hukum acara peradilan pajak

28
ZAKA FIRMA ADITYA NIM. 8111410061 FAKULTAS HUKUM UNNES ANGKATAN 2010 HUKUM ACARA PENGADILAN PAJAK PENDAHULUAN 1. Dasar Hukum, Kedudukan, dan Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak Dasar Hukum Pengadilan Pajak Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak dibentuk memenuhi amanat Pasal 27 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan terakhir Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Lembaran Negara 2002 Nomor 27 tentang Pengadilan Pajak, maka Pengadilan Pajak sudah diletakkan dalam struktur kehakiman menurut sistem ketatanegaraan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran (pertimbangan pembuatan Undang-undang tersebut), maupun dalam pasal di batang tubuhnya, yaitu : 1. Dalam konsideran mengingat antara lain menunjuk pada Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 stdd Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menentukan bahwa ”Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan peradilan menurut Undang-undang”, dan menunjuk pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 (telah diganti dengan Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (telah diubah degan Undang- undang Nomor 5 Tahun 2004) 2. Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap pajak

Upload: zaka-firma-aditya

Post on 22-Jun-2015

3.032 views

Category:

News & Politics


1 download

DESCRIPTION

Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak dibentuk memenuhi amanat Pasal 27 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan terakhir Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Lembaran Negara 2002 Nomor 27 tentang Pengadilan Pajak, maka Pengadilan Pajak sudah diletakkan dalam struktur kehakiman menurut sistem ketatanegaraan di Indonesia.

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum acara peradilan pajak

ZAKA FIRMA ADITYA

NIM. 8111410061

FAKULTAS HUKUM UNNES ANGKATAN 2010

HUKUM ACARA PENGADILAN PAJAK

PENDAHULUAN

1. Dasar Hukum, Kedudukan, dan Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak

Dasar Hukum Pengadilan Pajak

Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak dibentuk memenuhi amanat Pasal 27

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan terakhir

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 14

Tahun 2002 Lembaran Negara 2002 Nomor 27 tentang Pengadilan Pajak, maka Pengadilan

Pajak sudah diletakkan dalam struktur kehakiman menurut sistem ketatanegaraan di

Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran (pertimbangan pembuatan Undang-undang

tersebut), maupun dalam pasal di batang tubuhnya, yaitu :

1. Dalam konsideran mengingat antara lain menunjuk pada Pasal 24 dan Pasal 25 UUD

1945 stdd Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menentukan bahwa ”Kekuasaan

Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan peradilan

menurut Undang-undang”, dan menunjuk pada Undang-undang Nomor 14 Tahun

1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 (telah diganti dengan Undang-

undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) dan Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (telah diubah degan Undang-

undang Nomor 5 Tahun 2004)

2. Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan

kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari

keadilan terhadap pajak

Page 2: Hukum acara peradilan pajak

Kedudukan Pengadilan Pajak Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang

Pengadilan Pajak menegaskan bahwa ”Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang

melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang

mencari keadilan terhadap sengketa pajak” Pengadilan Pajak merupakan salah satu

pelaksana Kekuasaan Kehakiman di samping badan-badan lainnya, dengan kompetensi

absolut yang khusus atau spesial, yaitu untuk memeriksa, memutus, dan mengadili

sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak dan Penanggung Pajak

dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat

diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan

perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan atau

keputusan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak

Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,

tempat kedudukan Pengadilan Pajak adalah di Ibukota Negara, Jakarta. Dengan demikian

untuk seluruh wilayah Indonesia hanya ada satu Pengadilan Pajak.

Fungsi dan Tujuan Pengadilan Pajak

Fungsi Pengadilan Pajak dapat dilihat dari segi atau nilai filosofis yang terkandung dalam

Pengadilan Pajak, yaitu dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada rakyat atau

Wajib Pajak pencari keadilan, yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan pejabat

yang berwenang di bidang perpajakan. Konsideran menimbang Undang-undang Pengadilan

Pajak antara lain mengatakan bahwa ”dalam melaksanakan peraturan perpajakan tidak dapat

dihindarkan timbulnya sengketa pajak yang memerlukan penyelesaian yang adil dengan

prosedur yang cepat, murah, dan sederhana”, bahwa karenanya diperlukan suatu Pengadilan

Pajak yang sesuai dengan sistem kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan

dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.

Pembentuk Undang-undang Pengadilan Pajak dalam penjelasan umum antara lain

mengatakan bahwa pelaksanaan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang

Page 3: Hukum acara peradilan pajak

Perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Wajib Pajak, sehingga

potensial menimbulkan sengketa pajak.

Namun demikian perlu disadari pula dalam kaitan tersebut bahwa disamping adanya hak

perorangan atau individu yang harus dilindungi, masyarakat dalam bentuk institusi negara

juga mempunyai hak-hak dan wewenang tertentu yang dapat dipaksakan sebagai kewajiban

warga negara atau warga masyarakat, yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan

yang berlaku, dalam hal ini khususnya bidang perpajakan. Hak negara dan masyarakat yang

demikian itu perlu diperhatikan dan dilindungi pula.

Maka fungsi Pengadilan Pajak disini dapat dilihat dan ditinjau dari aspek pemberian

keadilan yang menjadi penjaga keseimbangan antara kedua kepentingan perlindungan

tersebut, yang dalam keadaan-keadaan tertentu tidak sejalan atau bahkan saling berbenturan.

Oleh karena itu tujuan Pengadilan Pajak pada hakekatnya tidaklah semata-mata

memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan atau individu, tetapi sekaligus juga

memperhatikan dan melindungi hak-hak masyarakat yang dijalankan oleh kekuasaan negara

melalui pejabat-pejabatnya (fiskus).

Visi dan Misi Pengadilan Pajak

Dari konsideran ”menimbang” penjelasan umum Undang-undang Pengadilan Pajak

tersebut dan Undang-undang KUP menunjukkan bahwa pemungutan pajak harus sesuai

dengan yang diperintahkan Undang-undang dan pungutan pajak harus bersih dari pungutan

yang tidak diperintahkan Undang-undang (to save the only legal tax)

Visi Pengadilan Pajak : ”Penegak keadilan hukum pajak berdasarkan Undang-undang”

Misi : ”Menyelamatkan pemungutan pajak yang diperintahkan Undang-undang dan

sebaliknya membersihkan pungutan pajak dari pungutan yang tidak berdasarkan Undang-

undang”

A. Pembedaan Hukum pajak

No. Hukum pajak Sanksi Masalah terkait

1. Hukum administrasi Sanksi administrasi

a. bunga

b. denda

Page 4: Hukum acara peradilan pajak

c. tambahan pokok pajak

d. kenaikan oleh fiskus Ketidaktaatan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban.

a. tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT)

b. menyampaikan SPT tapi tidak benar atau tidak lengkap yang dikarenakan alpa

2. Hukum pidana

a. denda pidana

b. hukuman penjara Termasuk kejahatan seperti:

a. sengaja tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP

b. memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan

B. Pengertian sengketa pajak

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 dibentuklah

pengadilan pajak yang menggantikan tugas Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).

