hukum tata negara

Upload: arie-nonigel

Post on 12-Jul-2015

179 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HUKUM TATA NEGARAKamis, 30 Oktober 2008FUNGSI PENGAWASANPERSPEKTIF FUNGSI PENGAWASAN KOMISI YUDISIAL PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) NOMOR 005/PUU-IV/2006 ABSTRAKSI Malik, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, 2007, Perspektif Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, Komisi Pembimbing, Ketua: Sudarsono, Anggota: Tunggul Anshari SN. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya praktek penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan yang mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional. Terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor antara lain dan terutama adalah tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan peradilan. Disadari bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan. Oleh karena itu, dibutuhkan kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim. Lembaga khusus tersebut adalah Komisi Yudisial. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk mendiskripsikan dan mengkaji asas-asas hukum, taraf sinkronisasi hukum, sistematika hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum tentang pengaturan kewenangan Komisi Yudisial serta pengaturan fungsi Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ada perbedaan rumusan mengenai pengaturan kewenangan Komisi Yudisial yang diatur dalam pasal 24B UUD 945 dan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 dikatakan bahwa Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal dalam pasal 24B UUD 1945 dinyatakanKomisi Yudisial bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung . Dari segi kewenangan yang kedua, pasal 24B UUD 1945 menentukan Komisi Yudisial mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Dari ketentuan ini dapat dielaborasi menjadi (i) menjaga kehormatan hakim; (ii) menjaga keluhuran martabat hakim; (iii) menjaga perilaku hakim; (iv) menegakkan kehormatan hakim; (v) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (vi) menegakkan perilaku hakim. Dalam kata menjaga terkandung pengertian tindakan yang bersifat preventif, sedangkan dalam kata menegakkan terdapat pengertian tindakan yang

bersifat korektif. Karena itu, tiga kewenangan yang pertama bersifat preventif atau pencegahan, sedangkan tiga yang kedua bersifat korektif. Namun didalam rumusan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial huruf b, rumusan salah satu kewenangan Komisi Yudisial tersebut diubah menjadi menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim . jika dielaborasi cakupannya menjadi jauh lebih sempit, yaitu hanya (i) menegakkan kehormatan hakim; (ii) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (iii) menjaga perilaku hakim. Ini menunjukkan bahwa pembentuk Undang-undang telah mengabaikan asaskejelasan rumusan yang mensyaratkan bahwa setiap peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas, dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Substansi pengaturan fungsi pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 sekurang-kurangnya harus mencakup tiga hal yaitu: (1) Obyek Pengawasan Komisi Yudisial adalah semua hakim yang meliputi Hakim pada Mahkamah Agung, hakim pada badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung dalam lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan Hakim Pada Mahkamah Konstitusi; (2) Ruang Lingkup Pengawasan Komisi Yudisial adalah sebatas perilaku hakim bukan teknis yudisial. Untuk itu Komisi Yudisial tidak boleh memasuki teknis yudisial dengan mengkaji putusan yang independensinya dijamin secara konstitusional; (3) Pedoman Pengawasan perilaku hakim oleh Komisi Yudisial ditetapkan melalui Code of Ethics. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah adanya Komisi Yudisial. Praktek penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan, mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap badan peradilan. Keadaan badan peradilan yang demikian tidak dapat dibiarkan terus berlangsung, perlu dilakukan upaya-upaya yang luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang sungguh-sungguh dapat menjamin masyarakat dan pencari keadilan memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan. Disadari bahwa terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan sebagaimana dikemukakan di atas, disebabkan oleh banyak faktor antara lain dan terutama adalah tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan peradilan. Sehingga tidak terbantahkan, bahwa pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, bahwa lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang

dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), (4) semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pengawasan.[1] Beranjak dari pendapat di atas, menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim, sehingga membuka peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat pengampunan dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan, sehingga tidak dikenakan sanksi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dibutuhkan kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim. Lembaga khusus tersebut adalah Komisi Yudisial. Dibentuknya Komisi Yudisial pada perubahan ke 3 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan reaksi terhadap kegagalan sistem peradilan untuk menciptakan peradilan yang lebih baik. Kegagalan sistem peradilan tersebut menyangkut banyak aspek mulai dari aspek kelembagaan, aspek substansi dan aspek budaya hukum. Aspek kelembagaan antara lain mencakup sub aspek pengawasan baik pengawasan administrasi, teknis yudisial maupun perilaku hakim. Pengawasan perilaku hakim yang dilakukan Ketua Muda Urusan Pengawasan dan Pembinaan (TUADA WASBIN) dipandang belum berhasil. Kegagalan sistem pengawasan sebagaimana tersebut diatas yang kelihatannya belum dapat diatasi oleh Mahkamah Agung, namun dilain pihak pada waktu yang bersamaan juga dilaksanakan konsep peradilan satu atap (one roof system) yang justru menimbulkan kekhawatiran terjadinya monopoli kekuasaan di Mahkamah Agung. Situasi dan kekhawatiran tersebut mendorong lahirnya gagasan ke arah pembentukan lembaga independen yang berada diluar Mahkamah Agung, yang dapat mengimbangi agar tidak terjadi monopoli ke kuasaan pada lembaga tersebut. Dalam rangka merealisasikan gagasan tersebut dibentuklah Komisi Yudisial yang diharapkan menjadi external auditor, yang dapat mengimbangi pelaksana kekuasaan kehakiman. Adanya sistem pengawasan dan saling imbang dalam sistem kekuasaan kehakiman tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik. Sebagai pelaku utama badan peradilan, maka posisi dan peran hakim agung dan hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya sangat memerlukan pengawasan yang efektif. Melalui putusannya, seorang hakim misalnya: dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang, dan lain-lain. Oleh karena itu, wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan sesuai kode etik tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law) dan hakim. Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada

semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk dapat melaksanakan semua fungsinya secara efektif, hakim tentu membutuhkan kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan. Hanya dengan adanya kepercayaan itulah pengadilan dapat menyelesaikan perkara melalui jalur hukum dengan baik. Kepercayaan terhadap lembaga peradilan tidaklah muncul dengan sendirinya, tetapi harus melalui berbagai pembuktian bahwa badan peradilan dan hakim sungguh-sungguh menjunjung tinggi hukum serta menegakkan kebenaran dan keadilan secara benar dan konsisten. Oleh karenanya, dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan itu, maka hakim sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan, harus mempunyai komitmen, tekad, dan semangat dalam membersihkan badan peradilan dari segala bentuk penyalahgunaan wewenang dalam rangka memulihkan kewibawaan badan peradilan dan upaya memulihkan kepercayaan masyarakat kepada hakim. Salah satu hal penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya. Karena itu setiap hakim harus menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terkait dengan tugas Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, pada tanggal 10 Maret 2006 terdapat pengajuan permohonan ke Mahkamah Konstitusi oleh 31 Hakim Agung terhadap peninjauan atas Undang-Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dengan registrasi nomor 005/ PUU-IV/2006. Dalam permohonan tersebut, 31 Hakim Agung mengajukan judicial review atas pasal 1 angka 5, pasal 20, pasal 21, pasal 22 ayat (1) dan (5), pasal 23 ayat (2), (3), dan (5), pasal 24 ayat (1), pasal 25 ayat (3) dan (4) Undang- Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi yudisial dan pasal 34 ayat (3) Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 005/ PUU/IV-2006, menyatakan bahwa: Pertama: permohonan para pemohon menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial. Pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim Mahkamah Konstitusi akan mengganggu dan memandulkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara; Kedua: permohonan para pemohon menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 tidak cukup beralasan. Oleh karena itu, permohonan para pemohon sepanjang menyangkut hakim agung tidak terdapat cukup alasan untuk mengabulkannya. Mahkamah Konstitusi tidak menemukan dasar konstitusionalitas dihapuskannya pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim agung; Ketiga: Menyangkut fungsi pengawasan, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa segala ketentuan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Undang- Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Putusan MK Nomor 005/ PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006, telah membawa perubahan terhadap Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan terhadap sistem hukum Indonesia. Perubahan terbesar dialami oleh Komisi Yudisial, yaitu menyangkut pembatalan fungsi pengawasan Komisi

