ii. tinjauan pustaka 2.1 komposisi atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara...

33
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer Secara alami atmosfer terdiri dari berbagai gas, jumlahnya ada yang tetap dari waktu ke waktu dan ada yang berfluktuasi, karena adanya masukan yang berasal dari berbagai aktivitas makhluk hidup di permukaan bumi. Fungsi atmosfer adalah untuk mencegah pemanasan dan pendinginan permukaan bumi yang berlebihan dan menyediakan gas-gas tertentu bagi organisme. Atmosfer sendiri merupakan suatu medium yang sangat dinamik, ditandai dengan kemampuan-kemampuan sebagai: penyebaran (dispersion), pengenceran (dilutions), difusi (antar molekul gas atau partikel/aerosol) dan transformasi fisik- kimia dalam proses dan mekanisme kinetik atmosferik. Pergerakan dan dinamika serta kimia atmosferik, merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan keberadaan pencemar udara setelah diemisikan dari sumbernya. Schnitzhofer et.al. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampuran polutan terjadi sampai di atas 100 m AGL (above ground level). Pada ground level meningkat karena kesetimbangan radiasi, kemudian polutan meningkat karena inversi dan pengenceran. Dalam atmosfer dari permukaan bumi hingga ketinggian 80 – 90 km berbagai gas berada secara tetap dalam bentuk campuran, kecuali pada saat perubahan kecil selama periode yang pendek dan pada wilayah di luar batas ketinggian tersebut. Sementara itu kadar gas di atmosfer yang bersifat tidak tetap, selengkapnya ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Gas-gas tidak tetap dalam atmosfer Gas Persentase Volume Air (H 2 O) Karbon dioksida (CO 2 ) Ozon (O 3 ) Sulfur dioksida (SO 2 ) Nitrogen dioksida (NO 2 ) 0 – 7 0,01 – 0,1 (rata-rata = 0,032) 0 – 0,1 (pada ketinggian 20 – 50 km) 0 – 0,0001 0 – 0,00002 Sumber: Anon (1971) Ada empat macam gas terbanyak di udara yakni: nitrogen (78,08%), oksigen (20,94%), argon (0,90%) dan karbondioksida (0,03%). Di samping 6

Upload: vandien

Post on 14-Feb-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komposisi Atmosfer

Secara alami atmosfer terdiri dari berbagai gas, jumlahnya ada yang tetap

dari waktu ke waktu dan ada yang berfluktuasi, karena adanya masukan yang

berasal dari berbagai aktivitas makhluk hidup di permukaan bumi. Fungsi

atmosfer adalah untuk mencegah pemanasan dan pendinginan permukaan bumi

yang berlebihan dan menyediakan gas-gas tertentu bagi organisme. Atmosfer

sendiri merupakan suatu medium yang sangat dinamik, ditandai dengan

kemampuan-kemampuan sebagai: penyebaran (dispersion), pengenceran

(dilutions), difusi (antar molekul gas atau partikel/aerosol) dan transformasi fisik-

kimia dalam proses dan mekanisme kinetik atmosferik. Pergerakan dan dinamika

serta kimia atmosferik, merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan

keberadaan pencemar udara setelah diemisikan dari sumbernya. Schnitzhofer

et.al. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan

PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pencampuran polutan terjadi sampai di atas 100 m AGL

(above ground level). Pada ground level meningkat karena kesetimbangan radiasi,

kemudian polutan meningkat karena inversi dan pengenceran.

Dalam atmosfer dari permukaan bumi hingga ketinggian 80 – 90 km

berbagai gas berada secara tetap dalam bentuk campuran, kecuali pada saat

perubahan kecil selama periode yang pendek dan pada wilayah di luar batas

ketinggian tersebut. Sementara itu kadar gas di atmosfer yang bersifat tidak tetap,

selengkapnya ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Gas-gas tidak tetap dalam atmosfer Gas Persentase Volume

Air (H2O) Karbon dioksida (CO2) Ozon (O3) Sulfur dioksida (SO2) Nitrogen dioksida (NO2)

0 – 7 0,01 – 0,1 (rata-rata = 0,032) 0 – 0,1 (pada ketinggian 20 – 50 km) 0 – 0,0001 0 – 0,00002

Sumber: Anon (1971)

Ada empat macam gas terbanyak di udara yakni: nitrogen (78,08%),

oksigen (20,94%), argon (0,90%) dan karbondioksida (0,03%). Di samping

6

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

7

keempat gas tersebut, udara mengandung gas-gas lain dalam jumlah yang sangat

kecil, di antaranya ada yang merupakan pencemar udara yaitu: NH3, SO2, CO dan

H2S, selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Susunan gas di atmosfer pada suhu dan tekanan udara baku

Kandungan (μg/Nm3) Jenis Gas Simbol Volume (%) A B C

Nitrogen Oksigen Argon Karbon dioksida Neon Helium Kripton Hidrogen Ozon Metana Oksida nitrogen Sulfur dioksida Ammonia Karbon monoksida Hidrogen Sulfur

N2 O2 Ar

CO2 Ne He Kr H O3

CH4 NOx SO2 NH3 CO H2S

78,80 20,94

0,93 0,03

9,75 x 108 2,99 x 108

1,60 x 107

5,90 x 105

1,60 x 107

920 4.100 26-90 10-15 1.080

0-6 2-50 0-15 130

3-30 Sumber: A dan B : Barry and Chorly (1968); Gordon et al (1998), di troposfer

sampai ketinggian 25 km C : Bowen (1979), sampai ketinggian 100 m Suhu baku adalah 25oC, tekanan udara baku adalah 1 atmosfer

2.2 Pencemar Udara

Pencemar udara adalah substansi di atmosfer yang pada kondisi tertentu

akan membahayakan manusia, hewan, tanaman atau kehidupan mikroba atau

bahan bangunan (Oke, 1978). Pencemar udara dapat dikelompokkan berdasar

caranya menjadi polutan, yaitu polutan primer dan polutan sekunder, dapat juga

berdasarkan jumlah yang dihasilkan yaitu pencemar mayor dan pencemar minor,

berdasarkan bentuk fisik yaitu gas, cair dan padat (partikel). Pencemar udara

dihasilkan oleh alam dan juga terutama oleh kegiatan manusia (man-made

pollution). Pencemar udara yang disebabkan oleh kegiatan manusia terutama

merupakan hasil dari kegiatan transportasi, industri dan urbanisasi. Stafilov,

Bojkovska dan Hirao (2003) mengukur konsentrasi CO, SO2, NO, NO2, suspensi

particulate matter (SPM), dan O3 pada waktu yang bersamaan dengan parameter

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

8

meteorologi yang berbeda pada empat stasiun di Skopje Macedonia. Konsentrasi

polutan mayor (SO2, NO2, CO dan SPM) meningkat selama proses pemanasan.

Konsentrasi tinggi disebabkan oleh gabungan polutan karena pemanasan, kondisi

geograpi dan kondisi meteorologi.

Pencemar udara yang dihasilkan dari industri berbeda-beda, tergantung

pada bahan bakar yang digunakan oleh industri tersebut. Pemakaian bahan bakar

sebagai sumber energi dalam menunjang proses industri masih sangat

mendominasi kegiatan industri di Indonesia, akibat belum mencukupinya energi

listrik yang ada. Pemakaian bahan bakar fosil akan memberikan emisi pencemar

udara konservatif, yang meliputi CO, hidrokarbon, NOx, partikulat (total

tersuspensi), dan SOx. Unsur-unsur ini dapat menjadi indikator utama pencemaran

udara, di samping oksidan photokimia yang terbentuk akibat adanya unsur-unsur

prekursor (hidrokarbon dan NOx) yang bereaksi dengan adanya sinar ultra violet.

Kawasan industri Kota Cilegon terdapat berbagai macam pabrik pengolahan

dengan berbagai produk yang berbeda-beda. Pelbagai pabrik di kawasan industri

tersebut, dapat digolongkan menjadi empat jenis dengan berbagai pencemar udara

yang diemisikan, selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan

Jenis Industri Pencemar yang dihasilkan

Industri besi dan baja

Industri kayu lapis

Industri kimia

Industri logam dan pengecoran logam

debu, senyawa fluorida dan SO2

padatan tersuspensi, fenol dan asam resin

tergantung jenis industri kimia, misalnya HCl, Cl2, NO2, NH3, hidrokarbon aromatik, pestisida dan lain-lain

SO2, sulfida, klor, HCl dan debu Sumber: Hartogensis (1977); Winarso (1991); Strauss dan Mainwaring (1994)

2.2.1 Partikulat

Secara fisik untuk penentuan kualitas udara ambien, partikulat

dikelompokkan menjadi PM10 yaitu partikulat dengan ukuran <10 μm, PM2,5 yaitu

partikulat dengan ukuran <2,5 μm, dan TSP (Total Suspended Particulate) yaitu

partikulat tersuspensi (KLH, 2002). Secara kimia partikel dapat dikelompokkan

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

9

menjadi partikel anorganik dan fly ash (sisa debu dari sistem cerobong industri

yang menggunakan bahan bakar fosil).

