identifikasi neraca energi

6
Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa” IDENTIFIKASI NERACA ENERGI DI BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN UNTUK DETEKSI DAERAH POTENSI KEKERINGAN DI SURABAYA, GRESIK, DAN SIDOARJO M. Rokhis Khomarudin 1 , Ahmad Bey 2 , dan Idung Risdiyanto 2 1 LAPAN, Jalan LAPAN 70 Pekayon Pasar Rebo Jakarta Timur Telp/Fax : +62 21 8710065/+62 21 8710274 email : [email protected] 2 Departemen Geofisika dan Meteorologi – IPB Jl. Raya Darmaga – Bogor Telp/Fax : +62 251 623850 email : [email protected] dan [email protected] Abstrak Radiasi surya yang datang ke bumi, sebagian diterima oleh permukaan dan sebagian dipantulkan/ditransmisikan kembali ke atmosfer dalam bentuk radiasi gelombang pendek maupun gelombang panjang. Jumlah radiasi netto yang diterima/diserap oleh permukaan kemudian digunakan sebagai energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke dalam tanah (soil heat flux) (G), energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (sensible heat flux)(H), energi untuk evapotranspirasi (LE), dan sisanya digunakan untuk metabolisme mahluk hidup. Hal inilah yang sering disebut sebagai konsep neraca energi permukaan. Terkait dengan kekeringan, konsep neraca energi sering digunakan untuk identifikasi kekeringan suatu wilayah dengan menggunakan indek bowen ratio maupun evaporative fraction (EF). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi neraca energi di beberapa penggunaan lahan, sehingga dapat diketahui di penggunaan lahan mana yang memiliki potensi kekeringan lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data LANDSAT TM bulan September tahun 2002. Metode yang digunakan adalah menurunkan parameter-parameter yang digunakan dalam perhitungan neraca energi seperti suhu permukaan dan albedo permukaan dengan data LANDSAT TM, sedang unsur-unsur lainnya seperti suhu udara dan radiasi surya digunakan pendugaan. Ekstraksi komponen neraca energi, bowen ratio, dan evaporative fraction di beberapa penggunaan lahan juga dilakukan dan kemudian dibuat analisa boxplot dan uji beda nilai tengah untuk melihat perbedaan setiap komponen di beberapa penggunaan lahan. Dalam penelitian ini dihasilkan model pendugaan suhu udara dengan data satelit, konstanta tahanan aerodinamik untuk penggunaan lahan dengan dominasi air, vegetasi, dan tanah, perbedaan setiap komponen neraca energi, bowen ratio, dan evaporative fraction di beberapa penggunaan lahan. Nilai energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (sensible heat flux)(H) di perkotaan dan industri memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Hal ini menggungkapkan bahwa energi panas terasa di wilayah tersebut lebih tinggi dan menyebabkan suhu udara akan tinggi, sehingga tingkat kenyamanan akan rendah. Berdasarkan bowen ratio dan evaporative fraction di penggunaan lahan perkotaan, sawah fase bera, dan industri memiliki potensi kekeringan lebih tinggi jika dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Kata kunci : Neraca energi, potensi kekeringan,Landsat TM, penggunaan lahan 1. PENDAHULUAN Radiasi surya yang datang ke bumi, sebagian diterima oleh permukaan dan sebagian dipantulkan/ditransmisikan kembali ke atmosfer dalam bentuk radiasi gelombang pendek maupun gelombang panjang. Jumlah radiasi netto yang diterima/diserap oleh permukaan kemudian digunakan sebagai energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke dalam tanah (soil heat flux) (G), energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (sensible heat flux)(H), energi untuk evapotranspirasi (LE) dan sisanya digunakan untuk metabolisme mahluk hidup. Hal Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 – 15 September 2005 MBA - 121

Upload: dedy-frianto

Post on 31-Dec-2015

20 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Radiasi surya yang datang ke bumi, sebagian diterima oleh permukaan dan sebagian dipantulkan/ditransmisikan kembali ke atmosfer dalam bentuk radiasi gelombang pendek maupun gelombang panjang

TRANSCRIPT

Page 1: IDENTIFIKASI NERACA ENERGI

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”

