ii. tinjauan pustaka 2.1 tepung...
TRANSCRIPT
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tepung Komposit
Berbagai upaya telah dilakukan oleh negara-negara berkembang untuk
mengangkat penggunaan tepung komposit, di mana penggunaan tepung terigu
digantikan oleh tepung-tepung lokal dalam pembuatan produk-produk pangan
sehingga mengurangi biaya yang berkaitan dengan impor gandum (Olaoye et al,
2006). Usaha untuk mengurangi konsumsi tepung terigu terus digalakkan
disamping mencari alternatif pengganti dari bahan baku lain, juga dengan
mengusahakan tepung lain sebagai tepung campuran (tepung komposit), yaitu
suatu bentuk campuran antara tepung dengan beberapa jenis tepung dari bahan lain.
Tepung komposit terbuat dari bahan sumber karbohidrat (serelia dan umbi-umbian)
(Hidayat, 2000).
Tepung komposit adalah tepung yang berasal dari beberapa jenis bahan
baku yaitu umbi – umbian, kacang – kacangan, atau sereal dengan atau tanpa tepung
terigu atau gandum dan digunakan sebagai bahan baku olahan pangan seperti
produk bakery dan ekstruksi (Widowati, 2009 dikutip Sumanti, 2016). Tujuan
pembuatan tepung komposit antara lain untuk mendapatkan karakteristik bahan
sesuai untuk produk olahan yang diinginkan atau mendapat sifat fungsional tertentu
(Tajudin, 2014). Tepung komposit dapat digunakan dalam pembuatan produk-
produk pangan sebagai alternatif bagi konsumen yang ketergantungan terhadap
bahan pangan berbasis tepung terigu. Pada pembuatan biskuit sinbiotik, tepung
komposit yang digunakan diantaranya terbuat dari campuran tepung bonggol
pisang batu, tepung ubi jalar dan tepung kedelai hitam.
7
2.1.1 Tepung Bonggol Pisang
Pisang (Musa Paradisiaca) merupakan salah satu jenis buah tropis yang
mempunyai potensi cukup tinggi untuk dikelola. Pisang telah menjadi komoditas
ekspor dan impor di pasar internasional. Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara
yang kemudian menyebar luas ke benua Afrika dan Amerika. Habitatnya adalah
daerah tropis yang beriklim basah, dan dapat tumbuh subur di dataran rendah
maupun tinggi.
Pisang merupakan salah satu buah yang banyak dikembangkan di seluruh
wilayah Indonesia. Pisang umumnya dapat tumbuh di dataran rendah sampai
pegunungan dengan ketinggian 2000 m dpl. Pisang dapat tumbuh pada iklim tropis
basah, lembab dan panas dengan curah hujan optimal 1.520–3.800 mm/tahun dan
2 bulan kering (Rismunandar, 2001).
Tanaman pisang terdiri dari akar, bonggol, batang, daun, bunga dan buah.
Akarnya berupa akar serabut yang berpangkal pada umbi batang (bonggol). Akar
terbanyak terdapat di bagian bawah tanah yang tumbuh sampai kedalaman 75
sampai 150 cm di dalam tanah. Akar yang berada di bagian samping umbi batang
(bonggol) tumbuh ke samping atau mendatar.
Belum banyak masyarakat yang memanfaatkan bagian dari tanaman pisang
yakni bonggol pisang padahal bonggol pisang mengandung karbohidrat yang cukup
tinggi. Adapun bentuk bonggol pisang batu dapat dilihat pada Gambar 1.
8
Gambar 1 Bonggol Pisang Batu
(Hermawan, 2017)
Bonggol pisang merupakan bagian tubuh dari tanaman pisang yang berupa
umbi batang, pada bagian umbi yang akan menumbuhkan tanaman pisang yang
baru. Menurut Sumanti dkk (2009), bonggol pisang basah memiliki kandungan
karbohidrat yang cukup tinggi yaitu 11,60% sehingga sangat potensial untuk diolah
menjadi tepung.
Komposisi kimia bonggol pisang segar dan kering dalam 100 gram bahan
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Bonggol Pisang per 100 gram
No. Komposisi Basah Kering
1. Kalori (kkal) 43 245
2. Protein (g) 0,36 3,5
3. Lemak (g) - -
4. Karbohidrat (g) 11,6 66,2
5. Kalsium (mg) 15 60
6. Fosfor (mg) 60 150
7. Zat besi (mg) 0,5 2
8. Vitamin A (mg) - -
9. Vitamin B (mg) 0,01 0,04
10. Vitamin C (mg) 12 4
11. Air (%) 86 20 Sumber: Direktorat Gizi Departemen Republik Indonesia (1981)
Menurut Ardiyanto (2008), tepung bonggol pisang adalah butiran halus
yang lolos ayakan 80 mesh yang dihasilkan dari proses penggilingan gaplek
9
bonggol pisang. Gaplek kering bonggol pisang batu yang telah direndam dalam
larutan Natrium Metabisulfit 1000 ppm akan menghasilkan karakteristik fisik dan
kimia tepung bonggol pisang batu seperti derajat putih 36,13%, kadar pati 74,99%,
serat pangan total 52,92% dan residu sulfit 132,1 ppm (Prameswari, 2008).
