identifikasi drug related problems (drp’s)

71
Hasil Penelitian IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRP’S) PENYAKIT DIARE PADA PASIEN BALITA RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA KENDARI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2!" #le$% La #&e M'$a a& I *an Isla i F!F! ! +2 PR#GRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNI,ERSITAS HALU #LE# KENDARI 2!- i

Upload: rizka-wildayanti

Post on 06-Oct-2015

72 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Diare merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang terutama anak usia di bawah lima tahun (balita). World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa diare adalah penyebab utama kedua kematian pada balita setelah pneumonia dengan angka kematian mencapai 6 juta jiwa. Di Indonesia pada tahun 2007, diare menjadi penyebab utama kematian balita (67,2%). Insiden diare pada balita di Indonesia adalah 104.832 (10,2%) yang merupakan penyakit menular terbanyak kedua setelah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Tahun 2008, diare menempati urutan pertama yang menyebabkan pasien rawat inap di rumah sakit dengan jumlah pasien 200.412 (8.23%)

TRANSCRIPT

Hasil Penelitian

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPS) PENYAKIT DIARE PADA PASIEN BALITA RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA KENDARI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2013

Oleh:

La Ode Muhammad Irfan Islami

F1F1 10 082

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2014

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan hasil penelitian yang berjudul Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Diare Pada Pasien Balita Di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Sulawesi Tenggara dapat terselesaikan.

Melalui kesempatan ini dengan segala bakti penulis haturkan terima kasih yang tak terhingga kepada kepada orang tua penulis ibunda Asnah A.Ma Pd dan ayahanda Drs. La Ode Tarafu, atas segala doa, restu, semangat, bimbingan, arahan, dan nasehat kepada penulis . Semoga Allah SWT selalu melindungi dan melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian.

Terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Sunandar Ihsan S.Farm., M.Sc., Apt selaku pembimbing pertama dan Ibu Nur Illiyyin Akib, S.Si., M.Si., Apt selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam mengarahkan dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan maupun dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. DR. H. Usman Rianse selaku Rektor Universitas Halu Oleo.

2. Bapak Prof. DR. Sahidin., M.Si selaku Dekan Fakultas Farmasi UHO

3. Ibu Nur Illiyyin Akib S.Si., M.Si., Apt selaku Ketua Jurusan Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo.

4. Ibu Wahyuni S.Si., M.Si., Apt selaku Sekretaris Jurusan Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo yang telah memberikan banyak bantuan administratif.

5. Ibu Nur Illiyyin Akib, S.Si., M.Si., Apt selaku Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.

6. Ibu Henny Kasmawati, S.Farm., M.Si., Apt., selaku Kepala Laboratorium Farmasi.

7. Terima kasih kepada Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Kendari yang telah memberikan izin untuk meneliti dan juga para kakak kakak yang ada di instalasi rekam medik terima kasih atas bantuan dan bimbingannya selama ini.

8. Bapak Prof. Dr. Sahidin, S.Pd, M.Si, Ibu dr. Indria Hafizah, M.Biomed, Bapak Adryan Fristiohadi Lubis, S.Farm., M.Sc selaku Dewan Penguji yang telah banyak memberikan ide dan saran bagi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

9. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Farmasi, serta seluruh staf di lingkungan Fakultas Farmasi UHO atas segala fasilitas dan pelayanan yang diberikan selama penulis dalam menuntut ilmu.

10. Buat kakakku dan adik-adikku, La Ode Musyafir Anslah., S.STP, Wa Ode Ani Seniawan, Wa Ode Muliastuti AMF, Brigadir Itas Brafia Putra, Wa Ode Siti Nur Lawa, La Ode Muhammad Syafri Wahid terima kasih untuk segala kebersamaan hingga saat ini.

11. Rekan-Rekan sepenelitian, Dwi Rahayu S.Farm, Risfa Rianti S.Farm, Hasriati Asman Mekuo S.Farm, Putri Rezkya S.Farm, Ira Indriasari S.Farm, Sri Muliati Sakti S.Farm, Nova Risti Amalia, Elvira Haringi, Leo Imam Sutrisno, Sadaruddin, Andi Erpiansyah, terima kasih buat semangat dan kerjasamanya selama ini.

12. Sahabat-sahabatku, seluruh Mahasiswa Fakultas Farmasi angkatan 2010, yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang merupakan teman seperjuangan penulis dalam menuntut ilmu dan tumbuh dewasa bersama, semoga Allah SWT memudahkan jalan hidup kita semua tanpa terkecuali.

13. Kepada adik-adik Mahasiswa Fakultas Farmasi angkatan 2011, yang turut memberi dukungan kepada penulis selama ini, dan juga sebagai penerus yang telah melanjutkan, menjaga dan mengembangkan Organisasi Kemahasiswaan dengan penuh rasa memiliki dan tanggung jawab. Semoga kalian selalu diberi petunjuk dan kemudahan oleh-Nya.

14. Kepada adik adik Mahasiswa Fakultas Farmasi angkatan 2013 terkhusus adinda saya Ahmed Maqbullah dan Andi Baso Amirul Haq tetap semangat melanjutkan perkuliahan dan terus berkarir dalam organisasi baik intra dan ekstra kampus, kalian adalah penerus perjuangan organisasi di Fakultas Farmasi Insya Allah.

Akhirnya penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak dan apabila masih terdapat kesalahan dalam hasil ini, sudilah kiranya memberikan koreksi untuk lebih baiknya tulisan ini. Semoga Allah SWT memberi taufik kepada kita semua untuk mencintai ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shalih dan memberikan ridho balasan yang sebaik-baiknya. AminKendari, Desember 2014

Penulis

DAFTAR ISIHALAMAN JUDULiiiHALAMAN PENGESAHAN

iiiKATA PENGANTAR

viiDAFTAR ISI

ixDAFTAR TABEL

1BAB I

1PENDAHULUAN

1A.Latar Belakang

5B.Rumusan Masalah

6C.Tujuan Penelitian

7D.Manfaat Penelitian

8BAB II

8TINJAUAN PUSTAKA

8A.Tinjauan Umum Diare

81.Definisi

102.Klasifikasi Diare

113.Etiologi Diare

124.Patogenesis Diare

135.Dehidrasi

136.Mekanisme Terjadinya Diare

14B.Terapi Farmakologi Diare

141.Adsorben

152.Anti peristalik/anti motilitas

153.Anti secretory

164.Anti infeksi

165.Zinc (Seng)

176.Probiotik

18C.Terapi Non Farmakologi

181.Cairan dan elektrolit

192.Pengubahan pola makan

19D.Standar Pengobatan Diare

23E.Rekam Medis

24F.Pharmaceutical Care

26G.Drug Related Problems (DRPs)

261.Definisi

292.Klasifikasi DRPs

31H.Kerangka Konsep

32BAB III

32METODOLOGI PENELITIAN

32A.Waktu dan Tempat Penelitian

32B.Jenis Penelitian

32C.Populasi dan Sampel Penelitian

33D.Alat/Instrumen Penelitian

33E.Definisi Operasional

34F.Prosedur Pengumpulan Data

34G.Pengolahan dan Analisis Data

36H.Jadwal Penelitian

37BAB IV

37HASIL DAN PEMBAHASAN

50BAB V

50PENUTUP

52DAFTAR PUSTAKA

56Lampiran

DAFTAR TABEL

No.NamaHalaman

1Dosis pemberian oralit22

2Dosis Pemberian Cairan IV23

3Kategori Drug Ralated Problems (DRPs)29

4Jadwal Penelitian37

5Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur dan Lama Perawatan38

6Karakteristik Penyakit Berdasarkan Jenis Diare, Derajat Dehidrasi dan Penyakit Penyerta41

7Karakteristik Pengobatan Diare43

8Jenis obat dan penyebab DRPs kategori tidak tepat indikasi pada pasien balita diare di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari tahun 2013

47

9Jenis obat dan penyebab DRPs kategori dosis obat yang terlalu tinggi pada pasien balita diare di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari tahun 2013

49

10Jenis obat dan penyebab DRPs kategori dosis obat terlalu rendah pada pasien balita di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari tahun 2013

50

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Diare merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang terutama anak usia di bawah lima tahun (balita). World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa diare adalah penyebab utama kedua kematian pada balita setelah pneumonia dengan angka kematian mencapai 6 juta jiwa. Di Indonesia pada tahun 2007, diare menjadi penyebab utama kematian balita (67,2%). Insiden diare pada balita di Indonesia adalah 104.832 (10,2%) yang merupakan penyakit menular terbanyak kedua setelah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Tahun 2008, diare menempati urutan pertama yang menyebabkan pasien rawat inap di rumah sakit dengan jumlah pasien 200.412 (8.23%) (Kemenkes, 2011; Riskesdas 2007; Riskesdas, 2013; WHO, 2013).

Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara menyatakan di Provinsi Sulawesi Tenggara angka kejadian diare pada tahun 2012 adalah sebanyak 32.939 kasus, terbanyak ketiga setelah ISPA dan hipertensi. Dinas Kesehatan Kota Kendari menyatakan angka kejadian diare di Kota Kendari pada tahun 2012 adalah sebanyak 10.161 kasus. Pada pengambilan data awal yang dilakukan peneliti di RSU Bhayangkara Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara, jumlah pasien diare yang berkunjung periode Januari-Desember 2013 adalah sebanyak 112 pasien. Angka kematian akibat diare adalah 12% di antara seluruh penyebab kematian. Diare merupakan penyebab 15% kematian bayi dan 26% penyebab kematian anak balita. Diduga 4-5% dari kasus diare akan jatuh ke dalam keadaan dehidrasi, dan 60% daripadanya akan meninggal, apabila tidak mendapat pertolongan yang memadai (Harsono dan Sadikan 1989).

Penatalaksanaan diare dilakukan dengan penggunaan obat-obat tertentu, namun mortalitas dan mordibitas akibat penggunaan obat merupakan masalah penting dan membutuhkan perhatian yang mendesak. Data dari program riset Boston Colloborate Surveilance Program (BCDSP) ditemukan bahwa di antara 26.462 pasien perawatan medis 0,9% per 1000 pasien dianggap meningggal akibat obat. Penyebab paling utama dari keadaan tersebut adalah 21,6% penyakit jantung iskemi; 9,9% kasus keracunan akut; dan yang paling menarik adalah masalah DRPs sebanyak 8,8% (Cipolle, et al., 1998).

DRPs merupakan bagian dari medication error yang dihadapi hampir semua negara di dunia. Pada tahun 1997 di Amerika Serikat (AS) tercatat 160.000 kematian dan 1 juta pasien dirawat di rumah sakit akibat kejadian obat yang diresepkan. Morse mengestimasikan bahwa di AS, biaya penyakit terkait obat yang diresepkan adalah 7 milyar dolar setiap tahun (Strand, et al., 1990).

Salah satu masalah dalam farmasi klinik adalah DRPs yang muncul akibat penggunaan obat. Penelitian terhadap masalah dalam terapi obat merupakan kajian yang cukup menarik dan penting. Farmasis diajak lebih mendalami penggunaan obat di sarana kesehatan formal yaitu di puskesmas, rumah sakit, dan di apotek. Permasalahan penggunaan obat di tempat pelayanan disebut sebagai Drug Related Problems (DRPs) (Sari, 2004).

Akibat semakin banyaknya kasus DRPs, maka berkembanglah pharmaceutical Care. Minesota Pharmaceutical Care Project melakukan penelitian terhadap 9399 pasien selama 3 tahun dan didokumentasikan oleh komunitas farmasis. Dari sejumlah pasien tersebut, 5544 pasien mengalami DRPs, 23% membutuhkan terapi obat tambahan, 15% menerima obat yang salah, 8% mendapat obat tanpa indikasi yang tepat, 6% dosis terlalu tinggi, dan 16% dosis terlalu rendah. Sedangkan penyebab umum lainnya adalah reaksi obat merugikan sebanyak 21% (Strand, et al., 1990).

Terkait kejadian DRPs, anak-anak di bawah usia 16 tahun mencakup 20% populasi total di Inggris dan sebagian besar negara industri, tetapi di banyak negara berkembang anak-anak mencakup lebih dari 50% populasi (Meadow dan Newell, 2005). Dalam lingkup pengobatan spesialis, bagian ilmu kesehatan anak menempati rangking kedua setelah bagian ilmu penyakit dalam terkait kejadian DRPs. Kesalahan yang sering terjadi pada pengobatan anak adalah salah perhitungan dosis dan interval dosis, salah dalam drug orders (meliputi penulisan dan interpretasi), serta dalam pembuatan dan penyimpanan obat (Cohen, 1999).

DRPs pada anak yang pernah dipublikasikan adalah DRPs dalam pengobatan Dengue Hemoraggic Fever (DHF) pada pasien pediatri. Dari 65 pasien pediatri dengan diagnosis DHF, terdapat DRPs kategori obat tanpa indikasi sebanyak 22 pasien, dosis obat kurang sebanyak 14 pasien, dosis obat lebih sebanyak 10 pasien, obat salah sebanyak 4 pasien, dan indikasi tanpa obat sebanyak 2 pasien (Yasin, dkk., 2009).Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian secara retrospektif tentang identifikasi DRPs diare pada pasien rawat inap di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Sulawesi Tenggara. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit kepolisian tingkat IV yang telah terkakreditasi penuh dengan 5 pelayanan dasar dan juga menjadi rumah sakit rujukan yang mudah dicapai untuk semua pasien yang membutuhkan pengobatan. Berdasarkan data tahun 2013 pasien penyakit diare yang berobat di rumah sakit ini berjumlah 541 orang. Data ini dianggap peneliti sangat besar dan sangat memungkinkan terjadinya kesalahan pengobatan (DRPs).B. Rumusan MasalahRumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kejadian DRPs kategori pemberian obat dengan indikasi yang tidak sesuai pada pasien diare di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Sulawesi Tenggara pada Tahun 2013?

2. Bagaimana kejadian DRPs kategori pemberian obat yang salah pada pasien diare di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Sulawesi Tenggara pada Tahun 2013?

3. Bagaimana kejadian DRPs kategori pemberian dosis obat terlalu rendah pada pasien diare di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Sulawesi Tenggara pada Tahun 2013?4. Bagaimana kejadian DRPs kategori pemberian dosis obat terlalu tinggi pada pasien diare di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Sulawesi Tenggara pada Tahun 2013?C. Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi DRPs kategori pemberian obat dengan indikasi yang tidak sesuai pada pasien diare di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Sulawesi Tenggara pada Tahun 2013?

2. Mengidentifikasi DRPs kategori pemberian obat yang salah pada pasien diare di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara pada Tahun 2013?

3. Mengidentifikasi DRPs kategori pemberian dosis obat yang terlalu tinggi pada pasien diare di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara pada Tahun 2013?4. Mengidentifikasi DRPs kategori pemberian dosis obat yang terlalu rendah pada pasien diare di Instalasi rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara pada Tahun 2013?

D. Manfaat PenelitianDari penelitian yang dilakukan diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Peneliti dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi klinik.

2. Hasil penelitian dapat dijadikan bahan referensi untuk mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo dalam menyelesaikan tugas akhir.

3. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang DRPs penggunaan obat diare pada pasien anak.4. Memberikan informasi kepada praktisi kesehatan lain tentang DRPs penggunaan obat pada pasien anak.

5. Memberikan informasi tentang penggunaan obat yang rasional.

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. Tinjauan Umum Diare

1. Definisi

Menurut WHO (2005) diare adalah buang air besar yang sering dan cair, biasanya paling tidak tiga kali dalam 24 jam. Namun, lebih penting konsistensi tinja dari pada jumlah. Seringkali, buang air besar yang berbentuk bukanlah diare. Hanya bayi yang diberi ASI sering buang air besar, buang air besar yang pucat juga bukan diare.

Menurut Suratmaja (2010) diare merupakan penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan/tanpa darah/atau lendir.

Hippocrates mendefinisikan diare sebagai pengeluaran tinja yang tidak normal dan cair. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Anak dikatakan diare bila frekuensinya lebih dari 3 kali (Hassan dan Alatas, 2005).

Sedangkan Garna H., dkk (2005) diare merupakan buang air besar dengan konsistensi lebih encer/cair dari biasanya, 3 kali per hari, dapat/tidak disertai dengan lendir/darah yang timbul secara mendadak atau berlangsung kurang dari 2 minggu.

Diare merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan mortilitas anak di negara yang berkembang. Dalam berbagai hasil survei kesehatan Rumah Tangga diare menempati kisaran urutan ke-2 dan k-3 berbagai penyebab kematian bayi di Indonesia. Sebagian besar diare disebabkan oleh infeksi. Banyak dampak yang terjadi karena infeksi saluran cerna antara lain pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi dan reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa (Veni ,2009).

Diare sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat. Di Negara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah kesehatan. Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta penduduk setiap tahun (Umar et al, 2004).

Diare pada anak merupakan sindrom penyakit yang mengganggu kegiatan anak dan bahkan dapat berakibat fatal. Apabila buang air besarnya cair, sering dan dalam jumlah banyak, apalagi disertai muntah, tentu akan sangat merisaukan ibu maupun setiap orang yang merawat anak tersebut. Diare masih merupakan penyebab kematian dan kesakitan utama pada anak. Faktor yang mempengaruhi timbulnya diare antara lain: gizi, sikap masyarakat terhadap diare itu sendiri, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan (Wilharta, 1989 : 68).

