ii. tinjauan pustaka 2.1. data, informasi dan pengetahuan · davenport dan prusak (1998) membedakan...

25
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Data, Informasi dan Pengetahuan Manajemen pengetahuan diperlukan dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan atau untuk membuat perusahaan mampu mempertahankan daya saing, atau untuk mempertahankan posisi utama di pasar. Pengetahuan berkaitan dengan data dan informasi. Pengetahuan adalah informasi yang mengubah sesuatu atau seseorang, hal itu terjadi ketika informasi tersebut menjadi dasar untuk bertindak, atau informasi tersebut memampukan seseorang atau institusi untuk mengambil tindakan yang berbeda atau tindakan yang lebih efektif (Drucker, 1998). Davenport dan Prusak (1998) mendefinisikan pengetahuan sebagai campuran dari pengalaman, nilai, informasi kontektual, pandangan pakar dan intuisi mendasar yang memberikan suatu lingkungan dan kerangka untuk mengevaluasi dan menyatukan pengalaman baru dengan informasi. Pada organisasi, pengetahuan sering terkait tidak hanya pada dokumen atau tempat penyimpanan barang berharga, tetapi juga pada rutinitas, proses, praktik dan norma perusahaan. Davenport dan Prusak (1998) membedakan pengertian antara data, informasi dan pengetahuan yaitu pengetahuan bukanlah data, bukan pula informasi, namun sulit sekali dipisahkan dari keduanya. Data bersifat diskrit, yaitu fakta-fakta objektif mengenai kejadian atau objek-objek tertentu. Data akan menjadi informasi jika diolah (disortir, dianalisis, dan ditampilkan dalam bentuk yang dapat dikomunikasikan melalui bahasa, grafik atau tabel). Data dan informasi merupakan bahan baku yang diolah oleh aksi atau tindakan menjadi pengetahuan. Proses perubahan data menjadi informasi dilakukan beberapa tahapan yang dimulai dari huruf C, yaitu: Contextualized: memahami manfaat data yang dikumpulkan Categorized: memahami unit analisis atau komponen kunci dari data Calculated: menganalisis data secara sistematik atau secara statistik Corrected: menghilangkan kesalahan (error) dari data Condensed: meringkas data dalam bentuk yang lebih singkat dan jelas

Upload: ngocong

Post on 20-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Data, Informasi dan Pengetahuan

Manajemen pengetahuan diperlukan dalam rangka meningkatkan kinerja

perusahaan atau untuk membuat perusahaan mampu mempertahankan daya saing,

atau untuk mempertahankan posisi utama di pasar. Pengetahuan berkaitan dengan

data dan informasi.

Pengetahuan adalah informasi yang mengubah sesuatu atau seseorang, hal

itu terjadi ketika informasi tersebut menjadi dasar untuk bertindak, atau informasi

tersebut memampukan seseorang atau institusi untuk mengambil tindakan yang

berbeda atau tindakan yang lebih efektif (Drucker, 1998). Davenport dan Prusak

(1998) mendefinisikan pengetahuan sebagai campuran dari pengalaman, nilai,

informasi kontektual, pandangan pakar dan intuisi mendasar yang memberikan

suatu lingkungan dan kerangka untuk mengevaluasi dan menyatukan pengalaman

baru dengan informasi. Pada organisasi, pengetahuan sering terkait tidak hanya

pada dokumen atau tempat penyimpanan barang berharga, tetapi juga pada

rutinitas, proses, praktik dan norma perusahaan.

Davenport dan Prusak (1998) membedakan pengertian antara data,

informasi dan pengetahuan yaitu pengetahuan bukanlah data, bukan pula

informasi, namun sulit sekali dipisahkan dari keduanya. Data bersifat diskrit, yaitu

fakta-fakta objektif mengenai kejadian atau objek-objek tertentu. Data akan

menjadi informasi jika diolah (disortir, dianalisis, dan ditampilkan dalam bentuk

yang dapat dikomunikasikan melalui bahasa, grafik atau tabel). Data dan

informasi merupakan bahan baku yang diolah oleh aksi atau tindakan menjadi

pengetahuan. Proses perubahan data menjadi informasi dilakukan beberapa

tahapan yang dimulai dari huruf C, yaitu:

Contextualized: memahami manfaat data yang dikumpulkan

Categorized: memahami unit analisis atau komponen kunci dari data

Calculated: menganalisis data secara sistematik atau secara statistik

Corrected: menghilangkan kesalahan (error) dari data

Condensed: meringkas data dalam bentuk yang lebih singkat dan jelas

10

Data adalah kumpulan fakta objektif mengenai sebuah kejadian.

Sementara informasi adalah data yang telah diolah, biasanya menggunakan aturan

statistika sehingga mengandung arti. Sedangkan pengetahuan didefinisikan

sebagai kebiasaan, keahlian/kepakaran, keterampilan, pemahaman, atau

pengertian yang diperoleh dari pengalaman, latihan atau melalui proses belajar

(Pratomo yang dikutip Tjakraatmadja dan Lantu, 2006).

Menurut Teskey (dalam Tjakraatmadja dan Lantu, 2006) dalam tulisannya

User Models and World Models for Data, Information, and Knowledge,

menjelaskan bahwa data merupakan hasil pengamatan langsung terhadap suatu

kejadian atau suatu keadaan. Data merupakan entitas yang dilengkapi dengan nilai

tertentu. Informasi merupakan kumpulan data terstruktur untuk memperlihatkan

adanya hubungan antar entitas. Sedangkan pengetahuan merupakan model yang

digunakan manusia untuk memahami dunia, dan yang dapat berubah sejalan

dengan perkembangan informasi yang dimiliki dalam pikirannya.

Powell (dalam Tjakraatmadja dan Lantu, 2006) menyatakan bahwa data

adalah koleksi terstruktur dari kumpulan fakta. Informasi adalah data atau fakta

yang memiliki arti. Sedangkan pengetahuan merupakan hasil atau keluaran atau

nilai dari informasi. Menurut Davenport dan Prusak (1998), proses transformasi

informasi menjadi knowledge melalui empat tahapan yang dimulai dengan huruf

C, yaitu:

Pembandingan (Comparison): membandingkan informasi pada situasi tertentu

dengan situasai-situasi yang lain yang telah diketahui

Konsekuensi (Consequences): menemukan implikasi-implikasi dari informasi

yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan dan tindakan

Hubungan (Connections): menemukan hubungan-hubungan bagian-bagian

kecil dari informasi dengan hal-hal lainnya.

Percakapan (Conversation): membicarakan pandangan, pendapat serta

tindakan orang lain terkait informasi tersebut.

Dixon (2000) menyatakan bahwa informasi adalah data “di dalam

informasi”. Tiwana (2000) menggambarkan bahwa informasi adalah data yang

telah memiliki nilai (value) karena telah mengalami kontekstualisasi

(dikategorikan, dikalkulasi, diperbaiki dan diolah).

