ii. tinjauan pustaka 2.1 komposisi atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara...
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komposisi Atmosfer
Secara alami atmosfer terdiri dari berbagai gas, jumlahnya ada yang tetap
dari waktu ke waktu dan ada yang berfluktuasi, karena adanya masukan yang
berasal dari berbagai aktivitas makhluk hidup di permukaan bumi. Fungsi
atmosfer adalah untuk mencegah pemanasan dan pendinginan permukaan bumi
yang berlebihan dan menyediakan gas-gas tertentu bagi organisme. Atmosfer
sendiri merupakan suatu medium yang sangat dinamik, ditandai dengan
kemampuan-kemampuan sebagai: penyebaran (dispersion), pengenceran
(dilutions), difusi (antar molekul gas atau partikel/aerosol) dan transformasi fisik-
kimia dalam proses dan mekanisme kinetik atmosferik. Pergerakan dan dinamika
serta kimia atmosferik, merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan
keberadaan pencemar udara setelah diemisikan dari sumbernya. Schnitzhofer
et.al. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan
PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pencampuran polutan terjadi sampai di atas 100 m AGL
(above ground level). Pada ground level meningkat karena kesetimbangan radiasi,
kemudian polutan meningkat karena inversi dan pengenceran.
Dalam atmosfer dari permukaan bumi hingga ketinggian 80 – 90 km
berbagai gas berada secara tetap dalam bentuk campuran, kecuali pada saat
perubahan kecil selama periode yang pendek dan pada wilayah di luar batas
ketinggian tersebut. Sementara itu kadar gas di atmosfer yang bersifat tidak tetap,
selengkapnya ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Gas-gas tidak tetap dalam atmosfer Gas Persentase Volume
Air (H2O) Karbon dioksida (CO2) Ozon (O3) Sulfur dioksida (SO2) Nitrogen dioksida (NO2)
0 – 7 0,01 – 0,1 (rata-rata = 0,032) 0 – 0,1 (pada ketinggian 20 – 50 km) 0 – 0,0001 0 – 0,00002
Sumber: Anon (1971)
Ada empat macam gas terbanyak di udara yakni: nitrogen (78,08%),
oksigen (20,94%), argon (0,90%) dan karbondioksida (0,03%). Di samping
6
7
keempat gas tersebut, udara mengandung gas-gas lain dalam jumlah yang sangat
kecil, di antaranya ada yang merupakan pencemar udara yaitu: NH3, SO2, CO dan
H2S, selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Susunan gas di atmosfer pada suhu dan tekanan udara baku
Kandungan (μg/Nm3) Jenis Gas Simbol Volume (%) A B C
Nitrogen Oksigen Argon Karbon dioksida Neon Helium Kripton Hidrogen Ozon Metana Oksida nitrogen Sulfur dioksida Ammonia Karbon monoksida Hidrogen Sulfur
N2 O2 Ar
CO2 Ne He Kr H O3
CH4 NOx SO2 NH3 CO H2S
78,80 20,94
0,93 0,03
9,75 x 108 2,99 x 108
1,60 x 107
5,90 x 105
1,60 x 107
920 4.100 26-90 10-15 1.080
0-6 2-50 0-15 130
3-30 Sumber: A dan B : Barry and Chorly (1968); Gordon et al (1998), di troposfer
sampai ketinggian 25 km C : Bowen (1979), sampai ketinggian 100 m Suhu baku adalah 25oC, tekanan udara baku adalah 1 atmosfer
2.2 Pencemar Udara
Pencemar udara adalah substansi di atmosfer yang pada kondisi tertentu
akan membahayakan manusia, hewan, tanaman atau kehidupan mikroba atau
bahan bangunan (Oke, 1978). Pencemar udara dapat dikelompokkan berdasar
caranya menjadi polutan, yaitu polutan primer dan polutan sekunder, dapat juga
berdasarkan jumlah yang dihasilkan yaitu pencemar mayor dan pencemar minor,
berdasarkan bentuk fisik yaitu gas, cair dan padat (partikel). Pencemar udara
dihasilkan oleh alam dan juga terutama oleh kegiatan manusia (man-made
pollution). Pencemar udara yang disebabkan oleh kegiatan manusia terutama
merupakan hasil dari kegiatan transportasi, industri dan urbanisasi. Stafilov,
Bojkovska dan Hirao (2003) mengukur konsentrasi CO, SO2, NO, NO2, suspensi
particulate matter (SPM), dan O3 pada waktu yang bersamaan dengan parameter
8
meteorologi yang berbeda pada empat stasiun di Skopje Macedonia. Konsentrasi
polutan mayor (SO2, NO2, CO dan SPM) meningkat selama proses pemanasan.
Konsentrasi tinggi disebabkan oleh gabungan polutan karena pemanasan, kondisi
geograpi dan kondisi meteorologi.
Pencemar udara yang dihasilkan dari industri berbeda-beda, tergantung
pada bahan bakar yang digunakan oleh industri tersebut. Pemakaian bahan bakar
sebagai sumber energi dalam menunjang proses industri masih sangat
mendominasi kegiatan industri di Indonesia, akibat belum mencukupinya energi
listrik yang ada. Pemakaian bahan bakar fosil akan memberikan emisi pencemar
udara konservatif, yang meliputi CO, hidrokarbon, NOx, partikulat (total
tersuspensi), dan SOx. Unsur-unsur ini dapat menjadi indikator utama pencemaran
udara, di samping oksidan photokimia yang terbentuk akibat adanya unsur-unsur
prekursor (hidrokarbon dan NOx) yang bereaksi dengan adanya sinar ultra violet.
Kawasan industri Kota Cilegon terdapat berbagai macam pabrik pengolahan
dengan berbagai produk yang berbeda-beda. Pelbagai pabrik di kawasan industri
tersebut, dapat digolongkan menjadi empat jenis dengan berbagai pencemar udara
yang diemisikan, selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan
Jenis Industri Pencemar yang dihasilkan
Industri besi dan baja
Industri kayu lapis
Industri kimia
Industri logam dan pengecoran logam
debu, senyawa fluorida dan SO2
padatan tersuspensi, fenol dan asam resin
tergantung jenis industri kimia, misalnya HCl, Cl2, NO2, NH3, hidrokarbon aromatik, pestisida dan lain-lain
SO2, sulfida, klor, HCl dan debu Sumber: Hartogensis (1977); Winarso (1991); Strauss dan Mainwaring (1994)
2.2.1 Partikulat
Secara fisik untuk penentuan kualitas udara ambien, partikulat
dikelompokkan menjadi PM10 yaitu partikulat dengan ukuran <10 μm, PM2,5 yaitu
partikulat dengan ukuran <2,5 μm, dan TSP (Total Suspended Particulate) yaitu
partikulat tersuspensi (KLH, 2002). Secara kimia partikel dapat dikelompokkan
9
menjadi partikel anorganik dan fly ash (sisa debu dari sistem cerobong industri
yang menggunakan bahan bakar fosil).
Partikel yang lebih halus, PM10 dan khususnya PM2,5 yang ultra-halus,
adalah yang paling berbahaya. Pada udara ambien, partikel biasanya ada dengan
sejumlah zat pencemar lain. Nakaguchi et.al. (2005) melakukan penelitian
distribusi partikulat di atmosfer selama 9 bulan di Osaka Jepang. Partikulat yang
diteliti PM-1 (> 10 μm), PM-2 (10 – 2,5 μm) dan PM-3 (< 2,5 μm). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rasio total PM selama 9 bulan adalah 0,880 ±
0,011 untuk 207/206Pb 2,137 ± 0,033 untuk 208/206Pb dan 0,413 ± 0,007 untuk 207/208Pb. Terdapat hubungan yang signifikan antara rasio PM-1 dengan 207/206Pb
dan 208/206Pb dalam PM-1 dan PM-2. Berdasarkan hasil pengukuran Badan
pengendalian dampak lingkungan (Bapedal) Indonesia (2000) konsentrasi TSP
mulai Tahun 1996 sampai Tahun 1998 di sebagian besar kota-kota Indonesia
meningkat dengan cepat. Konsentrasi TSP tertinggi terjadi di kota Ujung Pandang
Tahun 1997. Sementara itu hasil pengukuran Bapedalda Jakarta (2002)
menunjukkan bahwa PM10 selama Tahun 2001 terjadi sangat tinggi pada bulan
Juni – September. Berkaitan dengan sebaran partikulat dari kawasan industri,
Bapedalda Banten (2002) menganalisis jarak sebaran partikulat dari sumber
Cilegon yang jatuh pada permukaan tanah adalah 16230 meter dengan konsentrasi
sebesar 34,95 μg/m3. Jarak sebaran partikulat dari sumber Serang adalah 5008
meter dengan konsentrasi sebesar 6,9 μg/m3. Jarak sebaran tersebut terjadi pada
stabilitas atmosfer E (agak stabil). Sementara itu hasil pemantauan udara ambien
pada 24 titik sampel yang dilakukan DLHPE Kota Cilegon (2005) dengan baku
mutu 230 μg/m3, menunjukkan bahwa debu yang melebihi baku mutu terjadi pada
9 titik sampel, tertinggi terjadi di lokasi kantor Bea Cukai dengan konsentrasi
sebesar 514 μg/m3. Selengkapnya ditampilkan pada Gambar 2.
2.2.2 Senyawa Sulfur
Menurut Seinfeld (1986), sumber senyawa sulfur di atmosfer adalah
penghancuran secara biologi, pembakaran bahan bakar fosil dan bahan bakar
organik, percikan air laut serta industri peleburan logam. Sulfur terutama terlepas
dalam bentuk SO2, selanjutnya teroksidasi menjadi SO3, kedua senyawa tersebut
dikenal sebagai oksida sulfur (SOx). SO2 bersifat larut dalam air dan dapat
10
mengiritasi mata, kulit, selaput lendir dan sistem pernafasan serta pada
konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kematian. Jika membentuk kabut (haze)
dari reaksi fotokimia aerosol, SO2, oksida nitrogen dan hidrokarbon di atmosfer.