Dalam pasal 2 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pengadilan pajak adalah badan

peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak

yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002, bahwa pengadilan pajak

berkedudukan di ibukota Negara, dengan demikian pengadilan pajak ini hanya berada di

Jakarta dan tidak bisa ditempat lain. Hal itu agak berbeda dari Undang-Undang Nomor 17

tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang menyatakan secara

tegas bahwa apabila dipandang perlu dapat dibentuk penyelesaian sengketa pajak yang

tingkatannya sama ditempat lain.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002, bahwa sidang pengadilan pajak

dilakukana ditempat kedudukannya dan apabila dipandang perlu dapat dilakukan ditempat

lain dan tempat sidang yang ditentukan oleh ketua. Pasal ini memberi jalan untuk

memperlancar dan mempercepat penanganan sengketa pajak sehingga tempat sidang dapat

ditentukan ditempat lain. Hal ini sesuai dengan prinsip penyelesaian perkara yang dilakukan

dengan sederhana, cepat dan biaya murah.

Page 5: Hukum acara peradilan pajak

Pembinaan dalam pajak diatur dalam pasal 5 yang dilakukan secara terpisah, yaitu

pembinaan secara teknis peradilan bagi pengadilan pajak yang dilakukan oleh Mahkamah

Agung. Sementara pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan bagi pengadilan pajak

dilakukan oleh Departemen Keuangan.

Susunan keanggotaan pengadilan pajak terdiri atas pimpinan, hakim anggota,

sekretaris dan panitera. Unsur pimpinan pengadilan pajak terdiri atas seorang ketua dan

paling banyak lima orang wakil ketua. Mereka diangkat oleh presiden dari para hakim yang

diusulkan oleh menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung, selanjutnya

ketua, wakil ketua dan hakim diangkat untuk masa jabatan selama lima tahun dan dapat

diperpanjang untuk satu kali masa jabatan.

Dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara sengketa pajak tertentu yang

memerlukan keahlian khusus, ketua dapat menunjuk hakim ad hoc sebagai hakim anggota.

Penunjukan hakim ad hoc sebagai anggota majelis hakim dilakukan oleh ketua pengadilan

dengan suatu penetapan. Pada pengadilan pajak ditetapkan pula adanya kepaniteraan yang

dipimpin oleh seorang panitera. Panitera, wakil panitera dan panitera pengganti di angkat dan

diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Keuangan.

Adapun tugas dan wewenang pengadilan pajak berdasakan pasal 31 undang-undang

pengadilan pajak adalah memeriksa dan memutus sengketa pajak, sedangkan yang menjadi

wewenang BPSP dapat dibedakan menjadi dua, yaitu wewenang memeriksa permohonan

banding dan wewenang memeriksa gugatan.

Berdasarkan pasal 32 pengadilan pajak juga mengawasi kuasa hukum yang

memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang

pengadilan pajak. Adanya suatu peradilan pasti karena adanya suatu sengketa. Terjadinya

sengketa pajak diawali dengan adanya ketidaksamaan persepsi atau perbedaan pendapat

antara wajib pajak atas pajak terutang yang telah ditetapkan atasnya.

Pada tingkat pertama wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada instansi atau

pejabat berwenang yang menerbitkannya. Proses penyelesaian keberatan diselesaikan secara

internal oleh fiskus.

1) Pajak pusat ditangani oleh Direktorat Jenderal Pajak

Page 6: Hukum acara peradilan pajak

2) Masalah kepabean oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

3) Pajak daerah oleh pemerintah daerah yang bersangkutan

Dengan mengacu pada ketentuan pasal 1 Undang-Undang No. 17 tahun 1997 tentang

Badan penyelesaian Sengketa Pajak (UUBPSP) ditegaskan bahwa sengketa pajak adalah

sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakna dapat diajukan banding

dan gugatan ke badan penyelesaian sengketa pajak. Jadi pada tingkat banding atau gugatan

hanya lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Pajak

Tata prosedural penyelesaian sengketa pajak:

1) Pengajuan keberatan kepada pejabat yang telah mengeluarkan surat ketetapan dimaksud

misalnya:

a. Pajak pusat ditangani oleh Direktorat Jenderal Pajak

b. Masalah kepabean oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

c. Pajak daerah oleh pemerintah daerah yang bersangkutan

proses penyelesaian keberatan dilakukan secara internal oleh fiskus maksudnya adalah setiap

ketetapan yang telah dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang akan dikoreksi atau diperiksa

kembali dan diputuskan sendiri olehnya.

2) Dalam hal terjadi sengketa pajak antara wajib pajak dan aparat di bidang perpajakan

mengenai besarnya jumlah pajak terhutang setelah proses keberataan yang keputusannya oleh

wajib pajak masih dianggap tidak adil, maka wajib pajak yang bersangkutan dapat

menggunakan haknya untuk mengajukan banding atau gugatan ke pengadilan pajak.

3) Apabila wajib pajak berpendapat putusan pengadilan pajak terhadap kewajiban

perpajakannya dirasakan tidak adil maka wajib pajak diberikan kesempatan untuk

mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali ke Mahkamah Agung

selama jangka waktu masih terpenuhi. namun, terhadap adanya pengajuan peninjauan

kembali tidak menghalangi pelaksanaan putusan pengadilan pajak.

C. Peradilan Administrasi Pajak

Page 7: Hukum acara peradilan pajak

tidak murni, karena: hanya melibatkan 2 pihak yaitu peradilan administrasi wajib pajak dan

fiskus

pajak murni karena: melibatkan 3 pihak yaitu wajib pajak, fiskus dan hakim yang mengadili

1) Peradilan administrasi pajak tidak murni

- melibatkan 2 pihak yaitu wajib pajak dan fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga yang

independent

- fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus menjadi pihak yang mengambil keputusan

dalam perselisihan pajak yang bersangkutan.

- merupakan tingkat pengajuan keberatan (doleansi)

- diatur dalam pasal 25 dan 26 undang-Undang No. 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan.

- terhadap surat keberatan harus diambil keputusan

- pihak yang mengambil keputusan adalah aparatur pajak (dirjen pajak kakanwil pajak,

Kepala Kantor Pelayanan pajak sesuai dengan kewenangan masing-masing) yang disebut

hakim doleansi

2) Peradilan administrasi murni

- melibatkan tiga pihak yaitu wajib pajak, fiskus dan hakim yang mengadili. wajib pajak dan

fiskus adalah pihak yang bersengketa, sedangkan hakim adalah pihak yang akan memutuskan

sengketa.

- merupakan peradilan tingkat banding

- diatur dalam pasal 27 undang-Undang No. 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. dan

Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

D. Keberatan / penyelesaian melalui Diretorat Jendral Pajak

Dalam praktik pelaksanaan undang-undang perpajakan, ketika wajib pajak memperoleh suatu

ketetapan pajak dan merasa tidak puas atas ketetapan pajak yang dimaksud, wajib pajak dapat

melakukan upaya hukum dengan nama keberatan. keberatan diajukan oleh wajib pajak

kepada direktur jendral pajak atas ketetapan pajak yang dikeluarkan sebagaimana diatur pasal

25 dan undang-Undang No. 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Page 8: Hukum acara peradilan pajak

No. 28 tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi: wajib

pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada direktorat jendral pajak atas suatu:

1) surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) surat ketetapan yang menentukan besarnya:

- jumlah pokok pajak

- jumlah kredit pajak

- jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak

- besarnya sanksi administrasi

- jumlah yang masih harus dibayar

2) Surat ketetapan pajak kurang bayarTambahan (SKPKBT)

surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan

3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak Karena jumlah krdit

pajak lebih besar dari pajak yang terhutang atau tidak seharusnya terhutang

4) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

surat ketetapan yang menentukan jumlah pokok pajak sama besar dengan jumlah kredit pajak

atau pajak tidak terhutang dan tidak ada kredit pajak

5) pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan.

