i. pendahuluan - indoneuro | spesialis saraf...

31
1 I. PENDAHULUAN Penyakit jantung, otak dan pembuluh darah (kardioserebrovaskular) memegang peran yang semakin penting dalam berbagai masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Penyakit kardioserebrovaskular (PKSV) yang paling sering menimbulkan mortalitas dan morbiditas didasari oleh proses aterosklerosis yang menimbulkan penyempitan dan penyumbatan total pembuluh darah. Penyumbatan pembuluh darah koroner mengakibatkan serangan jantung (infark miokard) yang bisa diikuti kematian mendadak atau gagal jantung, sedangkan penyumbatan pembuluh darah otak berakibat stroke, penyumbatan pembuluh darah perifer juga tak kalah pentingnya karena bisa berakhir dengan amputasi atau trombo-emboli yang fatal. Dari data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2007 diketahui bahwa, 31,9% kematian di Indonesia disebabkan oleh PKSV termasuk stroke, penyakit jantung dan pembuluh darah perifer. Berbagai faktor risiko PKSV seperti hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, kurang berolahraga, obesitas dan stress, kurang disadari oleh masyarakat. Prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 31,7%, tetapi hanya 23,9% saja dari populasi ini yang menyadari dirinya mengidap hipertensi dan menerima pengobatan. Hal serupa terjadi pada diabetes mellitus, yang prevalensinya di Indonesia mencapai 5,7%. Kebiasaan berolah raga setiap hari 30 menit atau makan sayur dan buah lima kali sehari jarang diterapkan oleh masyarakat Indonesia. Sebaliknya kebiasaan buruk merokok masih sangat tinggi, dan tidak ada penurunan bermakna dari tahun ke tahun. Pola Hidup Sehat yang kurang dipahami atau diabaikan oleh masyarakat, mengakibatkan PKSV tidak hanya terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi menengah ke atas, tetapi juga pada kelompok sosial ekonomi rendah (miskin/tidak mampu) dan usia produktif. Di sisi lain, perbaikan kualitas dan pemerataan pelayanan kesehatan membuat usia harapan hidup semakin panjang, sehingga prevalensi penyakit degeneratif khususnya PKSV di Indonesia diprediksikan akan terus meningkat. Meskipun pengendalian penyakit infeksi seperti penyakit saluran nafas atas serta perbaikan sanitasi dan gizi berhasil menurunkan angka penyakit jantung rematik, tetapi immunitas rendah dan infeksi virus miokard berpotensi menimbulkan miokarditis yang berlanjut dengan gagal jantung. Penyakit jantung bawaan juga merupakan masalah yang sulit diatasi, karena umumnya harus ditangani dengan operasi jantung atau intervensi non bedah yang mahal, sementara upaya prevensi belum ada yang ampuh. Sebagian pasien-pasien ini juga memerlukan pengawasan lanjutan seumur hidupnya, dalam bentuk layanan yang lazim disebut Grown Up Congenital Heart (GUCH). Ilmu dan teknologi penanganan PKSV maju sangat pesat, berbagai metode terapi canggih berkembang, dan umumnya memerlukan biaya tinggi. Jumlah pasien yang memerlukan penanganan canggih ini pun semakin besar. Tentu beban perekonomian negara akan terus meningkat dan sangat besar, apalagi kalau ditambah kerugian yang ditimbulkan oleh hilangnya produktifitas pasien-pasien PKSV. Memahami besarnya permasalahan PKSV di Indonesia, maka Kementerian Kesehatan perlu membuat Strategi Nasional Pelayanan Kesehatan Jantung, Otak dan Pembuluh Darah di Indonesia untuk jangka waktu 10 tahun. Diharapkan usulan strategi yang dibuat oleh PERKI dan PERDOSSI ini dapat membantu memberikan arahan terhadap program-program pelayanan kesehatan kardioserebrovaskular yang bermutu, akuntabel dan terjangkau, melalui perencanaan anggaran yang efisien dan efektif. Penanganan lintas sektoral sangat dibutuhkan agar program- program pelayanan kesehatan kardioserebrovaskular ini dapat terealisasi.

Upload: truongdien

Post on 16-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

I. PENDAHULUAN

Penyakit jantung, otak dan pembuluh darah (kardioserebrovaskular) memegang peran

yang semakin penting dalam berbagai masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Penyakit

kardioserebrovaskular (PKSV) yang paling sering menimbulkan mortalitas dan morbiditas

didasari oleh proses aterosklerosis yang menimbulkan penyempitan dan penyumbatan total

pembuluh darah. Penyumbatan pembuluh darah koroner mengakibatkan serangan jantung

(infark miokard) yang bisa diikuti kematian mendadak atau gagal jantung, sedangkan

penyumbatan pembuluh darah otak berakibat stroke, penyumbatan pembuluh darah perifer juga

tak kalah pentingnya karena bisa berakhir dengan amputasi atau trombo-emboli yang fatal.

Dari data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian Kesehatan Indonesia tahun

2007 diketahui bahwa, 31,9% kematian di Indonesia disebabkan oleh PKSV termasuk stroke,

penyakit jantung dan pembuluh darah perifer. Berbagai faktor risiko PKSV seperti hipertensi,

merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, kurang berolahraga, obesitas dan stress, kurang

disadari oleh masyarakat. Prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 31,7%, tetapi hanya

23,9% saja dari populasi ini yang menyadari dirinya mengidap hipertensi dan menerima

pengobatan. Hal serupa terjadi pada diabetes mellitus, yang prevalensinya di Indonesia

mencapai 5,7%. Kebiasaan berolah raga setiap hari 30 menit atau makan sayur dan buah lima

kali sehari jarang diterapkan oleh masyarakat Indonesia. Sebaliknya kebiasaan buruk merokok

masih sangat tinggi, dan tidak ada penurunan bermakna dari tahun ke tahun. Pola Hidup Sehat

yang kurang dipahami atau diabaikan oleh masyarakat, mengakibatkan PKSV tidak hanya terjadi

pada kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi menengah ke atas, tetapi juga pada

kelompok sosial ekonomi rendah (miskin/tidak mampu) dan usia produktif. Di sisi lain, perbaikan

kualitas dan pemerataan pelayanan kesehatan membuat usia harapan hidup semakin panjang,

sehingga prevalensi penyakit degeneratif khususnya PKSV di Indonesia diprediksikan akan terus

meningkat.

Meskipun pengendalian penyakit infeksi seperti penyakit saluran nafas atas serta

perbaikan sanitasi dan gizi berhasil menurunkan angka penyakit jantung rematik, tetapi

immunitas rendah dan infeksi virus miokard berpotensi menimbulkan miokarditis yang berlanjut

dengan gagal jantung. Penyakit jantung bawaan juga merupakan masalah yang sulit diatasi,

karena umumnya harus ditangani dengan operasi jantung atau intervensi non bedah yang mahal,

sementara upaya prevensi belum ada yang ampuh. Sebagian pasien-pasien ini juga memerlukan

pengawasan lanjutan seumur hidupnya, dalam bentuk layanan yang lazim disebut Grown Up

Congenital Heart (GUCH).

Ilmu dan teknologi penanganan PKSV maju sangat pesat, berbagai metode terapi canggih

berkembang, dan umumnya memerlukan biaya tinggi. Jumlah pasien yang memerlukan

penanganan canggih ini pun semakin besar. Tentu beban perekonomian negara akan terus

meningkat dan sangat besar, apalagi kalau ditambah kerugian yang ditimbulkan oleh hilangnya

produktifitas pasien-pasien PKSV.

Memahami besarnya permasalahan PKSV di Indonesia, maka Kementerian Kesehatan

perlu membuat Strategi Nasional Pelayanan Kesehatan Jantung, Otak dan Pembuluh Darah di

Indonesia untuk jangka waktu 10 tahun. Diharapkan usulan strategi yang dibuat oleh PERKI dan

PERDOSSI ini dapat membantu memberikan arahan terhadap program-program pelayanan

kesehatan kardioserebrovaskular yang bermutu, akuntabel dan terjangkau, melalui perencanaan

anggaran yang efisien dan efektif. Penanganan lintas sektoral sangat dibutuhkan agar program-

program pelayanan kesehatan kardioserebrovaskular ini dapat terealisasi.

2

II. PREVENSI DAN PROMOSI

Prevensi dan promosi PKSV hendaknya dilakukan melalui dua cara pendekatan, yaitu :

1) pendekatan masyarakat - ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memilih dan

mempertahankan pola hidup sehat agar tetap sehat seumur hidupnya, dan 2) pendekatan

individu berisiko tinggi - difokuskan kepada individu yang sudah pernah mendapat pelayanan

kesehatan terkait masalah PKSV.

Prevensi dibagi atas tiga kategori, yaitu :

1. Prevensi primer, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit pada orang normal

2. Prevensi sekunder, yang bertujuan untuk menghambat perkembangan suatu penyakit

3. Prevensi tersier, yang bertujuan untuk rehabilitasi dan meminimalkan dampak komplikasi

Menurut berbagai penelitian epidemiologi, masalah penanganan PKSV dan faktor risikonya

justru terjadi pada masyarakat golongan sosial ekonomi rendah. Kematian akibat PKSV di

negara-negara maju terus menurun, sebaliknya di negara-negara berkembang justru meningkat.

WHO memprediksikan 80% kematian akibat penyakit tidak menular termasuk PKSV akan terjadi

di negara-negara berkembang. WHO juga memperkirakan bahwa 90% penyakit diabetes tipe-2,

80% penyakit kardioserebrovaskular dan 33% penyakit kanker sebenarnya dapat dicegah

dengan mengkonsumsi diet sehat, olahraga cukup dan tidak merokok. Maka, upaya prevensi dan

promosi harus digalakan dan diupayakan dapat menjangkau seluruh golongan sosial ekonomi,

termasuk golongan sosial ekonomi bawah.

Upaya promosi dan prevensi ini harus didukung oleh kebijakan-kebijakan dari pemerintah

pusat dan pemerintah daerah, agar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Disamping

itu, kerjasama lintas sektoral, misalnya dengan Kementerian pendidikan nasional, Kementerian

dalam negeri, Kementerian pemuda dan olahraga, Kementerian peranan wanita dan lain-lain.

