sistem peradilan agama

31
SISTEM PERADILAN AGAMA DI INDONESIA DALAM ANALISIS SISTEM PERADILAN SATU ATAP A. Pendahuluan Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat pemerintahan desa, pembaharuan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari Undang-Undang Dasar sampai ke tingkat Peraturan Desa, dan pembaharuan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dengan perkataan lain, dalam agenda reformasi hukum itu tercakup pengertian reformasi kelembagaan (Institutional reform), reformasi perundang-undangan (instrumental reform), dan reformasi budaya hukum (cultural reform). Pembenahan sistem dan politik hukum sebagaimana yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 salah satunya diarahkan pada kebijakan untuk memperbaiki struktur (kelembagaan) hukum dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan, menyederhanakan sistem peradilan, 1 |

Upload: asep-bunyamin

Post on 28-Dec-2015

108 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sistem Peradilan AGAMA

SISTEM PERADILAN AGAMA DI INDONESIA DALAM ANALISIS SISTEM PERADILAN SATU ATAP

A. Pendahuluan

Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam

rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup agenda

penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari tingkat

pusat sampai ke tingkat pemerintahan desa, pembaharuan berbagai

perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari Undang-Undang Dasar

sampai ke tingkat Peraturan Desa, dan pembaharuan dalam sikap, cara

berpikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi

yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dengan perkataan lain,

dalam agenda reformasi hukum itu tercakup pengertian reformasi

kelembagaan (Institutional reform), reformasi perundang-undangan

(instrumental reform), dan reformasi budaya hukum (cultural reform).

Pembenahan sistem dan politik hukum sebagaimana yang dituangkan

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 salah

satunya diarahkan pada kebijakan untuk memperbaiki struktur

(kelembagaan) hukum dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang

terbuka dan transparan, menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan

transparansi agara peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan

bahwa hukum dapat diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran.

Ketika Daniel S. Lev memberikan kata pengantar dalam bukunya, Islamic

Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions,

menyatakan bahwa Peradilan Agama di Indonesia yang tampak rapuh

ternyata tidak hanya tegak berdiri tetapi juga tumbuh lebih kuat, sedangkan

di beberapa negara Islam institusi hukum keagamaan banyak yang dibatasi

dan atau dihapus. Pandangan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa

Peradilan Agama itu dihadapkan pada berbagai kontraversi dan tantangan,

1 |

Page 2: Sistem Peradilan AGAMA

baik pada masa penjajahan maupun pada awal kemerdekaan. Namun

demikian, ia terhindar dari kerapuhan bahkan posisinya menjadi lebih kuat.

Dalam rentang waktu 35 tahun terakhir (1972-2008) Peradilan Agama

mengalami berbagai perubahan yang berarti. Perubahan itu antara lain

berkenaan dengan dasar hukum penyelenggaraan peradilan, kedudukan,

susunan, dan kekuasaannya. Bahkan mengalami lompatan ketika badan

Peradilan Agama berwenang menerima, memutuskan, dan menyelesaikan

perkara di bidang ekonomi syari`ah tanpa kontroversi. Sementara itu,

ekonomi syari`ah merupakan entitas baru dalam masyarakat Islam Indonesia.

Selanjutnya, ketika UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diundangkan Peradilan Agama

memiliki kedudukan yang kuat dan sejajar dengan peradilan lain, yakni

Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara,

sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Yang membedakan keempat

penyelenggara kekuasaan kehakiman itu ditentukan oleh bidang yirisdiksi

yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Namun demikian, pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Agama, dalam hal ini Pengadilan Agama, tidak

memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sebelum dikukuhkan

oleh Pengadilan Negeri (dalam lingkungan Peradilan Umum), sebagaimana

diatur dalam ketentuan Pasal 63ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Institusi pengukuhan itu baru dihapus ketika disahkan dan

diundangkan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Kedudukan dan kemandirian Peradilan Agama lebih kuat ketika diundangkan

UU Nomor 7 Tahun 1989. Selanjutnya hal itu lebih kuat lagi berdasarkan

ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen, “Penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

2 |

Page 3: Sistem Peradilan AGAMA

Ketentuan konstitusi itu ditindaklanjuti dengan UU Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman; kemudian UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas UU Nomor 9 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Pergeseran

B. Paradigma Peradilan Agama

Setiap yang pernah mempelajari sejarah peradilan agama akan

mengetahui, politik kolonial sangat mengecilkan peradilan agama. Politik

mengecilkan tidak hanya dalam mengurangi yuridiksi, melainkan segala

syarat pengadilan yang layak ditiadakan; pengadilan agama tidak mandiri.

