. Menurut Djayadiningrat (2001) bahwa tujuan
pembangunan berkelanjutan secara ideal membutuhkan pencapaian hal-hal
sebagai berikut : (1) keberlanjutan ekologis, (2) keberlanjutan ekonomi, (3)
keberlanjutan sosial budaya, (4) keberlanjutan politik, dan (5) keberlanjutan
pertahanan keamanan.
Pembangunan berkelanjutan menjadi gagasan yang sangat penting karena
pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dan eksploitasi sumberdaya yang
berlebihan sehingga menyebabkan bencana lingkungan hidup. Penggunaan
sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti energi, bahan tambang,
dan mineral memiliki keterbatasan dalam pemanfaatannya. Pembangunan
berkelanjutan menuntut bahwa jauh sebelum batas-batas tersebut terlampaui,
dunia harus menjamin seimbangnya akses ke sumber-sumber yang terbatas
jumlahnya, serta sudah harus merubah arah teknologi yang dapat mengurangi
tekanan terhadap sumber tersebut. Disamping itu, disadari bahwa setiap
ekosistem tidak dapat dilestarikan secara persis karena pertumbuhan ekonomi dan
kegiatan pembangunan akan selalu membawa perubahan terhadap ekosistem
(WCED, 1987).
Didalam publikasi Our Common Future, dikemukakan beberapa
pedoman/prinsip pembangunan berkelanjutan, antara lain :
a. Prinsip Lingkungan (Ekologi) meliputi : melindungi sistem penunjang
kehidupan, memelihara integritas ekosistem, mengembangkan dan
menerapkan strategi prefentif dan adoktif untuk menangggapi ancaman
perubahan lingkungan global.
b. Prinsip Sosial Politik meliputi : mempertahankan skala fisik dari kegiatan
manusia dibawah daya dukung atmosfer, mengenali biaya lingkungan dari
kegiatan manusia, meyakinkan adanya kesamaan sosial, politik, dan ekonomi
dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan.
Soemarwoto (2002) mengemukakan bahwa faktor lingkungan diperlukan
untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Faktor lingkungan tersebut
meliputi : (1) terpeliharanya proses ekologi yang essensial, (2) tersedianya sumber
daya yang cukup, dan (3) lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai.
Selanjutnya Murdiyarso (2006) mengemukakan pokok-pokok pikirannya
terhadap pembangunan berkelanjutan yakni perlu dijadikan pertimbangan karena
37
adanya keterbatasan planet bumi yang dapat disimpulkan menjadi 4 asumsi dasar
yaitu: a) terbatasnya cadangan sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui
(non renewable resources), b) terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat
menyerap polusi, c) terbatasnya lahan yang dapat ditangani, dan d) terbatasnya
produksi per satuan luas lahan atau batasan fisik terhadap pertumbuhan penduduk
dan kapital.
Dari berbagai definisi tersebut di atas secara umum dapat diartikan bahwa
pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pendekatan pembangunan yang
tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan
ekonomi dan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, dengan manusia sebagai
tema sentralnya.
2.4.1 Pembangunan Kota Berkelanjutan (Sustainable Urban Development) Sebuah paradigma yang menjadi fokus pembangunan kota berkelanjutan
adalah keberkelanjutan kota itu sendiri (sustainable city). Konteks keberlanjutan
tersebut tidak hanya terbatas pada wilayah administrasi kota melainkan lebih luas
lagi cakupannya meliputi seluruh fungsi wilayah perkotaan (urban sustainability).
Ketika akan mewujudkan kota berkelanjutan disadari bahwa daya dukung
lingkungan yang terbatas menyebabkan ekspansi kota sulit dilakukan, yang pada
akhirnya tidak membuat wilayah perkotaan menjadi berkelanjutan.
Menciptakan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan sangat krusial
karena aktifitas perkotaan berkontribusi terhadap permasalahan lingkungan dan
memegang peranan penting dalam kebaikan kesejahteraan manusia dengan
memfasilitasi pembangunan sosial, cultural dan ekonomi (Sujarto, 2005). Lebih
lanjut Sujarto (2005) menyatakan bahwa suatu kota berkelanjutan adalah:
1. Mencakup aspek kultural, sosial dan ekonomi dari seluruh lingkungan
perkotaan-pedesaan,
2. Memberikan manfaat bagi pelaku individual dalam masyarakat,
3. Kriteria tersebut harus didefinisikan dalam kaitannya dengan kondisi lokal dan
dibangun dengan partisipasi masyarakat,
4. Konservasi sumber daya, menjaga keragaman hayati dan ekosistem,
5. Mendukung kapasitas manusia untuk meningkatkan kondisinya,
6. Menyediakan akses yang sama terhadap pelayanan untuk semua warga,
7. Memprioritaskan opsi dan mensinergikan sosial, ekonomi dan lingkungan,
8. Mendukung proses pembuatan keputusan yang demokratis, dan
9. Menghormati ilmu pengetahuan dan kreatifitas penduduk lokal.
38
Menurut Sarosa (2002) bahwa kota berkelanjutan memiliki beberapa
karakteristik antara lain : a) tata guna lahan yang terintegrasi dengan rencana
transportasi; b) pola tata guna lahan; c) tata guna lahan yang membantu
melindungi sember daya air; d) kontrol penggunaan lahan untuk setiap orang; e)
kota yang manusiawi, pasar, ruang hijau, pedestrian; f) mendukung kota menjadi
lebih kompak.
Manuwoto (2006) menyarankan manajemen perkotaan yang efektif untuk
mendukung keberhasilan pembangunan perumahan yang berwawasan
lingkungan. Pembangunan perumahan masa depan yang bertumpu pada
kemandirian masyarakat dengan asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan,
kekeluargaan, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Untuk mencapai keberlanjutan perkotaan perlu melibatkan berbagai pihak
yang terkait dengan perkotaan. Pemerintah kota tidak akan dapat memecahkan
permasalahannya sendiri, dimana peran pemerintah kota semakin lama semakin
bergeser ke peran sebagai fasilitator. Intinya sistem pelaku majemuk akan
menggantikan sistem pelaku tunggal yang selama ini didominasi pihak pemerintah.