Partikel yang lebih halus, PM10 dan khususnya PM2,5 yang ultra-halus,

adalah yang paling berbahaya. Pada udara ambien, partikel biasanya ada dengan

sejumlah zat pencemar lain. Nakaguchi et.al. (2005) melakukan penelitian

distribusi partikulat di atmosfer selama 9 bulan di Osaka Jepang. Partikulat yang

diteliti PM-1 (> 10 μm), PM-2 (10 – 2,5 μm) dan PM-3 (< 2,5 μm). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa rasio total PM selama 9 bulan adalah 0,880 ±

0,011 untuk 207/206Pb 2,137 ± 0,033 untuk 208/206Pb dan 0,413 ± 0,007 untuk 207/208Pb. Terdapat hubungan yang signifikan antara rasio PM-1 dengan 207/206Pb

dan 208/206Pb dalam PM-1 dan PM-2. Berdasarkan hasil pengukuran Badan

pengendalian dampak lingkungan (Bapedal) Indonesia (2000) konsentrasi TSP

mulai Tahun 1996 sampai Tahun 1998 di sebagian besar kota-kota Indonesia

meningkat dengan cepat. Konsentrasi TSP tertinggi terjadi di kota Ujung Pandang

Tahun 1997. Sementara itu hasil pengukuran Bapedalda Jakarta (2002)

menunjukkan bahwa PM10 selama Tahun 2001 terjadi sangat tinggi pada bulan

Juni – September. Berkaitan dengan sebaran partikulat dari kawasan industri,

Bapedalda Banten (2002) menganalisis jarak sebaran partikulat dari sumber

Cilegon yang jatuh pada permukaan tanah adalah 16230 meter dengan konsentrasi

sebesar 34,95 μg/m3. Jarak sebaran partikulat dari sumber Serang adalah 5008

meter dengan konsentrasi sebesar 6,9 μg/m3. Jarak sebaran tersebut terjadi pada

stabilitas atmosfer E (agak stabil). Sementara itu hasil pemantauan udara ambien

pada 24 titik sampel yang dilakukan DLHPE Kota Cilegon (2005) dengan baku

mutu 230 μg/m3, menunjukkan bahwa debu yang melebihi baku mutu terjadi pada

9 titik sampel, tertinggi terjadi di lokasi kantor Bea Cukai dengan konsentrasi

sebesar 514 μg/m3. Selengkapnya ditampilkan pada Gambar 2.

2.2.2 Senyawa Sulfur

Menurut Seinfeld (1986), sumber senyawa sulfur di atmosfer adalah

penghancuran secara biologi, pembakaran bahan bakar fosil dan bahan bakar

organik, percikan air laut serta industri peleburan logam. Sulfur terutama terlepas

dalam bentuk SO2, selanjutnya teroksidasi menjadi SO3, kedua senyawa tersebut

dikenal sebagai oksida sulfur (SOx). SO2 bersifat larut dalam air dan dapat

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

10

mengiritasi mata, kulit, selaput lendir dan sistem pernafasan serta pada

konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kematian. Jika membentuk kabut (haze)

dari reaksi fotokimia aerosol, SO2, oksida nitrogen dan hidrokarbon di atmosfer.

Senyawa sulfur dapat menurunkan jarak pandang, jika bereaksi dengan air hujan

akan meningkatkan keasaman air hujan yang dapat menyebabkan asidifikasi

sumber air serta penurunan unsur hara tanah, juga menyebabkan korosi logam dan

bahan bangunan lain. Emisi sulfur dioksida terutama timbul dari pembakaran

bahan bakar fosil yang mengandung sulfur terutama batubara yang digunakan

untuk pembangkit tenaga listrik atau pemanasan rumah tangga.

0

100

200

300

400

500

600

Lokasi Pengukuran

Kon

sent

rasi

(ug/

m

Konsentrasi (ug/m3)

Baku Mutu (ug/m3) a) Rata-rata Konsentrasi b) Konsentrasi PM10 c) Konsentrasi debu di Kota

TSP Tahunan di Indonesia di Jakarta, 2001 Cilegon, 2005

Gambar 2. Konsentrasi TSP, PM10 dan debu

Sulfur dioksida (SO2) adalah gas yang tidak berwarna, memedihkan mata

(irritating), mudah larut dalam air dan reaktif. Gas yang berbau tajam tapi tak

bewarna ini dapat menimbulkan serangan asma, gas ini menetap di udara, bereaksi

dan membentuk partikel-partikel halus dan zat asam. Gas ini dibentuk pada saat

bahan bakar (minyak dan batubara) yang mengandung sulfur dibakar, terutama

dari kegiatan industri. SO2 dapat mematikan dan menghambat pertumbuhan

pepohonan, hasil produksi pertanian dapat merosot, hutan-hutan menjadi kurang

produktif sehingga akan mengurangi peranan hutan sebagai tempat rekreasi dan

keindahan. Pada manusia dapat menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas

sehingga menimbulkan gejala batuk dan sesak nafas. SO2 dihasilkan oleh

kendaraan bermotor dan industri, dan dapat menyebabkan hujan asam.

Penyumbang pencemar SO2 terbesar adalah industri (76%) diikuti dengan

transportasi (15%). Perkiraan besarnya emisi SO2 yang berasal dari kendaraan

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

11

bermotor menurut Bapedal (2001) pada Tahun 1999, 2000 dan 2001 secara

berurutan adalah 46.562,7 ton/tahun; 48.482 ton/tahun; 53.401,9 ton/tahun. Tasic

et.al. (2007) mengimplementasikan sistem monitoring kualitas udara, untuk

mengestimasi konsentrasi SO2 dengan menggunakan TScreen. Hasil model untuk

waktu rata-rata 1 jam pada 8 titik sampel menunjukkan adanya hubungan antara

tingkat emisi dengan konsentrasi SO2. Berkaitan dengan sebaran SO2 di Kota

Cilegon, DLHPE Tahun 2005 melakukan pemantauan udara ambien pada 24 titik

sampel. Hasil pemantauan dengan baku mutu 365 μg/m3, menunjukkan bahwa

SO2 tertinggi terjadi di lokasi depan PENI Desa Gerem Kecamatan Grogol dengan

konsentrasi sebesar 15,12 μg/m3. Selengkapnya disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Konsentrasi SO2 di 24 titik sampel

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

16.00

SO2

Lokasi pemnantauan

Kons

entr

asi

Kelapa TujuhKantor Bea CukaiASDP M erakPasar M erakDepan PENICikuasa BaruCikuasa LamaKruwukSumur Wuluh (Jalan Tol)Pabuaran LorKomp, Arga Baja PuraPolresPalem HillsPerum KSTelkom WarnasariSemangrayaNirmala OptikPelindoRamayanaPCIRandakariKBS/Sebrang relPengabuanCilodan

2.3 Sumber Pencemar Udara

Pencemaran udara terjadi akibat dilepaskannya zat pencemar dari berbagai

sumber ke udara. Sumber-sumber pencemar udara dapat bersifat alami maupun

antropogenik (aktivitas manusia). Peraturan Pemeritah (PP) mengenai pengelolaan

udara yang saat ini berlaku di Indonesia yaitu PP No. 41/1999 mendefinisikan

sumber pencemar sebagai setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan

bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak berfungsi sebagaimana

mestinya. PP ini kemudian menggolongkan sumber pencemar atas lima kelompok,

yaitu: (1) sumber bergerak, sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada

suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor; (2) sumber bergerak spesifik,

serupa dengan sumber bergerak namun berasal dari kereta api, pesawat terbang,

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

12

kapal laut dan kendaraan berat lainnya; (3) sumber tidak bergerak, sumber emisi

yang tetap pada suatu tempat; (4) sumber tidak bergerak spesifik, serupa dengan

sumber tidak bergerak namun berasal dari kebakaran hutan dan pembakaran

sampah; dan (5) sumber gangguan, sumber pencemar yang menggunakan media

udara atau padat untuk penyebarannya. Sumber ini terdiri dari kebisingan, getaran,

dan kebauan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan sumber pencemar

atas sumber tidak bergerak, sumber bergerak dan sumber dalam ruangan. Di kota-

kota Besar di Indonesia, sumber bergerak telah mendominasi emisi pencemar

udara. Di Jakarta misalnya, kendaraan bermotor telah menyumbangkan 70 % dari

pencemar PM10 dan NOx Tahun 1998. Faktor yang mempengaruhi tingginya

pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah pesatnya pertambahan jumlah

kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan bakar minyak dan masih

digunakannya jenis bahan bakar minyak mengandung Pb, penggunaan teknologi

lama (sistem pembakaran) pada sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia

dan minimnya budaya perawatan kendaraan secara teratur.

Sumber pencemar udara dari sumber tidak bergerak terdiri dari industri,

rumah tangga, dan kebakaran hutan. Sektor industri merupakan penyumbang

pencemaran udara setelah kendaraan bermotor, melalui penggunaan bahan bakar

fosil untuk pembangkit tenaga. Penggunaan bahan bakar fosil dan kayu di rumah

tangga ikut menyumbang pencemaran udara dari sumber tidak bergerak meskipun

tidak sebesar kontribusi pencemaran industri. Kemudian asap pekat dari

kebakaran hutan menjadi bahan pencemar udara. Hasil dari proses pembakaran, di

dalam asap terkandung campuran gas-gas dan partikel-partikel yang mengancam

kesehatan manusia dan menambah jumlah gas rumah kaca di atmosfer.

Produksi energi, pengangkutan, konversi serta rumah tangga, industri dan

penggunaan kendaraan bermotor, merupakan penyumbang antropogenik utama

kepada polusi udara. Bahan-bahan pencemar utama yang penting adalah timbal,

partikel halus, karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), hidrokarbon,

sulfur dioksida (SO2), dan karbon diokida (CO2). Menurut Novontny dan

Chlesters (1981) sumber polusi udara global adalah:

a. Emisi dari kota dan industri: pembangkit energi, industri dan domestik;

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

13

b. Emisi dari pertanian dan hutan: erosi tanah oleh angin, slash burning dari

kebakaran hutan, komponen pupuk dan pestisida yang terbawa erosi angin,

dekomposisi limbah pertanian dan peternakan;

c. Emisi yang terjadi secara alami dalam skala global: tiupan debu dari daerah

kering dan gurun, kebakaran hutan, semak dan rumput, letusan gunung berapi,

emisi hidrokarbon dari hutan dan aktivitas budidaya hutan, percikan air laut,

serta evaporasi dari tubuh air.

