identifikasi resiko dan mitigasinya pada pembangunan …
TRANSCRIPT
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
ISSN 1979-1208 323
IDENTIFIKASI RISIKO, ANALISIS DAN MITIGASI PADA
PEMBANGUNAN PLTN PERTAMA DI INDONESIA
Elok S. Amitayani, Suparman, Moch. Nasrullah
Pusat Pengembangan Energi Nuklir (PPEN) – BATAN
Jl. Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta 12710
Telp./Fax.: 021-5204243, Email: [email protected]
ABSTRAK IDENTIFIKASI RISIKO, ANALISIS DAN MITIGASI PADA PEMBANGUNAN PLTN
PERTAMA DI INDONESIA. Manajemen risiko adalah salah satu bagian penting dari manajemen
sebuah proyek skala besar seperti PLTN. Beberapa risiko yang juga terjadi pada proyek pembangkit
listrik skala besar antara lain risiko keterlambatan konstruksi, risiko eskalasi, risiko teknologi, force
majeur atau bencana alam seperti yang baru-baru ini terjadi pada PLTN Fukushima Daiichi di
Jepang dan risiko politik seperti yang terjadi di Filipina dengan PLTN Bataan. Pemahaman akan
berbagai risiko yang berkaitan dengan proyek PLTN sangatlah penting, apalagi bagi negara yang
akan membangun PLTN pertama seperti Indonesia. Seluruh risiko harus dipertimbangkan dan
dimitigasi untuk meminimalkan kerugian. Makalah ini akan mengidentifikasi dan membahas berbagai
macam risiko proyek PLTN berikut upaya mitigasinya.
Kata kunci: risiko, proyek, PLTN, mitigasi
ABSTRACT RISKS IDENTIFICATION, ANALYSIS, AND ITS MITIGATION ON THE FIRST NPP IN
INDONESIA. Risk management is one of the most important things in a project management like
nuclear power plant (NPP) since every risk will most probably end up in cost overrun. Some risks can
happen in all large power plant projects in general, namely construction delay risk, costs escalation
risk, technological risk, or even force majeur like what had happened recently in Fukushima NPP,
Japan. Political risk, on the other hand, is somehow a kind of risk typical for NPP. Bataan NPP
located in Bataan Penninsula, Phillipines, is an example where government succession could put the
nuclear program on halt, yet the plant had been completely built. Identification on as many risk as
possible, particularly for a country planning to build the first NPP like Indonesia, is a major task. All
risks must be seriously considered along with their mitigation as they can be a burden the owner
ought to bear. This paper will assess and evaluate the risks that will likely happen to an NPP project
and how to mitigate those risks.
Keywords: risk, project, NPP, mitigation
1. PENDAHULUAN Setiap aktivitas manusia pasti memiliki risiko, terlepas dari besar kecilnya risiko
tersebut. Risiko adalah kemungkinan suatu tindakan atau suatu pilihan mendatangkan
kerugian, atau singkatnya, kemungkinan kerugian. Kerugian yang dimaksud dapat berupa
kerugian finansial, moril, bahkan jiwa. Walaupun risiko melekat pada pembangunan proyek
apapun, namun berkaitan dengan PLTN, masalah risiko selalu saja menjadi hal yang
menakutkan dan seakan-akan menjadi batu sandungan untuk mengimplementasikan PLTN
di Indonesia. Penolakan terhadap PLTN di berbagai negara termasuk Indonesia, seringkali
dilatarbelakangi oleh informasi tentang risiko yang tidak berimbang. Kenyataan di
lapangan, masyarakat lebih sering (lebih mudah) terfokus terhadap risikonya, ketimbang
kepentingan nasional dan peluang positif di balik pembangunan PLTN, sebut saja misalnya
peluang untuk meningkatkan industri strategis dalam negeri, peluang untuk membuka
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
ISSN 1979-1208 324
lapangan kerja dan meningkatkan ekonomi daerah sekitar tapak, peluang untuk
meningkatkan kemampuan bersaing bangsa dalam industri nuklir, dan lain-lain. Tentu saja,
risiko sekecil apapun tidak dapat diabaikan dalam kerangka industri nuklir, mengingat
keselamatan manusia dan besarnya modal dipertaruhkan.
Atas latar belakang itulah, makalah ini akan mengidentifikasi dan menganalisis
berbagai risiko yang dapat terjadi dalam pembangunan PLTN di Indonesia, mengalokasi
risiko, serta membahas kemungkinan mitigasi yang dapat dilakukan. Kajian dilakukan
melalui penelusuran dan studi pustaka yang meliputi pengalaman negara lain dalam
pembangunan PLTN, analisis risiko proyek, metode mitigasinya, dan berbagai media cetak
maupun elektronik. Tujuan dari kajian ini adalah untuk memahami berbagai risiko yang
terkait dengan pembangunan PLTN, pengalokasiannya, dan langkah mitigasi yang dapat
dilakukan sehingga dapat diterapkan dalam proyek PLTN pertama di Indonesia.
2. METODOLOGI Kajian dalam makalah ini dilakukan dengan metodologi seperti ditampilkan pada
Gambar 1 berikut:
Gambar 1. Diagram Alir Analisis Mitigasi Risiko[1]
Untuk menganalisis masalah, perlu diasumsikan bahwa pemilik (owner) PLTN adalah
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk perusahaan pembangkitan, karena
kepemilikan sangat berkaitan dengan alokasi risiko dan penanganannya. Kontrak
pembangunan berskema EPC (Engineering, Procurement, Construction)/turnkey tunggal,
seperti pada kebanyakan proyek PLTN pertama. Proyek didanai oleh lembaga pendanaan
dalam dan luar negeri serta equity yang ditanggung oleh beberapa shareholder. Kemudian,
identifikasi risiko akan dibedakan berdasarkan 4 tahap, yaitu risiko pada tahap
prakonstruki, konstruksi, operasi dan post-operasi.