11

Dari berbagai pendapat diatas bahwa maka dapat disimpulkan bahwa data

merupakan kumpulan simbol, fakta, gambar-gambar, angka-angka, huruf-huruf

terhadap suatu kejadian/kondisi tertentu yang belum dianalisis, diolah maupun

disortir. Informasi adalah data yang sudah diolah, dianalisis serta disortir yang

memiliki arti dan dikomunikasikan kepada orang lain. Sedangkan pengetahuan

diperoleh dari sekumpulan infomasi terstruktur yang didapat untuk melakukan

aksi serta dapat dipakai dasar untuk mengambil suatu keputusan.

Polanyi membagi pengetahuan menjadi dua jenis, yaitu

1. Pengetahuan Tacit (tacit knowledge)

Pengetahuan tacit adalah pengetahuan yang diam di dalam benak manusia

dalam bentuk intuisi, judgement (pendapat), ketrampilan (skill) dan

kepercayaan (belief) yang sangat sulit diformalisasikan dan dibagi dengan

orang lain

2. Pengetahuan Eksplisit (explicit knowledge)

Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang dapat atau sudah

terkodifikasi dalam bentuk dokumen atau bentuk berwujud lainnya sehingga

dapat dengan mudah ditransfer dan didistribusikan dengan menggunakan

berbagai media. Bentuknya dapat berupa formula, kaset/CD Video dan

audio, spesifikasi produk atau manual.

Tiwana (2001) membedakan tacit knowledge dan explicit knowledge yang disusun

berdasarkan karakteristik. Karakteristik tersebut dilihat berdasarkan sifat,

formalisasi, proses pengembangan, lokasi, proses konversi, dukungan IT dan

sarana komunikasi dari kedua pengetahuan tersebut. Perbedaan karakteristik

pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah

ini.

12

Tabel 2. Pengetahuan Tacit versus Pengetahuan Eksplisit

Karakteristik Tacit Explicit

Sifat Pribadi/personal, konteks-spesifik

Dapat dikodifikasi dan dijelaskan

Formalisasi Sulit untuk diformalkan, dicatat, dikodekan atau diartikulasikan

Dapat dikodifikasi dan ditransmisikan ke dalam bahasa yang sistematis dan formal

Proses Pengembangan Dikembangkan melalui proses trial and error yang ditemui dalam praktek

Dikembangkan melalui penjelasan dari pemahaman tacit dan interpretasi informasi

Lokasi Tersimpan di dalam pikiran karyawan

Tersimpan dalam dokumen, database, halaman web, email, bagan, dll.

Proses konversi Dikonversi ke eksplisit melalui ekternalisasi yang sering didorong oleh metapora dan analogi

Dikonversi kembali ke tacit melalui pengenalan

Dukungan IT Sulit untuk mengelola, membagi, atau didukung oleh IT

Mudah didukung oleh IT

Sarana komunikasi Membutuhkan media komunikasi yang beraneka ragam

Dapat ditransfer melalui saluran elektronik konvensional

Sumber: Tiwana, 2001

Kedua jenis knowledge tersebut oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) dapat

dikonversi melalu empat jenis proses konversi, yaitu Sosialisasi, Eksternalisasi,

Kombinasi dan Internalisasi. Keempat jenis proses konversi ini dikenal dengan

SECI proses (S: Socialization, E: Externalization; C: Combination dan I:

Internalization)

13

Gambar 3. Empat Model Konversi Knowledge (SECI Process) (Nonaka & Takeuchi, 1995)

1. Sosialiasi merupakan proses sharing dan penciptaan tacit knowledge melalui

interaksi dan pengalaman langsung. Salah satu proses sosialisasi adalah

dengan pertemuan tatap muka (rapat, diskusi, dan pertemuan bulanan).

Melalui pertemuan tatap muka ini, individu dapat saling berbagi pengetahuan

dan pengalaman yang dimilikinya sehingga tercipta pengetahuan baru.

Di dalam sistem Manajemen Pengatahuan, fitur-fitur kolaborasi seperti e-mail,

diskusi elektronik, komunitas praktis (communities of practice)

memungkinkan pertukaran pengetahuan tacit (informasi, pengalaman, dan

keahlian) yang dimiliki seseorang sehingga organisasi semakin mampu belajar

serta melahirkan ide-ide baru yang kreatif dan inovatif. Hal ini baik untuk

dilakukan karena bermanfaat untuk meningkatkan koordinasi, mempercepat

proses aktivitas, dan menumbuhkan budaya belajar. Proses sosialisasi juga

dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (training) dengan mengubah

pengetahuan tacit para pelatih menjadi pengetahuan tacit para peserta

pelatihan.

2. Eksternalisasi merupakan pengartikulasian pengetahuan tacit menjadi

pengetahuan eksplisit melalui proses dialog dan refleksi. Dukungan terhadap

proses eksternalisasi dapat diberikan dengan mendokumentasikan notulen

rapat (bentuk eksplisit dari pengetahuan yang tercipta saat diadakannya

14

pertemuan) ke dalam bentuk elektronik untuk kemudian dapat dipublikasikan

kepada mereka yang berkepentingan.

3. Kombinasi merupakan proses konversi pengetahuan eksplisit menjadi

pengetahuan eksplisit yang baru melalui sistemisasi dan pengaplikasian

pengetahuan eksplisit dan informasi. Media untuk proses ini dapat melalui

intranet (forum diskusi), database organisasi dan internet untuk memperoleh

sumber eksternal. Fitur-fitur Enterprise Portal seperti knowledge organization

system yang memiliki fungsi untuk pengkategorian informasi (taksonomi),

pencarian, dan sebagainya sangat membantu dalam proses ini.

4. Internalisasi merupakan proses pembelajaran dan akuisisi pengetahuan yang

dilakukan oleh anggota organisasi terhadap pengetahuan eksplisit yang

disebarkan ke seluruh organisasi melalui pengalaman sendiri sehingga

menjadi pengetahuan tacit anggota organisasi.

2.2. Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management)

Manajemen Pengetahuan adalah pendekatan-pendekatan sistemik yang

membantu muncul dan mengalirnya informasi dan pengetahuan kepada orang

yang tepat pada saat yang tepat untuk menciptakan nilai (American Productivity

and Quality Centre). Tiwana (2000) menyampaikan bahwa Manajemen

Pengetahuan adalah pengelolaan pengetahuan organisasi untuk menciptakan nilai

dan menghasilkan keunggulan bersaing atau kinerja prima. Manajemen

Pengetahuan yang sukses tidak hanya karena komputer yang impresif tetapi

sebaiknya ditinjau dari ketiga komponen yang kritis, yaitu:

Alur pengetahuan yang benar dan sumber yang dilimpahkan ke

organisasi/institusi;

Teknologi tepat yang disimpan dan dapat mengkomunikasikan pengetahuan

tersebut;

Budaya tempat kerja yang benar, sehingga karyawan termotivasi untuk

memanfaatkan pengetahuan.