Semua putusan baru mempunyai kekuatan eksekusi kalau sudah disetujui

pengadilan negeri, yang dikenal dengan sebutan fiat eksekusi. Keadaan serba

kurang diperhatikan berlanjut terus setelah merdeka. Suatu ketika kantor

pengadilan agama menempati satu bagian masjid, berada dalam lingkungan

Kantor Urusan Agama, dan lain-lain keadaan yang serupa itu.

Keadaan berubah setelah ada UU Nomor 14 Tahun 1970. Pengadilan

ditempatkan sederajat dengan lingkungan badan peradilan lain. Pernah ada

kesalahan, karena UU Nomor 1 Tahun 1974 mencantumkan lagi pranata fiat

eksekusi. Hal ini kemudian dikoreksi oleh PP Nomor 9 Tahun 1975. Sejak saat

itu, tidak ada lagi praktek fiat eksekusi. Pranata tersebut benar-benar hapus

setelah ada UU Nomor 7 Tahun 1989. Hal itu menunjukkan tentang suatu

dinamika Peradilan Agama di tengah-tengah kehidupan masyarakat bangsa

Indonesia yang majemuk. Dinamika itu secara bertahab menuju ke arah

kemajuan. Ini terlihat dalam berbagai ketentuan UU Nomor 7 Tahun 1989

yang sarat dengan pergeseran paradigma dari “peradilan semu” yang

cenderung menampakkan diri sebagai instansi pemerintahan menjadi

pengadilan yang sesungguhnya (court of law), yang memiliki ciri: hukum

acara dan minutasi dilaksanakan secara benar, administrasi dilaksanakan

secara tertib, dan putusan dilaksanakan oleh pengadilan yang memutuskan

perkara. Atas perihal tersebut dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 mengandung

3 |

Page 4: Sistem Peradilan AGAMA

beberapa perubahan penting, bahkan terdapat beberapa ketentuan baru

yang mencirikan pergeseran paradigma tersebut, yaitu antara lain tentang:

1. Dasar Hukum penyelenggaraan peradilan.

Sebelum UU Nomor 7 Tahun 1989 diundangkan, dasar hukum

penyelenggaraan Peradilan Agama bervariasi. Sebagian merupakan

produk pemerintah kolonial Belanda, dan sebagian produk pemerintah

Republik Indonesia. Dasar hukum itu meliputi berbagai peraturan

perundang-undangan, yaitu: a) Peraturan tentang Pengadilan Agama di

Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad

Tahun 1937 Nomor 116 dan 610); b) Peraturan tentang Kerapatan Qadi

dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan-

Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639); dan c) Peraturan

Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar`iyah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara

Tahun 1957 Nomor 99).

2. Kedudukan Pengadilan.

Sebelum berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 terdapat

ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama

dengan pengadilan lainnya, khususnya antara Pengadilan Agama dengan

Pengadilan Negeri. Hal itu tercermin dengan adanya institusi pengukuhan

putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri. Berdasarkan UU

Nomor 7 Tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan

Agama sejajar dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan lainnya.

Ketentuan pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan

Negeri, dinyatakan dicabut. Dengan demikian, Pengadilan Agama

memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri yang

dilaksanakan oleh jurusita. Kejurusitaan merupakan institusi bari di dalam

susunan organisasi Pengadilan Agama.

4 |

Page 5: Sistem Peradilan AGAMA

3. Kewenangan Pengadilan

Menurut ketentuan Pasal 49 ayat (1), “Pengadilan Agama

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama

Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang

dilakukan berdasarkan hukum Isla; c. Wakaf dan shadaqah”. Hal itu

menunjukkan bahwa kewenangan pengadilan di Jawa-Madura

dikembalikan sebagaimana kewenangan yang berlaku sebelum tahun

1937. dengan perkataan lain, kewenangan pengadilan tersebut “lebih

luas” dibandingkan pada masa sebelumnya (1937-1989). Sedangkan

kewenangan Pengadilan Agama yang lainnya tidak mengalami

perubahan. Namun demikian, menurut PP Nomor 45 Tahun 1957

kewenangan tersebut (selain perselisihan antara suami dengan isteri)

berhubungan dengan”hukum yang hidup” diputus menurut hukum

agama Islam. Kini, pengganti “hukum yang hidup” itu adalah hukum Islam

sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum undang-undang

tersebut.