Dimasa depan akan terdapat titik majemuk kewenangan, pengaruh, dan tantangan
yaitu bagaimana memberdayakan pihak pihak tersebut agar dapat bekerjasama
secara kooperatif. Manfaatnya adalah terciptanya kepercayaan dan koneksi sosial
(Social Capital) yang terus terakumulasi, dan pada gilirannya akan mencapai tiga
sasaran yaitu : menjaga agar pemerintah semakin memiliki akuntabilitas dan tidak
korup, menurunkan sumber konflik, dan memberdayakan para pelaku non
pemerintah (Alexander, 1977).
2.4.2 Pembangunan Permukiman Berkelanjutan Pembangunan permukiman yang berkelanjutan merupakan pembangunan
permukiman yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi masa kini maupun
masa depan secara merata. Ciri-ciri model pembangunan yang berkelanjutan
adalah berwawasan lingkungan dan memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi,
politik, budaya, falsafah, hukum, dan perundang-undangan. Model ini berusaha
mencapai keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup
sebagai tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, terkendalinya
pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana. Terwujudnya manusia Indonesia
yang mampu membina lingkungan hidup, dan terlaksananya pembangunan yang
berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.
39
Dengan pola pembangunan berkelanjutan, kualitas lingkungan ditingkatkan dan
kerusakan lingkungan ditekan menjadi sekecil mungkin.
Menurut Hertzen et al. (1973) bahwa pembangunan perumahan
berkelanjutan adalah pembangunan perumahan yang memperhatikan
perencanaan sosial mencakup pelayanan sosial, partisipasi masyarakat,
organisasi dan metode, informasi, ketrampilan dalam perencanaan, komunikasi,
dan manajemen. Pembangunan permukiman yang berkelanjutan diartikan sebagai
upaya yang berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan kualitas
lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Sehingga dalam mewujudkan
pembangunan permukiman yang berkelanjutan sangatlah penting untuk
mempertimbangkan permukiman yang berwawasan lingkungan (Kirmanto, 2002).
Beberapa konsep yang pernah dikemukakan para pakar dalam
melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah : pelestarian
ekologi, teknologi hijau, dan mengatasi pencemaran lingkungan (Budiharjo et al.,
1999). Lebih lanjut dijelaskan beberapa prinsip dasar pembangunan yang
berkelanjutan terdiri atas: 1) Ekonomi, 2) Ekologi, 3) Equity, 4) Engagement, dan
5) Energi. Dua aspek yang sangat terkait dengan fisik pembangunan berkelanjutan
adalah aspek ekologi dan energi yang dijabarkan sebagai berikut (Budihardjo,
1999):
1. Aspek ekologi :
Pemanfaatan Sumberdaya Alam: konservasi sumber daya alam,
pencegahan polusi dan penanggulangan bencana.
Peraturan penggunaan tanah: penggunaan lahan campuran, menciptakan
ruang-ruang terbuka, menetapkan batas perkembangan/pemekaran kota.
2. Aspek energi:
Sumber energi: penghematan energi dan pemilihan sumber energi
alternatif.
Sistem transportasi: optimalisasi transportasi missal (public transportation).
Bangunan: optimalisasi pencahayaan dan penghawaan alami.
Berbagai konsep perencanaan kota yang berkelanjutan sudah dipaparkan
oleh para pakar perencana kota seperti : ‘The City of Tomorrow’ (Corbusier, 1977),
‘Garden City’ (Howard, 1902), dan ‘New Town’ (Osborn dan Whittick, 1963).
Konsep-konsep para urban designer tersebut tidak akan dapat mencapai tujuan
dari Kota yang Berkelanjutan apabila manusia yang menghuni kota tersebut tidak
menjalankan peran yang semestinya. Dengan kata lain dibutuhkan keterpaduan
40
dari semua bidang kehidupan dalam mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan. Konsep permukiman yang berwawasan lingkungan bertujuan untuk
mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Indikator-indikator permukiman
berwawasan lingkungan dijelaskan pada Gambar 10.
(Sumber: Maclaren, 1996)
Gambar 10. Indikator permukiman yang berwawasan lingkungan
Pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan didominasi oleh
penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang. Untuk itu perlu dipertimbangkan 4
(empat) hal utama, yaitu (Campbell, 1996):
a. Socially and culturally suitable and accountable, yaitu pembangunan yang
secara sosial dan kultural bisa diterima dan dipertanggung jawabkan;
b. Politically acceptable, yaitu pembangunan yang secara politik dapat diterima;
c. Economically feasible, yaitu pembangunan yang layak secara ekonomis; dan
d. Environmentally sound and sustainable, yaitu pembangunan yang bisa
dipertanggung jawabkan dari segi lingkungan.
Menurut Maclaren (1996) dalam mewujudkan permukiman yang
berwawasan lingkungan ada 4 komponen yang digunakan sebagai indikator, yaitu:
Ekonomi, Sosial, Lingkungan dan Budaya. Jadi ketika kita berbicara tentang
permukiman yang berwawasan lingkungan tidak hanya melibatkan indikator fisik
saja melainkan juga indikator non-fisiknya. Kirmanto (2002) menjelaskan bahwa
salah satu upaya untuk mewujudkan permukiman yang berwawasan lingkungan
adalah dengan menciptakan kawasan perumahan ekologis yang lebih
memperhatikan aspek lingkungan dalam merencanakan huniannya.
