i. pendahuluan 1.1 latar belakangrepository.utu.ac.id/869/1/bab i_v.pdf · terutama pada daerah...
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sagu (Metroxylon sp.) adalah tanaman asli Indonesia, dan merupakan
sumber pangan yang paling tua bagi masyarakat di berbagai daerah. Sagu diduga
berasal dari Maluku dan Irian; karena itu sagu mempunyai arti khusus sebagai
pangan tradisional bagi penduduk setempat. Hingga saat ini belum ada data pasti
yang mengungkapkan kapan awal mula sagu ini dikenal. Diduga, budidaya sagu
di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat sama kunonya dengan pemanfaatan
kurma di Mesopotamia. Di wilayah Indonesia Bagian Timur, sagu sejak lama
dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya, terutama di
Maluku dan Irian Jaya. Teknologi eksploitasi, budidaya dan pengolahan sagu
yang paling maju saat ini adalah di Malaysia (Kindangen dan Malia 2006, h.45).
Teknologi budidaya dan pengolahan sagu sudah dipandang serius oleh
pemerintah. Karena sagu merupakan potensi yang sangat besar untuk pemenuhan
kebutuhan pokok masyarakat sebagai sumber energy. Sagu dapat diolah dengan
bermacam-macam panganan, selain memberikan manfaat bagi tubuh dan juga
memberi nilai tambah. Setelah diolah menjadi roti biskuit, mie dan nasi, serta
banyak lagi yang lainnya yang dapat diolah dari bahan tepung sagu (Samad 2007,
h.15).
Provinsi Aceh merupakan kawasan pesisir yang memiliki potensi sebagai
habitat tanaman rumbia, ternyata dapat memberikan keuntungan tersendiri untuk
kemandirian ekonomi bagi masyarakat di Pantai Barat Aceh, buktinya batang
rumbia yang muda banyak ditemukan di area rawa ini dapat menjadi sumber
2
peningkatan pendapatan tetap bagi masyarakat pesisir tersebut. Sagu merupakan
salah satu potensi yang dimiliki daerah ini, sedangkan potensi lain juga masih
banyak dalam mendukung kemandirian pangan daerah tersebut (BPS Simeulue
2014).
Pertumbuhan usaha sagu di Kabupaten Simeulue sangat berjalan pesat,
terutama pada daerah pinggiran maupun aliran sungai (DAS), Banyak masyarakat
di Simeulue mengolah sagunya secara alami. Selain untuk kebutuhan sehari-hari
(sendiri) juga bisa dibuat kue tradisonal yang dibuat pada hari-hari besar Islam
dan diperjual-belikan. Maka pendapatan yang diperoleh dalam jangka 1 minggu
sebanyak 5-10 batang, 1 batang terdapat 100 kg tepung sagu, dan bila 5-10 batang
maka diperoleh tepung sagu sebanyak 500-1000 kg, dan harga per kg sagu sebesar
Rp.4000,- maka pendapatan pengusaha sagu per minggu sebanyak Rp.2000.000
sampai dengan Rp.4.000.000,-
Perbedaan pendapatan tersebut di atas, dikarenakan cara pengolahan sagu
di wilayah tersebut. Ada yang secara modern dan ada yang secara konvensional.
Di samping itu, pendapatan tersebut dapat berbeda tingkatannya, yang diakibatkan
beberapa hal, diantaranya adanya proses lebih lanjut dari suatu produk yang
diolah maupun diusahakan, sehingga tingkatan pendapatan perlu dianalisis untuk
mengetahui perbedaan pendapatan dari setiap produk yang diusahakan.
Hasil survey awal yang telah peneliti lakukan di Kecamatan Simeulue
Barat Kabupaten Simeulue menunjukkan bahwa pengolahan sagu basah dan sagu
kering cukup berpotensi. Namun yang menjadi permasalahannya adalah tingkat
pendapatan dari sagu kering belum secara maksimal diusahakan sehingga secara
3
ekonomi belum diketahui berapa perbandingan (margin usaha) dari sagu basah
maupun sagu kering.
Hal tersebut sesuai dengan hasil observasi awal yang telah peneliti lakukan
menunjukkan perbedaan bahwa pendapatan sagu basah berbeda dengan
pendapatan sagu kering oleh para pengusaha sagu yang ada di Kecamatan
Simeulue Barat Kabupaten Simeulue. Misalnya, rata-rata pendapatan yang
diperoleh pada usaha sagu basah sebesar Rp.2.000.000 sampai dengan
Rp.4.000.000 per tujuh hari. Sedangkan pendapatan pada usaha sagu kering
sebesar Rp.3.000.000 sampai dengan Rp.6.000.000 per sepuluh hari. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa terjadi selisih pendapatan yang cukup memberikan
kontribusi bagi peningkatan pendapatan para pengusaha sagu kering.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merasa tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Analisis Perbandingan Pendapatan Usaha
Sagu Basah dan Sagu Kering di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten
Simeulue”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan
permasalahannya, yaitu bagaimana Perbandingan Pendapatan Usaha Sagu Basah
dan Sagu Kering di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis
Perbandingan Pendapatan Usaha Sagu Basah dan Sagu Kering di Kecamatan
Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.
4
1.4 Manfaat Penelitian
Ada dua manfaat yang dapat diberikan dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut.
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Penulis
Dapat menjadi wahana bagi peneliti dalam penerapan dan pengembangan ilmu
pengetahuan serta wawasan yang dimiliki dibandingkan dengan kenyataan
yang ada di lapangan.
2. Lingkungan Akademik
Diharapkan Hasil Penelitian ini dapat berguna sebagai sumber referensi dan
bacaan bagi Mahasiswa Universitas Teuku Umar, khususnya Mahasiswa
Fakultas Ekonomi.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berisikan
tentang Analisis Perbandingan Pendapatan Usaha Sagu Basah dan Sagu Kering
di kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.
2. Sebagai sumber referensi bagi peneliti lain, yang akan melakukan penelitian
berkaitan dengan penelitian ini.
1.5 Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah pada Bagian Pertama
pendahuluan yang berisi tentang pokok- pokok pembahasan mengenai latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian serta sistematika pembahasan.
5
Bagian Kedua Tinjau Pustaka meliputi Analisis, Pendapatan, Cara
Pengolahan Usaha Sagu, Pendapatan Sagu Basah dan Sagu Kering, Penelitian
Terdahulu, dan Hipotesis Penelitian.
Bagian Ketiga Metode Penelitian yang terdiri dari populasi dan sampel,
sumber dan jenis data, teknik pengumpulan data, dan model analisis data.
Bagian Keempat merupakan Hasil Penelitian dan Pembahasan yang terdiri
dari Hasil Penelitian dan Pembahasan.
Bagian Kelima merupakan Kesimpulan dan Saran yang terdiri dari
kesimpulan hasil penelitian dan saran bagi beberapa pihak.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biaya
Menurut Mulyadi (2007, h.8): “Biaya adalah pengorbanan sumber
ekonomi, yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau kemungkinan
akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu.”. Dari definisi ini, ada empat unsur
pokok dalam biaya, yaitu:
1) Biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi
2) Diukur dalam satuan uang
3) Yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi
4) Pengorbanan tersebut untuk memperoleh manfaat saat ini dan/atau mendatang
Dengan demikian, biaya adalah pengorbanan sumber ekonomis yang
diukur dengan satuan uang, untuk memperoleh barang atau jasa yang diharapkan
memberikan manfaat saat ini maupun akan datang. Pengorbanan sumber
ekonomis tersebut bisa merupakan biaya historis dan biaya masa yang akan
datang. Sedangkan dalam arti sempit biaya dapat diartikan sebagai pengorbanan
sumber ekonomi untuk memperoleh aktiva atau secara tidak langsung untuk
memperoleh penghasilan, disebut dengan harga pokok (Mulyadi 2007, h.8).
2.1.1 Analisis Biaya
Untuk menghitung total biaya produksi dapat dihitung dengan
menggunakan rumus TC = TVC + TFC.
Keterangan :
TC = Total Biaya (dalam Rupiah)
TVC = Total Biaya Variabel (dalam rupiah)
7
TFC = Total Biaya Tetap (dalam rupiah)
(Sumber : Suratiyah 2008, h.38)
2.1.2 Pendapatan
Pendapatan dapat diartikan arus masuk aktiva dan atau penyelesaian
kewajiban dan penyerahan atau produksi barang, pemberian jasa, dan aktivitas
pencarian laba lainnya yang merupakan operasi yang utama atau besar yang
berkesinambungan selama suatu periode. Pendapatan yang dihasilkan dapat terjadi
setiap saat dan dapat juga terjadi pada waktu tertentu secara berkala (Johan 2011,
h.61).
Pendapatan pada prinsipnya mempunyai sifat menambah atau menaikkan
harta atau menurunkan kewajiban perusahaa, tetapi tidak semua yang menambah
atau menaikkan harta/kekayaan perusahaan dapat dikategorikan pendapatan
seperti halnya penilaian kembali aktiva tetapi meningkatkan harta perusahaan
sehingga menimbulkan perkiraan baru yaitu perkiraan penyusaian modal.