Karena penyelesaian segketa atas upaya hukum keberatan ini dilakukan masih dalam

lembaga yang sama dengan yang menerbitkan ketetapan pajak yaitu Direktorat Jenderal

Pajak, maka menurut prof. Soemitro, penyelesaian demikian disebut peradilan administrasi

tidak murni atau peradilan doleansi. Ketika Wajib Pajak mengajukan upaya keberatan, wajib

pajak seringkali beranggapan bahwa wajib pajak tidak perlu melunasi hutang pajaknya dan

tidak akan dilakukan tindakan penagihan pajak padahal pasal 25 ayat 7 UUKUP menegaskan

bahwa keberatan tidak menunda pembayaran pajak dan palaksanaan penagihan pajak. artinya

bahwa sekalipun wajib pajak melakukan upaya hukum keberatan kepada Direktur Jendral

Page 9: Hukum acara peradilan pajak

Pajak, wajib apajak tetap tetap mempunyai kewajiban untuk melunasi utang pajaknya. hal itu

untuk mencegah adanya usaha penghindaran atau penundaan pembayaran pajak melalui

pengajuan surat keberatan, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terganggunya

penerimaan negara.

Setelah dilakukan proses pemeriksaan atas upaya hukum keberatan tersebut ada 4

kemungkinan keputusan yang dapat dikeluarkan oleh Direktur jendral pajak yaitu:

1) ditolak apabila dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktur Jendral Pajak atas surat

keberatan wajib pajak diketahui tidak terdapat cukup alasan dan bukti, maka Dirjen Pajak

akan mengeluarkan keputusan menolak kebertan wajib pajak. jika terjadi putusan demikian,

maka konsekuensinya adalah wajib pajak harus melunasi utang pajaknya atau mengajukan

upaya hukum banding kepada lembaga BPSP (Badan Penyelesaian Sengketa pajak)

2) diterima sebagian apabila surat keberatan wajib pajak setelah diperiksa ternyata hanya

sebagian alasan dan bukti yang mendukung untuk dikuranginya utang pajak, maka Dirjen

pajak akan mengeluarkan keputusan menerima sebagian.

Contoh : dalam surat ketetapan yang diterbitkan oleh Dirjen pajak diketahui utang pajak Tuan

Haris Diaraja sebesar Rp 500 juta, sedangkan menurut penghitungan Tuan Haris Diraja

adalah Rp 250 juta. setelah dilakukan pemeriksaan, dirjen pajak mengeluarkan keputusan

dengan utang pajak sebesar Rp 350 juta. dengan demikian tuan Haris Diraja hanya

diwajibkan membayar utang pajak sebesar Rp 350 juta saja, sedangkan Rp 150 juta adalah

jumlah keberatan yang diterima.

3) diterima seluruhnya

apabila dalam pemeriksaan atas tuan Haris Diraja diketahui adanya alasan dan bukti yang

mendukung untuk diterimanya seluruh keberatan, maka atas utang pajak Tuan Haris Diraja

yang semula Rp 500 juta berubah menjadi Rp 250 juta. artinya seluruh alasan dan bukti

sesuai dengan perhitungan yang dilakukan wajib pajak diterima oleh Dirjen pajak.

4) menambah ketetapan pajak

apabila dalam pemeriksaan malah ditemukan data yang belum dihitung yang dapat

mengakibatkan bertambahnya utang pajak dari utang pajak sebelumnya.

Pihak yang dapat mengajukan keberatan adalah

a. Bagi WP Badan oleh Pengurus

b. Bagi WP orang pribadi oleh WP yang bersangkutan

Page 10: Hukum acara peradilan pajak

c. Pihak yang dipotong/dipungut oleh pihak ketiga

d. Kuasa yang ditunjuk oleh mereka pada butir a .d c diatas dengan surat kuasa khusus untuk

pengajuan keberatan

Syarat-syarat mengajukan keberatan

a. keberatan diajukan Kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP)di tempat WP terdaftar

b. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah

pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut

perhitungan WP dengan disertai alasan yang menjadi dasar perhitungan.

c. Dalam hal WP mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, WP wajib melunasi pajak

yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui WP dalam pembahasan

sebelum surat keberaan disampaikan.

d. Jika WP mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang

belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguhkan sampai dengan satu bulan sejak

tanggal penerbitan surat keputusan keberatan.

e. Jika WP mengajukan banding atas putusan keberatan jangka waktu pelunasan pajak atas

jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguhkan samapai

dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan surat keputusan banding.

f. Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dab satu tahun/masa pajak

Jangka waktu pengajuan keberatan

a. keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal pengiriman

SKPKB, SKPKBT, SKPL, SKPN, atau sejak tanggal dilakukan pemotongan, pemungutan

oleh pihak ketiga kecuali WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat

dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.

b. Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, maka

jangka waktu tiga bulan dihiung sejak tanggal pengiriman SKPKB, SKPKBT, SKPLB,

SKPN, atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat

keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.

c. Untuk Surat Keberatan yang disampaikan melalui pos (harus dengan pos tercatat), maka

jangka waktu tiga bulan dihitung sejak tanggal pengiriman SKPKB, SKPKBT, SKPLB,

SKPN, atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan

tanggal tanda bukti pengiriman melalui kantor pos dan giro.

Hal-hal yang Dapat Dimintakan Oleh Wajib Pajak Dalam Hal Pengajuan Keberatan

Untuk keperluan pengajuan keberatan, WP dapat meminta penjelasan/keterangan tambahan

dan kepala KPP wajib memberikan penjelasan secara tertulis tentang hal-hal yang menjadi

Page 11: Hukum acara peradilan pajak

dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi atau pemotongan, atau pemungutan pajak.

Keputusan atas surat keberatan

a. Kepala KPP atau Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Jenderal Pajak harus sudah

memberikan keputusan atau surat keberatan paling lambat 12 bulan sejak tanggal surat

keberatan diterima. Apabila dalam jangka waktu 12 bulan Kepala KPP atau Kepala Kantor

Wilayah atau Direktur Jenderal Pajak tidak mmeberikan keputusan, maka keberatan yang

diajukan oleh Wjib Pajak dianggap diterima.

b. WP yang mengajukan keberatan tetapi tidak memenuhi persyaratn yang ditetapkan maka

Kepala KPP akan memberikan jawaban tertulis dengan surat biasa (bukan surat keputusan

penolakan) selambat-lambatnya 1 bulan sejak jangka waktu pengajuan keberatan berakhir.

Apabila surat keberatan diajukan setelah batas waktu pengajuan, maka jawaban akan

diberikan selambat-lambatnya 1 bulan sejak surat keberatan tersebut diterima.

c. Sebelum surat keputusan diterbitkan, WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau

penjelasan tertulis.

d. Keputusan keberatan dapat berupa dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, ditolak

dan menambah jumlah pajak. Apabila WP tidak atau belum puas dengan keputusan yang

diberikan atas keberatan, maka WP dapat mengajukan bending ke Pengadilan Pajak.