3. SKEMA KONTRAK EPC Besar kemungkinan Indonesia akan menerapkan skema kontrak EPC/turnkey pada
pembangunan PLTN pertama dengan owner PLTN diperkirakan adalah BUMN, mengingat
nilai strategis dari proyek ini. Inti dari kontrak EPC adalah bahwa owner, tanpa adanya
pengalaman dalam EPC, menyerahkan seluruh penyelesaian proyek kepada kontraktor EPC
(kontraktor). Begitu kontrak EPC ditandatangani, kontraktor berkewajiban untuk
menyelesaikan proyek sesuai dengan hal-hal yang disebutkan dalam tender. Kini kontraktor
EPC akan menanggung risiko-risiko yang berkaitan dengan konstruksi, dan karenanya akan
berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan tugasnya. Sedangkan risiko terbesar yang
dihadapi owner dalam kontrak semacam ini adalah keterlambatan penyelesaian proyek,
karena ini akan berakibat pada penundaan target berikutnya misalnya terlambatnya
Mengidentifikasi
risiko
Menganalisa risiko
Mengembangkan
strategi mitigasi
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
ISSN 1979-1208 325
penyediaan tenaga listrik, yang berarti keterlambatan penghasilan dan keterlambatan
pembayaran hutang.
Dalam kontrak EPC tunggal, dimana hanya ada satu kontraktor, kontraktor dapat
menyewa subkontraktor/ subvendor untuk menyelesaikan bagian yang berbeda-beda dalam
proyek. Di sini seluruh manajemen proyek dan tanggung jawab berada di tangan
kontraktor.
Apabila kontrak EPC majemuk yang dilakukan, dimana owner membagi proyek ke
dalam beberapa proyek yang lebih kecil, beberapa kontraktor dapat ikut terlibat. Koordinasi
di antara kontraktor kini menjadi masalah penting. Owner atau konsultan proyek harus
melakukan pengawasan secara intensif dan meluruskan setiap masalah yang timbul dalam
koordinasi. Kemungkinan kontrak EPC majemuk akan dilakukan dalam proyek PLTN
pertama Indonesia lebih kecil dibanding kontrak EPC tunggal.
Pembayaran dalam kontrak EPC biasanya sepadan dengan pekerjaan yang telah
diselesaikan. Beberapa kontraktor menuntut untuk mendapatkan uang muka. Dalam
skenario ini, kontraktor mendapat pendanaan utamanya dari ECA (export credit agency) di
negaranya. Porsi pendanaan dari ECA untuk proyek PLTN sesuai konsensus OECD dapat
mencapai 85% dari nilai total investasi, sementara sisa pendanaan diambil dari hutang
komersial baik dalam- maupun luar negeri, dan equity yang ditanggung beberapa
shareholder. Terdapat 2 skema pendanaan ECA yang umum dilakukan yaitu supplier’s credit
dan buyer’s credit[2].
Gambar 2. Skema supplier’s credit[2]
Gambar 3. Skema Buyer’s Credit[2]
Owner Indonesia mulai mencicil seluruh hutangnya pada masa operasi ketika PLTN
mulai mendatangkan arus kas. Sedangkan para shareholder pemilik equity akan menerima
bagian devidennya begitu PLTN mulai memberikan profit, karena prioritas pertama adalah
pelunasan kewajiban hutang.
4. PEMBAHASAN Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disusun tabel sebagai berikut:
Kredit ekspor
Ekspor, pembayaran
ditangguhkan
Pembayaran hutang oleh importir kpd eksportir
Pembayaram hutang oleh eksportir kpd ECA
Perjanjian hutang Pembayaran ekspor
Perjanjian jual beli
Ekspor
Pembayaran hutang yg ditangguhkan
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
ISSN 1979-1208 326
Tabel 1. Identifikasi Risiko, Peluang yang Ditimbulkan, dan Mitigasi yang Dapat
Dilakukan
No Risiko Pre-
konstruksi
Konstruksi Operasi Post-
Operasi
Alokasi
Risiko
Mitigator,
Mitigasi 1. Keterlambatan
konstruksi x x - Kontraktor
- Owner Manajemen proyek yang baik, peng-awasan ketat, penalti atas keterlambatan.
2. Finansial (suku bunga, nilai tukar mata uang, eskalasi dan inflasi)
x x - Kontraktor - Owner - Pemerintah
Menaikkan peringkat kredit, menstabilkan ekonomi, menurun-kan tingkat risiko kredit, jaminan penuh pemerintah, suku bunga tetap, nilai tukar Rp tetap, meningkatkan TKDN, kontrak jangka panjang dgn suplier.
3. Asuransi x - Owner Jaminan pemerintah, sumber perlindungan lain.
4. Teknologi/desain x x x - Kontraktor - Owner
Memilih proven technology daripada first of a kind.
5. Perijinan x x - Pemerintah - Owner
Kualifikasi SDM pada owner dan regulator, adopsi perjinan.