Oleh karena itu, Manajemen Pengetahuan akan sukses apabila terjadi

interaksi di antara komponennya dan tidak terjadi tumpang tindih (overlap) dari

ketiga komponen tadi. Meskipun demikian, Manajemen Pengetahuan memberikan

kesempatan pada organisasi tersebut untuk:

15

Menangkap dan menganalisis informasi organisasi dan diaplikasikan secara

strategis dalam bentuk warehousing dan datamining, sistem pendukung

keputusan (Decision System Support), serta Sistem Informasi Eksekutif (EIS);

Menciptakan proses untuk akses informasi ke seluruh dunia melalui intranet,

groupsware, dan sistem pendukung keputusan kelompok (Groups DSS) agar

karyawan mendapat informasi secara cepat, informatif dan inovatif;

Menjadikan kekuatan pendorong dari pengetahuan yang terakumulasi dari

pengalaman masa lalu seluruh organisasi;

Membangun dan menyelesaikan proyek dengan meningkatkan kecepatan,

ketangkasan dan keselamatan.

Bukowitz dan Williams (1999) menyebutkan bahwa dalam prakteknya

Manajemen Pengetahuan mestilah berjalan bersamaan dalam dua alur yaitu:

1. Tactical Process atau memanfaatkan pengetahuan untuk menanggapi

kebutuhan, kesempatan dan perkembangan sehari-hari.

2. Strategic Process atau penggunaan pengetahuan untuk kebutuhan strategis dan

jangka panjang perusahaan.

Weggeman (1997) memvisualisasikan proses Manajemen Pengetahuan

sebagai sebuah rantai nilai pengetahuan. Rantai nilai pengetahuan ini terdiri dari

fase-fase sebagai berikut: menentukan relevansi pengetahuan dengan strategi,

membuat daftar pengetahuan yang tersedia, mengembangkan pengetahuan,

menyebarkan/menempatkan pengetahuan, menerapkan pengetahuan dan

mengevaluasi pengetahuan. Proses Manajemen Pengetahuan sifatnya kontinyu

dan berulang. Misi, visi, tujuan dan strategi organisasi menjadi tenaga pendorong

bagi rantai nilai pengetahuan. Dalam pengertian lain Diepstraten dalam Zolingen

et al. (2001) membedakan 7 fase Manajemen Pengetahuan yang berbentuk proses

sebagai berikut:

1. Ekspoitasi nilai tambah pengetahuan oleh klien

2. Pengembangan pengetahuan baru oleh klien

3. Penyebaran pengetahuan

4. Penggabungan pengetahuan

5. Pendokumentasian pengetahuan untuk kebutuhan di masa depan

6. Menerapkan dan menggunakan pengetahuan

16

7. Mendapatkan pengetahuan dari supplier.

Spek dan Spijkervet (1995) mengindikasikan proses organisasi sebagai inti

Manajemen Pengetahuan. Pengetahuan berguna karena sifatnya yang dinamis.

Beberapa hal yang menyebabkan pengetahuan dinamis yaitu:

1. Pengetahuan baru dapat dikembangkan

2. Pengetahuan baru dapat didistribusikan kepada bagian yang membutuhkan

informasi untuk melaksanakan pekerjaan dengan lebih baik.

3. Pengetahuan dapat diakses untuk keperluan masa depan demi kepentingan

kolektif.

Hal-hal tersebut menjadi bagian alasan mengapa Manajemen Pengetahuan

menjadi sangat penting bagi perusahaan. Selain itu, tumbuhnya perhatian pada

Manajemen Pengetahuan terkait dekat dengan upaya perusahaan untuk menjadi

suatu organisasi pembelajaran (learning organization), dimana para manajer giat

menciptakan budaya dan sistem untuk menciptakan knowledge baru dan mencari

knowledge dan menggunakannya pada saat dan tempat yang tepat (Marsick dan

Watkins, 1999). Berbagai kemungkinan dapat digambarkan melalui fase-fase di

dalam proses Manajemen Pengetahuan yang dikenal sebagai proses siklus yang

terdiri atas lima fase yaitu:

1. Pencarian pengetahuan

Pencarian pengetahuan berarti mengusahakan informasi baru di dalam

organisasi, Disini hanya pengetahuan strategis yang penting karena memberi

kontribusi pada pelaksanaan aktifitas inti dan mengembangkan kompetisi inti

organisasi.

2. Pengadaan pengetahuan

Pengadaan pengetahuan berarti menciptakan pengetahuan dan merubah

pengetahuan menjadi eksplisit, dan jika diinginkan, orang dapat mengakses

informasi ini setiap saat dan dimana saja.

3. Penyebaran pengetahuan

Penyebaran pengetahuan kepada pihak-pihak yang membutuhkannya dalam

pelaksanaan kerja.

17

4. Pengembangan pengetahuan

Pengetahuan dikembangkan dari pengetahuan yang sudah ada, dapat dibentuk

dan dikembangkan suatu pandangan dan pengetahuan baru.

5. Penerapan pengetahuan

Penggunaan pengetahuan yang baru dikembangkan untuk kepentingan

organisasi.

Selanjutnya Gamble dan Blackwell (2001) menyebutkan syarat penerapan

manajemen pengetahuan yaitu:

Penangkapan pengetahuan baik dari sumber eksternal maupun internal

Suatu metode mengkodisikasi pengetahuan tersebut dipikiran

Suatu sarana memberi akses untuk pengetahuan kemudian diciptakan

Merupakan pemborosan jika pengetahuan sebenarnya tidak digunakan

Loop umpan balik dilengkapi ketika knowledge worker menambah nilai untuk

pengetahuan yang ada dengan mengubahnya melalui penggunaan pengetahuan

itu sendiri.

Ketika pengetahuan telah hidup lebih lama penggunannya dihilangkan dari

basis pengetahuan.

Karakteristik organisasi seperti struktur, kultur dan strategi, sebagaimana

sistem pengetahuan, mempengaruhi kemajuan proses manajemen pengetahuan.

Manajemen pengetahuan merupakan cara terbaik dalam memadukan budaya

organisasi dan budaya kelompok. Selain perlunya struktur dan kultur organisasi

yang tetap, adanya suatu strategi pengetahuan berdasar pada kebijakan

pengetahuan yang jelas dan detail, mengarah pada inovasi dan pembelajaran juga

merupakan hal yang penting bagi kelanjutan organisasi. Proses

mengimplementasikan manajemen pengetahuan menurut Tiwana (2001) yaitu:

1. Analisa infrastruktur yang ada

2. Penyesuaian manajemen pengetahuan dan strategi bisnis

3. Desain infrastruktur manajemen pengetahuan

4. Audit aset pengetahuan yang ada dan sistem

5. Desain tim manajemen pengetahuan

6. Membuat blueprint manejemen pengetahuan

7. Mengembangkan sistem manajemen pengetahuan

18

8. Membentuk dan menyebarkan

9. Mengelola perubahan, budaya dan struktur penghargaan

10. Evaluasi performance, mengukur ROI (return on investment), dan terus

menerus memperbaiki sistem manajemen pengetahuan.

