hukum acara peradilan agama

77
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA (Lanjutan : Pendahuluan) Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama A.1. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama 1) Asas Bebas Merdeka Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia. Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.” 2) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang- undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. 3) Asas Ketuhanan Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimatBasmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.” 4) Asas Fleksibelitas Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut. Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.

Upload: nyx-ruby

Post on 01-Jan-2016

484 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Acara Peradilan Agama

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

(Lanjutan : Pendahuluan)Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama

A.1.  Asas Umum Lembaga Peradilan Agama1)         Asas Bebas Merdeka

  Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia.

Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

  Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”

2)        Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman  Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

3)        Asas Ketuhanan        Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimatBasmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”

4)        Asas FleksibelitasPemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan

dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.

Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.

Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk  kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti

Page 2: Hukum Acara Peradilan Agama

yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.

Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.

5)        Asas Non Ekstra YudisialSegala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar

kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.

6)        Asas LegalitasPeradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-

bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.

Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.

 A.2.   Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama

1)         Asas Personalitas Ke-islamanYang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan

peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.

Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :

a)    Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.b)    Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris,

wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.c)    Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh

karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai

ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-

Page 3: Hukum Acara Peradilan Agama

Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa.

Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.2)        Asas Ishlah (Upaya perdamaian)

Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.

3)        Asas Terbuka Untuk UmumAsas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun

1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.

Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).

4)        Asas EqualitySetiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah

sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :a.           Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal

before the law”.b.           Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”c.            Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.

5)        Asas “Aktif” memberi bantuan

Page 4: Hukum Acara Peradilan Agama

Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

6)        Asas Upaya Hukum BandingTerhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan

banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.

7)        Asas Upaya Hukum KasasiTerhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat

dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

8)        Asas Upaya Hukum Peninjauan KembaliTerhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

9)        Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar

putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili

RESUME HUKUM ACARA PENGADILAN AGAMA

I

GUGATAN DAN PERMOHONAN

A. Surat Gugatan : Surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua pengadilan agama yang berwenang,

yang memuat tuntutan hak yang hak yang didalamnya mengandung sengketa dan sekaligus

landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran.

B. Ciri-Ciri Gugatan :

1. Mengandung sengketa

2. Terjadi sengketa antara para pihak

3. Bersifat partai, satu pihak sebagai penggugat dan yang lain sebagai tergugat

4. Tidak dilakukan secara sepihak

Page 5: Hukum Acara Peradilan Agama

5. Pemeriksaan harus dilakukan secara kontradiktor dari awal sampai dengan putusan,

artinya memberikan hak dan kesempatan pada tergugat untuk membantah dalil

penggugat.

C. Syarat Formil Gugatan

1. Harus diajukan pada pengadilan agama yang berwenang

2. Memuat identitas penggugat dan tergugat

3. Penggugat harus memiliki hubungan dan kepentingan hokum dengan pokok gugatan

4. Harus memuat fakta kejadian

5. Harus mempunyai dasar hokum

6. Harus memuat tuntutan tuntutan secara rinci

7. Harus dibuat dan ditanda tangani sendiri oleh penggugat atau kuasa hukumnya

D. Syarat Materiil Gugatan

1. Gugatan harus berisi alas an yang dibenarkan oleh hokum

2. Jika syarat formil dan materiil belum lengkap, maka hakim harus memberikan petunjuk

E. Gabungan Gugatan (kumulasi)

1. Syaratnya:

a. Terdapat gugatan yang erat antara gugatan satu dengan yang lain

b. Terdapat hubugan hukum

F. Kumulasi:

a. Subyektif: Gabungan beberapa penggugat atau tergugat dalam suatu gugatan. Misal: Ahli

waris, Ishbat nikah

Page 6: Hukum Acara Peradilan Agama

b. Obyektif: Gabungan beberapa tuntutan terhadap beberapa peristiwa hukum dalam suatu

gugatan

G. Permohonan : Suatu permohonan yang berisi tuntutanhak perdata oleh suatu pihak yang

berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa

H. Ciri-cirinya :

Bersifat kepentingan sepihak

Tidak ada sengketa dengan pihak lain

Tidak ada pihak ke-3 sebagai lawan

I. Syarat Formil :

Identitas permohonan meliputi nama, umur, domisili

Fatwa peristiwa

Fatwa hukum

Tuntutan

Hubungan yang relevan antara posita dan petitum

Ditanda tangani pemohon atau orang yang diberi kuasa

J. Syarat Materiil :

Harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum

Hakim harus member petunjuk jika belum memenuhi syarat formil dan materiil

MEKANISME PERSIDANGAN

1. Gugatan antara permohonan disampaikan pada ketua pengadilan, diserahkan pada meja 1 untuk

didaftar

Page 7: Hukum Acara Peradilan Agama

2. Bagi yang menggunakan advokad maka surat kuasa dilengkapi dengan surat kuasa dengan surat

kuasa khusus yang dilegalisir

3. Membayar biaya perkara —> Pasal 12i HIR ayat 4

Yang merupakan syarat imperative (memaksa) atas pendaftaran perkara

4. Setelah berkas diterima ketua pengadilan agama maka ketua pengadilan agama membuat penetapan

majelis hakim (PMH) untuk menyidang perkara lalu majelis hakim membuat penetapan hari siding

5. Menunggu surat panggilan siding oleh jurusita pengganti

6. Menghadiri sidang sesuai jadwal

PEMANGGILAN

1. Panggilan sidang : Menyampaikan secara resmi dan patut pada pihak-pihak yang terlibat dalam

perkara agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan pengadilan

Panggilan sidang sah : jika dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti yang telah

disumpah untuk jabatannya

Resmi : jika surat itu disampaikan secara tertulis oleh jurusita atau jurusita pengganti

dalam wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan

Patut : Setidaknya 3 hari kerja sebelum hari persidangan

2. Isi surat :

Nama yang dipanggil

Hari, jam dan tempat sidang

Membawa saksi-saksi

Membawa surat-surat yang digunakan

Penegasan dapat menjawab gugatan dengan surat

Page 8: Hukum Acara Peradilan Agama

11

PEMBUKTIAN

A. Pembuktian : Upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk menguatkan dan membuktikan

dalil-dalil yang diajukan agar dapat meyakinkan hakim yang memeriksa perkara

B. Bukti : Segala sesuatu yang dapat meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian

C. Alat bukti : Segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan

D. Macam-macam Alat bukti:

Alat bukti tertulis

Saksi

Persangkaan

Pengakuan

Sumpah

E. Hal-hal yang perlu dibuktikan :

Segala sesuatu yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak

Segala sesuatu yang didalilkan, disangka atau dibantah oleh lawan

Peristiwa-peristiwa atau kejadian yang berkaitan adanya atau menimbulkan suatu hak

F. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan :

Segala sesuatu yang diakui, dibenarkan oleh pihak lawan

Segala sesuatu yang dilihat oleh hakim

Segala sesuatu yang merupakan kebenaran yang bersifat umum

G. Pembagian menurut sifat ;

Page 9: Hukum Acara Peradilan Agama

Berasal dari diri para pihak : pengakuan dan sumpah

Berasal dari luar pihak : surat, saksi dan persangkaan

H. Batas minimal

Suatu jumlah alat bukti yang sah paling sedikit harus terpenuhi agar alat bukti tersebut

mempunyai nilai alat bukti pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan.

I. Bukti surat : bukti berupa tulisan yang berisi tentang suatu peristiwa keadaan atau hal-hal tertentu.

1. Macam-macamnya:

Surat biasa : Surat yang dibuat dengan maksud tidak dijadikan alat bukti, surat

yang tidak disengaja dijadikan bukti dan tidak dibuat secara formal

Akta otentik : Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang dan

mempunyai nilai pembuktian yang sempurna sepanjang tidak dibuktikan lain

Akta dibawah tangan : Akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dengan

kekuatan nilai pembuktian yang sempurna apabila isi dan tanda tangan diakui

oleh para pihak

KESIMPULAN MUSYAWARAH SIDANG

A. Kesimpulan adalah : Suatu ringkasan yang dibuat oleh pihak yang berperkara yang tanpa ihtiar suatu

gugatan baik jawaban atau bantahan yang dibuat dengan bukti-bukti di persidangan dan berisi suatu

permintaan atas suatu gugatan atau bantahan atau jawaban agar majelis akhir mengabulkan gugatan

penggugat dan atau menolaknya.

B. Dasar hukum kesimpulan : Kesimpulan para pihak diatur dalam pasal 28 (yurisprudensi) karena tidak

diatur maka hukum boleh mengajukan atau tidak (bebas).

C. Manfaat bagi penggugat : Para pihak dapat menganalisis dalil-dalil tambahan-tambahannya melaui

pembuktian yang didapatkan selama persidangan sehingga dapat kesimpulan, apakah terbukti atau

tidak, sehingga penggugat akan meminta pada majelis hakim agar dikabulkan sebaliknya penggugat

ditolak.

Page 10: Hukum Acara Peradilan Agama

D. Tujuan diadakan musyawarah : Untuk menyamakan persepsi agar terhadap perkara yang sedang

diadili itu dapt dijatuhkan putusan yang seadil-adilnya, sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

E. Musyawarah hakim : Suatu sikap yang terdapat yang diambil oleh majelis hakim yang menyidangkan

suatu perkara masing-masing mengemukakan pendapat hukumnya atau alasannya yang dilakukan

secara rahasia dan tertutup sebelum hakim mengucapkan keputusannya.

F. Dasar hukum musyawarah :

Pasal 178 HIR/189 RBG

Pasal 14, 51 dan 53 UU No. 48/2009

G. Langkah-langkah/ teknis musyawarah majelis :

1. Ketua majelis hakim mempersilahkan kepada hakim yang lebih senior dan hakim senior

anggota 1 untuk menyampaikan pendapatnya berupa fakta-fakta yang sudah terbukti dan

tidak terbukti dasar hukum apa yang disampaikan dan pertimbangan keadilan dan

kemanfaatan hukum secara tertulis.

2. Majelis menyepakati pendapat ulama yang memenuhi ketentuan hukum yang berlaku dan

memenuhi rasa keadilan serta serta asas manfaat.

3. Jika tidak ada kesepakatan dilakukan voting dan pendapat yang kalah merupakan

dissenting opinion.

4. Jika tiga hakim majelis berbeda pendapat maka yang digunakan adalah pendapat ketua

majelis.

5. Pendapat para hakim anggota dan ketua majelis dicatat dalam ikhtisar musyawarah yang

ditanda tangani oleh ketua majelis dan panitera sidang dilampirkan dalam berita acara

persidangan terakhir.

Dasar hukum dissenting opinion : Pasal 14 ayat (3) UU No.48/2009

Tata cara memuat dissenting opinion dalam putusan :

Page 11: Hukum Acara Peradilan Agama

Pendapat hakim yang berbeda dimuat dalam pertimbangan hakim setelah

pertimbanagan hakim lainnya yang menjadi dasar putusan dengan

menyebutkan nama hakim yang berbeda pendapat tersebut

Subtansi dan teknik musyawarah majelis :

Musyawarah majelis hakim dilaksanakan secara rahasia, maksudnya apa

yang dihasilkan dalam rapat majelis hakim tersebut hanya diketahui oleh

majelis hakim yang memeriksa perkara sampai putusan diucapkan dalam

sidang yang terbuka untuk umum.

ASAS DAN SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

ASAS DAN SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

   Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan “Peradilan Agama” telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar Sejarah Peradilan,   Peradilan   Agama   telah   ada   sejak   abad   ke-16.   Dalam   sejarah   yang   dibukukan   oleh Departemen Agama yang berjudul “Seabad Peradilan Agama di Indonesia”, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl.1882-152, tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa – Madura.

Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan dilaksanakan dengan sukarela,   tetapi  hingga diundangkannya UU No.  7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan acara, melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan, dan tidak pula seragam.

Kekuasaannya kadangkala berbenturan dengan Peradilan Umum karena memang disengaja dibuat tidak jelas oleh Pemerintah Jajahan, sebab Pemerintah Jajahan sejak semula memang sangat khawatir terhadap hukum Islam lantaran hukum islam itu, disamping bertentangan dengan agama mereka, juga merupakan hukum yang sebagaian besar dianut oleh Bangsa Indonesia. Memberikan hak hidup kepada hukum Islam sama artinya dengan memberikan peluang hidup terhadap hukum bangsa Indonesia.