Yudisial. Dengan adanya pembatalan tersebut, mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum (rechts vakum) yang berfungsi sebagai dasar pijakan Komisi Yudisial untuk melaksanakan pengawasan terhadap perilaku hakim, sehingga diperlukan secepatnya revisi Undang- Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan fungsi pengawasan. 1.2. Rumusan Masalah Dari paparan di atas ada beberapa hal yang dapat penulis angkat sebagai masalah yaitu: 1. Bagaimanakah pengaturan kewenangan Komisi Yudisial dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;? 2. Bagaimanakah perspektif pengaturan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006? 1.3. Tujuan Penelitian Beberapa permasalahan tersebut di atas menurut peneliti perlu dan mendesak untuk diteliti dengan maksud dan tujuan untuk: 1. Mengetahui dan menganalisa pengaturan kewenangan Komisi Yudisial dalam UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial; 2. Mengetahui dan menganalisa tentang perspektif pengaturan fungsi pengawasan Komisi Yudisial Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. 1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Secara akademis studi ini diharapkan memberikan manfaat keilmuan secara teoritikal dan konseptual yang dapat dikembangkan dalam ranah studi hukum tata negara, khususnya pemikiran tentang wewenang dan fungsi pengawasan Komisi Yudisial pasca putusan Mahkamah Konstitusi; 2. Secara praktik, studi ini juga secara langsung dapat memberikan manfaat dalam rangka memberi bentuk pada peran Komisi Yudisial yang lebih ideal dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri sesuai dengan tuntutan negara hukum Indonesia. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Negara Hukum Jika dirunut ke belakang, maka faham negara hukum sebetulnya merupakan konsep yang sudah lama menjadi discourse para ahli. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikal bakal pemikiran tentang negara hukum. Sedangkan Ariestoteles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkan dengan arti negara yang dalam perumusannya masih terkait pada polis. Bagi Ariestoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.[2] Istilah rechtstaat (negara hukum) merupakan istilah baru, baik jika dibandingkan dengan istilah demokrasi, konstitusi, maupun kedaulatan rakyat. Para ahli telah memberikan pengertian tentang negara hukum. R. Supomo misalnya memberikan pengertian terhadap negara hukum sebagai

negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara. Negar hukum juga akan menjamin tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberikan perlindungan hukum, antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik.[3] Konsepsi negara hukum merupakan gagasan yang muncul untuk menentang absolutisme yang telah melahirkan negara kekuasaan. Pada pokoknya kekuasaan penguasa (raja) harus dibatasi agar jangan memperlakukan rakyat dengan sewenang-wenang. Pembatasan itu dilakukan dengan jalan adanya supremasi hukum, yaitu bahwa segala tindakan penguasa tidak boleh sekehendak hatinya , tetapi harus berdasar dan berakar pada hukum, menurut ketentuan hukum dan Undangundang yang berlaku dan untuk itu juga harus ada pembagian kekuasaan negara khususnya kekuasaan yudikatif yang dipisahkan dari penguasa.[4] Menurut M. Tahir Azhary, dalam kepustakaan ditemukan lima konsepsi negara hukum, yakni: 1. Negara Hukum Nomokrasi Islam yang diterapkan di negara-negara islam; 2. Negara Hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtstaat; 3. Negara Hukum Rule of Law yang diterapkan di negara-negara Anglo Saxon; 4. Negara Hukum Socialist yang diterapkan di negara komunis dan ; 5. Negara Hukum Pancasila.[5] Konsep Negara Hukum Nomokrasi Islam memiliki ciri-ciri : bersumber dari AlQuran, Sunah dan Rayu. Adapun unsur-unsur utamanya meliputi: 1. Kekuasaan sebagai amanah; 2. Musyawarah; 3. Keadilan; 4. Persamaan; 5. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; 6. Perdailan bebas; 7. Perdamaian; 8. Kesejahteraan; dan 9. ketaatan rakyat.[6] Konsep rechstaat bersumber dari rasio manusia, liberalistik individualistik, humanisme yang antroposentrik, serta pemisahan negara dengan agama secara mutlak (ateisme dimungkinkan). Adapun unsur-unsur utama menurut F.J. Stahl terdapat empat unsur dari negara hukum yaitu: 1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia; 2. Adanya pembagian kekuasaan; 3. Pemerintah harus berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan 4. Adanya peradilan administrasi.[7] Sementara menurut Sceltema unsur-unsurnya terdiri dari: 1. Kepastian hukum; 2. Persamaan; 3. Demokrasi dan; 4. Pemerintahan yang melayani kepentingan umum. Konsep Rule of Law sumbernya sama dengan konsep rechtstaat. Adapun unsur-unsur utamanya dalam uraian A.V. Dicey mencakup: 1. Supremasi aturan-aturan hukum. Tidak adanya aturan sewenangan-wenang dalam arti bahwa seseorang boleh dihukum jika melanggar hukum; 2. Kedudukan yang sama di hadapan hukum;

3. Terjaminnya hak asasi manusia oleh Undang-undang serta putusan-putusan pengadilan. Bertitik tolak dari falsafah Pancasila Philipus. M. Hadjon merumuskan elemen atau unsur-unsur negara hukum Pancasila sebagai berikut: 1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; 2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan negara 3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; 4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.[8] Selanjutnya International Commision of Jurist, yang merupakan organisasi ahli hukum internasional dalam konfrensinya di Bangkok tahun 1965 memperluas konsep Rule of Law dan menekankan apa yang dinamakan: The dinamic of the rule of law in the modern age. Dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah rule of law ialah: 1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu harus menentukan juga cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3. Pemilihan umum yang bebas; 4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat; 5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi serta; 6. Pendidikan kewarganegaraan. Jimly Asshiddiqie[9] menyebutkan bahwa paling tidak ada sebelas prinsip pokok yang terkandung dalam negara hukum yang demokratis, yaitu: 1. Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama; 2. Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan/pluralitas; 3. Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; 4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama; 5. Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap HAM; 6. Adanya pembatasan kekuasan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengkrta ketatanegaraan antar lembaga negara, baik secara vertikal maupun horisontal; 7. Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan kewibawaan putusan tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran; 8. Adanya lembaga peradilan yang dibentuk khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintah (pejabat administrasi negara); 9. Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan lembaga legislatif maupun eksekutif; dan 10. Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip di atas; 11. Adanya pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara. Salah satu ciri negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar faham konstitusionalisme modern. Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan itu tidak berhenti hanya dengan

munculnya gerakan pemisahan kekuasaan raja dan kekuasaan pendeta serta pimpinan gereja. Upaya pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan pola-pola pembatasan didalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu dengan melakukan pembedaan dan pemisahan kekuasaan negara kedalam beberapa fungsi yang berbeda-beda. Dalam hubungan ini yang dianggap paling berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan itu adalah Montesquieu dengan teori trias politicanya. Pada mulanya teori pemisahan kekuasaan ini diintrodusir oleh John Locke (1632-1704). Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter bisa dihindari dengan membatasi kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Menurut Locke, hal ini dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).[10] Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat Undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan. Eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan Undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antar negara, dan transaksitransaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya.[11] Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.[12] Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya. Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.[13] Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu, karena pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja.[14] Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemerdekaan kekuasaan yudikatif. Argumentasi yang dikemukakan pemikiran ini adalah bahwa kekuasaan yudikatif yang merdeka, secara maksimal dapat melindungi hak-hak warga negara dari kekuasaan yang despotis. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government (Pemerintah) yang merupakan alat-alat perlengkapan negara. Dalam doktrin Trias Politica, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan menghasilkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan. Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang

sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaiakan konflik yang terjadi dalam kehidupan suatu negara dalam segala derivasinya. Mirip dengan itu, sarjana Belanda, van Vollenhoven membagi fungsi kekuasaan juga dalam empat fungsi yang kemudian biasa disebut dengan catur praja, yaitu: 1. Regeling (pengaturan) yang kurang lebih identik dengan fungsi legislatif menurut Montesquieu; 2. Bestuur yang identik dengan fungsi pemerintahan eksekutif; 3. Rechsraak (peradilan); dan 4. Politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat dan peri kehidupan negara Berbeda dengan van Vollenhoven, W.I.G. Lemaire membentangkan teori panca praja dengan membedakan kekuasaan negara menjadi lima, yaitu: 1. Bestuurorg (penyelenggaraan kesejahteraan umum); 2. Bestuur (pemerintahan dalam arti sempit); 3. Perundang-undangan; 4. Pengadilan; dan 5. Kepolisian. Disamping itu, dalam studi ilmu administrasi publik, dikenal pula adanya teori yang membagi kekuasaan kedalam dua fungsi saja. Kedua fungsi itu adalah (i) fungsi pembuatan kebijakan (policy making function), dan (ii) fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing fungction). Seperti diuraikan di atas, persoalan pembatasan kekuasaan (limitation of power) berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan teori pembagian kekuasaan (division of power). Istilah Pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politika atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquie, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh cabang kekuasaan yudisial. Sehingga pada intinya satu organ hanya mempunyai satu satu fungsi. Sebagai sandingan dari konsep pemisahan kekuasaan, para ahli juga menggunakan istilah pembagian kekuasaan sebagai terjemahan perkataan division of power atau distribution of power. Ada pula sarjana yang menggunakan division of power itu sebagai genus, sedangkan separation of power sebagai speciesnya. Bahkan misalnya , Arthur Mass membedakan pengertian pembagian kekuasaan tersebut kedalam dua pengertian yaitu: (i) capital division of power, dan (ii) teritorial division of power. Pengertian yang pertama bersifat fungsional, sedangkan pengertian yang kedua bersifat kedaerahan. Oleh karena itu, istilah-istilah separation of power, division of power, distribution of power, dan demikian istilah-istilah pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan, sebenarnya mempunyai arti yang sama saja tergantung konteks pengertian yang dianut. Di Amerika misalnya, dalam Konstitusinya, kedua istilah separation of power dan distribution of power sama-sama digunakan. Hanya saja, istilah division of power digunakan dalam konteks pembagian kekuasaan antara federal dan negara bagian, atau menurut pengertian Arthur Mass yang terkait dengan territorial division of power, sedangkan separation of power dipakai dalam konteks pembagian kekuasaan di tingkat pemerintah federal, yaitu antara legislature, the executive, dan judiciary. Pembagian yang terakhir inilah yang oleh Arthur Mass dimaksud sebagai capita division of power.

Dengan demikian dapat dibedakan penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal atau vertikal. Dalam konteks yang vertikal, pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan itu dimaksud untuk membedakan antara kekuasaan pemerintah atasan dan kekuasaan pemerintah bawahan, yaitu dalam hubungan antara pemerintah federal dan negara bagian dalam negara federal, atau antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam negara kesatuan. Perspektif vertical versus horisontal ini juga dapat dipakai untuk membedakan antara konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dianut di Indonesia sebelum perubahan UndangUndang Dasar 1945, yaitu bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dianggap berada di tangan rakyat dan dijelmakan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem yang dianut dalam UUD 1945 sebelum perubahan dapat dianggap sebagai pembagian kekuasaan (division of power) dalam konteks pengertian yang bersifat vertikal. Sedangkan sekarang setelah perubahan Keempat, sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip check and balance. Oleh sebab itu, istilah division of power, distribution of power, dan separation of power sebenarnya dapat saja dipertukarkan maknanya satu sama lain. Untuk membatasi pengertian separation of powers itu, G. Marshall dalam bukunya Contitutional Theory membedakan ciri-ciri doktrin pemisahan kekuasaan itu kedalam lima aspek yaitu: 1. Doktrin pemisahan kekuasaan itu bersifat membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial. Legislator membuat aturan, eksekutor melaksanakannya, sedangkan pengadilan menilai konflik atau perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan aturan; 2. Doktrin pemisahan kekuasaan menghendaki orang yang menduduki jabatan dilembaga legislatif tidak boleh merangkap pada jabatan diluar jabatan legislatif. Meskipun demikian, dalam praktek sistem pemerintahan parlemen, hal ini tidak diterapkan secara konsisten. Para menteri pemerintahan kabinet di Inggris justru dipersyaratkan harus berasal dari mereka yang duduk sebagai anggota parlemen; 3. Doktrin pemisahan kekuasaan juga menentukan bahwa masing-masing organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap kegiatan organ yang lain. Dengan demikian independensi masing-masing cabang-cabang kekuasaan dapat terjamin dengan sebaik-baiknya. 4. Dalam doktrin pemisahan kekuasaan, yang sangat krusial adalah adanya check and balances, dimana setiap cabang kekuasaan mengendalikan dan mengimbangi kekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain agar tidak terjani tyrani kekuasaan; dan 5. Adalah prinsip koordinasi dan kesederajatan, yaitu semua organ atau lembaga tinggi negara yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif mempunyai kedudukan yang sederajat dan mempunyai hubungan yang bersifat koordinatif satu sama lain. [15] Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak ini mempunyai sedikitnya empat segi, yaitu Pertama, pengangkatan terhadap pejabat lembaga peradilan yang tidak bersifat politik; Kedua, masa jabatan dan gaji yang terjamin; Ketiga, tidak ada intenvensi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap proses peradilan dan pengadilan; Keempat, adanya otonomi secara administratif, dan anggaran belanja. Keempat hal tersebut menjadi semacam tonggak yang dapat dijadikan parameter kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Pemisahan kekuasaan erat kaitannya dengan konepsi lembaga negara, oleh karenanya, membahas tentang pemisahan kekuasaan akan terasa kering manakala tidak dikuti oleh pembahasan tentang lembaga negara. Menyadari hal itu, maka penulis merasa perlu untuk mengupas tentang lembaga negara dalam

bagian ini. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh gambaran secara komprehensif. Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut juga organ negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 1997, kata lembaga diartikan sebagai (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan,ikatan; (iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan usaha; dan (v) pola prilaku yang mapan yang terdiri dari interaksi sosial yang berstruktur.[16] Dalam Kamus Hukum Belanda Indonesia,[17] kata staatsorgaan diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara, oleh karena itu istilah lembaga negara, organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara sering dipertukarkan satu sama lain. Untuk Indonesia hampir semua istilah-istilah tersebut digunakan, misalnya dalam Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1949 menggunakan istilah alat perlengkapan negara, sedangkan UUD 1945 setelah perubahan keempat (Tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara ini dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Untuk memahami pengertian organ atau lembaga negara secara lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the state Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Ia menjelaskan bahwa siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ negara. Dalam konsepsi Hans Kelsen organ negara tidak selalu berbentuk organik, karena secara luas organ negara setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan atau bersifat menjalankan norma (norm applying).[18] Hemat penulis, dari terminologi yang disampaikan oleh Hans Kelsen tentang organ negara dapat disimpulkan bahwa organ negara dibedakan menjadi dua yakni pertama, organ negara dalam arti luas yang mencakup semua individu yang mempunyai fungsi menciptakan dan menjalankan aturan. Dalam konteks ini seorang hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman di Lembaga Pemasyarakatan adalah juga merupakan organ negara; Kedua, organ negara dalam arti sempit, yaitu pengertan organ dalam arti materiil. Individu dikakatan sebagai organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum tertentu. Dengan kata lain organ negara dalam arti sempit dapat dikaitkan dengan jabatan atau pejabat. Penataan ulang struktur ketatanegaraan Indonesia yang terus berlangsung sampai saat ini tidak serta-merta berjalan dengan baik tanpa komplikasi ketatanegaraan. Dalam batas tertentu, memang, penataan itu dapat dikatakan relatif berhasil meskipun dengan catatan baru sebatas pembentukan lembaga dan bekerja sesuai dengan kewenangan yang diberikan, tapi tidak termasuk efektivitas kerja dan implikasinya yang signifikan terhadap kehidupan ketatanegaraan yang lebih bertanggung jawab. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dari Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang telah menghasilkan lembaga-lembaga baru semacam Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Khusus untuk lembaga-lembaga negara baru yang memiliki kewenangan yang bersumber langsung dari konstitusi (constitutionally based power institutions) ini, dapat dikatakan relatif tidak menimbulkan komplikasi ketatanegaraan

