tugas hukum acara peradilan tata usaha negara

53
KOMISI PENYIARAN INDONESIA (KPI) DISUSUN OLEH: REINHARDT WILLIAM DAMPING (1106019123) PERMATA MIS LUSITANIA (1106056144) RIYAN PERMANA PUTRA (0906490393) FAKULTAS HUKUM

Upload: soniakuswardh7731

Post on 20-Jul-2016

146 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

analisis putusan

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

KOMISI PENYIARAN INDONESIA (KPI)

DISUSUN OLEH:

REINHARDT WILLIAM DAMPING (1106019123)

PERMATA MIS LUSITANIA (1106056144)

RIYAN PERMANA PUTRA (0906490393)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM REGULER

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

2014

Page 2: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

BAB I

PENDAHULUAN

A. Regulasi dan Peran Serta Penyiaran Media Massa dalam Kampanye

Partai Politik Peserta Pemilihan Umum

Di dalam pengaturan mengenai penyelenggaran pemilu baik legislatif

maupun eksekutif, terdapat ketentuan mengenai kampanye yang boleh dilakukan

oleh partai politik peserta pemilu, baik melalui media massa elektronik ataupun

cetak. Kampanye dapat diartikan sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang

terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada khalayak yang dilakukan

secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.1 Kampanye yang digubakan

dalam suatu pemilihan umum disebut juga sebagai candidate oriented-campaign,

yaitu kampanye yang berorientasi pada kandidat yang dimotivasi untuk

mendapatkan kekuasaan (jabatan publik)2

Peran media massa secara ideal adalah bersifat netral dan objektif. Ini

berarti media massa harus dapat menjalankan peran sebagai suatu media

komunikasi yang ideal bagi masyarakat dalam rangka pertukaran informasi terkait

dengan proses penyelenggaraan pemerintahan, maka dari itu sudah sepantasnya

media massa terlepas dari pengaruh pihak manapun dalam menyiarkan berita atau

pesan kepada rakyat (non-manipulatif). Namun pada kenyataannya di dalam suatu

Negara yang demokratis hampir tidak pernah ditemukan adanya suatu kampanye

media massa yang netral dan tidak memihak. Terdapat suatu hukum tak tertulis di

dalam masyarakat yang menyatakan bahwa “Pemerintah ataupun setiap orang

yang berkuasa atas pemerintahan mampu mengendalikan media massa”. Hal ini

dimaklumi sebagaimana masa pemerintahan zaman orde baru, dengan adanya

suatu pengawasan pemerintah terhadap penyiaran yang dilakukan di media massa

terkait dengan citra partai politiknya.

1 E. M. Rogers dan J. D. Storey, Handbook of Communication Science, (Newbury Park, CA: Sage, 1987), hlm. 820.

2 Bambang Wibiono, “Peran Media Sebagai Alat Komunikasi Politik dalam Kampanye Politik” http://w3b3.wordpress.com/2007/12/17/peran-media-sebagai-alat-komunikasi-politik-dalam-kampanye-pemilu/, diunduh 16 April 2014.

Page 3: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Salah satu kampanye yang dilakukan dengan perantara media massa

eletronik adalah melalui iklan di televisi. Pada hakikatnya iklan memiliki dua

fungsi, yaitu fungis informatif dan fungsi persuasif. Fungsi informatif dalam

periklanan adalah sebagai media informasi mengenai hal-hal tertentu, berupa

publikasi maupun penyuluhan. Sedangkan fungsi persuasif adalah fungsi untuk

dapat membujuk atau mengajak seseorang, tidak jarang pula fungsi persuasif ini

kemudian dapat menjadi suatu manipulasi dalam periklanan. Manipulasi

periklanan dapat diartikan sebagai suatu penanaman pemikiran seseorang untuk

mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dalam dirinya sendiri, namun berasal

dari luar.3

Dalam kaitannya dengan kampanye parpol, penyiaran iklan pada setiap

tahapan pemilu yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia haruslah bersifat

berimbang dan mengusung asas keadilan. Yang dimaksud dengan hal ini adalah

agar KPI dapat menyiarkan beritanya pada prinsipnya, setiap partai politik

peserta diberikan kesempatan yang sama untuk dapat mengiklankan parpol-nya

selama masa kampanye (21 hari sebelum masa pencoblosan), dengan ketentuan

maksimal 10 kali sehari dalam durasi 30 detik untuk televisi dan 60 detik untuk

radio.4 Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang

Penyiaran.