Yang tak kalah pentingnya adalah kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat seperti

Yayasan Jantung Indonesia dan Yayasan Stroke Indonesia. Pendanaan untuk promosi dan

prevensi juga harus tersedia cukup. Di negara-negara maju pendanaan untuk penanganan PKSV

berkisar 10% dari seluruh budget kesehatan, dan upaya promosi – prevensi mendapat perhatian

besar.

REKOMENDASI :

Kementerian Kesehatan RI dalam periode 2012 – 2021 perlu memberikan

prioritas terhadap upaya mendorong masyarakat untuk mengadopsi pola hidup

sehat yaitu:

• tidak merokok,

• mengkonsumsi makanan sehat : menghindari makanan berlemak, banyak makan

makanan berserat, sayur dan buah, serta membatasi konsumsi garam, gula dan

alkohol

• beraktifitas fisik sedang ( jalan kaki 3 km ) setiap hari selama 30 menit

• menjaga Indeks Massa Tubuh ( IMT ) < 23 kg/m2 dan menghindari obesitas sentral

: lingkar perut (LP) perempuan tidak melebihi 80 cm, laki-laki tidak melebihi 90 cm,

• menjaga agar tekanan darah < 140/90 mmHg

• menjaga agar kadar kolesterol total darah < 190 mg/dl,

• menjaga agar kadar kolesterol LDL darah < 115 mg/dl,

• menjaga agar kadar gula darah puasa < 110 mg/dl

3

A. Target Prevensi dan Promosi 2021.

1. Berat badan dan Lingkar Perut :

Menurut RISKESDAS 2007, kondisi berat badan pada :

• balita : normal 74,1%, kegemukan mencapai 12,2%.

• anak usia 6 – 14 tahun : normal 69,9%, kegemukan mencapai 15,9%.

• usia > 15 tahun: normal 66,1%, kelebihan 8,8% dan obese 10,3%.

Target pencapaian Berat Badan pada tahun 2021 :

Untuk usia > 15 tahun

• Berat badan normal meningkat dari 66,1% menjadi 75%

• Berat badan berlebih turun dari 8,8% menjadi 6%

• Obes turun dari 10,3% menjadi 5%

Untuk usia 6 - 14 tahun

• Berat badan normal meningkat dari 69,9% menjadi 75%

• Anak kegemukan turun dari 15,9% menjadi 10%

Untuk usia Balita

• Berat badan normal meningkat dari 74,1% menjadi 80%

• Balita kegemukan turun dari 12,2% menjadi 8%

2. Pola makan sehat

Menurut RISKESDAS 2007, prevalensi populasi Indonesia yang makan sayur dan buah lima

kali sehari hanya 16,4%, sedangkan kebiasaan makan makanan berlemak mencapai 12,8%

dan kebiasaan menambahkan bumbu penyedap 78%.

Target pencapaian pola makan sehat tahun 2021 :

• Meningkatkan populasi yang menkonsumsi sayur dan buah lima kali sehari dari

16,4% menjadi 35%.

• Membatasi lemak yang dikonsumsi menjadi < 30% dari seluruh diet untuk energi

• Menurunkan populasi yang mengkonsumsi makanan lemak jenuh dari 12,8%

menjadi < 10%

3. Aktifitas Fisik

Menurut RISKESDAS 2007, sebanyak 48,2% populasi Indonesia usia > 10 tahun kurang

melakukan aktifitas fisik.

Target pencapaian aktifitas fisik tahun 2021 :

Peningkatan kebiasaan melakukan aktifitas fisik 30 menit perhari -

minimal 5 kali perminggu hingga mencapai 60% populasi dewasa dan

50% populasi anak usia di bawah 15 tahun.

4

4. Konsumsi garam, gula dan bumbu penyedap

Menurut RISKESDAS 2007, populasi usia 10 tahun keatas yang suka mengkonsumsi garam

mencapai 24,5% dan yang suka menkonsumsi makanan manis mencapai 65,2%.

Target penurunan konsumsi garam dan gula tahun 2021 :

• Menurunkan kebiasaan populasi makan manis dari 65% menjadi 35%

• Menurunkan kebiasaan populasi makan asin dari 24,5% menjadi 15%

• Menurunkan kebiasaan populasi makan dengan menambahkan

bumbu penyedap menjadi < 50%.

5. Merokok

Menurut RISKESDAS 2007, populasi usia .10 -14 tahun yang mempunyai kebiasaan

merokok adalah 2%, sedangkan usia 15 tahun keatas 34%, tertinggi pada kelompok usia 45

– 54 tahun yaitu 38%. Laki-laki dewasa perokok mencapai 55,7%, sedangkan perempuan

4.4%.

Target penurunan populasi perokok tahun 2020 :

• Menurunkan populasi perokok usia 10 -14 tahun dari 2% menjadi 0.5%;

• Menurunkan populasi perokok usia 15 tahun keatas dari 34% menjadi 20%

6. Alkohol

Berbeda dengan di negara barat, alkohol bukan masalah besar di Indonesia. Menurut

RISKESDAS 2007, hanya penduduk Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Gorontalo

saja yang mempunyai prevalensi peminum alkohol diatas 10%.

Target penurunan populasi peminum alkohol tahun 2020 :

Mempromosikan kepada masyarakat tentang bahaya terjadinya penyakit

kardioserebrovaskular dan kanker akibat alkohol, sehingga populasi

peminum alkohol turun menjadi < 5% di semua daerah.

7. Tekanan Darah dan Kolesterol

Menurut RISKESDAS 2007, prevalensi hipertensi pada usia > 15 tahun mencapai 31,7%,

tetapi hanya 23,9% saja yang mengetahui dirinya menderita hipertensi dan diterapi.

Kematian akibat strok mencapai 15,4%, tingginya prevalensi hipertensi dan banyaknya

pasien hipertensi yang tidak diterapi mungkin menjadi penyebab kematian akibat stroke.

RISKESDAS 2007 tidak memeriksa kadar kolesterol yang sebenarnya sangat penting

sebagai faktor risiko penyakit kardioserebrovaskular.

5

Target penurunan hipertensi, hiperkolesterolemia, hiperglikemia 2021:

• Mempromosikan kepada semua lapisan masyarakat terutama usia 15 tahun ke atas,

tentang perlunya melakukan pengukuran tekanan darah secara teratur, baik pada

penderita hipertensi maupun subyek normal.

• Mempromosikan pentingnya membatasi konsumsi garam < 6 gram/hari (satu sendok

teh per-hari) untuk mencegah hipertensi, sehingga prevalensi hipertensi pada usia

15 tahun keatas turun dari 31,7% menjadi 15%.

• Mempromosikan perlunya deteksi dini hipertensi dan terapi hipertensi secara teratur

untuk menghindari komplikasi penyakit kardioserebrovaskuler, sehingga pasien

hipertensi yang berobat teratur naik dari 23,9% mencapai 75%.

• Mendorong masyarakat usia 35 tahun keatas untuk setahun sekali (lebih awal dan

lebih sering, bila ada riwayat keluarga dislipidemia atau menderita penyakit

kardioserebrovaskular prematur) untuk memeriksakan kadar kolesterol total,

kolesterol HDL, kolesterol LDL dan trigliserida dalam keadaan puasa.

• Mendorong masyarakat usia 35 tahun keatas untuk setahun sekali (lebih awal dan

lebih sering, bila ada riwayat keluarga diabetes mellitus atau menderita penyakit

kardioserebrovaskular prematur) untuk memeriksakan kadar gula darah puasa dan

2 jam sesudah makan.

B. Kerjasama Lintas Sektoral

Banyak aspek menyangkut sosial, ekonomi, kultural dan lingkungan yang menentukan

kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Tantangan bagi sektor kesehatan adalah keberhasilan

untuk melakukan kerjasama lintas sektoral, terutama diantara Kementerian yang menyangkut

Kesehatan – Pendidikan – Olah Raga – Pekerjaan Umum – Urbanisasi – Perhubungan – Dalam

Negeri – Peran Wanita – Industri Makanan – sektor swasta – organisasi profesi kesehatan dan

Lembaga Swadaya Masyarakat serta media massa.

Rekomendasi :

Kerjasama Lintas Sektoral diprioritaskan pada kebutuhan untuk memberi

manfaat yang terkait dengan kesehatan kardioserebrovaskuler.

• Upaya kerjasama ini hendaknya dimotori oleh Kementerian Kesehatan,

• Hasilnya harus dilaporkan secara berkala kepada Menteri Koordinator Kesejahteraan

Rakyat.

• Parameter keberhasilannya hendaknya dikaitkan dengan target yang telah

ditetapkan sebagai target pencapaian kesehatan kardioserebrovaskuler.

6

III. PELAYANAN KARDIOSEREBROVASKULAR TINGKAT PRIMER

Pelayanan primer berperan penting dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang

prevensi, deteksi dini, respons kedaruratan, penilaian risiko dan manajemen PKSV.

A. Promosi Tentang Pemahaman Penyakit Kardioserebrovaskular

Penting agar masyarakat memahami perlunya memantau secara teratur tekanan darah,

kadar kolesterol (total, LDL, HDL), trigliserida dan gula dalam darah. Kepada masyarakat juga

perlu diajarkan tentang gejala awal PKSV dan pertolongan pertama pada kegawatan akibat

penyakit ini, sehingga pertolongan yang cepat dan tepat dapat diberikan.

Rekomendasi :

Kampanye melalui ceramah - ceramah dan media massa tentang faktor risiko

penyakit kardioserebrovaskular serta pemahaman tingkat risiko yang dimiliki

oleh tiap individu. Diupayakan agar semua ini dapat menjangkau seluruh lapisan

masyarakat, melalui kegiatan di tingkat pelayanan primer oleh dokter umum dan

penyuluh kesehatan dibantu pekerja sosial dari Lembaga Swadaya Masyarakat.

• Pemahaman faktor risiko penyakit kardioserebrovaskular.

• Skor risiko individu - perlu disediakan carta skor risiko kardioserebrovaskular

• Gejala dan penanganan kegawatan akibat serangan jantung (sindroma koroner

akut), stroke, serangan iskemik otak transien (TIA), gagal jantung, penyumbatan

pembuluh darah perifer dan kegawatan vaskular lainnya.

• Evaluasi keberhasilan promosi.

B. Pelayanan Kardioserebrovaskular di Praktek Klinik

Selain memberikan obat kardioserebrovaskular sesuai pedoman nasional, penanganan

multidisiplin dalam prevensi PKSV pada kelompok berisiko tinggi sangat bermanfaat terhadap

perubahan gaya hidup seseorang. Program pelayanan multidisiplin ini hendaknya disiapkan

terlebih dahulu dan terstandarisasi, agar siap menerima rujukan. Program ini termasuk

pembelajaran tentang program merawat diri sendiri.