41
Gambar 11 menjelaskan komponen-komponen yang dibutuhkan untuk
terwujudnya sebuah permukiman :
(Sumber: Huovilla dan Pekka, 1999)
Gambar 11. Komponen-komponen sebuah kawasan perumahan
Gambar diatas menjelaskan tentang komponen-komponen apa saja yang saling
terkait dalam suatu kawasan perumahan mulai dari konsep perencanaan sampai
kepada perumahan yang siap huni. Komponen tersebut yang akan berperan dalam
mewujudkan permukiman yang berwawasan lingkungan.
Beberapa strategi perencaan kawasan permukiman yang berwawasan
lingkungan dapat dilihat pada prinsip-prinsip dibawah ini (Grant et al., 1996):
Mengelola dan memelihara lingkungan supaya berfungsi dengan semestinya,
seperti: tempat pembuangan sampah, drainase lingkungan dan sistem
pembuangan air limbah.
Meminimalisasi pengaruh bangunan pada lingkungan sekitar, contoh
pemanfaatan ruang, fasilitas pelayanan, dan perencanaan infrastruktur yang
efisien.
Melindungi sumber-sumber alam dan sumberdaya lahan untuk generasi
mendatang, seperti melindungi sumberdaya air, tanah, dan udara.
Mengurangi dan mengolah limbah yang dihasilkan dari hunian agar tidak
mencemari lingkungan.
Meningkatkan peran serta dan partisipasi masyarakat dalam memelihara
lingkungan.
Menciptakan lingkungan sosial yang sehat, seperti keamanan dan kesehatan
lingkungan (sanitasi).
42
Campbell (1996) mengatakan bahwa ada 3 (tiga) konflik yang dapat terjadi
dalam usaha mencapai tujuan Permukiman yang Berwawasan Lingkungan, yaitu :
1. Konflik Properti (Property Conflict), yaitu konflik yang terjadi antara
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi, konflik antara pemilik rumah
dan penyewa, atau konflik antara pengelola kawasan dan pekerja.
2. Konflik Sumberdaya (Resource Conflict), yaitu konflik tentang prioritas
sumberdaya alam. Dari aspek bisnis sedapat mungkin memanfaatkan
sumberdaya alam secara bijaksana, namun pada saat yang bersamaan juga
dibutuhkan kebijakan tentang konservasi sumberdaya alam tersebut untuk
kepentingan masa yang akan datang.
3. Konflik Pembangunan (Development Conflict), yaitu melaksanakan kegiatan
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tanpa harus
merusak lingkungan hidup.
Untuk mendukung pembangunan perumahan dan permukiman yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Sustainable Development), undang-
undang penataan ruang dan undang-undang perumahan dan permukiman perlu
ditaati dan kemampuan pemerintah perlu ditingkatkan. Pembangunan yang tidak
memperhatikan kondisi kemampuan daya dukung serta kelestarian lingkungan
akan cenderung menurunkan kemampuan daya dukung lingkungan tersebut
(degradasi lingkungan). Oleh karena itu pembangunan permukiman harus
diarahkan pada kondisi ideal atau berada pada kondisi daya dukung lingkungan
yang optimal.
2.4.3 Pengembangan Bangunan Tinggi Berwawasan Lingkungan
Salim (2000) dalam bukunya ‘Kembali ke Jalan Lurus’ mengemukakan
bahwa pengalaman negara maju menunjukkan proses pembangunan yang
mengubah struktur ekonomi pertanian menjadi ekonomi industri yang selalu
disertai dengan tingkat urbanisasi yang tinggi. Keperluan pembangunan dalam
memenuhi kebutuhan permukiman mendorong permintaan akan ruang
(lingkungan). Keterbatasan ruang di kota mendorong tumbuhnya kebutuhan untuk
membangun ke atas sehingga melahirkan konsep bangunan tinggi (high rise
building).
Di Indonesia, beberapa kota besar telah menunjukkan perkembangan
bangunan tinggi yang cukup pesat. Meningkatnya jumlah penduduk dan semakin
mahalnya harga lahan di kota menjadikan pembangunan bangunan tinggi tak
43
dapat dihindari. Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana
menata bangunan tinggi yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya dikatakan
bahwa kehadiran bangunan tinggi membawa 2 (dua) dampak penting: Pertama,
kehadiran bangunan tinggi yang mempengaruhi 1) sirkulasi udara/angin, penetrasi
sinar matahari, ancaman api pada saat terjadi kebakaran, potensi kehancuran
pada saat terjadi gempa, meningkatkan kebutuhan air dan menghasilan limbah
buangan. Kedua, meningkatnya konsentrasi penduduk sehingga meningkatkan
kepadatan penduduk.
Lebih lanjut Salim (2000) menjelaskan bahwa pembangunan bangunan
tinggi umumnya dilaksanakan oleh pihak swasta mengingat dana yang dibutuhkan
sangat besar sehingga terjadi pertumbuhan secara parsial yang menghasilkan
serangkaian egoisme bangunan tinggi sebagai wajah kota. Danishworo mengecam
tumbuhnya bangunan tinggi yang tidak tertata menyebabkan pola parcel
development dimana setiap arsitektur berlomba-lomba menunjukkan ke-akuannya,
sehingga menyebabkan polusi arsitektur. Hal ini ditengarai belum adanya sistem
zonasi yang mantap pada suatu kawasan perkotaan. Bangunan tinggi juga
membutuhkan aksesibilitas yang tinggi, sehingga gejala yang ditimbulkan
selanjutnya adalah pola ribbon development di sepanjang jalan yang
menyebabkan kemacetan lalu lintas yang serius. Oleh karena itu, untuk
menghindari pola parcel and ribbon development, perlu kiranya dilakukan zonasi
seperti yang tertuang dalam rencana tata ruang.
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang membuka jalan bagi
pengembangan zonasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota/
Kabupaten, sehingga dapat menjadi acuan bagi pengembangan bangunan tinggi
dalam proporsi yang wajar.