2. Klasifikasi DiareMenurut WHO (2005) diare terdiri dari beberapa jenis yang dibagi secara klinis yaitu:

a. Diare cair akut (termasuk kolera), berlangsung selama beberapa jam atau hari, mempunyai bahaya utama yaitu dehidrasi dan penurunan berat badan juga dapat terjadi jika makanan tidak dilanjutkan.

b. Diare akut berdarah, yang disebut disentri, mempunyai bahaya utama yaitu kerusakan mukosa usus, sepsis dan gizi buruk, mempunyai komplikasi seperti dehidrasi.

c. Diare persisten, yaitu berlangsung selama 14 hari atau lebih, bahaya utama adalah malnutrisi dan infeksi non-usus serius dan dehidrasi.

d. Diare dengan malnutrisi berat (marasmus atau kwashiorkor) mempunyai bahaya utama adalah infeksi sistemik yang parah, dehidrasi, gagal jantung dan kekurangan vitamin dan mineral.

Berdasarkan mekanisme patofisiologi,diare dapat diklasifikasikan menjadi diare osmotik, sekresi, inflamasi, dan perubahan motilitas. Diare osmotik akibat dari tidak diabsorbsinya cairan di dalam usus ke dalam penyimpanan cairan. Biasanya kasus terjadi karena gangguan laktose dan proses pencernaan dari antasida yang berisi magnesium. Diare secretory akibat peningkatan sekresi ion ke dalam lumen usus sehingga menaikkan cairan intraluminal. Obat, hormon, dan racun bertanggung jawab selama terjadi aktivitas sekresi. Diare inflamasi akibat dari perubahan mukosa usus yang mengganggu proses absorbsi dan terjadi peningkatan protein dan produk lain di dalam lumen usus dalam penyimpanan cairan. Adanya pendarahan atau adanya leukosit di dalam feses mengindikasikan proses peradangan. Diare dari radang perut (contohnya ulcerative colitis) adalah radang secara alami. Peningkatan motilitas diakibatkan penurunan kontak antara makanan dan minuman dengan mukosa intestinal, menyebabkan penurunan reabsorbsi dan peningkatan cairan feses. Irritable Bowel Syndrome menyebabkan perubahan motilitas (Dipiro dkk., 2008).3. Etiologi Diare

Penyebab diare akut sebagian besar adalah rotavirus (40-60%) yaitu rotavirus, norwalk, dan adenovirus. Pasien secara tiba-tiba demam, muntah, dan feses yang berair. Bakteri juga merupakan salah satu infeksi diare yaitu Escherichia coli, Salmonella sp., Shigella sp., Vibrio cholera, dan Clostridium difficile. Protozoa juga merupakan salah satu infeksi diare seperti Entamoeba histolytica, Microsporidium, Giardia lamblia, dan Cryptosporidium parvum. Penyebab selain infeksi dari diare akut terdiri dari obat dan racun, efek samping laksatif, makanan, irritable bowel syndrome, radang perut, kekurangan laktase, Whipples disease, anemia, diabetes mellitus, malabsorbsi, fecal impaction, diverticulosis, dan celiac sprue. Obat-obat yang dapat menyebabkan diare akut adalah antibiotik, kolsikin, digitalis, hidralazin, laksatif, mannitol, metformin, misoprostol, quinidin, sorbitol, dan teofilin. Suplemen makanan yang bisa menyebabkan diare akut yaitu Echinacea, ginseng, dan aloe vera. Bahan (racun) yang menyebabkan diare adalah arsen, cadmium, dan merkuri (Dipiro dkk., 2008).

Obat-obat yang dapat menyebabkan diare dapat terjadi oleh beberapa mekanisme. Pertama, air dapat masuk ke dalam lumen usus secara osmotik. Saline laxatives adalah contoh obat yang dapat meningkatkan masuknya air ke dalam lumen usus secara osmotik. Kedua, ekosistem bakteri usus dapat mengganggu yaitu munculnya serangan organisme sehingga memicu proses sekresi dan peradangan. Aktivitas beberapa antibiotik dapat menyebabkan mekanisme ini. Ketiga adalah perubahan motilitas bisa terjadi dengan tegaserod maleat. Obat lain seperti prokainamid atau kolsikin menyebabkan diare yang mekanismenya belum diketahui (Dipiro dkk., 2008).

Kebanyakan kasus diare kronik disebabkan dari radang perut, gangguan endokrin, malabsorbsi, dan obat-obatan (laksatif). Dalam diare kronik, buang air besar dengan konsistensi berair tidak terjadi. Diare bisa terjadi sebentar atau terus-menerus (Dipiro dkk., 2008).4. Patogenesis Diare

Mekanisme yang menyebabkan timbulnya diare ialah gangguan osmotik, gangguan sekretorik, dan gangguan motilitas usus (Suraaatmaja, 2007). Pada diare akut, jasad renik masuk ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung. Jasad renik tersebut berkembang biak di dalam usus halus dan mengeluarkan toksin (toksin diaregenik) sehingga mengakibatkan hipersekresi dan selanjutnya akan menimbulkan diare (Hasan dan Alatas, 2005).

5. Dehidrasi

Dehidrasi terjadi akibat kehilangan air dan elektrolit yang melebihi pemasukannya. Kehilangan cairan akibat diare akut menyebabkan dehidrasi yang bersifat ringan, sedang, atau berat (Suharyono, 2007).

Volume cairan yang hilang melalui tinja dalam 24 jam bervariasi dari 5 ml/kg BB (mendekati normal) sampai 200 ml/kg BB, atau lebih. Konsentrasi dan jumlah elektrolit yang hilang juga bervariasi. Total kehilangan natrium tubuh pada anak-anak dengan dehidrasi berat akibat diare biasanya sekitar 70-110 milimol per liter air yang hilang. Hilangnya kalium dan klorida berada dalam kisaran yang sama (WHO, 2005).

Hilangnya cairan 5-10% berat badan mengkibatkan dehidrasi sedang yang ditandai dengan rasa haus, sedangkan hilangnya cairan 10% atau lebih akan terjadi dehidrasi berat dan penderita mungkin akan sangat haus. Hilangnya cairan dalam rongga ekstrasel mengakibatkan turgor kulit berkurang, ubun-ubun dan mata cekung, dan mukosa kering (Suharyono, 2007).6. Mekanisme Terjadinya DiareProses terjadinya diare dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan diantaranya pertama faktor infeksi, proses ini dapat diawali adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan usus. Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorbsi cairan dan elektrolit atau dapat juga dikatakan adanya toksin bakteri akan menyebabkan sistem transpor aktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat (Hidayat, 2008).

Faktor malabsorpsi merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi yang mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadi diare. Ketiga, faktor makanan dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap dengan baik sehingga terjadi peningkatan dan penurunan peristaltik yang mengakibatkan penurunan kesempatan untuk menyerap makanan yang kemudian menyebabkan diare (Hidayat, 2008).

B. Terapi Farmakologi DiareTerapi farmakologi pada diare terdiri dari adsorben, anti peristaltik/anti motilitas, anti secretory, antiinfeksi, zinc dan probiotik.

1. Adsorben

Attapulgit mengadsorbsi cairan dalam feses. Kalsium polikarbofil adalah sebuah resin hidrofilik poliakrilat yang juga bekerja sebagai adsorben, mengikat air sekitar 60 kali beratnya dan membentuk gel yang memperkeras bentuk feses. Kedua produk efektif dalam menurunkan cairan feses tetapi dapat juga mengadsorbsi nutrien dan obat lain. Pemakaiannya sebaiknya dipisahkan dengan obat lain 2-3 jam. Psyllium dan metil selulosa juga digunakan untuk mengurangi cairan feses (Dipiro dkk., 2008).

2. Anti peristalik/anti motilitas

Obat anti peristaltik memperpanjang waktu transit di usus. Obat dalam kategori ini adalah loperamid HCl dan difenoksilat HCl dengan atropin sulfat. Atropin hanya digunakan sebagai pencegahan. Pada dosis besar, efek antikolinergik dari atropin meniadakan efek euphoria dari difenoksilat. Loperamid dan difenoksilat efektif dalam menyembuhkan gejala diare akut non infeksi dan aman untuk pasien diare kronik (Dipiro dkk., 2008). Penggunaan loperamid dan diphenoxylate tidak dianjurkan untuk bayi dan anak-anak karena obat jenis ini dapat menghambat pergerakan usus sehingga racun (yang dikeluarkan oleh kuman penyebab diare) yang seharusnya dikeluarkan oleh tubuh menjadi tertahan sehingga menghambat pengeluaran toksin dan bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan (Anonim, 2012; Petri, 2001). Antimotilitas Morfin dan kodein dapat menurunkan motilitas dari GI tract (Blenkinsopp, 2002).