Pasien berisiko tinggi

Risiko kardioserebrovaskular individu ditetapkan berdasarkan skor risiko kardioserebro-

vaskuler yang berlaku nasional.

Pasien dengan faktor risiko multipel, penyakit jantung iskemik, pasca revaskularisasi, pasca

stroke, diabetes, keluarga dekat pasien penyakit aterosklerotik prematur, digolongkan dalam

kategori pasien berisiko tinggi.

Diabetes mellitus

Pasien diabetes tipe 2 dan diabetes tipe 1 dengan komplikasi mikroalbuminuria adalah

kelompok prioritas untuk prevensi, deteksi dini dan manajemen risiko kardioserebrovaskular;

diperlukan layanan terpadu untuk penanganan kasus-kasus seperti ini.

7

Rekomendasi :

Standar Untuk Profesional : perlu disiapkan protokol praktek klinik di fasilitas

pelayanan kesehatan primer yang disepakati oleh profesi kedokteran terkait.

Protokol ini akan menetapkan pasien berisiko tinggi dengan memasukkan pasien yang telah didiagnosis penyakit kardiovaskular, strok dan penyakit pembuluh darah perifer, keluarga dekat pasien penyakit aterosklerotik prematur sebagai pasien berisiko tinggi.

Pelayanan Klinik Terstruktur : mengembangkan pelayanan klinik terstruktur,

termasuk prevensi penyakit kardioserebrovaskular dalam klinik.

Pedoman ini akan memberi arahan tentang penilaian dan manajemen penyakit

kardiovaskular di fasilitas pelayanan kesehatan primer.

Pendekatan Populasi : evaluasi terhadap program terstruktur untuk deteksi

risiko kardiovaskular dan manajemennya di pelayanan tingkat primer, untuk

perbaikan model pelayanan selanjutnya.

- Suatu metode penilaian teknologi kesehatan dan studi klinis perlu dibuat, untuk

menentukan manfaat kesehatan dan manfaat ekonomis dari penentuan risiko pada

kelompok populasi yang berbeda-beda.

- Hasil penilaian akan menentukan model pelayanan lebih lanjut.

Rekomendasi :

Protokol untuk deteksi dini dan perawatan kardioserebrovaskular terstruktur

bagi pasien diabetes harus dibuat dan disepakati, dalam rangka mengelola

kelompok berisiko tinggi ini.

C. Pencegahan stroke di fasilitas pelayanan kesehatan primer

Untuk mencegah terjadinya komplikasi jantung dan stroke, deteksi dan manajemen

hipertensi serta terapi anti-trombotik bagi pasien fibrilasi atrium sangat penting.

• Hipertensi merupakan faktor risiko penting dari stroke baik akibat infark serebral ataupun

karena perdarahan, sehingga perlu mendapat perhatian khusus.

• Fibrilasi atrial meningkatkan risiko stroke hingga lima kali lipat, penggunaan antikoagulan

dapat mengurangi kejadian stroke. Sayangnya, masih banyak pasien fibrilasi atrial yang

tidak terdeteksi atau tidak mendapat terapi antikoagulan. Selain itu perlu disediakan

peralatan untuk monitor dan menjamin efektifitas antitrombotik sehingga target penurunan

insiden stroke dapat tercapai.

Rekomendasi :

Protokol tatalaksana hipertensi yang efektif di pelayanan primer tersedia.

• Perlu adanya protokol untuk penilaian, manajemen dan evaluasi pasien hipertensi

di pelayanan primer, yang didasarkan atas praktek kedokteran berbasis bukti.

• Kepada dokter umum perlu diajarkan cara penilaian, manajemen dan evaluasi

pasien hipertensi di pelayanan primer.

8

Rekomendasi :

Perlu ditetapkan aturan layanan khusus untuk antikoagulasi, termasuk:

• Penanggung jawab layanan antikoagulan yang terintegrasi - ini harus ditetapkan

dalam jejaring layanan, sehingga dokter dan staf rumah sakit yang ditunjuk menjamin

mutu layanan.

• Layanan antikoagulan yang terstruktur - ini perlu dikembangkan untuk

mendekatkan pelayanan klinik antikoagulan sedekat mungkin ke pasien.

• Program skrining untuk fibrilasi atrial - ini harus dilaksanakan dengan evaluasi

berkala, untuk memastikan bahwa semua populasi berusia > 65 tahun terjangkau.

D. Gagal Jantung

Ada kecenderungan kenaikan prevalensi gagal jantung di Indonesia sejalan dengan

kemajuan pengobatan pasien penyakit jantung dan bertambahnya populasi usia tua. Bila tak

diantisipasi, maka rumah sakit akan dipenuhi oleh pasien-pasien khronis seperti ini.

Untuk mencegah terjadinya kondisi tersebut, diperlukan manajemen gagal jantung dengan

pendekatan terpadu berbasis komunitas. Tim ini terdiri dari perawat di pelayanan primer, bekerja

di bawah pengawasan dokter pada pelayanan primer, yang selalu berkomunikasi dengan dokter

spesialis jantung dan pembuluh darah di tingkat pelayanan sekunder.

Sasaran pelayanan ini adalah menjaga agar pasien dapat ditangani dengan baik di rumah

masing-masing, sehingga tidak perlu dirawat di rumah sakit. Dengan demikian rumah sakit dapat

lebih fokus menangani pasien dengan penyakit jantung akut.

Rekomendasi :

Perlu dikembangkan program peningkatan kapasitas dokter dan perawat di

pelayanan primer agar mampu mendeteksi gagal jantung tahap awal dan

memberikan perawatan proaktif, termasuk :

• Penetapan model perawatan bersama tim pelayanan primer (dokter dan perawat) dan

protokol tatalaksana, untuk mendukung peran dokter umum dan perawat di fasilitas

pelayanan kesehatan primer.

• Pelatihan tim pelayanan primer (dokter dan perawat) sesuai pedoman nasional

tatalaksana gagal jantung di pelayanan primer dan sekunder.

• Pengembangan perawat spesialis gagal jantung - dalam suatu sistem yang

terintegrasi, untuk memaksimalkan kemampuan perawat dalam bekerja sebagai

anggota tim di fasilitas pelayanan kesehatan primer.

• Pengembangan staf lain dalam tim pelayanan primer - untuk mendukung manajemen

pasien gagal jantung yang berbasis masyarakat, misalnya perawat spesialis paliatif.

• Pengaturan akses pelayanan tujuh hari seminggu - bagi pasien gagal jantung yang

mengalami penurunan kondisi.

• Kapasitas informasi teknologi untuk memfasilitasi komunikasi – antara pelayanan

kesehatan primer dan sekunder

• Tele-monitoring untuk menjamin agar pasien dapat menjalankan perawatan sendiri –

dibutuhkan kesepakatan pedoman antara pelayanan kesehatan primer dan sekunder.

9

E. Penyakit Pembuluh Darah Perifer

Pasien dengan penyakit arteri perifer mempunyai risiko tinggi untuk mengalami PKSV

lainnya. Banyak pasien yang tidak merasakan keluhan akibat penyakit ini karena seringkali

dikaitkan dengan proses penuaan atau karena tidak banyak melakukan aktivitas fisik. Masyarakat

perlu diberikan pencerahan tentang penyakit pembuluh darah perifer.

Rekomendasi :

Perlu dibuat protokol tentang penilaian faktor risiko, diagnosis dini dan manajemen pasien

dengan penyakit arteri perifer, serta evaluasi hasilnya di fasilitas pelayanan kesehatan

primer.

10

IV. PELAYANAN KARDIOSEREBROVASKULAR TINGKAT SEKUNDER DAN

TERSIER DI RUMAH SAKIT

Pelayanan kadiovaskular di rumah sakit baik tingkat sekunder maupun tersier, meliputi

pelayanan umum, pelayanan kedaruratan dan akut, perawatan intensif dan bedah untuk penyakit

jantung, stroke dan pembuluh darah perifer; pelayanan pra-rumah sakit terkait layanan

kedaruratan juga termasuk di dalamnya.

Perawatan pasien dilaksanakan sesuai alur klinik (clinical pathway) yang sudah disiapkan.

Fokus alur klinik ini adalah: penyakit jantung, stroke dan penyakit pembuluh darah perifer, mulai

dari pencegahan, deteksi dini, pengobatan berkelanjutan hingga rehabilitasi dan perawatan

paliatif.

Dengan manajemen yang baik di rumah sakit serta keberadaan dokter spesialis jantung dan

pembuluh darah dan dokter spesialis saraf, banyak hal dapat dilakukan untuk meningkatkan

kualitas perawatan klinik pasien, terutama pasien dengan kedaruratan kardioserebrovaskuler.

Penggunaan alur klinik akan lebih meningkatkan mutu dan efektivitas serta efisiensi

pelayanan. Alur klinik juga akan mendorong para spesialis di rumah sakit untuk berupaya

meningkatkan kualitas dokter dan perawat di pelayanan primer.

A. Pelayanan Jantung

1. Alur Klinik Perawatan Akut Jantung

Survival pasien infark miokard akan meningkat dengan reperfusi yang cepat. Reperfusi

dengan intervensi perkutan primer (PCI) memiliki keunggulan dibanding terapi trombolitik/

fibrinolitik, tetapi harus dilakukan sesuai standar dan didukung oleh fasilitas yang memadai.

Pelayanan kedaruratan kardiovaskuler pra - rumah sakit sangat menentukan keberhasilan

terapi infark miokard, karena ada keterbatasan waktu untuk melakukan PCI agar aman dan

efektif.

Rekomendasi :

Pasien infark miokard dengan elevasi ST (STEMI) seyogyanya dilakukan PCI

primer sebagai terapi pilihan, jika waktu dari kontak medis pertama hingga ke

rumah sakit yang mampu melakukan PCI dapat dicapai < 120 menit.

• Pengobatan yang optimal dalam perjalanan ini membutuhkan sistem pelayanan

kegawat-darurat medis, dan koordinasi jejaring pelayanan yang baik dengan rumah

sakit yang memiliki fasilitas PCI.

• Aspek cakupan geografis menjadi salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan,

disamping ketersediaan protokol diagnosis dan triase pra-rumah sakit, serta

transportasi yang cepat dalam ambulans yang dilengkapi peralatan monitoring jantung,

obat-obatan dan sarana untuk menangani kegawatan kardiovaskuler di perjalanan.