Kandungan tepung bonggol pisang per 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Sifat Fisikokimia Tepung Bonggol Pisang Batu (Setiap 100 gram
Bahan)
Karakteristik Komposisi
Kimia
1. Kadar Air (%)
7,12
2. Kadar Abu (%) 6,10
3. Kadar Serat (%) 52,92
4. Kadar Amilosa (%) 8,83
5. Kadar Amilopektin (%) 66,16
6. Kadar Pati (%) 74,99
Fisik
1. Suhu awal Tergelatinisasi (˚C)
70,5
2. Absorbansi Air (g/g) 0,22
3. Modulus Kehalusan 1,19
4. Derajat Putih (%) 36,13
5. Rendemen (%) 11,39 Sumber: Ardiyanto dan Prameswari (2008)
Secara umum tahapan pembuatan tepung bonggol pisang batu adalah tahap
sortasi dan pengupasan bonggol pisang batu segar, pemotongan dengan ukuran
besar, pencucian, pengecilan ukuran, perendaman dalam larutan Na- Metabisulfit
1000 ppm, pengeringan, penggilingan dengan grinder, dan penepungan (Sumanti
dkk, 2009). Berikut ini adalah proses pembuatan tepung bonggol pisang batu dapat
dilihat pada Gambar 2.
10
Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Tepung Bonggol Pisang Batu
(Sumanti dkk, 2009)
a) Sortasi dan Pengupasan
Sortasi dilakukan untuk mendapatkan kualitas bahan baku yang bagus.
Sortasi tujuannya untuk memisahkan bahan-bahan yang bagus dengan
bahan yang memiliki kerusakan seperti cacat maupun kebusukan. Bonggol
pisang batu yang dipilih adalah yang berukuran sedang dan dalam kondisi
segar, daging bonggol berwarna putih bersih, serat nampak dengan jelas
kemudian dikupas untuk mendapatkan kualitas bahan baku yang baik. Hal
Bonggol Pisang Batu
Sortasi & Pengupasan
Pemotongan
Pencucian
Pengecilan ukuran
Perendaman
t=15 menit
Penirisan
Pengeringan
T=±50oC, t=20 jam
Penggilingan
Pengayakan 100 Mesh
Tepung Bonggol Pisang Batu
Air bersih Air Kotor
Lar. Na-Metabisulfit
1000 ppm
Air sisa perendaman
Kulit bonggol
11
ini disebabkan kadar mikroba, kapang/khamir lebih banyak ditemukan pada
produk yang tidak dikupas dari pada produk yang dikupas (Suismono,
1995).
b) Pemotongan
Pemotongan dengan ukuran besar dilakukan untuk memudahkan proses
pengolahan selanjutnya.
c) Pencucian
Bonggol pisang batu yang telah melalui proses sortasi, pengupasan, dan
pemotongan kemudian dilakukan pencucian, fungsi pencucian adalah untuk
membersihkan kotoran, tanah yang menempel pada bonggol pisang.
d) Pengecilan ukuran
Pengecilan ukuran bertujuan untuk mempercepat pengeringan dan
mempermudah proses penepungan. Pengirisan dapat dilakukan secara
manual maupun alat seperti slicer, pencacah sawut, dll,
e) Perendaman dalam larutan Natrium Metabisulfit 1000 ppm
Perlakuan perendaman dalam larutan Natrium Metabisulfit 1000 ppm
selama 15 menit dilakukan untuk mencegah terjadinya pencoklatan
enzimatis yang akan mempengaruhi warna tepung yang dihasilkan.
f) Pengeringan pada suhu 50oC ± 2oC selama 20 jam
Pengeringan terjadi melalui penguapan air dengan pemberian panas ke
bahan basah. Suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi agar kandungan
bioaktif dalam bahan tetap terjaga.
12
g) Penggilingan
Penggilingan dilakukan untuk memperkecil ukuran bahan menggunakan
alat penepung atau grinder.
h) Pengayakan
Proses pengayakan menggunakan ayakan dengan ukuran 100 mesh.
2.1.2 Tepung Ubi Jalar
Ubi jalar (Ipomea batatas L.) diduga berasal dari benua Amerika, tetapi para
ahli botani dan pertanian memeperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah
Selandia Baru, Polinesia dan Amerika bagian tengah. Ubi jalar mulai menyebar ke
seluruh dunia, terutama ke Negara-negara beriklim tropis pada abad ke-16. Orang-
orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia, terutama Filipina, Jepang
dan Indonesia. Cina merupakan penghasil ubi jalar terbesar mencapai 90% (rata-
rata 114,7 juta ton) dari yang dihasilkan dunia (FAO, 2004).