3. Anti secretoryBismuth subsalisilat mempunyai efek anti secretory dan anti mikroba dan digunakan untuk pengobatan diare akut. Sebagian salisilat diabsorbsi di dalam perut dan usus kecil. Karena alasan ini, bismuth subsalisilat tidak diberikan untuk orang yang alergi dengan salisilat, contohnya aspirin. Pasien yang memakai bismuth subsalisilat sebaiknya diinformasikan bahwa fesesnya akan berubah menjadi hitam. Octreotid adalah anti secretory yang digunakan selama diare berat yang disebabkan oleh kemoterapi kanker, HIV, diabetes, gangguan lambung, dan tumor gastrointestinal. Octreotid digunakan dalam bentuk injeksi subkutan atau intravena bolus dengan dosis 500 mcg 3 kali sehari (Dipiro dkk., 2008).

4. Anti infeksi

Kebanyakan kasus diare travelers berasal dari infeksi dari enterotoksigenik (ETEC) atau enteropatogenik (EPEC) Escherichia coli. Pemilihan antibiotik yang tepat mencakup fluoroquinolon seperti siprofloksasin dan levofloksasin. Azitromisin bisa menjadi kemungkinan pilihan saat fluoroquinolon bersifat resisten. Penggunaan antibiotik secara terus-menerus bisa menyebabkan resisten. Pengobatan sebaiknya mempertimbangkan infeksi diare akut yang disebabkan bukan dari rumah sakit seperti Shigatoksin, hasil dari Eschericia coli (STEC), Campylobacter, Salmonella, dan Shigella menyebabkan demam yang hebat, tenesmus, dan feses berdarah (Dipiro dkk., 2008).

5. Zinc (Seng)

Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya. Penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Zinc dapat meningkatkan absorpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan regenerasi epitel usus, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus (Black, 2003; Juffrie, 2011).

Penggunaan zinc mampu menurunkan durasi dan keparahan diare akut dan kronik dan mampu menurunkan penggunaan antibiotik, serta resiko kekambuhan (Baqui dkk, 2004). Perhitungan cost benefit di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan Zinc pada 100% kasus diare akan menghemat lebih dari 8 juta dolar per tahun (Aitken dkk., 2007).

Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa zinc mempunyai efek protektif terhadap diare sebanyak 11% dan menurut hasil pilot study menunjukkan bahwa zinc mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67% (Soenarto 2007). Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus diberi zinc segera saat anak mengalami diare.

6. Probiotik

Probiotik adalah suplemen makanan berisi bakteri yang meningkatkan mikroflora normal dari saluran gastrointestinal. Probiotik dapat merangsang respon imun dan menekan respon peradangan. Yogurt dapat meringankan diare. Yogurt meningkatkan pencernaan laktose karena bakteri yang digunakan untuk membuat yogurt memproduksi laktase dan mencerna laktose sebelum mencapai usus besar. Lactobacillus acidophilus dalam yogurt, keju, dan susu acidophilus meningkatkan pencernaan laktose dan mencegah/menyembuhkan diare. Walaupun laktase bukan probiotik, tablet laktase juga digunakan untuk mencegah diare (Dipiro dkk., 2008).

C. Terapi Non Farmakologi

Menurut Dipiro (2008), terapi non farmakologi pada diare terdiri dari pemberian cairan/elektrolit dan pengubahan pola makan.

1. Cairan dan elektrolit

Penggantian cairan bukan sebuah pengobatan untuk penyembuhan diare tetapi suatu usaha untuk menyeimbangkan cairan tubuh. Diare yang sering dan hebat, penggantian cairan dilakukan dengan menggunakan Oral Rehydration Solution (ORS), yaitu campuran air, gula, dan garam. WHO memperkenalkan larutan yang terdiri dari 75 mEq/L natrium, 75 mmol/L glukosa, 65 mEq/L klorida, 20 mEq/L potassium, dan 10 mEq/L sitrat, yang totalnya 245 mOsm/L. Secara sederhana dapat dibuat dari 1 liter air dicampur dengan 8 sendok teh gula dan 1 sendok teh garam. Pasien dengan diare yang tidak terjadi dehidrasi mengganti cairan dengan minum jahe, teh, jus buah, air kaldu, atau sup. Penggunaan minuman olah raga untuk dehidrasi perlu perhatian khusus karena jumlah elektrolitnya tidak sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh. Diare yang hebat membutuhkan larutan parenteral seperti larutan Ringer Laktat atau normal salin untuk mengganti cairan yang hilang (Dipiro dkk., 2008).

WHO (2006) menyatakan bahwa oral rehidration teraphy (ORT) merupakan langkah awal tepat dan efektif untuk melawan diare akut pada anak yang mampu menurunkan angka kematian balita dari 4,5 juta menjadi 1,8 juta.

2. Pengubahan pola makan

Pada pasien diare akut biasanya nafsu makan berkurang. Makanan memberi nutrisi dan cairan yang membantu mengganti asupan makanan yang hilang. Asupan makanan tidak cukup untuk mengganti yang hilang selama diare. Beberapa makanan tidak tepat diberikan jika sifatnya mengiritasi saluran gastrointestinal atau jika makanan itu adalah penyebab diare. Pasien dengan diare kronik bisa makan seperti nasi, pisang, dan gandum (Dipiro dkk., 2008).D. Standar Pengobatan Diare

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2011), rencana terapi untuk penyakit diare adalah sebagai berikut.1. Rencana Terapi A

Gejala-gejala yang timbul pada diare tanpa dehidrasi seperti keadaan umum baik, mata tidak cekung, minum biasa, tidak haus, dan cubitan kulit perut / turgor kembali segera.a. Pemberian cairan lebih banyak dari biasanya

Untuk terapi diare di rumah langkah-langkahnya yaitu memberikan cairan lebih banyak dari biasanya, memberikan ASI lebih sering dan lebih lama, anak yang mendapat ASI eksklusif diberikan oralit atau air matang sebagai tambahan, anak yang tidak mendapat ASI eksklusif diberikan susu yang biasa diminum dan oralit atau cairan rumah tangga sebagai tambahan (kuah sayur, air tajin, air matang, dan sebagainya), pemberian oralit sampai diare berhenti apabila muntah tunggu 10 menit dan dilanjutkan sedikit demi sedikit (umur < 1 tahun diberi 50-100 ml setiap kali BAB, sedangkan umur > 1 tahun diberi 100-200 ml setiap kali BAB), anak harus diberikan 6 bungkus oralit (200 ml) di rumah apabila telah diobati dengan Rencana Terapi B atau C dan ibu diajarkan cara mencampur dan memberikan oralit.

b. Pemberian obat ZincZinc diberikan 10 hari berturut-turut walaupun diare sudah berhenti. Dapat diberikan dengan cara dikunyah atau dilarutkan dalam 1 sendok air matang atau ASI (umur < 6 bulan diberi 10 mg (1/2 tablet) per hari sedangkan umur > 6 bulan diberi 20 mg (1 tablet) per hari).

c. Pemberian makanan pada anak untuk mencegah kurang gizi

Makanan diberikan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat, pada setiap porsi makan ditambahkan 1-2 sendoh teh minyak sayur, memberikan anak makanan yang kaya akan kalium, pemberian makanan lebih sering dari biasanya dengan porsi lebih kecil (setiap 3-4 jam), setelah diare berhenti diberikan makanan yang sama dan makanan tambahan selama 2 minggud. Pemberian antibiotik Antibiotik hanya diberikan sesuai indikasi. Misal: disenteri, kolera atau terbukti giardiasis atau amubiasis.e. Hal-hal yang perlu diperhatikan.Anak-anak dibawa kembali ke petugas kesehatan apabila mengalami gejala seperti BAB cair lebih sering, muntah berulang, sangat haus, makan dan minum sangat sedikit, timbul demam, BAB berdarah, dan tidak membaik dalam 3 hari

2. Rencana Terapi B

Pada diare dehidrasi ringan/sedang memiliki dua tanda atau lebih gejala seperti gelisah, rewel, mata cekung, rasa haus dan cubitan kulit perut / turgor kembali lambat. Oralit diberikan 3 jam pertama di sarana kesehatan. Oralit yang diberikan = 75 ml x Berat Badan Anak. Apabila berat badan tidak diketahui maka diberikan oralit sesuai tabel 1 di bawah ini.Tabel 1. Dosis Pemberian Oralit

Umur sampai< 4 bulan4-12 bulan12-24 bulan2-5 tahun

Berat Badan< 6 kg6-10 kg10-12 kg12-19 kg

Jumlah Cairan200-400400-700700-900900-1400

Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam pemberian oralit yaitu petugas kesehatan menjelaskan jumlah dosis cairan yang harus diberikan, diberikan oralit sedikit demi sedikit tapi sering dari gelas, diperiksa dari waktu ke waktu bila ada masalah, bila kelopak mata anak bengkak dihentikan pemberian oralit dan ibu memberikan air masak atau ASI, diberikan oralit sesuai Rencana Terapi A apabila pembengkakan telah hilang3. Rencana Terapi C

Pada diare dehidrasi berat ditandai dengan dua tanda atau lebih yaitu lesu, lunglai / tidak sadar, mata cekung, malas minum dan cubitan kulit perut / turgor kembali sangat lambat. Untuk langkah terapinya yaitu:a. Diberikan cairan Intravena segera.