Senyawa sulfur dapat menurunkan jarak pandang, jika bereaksi dengan air hujan
akan meningkatkan keasaman air hujan yang dapat menyebabkan asidifikasi
sumber air serta penurunan unsur hara tanah, juga menyebabkan korosi logam dan
bahan bangunan lain. Emisi sulfur dioksida terutama timbul dari pembakaran
bahan bakar fosil yang mengandung sulfur terutama batubara yang digunakan
untuk pembangkit tenaga listrik atau pemanasan rumah tangga.
0
100
200
300
400
500
600
Lokasi Pengukuran
Kon
sent
rasi
(ug/
m
Konsentrasi (ug/m3)
Baku Mutu (ug/m3) a) Rata-rata Konsentrasi b) Konsentrasi PM10 c) Konsentrasi debu di Kota
TSP Tahunan di Indonesia di Jakarta, 2001 Cilegon, 2005
Gambar 2. Konsentrasi TSP, PM10 dan debu
Sulfur dioksida (SO2) adalah gas yang tidak berwarna, memedihkan mata
(irritating), mudah larut dalam air dan reaktif. Gas yang berbau tajam tapi tak
bewarna ini dapat menimbulkan serangan asma, gas ini menetap di udara, bereaksi
dan membentuk partikel-partikel halus dan zat asam. Gas ini dibentuk pada saat
bahan bakar (minyak dan batubara) yang mengandung sulfur dibakar, terutama
dari kegiatan industri. SO2 dapat mematikan dan menghambat pertumbuhan
pepohonan, hasil produksi pertanian dapat merosot, hutan-hutan menjadi kurang
produktif sehingga akan mengurangi peranan hutan sebagai tempat rekreasi dan
keindahan. Pada manusia dapat menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas
sehingga menimbulkan gejala batuk dan sesak nafas. SO2 dihasilkan oleh
kendaraan bermotor dan industri, dan dapat menyebabkan hujan asam.
Penyumbang pencemar SO2 terbesar adalah industri (76%) diikuti dengan
transportasi (15%). Perkiraan besarnya emisi SO2 yang berasal dari kendaraan
11
bermotor menurut Bapedal (2001) pada Tahun 1999, 2000 dan 2001 secara
berurutan adalah 46.562,7 ton/tahun; 48.482 ton/tahun; 53.401,9 ton/tahun. Tasic
et.al. (2007) mengimplementasikan sistem monitoring kualitas udara, untuk
mengestimasi konsentrasi SO2 dengan menggunakan TScreen. Hasil model untuk
waktu rata-rata 1 jam pada 8 titik sampel menunjukkan adanya hubungan antara
tingkat emisi dengan konsentrasi SO2. Berkaitan dengan sebaran SO2 di Kota
Cilegon, DLHPE Tahun 2005 melakukan pemantauan udara ambien pada 24 titik
sampel. Hasil pemantauan dengan baku mutu 365 μg/m3, menunjukkan bahwa
SO2 tertinggi terjadi di lokasi depan PENI Desa Gerem Kecamatan Grogol dengan
konsentrasi sebesar 15,12 μg/m3. Selengkapnya disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Konsentrasi SO2 di 24 titik sampel
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
SO2
Lokasi pemnantauan
Kons
entr
asi
Kelapa TujuhKantor Bea CukaiASDP M erakPasar M erakDepan PENICikuasa BaruCikuasa LamaKruwukSumur Wuluh (Jalan Tol)Pabuaran LorKomp, Arga Baja PuraPolresPalem HillsPerum KSTelkom WarnasariSemangrayaNirmala OptikPelindoRamayanaPCIRandakariKBS/Sebrang relPengabuanCilodan
2.3 Sumber Pencemar Udara
Pencemaran udara terjadi akibat dilepaskannya zat pencemar dari berbagai
sumber ke udara. Sumber-sumber pencemar udara dapat bersifat alami maupun
antropogenik (aktivitas manusia). Peraturan Pemeritah (PP) mengenai pengelolaan
udara yang saat ini berlaku di Indonesia yaitu PP No. 41/1999 mendefinisikan
sumber pencemar sebagai setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan
bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. PP ini kemudian menggolongkan sumber pencemar atas lima kelompok,
yaitu: (1) sumber bergerak, sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada
suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor; (2) sumber bergerak spesifik,
serupa dengan sumber bergerak namun berasal dari kereta api, pesawat terbang,
12
kapal laut dan kendaraan berat lainnya; (3) sumber tidak bergerak, sumber emisi
yang tetap pada suatu tempat; (4) sumber tidak bergerak spesifik, serupa dengan
sumber tidak bergerak namun berasal dari kebakaran hutan dan pembakaran
sampah; dan (5) sumber gangguan, sumber pencemar yang menggunakan media
udara atau padat untuk penyebarannya. Sumber ini terdiri dari kebisingan, getaran,
dan kebauan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan sumber pencemar
atas sumber tidak bergerak, sumber bergerak dan sumber dalam ruangan. Di kota-
kota Besar di Indonesia, sumber bergerak telah mendominasi emisi pencemar
udara. Di Jakarta misalnya, kendaraan bermotor telah menyumbangkan 70 % dari
pencemar PM10 dan NOx Tahun 1998. Faktor yang mempengaruhi tingginya
pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah pesatnya pertambahan jumlah
kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan bakar minyak dan masih
digunakannya jenis bahan bakar minyak mengandung Pb, penggunaan teknologi
lama (sistem pembakaran) pada sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia
dan minimnya budaya perawatan kendaraan secara teratur.
Sumber pencemar udara dari sumber tidak bergerak terdiri dari industri,
rumah tangga, dan kebakaran hutan. Sektor industri merupakan penyumbang
pencemaran udara setelah kendaraan bermotor, melalui penggunaan bahan bakar
fosil untuk pembangkit tenaga. Penggunaan bahan bakar fosil dan kayu di rumah
tangga ikut menyumbang pencemaran udara dari sumber tidak bergerak meskipun
tidak sebesar kontribusi pencemaran industri. Kemudian asap pekat dari
kebakaran hutan menjadi bahan pencemar udara. Hasil dari proses pembakaran, di
dalam asap terkandung campuran gas-gas dan partikel-partikel yang mengancam
kesehatan manusia dan menambah jumlah gas rumah kaca di atmosfer.
Produksi energi, pengangkutan, konversi serta rumah tangga, industri dan
penggunaan kendaraan bermotor, merupakan penyumbang antropogenik utama
kepada polusi udara. Bahan-bahan pencemar utama yang penting adalah timbal,
partikel halus, karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), hidrokarbon,
sulfur dioksida (SO2), dan karbon diokida (CO2). Menurut Novontny dan
Chlesters (1981) sumber polusi udara global adalah:
a. Emisi dari kota dan industri: pembangkit energi, industri dan domestik;
13
b. Emisi dari pertanian dan hutan: erosi tanah oleh angin, slash burning dari
kebakaran hutan, komponen pupuk dan pestisida yang terbawa erosi angin,
dekomposisi limbah pertanian dan peternakan;
c. Emisi yang terjadi secara alami dalam skala global: tiupan debu dari daerah
kering dan gurun, kebakaran hutan, semak dan rumput, letusan gunung berapi,
emisi hidrokarbon dari hutan dan aktivitas budidaya hutan, percikan air laut,
serta evaporasi dari tubuh air.
2.4 Pencemaran Udara
Pencemaran udara dapat diartikan sebagai adanya satu atau lebih pencemar
yang masuk ke dalam udara atmosfer yang terbuka, yang dapat berbentuk sebagai
debu, uap, gas, kabut, bau, asap, atau embun yang dicirikan bentuk jumlahnya,
sifatnya dan lamanya. Pencemaran udara dibataskan sebagai menurunnya kualitas
udara sehingga akibatnya akan mempengaruhi kesehatan manusia yang
menghirupnya. Salah satu faktor penyebab meningkatnya pencemaran udara
adalah semakin meningkatnya populasi penduduk di suatu tempat, terutama di
Kota-kota Besar. Kegiatan transportasi, industri dan aktivitas penduduk menjadi
sumber pencemaran udara. Miller (1979) membagi bahan pencemar udara
menjadi: karbon oksida (CO, CO2), sulfur oksida (SO2, SO3), nitrogen oksida
(N2O, NO, NO2), hidrokarbon (CH4, C4H10, C6H6), fotokimia oksidan (O3, PAN
dan aldehida), partikel (asap, debu, jelaga, asbestos, logam, minyak dan garam),
senyawa inorganik (asbestos, HF, H2S, NH3, H2SO4, H2NO3), senyawa inorganik
lain (pestisida, herbisida, alkohol, asam-asam dan zat kimia lainnya), zat
radioaktif, panas, dan kebisingan. Pengaruh yang sangat penting adanya
pencemaran udara pada manusia adalah dalam aspek: kesehatan, kenyamanan,
keselamatan, estetika dan perekonomian.
Pencemaran udara dapat digolongkan ke dalam tiga kategori; pergesekan
permukaan, penguapan, dan pembakaran. Pergesekan permukaan adalah penyebab
utama pencemaran partikel padat di udara dan ukurannya dapat bemacam-macam,
misalnya: penggergajian, dan pengeboran. Kemudian penguapan merupakan
perubahan fase cair menjadi gas. Polusi udara banyak disebabkan zat-zat yang
mudah menguap, seperti pelarut cat dan perekat. Sementara itu pembakaran
14
merupakan reaksi kimia yang berjalan cepat dan membebaskan energi cahaya atau
panas. Bahan bakar yang umum digunakan ialah kayu, batubara, kokas, minyak,
semuanya mengandung karbon, sehingga dalam proses pembakaran dihasilkan
senyawa karbon dioksida dan air, disamping arang dan jelaga.