2.4 Pencemaran Udara

Pencemaran udara dapat diartikan sebagai adanya satu atau lebih pencemar

yang masuk ke dalam udara atmosfer yang terbuka, yang dapat berbentuk sebagai

debu, uap, gas, kabut, bau, asap, atau embun yang dicirikan bentuk jumlahnya,

sifatnya dan lamanya. Pencemaran udara dibataskan sebagai menurunnya kualitas

udara sehingga akibatnya akan mempengaruhi kesehatan manusia yang

menghirupnya. Salah satu faktor penyebab meningkatnya pencemaran udara

adalah semakin meningkatnya populasi penduduk di suatu tempat, terutama di

Kota-kota Besar. Kegiatan transportasi, industri dan aktivitas penduduk menjadi

sumber pencemaran udara. Miller (1979) membagi bahan pencemar udara

menjadi: karbon oksida (CO, CO2), sulfur oksida (SO2, SO3), nitrogen oksida

(N2O, NO, NO2), hidrokarbon (CH4, C4H10, C6H6), fotokimia oksidan (O3, PAN

dan aldehida), partikel (asap, debu, jelaga, asbestos, logam, minyak dan garam),

senyawa inorganik (asbestos, HF, H2S, NH3, H2SO4, H2NO3), senyawa inorganik

lain (pestisida, herbisida, alkohol, asam-asam dan zat kimia lainnya), zat

radioaktif, panas, dan kebisingan. Pengaruh yang sangat penting adanya

pencemaran udara pada manusia adalah dalam aspek: kesehatan, kenyamanan,

keselamatan, estetika dan perekonomian.

Pencemaran udara dapat digolongkan ke dalam tiga kategori; pergesekan

permukaan, penguapan, dan pembakaran. Pergesekan permukaan adalah penyebab

utama pencemaran partikel padat di udara dan ukurannya dapat bemacam-macam,

misalnya: penggergajian, dan pengeboran. Kemudian penguapan merupakan

perubahan fase cair menjadi gas. Polusi udara banyak disebabkan zat-zat yang

mudah menguap, seperti pelarut cat dan perekat. Sementara itu pembakaran

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

14

merupakan reaksi kimia yang berjalan cepat dan membebaskan energi cahaya atau

panas. Bahan bakar yang umum digunakan ialah kayu, batubara, kokas, minyak,

semuanya mengandung karbon, sehingga dalam proses pembakaran dihasilkan

senyawa karbon dioksida dan air, disamping arang dan jelaga.

Kriteria dampak pencemaran udara, mengacu pada Peraturan Pemerintah

No. 27 Tahun 1999 dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak

Lingkungan No. KEP-056/Tahun 1994 sebagai berikut: (1) jumlah manusia yang

terkena dampak, (2) luas wilayah persebaran dampak, (3) lamanya dampak

berlangsung, (4) intensitas dampak, (5) banyaknya komponen lingkungan lain

yang terkena dampak, (6) sifat kumulatif dampak, dan (7) berbalik (reversible)

atau tidak berbalik (irreversible) dampak.

Pengaruh pencemaran udara terhadap manusia tergantung pada pencemar

yang ada di udara. Pada Tabel 4 dimuat beberapa jenis pencemar udara dan

pengaruhnya terhadap manusia. Menurut Adel (1995) dan Hill (1984), CO

merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau, mempunyai afinitas yang tinggi

dengan hemoglobin, yaitu sekitar 240 kali lebih kuat dibandingkan afinitas O2

terhadap hemoglobin. Apabila CO masuk ke dalam paru-paru akan berikatan

dengan hemoglobin membentuk karboksi-hemoglobin (CO-Hb). Chi-Wen (1999)

meneliti penyebaran pencemar udara dari industri kimia dan serat di Taiwan, yang

dilakukan sebagai tanggapan atas keberatan atau reaksi terhadap bau yang

ditimbulkan. Pencemar udara yang diemisikan adalah senyawa sulfur (SO2, H2S,

CS2 dan merkaptan) dan beberapa senyawa organik volatif (benzene, toluena,

pxylene aseton dan kloroform). Pengukuran di udara ambien dilakukan di empat

lokasi sekitar industri tersebut. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa di keempat

lokasi pengukuran, H2S dengan rata-rata hasil pengukuran 7,6 ppb telah melewati

ambang batas bau (odoran threshold) sekitar 0,47 ppb, di satu lokasi CS2 pada

malam hari dapat mencapai 256 ppb melewati ambang batas bau sebesar 210 ppb.

Sementara itu Bokowa dan Liu (2003) mengestimasi kebauan yang diemisikan

dari sumber fugitive dengan menggunakan model screen3. Konsentrasi kebauan

hasil model antara 0,6 sampai 1,2 dengan rata-rata 0,9 sedangkan hasil monitoring

antara 0,98 sampai 1,1. Hasil model menunjukkan nilai sedikit dibawah hasil

monitoring.

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

15

Tabel 4 . Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia

Jenis pencemar udara Pengaruh terhadap manusia

Karbon monoksida (CO)

Sulfur dioksida (SO2)

Nitrogen oksida (NOx)

Hidrokarbon

Oksigen fotokimia (O3)

Debu

Amonia (NH3)

Hidrogen sulfida (H2S)

Logam dan senyawa logam

Menurunkan kemampuan darah membawa oksigen, melemahkan berpikir, penyakit jantung, pusing, kelelahan, sakit kepala dan kematian

Memperberat penyakit saluran pernafasan, melemahkan pernafasan dan iritasi mata

Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, dan iritasi paru-paru

Mempengaruhi sistem pernafasan, beberapa jenis dapat menyebabkan kanker

Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, iritasi mata, iritasi kerongkongan dan saluran pernafasan

Penyakit kanker, memperberat penyakit jantung dan pernafasan, batuk, iritasi kerongkongan dan dada tak enak

Iritasi saluran pernafasan

Mabuk (pusing), iritasi mata dan kerongkongan dan racun pada kadar tinggi

Menyebabkan penyakit pernafasan, kanker, kerusakan syaraf dan kematian

Sumber: Hartogensis (1977); Fardiaz (1992); Nukman (1998); Holper dan Noonan (2000)

Vinitnantharat dan Khummongkol (2003) melakukan penelitian deposisi

sulfur dan nitrogen yang disebabkan oleh pencemar udara industri dan kendaraan

di enam wilayah di Thailand. Penelitian dilakukan baik terhadap deposisi basah

dan deposisi kering. Pengumpulan sampel basah dilakukan dengan menampung

air hujan menggunakan penakar hujan (rain gauge), sedangkan sampel kering

dikumpulkan menggunakan filter empat tahap. Terhadap sampel basah diukur pH

(di tempat), dianalisis SO42 dan NO3, terhadap sampel kering dilakukan analisis

SO42 dan NO3. Hasil analisis menunjukkan bahwa pH air hujan berkisar dari 5,5

sampai 6,3 bahkan di satu wilayah dengan pH lebih rendah dari 5,6 yang

merupakan pH batas hujan asam. Hal ini berarti bahwa telah terjadi hujan asam

akibat pencemaran sulfur dan nitrogen.

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

16

2.5 Penyebaran Pencemar Udara

Penyebaran pencemar udara berhubungan dengan keadaan atmosfer,

sedangkan keadaan atmosfer tergantung pada perubahan sistem cuaca, sirkulasi

angin regional dan turbulensi, dan efek mikrometeorologi. Parameter-parameter

penting yang diperlukan dalam menetapkan potensi penyebaran pencemar udara

ialah: ketinggian bercampur, tinggi pembalikan, kecepatan angin tahunan, potensi

tinggi pencemar udara yang dapat mempengaruhi suatu area, dan kejadian harian.

Adapun efek mikrometeorologi tergantung pada insolasi solar, topografi,

kekasapan permukaan, albedo permukaan, lahan yang digunakan dan radiasi

panjang gelombang (Mikkelsen, 2003).

Penyebaran pencemar udara, terutama dari industri ditentukan oleh tinggi

cerobong (stack). Semakin tinggi stack yang digunakan, semakin jauh jarak

sebaran polutan yang diemisikan. Good Engineering Practice (GEP)

mengusulkan secara ekstrim, bahwa tinggi stack harus 305 meter (Leonard, 1997).

Sebaran polutan dari kegiatan industri dengan ketinggian cerobong di atas lima

puluh meter diduga dapat memberikan dampak sebaran polutan sampai dengan

jarak yang cukup jauh dari lokasi sumber. Untuk industri dengan daya yang besar,

tinggi cerobong asap harus di atas 200 meter (Forsdyke, 1970). Sehubungan

dengan hal itu, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya menggunakan

cerobong setinggi 200 meter sehingga abu dan gas SO2 yang terbang ke udara

dapat terdispersi secara baik, dan tidak mencemari udara di pemukiman sekitarnya

(Bapedalda Banten, 2004).

Setiap pabrik di kawasan industri, memiliki ukuran stack yang berbeda.

Hal ini dimungkinkan karena kapasitas dan jenis bahan bakar yang digunakan

berbeda. Vawda et.al. (2005) mengukur konsentrasi SO2 yang diemisikan dari

suatu kawasan. Estimasi emisi SO2 dari masing-masing tinggi stack menggunakan

ADMS-Screen. Dari lima metode yang digunakan, menunjukkan bahwa metode

ADMS-screen paling sesuai untuk menganalisis emisi pada berbagai tinggi stack.

Hasil identifikasi cerobong pabrik pengolahan besi dan peleburan baja di

kawasan PT Krakatau Steel (KS) disajikan pada Tabel 5. Pada tabel tersebut,

tampak bahwa tinggi cerobong di kawasan PT KS berada pada kisaran 10 – 80

meter. Hal ini akan berdampak pada pola sebaran polutan yang diemisikan dari

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

17

kawasan tersebut pada lingkungan di sekitarnya. Keragaman penyebaran polutan

yang diemisikan, akan berimplikasi pada perbedaan konsentrasi pada suatu area.