Pendapatan juga meliputi semua sumber ekonomi yang diterima perusahaan, dari
transaksi penjualan barang atau jasa kepada pihak lain seperti pertukaran aktiva
bunga atau sebagainya (Firdaus 2008, h.35).
2.1.3 Pendapatan Usaha
Pendapatan menurut Ibrahim (2008, h.62), dalam pengertian ilmu ekonomi
adalah hasil berupa uang atau material lainnya, yang dicapai dari penggunaan
kekayaan atau jasa-jasa manusia bebas.
Pendapatan adalah “arus masuk atau peningkatan lainnya atas aktiva
sebuah entitas atau penyelesaian kewajiban (atau kombinasi dari keduanya)
selama satu periode dari pengiriman atau produksi barang, penyediaan jasa atau
8
aktivitas lain yang merupakan operasi utama atau sentral entitas yang sedang
berlangsung” (Umar 2009, h.41).
Dalam konteks akutansi, kata “Income diartikan sebagai penghasilan dan
kata revenue sebagai pendapatan, penghasilan (income) meliputi baik pendapatan
(revenue) maupun keuntungan (gain)”.
Pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang
terkenal dengan sebutan berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga,
deviden, royalti dan sewa. Definisi tersebut memberi pengertian yang berbeda
dimana income memberikan pengertian pendapatan yang lebih luas, income
meliputi pendapatan yang berasal dari kegiatan operasi normal perusahaan
maupun yang berasal dari luar operasi normal. Sedangkan revenue merupakan
penghasilan dari penjualan produk, barang dagangan, jasa dan perolehan dari
setiap transaksi yang terjadi.
Menurut Suratiyah (2008, h.39), pendapatan dihitung melalui pengurangan
antara penerimaan dengan total biaya untuk satu kali proses produksi, dihitung
dengan rumus :
Pendapatan : TR = P.Q
Keterangan :
TR = Penerimaan Total (dalam rupiah)
P = Harga Jual Per unit (dalam rupiah)
Q = Jumlah Produksi (unit)
2.1.4 Keuntungan
Untuk mengetahui keuntungan dalam suatu usaha, maka dapat digunakan
rumus sebagai berikut: π = TR – TC
9
Keterangan :
π = Total Keuntungan (dalam rupiah)
TR = Total Penerimaan (dalam rupaih)
TC = Total Biaya (dalam rupiah)
2.1.5. Kelayakan Usaha/Perbandingan Penerinaan dan Biaya (Revenue
Cost Ratio (R/C))
Selanjutnya, untuk mengetahui perbandingan anatara penerimaan dan
biaya total, dapat digunakan rumus Revenue Cost Ratio (R/C). Rumus ini
merupakan perbandingan antara penerimaan total dan biaya total, yang
menunjukkan nilai total, yang menunjukkan nilai penerimaan yang diperoleh dari
setiap rupiah yang dikeluarkan. Adapun R/C ratio dapat dirumuskan sebagai
berikut (Firdaus 2008, h.37).
Keterangan :
TR = Total Penerimaan (dalam rupiah)
TC = Total Biaya (dalam rupiah)
Kriteria penerimaan R/C ratio :
R/C < 1 = Usaha produksi tidak layak untuk diusahakan
R/C > 1 = Usaha produksi layak untuk diusahakan
R/C = 1 = Usaha produksi antara dilaksanakan atau tidak tergantung dari pemilik
usaha
TR
R/C =
TC
10
2.2 Cara Pengolahan Sagu
2.2.1 Tinjauan Ekonomi Tanaman Sagu
Berdasarkan laporan yang bersumber dari BAPPENAS Tahun 2000
tentang luas areal dan produktivitas per pohon dari daerah-daerah produsen sagu
serta hasil percobaan di Laboratorium, diperkirakan produksi sagu mencapai 40
sampai 60 batang/ha/tahun dengan jumlah empulur 1 ton/batang serta kandungan
aci sagu 18,5 % sehingga dapat diperoleh hasil per hektar per tahun adalah 7
sampai 11 ton sagu kering. Secara teoritis, dari satu batang pohon sagu dapat
dihasilkan 100 sampai 600 kg aci sagu kering. Rendemen total untuk pengolahan
yang ideal adalah 15 %. Sementara itu, harga sagu basah saat ini mulai meningkat
yaitu berkisar antara Rp.3.000 sampai Rp.4.000 per kg. Dengan demikian,
peluang bisnis sagu di Indonesia masih terbuka lebar. Walaupun masih banyak
kendala yang harus dihadapi. Pengembangan agroindustri sagu mempunyai
peluang yang cukup besar untuk dikembangkan, dilihat dari segi geografis,
ketersediaan bahan baku, teknologi, maupun kebijakan pemerintah. Namun
kendala terbesar terletak pada budaya bertani petani sagu dan sistem pemilikan
lahan yang dikuasai penduduk lokal sementara kegiatan industri dikuasai oleh
pendatang (Johan 2011, h.37).
Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam rangka mengembangkan
agroindustri sagu adalah memutuskan dan menyerahkan pengembangan dan
pembinaan komoditas sagu pada salah satu dinas teknis. Ini akan menuntun
pemerintah melalui dinas terkait untuk lebih serius melakukan langkah
operasional dalam pengembangan baik dari sisi peningkatan produksi agar bahan
baku industri tersedia secara kontinu (Disperta/Perkebunan), pengolahan dan
11
pemasaran (Disperindag), teknologi (BPTP), maupun kelembagaan (KIPP)
(Pangloli dan Royaningsih 2006, h.39).
Pengembangan agroindustri sagu sebaiknya diprioritaskan untuk
mendorong perkembangan agroindustri kecil dan menengah di peGampongan.
Karena subsistem pengolahan merupakan kelanjutan dari subsistem produksi
maka bisa berperan sebagai bagian dari pendekatan permintaan. Teknologi yang
kurang diadopsi memerlukan rekayasa ulang untuk menciptakan teknologi yang
prosedur kerjanya lebih mudah dan murah. Kapasitas olah perlu disesuaikan
dengan kemampuan ketersediaan bahan baku namun tetap dengan pertimbangan
ekonomis.
Agar kegiatan agroindustri sagu bisa memberi peningkatan nilai tambah
yang berkontribusi langsung pada peningkatan pendapatan petani maka perlu
membangun pola kemitraan yang adil antara petani produsen sagu, pelaku industri
berbahan baku sagu dan pelaku pasar yang dapat memenuhi permintaan pasar
lokal maupun ekspor. Pada tahap awal, pembentukan kerjasama ini perlu
difasilitasi oleh pemerintah terutama dalam pembangunan infrastruktur, akses
terhadap permodalan, pembinaan kewirausahaan dan promosi pasar (Johan 2011,
h.39).
2.2.2 Proses Pembuatan Tepung Sagu
Pada dasarnya, tepung sagu dibuat dari empulur batang sagu. Tahapan
proses pembuatan tepung sagu secara umum meliputi: penebangan pohon,
pemotongan dan pembelahan, penokokan atau pemarutan, pemerasan,
penyaringan, pengendapan dan pengemasan (Johan 2011, h.46).
12
Ditinjau dari cara dan alat yang digunakan, pembuatan tepung sagu yang
dilakukan di daerah-daerah penghasil sagu di Indonesia saat ini dapat
dikelompokkan atas cara tradisional, semi-mekanis dan mekanis (Kindangen dan
Malia 2006, h.51).
a. Pembuatan Tepung Sagu secara Tradisional
Pada umumnya cara ini banyak dijumpai di Maluku, Papua, Sulawesi dan
Kalimantan. Pengambilan tepung sagu secara tradisional umumnya diusahakan
oleh penduduk setempat, dan digunakan sebagai bahan makanan pokok sehari-
hari (Kindangen dan Malia 2003, h.52).
Penebangan pohon sagu dilakukan secara gotong-royong dengan
menggunakan peralatan sederhana, seperti parang atau kampak. Selanjutnya,
batang sagu dibersihkan dan dipotong-potong sepanjang 1- 2 meter; kemudian
potongan-potongan ini dibelah dua. Empulur batang yang mengandung tepung
dihancurkan dengan alat yang disebut nanni; dan pekerjaan menghancurkan
empulur sagu ini disebut menokok. Penokokan empulur dikerjakan sedemikian
rupa sehingga empulur cukup hancur dan pati mudah dipisahkan dari serat-serat
empulur. Empulur yang telah ditokok akan berwarna kecoklatan bila disimpan di
udara terbuka dalam waktu lebih dari sehari. Oleh karena itu, empulur yang
ditokok dalam satu hari harus diatur sedemikian rupa agar pemisahan tepung
dapat diselesaikan pada hari yang sama. Penokokan dapat dilanjutkan pada hari
berikutnya sampai seluruh batang habis ditokok. Dengan cara tradisional ini,
penokokan satu pohon sagu dapat diselesaikan dalam waktu 1 – 3 minggu (Johan
2011, h.47).
