identifikasi yang tepat, hasilkan proyek …kpsrb.bappenas.go.id/data/filemajalah/edisi 1...

28
Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 1 ISSN 2088-9194 772088 919408 9 Identifikasi yang Tepat, Hasilkan Proyek Bermanfaat Edisi Perencanaan KPBU PA RT N E R SH IP SUSTAINING MEDIA INFORMASI KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA Pentingnya Perencanaan dan Identifikasi KPBU

Upload: lamlien

Post on 03-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 1

ISSN 2088-9194

7 7 2 0 8 8 9 1 9 4 0 89

Identifikasi yang Tepat, Hasilkan Proyek Bermanfaat

Edisi Perencanaan KPBU

PARTNERSHIPSUSTAINING

M E D I A I N F O R M A S I K E R J A S A M A P E M E R I N T A H D E N G A N B A D A N U S A H A

Pentingnya Perencanaan dan Identifikasi KPBU

2 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

mEdia

Perencanaan yang matang dan pengelolaan anggaran yang baik menjadi landasan bagi keberhasilan pembangunan infrastruktur yang dicanangkan pemerintah. Sejumlah target telah disiapkan pemerintah dalam membangun

infrastruktur di tanah air. Target dirancang secara komprehensif agar pekerjaan pembangunan infrastruktur dapat berjalan sistematis, tepat waktu, dan tuntas, serta hasilnya memberikan manfaat secara ekonomi dan sosial bagi masyarakat luas.

Pelaksanaan pembangunan infrastruktur melalui proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dituangkan melalui Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nomor 4/ 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur. Dalam peraturan menteri tersebut, dijelaskan terkait pelaksanaan tahapan KPBU yang harus dilaksanakan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK).

Skema KPBU ini dalam perencanaannya dibangun selaras dengan proses perencanaan pembangunan nasional, dan pada umumnya berupa proyek berjangka panjang yang memerlukan waktu beberapa tahun. Studi pendahuluan melalui identifikasi KPBU sebagai langkah awal, disusun oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah. Perencanaan dan penyusunan anggaran pada setiap tahap pelaksanaan KPBU dilakukan untuk memastikan ketersediaan anggaran dari kementerian/ lembaga/ daerah sehingga tidak ada proyek pembanguan infrastruktur yang terbengkalai.

Pada pembukaan acara Musrenbangnas 2017 di Jakarta bulan April 2016 lalu, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Sofyan Djalil menegaskan perlunya koordinasi secara terintegrasi agar dalam merencanakan pembangunan infrastruktur, baik Kementerian/Lembaga (K/L) maupun Pemerintah Daerah (Pemda) tidak membangun secara sektoral. Pemerintah Daerah juga diharapkan melakukan perencanaan belanja daerah secara efektif dan tidak lagi bergantung bantuan dari Pemerintah Pusat mengingat kemampuan fiskal Pemerintah Pusat semakin terbatas.

Kementerian PPN/ Bappenas sangat ketat dalam menyeleksi usulan proyek KPBU yang akan ditawarkan melalui PPP Book. Proyek yang tercantum dalam PPP Book akan mendapatkan jaminan dan dukungan dari pemerintah. Pemerintah telah menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai salah satu prioritas pembangunan karena ketersediaan infrastruktur yang memadai akan memberikan kontribusi signifikan dalam pertumbuhan ekonomi.

Melalui perencanaan yang baik, proyek KPBU dapat menjadi motor penggerak investasi yang memicu keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Diharapkan melalui ketepatan identifikasi kebutuhan infrastruktur dapat menggulirkan kesuksesan di berbagai proyek KPBU di Indonesia. (*)

Editorial

Editorial & redaksi

Perencanaan: Langkah Awal Pembangunan InfrastrukturSuSunan RedakSi

penanggung jawabPlt. Direktur Kerjasama Pemerintah Swasta dan Rancang Bangun

peMIMpIn ReDaKSIRachmat Mardiana

Dewan ReDaKSIDelthy Sugriady SimatupangGunsairiJusuf ArbiNovie AndrianiDodi SulistioAhmad Yudistira Eka MasropahAjeng P. AnggitaElisabeth Ria

ReDaKtuR pelaKSanaR Indra

ReDaKtuRThomas PKandiAndi Nur Azisa

RepoRteRElmy Diah LarasatiDewi Sulistiawaty

FotogRaFeRPonco

DeSaIn gRaFISAfandi A, Dica H

alamat RedakSi

Direktorat Kerjasama Pemerintah Swasta dan Rancang BangunGedung Baru Lt.4Jl. Taman Suropati No.2, Jakarta 10310Telp: (021) 319 34 175Telp: (021) 319 23 813email: [email protected]: pkps.bappenas.go.id

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 3

profil KpBU

18

Kehadiran Balai Pengelolaan Sampah Regional (BPSR) Provinsi Jawa Barat telah terbukti dapat mendorong skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam pengelolaan sampah.

Optimalkan dan Sinergikan Pengelolaan Sampah

Daftar Isi

reportase

edUKasi

22

26

Pembangunan Tempat Pembuangan dan Pengolahan Akhir Sampah (TPPAS) Nambo di Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, merupakan pilot project Balai Pengelolaan Sampah Regional (BPSR) Jawa Barat menggunakan model KPBU dalam pengelolaan sampah di wilayah Provinsi Jawa Barat.

Inggris termasuk pelopor penerapan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) di dunia dalam pembangunan infrastruktur.

Perencanaan merupakan salah satu kunci keberhasilan proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Tanpa perencanaan yang baik, proyek KPBU berpotensi mangkrak dan bahkan mengalami kegagalan.

Cegah Proyek Mangkrak melalui Perencanaan yang Baik

Proses Panjang Penyiapan Proyek TPPAS Nambo

laporan Utama14

Setiap tahun anggaran infrastruktur mengalami kenaikan. Namun belum diiringi dengan proses perencanaan yang matang dan terintegrasi. Skema KPBU diharapkan dapat mengefisienkan penggunaan APBD untuk penyediaan infastruktur yang berkualitas di Daerah.

Mengefisienkan Anggaran Infrastruktur Daerah dengan KPBU

Dari Pusat Sampai Daerah, Inggris Miliki Unit Penganggaran KPBU

laporan Utama4

4 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

Berita Utama

Dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pem­bangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pem­

bangunan Nasional (Bappenas) Nomor 4/ 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan KPBU Dalam Penye­diaan Infrastruktur, diatur bagaimana pelaksanaan peren canaan KPBU yang harus dilalui oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK). Tahap perencanaan KPBU dimak sudkan untuk memperoleh infor masi mengenai kebutuhan penye diaan infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Rencana Strategis dan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Perencanaan juga bertujuan untuk mendukung koordinasi dan pengembangan rencana KPBU serta melakukan keterbukaan infor­masi kepada masyarakat mengenai rencana KPBU.

Terdapat tujuh tahapan yang harus dilakukan dalam kegiatan perencanaan KPBU, yakni penyusunan rencana anggaran dana KPBU; identifikasi dan penetapan KPBU, termasuk untuk gabungan dua atau lebih PJPK; penganggaran dana tahap perencanaan; konsultasi publik; pengambilan keputusan lanjut atau tidak lanjut rencana KPBU; penyusunan daftar rencana KPBU; dan pengkategorian KPBU. Kegiatan pendukung dapat dilaksanakan pada tahap perencanaan, di antaranya kegiatan yang terkait dengan kajian lingkungan hidup dan kegiatan yang terkait dengan pengadaan tanah.

Cegah Proyek Mangkrak melalui Perencanaan yang Baik

perencanaan merupakan salah satu kunci keberhasilan proyek Kerjasama pemerintah dengan Badan Usaha (KpBU). tanpa perencanaan yang baik, proyek KpBU berpotensi mangkrak dan bahkan mengalami kegagalan. oleh karena itu, kementerian/lembaga (K/l) maupun pemerintah daerah (pemda) perlu menyediakan anggaran khusus untuk perencanaan KpBU.

Berita Utama

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 5

Berita Utama

Khusus pada tahan penyusunan rencana anggaran dana KPBU, disebutkan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah menyusun rencana anggaran untuk pelaksanaan KPBU sesuai ketentuan peraturan perundang­undangan. Penyusunan rencana anggaran meliputi setiap tahap pelaksanaan KPBU, yang terdiri atas tahap perencanaan, tahap penyiapan, dan tahap transaksi. Penyusunan rencana anggaran pada setiap tahap pelaksanaan KPBU bertujuan untuk memastikan ketersediaan anggaran kementerian/lembaga/daerah dalam melaksanakan KPBU. Kasubdit Kelembagaan, Informasi, dan Regulasi, Direktorat Kerjasama Pemerintah Swasta dan Rancang Bangun (KPSRB), Kementerian PPN/Bappenas, Gunsairi, menyatakan, ta­hapan tersebut wajib dilaksanakan jika ingin proyek KPBU tidak menga­lami kegagalan. Selama ini, Gunsairi menilai kesadaran PJPK, terutama pemerintah daerah (pemda), masih sangat kurang dalam menyedia­kan anggaran perencanaan KPBU. Padahal, anggaran tersebut sangat diperlukan untuk men­dukung setiap keg­iatan perencanaan KPBU.

Gunsairi melihat, pemda masih keliru memahami KPBU. Sebab, masih banyak pemda yang berpikir instan dan menyamakan KPBU dengan proyek APBD yang setiap tahun anggarannya ditampung pemerintah melalui APBN. Padahal, proyek APBD juga semestinya direncanakan dengan baik sehingga hasilnya tidak asal jadi. Contohnya, ketika ingin membangun pasar, harus direncanakan dengan baik mulai dari lokasi hingga manfaatnya untuk masyarakat. Lalu merencanakan biaya operasional dan pemeliharaan setelah selesai dibangun. Jangan sampai setelah dibangun biaya operasional dan pemeliharaan tidak tersedia, akibatnya bangunannya menjadi sia­sia kerena tidak terawat.

“Kalau direncanakan asal­asalan jelas tidak akan jadi itu proyek KPBU. Karena beda dengan proyek APBN, uangnya kan sudah ada. Kalau KPBU keuanganya belum ada. Jadi harus pandai­pandai meyakinkan pihak swasta,” ujar Gunsairi.

Menurut Gunsairi, proyek KPBU umumnya jangka panjang sehingga butuh perencanaan yang matang. Untuk perencanaan proyek KPBU, juga tidak bisa instan. Paling cepat baru bisa terlaksana setelah 2­3 tahun. Misalnya, jika tahun ini muncul ide untuk membangun proyek KPBU, maka kemungkinan besar proses perencanaan baru

dilaksanakan tahun kedua atau tahun ketiga. Artinya, pada saat

ide muncul tidak mungkin bisa tahun itu juga proyek KPBU dilaksanakan. Sebab, butuh persiapan

perencanaan yang

baru bisa diusul kan pada tahun anggaran berikutnya. Bahkan idealnya, perenca naan sudah dilakukan sejak lima tahun.

“Untuk menyusun dan membuat tahap perencanaan itu kan butuh dana. Jadi, kalau kita bicara proyek tahun 2016, berarti dananya sudah dianggarkan tahun 2015. Kita tidak mungkin melakukan perencanaan atau penyiapan di tahun 2016 ini juga. Kita jangan berpikir proyek KPBU begitu dibutuhkan langsung jadi,” ucapnya. Gunsairi sangat menyayangkan jika ada PJPK yang tidak melakukan proses perencanaan dengan alasan tidak memiliki anggaran. Sebab, sudah menjadi rahasia umum banyak studi­studi yang dilakukan untuk proyek­proyek tertentu tetapi tanpa output yang optimal. Bahkan di daerah sering melakukan studi banding saat ingin membangun sesuatu di daerah. “Kenapa untuk KPBU tidak mau menyediakan anggarannya? Padahal proyek­proyek KPBU umumnya untuk kepentingan umum, kepentingan masyarakat,” tegas Gunsairi.