4. Kedudukan Hakim.

Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), hakim diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri

Agama berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung. Hal yang sama

berlaku bagi hakim dalam lingkungan Peradilan Umum dan hakim dalam

lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam menjalankan tugasnya,

hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan, terlepas dari

pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak lainnya.

5. Hukum Acara

Menurut ketentuan pasal 54, “Hukum acara yang berlaku pada

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum Acara

Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan

5 |

Page 6: Sistem Peradilan AGAMA

Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang

ini”. Hal itu menunjukkan bahwa hukum acara yang berlaku adalah

hukum tertulis. Di samping itu, adanya kekecualian dan kekhususan yang

diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989. kekhususan itu meliputi prosedur

cerai talak, cerai gugat, cerai dengan alasan zina, dan biaya perkara.

Sebelum berlakunya undang-undang tersebut, hukum acara yang berlaku

pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama tersebar dalam

berbagai sumber, baik hukum tertulis maupun hukum tak tertulis.

6. Penyelenggaraan administrasi peradilan.

Dalam lingkungan Peradilan Agama terdapat dua jenis

administrasi, yaitu administrasi peradilan dan administrasi umum. Jenis

pertama berkenaan dengan administrasi perkara dan teknis yudisial.

Sedangkan jenis kedua berkenaan dengan administrasi kepegawaian,

keuangan, dan tata usaha. Oleh karena itu, di pengadilan terdapat dua

jenis jabatan pengelola kedua jenis administrasi itu. Secara keseluruhan

kedua jenis administrasi tersebut dikelola oleh panitera yang merangkap

sebagai sekretaris pengadilan. Secara khusus, administrasi peradilan

dikelola oleh wakil panitera; sedangkan administrasi umum dikelola oleh

wakil sekretaris. Sebelum berlakunya UU tersebut administrasi pada

pengadilan bercorak tunggal, dan dikelola oleh panitera kepala.

Selanjutnya, ketika dilakukan perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989

menjadi UU Nomor 3 Tahun 2006, juga terdapat beberapa perubahan. Hal

paling menonjol adalah bidang yurisdiksi yang diberikan kepada pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal itu menunjukkan pergeseran

paradigma badan peradilan yang semula terbatas pada bidang domestik

(ahwal syakhshiyah) bergeser ke arah bidang yang lebih luas, yakni bidang

domestik dan publik (muamalah), terutama di bidang zakat, infak, dan

ekonomi syari`ah dalam suatu sistem peradilan satu atap. Pergeseran

paradigma itu berkonsekuensi terhadap perluasan subyek hukum, tidak

6 |

Page 7: Sistem Peradilan AGAMA

hanya orang tetapi juga badan hukum. Adapun tentang perubahan,

Zainuddin Fajari menginventarisasi 15 pasal yang mengalami perubahan

termasuk satu pasal sisipan.

Di antara perubahan tersebut yang cukup menonjol adalah sebagai

berikut. Pertama, tentang Peradilan Agama, yang didefinisikan sebagai “salah

satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang

beragama Islam mengenai perkara tertentu”. Perkara tertentu dalam

ketentuan pasal 2, merupakan hasil perubahan dari Perkara Perdata

sebagaimana ketentuan UU Nomor 7 Tahun 1989. Hal itu memberi peluang

kepada pengadilan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara

pidana (jinayah) sebagaimana menjadi kewenangan Mahkamah Syar`iyah di

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang menjadi bagian dalam lingkungan

Peradilan Agama.

Kedua, tentang pengkhususan pengadilan. Dalam pasal 3A, sebagai

sisipan antara pasal 3 dengan pasal 4, diatur, “dalam lingkungan Peradilan

Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan

Undang-Undang. Ketentuan ini dapat dihubungkan dengan ketentuan pasal

15 UU Nomor 4 Tahun 2004, “Peradilan Syari`ah Islam di Propinsi Nanggroe

Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan

Agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan

Agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan

umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan

Umum”.

Ketiga, tentang pembinaan dan pengawasan. Menurut ketentuan

pasal 5, “Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finasial

pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Sementara itu, menurut pasal

12, “Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh

Ketua Mahkamah Agung”. Ketentuan ini merupakan implementasi sistem

7 |

Page 8: Sistem Peradilan AGAMA

peradilan satu atap sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 35 Tahun

1999 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 4 Tahun 2004.

Keempat, tentang pengangkatan hakim. Menurut ketentuan pasal 15,

“Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua

Mahkamah Agung”. Ketentuan ini merupakan salah satu konsekuensi dari

sistem peradilan satu atap yang melepaskan keterlibatan Menteri Agama

dalam proses pengangkatan dan pemberhentian hakim.