IDENTIFIKASI NERACA ENERGI DI BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN

UNTUK DETEKSI DAERAH POTENSI KEKERINGAN DI SURABAYA, GRESIK, DAN SIDOARJO

M. Rokhis Khomarudin1, Ahmad Bey2, dan Idung Risdiyanto2

1LAPAN, Jalan LAPAN 70 Pekayon Pasar Rebo Jakarta Timur

Telp/Fax : +62 21 8710065/+62 21 8710274 email : [email protected]

2Departemen Geofisika dan Meteorologi – IPB

Jl. Raya Darmaga – Bogor Telp/Fax : +62 251 623850

email : [email protected] dan [email protected]

Abstrak

Radiasi surya yang datang ke bumi, sebagian diterima oleh permukaan dan sebagian dipantulkan/ditransmisikan kembali ke atmosfer dalam bentuk radiasi gelombang pendek maupun gelombang panjang. Jumlah radiasi netto yang diterima/diserap oleh permukaan kemudian digunakan sebagai energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke dalam tanah (soil heat flux) (G), energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (sensible heat flux)(H), energi untuk evapotranspirasi (LE), dan sisanya digunakan untuk metabolisme mahluk hidup. Hal inilah yang sering disebut sebagai konsep neraca energi permukaan. Terkait dengan kekeringan, konsep neraca energi sering digunakan untuk identifikasi kekeringan suatu wilayah dengan menggunakan indek bowen ratio maupun evaporative fraction (EF). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi neraca energi di beberapa penggunaan lahan, sehingga dapat diketahui di penggunaan lahan mana yang memiliki potensi kekeringan lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data LANDSAT TM bulan September tahun 2002. Metode yang digunakan adalah menurunkan parameter-parameter yang digunakan dalam perhitungan neraca energi seperti suhu permukaan dan albedo permukaan dengan data LANDSAT TM, sedang unsur-unsur lainnya seperti suhu udara dan radiasi surya digunakan pendugaan. Ekstraksi komponen neraca energi, bowen ratio, dan evaporative fraction di beberapa penggunaan lahan juga dilakukan dan kemudian dibuat analisa boxplot dan uji beda nilai tengah untuk melihat perbedaan setiap komponen di beberapa penggunaan lahan. Dalam penelitian ini dihasilkan model pendugaan suhu udara dengan data satelit, konstanta tahanan aerodinamik untuk penggunaan lahan dengan dominasi air, vegetasi, dan tanah, perbedaan setiap komponen neraca energi, bowen ratio, dan evaporative fraction di beberapa penggunaan lahan. Nilai energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (sensible heat flux)(H) di perkotaan dan industri memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Hal ini menggungkapkan bahwa energi panas terasa di wilayah tersebut lebih tinggi dan menyebabkan suhu udara akan tinggi, sehingga tingkat kenyamanan akan rendah. Berdasarkan bowen ratio dan evaporative fraction di penggunaan lahan perkotaan, sawah fase bera, dan industri memiliki potensi kekeringan lebih tinggi jika dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Kata kunci : Neraca energi, potensi kekeringan,Landsat TM, penggunaan lahan 1. PENDAHULUAN Radiasi surya yang datang ke bumi, sebagian diterima oleh permukaan dan sebagian dipantulkan/ditransmisikan kembali ke atmosfer dalam bentuk radiasi gelombang pendek maupun gelombang panjang. Jumlah radiasi netto yang

diterima/diserap oleh permukaan kemudian digunakan sebagai energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke dalam tanah (soil heat flux) (G), energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (sensible heat flux)(H), energi untuk evapotranspirasi (LE) dan sisanya digunakan untuk metabolisme mahluk hidup. Hal