Direktorat Kerjasama Pemerin­tah Swasta dan Rancang Bangun (KPSRB), Kementerian PPN/Bappenas sebenarnya sudah aktif mensosialisasikan pentingnya anggaran untuk studi perencanaan KPBU, baik di tingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi, hingga kini pola pikir sebagian PJPK memang masih berorientasi proyek APBN/APBD. Jadi, masih banyak PJPK, terutama kepala daerah yang berpikir proyek infrasruktur tidak perlu direncanakan karena akan dibiayai ABPN/ABPD. Padahal, mestinya setiap K/L maupun pemda wajib menyediakan anggaran perencanaan sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 38/2015 dan Permen PPN/Kepala Bappenas Nomor 4/2015.

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 5

Gunsairi Kasubdit Kelembagaan, Informasi, dan Regulasi, Direktorat Kerjasama Pemerintah Swasta dan Rancang Bangun, Kementerian PPN/Bappenas

6 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

Berita Utama

Kepala Subdit Analisa dan Formulasi Sistem Pendanaan Pembangunan, Kementerian PPN/Bappenas, Sumariyandono, mengatakan, dalam proses perencanaan hingga tahap pelaksanaan, setiap proyek pasti memerlukan anggaran. Jika tidak menyiapkan perencanaan dengan baik, maka ada potensi kegagalan proyek. Perencanaan yang baik tidak mungkin dapat dihasilkan tanpa ketersediaan anggaran. “Kalau kita sudah merencanakan dengan baik, sebenarnya untuk pelaksanaannya tinggal melaksanakan saja. Yang utama justru di perencanaan, sehingga pengalokasian anggaran untuk perencanaan itu sangat penting,” tandasnya.

Selama ini, dia melihat PJPK belum memberikan atensi yang besar untuk penganggaran perencanaan KPBU. Alasannya, proyek KPBU butuh proses panjang, mulai dari persiapan, prastudi, hingga pelaksanaan. PJPK beranggapan tahapan yang panjang itu butuh waktu yang lama juga, sehingga dianggap ada ketidakpastian. ”PJPK berpikir untuk apa mempersiapkan tapi ujungnya tidak jelas, sehingga akhirnya mereka merasa tidak perlu mempersiapkan anggaran untuk itu (perencanaan),” ucapnya.

Pola pikir semacam itu jelas sangat keliru. Jika memang sudah komitmen memilih skema KPBU, PJPK seharusnya menyiapkan anggaran perencanaan sejak awal. Apalagi banyak sumber pembiayaan untuk anggaran perencanaan tersebut. Menurut Sumariyandono, Selain dari APBN/APBD, PJPK diperbolehkan melakukan pinjaman atau menerima hibah selama itu sesuai dengan peraturan perundang­undangan. “Untuk anggaran perencanaan itu bisa darimana saja sepanjang tidak ada ikatan dengan waktu ditransaksi proyeknya. Kalau hibah hanya hibah lepas saja, kalau pinjaman

ya pinjaman lepas saja, tidak ada keharusan perusahaan asal negara itu yang menang,” tuturnya.

Sumariyandono menambahkan bahwa PJPK masih perlu terus dibantu agar pola pikirnya berubah dari APBN/APBD menjadi KPBU. Sebab, skema KPBU merupakan salah satu alternatif pendanaan yang tepat untuk pembangunan. Sudah saatnya PJPK tidak mengandalkan pembiayaan dari APBN, terutama bagi daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam, karena sangat memungkinkan mampu membiayai persiapan proyek KPBU.

Pihaknya sendiri terus mendorong agar anggaran untuk perencanaan KPBU ditingkatkan masing­masing PJPK. Terlebih untuk daerah, dimana

alokasi anggaran dari pusat terus meningkat setiap tahun. Saat ini, sepertiga porsi APBN sudah diransfer ke daerah. Jadi, anggaran yang dimiliki pemda saat ini sudah relatif besar sehingga dianggap sanggup menyediakan anggaran untuk perencanaan KPBU.

Begitu juga PJPK di pusat, sudah seharusnya menyiapkan anggaran untuk perencanaan KPBU pada saat menyiapkan rencana strategis (renstra) lima tahunan atau RPJMN. “Jangan lagi menganggap skema KPBU ini sesuatu yang berbeda proses perencanaannya. Ini harus inline dalam proses perencanaan pembangunan nasional,” tandasnya.

Apalagi saat ini sejumlah K/L sudah memiliki unit KPBU. Keberadaan

FAKTOR-­‐FAKTOR  PENYEBAB  

PROYEK  KPBU  TERHENTI  

Penyiapan  proyek  ;dak  

dilakukan  secara  op;mal  

Pemilihan/  iden;fikasi  

proyek  yang  kurang  tepat  

Rendahnya  komitmen  PJPK  

dan  pihak  terkait  lainnya  

Faktor  lainnya  diluar  proyek  

seper;  perubahan  peraturan  

17

KESIMPULAN

TAHAP PERENCANAAN

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 7

Berita Utama

unit KPBU seharusnya dapat memfasilitasi atau membimbing perencanaan kegiatan­kegiatan yang berpotensi masuk dalam skema KPBU, sehingga bisa direncanakan anggarannya sejak awal. Tapi hal ini butuh koordinasi yang baik antara unit perencanaan dengan unit KPBU. “Unit perencanaan kan mengikuti siklus perencanaan pembangunan nasional. Jadi kalau unit KPBU di K/L dengan unit perencanaan jalan sendiri­sendiri, maka ini tidak akan sinkron jadinya,” ucapnya.

Upaya Kementerian PUPR Merencanakan Proyek KPBU

Proyek KPBU yang ditangani Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selama ini tergolong memiliki tingkat keber­hasilan yang tinggi. Hal ini tak lepas dari adanya koordinasi yang baik antar pihak terkait dan saling meme­gang teguh komitmen yang telah dise­pakati bersama dalam peren canaan dan pelaksanaan proyek KPBU.

Direktur Bina Investasi Infrastruktur, Ditjen Bina Konstruksi, Kementerian PUPR, Ober Gultom, mengatakan, Kementerian PUPR memang tidak mengalokasikan anggaran khusus untuk perencanaan proyek KPBU. Akan tetapi, dia memastikan setiap proyek KPBU sudah melalui tahap perencanaan yang matang. Hasilnya, selama ini tingkat keberhasilan proyek KPBU yang ditangani Kementerian PUPR cukup menggembirakan. Ober menyebutkan, dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek KPBU, terdapat sejumlah pihak yang terkait di internal Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat. Direktorat Jenderal yang ada memiliki peranan dalam pengaturan dan pembinaan penyelenggaraan proyek KPBU, pelaksanaan pengadaan lahan, serta pengawasan umum. Lalu ada Badan Pengatur Jalan Tol

(BPJT), Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (DJSDA), dan Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) yang berperan dalam pembinaan badan usaha dan pelaksana tahapan dalam pembangunan proyek KPBU oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT), Perum Jasa Tirta, dan PT Perumnas. “Kami di Direktorat Bina Investasi Infrastruktur berperan sebagai katalisator dalam simpul KPBU,” ujarnya kepada majalah PARNERSHIP, pada pertengahan Juni lalu.

Mekanisme pengalokasian dana yang dijalankan terkait proyek KPBU di lingkungan Kementerian PUPR hanya terkait, pertama: pengaturan penyelenggaraan proyek KPBU meliputi perumusan kebijakan, penyusunan perencanaan umum, dan pembentukan peraturan perundang­undangan. Kedua, pembinaan penyelenggaraan proyek KPBU meliputi perumusan standar teknik dan manual, pemberian izin pemanfaatan, sosialisasi dan informasi, pemberdayaan (pelatihan dan studi banding) secara umum, serta penelitian dan pengembangan. Ketiga, anggaran untuk pengawasan secara umum. Sedangkan anggaran yang digunakan untuk tahapan studi kelayakan (feasibility study) terdapat di BPJT, DJSDA, DJCK, dan melalui penugasan kepada Perum Jasa Tirta dan PT Perumnas.

Adapun sumber­ sumber pembiayaan untuk anggaran perencanaan KPBU disesuaikan dengan pembagian tugas dan fungsi masing­masing direktorat. Anggaran untuk pengaturan penyelenggaraan proyek KPBU, pembinaan penyelenggaraan proyek KPBU, dan pengawasan umum, bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) masing­ masing Direktorat Jenderal yang bersangkutan. Misalnya, proyek KPBU terkait jalan tol berasal dari DIPA Direktorat Jenderal Bina

Marga dan BPJT. Proyek KPBU terkait sumber daya air berasal dari DIPA DJSDA. Proyek KPBU terkait air bersih, sanitasi dan perumahan berasal dari DIPA DJCK dan PT Perumnas. “Di samping alokasi dana dari DIPA tersebut, dalam beberapa kasus proyek KPBU, dana untuk perencanaan, terutama untuk feasibility study, anggaran berasal dari badan kerjasama asing, seperti Korea International Cooperation Agency (KOICA) dan Japan International Cooperation Agency (JICA),” katanya.

Saat ini, sehubungan dengan belum terbitnya Keputusan Menteri PUPR tentang penunjukan Direktorat Bina Investasi Infrastruktur sebagai Simpul KPBU di Kementerian PUPR, pihaknya melakukan identif­ikasi dan penetapan proyek skema KPBU melalui dua tahapan. Pertama, melakukan pengaturan penyeleng­garaan proyek KPBU yang akan dilak sanakan. Tahapan ini meliputi perumusan kebijakan terkait proyek yang diselenggarakan, penyu sunan perencanaan umum yang akan menghasilkan jaringan jalan tol, lokasi bendungan, lokasi pe rumah­an, dan lain sebagainya. Se lanjutnya, pembentukan peraturan perundang­undangan seting kat peraturan menteri untuk menge sahkan jaringan jalan, sistem penye diaan air minum, dan perumahan rakyat. Tahapan ini dirumuskan oleh masing­masing Direktorat Jenderal.

Kedua, pembentukan tim evaluasi terkait pola investasi dan pola pembiayaan proyek KPBU oleh BPJT, DJSDA, dan DJCK. “Melalui kedua tahapan ini, akan ditetapkan proyek mana yang layak dan dapat dilaksanakan melalui skema KPBU. Ke depan, Direktorat Bina Investasi Infrastruktur diharapkan mampu menjadi badan regulasi sekaligus membantu evaluasi pola investasi dan pola pembiayaan KPBU di lingkungan Kementerian PUPR,” tuturnya. (*)

8 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

Untuk menjabarkan konsep KPBU tersebut, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 4/2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan KPBU Dalam Penyediaan Infrastruktur. Permen tersebut menyebut tiga tahap pelaksanaan KPBU, yaitu

perencanaan, penyiapan, dan transaksi. Dalam tiga tahapan tersebut, terdapat proses konsultasi publik yang wajib dilaksanakan.

Konsultasi publik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses identifikasi proyek. Pelaksanaannya, sebagaimana diatur dalam Permen PPN/Kepala Bappenas Nomor 4/2015, bersamaan dengan penyusunan studi pendahuluan. Hasil dari konsultasi

publik dan studi pendahuluan itulah yang nantinya menentukan lanjut atau tidaknya rencana penyediaan infrastruktur melalui skema KPBU.