E. Banding / penyelesaian melalui badan penyelesaian sengketa pajak

Dalam pelaksanaan pajak memungkinkan juga adanya upaya hukum dengan nama banding

apabila wajib pajak merasa tidak puas atas keputusan keberatan yang telah dikeluarkan oleh

Dirjen Pajak. banding diajukan pada peradilan pajak denagan nama badan penyelesaian

sengketa pajak (BPSP).

sejak berlakuya UU No. 17 tahun 1997 tentang badan penyelesaian sengketa pajak (UU

BPSP), selain upaya hukum banding, wajib pajak juga dapat mengajukan gugatan yaitu

gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak seperti:

a) pelaksanaan surat paksa

b) penyitaan dan lelang yang dilakukan berdasarkan undang-undang penagihan pajak

Keberadaan lembaga ini merupakan amanat pasal 27 UUKUP yang putusannya bersifat akhir

dan berkekuatan hukum tetap serta bukan merupakan keputusan tata usaha negara.

Menurut pasal 1 UU BPSP yang dimaksud dengan banding adalah upaya hukum terhadap

suatu keputusan pejabat yang berwenang sepanjang diatur dalam peratura perundang-

undangan perpajakan yang bersangkutan. sedangkan gugatan adalah upaya hukum terhadap

pelaksanaan penagihan pajak sebagaimana diatur dalam peratura perundang-undangan

Page 12: Hukum acara peradilan pajak

perpajakn yang bersangkutan.

Dasar Hukum

Berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. Pengadilan

Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak

atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.

Pengertian

1. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung

pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan

perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

2. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung

pajak terhadap pelaksana penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan

gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Syarat-Syarat mengajukan Banding :

1. Banding diajukan dengan surat banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.

2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya keputusan yang

dibandingkan, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. Jangka waktu tersebut tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi

karena keadaan di luar kekuasaan pemohon banding.

4. Terhadap 1 keputusan diajukan 1 Surat Banding.

5. Banding diajukan disertai dengan alasan-alasan yang jelas dan dicantumkan tanggal

diterimanya surat keputusan yang jelas dan dicantumkan tanggal diterimanya surat keputusan

yang disbanding

6. Pada surat banding dilampirkan salinan keputusan yang disbanding

7. Selain dari persyaratan tersebut, dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah

pajak yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%

8. Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa

hukumnya.

9. Apabila selama proses banding, pemohon banding, meninggal dunia, banding dapat

dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, pengampunya dalam hal

pemohon banding pailit

10. Apabila selama proses banding pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan,

pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh

pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan,

pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.

Page 13: Hukum acara peradilan pajak

11. Pemohon banding dapat melengkapi surat bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang

berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud diatas

12. Terhadap banding dapat diajukan surat pernyataan pecabutan kepada Pengadilan Pajak

13. Banding yang dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan

a. Penetapan Ketua dalam surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang

dilaksanakan

b. Putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan

pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding

14. Banding yang telah dicabut melalui penetapan putusan tidak dapat diajukan kembali

Didalam pasal 37 undang-undang pengadilan pajak, lebih lanjut ditegaskan sebagai berikut:

a. banding dapat diajukan oleh wajib pajak, ahli warisnya, seorang pengurus atau kuasa

hukumnya

b. apabila selama proses banding pemohon banding meninggal dunia, banding dapat diajukan

oleh ahli warisnya, kuasa hukum oleh ahli warisnya atau pengampunya dalam hal pemohon

banding pailit.

c. Apabila selama melakukan proses banding pemohon banding melakukan penggabungan,

peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat

dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan,

peleburan, pemecahan/usaha, atau likuidasi yang dimaksud.

Pengajuan banding harus disertai dokumen-dokumen yang berkaitan dengan banding berupa

berkas-berkas pendukung sebagai berikut:

a. Surat banding

b. Surat uraian banding dari Direktur Jenderal Pajak juga surat uraian banding itu perlu

dilengkapi dokumen pendukung, misalnya: berkas wajib pajak dimana sudah dilengkapi

dengan berbagai data keterangan seperti Surat Pemberitahuan (SPT), Laporan Hasil

Pemeriksaan (LHP), nota perhitungan pajak, dsb. Makin lengkap data tersebut makin mudah

pemeriksaannya.

c. Surat bantahan pemohon banding

d. Bukti pembayaran pajak sebesar 50% dari utang pajak yang dibanding.

e. Dokumen lain yang dianggap perlu.

Setelah berkas banding lengkap dan siap disidangkan maka sekretaris mengatur jadwal

persidangan.

Page 14: Hukum acara peradilan pajak

F. GUGATAN

Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak

terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat digugat

berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana diatur

dalam pasal 17 undang-undang pengadilan pajak. Tindakan penagihan ini dapat berupa:

penerbitan surat paksa, pelaksanaan sita, dan pelaksanaan lelang. Gugatan dapat diajukan

sendiri oleh penggugat atau dikuasakan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, apa tujuan

dari gugatan yang dimaksud. Apabila penggugat mencabut kembali gugatannya dan disetujui

pengadilan pajak, maka gugatannya itu akan dihapus dari daftar gugatan.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pengajuan proses pengajuan gugatan sengketa pajak

adalah masalah tenggang waktu pengajuan gugatan. Gugatan diajukan hanya dalam tenggang

waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya keputusan yang dijadikan obyek sengketa yang

digugat (Pasal 40 ayat (2)). Akan tetapi, jangka waktu tersebut tidak mengikat apabila

menurut pendapat pengadilan pajak jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena

keadaan di luar kekuasaan penggugat.

1. Gugatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak

2. Jangka waktu untuk menhajukan gugatan terhadap pelaksana penagihan pajak adalah 14

hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan

3. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan selain gugatan adalah 30 hari

sejak tanggal diterimanya keputusan gugatan

4. Jangka waktu sebagaimana yang dimaksud diatas tidak mengikat apabila jangka waktu

dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan penggugat

5. Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud diatas adalah 14 hari terhitung sejak

berakhirnya keadaan diluar kekuasaan penggugat

6. Terhadap satu pelaksanaan penagihan atas satu keputusan diajukan satu surat penggugat

7. Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa

hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterimanya

pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampirkan salinan dokumen yang

digugat

8. Apabila selama proses gugatan, penggugat meninggal dunia, gugatan dapat dilanjutkan

oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, pengampunya dalam hal pemohon

banding pailit.

9. Apabila selama proses gugatan, pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan,

pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh

Page 15: Hukum acara peradilan pajak

pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan,

pemecahan/pemekaran usaha atau likuidasi yang dimaksud.

10. Terhadap gugatan dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak.

11. Gugatan yang dicabut dapat dihapus dari daftar sengketa dengan:

a. Ketetapan ketua dalam surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan,

b. Putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan

pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan tergugat.

12. Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan putusan tidak dapat diajukan kembali.

13. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau

kewajiban perpajakan.

14. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan

pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan, sampai ada putusan

Pengadilan Pajak.

15. Permohonan dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu

dari pokok sengketanya.

