ii. tinjauan pustaka 2.1 sorgum -...
TRANSCRIPT
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sorgum
Tanaman sorgum memiliki beberapa bagian yakni batang, malai, helai
daun, dan biji. Batang sorgum berbentuk silindris, beruas-ruas. Salah satu bagian
dari tanaman sorgum yang dapat digunakan untuk bidang pangan adalah biji. Biji
sorgum memiliki sekam berwarna coklat muda, krem atau putih, tergantung pada
varietasnya (Suprapto dan Mudjisihono, 1987). Perbedaan warna pada biji sorgum
juga dipengaruhi oleh ketebalan perikarp, ketersediaan pigmen pada testa dan
warna endosperma (Rooney dan Murty, 1982 dikutip Mardawari et al., 2010).
Bentuk dari biji sorgum terdapat pada Gambar 1.
Gambar 1. Biji Sorgum
(Sumber: Ojas, 2015)
Biji sorgum bagian luar terdiri dari hilum dan perikarp dengan berat 7,3%-
9,3% dari bobot biji, hilum berada pada bagian dasar biji. Biji yang telah masak
ditandai dengan perubahan warna hilium menjadi gelap atau hitam. Bagian tengah
biji sorgum atau mesokarp berbentuk poligonal, dan mengandung sedikit granula
pati. Endokarp terdiri dari sel yang melintang dan berbentuk tabung, serta
mengandung senyawa fenolik (Andarwulan et al., 2013). Menurut Kebakile
7
(2008) dikutip Mardawati et al. (2010), biji sorgum memiliki berat sebesar 25 mg-
35 mg per butir. Menurut Sukarminah (2014), karakteristik fisik biji sorgum
kultivar lokal Bandung memiliki ketebalan perikarp sebesar 0,18±0,08 mm,
densitas kamba sebesar 0,74 g/cm3 dan densitas partikel sebesar 1,26 g/cm
3.
Penampang melintang biji sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Penampang Melintang Biji Sorgum
(Sumber: Waniska dan Rooney, 2002)
Biji sorgum mengandung nutrisi yang lengkap seperti jenis tanaman
serealia lainnya (Suarni, 2004). Nutrisi yang terkandung dalam biji sorgum
meliputi lemak, protein, karbohidrat, serat, mineral dan sebagainya. Komposisi
kimia dari biji sorgum terdapat pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Komposisi Kimia Sorgum Dalam 100g Bahan
Komposisi Jumlah
Kalori (kal) 332
Protein (g) 11
Lemak (g) 3,3
Karbohidrat (g) 73
Serat (%) 2,3
Air (%) 11,2
Ca (mg) 28
P (mg) 287
Fe (mg) 4,4
(Sumber: Beti et al., 1990 dikutip Sirappa, 2003)
Kandungan lemak pada biji sorgum adalah sekitar 3,60%, dimana
konsentrasi tertinggi terdapat pada bagian tengah atau lembaga. Lemak yang
terdapat pada biji sorgum mengandung asam palmitat (11%-13%), asam oleat
(30%-45%) dan asam linoleat (33%-49%) (Adistya, 2006). Kandungan asam
lemak tersebut sangat berguna bagi tubuh, namun dapat memicu timbulnya
penyimpangan berupa off flavour atau ketengikan (Mardawati et al., 2010).
Menurut Hulse et al. (1980) dikutip Mardawati et al. (2010) menyatakan
bahwa umumnya biji sorgum memiliki jumlah protein sebesar 10,40%. Deptan
dikutip Hoeman (2004) dikutip Mardawati et al. (2010), menyatakan bahwa
protein yang terkandung pada sorgum sebesar 11%. Protein yang terdapat pada
biji sorgum berupa prolamin (32,6%-58,8% dari total protein), glutelin (19,0%-
37,4 %), albumin (1,3%-7,7 %) dan globulin (2,0%-9,3%).
Karbohidrat pada sorgum terdiri dari polisakarida pati, pati resisten, dan
polisakarida non pati (Suprapto dan Mudjisihono, 1987). Pati yang terkandung
dalam sorgum sekitar 75%-79% dari berat biji, bagian terbesar terdapat pada
endosperma (FAO, 1995 dikutip Mardawati et al., 2010). Pati resisten tidak dapat
9
dicerna dan sangat bermanfaat bagi mikroflora usus. Menurut Asp dan Bjorck
(1992), kemampuan pati resisten tersebut menyebabkan sorgum dikatakan dapat
digunakan sebagai prebiotik atau substrat pertumbuhan bakteri positif dalam usus.