Ubi jalar tumbuh baik di daerah berikilim panas dan lembab, dengan suhu
optimum 27oC dan lama penyinaran sekitar 11 – 12 jam per hari. Tanaman ini dapat
tumbuh sampai ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut. Ubi jalar juga tidak
membutuhkan tanah yang subur sebagai media pertumbuhannya. Bentuk ubi jalar
biasanya bulat sampai lonjong dengan permukaan rata hingga tidak rata (Rukmana,
1997).
Menurut Rukmana (1997), tanaman ubi jalar dalam sistematika (taksonomi)
tumbuhan diklasifikasian sebagai berikut: Kingdom: Plantae (tumbuh-tumbuhan),
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji), Subdivisi : Angiospermae (berbiji
13
tertutup), Kelas: Dicotyledonae (biji berkeping dua), Ordo : Convolvulales, Famili:
Convolvulacae, Genus: Ipomoea, Spesies: Ipomoea batatas L.
Menurut Irfansyah (2001), ubi jalar merupakan sumber karbohidrat,
vitamin, dan mineral yang cukup tinggi dibandingkan dengan ubi kayu yang
merupakan bahan pembuatan tepung tapioka, ubi jalar memiliki kandungan vitamin
A dan C, serta energi yang lebih tinggi. Ubi jalar mengandung kalori, serat dan
vitamin yang baik. Ubi jalar mempunyai potensi dan peluang yang cukup besar
untuk dimanfaatkan dalam agroindustri sekaligus untuk diversifikasi pangan.
Ubi jalar yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar kuning
varietas ase. Kandungan gizi ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan Ubi Jalar (dalam 100 gram bahan)
Senyawa Jumlah
Energi (Kj) 71,1
Protein (%) 1,43
Lemak (%) 0,17
Pati (%) 22,4
Gula (%) 2,4
Serat Pangan (%) 1,6
Kalsium (mg) 29,0
Fosfor (mg) 51,0
Besi (mg) 0,49
Vitamin A (mg) 0,01
Vitamin B1 (mg) 0,09
Vitamin C (mg) 24,0
Air (g) 83,3 Sumber : Sentra Informasi IPTEK, 2005.
Ubi jalar dibudidayakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, hal ini
menunjukkan bahwa komoditas ini dikenal dan diterima masyarakat sebagai bahan
pangan atau digunakan untuk substitusi pangan pokok. Ubi jalar termasuk palawija
terpenting ke-3 setelah jagung dan singkong. Kandungan gizi yang cukup baik,
14
umur yang relatif pendek (3 - 4 bulan) dengan produksi 10 - 30 ton/hektar
menunjukkan bahwa ubi jalar berpotensi dikembangkan untuk diversifikasi pangan.
Selain itu, ubi jalar termasuk tanaman yang tinggi daya penyesuaian dirinya
terhadap lingkungan yang buruk (Widowati et al., 2002).
Ubi jalar mempunyai kandungan air yang cukup tinggi, sehingga bahan
kering yang terkandung relatif rendah. Sewaktu dipanen, ubi jalar mengandung
bahan kering antara 16-40% dan dari jumlah tersebut sekitar 75-90 % adalah
karbohidrat. Komponen utama karbohidrat dalam ubi jalar adalah pati, serat pangan
(selulosa, hemiselulosa) serta beberapa jenis gula yang bersifat larut seperti
maltosa, sukrosa, fruktosa dan glukosa (Sulistiyo, 2006). Ubi jalar memiliki
keistimewaan sebagai bahan pangan ditinjau dari nilai gizinya. Selain sebagai
sumber karbohidrat, ubi jalar juga berfungsi sebagai sumber vitamin A dan C serta
mineral kalium, besi dan fosfor. Namun kadar protein dan lemaknya relatif rendah,
sehingga konsumsinya perlu didampingi oleh bahan pangan lain yang berprotein
tinggi. Kandungan protein kasar ubi jalar berkisar dari 3 sampai sampai dengan 7%
(berat kering). Protein pada ubi jalar terdistribusi secara merata pada umbinya.
Sedangkan asam amino yang terkandung dalam ubi jalar belum diketahui secara
pasti, tetapi secara umum asam amino aromatik mempunyai jumlah yang cukup
banyak (Widodo dan Ginting, 2004).
2.1.3 Tepung Kedelai Hitam
Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan oleh
manusia sejak 2500 SM. Sejalan dengan semakin berkembangnya perdagangan
antarnegara yang terjadi pada awal abad ke-19, menyebabkan tanaman kedelai juga
15
ikut tersebar ke berbagai negara tujuan perdagangan tersebut, yaitu Jepang, Korea,
Indonesia, India, Australia, dan Amerika. Kedelai mulai dikenal di Indonesia sejak
abad ke-16. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan kedelai yaitu di Pulau
Jawa, kemudian berkembang ke Bali, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau lainnya.