Kriteria dampak pencemaran udara, mengacu pada Peraturan Pemerintah
No. 27 Tahun 1999 dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan No. KEP-056/Tahun 1994 sebagai berikut: (1) jumlah manusia yang
terkena dampak, (2) luas wilayah persebaran dampak, (3) lamanya dampak
berlangsung, (4) intensitas dampak, (5) banyaknya komponen lingkungan lain
yang terkena dampak, (6) sifat kumulatif dampak, dan (7) berbalik (reversible)
atau tidak berbalik (irreversible) dampak.
Pengaruh pencemaran udara terhadap manusia tergantung pada pencemar
yang ada di udara. Pada Tabel 4 dimuat beberapa jenis pencemar udara dan
pengaruhnya terhadap manusia. Menurut Adel (1995) dan Hill (1984), CO
merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau, mempunyai afinitas yang tinggi
dengan hemoglobin, yaitu sekitar 240 kali lebih kuat dibandingkan afinitas O2
terhadap hemoglobin. Apabila CO masuk ke dalam paru-paru akan berikatan
dengan hemoglobin membentuk karboksi-hemoglobin (CO-Hb). Chi-Wen (1999)
meneliti penyebaran pencemar udara dari industri kimia dan serat di Taiwan, yang
dilakukan sebagai tanggapan atas keberatan atau reaksi terhadap bau yang
ditimbulkan. Pencemar udara yang diemisikan adalah senyawa sulfur (SO2, H2S,
CS2 dan merkaptan) dan beberapa senyawa organik volatif (benzene, toluena,
pxylene aseton dan kloroform). Pengukuran di udara ambien dilakukan di empat
lokasi sekitar industri tersebut. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa di keempat
lokasi pengukuran, H2S dengan rata-rata hasil pengukuran 7,6 ppb telah melewati
ambang batas bau (odoran threshold) sekitar 0,47 ppb, di satu lokasi CS2 pada
malam hari dapat mencapai 256 ppb melewati ambang batas bau sebesar 210 ppb.
Sementara itu Bokowa dan Liu (2003) mengestimasi kebauan yang diemisikan
dari sumber fugitive dengan menggunakan model screen3. Konsentrasi kebauan
hasil model antara 0,6 sampai 1,2 dengan rata-rata 0,9 sedangkan hasil monitoring
antara 0,98 sampai 1,1. Hasil model menunjukkan nilai sedikit dibawah hasil
monitoring.
15
Tabel 4 . Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia
Jenis pencemar udara Pengaruh terhadap manusia
Karbon monoksida (CO)
Sulfur dioksida (SO2)
Nitrogen oksida (NOx)
Hidrokarbon
Oksigen fotokimia (O3)
Debu
Amonia (NH3)
Hidrogen sulfida (H2S)
Logam dan senyawa logam
Menurunkan kemampuan darah membawa oksigen, melemahkan berpikir, penyakit jantung, pusing, kelelahan, sakit kepala dan kematian
Memperberat penyakit saluran pernafasan, melemahkan pernafasan dan iritasi mata
Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, dan iritasi paru-paru
Mempengaruhi sistem pernafasan, beberapa jenis dapat menyebabkan kanker
Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, iritasi mata, iritasi kerongkongan dan saluran pernafasan
Penyakit kanker, memperberat penyakit jantung dan pernafasan, batuk, iritasi kerongkongan dan dada tak enak
Iritasi saluran pernafasan
Mabuk (pusing), iritasi mata dan kerongkongan dan racun pada kadar tinggi
Menyebabkan penyakit pernafasan, kanker, kerusakan syaraf dan kematian
Sumber: Hartogensis (1977); Fardiaz (1992); Nukman (1998); Holper dan Noonan (2000)
Vinitnantharat dan Khummongkol (2003) melakukan penelitian deposisi
sulfur dan nitrogen yang disebabkan oleh pencemar udara industri dan kendaraan
di enam wilayah di Thailand. Penelitian dilakukan baik terhadap deposisi basah
dan deposisi kering. Pengumpulan sampel basah dilakukan dengan menampung
air hujan menggunakan penakar hujan (rain gauge), sedangkan sampel kering
dikumpulkan menggunakan filter empat tahap. Terhadap sampel basah diukur pH
(di tempat), dianalisis SO42 dan NO3, terhadap sampel kering dilakukan analisis
SO42 dan NO3. Hasil analisis menunjukkan bahwa pH air hujan berkisar dari 5,5
sampai 6,3 bahkan di satu wilayah dengan pH lebih rendah dari 5,6 yang
merupakan pH batas hujan asam. Hal ini berarti bahwa telah terjadi hujan asam
akibat pencemaran sulfur dan nitrogen.
16
2.5 Penyebaran Pencemar Udara
Penyebaran pencemar udara berhubungan dengan keadaan atmosfer,
sedangkan keadaan atmosfer tergantung pada perubahan sistem cuaca, sirkulasi
angin regional dan turbulensi, dan efek mikrometeorologi. Parameter-parameter
penting yang diperlukan dalam menetapkan potensi penyebaran pencemar udara
ialah: ketinggian bercampur, tinggi pembalikan, kecepatan angin tahunan, potensi
tinggi pencemar udara yang dapat mempengaruhi suatu area, dan kejadian harian.
Adapun efek mikrometeorologi tergantung pada insolasi solar, topografi,
kekasapan permukaan, albedo permukaan, lahan yang digunakan dan radiasi
panjang gelombang (Mikkelsen, 2003).
Penyebaran pencemar udara, terutama dari industri ditentukan oleh tinggi
cerobong (stack). Semakin tinggi stack yang digunakan, semakin jauh jarak
sebaran polutan yang diemisikan. Good Engineering Practice (GEP)
mengusulkan secara ekstrim, bahwa tinggi stack harus 305 meter (Leonard, 1997).
Sebaran polutan dari kegiatan industri dengan ketinggian cerobong di atas lima
puluh meter diduga dapat memberikan dampak sebaran polutan sampai dengan
jarak yang cukup jauh dari lokasi sumber. Untuk industri dengan daya yang besar,
tinggi cerobong asap harus di atas 200 meter (Forsdyke, 1970). Sehubungan
dengan hal itu, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya menggunakan
cerobong setinggi 200 meter sehingga abu dan gas SO2 yang terbang ke udara
dapat terdispersi secara baik, dan tidak mencemari udara di pemukiman sekitarnya
(Bapedalda Banten, 2004).
Setiap pabrik di kawasan industri, memiliki ukuran stack yang berbeda.
Hal ini dimungkinkan karena kapasitas dan jenis bahan bakar yang digunakan
berbeda. Vawda et.al. (2005) mengukur konsentrasi SO2 yang diemisikan dari
suatu kawasan. Estimasi emisi SO2 dari masing-masing tinggi stack menggunakan
ADMS-Screen. Dari lima metode yang digunakan, menunjukkan bahwa metode
ADMS-screen paling sesuai untuk menganalisis emisi pada berbagai tinggi stack.
Hasil identifikasi cerobong pabrik pengolahan besi dan peleburan baja di
kawasan PT Krakatau Steel (KS) disajikan pada Tabel 5. Pada tabel tersebut,
tampak bahwa tinggi cerobong di kawasan PT KS berada pada kisaran 10 – 80
meter. Hal ini akan berdampak pada pola sebaran polutan yang diemisikan dari
17
kawasan tersebut pada lingkungan di sekitarnya. Keragaman penyebaran polutan
yang diemisikan, akan berimplikasi pada perbedaan konsentrasi pada suatu area.
Tabel 5. Ukuran cerobong pabrik pengolahan besi dan peleburan baja di PT Krakatau Steel
NO LOKASI CEROBONG TINGGI NO LOKASI CEROBONG TINGGI
1 DR1 Gas Ref 1 33,5 4 SSP 1 Ladle Furnace 1 32 Gas Ref 2 33,5 Ladle Furnace 2 32 Gas Preh 5 33,2 Dedusting 35 Gas Preh 6 33,2 5 SSP 2 Ladle Furnace 32 Gas Preh 7 33,2 Dedusting 35 Gas Preh 8 33,2 6 BILLET Ladle Furnace 32 Air Preh 2 27,2 Timur Dedusting 1 35 Scrubber 1 10,8 Barat Dedusting 2 35 Scrubber 2 10,8 7 SSP 1 Ladle Furnace 1 32 B Down Stack 30,2 Ladle Furnace 2 32
2 DR2 Gas Ref 1 33,5 Dedusting 35 Gas Ref 2 33,5 8 SSP 2 Ladle Furnace 32 Scrubber 1 10,8 Dedusting 35 Scrubber 2 10,8 9 BILLET Ladle Furnace 32 B Down Stack 30,2 Timur Dedusting 1 35
3 HYL III Gas Heater 1 80 Barat Dedusting 2 35 Gas Heater 2 80
Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi Kota Cilegon (2006)
2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan
Penyebaran polutan di atmosfer dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Menurut Stull (2000), penyebaran polutan di atmosfer melibatkan tiga mekanisme
utama yaitu gerakan udara secara global, fluktuasi kecepatan turbulensi yang akan
menyebarkan polutan ke seluruh arah dan difusi massa akibat perbedaan
konsentrasi. Sementara itu penyebaran polutan dari suatu sumber emisi selain
dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi juga oleh karakteristik meteorologi
dan tofografi setempat (Oke, 1978).
Faktor meteorologi yang berpengaruh langsung terhadap penyebaran
polutan adalah angin (meliputi arah dan kecepatan) serta stabilitas atmosfer.