Serat yang terkandung dalam biji sorgum terdapat pada perikarp dan dinding sel
endosperma (Mardawati et al., 2010). Sorgum memiliki polisakarida nonpati
berupa β-glucan, selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Rooney dan Serna, 2000).
2.2 Minuman Sinbiotik
Minuman sinbiotik terdiri dari komponen probiotik dan prebiotik (Winarti,
2010). Minuman sinbiotik merupakan minuman fungsional yang memberikan
efek menguntungkan bagi tubuh dengan menyeimbangkan zat-zat dalam
pencernaan (Gibson dan Fuller, 1999). Kegunaan lain dari produk sinbiotik yakni
berperan sebagai antimikroba, antikarsinogenik, antidiare, dan antiosteoporosis
(Senditya et al., 2014). Efek menguntungkan bagi tubuh harus diperoleh dari
fungsi yang sinergis antara probiotik dan prebiotik (Palaria et al., 2012).
Tubuh manusia telah memiliki bakteri probiotik sejak lahir, namun
ketersediaanya terbatas (Gibson dan Roberfroid, 1995 dikutip Kailasapathy, et
al., 2011). Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor usia dan kesehatan (Shah, 2017).
Bayi yang baru lahir memiliki bakteri yang sesuai dengan kandungan bakteri
dalam usus ibunya. Menurut Hattingh dan Viljoen (2001), komposisi bakteri pada
usus bayi juga ditentukan oleh konsumsi pangan ibunya, dimana menghasilkan
bakteri Coliforms, Enterococci, Lactobacillus dan Bifdobacterium yang lebih
dominan. Orang dewasa sehat memiliki jumlah mikroflora usus sebesar 1014
sel
10
bakteri (Nyangale et al., 2014). Berbeda halnya dengan orang tua yang mengalami
penurunan mikroflora Bifidobacterium, dan peningkatan Enterobacteriaceae
(Duncan dan Flint, 2013). Untuk menyeimbangkan dan meningkatkan jumlah
bakteri probiotik yang menguntungkan bagi tubuh dapat dilakukan dengan
konsumsi minuman sinbiotik.
Konsumsi produk sinbiotik selama 4 minggu pada orang dewasa dan
orang tua terbukti memberikan efek kesehatan (Granata et al., 2013). Shah (2017)
menyebutkan bahwa konsumsi produk sinbiotik setelah 28 hari menunjukkan
peningkatan jumlah probiotik, sedangkan Enterococci mengalami penurunan. Hal
tersebut membuktikan bahwa minuman sinbiotik dapat berkontribusi
memperbaiki fungsi metabolisme dan saluran pencernaan.
Manfaat utama dari konsumsi produk sinbiotik adalah menjaga kesehatan
saluran cerna sehingga menurunkan resiko penyakit kanker kolon (Gibson dan
Roberfroid, 1995). Mekanisme yang terjadi ketika mengonsumsi produk sinbiotik
adalah terjadi perubahan kondisi pH dan kadar oksigen pada saluran usus, dengan
demikian bakteri probiotik akan mengurangi bakteri patogen. Kombinasi
probiotik dan prebiotik dapat meningkatkan jumlah bakteri baik yang dapat
bertahan pada saluran pencernaan dengan melakukan fermentasi (Collins and
Gibson, 1999).
Pembuatan minuman sinbiotik perlu memerhatikan jumlah bakteri
probiotik, pH, dan sifat organoleptik. Menurut Aryana dan McGrew (2007)
dikutip Desnilasari dan Lestari (2014), pH minuman sinbiotik sama halnya
dengan yoghurt yakni 4,32-4,60. Minuman sinbiotik bertekstur cair dan memiliki
11
rasa yang khas (Shah, 2017). Cita rasa minuman sinbiotik sangat tergantung pada
kemampuan bakteri, bahan baku yang digunakan, dan penambahan buah-buahan
juga dapat meningkatkan daya terima konsumen (Kuntarso, 2007). Konsentrasi
starter bakteri probiotik juga memiliki pengaruh terhadap produk yang dihasilkan
(Suharyono dan Kurniadi, 2010). Hal ini disebabkan karena probiotik dari produk
sinbiotik yang bertahan hidup dapat memengaruhi pertumbuhan bakteri dalam
usus dan memberikan efek kesehatan bagi inang (Pranckute et al., 2014).