2.5 Ekosistem Lahan Gambut Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas didunia yaitu sekitar 20,6
juta hektar. Luasan tersebut setara dengan 50% luas gambut tropis dunia atau
sekitar 10.8% dari luas daratan Indonesia (WI-IP, 2007). Indonesia juga
merupakan negara ke-4 pemilik lahan gambut terluas di dunia setelah Kanada,
Rusia, dan Amerika Serikat.
2.5.1 Pengertian Lahan Gambut
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk
oleh adanya penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal
44
dari reruntuhan vegetasi diatasnya dalam kurun waktu yang lama. Akumulasi ini
terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan
bahan organik yang cenderung basah dan selalu dalam kondisi tergenang air.
Noor (2010) menjelaskan pengertian gambut secara harfiah sebagai
onggokan sisa tanaman yang tertimbun dalam masa ratusan bahkan sampai
ribuan tahun. Secara epistemologi, gambut adalah material atau bahan organik
yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan atau jenuh air,
bersifat tidak mampat dan hanya mengalami dekomposisi sebagian.
Beberapa ahli mengelompokkan lahan gambut sebagai lahan rawa dimana
menurut Subagyo et al. (2005) lahan rawa adalah lahan yang menempati posisi
peralihan antara daratan dan perairan. Lahan ini sepanjang tahun atau dalam
waktu yang panjang selalu jenuh air atau tergenang (waterlogged). Sementara
menurut PP No. 27 Tahun 1991 lahan rawa adalah genangan air secara alamiah
yang terjadi secara terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang
terhambat dan mempunyai ciri-ciri khusus baik fisik, kimiawi maupun biologis.
Menurut Subagyo et al. (2005) lahan gambut atau rawa gambut khususnya
di daerah tropis tidak terdapat suatu definisi yang dapat memberikan suatu
batasan yang jelas. Beberapa istilah mengenai lahan gambut lebih banyak merujuk
pada daerah beriklim sedang atau yang memiliki empat musim (temperate),
dimana padanan kata yang mengacu kepada lahan gambut adalah: bog, fen,
peatland, mire, dan moor. Menurut Mitsch dan Gosselink (1986) dalam Subagyo et
al. (2005) beberapa istilah tersebut adalah sebagai berikut:
Bog : A wetland that accumulates peat with no significant hydrological
inflow or outflow that support acidophilic mosses, particularly
sphagnum.
Fen : A wetland that accumulates peat that receives some drainage
from surrounding mineral soil and usually supports marsh like
vegetation.
Peatland : A generic term of any wetland that accumulates partially
decayed plant matter.
Mire : Synonymous with any peat-accumulating wetland.
Moor : Synonymous with any peat-accumulating wetland. A high moor
is a raised bog, while a low moor is a peatland in a basin or depression
that is not elevated above it’s perimeter.
45
(Sumber: WI-IP, 2002)
Gambar 12. Ilustrasi penampang kubah gambut (dome)
Gambut merupakan tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari
65% (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 50 cm (Driessen, 1980).
Menurut Soil Taxonomy, gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan organik
dengan ketebalan lebih dari 40 cm atau 60 cm tergantung dari berat jenis (Bulk
Density) dan tingkat dekomposisi bahan organiknya.
Tanah gambut adalah tanah-tanah jenuh air yang tersusun dari bahan tanah
organik yaitu sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan
ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam sistem klasifikasi baru (taksonomi tanah), tanah
gambut disebut histosol (histos = tissue = jaringan). Dalam sistem klasifikasi lama,
tanah gambut disebut dengan organosol yaitu tanah yang tersusun dari bahan
tanah organik (WI-IP, 2007). Histosol adalah tanah yang tidak mempunyai sifat-
sifat tanah andik pada 60% atau lebih ketebalan diantara permukaan tanah dan
kedalaman 60 cm atau diantara permukaan tanah dan kontak densik, litik, paralitik
atau duripan apabila lebih dangkal. Histosol memiliki bahan tanah organik yang
memenuhi satu atau lebih sifat-sifat berikut (Subagyo et al., 2005):
a. Terletak di atas bahan-bahan sinderi, pragmental atau batu apung dan mengisi
celah-celah diantara batu-batuan tersebut dan langsung dibawah bahan-bahan
tersebut terdapat kontak densik, litik, atau paralitik.
b. Jenuh air selama 30 hari atau lebih, tiap tahun pada tahun-tahun normal (telah
di drainase) mempunyai batas atas didalam 40 cm dari permukaan tanah.
Lahan gambut mempunyai penyebaran pada lahan rawa, yaitu lahan yang
menempati posisi peralihan di antara ekosistem daratan dan perairan. Sepanjang
Kubah Gambut
Tanah Organik
Tanah Mineral Sungai Sungai
46
tahun atau dalam jangka waktu yang panjang, lahan gambut selalu jenuh air
(waterlogged) atau tergenang air. Tanah gambut menempati cekungan, depresi,
atau bagian-bagian terendah di daerah lembah, yang penyebarannya terdapat di
dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan adalah lahan gambut yang
terdapat didaerah rawa dataran rendah sepanjang dataran pantai. Hamparan
lahan gambut yang sangat luas, pada umumnya menempati cekungan-cekungan
yang terdapat diantara aliran sungai-sungai besar didekat muara, dimana gerakan
naik turunnya tanah dipengaruhi pasang surut air laut.
Masyarakat Kalimantan Barat mengenal tanah gambut sebagai ‘tanah
sepuk’. Menurut Andriesse (1988) tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari
akumulasi bahan organik pada kondisi anaerob. Gambut terbentuk dari timbunan
bahan organik yang berasal dari tumbuhan purba yang berlapis-lapis hingga
mencapai ketebalan > 40 cm. Pembentukan gambut diduga terjadi pada periode
Holosin antara 10.000 – 5.000 tahun silam. Gambut di daerah tropis terbentuk
kurang dari 10.000 tahun lalu. Hardjowigeno dan Abdulah (1989) mengemukakan
bahwa proses penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik
yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama.