Masuknya kedelai ke Indonesia diduga dibawa oleh para imigran Cina yang
mengenalkan beberapa jenis masakan yang berbahan baku biji kedelai
(Adisarwanto, 2005).
Gambar 3. Kacang Kedelai Hitam (Muchlish dan Krisnawati, 2012)
Jumlah varietas kedelai hitam yang yang dikembangkan di Indonesia sangat
minim. Padahal dari segi syarat tumbuh kedelai hitam (Glycine soja) lebih cocok
ditanam didaerah tropis. Cikuray dan Merapi merupakan dua varietas unggul
kedelai hitam yang memiliki kadar protein cukup tinggi yaitu sebesar 39,64% dan
40,68%, akan tetapi ukuran bijinya tergolong kecil. Sedangkan pada Mallika,
varietas kedelai hitam yang dilepas tahun 2007, memiliki biji kecil (9,50 g/100 biji)
dengan kadar protein lebih rendah (37%) (Ginting E. dkk, 2009). Kedelai hitam
memiliki kandungan protein sebesar 40,4 g/100g, total polifenol, flavonoid, dan
16
antosianinnya lebih tinggi dari kedelai kuning yaitu masing-masing 6,13 mg/g, 2,19
mg/g, 0,65 mg/g (Wardani, dkk. 2014).
Pengolahan kedelai hitam menjadi tepung ini memberikan nilai ekonomis
dan mempunyai daya tahan simpan yang relatif lama sehingga tepung kedelai hitam
lebih mudah untuk diolah menjadi berbagai produk makanan. Komposisi kimia
tepung kedelai dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Kimia Tepung Kedelai Hitam dalam 100 gr Bahan
Komponen Jumlah
Energi (kkal) 347
Protein (g) 35,9
Lemak (g) 20,6
Karbohidrat (g) 29,9
Abu (g) 4
Kalsium (mg) 195
Fosfor (mg) 544
Besi (mg) 8,4
Air (g) 9 Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (2004)
Tepung kedelai hitam merupakan bentuk olahan kedelai hitam setengah jadi
yang dibuat dengan menggiling kedelai hitam dengan tingkat kehalusan 80 mesh
dari kedelai hitam yang sudah dikeringkan. Pengolahan kedelai hitam menjadi
tepung ini memberikan nilai ekonomis dan mempunyai daya tahan simpan yang
relatif lama sehingga tepung kedelai hitam lebih mudah untuk diolah menjadi
berbagai produk makanan.
2.2 Prebiotik
Prebiotik merupakan bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh inang,
tetapi memberikan efek menguntungkan dengan cara merangsang pertumbuhan
17
mikroflora normal khususnya bakteri menguntungkan di dalam saluran perncernaan
(Afzriansyah, dkk. 2014).
Menurut Nanak (2011), prebiotik adalah nondigestible food ingredient yang
mempunyai pengaruh baik terhadap host dengan memicu aktivitas, pertumbuhan
yang selektif, atau keduanya terhadap satu jenis atau lebih bakteri penghuni kolon.
Prebiotik pada umumnya adalah karbohidrat yang tidak dicerna dan diserap,
biasanya dalam bentuk oligosakarida dan serat pangan.
Bahan pangan yang dapat digolongkan ke dalam prebiotik adalah
karbohidrat golongan oligosakarida yang tahan terhadap proses hidrolisis pada
bagian atas usus tetapi dapat dihidrolisis dan difermentasi dalam usus besar seperti
inulin, oligosakarida, maltodekstrin, frukto-oligosakarida (FOS) dan galakto-
oligosakarida (GOS) (Nanak, 2011).
Mengkonsumsi prebiotik dengan dosis yang tepat dan cara yang benar,
maka dapat mengobati atau mendukung pengendalian penyakit seperti kanker usus,
liver, sembeulit, diabetes melitus dan kanker. Dalam penggunaannya, konsumsi
prebiotik sering dilakukan, oleh karena itu, manfaat penggunaan prebiotik tidak
terlepas dari peranan probiotik untuk meregulasi dan memodulasi mikroekosistam
populasi bakteri probiotik (Nanak, 2011).
2.3 Bakteri Probiotik
2.3.1 Definisi Bakteri Probiotik
Menurut Food and Agriculture Organization/World Health Organization
(FAO/WHO, 2002) menyebutkan bahwa probiotik merupakan mikroba hidup yang
18
apabila dikonsumsi dalam jumlah yang memadai akan bermanfaat terhadap
kesehatan bagi yang mengkonsumsinya.
Probiotik secara sederhana digambarkan oleh mikroba yang memberikan
keuntungan kesehatan bagi inangnya melalui efeknya dalam saluran intestinal.