16. Permohonan penundaan dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat

mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika dilaksanakan

penagihan pajak yang digugat itu dilaksanakan.

Didalam pasal 41 undang-undang pengadilan pajak ditegaskan lebih lanjut mengenai

beberapa hal berikut

a. Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa

hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, pelaksanaan penagihan, atau keputusan

yang digugat, dilampiri juga salinan yang digugat.

b. Apabila selama proses gugatan pengugat meninggal dunia, gugatan dapat diajukan oleh

ahli warisnya, kuasa hukum oleh ahli warisnya atau pengampunya dalam hal pemohon

banding pailit

c. Apabila selama melakukan proses gugatan, penggugat melakukan penggabungan,

peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat

dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan,

peleburan, pemecahan/usaha, atau likuidasi yang dimaksud.

Dalam hal gugatan yang harus disertakan dalam berkas, adalah:

a. Surat banding

b. Surat tanggapan Direktur Jenderal atas gugatan penggugat

c. Surat bantahan pemohon banding

Page 16: Hukum acara peradilan pajak

d. Bukti pembayaran pajak sebesar 50% dari utang pajak yang terutang.

e. Dokumen lain yang dianggap perlu

G. PEMERIKSAAN

1. Pemeriksaan

Acara pemeriksaan dapat dilakukan dengan acara biasa atau acara cepat.

a. Acara cepat

Pasal 65-66 mengatur hukum acara pengadilan pajak mengenal pemeriksaan sengketa dengan

menggunakan acara cepat. Pemeriksaan acara cepat dilakukan oleh majelis atau oleh hukum

tunggal. Adapun kriteria pemeriksaan dengan acara cepat meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. sengketa pajak tertentu, yaitu sengketa pajak yang banding atau gugatannnya tidak

memenuhi syarat

2. gugatan yang tidak diputus dalam jangka waktu 6 bulan sejak surat gugatan diterima

3. tidak dipenuhinya syarat formal putusan pengadilan pajak, atau terdapat kesalahan tulis

dan atau kesalahan hitung dalam putusan pengadilan pajak

4. sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang pengadilan

pajak

b. Acara biasa

Selain berlaku acara cepat juga berlaku acara biasa dalam hukum acara pengadilan pajak.

Perbedaannya dalam pemeriksaan acara biasa hanya dapat dilakukan oleh majelis hakim dan

diatur dalam pasal 49-64.

H. Pembuktian

Pembuktian diatur dalam pasal 69-76. Prinsip pembuktian adalah pembuktian bebas, artinya

bagi pihak yang bersengketa yang menyatakan pendirian atau tuntutannya harus dapat

membuktikannya dengan alat bukti yang telah ditentukan. Adapun fungsi pembuktian ini

adalah untuk menangguhkan masing-masing dalil, baik dari pihak penggugat maupun

tergugat.

Dalam pasal 69 ayat (1) disebutkan tentang macam-macam alat bkti sebagai berikut:

1. surat atau tulisan

2. keterangan ahli

3. keterangan para saksi

4. pengakuan para pihak

5. pengetahuan hakim

Page 17: Hukum acara peradilan pajak

Kemudian, pada pasal 69 ayat (2) juga memberikan penambahan wawasan tentang hal-hal

yang telah diketahui secara umum tidak perlu dibuktikan lagi. Pasal 75 juga menjelaskan

tentang batasan minimal alat bukti agar dapat dianggap sah, maka sekurang-kurangnya harus

ada dua alat bukti sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 69 ayat (1).

Alat bukti dapat berupa:

a. Surat atau tulisan,

b. Keterangan ahli,

c. Keterangan para saksi,

d. Pengakuan para pihak dan atau,

e. Pengetahuan Hakim.

1. Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

2. Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri dari:

a. Akta autentik yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapkan seorang pejabat umum, yang

menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk

dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

b. Akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang

bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau

peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

c. Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.

d. Surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, b, dan c yang ada kaitannya

dengan banding atu gugatan.

3. Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam

persidangan tentang hak yang ia ketahui menurut pengalamannya dan pengetahuannya.

4. Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi tidak boleh memberikan keterangan ahli.

5. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim

Ketua atau Hakim Tunggal dapat menunjuk seorang atau beberapa ahli.

6. Seorang ahli dalam persidangan harus memberikan keterangan, baik tertulis maupun lisan,

yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenia hal sebenarnyamenurut pengalaman dan

pengetahuannya.

I. PUTUSAN

Putusan diatur dalam pasal 77-84. putusan pengadilan pajak diambil berdasarkan hasil

penilaian pembuktian dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta

berdasarkan keyakinan hakim.

Page 18: Hukum acara peradilan pajak

Dalam pasal 77 ayat (1) dinyatakan bahwa putusan pengadilan pajak merupakan putusan

akhir dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Putusan akhir ini mempunyai konsekuensi

sebagai berikut:

a. Putusan tersebut tidak mungkin diajukan upaya hukum lagi kepada lembaga peradilan yang

lebih tinggi melalui upaya hukum biasa

b. Putusan tersebut tidak memerlukan persetujuan atau pengesahan dari lembaga lain

c. Putusan tersebut dapat dilaksanakan

Keputusan bahwa putusan pengadilan pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai

keputusan hukum tetap masih dapat diupayakan melalui peninjuan kembali ke Mahkamah

Agung sebagaimana diatur dalam pasal 77 ayat (3). Akan tetapi, bahwa kontrol melalui

peninjauan kembali tidak meliputi semua sengketa pajak, karena untuk mengajukan

peninjauan kembali memerlukan syarat-syarat khusus.

Disamping putusan akhir tersebut, menurut pasal 77 ayat (2) pengadilan pajak juaga dapat

mengeluarkan putusan sela berkaitan dnegan permohonan penggugat untuk memlakukan

penundaan terhadap tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak. Dengan demikian, yang

dapat menjadi putusan sela berkaitan dengan skorsing terhadap tindakan penagihan.

1. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum

tetap.

2. Pengadilan Pajak dapat mengeluarkan putusan sela atas gugatan berkenaan dengan

permohonan penggugat agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan Pajak ditunda selama

pemeriksaan pajak berjalan, sampai ada putusan pengadilan.

3. Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas Putusan

Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.

4. Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian dan berdasarkan

peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan serta berdasarkan keyakinan

Hakim.

5. Dalam pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan

musyawarah yang dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila dalam musyawarah tidak dapat

dicapai kesepakatan, putusan diambil dengan suara terbanyak.

6. Apabila Majelis di dalam mengambil keputusan dengan cara musyawarah tidak dapat

dicapai kesepakatan sehingga putusan diambil dengan suara terbanyak, pendapat Hakim

Anggota yang tidak sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan Pengadilan

Pajak.

7. Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa:

Page 19: Hukum acara peradilan pajak

a. Menolak,

b. Mengabulkan sebagian atau seluruhnya,

c. Menambah pajak yang harus dibayar,

d. Tidak dapat diterima,

e. Membetulkan kesalahan tulisan dan atau kesalahan hitung dan atau

f. Membatalkan.

8. Terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, atau kasasi.

9. Putusan Pemeriksaan dengan acara biasa atas banding diambil dalam jangka waktu 6

bulansejak Surat Banding diterima.

10. Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas gugatan diambil dalam jangka waktu 6

bulan sejak Surat Gugatan diterima.