Tabel 5. Ukuran cerobong pabrik pengolahan besi dan peleburan baja di PT Krakatau Steel

NO LOKASI CEROBONG TINGGI NO LOKASI CEROBONG TINGGI

1 DR1 Gas Ref 1 33,5 4 SSP 1 Ladle Furnace 1 32 Gas Ref 2 33,5 Ladle Furnace 2 32 Gas Preh 5 33,2 Dedusting 35 Gas Preh 6 33,2 5 SSP 2 Ladle Furnace 32 Gas Preh 7 33,2 Dedusting 35 Gas Preh 8 33,2 6 BILLET Ladle Furnace 32 Air Preh 2 27,2 Timur Dedusting 1 35 Scrubber 1 10,8 Barat Dedusting 2 35 Scrubber 2 10,8 7 SSP 1 Ladle Furnace 1 32 B Down Stack 30,2 Ladle Furnace 2 32

2 DR2 Gas Ref 1 33,5 Dedusting 35 Gas Ref 2 33,5 8 SSP 2 Ladle Furnace 32 Scrubber 1 10,8 Dedusting 35 Scrubber 2 10,8 9 BILLET Ladle Furnace 32 B Down Stack 30,2 Timur Dedusting 1 35

3 HYL III Gas Heater 1 80 Barat Dedusting 2 35 Gas Heater 2 80

Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi Kota Cilegon (2006)

2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan

Penyebaran polutan di atmosfer dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Menurut Stull (2000), penyebaran polutan di atmosfer melibatkan tiga mekanisme

utama yaitu gerakan udara secara global, fluktuasi kecepatan turbulensi yang akan

menyebarkan polutan ke seluruh arah dan difusi massa akibat perbedaan

konsentrasi. Sementara itu penyebaran polutan dari suatu sumber emisi selain

dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi juga oleh karakteristik meteorologi

dan tofografi setempat (Oke, 1978).

Faktor meteorologi yang berpengaruh langsung terhadap penyebaran

polutan adalah angin (meliputi arah dan kecepatan) serta stabilitas atmosfer.

Huang et.al. (2005) membuat simulasi CFD (Computational Fluid Dynamic)

dengan radiasi dan analisis konduksi yang diangkat keluar untuk menganalisis

dispersi polutan dengan kondisi non istermal di Kota Kawasaki Jepang. Hasil

simulasi menunjukkan bahwa kecepatan angin rata-rata di atas bangunan sekitar 2

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

18

m/s secara signifikan besarnya menurun karena efek bloking bangunan.

Penyebaran polutan searah dengan arah angin. Sementara itu Mayhoub, Essa dan

Aly (2003) membangun bentuk analisis dispersi polutan untuk kondisi atmosfer

yang berbeda. Hubungan antara jarak peluruhan (downwind dan crosswind)

sebanding dengan tinggi inversi. Kecepatan angin dan koefisien difusi berbeda

untuk stabilitas atmosfer yang berbeda (stabil dan netral).

Variabel lain yang bertalian dengan meteorologi terdiri dari unsur-unsur

radiasi matahari, suhu dan tekanan udara, curah hujan, kelembapan, dan

evaporasi. Arah angin akan menentukan arah penyebaran polutan, sedangkan pola

penyebaran polutan tergantung pada lokasi sumber pencemar, kondisi

meteorologi serta topografi daerah. Cahyana, Umbara dan Lubis (1998) membuat

pemodelan isodosis dari dispersi radionuklida di atmosfer di daerah PPTN

Serpong. Perangkat lunak yang digunakan adalah EDLA (Evaluasi Dosis Lepasan

Atmosfir) dengan menggunakan bahasa pemrograman Delphi 3,0. Penyebaran gas

atau partikel radionuklida yang terlepas ke atmosfir menggunakan persamaan

Gauss. Klasifikasi kestabilan atmosfir dilakukan berdasarkan kecepatan angin

permukaan, insolation (incoming solar radiation) dan radiasi bersih (net

radiation) dari tapak. Parameter insolation digunakan jika pengamatan dilakukan

pada siang hari, sedangkan radiasi bersih digunakan jika pengamatan dilakukan

pada malam hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat lunak EDLA

dapat digunakan untuk mensimulasikan dispersi radionuklida di atmosfir sampai

pada penghitungan dosis efektif sebagai fungsi jarak dari titik pelepasan yang

akan diterima manusia, baik untuk kondisi operasi normal ataupun bila terjadi

kecelakaan release (kedaruratan nuklir). Besarnya dosis efektif sebagai fungsi

koordinat dapat diketahui dengan cepat dan akurat. Pemanfaatan perangkat lunak

EDLA untuk kasus kedaruratan nuklir dapat memberikan informasi dosis efektif

kecelakaan, sehingga upaya penanggulangan yang sesuai dapat dilakukan secara

efektif dan efisien. Sementara itu Wang, Bosch dan Kuffer (2008) meneliti

sebaran NO2 dan PM10 di jalan raya. Model dispersi yang digunakan adalah

OSPM (Operational Street Pollution Model). OSPM adalah model polusi yang

digunakan di jalan raya yang dibangun oleh Departemen Atmosfer Lingkungan,

institute riset Nasional Denmark. Data meteorologi sebagai input, digunakan data

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

19

kecepatan dan arah angin per jam dan temperatur ambien. Output model yang

berhubungan dengan database memberikan peringatan pada ketinggian 17 m.

2.6.1 Stabilitas Atmosfer

Stabilitas atmosfer menurut Stull (2000) terbagi dua, ada yang statis dan

ada yang dinamis. Stabilitas dinamis ditentukan oleh faktor buoyancy (daya apung

udara akibat pemanasan oleh radiasi matahari) dan wind shears (gesekan yang

terjadi antara dua lapisan atmosfer dengan arah angin berbeda), sedangkan

stabilitas statis hanya mempertimbangkan faktor buoyancy. Chung-Chen, Kot dan

Tepper (1996) mendeteksi kondisi stabil dan inversi dengan menggunakan Radio

Acoustic Sounding Sistem (RASS). Hasil deteksi menunjukkan bahwa tanggal 3

Januari 1996 pukul 11.30am pada kondisi stabil, dan terjadi inversi pada saat

fumigasi pada permukaan lapisan. Sementara itu Huser, Nilsen dan Skatun (1997)

membangun sebuah prosedur untuk memprediksi kondisi stabil atmosfer pada

permukaan yang kompleks dengan model k-ε dengan program FLOW3D. Angin,

temperatur dan kuantitas turbulensi dihitung dengan aliran udara dan transfer

panas sampai keadaan steady. k-ε adalah model turbulensi, dengan k adalah

turbulensi energi kinetik dan ε adalah bouyance pada kondisi stabil. Model

diaplikasi untuk memprediksi sebaran konsentrasi NOx di atmosfer. Hasil

pembandingan prediksi dengan model menunjukkan bahwa hasil prediksi berada

pada kisaran hasil pengukuran.

Karakteristik yang dapat menunjukkan stabilitas atmosfer adalah gradien

suhu potensial (dθ/dZ). Suhu potensial (θ) adalah suhu yang akan dimiliki suatu

paket udara kering jika bergerak secara adiabatik dari tekanan tertentu (p) menuju

permukaan atau tekanan standar po. Umumnya po digunakan 1000 mb (Wark dan

Warner, 1981) /d pR C

opTp

θ⎛ ⎞

= ⎜ ⎟⎝ ⎠

……. 2.1

dengan Rd adalah konstanta gas universal untuk udara kering dan nilai eksponen untuk udara kering adalah 0,286 (Stull, 2000)

Secara umum stabilitas statis terdiri dari tiga kondisi kestabilan yaitu

stabil, tidak stabil dan netral. Gambar 4 menunjukkan stabilitas atmosfer ditinjau

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

20

dari laju penurunan suhu paket udara dan lingkungan serta gradien suhu potensial.

Pada gambar tersebut Environmental Lapse Rate (ELR) adalah laju penurunan

suhu lingkungan, sedangkan Г adalah laju penurunan suhu paket udara.

Kondisi tidak stabil adalah kondisi ketika laju penurunan suhu paket udara

lebih kecil dibandingkan laju penurunan suhu udara lingkungannya, sehingga

pada ketinggian yang sama, suhu paket udara lebih tinggi dibanding

lingkungannya. Paket udara ini akan cenderung mengembang secara vertikal,

pergerakan secara horisontal akan bergantung arah anginnya. Hal ini terjadi

biasanya pada siang hari dengan radiasi matahari tinggi. Berkaitan dengan suhu

potensial, pada kondisi stabil gradien suhu potensial terhadap ketinggian negatif.

Sumber: Oke (1978)

Gambar 4. Stabilitas atmosfer ditinjau dari laju penurunan suhu

Kondisi netral ditunjukkan oleh laju penurunan suhu paket udara yang

sama dengan laju penurunan suhu udara lingkungannya, sehingga suhu keduanya

akan sama pada ketinggian yang sama. Menurut Stull (2000), pada kondisi ini jika

udara tidak jenuh, maka dT/dZ=-Гd, jika udara jenuh uap air dT/dZ=-Гs (laju

penurunan suhu udara jenuh). Apabila diekspresikan dengan suhu potensial, maka

kondisi netral ditunjukkan oleh dθ/dZ=0, jika udara tidak jenuh, dan dθ/dZ=Гd-Гs

biasa terjadi siang ataupun malam hari, berangin dan atau berawan.

Kondisi stabil terjadi jika laju penurunan suhu paket udara lebih besar

dibandingkan dengan laju penurunan suhu udara lingkungannya. Pada ketinggian

yang sama suhu paket udara lebih rendah dibanding suhu lingkungannya,

sehingga tidak akan dapat berkembang vertikal. Hal ini menyebabkan suatu paket

udara cenderung stabil ditempatnya.

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

21

Atmosfer dikatakan dalam kondisi inversi jika terjadi kenaikan suhu

terhadap ketinggian. Menurut Schnelle dan Dey (2000), inversi suhu dapat terjadi

akibat beberapa hal, yaitu: (1) berubahnya keseimbangan radiasi gelombang

pendek dan panjang (inversi radiasi) seperti yang terjadi secara alami di

permukaan bumi pada malam hingga dini hari, (2) karena evaporasi, sehingga

terjadi pendinginan permukaan bumi (evaporation inversion) terutama pada siang

hari saat langit cerah tanpa awan, (3) adanya udara hangat bergerak di atas

permukaan yang lebih dingin (advection inversion), sehingga dapat membentuk

kabut, dan (4) adanya subsidensi udara dingin (udara dingin lebih berat sehingga

cenderung turun), sehingga udara yang lebih hangat naik, seperti yang terjadi di

sekitar lereng atau lembah pegunungan.