Kelima, tentang kewenangan pengadilan. Menurut ketentuan pasal

49, “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang: a) perkawinan; b) waris; c) wasiat; d) hibah; e)

wakaf; f) zakat; g) infaq; h) shadaqah; dan i) ekonomi syari`ah. Berdasarkan

pada sembilan tugas peradilan agama tersebut terdapat paradigma baru

dalam lingkungan peradilan agama, yaitu pengaturan tentang tugas peradilan

agama dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari`ah. Dalam

penjelasan undang-undang ini dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan

ekonomi syari`ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan

menurut prinsip-prinsip syari`ah, antara lain meliputi: Bank syari`ah, lembaga

keuangan mikro syari`ah, asuransi syari`ah, reasuransi syari`ah, reksadana

syari`ah, obligasi syari`ah dan surat berharga berjangka menengah syari`ah,

sekuritas syari`ah, pembiayaan syari`ah, dana pensiun lembaga keuangan

syari`ah, dan bisnis syari`ah. Apa yang terkandung dalam ketentuan di atas,

selain memperluas kompetensi absolut pengadilan, juga menghapus

ketentuan tentang pilihan hukum sebagaimana dimuat dalam Penjelasan

Umum UU Nomor 7 Tahun 1989.

Keenam, tentang sengketa hak milik. Menurut ketentuan pasal 50

ayat (2), “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam,

obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama

8 |

Page 9: Sistem Peradilan AGAMA

perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49”. Ketentuan ini selain

menambah keluasan kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan

agama juga mempertegas kemandiriannya, terutama dalam menyelesaikan

sengketa hak milik atau sengketa lain di kalangan orang-orang yang

beragama Islam.

Ketujuh, tentang itsbat kesaksian rukyat hilal. Menurut ketentuan

pasal 52A, “Pengadilan Agama memberi itsbat kesaksian rukyat hilal dalam

penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Ketentuan ini dapat dipandang

sebagai penyambung matarantai hubungan antara pengadilan dengan

Departemen Agama, yang secara historis lahir dan dibesarkan oleh dan

dalam Departemen itu meskipun yang diatur hanya aspek peradilannya saja.

Atas perihal tersebut, dalam penjelasan pasal itu dinyatakan, “selama ini

Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan

penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau

menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal

bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan

penetapan secara nasional untuk penetapan penanggalan 1 (satu) Ramadhan

atau 1 (satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau

nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu

sholat”.

Perubahan-perubahan tersebut memiliki dimensi ganda. Pertama,

sebagai peluang bagi badan Peradilan Agama untuk melaksanakan tugas

utamanya secara maksimal sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

bagi para pencari keadilan. Kedua, sebagai tantangan untuk melengkapi

berbagai kebutuhan yang dapat mendukung berfungsinya pengadilan

tersebut. Berkenaan dengan dimensi kedua ini, terdapat tuntutan kebutuhan

internal dan eksternal agar pengadilan dapat menjalankan fungsinya secara

maksimal. Pertama, kebutuhan atas ketersediaan hukum substantif di bidang

ekonomi syari`ah. Penyusunan dan perumusan hukum substantif ini dapat

9 |

Page 10: Sistem Peradilan AGAMA

dikatakan mudah tapi sulit. Mudah, karena relatif netral dan penggunaannya

terbatas. Tidak sepeka hukum keluarga, apalagi hukum kewarisan yang akan

berbenturan dengan sistem kekerabatan yang dianut oleh berbagai

kelompok etnis. Sulit, karena ekonomi syari`ah belum menjadi entitas yang

ajeg dalam masyarakat Islam Indonesia yang sebagian besar komunitas

pedesaan dan berada dalam pengaruh mazhab Syafi`i. Oleh karena itu,

penyusunan dan perumusan membutuhkan waktu yang memadai, termasuk

untuk memilih instrumen hukum yang dapat menghindarkan gejolak. Dalam

konteks ini, apa yang tersurat dalam Majallah al-Ahkam al-`Adliyah dapat

dijadikan salah satu referensi meskipun bermazhab Hanafi.

Kedua, manakala hukum substantif itu telah dirumuskan

membutuhkan sosialisasi secara maksimal, terutama di kalangan masyarakat

yang membutuhkannya. Sosialisasi hukum, ini relatif agak mudah karena

yang membutuhkannya terbatas terutama kalangan pelaku bisnis yang

terkonsentrasi di perkotaan. Atas perihal yang sama, sosialisasi hukum

perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan sebagaimana

terhimpun dalam Kompilasi Hukum Islam masih memerlukan sosialisasi

karena kepatuhan hukum masyarakat terkadang masih mendua.