6. Unjuk kerja x - Owner Teknologi baru dan proven, pengawasan ketat, kualifikasi SDM
7. Pasar x - Owner - PLN
Kompensasi atas kegagalan dispatch, PPA jangka panjang
8. Suplai bahan bakar
x - Owner - Suplier - Konsumen
Kontrak jangka panjang, multi suplier, lokal/ regional suplier
9. Keselamatan (safety)
x x x - Owner Pemilihan proven technology dari vendor terpercaya, kualifikasi SDM, manajemen yang baik, reward & punishment.
10. Pembuangan bahan bakar bekas
x - Owner - Pemerintah
Pengembalian bahan bakar bekas, daur ulang, penggunaan bersama fasilitas pembuangan lestari, mengembangkan dana dekomisioning.
11. Politik x x x x - Owner - Pemerintah
Jaminan pemerintah, sosialisasi berkelanjutan, partisipasi publik, kerja sama erat antara pemangku kepentingan.
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
ISSN 1979-1208 327
4.1. Risiko Keterlambatan
Data Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) tahun 2006 menunjukkan bahwa dari
sekitar 30 negara yang memiliki PLTN, separuhnya pernah mengalami penundaan
penyelesaian konstruksi lebih dari 10 tahun. Jumlah itu belum termasuk beberapa proyek
PLTN yang dihentikan di tengah jalan, seperti yang terjadi di Argentina, Bulgaria, dan
Romania[3]. Dengan tipikal proyek yang padat modal, keterlambatan penyelesaian
konstruksi PLTN menjadi risiko yang besar. Ada biaya yang berkaitan dengan bunga yaitu
biaya IDC (interest during construction), dan akan semakin terakumulasi seiring
bertambahnya masa konstruksi. Jika keterlambatan berkepanjangan, akan muncul biaya
pemeliharaan untuk melindungi pembangkit dari kerusakan dan keusangan. Dalam skema
EPC/turnkey, risiko keterlambatan ini sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor khususnya
jika terjadi kenaikan biaya-biaya selama masa konstruksi. Risiko akan diteruskan kepada
owner pada masa operasi dalam bentuk peningkatan IDC yang harus dibayar. Untuk
mencegah risiko ini suatu pengawasan dan manajemen proyek yang ketat harus diterapkan.
Selain itu, penerapan penalti atas keterlambatan adalah salah satu cara untuk mencegah
kontraktor memperlambat proyek dengan alasan apapun.
4.2. Risiko Finansial
Yang termasuk dalam risiko finansial antara lain fluktuasi bunga kredit, fluktuasi nilai
tukar mata uang, dan eskalasi atas biaya-biaya dan/atau inflasi. Dalam pemberian pinjaman,
kreditur akan berpegang pada peringkat hutang (credit rating) debitur. Tingginya peringkat
hutang suatu negara (sovereign credit rating) akan diikuti tingginya tingkat investasi, dan
begitu pula sebaliknya. Ini disebabkan oleh meningkatnya tingkat kepercayaan terhadap
negara tersebut. Negara-negara penerbit ECA yang bergabung dalam OECD melakukan
konsesus atas CIRR (Commercial Interest Reference Rates) minimum yang dilainya disesuaikan
setiap bulan pada tanggal 15 dan berlaku hingga tanggal 14 bulan berikutnya. CIRR
minimum tersebut biasanya akan ditambah dengan faktor yang disebut “premium rate” yang
disesuaikan dengan tingkat risiko investasi suatu negara, dan dapat mengacu pada
peringkat kredit negara tersebut. OECD membuat pemeringkatan risiko investasi suatu
negara dengan skala 0-7, dengan nilai 7 adalah yang terendah. Per 31 Maret 2011, Indonesia
berada pada skala 4. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama Thailand berada pada
skala 3, Malaysia 2, dan Singapura 0[4].
Secara umum, pemerintah berkewajiban menaikkan peringkat kredit dan
menurunkan tingkat risiko investasi negara melalui serangkaian kebijakan dan instrumen
ekonominya, sehingga tingkat bunga pinjaman luar negeri dapat diturunkan, khususnya
pinjaman untuk pendanaan PLTN. Selain itu, jaminan pemerintah juga berperan besar
dalam penentuan suku bunga. Tanpa adanya jaminan, kreditur biasanya akan memberikan
hutang dengan bunga yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Sedangkan untuk mengantisipasi
fluktuasi suku bunga, khususnya pada kenaikan suku bunga, negosiasi untuk pemberian
bunga tetap dapat diupayakan, walaupun OECD mengatakan bahwa bunga tetap tidak
diberlakukan lebih dari 120 hari.
Sedangkan risiko nilai tukar mata uang bermula karena adanya investasi mata uang
asing dalam sebuah proyek. Besarnya investasi asing tidak dapat dihindarkan karena
investasi dalam negeri tidak memadai atau sangat terbatas. Perbankan Indonesia para
pemilik modal dalam negeri tidak cukup kuat untuk mendanai sekaligus proyek PLTN
senilai miliaran dolar. Selain masalah dana, hal lain yang memaksa untuk mengundang
investor asing antara lain keterbatasan informasi, manajemen, keahlian, dan teknologi untuk
mengubah sumber daya ekonomi potensial menjadi sumber daya ekonomi produktif.