2.2.1 Probiotik
Probiotik merupakan mikroorganisme yang dapat menstimulasi
pertumbuhan bakteri baik dalam saluran pencernaan (Lilly dan Stillwell, 1965
dikutip Kailasapathy et al., 2011). Bakteri probiotik mampu memecah rantai
panjang karbohidrat, protein, dan lemak. Hal ini disebabkan oleh enzim yang
terkandung di dalam bakteri probiotik (Feliatra et al., 2004 dikutip Respati, 2017).
Penggunaan bakteri probiotik harus disesuaikan. Isolat bakteri probiotik yang
akan digunakan harus murni, memiliki manfaat bagi host, tidak toksik, antagonis
terhadap mikroorganisme patogen, dapat bertahan dalam saluran cerna, dan tetap
hidup selama penyimpanan (FAO, 2006).
Kriteria yang harus dipenuhi untuk mengisolasi bakteri probiotik dalam
produk sinbiotik adalah harus tahan terhadap pengolahan, tahan terhadap garam
empedu, mampu melewati asam lambung, dan mampu bertahan hidup di dalam
saluran pencernaan (Yang, 2000 dikutip Retnowati dan Kusnadi, 2014). Kriteria
lain yang harus dipenuhi dalam penggunaan bakteri probiotik adalah harus
terbukti memberikan dampak kesehatan (Bai et al., 2012). Ried (1999) juga
12
menyatakan bahwa bakteri probiotik harus memenuhi kriteria, diantaranya (1)
stabil terhadap asam lambung dan tetap hidup sampai saluran usus, (2) stabil
terhadap garam empedu, (3) memproduksi senyawa antimikroba seperti asam,
hidrogen peroksida, dan bakteriosin, (4) mampu mengkolonisasi sel usus manusia,
(5) tumbuh baik dan berkembang dalam saluran cerna, (6) membentuk lingkungan
mikroflora yang normal dan seimbang, dan (7) aman digunakan oleh manusia.
Penggunaan bakteri probiotik harus dapat menjaga keseimbangan
komposisi bakteri saluran pencernaan. Ketika komposisi tersebut telah tercapai
maka kemungkinan terkena penyakit degeneratif akan menurun. Dampak positif
lainnya yakni kekebalan tubuh akan meningkat. Untuk memberikan efek
kesehatan ketika dikonsumsi, jumlah bakteri probiotik minimal yang harus
dipenuhi adalah sebesar 7 log CFU/mL (FAO, 2002).
Bakteri probiotik umumnya berasal dari gram positif kelompok bakteri
asam laktat (BAL). Bakteri probiotik yang sering jumpai merupakan genus
Lactobacillus dan Bifidobacterium (Lee dan Salminen, 2009). Kedua bakteri
tersebut berasal dari mikroflora usus (Soeharsono, 2010 dikutip Ramadhani,
2015). Bakteri bifidobacterium bersifat tahan terhadap asam lambung. Bakteri ini
memiliki manfaat yang baik bagi tubuh yakni menurunkan kadar amoniak darah,
menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah, dan memulihkan mikroflora
usus yang normal setelah terapi antibiotik (Holt et al., 1994 dikutip Retnowati dan
Kusnadi, 2014).
Bifidobacterium bifidum merupakan golongan bakteri asam laktat. Bakteri
ini merupakan salah satu bakteri probiotik yang sering digunakan dalam
13
pembuatan minuman sinbiotik. Bakteri ini digunakan karena dapat menghasilkan
antibiotik bifidin. B. bifidum juga bersifat antagonis terhadap bakteri patogen
seperi Salmonella, Escherichia, Proteus, Shigella, dan Candida (Gagnon et al.,
2004 dikutip Daffana, 2017). Mekanisme kerja bakteri probiotik dalam saluran
usus adalah dengan meningkatkan aktivitas mikrofag, meningkatkan kandungan
antibody, memfasilitasi transport antigen, dan membantu memperbaiki mukosa
(Sarale, 2000 dikutip Surono, 2004).