Konsultasi publik adalah proses interaksi antara Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dengan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, akuntabilitas dan efektivitas KPBU. Konsultasi publik pada tahap perencanaan dilakukan oleh PJPK untuk mendiskusikan penjelasan dan penjabaran terkait dengan rencana KPBU. Konsultasi publik minimal harus menghasilkan dua hal. Pertama, penerimaan tanggapan dan masukan dari pemangku kepentingan yang menghadiri konsultasi publik. Kedua, evaluasi terhadap hasil yang

Konsultasi Publik Sangat Menentukan Keberhasilan KPBU

skema Kerjasama pemerintah dengan Badan Usaha (KpBU) adalah salah satu upaya pemerintah mendorong percepatan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah di tanah air. skema tersebut diyakini sebagai alternatif pendanaan untuk menjawab kebutuhan pembiayaan infrastruktur yang terus meningkat.

Berita Utama

Sumber foto: Bappeda Kepri

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 9

didapat dari konsultasi publik dan implementasinya dalam KPBU.

Kasubdit Kelembagaan, Informasi dan Regulasi, Direktorat Kerjasama Pemerintah Swasta dan Rancang Bangun (KPSRB), Kementerian PPN/Bappenas, Gunsairi, mengatakan, setiap proyek skema KPBU semestinya melalui proses konsultasi publik. Hal ini sangat penting untuk mengetahui respon masyarakat terhadap keberadaan proyek tersebut. Perencanaan proyek KPBU pastinya akan semakin matang dengan adanya berbagai masukan dari masyarakat, sebagai pihak yang akan memanfaatkan proyek itu kelak.

Menurut Gunsairi, konsultasi publik dapat mengurangi daya tolak masyarakat terhadap sebuah rencana pembangunan infrastruktur. Akan tetapi konsultasi publik ini harus dilakukan secara intensif. Artinya, konsultasi publik harus dilaksanakan sejak tahap perencanaan proyek. “Pada tahap ini dapat dijelaskan keuntungan­keuntungan yang akan didapatkan masyarakat. Melalui proses itu juga pelaksana proyek dapat memengaruhi tokoh masyarakat. Itulah pentingnya konsultasi publik dalam tahap perencanaan KPBU,”ujar Gunsairi kepada PARtNERSHIP, pada pertengahan Juli lalu.

Jika konsultasi publik tidak dilakukan dengan efektif, maka berpotensi memunculkan biaya sosial (social cost) yang tinggi akibat adanya penolakan dari masyarakat. Adanya penolakan dari masyarakat yang berlarut­larut justru dapat menghambat upaya percepatan pembangunan proyek tersebut. “Apalagi untuk proyek KPBU, jika masih ada daya tolak di masyarakat, investor tidak akan mau terlibat,” kata dia.

Gunsairi mencontohkan proyek kereta cepat Jakarta­Bandung. Proyek yang diserahkan kepada konsorsium BUMN bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia itu sempat menjadi konsumsi publik meskipun tahap konstruksi baru akan dilaksanakan pada dua tahun mendatang. Hal ini akibat masih banyak masyarakat yang kurang mengetahui proyek tersebut. “Supaya masyarakat tidak terkaget­kaget, dijelaskanlah dengan baik apa maksud dan tujuan dari pembangunan itu. Itulah yang namanya komunikasi publik,” tuturnya.

Kasus semacam ini sangat berpeluang terjadi pada proyek lain jika masyarakat tidak dikomunikasikan sejak awal rencana proyek itu muncul. Oleh karena itu, komunikasi dengan masyarakat dan pemangku kepentingan perlu terus dilakukan. Artinya, konsultasi publik jangan dilakukan sekali atau pada saat awal­awal saja, tetapi terus­menerus.

“Konsultasi publik ini dilakukan sepanjang waktu sampai menyelesaikan proyek. Tidak hanya di level perencanaan saja, nanti

di level penyiapan juga dilakukan konsultasi publik lagi,” katanya.

Gunsairi menambahkan, PJPK tidak perlu berpikir yang rumit­rumit dalam melaksanakan konsultasi publik. Misalnya, PJPK membayangkan biaya konsultasi publik yang sangat mahal sehingga tidak dilakukan. Padahal konsultasi publik dapat dilakukan dengan cara sederhana sehingga pembiayaannya tidak mahal. Apalagi saat ini teknologi sudah canggih dimana hampir semua masyarakat memiliki ponsel. Melalui media sosial, PJPK dapat secara terus menerus menginformasikan arti pentingnya proyek tersebut. “Kalau konsultasi publiknya dengan mengadakan pertemuan, mengundang banyak orang, iya pastilah perlu biaya. Tapi kita jangan berpikir seperti itu lagi lah untuk konsultasi publik. Biaya konsultasi publik itu murah kok, apalagi dengan kemajuan teknologi dan informasi yang sudah terbuka saat ini,” ujarnya.

Dengan adanya konsultasi publik, risiko proyek terganggu saat berjalan dapat dihindari. Dari konsultasi publik juga dapat diukur masalah­masalah yang kira­kira muncul. Misalnya, jika ada masyarakat yang menolak, maka dikaji dampaknya dan dibandingkan dengan manfaat bagi masyarakat yang mendukung. Apabila telah dilakukan konsultasi publik, namun banyak respon masyarakat yang menolak, bukan berarti menghambat proses perencanaan proyek KPBU tersebut. Respon masyarakat tersebut akan terlebih dahulu dikaji dan dilihat seberapa besar dampaknya dibandingkan manfaat yang diperoleh. “Respon masyarakat adalah sebagai input atau masukan saja. Nanti akan kita hitung manfatnya. Jika memang lebih banyak moderatnya maka proyek tersebut bisa dikaji ulang lagi,” tuturnya.

Berita Utama

Supaya masyarakat tidak terkaget-kaget, dijelaskanlah dengan

baik apa maksud dan tujuan dari

pembangunan itu. Itulah yang namanya komunikasi publik.

Gunsairi Kasubdit Kelembagaan, Informasi, dan Regulasi, Direktorat KPSRB, Kementerian PPN/Bappenas

10 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

Berita Utama

Gunsairi melihat kesadaran PJPK untuk melakukan konsultasi publik hingga saat ini masih kurang. Terlebih di daerah, pada saat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), masih mengganggap konsultasi publik tidak penting sehingga tidak pernah menjadi prioritas untuk dianggarkan. Sebenarnya, Direktorat KPSRB Kementerian PPN/Bappenas selama ini terus mendorong agar PJPK melakukan konsultasi publik. Agar konsultasi publik dapat berhasil, Direktorat KPSRB Kementerian PPN/Bappenas menyediakan pendampingan. Namun pendampingan yang diberikan bentuknya memberikan penjelasan mengenai langkah­langkah yang dibutuhkan untuk melakukan konsultasi publik, dan menjadi narasumber. “Kami tidak lagi menyediakan konsultan untuk mendampingi PJPK. Tapi sebetulnya jasa untuk konsultasi publik ini, ahlinya sudah banyak di masyarakat. Jadi, sebenarnya ini masalah kemauan saja. Bukannya tidak mampu, tapi banyak yang merasa sayang saja uangnya digunakan untuk konsultasi publik,” ujarnya.

Model Konsultasi Publik padaProyek Monorel Batam

Mengutip dokumen penyiapan proyek pembangunan monorel di Batam, konsultasi publik dapat berjalan maksimal jika mele wati tiga tahap, yaitu peren ca naan, pelaksanaan dan pendoku men­tasian. Perencanaan sebagai tahap awal terdiri dari pemetaan aktor, perancangan proses, penentuan tim kerja dan skema pendanaan. Pemetaan aktor penting untuk menjaring kualitas masukan dan informasi yang akan dibutuhkan dalam perencanaan proyek KPBU. Aktor­aktor yang akan terlibat dipertimbangkan berdasarkan lima

faktor, yaitu keterwakilan sektor, legitimasi, sumber daya, kapasitas pengembangan kebijakan, dan sebaran geografis. Para aktor yang akan terlibat dalam konsultasi publik itu nantinya akan dikategorikan sebagai primary actor dan secondary actor. Para pihak yang berwenang mengambil keputusan masuk primary actor. Sementara mereka yang akan terpengaruh dampak pelaksanaan proyek KPBU digolongkan sebagai secondary actor. Langkah kedua dalam perencanaan konsultasi publik merupakan perencanaan proses. Langkah ini penting untuk menjaga konsultasi publik terlaksana secara maksimal dalam kurun waktu yang pasti. Selanjutnya, konsultasi publik harus melalui proses penentuan tim kerja. Tim tersebut sepatutnya terdiri dari unsur penanggung jawab pelaksana KPBU atau PJPK dan unsur non­pemerintah. Anggota dari tim yang berunsur PJPK berasal dari unit­unit kerja yang memiliki keterkaitan

langsung dengan proyek yang akan dijalankan. Tahap perencanaan konsultasi publik diakhiri dengan kesepakatan tentang skema pendanaan. Akuntabilitas sumber pembiayaan konsultasi publik penting untuk menghindari tumpang tindih anggaran. Proses perencanaan berlanjut ke pelaksanaan yang berfokus pada penjajakan hubungan personal dengan masyarakat yang terkena dampak KPBU. Langkah tersebut penting untuk mengetahui karakteristik secondary actor. Konsultasi publik tidak berhenti pada pelaksanaannya saja. Dokumentasi yang menyeluruh merupakan langkah penting untuk mengatasi tekanan­tekanan tertentu pada proses pelaksanaan proyek. Pendokumentasian ini mencakup proses dan hasil konsultasi publik. Hasil dari tahap ini juga akan menjadi alat verifikasi atas masukan para pihak atas rencana pelaksanaan proyek KPBU. (*)

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 11

Dalam melakukan proses identifikasi, terdapat sejumlah tahapan yang perlu dilakukan Penanggung

Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nomor 4/ 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Identifikasi KPBU yang memiliki potensi untuk dikerjasamakan dengan Badan Usaha dilaksanakan oleh Menteri/Kepala Lembaga/BUMN untuk KPBU yang diprakarsai oleh pemerintah pusat. Sedangkan KPBU yang diprakarsai oleh pemerintah daerah (pemda), dilaksanakan oleh Kepala Daerah/BUMD.

Dalam melakukan identifikasi KPBU yang diprakarsai oleh pemerintah pusat, Direktur Jenderal/ Deputi/ Kepala Perangkat Daerah/ Direksi BUMN perlu menyusun studi penda­huluan yang memuat rencana bentuk KPBU; rencana skema pembiayaan KPBU dan sumber pendanaan; serta rencana penawaran KPBU yang mencakup jadwal, proses, dan cara penilaian. Setelah itu, tahap selan­jutnya adalah melakukan studi pen­da huluan. Kegiatan ini meliputi kajian mengenai analisis kebutuhan (need analysis); kriteria kepatuhan (comp liance criteria); kriteria faktor penentu nilai manfaat uang (Value for Money) partisipasi badan usaha; analisa potensi pendapatan dan skema pembiayaan proyek; dan reko­men dasi dan rencana tindak lanjut.

Analisis Kebutuhan

Analisis kebutuhan sangat penting agar proyek yang dikerjasamakan benar­benar bermanfaat bagi kepentingan umum atau masyarakat luas. Pada tahap ini, terdapat tiga

Berita Utama

Identifikasi yang tepat,

Hasilkan Proyek Bermanfaat

proyek Kerjasama pemerintah dengan Badan Usaha (KpBU) secara prinsip harus memberi manfaat ekonomi, sosial, dan mengutamakan kepentingan umum. Untuk itu, penetapan proyek KPBU perlu pengkajian mendalam melalui proses identifikasi yang tepat.

