hutan mangrove dan pemberdayaan perempuan … · berlinda sambil memperlihatkan bekas goresan luka...

3
HUTAN MANGROVE DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KAMORO USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN Oleh: Rini Sulistyawati Hari menjelang siang ketika LESTARI tiba di Kam- pung Pigapu, Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimi- ka, Papua. Sebagaimana biasanya, siang di desa ini kerap menawarkan pemandangan khas pesisir, yak- ni rumah-rumah panggung kayu berjejer yang ko- song dan lengang ditinggal penghuninya yang pergi melaut. Orang Kamoro, penduduk lokal di sini, bia- sanya menangkap ikan, udang dan kepiting yang ba- nyak ditemui di sepanjang pesisir. Mereka juga me- ngumpulkan kayu bakar dan hasil hutan non-kayu un- tuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kampung Pigapu terletak di wilayah terpencil di da- lam kawasan hutan mangrove dan hutan rawa air tawar Poumako, yang membentang di wilayah pesisir selatan Kabupaten Mimika. Untuk menuju ke Pigapu, pendatang bisa menggunakan mobil selama 1,5 jam dari Timika, ibukota Kabupaten Mimika. Untunglah kondisi jalan saat ini sudah beraspal sehingga memu- dahkan perjalanan. Sambil berjalan menelusuri kampung ini, LESTARI menemukan sebuah bangunan permanen yang di- gunakan sebagai Balai Desa. Didalamnya, seorang perempuan duduk santai di kursi kayu panjang. Dia adalah Mama Berlinda, istri kepala desa. “Dong (me- Mengikuti jejak Mama Berlinda, kini mama-mama di kampung se- cara rutin mengolah teh mangrove baik untuk dikonsumsi sehari-hari maupun untuk dijual kepada pembeli yang datang ke kampung. Dari hasil olahan yang sederhana perempuan Kamoro di Pigapu telah merintis jalan menuju pem- berdayaan diri dan komunitasnya. USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 1

Upload: duongthu

Post on 05-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HUTAN MANGROVE DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KAMORO

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN

Oleh: Rini Sulistyawati

Hari menjelang siang ketika LESTARI tiba di Kam-pung Pigapu, Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimi- ka, Papua. Sebagaimana biasanya, siang di desa ini kerap menawarkan pemandangan khas pesisir, yak- ni rumah-rumah panggung kayu berjejer yang ko-song dan lengang ditinggal penghuninya yang pergi melaut. Orang Kamoro, penduduk lokal di sini, bia- sanya menangkap ikan, udang dan kepiting yang ba- nyak ditemui di sepanjang pesisir. Mereka juga me- ngumpulkan kayu bakar dan hasil hutan non-kayu un-tuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kampung Pigapu terletak di wilayah terpencil di da-lam kawasan hutan mangrove dan hutan rawa air tawar Poumako, yang membentang di wilayah pesisir selatan Kabupaten Mimika. Untuk menuju ke Pigapu, pendatang bisa menggunakan mobil selama 1,5 jam dari Timika, ibukota Kabupaten Mimika. Untunglah kondisi jalan saat ini sudah beraspal sehingga memu-dahkan perjalanan.

Sambil berjalan menelusuri kampung ini, LESTARI menemukan sebuah bangunan permanen yang di-gunakan sebagai Balai Desa. Didalamnya, seorang perempuan duduk santai di kursi kayu panjang. Dia adalah Mama Berlinda, istri kepala desa. “Dong (me-

Mengikuti jejak Mama Berlinda, kini mama-mama di kampung se-cara rutin mengolah teh mangrove baik untuk dikonsumsi sehari-hari maupun untuk dijual kepada pembeli yang datang ke kampung. Dari hasil olahan yang sederhana perempuan Kamoro di Pigapu telah merintis jalan menuju pem-berdayaan diri dan komunitasnya.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 1

reka) saya suruh pergi ambil Dowao di hutan,” ujar- nya mencoba menjelaskan keberadaan anak dan ke- rabatnya kepada LESTARI.

Dowao merupakan istilah lokal (Kamoro) untuk menyebut tanaman mangrove Acanthus ilicifolius. Tanaman semak ini biasa tumbuh liar di daerah pan-tai, tepi sungai serta tempat-tempat lain yang tanah- nya berlumpur dan berair payau. Tipe mangrove ini ditemukan di hutan mangrove di India Selatan, Srilanka, Indochina, Indonesia dan bagian utara Aus-tralia. Ekosistem hutan mangrove menyimpan kar- bon dalam jumlah tinggi dan menjadi rumah bagi aneka keanekaragaman hayati yang bernilai ekonomi tinggi.

Kendati hutan mangrove memiliki nilai ekologi dan ekonomi tinggi, informasi ini tidak diketahui oleh Mama Berlinda dan penduduk Pigapu. Namun situa- si ini lambat-laun berubah semenjak penduduk turut serta dalam program pengembangan mata penca- harian alternatif yang digagas USAID IFACS pada ta-hun 2014.