13
Empulur hasil tokokan kemudian dipisahkan untuk dilarutkan dan disaring
tepungnya di tempat tersendiri. Pelarutan tepung sagu dilakukan dengan cara
peremasan dengan tangan, dan dibantu dengan penyiraman air. Di beberapa
daerah, air yang digunakan berasal dari rawa-rawa yang ada di lokasi tersebut. Di
Maluku, tempat pelarutan tepung sagu disebut sahani, yang terbuat dari pelepah
sagu dan pada ujungnya diberi sabut kelapa sebagai penyaring (Shinta 2005,
h.42).
Tepung sagu yang terlarut kemudian dialirkan dengan menggunakan kulit
batang sagu yang telah diambil empulurnya. Tepung sagu ini kemudian
diendapkan, dan dipisahkan dari airnya.
Tepung yang diperoleh dari cara tradisional ini masih basah, dan biasanya
dikemas dalam anyaman daun sagu yang disebut tumang; di Luwu Sulawesi
Selatan disebut balabba dan di Kendari disebut basung. Sagu yang sudah dikemas
ini kemudian disimpan dalam jangka waktu tertentu sebagai persediaan pangan
rumah tangga; dan sebagian lainnya dijual (Suratyah 2008, h.30).
Karena sagu yang sudah dikemas ini masih basah, maka penyimpanan
hanya dapat dilakukan selama beberapa hari. Biasanya, cendawan atau mikroba
lainnya akan tumbuh, dan mengakibatkan tepung sagu berbau asam setelah
beberapa hari penyimpanan.
b. Pembuatan Tepung Sagu secara Semi-mekanis
Pembuatan tepung sagu secara semi-mekanis pada prinsipnya sama
dengan cara tradisional. Perbedaannya hanyalah pada penggunaan alat atau mesin
pada sebagian proses pembuatan sagu dengan cara semi-mekanis ini. Misalnya,
pada proses penghancuran empulur digunakan mesin pemarut; pada proses
14
pelarutan tepung sagu digunakan alat berupa bak atau tangki yang dilengkapi
dengan pengaduk mekanik; dan pada proses pemisahan tepung sagu digunakan
saringan yang digerakkan dengan motor diesel (Samad 2003, h.39).
Cara semi-mekanis ini banyak digunakan oleh penghasil sagu di daerah
Luwu Sulawesi Selatan, dan daerah Riau, khususnya di daerah Selat Panjang.
Secara umum, cara semi-mekanis ini diawali dengan memotong-motong pohon
sagu yang telah ditebang, dengan ukuran 0,5-1 meter. Potongan-potongan ini
kemudian dikupas kulitnya, dibelah-belah, dan diparut. Selanjutnya, hasil parutan
ditampung dalam bak kayu yang dilengkapi dengan pengaduk yang berputar
secara mekanis. Pengadukan biasanya dilakukan dalam dua tahap, dengan tujuan
agar seluruh tepung terlepas dari serat-seratnya. Selanjutnya campuran yang
terdiri dari serat-serat, tepung dan air dialirkan ke saringan silinder berputar yang
terdiri dari beberapa tingkat. Hasil penyaringan berupa bubur ditampung dalam
bak-bak kayu untuk proses pengendapan tepung. Endapan tepung ini kemudian
dicuci kembali dalam bak atau tangki yang dilengkapi pengaduk, dan diendapkan
lebih lanjut. Tepung sagu basah yang diperoleh kemudian dijemur dan digiling
dengan alat penggiling (grinder). Selanjutnya, tepung yang sudah digiling
dimasukkan ke dalam karung-karung goni, dan siap untuk dipasarkan (Pramuda,
et.al., 2006, h.19).
c. Pembuatan Tepung Sagu secara Mekanis
Pada pembuatan tepung sagu secara mekanis ini, urut-urutan prosesnya
sama dengan cara semi-mekanis. Akan tetapi, pembuatan tepung sagu dengan cara
mekanis ini dilakukan melalui suatu sistem yang kontinyu, dan biasanya dalam
bentuk sebuah pabrik pengolahan. Untuk mempercepat prosesnya pada pabrik-
15
pabrik yang sudah modern, seperti di Sarawak Malaysia, proses pengendapan
tepung dilakukan dengan menggunakan alat centrifuge atau spinner; dan
pengeringannya dilakukan dengan menggunakan alat pengering buatan. Produk
tepung sagu yang dihasilkan dari pabrik-pabrik pengolahan ini adalah berupa
tepung kering, sehingga memiliki daya simpan yang lebih lama (Pangloli dan
Royaningsih 2003, h.41).
d. Ciri-ciri dan Sifat Tepung Sagu
Tepung sagu merupakan salah satu sumber kalori; dan juga mengandung
beberapa komponen lain, seperti mineral fosfor. Jumlah kalori dan kandungan
kimia dari setiap 100 gram tepung sagu. Komponen yang paling dominan dalam
tepung sagu adalah pati. Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan
untuk persediaan bahan makanan. Pati ini berupa butiran atau granula yang
berwarna putih mengkilat, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa. Granula pati
mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka ragam sesuai dengan sumbernya.
Pati sagu berbentuk elips lonjong, dan berukuran relatif lebih besar dari pati
serealia (Pangloli dan Royaningsih 2008, h.47).
e. Pemanfaatan Tepung Sagu
Bagi sebagian masyarakat Indonesia seperti penduduk di Papua dan
Maluku, dan sebagian Sulawesi seperti Kendari dan Luwu/Palopo, sagu
merupakan pangan utama sejak zaman dahulu. Demikian pula, pemanfaatan sagu
untuk pembuatan makanan tradisional sudah lama dikenal oleh penduduk di
daerah-daerah penghasil sagu baik di Indonesia maupun di Papua Nugini dan
Malaysia. Beberapa jenis produk makanan tradisional dari sagu, antara lain adalah
16
papeda, sagu lempeng, buburnee, sinoli, bagea, sinonggi dan sebagainya
(Pramuda, et.al., 2006, h.32).
Tepung sagu juga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan
makanan yang lebih moderen. Jenis-jenis makanan yang terbuat dari tepung-
tepungan pada umumnya berbahan baku tepung terigu, tapioka atau tepung beras
atau bahan-bahan lain yang sejenis. Jenis-jenis makanan seperti itu sudah dikenal
secara luas oleh masyarakat, bersifat lebih komersial dan diproduksi dengan alat
semi-mekanis atau mekanis. Beberapa contohnya adalah roti, biskuit, mie, sohun,
kerupuk, bihun dan sebagainya (Pramuda, et.al., 2006, h.33).
Seperti halnya dengan jenis karbohidrat lainnya, tepung sagu juga dapat
dimanfaatkan dan digunakan sebagai bahan utama maupun sebagai bahan
tambahan dalam berbagai jenis industri, seperti industri pangan, industri makanan
ternak, industri kertas, industri perekat, industri kosmetika, industri kimia, dan
industri energi. Dengan demikian pemanfaatan dan pendayagunaan sagu dapat
menunjang berbagai macam industri, baik industri kecil, menengah maupun
industri teknologi tinggi (Samad 2007, h.47).
Dalam pemanfaatannya dalam industri-industri tersebut, tepung sagu dapat
langsung digunakan tanpa harus dimodifikasi terlebih dahulu. Akan tetapi dalam
beberapa hal, tepung sagu perlu dimodifikasi terlebih dahulu sebelum dapat
diaplikasikan. Modifikasi ini dapat dilakukan secara fisik maupun kimia, dan
menghasilkan berbagai jenis produk, seperti dekstrin, glukosa, fruktosa, etanol,
asam-asam organik, protein sel tunggal, dan senyawa kimia lainnya. Produk-
produk ini kemudian dimanfaatkan untuk bahan baku maupun pendukung dalam
industri-industri tersebut (Pangloli dan Royaningsih 2008, h.43).
17
2.3 Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh
Muhammad Iqbal (2011, h.57) dengan judul “Analisis Usaha Mie Instan dari Pati
Sagu”. Berdasarkan uji penerimaan yang telah dilakukan dan ditunjukkan oleh
data uji Cohran Q test bahwa dari 36 panelis hanya satu panelis yang tidak terima
dengan sampel mentah mi instan komersil, sedangkan empat panelis menyatakan
tidak terima dengan sampel mi instan pati sagu yang telah dimasak dan dibumbui.
Berdasarkan perkiraan data analisis usaha terhadap mi instan pati sagu
diketahui bahwa suatu usaha dapat dikatakan menguntungkan dan layak untuk
diusahakan apabila nilai R/C rasio lebih besar dari satu (R/C > 1), dan didapatkan
nilai R/C pada analisis usaha mie instan pati sagu sebesar Rp. 1,77 dan diketahui
BEP volume produksi sebesar 135.44 per unit output minimum yang harus dicapai
sedangkan BEP harga produksi Rp.1.128.64 dimana dengan kondisi ini pelaku
agroindustrimiinstan pati sagu mencapai titik pulang modal.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, maka dapat disebutkan bahwa
penelitian ini memiliki kesamaan-kesamaan maupun perbedaan. Kesamaannya
adalah sama-sama mengungkap analisis pendapatan terhadap tepung sagu.
Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek tinjauan terhadap aspek
pemanfaatan dari tepung sagu. Dalam penelitian ini tepung sagu ditinjau dari
aspek analisis pendapatan usaha sagu basah dan usaha sagu kering. Sedangkan
subyek penelitian ini adalah Usaha Sagu yang ada di Kecamatan Simeulue Barat
Kabupaten Simeulue.
18
2.4 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa pendapatan usaha sagu kering
lebih besar dan terdistribusi merta dibandingkan pendapatan usaha sagu basah di
Kecamatan Simeulue Barat.
19
III. METODE PENELITIAN
3.1 Populasi dan Sampel
Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah para pengusaha Usaha
Sagu Basah dan Sagu Kering di Gampong Malasin, Gampong Sinar Bahagia,
Gampong Lamamek Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue. Lebih
jelasnya dapat dilihat pada uraian Tabel. 1 berikut ini:
Tabel. 1 Data Populasi dan Sampel
No Gampong Usaha Sagu Basah Usaha Sagu Kering
Populasi Sampel Populasi Sampel
1. Gampong Malasin 6 6 4 4
2. Gampong Lamamek 4 4 2 2
3. Gampong Sinar
Bahagia 4 4 2 2
Jumlah 14 14 8 8
(Sumber : Data Profil Kecamatan, Tahun 2014).
Penetapan sampel tersebut di atas, dilakukan secara purposive sampling
(dilakukan dengan cara sengaja). Hal ini dengan Alasan bahwa pemilihan dan
penetapan ketiga Gampong tersebut dikarenakan merupakan daerah basis (daerah
penghasil utama) pada usaha pengolahan sagu dari total 16 Gampong yang ada di
Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue, hanya 3 Gampong tersebut
yang tergolong masuk dalam skala ekonomi dalam menjalankan dan
pengembangan usaha sagunya.
3.2 Sumber Data dan Jenis Data
3.2.1 Data Primer
Dalam kegiatan penelitian ini, data primer peneliti peroleh melalui
kegiatan observasi dilakukan untuk mengamati langsung di lapangan terhadap
20
yang diperlukan dalam penelitian ini yakni terkait dengan Analisis Perbandingan
Pendapatan Usaha Sagu Basah dan Sagu Kering di Kecamatan Simeulue Barat
Kabupaten Simeulue. Di samping itu, juga dilakukan wawancara, sehingga
informasi yang diperoleh dapat menjadi lebih jelas dan terukur sesuai kebutuhan
dalam materi penelitian ini.
3.2.2 Data Sekunder
Data sekunder peneliti peroleh dari studi kepustakaan (Library research),
dan juga dokumen-dokumen resmi, karya ilmiah, jurnal – jurnal penelitian ilmiah,
artikel ilmiah, surat kabar, majalah maupun sumber tertulis lain yang ada
hubungannya dengan objek penelitian. Sehingga data sekunder ini menjadi
pelengkap data pada kegiatan penelitian yang peneliti laksanakan.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 3 macam teknik pengumpulan
data, lebih jelasnya dapat dilihat pada diuraikan berikut:
3.3.1 Pengamatan (Observasi)
Observasi atau pengamatan langsung merupakan salah satu teknik
pengumpulan data dimana peneliti terjun langsung ke lapangan sebagai partisipan
atau nonpartisipan. Dengan teknik observasi, peneliti dapat memperoleh
gambaran langsung dan mengetahui keadaan yang sesungguhnya yang terjadi di
lapangan.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti akan mengobservasi hal-hal atau
unsur-unsur yang berkaitan Analisis Perbandingan Pendapatan Usaha Sagu Basah
dan Sagu Kering di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.
21
3.3.2 Wawancara Mendalam (Independent Interview )
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, yang dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) atau yang mengajukan
pertanyaan, dan yang diwawancarai (informan) atau yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu. Informan adalah orang yang memberikan informasi dengan
pengertian ini maka informan dapat dikatakan sama dengan responden apabila
pemberian keterangannya karena dipancing oleh pihak peneliti. Istilah-istilah
informan ini banyak digunakan dalam penelitian kualitatif.
Sejalan dengan pernyataan di atas, maka yang akan peneliti wawancarai
adalah menyangkut dengan Analisis Perbandingan Pendapatan Usaha Sagu Basah
dan Sagu Kering di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue. Informan
yang akan di wawancara ini ditetapkan secara sengaja (Purposive Sampling).
Purposive Sampling adalah prosedur pengambilan atau penetapan orang atau
responden yang akan diwawancarai secara sengaja. Responden dari kata asal
„respon‟ (penanggap) yaitu orang yang menanggapi. Dalam penelitian responden
adalah orang yang diminta memberikan keterangan tentang sesuatu
fakta/pendapat. Keterangan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk tulisan,
yaitu ketika mengisi angket/lisan ketika menjawab wawancara.
Perihal yang akan diwawancarai misalnya : Bagaimanakah Analisis
Perbandingan Pendapatan Usaha Sagu Basah dan Sagu Kering di Kecamatan
Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.
Beberapa pihak (Stake Holder) yang akan menjadi informan dalam
penelitian ini adalah para pihak yang memahami atau berkompetensi di Usaha
Sagu Basah dan Sagu Kering di kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.
22
3.3.3 Studi Pustaka dan Dokumentasi.
Studi pustaka dapat diartikan sebagai teknik pengumpulan data dengan
menggunakan bahan-bahan yang telah tersedia pada lembaga tertentu baik berupa
literatur, maupun Laporan Kegiatan Ilmiah dan lain sebagainya.
3.4 Model Analisis Data
Hasil data yang telah diperoleh, selanjutnya diolah dan dianalisis lebih
mendalam dalam bentuk tabel dan uraian. Dengan tujuan Untuk mengetahui
Analisis Perbandingan Pendapatan Usaha Sagu Basah dan Sagu Kering di
Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue, maka digunakan rumus sebagai
berikut :
3.4.1 Pendapatan Usaha
Pendapatan : TR = P.Q (1)
Keterangan : TR = Penerimaan Total (dalam rupiah)
P = Harga Jual Per unit (dalam rupiah)
Q = Jumlah Produksi (unit)
3.4.2 Biaya Usaha
Untuk menghitung total biaya produksi dapat dihitung dengan
menggunakan rumus : TC = TVC + TFC (2)
Keterangan :
TC = Total Biaya (dalam Rupiah)
TVC = Total Biaya Variabel (dalam rupiah)
TFC = Total Biaya Tetap (dalam rupiah)
23
3.4.3 Keuntungan Usaha
Untuk mengetahui keuntungan dalam suatu usaha, maka dapat digunakan
rumus sebagai berikut: π = TR – TC (3)
Keterangan : π = Total Keuntungan (dalam rupiah)
TR = Total Penerimaan (dalam rupaih)
TC = Total Biaya (dalam rupiah)
24
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Lokasi Penelitian
4.1.1 Gambaran Wilayah Kecamatan Simeulue Barat
Kecamatan Simeulue Barat merupakan salah satu kecamatan yang ada di
Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh. Sibigo merupakan nama dari Ibu Kota
Kecamatan ini, dengan luas wilayah adalah 510,18 Km2. Sedangkan untuk
persentase luas kecamatan terhadap luas kabupaten adalah 17,42%. Jumlah
mukim yang terdapat di Kecamatan ini adalah 3 Mukim, dan terdiri dari 14
Gampong.
4.1.2 Batas Wilayah
Hubungan Kecamatan Simeulue dengan beberapa Kecamatan lainnya
sangat dekat, hal tersebut sesuai dengan batas-batas wilayah Kecamatan ini
dengan Kecamatan lainnya:
a. Sebelah Barat Berbatasan Dengan Laut Hindia
b. Sebelah Timur Berbatasan Dengan Kecamatan Teluk Dalam
c. Sebelah Selatan Berbatasan Dengan Gunung Lafaoyak
d. Sebelah Utara Berbatasan Dengan Kecamatan alafan
4.1.3 Keadaan Penduduk
Jumlah Penduduk di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue pada
tahun 2014 adalah sebanayak 11.161 jiwa. Dari jumlah tersebut, penduduknya
tersebar pada 14 Gampong yang ada di Kecamatan tersebut. Jumlah penduduk
terbanyak di Kecamatan tersebut berada di Gampong Sigulai dengan jumlah 1.332
jiwa, sedangkan jumlah penduduk yang paling sedikit berada di Gampong Lhok
25
Bikhao yakni sebanyak 354 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel. 2
berikut ini.
Tabel. 2
Jumlah Penduduk dan Rata-Rata Pertumbuhan Pertahun di
Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue Tahun 2013– 2014.
No Nama Gampong Jumlah
Penduduk
Jumlah
KK
Rata-Rata
Per Km2
Rata-Rata
Penduduk
Per KK
1. Lhok Makmur 853 175 36 5
2. Sanggiran 741 163 133 5
3. Ujung Harapan 636 131 105 5
4. Amabaan 1.069 105 28 5
5. Lhok Bikhao 354 75 96 5
6. Miteum 631 128 9 5
7. Babul Makmur 566 121 80 5
8. Malasin 1.029 258 68 4
9. Batu Ragi 460 115 131 4
10. Lamamek 769 183 147 4
11. Sigulai 1.332 306 13 4
12. Sinar Bahagia 527 113 93 4
13. Sembilan 1.037 206 15 4
14. Layabaung 1.157 251 13 4
Jumlah 11.161 2.435 25 5 Sumber : Data BPS Untuk Kecamatan Simeulue Barat, Tahun 2014.