Page 12: Hukum Acara Peradilan Agama

Namun kini  Peradilan Agama telah mempunyai  UU tersendiri,  yaitu UU No.  7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara RI. Selain itu, UU tersebut melengkapi UU Mahkamag Agung No. 14 Tahun 1985, UU Peadilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986.

Memang agak terlambat lahirnya UU No. 7 tersebut dibandingkan dengan landasan lain bagi Peradilan  Umum,  PTUN  dan   lainnya.  Namun  demikian,  dengan   lahirnya  UU  No.  7  Tahun  1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agama setara dengan Lembaga Pengadilan lainnya.

Yang patut disayangkan, UU No. 7 tersebut mengandung beberapa kelemahan. Diantaranya, terdapat  hak  opsi   dalam penyelesaian  perkara  waris   bagi  orang-orang   yang  beragama   Islam di Pengadilan   Agama   atau   di   Pengadilan   Negeri;   Pengadilan   Agama   tidak   berwenang  menangani sengketa  hak  milik  dan   sebagainya.  Dengan  adanya  desakan  dan  masukan  dari   praktisi  hukum maupun masyarakat yang beragama Islam, maka lahirlah UU No. 3 Tahun 2006 yang merevisi dan melengkapi UU No. 7 tentang Peradilan Agama di Indonesia. Dengan adanya UU ini Peradilan Agama akan lebih mantap dalam menjalankan fungsinya.

B.     RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1.      Apakah asas-asas yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan Agama ?

2.      Apakah sumber hukum Acara Peradilan Agama ?

C.     TUJUAN PENULISAN

Setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu karena dengan adanya tujuan yang jelas maka akan  memberikan   arah   yang   jelas   pula   untuk  mencapai   tujuan   tersebut.   Adapun   tujuan   dari pembahasan ini adalah :

1.      Untuk mengetahui asas-asas yang terdapat dalam hukum acara Peradilan agama di Indonesia

2.      Untuk mengetahui sumber hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia.

BAB II

TINJAUAN UMUM

PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

   Sebelum membahas perihal pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, akan dikemukanan terlebih dahulu tentang pengertian Peradilan Agama dan Peradilan Islam. Peradilan Agama adalah 

Page 13: Hukum Acara Peradilan Agama

sebutan   (titelateur)   resmi   bagi   salah   satu   diantara   empat   lingkungan   Peradilan   Negara   atau Kekuasaan Kehakiman yang resmi dan sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah  Peradilan  Umum,  Peradilan  Militer,   dan  Peradilan  Tata  Usaha  Negara.   Peradilan  Agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongn rakyat tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di  bidang perdata tertentu saja,  tidak pidana dan pula tidak hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perkara perdata Islam.

Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang ia boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam. Peradilan Agama adalah Peradilan   Islam   limitatif   yang   telah   disesuaikan   (dimutatis   mutandiskan)   dengan   keadaan   di Indonesia. Menurut pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Kata “Peradilan Islam” yang tanpa dirangkaian dengan kata-kata “di Indonesia”, dimaksudkan adalah Peradilan Islam secara universal. Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Oleh karena itu, dimana-mana asas peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum Islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja. Untuk menghindari kekeliruan  pemahaman,   apabila   yang  dimaksudkan  adalah   “Peradilan   Islam  di   Indonesia”  maka cukup digunakan istilah “Peradilan Agama”.

Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan syariat Islam sekaligus.   Oleh   karena   itu,   rumusan   Hukum   Acara   Peradilan   Agama   adalah   diusulkan   sebagai berikut   :   “Segala   peraturan   baik   yang   bersumber   dari   peraturan   perundang-undangan   negara maupun   dari   syariat   Islam   yang  mengatur   tentang   bagaimana   cara   orang   bertindak   ke  muka Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama”.

Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai   perkara   perdata   tertentu   yang   diatur   dalam  undang-undang   ini   ”.   Dengan  demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.

Setelah  UU No.  7   tahun  1989  diperbaharui  dengan  UU No.3   tahun  2006,  maka   rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan 

Page 14: Hukum Acara Peradilan Agama

kehakiman   bagi   rakyat   pencari   keadilan   yang   beragama   Islam   mengenai   perkara   tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”.

Dalam definisi  PENGADILAN AGAMA tersebut kata “Perdata” dihapus. Adapun maksud dari dihapusnya kata “perdata” adalah:

1.      Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.

2.      Untuk memperkuat  landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun.

Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :

a.       Perkawinan

b.      Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan

c.       Wakaf dan shadaqoh

BAB III

PEMBAHASAN

A.    ASAS-ASAS  DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

1.      Asas Umum Lembaga Peradilan Agama

a)      Asas Bebas Merdeka

Kekuasaan   kehakiman   adalah   kekuasaan   negarayang   merdeka   untuk   menyelenggarakan peradilan  guna  menegakkan  hukum dan  keadilan  berdasarkan  Pancasila,  demi   terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia.

Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang  medeka   ini  mengandung   pengertian   di   dalamnya   kekuasaan   kehakiman   yang   bebas   dari campur   tangan   pihak   kekuasaan   Negara   lainnya,   dan   kebebasan   dari   paksaan,   direktiva   atau rekomendasi   yang   datang   dari   pihak ekstra yudisialkecuali   dalam   hal   yang   diizinkan   undang-undang.”

b)      Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman

Page 15: Hukum Acara Peradilan Agama

Penyelenggara  kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan   dengan   undang-undang.   Dan   peradilan   Negara   menerapkan   hukum   dan   keadilan berdasarkan Pancasila.

c)      Asas Ketuhanan

        Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam,   sehingga   pembuatan   putusan   ataupun   penetapan   harus   dimulai   dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan  irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”

d)     Asas Fleksibelitas

Pemeriksaan   perkara   di   lingkungan   peradilan   agama   harus   dilakukan   dengan   sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib   membantu   kedua   pihak   berperkara   dan   berusaha   menjelaskan   dan   mengatasi   segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.

Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak   pada   formalitas-formalitas   yang   berbelit-belit   memungkinkan   timbulnya   berbagai penafsiran.

Cepat   yang   dimaksud   adalah   dalam  melakukan   pemeriksaan   hakim   harus   cerdas   dalam menginventaris   persoalan   yang   diajukan   dan   mengidentifikasikan   persolan   tersebut   untuk  kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.

Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta  menghilangkan   biaya-biaya   lain   di   luar   kepentingan   para   pihak   dalam  berperkara.   Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.

e)      Asas Non Ekstra Yudisial

Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali  dalam hal-hal  sebagaimana disebut  dalam UUD RI  Tahun 1945.  Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.

Page 16: Hukum Acara Peradilan Agama

f)       Asas Legalitas

Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

Pada   asasnya   Pengadilan   Agama  mengadili   menurut   hukum   agama   Islam   dengan   tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.

Asas   legalitas  dapat  dimaknai  sebagai  hak perlindungan hukum dan sekaligus  sebagai  hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan  peradilan  harus  berdasar   atas  hokum,  mulai   dari   tindakan  pemanggilan,   penyitan, pemeriksaan   di   persidangan,   putusan   yang   dijatuhkan   dan   eksekusi   putusan,   semuanya   harus berdasar   atas   hukum.   Tidak   boleh  menurut   atau   atas   dasar   selera   hakim,   tapi   harus  menurut kehendak dan kemauan hukum.

2.      Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama

1)      Asas Personalitas Ke-islaman

Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang  mengaku  dirinya  beragama  Islam.  Asas  personalitas   ke-islaman diatur  dalam UU nomor  3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan   Umum   alenia   ketiga   dan   Pasal   49   terbatas   pada   perkara-perkara   yang   menjadi kewenangan peradilan agama.

Ketentuan yang melekat  pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :

a.       Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.

b.      Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.

c.       Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.

Khusus   mengenai   perkara   perceraian,   yang   digunakan   sebagai   ukuran   menentukan berwenang   tidaknya   Pengadila   Agama   adalah   hukum   yang   berlaku   pada   waktu   pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri,  tidak dapat menggugurkan   asas   personalitas   ke-Islaman   yang   melekat   pada   saat   perkawinan   tersebut dilangsungkan,   artinya,   setiap  penyelesaian   sengketa   perceraian  ditentukan  berdasar   hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa.

Page 17: Hukum Acara Peradilan Agama

Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor   formil   tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum,   kedua   pihak   sama-sama  beragama   Islam,   dan Kedua, hubungan  hukum yang  melandasi keperdataan   tertentu   tersebut  berdasarkan  hukum  Islam,  oleh  karena   itu   cara  penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.

2)      Asas Ishlah (Upaya perdamaian)

Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya  suatu  putusan,  pasti   lebih  cantik  dan  lebih  adil  hasil  putusan   itu  berupa perdamaian.

3)      Asas Terbuka Untuk Umum

Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.

Sidang   pemeriksaan   perkara   di   Pengadilan   Agama   adalah   terbuka   untuk   umum,   kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai  talak dan atau cerai  gugat   (pasal  68  (2)  UU No.  7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No.  3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).

4)      Asas Equality

Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga   tidak   ada   perbedaan   yang   bersifat   “diskriminatif”   baik   dalam   diskriminasi   normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :

a.       Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law”.

b.      Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”

Page 18: Hukum Acara Peradilan Agama

c.       Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.

5)      Asas “Aktif” memberi bantuan

Terlepas  dari   perkembangan  praktik  yang  cenderung  mengarah  pada  proses  pemeriksaan dengan surat atau tertulis,  hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara  yang  berlaku  untuk   lingkungan  Peradilan  Umum dan  Peradilan  Agama sebagaimana  yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

6)      Asas Upaya Hukum Banding

Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.

7)      Asas Upaya Hukum Kasasi

Terhadap   putusan   pengadilan   dalam   tingkat   banding   dapat   dimintakan   kasasi   kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

8)      Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Terhadap   putusan   yang   telah   memperoleh   kekuatan   hukum   tetap,   pihak-pihak   yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

9)      Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)

Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

B.     SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

Peradilan  Agama adalah  Peradilan  Negara  yang   sah,  disamping   sebagai  Peradilan  Khusus, yakni  Peradilan   Islam di   Indonesia,   yang  diberi  wewenang  oleh  peraturan  perundang-undangan Negara, untuk mewujudkan hukum material Islam dalam batas-batas kekuasaannya.

Untuk   melaksanakan   tugas   pokoknya   (menerima,   memeriksa   dan   mengadili   serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum dan keadilan) maka peradilan agama dahulunya   mempergunakan   Acara   yang   terserak-serak   dalam   berbagai   peraturan   perundang-undangan,  bahkan juga Acara dalam hukum tidak tertulis   (maksudnya hukum formal  Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan Negara Indonesia). Namun kini, setelah   terbitnya  UU No.  7   tahun 1989,  yang  berlaku  sejak   tanggal  diundangkan   (29 Desember 1989),  maka hukum Acara Peradilan Agama menjadi konkret.  Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ini berbunyi sebagai berikut :

Page 19: Hukum Acara Peradilan Agama

“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan agama adalah Hukum acara Perdata yang berlaku dalam lingkunganPeradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.

         Menurut pasal  di  atas,  Hukum Acara Peradilan Agama sekarang bersumber (garis besarnya) kepada dua aturan, yaitu : (1) yang terdapat dalam Uu No. 7 tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.

         Peraturan  perundang-undangan   yang  menjadi   inti  Hukum Acara  Perdata   Peradilan  Umum, antara lain :

a.       HIR   (Het   Herziene   Inlandsche   Reglement)   atau   disebut   juga   RIB   (Reglemen   Indonesia   yang   di Baharui).

b.      RBg   (Rechts   Reglemen   Buitengewesten)   atau   disebut   juga   Reglemen   untuk   Daerah   Seberang, maksudnya untuk Luar Jawa-Madura.

c.       Rsv (Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie.

d.      UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (sekarang UUNo. 2 Tahun 1998 tentang Peradilan Umum).

Peraturan   perundang-undangan   tentang   Acara   Perdata   yang   sama-sama   berlaku   bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan agama adalah :

a)      UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiaman. (sekarang UU initelah direvisi menjadi UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan direvisi kembali menjadi UU No. 48 Tahun 2009)

b)      UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

c)      UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan dan Pelaksanaannya.

Jika   demikian   halnya   maka   Peradilan   agama   dalam   Hukum   Acaranya   minimal   harus memperhatikan UU No.7 Tahun 1989, ditambah dengan 8 macam peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan tadi.