Huang et.al. (2005) membuat simulasi CFD (Computational Fluid Dynamic)
dengan radiasi dan analisis konduksi yang diangkat keluar untuk menganalisis
dispersi polutan dengan kondisi non istermal di Kota Kawasaki Jepang. Hasil
simulasi menunjukkan bahwa kecepatan angin rata-rata di atas bangunan sekitar 2
18
m/s secara signifikan besarnya menurun karena efek bloking bangunan.
Penyebaran polutan searah dengan arah angin. Sementara itu Mayhoub, Essa dan
Aly (2003) membangun bentuk analisis dispersi polutan untuk kondisi atmosfer
yang berbeda. Hubungan antara jarak peluruhan (downwind dan crosswind)
sebanding dengan tinggi inversi. Kecepatan angin dan koefisien difusi berbeda
untuk stabilitas atmosfer yang berbeda (stabil dan netral).
Variabel lain yang bertalian dengan meteorologi terdiri dari unsur-unsur
radiasi matahari, suhu dan tekanan udara, curah hujan, kelembapan, dan
evaporasi. Arah angin akan menentukan arah penyebaran polutan, sedangkan pola
penyebaran polutan tergantung pada lokasi sumber pencemar, kondisi
meteorologi serta topografi daerah. Cahyana, Umbara dan Lubis (1998) membuat
pemodelan isodosis dari dispersi radionuklida di atmosfer di daerah PPTN
Serpong. Perangkat lunak yang digunakan adalah EDLA (Evaluasi Dosis Lepasan
Atmosfir) dengan menggunakan bahasa pemrograman Delphi 3,0. Penyebaran gas
atau partikel radionuklida yang terlepas ke atmosfir menggunakan persamaan
Gauss. Klasifikasi kestabilan atmosfir dilakukan berdasarkan kecepatan angin
permukaan, insolation (incoming solar radiation) dan radiasi bersih (net
radiation) dari tapak. Parameter insolation digunakan jika pengamatan dilakukan
pada siang hari, sedangkan radiasi bersih digunakan jika pengamatan dilakukan
pada malam hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat lunak EDLA
dapat digunakan untuk mensimulasikan dispersi radionuklida di atmosfir sampai
pada penghitungan dosis efektif sebagai fungsi jarak dari titik pelepasan yang
akan diterima manusia, baik untuk kondisi operasi normal ataupun bila terjadi
kecelakaan release (kedaruratan nuklir). Besarnya dosis efektif sebagai fungsi
koordinat dapat diketahui dengan cepat dan akurat. Pemanfaatan perangkat lunak
EDLA untuk kasus kedaruratan nuklir dapat memberikan informasi dosis efektif
kecelakaan, sehingga upaya penanggulangan yang sesuai dapat dilakukan secara
efektif dan efisien. Sementara itu Wang, Bosch dan Kuffer (2008) meneliti
sebaran NO2 dan PM10 di jalan raya. Model dispersi yang digunakan adalah
OSPM (Operational Street Pollution Model). OSPM adalah model polusi yang
digunakan di jalan raya yang dibangun oleh Departemen Atmosfer Lingkungan,
institute riset Nasional Denmark. Data meteorologi sebagai input, digunakan data
19
kecepatan dan arah angin per jam dan temperatur ambien. Output model yang
berhubungan dengan database memberikan peringatan pada ketinggian 17 m.
2.6.1 Stabilitas Atmosfer
Stabilitas atmosfer menurut Stull (2000) terbagi dua, ada yang statis dan
ada yang dinamis. Stabilitas dinamis ditentukan oleh faktor buoyancy (daya apung
udara akibat pemanasan oleh radiasi matahari) dan wind shears (gesekan yang
terjadi antara dua lapisan atmosfer dengan arah angin berbeda), sedangkan
stabilitas statis hanya mempertimbangkan faktor buoyancy. Chung-Chen, Kot dan
Tepper (1996) mendeteksi kondisi stabil dan inversi dengan menggunakan Radio
Acoustic Sounding Sistem (RASS). Hasil deteksi menunjukkan bahwa tanggal 3
Januari 1996 pukul 11.30am pada kondisi stabil, dan terjadi inversi pada saat
fumigasi pada permukaan lapisan. Sementara itu Huser, Nilsen dan Skatun (1997)
membangun sebuah prosedur untuk memprediksi kondisi stabil atmosfer pada
permukaan yang kompleks dengan model k-ε dengan program FLOW3D. Angin,
temperatur dan kuantitas turbulensi dihitung dengan aliran udara dan transfer
panas sampai keadaan steady. k-ε adalah model turbulensi, dengan k adalah
turbulensi energi kinetik dan ε adalah bouyance pada kondisi stabil. Model
diaplikasi untuk memprediksi sebaran konsentrasi NOx di atmosfer. Hasil
pembandingan prediksi dengan model menunjukkan bahwa hasil prediksi berada
pada kisaran hasil pengukuran.
Karakteristik yang dapat menunjukkan stabilitas atmosfer adalah gradien
suhu potensial (dθ/dZ). Suhu potensial (θ) adalah suhu yang akan dimiliki suatu
paket udara kering jika bergerak secara adiabatik dari tekanan tertentu (p) menuju
permukaan atau tekanan standar po. Umumnya po digunakan 1000 mb (Wark dan
Warner, 1981) /d pR C
opTp
θ⎛ ⎞
= ⎜ ⎟⎝ ⎠
……. 2.1
dengan Rd adalah konstanta gas universal untuk udara kering dan nilai eksponen untuk udara kering adalah 0,286 (Stull, 2000)
Secara umum stabilitas statis terdiri dari tiga kondisi kestabilan yaitu
stabil, tidak stabil dan netral. Gambar 4 menunjukkan stabilitas atmosfer ditinjau
20
dari laju penurunan suhu paket udara dan lingkungan serta gradien suhu potensial.
Pada gambar tersebut Environmental Lapse Rate (ELR) adalah laju penurunan
suhu lingkungan, sedangkan Г adalah laju penurunan suhu paket udara.
Kondisi tidak stabil adalah kondisi ketika laju penurunan suhu paket udara
lebih kecil dibandingkan laju penurunan suhu udara lingkungannya, sehingga
pada ketinggian yang sama, suhu paket udara lebih tinggi dibanding
lingkungannya. Paket udara ini akan cenderung mengembang secara vertikal,
pergerakan secara horisontal akan bergantung arah anginnya. Hal ini terjadi
biasanya pada siang hari dengan radiasi matahari tinggi. Berkaitan dengan suhu
potensial, pada kondisi stabil gradien suhu potensial terhadap ketinggian negatif.
Sumber: Oke (1978)
Gambar 4. Stabilitas atmosfer ditinjau dari laju penurunan suhu
Kondisi netral ditunjukkan oleh laju penurunan suhu paket udara yang
sama dengan laju penurunan suhu udara lingkungannya, sehingga suhu keduanya
akan sama pada ketinggian yang sama. Menurut Stull (2000), pada kondisi ini jika
udara tidak jenuh, maka dT/dZ=-Гd, jika udara jenuh uap air dT/dZ=-Гs (laju
penurunan suhu udara jenuh). Apabila diekspresikan dengan suhu potensial, maka
kondisi netral ditunjukkan oleh dθ/dZ=0, jika udara tidak jenuh, dan dθ/dZ=Гd-Гs
biasa terjadi siang ataupun malam hari, berangin dan atau berawan.
Kondisi stabil terjadi jika laju penurunan suhu paket udara lebih besar
dibandingkan dengan laju penurunan suhu udara lingkungannya. Pada ketinggian
yang sama suhu paket udara lebih rendah dibanding suhu lingkungannya,
sehingga tidak akan dapat berkembang vertikal. Hal ini menyebabkan suatu paket
udara cenderung stabil ditempatnya.
21
Atmosfer dikatakan dalam kondisi inversi jika terjadi kenaikan suhu
terhadap ketinggian. Menurut Schnelle dan Dey (2000), inversi suhu dapat terjadi
akibat beberapa hal, yaitu: (1) berubahnya keseimbangan radiasi gelombang
pendek dan panjang (inversi radiasi) seperti yang terjadi secara alami di
permukaan bumi pada malam hingga dini hari, (2) karena evaporasi, sehingga
terjadi pendinginan permukaan bumi (evaporation inversion) terutama pada siang
hari saat langit cerah tanpa awan, (3) adanya udara hangat bergerak di atas
permukaan yang lebih dingin (advection inversion), sehingga dapat membentuk
kabut, dan (4) adanya subsidensi udara dingin (udara dingin lebih berat sehingga
cenderung turun), sehingga udara yang lebih hangat naik, seperti yang terjadi di
sekitar lereng atau lembah pegunungan.
2.6.2 Turbulensi
Di atas permukaan, ketika udara bergerak akan mengalami gesekan
maupun geseran sehingga akan menimbulkan olakan (eddy), sehingga terjadi
turbulensi yang melibatkan pergerakan molekul-molekul antar lapisan udara
dikenal pula sebagai konveksi mekanik (forced convection). Di atas ketinggian
planetary boundary layer, pengaruh gesekan diabaikan. Pada Gambar 5
divisualisasikan sketsa aliran turbulen di atas permukaan yang halus. Pada lapisan
udara yang paling dekat dengan permukaan, terdapat lapisan tipis yang disebut
laminar boundary layer (Oke, 1978), yang merupakan lapisan dengan gerakan
laminier (gerakan paralel terhadap permukaan bumi, tidak ada komponen yang
saling menyilang) dan tidak ada konveksi, transfer non-radiasi berjalan secara
molekular. Sementara itu difusivitas molekular udara sangat kecil, sehingga
kadang kala lapisan ini menjadi penghalang yang penting antara permukaan
dengan atmosfer. Ketebalannya akan bergantung pada kekasapan permukaan dan
kecepatan angin. Jika kecepatan angin tinggi, lapisannya akan menjadi sangat tipis
bahkan akan menghilang sementara. Di atas lapisan laminier aliran udara menjadi
tidak stabil dan terdiri dari olakan (eddy) yang acak, disebut lapisan turbulen,
dengan ketebalan sekitar 50 meter di atas permukaan. Pada lapisan ini
perpindahan turbulen (konveksi) lebih efektif daripada difusi molekular.