Pembangunan PLTN jelas akan melibatkan investasi asing yang tidak sedikit. Risiko ini
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
ISSN 1979-1208 328
muncul pada tahap operasi, karena di tahap inilah pembangkit mulai menjual listrik dan
mendapatkan uang (revenue) untuk membayar seluruh kewajiban hutangnya. Namun,
penjualan listrik hanya menghasilkan revenue dalam mata uang Rupiah. Untuk membayar
kewajiban hutang termasuk bunga dan IDC (interest during construction), mata uang Rupiah
harus dikonversi ke dalam mata uang asing negara kreditur. Risiko nilai tukar mata uang
dapat menjadi peluang apabila nilai tukar rupiah terhadap mata uang kreditur menguat
karena adanya saving dari sisa pembayaran yang seharusnya, dan sebaliknya dapat menjadi
ancaman ketika Rupiah melemah karena dapat menguras arus kas lebih dari yang
seharusnya.
Untuk menghindari risiko ini, pemerintah dapat memilih nilai tukar tetap atau fixed
rate dalam perjanjian kontrak, terutama jika berdasarkan pengalaman, nilai tukar mata uang
negara kreditur terhadap rupiah cukup fluktuatif. Cara lain yang dapat dilakukan adalah
meningkatkan tingkat partisipasi modal dalam negeri. Berdasarkan studi, dapat diprediksi
bahwa tingkat komponen dalam negeri (TKDN) PLTN untuk pembangunan 2 unit PLTN
pertama Indonesia mencapai 35%-44%[5]. Dalam waktu 10 tahun ke depan, di saat proyek
PLTN akan diimplementasikan, angka ini diharapkan telah naik seiring meningkatnya
dukungan pemerintah pada industri nasional serta penguasaan teknologi.
Eskalasi adalah peningkatan harga suatu komoditas dalam jangka waktu tertentu.
Sedangkan inflasi adalah peningkatan harga-harga secara umum dan terus menerus.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila
kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya[6]. Dalam
masa konstruksi dengan kontrak EPC, biasanya nilai kontrak yang disepakati telah
memasukkan faktor eskalasi dan/atau inflasi, sehingga risiko fluktuasi biaya atas tenaga
kerja, material, dan lain sebagainya menjadi tanggung jawab kontraktor sepenuhnya.
Sedangkan pada masa operasi, kenaikan harga-harga menjadi tanggung jawab owner. Baik
kontraktor maupun owner dapat melakukan kontrak jangka panjang dengan para supplier
sehingga risiko kenaikan harga-harga dapat ditekan.
4.3. Risiko Asuransi
Mahalnya ongkos pemulihan kerugian (recovery costs) pada PLTN dapat membuat
berbagai pihak termasuk perusahaan asuransi tidak bersedia memberikan perlindungan
finansial, secara sebagian atau keseluruhan. Tanpa asuransi, akan sangat sulit bagi owner
untuk memulai pembangunan dan/atau pengoperasian PLTN. Beberapa tahun lalu, setelah
kejadian 11 September, ada kecenderungan perusahaan asuransi dunia enggan atau sulit
menyetujui asuransi atas proyek-proyek berskala besar. Dampak dari kejadian tersebut
salah satunya menimpa PLTN Cernadova 2, Slovenia, dimana dalam polis asuransinya
perusahaan asuransi tidak memberikan perlindungan dari serangan teroris baik pada masa
konstruksi maupun operasi[7].
Di masa sekarang, musibah atas PLTN Fukushima di Jepang pada Jumat 11 Maret
2011 sekali lagi mengulang keadaan serupa. MetroTV, mengutip kantor berita Reuters,
menyebutkan bahwa polis asuransi yang dimiliki oleh berbagai PLTN di Jepang ternyata
tidak mencantumkan kerusakan properti yang disebabkan oleh gempa bumi atau tsunami
sebagai bagian dari apa yang ditanggung oleh perusahaan asuransi[8]. Pengecualian ini juga
terjadi pada perusahaan listrik Tokyo Power Company (Tepco) owner dan operator reaktor
nuklir Fukushima, yang rusak akibat gempa bumi serta tsunami. Akhirnya pada 13 Mei
2011, pemerintah Jepang setuju untuk membentuk skema pendanaan melalui penerbitan
obligasi untuk membantu Tepco menangani krisis nuklirnya[9]. Untuk membayar segala
kerugian termasuk kompensasi kepada masyarakat, Tepco telah menyetujui sejumlah
persyaratan demi mendapatkan bantuan pemerintah tersebut. Tepco sendiri disebut telah
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
ISSN 1979-1208 329
menjual sebagian asetnya hingga 500 miliar yen (6,192 miliar USD atau sekitar 53 triliun
rupiah) untuk menutup kerugian akibat bencana gempa dan tsunami tersebut[10]. Menurut
rencana, dana untuk mengatasi kerugian PLTN Fukushima juga berasal dari kontribusi
perusahaan utiliti lain, dimana Tepco akan membayarnya kembali dari keuntungan
tahunannya dalam beberapa tahun ke depan[11].
Sangat sulit untuk mendapatkan perlindungan asuransi untuk kejadian seperti
terorisme dan bencana besar. Oleh sebab itu, owner dapat meminta pemerintah untuk
memberikan jaminan atas kejadian-kejadian yang tidak dicakup oleh perusahaan asuransi,
mengingat pembangunan PLTN berangkat dari kebutuhan penyediaan tenaga listrik dan
didukung oleh kebijakan energi nasional. Di sisi lain, perlu juga diusahaan suatu konvensi
internasional industri nuklir, yang dapat membantu menyediakan pendanaan dengan
bunga lunak untuk mengatasi krisis seperti pada kasus Fukushima.