Definisi ini pada awalnya digunakan pada pemberian pangan produk hewan. Pada
gizi manusia didefinisikan sebagai tempat mikrobia dalam komposisi pangan
dengan memberi efek kesehatan. Bakteri probiotik dapat mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh melalui beberapa mekanisme molekular. Populasi bakteri pada
saluran gastrointestinal manusia yang mendasari ekosistem yang sangat kompleks.
Kebanyakan dari organisme ini yang memberi keuntungan (contohnya
Bifidobacterium dan Lactobacillus), tetapi ada juga beberapa yang berbahaya
(contohnya Salmonella, Helicobacter pylori, Clostridum perfringers) (Nanak,
2011).
Menurut Kusumawati (2002), beberapa pengaruh positif bakteri probiotik
bagi kesehatan, yaitu :
a. meningkatkan ketahanan terhadap penyakit infeksi terutama infeksi usus dan
diare.
b. menurunkan tekanan darah/ antihipertensi.
c. menurunkan konsentrasi kolesterol serum darah.
d. mengurangi resiko lactose intolerance.
e. mempengaruhi respon imun.
f. memudahkan pencernaan.
g. menurunkan resiko terjadinya tumor dan kanker.
19
h. bersifat anti mutagenik serta bersifat anti karsinogenik.
Namun, bakteri probiotik sangat mudah mengalami degradasi oleh panas,
cahaya, dan oksigen sehingga produk probiotik sebaiknya disimpan pada suhu di
bawah 7oC agar bakteri tetap hidup dan aktif. Menurut Salminen et al (2004) dikutip
Shabrina (2016), beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu bakteri probiotik
adalah sebagai berikut :
1) Bersifat non-patogenik dan mewakili mikrobiota normal usus dari inang
tertentu, serta masih aktif pada kondisi asam lambung dan konsentrasi garam
empedu yang tinggi dalam usus halus.
2) Mampu tumbuh dan melakukan metabolisme dengan cepat serta terdapat
dalam jumlah yang tinggi (mencapai 106 – 107 sel) dalam usus halus.
3) Dapat mengkolonisasi beberapa bagian dari saluran usus untuk sementara.
4) Dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat
antimikrobia terhadap bakteri merugikan.
5) Mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan
mampu hidup selama kondisi penyimpanan.
Beberapa jenis bakteri probiotik yang sering digunakan dalam industri
makanan seperti : Lactobacillus acidophilus, L. casei, L. johnsonii, L. rhamnosus,
L. thermophilus, L. reuteri, L. delbrueckii subsp. Bulgaricus, Bifidobacterium
bifidum, B. longum, B. brevis, B. infantis, B. animalis, Enterococcus faecalis, E.
faecium, Sporolactobacillus inulinus, L. delbrueckii ssp. Bulgaricus dan
Streptococcus thermophilus (Tamime dan Robinson, 2007).
20
2.3.2 Lactobacillus Acidophillus
L. acidophillus termasuk ke dalam bakteri probiotik yang biasa digunakan
dalam pengolahan susu fermentasi. L. acidophillus merupakan golongan bakteri
asam laktat dalam pembentukan asam laktat melalui jalur homofermentatif
(Purwoko, 2007). L. acidophilus merupakan bakteri gram positif, non motil,
berbentuk batang dengan ukuran 0,6-0,9 hingga 1,5-6,0 μm, dalam keadaan sel
tunggal, berpasangan, ataupun membentuk rantai pendek. L. acidophilus tumbuh
optimum pada suhu 37oC, tidak tumbuh pada suhu antara 20o dan 22oC serta suhu
pertumbuhan maksimum antara 43o dan 48oC.
Gambar 4. Bentuk Sel L. acidophilus
(Tedi, 2016)
Penambahan bakteri L.acidophilus ini dalam produk pangan dapat
dilakukan dalam bentuk kultur yang telah diaktivasi maupun dalam bentuk
mikroenkapsulasi yang telah dikeringkan dengan metode freeze dried. Dengan
inokulasi bakteri dalam bentuk enkapsulasi dapat melindungi bakteri terhadap
lingkungan yang ekstrim. Tujuan enkapsulasi adalah untuk menciptakan
lingkungan di mana bakteri akan bertahan selama pemrosesan dan penyimpanan
hingga mencapai saluran pencernaan. Manfaat enkapsulasi untuk melindungi
probiotik terhadap pH lambung yang rendah dan juga perlindungan dalam produk
(Chávarri et al., 2012).