22
Menurut Schenelle dan Dey (2000), Richardson Number (Ri) dapat
digunakan sebagai indikator turbulensi indeks kestabilan atmosfer. Parameter
stabilitas dalam hal ini adalah s yang diekspresikan dalam persamaan berikut:
gsT z
θΔ⎛ ⎞= ⎜ ⎟Δ⎝ ⎠ ……. 2.2
dan g
zRiduTdz
θΔ⎛ ⎞⎜ ⎟Δ⎝ ⎠=⎛ ⎞⎜ ⎟⎝ ⎠
……. 2.3
Sumber: McIntosh dan Thom (1973)
Gambar 5. Sketsa aliran turbulen di atas permukaan yang halus
Tabel 6. Kondisi stabilitas berdasar Richardson Number (Ri)
Stabilitas Ri Keterangan Stabil > 0,25 tidak ada vertical mixing, angin lemah,
inversi kuat, turbulensi mekanik diperkecil, penyebaran kepulan asap dapat diabaikan
Stabil 0 < Ri < 0,25 turbulensi mekanik ditekan oleh stratifikasi yang stabil
Netral 0 turbulensi mekanik Tidak stabil -0,03 < Ri < 0 turbulensi mekanik dan konveksi Tidak stabil < -0,04 konveksi mendominasi, angin lemah, gerak
vertikal kuat, asap menyebar dengan cepat secara vertikal dan horisontal
Sumber: Schenelle dan Dey (2000)
23
2.6.3 Sirkulasi Angin Lokal
Kecepatan angin secara horisontal dipengaruhi oleh gradien tekanan di
permukaan serta kondisi kekasapan permukaan (surface roughness). Semakin
besar beda tekanan akan semakin tinggi kecepatan angin, tetapi semakin kasap
permukaan maka angin horisontal akan diperlambat. Angin mempengaruhi
penyebaran, pengenceran dan perpindahan polutan (Oke, 1978). Ketika angin
bertiup, polutan mengalami penyebaran searah angin dan jika terjadi turbulensi
maka penyebaran dapat terjadi searah dan melintas arah angin (crosswind).
Kecepatan angin berimplikasi pada proses pengenceran, semakin besar kecepatan
angin maka konsentrasi semakin mengecil. Raducan (2008) meneliti level
konsentrasi NOx, NO2, NO, CO dan O3 dari urban area dengan menggunakan
OSPM (Operational Street Pollution Model). OSPM digunakan dengan parameter
aliran yang sangat simpel dan kondisi dispersi pada street canyon. Aliran angin
dan dispersi polutan secara khusus tergantung pada aspek rasio (H/W = 1,16
dengan H adalah tinggi rata-rata bangunan sepanjang jalan dan W adalah lebar
jalan). Pembandingan hasil pengukuran dan perhitungan konsentrasi yang
ditunjukkan OSPM berhasil untuk memprediksi polusi dari lalulintas di jalan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara lalulintas
dan polusi. Sementara itu Cahyono (2005) meneliti sebaran SO2 dan NO2 dari
industri di Bandung. Metode yang digunakan adalah semi top-down untuk data
gradien menggunakan MM5. MM5 adalah salah satu model gradien yang
merupakan model prediksi cuaca regional. MM5 sendiri merupakan model
gradien finite difference. Berdasarkan hasil analisis dengan MapInfo dan ArcView
tampak di daerah sebelah timur kota Bandung emisi NO2 and SO2 lebih tinggi
dibandingkan daerah lain. SO2 mencapai nilai 240.000 kg/tahun dan NO2
mencapai nilai 335.000 kg/tahun. Akan tetapi pola penyebaran ini juga
dipengaruhi oleh efek sirkulasi diurnal di daerah tersebut seperti angin gunung
dan angin lembah. Di daerah utara sekitar Dago dan daerah terdekatnya cenderung
nilainya rendah, karena daerah utara Bandung merupakan daerah tinggi yang
penuh dengan vegetasi. Angin dapat membawa materi polutan melintasi batas
kota dan negara sampai ratusan kilometer. Faktor iklim dan cuaca sangat
menentukan dalam penyebaran polutan di suatu wilayah. Faktor meteorologi
24
mempunyai peran yang sangat utama dalam menentukan kualitas udara di suatu
daerah, baik kualitas udara perkotaan, pedesaan maupun alami.
Pola angin pada jenis permukaan berbeda akan menentukan pola dispersi
yang terjadi berbeda. Pada Gambar 6.a tampak terjadi perbedaan arah dispersi di
permukaan dan lapisan di atasnya. Menurut Klipp dan Mahrt (2003) ketika lapisan
pembatas terdapat di atas dua jenis permukaan yang berbeda, maka
kesetimbangan dengan permukaan di bawahnya akan terganggu, dan terbentuk
lapisan yang disebut Internal Boundary Layer (IBL). Pada Gambar 6.b
menggambarkan pola dispersi pada permukaan yang lebih homogen yaitu daratan
(perkotaan), pola dispersi akan menyesuaikan dengan pola angin yang terjadi.
Arah dan kecepatan angin selalu berubah-ubah sehingga memerlukan
analisis data angin untuk mendapatkan arah dan kecepatan angin rata-rata di suatu
tempat pada suatu waktu tertentu. Analisis ini dikenal sebagai windrose (Cooper
dan Alley, 1994). Data yang diperlukan untuk analisis ini adalah data kecepatan
dan arah angin dari waktu ke waktu, dibuat tabel frekuensi untuk arah angin dan
kisaran kecepatan angin tertentu.
(a) Pola dispersi pada permukaan heterogen (b) Pola dispersi pada permukaan homogen
Gambar 6. Pola dispersi pada permukaan
Profil kecepatan angin vertikal antara urban, pedesaan atau sub-urban serta
permukaan terbuka ditunjukkan pada Gambar 7.a. Pada ketinggian yang sama
untuk ketiga jenis permukaan menunjukkan kecepatan angin yang berbeda.
Wilayah yang lebih kasap, perubahan kecepatan angin antar ketinggiannya kecil,
karena terjadi olakan yang mengakibatkan kecepatan angin lebih homogen. Pada
Gambar 7.b-e menunjukkan pengaruh stabilitas terhadap profil kecepatan angin.
Pada kondisi stabil perbedaan kecepatan angin antar ketinggian lebih besar
dibandingkan dengan kondisi netral dan tidak stabil.
25
Sumber: Oke (1978)
Gambar 7. Profil kecepatan angin di permukaan kota, suburban dan daerah terbuka (a), serta pengaruh stabilitas (b, c, d, e)
Pada skala vertikal kecepatan angin meningkat terhadap ketinggian, dan
dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan Deacon dalam Wark dan Warner
(1981) sebagai berikut:
2 2
1 1
pu zu z
⎛ ⎞= ⎜ ⎟⎝ ⎠
……. 2.4
dengan : u1, u2 = kecepatan angin pada dua lapisan ketinggian yang berbeda (ms-1) z1, z2 = ketinggian dua lapisan (m); p = fungsi stabilitas atmosfer
Menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995), variasi angin terhadap
ketinggian maksimum terjadi di atas permukaan yang tidak beraturan dan
minimum di atas daratan yang datar dan permukaan air. Pada daerah yang penuh
bangunan tinggi nilai p sekitar 0,40 kota kecil dan daerah berhutan p = 0,28
sedangkan untuk daerah terbuka dan datar, danau dan laut nilai p = 0,16.
Tabel 7. Nilai p untuk model profil angin sebagai pengaruh kekasapan permukaan
Kelas stabilitas p (kota) p (desa) A B C D E F
0,15 0,15 0,20 0,25 0,40 0,60
0,15 0,15 0,20 0,25 0,40 0,60
Sumber: Cooper dan Alley (1994)
26
Wark dan Warner (1981) mengemukakan bahwa nilai p pada persamaan
2.4 dapat dihubungkan dengan nilai n (parameter stabilitas):
2np
n=
− ……. 2.5
Pada kondisi netral, persamaan 2.4 menjadi:
* lno
u zuk z
⎛ ⎞= ⎜ ⎟
⎝ ⎠ ……. 2.6
dengan *u τρ
=
Keterangan : u = kecepatan angin pada ketinggian z k = konstanta von Karman (0,4 untuk dekat permukaan tanah)
zo= panjang kekasapan permukaan (bidang yang paling aktif melakukan pertukaran), makin halus permukaan zo makin kecil diukur dari analisa profil
τ = tegangan geser permukaan ρ = kerapatan atmosfer u* = kecepatan gesekan (sher velocity) merupakan indikasi
turbulensi dan bergantung ketinggian
Tabel 8. Hubungan antara parameter n dengan kondisi stabilitas atmosfer
Kondisi stabilitas n Laju penurunan suhu besar Laju penurunan suhu kecil atau nol Inversi moderat Inversi kuat
0,20 0,25 0,33 0,50
Sumber: Suton dalam Wark dan Warner (1981)
Jika *uk
dianggap sebagai suatu konstanta c, maka persamaan 2.6 menjadi :
logo
zu cz
⎛ ⎞= ⎜ ⎟
⎝ ⎠ ……. 2.7
ketika terjadi inversi, udara dingin cenderung bertahan di permukaan, sehingga:
1du czdz
−= ……. 2.8
menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995) secara umum persamaan 2.8 ditulis
menjadi: du czdz
β−= ……. 2.9
dengan β adalah fungsi struktur suhu (stabilitas), β = 1 untuk kondisi netral, β < 1
untuk kondisi stabil dan β > 1 untuk kondisi tidak stabil
27
2.6.4 Kondisi Topografi
Kondisi topografi suatu wilayah akan mempengaruhi angin dan suhu udara
di atasnya. Perbedaan penerimaan radiasi matahari antara datar dan berlereng
menyebabkan terjadinya pola aliran udara yang mengikuti perbedaan suhu dan
tekanan udara di atasnya.