4.4. Risiko Desain
Desain yang tidak sesuai spesifikasi atau murni kesalahan dalam desain dapat
menyebabkan desain ulang dalam masa konstruksi, pembongkaran konstruksi dan
tambahan pekerjaan lain, yang dapat berujung pada keterlambatan masa konstruksi dan
peningkatan biaya EPC. Kesalahan desain semacam ini biasanya tidak diketahui hingga
implementasi dalam konstruksi. Dalam skema kontrak EPC, kesalahan desain akan menjadi
tanggung jawab sepenuhnya dari kontraktor. Bagi owner, kesalahan desain dapat
memunculkan risiko keselamatan pada tahap operasi. Risiko desain dapat dihindari dengan
tidak memilih teknologi yang sama sekali baru (first of a kind), dengan kata lain lebih
memilih teknologi yang sudah banyak dibangun dan dioperasikan (proven technology),
seperti peraturan Bapeten. Selain itu, pada saat lelang, owner dapat mempelajari rekam jejak
teknologi yang ditawarkan, dan memilih teknologi dengan rekam jejak terbaik yang
meliputi aspek keandalan dan keselamatan.
4.5. Risiko Perijinan
Keterlambatan ijin konstruksi, keterlambatan atau pembatalan ijin operasi, dan
berbagai ijin lainnya baik lokal maupun nasional adalah contoh-contoh risiko perijinan.
Pembatalan ijin operasi yang terjadi pada PLTN Bataan di Filipina didorong oleh masalah
politik, dimana pada akhirnya pemerintah Filipina harus membayar seluruh hutang
pembangunan. Terlambatnya ijin operasi juga dapat terjadi karena kurangnya lengkapnya
persyaratan yang diajukan kepada regulator. Ijin operasi dapat dibatalkan jika dalam jangka
waktu tertentu owner tidak dapat melengkapi persyaratan tersebut. Oleh karena itu,
kesiapan dan kinerja owner sangat berperan dalam hal ini. Namun, keterlambatan ijin juga
dapat terjadi karena buruknya kinerja regulator, atau kesiapan regulator tidak cukup untuk
pemrosesan ijin yang terkait dengan PLTN. Hal ini dapat diantisipasi dengan meningkatkan
kualitas SDM lembaga regulator dengan keikutsertaan dalam training-training internasional
tentang perijinan PLTN dan sebagainya. Adopsi perijinan juga dapat dilakukan untuk
mempercepat peningkatan kapasitas lembaga regulator.
4.6. Risiko Unjuk Kerja Pembangkit
Unjuk kerja (performance) erat berhubungan dengan teknologi dan SDM operator.
Risiko ini terjadi pada masa operasi. Parameter unjuk kerja pembangkit adalah faktor
kapasitas. Dalam prakteknya, faktor kapasitas tahunan untuk suatu pembangkit beban
dasar seperti PLTN tidak pernah mencapai angka 100% karena kondisi outage (pembangkit
offline) baik outage karena masa pemeliharaan atau outage karena masalah teknologi,
gangguan jaringan dan lain sebagainya. Faktor kapasitas yang rendah sangat tidak
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
ISSN 1979-1208 330
diinginkan owner karena penjualan listrik bekurang. Jika penjualan rendah, owner terancam
tidak memperoleh keuntungan dan tidak mampu membayar deviden kepada para
shareholder. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh investor manapun. Jika outage karena
pemeliharaan telah dapat diperkirakan dalam analisis kelayakan proyek, maka masalah
teknologi dan di luar itu tidak demikian.
Untuk meminimalkan risiko unjuk kerja, pembangkit yang dipilih haruslah yang telah
teruji teknologinya (proven technology). Untuk regulasi Indonesia, yang dimaksud proven
technology adalah jika pembangkit telah beroperasi komersial selama 3 tahun berturut-turut
dengan faktor kapasitas di atas 75%[12]. Teknologi PLTN telah banyak berkembang dengan
meningkatkan inherent safety. Dengan memakai teknologi terbaru diharapkan efisinsi
pembangkit meningkat, waktu dan biaya pemeliharaan dapat berkurang, sehingga faktor
kapasitas tinggi. Unjuk kerja yang minim juga dapat diperkecil dengan pengawasan yang
ketat dari Badan Pengawas. Selain itu, pemilihan SDM yang berkualitas, bebas kolusi,
korupsi dan nepotisme, serta pelatihan yang memadai adalah hal yang dapat memperkecil
risiko ini.
4.7. Risiko Pasar
Risiko pasar dapat berupa risiko tarif, dimana tarif listrik di suatu negara sangat
rendah atau adanya tekanan dari industri besar untuk menurunkan tarif listrik. Tarif listrik
di Indonesia tidak dikendalikan oleh harga pasar, melainkan oleh pemerintah. Pasar listrik
Indonesia menerapkan single buyer multi seller, dimana PLN sebagai single buyer membeli
listrik dari berbagai perusahaan pembangkitan, swasta maupun BUMN, dan menjualnya
kepada konsumen dengan tarif listrik yang mengacu pada keputusan pemerintah. Tarif
tersebut bisa lebih rendah dari harga jual listrik yang ekonomis dari pembangkit. Namun,
perusahaan pembangkitan tetap dapat menjual listrik kepada PLN tetap akan dengan harga
yang disepakati bersama, karena PLN mendapatkan subsidi dari pemerintah untuk
penyediaan tenaga listrik. Sebagai BUMN, PLN terikat pada kewajiban untuk menyediakan
tenaga listrik bagi masyarakat. Kebutuhan subsidi listrik tahun 2011 adalah Rp 40,7 triliun.