Ketiga, berkenaan dengan kepatuhan hukum masyarakat menunjukkan

bahwa perkara yang diterima dan diputus pengadilan relatif menurun

ketimbang pada masa awal berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974. terdapat

indikasi “praktik peradilan” di luar pengadilan yang berada di luar jangkauan

peraturan perundang-undangan. Boleh jadi, norma lokal yang dipandang

sakral dijadikan rujukan dalam memecahkan sengketa dalam keluarga

terutama perceraian, yang menjadi perkara terbesar yang diterima dan

diputus oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

Komposisi Peradilan Agama dalam Sistem Satu Atap

Wacana tentang peradilan satu atap telah muncul pada masa Orde Baru,

terutama bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Gagasan itu

10 |

Page 11: Sistem Peradilan AGAMA

muncul di kalangan praktisi hukum, terutama pengacara. Pengadilan itu

dibina dan diawasi oleh dua badan penyelenggara negara, yakni yudikatif dan

eksekutif. Pembinaan teknis yudisial oleh Mahkamah Agung, sedangkan

pembinaan organisasi, administrasi dan finansial oleh Departemen

Kehakiman (kini Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia). Hal itu

dipandang sebagai praktik pembinaan yang dualistis, yang dapat memecah

kebebasan dan kinerja pengadilan terutama hakim. Tugas fungsionalnya

dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung; sedangkan nasibnya ditentukan

oleh Pemerintah (Departemen Kehakiman).

Wacana itu semakin berkembang ketika muncul tuntutan reformasi

total sebagai respon terhadap krisis berbagai bidang. Reformasi itu bergulir

untuk merombak tatanan berbagai bidang kehidupan masyarakat bangsa,

termasuk ‘penyatuatapan’ pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama,

Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Awal reformasi (1999)

dimulai dengan mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang pada

masa Orde Baru ditabukan. Atas perihal yang sama pada tahun itu disahkan

dan diundangkan sebanyak 56 buah undang-undang, termasuk UU Nomor 35

Tahun 1999 yang dijadikan dasar kebijakan peradilan satu atap.

Menurut ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 1999, “(1) Badan-

badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), secara

organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan

Mahkamah Agung”. Sedangkan menurut ketentuan pasal 11A ayat (1) dan

ayat (2), “(1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana

dimaksud dalam pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama

5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku; (2) Pengalihan

organisasi, administrasi, dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak

ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Sebagai pelaksanaan kebijakan peradilan satu atap itu dilakukan

perubahan beberapa undang-undang yang produknya adalah UU Nomor 4

11 |

Page 12: Sistem Peradilan AGAMA

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (sebagai pengganti UU Nomor 35

Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman); UU Nomor 5

Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung; UU Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; UU Nomor 9

Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara; dan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama.

C. Sistem Satu Atap

Dari sejumlah komentar mengenai makna satu atap sistem peradilan,

terkadang terkesan ada ketidak tepatan memahami cakupan sistem

peradilan satu atap. Untuk lebih memahami hal tersebut, perlu diperhatikan

dua fungsi utama pengadilan. Pertama, memeriksa, dan memutus perkara,

lazim juga disebut tugas mengadili. Dalam tugas memeriksa dan memutus

perkara termasuk tugas-tugas kepaniteraan dan kejurusitaan yang berkaitan

dengan fungsi memeriksa, memutus, dan melaksanakan putusan.

Melaksanakan putusan, yang lazim disebut eksekusi harus ditempatkan

sebagai satu rangkaian memeriksa dan memutus perkara. Suatu perkara baru

dianggap selesai kalau sudah dilaksanakan. Karena itu, dalam memutus

perkara seorang hakim harus memperhitungkan juga pelaksanaannya. Suatu

putusan yang tidak dapat dilaksanakan tidak bermanfaat bagi pencari

keadilan. Apalagi kalau suatu putusan malah melahirkan perkara baru.

Kedua, membina organisasi, menyelenggarakan administrasi keuangan dan

kepegawaian.