Harta karun di hutan mangrove

Mama Berlinda mengenang pengalamannya yang mencerahkan setelah mengikuti Sekolah Lapang Pesisir tiga tahun lalu. Dia bersama penduduk desa lainnya belajar untuk mencari sumber-sumber peng-hasilan alternatif menggunakan sumber daya alam

yang ada di sekitar mereka. Tak disangka sumber inspirasi itu berasal dari hutan mangrove yang me- lingkupi kehidupan mereka namun diabaikan, yakni Acanthus ilicifolius. Melalui pelatihan, Mama Berlin- da belajar mengolah daun mangrove menjadi teh herbal yang bisa dikonsumsi. “Tong (kita) tidak perlu lagi beli teh di kios,” katanya.

Semenjak menunaikan pelatihan, Mama Berlinda semakin bersemangat mengumpulkan daun mang- rove dan mengolahnya secara rumahan. Tentu jalan yang dia lalui untuk mendapatkan daun ini tidaklah mudah. Untuk menuju ke lokasi pemetikan di hutan mangrove Poumako, Mama Berlinda dan keluarga- nya harus menggunakan perahu untuk menyusuri sungai yang membawa mereka ke kawasan hutan. Tantangan lain muncul saat memetik daun. Tinggi pohon ini bisa mencapai dua meter dan daunnya yang berbentuk panjang, runcing dengan banyak du- ri akan melukai para pemetiknya. “Setengah mati petik daunnya, banyak duri-duri tajam,” ungkap Mama Berlinda sambil memperlihatkan bekas goresan luka di lengan dan tangannya.

Perjuangan menuju hutan mangrove ini untungnya berakhir manis. Mama Berlinda akan kembali ke ru-mahnya dengan daun mangrove yang telah dikum-pulkan. Daun ini kemudian dicuci dan duri-duri dari daun dibuang. Setelah itu, daun digunting menjadi iri-san panjang untuk kemudian dijemur hingga kering di bawah matahari.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 2

Foto: Daun Acanthus ilicifolius dinilai mengandung zat saponin, polifenol, alkaloid dan flavonoid, serta asam amino yang diantaranya berkhasiat sebagai anti- radang.

Teh mangrove sebagai obat herbal

Penyajian teh daun Acanthus terbilang sangat se-derhana. Sejumput irisan daun yang sudah kering diseduh dengan air mendidih. Kemudian setelah daun teh mengendap, air rebusan dapat segera diminum selagi hangat dan sebaiknya tidak perlu ditambahkan gula.

Teh mangrove memiliki rasa khas yaitu sedikit sepat tetapi segar dan beraroma lumpur mangrove. “Setiap hari Mama minum teh ini,” tandas Mama Berlinda. Menurut pengalamannya, beberapa penya-kitnya sembuh setelah mengonsumi teh mangrove selama tiga tahun. Sebelumnya Mama Berlinda mengidap penyakit gula darah yang mengakibatkan luka-luka koreng dan bengkak di sekujur kakinya. Kini koreng dan bengkak di kakinya telah lenyap. Konsumsi teh mangrove secara teratur juga mem-perbaiki pencernaannya.

Khasiat mangrove ini telah diuji oleh Badan Penga- was Obat dan Makanan (POM) yang melalui uji la- boratorium mencoba melihat kandungan kimia ala-mi pada Acanthus ilicifolius. Hasilnya, tanaman yang tumbuh melimpah di hutan mangrove ini dinilai mengandung zat saponin, polifenol, alkaloid dan flavonoid, serta asam amino yang diantaranya ber- khasiat sebagai anti-radang. Oleh masyarakat pesisir, daun ini digunakan untuk mengobati rematik, neu- ralgia dan luka akibat racun panah.

Mangrove sebagai produk unggulan Mimika

Selain kaya manfaat, teh mangrove juga berpoten-si menjadi salah satu produk unggulan Kabupaten

Mimika. Dengan bantuan USAID IFACS, Mama Ber-linda belajar mengolah mangrove menjadi berbagai produk makanan seperti kue, keripik dan sirup. Dia juga mendapat bantuan untuk mengemas dan mem-promosikan produk olahannya melalui berbagai pa- meran di Timika, Jayapura dan Jakarta. Pengalaman ini menambah kepercayaan diri Mama Berlinda, ter-utama setelah Wakil Bupati Mimika Yohanis Bassang, pada tahun 2015, memuji dan mengapresiasi usaha Mama Berlinda.

Mama Berlinda tidak pernah menyangka upayanya untuk mengolah daun mangrove mendapat apresi-asi dari banyak pihak. Dia bangga dan terharu akan pencapaian ini. ”Dulu saya pernah melarang mereka (tim pelatih) datang ke kampung. Ternyata melalui mereka sekarang saya bisa menghasilkan sesuatu,” ungkapnya.

Mengikuti jejak Mama Berlinda, kini mama-mama di kampung secara rutin mengolah teh mangrove baik untuk dikonsumsi sehari-hari maupun untuk dijual kepada pembeli yang datang ke kampung. Dari ha-sil olahan yang sederhana perempuan Kamoro di Pigapu telah merintis jalan menuju pemberdayaan diri dan komunitasnya. Jalan ini tentu masih panjang, tapi setiap langkah kecil yang dibuat mampu memu-tus rantai ketidakberdayaan yang memasung perem-puan di Pigapu.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 3

Foto: Mama Berlinda menjemur daun mangrove yang telah diris-iris.