2.3. Audit Manajeman Pengetahuan

Audit manajemen pengetahuan adalah kegiatan memeriksa secara

sistematis kualitas pengelolaan pengetahuan di suatu organisasi (Munir, 2008).

Dengan audit manajemen pengetahuan dapat diperoleh gambaran mengenai

pengetahuan yang dimiliki dan dibutuhkan organisasi/unit kerja, kesiapan

organisasi memfasilitasi pembelajaran dan kualitas proses pengelolaan

pengetahuan. Sebelum melakukan audit pengetahuan sebaiknya organisasi

memahami alasan untuk mengembangkan manajemen pengetahuan. Berdasarkan

hasil observasi yang dikembangkan oleh Von Krogh, Ichiyo dan Nonaka dalam

Munir (2008) terhadap 700 perusahaan, terdapat tiga alasan utama organisasi

mengembangkan manajemen pengetahuan yaitu (Munir, 2008):

1. Meminimalkan resiko

Dalam tahap ini organisasi bergegas mencari pengetahuan-pengetahuan

berharga yang dimilikinya, mengumpulkan, dan menggunakannya untuk

mengatasi permasalahan yang dihadapi. Organisasi memanfaatkan

pengetahuan untuk melakukan tindakan-tindakan yang reaktif, dan fokus

perhatian organisasi adalah terhadap pengetahuan itu sendiri, terutama

pengetahuan yang spesifik pada konteksnya.

2. Meningkatkan efisiensi

Pada tahap ini organisasi masih banyak memanfaatkan pengetahuan untuk

tindakan-tindakan yang bersifat reaktif dan belum ada suatu proses kreasi

pengetahuan yang terencana dengan baik. Namun organisasi sudah mulai

mencari secara aktif pengetahuan-pengetahuan baru yang terbentuk karena

proses kreasi antar anggota organisasi. Secara terencana pula organisasi

melakukan kegiatan menyebarkan pengetahuan dalam bentuk proses kerja

yang sudah teruji efektifitasnya di satu unit kerja ke seluruh unit kerja yang

ada di organisasi.

19

Hal yang menarik pada organisasi tahap ini adalah munculnya kesadaran

bahwa pemanfaatan pengetahuan, kreasi pengetahuan dan penyebaran

pengetahuan tidak dapat mengandalkan kecanggihan teknologi informasi.

Seperti yang disampaikan oleh English dan Baker (2006), teknologi informasi

hanyalah puncak gunung es yang kebanyakan hanya menangkap bagian

eksplisit dari suatu pengetahuan. Sementara untuk melakukan penyebaran

pengetahuan perlu ada upaya khusus untuk menangani bagian terbatinkan dari

pengetahuan, apalagi bila melibatkan pihak-pihak yang tidak bersedia berbagi

pengetahuan.

3. Inovasi

Merupakan tahapan pengembangan manajemen pengetahuan yang umum

dijumpai di organisasi-organisasi yang ingin menghasilkan inovasi. Kesadaran

bahwa pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya tidak cukup untuk

menunjukkan kinerja prima. Organisasi-organisasi ini memfokuskan upayanya

untuk menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru dan proses-proses

pengelolaan pengetahuan yang andal. Para penggiat pengetahuan di organisasi

rajin memotivasi sebanyak mungkin orang di organisasi untuk menjadi

pembelajar yang aktif mangakuisisi pengetahuan dari lingkungan eksternal,

saling berbagi, menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru dan

memanfaatkannya. Organisasi memiliki visi pengetahuan yang jelas dan tegas,

menyusun strategi jangka panjang berbasis pengetahuan, membangun budaya

belajar dan merekrut orang-orang dengan kompetensi belajar dan bertumbuh

yang baik.

20

Gambar 4. Perkembangan Alasan Organisasi Mengembangkan Manajemen Pengetahuan

Audit manajemen pengetahuan terdiri dari tiga komponen, yaitu:

1. Kualitas pengetahuan

Audit kualitas pengetahuan ditujukan untuk memperoleh gambaran ragam

kelompok pengetahuan yang telah dimiliki oleh perusahaan, kualitas atau

tingkatan relatifnya dibandingkan organisasi lain, ragam kelompok

pengetahuan apa yang harus dimiliki perusahaan, kualitas atau tingkatnya juga

prioritasnya.

2. Kualitas pembelajaran di organisasi

Bila suatu organisasi dapat menjadi organisasi pembelajar, maka organisasi

tersebut akan mendapatkan keunggulan dalam hal kemampuan beradaptasi

dan keluwesan (flexibility) yang sangat diperlukan untuk memenangkan

persaingan di arena kompetisi yang sarat dengan perubahan. Melalui

pembelajaran organisasi, organisasi memperoleh pengetahuan, dan

mengaktualisaikan model mental bersama yang menjadi basis berpikir dan

bertindak bagi seluruh individu

Audit kualitas pembelajaran di organisasi ditujukan untuk memperoleh

gambaran mengenai kesiapan organisasi dalam memfasilitasi pembelajaran

anggotanya dan kesiapan organisasi dalam memanfaatkan hasil pembelajaran

anggotanya untuk mengubah dan menyempurnakan dirinya.

21

Menurut Kim (1993) yang dikutip Munir (2008), pembelajaran merupakan

proses mendapatkan pengetahuan yang dilanjutkan dengan aktualisasi

pengetahuan yang sebelumnya dimiliki. Definisi tersebut meliputi dua hal:

(1) Proses mendapatkan pengetahuan untuk ‘mengetahui bagaimana caranya’

yang akan mendasari kemampuan fisik untuk memproduksi suatu

tindakan dan

(2) Proses mendapatkan pengetahuan untuk ‘mengetahui mengapa demikian’

yang menghasilkan kemampuan untuk mengartikulasikan pemahaman

konseptual dari suatu pengalaman.

Secara umum pembelajaran dapat dipahami sebagai proses peningkatan

kapasitas manusia dalam melaukan tindakan yang efektif.

3. Kualitas proses pengelolaan pengetahuan

Dalam audit proses pengelolaan pengetahuan hanya difokuskan pada empat

proses utama dari delapan proses. Empat proses tersebut yaitu proses akuisisi

pengetahuan, proses distribusi dan berbagi pengetahuan, proses

pengembangan dan pemanfaatan pengetahuan serta proses pemeliharaan dan

penyimpanan pengetahuan. Melalui kegiatan audit manajemen pengetahuan

ini dapat diketahui apakah proses-proses pengelolaan pengetahuan sudah ada

dan berjalan dengan efektif di organisasi.