serius terkait dengan kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan. Meski jika ditinjau dari sudut kewenangannya masih mengambang, sangat terbatas, dan jauh dari ideal. Perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat bersamaan, hal ini mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap sebagai doktrin mapan, mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup lagi sekadar mengklasifikasikannya menjadi kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia yang telah memulai penataan konfigurasi politiknya menjadi lebih sesuai dengan nilai-nilai demokrasi setelah bergulirnya gerakan reformasi pada 1998. Di negara-negara yang telah memiliki struktur ketatanegaraan yang dianggap mapan pun, tidak kebal dari gagasan untuk melakukan koreksi pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap telah mencapai titik ideal. Eksperimentasi kelembagaan juga dilakukan oleh bangsa Indonesia terutama di masa transisi demokrasi setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru seiring berhentinya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 yang lalu. Pasca peristiwa itu, dilakukan berbagai agenda reformasi yang salah satunya adalah perubahan UUD 1945. dalam perubahan konstitusi inilah terjadi pembentukan dan pembaharuan lembaga-lembaga negara. Jika kita mencermati UUD 1945 pasca perubahan, dapat dikatakan terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28 lembaga negara yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi yaitu dari segi fungsinya dan dari segi hirarkinya. Hirarki antar lembaga negara menjadi penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap yang menduduki jabatan dalam lembaga tersebut. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, (ii) kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara.[19] Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat penunjang atau sekunder (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga negara itu dapat dibedakan kedalam tiga lapis. Organ lapis pertama disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur kelembagaan negara sangat penting, karena secara struktural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa meskipun secara struktural kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial, meskipun fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman, akan tetapi tidak menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, karena Komisi Yudisial bukan penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics) .[20] Dari uraian di atas jelas kiranya, bahwa kedudukan Komisi Yudisial ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri, karena Komisi Yudisial ini dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan prilaku hakim, bahkan lebih jauh, keberadaan Komisi Yudisial ini diharapkan dapat menjadi simbol

mengenai pentingnya infra struktur sistem etika perilaku (good conduct) dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. . 2.1.1. Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Indonesia sebagai suatu negara yang mengukuhkan dirinya negara hukum dalam konstitusinya, maka konsekwensi logis yang harus diterima Indonesia adalah melengkapi dirinya dengan sejumlah perangkat yang berfungsi untuk menjaga keberadaannya sebagai negara hukum. Salah satu lembaga yang mempunyai peranan yang sangat urgent dan mutlak diperlukan dalam struktur ketatanegaraan modern dan mewadahi salah satu komponen dalam negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri dan bertanggungjawab. Kekuasaan kehakiman berfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap pelaksanaan hukum dalam negara hukum. Sedemikian pentingnya lembaga kontrol terhadap berlakunya hukum ini sehingga mutlak diperlukan suatu lembaga kekuasaan kehakiman yang tidak hanya sekedar ada, memiliki fasilitas yang diperlukan, ataupun mampu menyelesaikan perkara yang muncul, tetapi lebih dari itu juga harus bersyaratkan sebuah predikat yang bersih dan berwibawa dalam rangka mewujudkan tegaknya hukum dan keadilan. Intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman pada demokrasi terpimpin pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tampak dalam dua Undang-undang yang mengatur tentang fungsi dan kedudukan kekuasaan kehakiman. Kedua Undang-undang tersebut, yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undangundang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum. Pasal 19 Undang-undang nomor 19 Tahun 1964 menegaskan: Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa, atau kepentingan masyarakat mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan. Selanjutnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1963 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Pengadilan Umum dan Mahkamah Agung menyatakan bahwa: Hakim dalam menjalankan fungsinya harus tunduk pada visi politik pemerintah Berkuasanya Orde Baru dengan semboyan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen telah melakukan beberapa langkah penting untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri sesuai dengan amanat pasal 24 dan pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu produk dibidang kekuasaan kehakiman yang lahir pada Zaman Orde Baru. Pasal 1 dari bab yang mengatur tentang Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menyatakan: Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.[21] Disamping intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman sebagaimana diungkapkan di atas, kekuasaan kehakiman didalam melaksanakan tugas yudisialnya hingga saat ini masih dijangkiti oleh penyakit akut yakni merajalelanya mafia peradilan. Pola-pola korupsi dalam pengadilan pidana sudah mulai berlangsung pada tahap memasukkan perkara. Agar perkara mendapat nomor awal harus memberikan pelicin bagi registrasi.

Sementara pada tahap putusan dinegoisasi sehingga vonis dapat diatur melalui jaksa atau hakim. Sementara di Mahkamah Agung pola kerja mafia peradilan sudah berlangsung sejak pendaftaran perkara sampai pada putusan. Pada tahapan putusan berlangsung dalam bentuk sekjen atau asisten hakim agung menghubungi salah satu pihak yang bersengketa dan menawarkan kepada mereka suatu putusan yang dapat memenangkan perkara mereka.[22] Berbagai persoalan yang membelit eksistensi kekuasaan kehakiman sebagaimana di paparkan di atas menjadi salah satu agenda penting reformasi. Dengan demikian pada perubahan UndangUndang Dasar 1945 pasal-pasal yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman mengalami perubahan yang cukup signifikan. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, paling tidak terdapat empat perubahan penting dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen. Pertama, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka ditegaskan dalam batang tubuh UUD 1945, yang sebelumnya hanya disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945. Kedua, Mahkamah Agung dan badan kehakiman yang lain tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman karena ada Mahkamah Konstitusi yang berkedudukan setingkat dengan Mahkamah Agung dan berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan keluhuran, martabat, serta prilaku hakim. Keempat, adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial review Undang-undang terhadap Undang-Undang dasar 1945, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, serta memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa hasil pemilu. Komisi Yudisial merupakan salah satu lembaga baru yang memang sengaja dibentuk untuk menangani urusan yang terkait dengan pengangkatan hakim agung serta menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, dan perilaku hakim. 2.1.2. Gagasan Pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia Setelah gagasan pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Dewan Kehormatan Hakim (DKH), disusul sebuah wacana baru yang kemudian dikenal dengan sebutan Komisi Yudisial, suatu istilah yang sebelumnya tidak dikenal. Penyebutan istilah Komisi Yudisial secara eksplisit dimulai pada saat ditetapkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. program pemberdayaan lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya menjadi perhatian Undangundang ini. Kegiatan pokok yang dilakukan antara lain pertama, meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan adiministrasi peradilan secara terpadu; kedua, menyusun sistem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekruimen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi , dan partisipasi baik bagi hakim maupu bagi aparat penegak hukum lainnya; ketiga, meningkatkan kesejahteraan hakim dan aparat penegak hukum lainnya seperti Jaksa, polisi dan penyidik Pegawai Negeri Sipil melaui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya sampai pada tingkat pemenuhan kebutuhan hidup yang disesuaikan dengan tugas, wewenang, dan tanggungjawab kerja yang diemban; dan keempat, membentuk Komisi Yudisial atau dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan fungsi pengawasan. Komisi Yudisial atau dewan kehormatan hakim bersifat independen dan susunan keanggotaannya dipilih dari orang-orang yang memiliki integritas yang teruji.

Salah satu hal yang mendorong timbulnya pemikiran pentingnya Komisi Yudisial adalah kegagalan sistem yang ada sebelumnya untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih baik. Sebagaimana diketahui, untuk memperbaiki kondisi peradilan, dipilihlah cara mengalihkan kewenangan pembinaan aspek administrasi, keuangan, dan organisasi dari Departemen Kehakiman dan HAM kepada Mahkamah Agung. Cara ini dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut, bahkan pada tingkat tertentu bisa berakibat buruk. Ada beberapa hal yang mendukung kesimpulan ini, yaitu: a. Penyatuan atap dengan tanpa mengubah sistem rekruitmen, mutasi, promosi, dan pengawasan hakim akan berpotensi untuk melakukan monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung; b. Mahkamah Agung tidak akan mampu menjalankan tugasnya dan hanya akan mengulang kelemahan yang selama ini dilakukan oleh Departemen Kehakiman. Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa selama ini Mahkamah Agung dianggap tidak mampu menjalankan tugas dan wewenangnya, seperti rekruimen hakim, mutasi, promosi termasuk pengangkatan ketua dan wakil ketua pengadilan; dan c. Mahkamah Agung mempunyai permasalahan organisasional yang sampai sekarang belum dapat diperbaiki, misalnya kelemahan manajemen organisasi dan perkara, integritas personal dan lain sebagainya. Dengan demikian adanya kekhawatiran bahwa penyatuan atap akan mengakibatkan monopoli kekuasaan kehakiman mempunyai pijakan argumentasi yang kuat. Padahal tujuan utama penyatuan atap sebenarnya adalah untuk membuat lembaga peradilan menjadi lebih independen dari campur tangan politik. Artinya hipotesis yang muncul disini adalah penyatuan atap akan menjadikan pengadilan lebih independen, karena tidak lagi berkaitan dengan kekuasaan eksekutif. Setelah melihat rangkaian gagasan Komisi Yudisial tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa gagasan munculnya Komisi Yudisial berangkat dari beberapa keinginan sebagai berikut: a. Meningkatkan pengawasan proses peradilan secara transparan; b. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu; c. Menyusun sisem rekruitmen dan promosi yang lebih ketat; d. Mengembangkan pengawasan terhadap proses rekruimen dan promosi; e. Meningkatkan kesejahteraan hakim melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya; dan f. Membentuk Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan fungsi pengawasan. 2.2. Teori Kewenangan Dalam ilmu politik, kekuasaan sering dipergunakan untuk menganalisis kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam ilmu hukum, kekuasaan lebih tepat dipergunakan untuk membagi ketiga kekuasaan itu dan kekuasaan lebih tepat dipergunakan untuk legislatif, Iewenangan untuk eksekutif, dan kompetensi untuk yudikatif. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa "ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the ruler and the ruled).[23] Berdasarkan pengertian ini dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc Van Maarseven disebut sebagai "blote macht.[24] Kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional

atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai kaidahkaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh negara[25]. Dalam hukum tata negara, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan mempunyai makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah kekuasaan formal. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan, sering kewenangan disamakan juga dengan wewenang, otomatis wewenang disamakan pula dengan kekuasaan. Akan tetapi, yang jelas, ilmu hukum, ilmu politik, dan ilmu pemerintahan titik kajiannya adalah negara. Kekuasaan menurut ilmu politik merupakan suatu ilmu seni yang sifatnya abstrak yang berasal dari dunia Barat (Eropa dan Amerika Serikat) dan oleh dunia Timur (termasuk Indonesia) diberi makna konkret yang berwujud, misalnya keris, jumlah pasukan. Dan kekuasaan itu merupakan unsur esensial dari suatu negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur lainnya, yaitu: a. hukum; b. kewenangan (wewenang); c. keadilan; d. kejujuran; e. kebijakbestarian; dan f. kebajikan. Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu, negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah: Kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelornpok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara.[26] Robert M. Mac Iver melihat kekuasaan itu dari sumbernya. Kekuasaan dapat bersumber dari kekerasan fisik, kekayaan, dan kepercayaan.[27] Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatanjabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subjek-kewajiban. Dengan demikian, lahirlah teori yang menyatakan bahwa negara merupakan subjek hukum buatan atau tidak asli atau yang disebut teori organ atau organis.[28] Dengan demikian, kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari inkonstitusional, misalnya melalui kudeta ataupun perang. Sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi. Adapun istilah kewenangan sering disejajarkan begitu saja dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda sering disejajarkan dengan istilah "bevoegheid" dalam istilah hukum Belanda. Menurut Philipus M. Hadjon, jika dicermati istilah kewenangan ada sedikit perbedaan dengan istilah "bevoegheid". Perbedaan tersebut terletak pada karakter

hukumnya. Istilah "bevoegheid" digunakan, dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep hukum privat. Dalam hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.[29] Ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. Penulis dapat membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (com, petence, bevoegdheid). "Kewenangan" adalah apa yang disebut "kekuasaan formal", kekuasaan yang berasal kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan "wewenang" hanya mengenai suatu "onderdeel" (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Kewenangan bidang kekuasaan kehakiman atau kekuasaan mengadili sebaiknya sebut kompetensi atau yurisdiksi walalupun dalam praktik perbedaannya tidak selalu dirasakan perlu.[30] Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintahan (besluit), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan pembentukan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam undang-undang dasar. Menurut Harjono, membicarakan masalah wewenang, terlebih dahulu harus mengetahui apa beda antara fungsi dan tugas, baru kemudian membicarakan masalah apa yang dimaksud dengan wewenang serta kapan kata kewajiban lebih tepat untuk dipergunakan. Penggunaan kata-kata tersebut tidaklah hanya didasarkan atas makna kata secara harfiah, tetapi juga perlu untuk dipertimbangkan kaitannya secara utuh antara yang satu dan yang lain.[31] Fungsi, mempunyai makna yang lebih luas dibandingkan dengan tugas. Jika kata tugas akan digunakan, akan lebih tepat untuk menyebutkan aktivitas-aktivitas yang diperlukan supaya fungsi dapat terlaksana, sebab fungsi memerlukan banyak aktivitas agar dapat terlaksananya fungsi tersebut. Sebuah aktivitas perlu dilakukan oleh sebuah lembaga untuk mendukung terlaksananya sebuah fungsi. Hubungan antara aktivitas dan terlaksananya fungsi merupakan hubungan atas dasar "necessary". Artinya, sesuatu yang dibutuhkan adanya agar sesuatu yang diharapkan dapat terlaksana. Sebuah aktivitas dilakukan oleh sebuah lembaga sehingga hubungan antara lembaga dan aktivitas tersebut sangat erat dan dapat dikatakan tidak akan diperlukan lembaga tersebut kalau aktivitas tersebut tidak dibutuhkan. Adapun aktivitas perlu diadakan agar fungsi dapat terealisasi dan lembaga yang melakukan aktivitas tersebut dikatakan mempunyai tugas. Aktivitas di samping mempunyai aspek ke dalam juga mempunyai aspek ke luar. Pelaksanaan sebuah tugas dapat mempunyai akibat kepada pihak di luar lembaga pelaksana tugas. Atas akibat ke luar yang dapat ditimbulkan oleh pelaksana tugas tersebut, lembaga yang melaksana tugas tersebut memerlukan dasar hukum agar pihak di luar tersebut terikat pula. Oleh karenanya, kepada lembaga tersebut, oleh hukum diberi wewenang. Dengan diberikannya wewenang kepada lembaga tersebut, maka akan timbul akibat yang sifatnya kategorial ataupun eksklusivistis.[32] Kategorial artinya membedakan antara lembaga yang mempunyai wewenang dan lembaga yang tidak mempunyai wewenang. Sedangkan bersifat eksklusivistis, artinya menjadikan lembaga-lembaga yang tidak disebut sebagai tidak menjadi bagian dari lembaga yang diberi wewenang. Sebagai konsekuensinya, maka atas seluruh akibat keluar yang ditimbulkan oleh aktivitas serupa yang dilakukan oleh lembaga yang tidak diberi wewenang tidak mempunyai akibat hukum. Sifat kategorial-eksklusivistis berlaku secara horizontal, artinya menyangkut hubungan dengan lem-

baga lain yang kedudukannya sederajat. Di samping itu, juga mempuriyai sifat subordinat yang bersifat vertikal, yaitu menumbuhkan kewajiban bagi mereka yang berada di bawah lembaga tersebut untuk tunduk pada lembaga yang diberi wewenang. Sedangkan kepada lembagalembaga pada tingkat lebih tinggi menimbulkan kewajiban untuk memberi pengakuan atas akibat ke luar atas aktivitas lembaga yang diberi wewenang tersebut bahkan termasuk akibat yang mungkin timbul terhadap lembaga yang lebih tinggi tersebut. Teori fungsi yang dikembangkan oleh Harjono, menurut Kunto Wibisono, merupakan rangkaian dari teori organ dalam kerangka ontologi. Artinya, jika bekerjanya fungsi itu karena ada aktivitas-aktivitas, sebelum bekerjanya fungsi itu harus terlebih dahulu ada organ-organ yang tersistemik dalam suatu komponen yang saling bersinergi-oleh Abdoel Gani dan Hermien Hadiati Koeswadji disebut sebagai teori sistem. Komponen itulah yang merupakan elemenelemen atau semacam molekul-molekul sebagai wujud untuk bekerjanya suatu fungsi. Berbicara masalah wewenang maka tentunya kita tidak dapat melepaskan diri dari konsepsi negara hukum, karena wewenang itu lahir untuk menopang tegaknya bangunan negara hukum. 2.2.1. Sumber Kewenangan Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang dari pemerintah berdasarkan perundang-undangan. Secara teoritis kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu, atribusi, delegasi, dan mandat. Berkenaan dengan atribusi, delegasi, dan mandat ini, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut: 1. Attributie: toekenning van een besturrsbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-undang kepada organ pemerintahan); wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan). 2. Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan Iainnya). 3. Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens Item uitoe fenen door een ander (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya).[33] Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi ini terdapat syarat-syarat sebagai berikut: 1. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; 2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; 3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; 4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; 5. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. Dari uraian di atas, penulis dapat menarik benang merah bahwa kewenangan yang dimiliki oleh