Pada tahun 2012 angka ini diperkirakan meningkat menjadi Rp 58,72 triliun. Kebutuhan
subsidi listrik tersebut sudah memperhitungkan tarif dasar listrik (TDL) dan marjin usaha
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)[13]. Karena itu, risiko tarif sampai saat ini tidak akan
merugikan perusahaan pembangkit listrik di Indonesia.
Risiko pasar yang lain adalah risiko kegagalan dispatch karena gangguan sistem.
Owner akan mengalami kerugian karena pembangkit gagal menjual listriknya. Selain
owner, konsumen juga dirugikan karena kurangnya suplai tenaga listrik seringkali
mengakibatkan pemadaman bergilir. Karena sistem transmisi dan distribusi di Indonesia
sepenuhnya dimiliki oleh PLN, owner dapat menuntut suatu kompensasi atas kegagalan
tersebut sebagai upaya untuk memperkecil kerugian finansial. Untuk menjamin penjualan
tenaga listrik, owner perlu mengadakan kontrak pembelian tenaga listrik atau power purchase
agreement (PPA) yang berjangka panjang dengan PLN.
4.8. Risiko Suplai Bahan Bakar
Masalah suplai bahan bakar adalah risiko lain yang sering dikhawatirkan, karena
berhubungan dengan security of energy. Yang dimaksud dengan risiko ini mencakup
keterlambatan pengiriman perangkat bahan bakar (fuel assembly) dari pabrikan bahan bakar,
yang memaksa terjadinya penurunan output listrik bahkan penutupan, masalah kualitas
bahan bakar yang tidak sesuai kualifikasi yang menyebabkan output listrik yang tidak
maksimal dan membutuhkan penanganan ekstra, serta kenaikan biaya besar dan tidak
terduga dalam siklus bahan bakar. Untuk kenaikan biaya bahan bakar, konsumen tenaga
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
ISSN 1979-1208 331
listriklah yang langsung merasakan akibatnya. Untuk PLTN, biaya bahan bakar hanya
menyumbang sekitar 11% dari total biaya pembangkitan listrik[14], sehingga kenaikan dalam
biaya ini tidak akan terlalu mendongkrak tarif listrik. Risiko keamanan suplai dapat
dimitigasi dengan menerapkan kontrak suplai jangka panjang dengan perusahaan pembuat
bahan bakar. Dengan menerapkan kontrak jangka panjang, alokasi risiko tidak hanya tertuju
kepada owner, tetapi juga kepada perusahaan penyedia bahan bakar. Selain itu,
mengandalkan suplai bahan bakar pada satu suplier saja akan riskan, karena itu kerja sama
dengan suplier lain akan meminimalkan risiko. Upaya yang lain adalah dengan mencari
suplai bahan bakar dari perusahaan lokal atau regional sehingga kontrol lebih mudah
dilakukan.
4.9. Risiko Keselamatan
Istilah keselamatan dalam industri nuklir berkaitan dengan keselamatan terhadap
radiasi. Jadi, risiko keselamatan muncul ketika pembangkit mulai beroperasi. Kasus
Chernobyl, Three Mile Island, dan yang terakhir Fukushima Daiichi merupakan contoh
bagaimana kegagalan sistem keselamatan tidak hanya membawa kerugian materi, namun
juga immateri. Strategi mitigasi untuk menekan kerugian finansial adalah dengan
mengasuransikan pembangkit, sehingga alokasi risiko yang sebelumnya hanya berada di
pihak owner, kini dialihkan sebagian atau seluruhnya ke perusahaan asuransi. Hal lain yang
harus dilakukan untuk memperkecil terjadinya risiko keselamatan adalah pemilihan
teknologi yang handal dan aman dengan rekam jejak vendor yang terpercaya. Pemilihan
tenaga kerja yang memiliki kualifikasi, dedikasi dan integritas, pelatihan dan peningkatan
kemampuan SDM, serta manajemen yang menerapkan reward and punishment, dapat
menekan risiko keselamatan akibat kecerobohan.
4.10. Risiko Pembuangan Limbah
Risiko ini meliputi tidak terwujudnya fasilitas pembuangan lestari hingga waktu yang
ditentukan, kenaikan biaya yang diluar perkiraan, atau bertambahnya persyaratan dan
biaya dekomisioning. Hal-hal tersebut dilatarbelakangi antara lain oleh terlambatnya
strategi pembuangan limbah, pertimbangan fasilitas pembuangan lestari yang tidak
ekonomis jika hanya diisi oleh limbah dari beberapa unit PLTN, atau tidak cukupnya biaya
pengolahan limbah. Jika tidak ditangani dengan baik, risiko ini dapat mendorong terjadinya
risiko lain seperti penolakan PLTN yang semakin keras, atau hilangnya dukungan politik.
Pemerintah dapat ikut menegosiasikan masalah limbah ini dengan negara pengekspor
bahan bakar menyangkut kemungkinan pengembalian limbah bahan bakar atau melakukan
pendekatan terhadap negara yang telah berhasil mewujudkan fasilitas pembuangan lestari.
Selain itu, olah ulang terhadap bahan bakar bekas menjadi upaya lain untuk memperkecil
volume limbah. Owner juga dapat menyimpan biaya dekomisioning yang dikumpulkan
dari penjualan tenaga listrik dalam bentuk investasi berisiko rendah seperti obligasi
pemerintah sehingga kenaikan biaya dekomisioning dapat diantisipasi.