11

Rekomendasi :

Jika PCI tak dapat diberikan dalam waktu < 120 menit setelah kontak pertama

dengan pasien, maka pasien harus dinilai sesegera mungkin untuk pemberian

trombolisis. Pilihan pengobatan harus mencakup trombolisis pra-rumah sakit

dan di rumah sakit, tergantung pada presentasi pasien.

Protokol untuk trombolisis emergensi harus mencakup trombolisis pra-rumah sakit dan

trombolisis di rumah sakit. Pengembangan pelayanan ditujukan untuk memberikan

pelayanan secepat mungkin terhadap sebanyak mungkin pasien. Kewenangan

melakukan trombolisis pra-rumah sakit diberikan kepada dokter umum atau paramedik

yang terlatih, berdasarkan protokol yang baku.

Rekomendasi :

Layanan Percutaneous Coronary Angioplasty (PCI) primer harus dapat diberikan

24 jam – 7 hari di semua rumah sakit yang telah mampu melakukan PCI.

Keterbatasan fasilitas di Indonesia mewajibkan semua rumah sakit yang mempunyai

kemampuan melakukan PCI untuk melaksanakan PCI primer atas biaya negara

Rekomendasi :

Pasien dengan sindroma koroner akut selain STEMI, harus dibawa ke instalasi

gawat darurat (IGD), diprioritaskan IGD yang mempunyai dokter spesialis

jantung dan pembuluh darah, untuk dilakukan triase dan diterapi agar stabil.

Kemudian pasien dipindah ke instalasi perawatan intensif koroner (ICCU/CVCU)

terdekat, untuk selanjutnya ditransfer dalam waktu 24 jam ke pelayanan jantung

terpadu/rumah sakit tersier terdekat yang mampu melakukan PCI.

Sebagian besar pasien memerlukan angiografi diagnostik dan PCI. Jadi, pasien harus

dipindahkan ke rumah sakit rujukan yang memiliki fasilitas pelayanan koroner invasif

dengan ambulans yang dilengkapi monitor dan obat serta sarana untuk menangani

kegawatan kardiovaskular. Protokol diagnostik dan perawatan yang sama juga berlaku

untuk pasien-pasien yang datang sendiri ke rumah sakit.

Rekomendasi :

Rumah sakit rujukan kardiovaskular tingkat tersier (Pelayanan Jantung Terpadu)

selain menyediakan diagnostik non invasif echocardiography dan pencitraan

kardiovaskular, hendaknya juga menyediakan laboratorium kateterisasi dan

angiografi yang siap melakukan PCI primer setiap saat.

Minimal satu PJT mempunyai satu alat angiografi (idealnya dua) dan SDM yang cukup.

Proses pemindahan pasien harus dijamin keamanannya dengan menyediakan

monitoring dan obat serta sarana untuk pertolongan kegawatan kardiovaskular.

12

2. Perawatan Intensif Jantung.

Unit Perawatan Intensif jantung / Intensive Coronary Care Unit (ICCU) berhubungan erat

dengan Instalasi Gawat Darurat. Untuk rumah sakit dengan layanan kardiovaskular tingkat

tersier, ICCU harus terpisah dari ICU umum dan dipimpin oleh dokter spesialis jantung dan

pembuluh darah (SpJP). Sedangkan untuk rumah sakit dengan layanan kardiovaskular tingkat

sekunder, dapat digabung dengan ICU; namun SpJP tetap bertindak sebagai dokter penanggung

jawab pasien (DPJP).

Harus dibuat protokol rencana perawatan pasien, termasuk edukasi pasien masalah

kesehatan kardiovaskular yang dirumuskan dan disiapkan sebelum pasien pulang. Ini merupakan

tahap I dari program rehabilitasi terpadu.

Rekomendasi

Unit Perawatan Koroner harus disesuaikan dengan kebutuhan klinis pasien saat

ini. Untuk pasien sindroma koroner akut diperlukan Unit Perawatan Intensif

Jantung (ICCU).

Perlu dibuat tinjauan untuk memenuhi kebutuhan perawatan pasien akut yang intensif.

Rekomendasi

Protokol perlu dikembangkan untuk menjamin rencana perawatan di ICCU yang

individualistis (sesuai kebutuhan pasien), dilengkapi program edukasi pasien

dalam kerangka tahapan rehabilitasi.

Dipahami bahwa prosedur PCI dan peningkatan efisiensi perawatan melalui alur klinis

(clinical pathway) akan membuat masa perawatan pasien menjadi lebih singkat dan

penanganan yang terstandarisasi. Edukasi pasien dan rehabilitasi awal perlu disiapkan.

3. Perawatan Darurat untuk nyeri dada.

Pada kondisi akut, tujuan utamanya adalah triase segera agar pasien berisiko tinggi cepat

diidentifikasi dan mendapat pengobatan sesuai protokol.

Pada kondisi sub-akut, kebutuhan pasien atas rujukan dokternya adalah untuk memastikan

kemungkinan penyakit jantung iskemik. Diperlukan pendapat spesialis jantung dan pembuluh

darah untuk menentukan pemeriksaan diagnostik yang diperlukan.

Rekomendasi :

Harus tersedia protokol untuk menilai pasien dengan nyeri dada risiko rendah

untuk memaksimalkan deteksi bagi pasien yang datang dengan iskemi akut, dan

meminimalkan perawatan yang tidak perlu.

Perawatan ambulatoir ini harus diformulasikan untuk memberikan penilaian spesialistis

bagi pasien yang dirujuk dengan sindroma koroner akut atau dugaan kearah itu, idealnya

keesokan hari atau < 72 jam penilaian selesai. Perawatan ini juga digunakan untuk

mengevaluasi terjadinya perubahan cepat dari kondisi pasien.

13

4. Gagal Jantung

Kebijakan klinis ditujukan untuk memindahkan pasien dari perawatan di rumah sakit menuju

perawatan spesialistis yang ambulatoir, dengan memberikan dukungan terhadap pelayanan

proaktif dari dokter umum dan tim pelayanan primer.

Rekomendasi

Semua rumah sakit yang menangani pasien gagal jantung hendaknya

menyiapkan sistim perawatan di dalam dan di luar rumah sakit, sehingga

pelayanan spesialistis gagal jantung dapat dilakukan secara ambulatoir

dengan memberi dukungan kepada dokter umum dan tim pelayanan primer

untuk merawat pasien-pasien tersebut.

Perlu dibuat jejaring layanan kardiovaskuler yang tangguh dengan memberi peran

lebih besar kepada layanan primer

Perlu dilatih dokter dan tim di layanan primer agar mampu memberi pelayanan

ambulatoir kepada pasien gagal jantung kronik

Perlu disusun protokol model rawat bersama pasien gagal jantung kronik, dengan

mengacu pada pedoman nasional dan internasional

Perlu disediakan sarana informasi teknologi sebagai sarana penghubung antara

rumah sakit dengan dokter umum/tim pelayanan primer, agar model perawatan

bersama secara ambulatoir ini dapat berjalan baik.

5. Organisasi Pelayanan Jantung dalam Sistem Jejaring

Agar efektif dan efisien, pelayanan kardiovaskular dalam sistem jejaring dilaksanakan secara

berjenjang. Pelayanan kardiovaskular tingkat tersier di pelayanan jantung terpadu (PJT) yang

subspesialistis berkolaborasi dengan pelayanan kardiovaskular tingkat sekunder. Sedangkan

pelayanan kardiovaskular tingkat sekunder selain berkolaborasi dengan pelayanan

kardiovaskular tingkat tersier, juga harus mempunyai jejaring yang kuat dengan pelayanan primer

berbasis masyarakat. Dengan demikian pelayanan yang berkualitas dapat terjangkau oleh

masyarakat secara luas. Kolaborasi ini hendaknya dibuat secara formal dan terstruktur.

Rekomendasi

Pelayanan jantung spesialistis hendaknya diorganisasikan ke dalam jejaring

pelayanan berbasis masyarakat, melalui kerjasama formal rumah sakit – rumah

sakit dengan pelayanan primer.

- Perencanaan yang matang perlu dibuat. Untuk itu perlu diidentifikasi rumah sakit mana

yang dapat memberikan pelayanan jantung secara umum dan mana yang

komprehensif / subspesialistik, sehingga dapat disusun sistim jejaring yang efisien dan

efektif.

- Peralatan dan SDM perlu dilengkapi sesuai kebutuhan, agar peran masing-masing

dapat dijalankan dengan baik.

14

6. Bedah Jantung dan Transplantasi jantung

Kemajuan praktek kedokteran dan profil demografi pasien, berdampak besar terhadap

pelayanan bedah jantung. Pasien yang datang sekarang lebih kompleks, sehingga meskipun ada

cukup dokter bedah jantung tetapi perawatan intensif pasca bedah seringkali tidak mencukupi

kebutuhan. Transplantasi jantung meskipun dimungkinkan tetapi di Indonesia belum

berkembang, donor sering menjadi kendala. Namun kemungkinan ke arah itu perlu terus

diupayakan, guna menolong pasien-pasien dengan fungsi ventrikel yang sudah sangat jelek

padahal usianya masih muda.

Rekomendasi

• Unit bedah jantung harus mempunyai unit layanan intensif pasca bedah yang

cukup jumlah tempat tidur dan peralatannya (idealnya merupakan satu ruang

dengan satu tempat tidur yang terpisah satu sama lain).

• Semua dokter anestesi dan intensivist harus terlatih khusus untuk pelayanan

jantung

- Semua dokter anestesi jantung hendaknya melakukan aktifitas rutin minimal satu

kasus bedah jantung dalam seminggu.

- Di setiap unit bedah jantung harus ada satu dokter anestesi yang on-call 24 jam

• Bila sudah mampu melakukan transplantasi jantung, maka harus dibangun

kemudahan akses untuk mendapatkan donor.

7. Penyakit Jantung Bawaan

Angka kejadian penyakit jantung bawaan (PJB) merata di seluruh dunia, berkisar 8 – 10 per

1000 bayi lahir hidup. Dengan demikian, ada sekitar 40.000 bayi lahir dengan PJB setiap tahun di

Indonesia. Banyak diantaranya yang meninggal, sebelum sempat didiagnosis.