Bentuk Sel
Bakteri
21
2.4 Biskuit Sinbiotik
2.4.1 Definisi Biskuit Sinbiotik
Biskuit diambil dari Bahasa Inggris yang melingkupi produk bakery
berukuran kecil (umumnya berbentuk datar) berbasis tepung terigu dan bahan-
bahan lain seperti lemak, gula, dan lain-lain (Manley, 2000). Secara umum
pengertian biskuit adalah jenis makanan kering atau makanan panggang yang
terbuat dari serealia seperti gandum, oat, barley, dan sebagainya yang mengandung
kadar air lebih kecil dari 5% dan jika diisi, atau ditambahkan dengan bahan lain
seperti krim, icing, jam, jelly, dan lain sebagainya makan kadar airnya dapat
melebihi 5% (Manley, 1998). Menurut Badan Standarisasi Nasional (1992) biskuit
adalah produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang
mengandung bahan dasar terigu, lemak dan bahan pengembang, dengan atau tanpa
penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan.
Biskuit diklasifikasikan dalam 4 jenis :
a. Biskuit keras adalah jenis kue kering yang dibuat dari jenis adonan yang
keras (jumlah shortening dan gula yang digunakan lebih sedikit), berbentuk
pipih, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat.
b. Crackers adalah jenis kue kering yang dibuat dari adonan keras melalui
proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya mengarah
ke asin dan gurih, renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya
berlapis-lapis.
22
c. Wafer adalah jenis kue kering yang dibuat dari adonan cair (jumlah air yang
digunakan lebih banyak), berpori-pori kasar, relatif renyah dan bila
dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga.
d. Cookies adalah jenis kue kering yang dibuat dari adonan lunak (jumlah
lemak dan gula yang digunakan lebih banyak) atau keras, relatif renyah
(BSN, 1992).
Biskuit mempunyai ciri-ciri yaitu lapisan kulit coklat keemasan tanpa noda-noda
coklat, tekstur renyah serta lembut (Yunisa, 2013).
Biskuit sinbiotik merupakan biskuit yang di dalamnya mengandung kultur
bakteri probiotik dan prebiotik. Biskuit sinbiotik ini merupakan salah satu pangan
fungsional yang dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kesehatan
masyarakat yang mengkonsumsinya dengan memperbaiki mikroflora yang terdapat
di dalam saluran pencernaan manusia. Biskuit sinbiotik ini dibuat dengan
melakukan penambahan kultur bakteri ke dalam adonan biskuit. Kultur yang
digunakan dalam pembuatan biskuit sinbiotik ini adalah kultur freeze dried bakteri
L.acidophilus.
2.4.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pembuatan Biskuit Sinbiotik
Biskuit sinbiotik berbahan baku tepung komposit merupakan biskuit yang
di dalamnya mengandung kultur probiotik dan tepung komposit sebagai prebiotik
bagi bakteri probiotik. Proses pembuatan biskuit sinbiotik harus dilakukan dengan
memperhatikan faktor – faktor penting yang dapat mengakibatkan menurunnya
kualitas biskuit sinbiotik yang dihasilkan. Berikut adalah faktor – faktor yang
mempengaruhi proses pembuatan biskuit sinbiotik :
23
1. Suhu Pemanggangan
Suhu merupakan faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup bakteri
probiotik selama pembuatan dan penyimpanan bahan pangan. Suhu optimum untuk
pertumbuhan bakteri probiotik adalah 37 – 430C. Probiotik Lactobacillus umumnya
dapat hidup dengan kisaran lebih lebar yaitu dapat mencapai 450C. Selama
pengolahan, suhu diatas 45 – 500C akan merugikan kelangsungan hidup probiotik.
Semakin tinggi suhu maka viabilitas probiotik tidak stabil, demikian pula
sebaliknya, jika semakin rendah suhu maka viabilitas probiotik lebih stabil
(Soeharsono, 2010). Suhu pemanggangan yang digunakan pada proses pembuatan
biskuit sinbiotik adalah 400C, sehingga selama pemanggangan biskuit sinbiotik
harus dilakukan pengaturan suhu agar suhu pemanggangan tetap konstan sampai
pemanggangan berakhir.
2. Kondisi Fisiologis Probiotik
Satu faktor penting dalam memastikan kelangsungan hidup bakteri
probiotik adalah keadaan fisiologis bakteri apabila disiapkan, dan keadaan
fisiologis bakteri dalam produk itu sendiri. Produk makanan kering (misalnya : susu
formula bubuk) harus menggunakan kultur bakteri probiotik dalam keadaan kering.
Selama keadaan kering tersebut, bakteri probiotik berada dalam keadaan diam
(quiescent state) sehingga masa simpan akan semakin lama. Namun, pada produk
basah seperti yoghurt, bakteri akan berada pada keadaan diam dan memunyai
potensi menjadi aktif dalam proses metabolisme (meskipun perlahan pada suhu
pendinginan yang rendah). Keadaan fisiologis bakteri akan banyak berpengaruh
24
terhadap shelf life bakteri sehingga harus disimpan pada suhu rendah untuk
memertahankan umur simpannya (Ting dan De Costa, 2009).