Setelah  UU No.  7   tahun  1989  diperbaharui  dengan  UU No.3   tahun  2006,  maka   rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman   bagi   rakyat   pencari   keadilan   yang   beragama   Islam   mengenai   perkara   tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”.

Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:

1)      Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.

Page 20: Hukum Acara Peradilan Agama

2)      Untuk memperkuat  landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun

Dalam pasal   49  UU  No.  7   tahun  1989  disebutkan  bahwa  Peradilan  Agama  bertugas  dan berwenang memeriksa,  memutus,  dan menyelesaikan perkara-perkara di  tingkat  pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :

a.       Perkawinan

b.      Kewarisan, wasiat, dan hibahyang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan

c.       Wakaf dan shadaqoh

Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya hukum Islam di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari’ah tumbuh berkembang mulai  dari   lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang  ekonomi   syari’ah  harus  melalui  peradilan  umum.  Menyadari  hal   ini,  maka  dalam Undang-Undang  No.   3   tahun  2006   atas   perubahan  UU  No.   7   tahun  1989  maka   ruang   lingkup Peradilan Agama diperluas ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama Yaitu :

Pertama: memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

a.       Perkawinan

b.      Kewarisan

c.       Wasiat

d.      Hibah

e.       Wakaf

f.       Zakat

g.      Shadaqah

h.      Infaq, dan

i.        Ekonomi syari’ah

Dalam penjelasan pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah :

         Bank syari’ah

         Asuransi syari’ah

         Reasuransi syari’ah

         Reksadana syari’ah

Page 21: Hukum Acara Peradilan Agama

         Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah

         Sekuritas syari’ah

         Pembiayaan syari’ah

         Pegadaian syari’ah

         Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah

         Bisnis syari’ah, dan

         Lembaga keuangan mikro syari’ah

Kedua: diberikan   tugas  dan  wewenang  penyelesaian  sengketa  hak  milik  atau  keperdataan lainnya.Dalam pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain daalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Demi terbentuknya pengadilan yang cepat dan efesien maka pasal 50 UU No.7 tahun 1989 diubah menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lainnya dalam   perkara   sebagaimana   dimaksud   dalam   pasal   49,   khususnya   mengenai   obyek   sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.

Tujuan diberinya wewenang tersebut kepada Pengadilan Agama adalah untuk menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa hak milik atau keperdataan lainnya tersebut yang sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di Peradilan Agama.

Ketiga: diberi   tugas   dan   wewenang   memberikan   itsbat   kesaksian   rukyat   hilal   dalam penentuan awal  bulan  pada  tahun hijriyah.  Selama  ini  Pengadilan  Agama diminta  oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap orang yang telah melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan, awal bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk rukyat Hilal.

Hukum Acara Peradilan Agama Bersifat “Lex Specialis”

Dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 dinyatakan,”Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam  lingkungan  Peradilan  Agama adalah  Hukum Acara  Perdata  yang  berlaku  pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.

Page 22: Hukum Acara Peradilan Agama

Berdasarkan bunyi pasal 54 tersebut di atas, berlaku asas “Lex Specialis derogot Lex Generalis” yang berarti disamping acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama berlaku Hukum Acara   yang  berlaku  pada  pengadilan  dalam  lingkungan  Peradilan  Umum,  namun  secara khusus   berlaku  Hukum  Acara   yang   hanya   dimiliki   oleh   pengadilan   dalam   lingkungan   Peradilan Agama.

BAB IV

PENUTUP

1.      SIMPULAN

Adapun simpulan yang dapat dirumuskan dari rumusan masalah dan pembahasan di atas adalah sebagai berikut :

a)      Bahwa asas dalam Hukum Acara Peradilan Agama dapat di bagi dua, yakni asas Umum Lembaga Peradilan   Agama dan Asas   Khusus   Kewenangan   Peradilan   Agama.   Dimana   kedua   asas   tersebut terbagi lagi dalam beberapa asas.

b)      Bahwa sumber hukum acara peradilan agama saat ini adalah UU No. 3 Tahun 2006. Meskipun saat ini telah berlaku UU No. 3 Tahun 2006 namun terhadap hal-hal yang tidak mengalami perubahan dalam UU No. 3 Tahun 2006 tetap berlaku UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

2.      SARAN-SARAN

Adapun saran-saran yang dapat diberikan terhadap permasalahan dan pembahasan di atas adalah :

a)      Diharapkan   agar   asas-asas   dalam  acara   Peradilan  Agama   dapat   diterapkan   secara   factual   agar tercipta suatu peradilan yang benar-benar member keadilan bagi pihak-pihak di dalamnya.

b)      Diharapkan   agar   segala   sumber   hukum   dalam  Hukum  Acara   Peradilan   Agama   dapat   dijadikan pedoman bagi berjalannya proses beracara di Pengadilan Agama dan proses penyelesaian perkara yang   diajukan   di   Pengadilan  Agama   sehingga  tidak   ada   lagi   keluhan-keluhan   tentang   kesulitan beracara di Pengadilan Agama.

Page 23: Hukum Acara Peradilan Agama

Hukum Acara Peradilan Agama

BAB I 

PENGERTIAN 

A.    Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

Mengenai hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Agama diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989 mulai pasal 54

sampai dengan pasal 105.Menurut ketentuan pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989

“hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan

Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam

undang-undang ini”.

Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat Hukum Acara Perdata yang

secara umum berlaku pada lingkungan Peradilan Umum dan Perdailan Agama,

dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada Peradilan Agama. Hukum

acara yang khusus diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989  yang meliputi cerai

talak, cerai gugat dan cerai dengan alasan zina. Oleh karena itu, dalam makalah

ini dijelaskan terlebih dahulu tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku juga

untuk Pengadilan Agama dan Hukum Acara khusus tetang ceai talak, cerai

gugat dan cerai karena alasan zina.

a.    Permohonan Dan Gugatan

Page 24: Hukum Acara Peradilan Agama

Di dalam Hukum Acara Perdata, kita mengenal adanya permohonan dan

gugatan. Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah dalam suatu

gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh

pengadilan. 

Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang merasa bahwa haknya atau

hak mereka telah ada yang melanggar, tetapi orang yang dirasa melanggar hak

tersebut tidak mau meyerahkannya secara sukarela.

Gugatan ini harus diajukan kepada dimana si tergugat itu tinggal. Dalam

bahasa latin hal ini disebut dengan “Actor Sequitur Forum Rei”. Menurut

ketentuan pasal 118 HIR gugat harus diajukan dengan surat permintaan yang

ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Oleh karena gugat harus

diajukan dengan surat, maka bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan

untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri

berdasarkan ketentuan pasal 12 HIR akan membuat atau menyuruh membuat

gugatan yang dimaksud.

Surat gugat ini isinya harus memuat tanggal, menyebut dengan jelas nama

penggugat dan tergugat lengkap dengan alamatnya. Selanjutnya, bagian yang

disebut dengan posita, yang mana isinya adalah memuat alasan-alasan

berdasarkan keadaan dan bagian yang memuat alasan-alasan yang berdasar

hukum. Bagian akhir harus ada petitum. Petitum ini merupakan bagian yang

terpenting karena merupakan yang diinginkan, ditetapka, diputuskan, atau

diperintahkan oleh hakim.

b.    Perihal Acara Istimewa

Jika pada hari sidang yang telah ditentukan untuk mengadili perkara tertentu,

salah satu pihak atau semuanya, baik itu penggugat maupun tergugat atau

tidak menyuruh wakilnya untuk menghadap pada sidang yang telah ditentukan

maka berlakulah acara istimewa yang diatur diatur dalam pasal 124 dan 125

HIR.

Apabila penggugat yang tidak hadir dan tidak mengirimkan wakilnya secara

syah dan telah dipanggil dengan patut maka gugat digugurkan, sedangkan

apabila tergugat yang tidak hadir maka berlakulah perstek. Untuk putusan

perstek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut sebagaimana yang

tercantum dalam pasal 125 ayat 1 HIR;

1.    Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak dating pada haris sidang

yang telah ditentukan

2.    Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil atau kuasanya yang syah untuk

Page 25: Hukum Acara Peradilan Agama

menghadap

3.    Ia atau mereka telah dipanggil dengan patut

4.    Petitum tidak melawan hak

5.    Petitum beralasan

c.    Perihal Pemeriksaan Dan Pembuktian Dalam Sidang Pengadilan

Adapun tahapan-tahapan pemeriksaan perkara secara umum, terutama perkara

gugatan dalam perkara persdangan itu adalah sebagai berikut;

1.    Mediasi

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau

mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki

kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama

proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses

musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau

musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima

atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi

berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para

pihak.

Mediasi ini dipimpin oleh seorang mediator yang sudah memiliki sertifikat

mediator yaitu pihak yang bersifat netral dan tidak memihak yang berfungsi

membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian

sengketa.

Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di

Pengadilan didasari atas beberapa alasan sebagai berikut :

Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan

perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus

diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan

berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para

pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian

merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak

akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim,

maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap

fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum

tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah,

sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi.

Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang

mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara.

Page 26: Hukum Acara Peradilan Agama

Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang

lebih. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia

memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi

merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan

tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan

pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan

upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas

perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak

pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi

Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan

perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir

karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama

para pihak. Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur

memang sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk

penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian alternative dispute resolution

(ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah

dibandingkan proses litigasi.

Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para

pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat

diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah

mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem

peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak

yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan

penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat

yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika

pada kenyataannya mereka telah menempuh proses musyawarah mufakat

sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah Agung

tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya

perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum

acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih

dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga

karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah

proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-

sama mencari dan menemukan hasil akhir.

Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat

memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam

penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan

yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya PERMA

Page 27: Hukum Acara Peradilan Agama

tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi dapat

berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang

Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku

dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga

pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan. PERMA tentang

Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian.

2.    Tahapan replik dan duplik

Dalam tahapan ini dilakukan pembacaan surat gugatan/permohonan, tanggapan

atas gugatan yang diajukan, kemudian jawaban atas tanggapan tergugat

(replik), selanjutnya, replik itu dijawab kembali oleh tergugat (duplik).

Dalam tanggapan atas gugatan yang diajukan ada dua macam, yaitu;

a)    Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (verweer ten principale)

b)    Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara (tangkisan atau

eksepsi)

Tentang tangkisan atau eksepsi, H.I.R hanya mengenal satu macam eksepsi

ialah eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim. Eksepsi ini terdiri dari dua

macam yaitu eksepsi kekuasaan absolute dan kekuasaan relatif. 

ksepsi kekuasaan absolute adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan

tersebut tidak berwenang dalam perkara tersebut yang mana merupakan

wewenang pengadilan lain dalam berbeda pengadilan. Eksepsi kekuasaan

absolute dapat disampaiakan setiap waktu selama pemeriksaan perkara

berlangsung.

Eksepsi kekuasaan relative adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan

tersebut tidak berwenang dalam menangani kasus tersebt tetapi merupakan

wewenang pengadilan lain dalam lingkungan pengadilan yang sama. Eksepsi ini

diajukan sebelum tergugat menjawab pokok perkara secara lisan maupun

tertulis.

Selain 2 jenis eksepsi diatas masih ada eksepsi yang sering kita dengar

misalnya eksepsi dilatoir adalah eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan

penggugat belum dapat dikabulkan. Eksepsi peremptoir adalah eksepsi yang

menghalangi dikabulkannya gugatan.

3.    Pembuktian

Pembuktian merupakan suatu cara untuk meyakinkan Majelis Hakim terhadap

kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam gugatan dan dalil-dalil yang

dikemukakan oleh pihak tergugat untuk menyanggah dalil-dalil yang diajukan

oleh pihak penggugat.