2.5.2 Luas Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Indonesia Luas lahan gambut dunia diperkirakan sekitar 400 juta ha. Indonesia
merupakan Negara keempat dengan luas lahan gambut terluas didunia yaitu
sekitar 17,2 juta ha, setelah Kanada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha) dan Amerika
Serikat (40 juta ha) (Euroconsult 1984 dalam laporan WI-IP 2007). Namun
berdasarkan beberapa data penelitian (Tabel 2), Indonesia sesungguhnya
merupakan negara dengan kawasan gambut tropis terluas didunia, yaitu antara
13,5 – 26,5 juta ha (rata-rata 20 juta ha). Jika luas gambut Indonesia sekitar 20
juta ha, maka angka tersebut setara dengan 50% luas gambut tropis dunia yang
luasnya sekitar 37,8 juta ha (Rieley et al., 1997).
Sebagai catatan, hingga saat ini data luas lahan gambut di Indonesia
belum dibakukan, oleh karena itu data luasan yang dapat digunakan masih
berkisar antara 13,5 – 26,5 juta ha. Menurut data Wetland International (2007),
luas lahan gambut di Pulau Kalimantan tercatat 5.769.246 ha dengan prediksi
kandungan karbon sebesar 11.274,55 juta ton karbon. Provinsi yang memiliki
lahan gambut terluas adalah Kalimantan Tengah (3.010.640 ha) atau sekitar 52%
dari luas total gambut Kalimantan, menyusul Kalimantan Barat di urutan kedua
(1.729.980 ha) atau sekitar 29% dari luasan total.
47
Perkiraan luas dan penyebaran lahan gambut di Indonesia dan Kalimantan
disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3 berikut ini:
Tabel 2. Perkiraan luas dan penyebaran lahan gambut di Indonesia menurut beberapa sumber.
(Sumber: WI-IP, 2007)
Tabel 3. Luas sebaran dan kandungan karbon gambut di Kalimantan
(Sumber: Subagyo et al., 2005)
Luas gambut di Provinsi Kalimantan Barat tersebar di 9 (Sembilan)
Kabupaten. Kabupaten dengan lahan gambut terluas adalah Kabupaten Ketapang
(501.429 ha), Kabupaten Pontianak pada urutan kedua (482.190 ha) dan
Kabupaten Kapuas Hulu pada urutan ketiga (419.865 ha). Berdasarkan data yang
disajikan pada Tabel 4, dapat diketahui bahwa kandungan karbon rata-rata per
hektar lahan gambut adalah sebesar 2.095 juta ton karbon/hektar.
Provinsi Luas Gambut (ha) Kandungan Karbon
Kalimantan Barat 1.729.980 3.625,19 juta ton
Kalimantan Tengah 3.010.640 6.351,52 juta ton
Kalimantan Timur 696.997 1.211,91 juta ton
Kalimantan Selatan 331.629 85,94 juta ton
KALIMANTAN 5.769.246 11.274,55 juta ton
Sumber Data Luas Penyebaran Gambut (juta ha)
Total Sumatera Kalimantan Papua Lainnya
Driessen (1978) 9.7 6.3 0.1 - 16.1 Puslittanah (1981) 8.9 6.5 10.9 0.2 26.5 Euroconsult (1984) 6.84 4.93 5.46 - 17.2 Soekardi & Hidayat 4.5 9.3 4.6 0.1 18.4 (1988) Deptrans (1988) 8.2 6.8 4.6 0.4 20.1 Subagyo et al. (1990) 6.4 5.4 3.1 - 14.9 Deptrans (1990) 6.9 6.4 4.2 0.3 17.8 Nugroho et al. (1992) 4.8 6.1 2.5 0.1 13.5 Radjagukguk (1993) 8.25 6.79 4.62 0.4 20.1 Dwiyono & Rahman 7.16 4.34 8.4 0.1 20.0 (1996)
48
Tabel 4. Luas sebaran dan kandungan karbon pada lahan gambut di Kalbar
*pemekaran (Kab. Kubu Raya dan Kab. Pontianak) (Sumber : Subagyo et al., 2005) Tabel 5. Tingkat kedalaman gambut di Kalimantan Barat
(Sumber: Subagyo et al., 2005)
Keterangan:
1. Gambut Sangat Dangkal : < 0.5 m 2. Gambut Dangkal : 0.5 – 1 m 3. Gambut Sedang : 1 – 2 m 4. Gambut Dalam : 2 – 4 m 5. Gambut Sangat Dalam : 4 – 8 m
Kabupaten Luas Gambut (ha) Kandungan Karbon
Bengkayang 40.078 38,21 juta ton
Kapuas Hulu 419.865 1.013,19 juta ton
Ngabang 70.433 70,55 juta ton
Pontianak* 482.190 1.156,47 juta ton
Sambas 95.202 137,65 juta ton
Sanggau 67.582 94,43 juta ton
Singkawang 18.121 44,32 juta ton
Sintang 35.080 25,32 juta ton
Ketapang 501.429 1.045,03 juta ton
Kalimantan Barat 1.729,980 3.625,19 juta ton
Luas Gambut berdasarkan ketebalan (ha)
Kabupaten < 0.5 m 0.5-1 m 1-2 m 2-4 m 4-8m
Bengkayang 0 23.870 16.153 55.000 0
Kapuas Hulu 21.242 146.193 99.838 29.351 123.241 Ngabang 0 43.979 15.946 10.508 0
Pontianak* 0 52.519 262.728 69.752 97.191
Sambas 0 64.576 0 24.519 6.107
Sanggau 5.003 12.903 40.992 6.626 2.058
Singkawang 0 0 1.319 16.802 0
Sintang 0 28.386 6.694 0 0
Ketapang 10.428 65.746 293.441 56.092 75.722
Kalimantan Barat 36.673 438.172 737.111 213.705 304.319
49
Berdasarkan tingkat kedalamannya, maka jenis gambut yang paling luas
yang terdapat di Kalimantan Barat adalah jenis ‘Gambut Sedang’ (737.111 ha)
atau sekitar 42% dari luas total gambut di Kalimantan Barat.