2.6.2 Turbulensi

Di atas permukaan, ketika udara bergerak akan mengalami gesekan

maupun geseran sehingga akan menimbulkan olakan (eddy), sehingga terjadi

turbulensi yang melibatkan pergerakan molekul-molekul antar lapisan udara

dikenal pula sebagai konveksi mekanik (forced convection). Di atas ketinggian

planetary boundary layer, pengaruh gesekan diabaikan. Pada Gambar 5

divisualisasikan sketsa aliran turbulen di atas permukaan yang halus. Pada lapisan

udara yang paling dekat dengan permukaan, terdapat lapisan tipis yang disebut

laminar boundary layer (Oke, 1978), yang merupakan lapisan dengan gerakan

laminier (gerakan paralel terhadap permukaan bumi, tidak ada komponen yang

saling menyilang) dan tidak ada konveksi, transfer non-radiasi berjalan secara

molekular. Sementara itu difusivitas molekular udara sangat kecil, sehingga

kadang kala lapisan ini menjadi penghalang yang penting antara permukaan

dengan atmosfer. Ketebalannya akan bergantung pada kekasapan permukaan dan

kecepatan angin. Jika kecepatan angin tinggi, lapisannya akan menjadi sangat tipis

bahkan akan menghilang sementara. Di atas lapisan laminier aliran udara menjadi

tidak stabil dan terdiri dari olakan (eddy) yang acak, disebut lapisan turbulen,

dengan ketebalan sekitar 50 meter di atas permukaan. Pada lapisan ini

perpindahan turbulen (konveksi) lebih efektif daripada difusi molekular.

Page 17: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

22

Menurut Schenelle dan Dey (2000), Richardson Number (Ri) dapat

digunakan sebagai indikator turbulensi indeks kestabilan atmosfer. Parameter

stabilitas dalam hal ini adalah s yang diekspresikan dalam persamaan berikut:

gsT z

θΔ⎛ ⎞= ⎜ ⎟Δ⎝ ⎠ ……. 2.2

dan g

zRiduTdz

θΔ⎛ ⎞⎜ ⎟Δ⎝ ⎠=⎛ ⎞⎜ ⎟⎝ ⎠

……. 2.3

Sumber: McIntosh dan Thom (1973)

Gambar 5. Sketsa aliran turbulen di atas permukaan yang halus

Tabel 6. Kondisi stabilitas berdasar Richardson Number (Ri)

Stabilitas Ri Keterangan Stabil > 0,25 tidak ada vertical mixing, angin lemah,

inversi kuat, turbulensi mekanik diperkecil, penyebaran kepulan asap dapat diabaikan

Stabil 0 < Ri < 0,25 turbulensi mekanik ditekan oleh stratifikasi yang stabil

Netral 0 turbulensi mekanik Tidak stabil -0,03 < Ri < 0 turbulensi mekanik dan konveksi Tidak stabil < -0,04 konveksi mendominasi, angin lemah, gerak

vertikal kuat, asap menyebar dengan cepat secara vertikal dan horisontal

Sumber: Schenelle dan Dey (2000)

Page 18: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

23

2.6.3 Sirkulasi Angin Lokal

Kecepatan angin secara horisontal dipengaruhi oleh gradien tekanan di

permukaan serta kondisi kekasapan permukaan (surface roughness). Semakin

besar beda tekanan akan semakin tinggi kecepatan angin, tetapi semakin kasap

permukaan maka angin horisontal akan diperlambat. Angin mempengaruhi

penyebaran, pengenceran dan perpindahan polutan (Oke, 1978). Ketika angin

bertiup, polutan mengalami penyebaran searah angin dan jika terjadi turbulensi

maka penyebaran dapat terjadi searah dan melintas arah angin (crosswind).

Kecepatan angin berimplikasi pada proses pengenceran, semakin besar kecepatan

angin maka konsentrasi semakin mengecil. Raducan (2008) meneliti level

konsentrasi NOx, NO2, NO, CO dan O3 dari urban area dengan menggunakan

OSPM (Operational Street Pollution Model). OSPM digunakan dengan parameter

aliran yang sangat simpel dan kondisi dispersi pada street canyon. Aliran angin

dan dispersi polutan secara khusus tergantung pada aspek rasio (H/W = 1,16

dengan H adalah tinggi rata-rata bangunan sepanjang jalan dan W adalah lebar

jalan). Pembandingan hasil pengukuran dan perhitungan konsentrasi yang

ditunjukkan OSPM berhasil untuk memprediksi polusi dari lalulintas di jalan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara lalulintas

dan polusi. Sementara itu Cahyono (2005) meneliti sebaran SO2 dan NO2 dari

industri di Bandung. Metode yang digunakan adalah semi top-down untuk data

gradien menggunakan MM5. MM5 adalah salah satu model gradien yang

merupakan model prediksi cuaca regional. MM5 sendiri merupakan model

gradien finite difference. Berdasarkan hasil analisis dengan MapInfo dan ArcView

tampak di daerah sebelah timur kota Bandung emisi NO2 and SO2 lebih tinggi

dibandingkan daerah lain. SO2 mencapai nilai 240.000 kg/tahun dan NO2

mencapai nilai 335.000 kg/tahun. Akan tetapi pola penyebaran ini juga

dipengaruhi oleh efek sirkulasi diurnal di daerah tersebut seperti angin gunung

dan angin lembah. Di daerah utara sekitar Dago dan daerah terdekatnya cenderung

nilainya rendah, karena daerah utara Bandung merupakan daerah tinggi yang

penuh dengan vegetasi. Angin dapat membawa materi polutan melintasi batas

kota dan negara sampai ratusan kilometer. Faktor iklim dan cuaca sangat

menentukan dalam penyebaran polutan di suatu wilayah. Faktor meteorologi

Page 19: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

24

mempunyai peran yang sangat utama dalam menentukan kualitas udara di suatu

daerah, baik kualitas udara perkotaan, pedesaan maupun alami.

Pola angin pada jenis permukaan berbeda akan menentukan pola dispersi

yang terjadi berbeda. Pada Gambar 6.a tampak terjadi perbedaan arah dispersi di

permukaan dan lapisan di atasnya. Menurut Klipp dan Mahrt (2003) ketika lapisan

pembatas terdapat di atas dua jenis permukaan yang berbeda, maka

kesetimbangan dengan permukaan di bawahnya akan terganggu, dan terbentuk

lapisan yang disebut Internal Boundary Layer (IBL). Pada Gambar 6.b

menggambarkan pola dispersi pada permukaan yang lebih homogen yaitu daratan

(perkotaan), pola dispersi akan menyesuaikan dengan pola angin yang terjadi.

Arah dan kecepatan angin selalu berubah-ubah sehingga memerlukan

analisis data angin untuk mendapatkan arah dan kecepatan angin rata-rata di suatu

tempat pada suatu waktu tertentu. Analisis ini dikenal sebagai windrose (Cooper

dan Alley, 1994). Data yang diperlukan untuk analisis ini adalah data kecepatan

dan arah angin dari waktu ke waktu, dibuat tabel frekuensi untuk arah angin dan

kisaran kecepatan angin tertentu.

(a) Pola dispersi pada permukaan heterogen (b) Pola dispersi pada permukaan homogen

Gambar 6. Pola dispersi pada permukaan

Profil kecepatan angin vertikal antara urban, pedesaan atau sub-urban serta

permukaan terbuka ditunjukkan pada Gambar 7.a. Pada ketinggian yang sama

untuk ketiga jenis permukaan menunjukkan kecepatan angin yang berbeda.

Wilayah yang lebih kasap, perubahan kecepatan angin antar ketinggiannya kecil,

karena terjadi olakan yang mengakibatkan kecepatan angin lebih homogen. Pada

Gambar 7.b-e menunjukkan pengaruh stabilitas terhadap profil kecepatan angin.

Pada kondisi stabil perbedaan kecepatan angin antar ketinggian lebih besar

dibandingkan dengan kondisi netral dan tidak stabil.

Page 20: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

25

Sumber: Oke (1978)

Gambar 7. Profil kecepatan angin di permukaan kota, suburban dan daerah terbuka (a), serta pengaruh stabilitas (b, c, d, e)

Pada skala vertikal kecepatan angin meningkat terhadap ketinggian, dan

dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan Deacon dalam Wark dan Warner

(1981) sebagai berikut:

2 2

1 1

pu zu z

⎛ ⎞= ⎜ ⎟⎝ ⎠

……. 2.4

dengan : u1, u2 = kecepatan angin pada dua lapisan ketinggian yang berbeda (ms-1) z1, z2 = ketinggian dua lapisan (m); p = fungsi stabilitas atmosfer

Menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995), variasi angin terhadap

ketinggian maksimum terjadi di atas permukaan yang tidak beraturan dan

minimum di atas daratan yang datar dan permukaan air. Pada daerah yang penuh

bangunan tinggi nilai p sekitar 0,40 kota kecil dan daerah berhutan p = 0,28

sedangkan untuk daerah terbuka dan datar, danau dan laut nilai p = 0,16.