Dalam ketentuan pasal 125 H.I.R disebutkan bahwa alat-alat bukti yang sah itu

Page 28: Hukum Acara Peradilan Agama

ada 5 macam, yaitu;

1.    Bukti surat 

2.    Saksi-saksi 

3.    Persangkaan

4.    Pengakuan

5.    Sumpah

4.    Keputusan Pengadilan

Keputusan pengadilan pada dasarnya merupakan penerapan hukum terhadap

suatu peristiwa, dalam hal ini pekara yang memerlukan penyelesaian melalui

kekuasaan Negara. Putusan ini terdiri dari dua jenis yaitu putusan sela dan

putusan akhir. Putusan sela dilakukan apabila tergugat melakukan eksepsi

relative pada hari sidang pertama, oleh kerena itu Majelis Hakim wajib

memmutuskan terlebih dahulu sebelum melanjutkan kepada pemeriksaan pokok

perkara. Putusan sela ini ada bermacam-macam. Diantaranya adalah sebagai

berikut;

1.    Putusan prepatoir

2.    Putusan insidenti

3.    Putusan provisional 

Putusan akhir ini terdiri dari 3 macam, yaitu;

1.    Putusan declatoir adalah putusan yang hanya bersifat menerangkan,

menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Misalnya adalah sekelompok

ahli waris datang ke pengadilan agar mendapat ketetapan mereka masing-

masing menurut Hukum Islam. Dalam hal ini maka putusannya adalah putusan

declatoir.

2.    Putusan constitutive adalah putusan yang meniadakan suatu kedaan hukum

atau menimbulkan keadaan hokum yang baru. Misalnya, adalah putusan

perceraian.

3.    Putusan comdemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman.

Misalnya, adalah harus member nafkah.

HUKUM ACARA PERDATA 

A.    PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT PERTAMA

•    Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan yang

diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan Negeri  Palembang

Page 29: Hukum Acara Peradilan Agama

di bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus

dipenuhi :                                     a.Surat Permohonan/Gugatan

b.Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat)

•    Penggugat / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir

•    Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk

arsip.

•    Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan 

•    Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri  Palembang yang

disampaikan oleh Juru Sita Pengganti

•    Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan

B.    PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT BANDING

•    Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada

Pengadilan Negeri  Palembang di bagian Perdata, dengan beberapa

kelengkapan / syarat yang harus dipenuhi :

a.Surat Permohonan Banding

b.Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat)

c.Memori Banding

•    Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir

•    Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyiapkan bukti asli untuk

arsip

•    Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan 

•    Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon

diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat

untuk mempelajari berkas

•    Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Banding dan salinan

Kontra Memori Banding

•    Menunggu kutipan putusan dari Pengadilan Tinggi yang akan disampaikan

oleh Juru Sita Pengganti

C.    PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT KASASI

•    1.Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada

Pengadilan Negeri  Palembang di  bagian Perdata, dengan beberapa

kelengkapan / syarat yang harus dipenuhi :

 a.Surat Permohonan Kasasi

 b.Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat)

 c.Memori Kasasi

•    Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir

•    Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk

arsip

•    Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan 

Page 30: Hukum Acara Peradilan Agama

•    Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon

diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat

untuk mempelajari berkas

•    Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Kasasi dan salinan Kontra

Memori Kasasi

•    Menunggu kutipan putusan dari Mahkamah Agung yang akan disampaikan

oleh Juru Sita Pengganti. 

BAB II 

PERBEDAAN 

A.     Perbedaan dalam kewenangan

a.    Hukum Acara Pengadilan Agama khusus (masyarakat yang beragama

islam)

Sebagai peradilan khusus, Pengadilan Agama mempunyai tugas dan

kewenangan tertentu seperti tersebut pada Pasal 49  UU Nomor 7 Tahun 1989

tentang Pengadilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU

Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, yang menyatakan :

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragam Islam di bidang :

a.    Perkawinan

b.    Kewarisan

c.    Wasiat

d.    Hibah

e.    Wakaf

f.    Zakat

g.    Infaq

h.    Shodaqoh

i.    Ekonomi Syari’ah

Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang

beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan

Umum .

b.    Kewenangan hukum acara perdata umum

Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana cara

mengajukan gugatan, memeriksa, mengadili dan memutus, melakukan eksekusi

melalui hakim dalam lingkungan peradilan perdata. ( hukum formil )

Page 31: Hukum Acara Peradilan Agama

Hukum acara perdata bersifat mengikat atau bersifat memaksa, yaitu bahwa

bila terjadi suatu proses acara  perdata di pengadilan maka ketentuannya tidak

dapat dilanggar melainkan harus ditaati oleh para pihak.

c.    Hukum Acara Yang Berlaku di Peradilan Agama 

Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan

ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009

menyatakan :

“Hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan peradilan agama

adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan

peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-

undang ini” .

d.    Urutan Beracara Perdata

Urutan beracara

a. Gugatan

b. Mediasi

c. Jawaban (eksepsi, pokok perkara, rekopensi)

d. Replik (penggugat, lugas)

e. Duplik (tergugat, penggugat rekopensi)

f. Pembuktian (pembuktian oleh masing-masing pihak apakah benar/ tidak

statemen masing2)

g. Kesimpulan

h. Putusan

e.   Urutan Beracara di Peradilan Agama

Hukum Acara Khusus dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-

undang Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009

Dalam buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan,

Bagian Kedua, Bidang Teknis Peradilan, Peradilan Agama, halaman 216-234

diatur hal-hal yang ringkasnya sebagai berikut :

1)   Bidang Perkawinan

Beberapa perkara berikut dapat diajukan dan diperiksa serta diputus secara

voluntoir, maksudnya : berbentuk permohonan yang hanya terdiri dari pihak

Pemohon saja dan tidak terdapat sengketa. Padahal menurut azasnya perkara

terdiri dari dua pihak yang sedang bersengketa atau disebut perkara

contensios. Perkara voluntoir tersebut adalah :

Page 32: Hukum Acara Peradilan Agama

a)Permohonan dispensasi umur kawin

b)Permohonan izin kawin

c)Permohonan penetapan wali adhol

d)Permohonan penetapan perwalian

e)Permohonan penetapan asal-usul anak

2)Bidang Perceraian

a)       Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan

UU Nomor 50 Tahun 2009 memberi kemudahan dan perlindungan kepada isteri

dalam hal di Pengadilan Agama mana perceraian diajukan.

(1)  Suami mengajukan cerai talak di Pengadilan Agama yang di daerah

hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (isteri) (Pasal 66 (2)).

(2)  Isteri mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama yang di daerah

hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (isteri) (pasal 73 (2)).

b)      Dalam perkara perceraian tidak ada pihak yang kalah atau menang,

sehingga biaya perkara dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon (Pasal 89

ayat (1))

c)       Pemeriksaan perkara perceraian dalam sidang tertutup (pasal 68 (2) dan

80). Hal ini dimaksudkan untuk menjaga rahasia pribadi para pihak.

d)      Permohonan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta

bersama-sama dengan permohonan cerai talak/ gugat cerai ataupun

sesudahnya (Pasal 66 ayat (5) 86 ayat (1))

e)       Untuk melindungi isteri maupun anak, Hakim Pengadilan Agama baik

diminta atau tidak, dalam perkara perceraian dapat menghukum pihak suami

untuk memberi nafkah isteri maupun anaknya (Pasal 44 c UU Nomor 1 Tahun

1974 jo. 78 a UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU

Nomor 3 Tahun 2006 dan 45 ayat (2) dan 49 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974

jo. 78 huruf b UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006.

f)       Hak bekas isteri maupun anaknya atas bagian bekas suaminya yang

Pegawai Negeri, dapat dituntut dan diputus dalam perkara perceraiannya (PP

10 Tahun 1983 jo. PP 45 Tahun 1990).

3)   Bidang Waris, Wasiat dan Hibah yang Dilakukan Berdasarkan Hukum Islam

a)       Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan

UU Nomor 50 Tahun 2009 menganut azas personalitas keislaman, oleh karena

itu Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara waris/

wasiat apabila pewaris (si mayit) beragama Islam.

b)      Hibah yang dilakukan oleh orang Islam kepada orang Islam apabila timbul

sengketa adalah menjadi kewenangan Pengadilan Agama.

Page 33: Hukum Acara Peradilan Agama

c)       Bagi orang yang menghendaki surat keterangan ahli waris misalnya

untuk mengambil deposito di Bank, dapat dibuat akta di bawah tangan

kemudian dimintakan pengesahan (gewaasmarker) kepada Ketua Pengadilan

Agama.

d)      Akta comparisi pembagian harta waris di luar sengketa dapat dilakukan

berdasarkan pasal 107 UU Peradilan Agama jo. 236 a HIR.

4)   Sengketa Milik

Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor

50 Tahun 2009 menyatakan :

(1)  Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara

sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa

tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum.

(2)  Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek

sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

BAB III

KESIMPULAN 

A.    Hukum acara peradilan agama hanya berlaku bagi masyrakat yang

beragama islam (khusus) sedangkan hukum acara perdata berlaku bagi

masyarakat umum.

B.    Sumber hukum acara peradilan agama ialah UU no 7 tahun 1989 tentang

peradilan agama . sedangkan sumber hukum acara perdata ialah, HIR (dalam

jawa) dan RBG (luar jawa dan madura)

C.    Tata cara berperkara Hukum acara perdata yaitu gugatan, mediasi,

jawaban, replik, duplik, pembuktian dan kesimpulan. Sendangkan dalam acara

peradilan agama contoh alam bidang perkawinan 

•    Permohonan dispensasi umur kawin

•    Permohonan izin kawin

•    Permohonan penetapan wali adhol

Page 34: Hukum Acara Peradilan Agama

•    Permohonan penetapan perwalian

•    Permohonan penetapan asal-usul anak

D.     Hukum acara peradilan agama hanya memperkarakan kasus kasus

tertentu atau khusus, sedangkan hukum acara perdata 

1.    SARAN

1.1    Disarankan para mahasiswa menambah lagi wawasan dari berbagai

referensi. Hukum acara peradilan agama.

1.2    Sukuri apa yang telah allah berikan kepada kita agar kita bisa tetap

menerima diri kita apa adanya dan tidak berpuas dalam mencari ilmu (hukum)

dan fokus pada cita cita

BAB 1

SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

A.    UU No. 14/1970 Yang Diganti Dengan UU No. 4/2004

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan

penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan

kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang

dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang

ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai

pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera

pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan

pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan

Page 35: Hukum Acara Peradilan Agama

dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses

pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah

Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi.Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara

tertinggi dari keempat lingkungan peradilan. Dan semua putusan pengadilan

hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang

terbuka untuk umum.

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan

penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan

kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang

dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang

ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai

pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera

pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan

pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan

dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses

pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah

Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.

B.     UU No. 1 tahun 1974

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai dasar perkawinan, syarat-syarat

perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian

perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan,

putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban

antara orang tua dan anak, perwalian, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan

peralihan, dan ketentuan penutup.

Page 36: Hukum Acara Peradilan Agama

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.Bagi

suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-

undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan

memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan

dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.Dalam

Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai

perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang

telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi,

agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu

dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material.

2. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah

sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-

peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,

kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte

resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.

3. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila

dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari

yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih

dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih

dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang

bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai

persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

4. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus

telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar

supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa

berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri

Page 37: Hukum Acara Peradilan Agama

yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai

hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas

umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin

mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu,

maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi

pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan

16 (enam belas) tahun bagi wanita.

5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang ini menganut

prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-

alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.

6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan

masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga

dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.C.    UU No. 14/1985 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 5/2004

Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan,

hakim anggota, panitera, danseorang sekretaris. Pimpinan dan hakim

anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung dan hakim agung paling

banyak 60 orang. Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, 2

(dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda.Wakil Ketua Mahkamah

Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang non-

yudisial.Wakil ketua bidang yudisial membawahi ketua muda perdata, ketua

muda pidana, ketua muda agama, ketua muda militer, dan ketua muda tata

usahanegara.Pada setiap pembidangan, Mahkamah Agung dapat melakukan

pengkhususan bidang hukum tertentu yang diketuaioleh ketua muda.Wakil

ketua bidang non-yudisial membawahi ketua muda pembinaan dan

ketuamuda pengawasan. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda

Mahkamah Agung selama 5 (lima) tahun.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan

bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan

peradilan tata usaha negara adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang

Page 38: Hukum Acara Peradilan Agama

merdeka, di samping Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, ditentukan pula

Mahkamah Agung mempunyai wewenang mengadili pada tingkat kasasi,

menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan

kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Undang-Undang ini memuat perubahan terhadap berbagai substansi Undang-

Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Perubahan tersebut,

di sampingguna disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga

didasarkan atas Undang-Undangmengenai kekuasaan kehakiman baru yang

menggantikan Undang-UndangNomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakimansebagaimana diubah dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentangPerubahan Atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok

kekuasaan kehakiman.