Ringer Laktat atau NaCl 0,9% (bila RL tidak tersedia) 100 ml/kg BB, maka dibagi sebagai berikut:

Tabel 2. Dosis Pemberian Cairan IV

UmurPemberian I

30 mg/kg BBKemudian

70 ml/kg BB

Bayi < 1 tahun1 jam5 jam

Anak 1 tahun30 menit2 jam

b. Diulangi lagi bila denyut nadi masih lemah atau tidak teraba

c. Dilakukan penilaian dalam 15-30 menit. Apabila nadi belum teraba,diberikan tetesan lebih cepat

d. Diberikan (5 ml/kg/jam) bila penderita bisa minum;biasanya setelah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak)

e. Diberikan obat zinc selama 10 hari berturut-turut

f. Pada waktu setelah 6 jam (bayi) atau 3 jam (anak) dinilai lagi derajat dehidrasi. Kemudian dipilih rencana terapi yang sesuai (A, B atau C ) untuk melanjutkan terapi.

Apabila tidak dapat diberikan cairan Intravena maka digunakan terapi terdekat (dalam 30 menit) yaitu penderita dirujuk untuk terapi Intravena. Apabila penderita bisa minum, disediakan oralit dan ditunjukkan cara memberikannya selama di perjalanan.E. Rekam Medis

Rekam medis merupakan hasil aktivitas pencatatan pada suatu rumah sakit atau suatu institusi pelayanan kesehatan yang berupa data. Data tersebut meliputi data sosial maupun data medis pasien rawat jalan dan rawat inap dan diproses oleh seorang tenaga rekam medis ataupun paramedis sehingga menjadi informasi yang berguna bagi rumah sakit. Adapun pengertian rekam medis adalah himpunan fakta-fakta yang berhubungan dengan riwayat hidup dan kesehatan tentang seorang pasien tersebut yang ditulis oleh professional dibidang kesehatan (Huffman, 1994).

Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan, dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan, untuk itu rekam medis harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Rekam medis untuk pasien rawat inap sekurang-kurangnya harus membuat data mengenai Identitas pasien, Anamnesis, Riwayat penyakit, Hasil pemeriksaan laboratorium, Diagnosis, Persetujuan tindakan medis (informed consent), Tindakan/pengobatan, Catatan perawat, Catatan observasi klinis dan hasil pengobatan, dan Resume akhir dan evaluasi pengobatan.Menurut petunjuk teknis penyelenggaraan rekam medis di rumah sakit Depkes RI Dirjen Yanmed tahun 1991, tujuan terlaksananya rekam medis adalah untuk menunjang tertib administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan rumah sakit atau institusi kesehatan. Menurut Huffman (1994) menyatakan bahwa kegunaan rekam medis adalah sebagai berikut :

1. Manajemen pelayanan pasien

2. Quality Review (tinjauan kualitas)

3. Financial reimbursement (pengurusan klaim asuransi)

4. Legal affairs (perkara hukum)

5. Education (pendidikan)

6. Research (penelitian)

7. Public health (kesehatan umum)

8. Planning and marketing (perencanaan dan pemasaran)

F. Pharmaceutical Care

Pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian merupakan suatu praktik dimana farmasis bertanggungjawab terhadap kebutuhan obat (drug related needs) pasien. Pelayanan kefarmasian ini dilakukan untuk mencapai hasil terapi yang pasti. Praktik profesi pelayan kesehatan dibentuk untuk menemukan kebutuhan obat pasien dengan cara mengidentifikasi, menyelesaikan, dan mencegah drug related problems (Cipolle et al, 1998).

Unsur utama dari Pharmaceutical Care adalah berkaitan dengan obat, pelayanan langsung, hasil terapi yang pasti,masalah yang berkaitan dengan obat, mutu kehidupan, dan tanggung jawab apoteker

Berkaitan dengan obat. Pelayanan kefarmasian bukan hanya mencakup terapi obat, akan tetapi juga mengenai keputusan penggunaan obat untuk masing-masing pasien. Jika perlu, hal ini termasuk dalam keputusan untuk tidak menggunakan obat tertentu, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute, dan metode pemberian, pemantauan terapi obat, pelayanan informasi yang berkaitan dengan obat serta konseling untuk masing-masing pasien.

Pelayanan langsung. Konsep dari pelayanan itu sendiri adalah kepedulian, perhatian pribadi terhadap kesehatan orang lain. Apoteker bekerja sama secara langsung dan profesional dengan pelayan kesehatan lain, serta pasien dalam merancang penerapan dan pemantauan rencana terapi untuk mendapatkan hasil terapi yang pasti dan meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Hasil terapi yang pasti. Sasaran Pharmaceutical Care adalah meningkatkan mutu kehidupan pasien, melalui pencapaian hasil terapi yang pasti dan berkaitan dengan obat. Hasil terapi yang dimaksud adalah kesembuhan penyakit, pengurangan atau peniadaan gejala pasien, menghentikan atau memperlambat proses penyakit, serta pencegahan gejala atau penyakit.

Masalah yang berkaitan dengan obat. Masalah yang berkaitan dengan obat atau Drug Related Problems (DRPs) adalah suatu kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien.

Mutu kehidupan. Pasien harus terlibat dalam cara yang diinformasikan untuk mencapai sasaran mutu kehidupan dari terapi mereka. Sasaran mutu kehidupan tersebut antara lain adalah mobilitas fisik, bebas dari kesakitan, mampu memelihara diri sendiri, dan mampu ikut serta dalam interaksi sosial yang normal.

Tanggung jawab. Sebagai anggota kelompok pelayan kesehatan yang bertanggungjawab,apoteker harus membuktikan pelayanan yang diberikan. Apoteker secara pribadi bertanggung jawab untuk mutu pelayanan yang terjadi dari tindakan dan keputusan apoteker (Siregar, 2004).G. Drug Related Problems (DRPs)1. Definisi

DRPs adalah adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang diinginkan pasien. Suatu kejadian dapat disebut DRPs apabila terdapat dua kondisi, yaitu: (a) adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien, kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosa penyakit, ketidakmampuan (disability) yang merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur atau ekonomi; dan (b) adanya hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat (Strand, et al., 1990).

Dalam rangka meningkatkan penggunaan obat yang rasional, farmasis memiliki peran penting terutama dalam mengidentifikasi serta memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat atau Drug Related Problems (DRPs) baik yang bersifat potensial maupun aktual. Drug Related Problems merupakan suatu masalah yang timbul dalam penggunaan obat atau terapi obat yang secara potensial maupun aktual dapat mempengaruhi outcame terapi pasien, meningkatkan biaya perawatan serta dapat menghambat tercapainya tujuan terapi (Van mill, dkk., 2004)Munculnya Drug related Problems (DRPs) biasanya dipicu dengan semakin meningkatnya jenis dan jumlah obat yang dikonsumsi pasien (polypharmacy) untuk mengatasi berbagai penyakit yang diderita. The Minessota Pharmaceutical Care Project telah mengidentifikasi adanya 5533 Drug Related Problems (DRPs) pada 9399 pasien umum (tidak hanya pasien lanjut usia). Hasil penelitian menunjukkan lebih dari 1400 pasien mengalami lebih dari satu kategori Drug Related Problem (DRP) selama masa pengobatan. Jenis DRPs yang ditemukan misalnya 15 % DRPs diidentifikasi pada pasien yang menerima obat yang salah, 8 % pasien menerima terapi tanpa indikasi yang jelas, 6 % over dosis, 16% menerima dosis subterapi, 21 % pasien mengalami ADR (Adverse Drug Reaction), dan 11 % pasien gagal menerima obat (Cipolle, dkk., 1998)Tabel 4. Kategori Drug Related Problems (DRPs)No.Kategori DRPsPenyebab DRPs