Hal itu juga dipertegas dalam Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengatakan bahwa isi siaran wajib dijaga

netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

Namun kemudian persoalan ditemukan ketika konglomerasi melanda

dunia penyiaran. Media penyiaran tidak pernah lepas dari intervensi pemilik

modal yang dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki beragam kepentingan

seperti kepentingan ekonomi, politik dan ideologi tertentu. Konglomerasi media

makin disuburkan oleh revolusi teknologi informasi yang ditandai olehkehadiran 3 ? N.N., “Periklanan dan Etika” http://initugasku.wordpress.com/2010/03/03/%E2%80%9Cperiklanan-dan-etika%E2%80%9D/, diunduh 16 April 2014.

4 ? Ira, “Pengaturan Iklan Kampanye di Lembaga Penyiaran Untuk Mewujudkan Keadilan” http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/31084-pengaturan-iklan-kampanye-di-lembaga-penyiaran-untuk-wujudkan-keadilan, diunduh 16 April 2014.

Page 4: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

internet dan digitalisasi data dan informasi. Potensi konflik kepentingan dalam

konglomerasi media massa ini secara faktual dapat dilihat dari munculnya sikap

media massa yang cenderung partisan dan tidak netral dalam pemberitaan.5

Meski secara formal media massa di Indonesia tidak pernah menyatakan

bahwa mereka memiliki hubungan afiliatif maupun partisan terhadap kekuatan

politik. Namun relasi antara pemilik modal yang merangkap politisi membuat

para pengelola media massa tidak bisa netral dari kepentingan politik pemilik

modalnya.6 Sehingga konflik kepentingan antara media massa yang harus tunduk

pada kaidah-kaidah jurnalistik dalam menyajikan informasi kepada publik dengan

kepentingan politik dari pemilik media tersebut menjadi tidak terhindarkan.

Apabila hal tersebut terjadi secara intensif dan mengabaikan kode etik jurnalistik

maka dikhawatirkan konglomerasi media massa akan mampu merusak kualitas

demokrasi.

Mengenai hal tersebut sebenarnya Undang-Undang No 8 Tahun 2002

tentang Pemilu telah mengatur beberapa hal, termasuk diantaranya mengenai

larangan-larangan kampanye, tentang masa tenang, penggunaan blocking segment

dan/atau blocking time sebagai waktu penyiaran kampanye.

Yang dimaksud dengan “blocking segment” adalah kolom pada media

cetak dan sub-acara pada lembaga penyiaran yang digunakan untuk keperluan

pemberitaan bagi publik. Yang dimaksud dengan “blocking time” adalah

hari/tanggal penerbitan media cetak dan jam tayang pada lembaga penyiaran yang

digunakan untuk keperluan pemberitaan bagi publik.7

Namun meski telah ada regulasi yang mengatur mengenai hal tersebut

fakta di lapangan banyak sekali ditemui pelanggaran-pelanggaran nyata yang

dilakukan oleh media penyiaran terkait hal tersebut. Menurut Direktur Eksekutif

Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto, praktik

konglomerasi perusahaan media massa juga menciptakan berbagai kondisi 5 Robert McChesney, Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi,

diterjemahkan oleh Andi Achdian, (Jakarta: Freedom Institute, 2003), hlm. 36.

6 Datuak Alat Tjumano, “Konglomerasi Media Massa”, Kompas (8 September 2013).

7 Penjelasan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2002.

Page 5: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

merugikan lain, terutama ketika media massa kemudian hanya dijadikan sekadar

corong demi kepentingan politik dan bisnis sang pemilik modal. Dalam hal ini

maka kepentingan politik dalam rangka menjelang pemilu.