Fungsi pertama, lazim disebut sebagai fungsi yudisial (judicial

function). Ini yang disebut Montesquieu dan seterusnya sampai hari ini

12 |

Page 13: Sistem Peradilan AGAMA

sebagai kekuasaan kehakiman atau kekuasaan peradilan (judicial power). Di

manapun dan kapanpun hanya pengadilan yang mempunyai kekuasaan

mengadili atau kekuasaan memeriksa dan memutus perkara. Ada

kemungkinan suatu badan yang bukan badan peradilan tetapi menjalankan

fungsi peradilan, yang dalam dunia ilmu pengetahuan hukum (legal science)

disebut sebagai badan peradilan semu (quacy judicial, quasirechtspraak).

Karena biasanya kompetensi badan ini di lapangan hukum administrasi, maka

dalam khazanah hukum Belanda disebut “quasiadministratiefrechtspraak”.

Walaupun bersifat semu, harus dipenuhi syarat sebagai badan peradilan

yaitu harus independen. Adapula badan lain yang biasanya disebut “badan

kehormatan” atau “majelis kehormatan” atau “dewan kehormatan”. Badan

ini bukan penegak hukum, melainkan penegak etika. Penegakkan etika

adalah penegakkan disiplin. Sanksi etik adalah disiplin. Kadang-kadang kita

bercampur aduk antara penegak hukum dan penegak etika (disiplin). Tetapi

ada juga badan kehormatan sebagai forum pembelaan sebelum sanksi

hukum dijatuhkan, misalnya “majelis kehormatan hakim”. Badan-badan

administrasi dapat juga memutus yang bersifat menghukum seperti

“schorsing”, tetapi tidak bersifat mengadili, karena itu dapat digugat ke

pengadilan.

Kekuasaan kehakiman harus independen, lepas dari pengaruh

kekuasaan lain. Dalam kaitan dengan sistem satu atap, hal tersebut telah ada

dan dijalankan sejak Indonesia merdeka karena merupakan perintah UUD,

bahkan telah ada sejak masa kolonial. Hal ini menunjukkan sistem satu atap

untuk fungsi memeriksa dan memutus perkara, termasuk membuat

ketetapan, telah dijalankan pengadilan atas dasar ketentuan UUD dan

perwujudan salah satu asas negara berdasarkan hukum. Dengan demikian,

sistem satu atap yang dimulai UU Nomor 35 Tahun 1999, yang kemudian

diatur kembali dalam UU Nomor 4 Tahun 2004, hanyalah mengenai soal

keorganisasian, ketenagaan (kepegawaian) dan keuangan, bukan mengenai

13 |

Page 14: Sistem Peradilan AGAMA

kekuasaan kehakiman. Kalau demikian, mengapa satu atap dianggap penting

untuk menunjang independensi kekuasaan kehakiman? Barangkali hal ini

merupakan kasus khusus Indonesia dan beberapa negara lain seperti

Thailand, yang pernah mengalami kekuasaan kediktatoran yang

mempengaruhi kekuasaan kehakiman. Dibanyak negara, seperti negara

Eropa, bahkan Amerika Serikat, masalah organisasi, ketenagaan, dan

keuangan atau bagian tertentu dari urusan-urusan tersebut, dijalankan oleh

Pemerintah. Indonesia selama Orde Lama dan Orde Baru, mengalami

pengaruh Pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman melalui wewenang

keorganisasian, ketenagaan dan keuangan tersebut. Bahkan di masa Orde

Lama, diciptakan hukum (UU Nomor 19 Tahun 1964) yang memberi

wewenang kepada Presiden untuk mencampuri suatu proses peradilan yang

sedang berjalan.

Pemindahan urusan organisasi, ketenagaan, dan keuangan ke

Mahkamah Agung, membawa konsekuensi perubahan tanggungjawab

pembinaan peradilan. Selama ini ada dua pembinaan peradilan. Pertama,

Mahkamah Agung; membina dan mengawasi jalannya peradilan (fungsi

yudisial) yang dijalankan pengadilan tingkat pertama dan banding. Kedua,

Departemen dan MABES TNI membina keorganisasian, ketenagaan, dan

keuangan.

Sejak satu atap, Mahkamah Agung menjadi pembina tunggal, baik

untuk fungsi peradilan maupun urusan keorganisasian, ketenagaan, dan

keuangan. Semua lingkungan peradilan ada di bawah tanggungjawab

Mahkamah Agung. Terdapat kebaikan dan kekurangan sistem satu atap, yaitu

sebagai berikut:

a. Kebaikan; pertama, ada kesatuan pembinaan, kesatuan tanggungjawab,

kesatuan perencanaan, dan kesatuan program. Kesatuan ini sangat

penting untuk meningkatkan efesiensi, efektifitas, penghematan sumber

daya (resources), dan kesatuan komando. Memudahkan kendali dan

14 |

Page 15: Sistem Peradilan AGAMA

kontrol serta menentukan pertanggungjawaban. Kedua, ada pembinaan

yang sama terhadap semua lingkungan badan peradilan. Ketiga,

pengadilan akan mengikuti standar-standar menimal yang telah berjalan.