2.5.3 Sifat dan Karakteristik Gambut Tanah gambut juga memiliki sifat dan karakteristik yang spesifik. Sifat-sifat
fisik, kimia, dan biologi sebagai berikut :
a. Sifat-sifat Fisik Sifat fisik gambut yang perlu dipahami antara lain menyangkut kematangan,
warna, berat jenis, porositas, kering tak balik (irreversible), penyusutan
(subsidence) dan mudah terbakar. Sifat-sifat fisik gambut sangat erat kaitannya
dengan pengelolaan air gambut. Bahan penyusun gambut terdiri dari empat
komponen yaitu bahan organik, bahan mineral, air dan udara. Perubahan
kandungan air karena reklamasi gambut akan ikut merubah sifatsifat fisik lainnya
(Andriesse, 1988). Mengingat sifat-sifat fisik tanah gambut saling berhubungan
maka pembahasan sifat fisik dari tanah gambut tidak dapat dilakukan secara
terpisah. Uraian tentang sifat-sifat fisik gambut ini akan dihubungankan dengan
sifat-sifat kimia tanah gambut. Pemahaman akan sifat-sifat fisik akan sangat
bermanfaat dalam menentukan strategi pemanfaatan gambut.
Menurut Hardjowigeno dan Abdullah (1989) sifat-sifat fisik tanah gambut
yang penting adalah: tingkat dekomposisi gambut; kerapatan lindak, irreversible,
dan subsidensi. Noor (2010) menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan
bawah, dan kadar lengas gambut merupakan sifat fisik yang perlu mendapat
perhatian dalam pemanfaatan gambut. Berdasarkan tingkat pelapukan
(dekomposisi) tanah gambut dibedakan menjadi:
1. Gambut kasar (fibrik) yaitu gambut yang memiliki > 2/3 bahan organik kasar.
2. Gambut sedang (hemik) yaitu memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan
3. Gambut halus (saprik) yaitu jika bahan organik kasar kurang dari 1/3.
Tanah gambut mempunyai kerapatan lindak atau berat volume (bulk density-
BD) yang sangat rendah yaitu < 0,1 gr/cm3 untuk gambut fibrik, 0.1 – 0.18 gr/cm3
untuk gambut hemik, dan > 0,2 gr/cm3 untuk gambut saprik. Dibanding dengan
tanah mineral yang memiliki kerapatan lindak 1,2 gr/cm3 maka kerapatan lindak
gambut adalah sangat rendah. Rendahnya kerapatan lindak menyebabkan daya
dukung gambut (bearing capasity) menjadi sangat rendah, keadaan ini
menyebabkan rebahnya tanaman tahunan seperti kelapa dan kelapa sawit pada
tanah gambut. Kemampuan menyerap air gambut fibrik lebih besar dari gambut
50
saprik dan hemik, namun kemampuan fibris memegang air lebih lemah dari
gambut hemik dan saprik (Noor, 2010). Tingginya kemampuan gambut menyerap
air menyebabkan tingginya volume pori-pori gambut, mengakibatkan rendahnya
kerapatan lindak dan daya dukung gambut.
Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akan menjadi kering dan
kekeringan gambut ini disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah
mengering tidak akan dapat menyerap air kembali. Perubahan menjadi kering tidak
balik ini disebabkan gambut yang suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak suka
air (hidrofobik) karena kekeringan, akibatnya kemampuan menyerap air gambut
menurun. Berkurangnya kemampuan menyerap air menyebabkan volume gambut
menjadi menyusut dan permukaan gambut menurun (kempes). Perbaikan drainase
akan menyebabkan air keluar dari gambut kemudian oksigen masuk kedalam
bahan organic dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme, akibatnya terjadi
dekomposisi bahan organik dan gambut akan mengalami penyusutan (subsidence)
sehingga permukaan gambut mengalami penurunan.
Akumulasi gambut akan menyebabkan ketebalan gambut yang bervariasi
pada suatu kawasan. Umumnya gambut akan membentuk kubah (dome), semakin
dekat dengan sungai ketebalan gambut menipis, kearah kubah gambut akan
menebal, di Kalimantan Barat kubah gambut di Sungai Selamat dapat mencapai 8
m, demikian pula pada daerah Rasau Jaya.
Gambut juga memiliki warna yang bervariasi. Meskipun bahan asal gambut
berwarna kelabu, coklat atau kemerahan tetapi setelah dekomposisi muncul
senyawa-senyawa yang berwarna gelap sehingga gambut umumnya berwarna
coklat sampai kehitaman (Rumbang et al., 2009). Warna gambut menjadi salah
satu indikator kematangan gambut, dimana semakin matang warna gambut
semakin gelap. Gambut fibrik berwarna coklat, hemik berwarna coklat tua, dan
saprik berwarna hitam. Dalam keadaan basah, warna gambut biasanya semakin
gelap.
b. Sifat Kimia Sifat kimia gambut lebih merujuk pada kondisi kesuburannya yang bervariasi,
tetapi secara umum ia memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hal ini ditandai
dengan sifat tanah yang masam (pH rendah), ketersediaan sejumlah unsure hara
makro (K, Ca, Mg, P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan Bo) yang rendah. Gambut juga
mengandung senyawa asam-asam organik yang beracun. Dengan demikian,
51
pengelolaan lahan gambut untuk pertanian membutuhkan perhatian ekstra dan
biaya yang tidak sedikit.