Sorotan terhadap dampak konglomerasi media massa kembali mengemuka

menjelang Pemilu 2014. Peranan media massa baik cetak maupun elektronik

yang strategis dalam sosialisasi dan pencitraan politik membuat semua kekuatan

politik berupaya memanfaatkan dan menguasai media massa. Persoalannya, tidak

semua partai politik memiliki tokoh yang menguasai media massa terutama

private ownership media, sehingga dikhawatirkan masuknya para pemilik media

massa ke kancah politik akan menimbulkan situasi yang tidak fair dan menjadi

ancaman bagi kualitas demokrasi akibat monopoli media massa untuk

kepentingan politik partai atau tokoh tertentu.8

Dalam praktik demokrasi elektoral di Indonesia, fase kampanye kerap

menjadi satu titik krusial yang mempengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilu,

terutama hubungannya dengan pendidikan politik warga masyarakat. Hal kunci

yang sering menjadi persoalan dalam fase kampanye adalah komitmen untuk

menghormati dan menjalankan kesepakatan aturan main yang telah tertera dalam

peraturan perundang-undangan dan perangkat peraturan pelaksananya (regulasi).

Batasan waktu kampanye seharusnya dihormati semua kontestan. Terlebih

untuk media penyiaran, spektrum frekuensi itu jelas-jelas sumber daya alam

terbatas sebagaimana diatur dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2002 tentang Penyiaran. Jadi, kekeliruan besar jika frekuensi yang terbatas

semena-mena dimanfaatkan segelintir pengusaha-politisi untuk kepentingan partai

mereka.

Hal tersebut menjadi upaya besar dalam upaya mengurangi

tingginya/mahalnya ongkos kampanye di Indonesia, mengingat dalam dua pemilu

sebelumnya, partai politik disulitkan dengan tingginya ongkos kampanye,

sehingga hanya partai-partai yang punya modal banyak yang mampu

menampilkan wajahnya di depan publik lewat fasilitas media massa, sedangkan

partai-partai kecil mengalami kesulitan.9

8 Robert McChesney, Op. Cit., hlm. 40.9 Buhanuddin Muhtadi, Perang Bintang 2014, (Jakarta: Noura Book, 2013), hlm. 25.

Page 6: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Guna memperbaiki kualitas kampanye di media penyiaran, ada beberapa

faktor yang harus menjadi perhatian bersama. Pertama, faktor struktural, harus

adanya koordinasi yang lebih intensif, fungsional, dan komplementer antar

penyelenggara pemilu; dalam hal ini KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan

Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dengan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia)

dan Dewan Pers. KPU telah menetapkan peraturan No 1/2013 tentang Pedoman

Pelaksanaan Kampanye Legislatif.10

Apa yang sudah disusun KPU ini tentu harus dikoordinasikan dengan KPI,

terutama menyangkut aturan kampanye di media penyiaran, karena sepemahaman

penulis, KPI juga sedang dalam proses akhir penyusunan peraturan program

pemilu. Jangan sampai aturan main yang disusun kedua lembaga ini berbenturan

sehingga menjadi pintu masuk bagi para kontestan untuk mencari celah

memainkannya. Termasuk penjelasan soal persepsi program siaran pemilu selain

iklan, kewenangan antar lembaga KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan KPI

(Komisi Penyiaran Indonesia), sanksi atas pelanggaran oleh lembaga penyiaran

dan partai kontestan, serta sejumlah aturan teknis operasional KPI (Komisi

Penyiaran Indonesia). MOU kelembagaan jangan semata seremonial dan

formalistik, atau lebih menunjukkan ego kelembagaan, tetapi harus dalam koridor

kebersamaan mengawal kualitas kampanye.

Kedua, faktor substansial, yakni menyangkut sejumlah aturan yang

memerlukan ketatnya sistem pengawasan di lapangan. Sebenarnya, dalam

Undang-Undang No 8 Tahun 2002 tentang Pemilu ini ada beberapa hal yang

sudah mulai diatur meskipun masih melahirkan banyak problematika. Misalnya,

Pasal 96 mengatur soal larangan: menjual blocking segment dan blocking time,

menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat

dikategorikan iklan kampanye pemilu, serta menjual spot iklan yang tidak

dimanfaatkan oleh peserta pemilu kepada peserta pemilu lainnya.