Berdasarkan penjelasan Tabel 2 di atas, maka dapat diketahui bahwa rata-
rata jumlah penduduk pada setiap Km2 adalah sebanyak 25. Sedangkan untuk
rata-rata penduduk pada setiap KK adalah sebanyak 5 jiwa. Jumlah tersebut dapat
berubah apabila dalam setiap tahunnya terjadi pertumbuhan yang signifikan dalam
setiap KK yang ada di beberapa Gampong pada Kecamatan Simeulue Barat
Kabupaten Simeulue.
4.1.4 Karakteristik Responden
Karakteristik responden pada usaha sagu basah dan sagu kering yang
digunakan dalam kegiatan penelitian ini mencakup beberapa faktor, diantaranya
umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan jumlah tanggungan dalam keluarga.
26
1. Responden Usaha Sagu Basah
Berdasarkan hasil kegiatan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa responden pada usaha sagu basah berjumlah 14 orang. Umur responden
antara 22 Tahun sampai dengan 56 tahun dan rata-rata umurnya 36 Tahun.
Pendidikan responden secara umum memiliki tingkat pendidikan yang paling
tinggi yaitu S1, SMA, SMP dan SD. Responden secara keseluruhan berjenis
kelamin laki-laki. Sedangkan tanggungan keluarga dari masing-masing responden
adalah sebanyak 2 orang. Secara lebih jelas dapat dilihat pada uraian Tabel 3
berikut ini.
Tabel. 3
Karakteristik Responden Pada Usaha Sagu Basah
Kecamatan Simeulue BaratKabupaten Simeulue, Tahun 2015.
No Nama Petani
Sampel Umur
Tingkat
Pendidikan
(Tahun)
Jenis
Kelamin
Jumlah
Tanggungan
Usaha SAgu
Basa/ Sagu
Kering
1. Wadi Nasri 45 SMA Laki-laki 1 Sagu Basah
2. Parlaungan 56 SMA Laki-laki 2 Sagu Basah
3. M. Ludin 39 S1 Laki-laki 3 Sagu Basah
4. Sawal 35 SMA Laki-laki 4 Sagu Basah
5. Sabarudin 50 SD Laki-laki 3 Sagu Basah
6. Kafri Amin 22 SD Laki-laki 0 Sagu Basah
7. Isman 30 SD Laki-laki 2 Sagu Basah
8. YAnir 32 SD Laki-laki 3 Sagu Basah
9. Erfan 37 SMA Laki-laki 2 Sagu Basah
10. Tamrin 42 SMA Laki-laki 3 Sagu Basah
11. Ilis 39 SMA Laki-laki 3 Sagu Basah
12. Kardi 25 DIII Laki-laki 1 Sagu Basah
13. Ilal 27 S1 Laki-laki 0 Sagu Basah
14. Dedi 24 S1 Laki-laki 0 Sagu Basah
Sumber : Data Primer, Tahun 2014.
27
2. Responden Usaha Sagu Kering
Responden penelitian pada usaha sagu kering adalah sebanyak 8 orang,
dari jumlah tersebut umur responden antara 30 sampai dengan 55 tahun dengan
rata-rata umur setiap responden adalah 43 Tahun. Tingkat pendidikan responden
antara SMP sampai dengan S1, pendidikan yang paling tinggi S1 sebanyak 2
orang, SMA sebanyak 3 orang, dan SMP sebanyak 3 orang. Seluruh responden
berjenis kelamin laki-laki. Dengan rata-rata tanggungan keluarga sebanyak 3
orang. Tabel 4 berikut menjelaskan karakteristik responden usaha sagu kering
secara rinci.
Tabel. 4
Karakteristik Responden Pada Usaha Sagu Kering
Kecamatan Simeulue BaratKabupaten Simeulue, Tahun 2015.
No Nama Petani
Sampel Umur
Tingkat
Pendidikan
(Tahun)
Jenis Kelamin
Jumlah
Tanggungan
Usaha SAgu
Basa/ Sagu
Kering
1. Kharim 55 SMP Laki-laki 4 Sagu Kering
2. Sawal 45 SMP Laki-laki 3 Sagu Kering
3. Basridin 42 SMA Laki-laki 4 Sagu Kering
4. Kausar Amin 50 SMP Laki-laki 4 Sagu Kering
5. Udin 49 SMA Laki-laki 4 Sagu Kering
6. Kariah 30 S1 Laki-laki 1 Sagu Kering
7. Roslan 37 SMA Laki-laki 3 Sagu Kering
8. Lukman 35 S1 Laki-laki 3 Sagu Kering
Sumber : Data Primer, Tahun 2014.
Berdasarkan penjelasan pada Tabel 4 di atas, dapat diektahui bahwa
responden yang mengusahakan sagu kering memiliki usia yang lebih dewasa,
dengan berbagai macam pengalaman di bidang usaha sagu kering. Sehingga
secara pengalaman kerja telah banyak memperoleh pengalaman dalam
memajukan usaha sagu milik mereka.
28
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Hasil Analisis Data
Hasil data yang telah diperoleh dari lapangan diolah dan ditabulasikan
menurut kebutuhan analisis. Kegiatan analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui pendapatan usaha Sagu Basah dan Sagu Kering di Kecamatan
Simeulue Barat Kabupaten Simeulue.
Analisis yang digunakan berdasarkan kesesuaian dengan tujuan dalam
kegiatan penelitian. Analisis ini diperoleh mencakup beberapa hal penting untuk
mengetahu hal-hal penting dalam analisis perbandingan usaha, diantaranya :
Analisis biaya, Penerimaan dan Keuntungan. Untuk lebih jelasnya terkait analisis
data tersebut dapat digunakan beberapa rumus sebagai berikut :
1. Biaya Usaha
a. Biaya Usaha Sagu Basah
Analisis dalam biaya usaha sangat penting untuk dilakukan dalam
menjalankan aktifitas usaha, khususnya pada usaha sagu basah maupun sagu
kering. Untuk mengetahui biaya yang diperlukan dalam usaha ini maka ada dua
jenis biaya yang harus diketahui, diantaranya biaya tetap dan biaya variabel.
Dengan diketahui biaya tersebut, maka akan diketahui seluruh total biaya yang
dibutuhkan. Setiap biaya yang dikeluarkan oleh responden sangat bergantung dari
jenis usaha sagunya dan banyak produksi yang dihasilkan dalam usaha tersebut.
Dan pengeluaran biaya ini dapat di tekan apabila dalam pelaksanaannya mampu
menggunakan anggaran yang ada dengan sefektif dan seefisien mungkin. Tabel 5
berikut menjelaskan secara rinci tekait dengan kebutuhan biaya dalam usaha sagu
basah.
29
Tabel. 5
Penggunaan Biaya Produksi Pada Usaha Sagu Basah
di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue, Tahun 2015.
No Nama
Responden
Jumlah
Produksi
(Kg)
Biaya
Tetap
(Rp)
Biaya Variabel
(Rp)
Total Biaya
(Rp)
()
Total Biaya
Produksi
Per Kg (Rp)
(a) (b) © (d) (e) (f) (g)
1 Wadi Hasri 11.000 2.180.000,- 34.556.000,- 36.736.000,- 3.340,-
2 Parlaungan 12.000 2.275.000,- 36.575.000,- 38.850.000,- 3.238,-
3 M. Ludin 10.000 2.170.000,- 34.376.000,- 36.546.000,- 3.655,-
4 Sahwan 9.000 2.035.000,- 33.456.000,- 35.850.000,- 3.983,-
5 Sabarudin 11.000 2.085.000,- 35.576.000,- 37.661.000,- 3.424,-
6 Kafri Amin 10.000 2.085.000,- 36.227.000,- 38.312.000,- 3.831,-
7 Isman 10.000 2.050.000,- 34.124.000,- 36.174.000,- 3.617,-
8 Yunir 9.000 2.180.000,- 35.576.000,- 37.756.000,- 4.195,-
9 Erfan 10.000 2.085.000,- 33.576.000,- 35.661.000,- 3.566,-
10 Tamurin 11.000 2.050.000,- 35.586.000,- 37.636.000,- 3.421,-
11 Ilis 11.000 2.085.000,- 35.560.000,- 37.645.000,- 3.422,-
12 Kurdi 10.000 2.180.000,- 36.535.000,- 38.715.000,- 3.872,-
13 Ilal 11.000 2.005.000,- 35.576.000,- 37.661.000,- 3.424,-
14 Dedi 10.000 1.625.000,- 31.765.000,- 33.390.000,- 3.339,-
Total 144.000 29.190.000,- 498.064.000,- 527.254.000,- 50.327,-
Rata -rata 10.286 2.085.000,- 35.576.000,- 37.661.000,- 3.595,-
Sumber : Data Primer, 2015.