Hanya sedikit PJT yang mampu melakukan intervensi non bedah atau bedah untuk PJB. Di

sisi lain semakin banyak yang datang memerlukan operasi, sejalan dengan meningkatnya

kemampuan dokter dalam mendeteksi pasien-pasien ini. Kondisi tersebut membuat daftar tunggu

yang panjang di Pusat Jantung Nasional dan beberapa PJT. Kasusnya pun semakin kompleks

dan semakin muda usianya (bayi/neonatus), sehingga perawatan pasca bedah di ICU

memerlukan waktu lebih lama, padahal jumlah tempat tidur sangat terbatas.

Rekomendasi

Perlu dibuat analisis kebutuhan layanan penyakit jantung bawaan untuk semua usia,

diikuti rencana pengembangannya, agar dapat memenuhi kebutuhan nasional.

15

B. Pelayanan Stroke

1. Alur perawatan stroke akut

Seperti halnya di banyak negara, pelayanan stroke yang komprehensif dan modern di

Indonesia jauh lebih lambat perkembangannya daripada pelayanan jantung; mungkin ini pula

yang menyebabkan tingginya angka kematian akibat stroke.

2. Unit Stroke

Unit stroke adalah unit yang memberikan perawatan stroke tepat waktu dan komprehensif di

suatu rumah sakit. Diharapkan setiap rumah sakit kelas A dan B (tingkat tersier) di Indonesia

memiliki unit strok e.

Rekomendasi :

Semua rumah sakit kelas A dan B (tersier) harus memiliki unit stroke dengan

fasilitas seperti yang disyaratkan dalam pedoman nasional unit stroke.

Setiap unit stroke harus memiliki kapasitas yang memadai untuk menangani pasien

langsung dari IGD dan memberikan akses penanganan yang cepat, menerima rujukan

dari rumah sakit lain dalam wilayah jejaringnya, serta perawatan semua jenis stroke

atau serangan iskemik transien. Pengadaan unit stroke hendaknya menjadi program

utama dalam pengembangan rumah sakit.

Rekomendasi :

Unit stroke harus memiliki staf yang memadai dan mempunyai kemampuan

sesuai kebutuhan.

Ini termasuk penetapan konsulen dokter saraf yang ditunjuk mengkoordinir kegiatan

penangan stroke dalam suatu jejaring stroke. Selain itu, unit stroke juga harus memiliki

tim multidisiplin yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pasien dengan stroke yang

kompleks dan memiliki tingkat ketergantungan tinggi. Tim tersebut harus mencakup

fisioterapist, terapi okupasi, terapi wicara, serta pekerja sosial, ahli gizi, psikolog klinik

dan perawat spesialis.

3. Perawatan Gawat Darurat Termasuk Fibrinolisis/Trombolisis

Fibrinolisis pada stroke akibat penyumbatan, bermanfaat besar dalam upaya mengurangi

mortalitas dan morbiditas. Agar dapat melakukan penilaian cepat dan terapi fibrinolisis dalam

waktu <180 menit, dibutuhkan akses pencitraan otak dan seorang dokter konsultan saraf yang

siap melayani 24 jam – 7 hari.

16

Rekomendasi :

Pengobatan darurat stroke oleh dokter konsultan saraf harus tersedia 24 jam -

7 hari pada setiap jejaring pelayanan stroke, sehingga semua pasien stroke

dapat ditangani dengan cepat dan tepat.

Bilamana tidak cukup aman untuk merujuk pasien dalam jangka waktu yang ideal

untuk evaluasi cepat dan pengobatan trombolisis/fibrinolisis, maka tele-medicine dan

komunikasi dengan dokter konsultan syaraf on-call harus tersedia dalam jejaring

pelayanan stroke.

Rekomendasi :

Setiap anggota jejaring stroke harus bersedia melaksanakan model layanan

yang dapat memberikan terapi trombolitik 24 jam – 7 hari.

Protokol dan alur perawatan pasien yang jelas harus tersedia, dilaksanakan serta

dievaluasi secara regular.

4. Rehabilitasi bagi pasien stroke yang dirawat di rumah sakit

Rehabilitasi stroke dimulai segera setelah pasien dirawat dan harus terlaksana di unit stroke

sebagai bagian aktifitas unit. Hal ini memungkinkan tim multidisiplin untuk memberikan

perawatan yang efisien bagi pasien dalam berbagai spektrum – mulai dari penilaian darurat

hingga saat akan keluar dari rumah sakit.

Rekomendasi :

Pedoman dan protokol perawatan berbasis bukti harus dikembangkan dan diadopsi

untuk pengelolaan pasien stroke akut dan rehabilitasinya.

5. Pulang dari rumah sakit

Untuk pasien stroke, waktu kepulangan dari rumah sakit dan kebutuhan perawatan lanjutan

terkait erat dengan pemulihan fungsional dari cacat yang tersisa dan kemandirian, atau potensi

untuk mencapai kemandirian dalam kegiatan hidup sehari-hari.

Rekomendasi :

Pasien stroke harus dinilai semua kebutuhannya sebelum mulai dirawat,

dengan tujuan untuk diberi dukungan saat pulang ke tempat tinggalnya.

Perawatan jangka panjang hanya dipertimbangkan atas kebutuhan medis atau

sosial, bukan atas dasar keterbatas fasilitas dan pelayanan komunitas.

17

6. Serangan Iskemik Transien (Transient Ischemic Attack / TIA)

Serangan iskemik transien merupakan peringatan penting dari stroke, dan memberikan

kesempatan untuk tindakan intervensi mencegah terjadinya stroke. Penilaian dan pengobatan

cepat oleh dokter spesialis saaraf sebagai - koordinator tim, dapat mencegah terjadinya stroke.

Rekomendasi :

Pasien TIA harus segera dirujuk ke dokter saraf yang dapat memberikan

pelayanan diagnosis dan tatalaksana secara tepat. Tatalaksana ini termasuk

nasihat pencegahan sekunder, manajemen farmakologis, dan akses operasi

vaskular bilamana dibutuhkan dalam waktu 2 minggu.

Perlu dibuat alur yang jelas untuk merujuk dan penggunaan stratifikasi risiko, untuk

mengidentifikasi pasien berisiko tinggi.

7. Stenosis arteri karotis dan endarterektomi

Penelitian – penelitian membuktikan keunggulan operasi dibandingkan dengan terapi medis

pada stenosis arteri karotis sedang sampai berat yang simptomatis, dalam upaya mencegah

kejadian serebrovaskular berulang (TIA dan stroke). Penyakit arteri karotis yang asimtomatik juga

merupakan faktor risiko untuk stroke. Seleksi pasien berisiko tinggi akan memastikan manfaat

paling banyak dari intervensi bedah.

Rekomendasi

Manajemen klinis penyakit arteri karotis harus menyertakan hal-hal berikut :

• Semua pasien yang baru mengalami TIA atau stroke tanpa cacat, harus segera

dilakukan pemeriksaan arteri karotis ipsilateral dengan Doppler ultrasound atau

CTA/MRA. Endarterektomi (CEA) harus ditawarkan untuk semua pasien dengan

gejala stenosis karotis sedang sampai berat (70% - 99%), kecuali bila terdapat

indikasi-kontra atau berisiko tinggi untuk tindakan CEA dan diupayakan untuk

dilakukan dalam waktu 2 minggu sejak gejala timbul.

• Pasien stenosis karotis derajat sedang sampai berat tetapi asimptomatis, harus

dipertimbangkan untuk endarterektomi berdasarkan kasus per kasus dan dinilai semua

risikonya, termasuk pemantauan dengan TCD/pengukuran ketebalan intima medial.

• Tindakan pemasangan stent karotis (CAS) dianjurkan bila terdapat indikasi-kontra dan

berisiko tinggi untuk tindakan CEA.

Rekomendasi

Organisasi dan penanganan jejaring stroke melibatkan hal berikut:

• Buat alur klinik (clinical pathway) bersama unit bedah vaskular yang berpengalaman

dalam melakukan endarterektomi karotis.

• Akses ke dokter ahli pencitraan karotis dan bedah vaskular.

• Ada forum untuk membuat keputusan intervensi bedah atau non bedah oleh

multidisiplin bidang neurovaskular yang melibatkan: spesialis syaraf, geriatrik, teknisi

vaskular, neuro-radiologi , spesialis bedah vaskular dan spesialis kardiovaskular

• Audit regular terhadap intervensi karotis perlu dilakukan, untuk menjamin standar

pelayanan yang tinggi; melalui registri bedah karotis nasional.

18

8. Organisasi pelayanan stroke dalam jejaring

Jejaring stroke terdiri dari serangkaian layanan stroke oleh rumah sakit dengan pelayanan

stroke umum (di rumah sakit tingkat sekunder) dan pelayanan stroke komprehensif (di rumah

sakit tingkat tersier). Rumah sakit dengan layanan stroke komprehensif seyogyanya memiliki unit

stroke khusus, pelayanan yang diberikan mencakup: layanan akut yang cepat (pada hari yang

sama) untuk kasus TIA, fibrinolisis, diagnostik canggih, intervensi non bedah dan bedah vaskular

atau bedah saraf, dilengkapi fasilitas rehabilitasi dan upaya prevensi sekunder.

Rujukan dibuat berjenjang mulai dari layanan tingkat primer, sekunder dan tersier, agar

efektif dan efisien. Jejaring stroke mungkin memerlukan dukungan tele-medicine, terutama untuk

rumah sakit yang melayani daerah terpencil atau pelayanan rehabilitasi yang jauh dari layanan

kesehatan.

Rekomendasi

Layanan stroke oleh spesialis saraf harus masuk dalam jejaring layanan stroke

yang berbasis masyarakat. Beberapa rumah sakit jejaring ditetapkan sebagai

Layanan Stroke Umum dan Layanan Stroke Komprehensif.

Perencanaan yang lengkap perlu disiapkan, dengan mengidentifikasi layanan stroke

umum dan layanan stroke komprehensif, dan memungkinkan perencanaan sistim

pelayanan – persiapan tenaga kerja sarana dan prasarana untuk layanan

kedaruratan, layanan lanjutan dan rehabilitasi.

19

V. LAYANAN KARDIOSEREBROVASKULAR AKUT PRA-RUMAH SAKIT

1. Layanan Tanggap Darurat Kardioserebrovaskuler

Pentingnya transfer pasien-pasien dengan sindroma koroner akut dan stroke ke layanan

spesialis dan inisiasi pengobatan yang cepat dan tepat (trombolisis atau PCI primer) telah lama

difahami. Tetapi ketersediaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana belum memadai.