Pasal 97, batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di televisi

secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap

10 Gun Gun Heryanto, “Regulasi Kampanye”, Kompas (8 Juni 2013).

Page 7: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

stasiun televisi setiap hari pada masa kampanye. Di radio, 10 spot berdurasi paling

lama 60 detik.

Soal durasi ini, KPI tentu harus melengkapinya dengan aturan tentang

waktu siaran iklan kampanye pemilu ditambah dengan iklan komersial ataupun

iklan layanan masyarakat lain, maksimal 20 persen dari seluruh waktu siaran per

hari selama masa kampanye di lembaga penyiaran yang bersangkutan. Ini penting

dilakukan agar tidak berbenturan dengan pengaturan dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

KPI juga perlu mengatur secara lebih operasional tentang beberapa hal,

antara lain berapa kali diperbolehkannya running text dan superimpose dalam

sehari, penyiaran jajak pendapat, dialog/talkshow, dan jenis siaran lain yang

sangat mungkin menjadi kampanye terselubung para kontestan pemilu.

Dinamika perjalanan partai politik di Indonesia bukan lagi soal positioning

ideologi, namun lebih mengarah pada populisme dan pengaruh opini. Bila diamati

sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, pergeseran positioning ideologi partai

politik terus bergeser sampai garis tengah. Hal tersebut tidak lepas dari tingginya

peran media sebagai alat untuk menggiring opini publik dan jeritan rakyat yang

memberikan celah bagi partai politik untuk menerapkan strategi populis. Bila

kedua faktor telah merasuki kehidupan politik maka positioning ideologi tidak

lagi menentukan nasib partai.

Tingginya pengaruh media massa dalam menggiring opini publik membuat

ideologi partai politik tidak lagi menjadi sesuatu kekuatan yang mampu menarik

pemilih. Terlebih apabila kepemilikan media massa jatuh ketangan praktisi

politik, dalam hal ini permainan opini sudah tidak dapat dihindarkan. Media

massa kini sudah menjadi kendaraan perang dalam konstelasi politik. Media

massa digunakan sebagai ajang pencitraan publik, meruntuhkan popularias lawan

politik, dan mampu menjadi alat counter attack bagi serangan-serangan politis.

Keadaan seperti ini membuat ideologi menjadi tersingkirkan dan secara tidak

langsung sudah tidak lagi berpengaruh bagi partai politik.

Tingginya pengaruh media massa dalam menggiring opini dan

memobilisasi massa tentu semakin membuah arah kebijakan menjadi tidak jelas

Page 8: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

dan menimbulkan masa depan kebijakan politik yang tidak menyehatkan. Karena

apabila sudah seperti itu praktisi politik hanya memikirkan bagaimana permainan

opini untuk kedepannya, bukan untuk memikirkan arah kebijakan suatu negara.

Oleh karena itu wajib hukumnya bahwa perlu adanya regulasi kampanye yang

tegas untuk menghindari praktek-pkraktek kecurangan dalam kampanye dan juga

guna untuk mengurangi mahalnya ongkos kampanye.

BAB II

ISI

Page 9: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

A. Lembaga Negara Penunjang (State Auxiliary Bodies)

Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut the rule

of law atau dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechstaat, adalah adanya

ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.11 Ide

pembatasan kekuasaan itu dianggap mutlak harus ada, karena sebelumnya semua

fungsi kekuasaan negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan satu orang, yaitu di

tangan Raja atau Ratu yang memimpin negara secara turun temurun.12 Kekuasaan

Raja atau Ratu pada jaman feodalisme kerap kali disamakan dengan suara dan

kehendak Tuhan yang absolut dan tidak terbantahkan. Dilihat dari sudut pandang

sejarah, kekuasaan Raja atau Ratu yang disamakan dengan kekuasaan Tuhan

dapat kita temukan prakteknya dalam semua peradaban umat manusia, mulai dari

peradaban Mesir, peradaban Cina, hingga di peradaban Eropa sendiri, yang

dimana pada akhirnya muncul suatu gerakan sekularisme yang memisahkan antara

kekuasaan negara dan kekuasaan Tuhan secara tegas.

Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan itu tidak

berhenti hanya dengan munculnya gerakan sekularisme saja, namun juga

dilakukan dengan mengadakan pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan

internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu dengan mengadakan pembedaan dan

pemisahan kekuasaan negara ke dalam beberapa fungsi yang berbeda-beda.

Dalam hubungan ini, yang dapat dianggap paling berpengaruh pemikirannya

dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan itu adalah Montesquieu

dengan teori trias politica-nya, yaitu cabang kekuasaan legislatif, cabang

kekuasaan eksekutif atau administratif, dan cabang kekuasaan yudisial.13

Pada pokoknya ajaran trias politica isinya adalah sebagai berikut:14

a. Kekuasaan Legislatif (Legislative Powers)11 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, cet. 1, (Jakarta:

Konstitusi Press, 2006), hlm. 11.

12 Ibid.

13 Ibid., hlm. 12.

14 C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Ilmu Negara (Umum dan Indonesia), cet. 2, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004), hlm. 142 – 143.

Page 10: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletak dalam suatu

badan yang berhak khusus untuk itu. Jika penyusunan undang-undang

tidak diletakkan pada suatu badan tertentu, maka mungkinlah tiap

golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk

kepentingan sendiri.

b. Kekuasaan Eksekutif (Executive Powers)

Kekuasaan menjalankan undang-undang ini dipegang oleh kepala

negara. Kepala negara tentu tidak dapat sendirian menjalankan segala

undang-undang ini. Oleh karena itu, kekuasaan dari kepala negara

dilimpahkan (didelegasikannya) kepada pejabat-pejabat

pemerintah/negara yang bersama-sama merupakan suatu badan

pelaksana undang-undang (badan eksekutif).

c. Kekuasaan Yudikatif (Judicative Powers)

Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan yustisi (kehakiman) ialah

kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan

berhak untuk memberikan peradilan kepada masyarakat. Badan

yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara, menjatuhkan

hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah

diadakan atau dijalankan.

Pada beberapa tahun belakangan ini, lembaga negara mengalami suatu

perubahan yang pesat. Perubahan ini ditandai dengan munculnya beberapa

lembaga-lembaga baru, yang dimana kemunculannya dalam hal ini disebabkan

karena beberapa hal, antara lain:

a) Negara mengalami perkembangan di mana kehidupan ekonomi dan

sosial menjadi sangat kompleks yang mengakibatkan badan eksekutif

mengatur hampir seluruh kehidupan masyarakat.

b) Hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk mencapai

kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara

Page 11: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

kesejahteraan (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara

dituntut menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensif dari

semua lembaga negara yang ada.

c) Adanya keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik karena faktor-faktor

sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang

pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin komplek

mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-

institusi kenegaraan semakin berkembang.

d) Terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan terjadinya

berbagai kesulitan ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan

sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan

ekonomi memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi

kelembagaan (institutional experimentation).15

Lembaga-lembaga baru tersebut biasa disebut sebagai state auxiliary

organs, atau auxiliary institutions sebagai lembaga negara yang bersifat

penunjang. Di antara lembaga-lembaga itu kadang-kadang ada juga yang disebut

sebagai self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga-

lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix function) antara fungsi-fungsi

regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi

justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut. Bahkan

ada lembaga-lembaga yang disebut sebagai quasi non-governmental

organization.16

Merujuk kepada UUD 1945 (setelah amandemen), dapatlah kita lihat

bahwa setidaknya ada 34 lembaga negara yang ada di Indonesia. Dari ke-34

lembaga tersebut dapat kita bedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan

dari segi hierarkinya. Berdasarkan segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut 15 Ilham Wayank Hermawan, “Konsep Tentang Lembaga Negara Penunjang (Komisi

Negara)” http://ilhamendra.wordpress.com/2009/02/19/1konsep-tentang-lembaga-negara-penunjang/, diunduh 19 April 2014.

16 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. viii.