Berbagai substansi perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain

tentangpenegasan kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan

kehakiman, syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, serta

beberapa substansi yang menyangkut hukum acara, khususnya dalam

melaksanakan tugas dan kewenangan dalam memeriksa dan memutus pada

tingkat kasasi serta dalam melakukan hak uji terhadap peraturan perundang-

undangan di bawah undapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Pembatasan ini di samping dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan

setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk

mendorong peningkatan kualitasputusan pengadilan tingkat pertama dan

pengadilan tingkat banding sesuai dengannilai-nilai hukum dan keadilan

dalam masyarakat.

Dengan bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Mahkamah

Agungantara lain di bidang pengaturan dan pengurusan masalah organisasi,

administrasi,dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, maka

organisasiMahkamah Agung perlu dilakukan pula penyesuaian. 

D. UU No. 7/1989 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 3/2006

Page 39: Hukum Acara Peradilan Agama

Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan

Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan

kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan

tersebut antara lain meliputi ekonomi syari'ah. Dalam kaitannya dengan

perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan

umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan

untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan",

dinyatakan dihapus.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

menegaskanadanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu

lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan

pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama perlu diatur pula

dalam Undang-Undang ini.

Penggantian dan perubahan Undang-Undang tersebut secara tegas telah

mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua

lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi,

administrasi, dan finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama

yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama berdasarkan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perlu

disesuaikan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengalihan ke Mahkamah Agung telah

dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud perlu pula diadakan

perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama.

Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan

kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi

rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama

Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,

shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan

Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada

pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut, termasuk

pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan

pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar'iyah

Page 40: Hukum Acara Peradilan Agama

dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan ganun.

Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah

hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan tinggi agama

berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah

provinsi.

E. PP No. 9 Tahun 1975

Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah

pencatatan perkawinan,tatacara pelaksanaan perkawinan, tatacara

perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi

wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan

ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang dan

sebagainya.

Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-

langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan dari

berbagai Departemen atau Instansi yang bersangkutan, khususnya dari

Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri,

sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu

ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak diundangkannya Peraturan

Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan tersebut.

F. HIR, Rbg, dan RV

HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)

Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkaraperdata

dan penuntutan hukuman bagi bangsa Indonesia danbangsa Timur Asing di

Jawa dan Madura.

Dalam Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB) ini hanya dimuat hal-hal

yang berkaitan dengan perkara perdata, hal-hal yang menyangkut perkara

pidana diatur dengan Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana dan

peraturan pelaksanaannya.

Dalam reglemen ini memuat:

1. Hal melakukan tugas kepolisian, yang meliputi kepala desa dan semua bawahan polisi yang Lain

Page 41: Hukum Acara Peradilan Agama

2. Hal mengadili perkara perdatayang termasuk wewenang pengadilan negeri.

RBG (Rechtsreglement Buitengewesten)

Reglemen Untuk Daerah Seberang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura. Dalam reglemen ini memuat:

1. Cara mengadili perkara perdata yang dalam tingkat pertama

menjadi wewenang pengadilan Negeri yang  meliputi:

Pemeriksaan di Sidang pengadilan

Musyawarah dan Keputusan pengadilan

Banding.

Pelaksanaan keputusan hukum

Beberapa acara khusus

Izin berperkara tanpa biaya

    2. Bukti dalam perkara perdata

RV (Reglement of de Rechtsvordering)

RV adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh belanda ke Indonesia. Tapi

ternyata tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan

penyesuaian-penyesuaian dan dibentuklah HIR. Kemudian setelah beberapa

lama, terjadi ketidak sesuaian dengan daerah luar Jawa dan Madura, maka

dibentuklah RBg.

                                                                       BAB II

                                                    HUBUNGAN HUKUM ACARA

                                  PERADILAN AGAMA DENGAN HUKUM ACARA

PERDATA

A.    Pengertian Hukum Acara Perdata

Sebelum membicarakan pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, perlu

diketahui bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman

yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999  serta

Page 42: Hukum Acara Peradilan Agama

dengan melihat UU No. 5 th.2004.

Tugas utama Peradilan Agama ialah menerima, memeriksa, mengadili dan

memutus serta menyelesaikan perkara perdata tertentu antara orang-orang

yang beragama Islam. (Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

Tentang Peradilan Agama jo pasal 49 & 50 UU No. 4 Th. 2006).

Untuk mengetahui hukum acara Peradilan Agama, terlebih dahulu kita harus

mengetahui pengertian hukum acara perdata karena Peradilan Agama hanya

berwenang memeriksa perkara-perkara perdata dan menurut ketentuan

pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku

pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara

perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum

kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana

caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiel dengan perantaraan

Hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum

yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum

perdata materiel. Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara

perdata mengatur tentang bagaimana caranya memajukan tuntutan hak,

memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata ialah rangkaian

peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan

dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu

sama lain untuk melaksanakan berjalanya peraturan hukum perdata.

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.ialah peraturan hukum yang

mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil

dengan perantara hakim. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum

yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum

perdata materiil. Hukum acara perdata yang mengatur bagaimana caranya

mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan

dari pada putusanya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan

yang bertujuan memperolah perlindungan hukum yang diberikan oleh

pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan menghakimi

Page 43: Hukum Acara Peradilan Agama

sendiri.

Dari dua pengertian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian

bahwa hukum acara Peradilan Agama ialah pertaturan hukum yang mengatur

tentang bagaimana mentaati dan melaksanakan hukum perdata materiel

dengan perantaraan Pengadilan Agama termasuk bagaimana cara bertindak

mengajukan tuntutan hak atau permohonan dan bagaimana cara Hakim

bertindak agar hukum perdata materiel yang menjadi kewenangan Peradilan

Agama berjalan sebagaimana mestinya.

B. Hubungan Peradilan Agama Dengan Hukum Perdata

Seperti telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di

Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan

Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-

Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-ketentuan umum yang berlaku

dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara Peradilan

Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara

perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku

sebagian besar adalah sama.

                                                                        

                                                                        BAB III

                                                                       PENUTUP

A.    Kesimpulan

Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Peradilan

Agama telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman

penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar Sejarah Peradilan, Peradilan

Agama telah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh

Departemen Agama yang berjudul “Seabad Peradilan Agama di Indonesia”,

tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan

dengan diundangkannya ordonantie stbl.1882-152, tentang Peradilan Agama

di Pulau Jawa – Madura.

Page 44: Hukum Acara Peradilan Agama

Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati

dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989,

Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang

susunan, kekuasaan dan acara, melainkan tersebar dalam berbagai

peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan, dan tidak

pula seragam.

Namun kini Peradilan Agama telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989,

disahkan dan diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-undang tersebut merupakan rangkaian dari undang-undang yang

mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara RI. Selain itu, UU

tersebut melengkapi UU Mahkamag Agung No. 14 Tahun 1985, UU Peadilan

Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun

1986. Dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,

kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agama setara dengan Lembaga

Pengadilan lainnya.

Daftar Pustaka:

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia.

Prof. Drs. H. Abdul Manan, S.H., SIP.M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata

di       Lingkungan Peradilan Agama.

A. Mukti Arto, H. Drs., SH. Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, 1996.

Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam

Lingkungan Peradilan Agama, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam,

2001.

Mahkamah Agung RI., Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi

Pengadilan, Buku II Edisi Revisi, 1997.

Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH. Hukum Acara

Perdata Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989.

Yahya Harahap, M., SH. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,

Pustaka Kartini, 1990.

Page 45: Hukum Acara Peradilan Agama

Ringkasan Buku Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia

Ringkasan Buku Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Author: Hj. Sulaikin Lubis, SH. MH, Hj. Wismar Ain Marzuki SH, Gemala Dewi SH. LL.M

BAB  I

KONSEP-KONSEP DASAR

 DAN SUMBER – SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

A. Konsep-Konsep Dasar

1.      Pengadilan agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan kebenaran yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu majelis Hakim atau Mahkamah.

2.      Hakim adalah penjabat yang berwenang menghukumi suatu tindak pidana atau suatu pertengkaran dengan menjatuhi hukuman kepada pelaku pidana atau dengan memerintahkan kepada pihak yqang terkalahkan untuk mengembalikan hak kepada pihak yang terkalahkan untuk mengembalikan hak kepada pihak yang sebenarnya dan menolak kezhaliman..

3.      Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius)

            ”Putusan hakim peradilan agama” adalah pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di lingkungan Peradilan Agama yang berkekuatan hukum yang sah dalam hal sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan kewenangan Peradilan Agama sebaimana diatur dalam UU No.  7 Tahun 1989 jo UU No. 3 tahun 2006 ”

B. Sumber-Sumber Hukum

            Dasar Hukum Peradilan Agama dan pentingnya keputusan hakim antara lain:

1. Dasar Hukum Al-Qu’ran

a)      QS. Al-Baqarah (1): 30 : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: " Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ". Mereka berkata:" Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan

Page 46: Hukum Acara Peradilan Agama

Engkau? "Tuhan berfirman:" Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui ".

b)      QS. Al-Baqarah (1): 231 : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketah (11)

c)      QS. An-Nisa (4) : 58 : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(13)

2. Dasar Hukum Hadist

a)      ”Warta dari Abdullah bin ’Amr menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: ”Tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah lapang,kecuali mereka mengangkat pimpinan salah satu seorang dari mereka” (HR Ahmad) (23)

b)      Dari Abi Said bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: apabila keluar tiga orang dengan maksud hendak bepergian . hendaklah salah satu diantaranya ada yang dijadikan penanggung jawab. (HR. Abu Daud)

c)      Dari Amar bin Ash ra. Bahsanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apabila Hakim menjatuhkan hukum dengan berijtihat dan ijtihatnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala dan kalau dia menjatuhkan hukum dengan berijtihat kemudian ijtihatnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala.

BAB II

KEDUDUKAN DAN PELAKSANAAN HUKUM ISLAM

DALAM NEGARA REBUPLIK INDONESIA

A. Hukum Islam

            Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan merupakan bagian agama Islam. Hukum Islam dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyu Nya yang  dijelaskan oleh nabi Muhammad saw sebagai rasulNya melalui sunnah

Page 47: Hukum Acara Peradilan Agama

beliau, dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan hasil pemikiran atau buatan manusia belaka.

            Ali Said menegaskan bahwa di samping hukum adat dan hukum eks barat, hukum Islam yang merupakan salah satu komponenin tata  hukum Indonesia  menjadi salah satu bahan baku pembentukan hukum nasional Indonesia

B. Pelaksanaan Hukum Islam

            Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dilakukan melalui berbagai jalur

1)      Jalur pertama adalah jalur iman dan takwa,

2)      Jalur kedua yaitu jalur peraturan perundang-undangan

3)      Pelaksanaan hukum Islam bidang muamalah

4)      Melalui BAMUI (badan Arbitrase Muamalah Indonesia) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat ini para pengusaha, pedagang dan industriawan atas kesepakatan bersama dapat memilih hukum Islam untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai (di luar pengadilan)

5)      Jalur kelima melaksanakan dalam makna menerapkan hukum Islam dilakukan oleh lembaga pusat penelitian obat/kosmetik dan makanan (LPPOM) yang juga didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia

6)      Jalur keenam yaitu jalur pembinaan atau pembangunan hukum nasional

BAB III

SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

A. Masa (periode) Prapemerintahan Hindia Belanda

            Praktik pelaksanaan hukum acara Peradilan Agama pada waktu itu masih sangat sederhana, yang pada perkembangannya dikenal pembentukannya dalam 3 (tiga) periode yaitu :

1.      Tahkim kepada Muhakam

Page 48: Hukum Acara Peradilan Agama

            Ketika pemeluk agama Islam masih sedikit, wujud Peradilan Agama belum seperti sekarang ini, pada masa itu bila terjadi perselisihan atau sengketa, di antara anggota masyarakat, di selesaikan dengan cara bertahkim kepada guru atau mubaligh yang dianggap mampu dan berilmu agama. Orang yang bertindak sebagai hakim, disebut muhakam.

2.      Masa (periode Ahlul Hilli Wal’Aqdi)

            Ketika penganut agama Islam telah bertambah banyak dan terorganisir dalam kelompok masyarakat yang teratur, jabatan hakim atau qadhi dilakukan secara pemilihan dan baiat oleh ahlul hilli wal’aqdi, yaitu pengangkatan atas seorang yang dipercaya ahli oleh majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat.