4.11. Risiko Politik
Risiko politik merupakan risiko yang paling sulit diduga kemunculannya. Pergantian
rezim pemerintahan atau perubahan kebijakan energi nuklir menyebabkan penghentian
program nuklir, penghentian konstruksi, dan kerugian investasi yang besar. Walaupun
implementasi pembangunan PLTN di Indonesia belum terealisasi, perubahan kebijakan
pemerintah tentang energi nuklir dapat segera terlihat dalam dua periode kepemimpinan
yang sama. Kebijakan energi pemerintah Indonesia tertuang dalam Kebijakan Energi
Nasional (KEN) yang disusun oleh Dewan Energi Nasional (DEN). KEN bertujuan
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
ISSN 1979-1208 332
mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Pada KEN 2006 yang disahkan dalam
Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006, nuklir masih tertuang dalam sasaran bauran energi
primer nasional pada tahun 2025, meski porsinya bersama-sama dengan energi baru
terbarukan lainnya hanya 5%[15]. KEN 2006 ini akan segera dimutakhirkan dan diganti.
Dalam draft KEN terbaru, yang hingga saat ini belum disahkan, DEN telah membatalkan
rencana pembangunan PLTN yang tercantum dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN)
2010–2050. Hal itu diputuskan terkait dengan evaluasi keamanan PLTN pasca peristiwa
kebocoran PLTN Fukushima Daiichi di Jepang[16],[17]. Bagi Indonesia, perubahan kebijakan ini
tidak membawa kerugian finansial, namun kerugian moril sudah tentu ada.
Filipina, di lain pihak, adalah negara pertama di ASEAN yang memiliki PLTN.
Program nuklir Filipina dimulai tahun 1958, dan di bawah pemerintahan rezim Ferdinand
Marcos, Filipina mengumumkan rencana pembangunan PLTN pertamanya pada tahun 1973
dengan nama Bataan Nuclear Power Plant (BNPP). BNPP berteknologi Pressurized Water
Reactor (PWR) dari Westinghouse dengan kapasitas 620 MW. Konstruksi dimulai pada
tahun 1976. Sebagai dampak tak langsung dari kecelakaan Three Mile Island pada tahun
1979, pekerjaan konstruksi BNPP dihentikan. Konstruksi diteruskan setelah diadakan
pemeriksaan menyeluruh atas BNPP, dimana ditemukan sekitar 4000 titik kerusakan. Pada
tahun 1984, ketika pembangunan hampir selesai, BNPP telah menelan biaya USD 2,3 milliar.
Pada tahun 1986, menyusul kecelakaan Chernobyl, pemerintah Filipina di bawah kekuasaan
Corazon Aquino memutuskan untuk tidak mengoperasikan BNPP, hingga kini.
Pertimbangan juga didasarkan atas penolakan keras warga Bataan dan masyarakat Filipina
lainnya. Namun demikian, pemeliharaan tetap dilakukan oleh National Power Corporation
(NAPOCOR) dengan biaya yang mencapai 0,9 juta USD per tahun. Pemerintah Filipina
melunasi hutangnya atas BNPP pada Juli 2007, lebih dari 30 tahun setelah konstruksi
dimulai. Pada Mei 2011, pemerintah Filipina membuka BNPP sebagai objek wisata[18].
Selain Filipina, perubahan kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan bagi
industri nuklir juga terjadi di Jerman. Pemerintah Jerman memutuskan untuk meninggalkan
energi nuklir untuk selamanya pada 2020. Jerman kemudian akan mendorong pemanfaatan
energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi penggunaan listrik. Keputusan yang
dikeluarkan pada 30 Mei 2011 ini juga didorong oleh kecelakaan PLTN Fukushima. Untuk
mulai melepaskan diri dari nuklir, Jerman secara bertahap akan mulai mematikan 17 reaktor
nuklirnya[19]. Beberapa reaktor bahkan terpaksa ditutup sebelum waktunya.
Politik bermula dari penguasaan atas suara rakyat, apalagi dalam sistem demokrasi.
Mitigasi yang dapat dilakukan untuk risiko politik antara lain meminta jaminan pemerintah
secara penuh, kerja sama yang erat di antara para pemangku kepentingan termasuk
masyarakat, promosi atau sosialisasi yang terus-menerus mengenai energi nuklir seperti
dilakukan Korea Selatan melalui Korea Hydro and Nuclear Power (KHNP), dan
memaksimalkan partisipasi publik misalnya dalam pembukaan lapangan kerja. Kunci dari
keamanan suatu proyek adalah rasa kepemilikan. Jika masyarakat diajak untuk ikut
memiliki dan memikirkan energi nuklir sebagai bagian dari solusi untuk kedaulatan energi
bangsa, masyarakat akan menerima risiko yang melekat pada PLTN sebagai suatu paket.
Yang terjadi kemudian adalah resistansi masyarakat akan berkurang, dengan demikian
risiko politik dapat diminimalkan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
ISSN 1979-1208 333
1. Risiko tidak dapat dipisahkan dari kegiatan apapun, termasuk pembangunan PLTN.
Satu-satunya langkah yang dapat dilakukan mengenali setiap risiko dan menekan
risiko tersebut melalui strategi-strategi mitigasi.
2. Risiko PLTN terjadi di setiap tahap, dimulai dari tahap pre-konstruksi, konstruksi,
operasi, dan post-operasi. Namun, risiko terbanyak ditemui dalam tahap operasi,
sehingga mitigasi risiko lebih lanjut perlu dikonsentrasikan pada tahap ini.