Keempat, lebih memudahkan membangun kesatuan korp. Tidak akan ada

perasaan lingkungan tertentu lebih unggul dari lingkungan peradilan lain.

Sebaliknya peradilan tertentu tidak pula merasa rendah dari lingkungan

peradilan lainnya. Namun perlu dicatat, persamaan tidak berarti serba

sama. Kalau dibutuhkan berbeda tetap harus berbeda. Dalam hal tertentu

dianggap baik dijalankan atau ditempati lingkungan peradilan umum

biarkan tetap pada peradilan umum. Persamaan tidak harus diartikan

harus menerima tempat dan jatah yang sama. Kalau suatu saat, suatu

lingkungan karena keadaan harus agak berlebih harus diterima secara

wajar. Semua lingkungan peradilan harus memupuk semangat satu untuk

semua dan semua untu satu. Satu mewakili semua dan semua mewakili

yang satu.

b. Kekurangan. Pertama, organisasi Mahkamah Agung mungkin menjadi

terlalu besar, sistem pengelolaan lebih kompleks, pengawasan dan

pembinaan internal menjadi lebih sulit. Hal yang sangat memerlukan

perhatian yaitu kemungkinan percampuran yang tidak sehat antara

administrasi perkara dan administrasi bukan perkara. Untuk mengurangi

kekurangan tersebut diperlukan sistem pengorganisasian dan

administrasi yang canggih, kumpulan tenaga yang cakap, trampil, dan

berintegritas, serta partisipasi sosial yang baik. Kedua, acapkali dirasakan

tidak mudah menyesuaikan diri dengan keadaan baru, sehingga ada

kemungkinan wujud berbagai kebimbangan atau perasaan belum terima,

bahkan ada semacam perasaan gegar budaya (cultural shock) dalam

lingkungan yang baru termasuk berbagai purbasangka yang tidak

bermanfaat. Hal ini dapat mempengaruhi kelancaran upaya membangun

kesatuan dan persatuan di antara semua lingkungan badan peradilan.

15 |

Page 16: Sistem Peradilan AGAMA

D. Antara Peluang dan Tantangan Sistem Satu Atap

Satu atap adalah peluang dan sekaligus tantangan. Sebagai peluang,

satu atap memberi dasar untuk mempercepat “pembaharuan” peradilan

agama untuk mengejar ketinggalan dari lingkungan badan peradilan lain

terutama lingkungan peradilan umum. Ketinggalan-ketinggalan tersebut

meliputi prasarana dan sarana, sistem managemen yang meliputi organisasi,

ketenagaan, keuangan, pengawasan (kendali) dan evaluasi. Di balik peluang,

satu atap menimbulkan pula berbagai tantangan, antara lain: 1) perubahan

wawasan, yang mencakup antara lain, sebagai subsistem peradilan, harus

membangun kesadaran kesatuan, kesadaran menjadi peradilan yang mampu

melakukan aktualisasi menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan dan

perkembangan baru. 2) membangun sikap percaya diri untuk bersama-sama

lingkungan peradilan lain membangun tata peradilan yang berwibawa,

terhormat, dan dihormati. 3) perubahan tata kerja untuk mewujudkan sistem

satu atap sebagai suatu kenyataan yang meningkatkan kepuasan pencari

keadilan, baik dalam penanganan perkara sistem pengelolaan administrasi,

termasuk suasana lingkungan kerja. 4) perubahan penampilan yang akan

menambahkan kewibawaan. 5) meningkatkan terus kualitas untuk menjadi

hakim yang baik.

E. Penutup

Kebijakan pembinaan Satu Atap oleh Mahkamah Agung merupakan

salah satu upaya untuk mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman dan

menciptakan putusan pengadilan yang tidak memihak (impartial). Cetak biru

yang dibuat dalam rangka mendukung Mahkamah Agung untuk

melaksanakan pembinaan satu atap lembaga peradilan telah dibuat secara

komprehensif. Hal ini dimaksudkan untuk menetapkan langkah-langkah

perioritas dalam pembenahan lembaga peradilan. Untuk menuju ke arah itu

16 |

Page 17: Sistem Peradilan AGAMA

akan dihadapkan kepada berbagai tantangan, yang melibatkan unsur

normatif, unsur sumberdaya manusia, dan unsur sumberdaya amwal.