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya, 14 – 15 September 2005

MBA - 121

Page 2: IDENTIFIKASI NERACA ENERGI

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”

inilah yang sering disebut sebagai konsep neraca energi permukaan. Kekeringan merupakan suatu permasalahan yang seringkali muncul di Indonesia pada saat musim kemarau tiba. Berbagai macam metode pemantauan kekeringan dengan data satelit penginderaan jauh telah dilaksanakan. Beberapa konsep yang telah dikembangkan adalah dengan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Vogt (1998) dan Niewmeyer dan Vogt (1999) menjelaskan konsep lain yaitu dengan neraca energi dan evaporative fraction untuk memantau kekeringan di daerah Sicilia. Evaporative fraction merupakan perbandingan antara energi untuk melakukan evapotranspirasi dengan selisih radiasi netto dengan enrgi untuk memindahkan panas dalam tanah. Pada kondisi tanah tidak mengandung air, energi untuk evapotranspirasi menurun sehingga evaporative fractionnya menurun. Dalam hal ini semakin rendah evaporative fractionnya, maka tingka kekeringanya akan lebih tinggi. Kebalikan dari konsep evaporative fraction adalah bowen ratio, yang menerangkan bahwa semakin tinggi nilai bowen ratio akan semakin tinggi tingkat kekeringan suatu lahan.

Dua konsep inilah yang dalam makalah ini akan disajikan untuk menerangkan potensi kekeringan di Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Tujuan penelitian ini adalah menggunakan konsep neraca energi permukaan untuk mendeteksi petensi kekeringan di Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Perhitungan Neraca Energi Rumusan metode dari konsep neraca energi sehingga diperoleh nilai evaporative fraction (EF) dan bowen ratio adalah sebagai berikut : Rn = H + G + λE + ∆F (1) Rn = (1- α) Rs + Rl - εσ (Ts + 273,16)4 (2)

Rs = α

321 EEE ++

(3)

Rl = εaσ (Ta + 273,16) 4 0,7 (1 + 0,17 N2)

(4)

)(.273

9002 TaTsU

TaH −

+= λγ

(5)

( )( 42 98.010074.00038.0 NDVIT )

RnG s −+= αα

α λE = Rn – G – H (7) Keterangan : Rn = Radiasi netto (MJ m-2 hari-1) H =Perpindahan panas terasa (sensible heat

flux) (MJ m-2 hari-1) G = Perpindahan panas tanah (soil heat

flux)(MJ m-2 hari-1) (Allen, et al. (2001) dan (Chemin, 2003)

Rs = Radiasi gelombang pendek yang datang (MJ m-2 hari-1)

Ei = Energi panjang gelombang kanal i yang dipantulkan oleh permukaan (diturunkan dari data satelit)

Rl = Radiasi gelombang panjang yang datang (MJ m-2 hari-1) (Swinbank (1963) dalam Narasimhan dan Srinivasan (2002))

α = Albedo permukaan (Landsat TM) Ts = Suhu permukaan (° C )(Landsat TM) N = Persentase awan ε = Emisivitas permukaan (Weng, 2001) σ = Tetapan Stefan Bolztman (4,90 X 10-9

MJ m-2 hari-1 K-4) γ = Tetapan psikrometrik ( kPa °C -1) γ = 0,665 x 10 -3 P P = 101,3 (293-0,0065z)/293) 5,26

P = Tekanan atmosfer (k Pa) z = Ketinggian tempat (altitude) U2 = Kecepatan angin Ta = Suhu udara (° C) λE = Energi evapotranspirasi (MJ m-2 hari-1) NDVI = Normalized Difference Vegetation

Index 2.2. Identifikasi Potensi Kekeringan dengan

Keseimbangan Energi Untuk identifikasi potensi kekeringan dengan konsep keseimbangan energi adalah dengan Evaporative Fraction (EF) yang diungkapkan

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya, 14 – 15 September 2005

MBA - 122

Page 3: IDENTIFIKASI NERACA ENERGI

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”

oleh Niewmeyer dan Vogt (1999) untuk memantau kekeringan di daerah Sicilia. Pada konsep ini nilai Evaporative Fraction (EF) semakin rendah, potensi kekeringan akan lebih tinggi. Persamaan untuk menghitung Evaporative Fraction (EF) adalah sebagai berikut.