12 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

Berita Utama

indikator untuk melakukan analisis. Pertama, proyek KPBU memiliki dasar pemikiran teknis dan ekonomi berdasarkan analisis data sekunder yang tersedia. Kedua, proyek KPBU tersebut memiliki permintaan yang berkelanjutan atau dibutuhkan untuk jangka panjang. Proyek KPBU diukur dari ketidakcukupan pelayanan, baik secara kuantitas maupun kualitas berdasarkan analisis data sekunder yang tersedia. Ketiga, proyek KPBU mendapat dukungan dari pemangku kepentingan atau masyarakat. Hal ini dapat diketahui salah satunya melalui konsultasi publik.

Kasubdit kelembagaan, Informasi, dan Regulasi, Direktorat Kerjasama Pemerintah Swasta dan Rancang Bangun (KPSRB), Kementerian PPN/Bappenas, Gunsairi, mengatakan, sebelum membangun proyek KPBU, harus dilihat terlebih dahulu urgensi dari proyek tersebut. Misalnya, jika ingin membangun pasar, harus dilihat apakah keberadaan pasar tersebut benar­benar dibutuhkan

masyarakat sekitar. Dengan demikian, keberadaan pasar tersebut tidak sia­sia.

Sebenarnya, untuk mengindentifikasi proyek­proyek infrastruktur, PJPK tidak perlu berpikir rumit. Sebab, pemerintah sudah memiliki rencana pembangunan, mulai dari rencana lima tahunan atau disebut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hingga Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk 20 tahunan.

PJPK cukup melakukan break down proyek­proyek yang terdapat pada RPJMN atau RPJMD untuk melihat potensi yang dapat menggunakan skema pembiayaan KPBU. Proyek­proyek dalam RPJMN atau RPJMD umumnya belum menetapkan skema pembiayaan. Misalnya pembangunan kereta cepat, pada saat membuat perencanaannya, pemerintah belum secara detail menentukan skema pembiayaannya sehingga, PJPK bisa mencari potensi yang dapat

dikerjasamakan melalui skema KPBU.

Memang tantangannya, pelaksanaan RPJMN/RPJMD perlu komitmen dari pimpinan lembaga dan kepala daerah sebagai PJPK. Sebab, kepala daerah yang hanya menjabat satu periode pemerintahan atau lima tahun, tidak dapat sepenuhnya menjalankan RPJMN atau RPJMD yang ia susun. Oleh karena itu, perlu komitmen dari pimpinan lembaga maupun kepala daerah yang baru untuk melanjutkan program pembangunan yang disusun pemerintahan sebelumnya. Gunsairi menganalogikan, jika kepala daerah terpilih tahun 2016, maka kepala daerah tersebut masih menjalankan RPJMD yang dbuat oleh kepala daerah sebelumnya hingga tahun kedua. Pada tahun ketiga lah kepala daerah terpilih dapat efektif melaksanakan RPJMD yang ia susun. Itu tidak genap sampai lima tahun jika pada periode selanjutnya ia tidak terpilih kembali. Praktis setiap kepala daerah hanya memiliki waktu tiga tahun untuk menjalankan RPJMD.

Penyusunan Anggaran (Studi Pendahuluan)

05TAHUN I

TAHUN V

TAHUN II

TAHUN III

TAHUN IV

-

TIMELINEPROYEK

KPBU

Ide Muncul

Pelaksanaan/Konstruksi

Transaksi

Penyiapan Proyek (Konsultasi Publik)

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 13

Berita Utama

Jika dikaitkan dengan proyek KPBU, tentu waktu yang hanya tiga tahun tidak mencukupi untuk sampai pada tahap konstruksi. Sebab, proyek KPBU idealnya minimal butuh lima tahun mulai dari proses perencanaan dan penyiapan, hingga proses konstruksi. Itu artinya, kepala daerah harus berlapang dada jika proyek yang ia rencanakan hasilnya baru diperoleh pemerintahan periode berikutnya.

Kriteria Kepatuhan

Setelah melakukan analisis kebutuhan, langkah selanjutnya adalah melihat dari sisi kepatuhan proyek. Pada tahap ini, hal­hal yang perlu dilihat mencakup kesesuaian dengan peraturan perundang­undangan yang berlaku, termasuk penentuan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN/Direksi BUMD yang bertindak selaku PJPK; kesesuaian KPBU dengan RPJMN/RPJMD atau Rencana Strategis Kementerian/Lembaga, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, rencana bisnis BUMN/BUMD; kesesuaian lokasi KPBU dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW); dan keterkaitan antarsektor infrastruktur dan antarwilayah apabila diperlukan sesuai kebutuhan jenis infrastruktur yang akan dikerjasamakan. “Hal inilah yang menjadi poin kalau sudah ada studi yang dilakukan di sana. Jadi, itu yang akan didalami lagi dan diproses selanjutnya dalam tahap penyiapan,” jelas Gunsairi.

Nilai Manfaat Uang (Value for Money)

Tahap ini adalah proses penentuan skema yang akan digunakan, apakah menggunakan APBN/APBD atau KPBU. Ada beberapa pertimbangan dalam menentukan Nilai Manfaat Uang ini. Jika mengacu pada Permen PPN/Kepala Bappenas Nomor

4/2015, kriteria faktor penentu Nilai Manfaat Uang skema KPBU meliputi sektor swasta memiliki keunggulan dalam pelaksanaan KPBU, termasuk dalam pengelolaan risiko; terjaminnya efektivitas, akuntabilitas dan pemerataan pelayanan publik dalam jangka panjang; alih pengetahuan dan teknologi; dan terjaminnya persaingan sehat, transparansi, dan efisiensi dalam proses pengadaan.

Gunsairi mengatakan, untuk memilih Badan Usaha dalam tahapan ini PJPK perlu mempertimbangkan beberapa hal. Misalnya, proyek yang akan dikerjasamakan terkait teknologi, harus dipastikan teknologi yang digunakan up to date. Jika setiap lima tahun kadaluarsa, maka risiko pergantian atau pemeliharaan harus menjadi tanggung jawab Badan Usaha. “Perlu dicek juga, misalnya ada tidak risiko terhadap keamanan atau kerahasiaan negara. Lalu untung mana mengelola sendiri atau diserahkan kepada swasta. Hal­hal seperti itu harus menjadi pertimbangan untuk Value for Money,” jelasnya.

Potensi Pendapatan

Tahap identifikasi selanjutnya adalah melihat potensi pendapatan dan skema pembiayaan proyek. Analisis potensi pendapatan dan skema pembiayaan proyek meliputi kemampuan pengguna untuk membayar; kemampuan fiskal pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN/BUMD dalam melaksanakan KPBU; potensi pendapatan lainnya; dan perkiraan bentuk dukungan pemerintah.

Rekomendasi dan Rencana Tindak Lanjut

Setelah melalui tahapan­tahapan di atas, maka selanjutnya menentukan proyek yang memungkinkan untuk

dilanjutkan atau tidak. Dalam proses ini meliputi rekomendasi bentuk KPBU; rekomendasi kriteria utama dalam pemilihan Badan Usaha; dan rencana jadwal kegiatan penyiapan dan transaksi KPBU.

Gunsairi menegaskan, berhasil tidaknya proyek KPBU sangat tergantung pada proses identifikasi. Jika identifikasi tidak tepat, maka hasilnya kemungkinan besar tidak sesuai tujuan. Misalnya, ketika membangun pasar, memang ada potensinya untuk dikerjasamakan dengan Badan Usaha. Akan tetapi, jika pemilihan lokasinya kurang cocok, misalnya jauh dari permukiman penduduk, maka besar kemungkinan keberadaan pasar kurang bermanfaat sehingga pada akhirnya proyeknya mangkrak. “Jadi, dalam memilih proyek atau mengidentifikasi, kunci­nya adalah kriteria­kriteria tersebut di atas harus secara prudence dan konsisten dilakukan,” tegas Gunsairi.

Dalam proses penentuan proyek­proyek KPBU yang akan ditawarkan dalam PPP Book, Kementerian PPN/Bappenas juga sangat memperhatikan proses identifikasi ini. Sebab, banyak usulan proyek yang disampaikan daerah untuk masuk dalam PPP Book dan tidak mungkin seluruhnya tertampung. Oleh karena itu, Kementerian PPN/Bappenas sangat ketat menyeleksi usulan proyek KPBU yang akan ditawarkan melalui PPP Book. Sebab, jika sudah masuk dalam PPP Book, maka PJPK akan mendapatkan jaminan dan dukungan dari pemerintah. Berdasarkan Perpres Nomor 38/2015, terdapat tiga jenis dukungan yang diberikan pemerintah, yaitu dukungan untuk mencukupi kelayakan pajak, dukungan sebagian konstruksi, dan dukungan untuk mendapatkan Viability Gap Fund (VGF) atau dana dukungan tunai. “Kalau tidak masuk PPP Book tidak mendapat semua dukungan itu,” pungkasnya. (*)

14 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

Mengefisienkan Anggaran Infrastruktur Daerah dengan KPBU

setiap tahun anggaran infrastruktur mengalami kenaikan. namun belum diiringi dengan proses perencanaan yang matang dan terintegrasi. Skema KPBU diharapkan dapat mengefisienkan

penggunaan apBd untuk penyediaan infrastruktur yang berkualitas

Infrastruktur merupakan sektor strategis bagi pertumbuhan ekonomi. Selain sebagai penggerak roda ekonomi, infrastruktur juga mampu

menyerap tenaga kerja dan salah satu faktor penting dalam menarik investasi langsung ke Indonesia. Mengingat pentingnya hal tersebut, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang dirilis oleh Kementerian Keuangan, Pemerintah Pusat telah mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp. 189,7 triliun. Jumlah ini terus mengalami kenaikan pada tahun berikutnya. Dalam RAPBN 2016 sebelum perubahan yang disampaikan Presiden Jokowi pada sidang paripurna DPR pada bulan Agustus 2015, pemerintah telah mengalokasikan anggaran infrastruktur hingga Rp 313,5

triliun. Namun sayangnya, alokasi dana tersebut belum diiringi dengan proses perencanaan yang matang dan terintegrasi. Koordinasi antar­kementerian/lembaga (K/L) maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) dinilai masih lemah. Akibatnya, belanja infrastruktur tidak efisien dan tidak memberikan dampak maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai kementerian yang bertugas untuk mengeluarkan kebijakan dan membina pemerintah daerah dalam menyusun APBD, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terus melakukan berbagai upaya untuk terus menyelaraskan anggaran infrastruktur pusat dan daerah sehingga belanja infrastruktur menjadi lebih efisien dan mampu memberikan dampak maksimal

terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam rangka menyelaraskan anggaran pusat dan daerah, Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 31/2016 tentang Pedoman Perencanaan Anggaran Penyusunan APBD 2017 yang mulai disosialisasikan kepada seluruh pemerintah daerah di Jakarta pada Juni 2016. Menteri Dalam Negeri, Tjahyo Kumolo, dalam kesempatan itu menegaskan bahwa dalam melakukan penyusunan rencana alokasi belanja daerah, pemda harus mengubah pola pikir money follow function and organization menjadi money follow programme. Selain itu, pemda diharapkan melakukan penyederhanaan nomenklatur anggaran secara lebih jelas. “Misalnya, program seperti bantuan peningkatan kapasitas nelayan,

Berita Utama

Pembangunan Sarana dan Prasarana Infrastruktur di Daerah -Photo By : Red NRMnews.com

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 15

ternyata hanya untuk pembangunan trotoar jalan. Padahal bisa lebih kongkrit dengan bantuan jaring nelayan dengan jumlah tertentu,” kata Tjahjo.

Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Reydonnyzar Moenek, mengatakan, anggaran daerah harusnya dipergunakan sebesar­besarnya untuk belanja pelayanan publik, penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan. “Ada 32 urusan pemerintahan yang harus didahulukan, terutama pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur. Dari data kami, saat ini dana alokasi infrastruktur secara rata­rata nasional masih di angka 22,86%. Saya berharap, tahun depan angka ini bisa terus ditingkatkan mencapai 30%,”ujarnya di hadapan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Kepala Bidang Anggaran Daerah, serta perwakilan DPRD seluruh Indonesia yang hadir dalam acara sosialisasi Permendagri Nomor 31/2016 tersebut.

Reydonnyzar menyarankan, pemda mulai melakukan perencanaan belanja daerah secara efektif dan tidak lagi bergantung bantuan dari pemerintah pusat, mengingat kemam­puan fiskal pemerintah semakin terbatas. Daerah sudah saatnya mengoptimalisasikan kekayaan daerah dengan cara melakukan penyertaan modal/ investasi pada BUMD dan melakukan optimasilasi pemanfaatan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan (iddle asset) melalui kerjasama pemda dengan pihak ketiga melalui skema KPBU.

Menurutnya, pemerintah daerah tidak perlu khawatir terlibat masalah hukum ketika melakukan kerjasama dengan pihak ketiga, karena landasan hukum untuk pelaksanaanya sudah disediakan. Payung hukum terkait

pelaksanaan skema KPBU antara lain Peraturan Presiden Nomor 38/2015 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Dalam penyediaan Infrastruktur, Peraturan Menteri PPN/Bappenas Nomor 4/ 2015 tentang Tata cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, Peraturan Kepala LKPP Nomor 19/ 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.08/2015 tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan Dalam Rangka Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Kemendagri juga sedang menggodok Permendagri yang dapat dijadikan panduan untuk melaksanakan KPBU di daerah. Saat ini rancangannya sudah selesai digodok hampir 95 % dan ditargetkan terbit akhir tahun 2016.

Pelaksana tugas Direktur Pendapatan Daerah, Dirjen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Horas Maurits Panjaitan, mengatakan, sebenarnya sudah banyak pemda yang mengetahui tentang skema pendanaan KPBU untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Namun memang kebanyakan dari mereka masih belum memasukkan skema tersebut dalam anggaran daerah karena sedang menunggu aturan teknis dari Kemendagri yang dalam waktu dekat akan diterbitkan. Saat ini, Permendagri tersebut tinggal finalisasi dan menunggu masukan dari pemda­pemda yang sudah pernah merencanakan skema KPBU. “Kami sudah merencanakan akhir bulan Juli ini untuk mengundang beberapa pemda yang sudah pernah merencanakan KPBU untuk datang dan memberikan masukan,” ujarnya kepada majalah PARtNERSHIP pada awal Juli lalu.

Menurutnya, masukan dari Pemda sangat penting mengingat mereka yang akan menjalankan Permendagri tersebut. Jangan sampai ketika Permendagrinya sudah terbit, timbul banyak pertanyaan, sulit diimplementasikan dan menjadi beban bagi pemda. “Intinya kami tidak ingin pemda keliru memahami penerapan KPBU,” katanya.

Skema KPBU ini digunakan bukan hanya semata­mata untuk menyediakan infrastruktur daerah, tetapi lebih kepada tersedianya layanan publik yang lebih berkualitas dan mensejahterakan rakyat. “KPBU merupakan salah satu cara yang tepat untuk mengaplikasikan nilai manfaat uang (Value for Money/VfM), dimana kita bisa memanfaatkan uang terbatas untuk menyediakan fasilitas layanan publik yang maksimal dan berkualitas sehingga dapat mensejahterakan masyarakat,”ujarnya.

Selain itu, KPBU diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang mendorong keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur berdasarkan prinsip usaha secara sehat. Untuk itu, perlu dipertimbangkan bagaimana caranya pemerintah dapat memberikan kepastian pengembalian investasi badan usaha dalam penyediaan infrastruktur melalui mekanisme pembayaran secara berkala oleh pemerintah/pemerintah daerah kepada badan usaha. Dana yang digunakan untuk mengembalikan investasi badan usaha dapat diambil dari pengguna layanan secara langsung dalam bentuk tarif, ketersediaan layanan atau availability payment (AP) dan atau bentuk lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan undang­undang.Salah satu hal penting yang akan diatur dalam rancangan Permendagri yang sedang digodok adalah tata cara pembayaran ketersediaan layanan dalam rangka kerjasama pemerintah

Berita Utama

16 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

daerah dengan badan usaha (KPDBU) untuk penyediaan infrastruktur di daerah. Dengan adanya AP ini maka VfM dari APBD dapat ditingkatkan dan badan usaha memiliki kepastian pembayaran secara berkala sesuai dengan perjanjian KPDBU. Atau dapat dilakukan secara mencicil setiap tahun sehingga dapat menarik minat badan usaha untuk bekerjasama menyediakan layanan kepada masyarakat.

Maurits menambahkan, sebagai penyelenggara proyek KPBU, Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) harus sudah mulai menganggarkan dana AP pada masa operasi selama jangka waktu yang diatur dalam perjanjian kerja sama. Namun hal ini harus memperhatikan kemampuan keuangan daerah, kesinambungan fiskal, pengelolaan risiko fiskal, dan ketepatan sasaran penggunaannya. Berhubung aset infrastruktur hasil kerjasama KPDBU masih dalam pengelolaan badan usaha hingga perjanjian kerjasama berakhir, maka aset tersebut tidak bisa serta merta dapat dibukukan pada aset daerah setelah pembangunan selesai. Dengan demikian, pos anggaran belanja daerah yang terkait KPBU tidak dapat dimasukkan dalam pos belanja modal, melainkan masuk dalam pos pengeluaran belanja barang/jasa. “Layaknya orang yang beli mobil dengan cara mencicil, maka pos anggaran untuk KPDBU dalam perencanaan APBD seharusnya masuk dalam pos pengeluaran belanja barang/jasa, bukan dalam pos belanja modal,” ujarnya.

Dalam melakukan proses penga­wasan agar jalannya proyek KPBU berjalan sesuai dengan perun­tukan nya, nantinya akan dite­rapkan rekomendasi secara ber­jen jang. Dimana Mendagri akan mem berikan pertimbangan atau re komen dasi proyek KPBU yang

disam paikan oleh gubernur. Sedangkan untuk perencanaan pe­laksana an KPDBU di kabupaten/kota akan dipertimbangkan dan dire komendasikan oleh gubernur. Pertim bangan dilakukan untuk me­neliti dan menilai kesesuaian proyek dengan dokumen perenca naan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pem bangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pem bangunan Daerah (RKPD), kelayakan kemampuan keuangan daerah dan proyeksi penghitungan biaya Kerasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPDBU).

KPBU Harus Sinkron dengan Siklus Perencanaan Pembangunan Daerah

Sementara itu, Kasubdit Analisa dan Formulasi Sistem Pendanaan Pembangunan, kementerian PPN/ Bappenas, Sumariyandono, mengatakan, agar K/L maupun pemda tidak mengalami kesulitan dalam merencanakan dana penyiapan KPBU, harus disinkronkan dengan perencanaan pembangunan infrastruktur yang direncanakan dalam APBD. Jangan menganggap perencanaan skema KPBU ini sesuatu yang berbeda dari proses perencanaan pembangunan daerah.

Jika perencanaan pembangunan dimulai dari RKPD, maka dana persiapan KPBU juga harus dimulai dari RKPD. Dari RKPD lalu diturunkan ke Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). Begitu pula dengan perencanaan di daerah, harus sinkron antara RPJPD, RPJMD, RKPD, serta Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUAS­PPAS). ”Jadi, jangan dibuat suatu sistem yang tersendiri lagi prosesnya. Tahapan prosesnya boleh beda, tapi entry point nya itu harus berbarengan dengan proses siklus perencanaan pembangunan nasional,” ujarnya.

Menurutnya, pemda tidak akan merugi apabila menggunakan skema KPBU dalam pembangunan infrastrukturnya. Walaupun ada biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perencanaan dan penyiapan proyek, namun hasil dan manfaat yang didapat jauh lebih tinggi. “Kalau dibandingkan, dana untuk membangunn infrastruktur dengan memakai skema KPBU jauh lebih sedikit dibanding memakai APBD, karena yang dipakai adalah uang swasta, sehingga anggaran (ABPD) masih sisa banyak dan dapat digunakan untuk hal yang lain tanpa khawatir tidak dapat menyediakan fasilitas untuk publik,” ujarnya. (*)

Berita Utama

Sosialisasi Permendagri No 31 tahun 2016, Discovery Hotel Ancol,23 Juli 2016.

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 17

Penganggaran KPBU dan Anggaran Reguler K/L Perlu Diintegrasikan

Ir. Sumariyandono, MPMKepala Subdit Analisa dan Formulasi Sistem Pendanaan Pembangunan, Kementerian PPN/Bappenas

penghambat belum optimalnya skema KPBU di Indonesia saat ini? Lulusan Teknik Informatika Universitas Budi Luhur ini melihat ada dua faktor yang menjadi penghambat skema KPBU. Pertama, masalah proses perencanaan skema KPBU yang terpisah dengan anggaran regular di masing­masing Kementerian/Lembaga (K/L). Kedua, kurangnya kepedulian K/L untuk menyediakan anggaran kegiatan skema KPBU ini.

Untuk mengatasi hambatan itu, pihaknya sudah pernah membuat kajian terkait pengintegrasian proses penganggaran skema KPBU ke dalam proses perencanaan anggaran di pada K/L. Tapi sejauh ini memang masih dalam tatanan diskusi dan kajian. Oleh karena itu, ia berharap ke depan hal itu dapat diatur melalui regulasi sehingga ada payung

Pria yang menjabat Kepala Subdit Analisa dan Formulasi Sistem Penda naan Pembangunan, Kementerian

PPN/Bappenas, menilai skema Kerjasama Peme rintah dengan Badan Usaha (KPBU) merupakan salah satu solusi yang tepat untuk mengatasi kebutuhan pembiayaan infrastruktur di Indonesia. Jika terus dikembangkan, kebanyakan kata pemilik nama Sumariyandono sangat yakin skema KPBU dapat membantu pemerintah mencapai sasaran pembangunan.

Menurutnya, kedepannya skema KPBU tidak hanya difokuskan hanya untuk pembiayaan infrastruktur bidang ekonomi. Namun dapat juga dikembangkan untuk bidang lain, seperti infrastruktur sosial. Saat ini memang sudah mulai diarahkan ke infrastruktur sosial, hanya saja porsinya masih kurang besar. “Kita harus sadar bahwa kemampuan finansial pemerintah terbatas. Skema yang dapat membantu agar sasaran pembangunan itu dapat tercapai dengan KPBU. Jika dipaksa dengan pemerintah, uangnya tidak ada,” katanya.

Selama 26 tahun berkiprah di Kedeputian Bidang Pendanaan Pembangunan, Kementerian PPN/Bappenas, pria kelahiran Bojo­negoro, 18 Juni 1965, ini tentu sudah sangat memahami betul sistem perencanaan anggaran belanja negara sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto hingga sekarang. Lantas apa yang menjadi

hukumnya. “Harusnya perencanaan anggaran yang ada tidak tersendiri. Prosesnya mungkin boleh tersendiri tapi untuk memasukkan skema KPBU menjadi suatu kegiatan prioritas harus masuk ke proses perencanaan yang reguler itu, sehingga pendanaan untuk penyiapan bisa masuk di situ,” kata Master Public Finance lulusan Universitas Carnegie Mellon, Amerika Serikat, ini.