2.5.4 Transformasi Karbon Gambut Transformasi karbon dari lahan gambut ditandai dengan terbentuknya
asam-asam organik, CH4 (methan) dan CO2
Reaksi sederhana pelepasan CH
(karbon dioksida) sebagai hasil akhir.
4 dan CO2 berasal dari gugus metoksil asam
fenolat membentuk OH-fenolat dan melepaskan formaldehida (HCHO). HCHO
yang dalam keadaan tereduksi akan menghasilkan CH4, dan apabila teroksidasi
akan menghasilkan CO2. Pada kondisi lingkungan jenuh air (tergenang) dan
kandungan O2 yang rendah, dekomposisi lahan gambut akan melepaskan CO2
dan CH4
Perubahan penggunaan lahan (konversi) gambut akan mempengaruhi
ketinggian muka air tanah gambut dan perubahan suhu yang drastis. Pada saat
terjadi penurunan muka air tanah gambut, pada kondisi lahan terbuka tanpa
vegetasi, akan mempercepat penetrasi sinar matahari dan menyebabkan suhu
tanah gambut meningkat dan akan mencapai maksimum pada suhu 30º-40º C
(Alexander, 1977). Kondisi ini menyebabkan meningkatnya rata-rata fluktuasi
suhu harian. Suhu harian maksimum dan radiasi matahari sangat berkorelasi
dengan meningkatnya emisi CH
.
4 dan CO2
2.5.5 Fungsi Ekologis Gambut
, dimana emisi tertinggi terjadi pada
siang hari sekitar pukul 12.00 waktu setempat.
Lahan gambut mengemban fungsi lingkungan yang sangat besar, yaitu
fungsi hidrologi, cadangan karbon, dan cadangan plasma nutfah.
a. Fungsi Hidrologi Salah satu sifat yang menjadikan gambut berperan penting dalam system
hydrology adalah kemampuannya yang bersifat seperti spons. Tanah gambut
merupakan tanah organik yang menyerap air dalam jumlah yang sangat besar
sehingga air hujan yang jatuh dapat diserap dan dapat mengurangi bahya banjir.
Sabaliknya pada musim kemarau lahan gambut dapat melepas kembali air
tawarnya sebagai aliran sungai/permukaan yang dapat dipergunakan oleh
pemukiman disekitarnya (Andriesse,1988). Jika tidak mengalami gangguan, lahan
gambut dapat menyimpan air sebanyak 0.8 – 0.9 m3/m3 (WI-IP,2003). Gambut
disebut memiliki porositas yang tinggi karena daya serapnya yang sangat besar,
52
sehingga dalam kondisi jenuh gambut saprik dapat menyerap air sebesar 450%,
sementara hemik 450-850% dan fibrik lebih dari 850% dari bobot keringnya.
Fungsi gambut sebagai pengatur hidrologi dapat terganggu apabila
mengalami kondisi drainase yang berlebihan karena gambut memiliki sifat
irreversible drying, porositas tinggi, dan daya hantar vertikal yang rendah, serta
daya horizontal yang tinggi. Gambut yang telah mengalami kering tak balik akan
memiliki bobot isi yang sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa air hujan.
Strukturnya lepas-lepas seperti lembaran serasah, mudah terbakar, sulit menyerap
air kembali dan sulit ditanami kembali.
Fungsi hidrologi gambut tidak hanya di bidang pertanian dan pencegah banjir
saja, tetapi juga berkaitan dengan fungsi sosial ekonomi seperti transportasi,
kesehatan, dan ketersediaan ikan. Lahan gambut yang berada di daerah pesisir
juga berfungsi untuk mencegah intrusi air laut
b. Pengatur Iklim Global
Perubahan iklim merupakan fenomena global yang ditandai dengan
berubahnya suhu dan distribusi curah hujan secara periodik. Menurut laporan
IPPC (2001) bahwa selama abad 20, terjadi peningkatan rata-rata suhu
permukaan bumi sebesar 0,6º ± 0,2º C. Kontribusi emisi CO2 terhadap efek rumah
kaca sebesar 48%, yang diikuti oleh sumber emisi lain seperti Freon (26%), ozon
(10%), metan (8%) dinitrogen oksida (6%), dan gas lain (2%). Dalam laporan IPCC
(2001) juga dijelaskan bahwa kontribusi karbon dioksida (CO2) terhadap pemanasan global sebesar 60%, metan (20%) dan nitro oksida (6%). Sejak tahun
1980, konsentrasi CO2
Salah satu fungsi ekologi lahan gambut adalah sebagai rosot karbon (gudang
karbon). Total karbon pada lahan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 44,5 Gt,
dimana konversi atau alih fungsi lahan gambut akan menjadi sumber emisi CO
di atmosfir meningkat sekitar 0,4 % per tahun, sekarang
konsentrasinya diperkirakan sebesar 367 ppmb.
2
Lahan gambut tropika merupakan cadangan karbon terrestrial yang
terpenting untuk diperhitungkan. Menurut WI-IP (2006) jika diasumsikan bahwa
kedalaman rata-rata gambut di seluruh Indonesia adalah 5 meter, bobot isi 114
kg/m3 dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbon terhitung besarnya 16 giga
ton (1 giga ton = 1.000.000.000 ton).
(Rieley et al., 2001).
c. Biodiversity
53
Selain penyimpan cadangan karbon, hutan gambut juga mempunyai fungsi
lain yang penting yaitu sebagai habitat bagi satwa-satwa liar. Musim berbunga dan
berbuah di hutan gambut berbeda dengan tipe hutan dataran rendah lainnya,
dimana hutan gambut menjadi tempat mengungsi dan mencari makan berbagai
jenis hewan pada saat hutan dataran rendah yang lain mengalami musim paceklik.
Sementara di Sumatera lebih dari 300 jenis tumbuhan ditemukan di hutan gambut.
(WI-IP, 2007).