Berdasarkan penjelasan pada Tabel 5 di atas, dapat diketahui bahwa
besarnya total biaya tetap dari keseluruhan responden adalah Rp.29.190.000.
sedangkan untuk rata-rata biaya tetap dalam usaha sagu basah adalah Rp.2.085.000.
untuk kebutuhan total biaya variabel dalam usaha sagu basah adalah sebesar
498.064.000, sedangkan rata-rata untuk setiap reponden sebesar Rp.35.576.000.
Sedangkan total biaya usaha sagu basah secara keseluruhan sebesar
Rp.527.254.000, dengan rata-rata per responden adalah sebesar Rp.37.661.000.
besaran biaya tersebut diperoleh dari hasil penambahan antara biaya tetap dan biaya
variabel dari masing-masing responden.
Jadi apabila total biaya dibagi dengan total produksi, maka rata-rata biaya
produksi per kilogramnya adalah sebesar Rp.3.595.
30
b. Biaya Usaha Sagu Kering
Hasil perhitungan dari analisis usaha untuk sagu kering sama halnya
dengan perhitungan biaya pada usaha sagu basah. Hanya saja pada sagu kering
untuk biayanya sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan biaya usaha pada
sagu basah.
Hasil uraian biaya pada Tabel 6 di bawah, menunjukkan bahwa besarnya
total biaya tetap pada usaha sagu kering adalah Rp.22.016.000, dengan rata-rata per
responden sebesar Rp.2.752.000. Sedangkan untuk total biaya variabel sebesar
Rp.334.000.000, dan rata-rata untuk setiap responden adalah sebesar
Rp.41.750.000. Jadi dengan demikian secara keseluruhan total biaya usaha sagu
kering adalah sebesar Rp.356.016.000 dan rata-rata setiap responden adalah
sebanyak Rp.44.502.000.
Sedangkan hasil pembagian antara total biaya dengan total produksi usaha
sagu kering secara keseluruhan adalah sebesar Rp.43.369, dan rata-rata setiap
responden adalah sebesar Rp.5.421. Berikut ini adalah hasil pembagian secara
rinci antara total biaya dengan total produksi yang dijelaskan pada Tabel 6 berikut
ini.
Tabel. 6
Penggunaan Biaya Produksi Pada Usaha Sagu Kering
di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue, Tahun 2015.
No Nama
Responden
Jumlah
Produksi
(kg)
Biaya Tetap
(Rp)
Biaya
Variabel
(Rp)
Total Biaya
(Rp)
Total Biaya
Produksi
Per Kg (Rp)
1 Kharim 7.600 2.854.000,- 40.830.000,- 43.684.000,- 5.745,-
2 Sawal 7.800 2.662.000,- 42.660.000,- 45.322.000,- 5.811,-
3 Basridin 7.900 2.756.000,- 41.770.000,- 44.526.000,- 5.636,-
4 Kausar Amin 7.500 2.658.000,- 40.640.000,- 43.298.000,- 5.773,-
5 Udin 7.900 3.355.000,- 42.830.000,- 46.185.000,- 5.846,-
6 Kariah 7.600 2.454.000,- 42.740.000,- 45.194.000,- 5.947,-
7 Roslan 7.700 2.697.000,- 40.560.000,- 43.257.000,- 3.618,-
8 Lukman 7.600 2.580.000,- 42.970.000,- 45.550.000,- 4.993,-
Total 61.600 22.016.000,- 334.000.000,- 356.016.000,- 43.369,-
Rata -rata 7.700 2.752.000,- 41.750.000,- 44.502.000,- 5.421,-
Sumber : Data Primer, 2015.
31
2. Penerimaan Usaha
a. Penerimaan Usaha Sagu Basah
Penerimaan merupakan hasil perhitungan antara total produksi yang
diperoleh dikalikan dengan harga jual produk. Besaran penerimaan sangat
ditentukan oleh besarnya produksi dan harga jual dari produk itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan pada Tabel 7 di bawah ini, maka dapat diketahui
bahwa secara keseluruhan produksi sagu basah seluruh responden sebanyak
144.000 kg, dan rata-rata setiap responden sebanyak 10.286 kg. Untuk harga
setiap kilo gramnya adalah sebesar Rp.4.000. Hasil perkalian antara jumlah
produksi rata-rata setiap responden, maka diperoleh penerimaan sebesar
Rp.41.285.714. Hasil analisis terkait dengan Produksi yang dihasilkan dalam
usaha sagu basah dapat dilihat pada uraian Tabel. 7 berikut ini.
Tabel. 7
Penerimaan Pada Usaha Sagu Basah
di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue, Tahun 2015.
No Nama Responden Produksi
(kg)
Harga Jual/kg
(Rp)
Penerimaan
(Rp)
1 Wadi Hasri 11.000 4.500,- 49.500.000,-
2 Parlaungan 12.000 3.500,- 42.000.000,-
3 M.Ludin 10.000 4.000,- 40.000.000,-
4 Sahwan 9.000 4.500,- 40.500.000,-
5 Sabarudin 11.000 3.500,- 38.500.000,-
6 Kafriamin 10.000 4.000,- 40.000.000,-
7 Isman 10.000 4.000,- 40.000.000,-
8 Yunir 9.000 4.500,- 40.500.000,-
9 Erfan 10.000 4.000,- 40.000.000,-
10 Tamurin 11.000 4.000,- 44.000.000,-
11 Ilis 11.000 4.000,- 44.000.000,-
12 Kurdi 10.000 4.000,- 40.000.000,-
13 Ilal 11.000 4.000,- 44.000.000,-
14 Dedi 10.000 3.500,- 35.000.000,-
Total 144.000 56.000,- 578.000.000,-
Rata -rata 10.286 4.000,- 41.285.714,- Sumber : Data Primer, 2015
32
Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa besaran penerimaan akan
tergantung dari hasil produksi yang diperoleh dari kegiatan usaha sagu basah
tersebut. Salah satunya usaha yang telah berjalan ini menghasilkan rata-rata
penerimaan setiap responden sebesar Rp.41.535.714 untuk setiap respondennya,
dan rata-rata penerimaan setiap kilogramnya adalah sebesar 4.000,-.
b. Penerimaan Usaha Sagu Kering
Penerimaan untuk usaha sagu kering secara produksi jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan usaha sagu basah. Namun, untuk selisih harga jual sagu
kering lebih mahal dan lebih besar dibanding sagu basah. Tabel. 8 berikut ini
merupakan hasil perhitungan antara jumlah produk dan harga jual dari produksi
sagu kering. Produksi Sagu kering, apabila pada saat masih basah sebanyak 10
ton, maka akan menghasilkan sagu kering sebanyak 7.700 kg, dengan harga jual
rata-rata sebesar Rp.6.500.
Tabel. 8
Penerimaan Pada Usaha Sagu Kering
di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue, Tahun 2015.
No Nama Responden Produksi
(Kg)
Harga Jual/kg
(Rp)
Penerimaan
(Rp)
1 Kharim 7.600 6.500,- 49.400.000,-
2 Sawal 7.800 6.500,- 50.700.000,-
3 Basridin 7.900 6.500,- 51.350.000,-
4 Kausar Amin 7.500 6.500,- 48.750.000,-
5 Udin 7.900 6.000,- 47.400.000,-
6 Kariah 7.600 6.500,- 49.400.000,-
7 Roslan 7.700 7.000,- 53.900.000,-
8 Lukman 7.600 6.500,- 49.400.000,-
Total 61.600 52.000,- 400.300.000,-
Rata -Rata 7.700 6.500,- 50.087.538,- Sumber : Data Primer, 2015.
Berdasarkan penjelasan pada Tabel . 8 di atas, jumlah besaran rupiah yang
diperoleh, pada penerimaan usaha sagu kering jauh lebih besar dibandingkan
33
dengan jumlah penerimaan pada usaha sagu basah, yaitu sebesar 400.300.000
untuk keseluruhan responden, atau rata-rata setiap responden sebesar
Rp.50.087.538. Sedangkan penerimaan rata-rata untuk setiap kilo gram sagu
kering adalah sebesar Rp.6.500,- Hal ini dapat terjadi dikarenakan selisih harga
yang terpaut cukup jauh. Sehingga usaha sagu kering ini secara penerimaan lebih
baik hasil penerimaannya.
3. Pendapatan Usaha
a. Pendapatan Usaha Sagu Basah
Pendapatan merupakan hasil pengurangan antara besarnya penerimaan
usaha dengan total biaya yang dikeluarkan dalam usaha yang dilakukan. Besarnya
pendapatan sangat bergantung pada besarnya penerimaan dengan besarnya biaya
yang dikeluarkan. Besarnya jumlah pendapatan juga sangat bergantung pada
harga jual, dan jumlah produksi serta jenis produk yang dihasilkan. Hal ini
penting diperhatikan agar memperoleh pendapatan sesuai dengan yang
diharapkan.
Pendapatan yang diperoleh dari hasil perhitungan yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa pendapatan untuk usaha sagu basah sesuai dengan yang
ditunjukkan oleh Tabel 9. Pendapatan usaha sagu basah secara keseluruhan
berdasarkan Tabel tersebut adalah sebesar Rp.58.407.000 dan rata-rata setiap
responden adalah sebesar Rp.4.171.929.