1Indikasi yang Tidak diterapiKondisi membutuhkan terapi obat

Kondisi membutuhkan kelanjutan terapi obat

Kondisi membutuhkan kombinasi obat

Kondisi dengan resiko tertentu dan butuh obat untuk mencegahnya

2Obat dengan Indikasi yang Tidak SesuaiTidak ada indikasi pada saat itu

Menelan obat dengan jumlah yang toksik

Kondisi akibat drug abuse

Lebih baik disembuhkan dengan non-drug therapy

Pemakaian multiple drug yang seharusnya cukup dengan single drug

Minum obat untuk mencegah efek samping obat lain

3Obat SalahKondisi menyebabkan obat tidak efektif

Alergi

Obat yang bukan paling efektif untuk indikasi

Faktor resiko yang dikontraindikasikan dengan obat

Efektif tapi bukan yang paling aman

Efektif tapi bukan yang paling murah

Refractory (sukar disembuhkan)

4

Dosis Terlalu Rendah

Dosis obat terlalu rendah untuk menghasilkan respon

Kadar obat dalam darah dibawah kisaran terapi

Frekuensi pemberian, durasi dan cara pemberian obat pada pasien tidak tepat

Waktu pemberian profilaksis tidak tepat (misal antibiotik profilaksis untuk pembedahan diberikan terlalu awal)

5Reaksi Obat Tidak diinginkan Pasien memiliki resiko mengalami efek samping obat

Efek obat berubah akibat penggantian ikatan antara obat dengan protein atau oleh obat lain

Bioavailabilitas obat berubah karena ada interaksi dengan makanan maupun obat lain

Efek obat berubah karena ada inhibisi atau induksi enzim oleh obat lain

Hasil laboratorium berubah karena obat

6Dosis Terlalu TinggiDosis yang diberikan terlalu tinggi

Kadar obat dalam darah pasien melebihi kisaran terapi

Dosis obat dinaikkan terlalu cepat

Frekuensi pemberian, durasi terapi, dan cara pemberian obat pada pasien tidak tepat

7KepatuhanPasien tidak menerima obat sesuai dengan regimen karena adanya medication error (prescribing, dispensing, administrasi, monitoring)

Tidak taat instruksi, berkaitan dengan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat

Harga obat mahal

Tidak memahami cara pemakaan obat yang benar

Keyakinan pasien dalam menggunakan obat

2. Klasifikasi DRPs

Strand, et al., (1990) mengklasifikasikan DRPs menjadi 8 kategori besar:

a. Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat tetapi pasien tidak mendapatkan obat untuk indikasi tersebut.

b. Pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang tidak mempunyai indikasi medis yang valid.

c. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi mendapatkan obat yang tidak aman, tidak paling efektif, dan kontraindikasi dengan pasien tersebut.

d. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut kurang.

e. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis obat tersebut lebih.

f. Pasien mempunyai kondisi medis akibat dari reaksi obat yang merugikan.

g. Pasien mempunyai kondisi medis akibat interaksi obat-obat, obat-makanan, obat-hasil laboratorium.

h. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi tidak mendapatkan obat yang diresepkan.H. Kerangka Konsep

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di instalasi Rawat Inap di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Sulawesi Tenggara, selama bulan agustus sampai November tahun 2014.B. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional non eksperimental yang dilakukan secara retrospektif dengan melihat data berupa rekam medik pasien balita penderita diare yang menjalani rawat inap di RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara.C. Populasi dan Sampel Penelitian1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh rekam medik pasien balita rawat inap penderita diare di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari tahun 2013 yang berjumlah 124 kasus.2. Sampel penelitian

Teknik pengambilan sampel menggunakan metode sampel acak (randomized sampling). Perhitungan jumlah sampel minimal yang sudah diketahui populasinya dilakukan menurut Slovin, yaitu:n = Keterangan,n = ukuran sampel

N = ukuran populasi

e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan (10%)

Jadi sampel minimal yang biasa diambil adalah 100 pasien diare.

3. Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu rekam medik pasien diare usia 0-49 bulan berjumlah 47 pasien4. Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu rekam medik yang tidak lengkap dan tidak terbaca.D. Alat/Instrumen Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan dokumentasi, panduan wawancara, dan standar pengobatan diare menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2011).E. Definisi Operasional

1. Pasien adalah pasien balita yang terdiagnosis diare di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari tahun 2013 usia 0-49 bulan.2. Rekam medis adalah berkas pasien yang terdiagnosis diare di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari tahun 2013 yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

3. Drug Related Problems (menurut Cipolle 1998) dalam penelitian ini adalah pemberian obat yang salah, pemberian obat tidak tepat indikasi, pemberian dosis obat yang terlalu tinggi, dan pemberian dosis obat yang terlalu rendah.4. Standar pengobatan Diare menggunakan standar dari Departemen Kesehatan RI tahun 2011 tentang penyakit Diare.

F. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa prosedur, yaitu:

1. Mengurus surat izin di Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo.2. Mengajukan surat izin penelitian kepada pihak Rumah Sakit Bhayangkara Kendari Sulawesi Tenggara.3. Setelah surat izin diterima kemudian mengambil data rekam medik pasien.4. Melihat kode rekam medik sesuai dengan kode penyakit diare.G. Pengolahan dan Analisis DataHasil penelitian dianalisis dengan metode analisis univariate (analisis deskriptif) yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap objek penelitian. Analisis dilakukan secara teoritik berdasarkan studi literatur tentang rasionalitas pengobatan diare dengan menggunakan acuan referensi dari Buku Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare 2011, Pharmacotherapy Principles & Practice 2008 dan WHO Diarrhoea Treatment Guidelines 2005. Langkah-langkah analisis data sebagai berikut:

1. Mengelompokan karakteristik pasien ke dalam tabel yang diperoleh dari rekam medik berdasarkan karakteristik jenis kelamin, usia, Berat badan, lama perawatan, dan obat yang digunakan.2. Klasifikasi terapi berdasarkan jenis terapi yang digunakan adalah jumlah jenis terapi dibagi jumlah total pasien dikalikan 100%.

3. Klasifikasi penyakit berdasarkan jenis penyakit yang ada adalah jumlah penyakit dibagi jumlah total pasien dikalikan 100%.

4. Menghitung seluruh jumlah pengobatan yang tidak tepat indikasi, obat yang salah, dosis terlalu rendah, dan dosis terlalu tinggi. Perhitungan persentase tiap jenis kategori Drug Related Problem (DRPs), yaitu:a. Pengobatan tidak tepat indikasi

Tidak tepat indikasi= x 100%

b. Obat yang salah

Tidak tepat obat= x 100%

c. Dosis terlalu rendah

Dosis terlalu rendah= x 100%

d. Dosis terlalu tinggi

Dosis terlalu tinggi= x 100%H. Jadwal Penelitian

Tabel 4. Jadwal Penelitian

Tahap KegiatanAgustus

SeptemberOktoberNovemberDesember

12341234123412341234

Persiapan:

a. Perijinan

Pelaksanaan:

a. Pengambilan Data

Penyelesaian:

a. Pengolahan Data

b. Penyusunan Laporan Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan dari catatan rekam medik pasien diare balita di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari periode Januari-Desember 2013 diperoleh seluruh data pasien balita diare di instalasi rawat inap di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari sebanyak 124 pasien. Data yang diperoleh dari rekam medik yang memenuhi kreteria inklusi adalah sebanyak 47 pasien. Dari data kriteria eksklusi yaitu bahwa semua rekam medik yang ada dapat terbaca dan lengkap.

A. Karakteristik Pasien

Tabel 5 . Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur dan Lama PerawatanNo.VariabelJumlah PasienPersentase (%)

1.Jenis Kelamin

Laki-Laki3370,21%

Perempuan1429,78 %

2.Umur

0 5 bulan36,38 %

6 12 bulan9 19,14 %

13-24 bulan2757,44 %

25-49 bulan817,02%

3.Lama Perawatan

2 hari1021,27%

3 hari1634,04%

4 hari817,02%

5 hari612,76%

6 hari510.63%

8 hari24,25 %

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar yang mengalami diare adalah balita berjenis kelamin laki-laki (65,8%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Santoso (2005) yang menyatakan bahwa resiko kesakitan diare pada balita perempuan lebih rendah dibandingkan dengan balita laki-laki dengan perbandingan 1:1,2. Hal tersebut kemungkinan karena anak laki-laki lebih aktif dan lebih banyak bermain di lingkungan luar rumah, sehingga mudah terpapar dengan penyebab diare.