Tabel 7. Nilai p untuk model profil angin sebagai pengaruh kekasapan permukaan

Kelas stabilitas p (kota) p (desa) A B C D E F

0,15 0,15 0,20 0,25 0,40 0,60

0,15 0,15 0,20 0,25 0,40 0,60

Sumber: Cooper dan Alley (1994)

Page 21: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

26

Wark dan Warner (1981) mengemukakan bahwa nilai p pada persamaan

2.4 dapat dihubungkan dengan nilai n (parameter stabilitas):

2np

n=

− ……. 2.5

Pada kondisi netral, persamaan 2.4 menjadi:

* lno

u zuk z

⎛ ⎞= ⎜ ⎟

⎝ ⎠ ……. 2.6

dengan *u τρ

=

Keterangan : u = kecepatan angin pada ketinggian z k = konstanta von Karman (0,4 untuk dekat permukaan tanah)

zo= panjang kekasapan permukaan (bidang yang paling aktif melakukan pertukaran), makin halus permukaan zo makin kecil diukur dari analisa profil

τ = tegangan geser permukaan ρ = kerapatan atmosfer u* = kecepatan gesekan (sher velocity) merupakan indikasi

turbulensi dan bergantung ketinggian

Tabel 8. Hubungan antara parameter n dengan kondisi stabilitas atmosfer

Kondisi stabilitas n Laju penurunan suhu besar Laju penurunan suhu kecil atau nol Inversi moderat Inversi kuat

0,20 0,25 0,33 0,50

Sumber: Suton dalam Wark dan Warner (1981)

Jika *uk

dianggap sebagai suatu konstanta c, maka persamaan 2.6 menjadi :

logo

zu cz

⎛ ⎞= ⎜ ⎟

⎝ ⎠ ……. 2.7

ketika terjadi inversi, udara dingin cenderung bertahan di permukaan, sehingga:

1du czdz

−= ……. 2.8

menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995) secara umum persamaan 2.8 ditulis

menjadi: du czdz

β−= ……. 2.9

dengan β adalah fungsi struktur suhu (stabilitas), β = 1 untuk kondisi netral, β < 1

untuk kondisi stabil dan β > 1 untuk kondisi tidak stabil

Page 22: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

27

2.6.4 Kondisi Topografi

Kondisi topografi suatu wilayah akan mempengaruhi angin dan suhu udara

di atasnya. Perbedaan penerimaan radiasi matahari antara datar dan berlereng

menyebabkan terjadinya pola aliran udara yang mengikuti perbedaan suhu dan

tekanan udara di atasnya.

Pengaruh topografi cukup rumit, sehingga menurut Barry (1968), perlu

mengenali jenis pegunungan dengan kriterianya. Pada dasarnya perlu dibedakan

antara puncak yang terisolasi, yaitu rangkaian pegunungan yang cukup besar

untuk memodifikasi aliran udara ke atas maupun ke bawah, dan dataran tinggi

yang membentuk penghalang utama untuk gerakan udara dan memiliki iklim

sendiri. Puncak yang tinggi mengalami suhu yang hampir sama dengan udara

bebas pada ketinggian yang sama, sementara dataran tinggi dipanaskan dan

didinginkan oleh proses radiasi. Lembah diantara dataran tinggi memiliki

atmosfer ‘tertutup’ yang secara diurnal dimodifikasi oleh pendinginan malam

hari, khususnya di musim dingin dan dinaikkan (suhunya) oleh pemanasan siang

hari.

Wilayah dengan topografi datar, pola anginnya relatif tidak mengalami

gangguan, seperti yang dikemukakan oleh Zhang dan Ghoniem (1993) bahwa

pengaruh topografi datar terhadap dispersi dan lintasan kepulan sangat kecil.

Untuk daerah dengan berpegunungan gerakan udara (angin) akan mendapatkan

hambatan sehingga terjadi gerakan udara ke atas secara mekanik (forced

convective). Topografi juga dapat mengubah arah dan kecepatan angin dengan

cepat karena adanya saluran (chanelling) melalui lembah, dan city-street canyon,

atau pemisahan aliran. Menurut Bibero dan Young (1974) profil kota yang kasar

menjadi tempat penyerapan energi kinetik dan memperlambat angin.

2.7 Model Prediksi

2.7.1 Model Dispersi

Secara umum terdapat empat model kualitas udara yang digunakan, yaitu:

(1) model empirik atau statistik, model ini digunakan untuk menghubungkan data

konsentrasi suatu lingkungan dengan lingkungan lain, misalnya CAR-model, suatu

model untuk mengestimasi kepadatan lalulintas dengan perubahan area; (2) model

Page 23: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

28

Gaussian atau plume-model, merupakan model teori dasar penyebaran mengenai

distribusi polutan karena turbulensi, model ini dapat digunakan pada skala lokal;

(3) model Lagrangian, model untuk paket udara sebagai fungsi waktu sepanjang

aliran streamlines dalam atmosfer. Model ini digunakan untuk menganalisis emisi

polutan pada topografi yang kompleks, sedangkan aliran dan perubahan

konsentrasinya dikaji secara particulary (Noonan, 1999). Jenis model partikel

Lagrangian merupakan satu level di atas model puff. Model ini membutuhkan

sejumlah banyak partikel untuk membangun signifikansi statistik pada simulasi

(Mikkelsen, 2003); dan (4) model Eulerian, suatu model untuk menganalisis

konsentrasi satu atau beberapa kotak, pergerakan dari kotak ke kotak dipengaruhi

oleh kecepatan angin.

Untuk memprediksi penyebaran pencemar udara dikenal dua level

pemodelan, yakni screen modeling dan refined modeling. Analisis penyebaran

dengan screening modeling memberikan prediksi yang bersifat konservatif

terhadap dampak sumber pencemar dengan menggunakan masukan data dari

kasus terburuk (konsentrasi zat pencemar maksimum) atau data yang minimum

ketersediaannya (NSW-EPA 2001 dan ODEQ 2002). Menurut New South Wales

Environment Protection Authority (2001), screening modeling ini akan

memberikan suatu penilaian yang disebut ‘penilaian dampak tingkat 1’ (level 1

impact assessment). Dalam publikasi World Bank (1997) diungkapkan bahwa

screen models dapat digunakan untuk menentukan dispersi pencemar udara

dengan lebih cepat karena prosesnya yang tidak terlalu kompleks.

Model prediksi dapat diberlakukan untuk setiap evolusi dan seluruh

spesies polutan dalam lingkungan dengan perubahan yang konstan. Menurut

Ching et al. (2005) keluaran model secara kuantitatif tergantung pada seleksi grid

serta aplikasi komputasi yang digunakan. Lee, Geem, Kim dan Nam Yon (1998)

membangun simulasi komputer untuk memprediksi polutan beracun melalui

adveksi dan difusi untuk aliran unsteady. Model simulasi komputer dibangun

dengan UNET, model simulasi kualitas air, TOX15. Model ini diaplikasikan pada

phenol di sungai Nakdong Korea. Hasil model menunjukkan secara akurat dapat

memprediksi transpor polutan pada sistem sungai. Sementara itu Reza, Kingham

dan Pearce (2005) mengevaluasi model dispersi PM10 dengan menggunakan

Page 24: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

29

model TAPM (The Air Pollutan Model) di Christchurch New Zeland. Hasil

pembandingan statistik dengan monitoring dengan IOA (Index of Agreement) 0,6

untuk variabel meteorologi menunjukkan hasil yang baik.

Penggunaan model dispersi udara secara esensi menggambarkan laju

emisi. Model dispersi adalah melakukan penghitungan sebaran udara dengan

koefisien dari setiap udara bebas pada waktu dan keadaan tertentu. Mayinger,

Pultz dan Durst (1989) membuat model simulasi numerik penyebaran polutan

pada lapisan batas atmosfer. Model yang dibangun menggunakan model Euler.

Persamaan difernsial dikembangkan dari hukum konservasi massa, momentum

dan energi. Prosedur solusi numerik untuk unsteady secara spesipik dilakukan

melalui: metode finite volum, menggunakan scheme implicit (time step),

sedangkan penyelesaian matrik menggunakan Strongly-Implicit-Procedure (SIP).

Secara umum penyebaran plume pada lapisan batas atmosfer melalui dua

mekanisme yaitu konveksi (atau adveksi) dan difusi. Difusi adalah pergerakan

atau perpindahan molekul-molekul dari material tertentu, dari tempat konsentrasi

tinggi ke tempat dengan konsentrasi lebih rendah. Difusi merupakan sifat alamiah

molekul yang terjadi karena setiap molekul memiliki energi kinetik untuk terus

bergerak dengan bebas, cepat dan acak sehingga molekul-molekul akan saling

bertabrakan sampai terdistribusi merata.

Model dispersi yang digunakan, tingkat kerumitannya akan beragam,

tergantung pada input yang digunakan dan output yang diharapkan. Drew et.al.

(2006) membuat model penyebaran bioaerosol dari fasilitas pupuk kompos. Data

konsentrasi bioaerosol diukur dan dianalisis secara berurut dengan menggunakan

model dispersi ADMS. Model ini adalah model dispersi Gausian untuk durasi

penyebaran yang singkat dan permukaan yang kompleks. Hasilnya kemudian

dibandingkan dengan hasil pengukuran untuk mendapatkan model prediksi yang

akurat. Dalam membandingkan hasil model, didasarkan pada tiga kelas stabilitias

Pasquill (very unstable, neutral dan very stable). Pada kondisi very unstable

konsentrasi bioaerosol pada ground level lebih tinggi dari pada kelas stablitias

yang lain. Sementara itu Cemas dan Rakovec (2003) membangun model spasial

dan temporal untuk menganalisis emisi SO2 dari termal Powerplant di Europa.

Konsentrasi polutan di atmosfer dianalisis menggunakan konservasi massa. Model

Page 25: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

30

yang dibangun menggunakan model dispersi MEDIA yaitu suatu model Eulerian

untuk grid tiga dimensi dengan sigma sebagai koordinat vertikal. Konsentrasi

polutan diukur pada setiap titik grid (node) pada setiap waktu.

2.7.2 Sistem Peramalan Kualitas Udara

Menurut Tetuko (1998) terdapat beberapa metode komputasi untuk

pemodelan, misalnya metode analitik (analytical method), metode momen

(moment method), metode elemen hingga (finite element method), dan metode

beda hingga kawasan waktu (finite difference time domain). Pemilihan metode

mana yang terbaik tergantung pada problem utama yang akan dianalisa. Sebuah

Model Simulasi Kualitas Udara dapat berupa metodologi atau teknik numerik,

yang didasarkan atas dasar-dasar pokok fisika, yang digunakan untuk

memperkirakan konsentrasi pencemar udara dalam waktu dan ruang sebagai

fungsi dari distribusi emisi dan parameter meteorologi serta keadaan geofisik.

Menurut Mcdonald (2003), model simulasi adalah esensi prosedur komputasi

untuk memprediksi konsentrasi karena arah dan kecepatan angin, emisinya

didasarkan pada karakteristik (kecepatan keluar stack, temperatur plume, dan

diameter stack), bentuk permukaan (kekasapan permukaan, topografi lokal,

bentuk bangunan) dan keadaan atmosfer (kecepatan angin, stabilitas, dan tinggi

bercampur).