Lembaga Negara dalam melakukan perbuatan nyata, mengadakan pengaturan, atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD) atau ketentuan hukum tata negara. Pada kewenangan delegasi harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada orgn negara yang lain. Adapun mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang. Akan tetapi, pejabat yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dilihat dari sumber kewenangan tersebut di atas, maka Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang mendapatkan kewenangannya secara atribusi, karena kewenagan Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945. 2.3. Teori Pengawasan Kata pengawasan berasal dari kata awas, yang berarti antara lain penjagaan. Istilah pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi, yaitu sebagai salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan. George R. Terry menggunakan istilah control sebagaimana dikutip oleh Muchsan[34], artinya: Control is to determine what is accomplished, evaluate it, and apply corrective measures, if needed to ensure result in keeping with the plan (Pengawasan menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan hasil yang sesuai dengan rencana. Sementara Newman[35] berpendapat bahwa control is assurance that the performance conform to plan. Ini berarti bahwa titik berat pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas dapat sesuai dengan rencana. Dengan demikian menurut Newman, pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang berjalan, bahkan setelah akhir proses kegiatan tersebut. Berbeda dengan Newman, Muchsan[36] mengemukakan bahwa pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara defacto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan Bagir Manan[37] memandang kontrol sebagai sebuah fungsi sekaligus hak, sehingga lazim disebut dengan fungsi kontrol atau hak kontrol. Kontrol mengandung dimensi pengawasan dan pengendalian. Pengawasan bertalian dengan arahan (directive). Pengawasan (control), menurut Paulus Effendi Lotulung[38] , adalah upaya untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja maupun tidak disengaja, sebagai usaha preventif, atau juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai usaha represif. Dari berbagai pendapat tersebut di atas, maka penulis dapat menangkap makna dasar dari pengawasan adalah: (i) pengawasan ditujukan sebagai upaya pengelolalaan untuk mencapai hasil dari tujuan; (ii) adanya tolok ukur yang dipakai sebagai acuan keberhasilan; (iii) adanya kegiatan untuk mencocokkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur yang ditetapkan; (iv) mencegah terjadinya kekeliruan dan menunjukkan cara dan tujuan yang benar; serta (v) adanya tindakan koreksi apabila hasil yang dicapai tidak sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan. Secara umum fungi pengawasan adalah untuk membantu manajemen dalam tiga hal, yaitu (1) meningkatkan kinerja organisasi, (2) memberikan opini atas kinerja organisasi dan, (3) mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah pencapaian kinerja yang ada. Ketiga hal tersebut di atas dilakukan dengan cara memberikan informasi yang dibutuhkan secara cepat dan memberikan tingkat keyakinan akan pencapaian rencana yang telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian di atas, dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman , pengawasan dapat diartikan secara luas sebagai salah satu aktivitas fungsi manajemen untuk menemukan, menilai dan mengoreksi penyimpangan yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi berdasarkan standart yang sudah disepakati dalam hal ini Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian pengawasan akan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja para hakim dalam mewujudkan rasa keadilan. Kegiatan pengawasan ditujukan semata-mata hanya untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, efektif dan berorientasi pada pencapaian visi dan misi organisasi. Dengan adanya pengawasan diharapkan mampu untuk (1) menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidak adilan, (2) mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidak adilan, (3) mendapatkan cara-cara yang lebih baik untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara efektif. Apabila dihubungkan dengan pengawasan terhadap prilaku hakim, terlihat bahwa pengertian umum pengawasan masih tetap relevan. Alasannya: Pertama, pada umumnya, sasaran pengawasan terhadap hakim adalah pemeliharaan atau penjagaan agar negara hukum kesejahteraan dapat berjalan dengan baik; Kedua, tolok ukurnya adalah hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan dan tindakan hakim dalam bentuk hukum material maupun hukum formal (rechtmatigheid), serta manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat (doelmatigheid); Ketiga, ada pencocokan antara perbuatan dan tolok ukur yang telah ditetapkan; Keempat, jika terdapat tanda-tanda akan terjadi penyimpangan terhadap tolok ukur tersebut dapat dilakukan tindakan pencegahan. Dalam kerangka pengawasan ada begitu banyak lembaga yang melakukan pengawasan dan memfungsikan diri sebagai pengawas. Paulus Effendi Lotulung[39] memetakan macam-macam lembaga pengawasan yaitu: 1. Ditinjau dari kedudukan badan yang melaksanakan kontrol, dapat dibedakan atas: a. Kontrol intern, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh organisasi struktural yang masih termasuk dalam lingkungan pemerintahan sendiri. Kontrol ini disebut built in control. Misalnya pengawasan pejabat atasan terhadap bawahannya atau pengawasan yang dilakukan oleh suatu tim verifikasi yang biasanya dibentuk secara insidental; b. Kontrol ekstern, adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara struktural berada diluar pemerintah dalam arti eksekutif. 2. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya, pengawasan dibedakan atas: a. Kontrol apriori, adalah pengawasan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan/ketetapan pemerintah atau peraturan lainnya, yang pembentukannya merupakan kewenangan pemerintah; b. Kontrol a posteriori, adalah pengawasan yang baru akan terjadi setelah dikeluarkan keputusan/ketetapan pemerintah atau peraturan lainnya setelah terjadinya tindakan pemerintah. 3. Ditinjau dari obyek yang diawasi, maka suatu kontrol dapat dibagi menjadi: a. Kontrol segi hukum, adalah kontrol untuk menilai segi-segi pertimbangan yang bersifat hukum dari tindakan pemerintah; b. Kontrol dari segi kemanfaatan Dengan demikian, pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap prilaku hakim bersifat eksternal yang bertujuan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim, agar prilaku hakim selalu menjunjung tinggi hukum, kebenaran, integritas, kode etik dan keadilan dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sebagaimana

ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk mendiskripsikan dan mengkaji asas-asas hukum, taraf sinkronisasi hukum, sistematika hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum yang relevan dengan masalah penelitian tesis ini. 3.2. Bahan Hukum Terdapat tiga macam sumber hukum yang dijadikan sasaran penelitian untuk mendapatkan substansi bahan-bahan kajian yang diperlukan, yaitu: 1. Bahan Hukum Primer (primary resources) terdiri atas: UUD 1945 (pasal 24 dan pasal 25); UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4415); UU No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358); UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316); Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 . 2. Bahan Hukum Sekunder (secondary resources): ialah literatur ilmu hukum dan literatur ilmiah lainnya yang relevan dengan masalah penelitian tesis ini; 3. Bahan Hukum Tarsier adalah bahan Hukum yang terdiri dari Kamus Hukum, Black Law Dictionary, Kamus Bahasa Indonesia. 3.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan dan dokumen hukum sebagai berikut: a. Terhadap bahan hukum primer dilakukan dengan cara menginventarisasi, mempelajari, dan mencatat ke dalam kartu (card system) penelitian tentang asas-asas dan norma-norma hukum yang menjadi objek permasalahan ataupun yang dapat dijadikan alat analisis terhadap masalah penelitian; dan b. Terhadap bahan-bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara menelusuri literatur-literatur Ilmu hukum pada perpustakaan Unibraw dan perguruan tinggi lainnya, penelusuran melalui internet, CD-Rom (IT), dan hasil penelitian hukum yang relevan dengan masalah penelitian. Objek penelitian difokuskan pada teori-teori, konsep-konsep, dan pendapat para pakar hukum yang dapat dijadikan alat analisis, kemudian mengutip atau mencatatnya kedalam kartu penelitian. Langkah pokok penelitian bahan hukum primer dan sekunder dilakukan dengan cara menginventarisasi, mempelajari, menafsirkan, mencatat, mengklasifikasi, dan mengaplikasikan substansi asas, teori, konsep, prinsip, norma, dan istilah hukum yang dianggap relevan sebagai bahan acuan atau sarana analisis masalah dalam penulisan tesis ini. 3.4. Analisis Bahan Hukum