Ke depan, Sumariyandono juga masih memiliki keinginan agar penggunaan APBN jangan hanya sebagai alat untuk belanja semata, tetapi harus dibarengi dengan capaian pembangunan yang signifikan. Untuk itu, ia berharap setiap K/L maupun pemerintah daerah dapat memperbaiki kualitas belanjanya dengan memanfaatkan anggaran yang ada untuk memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat, termasuk untuk membangun infrastruktur yang lebih baik. Akan tetapi hal ini baru dapat terwujud apabila semua stakeholder memiliki pola pikir yang sama. “Harapan kami apa yang sudah dianggarkan memberikan dampak yang signifikan. Bagaimana caranya? Ya,

semua stakeholder harus punya commitment yang sama,

bukan hanya Bappenas,” tandasnya.*. (*)

sosok

Sosialisasi Permendagri No 31 tahun 2016, Discovery Hotel Ancol,23 Juli 2016.

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 17

18 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

BPSR Jawa Barat merupakan unit pelaksana teknis dinas di bawah naungan Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa

Barat yang dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 113/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksanaan Teknis Dinas dan Badan di Lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat. Dalam Pergub itu disebutkan, BPSR Jawa Barat, meliputi Sub Unit Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah Metropolitan Bandung Wilayah Barat, Sub Unit Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah Metropolitan Bandung Wilayah Timur, dan Sub Unit Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir

Optimalkan dan Sinergikan Pengelolaan Sampah

Balai pengelolaan sampah regional (Bpsr) provinsi Jawa Barat telah terbukti dapat mendorong skema Kerjasama pemerintah dengan Badan Usaha (KpBU) dalam pengelolaan sampah. selama ini, Bpsr telah menangani pengelolaan sampah di sejumlah tempat pengolahan dan pemrosesan

akhir sampah (tppas) di wilayah Jawa Barat, baik yang dibiayai pemerintah daerah maupun melalui skema KpBU.

Sampah Kawasan Bogor dan Depok.

Susunan Organisasi BPSR Jawa Barat, terdiri atas Kepala, Subbagian Tata Usaha, Seksi Perencanaan dan Evaluasi, Seksi Operasional Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah, Kelompok Jabatan Fungsional, dan Sub Unit Pelayanan. BPSR bertanggung jawab langsung kepada Gubernur untuk membentuk perencanaan TPA regional dan pelaksanaan pengelolaan sampah di TPA sementara. TPA regional merupakan penyatuan TPA dari beberapa daerah yang secara domisili lokasinya berdekatan, yang dikelola oleh satu pengelola secara terintegrasi. “BPSR dibentuk untuk mengoptimalkan dan mensinergikan

pengelolaan sampah dengan ang­garan provinsi. Pengelolaan sampah lebih ringan secara keuangan karena dilakukan secara tanggung renteng,” ujar Koor dinator Kerjasama dan Ke mit raan Pengelolaan Sampah, BPSR Jawa Barat, Sudartoyo, kepada majalah PARtNERSHIP, akhir Juni lalu.

Unit pengelolaan sampah di Jawa Barat awalnya dibentuk pasca peristiwa longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwi­gajah pada Februari 2005. Akibat peristiwa itu, pengelolaan dan pem­rosesan sampah di tiga kota lumpuh. Saat itu Bandung seakan menjadi lautan sampah. Dampak longsor TPA Leuwigajah memuncak pada tahun 2006. Karena TPA Leuwigajah lumpuh, Pemprov Jawa Barat kemudian membentuk task force (satuan tugas) pada tahun 2007. Satuan tugas ini berfungsi untuk mengelola sampah di wilayah Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung. Karena keterbatasan lahan untuk lokasi pembuangan sampah, satuan tugas lalu meminta bantuan kepada Pemprov Jawa Barat untuk mencarikan lokasi TPA yang baru. Pemprov Jawa Barat lalu memindahkan lokasi TPA Leuwigajah ke kawasan hutan milik PT Perhutani di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung. Lahan pengganti seluas 21,2 hektare (ha) tersebut dikenal dengan

BPSR Jawa Barat

Profil Lembaga Mitra KPBU

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 19

kawasan Bandung dan sekitarnya tentang pengelolaan sampah terpadu yang dikoordinasikan oleh Pemprov Jawa Barat. Sebagai langkah tindak lanjut, Dinas Permukiman dan Peru­mahan Jawa Barat kemudian mem­bentuk Unit Pengelola Operasional Persampahan. Namun, selama setahun keberadaannya fungsi unit ini kurang efektif akibat terkendala anggaran. Atas dasar itu Gubernur Jawa Barat menerbitkan Pergub Nomor 31/2007 tentang Pusat Pengelolaan Persampahan Jawa Barat (P3JB). Tapi keberadaan P3JB tidak berjalan lancar karena terkendala pertanggungjawaban anggaran. Saat itu, P3JB belum memiliki jalur struktural yang jelas.

Terbitnya Undang­Undang (UU) Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah menjadi pedoman bagi Jawa Barat untuk memperkuat peran unit persampahan karena memiliki payung hukum yang jelas. Dalam UU ini disebutkan, pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama antar pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan sampah. Pemerintah kabupaten/kota secara sendiri­sendiri atau bersama­sama juga dapat bermitra dengan badan usaha pengelolaan sampah dalam

penyelenggaraan pengelolaan sampah. Untuk menjalankan amanat UU tersebut, Jawa Barat menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12/2010 tentang Pengelolaan Sampah. Perda inilah yang menjadi payung hukum pembentukan UPTD pada dinas yang merupakan cikal bakal dibentuknya BPRS.

Sejauh ini, BPSR telah menangani pengelolaan sampah di sejumlah TPPAS di wilayah Jawa Barat, berdasarkan Perda Nomor 12/2010 yang menyebutkan investasi penye­leng garaan pengelolaan sampah regio nal dapat dilakukan melalui penda naan pemerintah daerah mau­pun dengan skema kerjasama deng an badan usaha, sesuai dengan keten­tuan peraturan perundang­undangan.

Beberapa proyek persampahan yang sudah dikelola BPSR dengan menggunakan pembiayaan pemerin­tah daerah, antara lain TPPAS Sarimukti dan TPPAS Legok Nangka, Bandung. Sedangkan proyek persampahan yang menggunakan skema KPBU adalah TPPAS Nambo, di mana saat ini sedang dalam proses pelelangan. TPPAS Nambo nantinya melayani wilayah Kota Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Bogor.

Di luar TPPAS Nambo, BPSR sedang mengusulkan pembangunan TPPAS Legok Nangka dan TPPAS Ciayumajakuning dengan skema KPBU. TPPAS Legok Nangka nantinya untuk melayani enam kabupaten/kota di sekitar Bandung, yaitu Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumendang, Kabupaten Garut, dan Kota Bandung. Sedangkan TPPAS Ciayumajakuning akan melayani wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. “Proyek TPPAS Legok Nangka sudah ready to offer (siap ditawarkan), sedangkan TPAAS Ciayumajakuning masih potential project, ” kata Sudartoyo. (*)

TPA Sarimukti yang mulai beroperasi pada Mei 2006. Dalam perjalanannya, karena satuan tugas tidak memiliki struktural, penggunaan keuangan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Akhirnya, pada tahun 2009 dibentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah (UPTD) untuk melanjutkan fungsi tugas satuan.

Konsep perencanaan pengelolaan sampah di Kota Bandung telah bergulir sejak tahun 2001. Saat itu, Pemprov Jawa Barat membuat kajian tentang Pengeloaan Lingkungan Terpadu antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi di Jawa Barat (Western Java Environmental Management Project /WJEMP) yang dibiayai oleh Bank Dunia. Tujuan dari kajian tersebut adalah untuk meletakkan kerangka strategis dan membentuk kelembagaan pengel­olaan lingkungan di Jawa Barat. Dari hasil kajian tersebut disimpulkan bahwa diperlukan sebuah sistem pengelolaan sampah terpadu yang ramah lingkungan di Jawa Barat.

Untuk mewujudkan sistem tersebut, sebagai langkah awal, pada tahun 2005 dibuat nota kesepakatan atau Memorandum of Understanding (MOU) antar pemerintah daerah di

Profil Lembaga Mitra KPBU

Sumber: BPSR Jabar

20 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bekasi telah merencanakan pembangunan SPAM

Pondok Gede sejak tahun 2010. Pembangunan ini dilatarbelakangi minimnya cakupan penyediaan air minum di Kota Bekasi. Saat ini, baru 8 kecamatan dari 12 kecamatan yang telah terlayani PDAM. Dengan

Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Pondok Gede, Bekasi, dilatarbelakangi untuk memenuhi kebutuhan air bersih di wilayah Kecamatan Pondok Gede dan Kecamatan Jatiasih. Pemerintah Kota Bekasi telah melalui berbagai tahapan hingga proyek ini bisa ditawarkan kepada investor melalui skema Kerjasama Pemerintan dengan Badan Usaha (KPBU).

reportase

pembangunan SPAM ini diharapkan dapat melayani masyarakat yang bermukim di perumahan dan non perumahan di 9 kelurahan, yaitu Kelurahan Jatiwaringin, Jaticempaka, Jatimakmur, Jatibening, Jatibeningbaru, Jatikramat, Jatimekar, Jatirasa dan Kelurahan Jatiasih.

Kepala Bidang Fisik Bappeda Kota

Bekasi, R. Dadang, menjelaskan, proyek ini diwacanakan pada tahun 2010 atas kepedulian pemerintah daerah akan ketersediaan air bersih kepada masyarakat. Di saat yang sama, Kementerian PPN/Bappenas memberikan informasi terkait adanya skema KPBU yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Selanjutnya, Bappeda Kota Bekasi mempresentasikan potensi wilayah yang dapat dibangun dengan skema KPBU kepada Bappenas. Ketika itu, pihaknya memang belum menghitung secara teknis nilai investasinya. Namun dalam proposal yang diajukan dilengkapi dengan gambaran lengkap wilayah SPAM, perhitungan ekonomis, jaringan hingga gambaran return.

Proposal juga dilengkapi dengan beberapa persyaratan untuk skema KPBU. Bappeda Kota Bekasi pun mencamtumkan Feasibility Study

Feasibility Study dan Kejelasan Lahan Menjadi Landasan SPAM Pondok Gede

R Dadang, Kabid Fisik Bappeda Kota Bekasi.

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 21

untuk membangun SPAM Pondok Gede tersebut. Kesiapan dirasa kurang karena tidak adanya dinas yang khusus menangani air bersih. Pada tahun 2015, Pemerintah Kota Bekasi akhirnya membentuk Dinas Permukiman, Sarana dan Prasarana yang salah satu tugasnya mengurusi penyediaan air bersih. Bappeda selanjutnya melimpahkan proyek SPAM Pondok Gede ini ke dinas tersebut.

Pelimpahan sekretariat juga dilakukan kepada unit Kerjasama Investasi Bekasi (KSI) yang melakukan pelelangan. Menurut Dadang, dengan dipindahnya sekretariat ke KSI, dokumen proyek SPAM Pondok Gede menjadi lebih lengkap sehingga siap dilelang. “Termasuk FS dan konsultasi publik telah dilakukan. Wakil Wali Kota telah melakukan market sounding ke Kanada pada tahun lalu,” imbuhnya.

Sebelum dilaksanakan market sounding, sudah banyak investor luar yang berminat terhadap SPAM Pondok Gede saat ditawarkan dalam PPP Book 2015. “Hanya saja kami ingin lebih serius menjelaskan situasi dan kondisi Bekasi dalam market sounding. Tentu ini penting agar investor lebih tertarik,” paparnya.