Terlebih-lebih faktor demografi Indonesia yang membuat layanan tanggap darurat untuk

kegawatan jantung dan stroke masih belum sesuai yang diharapkan. Di kota-kota besar

khususnya kota metropolitan Jakarta, kemacetan lalu lintas ikut berkontribusi terhadap buruknya

layanan tanggap darurat.

2. Kesadaran Masyarakat dan Respon

Masyarakat merupakan aset yang belum begitu diperhitungkan perannya dalam pelayanan

kardioserebrovaskuler akut di banyak negara berkembang. Masyarakat perlu diajar tanda-tanda

dini kegawatan jantung dan stroke, pertolongan pertama pasien serangan jantung dan stroke,

serta bantuan hidup dasar, termasuk cara penggunaan defibrillator eksternal otomatis (AED).

Rekomendasi

Kebijakan ini mendukung pengembangan layanan darurat medis untuk

merespon dan memberikan layanan yang tepat waktu bagi kegawatan

kardioserebrovaskular terutama sindroma koroner akut dan stroke.

Strategi berikut dianggap mempunyai prioritas tertinggi dalam penyusunan struktur

jejaring kegawatan kardioserebrovaskular yang baru, yaitu :

• Strategi memperbanyak jumlah paramedis yang terlatih untuk kegawatan

kardiovaskular dan stroke serta mengatur penyebarannya, sehingga triase dan

pemberian trombolitik pra-rumah sakit dapat dilaksanakan.

• Melengkapi sarana monitor hemodinamik non invasif termasuk pemantauan

elektrokardiografis dalam rangka memandu layanan medis darurat untuk

pengumpulan dan analisis data pasien pada layanan pra-rumah sakit.

• Melengkapi sarana pertolongan kedaruratan jantung dan paru dengan menyediakan

masker oksigen, ambu-bag, dan defibrillator, juga obat-obatan standar sesuai protokol

termasuk fibrinolitik.

• Menyediakan sarana komunikasi yang memadai seperti radio-komunikasi, sehingga

kondisi pasien dapat dipantau oleh pusat pelayanan yang komprehensif.

• Menyediakan protokol penanganan kasus kegawatan kardiovaskular dan stroke yang

berlaku nasional

Rekomendasi

Meningkatkan proporsi masyarakat yang memahami keluhan dan gejala utama

kejadian kardioserebrovaskular akut (misalnya : seranan jantung, TIA dan

stroke), mengetahui pentingnya segera menghubungi layanan ambulans, dan

trampil melakukan bantuan hidup dasar.

• Kampanye/edukasi masyarakat untuk meningkatkan pemahaman akan keluhan dan

gejala kejadian kardiovaskular akut, kebutuhan untuk mengambil tindakan segera

dan tepat, serta terampil melakukan bantuan hidup dasar.

• Kampanye seperti ini diprioritaskan pada petugas keamanan (Polisi, Satpam, petugas

keamanan pantai/kolam renang), petugas kebakaran dan siswa sekolah menengah.

20

VI. REHABILITASI JANTUNG DAN STROKE, PERAWATAN LANJUTAN.

Pelayanan rehabilitasi jantung dan stroke dilaksanakan di rumah sakit dan di komunitas.

Tujuan rehabilitasi adalah mengembalikan pasien dan keluarganya ke kondisi kehidupan

seoptimal mungkin yang bisa dicapai, dengan sedapat mungkin mengatasi defisit yang dialami

pasien. Ini dapat dicapai dengan menyiapkan pasien untuk bisa memberikan perawatan diri

sendiri, dan menghambat serta mencegah kejadian kardioserebrovaskuler lebih lanjut.

1. Rehabilitasi jantung

Manfaat rehabilitasi jantung pasca kejadian kardiak telah banyak dibuktikan para peneliti.

Rekomendasi

Pastikan tersedia cukup staf dan sarana untuk rehabilitasi jantung di semua

rumah sakit umum.

Semua pasien dengan kejadian kardiovaskuler (sindroma koroner akut atau intervensi

koroner, gagal jantung dan penyakit vaskuler perifer) harus diberikan pelayanan

rehabilitasi kardiovaskuler.

Hendaknya disediakan sarana yang memadai dan staf multidisiplin yang bekerja

secara tim untuk melaksanakan rehabilitasi.

Rekomendasi

Rehabilitasi jantung hendaknya merupakan bagian integral dari pelayanan

jantung di rumah sakit pemerintah dan swasta.

- Layanan rehabilitasi kardiovaskuler tidak selalu ada di rumah sakit swasta/pemerintah

- Hendaknya ini menjadi persyaratan di rumah sakit, karena manfaatnya sudah terbukti.

Kebutuhan rehabilitasi jantung terus meningkat selain untuk pasca rawat sindroma koroner

akut, PCI, Bedah Jantung, juga pasca rawat gagal jantung; sementara fasilitas yang tersedia

terbatas, sehingga kebutuhan pasien sering tak terpenuhi.

Rekomendasi :

Pasien jantung harus mempunyai akses untuk mendapatkan pelayanan

rehabilitasi jantung pada saat yang tepat.

- Rehabilitasi aktif dini berjalan bersama pengobatan pasien sesuai standar.

- Tantangan rehabilitasi dini adalah memberikan nasihat rehabilitasi yang cukup dan

tepat (rehabilitasi jantung fase II), serta dukungan segera saat akan pulang.

- Tantangan selanjutnya adalah dimulainya rehabilitasi jantung fase III sesegera

mungkin – kira-kira sebulan setelah keluar rumah sakit.

- Semua pasien jantung harus pulang dengan rencana aktifitas rehabilitasi yang formal.

Pola hidup masyarakat dan manajemen faktor risiko harus terkoordinasi dengan baik.

Dukungan terus menerus yang dibutuhkan oleh pasien setelah perawatan rumah sakit, serupa

dengan kebutuhan pasien yang dinyatakan berisiko kardiovaskuler tinggi di layanan primer.

Perlu dilakukan evaluasi melalui audit untuk mendapatkan data apakah layanan rehabilitasi

sudah terpenuhi dan manfaat berbagai model rehabilitasi termasuk prevensi sekunder.

21

Rekomendasi :

Hendaknya diterapkan sistem rehabilitasi yang dirancang sesuai kebutuhan

pasien, untuk menjamin keterjangkauan oleh kelompok dengan kondisi yang

lebih berat dan tidak sesuai untuk progam rehabilitasi biasa.

Usia, gender, pendidikan, penghasilan, jarak dari layanan spesialis dan transportasi

yang tersedia berpengaruh terhadap jangkauan program rehabilitasi jantung. Layanan

rehabilitasi harus dapat memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, vokasional dan sosial

berbagai kelompok pasien.

Rekomendasi :

Model layanan dan pilihan pasien : harus disusun kriteria penerapan berbagai

jenis model penyampaian program, berdasarkan cara yang disepakati, untuk

mencapai target kardiovaskular.

Terdapat beberapa jenis program dengan variasi durasi dan penekanan program. Ini

terus menjadi area perdebatan dan inovasi. Dari perspektif layanan, semua model

penyampaian program harus dapat diaudit pencapaiannya dibandingkan target jangka

pendek yang disepakati (akhir program) dan target jangka panjang (satu tahun).

Rekomendasi :

Pastikan bahwa layanan rehabilitasi jantung efektif dan efisien, melalui evaluasi

yang teratur, dengan sistem dan pengeloaan yang sesuai.

Layanan rehabilitasi kardiovaskular harus tersedia bagi pasien yang sesuai (misalnya

pasien sindroma koroner akut, pasca intervensi koroner, pasien gagal jantung dan

penyakit arteri perifer). Semua program harus memiliki fasilitas yang memadai dan

dilaksanakan oleh tim multidisplin sesuai standar nasional.

2. Rehabilitasi Stroke

Rehabilitasi multidisiplin yang meliputi berbagai spesialis, terutama saraf, geriatri, dan

rehabilitasi medis, gizi medis, perawat, fisioterapis, terapi okupasi, terapi wicara, neuro-psikologi,

dan pekerjaan sosial di rumah sakit, dengan dukungan dokter umum beserta timnya di layanan

primer, besar manfaatnya bagi pasien stroke. Unit stroke merupakan awal layanan rehabilitasi

stroke yang terorganisasi.

Rekomendasi:

Penilaian multidisiplin tentang kebutuhan rehabilitasi menggunakan prosedur formal atau

protokol, harus diselesaikan dalam waktu 5 hari kerja sejak pasien dirawat; selanjutnya

layanan yang sesuai diberikan.

22

Pemulangan pasien stroke yang cepat dan aman, memerlukan dukungan layanan tim

rehabilitasi stroke multidisiplin di komunitas.

Rekomendasi:

Untuk pasien stroke yang layak dipulangkan dini, harus disiapkan fasilitas dan sistim yang

memungkinkan rehabilitasi dini oleh tim multidisiplin di komunitas, setelah dilakukan

penilaian yang seksama.

Di Indonesia pasien stroke yang tidak terlalu berat dan cepat keluar rumah sakit sering tidak

mendapat layanan rehabilitasi, karena minimnya fasilitas rehabilitasi di komunitas. Sementara

pasien stroke dengan cacat berat banyak yang mengalami keterlambatan mengakses program

layanan rawat inap dan rawat jalan.

Rekomendasi :

Kemitraan dengan pekerja sosial harus dikembangkan guna memperluas dukungan

layanan rehabilitasi stroke dan penyediaan jasa (transportasi dan lain-lain) sesuai

kebutuhan pasien.

Semua pasien tanpa memandang usia dan lokasi tempat tinggal, harus mendapatkan

layanan rehabilitasi yang memadai sesuai protokol.

Rekomendasi :

Layanan rehabilitasi stroke harus berorientasi pada pasien, termasuk penilaian kebutuhan

individu dan perkembangannya. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh seorang yang dapat

memastikan bahwa rehabilitasi seperti yang disyaratkan berlangsung secara berkelanjutan.

Perlu ada suatu kontinuitas perawatan dari rumah sakit ke komunitas.

Keberhasilan integrasi layanan rehabilitasi jantung dan stroke (rehabilitasi kardiovaskular)

rumah sakit dan komunitas akan berhasil bila tersedia personil, sistim dan fasilitas yang

mendukung. Perlu ditunjuk seseorang yang bertanggung jawab untuk merealisasikan layanan

klinis yang terintegrasi ini.