Untuk menganalisis masalah tesis yang diteliti dilakukan dengan empat pendekatan: a. Pendekatan Peraturan perundang-undangan (statute approach) untuk mendeskripsikan taraf sinkronisasi dan sistematika substansi UUD 1945 dengan UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial; b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach), dengan menggunakan asas, teori, konsep, norma, untuk menjelaskan, kata "Hakim" yang ada dalam pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang diharapkan dapat membangun pemikiran konseptual alternatif bagi pemecahan masalah dari segi ilmu hukum; c. Pendekatan Historis (historical approach), pendekatan ini dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lahirnya Komisi Yudisial di Indonesia; BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Pengaturan Kewenangan Komisi Yudisial Dalam posisinya sebagai lembaga negara yang baru, perlu kiranya dalam tulisan ini dikemukakan juga mengenai kedudukan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sebelum penulis lebih lanjut membahas tentang kewenangan Komisi Yudisial. Mengenai kedudukan Komisi Yudisial dapat kita lihat dari ketentuan Pasal 1 Butir ke-1 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstitusional. Berkaitan dengan itu, menurut Pasal 2 Undang-undang No. 22 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Dari ketentuan tersebut, maka Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang mandiri. Secara etimologis istilah mandiri berarti menunjukkan kemapuan berdiri sendiri, tidak adanya campur tangan dari kekuasaan lain atau ketidak bergantungan suatu pihak kepada pihak lainnya yang dalam literatur juga disebut independen. Independensi itu harus diberi makna (i) independensi terhadap subyek yang diawasi, yaitu para hakim, agar Komisi Yudisial dapat bekerja efektif tanpa diintervensi oleh pimpinan Mahkamah Agung; dan juga (ii) independensi dalam menjalankan tugasnya, sehingga Komisi Yudisial tidak boleh diintervensi atau membiarkan diri seakan dikontrol dan dikendalikan oleh lembaga-lembaga lain yang boleh jadi mempunyai kepentingan politik tertentu, seperti partai-partai politik tertentu, pengusaha, lembaga DPR, DPD, dan Presiden. Mengenai independensi dari dan terhadap para hakim dan lembaga Mahkamah Agung, sangatlah penting, karena para hakimlah yang harus diawasi perilakunya oleh Komisi Yudisial. Dengan dijadikan sebagai external auditor pengawasan oleh Komisi Yudisial menjadi efektif, tidak seperti sebelumnya, dimana diantara sesama hakim justru terjadi hubungan saling membela dan melindungi yang menyebabkan pengawasan tidak efektif. Mengenai independensi yang kedua, yaitu dari dan terhadap cabang-cabang kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman Komisi Yudisial haruslah bersifat independen. Komisi Yudisial tidak boleh menjadikan dirinya alat politik bagi lembaga legislatif, eksekutif, ataupun kekuatan partai politik dan para pemilik modal untuk mempengaruhi kinerja cabang kekuasaan kehakiman yang merdeka. Roh hakim dan lembaga kekuasaan kehakiman terletak antara lain pada independensi

dan imparsialitas. Menurut Jimly Asshiddiqie[40] ada tiga pengertian independensi, yaitu: 1. Structural Independence; yaitu independensi kelembagaan dimana suatu struktur organisasi yang dapat digambarkan dalam bagan yang sama sekali terpisah dari organisasi lain; 2. Functional Independence; independensi yang dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi dan tidak ditekankan dari struktur kelembagaanya; 3. Finacial Independence; adalah independensi yang dilihat dari segi kemandiriannya menentukan anggaran dalam menjalankan fungsinya. Melihat ketiga macam independensi tersebut, maka kedudukan Komisi Yudisial sangat penting, karena secara struktural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi secara fungsional peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap kekuasaan kehakiman. Walaupun Komisi Yudisial ditentukan sebagai lembaga negara yang independen, tidak berarti bahwa Komisi Yudisial tidak diharuskan bertanggungjawab oleh Undang-undang. Pasal 38 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menentukan: (1) Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR (2) Pertanggungjawaban kepada publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara: a. menerbitkan laporan tahunan; dan b. membuka akses informasi secara lengkap dan akurat 3) laporan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf a setidaknya memuat hal sebagai berikut: a. laporan penggunaan anggaran b. data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan; dan c. data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen Hakim Agung. 4) Laporan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf a disampaikan pula kepada Presiden 5) Keuangan Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan Undang-undang. Dalam pasal 24B Undang-Undang dasar 1945 digunakan istilah wewenang untuk menunjuk fungsi yang harus dilakukan oleh Komisi Yudisial. Wewenang diartikan sebagai hak-hak yang dimiliki seseorang atu suatu badan untuk menjalankan tugasnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa wewenang mengandung pengertian tugas dan hak. Menurut Bagir Manan[41], wewenang mengandung makna kekuasaan (macht) yang ada pada organ negara, sedangkan kata tugas dan hak melekat pada pejabat dari organ negara tersebut. Dalam konteks ini maka wewenang Komisi Yudisial adalah kekuasaan yang diberikan oleh Konstitusi yang melekat kepada organ negara yang bernama Komisi Yudisial. Sedangkan tugas lebih berorientasi kepada pejabat-pejabat atau anggota Komisi Yudisial. Artinya tugas dari anggota Komisi Yudisial bersumber dari wewenang Komisi Yudisial . Mengenai wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 24B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diimplementasikan dalam Pasal 13 Undang Undang No. 22 Tahun 2004. Pada pokoknya wewenang dari Komisi Yudisial adalah: 1. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden; dan 2. Mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Apabila kita memperhatikan, dapat diketahui bahwa rumusan ketentuan mengenai kewenangan

Komisi Yudisial dalam Pasal 13 UU No.22 Tahun 2004 sangat berbeda dari rumusan pasal 24B UUD 1945. pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut berbunyi,Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kedua versi ketentuan tersebut, yaitu UUD 1945 dan versi UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, memang jelas satu sama lain berbeda. Pertama, dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 dikatakan bahwa Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal dalam pasal 24B UUD 1945 dinyatakanKomisi Yudisial bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Dari segi yang pertama, pasal 24B ayat (1) UUD 1945 memang menentukan bahwa Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Dalam ketentuan konstitusi, tidak dibatasi dan juga tidak ditentukan bagaimana dan kemana usul tersebut disampaikan oleh Komisi Yudisial. Misalnya, perkataan mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dapat dimaknai sebagai kegiatan mengusulkan kepada Presiden untuk menerbitkan Keputusan Presiden untuk pengangkatan Hakim Agung yang telah diseleksi menurut prosedur yang berlaku. Artinya tindakan pengangkatan yang dimaksudkan disitu dapat diartikan sebagai tindakan administratif berupa penetapan Keputusan Presiden yang bersifat beschikking belaka. Akan tetapi, Pasal 13 UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial justru membatasi pengusulan itu harus dilakukan dari Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, dalam konteks ini fungsi Komisi Yudisial menjadi supporting system terhadap kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memilih calon Hakim Agung. Jika pengusulan itu diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR, berarti yang diajukan itu bukanlah calon Hakim Agung, melainkan baru bakal calon yang akan dipilih oleh DPR untuk menjadi calon Hakim Agung. Disamping itu, hemat penulis pengusulan yang diajukan kepada DPR itu, bukanlah pengusulan untuk pengangkatan seperti yang dimaksud oleh pasal 24B UUD 1945 ayat (1), melainkan hanya pengusulan untuk pemilihan bakal calon Hakim Agung. Oleh karena itu, jika rumusan pasal 13 UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dilakukan penafsiran secara gramatikal, maka ketentuan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 tersebut justru bertentangan (tegen gesteld) dengan ketentuan pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Akan tetapi, jika menggunakan penafsiran historis yakni metode penafsiran yang melihat dari aspek sejarah lahirnya UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, maka ketentuan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 tersebut tidak bertentangan dengan pasal 24B ayat (1) UUD 1945, dengan argumentasi bahwa UU No 22 Tahun 2004 ini disusun setelah mendapatkan pembahasan bersama dan menghasilkan persetujuan bersama antara DPR dengan Pemerintah. Pilihan politik yang diambil oleh DPR bersama pemerintah adalah seperti yang telah dirumuskan dalam pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 ini. Artinya pemerintah bersama DPR telah sama-sama berbagi pendapat bahwa pengusulan untuk pengangkatan itu dianggap dapat dimaknai atau dianggap identik dengan tindakan pengusulan untuk pemilihan oleh DPR. Dari segi kewenangan yang kedua, pasal 24B UUD 1945 menentukan Komisi Yudisial mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Dari ketentuan ini dapat dielaborasi menjadi (i) menjaga kehormatan hakim; (ii) menjaga keluhuran martabat hakim; (iii) menjaga perilaku hakim; (iv) menegakkan kehormatan hakim; (v) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (vi) menegakkan perilaku hakim. Dalam kata menjaga terkandung pengertian tindakan yang