B. bifidum berbentuk batang, melengkung, berbentuk huruf Y atau huruf
V, tumbuh optimum pada suhu 37-41°C. Bakteri ini bersifat heterofermentatif,
dapat memfermentasi laktosa menjadi asam laktat dan asam asetat tanpa adanya
CO2 (Kailasapathy et al., 2011). B. bifidum tersusun satu persatu, terkadang
bentuk bulat besar (gembung), tidak mortail, tidak berspora, anaerob, dan bersifat
homofermentatif (Retnowati dan Kusnadi, 2014). Bentuk koloni B. bifidum
ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Koloni B. bifidum
(Sumber: Scimat, 2016)
14
2.2.2 Prebiotik
Prebiotik merupakan komponen makanan yang tidak dapat dicerna dan
dapat memberikan efek pertumbuhan bagi bakteri yang menguntungkan sehingga
memberikan dampak kesehatan bagi host (Gibson dan Roberfroid, 1995 dikutip
Noomhorm, Ahmad dan Anal, 2014). Prebiotik akan difermentasi oleh bakteri
probiotik menghasilkan asam lemak rantai pendek yakni asam asetat, propionat,
dan butirat. Menurut (Senditya et al., 2014), hasil dari fermentasi tersebut
memberikan efek kesehatan bagi tubuh, asam asetat dan propionat menyediakan
energi dan asam butirat akan memercepat regenerasi sel usus.
Komponen yang digunakan sebagai prebiotik bersifat tidak dapat
dihidrolisis, tidak diserap, menguntungkan usus, dapat memicu pertumbuhan
bakteri baik, dan dapat memberikan komposisi yang baik bagi kesehatan
(Senditya et al., 2014). Kriteria lain yang harus dipenuhi sebagai prebiotik adalah
tidak bersifat karsinogen, memiliki kalori rendah, dan aktif pada dosis kecil
(Kailasapathy et al., 2011).
Menurut Suarni (2012), sorgum mengandung oligosakarida, serat pangan,
pati resisten, dan polisakarida non pati. Komponen utama dari prebiotik yang
harus diperhatikan adalah serat. Serat bersifat resisten terhadap enzim pencernaan
dan akan mengalami fermentasi dalam usus. Biji sorgum dengan kandungan serat
kasar yang cukup tinggi terdapat pada kultivar lokal Bandung (Mardawati et al.,
2010). Kadar serat kasar dalam sorgum kultivar lokal Bandung adalah 5,79%
(Sukarminah, 2014). Hal ini dipengaruhi oleh perikarpnya yang tebal (Mardawati
et al., 2010).
15
Guna mempermudah proses pembuatan minuman sinbiotik, sorgum diolah
menjadi tepung dan di ekstrak terlebih dahulu. Kegunaan lain dari pembuatan
tepung sorgum diantaranya adalah lebih tahan lama, praktis, dan mudah
diaplikasikan pada berbagai produk pangan (Mardawati et al., 2010). Menurut
Suarni (2004), tepung sorgum merupakan hasil pengecilan ukuran dari biji
sorgum.
Menurut Sukarminah (2014), tepung sorgum dapat diperoleh dengan
menyosoh biji sorgum yang bertujuan untuk mengikis bagian kulit yang terdiri
dari selulosa yang menyebabkan rasa sepat ketika dikonsumsi. Hal yang sama
juga dikemukakan oleh Widowati et al. (2009), preprasi dalam pembuatan tepung
sorgum harus melalui proses penyosohan dan perendaman menggunakan larutan
Na2Co3 untuk menurunkan senyawa tanin. Pembuatan tepung dapat dilakukan
menggunakan grinder dan pengayakan. Karakteristik yang dihasilkan dari tepung
sorgum adalah berwarna putih sedikit kuning kemerahan dengan adanya bintik
hitam dan bertekstur halus akibat proses pengayakan dengan ukuran 100 mesh
(Mardawati et al., 2010).
Tepung sorgum memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda dengan
biji sorgum sebelumnya. Komposisi kimia dari tepung sorgum terdapat pada
Tabel 2. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa komponen protein yang
terkandung dalam tepung sorgum adalah sebesar 10%-12%, dimana biji sorgum
mengandung protein sebesar 11% (Sirappa, 2003). Komponen karbohidrat tepung
sorgum juga memiliki jumlah yang sama dengan biji sorgum yakni 73% (Sirappa,
16
2003). Kandungan tanin pada tepung sorgum juga terbilang kecil yakni 2-4%
akibat proses penyosohan.
Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Sorgum
Komponen Jumlah (%)
Air 9-11
Protein 10-12
Lemak 2-2,5
Karbohidrat 73-78
Abu 1-1,5
Tanin 2-4
(Sumber: Suarni, 2004)
2.2.3 Pembuatan Minuman Sinbiotik
Menurut penelitian Krasaekoopt (2010) dikutip Zakaria (2016) dikutip
Daffana (2017) tahapan pembuatan minuman sinbiotik adalah pembuatan tepung
sebagai sumber prebiotik, pencampuran, pemanasan, penambahan kultur, dan
penyimpanan. pembuatan minuman sinbiotik memerlukan sumber prebiotik,
sumber probiotik, gula cair, dan penstabil jika diperlukan.
Sumber prebiotik pada minuman sinbiotik ini berasal dari tepung sorgum
berupa oligosakarida, serat pangan, dan polisakarida non pati. Sumber probiotik
yang digunakan dalam pembuatan minuman sinbiotik ini adalah B. bifidum. Gula
cair yang diperoleh dengan melarutkan satu bagian gula dengan air. Penambahan
gula juga berfungsi sebagai pemberi rasa manis pada minuman sinbiotik
(Septiany, 2017).
2.3 Pendugaan Umur Simpan dan Accelerated Shelf Life Testing (ASLT)
Umur simpan merupakan waktu yang dibutuhkan oleh suatu produk
pangan selama penyimpanan untuk mencapai suatu level (Floros dan
17
Gnanasekharan, 1993). Pendungaan umur simpan berguna untuk mengetahui
perubahan selama penyimpanan. Umur simpan dalam produk pangan dikenal
sebagai tanggal kadaluarsa (Kusnandar, 2010).
Peraturan mengenai umur simpan secara internasional telah ditetapkan
oleh Codex Alimentarius Commission tahun 2007 mengenai Food Labeling
Regulation. Hal yang sama telah ditetapkan di Indonesia bahwa pencantuman
umur simpan terdapat pada Undang-undang nomor 7 tahun 1996 mengenai
Pangan dan Peraturan Pemerintah nomor 69 tahun 1999 mengenai Label dan Iklan
Pangan bahwa setiap industri pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa
(expired date) (Harris dan Fadli, 2014).
Perlunya informasi mengenai tanggal kadaluarsa produk berkaitan dengan
keamanan pangan. Kondisi ketika produk mencapai atau melewati tanggal
tersebut produk telah mengalami perubahan yang menyebabkan penurunan dan
penyimpangan mutu (Syarief dan Halid, 1993). Perubahan atau penyimpangan
mutu produk disebut sebagai deteriorasi. Penyimpangan tersebut disebabkan oleh
lamanya penyimpanan dan kondisi lingkungan seperti suhu penyimpanan (Arpah,
2001). Hal ini sangat disayangkan karena seharusnya konsumen dapat menerima
produk pangan yang baik.
Metode ASLT dilakukan dengan waktu yang singkat karena suhu
penyimpanan yang digunakan terbilang ekstrim. Metode ASLT menggunakan
kondisi yang melebihi normal sehingga reaksi kerusakan akan lebih cepat terjadi
(Labuza dan Riboh, 1982). Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Swadana dan
Yuwono (2014), metode ASLT akan mempercepat kerusakan fisik-kimia produk
18
kemudian dapat ditentukan umur simpan yang sebenarnya menggunakan
perhitungan matematis.
Metode ASLT memiliki dua model yakni kadar air kritis (Labuza) dan
Arrhenius. Labuza atau pendekatan kadar air diturunkan dari hukum difusi Fick.
Model Labuza digunakan untuk kriteria kerusakan produk berupa kadar air dan
aktivitas air, umumnya diperuntukan pada produk pangan kering (Syarief et al.,
1989). Model Arrhenius menggunakan teori kinetika ordo nol atau ordo satu
untuk produk pangan.