Pada proses pembuatan produk – produk kering seperti biskuit sinbiotik,
kultur bakteri probiotik yang digunakan adalah kultur bakteri probiotik dalam
bentuk freeze dried yang telah mengalami proses mikroenkapsulasi sehingga
viabilitas probiotik lebih stabil dan masa simpan lebih lama. Kultur bakteri
probiotik dalam bentuk freeze dried dapat disimpan pada suhu 40C hingga satu
tahun tanpa kehilangan aktivitasnya (Surono, 2004).
3. Sanitasi
Sanitasi makanan diperlukan untuk mencegah kontaminasi makanan
dengan zat - zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, sehingga
diperlukan penerapan sanitasi makanan. Sanitasi makanan adalah usaha untuk
mengamankan dan menyelamatkan makanan agar tetap bersih, sehat dan aman.
Proses sanitasi yang dapat dilakukan adalah dengan memastikan kondisi
lingkungan pembuatan makanan dan lingkungan penyimpanan bahan – bahan tetap
bersih serta menggunakan sarung tangan dan masker pada proses pembuatan
makanan (Purnawijayanti, 2001). Dalam proses pembuatan biskuit sinbiotik,
sanitasi menjadi faktor yang penting karena bakteri probiotik yang terdapat dalam
biskuit sinbiotik harus terjaga dari kontaminasi, sehingga kelangsungan hidup
probiotik dalam biskuit sinbiotik tidak terganggu.
4. Pencampuran Adonan
Proses pembuatan biskuit sinbiotik dilakukan dengan pencampuran semua
bahan – bahan yang digunakan dengan terlebih dahulu dibagi menjadi beberapa
25
campuran bahan. Tahap pencampuran adonan menjadi bagian yang penting karena
penambahan kultur bakteri probiotik dilakukan pada adonan setengah jadi sehingga
jika pencampuran tidak dilakukan dengan baik, maka kultur bakteri probiotik yang
ditambahkan hanya terdapat pada bagian tertentu. Pencampuran adonan yang tidak
merata dapat menyebabkan hasil analisis pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL)
tidak tepat.
2.4.3 Bahan Baku dan Pembuatan Biskuit Sinbiotik
Bahan – bahan yang digunakan dalam proses pembuatan biskuit sinbiotik
Menurut Sumanti (2013) adalah sebagai berikut:
1. Tepung Komposit
Tepung komposit yang digunakan dalam pembuatan biskuit sinbiotik
adalah tepung bonggol pisang, tepung ubi jalar dan tepung kedelai. Tepung bonggol
pisang berfungsi untuk meningkatkan kandungan pati dan serat pada biskuit
sinbiotik, tepung ubi jalar berfungsi untuk meningkatkan karbohidrat dan serat
pangan pada biskuit sinbiotik, serta tepunng kedelai berfungsi untuk meningkatkan
kandungan protein biskuit sinbiotik (Distiasari, 2012).
2. Gula
Gula digunakan terutama untuk memberi rasa manis dalam pembuatan
biskuit sinbiotik. Gula berperan memberikan aroma dan warna melalui pencoklatan
non enzimatis selama pemanggangan (Matz and Matz, 1978 dikutip Sumanti,
2016). Gula yang ditambahkan pada proses pembuatan biskuit sinbiotik dalam
bentuk gula tepung yang bertujuan agar menghasilkan tekstur yang lebih baik
daripada gula pasir biasa.
26
3. Telur
Telur mengandung beberapa protein dan berfungsi untuk membentuk
karakteristik produk cookies dan crackers. Telur mengandung protein globulin
yang berperan dalam proses aerasi pada saat pengadonan biskuit. Protein ovomusin
berfungsi untuk menstabilkan busa. Lemak pada kuning telur yang mengandung
fosfolipid sebagai bahan pengemulsi dan pengaerasi (McWilliams, 2008).
4. Garam
Garam digunakan untuk meningkatkan rasa lezat bahan – bahan lain yang
digunakan dalam pembuatan biskuit. Sebagian besar formula biskuit menggunakan
satu persen garam atau kurang dalam bentuk kristal – kristal kecil untuk
mempermudah kelarutannya (Matz, 1992). Jumlah garam yang ditambahkan
tergantung pada jenis tepung yang dipakai. Tepung dengan kadar protein yang lebih
rendah akan membutuhkan lebih banyak garam karena garam akan memperkuat
protein (Widarta, 2012).
5. Minyak Nabati
Minyak nabati umumnya berwujud cair karena mengandung asam lemak
tidak jenuh seperti asam oleat, linoleate dan linolenat (Sumanti, 2016). Lemak biasa
digunakan untuk memerbaiki struktur fisik seperti volume pengembangan, tekstur
dan kelembutan serta memberi citarasa (flavor). Lemak nabati (margarin) lebih
banyak digunakan karena memberi rasa lembut dan halus, sedangkan lemak hewani
(mentega) memberikan volume biskuit yang rendah dan membentuk butiran yang
lebih kasar (Manley, 2000).