Pengaruh topografi cukup rumit, sehingga menurut Barry (1968), perlu
mengenali jenis pegunungan dengan kriterianya. Pada dasarnya perlu dibedakan
antara puncak yang terisolasi, yaitu rangkaian pegunungan yang cukup besar
untuk memodifikasi aliran udara ke atas maupun ke bawah, dan dataran tinggi
yang membentuk penghalang utama untuk gerakan udara dan memiliki iklim
sendiri. Puncak yang tinggi mengalami suhu yang hampir sama dengan udara
bebas pada ketinggian yang sama, sementara dataran tinggi dipanaskan dan
didinginkan oleh proses radiasi. Lembah diantara dataran tinggi memiliki
atmosfer ‘tertutup’ yang secara diurnal dimodifikasi oleh pendinginan malam
hari, khususnya di musim dingin dan dinaikkan (suhunya) oleh pemanasan siang
hari.
Wilayah dengan topografi datar, pola anginnya relatif tidak mengalami
gangguan, seperti yang dikemukakan oleh Zhang dan Ghoniem (1993) bahwa
pengaruh topografi datar terhadap dispersi dan lintasan kepulan sangat kecil.
Untuk daerah dengan berpegunungan gerakan udara (angin) akan mendapatkan
hambatan sehingga terjadi gerakan udara ke atas secara mekanik (forced
convective). Topografi juga dapat mengubah arah dan kecepatan angin dengan
cepat karena adanya saluran (chanelling) melalui lembah, dan city-street canyon,
atau pemisahan aliran. Menurut Bibero dan Young (1974) profil kota yang kasar
menjadi tempat penyerapan energi kinetik dan memperlambat angin.
2.7 Model Prediksi
2.7.1 Model Dispersi
Secara umum terdapat empat model kualitas udara yang digunakan, yaitu:
(1) model empirik atau statistik, model ini digunakan untuk menghubungkan data
konsentrasi suatu lingkungan dengan lingkungan lain, misalnya CAR-model, suatu
model untuk mengestimasi kepadatan lalulintas dengan perubahan area; (2) model
28
Gaussian atau plume-model, merupakan model teori dasar penyebaran mengenai
distribusi polutan karena turbulensi, model ini dapat digunakan pada skala lokal;
(3) model Lagrangian, model untuk paket udara sebagai fungsi waktu sepanjang
aliran streamlines dalam atmosfer. Model ini digunakan untuk menganalisis emisi
polutan pada topografi yang kompleks, sedangkan aliran dan perubahan
konsentrasinya dikaji secara particulary (Noonan, 1999). Jenis model partikel
Lagrangian merupakan satu level di atas model puff. Model ini membutuhkan
sejumlah banyak partikel untuk membangun signifikansi statistik pada simulasi
(Mikkelsen, 2003); dan (4) model Eulerian, suatu model untuk menganalisis
konsentrasi satu atau beberapa kotak, pergerakan dari kotak ke kotak dipengaruhi
oleh kecepatan angin.
Untuk memprediksi penyebaran pencemar udara dikenal dua level
pemodelan, yakni screen modeling dan refined modeling. Analisis penyebaran
dengan screening modeling memberikan prediksi yang bersifat konservatif
terhadap dampak sumber pencemar dengan menggunakan masukan data dari
kasus terburuk (konsentrasi zat pencemar maksimum) atau data yang minimum
ketersediaannya (NSW-EPA 2001 dan ODEQ 2002). Menurut New South Wales
Environment Protection Authority (2001), screening modeling ini akan
memberikan suatu penilaian yang disebut ‘penilaian dampak tingkat 1’ (level 1
impact assessment). Dalam publikasi World Bank (1997) diungkapkan bahwa
screen models dapat digunakan untuk menentukan dispersi pencemar udara
dengan lebih cepat karena prosesnya yang tidak terlalu kompleks.
Model prediksi dapat diberlakukan untuk setiap evolusi dan seluruh
spesies polutan dalam lingkungan dengan perubahan yang konstan. Menurut
Ching et al. (2005) keluaran model secara kuantitatif tergantung pada seleksi grid
serta aplikasi komputasi yang digunakan. Lee, Geem, Kim dan Nam Yon (1998)
membangun simulasi komputer untuk memprediksi polutan beracun melalui
adveksi dan difusi untuk aliran unsteady. Model simulasi komputer dibangun
dengan UNET, model simulasi kualitas air, TOX15. Model ini diaplikasikan pada
phenol di sungai Nakdong Korea. Hasil model menunjukkan secara akurat dapat
memprediksi transpor polutan pada sistem sungai. Sementara itu Reza, Kingham
dan Pearce (2005) mengevaluasi model dispersi PM10 dengan menggunakan
29
model TAPM (The Air Pollutan Model) di Christchurch New Zeland. Hasil
pembandingan statistik dengan monitoring dengan IOA (Index of Agreement) 0,6
untuk variabel meteorologi menunjukkan hasil yang baik.
Penggunaan model dispersi udara secara esensi menggambarkan laju
emisi. Model dispersi adalah melakukan penghitungan sebaran udara dengan
koefisien dari setiap udara bebas pada waktu dan keadaan tertentu. Mayinger,
Pultz dan Durst (1989) membuat model simulasi numerik penyebaran polutan
pada lapisan batas atmosfer. Model yang dibangun menggunakan model Euler.
Persamaan difernsial dikembangkan dari hukum konservasi massa, momentum
dan energi. Prosedur solusi numerik untuk unsteady secara spesipik dilakukan
melalui: metode finite volum, menggunakan scheme implicit (time step),
sedangkan penyelesaian matrik menggunakan Strongly-Implicit-Procedure (SIP).
Secara umum penyebaran plume pada lapisan batas atmosfer melalui dua
mekanisme yaitu konveksi (atau adveksi) dan difusi. Difusi adalah pergerakan
atau perpindahan molekul-molekul dari material tertentu, dari tempat konsentrasi
tinggi ke tempat dengan konsentrasi lebih rendah. Difusi merupakan sifat alamiah
molekul yang terjadi karena setiap molekul memiliki energi kinetik untuk terus
bergerak dengan bebas, cepat dan acak sehingga molekul-molekul akan saling
bertabrakan sampai terdistribusi merata.
Model dispersi yang digunakan, tingkat kerumitannya akan beragam,
tergantung pada input yang digunakan dan output yang diharapkan. Drew et.al.
(2006) membuat model penyebaran bioaerosol dari fasilitas pupuk kompos. Data
konsentrasi bioaerosol diukur dan dianalisis secara berurut dengan menggunakan
model dispersi ADMS. Model ini adalah model dispersi Gausian untuk durasi
penyebaran yang singkat dan permukaan yang kompleks. Hasilnya kemudian
dibandingkan dengan hasil pengukuran untuk mendapatkan model prediksi yang
akurat. Dalam membandingkan hasil model, didasarkan pada tiga kelas stabilitias
Pasquill (very unstable, neutral dan very stable). Pada kondisi very unstable
konsentrasi bioaerosol pada ground level lebih tinggi dari pada kelas stablitias
yang lain. Sementara itu Cemas dan Rakovec (2003) membangun model spasial
dan temporal untuk menganalisis emisi SO2 dari termal Powerplant di Europa.
Konsentrasi polutan di atmosfer dianalisis menggunakan konservasi massa. Model
30
yang dibangun menggunakan model dispersi MEDIA yaitu suatu model Eulerian
untuk grid tiga dimensi dengan sigma sebagai koordinat vertikal. Konsentrasi
polutan diukur pada setiap titik grid (node) pada setiap waktu.
2.7.2 Sistem Peramalan Kualitas Udara
Menurut Tetuko (1998) terdapat beberapa metode komputasi untuk
pemodelan, misalnya metode analitik (analytical method), metode momen
(moment method), metode elemen hingga (finite element method), dan metode
beda hingga kawasan waktu (finite difference time domain). Pemilihan metode
mana yang terbaik tergantung pada problem utama yang akan dianalisa. Sebuah
Model Simulasi Kualitas Udara dapat berupa metodologi atau teknik numerik,
yang didasarkan atas dasar-dasar pokok fisika, yang digunakan untuk
memperkirakan konsentrasi pencemar udara dalam waktu dan ruang sebagai
fungsi dari distribusi emisi dan parameter meteorologi serta keadaan geofisik.
Menurut Mcdonald (2003), model simulasi adalah esensi prosedur komputasi
untuk memprediksi konsentrasi karena arah dan kecepatan angin, emisinya
didasarkan pada karakteristik (kecepatan keluar stack, temperatur plume, dan
diameter stack), bentuk permukaan (kekasapan permukaan, topografi lokal,
bentuk bangunan) dan keadaan atmosfer (kecepatan angin, stabilitas, dan tinggi
bercampur).
Sistem peramalan kualitas udara dapat digolongkan menjadi sistem
peramalan empirik atau statistik dan sistem peramalan numerik atau hibrid. Sistem
peramalan empirik atau statistik telah dioperasikan oleh beberapa lembaga negara
di Australia, misalnya Environment Authority of Victoria (EPAV)
mengembangkannya untuk kota Melbourne dan Geelong sejak Tahun 1982.