2.3.1 Model Labuza
Model Labuza (1982) dapat dilakukan melalui pendekatan kurva sorpsi
isotermis. Produk pangan yang diuji mempunyai kurva sorpsi isotermis berbentuk
sigmoid, seperti pada produk kering. Pendugaan umur simpan model Labuza
dilakukan dengan cara menyimpan bahan pangan kering pada lingkungan yang
memiliki kelembaban tinggi, dengan demikian bahan pangan akan mengalami
penurunan mutu akibat penyerapan air dari lingkungan. Menurut Palupi et al.
(2010), kerusakan bahan pangan yang diuji dengan model Labuza dapat dilihat
dari perubahan tekstur seperti kerenyahan, kelengketan, ataupun penggumpalan.
Persamaan Labuza dapat diperoleh dengan mengintegrasikan unsur
permeabilitas kemasan, berat kering produk, luas bahan pengemas, perbedaan
tekanan uap air atau aw, dan kurva sorpsi isotermis dengan baik (Rahayu et al.,
2003). Rumus yang digunakan untuk menghitung umur simpan model Labuza
adalah sebagai berikut:
19
(
)
( ) (
) (
)
Keterangan:
t = waktu untuk mencapai kadar air kritis atau umur simpan (hari)
Me = kadar air kesetimbangan produk (gH2O/g solid)
Mi = kadar air awal produk (gH2O/g solid)
Mc = kadar air kritis produk (gH2O /g solid)
k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
A = luas permukaan kemasan (m2)
Ws = bobot padatan per kemasan (g)
Po = tekanan uap air pada ruang penyimpanan (mmHg)
b = kemiringan kurva sorpsi isotermis
2.3.2 Model Arrhenius
Model Arrhenius dapat digunakan untuk produk pangan yang mudah
mengalami kerusakan berupa reaksi fisik, kimia, dan mikrobiologis selama
penyimpanan. Keuntungan dalam penggunaan model Arrhenius adalah bersifat
cepat dan akurat (Herawati, 2008). Pendugaan umur simpan dengan model
Arrhenius sangat berhubungan dengan suhu penyimpanan. Hal ini disebabkan
karena suhu memengaruhi mutu makanan akibat laju reaksi yang terjadi.
Pendugaan umur simpan dengan model Arrhenius membutuhkan minimal 3 suhu
penyimpnanan. Suhu tersebut akan memicu perubahan mikrobiologis dan
timbulnya reaksi kimia (Kusnandar, 2010).
20
Reaksi yang berjalan pada model Arrhenius akan ditunjukkan dalam ordo
nol ataupun ordo satu. Penggunaan ordo pada model Arrhenius ini tergantung
pada penurunan mutu yang terjadi pada produk pangan. Ordo nol akan dihasilkan
jika titik kritis penurunan mutu berupa pencoklatan enzimatis pada sayur dan buah
segar atau kerusakan keseluruhan (over all quality) pada makanan beku. Rumus
yang digunakan pada ordo nol adalah sebagai berikut.
C=C0 - kt
Ordo satu akan dihasilkan jika titik kritis penurunan mutu berupa
kerusakan vitamin pada makanan kaleng, inaktivasi/pertumbuhan mikroba,
pembentukan lendir pada daging, ikan, dan ayam segar, dan kerusakan warna
oksidatif, serta kerusakan tekstur karena panas (Labuza, 1982 dikutip Arpah,
2001). Rumus yang digunakan untuk ordo satu adalah sebagai berikut:
ln C= ln C0 - kt
Faktor utama yang harus diperhatikan dalam penggunaan model Arrhenius
adalah suhu. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka laju reaksi yang
berlangsung akan semakin cepat. Suhu dalam reaksi memiliki pengaruh yang
ditunjukkan dengan rumus sebagai berikut:
k = k0.e-Ea/RT
Konstanta laju reaksi (k) yang diperoleh dari berbagai suhu akan
diektrapolasi pada laju reaksi (k) suhu penyimpanan yang diinginkan.
Berdasarkan perhitungan dengan model Arrhenius akan diperoleh nilai k
(konstanta penurunan mutu) kemudian dapat diketahui umur simpan sesuai ordo
reaksinya (Syarief dan Halid, 1993). Nilai dari energi aktivasi (Ea) menunjukkan
21
energi yang diperlukan untuk mendegradasi suatu produk. Nilai Ea yang rendah
mengindikasikan produk mengalami reaksi kerusakan yang cepat, begitupula
sebaliknya (Donohue dan Spiro, 1998 dikutip Wijana dan Mulyadi, 2016).