3.      Masa (Perode) Tauliyah

            Ketika masyarakat Islam telah berkembang menjadi kerajaan Islam, pengangatan jabatan hakim (qadhi) dilakukan dengan pemberian “tauliyah” yakni pemberian atau pendelegasian kekuasaan dari penguasa.

B. Masa (periode) Transisi

            Pada tanggal 4 Maret 1620 dikeluarikan instruksi agar di daerah yang dikuasai kompeni (VOC) harus diberlakukan hukum sipil Belanda, antara lain dalam soal kewarisan. Instruksi tersebut tidak dapat dilaksanakan karena mengalami kesulitan akibat perlawanan dari pihak Islam. Sedang masalah hukuman badan dan hukuman mati tidak ditanggapi oleh masyarakat Islam. Berlakunya hukum perdata Islam diakui oleh VOC dengan Resolutie der Indische Regeling tanggal 25 Mei 1760, yaitu, berupa suatu kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam, atau compendium freijer, untuk dipergunakan pada pengadulan VOC.

            Juga terdapat kumpulan-kumpulan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam yang dibuat dan dipakai di daerah-daerah lain, yaitu Cirebon, Semarang, dan Makasar.

C. Masa Pemerintahan Hindia Belanda

            Pada tahun 1854 Pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan politik yang dituangkan dalam “Reglement op het beleid der regeerings van Nederlandsch Indie” yang disingkat menjadi Regeerings Reglement (RR) dan dimuat di dalam Stbl. Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat di dalam Stbl.

Page 49: Hukum Acara Peradilan Agama

Hindia Belanda Tahun 1855 No. 2. Dalam pasal 75, 78 dan 109 Regeerings Reglement (RR) Stbl. 1855 : 2 ditegaskan berlakunya undang-undang (hukum) Islam bagi orang Islam Indonesia. Secara rinci, terjemahan dari bunyi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :

1)      Pasal 75 ayat (3) : “Oleh hakim Indonesia hendaklah diberlakukan UU Agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia”.

2)      Pasal 75 ayat (4): “UU agama, instelling dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa pada pengadilan yang lebih tinggi, bila terjadi pemeriksaan banding”.

3)      Pasal 78 (2) : “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut UU agama (godsdienstige weeten) atau ketentuan-ketentuan lama mereka.

4)      Pasal 109 merupakan penjelasan lebih lanjut dari kedua pasal di atas. Pasal ini berbunyi sebagai berkut : “Ketentuan termaksud dalam pasal 75 dan 78 itu berlaku pula bagi mereka yang dipersamakan dengan “inlander”, yaitu orang Arab, orang Moor, orang Cina dan semua mereka yang beragama Islam dan orang-orang yang tidak beragama.

D. Masa Pemerintahan Hindia Belanda II

            Theorie Receptie : Masa itu terjadi perubahan-perubahan mengenai pasal-pasal RR tersebut. Antara lain atas anjuran C. van Vollenhoven, dan Snouck Hurgrounje. Pada tahun 1925 regering reglement diubah namanya menjadi : IS (Wet Op de Staats Inrichting Van Nederlands Indie). Dengan Stbl 1925 tersebut. Dan dalam kaitannya dengan lembaga Peradilan Agama, pada tahun 1929 baru diadakan perubahan mengenai isi dari IS, yaitu dengan Stbl. Tahun 1929 No. 221 Pemerintah Hindia Belanda mengubah pasal 134 ayat (2) IS, sehingga dinyatakan bahwa : “Dalam hal terjadi perkara peerdata antara sesame orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”.  

            Sejak saat itu, bermulalah suatu masa dimana seakan-akan masyarakat Indonesia telah merasakan sebagai suatu hal yang benar dan biasa saja bahwa hukum Islam itu bukan hukum di Indonesia dan telah tertanam dalam pikiran orang khususnya kalangan sarjana hukum bahwa yang berlaku adalah hukum adat. Dan hanyalah kalau hukum Islam itu menjadi hukum adat barulah menjadi hukum.

E. Masa (Periode) Penjajahan Jepang

Page 50: Hukum Acara Peradilan Agama

            Pada masa pemerintahan Jepang ini lembaga Pengadilan Agama yang sudah ada pada masa penjajahan Belanda, tetap berdiri dan dibiarkan dalam bentuknya semula. Perubahan lembaga ini hanyalah dengan memberikan atau mengubah nama saja, yaitu Sooryoo Hooin untuk Pengadilan Agama dan Kaikyoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama).

            Meninjau secara ringkas tentang keadaan peradilan di seluruh Indonesia pada zaman Jepang adalah sukar sekali, oleh karena daerah kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatera adalah termasuk daerah Angkatan Darat yang berpusat di Shonanto (Singapura), Jawa Madura dan Kalimantan adalah daerah Angkatan Darat yang berpusat di Jakarta. Sedang Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara adalah daerah Angkatan Laut yang berpusat di Makasar.

F. Masa Setelah Kemerdekaan Indonesia

1. Tahun 1945 – 1957

            Pada tahun 1946 dikeluarkan Undang-undang No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk yang berlaku untuk seluruh Indonesia dengan Undang-undang No. 32 tahun 1954. Namun, peraturan tentang pelaksanaan tugas Peradilan Agama, seperti yang dimaksud dalam undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 belum ada sama sekali.

            Dalam pasal 4 ayat 1 PP No. 45 tahun 1957 disebutkan wewenang Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah adalah, memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam, dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan Nikah, thalaq, ruju’, fasach, nafaqah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan) mut’ah dan sebagainya, hadhanah, perkara waris mal waris, wakaf, hibah, sedekah, baitulmal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syrat taklik sudah berlaku.

            Dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa, Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah tidak berhak memeriksa perkara-perkara yang tersebut dalam ayat 1, kalau untuk perkara-perkara itu berlaku lain daripada hukum agama Islam. Uraian lebih lanjut mengenai pendirian Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah diluar Jawa dan Madura dapat dibaca dan dipelajari H.M. Djamil Latif, dalam buku Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia (Bab I dan II) serta H. Zaini Ahmad Noeh, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia (Bab I dan II).

2. Tahun 1957-1974

Page 51: Hukum Acara Peradilan Agama

            Pada masa itu pemerinah sedang menyusun suatu Undang-undang Perkawinan, yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing. Pasal 2 ayat 2 Perkawinan harus dicatat dalam undang-undang ini tercakup ketentuan Hukum Perkawinan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dalam penjelasan Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan enam (6) alasan perceraian, dalam hal ini dicantumkan kembali dalam pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-undang ini.

            Dalam pasal 63 ayat 1 ditegaskan bahwa, yang dimaksud dengan pengadilan dalam undang-undang ini ialah :

a)      Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam

b)      Pengadilan umum bagi lainnya.

            Setelah berlakunya UU No. 1 tahun 1974 dan setalah berlakunya UU No. 7 tahun 1989, terdapat 16 hal yang merupakan wewenang Pengadilan Agama. Selanjutnya dikeluarkan peraturan Menteri Agama (PMA) No. 3 tahun 1975 tentang kewajiban Pegawai pencatat nikah.

3. Tahun 1974-1989

            Dengan Keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980, nama Pengadilan Agama yang berbeda-beda untuk seluruh Indonesia, di seragamkan dengan sebutan atau istilah “Pengadilan Agama” untuk Pengadilan Tingkat Pertama, dan “Pengadilan Tinggi Agama” untuk Pengadilan Tingkat Banding di seluruh Indonesia.

            Pada tahun 1985 dikeluarkan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam pasal 1 ditetapkan bahwa, Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi Negara sebagaimana dimaksud dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia No. III MPR/1978. Dalam pasal 2 ditetapkan bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan Negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.

4. Tahun 1989-1999

            Setelah berlakunya UU No. 7 tahun 1989, dikeluarkan tiga peraturan, yaitu :

Page 52: Hukum Acara Peradilan Agama

a)      Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990, tanggal 2 Maret 1990 tentang Petunjuk Pembuatan Penetapan sesuai pasal 84 ayat 4 UU No. 7 1989.

b)      Surat Edaran Menteri Agama nomor 2 tahun 1990 tentang petunjuk Pelaksanaan UU no. 7 tahun 1989 dan

c)      Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

5.  Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Menurut UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999 Serta UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

            Meskipun ada perubahan terhadap pasal 11 UU No. 14 Tahun 1970, yang menyatakan bahwa secara organisatoris, administrative dan finansial Peradilan Agama berada di bawah Mahkamah Agung, namun baik sebelum atau sesudah lahirnya UU No. 35 Tahun 1999, Peradilan Agama tidak mengalami perubahan seperti yang ditentukan terhadap lingkungan peradilan yang lain yaitu dalam waktu lima tahun secara bertahap sudah harus berada di di bawah Mahkamah Agung.

            Saat ini pengaturan mengenai struktur organisasi, administrasi dan finansial lembaga Peradilan Agama ke “satu atap” yaitu di bawah Mahkamah Agung telah semakin kokoh dengan keluarnya UU No. 3 tahun 2006 yang mengaturnya lebih lanjut pada Pasal I angka 4 mengenai perubahan bunyi Pasal 5 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 yang berbunyi “Pembinaan teknis peradilan, organisasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Sedangkan pada pasal 1 angka 6 juga terdapat penyesuaian terhadap bunyi Pasal 12 ayat (1) UU Peradilan Agama tersebut sehingga berbunyi : “ Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.”

BAB IV

KERANGKA HISTORIS PEMBENTUKAN UU No. 7 TAHUN 1989

TENTANG PERADILAN AGAMA

A. Latar Belakang Penyusunan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

            Dalam kurun waktu 28 tahun proses pembentukan UU No 7 tahun 1989, dapatlah dibagi kedalam 4 periode penting, yaitu :

Page 53: Hukum Acara Peradilan Agama

1.      Periode 1961 sampai dengan 1971

      Pada masa 10 tahun persiapan intern, dimulai dengan keluarnya UU No 19 tahun 1964 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dinyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu ruang lingkup peradilan di Indonesia dengan Makamah Agung sebagai puncaknya dan secara organasatoris, administrasi, financial berada pada departemen masing-masing. Pada priode inilah departemen agama menghasilkan dua Rancangan undang-undang, RUU tentang susunan dan kekuasaan agama, dan RUU tentang Acara Pradilan Agama.

2.      Periode 1971 sampai dengan 1981

      Tahap dimana langka-langkah kongrit telah dilakukan secara peraturan perundang-undangan oleh departemen agama dengan dilandasi oleh peraturan UU No. 14 tahun 1970 pasal 10 (1) serta Instruksi presiden no 15 tahun 1970 tentang tata cara Persiapan RUU dan PP pasal 1. atas landasan inilah menteri agama mengajukan 2 draf rancangan undang-undang. Dengan disyahnkannya UU perkawinan, maka kekuasaan peradilan agama diperluas dalam menagani kasus perkawinan. Proses penyiapan RUU PA terhambat oleh proses persiapan RUU peradilan umum dan RUU tentang MA. Pada tahun 1977, MA mengeluarkan peraturan no 1/1977 yang memberlakukan acara kasasi peradilan perdata umum terhadap perkawinan yang berasal dari peradilan agama.

3.      Periode 1981 sampai dengan 1988

      Berdasarkan tata tertip DPR, maka pembicaraan RUU PA melalui tahap-tahap :

a)      Pada tingkat pertama, terjadi perdebatan yang sangat singit, dimana kelompok yang tidak menyetujui RUU PA dibahas mempermasalahkan dasar pembentukan RUU PA berupa UUD 1945 pasal 24 dan pasal 25 serta UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.

b)      Pada tahap kedua, dimana disampaikannya pandangan umum fraksi-fraksi dan pendapat pemerintah berjalan cukup memadai.

c)      Pada tahap ketiga, dibentuknya pansus RUU PA, dan pansus membentuk rencana kerja sebagai persiapan pengesahan RUU PA menjadi UU pada tahap ke Empat.

d)     Pada tahap ke empat, pada tanggal 29 Desemer 1989 RUU PA disahkan.

B. Sistematika UU PA         

Page 54: Hukum Acara Peradilan Agama

            UU No 7 Tahun 1989 terdiri dari 7 Bab dan 108 pasal, dengan susunan sebagai berikut :

1)      BAB I Tentang ketentuan umum Memuat mengenai pengertian, kedudukan dan pembinaan pengadilan dalam lingkup peradilan agama.