Atas perihal tersebut ada beberapa agenda yang dihadapkan kepada

berbagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap efektifitas tugas badan

peradilan Agama serta kinerja unsur-unsur manusia di dalamnya pada masa

penyatuatapan. Pertama, meningkatkan efektifitas tugas pengadilan

terutama dalam memenuhi hajat para pencari keadilan dengan dukungan

kemudahan dari Mahkamah Agung. Diharapkan peradilan yang

sederhana,cepat dan biaya ringan dapat dilaksanakan secara efektif dan

merata. Kedua, meningkatkan profesionalisme para hakim dan jajaran

pendukungnya sehingga produk kerjanya memiliki kualitas yang tinggi dan

mampu memberi kontribusi bagi pengembangan hukum Islam dalam konteks

sistem hukum nasional. Ketiga, mempersiapkan sumber daya manusia yang

siap mengabdikan diri dalam lingkungan Peradilan Agama, baik sebagai

hakim maupun panitera. Hal terakhir dapat dilakukan melalui kerja sama

antara Mahkamah Agung dengan Fakultas Syari`ah sebagaimana pernah

dilakukan dalam penyelenggaraan pendidikan calon hakim dan calon panitera

pengganti pada awal hingga pertengahan tahun 1990-an. Selain itu, Fakultas

Sayari`ah dapat memberikan kontribusi dalam penyiapan “calon” advokat

yang akan mengabdikan diri dalam lingkungan Peradilan Agama.

17 |

Page 18: Sistem Peradilan AGAMA

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul Ghani, “Anatomi Norma Ideal dalam Tafsir Historik Undang-Undang Peradilan Agama”, Pidato Disampaikan dalam Upacara Pengukuhan Guru Besar Ilmu Peradilan Agama, pada Fakultas Syari`ah, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Tanggal 11 Maret 2000.

Anonimus, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Penyatuatapan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung, Jakarta: Proyek Penyusunan Rancangan Undang-Undang Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004.

Bisri, Cik Hasan, “Paradigma Peradilan Agama dalam Kebijakan Peradilan Satu Atap”, Makalah Seminar “Paradigma Baru Peradilan Agama Dalam Sistem Peradilan Satu Atap” di Jatinagor, Sumedang, 2007.

——————-, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 .

——————-, Peradilan Islam dalam tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.

Fajari, Zainuddin, “Paradigma Baru Peradilan Agama”, makalah disampaikan dalam Kegiatan Sosialisasi Undang-Undang tentang Peradilan Agama, Tanggal 12 Juli 2006 di Jakarta.

Lev, Daniel S., Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions, Los Angeles: University of California, 1972.

Manan, Baqir, Fakultas Syari`ah dalam Perspektif Peradilan Satu Atap, Makalah Seminar “Paradigma Baru Peradilan dalam Sistem Peradilan Satu Atap”, Jatinagor, Sumedang, 2007.

Sabrie, Zuffran, ed., Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila: Dialog tentang RUUPA, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001.

18 |

Page 19: Sistem Peradilan AGAMA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT Tuhan

semesta alam yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini, dengan lancar.

Shalawat salam semoga selalu terlimpahcurahkan kepada Nabi Besar

Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Dengan tersusunnya makalah ini, penulis mengucapkan berterimakasih

sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang telah ikut membantu dalam

pembuatan makalah ini, khususnya untuk Bapak Dosen yang bersangkutan yang

telah membimbing penulis. Semoga amal ibadah mereka dibalas oleh Allah

dengan berlipat ganda. Amin…..

Selanjutnya penulis minta saran yang membangun agar ke depannya

pembuatan makalah menjadi lebih baik, dan semoga makalah ini bermanfaat

khususnya kepada penulis, dan umumnya bagi para pembaca.

Cipasung, Januari 2012

Penulis

19 |

Page 20: Sistem Peradilan AGAMA

SISTEM PERADILAN AGAMA DI INDONESIA DALAM ANALISIS SISTEM PERADILAN SATU ATAP

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu TugasMata Kuliah Pembahasan Kitab Kaidah Peradilan Islam

Disusun Oleh:Nama : ROBIANTONPM : 10.2222.1Tk./Smt. : II / IVFak. / Jur. : Syariah / JS

INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNGSINGAPARNA TASIKMALAYA

2012

20 |