Kelompok umur terbanyak menderita diare adalah usia 13-24 bulan (51,2%), diikuti 6-12 bulan (21,9%) lalu 25-49 bulan (19,5%) dan paling sedikit kelompok usia 0-5 bulan (7,31%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Hal ini dikarenakan pada masa ini anak mendapatkan makanan pendamping dan mulai aktif bermain. Perilaku ini akan meningkatkan risiko anak untuk terjangkit penyakit diare. (Juffrie, 2011)Pada kelompok umur 6-12 bulan, balita sudah mendapatkan makanan tambahan dan menurut perkembangannya mulai dapat merangkak sehingga kontak langsung dengan kuman dan bakteri bisa saja terjadi, kontaminasi dari peralatan makan dan atau intoleransi makanan itu sendiri yang dapat menyebabkan tingginya risiko terkena diare. Kelompok usia 13-49 bulan adalah kelompok anak yang mulai aktif bermain dan rentan terkena infeksi penyakit terutama diare. Anak pada kelompok umur ini dapat terkena infeksi bakteri penyebab diare pada saat bermain di lingkungan yang kotor serta melalui cara hidup yang kurang bersih. Selain itu hal ini terjadi karena secara fisiologis sistem pencernaan pada balita belum cukup sempurna sehingga rentan terkena penyakit saluran pencernaan. (Juffrie, 2011)Angka kejadian diare pada kelompok umur 0-5 bulan tergolong rendah karena pada umur tersebut balita biasanya masih mendapatkan ASI. ASI akan meningkatkan imunitas balita sehingga risiko untuk terkena diare lebih rendah. Selain itu, balita pada kelompok umur ini belum memperoleh makanan tambahan, sehingga tidak adanya peluang untuk kontak langsung dengan bakteri penyebab diare.

Perawatan yang dilakukan pada pasien anak yang menderita penyakit diare di instalasi rawat inap bervariasi tergantung dari waktu yang dibutuhkan masing-masing pasien dalam proses penyembuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama perawatan pasien diare bervariasi mulai dari yang terbanyak 3 hari, 4 hari, 2 hari, 5 hari, 6 hari dan yang paling sedikit 8 hari. Pasien yang mendapatkan perawatan selama 3 hari berjumlah 13 orang (31,7%), 4 hari sebanyak 8 orang (19,5%), 2 hari sebanyak 7 orang (17,0%), 5 hari sebanyak 6 orang (14,6%), dan 8 hari sebanyak 2 orang (4,8%).Lama rawat pasien diare akut ditentukan oleh banyak faktor. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian probiotik dapat memperpendek lama rawat diare akut (Chen CC. dkk, 2010; Rosenfeldt V. dkk, 2002). Pemberian suplemen Zink juga dapat mempercepat kesembuhan pasien diare akut pada anak (Trivedi SS. dkk, 2009). Intake makanan juga berpengaruh terhadap lama rawat pasien diare akut pada anak (Islam dkk, 2008).B. Karakteristik Penyakit

Karakteristik pasien balita yang dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari tahun 2013 pada Tabel

Tabel 6. Karakteristik Penyakit Berdasarkan Jenis Diare, Derajat Dehidrasi dan Penyakit PenyertaNo.VariabelJumlah PasienPersentase (%)

1.Jenis Diare

Diare Akut47100 %

Diare Persisten--

2.Derajat Dehidrasi

Diare Tanpa Dehidrasi--

Diare Dehidrasi Ringan/Sedang3778,72%

Diare Dehidrasi Berat1021,27%

3.Penyakit Penyerta

ISPA631,57%

Kejang Demam526,31%

DBD15,26 %

Ensefalopati210,52%

Anemia15,26%

Kandidiasis210,52%

Gizi Buruk15,26%

Alergi Susu Sapi15,26%

Hasil penelitian menunjukkan seluruh pasien balita mengalami diare akut (100%). Diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari, sedangkan bila lebih dari 14 hari disebut diare persisten.

Pasien diare paling banyak mengalami diare dengan dehidrasi ringan-sedang (78,72%). Dehidrasi ini ditandai dengan anak gelisah, rewel, haus dan minum dengan lahap, mata cekung, dan turgor menurun. Selanjutnya diare dehidrasi berat (21,27%) yang ditandai dengan dua atau lebih dari tanda dan gejala klinis berupa letargi atau penurunan kesadaran, mata cekung, turgor menurun (> 2 detik) dan tidak bisa minum atau malas minum. Sedangkan kejadian diare tanpa dehidrasi tidak ditemukan pada penelitian ini. Diare tanpa dehidrasi merupakan kondisi yang terjadi pada anak yang diare, tetapi tidak mempunyai tanda dan gejala akan adanya dehidrasi karena cairan yang terbuang akibat diare tidak terlalu banyak atau karena rehidrasi sudah mengimbangi hilangnya cairan. Penderita dengan diare akut dehidrasi ringan sampai sedang merupakan penderita terbanyak (31 kasus) yang dirawat inap di rumah sakit karena kemungkinan pasien tersebut menjadi lebih parah cukup besar sehingga perlunya penanganan medis secepatnya. Jenis penyakit penyerta yang paling banyak adalah ISPA dengan jumlah kasus sebanyak 6 (31,57%), diikuti kejang demam (5 kasus atau 26,31%), ensefalopati dan kandidiasis (masing-masing 2 kasus atau 10,52%), serta penyakit penyerta lain yaitu penyakit DBD, anemia, gizi buruk, dan alergi susu sapi (5,26%).C. Karakteristik Pengobatan

Dari hasil penelitian dilihat terapi pengobatan yang telah diberikan kepada pasien diare.Tabel 7. Karakteristik Pengobatan Diare

No.VariabelJumlah PasienPersentase (%)

1.Cairan Rehidrasi Oral

Oralit1225,5%

Renalyte12,12%

Pedalyte612,7%

Cairan Rehidrasi Parenteral

IFVD RL4697,8%

D5%1225,5%

NaCl1123,4%

2.Antibiotik

Cefotaxime12,12%

Gentamisin36,38%

Cotrimoksazol 48,51%

Ceftriaxon714,8%

Ampicillin919,1%

Kloramfenikol48,51%

Cefadroxil12,12%

Meropenem36,38%

3.Probiotik2961,7%

4.Suplemen Zinc47100%

5.Terapi Simptomatik3676,5%

6.Vitamin

Vitamin A24,25%

Vitamin K12,12%

Becefort36,38%

7.Obat lain

Asam folat

Fenitoin

Ranitidin

Ibuprofen

Ambroxol

Furosemid

Aldactone

Lasix

Salbutamol6

1

2

1

3

1

2

1

112,7%

2,12%

4,25%

2,12%

6,38%

2,12%

4,25%

2,12%

2,12%

Dehidrasi memicu gangguan kesehatan, mulai dari gangguan ringan seperti mudah mengantuk, hingga penyakit berat seperti penurunan fungsi ginjal. Pada awalnya anak akan merasa haus karena telah terjadi dehidrasi ringan. Bila tidak ditolong, dehidrasi tambah berat dan timbulah gejala-gejala diare. Oleh karena itu, pengobatan awal untuk mencegah dan mengatasi keadaan dehidrasi sangat penting pada anak dengan diare. Pemberian cairan yang tepat dengan jumlah yang memadai merupakan modal yang utama mencegah dehidrasi. Cairan harus diberikan sedikit demi sedikit dengan frekuensi sesering mungkin.Pada pasien diare tanpa dehidrasi atau dengan dehidrasi ringan/sedang sebagai terapi utama pada diare maka diperlukan oralit untuk mengganti cairan dan elektrolit dalam tubuh yang terbuang saat diare. Oralit mengandung NaCl 2,6 g, Na Citrate 2,9 g, KCl 1,5 g, dan glukosa 13,5 g (Na+ 75 mEq/l, K+ 20 mEq/l, Citrate 10 mmol/l, Cl- 65 mEq/l, Glukosa 75 mmol/l). Oralit mampu mengurangi volume tinja hingga 25%, mengurangi mual muntah hinga 30% dan mengurangi secara bermakna pemberian cairan melalui intravena yang artinya anak tidak perlu dirawat di rumah sakit sehingga resiko anak terkena infeksi di rumah sakit berkurang, pemberian ASI tidak terganggu dan orang tua akan menghemat biaya. Hasil penelitian menunjukkan hanya 2 pasien yang diberikan oralit.

Pada diare dehidrasi ringan/sedang, rehidrasi parenteral (intravena) diberikan bila anak muntah setiap diberi minum walaupun telah diberikan dengan cara sedikit demi sedikit atau melalui pipa nasogastrik. Hasil penelitian menunjukkan, cairan rehidrasi intravena yang paling banyak diberikan adalah IVFD Ringer Laktat (97,8,8%) dan D5 NS (25,5%). Berdasarkan pedoman pelayanan medis cairan yang dapat diberikan adalah ringer laktat atau KaEN 3B dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan berat badan (IDAI, 2009; Kemenkes, 2011).

Hasil penelitian menunjukkan pasien diare yang diberikan zinc hanya 100% dari 47 pasien yang menerima terapi zinc. WHO dan UNICEF merekomendasikan penggunaan zinc karena berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengobatan diare dengan pemberian oralit disertai zinc lebih efektif dan berdasarkan studi WHO selama lebih dari 18 tahun, manfaat zinc sebagai pengobatan diare adalah zinc dapat mengurangi prevalensi diare sebesar 34%, mengurangi durasi diare akut sebesar 20% dan durasi diare persisten sebesar 24% hingga mengurangi kegagalan terapi atau kematian akibat diare persisten sebesar 42% (Kemenkes, 2011).