Sistem peramalan kualitas udara dapat digolongkan menjadi sistem

peramalan empirik atau statistik dan sistem peramalan numerik atau hibrid. Sistem

peramalan empirik atau statistik telah dioperasikan oleh beberapa lembaga negara

di Australia, misalnya Environment Authority of Victoria (EPAV)

mengembangkannya untuk kota Melbourne dan Geelong sejak Tahun 1982.

Prakiraan kualitas udara secara numerik mengembangkan prediksi meteorologi

dan kualitas udara melalui pemecahan persamaan konservasi untuk momentum,

energi, uap air dan massa untuk beberapa spesies.

Sistem numerik sekarang sedang dikembangkan di beberapa negara,

termasuk Jepang, Jerman, Amerika Serikat dan Kanada. Ada tiga macam teknik

pemecahan numerik, yaitu finit difference, finit element dan spectral method.

Metode numerik adalah teknik yang digunakan untuk memformulasikan persoalan

Page 26: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

31

matematik sehingga dapat dipecahkan dengan operasi perhitungan/aritmetika biasa.

Reddy (1998) membuat model komputasi untuk memprediksi aliran dan transpor

polutan di sungai, muara dan laut. Persamaan dibangun dari konservasi massa dan

momentum, persamaannya diselesaikan dengan teknik finite different. Solusi

persamaan ini dapat memprediksi sebaran polutan pada setiap grid sebagai fungsi

ruang dan waktu. Tang et.al. (2006) membuat simulasi Computational Fluid

Dynamic (CFD) pada penyebaran jangka-pendek, secara khusus aliran dan

penyebaran pada struktur yang kompleks. Pengembangan dalam simulasi

komputer menggunakan performa FLUENT. Program ini merupakan solusi dari

persamaan konservasi massa, momentum dan energi.

Pengembangan dari finit element adalah finit volum method (FVM).

Nelwan (2005) telah mengembangkan FVM dalam penelitiannya untuk

mendapatkan distribusi suhu dan kelembapan nisbi udara dalam alat pengering

berbantuan energi surya yang berbentuk silinder untuk pengeringan biji kakao.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan FVM diperoleh

perbedaan suhu dan kelembapan nisbi udara pada beberapa posisi dalam

pengering tersebut sesuai dengan hasil pengukuran langsung. Sementara itu

Papakostas et.al. (2005) membuat model numerik dengan scheme implisit untuk

polusi atmosfer. Model konsentrasi polutan di atmosfer dihubungkan dengan

kecepatan angin, vektor difusivitas turbulen dan difusi massa polutan. Solusi

numerik dengan asumsi S=0 (tidak ada sumber) didapatkan solusi analitik model

Gaussian sebagai fungsi jarak dan waktu.

2.7.3 Pengembangan Model

Model yang dibangun untuk memprediksi laju penyebaran pencemar

udara, merupakan pengembangan dari persamaan kontinuitas dan persamaan

gerak. Model aliran yang dibangun dari kedua persamaan tersebut dapat

diaplikasikan untuk penyebaran polutan. Untuk mengkaji model penyebaran

tersebut digunakan model Euler atau model Lagrang. Model Euler mengkaji

model aliran dalam konsep medan, sedangkan model Lagrang mengkaji model

aliran dalam konsep partikel (Cengel dan Cimbala, 2006)

Page 27: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

32

Persamaan kontinuitas dibentuk dari pola aliran dengan memperhatikan

hukum kekekalan, jika φ property fluida per unit volum (biasa disebut

konsentrasi) dan net efek per unit volum pada seluruh proses non-konservatif

adalah [ ]Q φ diperhitungkan, maka persamaan umum kontinuitas menurut Vallis

(2005) adalah:

[ ].D V QDtφ φ φ+ ∇ =

v v ……. 2.10

dengan D u v wDt t x y z

∂ ∂ ∂ ∂= + + +∂ ∂ ∂ ∂

Jika efek pada proses non-konservatif tidak diperhitungkan, maka persamaan 2.10

berubah menjadi:

( ). 0Vtφ φ∂+∇ =

v v ……. 2.11

Secara umum:

( ) ( ). 0Vtρφ ρφ∂

+∇ =∂

v v ……. 2.12

dengan ρ adalah kerapatan udara.

Pada persamaan gerak berlaku kesetimbangan momentum. Aliran

momentum, baik masuk maupun keluar, melalui dua mekanisme, yaitu konveksi

dan transfer molekul (Bird et al., 1960). Dalam setiap fluida yang mengalir

terdapat dua jenis perpindahan momentum: (1) perpindahan momentum secara

molekular, yang ditimbulkan karena gaya tarik-menarik antar molekul, dan (2)

perpindahan momentum secara konveksi, yang ditimbulkan karena adanya aliran

massa. Secara umum persamaan gerak dirumuskan:

( ) .D V p gDtρ τ ρ= −∇ +∇ +v

v v v …… 2.13

dengan τv adalah tensor tegangan viskos, sebagai berikut:

2

2

2

xx xy xz

yx yy yz

zx zy zz

u u v u wx y x z x

v u v v wx y y z y

w u w v wx z y z z

μ μ μ

τ τ ττ τ τ τ μ μ μ

τ τ τ

μ μ μ

⎛ ⎞⎛ ⎞∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎛ ⎞+ +⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠⎝ ⎠⎜ ⎟⎛ ⎞ ⎜ ⎟⎛ ⎞ ⎛ ⎞∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎜ ⎟ ⎜ ⎟= = + +⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎜ ⎟⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎝ ⎠⎛ ⎞∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎛ ⎞⎜ ⎟+ +⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎝ ⎠

v

....... 2.14

Page 28: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

33

jika tensor tegangan τv pada persamaan 2.14 dimasukkan ke persamaan 2.13,

maka didapat persamaan Navier-Stokes (Cengel dan Cimbala, 2006):

2( )D V p V gDtρ μ ρ= −∇ + ∇ +v

v ……. 2.15

dengan μ adalah viskositas dinamik, ρ adalah kerapatan udara, p adalah tekanan, Vv

adalah vektor kecepatan dan g adalah percepatan gravitasi bumi.

Perpindahan massa berlangsung dengan dua cara yaitu: konveksi dan

difusi. Perpindahan secara konveksi, karena adanya gaya dari luar sistem,

sedangkan perpindahan massa secara difusi, karena adanya gaya penggerak dalam

sistem, yakni perbedaan konsentrasi. Alirannya berlangsung dari konsentrasi

tinggi ke konsentrasi rendah (Bird et al., 1960). Penyebaran pencemar udara

diperoleh dengan menggabungkan persamaan 2.10 dan 2.15 sebagai berikut:

( ) 2.V V p V gtρ ρ μ ρ∂

+∇ = −∇ + ∇ +∂

vv v v

……. 2.16

Penyebaran pencemar udara, untuk keadaan steady, dalam hal ini bahwa ρ

adalah tetap, maka uraian persamaan 2.16, untuk komponen-x adalah : 2 2 2

2 2 2xu u u u p u u uu v w gt x y z x x y z

ρ ρ μ⎛ ⎞⎛ ⎞∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂

+ + + = − + + + +⎜ ⎟⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ……. 2.17.1

2

2

u ut z

ρ μ∂ ∂=

∂ ∂ ……. 2.17.2

2

2

u ut z

ν∂ ∂=

∂ ∂ ……. 2.17.3

dengan μνρ

= adalah viskositas kinematik.

Untuk keadaan steady 0u u uu v wx y z

⎛ ⎞∂ ∂ ∂+ + =⎜ ⎟∂ ∂ ∂⎝ ⎠

kemudian 0px∂

=∂

dan 0xgρ =

karena tidak ada perubahan tekanan dan gaya gravitasi pada sumbu-x. Fluida

mengalir pada sumbu-x, maka syarat kontinuitas 2

2 0ux∂

=∂

dan 2

2 0uy∂

=∂

karena

tidak ada kecepatan terhadap sumbu y, maka fluida mengalir pada bidang x-z.

Persamaan 2.17.3 merupakan persamaan difusi untuk satu dimensi. Menurut

Mikkelsen (2003) persamaan difusi timbul sebagai konsekuensi langsung dari

Page 29: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

34

prinsip konservasi massa, dengan perubahan total massa pada sistem tertutup

adalah nol.

2.7.4 Aplikasi Model untuk Menganalisis Konsentrasi Polutan

Untuk menganalisis sebaran pencemar udara dari sumber dilakukan model.

Suatu model untuk menganalisis sebaran pencemar udara digunakan model

Gaussian. Proses model plume Gauss, cocok untuk mengidentifikasi hubungan

input dan output dari data yang di uji (Sabin et al., 2000). Gaussian plume model

adalah salah satu model matematika yang digunakan untuk mempresentasikan

proses dispersi polutan di udara. Persamaan dari model tersebut digunakan untuk

menentukan konsentrasi polutan hasil dispersi cerobong asap pabrik di lokasi

tertentu di sekitar cerobong asap. Pada model ini perilaku polutan mengikuti

distribusi normal atau distrbusi Gaussian. Model Gausian secara luas digunakan

untuk mengestimasi impact polutan non-reaktif dari sumber titik atau garis (Arya,

1999).

Model Gaussian pertama-tama dikembangkan untuk mengolah emisi dari

sebuah sumber titik (plumes) dalam skala lokal, model multi kotak sengaja

dikembangkan sebagai model regional (skala meso) untuk menangani pencemaran

di daerah urban yang secara spesifik akan mengolah penyebaran pencemar di

daerah berdasarkan distribusi emisi pencemarnya. Formula pada Gaussian plume

model dapat digunakan untuk menentukan tinggi fisik cerobong asap yang

minimum agar dispersi polutan tidak membahayak makhluk hidup di sekitar

pabrik. Soriano et.al. (2003) melakukan pengukuran dampak emisi dari cerobong

industri, dengan menggunakan model Gaussian dan mesoscale. Model Gaussian

digunakan untuk memprediksi konsentrasi pelbagai polutan pada ground-level

yang diemisikan dari cerobong industri. Sementara itu dampak emisi dari

cerobong indutri di Eastern Spanyol digunakan model TAPM (The Air Pollutan

Model).