Beberapa jenis tumbuhan spesifik lahan gambut antar lain: Jelutung, Ramin,
Meranti, Terentang, Bungur dan lain-lain (WI-IP, 2007). Sedangkan satwa langka
pada habitat ini antara lain: Orang Utan, Harimau Sumatera, Beruang Madu, dan
Tapir. Rawa gambut juga memiliki ketersediaan ikan yang tinggi. Airnya yang
asam dan miskin oksigen tidak menjadi hambatan bagi jenis ikan rawa yang
umumnya disebut black fish. Salah satu jenis ikan yang hidup di rawa gambut
adalah ikan arwana / siluk (scleropagus formosus) yang merupakan jenis ikan hias
yang langka dan dilindungi.
2.6 Pendekatan Sistem dan Pemodelan Terminologi sistem sering digunakan dalam berbagai bidang dengan
interpretasi beragam, akan tetapi berkonotasi tentang sesuatu yang utuh dan
keutuhan (wholeness) (Eriyatno, 2003). Banyak definisi sistem yang telah
dikemukakan oleh para penulis. Forester (1971) mendefinisikan sistem sebagai
sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai
tujuan tertentu. Manetsh dan Park (1977) mendefinisikan sistem sebagai suatu
gugus elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu
tujuan atau suatu gugus dari tujuan. Handoko (2005) mendefinisikan sistem
sebagai suatu mekanisme dimana berbagai komponen saling berinteraksi
sedemikian rupa untuk melakukan fungsinya. Sistem adalah suatu mekanisme
yang beroperasi di dunia nyata, sementara model adalah penyederhanaan dari
sebuah sistem (Handoko, 2005).
Dari beragam definisi sistem yang ada, terlihat bahwa sistem memiliki
karakteristik keutuhan dan interaksi antar komponen yang membangun system.
Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki sistem dapat dinyatakan
sebagai berikut (Sushil, 1993) dalam Eriyatno (2003):
1. Dibangun oleh kelompok komponen yang saling berinteraksi
2. Memiliki sifat yang ‘utuh’ dan ‘keutuhan’ (wholeness)
3. Memiliki satu atau segugus tujuan
54
4. Terdapat proses transformasi input menjadi output
5. Terdapat mekanisme pengendalian (feedback) yang berkaitan dengan
perubahan yang terjadi pada lingkungan sistem.
Fenomena dunia nyata seperti kawasan perkotaan, menunjukkan
kompleksitas yang tinggi dan sangat sulit dipahami hanya melalui satu disiplin
keilmuan. Upaya dari masing-masing disiplin untuk memahami fenomena dunia
nyata yang kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak
konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan dan gagal memberikan
penjelasan yang utuh (Eriyatno, 2003). Pendekatan sistem merupakan cara
penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap
sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang
efektif. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu
mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman yang utuh (Forester,
1971) dapat menawarkan suatu pendekatan baru untuk memahami dunia nyata.
Dengan demikian kajian mengenai kebijakan pembangunan permukiman pada
wilayah bergambut dapat dilakukan melalui pendekatan sistem, untuk membangun
model permukiman perkotaan berkelanjutan.
Model merupakan pengganti suatu objek atau sistem yang dapat memiliki
beragam bentuk dan memenuhi banyak tujuan (Forester, 1971). Dalam pengertian
yang relatif sama, Eriyatno (2003) menyatakan bahwa model merupakan suatu
abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak
langsung serta kaitan timbal balik dengan istilah sebab akibat. Model dan
manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang sangat bermanfaat dalam
sistem analisis. Model dapat digunakan sebagai representasi sebuah sistem yang
sedang dikerjakan atau menganalisis sistem yang sudah dilakukan. Dengan
menggunakan model dapat dihasilkan desain atau keputusan operasional dalam
waktu yang singkat dan biaya yang murah.
Hartrisari (2007) menjabarkan pengertian ‘model’ menurut beberapa ahli
sistem sebagai berikut:
Meadows (1982) model adalah usaha memahami beberapa segi dari dunia kita
yang sangat beranekaragam sifatnya, dengan cara memilih sekian banyak
pengamatan dan pengalaman masa lalu untuk memecahkan masalah yang
sedang dihadapi.
Hole (1977) model adalah penggambaran atau lukisan tentang sebagian dari
kenyataan. Model harus dicek dengan kondisi sebenarnya (dunia nyata) untuk
55
meyakinkan bahwa penggambaran dari dunia nyata dalam pemodelan akurat
atau tidak.
Hanen (1997) model adalah pusat pemahaman terhadap dunia karena model
dapat mempresentasikan dan memanipulasi fenomena nyata. Dengan
membangun model kita dapat memahami pengaruh positif terhadap keputusan
dalam kinerja ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok
kajian atau derajat keabstrakannya, namun pada dasarnya dikelompokkan menjadi
tiga (Eriyatno, 2003), yaitu:
1. Model Ikonik (Model Fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik
dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Model Ikonik dapat
berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototype. Dalam hal
model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksikan secara
fisik sehingga perlu dikategorikan model simbolik.
2. Model Analog (Model Diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi
analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji.
Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi
yang khas. Contoh dari model analog adalah kurva permintaan, distribusi,
frekuensi pada statistik, dan diagram alir suatu proses.
3. Model Simbolik (Model Matematik), menyajikan format dalam bentuk angka,
simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu system lebih terpusat pada
penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah
persamaan matematis (equation).
Model merupakan suatu alat yang penting untuk menciptakan pengetahuan
didefinisikan sebagai suatu bentuk peniruan dan penyederhanaan dari suatu
gejala, proses atau benda dalam skala yang lebih kecil skalanya. Dalam
pendekatan sistem pengembangan model (modelling atau pemodelan) merupakan
titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara
keseluruhan. Pemodelan akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi
konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi, analisis sensitifitas,
analisis stabilitas, dan aplikasi model.