Setelah melalui berbagai penjajakan, Pemerintah Kota Bekasi akhirnya menandatangani nota kesepakatan kerjasama (MOU) dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), PDAM Tirta Patriot pada akhir Mei lalu. Direktur Utama PDAM Tirta Patriot Tubagus Hendi Irawan, mengatakan, kerjasama antara Pemerintah Kota dan PDAM Tirta Patriot dan LKPP dimaksudkan untuk melakukan transparansi anggaran pembangunan SPAM Pondok Gede

Menurut dia, kerja sama itu mengikat kedua belah pihak untuk mendorong agar proyek tersebut berjalan sesuai aturan dan kesepakatan. Pihaknya akan membangun SPAM di Pondok Gede berkapasitas produksi 300 liter per detik dengan nilai investasi Rp 345 miliar.

Untuk mempercepat pembangunan SPAM ini, PDAM Tirta Patriot telah meminta Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) untuk mendampingi proses KPBU SPAM Pondok Gede. Menurut anggota BPPSPAM Setio Djuwono, pihaknya berperan untuk mendampingi PDAM Tirta Patriot mulai dari proses lelang, adanya pemenang lelang hingga pembuatan kontrak dan pengawasan nantinya. (*)

reportase

(FS) hingga kejelasan lahan. Lahan dipilih di kawasan Pondok Gede karena merupakan daerah bebas jaringan PDAM. “Wilayahnya cocok untuk SPAM mengingat belum adanya jaringan PDAM. Itu salah satu syarat KPBU,” ungkap Dadang kepada majalah PARtNERSHIP, awal Juli lalu.

Setelah membuat proposal, Pemerintah Kota Bekasi melalui Bappeda kemudian mengkaji pola kerjasama seperti apa yang cocok, apakah System Build Operated transfer (BOT) atau Build Own Operated (BOO). “Hal itu menjadi pertimbangan tersendiri antara Pemerintah Kota dan Badan Usaha. Namun intinya, Pemerintah Kota mempersilakan badan usaha ingin menggunakan sistem yang mana,” katanya.

Pada awalnya Pemerintah Kota Bekasi memang menemui hambatan

22 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

Koordinator Kerjasama dan Kemitraan Pengelolaan Sampah, BPSR Jawa Barat, Sudartoyo, mengatakan,

sejak awal wacana pembangunan TPPAS Nambo muncul pada tahun 2009, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah memutuskan menggunakan skema KPBU. Melalui mekanisme KPBU, Pemerintah Provinsi Jawa Barat berharap dapat memilih badan usaha yang kompeten menangani sampah. “TPPAS Nambo merupakan salah satu proyek awal Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang

Proses Panjang Penyiapan Proyek TPPAS Nambo

menerapkan mekanisme KPBU,” ujar Sudartoyo, kepada majalah PARtNERSHIP, akhir Juni lalu.

Menurut Sudartoyo, teknologi merupakan salah satu pertimbangan utama BPSR memutuskan menggunakan mekanisme KPBU. Sebab, TPPAS Nambo tidak dapat menerapkan sistem penimbunan sampah (sanitary landfill), karena kurang efektif dan efisien. Cara itu tidak mengurangi volume sampah, justru lahan TPA cepat habis. “Kalau kapasitasnya maksimal, harus cari tempat lain. Itu bukan pekerjaan yang gampang. Ada syarat­syarat yang harus dipenuhi. Di sisi lain, banyak masyarakat menolak wilayah mereka dijadikan tempat penimbunan sampah,” katanya.

Atas dasar itu, BPSR ingin menerapkan teknologi yang dapat mengurangi volume sampah,

walaupun pada akhirnya akan tetap menyisakan 10­15% timbunan sampah. Setelah melalui berbagai pertimbangan, pilihan jatuh pada teknologi mechanical biological treatment. Persoalannya, tekonologi ini belum ada di Indonesia. Sumber daya manusianya pun belum dapat mengoperasikan teknologi itu. Di sisi lain, penerapan teknologi tersebut mensyaratkan pengembalian investasi, sedangkan anggaran BPSR sangat terbatas. Dengan skema KPBU, BPSR berharap dapat mengaplikasikan teknologi baru untuk TPPAS Nambo sekaligus membiayai pengadaannya.

Sebelum proyek ini ditawarkan ke publik, BPSR Jawa Barat terlebih dahulu melakukan proses identifikasi dan studi pendahuluan sejak tahun 2009 lalu. Identifikasi proyek didasarkan pada kebutuhan masyarakat, dan terdapat target

pembangunan tempat pembuangan dan pengolahan akhir sampah (tppas) nambo di Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, merupakan pilot project Balai pengelolaan sampah regional (Bpsr) Jawa Barat menggunakan skema Kerjasama pemerintah dengan Badan Usaha (KpBU) dalam pengelolaan sampah di wilayah provinsi Jawa Barat. sebelum proyek ini ditawarkan ke publik, terlebih dahulu dilakukan identifikasi dan studi pendahuluan yang dimulai sejak tahun 2009 hingga akhirnya masuk proses lelang pada tahun 2015.

Reportase

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 23

penggunaan lahan secara efisien dan efektif. Pada proses identifikasi, BPSR Jawa Barat menyiapkan anggaran sekitar Rp1 miliar yang mencakup anggaran untuk studi pendahuluan dan konsultasi publik. Terdapat tiga kabupaten/kota sebagai pengguna TPPAS Nambo yang terlibat dalam proses identifikasi, yakni Kota Depok, Kota Bogor, dan Kabupaten Bogor. Sedangkan pihak yang bertindak sebagai PJPK adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Saat proses identifikasi dan studi pendahuluan berjalan, BPSR sempat menemui kendala. Saat itu Jawa Barat belum membentuk unit KPBU untuk mempersiapkan dokumen studi pendahuluan dan dokumen pelelangan. Akan tetapi hal ini bukan menjadi penghalang. BPSR lalu meminta bantuan pendampingan dari Direktorat Direktorat Kerjasama Pemerintah Swasta dan Rancang

Bangun ( KPSRB), Kementerian PPN/ Bappenas, dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

Sembari mendapat pendampingan dari Direktorat KPSRB dan LKPP, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga membentuk kepanitiaan proyek TPPAS Nambo. Tim KPBU bertugas menyiapkan sejumlah dokumen sebagai bahan studi pendahuluan, antara lain dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Unit internal Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang terlibat dalam Tim KPBU tahap identifikasi ini, yakni BPSR, Biro Keuangan Setda Jawa Barat, Biro Hukum, dan Unit Layanan Pengadaan dari Biro Pengadaan Barang Daerah. Setelah memasuki tahap pembuatan kontrak turut dilibatkan Biro Otonomi Daerah dan Kerja Sama. “Dalam studi persiapan, kami juga melibatkan Bappeda. Karena penyiapan lokasi harus ada penyesuaian rencana tata ruang. Mereka (Bappeda) juga masuk tim anggaran,” kata Sudartoyo.

Proyek TPPAS saat ini masih proses lelang. Seharusnya pemenang dipublikasikan 18 Maret 2016 dan Gubernur Jawa Barat selaku Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama (PJPK) sudah menetapkan pemenangnya. Namun, penetapan itu tertunda karena masih me nung­gu produk hukum yang tepat untuk menetapkan pemenang lelang.

Pendirian TPPAS Nambo didasarkan pada kebutuhan mendesak atas tempat pengolahan sampah di Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kota Depok. Pada periode tahun 2000­an, ketiga pemerintah daerah tingkat II tersebut kesulitan menangani permasalahan sampah. Sebab, ketiga daerah belum memiliki infra­

struktur pemrosesan akhir sampah yang memadai. TPA yang ada di Depok sudah penuh, sementara TPA yang ada di Kabupaten Bogor tidak memunuhi syarat sebagai tempat pemrosesan akhir.

Sebagai gambaran, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor pada tahun 2015 lalu mencatat masyarakat setempat memproduksi sampah sebanyak 450 ton sampah setiap hari. Angka itu disebut setara dengan setengah kilogram sampah per orang dalam satu hari. Pada saat pengumuman prakualifikasi TPPAS Nambo Februari tahun lalu, Pe­merintah Provinsi Jawa Barat me nar­getkan setidaknya 1.500 ton sampah dapat diolah di TPPAS Nambo.

Sesuai rencana awal, TPPAS Nambo ditargetkan dapat beroperasi penuh akhir tahun 2017. Untuk mempercepat pembangunan TPPAS ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2015 lalu telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp15 miliar. Anggaran itu ditujukan untuk pembangunan jalan operasi dan pematangan lahan serta pengadaan pagar. Sementara itu, pemerintah pusat juga menyalurkan dana sebesar Rp 86 miliar untuk pembangunan sanitary landfill dan instalasi pengolahan sampah. (*)

Reportase

TPPAS Nambo merupakan salah satu

proyek awalPemerintah Provinsi

Jawa Barat yang menerapkan mekanisme

KPBU.

Sudartoyo, Koordinator Kerjasama dan Kemitraan Pengelolaan Sampah, BPSR Jawa Barat

24 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

Sejak Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas (Free trade Zone), laju pertumbuhan penduduk

dan perekonomian daerah ini terus meningkat. Untuk mempermudah laju pergerakan barang dan manusia, pemerintah pusat melalui BadanPengusahaan (BP) Batam berupaya membangun dan mengembangkan berbagai sarana dan prasarana dalam mewujudkan Batam sebagai gerbang wilayah Barat Indonesia. Salah satunya melalui pengembangan Pelabuhan Tanjung Sauh, yang disiapkan menjadi pelabuhan alih kapal petikemas (transhipment) tingkat internasional. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 62/2006 tentang Rencana Induk Pelabuhan Kabil di Batam, Provinsi Riau, direncanakan membutuhkan lahan daratan sekitar 160 ha dan area perairan 3.067 ha.

Kepala Biro Perencanaan Program dan Litbang BP Batam, Horman

Pudinaung, mengungkapkan bahwa tujuan pengembangan Pelabuhan Tanjung Sauh adalah untuk menyerap pasar transhipment di Selat Malaka yang berpotensi menghasilkan keuntungan besar. Dalam sehari terdapat sekitar 55 juta twenty foot equivalent unit (TEU) barang diangkut kapal yang lalu lalang di Selat Malaka. Sangat disayangkan pasar tersebut hanya dinikmati oleh Singapura dan Malaysia akibat Indonesia belum memiliki fasilitas untuk menampungnya. Dengan dikembangkannya Pelabuhan Kabil (Terminal Tanjung Sauh), BP Batam berharap dapat merebut 4 juta TEUs barang dari pasar yang ada.

Horman menyebutkan, kemajuan ekonomi Kota Batam tentu saja sangat tergantung pada kelengkapan infrastruktur. Akan tetapi biaya pembangunan infrastruktur yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat terbatas. Oleh karena itu, BP Batam selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK)

memutuskan menggunakan skema KPBU dalam pengembangan Pelabuhan Kabil. “Kami memakai skema KPBU karena pembiayaan pemerintah semakin hari semakin terbatas, sementara di lain pihak kami butuh infrastruktur pelabuhan dalam rangka menurunkan biaya distribusi. Tentu kerjasama dengan swasta sangat diperlukan sehingga saling menguntungkan,” ungkap Horman kepada majalah PARtNERSHIP pada pertengahan Juni 2016 lalu.

Menurutnya, jika dibandingkan dengan proyek KPBU lain, pengembangan Pelabuhan Kabil terbilang cukup berhasil. Salah satu kunci suksesnya terletak pada ketepatan identifikasi BP Batam dalam merencanakan proyek ini,

Reportase

Proyek KPBU Pelabuhan Kabil Batam

Sukses Berkat Perencanaan dan Ketepatan Identifikasi

pengembangan pelabuhan Kabil (terminal tanjung sauh), Batam, merupakan salah satu contoh proyek sukses skema Kerjasama pemerintah dengan Badan Usaha (KpBU) di indonesia. namun, proyek strategis di wilayah gerbang Barat indonesia ini butuh perencanaan dan identifikasi yang cukup lama sehingga dapat terlaksana dengan baik.