bersifat preventif, sedangkan dalam kata menegakkan terdapat pengertian tindakan yang bersifat korektif. Karena itu, tiga kewenangan yang pertama bersifat preventif atau pencegahan, sedangkan tiga yang kedua bersifat korektif. Namun demikian dalam rumusan pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial huruf b, rumusan salah satu kewenangan Komisi Yudisial tersebut diubah menjadi menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim . jika dielaborasi cakupannya menjadi jauh lebih sempit, yaitu hanya (i) menegakkan kehormatan hakim; (ii) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (iii) menjaga perilaku hakim. Dari sini dapat dikatakan bahwa pembentuk Undang-undang dengan sengaja telah membatasi pengertian yang terkandung dalam pasal 24B UUD 1945. Hal ini dapat disadari bahwa pembentuk Undang-undang telah mengabaikan asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya asaskejelasan rumusan yang mensyaratkan bahwa setiap peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas, dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Perbedaan Rumusan Pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 dengan Pasal 24B UUD 1945 No Pasal 24B UUD 1945 Pasal 13 UU No 22 Tahun 2004 1 Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim

Komisi Yudisial mempunyai wewenang: mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. 4.1.1. Wewenang Pengangkatan Hakim Semua aparat penegak hukum berkewajiban mewujudkan cita hukum secara utuh, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Diantara penegak hukum, posisi hakim adalah istimewa. Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang abstrak bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai wakil tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hakim adalah aktor utama dalam penegakan hukum (Law enforcement) di Pengadilan yang mempunyai peran lebih apabila dibandingkan dengan Jaksa, Pengacara, dan panitera. Pada saat ditegakkan hukum mulai memasuki wilayah das sein (yang senyatanya) dan meninggalkan wilayah das sollen (yang seharusnya). Hukum tidak lagi barisan pasal-pasal mati yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan, tetapi sudah dihidupkan oleh living interpretator yang bernama hakim. Hakim yang akan memutus perkara di Pengadilan harus mengkombinasikan tiga hal secara

simultan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan. Kepastian hukum dalam penegakan hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan seseorang terhadap orang lain, karena hukum dianggap sebagai rujukan terakhir untuk mengatasi konflik yang terjadi dalam masyarakat. Unsur kemanfaatan dalam penegakan hukum bermakna filosofi yang sangat mendalam, karena hukum ditujukan untuk manusia, maka hukum harus memberikan kemanfaatan yang sebesarbesarnya bagi manusia. Sedangkan unsur keadilan dalam penegakan hukum merupakan sesuatu yang seharusnya paling genuine dan hakiki dari hukum. Aliran etis dalam hukum berpendapat bahwa hukum dibuat dengan tujuan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Berikut adalah beberapa tugas hakim yang telah digariskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pertama, tugas dalam bidang peradilan (teknis yudisial), diantaranya: a. Menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya; b. Mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang; c. Membantu pencri keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan; d. Tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak/kurang jelas, tetapi wajib memeriksa dan mengadilinya; Kedua, tugas yuridis, yaitu memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat-nasihat tentang soalsoal hukum kepada lembaga negara lainnya apabila diminta; Ketiga, tugas akademis ilmiah dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim yang ideal seperti digambarkan di atas, tentu saja tidak lahir dari sistem yang buruk, tetapi lahir dari sebuah sistem yang memadai bagi terciptanya kondisi ideal tersebut. Odette Buitendam meyakini bahwa hakim yang baik itu tidak dilahirkan, tetapi diciptakan melalui suatu sistem rekruitmen, seleksi, dan pelatihan yang baik.[42] Rekruitmen dan sistem seleksi yang baik dapat dimanifestasikan dengan mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, obyektivitas, dan lain sebagainya. Berbicara tentang sistem seleksi dan rekruitmen hakim jika dikaitkan dengan sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara, secara umum paling tidak ada dua model besar. Di negara yang menganut sistem Common Law, biasanya rekruitmen hakim bersifat terbuka. Hakim di Pengadilan pertama direkrut dari orang yang pernah menempuh karier sebagai praktisi hukum, legislatif, eksekutif, akademisi hukum atu kalangan hukum lain. Sebaliknya di negara yang menganut tradisi Civil Law, rekruitmen hakim pada tingkat pertama diambil dari mahasiswa yang baru lulus dari fakultas hukum. Proses pengangkatan Hakim Agung memasuki babak baru sejak terbentuknya Komisi Yudisial. Atribusi kewenangan untuk rekruitmen Hakim Agung kepada Komisi Yudisial merupakan langkah progresif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Atribusi kewenangan ini merupakan langkah koreksi terhadap sistem perekrutan Hakim Agung pada masa-masa sebelumnya. Dengan demikian, kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan rekruitmen merupakan harapan perbaikan bagi sistem kekuasaan kehakiman secara menyeluruh, sehingga Komisi Yudisial harus benar-benar dapat mengemban amanat konstitusi ini serta harapan masyarakat Indonesia. Sebagai catatan, bahwa proses rekruitmen Hakim Agung pada masa berlakunya UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung adalah kewenangan Presiden untuk memilih Hakim Agung berdasarkan daftar nama yang diusulkan oleh DPR. Dalam mengusulkan nama calon ke

Presiden, DPR wajib mendengarkan pendapat Mahkamah Agung dan Pemerintah. Proses rekruitmen hakim yang dilakukan pada masa Orde Baru berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 memperlihatkan beberapa kelemahan, diantaranya: c. Tidak ada parameter yang obyektif untuk mengukur kualitas dan integritas calon Hakim Agung; d. Adanya indikasi praktek dropping nama, dimana Hakim Agung akan memberikan usulan nama kepada Mahkamah Agung dengan harapan Ketua Mahkamah Agung akan memberikan perhatian kepada kandidat dan memasukkan namanya dalam daftar; dan e. Adanya indikasi jaringan, pertemanan, hubungan keluarga, dan sebagainya yang menyebabkan pemilihan tidak dilakukan secara obyektif.[43] Pasca tumbangnya Orde Baru, seleksi dan Rekruitmen Hakim Agung yang sebelumnya didominasi oleh Pemerintah (DEPKEH) dan Mahkamah Agung digeser oleh dominasi peran DPR dengan menggunakan mekanisme fit and proper test. Walaupun sudah dilakukan fit and proper test, oleh DPR, ternyata juga menyimpan banyak kelemahan mendasar. Berdasarkan pantauan yang dilakukan oleh LeIP dan Koalisi NGO mencatat beberapa distorsi[44]: a. Kurang transparan dan akuntabel, dalam proses rekruitmen Hakim Agung terutama pada tahap klarifikasi dilakukan secara tertutup. Pada awalnya ada 84 bakal calon yang diusulkan oleh pemerintah dan masyarakat. Setelah melalui tahap klarifikasi, jumlah bakal calon tinggal 46 orang. Tidak ada penjelasan secara resmi yang terbuka dan jelas mengapa bakal calon lainnya yang berjumlah 38 orang tidak lolos dalam tahap klarifikasi; b. Permainan uang dan Politik Dagang Sapi, proses fit and proper test tidak terlepas dari praktek permainan uang dan politik dagang sapi. Ada dugaan bahwa bakal calon Hakim Agung, Ketua, dan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang memberikan sejumlah uang kepada satu atau lebih anggota DPR untuk memuluskan pemilihannya; c. Kurang maksimalnya pelibatan masyarakat, dengan dukungan pers yang bebas plus beberapa anggota DPR, masyarakat dapat memperoleh informasi tentang fit and proper test dan masyarakat cukup aktif memberikan pengaduan kepada DPR mengenai track record bakal calon. Hanya sayangnya tidak ada satupun laporan masyarakat yang ditelusuri dan diklarifikasi lebih jauh oleh anggota DPR kepada pelapor atau pihak-pihak lain yang berkompeten; d. Parameter kurang obyektif, parameter penilaian tidak diuji terlebih dahulu oleh DPR agar lebih obyektif; e. Kompetensi yang lemah, u