Page 12: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

dibedakan antara yang bersifat umum atau primer dengan sekunder atau

penunjang (auxiliary). Sedangkan, berdasarkan segi hierarkinya, ke-34 lembaga

tersebut dibedakan kedalam tiga (3) lapis, yaitu lembaga lapis pertama (lembaga

tinggi negara), lembaga lapis kedua (lembaga negara), dan lembaga lapis ketiga

(lembaga daerah).

Di Indonesia sendiri, keberadaan dari lembaga negara penunjang atau

state auxiliary bodies sudahlah tidak asing lagi. Hal ini dapat dilihat dengan

adanya keberadaan beberapa lembaga negara penunjang seperti, Komisi Hak

Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Lembaga Ombudsman, Komisi

Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi

Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, BP Migas dan BPH Migas, Badan

Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Dewan Pers, Komisi Banding Paten,

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini

sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi

sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya

merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan

ataupun pemberhentian pimpinannya.17

B. Selayang Pandang Mengenai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

Sebagai State Auxiliary Bodies

Komisi Penyiaran Indonesia atau yang dikenal pula dengan sebutan KPI

adalah salah satu lembaga negara di Indonesia yang bersifat independen dan yang

mempunyai fungsi utama untuk mengatur hal-hal mengenai penyiaran. KPI

dibentuk atas dasar Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, LN

No. 147 Tahun 2003, TLN No. 4342.

Mengingat luasnya ruang lingkup penyiaran di Indonesia, KPI dibentuk di

tingkat pusat dan tingkat daerah. Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, KPI

Pusat diawasi oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), sedangkan KPI Daerah

diawasi oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).17 Ibid., Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, ed. rev., cet. 1, (Jakarta: Konstitusi

Pers, 2005), hlm. 156 – 157.

Page 13: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang

Penyiaran dijelaskan bahwa KPI berfungsi untuk mewadahi aspirasi serta

mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Kemudian, dalam Pasal 8 ayat

(2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dijelaskan bahwa

dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, KPI

mempunyai wewenang sebagai berikut:

a) Menetapkan standar program siaran;

b) Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;

c) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran

serta standar program siaran;

d) Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman

perilaku penyiaran serta standar program siaran;

e) Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah,

lembaga penyiaran, dan masyarakat.

Serta dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang

Penyiaran dijelaskan tugas dan kewajiban KPI adalah:

a) Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan

benar sesuai dengan hak asasi manusia;

b) Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;

c) Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran

dan industri terkait;

d) Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan

seimbang;

e) Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta

kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran;

dan

f) Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang

menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.

Page 14: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Secara organisatoris, dikatakan dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) anggota KPI

Pusat berjumlah sembilan orang dipimpin oleh seorang ketua dan wakil ketua

yang dipilih dari dan oleh anggota, sedangkan KPI Daerah berjumlah tujuh orang

yang pimpinannya juga terdiri atas seorang ketua dan wakil ketua yang dipilih

dengan cara yang sama. Masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota KPI Pusat

dan KPI Daerah tiga tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa

jabatan berikutnya. Sebagai lembaga Negara KPI dibantu oleh sebuah sekretariat

yang dibiayayi oleh Negara [Pasal 9 ayat (4)] yang bersumber dari APBN untuk

KPI Pusat dan APBD bagi KPI Daerah [Pasal 9 ayat (6)].18

B. Analisis Surat Keputusan KPI Sebagai Objek Sengketa dalam PTUN

a. Kasus Posisi (Surat Keputusan KPI Pusat No. 310/K/KPI/02/14)

Surat Keputusan KPI Pusat No. 310/K/KPI/02/14 adalah surat keputusan

yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat yang isinya

memutuskan untuk menjatuhkan sanksi administratif penghentian sementara pada

program siaran "Kuis Kebangsaan" yang ditayangkan di RCTI. 

Sanksi penghentian sementara ini disampaikan Ketua KPI Pusat dalam

sidang khusus penjatuhan sanksi di Kantor KPI Pusat, Jakarta. Sidang tersebut

tidak dihadiri oleh perwakilan RCTI, meski KPI sebenarnya sudah melayangkan

surat yang meminta kehadiran perwakilan dua stasiun televisi tersebut.