Kemudian, untuk lebih jauh mengenali karakter dari masing-masing risiko, kajian
lebih lanjut atas setiap risiko dan strategi mitigasinya perlu dilakukan. Hal ini diperlukan
untuk meyakinkan setiap pihak bahwa program PLTN Indonesia tidak mengabaikan risiko
sekecil apapun, dan bahwa risiko-risiko tersebut telah dikenali dan dimitigasi.
DAFTAR PUSTAKA [1]. IAEA, Workshop on Financing Structures and Introduction to Identification and
Management of Financial Risks for Nuclear Power Plant Projects Vienna, Austria 13-
16 December, 2010.
[2]. Korea Nuclear Training Center (KNTC), “Financing of Nuclear Power Projects”,
sumber: http://www.kntc.re.kr/openlec/policy/part1/part1_chapter4.htm, diakses
tanggal 1 Januari 2011.
[3]. IAEA, “Nuclear Power Reactors in the World, Reference Data Series No.2”,
International Atomic Energy Agency, Vienna, 2008.
[4]. OECD, “Country Risk Classifications of the Participants to the Arrangement on
Officially Supported Export Credits”, sumber:
http://www.oecd.org/dataoecd/47/29/3782900.pdf, diakses tanggal 3 Mei 2011.
[5]. SRIYANA dkk, “Analisis Pengaruh Tingkat Komponen Dalam Negeri Terhadap
Keekonomian PLTN”, Jurnal Pengembangan Energi Nuklir, Volume 12 No. 2, Jakarta,
Desember 2010.
[6]. BANK INDONESIA, “Definisi Inflasi”, sumber:
http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/, diakses tanggal 5 Mei 2011.
[7]. CHIRICA, T. dan PALL, S. “Risk Management Solutions For Cernavoda Unit #2 NPP
Completion”, International Conference Nuclear Energy for New Europe 2002 Kranjska
Gora, Slovenia, September 9-12, 2002.
[8]. METROTV, “Asuransi Nuklir Jepang Tak Mencakup Bencana Tsunami”, 15 Maret
2011, sumber: http://www.metrotvnews.com/, diakses tanggal 1 Mei 2011.
[9]. INSURANCEJOURNAL, “Japan Approves Tepco Nuclear Claims Plan; Banks’ Help
Eyed”, sumber:
http://www.insurancejournal.com/news/international/2011/05/13/198325.htm, diakses
tanggal 3 Mei 2011.
[10]. INSURANCEJOURNAL, “Japan Aims for Tepco Compensation Scheme this Week”,
sumber: http://www.insurancejournal.com/news/international/2011/05/11/197929.htm,
diakses tanggal 3 Mei 2011.
[11]. INSURANCEJOURNAL, “Tokyo Electric Pleads for Government Help”, sumber:
http://www.insurancejournal.com/news/international/2011/05/10/197756.htm, diakses
tanggal 3 Mei 2011.
[12]. Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2006 Tentang
Perizinan Reaktor Nuklir Pasal 4 Ayat 2.
[13]. MEDIA INDONESIA.COM, “Subsidi Listrik 2012 Naik Jadi Rp 58,72 Triliun”, sumber:
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/31/230362/4/2/Subsidi-Listrik-2012-
Naik-Jadi-Rp-5872-Triliun, 31 Mei 2011, diakses tanggal 3 Juni 2011.
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV, 2011 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
ISSN 1979-1208 334
[14]. WORLD NUCLEAR ASSOCIATION, “The Economics of Nuclear Power”, edisi Maret
2011, sumber: http://www.world-nuclear.org/info/inf02.html, diakses April 2011.
[15]. Peraturan Presiden 05/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Pasal 2, Bab 2,
hlm 4.
[16]. PIKIRAN RAKYAT ONLINE, “Akhirnya, Rencana Pembangunan PLTN Dibatalkan”,
sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/144913, 12 Mei 2011, diakses tanggal 30
Mei 2011.
[17]. HARIAN SEPUTAR INDONESIA, ”Pembangunan PLTN Terancam Dibatalkan”,
sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/399206/, 16 mei
2011, diakses tanggal 30 Mei 2011.
[18]. WIKIPEDIA, “Bataan Nuclear Power Plant”, sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Bataan_Nuclear_Power_Plant, diakses tanggal 20 Mei
2011.
[19]. KOMPAS.COM, “Jerman Tinggalkan Energi Nuklir”, sumber:
http://internasional.kompas.com/read/2011/05/31/07342638/Jerman.Tinggalkan.Energi.
Nuklir, 31 Mei 2011, diakses tanggal 3 Juni 2011.
DISKUSI 1. Pertanyaan dari Sdr. Iwan (Mahasiswa)
Apakah metodologi yang disajikan di sini adalah metodologi untuk menganalisa
risiko secara menyeluruh, maksud saya, tuntas?
Jawaban:
Tidak, metode di sini baru merupakan langkah awal dari pengkajian risiko yang
menyeluruh dan lebih detil. Dari sini kita mendapatkan/mengidentifikasi sumber-
sumber risiko yang relevan. Untuk betul-betul muncul dan dipertimbangkan dalam
level bisnis yang sesungguhnya perlu beberapa langkah analisis risiko yang lebih
lanjut. Akan tetapi metode ini merupakan tool yang cukup memadai dalam proposal
tahap awal sebuah rencana pembangunan PLTN.