GRnEEF−

=.λ

(8)

Keterangan : EF = Evaporative fraction

E.λ = Energi untuk evapotranspirasi ( W m-2) Rn = Radiasi netto ( W m-2) G = Perpindahan bahang tanah ( W m-2) Nilai EF berkisar antara 0-1 dan semakin besar EF daerah tersebut semakin berpotensi basah dan semakin kecil nilai EF daerah tersebut berpotensi semakin kering. Dalam penelitian ini akan dihitung nilai EF untuk daerah Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo pada saat bulan-bulan kering. Selain EF, parameter yang dapat mengidentifikasi potensi kekeringan adalah menggunakan bowen ratio (β). Seperti halnya EF nilai β juga sering digunakan untuk melakukan deteksi suatu lahan yang mengalami kekurangan terhadap air. Kebalikan dari EF nilai bowen ratio semakin besar, potensi kekeringan semakin tinggi. Rumusan untuk menghitung bowen ratio adalah sebagai berikut.

E

H.λ

β =

(9)

Keterangan : β = Bowen Ratio

λE = Energi untuk evapotranspirasi ( W m-2) H = Sensible heat flux ( W m-2) 2.2. Ekstraksi Komponen Neraca Energi Hasil komponen neraca energi yang dihitung dengan data satelit dilakukan ekstraksi nilai di beberapa penggunaan lahan di Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh nilai setiap komponen neraca energi di beberapa penggunaan lahan dan setelah diuji

dengan uji beda nilai tengah maka akan dapat diketahui perbedaanya di beberapa penggunaan lahan. Tahapan ini diperlukan peta penggunaan lahan untuk ekstraksi nilai dari piksel data satelit. Pengambilan contoh data dilakukan secara acak yang mewakili seluruh wilayah Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo dan di beberapa penggunaan lahan. Pada contoh yang diambil dibuat suatu region di beberapa penggunaan lahan untuk digunakan sebagai poligon ekstraksi nilai komponen neraca energi. Selanjutnya setiap poligon diberikan kode tertentu dan kemudian dapat ditumpangtindihkan ke hasil data raster hasil perhitungan komponen neraca energi. Contoh rumus untuk mengekstrak nilai evapotranspirasi di penggunaan lahan sawah yang dilakukan di ER MAPPER adalah sebagai berikut.

If inregion (r1) then i1 else null

Keterangannya, r1 adalah poligon sawah dan i1 adalah input 1 yang berisi data raster yang berisi nilai komponen neraca energi. Hasil ekstraksi ini terdapat beberapa nilai komponen neraca energi di poligon sawah. Hasil ekstraksi dapat dibaca di Program MS-Excel. Untuk penggunaan lahan lainnya dilakukan hal yang sama. Ekstraksi yang diperoleh untuk beberapa penggunaan lahan dapat dilakukan uji beda nilai dengan dengan dua contoh bebas. Dianggap sebagai dua contoh bebas karena pada poligon penggunaan lahan tidak berisi jumlah piksel yang sama. 2.3. Uji Beda Nilai Tengah Untuk membandingkan dua populasi hendaknya juga memperhatikan kondisi keragaman data dari populasi-populasi yang akan dibandingkan. Matjik dan Sumertajaya (2002) membedakan keragaman sama dan keragaman berbeda. Berikut adalah rumusan untuk bentuk hipotesis yang digunakan dalam membandingkan dua populasi. 1. Ho : 021 δµµ ≥−

H1 : 021 δµµ <−

2. Ho : 021 δµµ ≤−

H1 : 021 δµµ >−

3. Ho : 021 δµµ ≠−

H1 : 021 δµµ =−

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya, 14 – 15 September 2005

MBA - 123

Page 4: IDENTIFIKASI NERACA ENERGI

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”

Ho menyatakan bahwa perbedaan nilai tengah antara kedua populasi dapat diterima jika perbedaan kedua nilai tengah ( 21 µµ − ) nilainya mendekati atau sama dengan nol. Nilai t hitung dan ragam gabungan pada dua data dengan keragaman sama adalah sebagai berikut.

)(

021

21 xxhitung s

xxt

−−=

δ

(10) Dimana

)/1/1( 21)( 21nnss gxx +=− dan

2)1()1(

21

222

211

−+−+−

=nn

snsnsg

(11) Pada keragaman sama nilai derajat bebasnya adalah . 221 −+ nn Untuk dua contoh dengan keragaman yang tidak sama maka nilai keragaman gabungan dan derajat bebasnya dihitung sebagai berikut.