Rekomendasi :

Ada kebutuhan untuk membentuk layanan guna mencapai tujuan-tujuan umum rehabilitasi

secara efektif bagi semua pasien kardiovaskular.

Ada kebutuhan untuk memberikan pelatihan terstruktur dan kepemimpinan bagi profesional

yang terlibat dalam rehabilitasi kardiovaskular.

Tim pelayanan primer dan layanan rehabilitasi jantung dan strok perlu dikembangkan untuk

memberikan pelayanan secara terpadu antara rumah sakit dan komunitas.

23

Dukungan untuk pasien strok dan keluarganya dimulai sejak fase akut, untuk memperoleh

informasi yang jelas tentang kondisi pasien. Selanjutnya dukungan psikososial diberikan pada

setiap fase secara terus menerus selama perawatan.

Rekomendasi :

Informasi dan pendidikan harus disediakan untuk pasien, keluarga dan pengasuhnya.

Informasi harus diberikan tepat waktu, terkini, mudah diakses dan responsif terhadap

kebutuhan pasien dan keluarganya.

Akses harus disediakan bagi pasien kardiovaskular dan keluarganya secara komprehensif,

untuk mendukung kebutuhan psikososial termasuk manajemen depresi.

Keluarga dan pengasuh pasien harus diberi informasi, dukungan, pelatihan, fasilitas,

termasuk perawatan yang memadai, agar mereka dapat berkontribusi aktif dalam merawat

pasien, serta mengoptimalkan kualitas hidup dan mendukung hidup mandiri pasien.

Rekomendasi :

Setiap jejaring jantung dan strok harus mempunyai akses ke layanan spesialis

paliatif yang komprehensif, dan memasukkan perawatan akhir-hidup ke dalam

praktek perawatan rutin.

Beberapa pasien kardiovaskuler membutuhkan perawatan paliatif. Perawatan paliatif

harus dimasukkan ke dalam alur perawatan dan protokol untuk semua pasien dengan

stadium akhir penyakit kardiovaskular. Banyak pasien dengan gagal jantung yang tidak

membaik dengan terapi maksimal dan hidup dalam risiko kematian (fase perawatan

paliatif), pasien dan keluarganya sangat membutuhkan dukungan. Tatakelola perawatan

dan pelayanan paliatif perlu disiapkan.

24

VII. PERENCANAAN PELAYANAN KARDIOSEREBROVASKULAR

Kebijakan nasional kesehatan kardioserebrovaskular ini memberi acuan tentang layanan

yang seyogyanya diberikan. Diperlukan peningkatan kapasitas untuk memenuhi komitmen untuk

memberikan perawatan terbaik kepada pasien kardioserebrovaskular. Perencanaan sumber daya

manusia (SDM) untuk mencapai kapasitas yang diharapkan memerlukan beberapa langkah,

termasuk dokumentasi lengkap yang selalu diperbarui tentang kemampuan SDM kesehatan

kardioserebrovaskular dan kebutuhan staf sesuai bidang dan lokasi layanan masing-masing.

Juga diperlukan dukungan pengembangan profesionalisme mereka melalui pendidikan

berkelanjutan.

Rekomendasi :

Perencanaan SDM untuk layanan kardioserebrovaskular perlu diintegrasikan

secara efektif dengan perencanaan pelayanan, pendidikan/ pelatihan dan riset.

Pelatihan dan pengembangan SDM merupakan proses kontinu, meliputi pendidikan

berkelanjutan, pengembangan pribadi dan pengembangan manajemen. Audit tahunan

layanan kardioserebrovaskular harus mencakup informasi tentang kebutuhan SDM,

sejalan dengan kebijakan pelayanan kesehatan kardioserebrovaskuler nasional yang

terpadu.

1. Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah di Rumah Sakit

Pada tahun 2011 ada sekitar 500 dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (SpJP) yang

aktif bekerja memberikan pelayanan kardiovaskuler di berbagai rumah sakit di Indonesia yang

berpenduduk sekitar 240 juta. Jumlah tersebut memberikan rasio 1 SpJP untuk setiap 480.000

penduduk. Namun karena sebagian besar SpJP berpraktek di wilayah Jabodetabek, maka

beberapa daerah terutama di luar pulau Jawa mempunyai rasio 1 SpJP untuk setiap 2 – 4 juta

penduduk. Kondisi ini tentu jauh dari memadai, sehingga diperlukan upaya penambahan SpJP

secepatnya disamping pengadaan fasilitas untuk pelayanan kardiovaskular yang memadai di

tingkat kabupaten (EKG, alat uji latih treadmil, ekokardiografi, monitor EKG, defibrillator dan

ruang ICCU), serta upaya insentif untuk mempercepat pemerataan distribusi dokter SpJP. Perlu

dipertimbangkan pula upaya pelayanan dokter SpJP terbang yang melayani beberapa

propinsi/daerah terpencil. Dengan dibukanya 10 pusat pendidikan SpJP yang baru, sehingga

total menjadi 12 pusat, maka diharapkan pada tahun 2020 akan ada 1000 SpJP. Dalam kondisi

seperti itu, maka satu SpJP melayani 250.000 penduduk. Rasio ini sebenarnya juga masih belum

ideal, kalau dibandingkan dengan negara-negara maju.

2. Dokter Spesialis Saraf di Rumah Sakit

Pada tahun 2011 ada sekitar 1200 dokter spesialis Saraf (SpS) di Indonesia yang aktif

memberikan pelayanan serebrovaskular di berbagai rumah sakit. Jumlah tersebut memberikan

rasio 1 SpS untuk setiap 200.000 penduduk. Rasio ini sebenarnya juga masih jauh dari yang

diharapkan. Distribusi yang tidak merata juga menjadi masalah, sehingga diperlukan upaya

penambahan dan pendistribusian yang berimbang secepatnya. Idealnya dalam satu jejaring yang

berpenduduk 500.000 tersedia 5 dokter spesialis syaraf. Bila ada fasilitas intervensi dan

25

konsultasi tersier (pelayanan syaraf komprehensif), maka diperlukan tambahan 2 atau 3 orang

lagi, disamping tenaga ahli pendukung lainnya.

Pasien stroke biasanya disertai penyakit komorbiditas atau penyulit, sehingga SpS perlu

berkolaborasi dengan spesialis lain (bedah saraf, geriatrik, diabetes, ginjal, paru, rehabilitasi

medik, gizi klinik dll).

Rekomendasi :

Untuk memenuhi kebutuhan nasional, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardio-

vaskuler Indonesia (PERKI) beserta Kolegium Ilmu Jantung dan Pembuluh

Darah dan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI)

beserta Kolegium Neurologi Iindonesia, perlu membuat beberapa terobosan.

Terobosan ini meliputi :

Evaluasi kurikulum dan lama belajar Program Studi Ilmu Jantung dan Pembuluh

Darah serta Program Studi Ilmu Saraf, yang lulusannya sebagian besar akan

bekerja di rumah sakit kelas C (tingkat sekunder). Dengan demikian tuntutannya

adalah produksi Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah serta Dokter

Spesialis Saraf yang menguasai pengetahuan dan ketrampilan klinis.

Melakukan analisis terhadap kemampuan rumah sakit-rumah sakit pemerintah

maupun swasta, untuk menjadi wahana pendidikan Dokter untuk spesialisasi di

bidang Jantung dan Pembuluh Darah serta Saraf.

Meningkatkan program pendidikan subspesialis di berbagai rumah sakit

pendidikan dalam upaya meningkatkan pelayanan subspesialistik (tersier) di

bidang kardiovaskular dan serebrovaskular, pendidikan dokter/dokter spesialis dan

riset.

Meningkatkan pendidikan kedokteran berkelanjutan di bidang masing-masing

Membuat gap analysis antara kondisi sekarang dan kondisi yang diharapkan,

untuk perencanaan pengadaan Staf Pengajar di institusi pendidikan.

3. Dokter Umum di Rumah Sakit

Tersedia cukup dokter umum yang berdedikasi untuk membantu dokter SpJP dan SpS,

mereka memberikan layanan sesuai skema protokol. Pemberian sebagian kompetensi dasar

tertentu dibutuhkan guna memperluas jangkauan layanan, dan untuk mengembangkan

kemampuan mereka bila dibutuhkan tambahan tenaga pelayanan dalam bidang kardiovaskular

dan serebrovaskular.

Rekomendasi

• PERKI dan PERDOSSI perlu membuat protokol layanan di bidang masing-masing, bagi

Dokter Umum yang bekerja di layanan primer, sekunder atau tersier

• PERKI dan PERDOSSI perlu menetapkan kewenangan apa yang dapat diberikan

kepada Dokter Umum yang membantu SpJP/SpS bekerja dalam pelayanan.

26

4. Peran Perawat

Perkembangan asuhan Keperawatan memungkinkan berkembangnya perawat mahir/

spesialis dalam layanan kardiovaskular dan strok, termasuk integrasi keterampilan dalam

perawatan jantung dan strok yang sebelumnya terpisah.

Perawat Spesialis klinis harus merupakan bagian dari setiap tim spesialis untuk pelayanan

jantung, pembuluh darah serta stroke yang multidisiplin, dengan maksud untuk ekspansi ke

tingkat lanjutan yaitu perawat praktisi. Perawat lainnya diharapkan juga berkembang sejalan

dengan pelaksanaan kebijakan ini, termasuk perawat praktisi, komunitas dan perawat kesehatan

masyarakat, serta perawat rehabilitasi.

Rekomendasi :

Perencanaan SDM diperlukan untuk memastikan adanya pengembangan dan

provisi perawat spesialis klinik kardiovaskular/stroke yang adekuat, serta peran

perawat kardiovaskular/stroke yang memadai untuk menjamin layanan unggulan.

Berkembangnya kelompok perawat spesialis kardiovaskuler dan perawat stroke

merupakan langkah penting untuk meningkatkan kualitas layanan ini. Pelatihan dan

rekruitmen hendaknya memprioritaskan pada upaya untuk menyiapkan petugas

penghubung komunitas dengan kelompok spesialis.