2)      BAB II Mengenai susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi.

3)      BAB III Mengenai Kekuasaan Pengadilan dalam lingkup peradilan agama.

4)      BAB IV Mengatur Hukum Acara

5)      BAB V menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dan juru sita.

6)      BAB VI mengenai peraturan peralihaan

7)      BAB VII mengenai ketentuan penutup

C. Beberapa Perubahaan Yang Terjadi Setelah Berlakuknya UU No 7 Tahun1989

            Dengan disahkannya UU No 7 tahun1989, maka terajdi perubahan-perubahan dalam lingkup peradilan agama. Yaitu perubahaan mengenai :

1)      Peradilan agama menjadi peradilan yang mandiri

2)      Seragamnya peradilan agama seluruh RI

3)      Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan

4)      Adanya juru sita, dan tidak diperlukannya lagi pengukuhan keputusan dari Pengadilan Umum

5)      Terlaksananya ketentuan pokok undang-undang kehakiman

6)      Terlaksananya pembangunan hokum berwawaskan nusantara.

BAB V

ASAS-ASAS UMUM YANG TERDAPAT DALAM UU NO. 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

A.  Asas Personal Keislaman

                     Asas personalita keislaman  dimana yang dapat tunduk dalam kekuasaan lingkungan Peradilan Agama yani hanya mereka yang mengakui pemeluk Agama Islam. Penganut Selain agama Islam atau non Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksa tunduk kepada lingkungan Pengadilan Agama.

Page 55: Hukum Acara Peradilan Agama

B. Asas Kebebasan

            Dalam hal ini agar hokum dapat ditegakan berdasarkan pancasila, akan tetapi kebebasan kehakiman bukanlah kebebasan yang membabi buta akan  tetapi terbatas dan relative.diantaranya:

·         Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lain,

·         Bebas dari paksaan

·         Kebebasan melaksanakan wewenang judical (peradilan)

C.   Asas Wajib Mendamaikan

Asas mendamaikan dalam Peradilan Agama sejalan dengan konsep Islam yang dinamakanIshlah. Untuk itu layak sekali para hakim Peradilan Agama menyadari dan mengemban fungsi “mendamaikan” karena bagaimanapun seadil-adilnya putusan jauh lebih baik dan lebih adil jika perkara diselesaikan dengan perdamaian.

D.     Asas Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan

Sebuah Peradilan apalagi Peradilan Agama yang menjadi harapan masyarakat muslim untuk mencari keadilan, dengan adanya Asas Sederhana , cepat dan biaya ringan akan selalu dikehendaki  oleh masyarakat..

E.    Asas Terbuka Untuk Umum

Setiap pemeriksaan berlangsung disidang pengadilan, siapa saja yang ingin berkunjung, menghadiri, menyaksikan, dan mendengarkan jalanya persidangna tidak boleh dihalangi dan dilarang, maka untuk memenuhi syarat formal atas asas ini, sebelum hakim melakukan pemeriksaan lebih dahulu menyatakan dan mengumumkan ”persidangan terbuka untuk umum”.

F.      Asas Legalitas Dan Persaman

Yakni pengadilan mengadili menurut ketentuan-ketentuan hukum. Karena hakim berfungsi dan berwenang mengerkan roda jalanya peradilan melalui badan pengadilan, semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan, mesti menurut hukum

G.    Asas Aktif Memberi Bantuan

Page 56: Hukum Acara Peradilan Agama

Dalam asas ini hakim hendaknya dapat memberi bantuan secara akif dilihat dari tujuan dari memberi bantuan diarahkan untuk mewujudkan  peraktek peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

BAB VI

SUSUNAN PERADILAN AGAMA DAN APARATNYA

A. Susunan Oranisasi Pengadilan Agama

            Susunan Pengadilan Agama yang terdapat dalam pasal 9 undang-undang nomor 7 tahun 1989 adalah tidak berbeda dengan susunan pengadilan negeri, yaitu terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita sedangkan susunan Pengadilan Tinggi Agama adalah pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris.

1)      Pimpinan

            Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua.

2)      Hakim Anggota

            Pada umumnya ketentuan yang menyangkut persyaratan untuk menjadi hakim dan lain sebagainya antara Hakim . Syarat-syarat untuk menjadi hakim agama haruslah beragama Islam dan Sarjana Syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam.

3)      Panitera

             Di Pengadilan Agama seorang panitera harus beragama Islam dan berlatar belakang pendidikan Islam atau menguasai hukum Islam. Untuk Pengadilan Tinggi Agama persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi panitera adalah orang tersebut memiliki ijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, sedangkan persyaratan yang lainnya tidak berbeda dengan persyaratan untuk menjadi panitera Pengadilan Tinggi.

4)      Sekretaris

 Di Pengadilan Agama juga ada sekretaris yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang wakil sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh panitera pengadilan

Page 57: Hukum Acara Peradilan Agama

5)      Juru Sita

            Untuk menjadi juru sita, diisyaratkan harus mempunyai pengalaman minimal 5 (lima) tahun sebagai juru sita pengganti, selain itu orang tersebut haruslah Warga Negara Indonesia, beragama Islam, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas.

BAB VII

WEWENANG ATAU KOMPETENSI  PERADILAN AGAMA

A. Kompetensi Absolut.

            Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dan dalam bahasa Belanda disebut attributie van rechtmacht. Misalnya persoalan mengenai perceraian bagi mereka yang beragama Islam berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat 1) huruf a UU No. 1 Th. 1974 adalah wewenang pengadilan agama. Sedangkan persoalan warisan, sewa-menyewa, utang-putang, jual-beli, gadai adalah merupakan wewenang pengadilan negeri. Wewenang mutlak menjawab pertanyaan badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa ini ?

B. Kompetensi Relatif

            Kompetensi Relatif  mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan Agama yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Pasal 118 HIR menyangkut kekuasaan relatif, yang dalam bahasa Belanda disebut distributie van rechtsmacht. Azasnya adalah ”yang berwenang Pengadilan Agama di tempat tergugat”. Azas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan ”Actor Sequitur orum Rei”.

            Apa itu tempat tinggal ? dan apa pula yang dimaksud dengan tempat kediaman ? Perbedaan ini perlu dipahami dengan sebaik-baiknya, oleh karena dalam pasal 118 HIR di samping tempat tinggal menyebut pula tempat kediaman.

            Pasal 17 BW menyatakan, bahwa tempat tinggal seorang adalah tempat dimana seseorang menempatkan pusat kediamannya, dan juga tercatat sebagai penduduk. Sedang tempat kediaman adalah dimana seseorang berdiam, mungkin di rumah peristirahatannya di Puncak. Sehingga apabila seseorang pindah tanpa meninggalkan alamat barunya, dan tempat tinggalnya ataupun tempat kediamannya tidak diketaui, maka ia digugat pada pengadilan tempat

Page 58: Hukum Acara Peradilan Agama

tinggalnya yang terakhir dan dalam surat gugatan disebutkan ”paling akhir bertempat tinggal , umpamanya di Jalan Kramat No. 15 Jakarta, sekarang alamat tidak diketahui”. Sehingga gugatan diajukan ke Pengadilan Agama di Jakarta.Pusat.

BAB VIII

PROSES ADMINISTRASI DAN PENGAJUAN PERMOHONAN

DI PENGADILAN AGAMA

A. Perkara Cerai Talak

1. Prosedur

a) Langkah yang harus dilakukan Pemohon (suami / kuasanya) :

1)      Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah ( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 66 UU nomor 7 tahun 1989 ).

2)      Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah tentang tata cara membuat surat permohonan ( pasal 119 HIR 143 Rbg jo pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989 ).

3)      Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan tersebut harus atas persetujuan Termohon.

b) Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah :

1)      Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon ( pasal 66 ayat (2) UU no 7 tahun 1989 ).

2)      Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon ( pasal 66 ayat (2) UU no 7 tahun 1989 ).

Page 59: Hukum Acara Peradilan Agama

3)      Bila Termohon berkediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon ( pasal 66 ayat (3) UU no 7 tahun 1989 ).

4)      Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkan pernikahan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta pusat ( pasal 66 ayat (4) UU no 7 tahun 1989 ).

c) Permohonan tersebut memuat :

1)      Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon.

2)      Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).

3)      Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).

2. Penyelesaian Perkara

a)      Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah..

b)      Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.

c)      Tahap persidangan;

d)     Putusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah.

e)      Setelah   putusan   memperoleh  kekuatan  hokum  tetap,  maka  panitera  Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

B. Perkara Cerai Gugat

1. Prosedur

            Langkah yang harus dilakukan Penggugat (istri / kuasanya) :

a)      Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah ( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 73 UU nomor 7 tahun 1989 ).

Page 60: Hukum Acara Peradilan Agama

b)      Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah tentang tata cara membuat surat gugatan ( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989 ).

c)      Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.

d)     Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah :

2. Penyelesaian Perkara

a)      Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah..

b)      Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.

c)      Tahap persidangan;

d)     Putusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah.

e)      Setelah   putusan   memperoleh  kekuatan  hokum  tetap,  maka  panitera  Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

f)        

BAB IX

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ISLAM DAN PRAKTIKNYA

DI PENGADILAN AGAMA

A. Pengertian Pembuktian

            Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan undang-undang.

            Tingkatan keyakinan hakim sebagai berikut:

              1. yakin (terbukti 100%)

              2. zhaan (terbukti 75-99%)

Page 61: Hukum Acara Peradilan Agama

              3. syubhat (terbukti 50%)

              4, waham (terbukti < 50%)

B. Alat-Alat Bukti  Yang Diakui Dalam Pembuktian Menurut Yang Digunakan Di Pengadilan Agama

Alat-alat bukti tersebut sebagai berikut:

1)      Ikrar : pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.

2)      Syahadah : seseorang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu

3)      Yamin : suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu member janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang menberi keterang atau janji  yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya

4)      Riddah : pernyataan seseorang bahwa ia telah keluar dari agama Islam

5)      Maktubah : maktubah ada 2 macam yaitu: akta dan surat keterangan

6)      Tabayyun : upaya perolehan penjelasan yang dilakukan oleh pemeriksaan majelis pengadilan yang lain daripada majelis pengadilan yang sedang memeriksa.

C. Alat-Alat Bukti Yang Digunakan Di Pengadilan Agama

            Alat-alat bukti itu sebagai berikut:

1. Alat bukti surat – surat (tertulis)

            Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan  yang di maksudkan  untuk mencurahkan isi hati atau untuk  menyampaikan  buah pikiran seseorang yang di pergunakan sebagai pembuktian.

            Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu: surat akta otentik dan surat akta tidak otentik (dibawah tangan)

2. Alat bukti saksi

            Pada prinsipnya, setiap orang dapat menjadi saksi. Namun demikian, untuk memelihara obyektifitas saksi dan kejujurannya, ada orang tertentu oleh Undang-undang tidak dapat diperkenankan menjadi saksi sebagai dasar untuk memutus perkara, karena adanya hubungan tertentu dengan para pihak, atau karena keadaan tertentu orang tidak boleh di dengar sebagai saksi adalah :

Page 62: Hukum Acara Peradilan Agama

1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah  satu pihak menurut keturunan yang sah2. Istri atau suami dari salah satu pihak meskipun sudah  ada perceraian

3. Anak yang tidak diketahui benar umurnya sudah 15 tahun

4. Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan yang terang.

3. Alat bukti persangkaan            Oleh karena persangkaan itu merupakan kesimpulan belaka, maka dalam hal ini yang dipakai sebagai alat bukti sebetulnya bukan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat, atau pengakuan salah satu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang ternyata, baru kemudian disimpulkan adanya suatu peristiwa tertentu.

            Persangkaan-persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bebas,  yaitu terserah kepada kebijaksanaan hakim, seberapa jauh di akan memberi kekuatan bukti kepada persengketaan-persengketaan yang didapat pada pemeriksaan perkara.

4. Alat bukti pengakuan

            Ada tiga macam pengakuan yaitu :

a)      Pengakuan murni : ialah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan

b)      Pengakuan dengan kualifikasi : ialah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.

c)      Pengakuan dengan klausula : adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersipat membebaskan..