Penghentian sementara program siaran "Kuis Kebangsaan" itu berlaku sejak 21

Februari 2013 hingga dilakukannya perubahan atas materi dua program siaran

tersebut. Keputusan KPI tersebut didasarkan pada pengaduan masyarakat,

pemantauan dan hasil analisis yang menemukan adanya pelanggaran atas

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS), P3 Pasal

11 dan SPS Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 71 ayat (3). 

Sebelum penjatuhan sanksi penghentian sementara ini, KPI telah

mengirimkan dua kali surat teguran tertulis kepada RCTI, namun tidak ada

perubahan materi siaran seperti yang diminta oleh KPI.

18 Ibid., Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 257.

Page 15: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Dalam program “Kuis Kebangsaan” tersebut didapati isi siaran yang

bersifat tidak netral dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga

penyiaran dan/atau kelompoknya. Selain mengikutsertakan calon anggota

legislatif dari Partai Hanura, program-program siaran tersebut juga menghadirkan

Wiranto dan Hari Tanoesudibjo yang sudah dideklarasikan sebagai calon presiden

dan calon wakil presiden partai tersebut. Hal lain yang juga menjadi pelanggaran

menurut KPI adalah adanya password Bersih, Peduli, Tegas yang merupakan

"tagline" Partai Hanura. Sebelum menjatuhkan sanksi, KPI telah memberikan

kesempatan bagi lembaga penyiaran tersebut untuk memberikan klarifikasi pada

13 Februari lalu.

Untuk dapat menayangkan kembali program siaran Kuis Kebangsaan,

Global TV dan RCTI harus melakukan perubahan materi siarannya. Caranya

dengan menghilangkan seluruh materi siaran yang bersifat tidak netral dan

dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran dan/atau

kelompoknya dengan menghilangkan penyebutan WIN-HT, tagline kampanye

Partai Hanura: Bersih, Peduli, Tegas.

Serta tidak melibatkan pemilik lembaga penyiaran atau kelompoknya,

dalam hal ini calon anggota legislatif Partai Hanura, sebagai pembaca kuis. Selain

itu KPI juga meminta RCTI untuk melaporkan upaya perbaikan kepada KPI

Pusat, bila ingin segera menayangkan kembali program kuis tersebut.

Sanksi administratif ini seharusnya menjadi pelajaran bagi lembaga

penyiaran lain yang masih menyiarkan materi iklan politik yang melanggar

ketentuan dalam P3 & SPS. Jangan lembaga penyiaran membuat program baru

atau menggunakan program-program yang sudah ada untuk dimanfaatkan bagi

kepentingan pribadi dan/ atau kelompok dari pemilik lembaga penyiaran. 

Selain itu, KPI sudah bersepakat dengan Komisi Pemilihan Umum dan

Badan Pengawas Pemilu untuk menjalankan kewenangan masing-masing lembaga

dalam pengawasan penyiaran pemilu. Oleh karenanya, KPI tidak akan berhenti

untuk terus memberikan sanksi pada seluruh lembaga penyiaran yang terbukti

telah melakukan pelanggaran. 

Page 16: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

b. Tinjauan Teori

Sengketa dalam Kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau

konflik, konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,

kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek

permasalahan.19

Senada dengan itu Winardi mengemukakan pengertian sengketa sebagai

pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-

kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas

suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan

yang lain.20

Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat sengketa adalah

pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda

tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum

bagi keduanya.21 Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa

sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat

menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sanksi hukum bagi

salah satu diantara keduanya.

Sengketa Tata Usaha Negara dapat dibedakan atas 2 yaitu sengketa intern

dan sengketa ekstern. Sengketa intern atau sengketa antara administrasi negara

terjadi di dalam lingkungan administrasi Negara (TUN) itu sendiri, baik yang

terjadi dalam satu departemen (instansi) maupun sengketa yang terjadi antar

departemen (instansi). Perbuatan administrasi Negara (TUN) dapat

dikelompokkan kedalam 3 (tiga) macam perbuatan, yakni; mengeluarkan

keputusan, mengeluarkan peraturan perundang-undangan, dan melakukan

perbuatan materil.22

Dalam melakukan perbuatan tersebut badan atau pejabat tata usaha Negara

tidak jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, 19 Muhammad Kusnaedi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Liberty, 1995), hlm. 55.