11. Dalam hal-hal khusus, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 3 bulan.

12. Dalam hal gugatan yang diajukan selain atas keputusan pelaksanaan penagihan pajak,

tidak diputus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas, Pengadilan Pajak wajib

mengambil putusan melalui pemeriksaan dengan acara cepat dalam jangka waktu 1 bulan

sejak jangka waktu 6 bulan dimaksud terlampaui.

13. Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa Pajak yang tertentu

dinyatakan tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu sebagai berikut:

a. 30 hari sejak batas waktu pengajuan Banding atau Gugatan dilampaui.

b. 30 hari sejak Banding atau Gugatan diterima dalam hal diajukan setelah batas waktu

pengajuan dilampaui.

14. Putusan atau penetapan dengan acara cepat terhadap kekeliruan berupa pembetulan

kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung, diambil dalam jangka waktu 30 hari sejak

kekeliruan dimaksud diketahui atau sejak permohonan salah satu pihak diterima.

15. Putusan dengan acara cepat terhadap sengketa yang didasarkan pertimbangan hukum

bukan merupakan wewenang Pengadilan Pajak, berupa tidak dapat diterima, diambil dalam

jangka 30 hari sejak Surat Banding atau Surat Gugatan diterima.

16. Dalam hal Putusan Pengadilan Pajak dimbil terhadap Sengketa Pajak, pemohon banding

atau penggugat dapat mengajukan gugatan kepada peradilan yang berwenang.

17. Putusan Pengadilan Pajak harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

18. Tidak dipenuhinya ketentuan di atas, putusan Pengadilan Pajak tidak sah dan tidak

mempunyai kekuatan hukum dan karena itu putusan dimaksud harus diucapkan kembali dalm

sidang terbuka untuk umum.

19. Putusan Pengadilan Pajak harus memuat:

Page 20: Hukum acara peradilan pajak

a. Kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,

b. Nama, tempat tinggal atau tempat kediaman dan atau identitas lainnya dari pemohon

banding atau penggugat.

c. Nama jabatan dan alamat terbanding atau tergugat,

d. Hari, tanggal diterimanya banding atau Gugatan,

e. Ringkasan Banding atau Gugatan, dan ringkasan Surat Uraian Banding atau Surat

Tanggapan atau Surat Bantahan yang jelas,

f. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam

persidangan selama sengketa itu diperiksa,

g. Pokok sengketa,

h. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan.

i. Amar putusan tentang sengketa,

j. Hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera dan keterangan tentang

hadir atau tidak hadirnya para pihak.

20. Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan di atas menyebabkan putusan dimaksud tidak sah

dan Ketua memerintahkan sengketa dimaksud segera disidangkan kembali dengan acara

cepat, kecuali putusan diambil telah melampaui jangka waktu 1 tahun.

21. Ringkasan sebagaimana dimaksud dalam huruf e tidak diperlukan dalam hal Putusan

Pengadilan Pajak diambil terhadap Sengketa Pajak berupa tidak dipenuhinya putusan

Pengadilan Pajak, sengketa yang bukan wewenang Pengadilan Pajak dan sengketa tertentu

yang tidak memenuhi syarat.

22. Putusan Pengadilan Pajak harus ditandatangani oleh Hakim yang memutuskan dan

Panitera.

23. Apabila Hakim Ketua atau Hakim Tunggal yang menyidangkan berhalangan

menandatangani, ptusan ditandatangani oleh Ketua dengan menyatakan alasan

berhalangannya Hakim Ketua dan Hakim Tunggal.

24. Apabila Hakim Anggota berhalangan menandatangani, putusan ditandatangani oleh

Hakim Ketua dengan menyatakan alasan berhalangannya hakim Anggota dimaksud.

J. PELAKSANAAN PUTUSAN

1. Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi

keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.

2. Apabila Putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh banding, kelebihan

pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk

Page 21: Hukum acara peradilan pajak

paling lama 24 bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang

berlaku.

3. Salinan putusan atau salinan penetapan Pengadilan Pajak dikirim kepada para pihak

dengan surat oleh sekretaris dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal putusan Pengadilan

Pajak diucapkan, atau dalam jangka waktu 7 hari sejak tanggal putusan diucapkan.

4. Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang berwenang dalam jangka

waktu 30 hari terutang sejak tanggal diterimanya putusan.

5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Pajak dalam jangka waktu tersebut

dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku.

K. Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Atas Sanksi Administrasi Perpajakan

Berdasarkan Pasal 25 UUD KUP, tidak menyebutkan atas Surat Tagihan Pajak (STP). Hal ini

karena STP bukanlah ketetapan atas pokok pajak melainkan hanya menganakan atas sanksi

admnistrasi. Karena atas penerbitan STP tidak dapat diajukan keberatan, maka upaya yang

dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah mengajukan peninjauan kembali jumla ketetapan

pajak dan sanksi administrasi yang belum tercantum dalam STP.

Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP dan Keputusan Menteri Keuangan No.

953/KMK.04/1983 disebutkn bahwa Menteri Keuangan dapat menerbitkan Keputusan

Peninjauan Kembali dengan mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak dan sanksi

administrasi yang tidak benar. Terhadap keputusan peninjauan kembali tidak dapat diajukan

Banding.

PERADILAN PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

Tidak dapat dipungkiri dalam suatu negara hukum seperti Indonesia, salah satu lembaga

tumpuan keadilan adalah badan-badan peradilan yang memepunyai tugas dan fungsi

menegakkan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. UU nomor 14 tahun 1970 membagi

badan peradilan dalam 4 lingkungan peradilan (pasal 10 ayat (1) ) yaitu:

a) Peradilan Umum;

b) Peradilan Agama;

c) Peradilan Militer;

d) Peradilan Tata Usaha Negara.

Perkara yang bersumber tindak pidana di bidang perpajakan, masuk dalam lingkungan

peradilan umum. Artinya apabila terjadi tindak pidana di bidang perpajakan maka

penyelesaiannya melalui peradilan pidana ( Pengadilan Negeri )

Page 22: Hukum acara peradilan pajak

Pengadilan Negeri merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara pidana yang berkaitan dengan pelanggaran di bidang perpajakan.

Untuk itu dalam hal terjadi pelanggaran atau kejahatan di bidang perpajakan maka ketentuan

beracara dalam penyelesaiannya, di samping bertumpu pada UU Nomor 6 tahun 1983 juga

UU Nomor 8 tahun 1981 dan perundang-undangan lain yang terkait.

Seperti diketahui dalam UU perpajakan nasional, di samping diatur sanksi-sanksi pidana (

tindak pidana di bidang perpajakan ) juga diatur sanksi-sanksi administrasi. Pengaturan kedua

jenis sanksi, diatur oleh UU. KUP. 1984. Penyelesaian perkara pidana di bidang perpajakan

dilakukan melalui peradilan pidana di bidang perpajakan, yaitu Pengadilan Negeri ( Peradilan

Umum ).

HUBUNGAN PAJAK DENGAN HUKUM PIDANA

Pajak termasuk hukum publik dan ini adalah sebagin dari tata tertib hukum antara penguasa

dengan rakyat/warganya mengenai hak dan kewajiban.