5. Alat bukti sumpah

            HIR menyebutkan 3 macam sumpah sebagai alat bukti yaitu :

a)      Sumpah supletoir diatur dalam pasal 155 HIR, 182 RBg dan 1940 BW yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.

b)      Sumpah penaksir. Kekuatan pembuktian sumpah aestimatoir ini sama dengan sumpah supletoir; bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan.

c)      Sumpah decisoir atau pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya (Pasal 156 HIR/Pasal 183 RBg/Pasal 1930 BW} Pihak yang meminta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedang pihak yang harus bersumpah disebut delaat.

Page 63: Hukum Acara Peradilan Agama

BAB X

PRODUK-PRODUK PERADILAN AGAMA DAN PELAKSAANNYA

A. Produk-Produk Peradilan Agama

            Ada 3 (tiga) macam produk Hakim yaitu :

1. Putusan.

2. Penetapan.

3. Akta Perdamaian.

            Putusan ialah pernyatan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontensius)

            Penetapan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (volunteer)

            Akta Perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim berisi hasil musyawarah/ kesepakatan antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.

1. Macam dan Jenis Putusan

            Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam putusan yaitu :

a)      Putusan Akhir ialah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan baik melalui semua tahapan pemerikasaan maupun yang belum melalui semua tahapan pemeriksaan.

b)      Putusan sela ialah putusan yang dijatuhkan pada saat masih dalam proses pemerikasaan perkara dengan tujuan memperlancar jalannya pemeriksaan, putusan sela tidak mengakhiri pemerikasaan tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan.

            Dilihat dari hadir tidaknya para pihak berperkara pada saat putusan dijatuhkan/diucapkan maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu :

Page 64: Hukum Acara Peradilan Agama

a)      Putusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak hadir dalam sidang dan telah dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah serta ketidak hadirannya itu bukan karena halangan yang sah. (Pasal 148 RBg dan Pasal 124 HIR)

b)      Putusan Verstek ialah putusan yang dijatuhan karena tergugat/termohon tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah serta ketidak hadirannya bukan karena halangan yang sah dan juga tidak mengajukan eksepsi mengenai kewenangan. (Pasal 148 RBg/Pasal 125 HIR)

c)      Putusan Kontradiktoir ialah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri oleh salah satu pihak atau para pihak akan tetapi dalam pemeriksaan penggugat dan tergugat pernah hadir.

            Dilihat dari segi Sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka putusan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam putusan yaitu :

a)      Putusan diklatoir ialah putusan yang menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu yang resmi menurut hukum. Misalnya putusan tentang gugatan cerai dengan alasan ta’lik talak.

b)      Putusan konstitutif ialah putusan yang menciptakan atau menimbulkan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya menetapkan sahnya pernikahan (isbat nikah)

c)      Putusan kondemnatoir ialah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan untuk memenuhi prestasi. Misalnya Menghukum Tergugat untuk menyerahkan seperdua bagian dari harta bersama kepada Penggugat.

            Dilihat dari Isinya terhadap gugatan putusan terbagi kepada 3 macam yaitu :

a)      Putusan negatif yaitu menolak atau tidak menerima gugatan.

b)      Putusan Positif yaitu mengabulkan atau menerima seluruh isi gugatan.

c)      Putusan Positif-negatif yaitu menerima atau mengabulkan sebagian dan tidak menerima atau menolak sebagian.

2. Susunan dan Isi Putusan

Page 65: Hukum Acara Peradilan Agama

            Putusan Hakim harus dibuat dengan tertulis dan harus ditanda tangani oleh Hakim/Majelis Hakim termasuk Panitera/Panitera Pengganti sebagi dokumen resmi. Suatu putusan hakim terdiri dari :

a. Kepala Putusan

b. Identitas Para Pihak

c. Pertimbangan (konsideran) yang memuat tentang Duduk Perkaranya dan Pertimbangan Hukum

d. Amar atau dictum putusan

Secara detail suatu putusan harus memuat hal-hal berikut :

a)      Judul dan Nomor Putusan (Nomor Putusan sama dengan Nomor perkara)

b)      Khusus putusan/penetapan Pengadilan Agama diawali dengan kalimat :”Bismillahirrahmanir rahiem” dan “Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”

c)      Nama dan tingkat pengadilan yang memutus.

d)     Identitas dan kedudukan pihak-pihak berperkara.(termasuk nama kuasa hukum apabila ada)

e)      Tentang duduk perkara yaitu memuat kronlogis duduk perkara mulai dari usaha perdamaian, dalil-dalil penggugat, jawaban tergugat, replik, duplik, bukti-bukti dan saksi serta kesimpulan para pihak.

f)       Tentang hukumnya yaitu memuat bagaimana Hakim mengkwalifisir fakta atau kejadian dan mempertimbangkanya secara baik dan dasar-dasar hukum yang dipergunakan dalam menilai fakta dan memutus perkara.

g)      Amar putusan yaitu merupakan kesimpulan akhir oleh hakim atas perkara yang diperiksanya, dalam amar putusan memuat juga pembebanan biaya perkara.

h)      Tanggal putusan yaitu memuat hari dan tanggal pengucapan putusan dalam sidang yang dinyatakan dalam akhir putusan.

i)        Hadir tidaknya para pihak ketika putusan dibacakan.

j)        Nama Hakim/Majelis Hakim yang memutus perkara termasuk Panitera/PP.

k)      Rincian biaya perkara.

B. Pelaksanaan Putusan/Eksekusi

Page 66: Hukum Acara Peradilan Agama

1. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama

            Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) . Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi.Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah:

a)      Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan.

b)     Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan putusan-putusannya

2. Jenis-Jenis Pelaksanaan Putusan

Terdapat beberapa macam pelaksanaan putusan,yaitu:

§  Putusan yang menghukum salah satu untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal 196 HIR, pasal 208 R.Bg

§  Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg

§  Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap. Putusan ini disebut juga Eksekusi Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.

§  Eskekusi riil dalam bentuk penjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat (1) HIR, pasal 218 ayat (2) R.Bg

3. Putusan Yang Dapat Dieksekusi

            Putusan yang dapat dieksekusi adalah yang memenuhi syarat-syarat untuk dieksekusi, yaitu :

Ø Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal:a. Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulub. Pelaksanaan putusan provisionilc. Pelaksanaan Akta Perdamaiand. Pelaksanaan (eksekusi) Grose akta

Ø  Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh Ketua Pengadilan Agama

Page 67: Hukum Acara Peradilan Agama

Ø  Putusan hakim yang bersifat kondemnatoirPutusan yang bersifat deklaratoir atau konstitutif tidak diperlukan eksekusi. Putusan kondemnatoir tidak mungkin berdiri sendiri, dan merupakan bagian dari putusan deklaratoir, karena sebelum bersifat menghukum terlebih dahulu ditetapkan suatu keadaan hukum

Ø  Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.

BAB XI

UPAYA BANDING, KASASI, DAN PENINJAUAN KEMBALI

1. Pengajuan Banding

            Pengertian banding ialah permohonan pemeriksaan ulang kepada pengadilan yang lebih tinggi (dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama) terhadap suatu perkara yang telah diputus oleh tingkat pertama (Pengadilan Agama) karena merasa tidak puas atau tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama tersebut, dengan ketentuan sebagai berikut .

a)      Permohonan banding diajukan kepada pengadilan tinggi dalam daerah hukum meliputi pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara.

b)      Permohonan banding diajukan melalui pengadilan yang memutus perkara tersebut.

Syarat-syarat banding;

a)      Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara.

b)      Diajukan masih dalam tenggang waktu banding.

c)      Putusan tersebut menurut hukum diperbolehkan banding.

d)     Membayar panjar biaya banding.

e)      Membuat akta permohonan banding dengan menghadap pejabat kepaniteraan pengadilan.

Masa Pengajuan banding :

Page 68: Hukum Acara Peradilan Agama

a)      Bagi pihak berperkara yang berada dalam wilayah hukum pengadilan yang memutus perkara adalah selama 14 hari terhitung mulai hari berikutnya sejak putusan dijatuhkan atau diberitahukan kepada yang bersangkutan.

b)      Bagi pihak yang berada di luar wilayah pengadilan agama yang memutus perkara tersebut, masa bandingnya selama 30 hari terhitung hari berikutnya isi putusan disampaikan kepada yang bersangkutan. (Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) UU No.20/1947)

2. Pengajuan Kasasi

            Pengertian Kasasi ialah pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan yang lebih rendah (pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama) karena kesalahan dalam penerapan hukum.

            Pihak yang tidak menerima atau tidak puas atas putusan pengadilan tinggi agama atau pengadilan agama (dalam perkara volunteer) dapat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dengan syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat kasasi

a)      Diajukan oleh yang berhak.

b)      Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.

c)      Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat banding menurut hukum dapat dimintakan kasasi.

d)     Membuat memori kasasi.

e)      Membayar panjar biaya kasasi.

f)       Membuat akta permohonan kasasi di kepaniteraan pengadilan agama yang bersangkutan

            Adapun tenggang waktu pengajuan kasasi sama dengan pengajuan banding.

            Apabila syarat-syarat kasasi tersebut tidak terpenuhi, maka berkas perkaranya tidak dikirim ke Mahkamah Agung, Panitera Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut membuat keterangan bahwa permohonan kasasi atas perkara tersbut tidak memenuhi syarat formal. Ketua PA melaporkan ke Mahkamah Agung bahwa permohonan kasasi tidak diteruskan ke MA (Peraturan MARI Nomor 1 Tahun 2001)

Page 69: Hukum Acara Peradilan Agama

3. Peninjauan Kembali.

            Pengertian Peninjauan Kembali ialah meninjau kembali putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena diketemukan hal-hal atau bukti baru yang pada pemeriksaan terdahulu tidak diketahui oleh Hakim. Peninjaun Kembali hanya dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung.

Syarat-syarat permohonan PK

a)      Diajukan oleh pihak yang berperkara.

b)      Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

c)      Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.

d)     Diajukan dalam tenggang waktu menurut undang-undang.

e)      Membayar panjar biaya peninjauan kembali.

f)       Membuat akta permohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan Pengadilan Agama.

g)      Ada bukti baru yang belum pernah diajukan pada pemeriksaan terdahulu.

            Masa pengajuan permohonan Peninjauan Kembali adalah 180 hari terhitung mulai ditemukannya novum atau bukti baru dan sebelum berkas permohoan Peninjauan Kembali dikirim ke Mahkamah Agung, Pemohon harus disumpah oleh Ketua Pengadilan tentang penemuan novum tersebut.

BAB XII

BANTUAN HUKUM

 DAN YURISPRUDENSI PERADIALAN AGAMA

A.  Bantuan Hukum

1. Pengertian Bantuan Hukum

            Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Sedangkan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang. Adapun organisasi

Page 70: Hukum Acara Peradilan Agama

advokat atau lembaga bantuan hukum adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undang-undang. Adapun definisi jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

2. Pemberian Bantuan Oleh Hakim

        Ada berberapa masalah formal yang tercakup kedalam objek fungsi memberi bantuan dan nasihat yaitu: 1)Membuat gugatan bagi yang buta huruf, 2)Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”, 3)Menyarankan penyempurnaan surat kuasa, 4).Menganjurkan perbaikan surat gugatan, 5)Memberi penjelasan alat bukti yang sah, 6)Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban, 7)Bantuan memanggil saksi secara resmi, 8)Memberi bantuan upaya hukum, 9)Memberi penjelasan tata cara verzet dan rekonvensi, dan 10)Mengarahkan dan membantu memformulasi perdamaian

B.  Yurisprudensi

1. Pengertian Yurisprudensi

            Yurisprudensi adalah keputusan pengadilan/keputusan hakim yang terdahulu terutama dari mahkamah agung (untuk Indonesia).

            Menurut Utrecht ada 3 (tiga) sebab  hakim menurut keputusan seorang hakim lain:

1. Keputusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag) terutama apabila keputusan itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh Mahkamah Agung2. Di samping sebab yang psikhologis itu ada juga sebab praktis, maka seseorang hakim menurut keputusan yang telah diberi oleh seorang hakim yang berkedudukannya lebih tinggi. Akhirnya, ada sebab: hakim menurut keputusan hakim lain, karena ia menyetujui isi keputusan hakim lain itu, yang sebab persesuaian pendapat.2. Yurisprudensi Peradilan Agama            Yurisprudensi Peradilan agama sama makna dan unsurnya dengan yurisprudensi perdialan umum . yang berbeda adalah ruang lingkupnya. Ruang Lingkup Yurisprudensi Peradilan Agama terbatas pada hukum yang menjadi wewenangnya dan hukum acara peradilan agama