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 25

serta didukung anggaran yang cukup memadai. Untuk mempersiapkan proyek pengembangan Pelabuhan Kabil, BP Batam mengeluarkan anggaran sekitar Rp 9 miliar. Dana sebesar itu digunakan untuk membiayai konsultan dalam penyusunan Final Business Case (FBC), biaya persiapan, dan koordinasi antarinstansi.

Dalam persiapan proyek ini, BP Batam berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Pemerintah Kota Batam, dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. “Selain proses identifikasi proyek secara tepat, hal yang tak kalah penting untuk mewujudkan proyek pembangunan dengan skema KPBU adalah penyediaan anggaran dana dalam setiap tahapan, baik di proses perencanaan, persiapan, dan pelaksanaan,” tandasnya.

BP Batam sudah lama merencanakan pengembangan Pelabuhan Kabil, yakni sejak tahun 1995. Namun untuk skema pembiayaan dengan menggunakan KPBU baru mulai dilaksanakan pada tahun 2012. Horman menjelaskan, ide pengembangan Pelabuhan Kabil mulai muncul saat B.J. Habibie menjabat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) pada tahun 1995 silam. Presiden RI ke­3 ini, saat itu mengajak swasta untuk mengambil peran dalam pembangunan Pelabuhan Tanjung Sauh. Habibie menawarkan proyek ini kepada beberapa perusahaan shipping yang cukup besar, yaitu Evergreen Group asal Taiwan dan PT Trans Contindo Lestari. Namun upaya tersebut belum berhasil karena belum tersedianya studi kelayakan yang dapat dijadikan tolak ukur untuk menilai kelayakan pengembangannya secara ekonomi.

Setelah gagal menawarkan Pelabuhan Tanjung Sauh kepada Evergreen Group dan PT Trans Contindo Lestari, pada tahun 1997 BP Batam memutuskan untuk memindahkan lokasi pembangunan pelabuhan transhipment ke daerah Batu Ampar. BP Batam kemudian melakukan proses tender dan diputuskan PT Compagnie Maritime Affretement­Compagnie Generale Maritime (CMA­CGM)sebagai pemenangnya. Namun, pembangunannya juga gagal karena pemerintah kurang serius dalam menindaklanjuti rencana tersebut.

Mengalami kegagalan beruntun dalam mewujudkan rencana pembangunan pelabuhan transhipment tidak membuat BP Batam patah arang. Mereka terus berusaha mewujudkan rencana pembangunan pelabuhan transhipment dengan menggandeng PT Pelindo II. BP Batam menilai PT PelindoII merupakan partner strategis untuk mengembangkan Pelabuhan Kabil karena pernah melakukan studi tentang Pendulum Nusantara dalam rangka menurunkan biaya distribusi laut nasional. Berdasarkan studi tersebut, lokasi paling strategis untuk pelabuhan transhipment disebutkan berada di Batam untuk wilayah Barat Indonesia dan Sorong untuk wilayah Timur Indonesia. Dalam studi tersebut juga disebutkan bahwa lokasi strategis di Batam untuk membangun pelabuhan transshipment adalah Pelabuhan Tanjung Sauh karena mampu memenuhi persyaratan secara teknis untuk melayani kapal­kapal peti kemas dengan ukuran besar (mother vessel).

Studi ini juga menentukan bahwa skema pendanaan yang tepat untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung Sauh adalah KPBU dengan nilai investasi sebesar Rp 7 triliun dengan

lingkup pekerjaan pembangunan dermaga, peralatan, dan penyiapan lapangan penumpukan. Namun dalam proses persiapan pelaksanaannya, karena adanya inflasi dan kenaikan nilai tukar rupiah, nilai investasinya naik menjadi Rp 12 triliun. Saat ini, BP Batam sedang mereviu studi kelayakan atau feasibility study yang dilakukan PT Pelindo II untuk disesuaikan dengan kondisi sekarang.

”Kami sedang menyempurnakan studi kelayakan yang telah dilakukan dengan mengevaluasi skema pembiayaan yang sudah dibuat. Kami menargetkan Oktober 2016 sudah selesai,”ujar Horman.

Selain itu, BP Batam sedang menyiapkan penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penyusunan dokumen Peraturan Pemerintah (PP) untuk memasukkan Pulau Tanjung Sauh dan Pulau Ngenang ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (Free trade Zone- FTZ Batam).

Kendati proses perencanaan dan identifikasi pembangunan Pelabuhan Kabil berjalan cukup baik, namun masih ada beberapa hambatan yang perlu diselesaikan, di antaranya mengharmonisasikan kebijakan­kebijakan yang belum sinkron antarinstansi teknis dan peraturan daerah yaitu memasukkan lokasi Pulau Tanjung Sauh dan Pulau Ngenang ke dalam kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (Free trade Zone­ FTZ Batam). Horman berharap hambatan ini segera dituntaskan sehingga pengembangan Pelabuhan Kabil dapat segera diwujudkan. Dengan demikian, biaya distribusi barang yang diproduksi dapat ditekan sehingga Batam semakin menarik dan kompetitif bagi investor. (*)

Reportase

26 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

Dari Pusat Sampai Daerah,Inggris Miliki Unit Penganggaran KPBU

inggris termasuk pelopor penerapan skema Kerjasama pemerintah dan Badan Usaha (KpBU) di dunia dalam pembangunan infrastruktur. Kesuksesan itu tak lepas dari peran berbagai lembaga yang ada di pusat pemerintahan hingga daerah. lembaga-lembaga tersebut memiliki peran merancang, meneliti, hingga menganggarkan setiap proyek KpBU di negara tersebut.

Inggris telah menggunakan skema KPBU untuk membangun berbagai infrastruktur dalam negeri dalam kurun 15 tahun terakhir. Dengan

skema ini, pembangunan di Inggris berjalan sangat cepat. Keterlibatan badan usaha dalam menyediakan infrastruktur publik di negeri ini dimulai pada tahun 1992 dimana saat itu pemerintah mengumumkan Private Finance Initiative (PFI). Dengan adanya PFI, pemerintah bermaksud mengajak badan usaha untuk ikut membiayai infrastruktur publik. Proyek gelombang pertama

pada tahun 1994 melibatkan pem­bangunan dan operasi jalan raya baru.

Kesuksesan itu berlanjut di proyek­proyek selanjutnya yang kini berujung diterapkannya Public Private Partnership (PPP) atau KPBU untuk membangun berbagai infrastruktur di Inggris. Mayoritas proyek dengan skema KPBU yang sukses dijalankan pun terdiri dari macam­macam sektor seperti kesehatan, pertahanan, pendidikan, transportasi, pengelolaan sampah, penerangan jalan, penjara hingga perpustakaan.

Kesuksesan membangun infra­struktur dengan skema KPBU ter­sebut ternyata tak lepas dari peran berbagai lembaga yang ada di pusat pemerintahan hingga daerah. Pada tingkat pusat, Kementerian diberi banyak tanggung jawab untuk memprakarsai, memberikan dan mengadakan proyek dengan skema KPBU. Karenanya dalam setiap Kementerian kemudian terda pat Private Finance Unit (PFU). PFU kerap memberikan saran kepada Kementerian terkait dalam peng­anggaran penyelenggaraan KPBU.

Dalam setiap Kementerian, PFU mempunyai tanggung jawab keseluruhan untuk program keuangan yang terkait KPBU. Unit ini juga mendukung dan mensponsori pelatihan keuangan dan pengembangan profesional, menggelar lokakarya transfer keahlian, pelatihan dan pembinaan/pendampingan untuk meningkatkan keterampilan dasar akuisisi. Singkat kata, PFU merupakan pemimpin fungsional dan pengatur keuangan untuk KPBU di setiap Kementerian. Karena itu unit ini harus melakukan pola komunikasi yang jelas, relevan dan akurat. PFU juga harus memberikan informasi/pengetahuan yang tepat kepada para pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal pada ranah KPBU.

Salah satu pemangku kepentingan dalam skema KPBU di Inggris yang kerap mengandalkan sepak terjang PFU adalah HM Treasury atau Departemen Keuangan. PFU merupakan kepanjangan tangan HM Treasury dalam hal keuangan. Atas dasar itulah, PFU kerap mengacu pada Green Book yang

Edukasi

HM Treasury, Kementerian Keuangan Inggris yang mengatur penganggaran KPBU dari tingkat pusat.

Edisi Perencanaan KPBU 2016 - Sustaining Partnership | 27

dikeluarkan HM treasury dalam penganggaran setiap proyek KPBU di Kementerian. Secara garis besar, Green Book mempunyai tujuan untuk menganalisis biaya serta manfaat dari setiap proyek KPBU. Green Book juga dimaksudkan untuk mengidentifikasi permasalahan yang diperkirakan muncul.

Pemerintah daerah juga memiliki PFU lokal untuk mengkoordinasikan keahlian penyelenggaraan proyek KPBU. Namun, pengadaan, penunjukan dan operasi proyek KPBU setempat tetap menjadi tanggung jawab pemerintah daerah seperti halnya Kementerian. Untuk itu pemerintah pusat melalui HM treasury dan pemerintah daerah mendirikan Local Partnership (LP). LP merupakan perusahaan joint venture yang didirikan HM treasury bersama Asosiasi Pemerintah Daerah pada tahun 2009. Meski begitu, LP

dikelola sepenuhnya oleh Asosiasi Pemerintah Daerah.

Secara sederhana, LP bekerja untuk daerah/ kota setempat. Lembaga ini bekerjasama dengan badan publik lainnya untuk mengembangkan dan memberikan solusi inovatif terbaru untuk setiap permasalahan daerah/kota. Kerjasama dengan badan publik lokal juga bisa dalam bentuk program dan manajemen proyek hingga pendanaan. Biasanya proyek KPBU yang dijalankan LP dan Badan Publik Lokal berbentuk infrastruktur sekolah, sampai pengolahan limbah dan perumahan.

Sementara untuk setiap proyek KPBU yang dikerjakan PFU hingga LP juga masih harus melewati audit dari the National Audit Office atau Kantor Audit Nasional. Kantor ini bertanggungjawab meneliti belanja publik serta menilai kegiatan KPBU.

Mereka memiliki divisi khusus keuangan yang biasa menyelidiki laporan penawaran tender hingga program dan pembiayaan proyek­proyek. Institusi ini telah memiliki pemahaman yang sama dengan FPU/ LP terkait KPBU. Kesamaan pemahaman tersebut menyebabkan proses audit tidak menghambat pelaksanaan KPBU.

Selain the National Audit Office, pemerintah juga menggandeng badan independen bernama the Office of Budget Responsibility. Badan ini yang memeriksa dan memberikan laporan keberlanjutan keuangan kepada parlemen. Di antara tanggung jawab lainnya, menetapkan proyeksi jangka panjang untuk berbagai kategori pengeluaran dan pendapatan, analisis neraca sektor publik dan laporan tentang berbagai indikator keberlanjutan jangka panjang. (*)

Salah satu Rumah Sakit di Birmingham yang dibangun dengan skema KPBU.

edukasi

28 | Sustaining Partnership - Edisi Perencanaan KPBU 2016

PRoyEK JAlAN Tol AKSES PElABuHAN TANJuNg PRioK

SumBer Foto: antara

Direktorat Kerjasama Pemerintah Swasta dan Rancang Bangun (KPSRB), Kementerian PPN/Bappenas