27
6. Susu bubuk
Susu merupakan hasil sekresi kelenjar susu yang terdapat pada mamalia.
Susu dapat dipisahkan menjadi skim (tinggi protein) dan krim (tinggi lemak).
Dalam pembuatan biskuit, dapat digunakan susu full cream untuk memperbaiki
warna, aroma, menahan penyerapan air, sebagai bahan pengisi dan untuk
meningkatkan nilai gizi biskuit terutama kandungan lemaknya (Matz, 1992).
7. Baking soda
Baking soda (sodium bikarbonat) umumnya digunakan sebagai bahan
pengembang dalam pembuatan biskuit. Menurut Sumanti (2016), penambahan
baking soda bertujuan untuk mempercepat pembebasan udara pada proses
pengadonan, sehingga adonan lebih cepat mengembang. Sodium bikarbonat yang
terlarut dalam adonan akan bereaksi dengan zat – zat yang mengandung asam pada
bahan adonan dan membebaskan CO2.
8. Baking powder
Baking powder (ammonium bikarbonat) merupakan modifikasi dari baking
soda dan merupakan campuran dari natrium bikarbonat dengan suatu jenis asam,
seperti asam sitrat dan asam tartarat. Kombinasi baking soda (sodium bikarbonat)
dan asam dimaksudkan untuk memproduksi gas karbondioksida baik sebelum
dipanggang atau saat dipanggang dalam oven (Sumanti, 2016).
9. Air
Air dalam pembuatan biskuit berfungsi untuk melarutkan bahan – bahan
bukan tepung agar terbentuk adonan yang mudah dicetak. Air juga berperan dalam
proses gelatinisasi pati selama proses pemanggangan biskuit, serta membantu
28
baking powder untuk menghasilkan gas yang berfungsi dalam pengembangan
adonan (McWilliams, 2008).
10. Kultur Freeze Dried
Kultur freeze dried berfungsi sebagai sumber probiotik dalam pembuatan
biskuit sinbiotik.
Tahapan pembuatan biskuit sinbiotik yaitu persiapan bahan lalu
mencampurkan gula tepung, minyak nabati dan garam kemudian di mixer sampai
tebentuk krim. Setelah itu mencampurkan susu bubuk dan kuning telur ke adonan
yang telah menjadi krim, lalu ditambahkan tepung bonggol pisang, tepung ubi jalar
dan tepung kedelai, air dan kultur freeze dried sampai membentuk adonan. Setelah
itu dilakukan pencetakan dengan diameter ± 1,5 cm dan dilakukan pemanggangan
selama 7 jam pada suhu 400C.
2.4.4 Karakteristik Biskuit Sinbiotik
Menurut Yunisa (2013), biskuit mempunyai ciri-ciri diantaranya yaitu
memiliki lapisan kulit coklat keemasan tanpa noda-noda coklat, bentuk simetris,
bagian atas rata dan sisi – sisi lurus, tekstur renyah serta lembut. Berikut ini syarat
mutu biskuit dalam SNI 01-2973-1992 dapat dilihat pada Tabel 5.
29
Tabel 5. Persyaratan Mutu Biskuit (SNI 01- 2973-1992)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1.
Keadaan
- Bau
- Rasa
- Warna
Normal
2. Air % (b/b) Maksimal 5
3. Protein % (b/b) Minimal 9
4. Abu % (b/b) Maksimal 1,5
5. Lemak % (b/b) Minimal 9,5
6. Karbohidrat % (b/b) Minimal 70
7. Nilai kalori % (b/b) Minimal 400
8.
Bahan tambahan makanan
- Pewarna
- Pemanis
Sesuai SNI 0222-M No.
722/Men.Kes/Per/IX/88 Tidak
boleh ada
9.
Cemaran logam
- Tembaga
- Timbal
- Seng
- Raksa
Mg/kg
Maksimal 10,0
Maksimal 1,0
Maksimal 40,0
Maksimal 0,05
10. Arsen Mg/kg Maksimal 0,5
11.
Cemaran mikroba
- Angka lempeng total
- Coliform
- Eshercia coli
- Kapang
Koloni/g
APM/g
APM/g
Koloni/g
Maksimal 1,0 x 106
Maksimal 20
< 3
Negative
Maksimal 1,0 x 102
(Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 1992)
Karakteristik biskuit sinbiotik ini sama dengan karakteristik biskuit pada
umumnya yaitu berwarna kuning kecoklatan sesuai dengan bahan baku yang
digunakan, beraroma khas margarin akibat penggunaan lemak sebagai salah satu
bahan dalam pembuatan biskuit, serta bertekstur renyah. Biskuit sinbiotik ini juga
harus memenuhi standar internasional untuk produk probiotik, yaitu mengandung
bakteri probiotik minimal yaitu 107 cfu/ gram produk (Sumanti, 2017).