Dari jumlah tersebut, secara pendapatan ini telah cukup baik, namun
demikian pendapatan dapat ditingkatkan lagi apabila terjadi efisiensi dalam
penggunaan biaya dalam proses produksi. Secara lebih jelasnya dapat dilihat pada
uraian Tabel 9 berikut ini.
34
Tabel. 9
Pendapatan Pada Usaha Sagu Basah
di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue, Tahun 2015.
No
responden
Produksi
(kg)
Harga Jual / kg
(Rp) Total Biaya (Rp)
Penerimaan
(Rp)
(II x III)
Pendapatan
(Rp)
(V - IV)
I II III IV 3V VI
1 11.000 4.500,- 36.736.000,- 49.500.000,- 12.764.000,-
2 12.000 3.500,- 38.850.000,- 42.000.000,- 3.150.000,-
3 10.000 4.000,- 36.546.000,- 40.000.000,- 3.454.000,-
4 9.000 4.500,- 35.850.000,- 40.500.000,- 4.650.000,-
5 11.000 3.500,- 37.661.000,- 38.500.000,- 839.000,-
6 10.000 4.000,- 38.312.000,- 40.000.000,- 1.688.000,-
7 10.000 4.000,- 36.174.000,- 40.000.000,- 3.826.000,-
8 9.000 4.500,- 37.756.000,- 40.500.000,- 2.744.000,-
9 10.000 4.000,- 35.661.000,- 40.000.000,- 4.339.000,-
10 11.000 4.000,- 37.636.000,- 44.000.000,- 6.364.000,-
11 11.000 4.000,- 37.645.000,- 44.000.000,- 6.355.000,-
12 10.000 4.000,- 38.715.000,- 40.000.000,- 1.285.000,-
13 11.000 4.000,- 37.661.000,- 44.000.000,- 6.339.000,-
14 10.000 3.500,- 33.390.000,- 35.000.000,- 1.610.000,-
Jumlah 144.000 56.000,- 527.254.000,- 578.000.000,- 58.407.000,-
Rerata 10.286 4.000,- 37.661.000,- 41.285.714,- 4.171.929,-
Sumber : Data Primer, 2015.
Berdasarkan penjelasan pada Tabel. 9 di atas, dapat diketahui bawa
pendapatan rata-rata setiap responden dengan jumlah produksi sebanyak 10.286
kg adalah sebesar Rp.4.171.929. Sedangkan dalam setiap kilogram sagu basah
diperoleh pendapatan sebesar Rp.405.
b. Pendapatan Usaha Sagu Kering
Pendapatan untuk sagu kering secara perhitungan menunjukkan tingkat
pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan usaha sagu
kering. Hal ini dikarenakan penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan
produk yang terbilang tinggi, sehingga pendapatan yang diperoleh jauh lebih besar
dari usaha sagu basah.
35
Pendapatan pada usaha sagu kering berdasarkan hasil perhitungan pada
Tabel. 10 di bawah ini menunjukkan bahwa pendapatan secara keseluruhan adalah
sebesar Rp.45.854.000 dengan pendapatan rata-rata setiap responden sebesar
Rp.5.731.750. Untuk lebih jelasnya terkait dengan pendapatan usaha sagu kering
dapat dilihat pada uraian Tabel 10 di bawah ini.
Tabel. 10
Pendapatan Pada Usaha Sagu Kering
di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue, Tahun 2015.
No
Responden
Produksi
(kg)
Harga Jual/kg
(Rp)
Total Biaya
(Rp)
Penerimaan
(Rp)
Pendapatan
(Rp)
(a) (b) (c) (d) (d) (e) 1 7.600 6.500,- 43.684.000,- 49.400.000,- 5.716.000,-
2 7.800 6.500,- 45.322.000,- 50.700.000,- 5.378.000,-
3 7.900 6.500,- 44.526.000,- 51.350.000,- 6.824.000,-
4 7.500 6.500,- 43.298.000,- 48.750.000,- 5.452.000,-
5 7.700 6.000,- 46.185.000,- 47.400.000,- 1.215.000,-
6 7.600 6.500,- 45.194.000,- 49.400.000,- 4.206.000,-
7 7.900 7.000,- 43.257.000,- 53.900.000,- 10.643.000,-
8 7.600 6.500,- 45.550.000,- 49.400.000,- 3.850.000,-
Jumlah 61.600 52.000,- 356.016.000,- 400300.000,- 43.284.000,-
Rerata 7.700 6.500,- 44.502.000,- 50.087.538,- 5.410.500,-
Sumber : Data Primer, 2015.
Berdasarkan penjelasan pada Tabel 10 di atas, maka dapat diketahui
bahwa pendapatan rata-rata setiap responden adalah sebesar Rp.5.410.500.
Dari hasil perhitungan tersebut jelaslah bahwa pendapatan usaha sagu
kering lebih besar (Rp.1079) dibandingkan dengan pendapatan usaha sagu basah
hanya sebesar Rp.405.
36
4.3 Pembahasan
1. Biaya Produksi Usaha Sagu Basah dan Sagu Kering
Biaya produksi usaha sagu basah adalah sebesar Rp.37.661.000,- dan
usaha sagu kering sebesar Rp.44.502.000,-. Dari kedua biaya tersebut, secara
sepintas terlihat bahwa lebih besar biaya usaha sagu kering. Namun apabila
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari kegiatan usaha tersebut baik
dalam bentuk penerimaan maupun pendapatan memperlihatkan hasil yang jauh
lebih baik pada usaha sagu kering. Maka biaya usaha sagu basah akan lebih
besar dibandingkan dengan usaha sagu kering itu sendiri, sehingga dengan
demikian usaha sagu kering lebih layak diusahakan ketimbang sagu basah.
2. Penerimaan Usaha Sagu Basah dan Usaha Sagu Kering
Penerimaan adalah hasil yang diperoleh dari suatu produksi usaha
dalam hal ini adalah usaha sagu basah dan usaha sagu kering. Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan Suratiyah (2008), bahwa penerimaan atau disebut juga
income dari seseorang warga masyarakat adalah hasil penjualannya dari faktor-
faktor produksi yang dimilikinya pada sektor produksi dan pada produksi ini
membeli faktor-faktor produksi tersebut untuk digunakan sebagai input proses
dengan harga yang berlaku di pasar produksi.
Bardasarkan hasil rata-rata produksi untuk setiap responden usaha sagu
basah adalah sebanyak 10.286 kg dikalikan dengan harga sebesar Rp.4.000.
Maka penerimaan yang diperoleh dari hasil analisis adalah sebesar
Rp.41.285.714,-. Dengan penerimaan setiap kilogramnya adalah sebesar
Rp.4.000. Sedangkan untuk usaha sagu kering dari rata-rata produksi sebanyak
7.700 dikalikan dengan harga jual sebesar Rp.6.500 per kilogramnya. Maka
37
diperoleh penerimaan sebesar Rp.50.087.538. Dengan penerimaan setiap
kilogramnya adalah sebesar Rp.6.500.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa secara penerimaan, usaha sagu
kering lebih baik dari sisi penerimaannya. Hal ini terbukti dengan hasil
perhitungan terhadap tingkat penerimaan dari kedua jenis usaha yang telah
dilakukan.
3. Pendapatan Usaha Sagu Basah dan Usaha Sagu Kering
Pendapatan dalam suatu usaha sagu basah dan usaha sagu kering terdiri
dari jumlah total pendapatan keseluruhan yang dikurangi dengan total jumlah
biaya yang dikeluarkan dalam suatu produksi usaha sagu basah dan usaha sagu
kering. Pendapatan yang diperoleh dalam suatu sangat bergantung pada
efisiensi terkait hal waktu dan efektifitas dalam penggunaan biaya maupun
kegiatan produksi. Semakin efisien dan efektif dalam suatu usaha usaha sagu
basah dan usaha sagu kering, maka akan semakin besar keuntungan yang akan
diperoleh.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, besar pendapatan yang
diperoleh dalam usaha sagu basah yang telah peneliti lakukan rata-rata setiap
responden adalah sebesar Rp.4.171.929. Dengan pendapatan setiap
kilogramnya adalah sebebsar Rp.405. Besaran pendapatan tersebut diperoleh
dari hasil pengurangan antara jumlah total penerimaan yang dihasilkan
Rp.4.000, dikurangi dengan total biaya yang diperlukan dalam usaha sagu
basah yakni sebesar Rp.3.595.
38
Sedangkan untuk usaha sagu kering diperoleh pendapatan sebesar
Rp.5.410.500,-. Dengan pendapatan setiap kilogramnya sebesar Rp.1.079.
Pendapatan tersebut diperoleh dari hasil pengurangan antara jumlah total
penerimaan dikurang dengan jumlah total biaya yang diperlukan yakni sebesar
Rp.6.500, dikurangi dengan Rp.5.421,-.
Jadi dapat diketahui bahwa pendapatan rata-rata dari setiap responden
usaha sagu kering lebih menguntungkan dibandingkan dengan pendapatan rata-
rata dari setiap produksi usaha sagu basah dengan selisih pendapatan sebesar
Rp.297.