5. Tim Multidisiplin dan Staf Pendukung Teknis

Masukan dari tim multidisiplin merupakan persyaratan dasar untuk dapat memberikan

perawatan yang berkualitas. Penanganan pasien jantung dan strok memerlukan tim spesialis

yang dipimpin oleh dokter dengan beragam keahlian terkait. Tim inti multidisiplin kardiovaskular

harus mencakup dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dokter umum terlatih, perawat

spesialis klinik dan staf pendukung teknis (termasuk petugas registri), serta akses ke berbagai

layanan terapi (misalnya terapi wicara, fisioterapi, terapi okupasi), ahli gizi, apoteker,

psikolog/neuropsikiatri dan pekerja sosial. Setiap tim juga harus memiliki koordinator penghubung

masyarakat. Staf pendukung teknis untuk diagnostik dan prosedur harus juga diperhitungkan

dalam perencanaan, jika diharapkan layanan yang akan diberikan benar-benar bermutu.

Rekomendasi :

Perencanaan SDM perlu dibuat untuk memastikan adanya pengembangan dan

penyediaan perawat, profesional kesehatan dan pekerja sosial kardiovaskular

yang memadai, juga pekerja administrasi terkait dan personel pendukung

teknis dilengkapi dengan panduan praktik terbaik.

Representasi yang tepat diperlukan dalam tim multidisiplin, meliputi berbagai perawat,

profesional kesehatan dan pekerja sosial kardiovaskular, pekerja admisnitrasi terkait

dan personel pendukung teknis.

Dukungan profesional layanan kesehatan dan keperawatan juga diperlukan untuk

membantu meningkatkan kualitas layanan atau efisiensi.

27

6. Tim Pelayanan Primer dan Lembaga Swadaya Masyarakat

Pengembangan tim pelayanan primer akan menjadi kunci kesuksesan strategi kesehatan

kardioserebrovaskular Nasional ini. Oleh sebab itu, dukungan bagi anggota tim pelayanan primer

perlu diberikan, agar penanganan terhadap subyek berisiko tinggi kardioserebrovaskular dan

pasien penyakit kardioserebrovaskular kronis berjalan efektif. Pelayanan yang terstruktur seperti

pelayanan gagal jantung perlu dibuat, berkolaborasi dengan rumah sakit, demikian halnya

pengembangan perawat spesialis dan perawatan multidisiplin serta layanan pencegahan di

masyarakat.

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Yayasan Jantung Indonesia dan Yayasan Stroke

Indonesia dalam memberikan layanan komunitas, terutama dalam aspek pencegahan dan

advokasi serta pemberdayaan masyarakat perlu digalakan.

Rekomendasi :

Perencanaan dan koordinasi diperlukan untuk memastikan bahwa tenaga kesehatan

masyarakat benar-benar melaksanakan pencegahan dan rehabilitasi kardiovaskuler sesuai

rekomendasi kebijakan ini.

28

VIII. KERANGKA KERJA NASIONAL MENUJU KESEHATAN

KARDIOSEREBROVASKULAR YANG BERKUALITAS.

Kerangka kerja nasional menuju pelayanan kesehatan kardioserebrovaskular yang

berkualitas tinggi meliputi juga unsur-unsur teknologi informasi dan komunikasi, perencanaan

tenaga kerja dan investasi, serta pengembangan profesional berkelanjutan. Staf perlu didukung

agar mampu menerapkan dengan cepat perubahan – perubahan praktek berbasis bukti dan

metode kerja tim dalam praktek sehari-hari.

Kebijakan kesehatan kardiovaskular dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan dan dijalankan

oleh Dinas Kesehatan, Informasi Kesehatan dan Badan Auditor Kualitas. Manajemen termasuk

Rencana Tahunan Pelayanan Kesehatan Kardioserebrovaskular Nasional Kementerian

Kesehatan, di mana monitoring dan evaluasi merupakan komponen yang tak terpisahkan.

Evaluasi dilakukan setiap tahun untuk memberikan usulan perbaikan program berikutnya. Setiap

5 tahun dilakukan evaluasi jangka menengah.

Kunci keberhasilan dicapainya pelayanan kesehatan kardioserebrovaskular yang berkualitas

adalah: efektif, berorientasi pasien, tepat waktu, aman, efisien dan terjangkau. Untuk memastikan

bahwa seluruh komponen ini dijalankan, perlu tatakelola organisasi yang baik dan kepemimpinan

yang kuat.

1. Standar Nasional Pelayanan Kesehatan Kardioserebrovaskular

Pelayanan kesehatan Kardioserebrovaskular di Indonesia harus didasarkan pada praktek

berbasis bukti dan standar internasional yang disesuaikan dengan kondisi nasional. Rencana

pengembangan sistematis pelayanan kesehatan kardioserebrovaskular perlu dijalankan dengan

mengutamakan kualitas, ada pedoman dan akuntabel. Pedoman yang dibuat berbasis bukti

lengkap dengan indikator kinerja yang berkaitan dengan pedoman dan standar nasional

mengenai kualitas, keamanan, informasi dan persyaratan data.

Rekomendasi :

Pedoman dan standar berbasis bukti harus ditetapkan, dilengkapi indikator

kinerja dan majemen pelaporan yang baku.

2. Survailens Kesehatan Kardioserebrovaskuler

Survailens yang sistematis harus diimplementasikan sebagai suatu hal yang mendesak untuk

memfasilitasi pengumpulan data berbasis pasien, dan penggunaannya untuk bahan

pengawasan, audit dan penelitian. Sistem yang komprehensif juga harus menyertakan

informasi yang luas mengenai akses untuk mendapatkan layanan medis dan prevalensi

penyakit kardioserebrovaskuler.

Rekomendasi :

Sistem informasi pelayanan kesehatan kardiovaskular yang komprehensif harus

dikembangkan sebagai prioritas untuk memungkinkan pelaksanaan strategi

nasional pelayanan kardiovaskuler.

Perlu ada kesepakatan tentang metode sistematis pengumpulan data dan standar

analitis secara nasional, untuk memastikan pengumpulan, analisis dan evaluasi data

yang terkoordinasi.

29

3. Registri, Sistem Informasi dan Standar Data

Data yang komprehensif dan dapat dianalisis tentang penyediaan layanan dan informasi alur

perawatan pasien tidak mungkin diperoleh tanpa adanya sistem informasi kardioserebrovaskular

nasional yang komprehensif dan kompatibel, termasuk registri pasien. Perlu dikembangkan

Registri Penyakit Kardioserebrovaskular yang komprehensif.

Rekomendasi :

Data khusus kardioserebrovaskular perlu dibuat dan mekanisme pengumpulan data perlu

ditetapkan, merupakan bagian dari perawatan rutin sehingga siap untuk disajikan sebagai

profil nasional.

4. Survai Kesehatan Masyarakat

Data kesehatan kardioserebrovaskular masyarakat, misalnya mengenai gaya hidup dapat

diperoleh melalui survei kesehatan nasional yang dilaksanakan secara reguler. Survai kesehatan

rumah tangga yang sejak tahun 2007 dikembangkan menjadi Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) dapat digunakan untuk keperluan tersebut. Evaluasi perlu dilakukan untuk

kemudian dianalisis kemungkinan perlunya perbaikan-perbaikan dalam pengumpulan data.

Rekomendasi :

Riset kesehatan dasar masyarakat yang dilaksanakan secara reguler harus

dilakukan untuk menggambarkan profil kesehatan pada orang dewasa dan

anak-anak.

Hambatan dalam melakukan riset tersebut perlu ditangani segera, agar diperoleh

data yang berkualitas dan memadai sebagai bahan perencanaan pelayanan. Minimal

ada dua Riskesdas dalam periode ini.

5. Audit

Audit klinis menyangkut tinjauan yang terstruktur terhadap standar yang telah disepakati,

dalam rangka melaksanakan perbaikan layanan kesehatan dan kesehatan masyarakat. Sistem

audit nasional yang rutin untuk semua aspek layanan kardioserebrovaskular perlu dilaksanakan.

Rekomendasi :

Audit tahunan terhadap jejaring kardioserebrovaskular harus dilakukan, untuk menilai

volume dan kualitas kegiatan pelayanan serta untuk membuat perencanaan pelayanan.

6. Peran Informasi dan Teknologi Komunikasi

Sistem Informasi dan teknologi komunikasi harus mendukung manajemen dan layanan

kesehatan pasien, serta jaminan kualitas layanan, melalui proses audit, akreditasi dan lainnya.

30

Rekomendasi :

Infrastruktur Teknologi informasi dan komunikasi, kapasitas dan pelatihan

harus dikembangkan.

Peningkatan metode komunikasi elektronik diperlukan untuk mendukung model

penyediaan layanan kesehatan. Sistem dan teknologi informasi perlu dikembang-

kan di dalam dan di antara layanan sekunder/tersier dan primer.

Secara bertahap diupayakan kartu pengenal pasien dan rekam medis elektronik.

7. Penelitian dan Evaluasi, Termasuk Penilaian Teknologi Kesehatan

Iklim penelitian penting diciptakan dalam pelayanan kesehatan sebagai upaya meningkatkan

kualitas, dengan memberikan kontribusi bagi pengembangan kebijakan dan perencanaan. Kunci

dari praktik berbasis bukti adalah penggunaan penilaian teknologi kesehatan yang memastikan

bahwa sarana dan prasarana pelayanan kesehatan telah digunakan secara efektif dengan

menilai efektivitas klinis dan biaya dari obat, peralatan, diagnostik dan promosi kesehatan di

seluruh sistem kesehatan. Agenda riset yang terkoordinasi sangat penting untuk memastikan

proyek-proyek yang dibutuhkan untuk menginformasikan strategi ini benar-benar mendapat

prioritas. Riset yang berkesinambungan terhadap strategi ini akan memberikan asupan untuk

peningkatan kualitas strategi berikutnya.

Rekomendasi :

Suatu kelompok nasional beranggotakan berbagai pemangku kepentingan

harus dibentuk untuk menentukan prioritas penelitian dan penilaian teknologi

kesehatan di berbagai lini pelayanan kardioserebrovaskular.

Tim ini juga bertugas untuk memastikan bahwa penelitian penunjang seperti

biostatistik dan ekonomi kesehatan juga berkembang, dan bahwa informasi yang

dibutuhkan dari pelaksanaan strategi ini dapat diperoleh melalui riset.

IX. PENUTUP :

Strategi Nasional Pelayanan Kesehatan Jantung, Otak dan Pembuluh Darah (Kardio-

serebrovaskular) di Indonesia yang telah disusun oleh PERKI dan PERDOSSI ini diharapkan

dapat mengarahkan dan mendorong perubahan, untuk terciptanya INDONESIS SEHAT YANG

MANDIRI pada tahun 2020.

31