2.4. Organisasi

Organisasi merupakan satuan sosial yang dikoordinasi secara sadar, terdiri

atas dua orang atau lebih, dan secara terus menerus berusaha mencapai tujuan

bersama. Kumpulan individu ini dalam melakukan aktivitasnya selalu saling

berinteraksi baik dengan sesama anggota organisasi maupun dengan pihak luar

organisasi (Robbins, 1996).

Menurut Urlich dalam Tjakraatmadja dan Lantu (2006) menyatakan

terdapat empat kompetensi dasar dari manusia yang dibutuhkan oleh organisasi

atau perusahaan masa kini, yaitu:

a. Organisasi atau perusahaan menuntut kemampuan karyawan untuk mampu

memahami karakteristik paradoks antara keseimbangan untuk berpikir global

namun mampu bertindak lokal. Teknologi merupakan alat utama untuk

membangun perusahaan agar memiliki daya saing bertaraf global. Teknologi

22

akan berperan maksimal jika implementasinya memperhatikan kesiapan faktor

manusia khususnya faktor budaya kerja, yang bersifat lokal. Teknologi yang

terlalu maju dibandingkan dengan kesiapan manusia akan sia-sia atau

teknologi yang diterapkan secara tidak kontekstual tidak akan efektif

mencapai sasaran.

b. Organisasi atau perusahaan menuntut kemampuan karyawan untuk mampu

menyeimbangkan antara bertindak efisien (downsizing) sambil meningkatkan

pendapatan (revenue) perusahaan melalui kreativitas, inovasi dan

kewirausahaan (entrepreneurship). Wujud teknologi yang makin kecil

memiliki kemampuan berlipat ganda serta berkembangnya inovasi manusia,

memungkinkan dirancangnya sistem dan organisasi yang makin downrizing.

Namun, perlu diimbangi dengan upaya merubah peran dan kompetansi kerja

manusia dalam organisasi serta meningkatkan pertumbuhan bisnis.

c. Organisasi atau perusahaan menuntut kemampuan karyawan untuk mampu

memahami karakteristik dan penggunaan teknologi maju – baik teknologi

proses maupun teknologi informasi (capital structured) untuk

memaksimumkan nilai tambah perusahaan. Upaya proses rekayasa ulang

sebaiknya mencakup pertimbangan untuk merubah struktured capital

(perubahan teknologi proses dan informasi) maupun unstructured capital

(budaya kerja) secara seimbang. Perubahan yang hanya fokus pada structured

capital, telah banyak mengalami kegagalan. Franklin et al. (2001); Hornby et

al. (1992); Williams (1995) serta Markus dan Keil (1994) telah

mengidentifikasi penyebab kegagalan aplikasi teknologi baru pada sebuah

oganisasi terutama bukan disebabkan oleh masalah teknik namun akibat

masalah psikologik dan organisasi. Penelitian MIT (1990) membuktikan

bahwa kegagalan implementasi teknologi informasi terutama disebabkan

karena investasi yang dilakukan terlalu fokus pada sisi teknologi, kurang

memperhatikan manajemen proses perubahan serta struktur dan budaya

organisasi. Lebih lanjut, Cooper dan Markus (1995) menunjukkan bahwa

kegagalan aplikasi organisasi baru lebih banyak karena adanya hambatan dari

tenaga kerja, Secara umum penelitian-penelitian menunjukkan kesimpulan

yang sama bahwa keberhasilan suatu perubahan, bukan ditentukan oleh

23

canggihnya metode dan teknik rekayasa, namun lebih ditentukan oleh adanya

komitmen dan kompetensi manusia yang terlibat dalam kerja sehari-hari.

Proses perubahan teknologi menuntut komitmen serta keberdayaan tenaga

kerja, untuk itu perlu dikelola dengan sistematik dan konsisten. Kebanyakan

yang terjadi saat ini, pihak manajemen sering ”memaksakan” keinginan suatu

perubahan, para pekerja dipaksa untuk mau menyesuaikan dengan teknologi

baru, tanpa membangun komitmen, kompetensi, kemampuan belajar serta

budaya kerja organisasi.

d. Organisasi atau perusahaan menuntut kemampuan karyawan yang memiliki

kompetensi individual tinggi, namun seimbang dengan komitmen serta

kemampuan untuk belajar dan berubah. Perusahaan masa depan membutuhkan

tenaga kerja yang mampu melipatgandakan kompetensinya melalui sinergi

dengan teknologi, sistem serta organisasi, sesuai dengan perkembangan

lingkungan bisnis global maupun lokal.

Organisasi dilihat dari tujuannya dibedakan menjadi dua yaitu organisasi

perusahaan (business organization) dan organisasi sosial (public organization).

Organisasi perusahaan bertujuan untuk mendapatkan laba dan prinsip kegiatannya

ekonomis rasional, sedangkan organisasi sosial bertujuan untuk memberikan

pelayanan dan prinsip kegiatannya adalah pengabdian sosial (Hasibuan, 2007).

Kusdiyono (2009) menyatakan bahwa perkumpulan adalah suatu

pengelompokan anggota-anggota masyarakat yang terorganisasi secara sistematis

untuk tujuan atau kepentingan tertentu. Perkumpulan dalam arti luas menurut

Herman (2007) yaitu meliputi suatu persekutuan, koperasi, dan perkumpulan yang

saling menanggung. Perkumpulan dalam pengertian ini terbagi menjadi dua jenis

yaitu :

1. Perkumpulan yang berbentuk Badan Hukum, seperti Perseroan Terbatas,

Koperasi, dan Perkumpulan Saling Menanggung.

2. Perkumpulan yang tidak berbentuk Badan Hukum seperti Persekutuan

Perdata, Perseroan Komanditer, dan Firma.

Ciri-ciri perkumpulan adalah :

1. Terorganisasi secara sistematis

2. Terbentuk karena memiliki tujuan tertentu

24

3. Hubungan anggota bersifat kontekstual

4. Kepemimpinan lebih bersifat hierarki dan atas dasar wewenang

Status hukum perkumpulan adalah berbentuk Perkumpulan Saling

Menanggung seperti yang diatur dalam stb 870-64 yang dikeluarkan pada tanggal

28 Maret 1870. Menurut ketentuan ini, status badan hukum akan diperoleh setelah

mendapat pengesahan menteri hukum dan HAM yang diatur dalam Pasal 1 Stb

1874, sehingga dapat melakukan perbuatan hukum, menyandang hak dan

kewajiban, dan dapat digugat maupun menggugat di pengadilan. Hak dan

kewajiban yang dimiliki oleh perkumpulan adalah :

1. Perkumpulan berhak untuk mengajukan gugatan

2. Perkumpulan wajib mendaftarkan perkumpulan tersebut pada instansi yang

berwenang untuk mendapatkan status Badan Hukum

2.5. Organisasi Pembelajar

Organisasi pembelajar adalah organisasi yang mampu memfasilitasi

pembelajaran bagi seluruh anggota organisasinya dan mengubah tindakan

(transform) dan menyempurnakan dirinya berdasarkan hasil belajar anggotanya

(Pedler dan Burgoyne, 1995 dan Garvin, 2000 dalam Munir, 2008).

Menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006), organisasi pembelajar

didefinisikan sebagai organisasi yang memiliki kemampuan untuk selalu

memperbaiki kinerjanya secara berkelanjutan dalam siklikal, karena anggota-

anggotanya memiliki komitmen dan kompetensi individual yang mampu belajar

dan berbagi pengetahuan pada tingkat superfisial maupun substansial. Dilihat dari

prosesnya, pembelajaran organisasi merupakan suatu proses akumulasi

pengetahuan (human capital) organisasi akibat adanya proses interaksi antara

individu belajar dengan organisasi pembelajar, atau karena dorongan lingkungan

kerja yang memiliki karakteristik yang kondusif untuk terjadinya proses

pembelajaran organisasi (berbagi pengetahuan antara para anggota organisasi),

sehingga meningkatkan kualitas kehidupan kerja organisasi.

Definisi organisasi pembelajar yang secara khusus digunakan untuk NGO

(Non Goverment Organization) adalah suatu organisasi yang secara aktif

menggabungkan pengalaman dan pengetahuan dari anggota dan mitra melalui

pengembangan program, kebijakan, prosedur dan sistem dengan cara-cara yang

25

secara kontinyu meningkatkan kemampuan untuk menetapkan dan mencapai

tujuan, memuaskan stakeholder, pengembangan program, nilai, pengembangan

masyarakat dan pencapaian misi dengan konstituen (Aike dan Britton, 1997)

Senge dalam Tjakraatmadja dan Lantu (2006) mengatakan bahwa untuk

menjadi organisasi pembelajar perlu menerapkan lima disiplin belajar yaitu:

(1) Disiplin keahlian pribadi (personal mastery). Disiplin yang akan mendorong

sebuah organisasi untuk terus-menerus belajar bagaimana menciptakan masa

depannya, yang hanya akan terbentuk jika individu-individu anggota

organisasi mau dan mampu terus belajar menjadikan dirinya sebagai seorang

master di bidang ilmunya. Disiplin personal mastery terbentuk dicirikan oleh

tumbuhnya keterampilan-keterampilan individual para anggota organisasi

untuk melakukan kontemplasi (refleksi) diri; keterampilan untuk memahami

akan kelebihan dan kelemahan kompetensi intelektual; emosional maupun

sosial dirinya; serta keterampilan untuk melakukan revisi atas visi pribadinya,

dan kemudian keterampilan untuk membangun kondisi kerja yang sesuai

dengan keadaan organisasinya.

(2) Disiplin visi bersama (shared vision). Organisasi pembelajar membutuhkan

visi bersama, visi yang disepakati oleh seluruh anggota organisasinya. Visi

bersama ini akan menjadi kompas dan sekaligus pemicu semangat dan

komitmen untuk selalu bersama sehingga menumbuhkan motivasi kepada para

karyawan untuk belajar dan terus belajar meningkatkan kompetensinya.

(3) Disiplin model mental (mental model). Organisasi akan mengalami kesulitan

untuk secara akurat mampu melihat berbagai realitas yang ada, jika para

anggota organisasi tidak mampu merumuskan asumsi serta nilai-nilai yang

tepat untuk digunakan sebagai basis cara berpikir maupun cara memandang

berbagai permasalahan organisasi. Keterampilan untuk menemukan prinsip

dan nilai-nilai bersama, serta tumbuhnya semangat berbagi nilai untuk

menumbuhkan keyakinan bersama sehingga menguatkan semangat dan

komitmen kebersamaan, merupakan disiplin yang dibutuhkan untuk

membangun disiplin model mental organisasi.

(4) Disiplin pembelajaran tim (team learning). Disiplin pembelajaran tim akan

efektif jika para anggota kelompok memiliki rasa saling membutuhkan satu

26

dengan yang lainnya untuk dapat bertindak sesuai dengan rencana bersama.

Kemampuan untuk bertindak merupakan prasyarat untuk menciptakan nilai

tambah organisai, karena rencana tanpa diikuti tindakan nyata, merupakan

ilusi belaka. Kemampuan untuk membangun ikatan emosional, semangat

berdialog, keterampilan bekerja sama secara tim, kemampuan belajar dan

beradaptasi, serta usaha untuk meningkatkan partisipasi merupakan disiplin

yang dibutuhkan untuk membangun disiplin pembelajaran tim.

(5) Disiplin berpikir sistemik (system thinking). Disiplin ini berfungsi untuk

melengkapi disiplin bagaimana kita belajar, yaitu disiplin untuk memahami

apa sebenarnya yang kita pelajari. Faktor utama dari konteks pembelajaran

dalam organisasi kontemporer adalah bagaimana kita dapat memahami

kompleksitas permasalahan yang terjadi di sekitar kita, serta kita mampu

berperan serta dan menciptakan perubahan yang berarti dan bermanfaat untuk

mempertahankan kemampuan hidup organisasi kontemporer. Disiplin ini

merupakan keterampilan untuk memahami struktur hubungan antara berbagai

faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi eksistensi organisasi,

keterampilan untuk berpikir integratif dan tuntas, keterampilan untuk berpikir

komprehensif, serta keterampilan untuk membangun organisasi yang adaptif.

Organisasi pembelajar memiliki tiga karakteristik menurut Garrat (1990)

dalam Munir (2008). Tiga karakteristik tersebut, yaitu:

Pertama, organisasi pembelajar mendorong orang-orang di semua level untuk

belajar secara reguler dan bekerja keras dari pekerjaannya.

Kedua, organisasi pembelajar memiliki sistem untuk menangkap pembelajaran

dan memanfaatkannya pada hal atau tempat yang membutuhkannya.

Ketiga, organisasi pembelajar menghargai pembelajaran dan mampu secara

terus-menerus melakukan transformasi dirinya sebagai hasil pembelajaran.

Bangunan organisasi pembelajar dapat dilihat pada gambar di bawah ini

27

Gambar 5. Bangunan Organisasi Pembelajar

(1) Fondasi “bangunan organisasi pembelajar” berdiri di atas fondasi rasa saling

percaya dan budaya belajar.