Sebanyak 29 pasien diberi terapi berupa probiotik. Berdasarkan WHO, Probiotik mungkin bermanfaat untuk AAD (Antibiotic Associated Diarrhea), tetapi karena kurangnya bukti ilmiah dari studi yang dilakukan pada kelompok masyarakat, maka WHO belum merekomendasikan probiotik sebagai bagian dari tatalaksana pengobatan diare. Secara statistik, probiotik memberikan efek signifikan pada AAD tetapi tidak memberikan efek signifikan untuk travellers diare dan juga tidak memberikan efek signifikan pada community-based diarrhea. Harus diperhitungkan juga biaya dalam pemberian pengobatan tambahan probiotik (Kemenkes, 2011).

Antibiotik hanya diberikan jika ada indikasi, seperti disentri (diare berdarah) atau diare karena kolera, atau diare dengan disertai penyakit lain. Selain bahaya resistensi kuman, pemberian antibiotik yang tidak tepat bisa membunuh flora normal yang justru dibutuhkan tubuh. Efek samping dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional adalah timbulnya gangguan fungsi ginjal, hati dan diare yang disebabkan oleh antibiotik. Hal ini juga akan mengeluarkan biaya pengobatan yang seharusnya tidak diperlukan (Kemenkes, 2011). Hasil penelitian menunjukkan jenis antibiotik yang ditujukan untuk terapi diare yaitu paling banyak diberikan sefotaksim lalu sefiksim, seftriakson dan kotrimoksazol.

Demam pada anak dengan diare dapat disebabkan oleh infeksi lain (misalnya pneumonia, bakteremia, saluran kemih infeksi atau otitis media). Anak-anak juga mungkin mengalami demam berdasarkan dehidrasi. Kehadiran demam menunjukkan harus segera mencari infeksi lain. Hal ini terutama penting ketika demam berlanjut setelah anak sepenuhnya direhidrasi. Anak-anak dengan demam tinggi (39C atau lebih) harus segera diobati untuk menurunkan suhu. Ini adalah yang terbaik dilakukan dengan mengobati infeksi dengan antibiotik yang tepat serta antipiretik mengurangi demam juga meningkatkan nafsu makan dan mengurangi iritasi. Parasetamol dapat diberikan untuk menurunkan demam (WHO, 2005). D. Kejadian DRPs Di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari tahun 2013

1. DRPs Kategori Tidak Tepat Indikasi

Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pasien yang mendapatkan obat yang tidak tepat indikasi. Tidak tepat indikasi yang dimaksud adalah dimana pasien terapi obat namun bukan untuk indikasi pada penyakit saat itu.Tabel 8. Jenis obat dan penyebab DRPs kategori tidak tepat indikasi pada pasien balita diare di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari tahun 2013NoPenyebabObatJumlah Kasus(%)

1.Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakanOralit1126,8%

2.Pasien mendapatkan pengobatan yang tidak tepat untuk indikasi pada saat ituSeftriakson

Ranitidin6

214,6%

4,8%

Pada Tabel di atas tampak bahwa adanya pemberian oralit tanpa indikasi sebanyak 11 kasus (26,8%). Pada dehidrasi ringan-sedang, pemberian bersamaan cairan intravena (baik untuk rehidrasi maupun maintenance) dan oralit tidak disarankan. Oralit hanya diberikan jika cairan intravena dihentikan (Anonim, 2007).

Pada penelitian ini juga ditemukan penggunaan obat yang tidak sesuai dengan kondisi penyakit pasien yaitu pemberian antibiotika seftriakson sebanyak 6 kasus (14,6%). Antibiotika seharusnya tidak diberikan karena tidak ada tanda dan gejala yang menunjukkan pasien mengalami infeksi bakteri. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Suharyono (2008) rotavirus merupakan etiologi paling penting penyebab diare pada anak dan balita. Infeksi virus biasanya terdapat pada anak- anak umur 6 bulan-2 tahun sehingga pemberian antibiotika tidak dianjurkan. Saat ini diare telah dapat diatasi dengan oralit, pemberian minum dan makanan dini, sedangkan pemberian antibiotika tanpa indikasi justru akan merusak ekologi mikrobiota usus. Perubahan keseimbangan mikroflora akan memicu munculnya strain bakteri yang resisten (Clostridium defecile) (Suraatmaja, 2010).

Pemberian ranitidin juga tidak sesuai dengan kondisi klinis pasien sebanyak 2 kasus (4,8%). Ranitidin digunakan untuk mengobati tukak lambung sebagai penghambat produksi asam dengan cara menduduki reseptor histamin H2 di mukosa lambung yang memicu produksiasam klorida. Berdasarkan rekam medis pasien tidak mengalami ganngguan lambung sehingga pemberian ranitidin tidak diindikasikan (Tan dan Rahardja, 2010).

2. DRPs Kategori Obat Salah

Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat pasien yang mendapatkan obat yang salah. Kejadian obat yang salah adalah suatu kejadian DRPs yang dimana pasien mendapatkan terapi obat namun tidak sesuai atau tidak tepat dengan kondisi klinis penyakitnya sehingga pasien mendapatkan obat yang tidak memberikan efek atau obat tersebut memberikan efek yang lain yang tidak dibutuhkan oleh pasien. 3. DRPs Kategori Dosis Obat yang terlalu Tinggi

Hasil Penelitian menunjukan bahwa terdapat pasien yang mendapatkan obat dengan dosis yang terlalu tinggi. Dosis obat terlalu tinggi yang dimaksud adalah pasien mendapatkan terapi obat namun dosis dari pemberian terapi obat tersebut melebihi batas dosis yang dianjurkan sehungga pasien mendapatkan dosis obat yang tinggi atau berlebihan.Tabel 9. Jenis obat dan penyebab DRPs kategori dosis obat yang terlalu tinggi pada pasien balita diare di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari tahun 2013NoPenyebabObatJumlah Kasus(%)

1Kekuatan obat lebih tinggiFerriz24,8 %

Seftriakson37,31 %

Ampicillin37,31 %

Pada penelitian ini terdapat pemberian dosis obat berlebih terjadi pada pasien dengan pemberian Ferriz sebanyak 2 kasus (4,8%). Pasien diberikan Ferriz dengan dosis satu kali sehari satu sendok teh. Tiap satu sedok teh (5 mL) Sirup Ferriz mengandung 115,4 mg sodium feredetate yang setara dengan 15 mg besi elemen. Dosis untuk anak adalah setengah sendok teh (2,5 mL) satu kali sehari.

Dosis lebih juga terjadi pada pemberian seftriakson sebanyak 4 kasus (7,31%). Dosis seftriakson yang diberikan adalah 250 mg/12 jam (BB = 4,7 kg); 300 mg/12 jam (BB = 6,5 kg); dan 1 g/12 jam (BB = 21,5 kg). Dosis seftriakson adalah 50 mg/kgBB per hari dibagi dalam dua dosis (Shann, 2010). Jadi, dosis penggunaan yang benar berturut-turut adalah 117,5 mg/12 jam; 162,5 mg/12 jam; dan 537,5 mg/12 jam.

Dosis obat lebih juga terjadi pada pemberian ampicillin sebanyak 3 kasus (7,31%). Dosis ampicillin yang diberikan adalah 350 mg/6 jam (BB = 7 kg); 350 mg/6 jam (BB = 7,6 kg); dan 1 g/6 jam (BB = 20 kg). Dosis yang seharusnya adalah 15-25 mg/kg BB/6 jam (Shann, 2010). Jadi, dosis penggunaan yang benar berturut-turut adalah 175 mg/6 jam; 290 mg/6 jam; dan 500 mg/jam. 4. Kejadian Dosis Obat yang terlalu Rendah

Hasil Penelitian menunjukan bahwa terdapat pasien yang mendapatkan obat dengan dosis yang terlalu tinggi.Tabel 10. Jenis obat dan penyebab DRPs kategori dosis obat terlalu rendah pada pasien balita di Rumah Sakit Bhayangkara Kendari tahun 2013NoPenyebabObatJumlah Kasus(%)

1Kekuatan obat terlalu rendahZinc49,7 %

Pada penelitian ditemukan pemberian dosis obat yang terlalu rendah yaitu pemberian zinc dengan kekuatan obat kurang. Pada kasus ini pasien berusia 6 bulan mendapat zinc dengan dosis 1 x 10 mg. Menurut Depkes RI (2011) tablet zinc diberikan 10 hari berturut-turut, untuk balita umur