Prakiraan kualitas udara secara numerik mengembangkan prediksi meteorologi
dan kualitas udara melalui pemecahan persamaan konservasi untuk momentum,
energi, uap air dan massa untuk beberapa spesies.
Sistem numerik sekarang sedang dikembangkan di beberapa negara,
termasuk Jepang, Jerman, Amerika Serikat dan Kanada. Ada tiga macam teknik
pemecahan numerik, yaitu finit difference, finit element dan spectral method.
Metode numerik adalah teknik yang digunakan untuk memformulasikan persoalan
31
matematik sehingga dapat dipecahkan dengan operasi perhitungan/aritmetika biasa.
Reddy (1998) membuat model komputasi untuk memprediksi aliran dan transpor
polutan di sungai, muara dan laut. Persamaan dibangun dari konservasi massa dan
momentum, persamaannya diselesaikan dengan teknik finite different. Solusi
persamaan ini dapat memprediksi sebaran polutan pada setiap grid sebagai fungsi
ruang dan waktu. Tang et.al. (2006) membuat simulasi Computational Fluid
Dynamic (CFD) pada penyebaran jangka-pendek, secara khusus aliran dan
penyebaran pada struktur yang kompleks. Pengembangan dalam simulasi
komputer menggunakan performa FLUENT. Program ini merupakan solusi dari
persamaan konservasi massa, momentum dan energi.
Pengembangan dari finit element adalah finit volum method (FVM).
Nelwan (2005) telah mengembangkan FVM dalam penelitiannya untuk
mendapatkan distribusi suhu dan kelembapan nisbi udara dalam alat pengering
berbantuan energi surya yang berbentuk silinder untuk pengeringan biji kakao.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan FVM diperoleh
perbedaan suhu dan kelembapan nisbi udara pada beberapa posisi dalam
pengering tersebut sesuai dengan hasil pengukuran langsung. Sementara itu
Papakostas et.al. (2005) membuat model numerik dengan scheme implisit untuk
polusi atmosfer. Model konsentrasi polutan di atmosfer dihubungkan dengan
kecepatan angin, vektor difusivitas turbulen dan difusi massa polutan. Solusi
numerik dengan asumsi S=0 (tidak ada sumber) didapatkan solusi analitik model
Gaussian sebagai fungsi jarak dan waktu.
2.7.3 Pengembangan Model
Model yang dibangun untuk memprediksi laju penyebaran pencemar
udara, merupakan pengembangan dari persamaan kontinuitas dan persamaan
gerak. Model aliran yang dibangun dari kedua persamaan tersebut dapat
diaplikasikan untuk penyebaran polutan. Untuk mengkaji model penyebaran
tersebut digunakan model Euler atau model Lagrang. Model Euler mengkaji
model aliran dalam konsep medan, sedangkan model Lagrang mengkaji model
aliran dalam konsep partikel (Cengel dan Cimbala, 2006)
32
Persamaan kontinuitas dibentuk dari pola aliran dengan memperhatikan
hukum kekekalan, jika φ property fluida per unit volum (biasa disebut
konsentrasi) dan net efek per unit volum pada seluruh proses non-konservatif
adalah [ ]Q φ diperhitungkan, maka persamaan umum kontinuitas menurut Vallis
(2005) adalah:
[ ].D V QDtφ φ φ+ ∇ =
v v ……. 2.10
dengan D u v wDt t x y z
∂ ∂ ∂ ∂= + + +∂ ∂ ∂ ∂
Jika efek pada proses non-konservatif tidak diperhitungkan, maka persamaan 2.10
berubah menjadi:
( ). 0Vtφ φ∂+∇ =
∂
v v ……. 2.11
Secara umum:
( ) ( ). 0Vtρφ ρφ∂
+∇ =∂
v v ……. 2.12
dengan ρ adalah kerapatan udara.
Pada persamaan gerak berlaku kesetimbangan momentum. Aliran
momentum, baik masuk maupun keluar, melalui dua mekanisme, yaitu konveksi
dan transfer molekul (Bird et al., 1960). Dalam setiap fluida yang mengalir
terdapat dua jenis perpindahan momentum: (1) perpindahan momentum secara
molekular, yang ditimbulkan karena gaya tarik-menarik antar molekul, dan (2)
perpindahan momentum secara konveksi, yang ditimbulkan karena adanya aliran
massa. Secara umum persamaan gerak dirumuskan:
( ) .D V p gDtρ τ ρ= −∇ +∇ +v
v v v …… 2.13
dengan τv adalah tensor tegangan viskos, sebagai berikut:
2
2
2
xx xy xz
yx yy yz
zx zy zz
u u v u wx y x z x
v u v v wx y y z y
w u w v wx z y z z
μ μ μ
τ τ ττ τ τ τ μ μ μ
τ τ τ
μ μ μ
⎛ ⎞⎛ ⎞∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎛ ⎞+ +⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠⎝ ⎠⎜ ⎟⎛ ⎞ ⎜ ⎟⎛ ⎞ ⎛ ⎞∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎜ ⎟ ⎜ ⎟= = + +⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎜ ⎟⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎝ ⎠⎛ ⎞∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎛ ⎞⎜ ⎟+ +⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎝ ⎠
v
....... 2.14
33
jika tensor tegangan τv pada persamaan 2.14 dimasukkan ke persamaan 2.13,
maka didapat persamaan Navier-Stokes (Cengel dan Cimbala, 2006):
2( )D V p V gDtρ μ ρ= −∇ + ∇ +v
v ……. 2.15
dengan μ adalah viskositas dinamik, ρ adalah kerapatan udara, p adalah tekanan, Vv
adalah vektor kecepatan dan g adalah percepatan gravitasi bumi.
Perpindahan massa berlangsung dengan dua cara yaitu: konveksi dan
difusi. Perpindahan secara konveksi, karena adanya gaya dari luar sistem,
sedangkan perpindahan massa secara difusi, karena adanya gaya penggerak dalam
sistem, yakni perbedaan konsentrasi. Alirannya berlangsung dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah (Bird et al., 1960). Penyebaran pencemar udara
diperoleh dengan menggabungkan persamaan 2.10 dan 2.15 sebagai berikut:
( ) 2.V V p V gtρ ρ μ ρ∂
+∇ = −∇ + ∇ +∂
vv v v
……. 2.16
Penyebaran pencemar udara, untuk keadaan steady, dalam hal ini bahwa ρ
adalah tetap, maka uraian persamaan 2.16, untuk komponen-x adalah : 2 2 2
2 2 2xu u u u p u u uu v w gt x y z x x y z
ρ ρ μ⎛ ⎞⎛ ⎞∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂
+ + + = − + + + +⎜ ⎟⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ……. 2.17.1
2
2
u ut z
ρ μ∂ ∂=
∂ ∂ ……. 2.17.2
2
2
u ut z
ν∂ ∂=
∂ ∂ ……. 2.17.3
dengan μνρ
= adalah viskositas kinematik.
Untuk keadaan steady 0u u uu v wx y z
⎛ ⎞∂ ∂ ∂+ + =⎜ ⎟∂ ∂ ∂⎝ ⎠
kemudian 0px∂
=∂
dan 0xgρ =
karena tidak ada perubahan tekanan dan gaya gravitasi pada sumbu-x. Fluida
mengalir pada sumbu-x, maka syarat kontinuitas 2
2 0ux∂
=∂
dan 2
2 0uy∂
=∂
karena
tidak ada kecepatan terhadap sumbu y, maka fluida mengalir pada bidang x-z.
Persamaan 2.17.3 merupakan persamaan difusi untuk satu dimensi. Menurut
Mikkelsen (2003) persamaan difusi timbul sebagai konsekuensi langsung dari
34
prinsip konservasi massa, dengan perubahan total massa pada sistem tertutup
adalah nol.
2.7.4 Aplikasi Model untuk Menganalisis Konsentrasi Polutan
Untuk menganalisis sebaran pencemar udara dari sumber dilakukan model.
Suatu model untuk menganalisis sebaran pencemar udara digunakan model
Gaussian. Proses model plume Gauss, cocok untuk mengidentifikasi hubungan
input dan output dari data yang di uji (Sabin et al., 2000). Gaussian plume model
adalah salah satu model matematika yang digunakan untuk mempresentasikan
proses dispersi polutan di udara. Persamaan dari model tersebut digunakan untuk
menentukan konsentrasi polutan hasil dispersi cerobong asap pabrik di lokasi
tertentu di sekitar cerobong asap. Pada model ini perilaku polutan mengikuti
distribusi normal atau distrbusi Gaussian. Model Gausian secara luas digunakan
untuk mengestimasi impact polutan non-reaktif dari sumber titik atau garis (Arya,
1999).
Model Gaussian pertama-tama dikembangkan untuk mengolah emisi dari
sebuah sumber titik (plumes) dalam skala lokal, model multi kotak sengaja
dikembangkan sebagai model regional (skala meso) untuk menangani pencemaran
di daerah urban yang secara spesifik akan mengolah penyebaran pencemar di
daerah berdasarkan distribusi emisi pencemarnya. Formula pada Gaussian plume
model dapat digunakan untuk menentukan tinggi fisik cerobong asap yang
minimum agar dispersi polutan tidak membahayak makhluk hidup di sekitar
pabrik. Soriano et.al. (2003) melakukan pengukuran dampak emisi dari cerobong
industri, dengan menggunakan model Gaussian dan mesoscale. Model Gaussian
digunakan untuk memprediksi konsentrasi pelbagai polutan pada ground-level
yang diemisikan dari cerobong industri. Sementara itu dampak emisi dari
cerobong indutri di Eastern Spanyol digunakan model TAPM (The Air Pollutan
Model).
Model sebaran pencemar udara dari sumber titik disajikan pada Gambar 8.