Hukum pajak dalam hubungannya dengan Hukum Pidana (KUHP) dapat terlihat dalam pasal

103 KUHPidana yang berbunyi :

“Ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan

yang dapat dihukum menurut peraturan-peraturan lain, kecuali kalu ada undang-undang

(Wet) atau ordonansi menentukan peraturaan lain”

Ketentuan pasal 103 KUH Pidana ini menunjukkan bahwa yang dimuat dalam buku I KUHP,

mulai dari bab Is/d (pasal s/d 85), selain berlaku untuk hal-hal yang disebut dalam KUH

pidana, ber;aku juga untuk menerangkan hal-hal yang disebut dalam undang-undang atau

peraturan lain kecuali ditentukan lain. Perkataan undang-undang lain dalam pasal 103 KUHP

ini, menunjukkan juga termasuk ketentuan-ketentuan yang dalam Undang-undang pajak

diancam baik sebagai kejahatan maupun pelanggaran yang terdapat dalam undang-undang

Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dapat dipidana

sesuai dengan KUH Pidana. Ancaman pidana terhadap tindak pidana pajak dapat dilihat

dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan pada pasal 38, 39, 40, 41. Tindak pidana di bidang pajak dapat dibedakan dalam

pelanggaran dan kejahatan. Pelanggaran adalah tindak pidana yang terjadi tidak dengan

sengaja atau terjadi karena kealpaan seperti karena kealpaan tidak menyampaikan SPT atau

sudah mengisi SPT akan tetapi karena kealpaan sehingga isinya tidak benar atau tidak

lengkap.

Sanksi yang diancam terhadap pelanggaran di bidang pajak lebih ringan daripada kejahatan.

Page 23: Hukum acara peradilan pajak

Untuk pelanggaran seperti yang disebut diatas dikenakan sanksi piodana kurungan paling

lama satu tahun dan atau denda setinggi-tingginya dua kali jumlah pajak yang terutang.

Kejahatan ialah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Wajib pajak tahu bahwa

perbuatannya itu tidak sesuai bahkan bertentangan dengan undang-undang tetapi tidak

dilakukan dengan maksud upaya membayar pajak lebih ringan, atau untuk memperoleh

keuntungan bagi dirinya, yang merugikan Negara. Perbuatan-perbuatan yang diklasifikasikan

sebagai kejahatan dalam Hukum pajak ialah :

a. Dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan diri untuk mendapatkan

NPWP atau menggunakan NPWP tanpa hak untuk maksud-maksud tertentu;

b. Dengan sengaja menyampaikan surat pemberitahuan, sedangkan ia tahu bahwa surat

pemberitahuan harus dikembalikan kepada Kantor Inspeksi Pajak yang bersangkutan setelah

diisi sebagaimana mestinys dan ditanda tangani;

c. Dengan sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan dengan mengisi secara tidak

benar atau tidak lengkap, dengan mendapatkan keuntungan dari itu;

d. Dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, catatan atau dokumen yang palsu atau

dipalsukan dan dengan perbuatan itu mengelabui petugas pajak;

e. Dengan sengaja tidak memperlihatkan dan atau tidak mau meminjamkan pembukuan,

catatan, dan dokumen yang diperlukan oleh petugas pajak untuk menentukan jumlah pajak

yang terutang sebenarnya;

f. Dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut bagi orang

atau badan yang ditunjuk oleh Undang-Undang Pajak, setelah, ketentuan pasal 21, 22, 23, dan

26 Undang-undang Pajak Penghasilan

Kejahatan tersebut diatas diancam dengan sanksi pidana penjara paling lama enam tahun dan

atau denda paling tinggi empat kali jumlah pajak yang terutang. Kata dan/atau berarti bahwa

hakim mempunyai wewenang untuk mrnjatuhkan sanksi kumulatif, artinya disamping sanksi

penjara atau kurungan masih dapat juga dijatuhi hukuman denda, dengan mengingat batas

maksimum yang ditentukan dalam undang-undang. Denda pidana berbeda dengan

administratif. Denda administratif. Denda administratif dijatuhkan oleh administrasi pajak,

sedangkan denda pidana adalah wewenang Hukum Pidana. Wajib pajak yang dikenakan

denda pidana oleh Hakim Pidana, masih terbuka kemungkinan untuk dikenakan denda

administrasi oleh administrasi pajak. Namun ini adalah wewnang Menteri Keuangan apakah

masih perlu atau tidak, menteri Keuangan apakah masih perlu atau tidak, Menteri Keuangan

yang kewenanganya dilimpahkan kepada Direktorat Jendral Pajak dapat menganggap lebih

bijaksana untuk tidak mengenakan denda administrasi dengan alasan bahwa wajib pajak

Page 24: Hukum acara peradilan pajak

sudah di pidana

Ancaman sanksi pidana untuk tindak pidana kejahatan yang dilakukan dalam bidang

perpajakan dilipatkan dua kali apabila wajib wajib pajak melakukan lagi tindak pidana di

bidang perpajakan sebelum lewat waktu satu tahun terhitung sejak waktu pajal selesai

menjalani pidana penjara

TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

1. UU nomor 6 tahun 1983

UU ini sebagai ketentuan umum telah mengatur ketentuan-ketentuan pidana bagi pelanggaran

di bidang perpajakan yang berkaitan dengan pajak penghasilan ( UU nomor 7 tahun 1983 )

maupun UU nomor 8 tahun 1983.

2. UU nomor 12 tahun 1985

Di dalam Bab XII Pasal 24 dan 25 UU nomor 12 tahun 1985 diatur formulasi pidana yang

menyangkut/ berhubungan dengan pajak bumi dan bangunan ( PBB ).

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKA

1. Pengertian

Sehubungan dengan uraian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan ini, ada dua

pengertian yang saling terkait yaitu menurut UU nomor 8 tahun 1981 ( KUHAP ) dan

menurut UU nomor 6 tahun 1983. Pengertian penyidikan menurut UU nomor 8 tahun 1981

inidapat dikatakan bersifat umum, sedangkan penngertian menurut UU nomor 6 tahun 1983

bersifat khusus karena secara langsung UU ini menyebutnya dengan penyidikan di bidang

perpajakan.

2. Kewenangan penyidik di bidang perpajakan

Penyidik di bidang perpajakan dalam mencari serta mengumpulkan bukti sehingga dapat

membuat terang suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang sekaligus menemukan

tersangkanya berdasar UU yang berlaku dilegalisasi adanya beberapa kewenangan –

kewenanangan. Melalui pasal 44 ayat (2) UU nomor 6 tahun 1983, diintrodusir kewenangan-

kewenangan penyidik khusus di bidang perpajakan yang meliputi:

a) Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak

pidana di bidang perpajakan.

b) Melakukan penelitian terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang

perpajakan.

c) Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa

tindak pidana di bidang perpajakan.

Page 25: Hukum acara peradilan pajak

d) Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencetakan, dan dokumen-dokumen lain

berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.

e) Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang di duga terdapat bahan bukti pembukuan,

pencatatan, dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan yang

dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perpajakan.

f) Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang

perpajakan.

3. Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan

Apabila penyidik di bidang perpajakan telah selesai melakukan penyidikan maka dengan

segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum. Landasan hukum

mengenai kewajiban penyerahan berkas perkara hasil penyidikan itu adalah:

a) UU nomor 8 tahun 1981

b) UU nomor 6 tahun 1983

c) Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14. PW. 07. 03 tahun 1983 tentang

Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP

d) Surat Menteri Kehakiman Nomor: M. PW. 07. 03-762 tanggal 15 Juli 1986.