(2) Struktur pilar pertama “bangunan organisasi pembelajar” dibangun oleh

keterampilan belajar yang minimal terdiri dari:

a. Keterampilan memecahkan permasalahan secara sistematik.

b. Keterampilan bereksperimen dengan menggunakan pendekatan baru

c. Kemampuan belajar dari pengalaman dan/atau sejarah masa lalu

d. Kemampuan belajar dari praktisi yang berhasil

e. Kemampuan mentransfer pengetahuan dengan cepat dan efisien

(3) Struktur pilar kedua “bangunan organisasi pembelajar” dibangun oleh fasilitas

belajar yang terdiri dari:

a. Informasi sistemik

b. Struktur organisasi

c. Sistem penghargaan

(4) Atap “bangunan organisasi pembelajar” dibangun oleh disipilin belajar yang

terdiri dari:

a. Disiplin keahlian pribadi

b. Disiplin berbagi visi

c. Disiplin model mental

d. Disiplin berpikir sistemik

e. Disiplin tim pembelajar

28

(5) Enabler organisasi pembelajar dipengaruhi oleh kualitas kepemimpinan

Literatur tentang organisasi pembelajar dan NGO efektif mengusulkan

delapan fungsi kunci yang harus dilakukan untuk belajar secara efektif, yaitu:

1. Menciptakan budaya yang mendukung

Hal ini berkaitan dengan pemberian penghargaan terhadap kontribusi staf,

penciptaan iklim belajar, sumber daya dan fasilitas untuk pengembangan

individu serta kebebasan untuk berdiskusi tentang isu yang berkembang.

2. Mengumpulkan pengalaman internal

Fungsi ini berkaitan dengan prosedur-prosedur sistematis untuk

mengumpulkan pengetahuan yang ada di organisasi dan peningkatan kapasitas

individu.

3. Mengakses Pembelajaran Eksternal

Mengakses pembelajaran eksternal berkaitan dengan mengumpulkan

pengetahuan dan informasi yang didapatkan di luar organisasi sebagai bahan

pembelajaran di dalam organisasi.

4. Sistem Komunikasi

Komunikasi mengalir bebas di seluruh organisasi antar divisi serta dapat

diakses informasinya dengan mekanisme yang baik.

5. Mekanisme untuk menarik kesimpulan

Pembelajaran yang didapatkan disadari sebagai kebutuhan semua anggota

organisasi serta pangawasan dan evaluasi yang dilakukan di masing-masing

program secara rutin dianalisis untuk mengidentifikasi apa yang telah

dipelajari dan apa yang dapat diterapkan di masa yang akan dating.

6. Mengembangkan Memori Organisasi

Faktor ini berkaitan dengan mekanisme penyimpanan pengetahuan melalui

pengembangan database yang mudah diakses oleh anggota organisasi dan

penyimpanan pengetahuan ketika anggota organisasi meninggalkan

organisasinya.

7. Mengintegrasi Pembelajaran ke dalam strategi dan kebijakan

Pembelajaran yang diperoleh diintegrasikan ke dalam strategi organisasi dan

kebiijakan organisasi dengan melibatkan anggota organisasi.

29

8. Menerapkan Pembelajaran

Peningkatan kapasitas individu untuk mendukung kegiatan organisasi serta

konversi pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit yang dapat dibagi

untuk meningkatkan kapasitas organisasi dalam menjalankan programnya.

2.6. NGO (Non Government Organization)

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) semula dikenal sebagai Organisasi

Non Pemerintah atau Ornop. Istilah Ornop adalah terjemahan dari Non-

Government Organization atau NGO. Sebagian masyarakat menganggap bahwa

LSM adalah suatu lembaga swadaya yang bekerja untuk pembangunan

masyarakat kecil yang tertindas, masyarakat miskin atau mereka yang

terpinggirkan.

Chambers dalam Mudgal (2006) mengenalkan konsep ‘additionality’

untuk menggambarkan sumbangan potensial dari Ornop bagi proses

pembangunan. Konsep ‘additionality’ itu dimaksudkan sebagai upaya membuat

sesuatu lebih baik daripada yang sebelumnya, yang memberi kemungkinan baik

maupun buruk. Upaya mencari ‘additionality’ yang tinggi memerlukan empat

unsur yaitu mengidentifikasikan dan mempertemukan kebutuhan dan peluang;

menilai manfaat terbandingkan (comparative advantage) yaitu melihat apa yang

dikerjakan oleh satu Ornop dibandingkan dengan yang dikerjakan Ornop lain;

belajar dan menerima lewat aksi; dan mencapai dampak yang luas. Satu Ornop

dapat mencapai teknologi hingga semakin luas; mengembangkan dan

menggunakan pendekatan yang kemudian diadopsi oleh Ornop lain ataupun oleh

pemerintah; mempengaruhi perubahan kebijakan dan tindakan donor; mengambil

manfaat dan menebarkan pemahaman tentang pembangunan.

Pada mulanya Ornop dilihat sebagai organisasi yang bergerak secara

eksklusif pada tingkat lokal dengan tujuan memenuhi kebutuhan kelompok miskin

tanpa mempertimbangkan dampak yang luas, akan tetapi kemudian terjadi

pergeseran yang mendasar yakni bahwa Ornop tidak lagi hanya berupaya

‘memenuhi kebutuhan kelompok miskin’ melainkan juga membantu mereka

mengartikulasikan kebutuhan mereka dan memberikan kemampuan kepada

30

mereka untuk mengontrol proses pengambilan keputusan yang dapat

mempengaruhi kehidupan mereka (Drabek dalam Mudgal, 2006).

Menurut Riker (1995) NGO merupakan organisasi yang dibentuk oleh

kalangan yang bersifat mandiri. Organisasi seperti ini tidak menggantungkan diri

pada pemerintah, negara terutama dalam dukungan keuangan dan sarana atau

prasarana. Sekalipun mendapat dukungan dana dari lembaga-lembaga

internasional, tidak berarti kalangan NGO sama sekali terlepas dari pemerintah,

karena tidak jarang pemerintah memberikan fasilitas penopang, seperti pemberian

bebas pajak untuk aktivitas dan asset yang dimiliki oleh NGO (Gaffar, 2002).

Pembeda NGO dengan organisasi-non pemerintah lainnya terletak pada visi, misi

dan orientasi yang melintasi kepentingan staf dan anggotanya serta cara-cara yang

ditempuh dalam rangka mencapai tujuan. Cara yang ditempuh NGO adalah

melibatkan masyarakat atau kelompok sasaran dalam setiap kegiatan yang

dilakukan serta tidak berorientasi pada kepentingan (non-profit oriented), tetapi

sebaliknya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam proses

pembangunan. Riker (1995) mengkategorikan NGO ke dalam empat kelompok,

yaitu:

1. Government organized NGOs atau Gongos, yaitu NGO yang muncul karena

mendapat dukungan dari pemerintah, baik berupa dana maupun fasilitas.

Biasanya NGO seperti ini berperan menyukseskan program-program

pemerintah. Di Indonesia NGO seperti ini dikenal dengan sebutan NGO “plat

merah”.

2. Donor organized NGOs or Dongos, yaitu NGO yang dibentuk oleh kalangan

lembaga donor, baik yang bersifat multirateral maupun unilateral. NGO

seperti ini biasanya dibentuk untuk mewujudkan program lembaga donor

tersebut.