Hasil model plume Gaussian sebagai solusi dari persamaan difusi. Pada model ini
faktor lain yang dipertimbangkan yaitu stabilitas atmosfer yang mempengaruhi
penyebaran polutan baik secara horisontal searah angin (downwind) maupun
35
melintasi arah angin (crosswind). Formula dasar fungsi Gaussian dapat digunakan
secara tepat untuk mengestimasi distribusi polutan dari single source (Forsdyke,
1970). Model dispersi Gauss dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan: 2 2
2 2 2
1 1 1( , , ; ) exp exp exp2 2 2 2y z y z z
Q y z H z HC x y z Huπσ σ σ σ σ
⎧ ⎫⎡ ⎤ ⎡ ⎤⎡ ⎤⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞− +⎪ ⎪⎢ ⎥ ⎢ ⎥= − − + −⎢ ⎥⎜ ⎟ ⎨ ⎬⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎢ ⎥ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎪ ⎪⎝ ⎠⎣ ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦⎩ ⎭
……. 2.18
keterangan : C adalah konsentrasi polutan pada suatu titik (x,y,z), dalam gm-3 Q adalah laju emisi, dalam gs-1 σy, σz adalah parameter penyebaran horisontal (y) dan vertikal (z), merupakan
fungsi dari jarak (x) u adalah kecepatan angin rata-rata pada ketinggian cerobong, dalam ms-1 y adalah kepulan horisontal dari centerline, dalam m x adalah kepulan vertikal dari permukaan, dalam m H adalah ketinggian efektif (H=h+∆h), h adalah ketinggian cerobong dan ∆h
adalah tinggi kepulan di atas cerobong
Gambar 8 memberikan ilustrasi tentang pemodelan dispersi polutan
dengan Gaussian plume model. Polutan bergerak searah dengan arah angin pada
sumbu-x. Sumbu-y adalah arah tegak lurus horisontal dengan sumbu-x dan
sumbu-z adalah vertikal dengan permukaan tanah. Pada proses difusi polutan,
terjadi difusi tiga dimensi karena molekul-molekul polutan berdifusi pada sumbu-
x, sumbu-y dan sumbu-z. Selain proses difusi, pada sumbu-x juga terjadi proses
adveksi atau transportasi polutan yang diakibatkan oleh angin.
Persamaan 2.18 dapat digunakan dengan asumsi; kecepatan dan arah angin
dari sumber titik sampai reseptor konstan, turbulensi atmosfer konstan, seluruh
kepulan tidak mengalami deposisi ataupun washout, komponen yang mencapai
Gambar 8. Model penyebaran polutan dari sumber titik berdasar sebaran
Gauss (Carbon, 2004 )
36
permukaan dipantulkan kembali ke dalam kepulan, tidak ada komponen yang
diserap oleh badan air atau vegetasi, dan secara kimia tidak ada komponen yang
mengalami transformasi, dispersi hanya terjadi pada arah vertikal dan crosswind
(Leonard, 1997). Stabilitas atmosfer dan downwind distance pada model
Gaussian, bukan merupakan input langsung, tapi seluruhnya terkaper pada
parameter dispersi σy dan σz. Parameter tersebut diasumsikan sebagai standar
deviasi horisontal dan vertikal. Parameter dispersi yang biasa digunakan untuk
model Gaussian adalah koefisien dispersi PGT (Pasquill-Gifford-Turner) untuk
rural area. Ashrafi dan Hoshyaripour (2008) membuat model untuk menganalisis
stabilitas atmosfer dan hubungannya dengan konsentrasi CO. Metode yang
digunakan untuk menganalisis stabilitas atmosfer adalah PTM (Pasquill-Turner
Method) dengan program PORTRAN90. Untuk aplikasi model digunakan data
meteorologi dari Tahun 2000 sampai 2005 dari stasiun Mehrabad. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi CO dengan stabilitas
atmosfer. Klasifikasi stabilitas atmosfer sebesar 38,77%, 27,26%, 33,97% untuk
kondisi stabil, netral dan tidak stabil. Hasil frekuensi relatif mengindikasikan
kondisi stabil menurun selama periode Januari sampai Juni, dan meningkat selama
periode Juli sampai Desember. Sementara itu Ruhiat et.al. (2009) melakukan
analisis karkateristik udara di Kota Cilegon. Data meteorologi yang digunakan
dari Tahun 2005 – 2007. Hasil analisis menunjukkan bahwa stabilitas atmosfer di
Kota Cilegon berada pada stabilitas A (sangat tidak stabil) sampai E (agak stabil).
Aplikasi model untuk single source pada berbagai stabilitas atmosfer
digunakan model screen3 suatu model yang dikembangkan oleh badan
lingkungan Amerika USEPA (United States Environmental Protection Agency).
Model dispersi Screen3 digunakan untuk menganalisis pola sebaran polutan yang
tidak reaktif pada periode jangka pendek (harian), sehingga diperoleh pola
sebaran pada tingkat stabilitas yang berbeda. Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah (Bapedalda) Banten (2002) melakukan analisis pola
penyebaran polusi udara di Provinsi Banten. Sebaran polutan dikaji dengan
menggunakan model screen3. Hasil analisis sebaran menunjukkan bahwa jarak
sebaran terjadi pada berbagai kondisi stabilitas atmosfer. Pada stabilitas E yaitu
pada saat kondisi udara agak stabil (slightly stable), penyebaran polutan dapat
37
terjadi sampai jarak puluhan ribu meter atau puluhan kilometer dari sumbernya.
Konsentrasi terbesar (maksimum) yang jatuh pada permukaan tanah adalah pada
stabilitas A yaitu pada kondisi udara labil mantap (very unstable).
Aplikasi model untuk multiple sources digunakan model ISCST3
(Industrial Source Complex Short Term3). Rahmawati (2003) mengaplikasikan
model dispersi Gauss untuk menduga pencemaran udara di kawasan industri.
Analisis emisi dari sumber menggunakan model ISCST3. Sementara itu Venegas
dan Mazzeo (2002) membuat model dispersi untuk mengevaluasi konsentrasi NO2
di Buinos Aires. Aplikasi model dari sumber titik menggunakan model ISCST3
sedangkan dari sumber area menggunakan model DAUMOD (The Atmospheric
Dispersion Model). Model ini diaplikasikan untuk mengevaluasi sebaran polutan
pada setiap grid untuk Kota Buinos Aires. Konsentasi NO2 perjam dan pertahun
dapat diestimasi. Hasil prediksi terjadinya konsentrasi perjam lebih besar dari
yang ditunjukan WHO. Ruhiat et.al. membuat prediksi sebaran SO2 di Kota
Cilegon. Model dibangun dengan menggunakan persamaan adveksi-difusi untuk
aliran unsteady. Kemudian Tan, Vergel dan Camagay (2006) membangun dan
mengkalibrasi model dispersi polutan. Model dispersi udara digunakan untuk
mengestimasi konsentrasi polutan yang diemisikan pada berbagai sumber industri.
Konsentrasi polutan dianalisis searah dengan arah angin. Model ini diaplikasikan
di Kota Manila, sebarannya dianalisis sebagai fungsi ruang dan waktu.
Untuk menganalisis penyebaran pencemar udara pada suatu wilayah,
Santoso (2005) membuat model penyebaran pencemar udara dari kendaraan
bermotor dengan menggunakan metode volume terhingga di Kota Bogor. Model
yang dibangun, diturunkan dari persamaan umum tranpor untuk aliran steady.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencemar udara, menyebar ke semua arah
melalui proses difusi. Sementara itu Lastdrager, Koren dan Verwer (2001)
membuat teknik kombinasi masalah adveksi time-dependent pada setiap grid.
Persamaan adveksi didiskretisasi menjadi persamaan linear. Hasil analisis
menunjukkan bahwa teknik kombinasi lebih efisien dari pada pendekatan single-
grid.
Schulze et.al. (2002) membuat model distribusí dan simulasi spasial-
temporal. Untuk mendukung informasi spasial digunakan HILA (High Level
38
Architecture). Spasial-temporal pada standar geoinformasi digunakan DALI
(Distributed Spatial-temporal Interoperability architecuture). Sementara itu
Alimaman (2004) membuat model matematis monitoring kualitas lingkungan
untuk kawasan perkotaan. Model ini dilakukan pada lokasi; Kota Bogor, Kota
Jakarta, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Bandung.
Model matematis yang dibangun adalah model regresi. Hasil pola regresi dengan
variabel yang dikembangkan, didapat bahwa jumlah rumah dan jumlah industri
yang bertambah, akan membutuhkan kebutuhan kapasitas jalan sesuai kebutuhan
dengan jumlah kendaraan yang ada, akan mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Kemudian Chenevez, Baklanov dan Sorensen (2004) membuat model prediksi
transpor polutan dengan scheme integrasi numerik. Sebaran konsentrasi polutan
(C) dianalisis dengan menggunakan persamaan adveksi-difusi. Persamaan
dibangun dalam bentuk spasial dan temporal. Konsentrasi yang diemisikan pada
waktu t t+ Δ di dalam grid didapat solusi: ( )2 .t t t tC t Q t C+Δ −Δ= Δ + dengan Q
tergantung pada volume emisi grid. Sementara itu Tartakovsky, Federico (1997)
membuat solusi analitik untuk transpor pencemaran pada aliran nonuniform.
Persamaan dibangun dari persamaan difernsial dispersi-konveksi steady-state
untuk kasus 2 dimensi. Kemudian Fadimba (2005) membuat linierisasi dengan
scheme Euler pada persamaan adveksi-difusi nonlinear. Fungsi aliran faksional,
fungsi invers, dan koefisien difusi menggunakan deret Taylor-expansion. Hasil
analisis linearisasi untuk time-step ditunjukkan dengan matrik.