4.3.1 Perbedaan Pendapatan Usaha Sagu Basah dan Usaha Sagu Kering
1. Pendapatan Usaha Sagu Basah
Pendapatan sagu basah merupakan pendapatan yang dihasilkan dari sagu
pati yang masih basah (belum mengalami penjemuran). Harga yang ditetapkan
untuk sagu basah rata-rata sebesar Rp.4.000 untuk per kilogramnya. Dalam setiap
1 minggu diperoleh 10 batang sagu yang mampu dipanen. Setiap satu batang sagu
dihasilkan 100 kg tepung sagu, bila sebanyak 10 batang maka diperoleh tepung
sagu sebanyak 1.000 kg, sehingga apabila dikalikan dengan harga sagu basah
sebesar Rp.4000, maka diperoleh pendapatan sebesar Rp.4.000.000.
Pendapatan tersebut di atas diperoleh dari harga yang sedang berlaku saat
itu, pendapatan dapat saja berubah apabila pada harga terjadi kenaikan disebabkan
tingginya permintaan, maupun terjadi penurunan apabila terjadinya panen besar-
besaran.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendapatan dapat saja menjadi
lebih tinggi apabila permintaan sagu basah tinggi, dan bahkan dapat juga
39
pendapatan menjadi menurun apabila terjadi panen besar-besaran sedangkan
permintaan sagu tetap sama.
2. Pendapatan Usaha Sagu Kering
Nilai suatu produk akan lebih tinggi harganya apabila mengalami proses
yang lebih lanjut. Hal ini juga berlaku untuk tepung sagu. Sagu kering harganya
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga sagu basah. Harga ini dipengaruhi
adanya proses lebih lanjut dari sagu basah menjadi sagu kering. Perbedaan harga
sagu basah dengan sagu kering cukup signifikan, yakni pada sagu basah seharga
Rp.4.000, sedangkan untuk sagu kering seharga Rp.6.500.
Namun, untuk sagu kering, mengalami penyusutan dalam jumlah beratnya
(kilogramnya), rata-rata 20%-30%. Sehingga apabila 1.000 kg sagu basah, maka
ketika sagu kering menjadi sebesar 700 kg, dan apabila dikalikan dengan harga
Rp.6.500 berjumlah Rp.4.550.000. Dengan kata lain, apabila dibadingkan dengan
sagu basah memiliki selisih sebesar Rp.550.000.
Perbedaan tersebut di atas menunjukkan bahwa sagu kering memberikan
nilai tambah yang cukup baik dalam hal peningkatan produk dari sagu tersebut.
Hanya mengalami sedikit perlakuan, yakni penjemuran, dapat memberikan nilai
tambah yang cukup signifikan dalam peningkatan pendapatan dari usaha sagu
tersebut.
Secara khusus pendapatan sangat dipengaruhi adanya kegiatan produksi
dari usaha itu sendiri, dalam hal ini adalah usaha sagu basah dan usaha sagu
kering. Semakin efektif dan efisien dalam menjalankan suatu usaha, maka akan
semakin dapat ditekan jumlah biayaa yang dikeluarkan. Sehingga secara tidak
langsung dapat meningkat dikarenakan beban biaya dapat dikurang tanpa
40
mengganggu proses kerja yang telah direncakan dalam mencapai tujuan usaha
yaitu mendapatkan keuntungan.
41
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Total biaya (total cost) produksi dalam setiap kilogram sagu basah sebesar
Rp.3.595. Sedangkan total biaya produksi dalam setiap kilogram sagu kering
adalah sebesar Rp.5.421.
2. Total Penerimaaan Usaha sagu basah dari rata-rata produksi setiap responden
sebanyak 10.286 kg dengan harga rata-rata sebesar Rp.4.000 adalah sebesar
Rp.41.285.714,-. Sedangkan untuk usaha sagu kering dengan jumlah produksi
rata-rata 7.700 kg pada setiap responden dikalikan dengan harga rata-rata
Rp.6.500, maka memproleh penerimaan sebesar Rp.50.087.538.
3. Rata-rata Pendapatan Responden Pengusaha Sagu Kering adalah sebesar
Rp.5.410.500. Sedangkan rata-rata pendapatan Pengusaha Sagu Basah adalah
sebesar Rp.4.171.929.
4. Rata-rata penerimaan per kg (Rp.6.500) dikurangi rata-rata biaya produksi per
kg (Rp.5.421) didapatkanlah nilai pendapatan per kilogram sagu kering yaitu
sebesar Rp.1.079. Sedangkan rata-rata pendapatan per kg sagu basah sebesar
Rp.405. Nilai ini diperoleh dari rata-rata penerimaan per kg sagu basah
(Rp.4.000) dikurangi rata-rata biaya produksi per kg (Rp.3.595).
5. Pendapatan per kg Sagu Kering lebih menguntungkan daripada pendapatan per
kg sagu basah dengan selisih sebesar Rp.1079 – Rp.405 = Rp.674.
42
5.2 Saran
1. Bagi Pemerintah
a. Untuk memberikan kredit lunak kepada Pengusaha Sagu agar dapat
memperbesar kapasitas produksi guna meningkatkan pendapatan.
b. Memberikan pelatihan kepada Produsen Sagu sehingga hasil produksi
mereka memiliki kualitas yang lebih baik dan dikemas untuk dipasarkan
keluar Kabupaten Simeulue.
2. Pengusaha Sagu
a. Pengusaha perlu mempertimbangkan untuk fokus meningkatkan produksi
sagu kering dibandingkan dengan sagu basah. Sebagaimana telah
dijelaskan pada bagian kesimpulan, selisih keuntungan antara per kilogram
sagu kering dan sagu basah adalah senilai Rp.674.
b. Hasil analisa data di atas menunjukkan bahwa sagu kering lebih
menguntungkan dibandingkan dengan sagu basah. Selain itu sagu kering
dapat bertahan lebih lama dan memiliki nilai tambah sehingga dapat
menjangkau pasar yang lebih luas.
3. Bagi Peneliti Lain
a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan usaha sagu basah dan
usaha sagu kering.
b. Dapat menjadi bahan rujukan dan pertimbangan secara ilmu dan teknologi
usaha yang memadai dari sudut pandang ekonomi dan budaya.
43
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2014. Data Statistik Hasil Pertanian Kabupaten Simuelue. BPS.
Simuelue.
Firdaus, Muhammad. 2008. Manajemen Agriusaha. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Ibrahim, Yacop. 2008. Studi Kelayakan Usaha. Cetakan Ke – 5 Rineka Cipta.
Jakarta.
Johan, Suito. 2011. Studi kelayakan pengembangan usaha Sagu. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Kindangen, J. G. dan I. E. Malia. 2006. Pengembangan Potensi dan
Pemberdayaan Petani Sagu di Sulawasi Utara. Dalam Prosiding Seminar
Sagu Nasional Sagu untuk Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Bogor.
Lukminto, H. 2007. Strategi Industri Pangan Menghadapi Pasar Global. Majalah
Pangan No. 33, Vol. IX.
Iqbal, Muhammad. 2011. http.google.com. Penelitian Tentang Mie Instan
Berbahan Baku Tepung Sagu. Diakses Tanggal 24 November 2014.
Mulyadi, 2007. Akutansi Biaya. Yogyakarta : Kanisius.
Pangloli. P. dan Royaningsih. 2006. Pengaruh Substitusi Terigu Dengan Pati
Sagu dalam Pembuatan Biscuits Marie dan Cracker. Dalam Prosiding
Simposium Sagu. Jakarta : Budi Karya.
Pranamuda, M. Y. Tokiwa dan H. Tanaka. 2006. Pemanfaatan Pati Sagu Sebagai
Bahan Baku Biodegradable Plastik. Jakarta : Cipta Karya.
Samad, M. Y. 2007. Pembuatan Beras Tiruan (Artificial Rice) dengan Bahan
Baku Sagu. Jakarta : Budi Karya.
Shinta, A., 2005. Ilmu Usahatani. Diktat Kuliah Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Suratiyah, K. 2008. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suryana, A. 2005. Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2005-
2009. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian.
Umar, Husein 2009. Studi Kelayakan Usaha. Edisi 3 Revisi. Gramedia Pustaka
Utama. Jakata.
44
Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatan Penelitian
DOKUMENTASI KEGIATAN PENELITIAN
Gambar 1. Perkebunan Sagu
Gambar 2. Batang Sagu Hasil Potongan Mesin Cainsaw
Gambar 3. Batang Sagu Sedang Diparut Dengan Mesin
45
Gambar 4. Pemarutan Sagu Secara Tradisonal
Gambar 5. Batang Sagu Sedang Diparut Dengan Secara Manual
Gambar 6. Batang Sagu Sedang Diparut Dengan Mesin
46
Gambar 7. Proses Pengayakan Sagu Basah
Gambar 8. Sagu Basah Dalam Kemasan Karung
Gambar 9. Proses Pengangkutan Sagu Basah Menuju Pedagang Besar
47
Gambar 10. Hasil Sagu Basah
Gambar 11. Proses Penjemuran Sagu Kering
Gambar 12. Sagu Kering
48
Gambar 13. Kemasan Kecil Sagu Kering