PENUNTUTAN

1. Penuntut Umum dan kewenangannya

Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh UU ( KUHAP ) untuk melakukan

penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim ( Pasal 1 butir 6 b jo pasal 13 KUHAP ).

Sesuai hukum acara pidana, ditetapkan bahwa penuntut umumlah yang menentukan

kebijakan suatu penuntutan termasuk terhadap perkara pidana di bidang perpajakan. Artinya

hanya penuntut umum yang menentukan suatu perkara hasil penyidikan PPNS Ditjen Pajak

apakah sudah lengkap ataukah belum/ tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan ( vide pasal

139 KUHAP ).

2. Prapenuntutan

Undang-undang perpajakan nomor 6 tahun 1983 mewajibkan kepada PPNS Ditjen Pajak

memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada

Penuntut Umum.

Berdasar kewenangan yang ada Pasal 14a, b KUHAP maka penuntut umum menerima dan

memriksa berkas perkara yang untuk selanjutnya mengadakan prapenuntutan apabila ada

kekurangan pada penyidikan itu dengan memberi petunjuk-petunjuk dalam rangka

penyempurnaan hasil penyidikan dari penyidik ( PPNS Ditjen Pajak yang bersangkutan ).

Page 26: Hukum acara peradilan pajak

Jadi yang dimaksud prapenuntutan adalah proses pemberian petunjuk-petunjuk oleh penuntut

umum kepada penyidik dalam rangka bertujuan penyempurnaan hasil penyidikan.

Adanya kewenangan jaksa (Penuntut Umum) memberikan petunjuk kepada penyidik. Artinya

setelah berlakunya KUHAP, Jaksa Penuntut Umum tidak berwenang lagi melakukan

penyidikan tambahan atau penyidikan lanjutan.

3. Pelimpahan Perkara ke Pengadilan

Ditentukan oleh KUHAP setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil

penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu

sudah memenuhi persyaeatan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (pasal 179).

Dari pasal ini mengandung dua alternative bagi penuntut umum, yaitu :

a. Jika hasil penyidikan sudah lengkap dan memenuhi persyaratan maka penuntut umum

secepatnya melimpahkan perkara ini pada dasarnya adalah supaya perkara pidana (di bidang

perpajakan) yang diajukan itu diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Tindakan penuntut umum melimpahkan perkara pidana yang dilengkapi surat dakwaan ini

lazim disebut penuntutan.

b. Bila tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak

pidana atau perkara ditutup demi hokum, maka penuntut umum menghentikan penuntutan

dengan menuangkan hal tersebut dalam surat penetapan (vide pasal 140 ayat (2) b KUHAP.

Dengan pelimpahan perkara ke pengadilan, penting untuk diperhatikan adalah hal-hal yang

berkaitan dengan pengadilan yang berwenang mengadili surat dakwaan. Tanpa kedua hal

tersebut diperhatikan, ada kemungkinan tindakan penunututan dinyatakan sebagai tidak dapat

diterima (viet ont vankelijk verklaard) oleh pengadilan.

a) Pengadilan yang berwenang mengadili

Tentu sangat dimungkinkankan tempat terjadinya tindak pidana ( locus delict ) di bidang

perpajakan adalah tidak sama dengan tempat tinggal pelaku atau keberadaan saksi-saksi dan

barang bukti. Keadaan demikian mengharuskan penuntut umum untuk tidak bertindak secara

tempat melimpahkan perkara ke pengadilan mana yang berwenang mengadili.

Mengenai Pengadilan Negeri mana yang paling berwenang mengadili, sebagai acuan dapat

disimak muatan pasal 84 KUHAP yang menentukan.

1. Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak perkara pidan

yang dilakukan dalam daerah hukumnya.

2. Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam

terakhir, tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa

tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada

Page 27: Hukum acara peradilan pajak

tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam

daerahnya tindak pidana itu dilakukan.

3. Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hokum

berbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang

mengadili perkara pidana tersebut.

4. Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan

oleh seorang dalam daerah hokum berbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing

pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

b) Surat Dakwaan

Keharusan penyertaan surat dakwaan dan berkas perkara dalam pelimpahan perkara ke

Pengadilan Negeri oleh Penuntut Umum adalah sesuai ketentuan pasal 143 ayat (1) KUHAP.

PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

1. Acara Pemeriksaan

KUHAP membagi acara pemeriksaan di sidang pengadilan dalam tiga jenis pemeriksaan,

yaitu:

a. Acara pemeriksaan biasa ( vide Pasal 152-202 KUHAP )

b. Acara pemeriksaan singkat ( pasal 203-204 KUHAP )

c. Acara pemeriksaan cepat ( Pasal 205-216 KUHAP )

1) Acara pemeriksaan tindak pidana ringan

2) Acara pemeriksaan perkara pelanggara lalu lintas jalan

2. Pembuktian

Dalam bukunya M. Yahya Harahap, SH, mengemukakan “ Pembuktian adalah ketentuan-

ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan UU

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan UU dan yang boleh dipergunakan

hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan “.

a. Alat Bukti ( bewijsmiddel )

Keseluruhan alat-alat bukti yang ditetapkan dalam hokum acara pidana kita (KUHAP) yang

berlaku pula bagi pembutian peradilan tindak pidana perpajakan ( Pasal 184 KUHAP )

adalah:

i. Keterangan saksi;

ii. Keterangan ahli;

iii. Surat;

iv. Petunjuk;

Page 28: Hukum acara peradilan pajak

v. Keterangan terdakwa.

b. Sistem pembuktian

Landasan sistem pembuktian yang berlaku di antaranya adalah UU nomor 14 tahun 1970 dan

UU nomor 8 tahun 1981, terutama pasal 183

• Tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat

pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang

dianggap dapat bertanggungjawab telah bersalah atas perbuatannya dituduhkan atas dirinya

(UU No 14 Tahun 1970 pasal 6)

• Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-

kurangnya 2 alat bukti yang sah ia memeperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-

benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. (Pasal 183 KUHP)

Selesainya Pemeriksaan

Tentang kapan suatu pemeriksaan itu dinyatakan selesai oleh M.Yahya Harahap, SH

disebutkan sebagai berikut :

• Apabila semua alat bukti telah rampung diperiksa. Semua alat-alat bukti yang diajukan

penuntut umum baik berupa bukti- bukti atau surat pemeriksaan ahli yang diajukan oleh

penuntut umum, terdakwa atau penasehat hokum telah rampung diperiksa satu per satu.

Dsemikian juga keterangan terdakwa telah dengan sempurna diperiksa dan didengar dalam

sidang pengadilan.

• Semua barang bukti yang ada telah diperlihatkan kepada terdakwa maupun terhadap saksi

serta sekaligus menanyakan pendapat mereka terhadap barang bukti tersebut.

• Demikian juga dengan surat- surat yang ada maupun berita acara yang dianggap penting

sudah dibacakan dalam sidang peradilan serta sekaligus menanyakan pendapat terdakwa atau

penuntut umum akan isi surat dan berita acara yang dibacakan.