)//( 2221

21)( 21

nsnss xx +=− dan

⎟⎟⎟⎟⎟

⎜⎜⎜⎜⎜

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

+−

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛+

=

11 2

2

2

22

1

2

1

21

2

22

1

21

nns

nns

ns

ns

dbef

(12) Dalam pelaksanaannya tidak menghitung secara manual dengan persamaan-persamaan di atas, namun digunakan software minitab for windows versi 13.0, sehingga lebih cepat dalam pengerjaannya.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi daerah kekeringan dengan metode neraca energi dapat dijelaskan dengan pendekatan nilai bowen ratio dan evaporative fraction. 3.1. Bowen Ratio Bowen ratio adalah perbandingan antara nilai sensible heat flux (H) dengan energi untuk evapotranspirasi ( Eλ ) yang biasanya digunakan untuk identifikasi potensi kekeringan di suatu wilayah. Semakin tinggi nilai bowen ratio semakin tinggi potensi kekeringan di wilayah tersebut. Secara spasial nilai bowen ratio digambarkan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 terlihat bahwa di wilayah permukiman memiliki bowen ratio lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Pada penggunaan lahan tambak dan perkebunan memiliki bowen ratio lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Untuk mempertegas hal tersebut, Gambar 2 merupakan hasil boxplot nilai bowen ratio di beberapa penggunaan lahan. Pada Gambar 2 terlihat nilai bowen ratio di sawah bera, perkotaan, dan industri memiliki nilai yang lebih tinggi. Hal ini berati bahwa di penggunaan lahan tersebut memiliki potensi kekeringan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Pada boxplot juga terlihat bahwa di setiap penggunaan lahan memiliki nilai yang berbeda. Namun ada beberapa yang masih diragukan berbeda atau tidak, sehingga diperlukan uji t untuk hal tersebut. Tabel 9 merupakan hasil uji t untuk penggunaan lahan yang diragukan perbedaannya.

Gambar 1. Bowen Ratio di Surabaya, Gresik, dan

Sidoarjo

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya, 14 – 15 September 2005

MBA - 124

Page 5: IDENTIFIKASI NERACA ENERGI

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”

Gambar 2. Boxplot Bowen Ratio di Penggunaan Lahan

Tabel 1. Hasil Uji t Bowen Ratio di Beberapa Penggunaan Lahan No. Perbandingan TValue PValue1. Tambak vs

perkebunan -0,83 0,405 tn

2. Sawah bera vs perkotaan

-1,0 0,318 tn

3. Sawah bera vs industri

-13,37 0,000 **

Tabel 1 menjelaskan mengenai perbedaan antara bowen ratio di tambak dan perkebunan tidak berbeda nyata, demikian juga untuk perbedaan antara sawah bera dan perkotaan. Namun untuk sawah bera dan industri sangat berbeda. 3.2. Evaporative Fraction (EF) Kebalikan dari bowen ratio, evaporative fraction merupakan menunjukkan tingkat kebasahan dari suatu wilayah. Gambar 3 merupakan nilai evaporative fraction di Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Secara spasial terlihat bahwa di penggunaan lahan permukiman memiliki tingkat evaporative fraction lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Namun untuk penggunaan lahan tambak dan perkebunan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Gambar 4 menpertegaskan perbandingan nilai evaporative fraction di beberapa penggunaan lahan. Pada Gambar 4 terlihat bahwa nilai evaporative fraction di beberapa penggunaan lahan berbeda, namun ada beberapa yang meragukan perbedaannya sehingga perlu dilakukan uji t. Tabel 2 merupakan hasil uji t untuk penggunaan lahan yang meragukan perbedaanya. Terlihat bahwa pada penggunaan lahan tambak dan perkebunan memiliki nilai evaporative fraction yang sama. Demikian juga untuk penggunaan lahan sawah bera dan perkotaan. Namun untuk

industri dan sawah bera sangat nyata menunjukkan adanya perbedaan.