Model sebaran pencemar udara dari sumber titik disajikan pada Gambar 8.

Hasil model plume Gaussian sebagai solusi dari persamaan difusi. Pada model ini

faktor lain yang dipertimbangkan yaitu stabilitas atmosfer yang mempengaruhi

penyebaran polutan baik secara horisontal searah angin (downwind) maupun

Page 30: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

35

melintasi arah angin (crosswind). Formula dasar fungsi Gaussian dapat digunakan

secara tepat untuk mengestimasi distribusi polutan dari single source (Forsdyke,

1970). Model dispersi Gauss dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan: 2 2

2 2 2

1 1 1( , , ; ) exp exp exp2 2 2 2y z y z z

Q y z H z HC x y z Huπσ σ σ σ σ

⎧ ⎫⎡ ⎤ ⎡ ⎤⎡ ⎤⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞− +⎪ ⎪⎢ ⎥ ⎢ ⎥= − − + −⎢ ⎥⎜ ⎟ ⎨ ⎬⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎢ ⎥ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎪ ⎪⎝ ⎠⎣ ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦⎩ ⎭

……. 2.18

keterangan : C adalah konsentrasi polutan pada suatu titik (x,y,z), dalam gm-3 Q adalah laju emisi, dalam gs-1 σy, σz adalah parameter penyebaran horisontal (y) dan vertikal (z), merupakan

fungsi dari jarak (x) u adalah kecepatan angin rata-rata pada ketinggian cerobong, dalam ms-1 y adalah kepulan horisontal dari centerline, dalam m x adalah kepulan vertikal dari permukaan, dalam m H adalah ketinggian efektif (H=h+∆h), h adalah ketinggian cerobong dan ∆h

adalah tinggi kepulan di atas cerobong

Gambar 8 memberikan ilustrasi tentang pemodelan dispersi polutan

dengan Gaussian plume model. Polutan bergerak searah dengan arah angin pada

sumbu-x. Sumbu-y adalah arah tegak lurus horisontal dengan sumbu-x dan

sumbu-z adalah vertikal dengan permukaan tanah. Pada proses difusi polutan,

terjadi difusi tiga dimensi karena molekul-molekul polutan berdifusi pada sumbu-

x, sumbu-y dan sumbu-z. Selain proses difusi, pada sumbu-x juga terjadi proses

adveksi atau transportasi polutan yang diakibatkan oleh angin.

Persamaan 2.18 dapat digunakan dengan asumsi; kecepatan dan arah angin

dari sumber titik sampai reseptor konstan, turbulensi atmosfer konstan, seluruh

kepulan tidak mengalami deposisi ataupun washout, komponen yang mencapai

Gambar 8. Model penyebaran polutan dari sumber titik berdasar sebaran

Gauss (Carbon, 2004 )

Page 31: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

36

permukaan dipantulkan kembali ke dalam kepulan, tidak ada komponen yang

diserap oleh badan air atau vegetasi, dan secara kimia tidak ada komponen yang

mengalami transformasi, dispersi hanya terjadi pada arah vertikal dan crosswind

(Leonard, 1997). Stabilitas atmosfer dan downwind distance pada model

Gaussian, bukan merupakan input langsung, tapi seluruhnya terkaper pada

parameter dispersi σy dan σz. Parameter tersebut diasumsikan sebagai standar

deviasi horisontal dan vertikal. Parameter dispersi yang biasa digunakan untuk

model Gaussian adalah koefisien dispersi PGT (Pasquill-Gifford-Turner) untuk

rural area. Ashrafi dan Hoshyaripour (2008) membuat model untuk menganalisis

stabilitas atmosfer dan hubungannya dengan konsentrasi CO. Metode yang

digunakan untuk menganalisis stabilitas atmosfer adalah PTM (Pasquill-Turner

Method) dengan program PORTRAN90. Untuk aplikasi model digunakan data

meteorologi dari Tahun 2000 sampai 2005 dari stasiun Mehrabad. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi CO dengan stabilitas

atmosfer. Klasifikasi stabilitas atmosfer sebesar 38,77%, 27,26%, 33,97% untuk

kondisi stabil, netral dan tidak stabil. Hasil frekuensi relatif mengindikasikan

kondisi stabil menurun selama periode Januari sampai Juni, dan meningkat selama

periode Juli sampai Desember. Sementara itu Ruhiat et.al. (2009) melakukan

analisis karkateristik udara di Kota Cilegon. Data meteorologi yang digunakan

dari Tahun 2005 – 2007. Hasil analisis menunjukkan bahwa stabilitas atmosfer di

Kota Cilegon berada pada stabilitas A (sangat tidak stabil) sampai E (agak stabil).

Aplikasi model untuk single source pada berbagai stabilitas atmosfer

digunakan model screen3 suatu model yang dikembangkan oleh badan

lingkungan Amerika USEPA (United States Environmental Protection Agency).

Model dispersi Screen3 digunakan untuk menganalisis pola sebaran polutan yang

tidak reaktif pada periode jangka pendek (harian), sehingga diperoleh pola

sebaran pada tingkat stabilitas yang berbeda. Badan Pengendalian Dampak

Lingkungan Daerah (Bapedalda) Banten (2002) melakukan analisis pola

penyebaran polusi udara di Provinsi Banten. Sebaran polutan dikaji dengan

menggunakan model screen3. Hasil analisis sebaran menunjukkan bahwa jarak

sebaran terjadi pada berbagai kondisi stabilitas atmosfer. Pada stabilitas E yaitu

pada saat kondisi udara agak stabil (slightly stable), penyebaran polutan dapat

Page 32: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

37

terjadi sampai jarak puluhan ribu meter atau puluhan kilometer dari sumbernya.

Konsentrasi terbesar (maksimum) yang jatuh pada permukaan tanah adalah pada

stabilitas A yaitu pada kondisi udara labil mantap (very unstable).

Aplikasi model untuk multiple sources digunakan model ISCST3

(Industrial Source Complex Short Term3). Rahmawati (2003) mengaplikasikan

model dispersi Gauss untuk menduga pencemaran udara di kawasan industri.

Analisis emisi dari sumber menggunakan model ISCST3. Sementara itu Venegas

dan Mazzeo (2002) membuat model dispersi untuk mengevaluasi konsentrasi NO2

di Buinos Aires. Aplikasi model dari sumber titik menggunakan model ISCST3

sedangkan dari sumber area menggunakan model DAUMOD (The Atmospheric

Dispersion Model). Model ini diaplikasikan untuk mengevaluasi sebaran polutan

pada setiap grid untuk Kota Buinos Aires. Konsentasi NO2 perjam dan pertahun

dapat diestimasi. Hasil prediksi terjadinya konsentrasi perjam lebih besar dari

yang ditunjukan WHO. Ruhiat et.al. membuat prediksi sebaran SO2 di Kota

Cilegon. Model dibangun dengan menggunakan persamaan adveksi-difusi untuk

aliran unsteady. Kemudian Tan, Vergel dan Camagay (2006) membangun dan

mengkalibrasi model dispersi polutan. Model dispersi udara digunakan untuk

mengestimasi konsentrasi polutan yang diemisikan pada berbagai sumber industri.

Konsentrasi polutan dianalisis searah dengan arah angin. Model ini diaplikasikan

di Kota Manila, sebarannya dianalisis sebagai fungsi ruang dan waktu.

Untuk menganalisis penyebaran pencemar udara pada suatu wilayah,

Santoso (2005) membuat model penyebaran pencemar udara dari kendaraan

bermotor dengan menggunakan metode volume terhingga di Kota Bogor. Model

yang dibangun, diturunkan dari persamaan umum tranpor untuk aliran steady.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencemar udara, menyebar ke semua arah

melalui proses difusi. Sementara itu Lastdrager, Koren dan Verwer (2001)

membuat teknik kombinasi masalah adveksi time-dependent pada setiap grid.

Persamaan adveksi didiskretisasi menjadi persamaan linear. Hasil analisis

menunjukkan bahwa teknik kombinasi lebih efisien dari pada pendekatan single-

grid.

Schulze et.al. (2002) membuat model distribusí dan simulasi spasial-

temporal. Untuk mendukung informasi spasial digunakan HILA (High Level

Page 33: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Atmosfer. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian

38

Architecture). Spasial-temporal pada standar geoinformasi digunakan DALI

(Distributed Spatial-temporal Interoperability architecuture). Sementara itu

Alimaman (2004) membuat model matematis monitoring kualitas lingkungan

untuk kawasan perkotaan. Model ini dilakukan pada lokasi; Kota Bogor, Kota

Jakarta, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Bandung.

Model matematis yang dibangun adalah model regresi. Hasil pola regresi dengan

variabel yang dikembangkan, didapat bahwa jumlah rumah dan jumlah industri

yang bertambah, akan membutuhkan kebutuhan kapasitas jalan sesuai kebutuhan

dengan jumlah kendaraan yang ada, akan mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Kemudian Chenevez, Baklanov dan Sorensen (2004) membuat model prediksi

transpor polutan dengan scheme integrasi numerik. Sebaran konsentrasi polutan

(C) dianalisis dengan menggunakan persamaan adveksi-difusi. Persamaan

dibangun dalam bentuk spasial dan temporal. Konsentrasi yang diemisikan pada

waktu t t+ Δ di dalam grid didapat solusi: ( )2 .t t t tC t Q t C+Δ −Δ= Δ + dengan Q

tergantung pada volume emisi grid. Sementara itu Tartakovsky, Federico (1997)

membuat solusi analitik untuk transpor pencemaran pada aliran nonuniform.

Persamaan dibangun dari persamaan difernsial dispersi-konveksi steady-state

untuk kasus 2 dimensi. Kemudian Fadimba (2005) membuat linierisasi dengan

scheme Euler pada persamaan adveksi-difusi nonlinear. Fungsi aliran faksional,

fungsi invers, dan koefisien difusi menggunakan deret Taylor-expansion. Hasil

analisis linearisasi untuk time-step ditunjukkan dengan matrik.