3. Autonomous or Independent NGOs, yaitu NGO yang dibentuk, tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat. NGO seperti ini sifatnya independen secara

finansial dan memiliki kepedulian yang sangat luas tentang berbagai hal dalam

kehidupan sehari-hari.

31

4. Foreign NGOs yaitu NGO yang muncul sebagai perwakilan dari NGO yang

ada diluar negeri. Kehadirannya, tentu saja harus selalu setahu atau mendapat

izin dari negara tempat NGO tersebut beroperasi.

2.7. Kajian Penelitian Terdahulu

Penelitian di bidang Manajemen Pengetahuan belum begitu banyak

sehingga penulis menggunakan jurnal sebagai kajian penelitian terdahulu. Jurnal

tersebut dijabarkan di bawah ini.

Jurnal Manajemen Pengetahuan dengan judul Analisis Keunggulan

Bersaing Melalui Penerapan Knowledge Management dan Knowledge-Based

Strategy di Surabaya Plaza Hotel ditulis oleh Anshori (2005) menjelaskan bahwa

perpaduan antara knowledge yang dimiliki, kapabilitas dan resources yang ada,

digabungkan dengan strategi bisnis yang dimiliki telah menghasilkan competitive

advantage yang menjadikan Surabaya Plaza Hotel (SPH) memiliki performance

lebih bagus dibandingkan kompetitornya. Sesuai dengan Knowledge Management

Pyramid yang dikembangkan oleh Rosenberg, Surabaya Plaza Hotel berada pada

level dua yaitu Information, Creation, Sharing, dan Management. SPH perlu

mengadakan satu jabatan baru yaitu Knowledge Management Manager dan

meningkatkan semua kapabilitas dan resources yang ada untuk memasuki tingkat

yang tinggi lagi (level tiga dalam konsep Rosenberg) yaitu Entreprise

Intelligence.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

alternatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Teknik

yang digunakan dalam menganalisis data adalah diagnosa Knowledge

Management, Identifikasi Knowledge Sources, dan Analisis Competitive

Advantage. Hasil dari penelitian menunjukkan skor dan persentase Knowledge

Management secara keseluruhan di atas rata-rata yaitu 65 persen. Dengan kata

lain SPH telah melakukan proses Knowledge Management dengan cukup baik.

Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Surabaya Plaza Hotel

secara umum telah melakukan management by knowledge, meskipun belum

terorganisir dengan baik. Upaya pemanfaatan pengetahuan untuk kelancaran

operasional hotel sudah berjalan cukup baik, khususnya pengetahuan yang

mempengaruhi posisi kompetitif yang bersumber pada customer knowledge,

32

stakeholder relationships, knowledge in product and services, dan knowledge in

people. Meskipun peralatan maupun software yang dipergunakan belum

terintegrasi dalam satu sistem, tetapi sudah ada upaya optimal dalam melakukan

upaya penciptaan, penyebarluasan, maupun penyimpanan pengetahuan.

Berdasarkan The Knowledge Management Pyramid yang dikembangkan oleh

Rosenberg, Surabaya Plaza Hotel berada pada level dua yaitu Information,

Creation, Sharing, and Management.

Hal yang berbeda ditulis oleh Kosasih dan Budiani melalui penelitiannya

yang berjudul Pengaruh Knowledge Management Terhadap Kinerja Karyawan:

Studi Kasus Departemen Front Office Surabaya Plaza Hotel. Tujuan penelitian

tersebut adalah untuk mengukur pengaruh dari knowledge management terhadap

kinerja karyawan pada departemen front office di Surabaya Plaza Hotel.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa knowledge management secara

tidak langsung mempengaruhi kinerja karyawan, ada pengaruh yang signifikan

antara personal knowledge terhadap job procedure, dan faktor yang paling

dominan mempengaruhi kinerja karyawan adalah teknologi. Jenis penelitian yang

digunakan pada penelitian ini adalah penelitian penjelasan (explanatory research)

dengan metode kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah karyawan departemen

front office di Surabaya Plaza Hotel yang berjumlah 43 orang. Metode

pengambilan sampel yang digunakan adalah judgement sampling yaitu sampel

yang dipilih berdasarkan karakteristik tertentu, dalam hal ini adalah karyawan

front office Surabaya Plaza Hotel pada level operasional yang bekerja minimal 1

tahun sebanyak 26 orang.

Dalam penelitian ini penulis melakukan perhitungan distribusi frekuensi

dan mean (nilai rata-rata) untuk memberikan gambaran atau deskripsi dari data

yang diperoleh. Metode analisis path yang digunakan adalah permodelan SEM

(Structural Equation Modeling) dan partial least square sebagai alternatif untuk

situasi dimana dasar teori pada perancangan model lemah dan atau indikator yang

tersedia tidak memenuhi model pengukuran refleksif.

Hasil dari penelitian tersebut adalah pengaruh langsung antara job

prosedur ke kinerja menunjukkan arah yang positif namun nilainya sangat kecil

yaitu sebesar 0,099. Namun apabila melihat pengaruh secara total antara personal

33

knowledge dan job procedure ke kinerja maka perolehan nilainya akan lebih

tinggi, dengan arti bahwa job procedure yang diimbangi dengan personal

knowledge akan memberikan pengaruh yang baik bagi kinerja karyawan hotel.

Hasil penelitian juga menemukan bahwa pemahaman Standard Operation

Procedure sebagai indikator dari job procedure dalam jangka waktu yang panjang

(long run) tidak menunjukkan pengaruh yang kuat terhadap kinerja, hal ini juga

dapat dilihat dari jumlah responden atau karyawan hotel yang lama menekuni

bidangnya saat ini kebanyakan lebih dari 9 tahun. Dengan jangka waktu yang

lama tersebut maka karyawan tidak lagi terpaku pada Standard Operation

Procedure yang ada, namun pada prosesnya karyawan juga belajar dari

pengalaman yang diperoleh. Faktor yang paling dominan mempengaruhi kinerja

adalah teknologi. Hal ini dikarenakan pada departemen front office banyak

menggunakan fasilitas teknologi untuk mendukung proses kerja.

Secara keseluruhan implementasi knowledge management di Surabaya

Plaza Hotel sudah cukup baik, hal ini juga dapat dilihat dari program-program

yang ada yang menawarkan bentuk pelatihan agar karyawan diberi kesempatan

untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Program lain yang

diadakan yaitu sharing best-practices yang menjadi wadah bagi para karyawan

untuk melakukan transfer knowledge demi peningkatan kinerja hotel.

Sampai saat ini penulis belum menemukan penelitian manajemen

pengetahuan untuk studi kasus di organisasi non pemerintah. Penulis

menggunakan kajian penelitian terdahulu di bidang yang sama dibahas pada

skripsi ini yaitu manajemen pengetahuan sehingga skripsi ini dapat dijadikan

referensi kajian penelitian untuk penulis lain yang akan membahas di organisasi

non pemerintah.