Keterangan : 1. Tambak 2. Sawah fase

vegetasi 3. Sawah fase

bera 4. Industri 5. Perkotaan 6. Perdesaan 7. Belukar 8. Perkebunan

Gambar 3. Evaporative fraction di Surabaya. Gresik, dan

Sidoarjo

Gambar 24. Boxplot Evaporative Fraction di Beberapa

Penggunaan Lahan

Keterangan : 1.Tambak 2.Sawah fase vegetasi 3. Sawah fase bera 4. Industri 5. Perkotaan 6. Perdesaan 7. Belukar 8. Perkebunan

Tabel 2. Hasil Uji t Evaporative Fraction di Penggunaan Lahan No. Perbandingan TValue PValue1. Tambak vs

Perkebunan -0,83 0,405 tn

2. Sawah bera vs Perkotaan

-1,0 0,318 tn

3. Sawah bera vs Industri

-13,37 0,000 **

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya, 14 – 15 September 2005

MBA - 125

Page 6: IDENTIFIKASI NERACA ENERGI

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”

4. KESIMPULAN Berdasar nilai bowen ratio (β) dan evaporative fraction (EF) yang dibandingakan dengan nilai indeks vegetasi, di penggunaan lahan perkotaan mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan bervegetasi dan tambak, sehingga di perkotaan mempunyai potensi kekeringan yang tinggi di bandingkan dengan penutupan lahan yang lain. Menurut perbedaan neraca energi, radiasi netto dan evapotranspirasi di wilayah penggunaan lahan perkotaan (perumahan dan jalan raya), dan daerah industri mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan penutupan lahan berkarakteristik air. Namun nilai soil heat flux (G), dan sensible heat flux (H) untuk wilayah perkotan, dan daerah industri kebalikan dari nilai evapotranspirasi dan radiasi netto. Di penggunaan lahan perumahan dan jalan raya menghasilkan nilai soil heat flux dan sensible heat flux paling besar diantara yang lain. Hal ini mengungkapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan lahan dari vegetasi menjadi pemukiman (perkotaan) akan meningkatan energi untuk memanaskan udara dan menurunkan evapotranspirasi. Hal ini mengakibatkan suhu udara di wilayah perkotaan akan meningkat, demikian juga dengan kelembaban udara akan menurun, tingkat kekeringan akan tinggi, sehingga kenyamanan akan menjadi lebih rendah. Menjaga keseimbangan antara vegetasi dan bangunan di wilayah perkotaan perlu dilakukan, sehingga akan menjadikan kota lebih nyaman.

5. DAFTAR PUSTAKA Allen, R.G, Morse, A, Tasumi, M, Bastiaansen, W, Kramber, W, and Anderson, H, 2001

Evapotranspiration from Landsat (SEBAL) for Water Right Management and Compliance with Multi-State water Compacts. University of Idaho Kimberly, ID 83341. Chemin, Y.H., 2003. Fusion Of Spatiotemporal Remotely Sensed Evapotranspiration By Data Assimilation For Irrigation Performance. Thailand: Asian Institute of Technology School of Advanced Technologies Bangkok Mattjik, A.A. dan Sumertajaya, I.M, 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Narasimhan, B and Srinivasan, R, 2002. Determination of Regional Scale Evapotranspiration of Texas from NOAA-AVHRR Satellite. Final Report Submitted to Texas Water Resources Institute. March, 5, 2002. Texas. USA. Niemeyer, S dan Vogt, J.V, 1999. Monitoring the Moisture Status of The Land Surface in Sicily Using an Energy Balance Approach. Space Application Institute. Italy: Joint Research Centre of The European Commision TP 441, I-21020 Ispra (VA) Vogt JV, et al , 1998 . Drought Monitoring From Space Using Empirical Indices And Physical Indicators. Italy: Space Applications Institute joint Research Centre of the European Commission. TP 441, 21020 Ispra (Va). Weng Q, 2001. A Remote Sensing – GIS Evaluation Of Urban Expansion And Its Impact On Surface Temperature In The Zhujiang Delta, China. Int. J. Remote Sensing, 2001, Vol. 22, No. 10, 1999–2014. Department of Geography, University of Alabama, Tuscaloosa, AL 35487, USA

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya, 14 – 15 September 2005

MBA - 126