20 Winardi, Buku Bahasa Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), hlm. 60. 21 Ali Achmad, Pintar Berbahasa, (Yogyakarta: Erlangga, 2003), hlm. 88.22 Irwan, Sengketa Tata Usaha Negara, (Makassar: Unhas Press, 2009), hlm. 67.

Page 17: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian bagi yang terkena tindakan

tersebut. Kerugian yang ditimbulkan inilah yang akan mengakibatkan adanya

sengketa TUN.

Sengketa esktren atau sengketa antara administrasi Negara dengan rakyat

adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi

Negara dengan rakyat sebagai subjek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur dari

unsur peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua pihak

dan sekurang-kurangnya salah satu pihak harus administrasi Negara, yang

mencakup administrasi Negara di tingkat daerah maupun administrasi Negara

pusat yang ada di daerah. Dengan demikian sengketa intern adalah menyangkut

persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu departemen

(instansi) atau kewenangan suatu departemen (instansi) terhadap departemen yang

lainnya yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan sehingga menimbulkan

kekaburan kewenangan. Sengketa ini dapat juga disebut sebagai hukum antar

wewenang.23

Pangkal sengketa adalah keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan TUN

adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat

konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau

badan hukum perdata.

Objectum litis dalam praktek hukum dikenal dengan istilah objek perkara

atau objek sengketa. Objek perkara di PTUN adalah mengenai sengketa Tata

Usaha Negara. Yaitu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara

antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan

Tata Usaha Negara (KTUN)24, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. KTUN sendiri adalah suatu

penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

23 Ibid.24 Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5

Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Page 18: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,

yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan objek gugatan di

Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang telah

memenuhi secara kumulatif unsur-unsur yang termuat dalam Pasal 1 Angka 9 UU

Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986

Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu penetapan tertulis yang dikeluarkan

oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final

yang menimbulkan akibat hukum.

Berkaitan dengan unsur-unsur KTUN sebagaimana dimaksud oleh

ketentuan diatas, penulis sampaikan dua pendapat mengenai unsur-unsur KTUN

tersebut, yaitu: menurut Indroharto, unsur KTUN ada 6 (enam), yaitu:25

a) Bentuk penetapan itu harus tertulis;

b) Ia dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;

c) Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara;

d) Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e) Bersifat konkret, individual, dan final;

f) Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

perdata.

Pendapat senada disampaikan oleh Paulus E. Lotulung, yang menyatakan

bahwa unsur KTUN ada 7 (tujuh), yaitu:26

a) Penetapan tertulis;

b) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;

c) Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; 25 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Buku I Beberapa Pengertian Dasar Peradilan Tata Usaha Negara, cet. 6, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 162 – 163.

26 Paulus Effendi Lotulung, Perbuatan-perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik, dalam P. J. J Sipayung (Editor), Pejabat Sebagai Calon Tergugat Dalam Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: CV. Sri Rahayu, 1989), hlm. 148.

Page 19: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

d) Bersifat konkret;

e) Individual;

f) Final; dan

g) Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

perdata.

Walaupun jumlah unsur KTUN dari kedua pendapat diatas berbeda,

namun intinya sama yaitu: bentuk KTUN-nya harus tertulis, diterbitkan oleh

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, berisi tindakan hukum Tata Usaha

Negara, didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat

konkret, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang

atau badan hukum perdata. Apabila suatu KTUN telah memenuhi unsur-unsur di

atas maka KTUN seperti ini dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Bagi hakim TUN pengertian penetapan tertulis (beschikking) yang

merupakan salah satu keputusan TUN yang berfungsi sebagai instrumen yuridis

pemerintahan yang digunakan badan atau pejabat TUN dalam melaksanakan

kewajibannya dibidang urusan pemerintahan itu sangat penting artinya, karena

hanya penetapan tertulis saja yang dapat digugat ke Pengadilan TUN.27

Menurut teori Hukum Acara Tata Usaha Negara objek sengketa dalam

Pengadilan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha

negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum perdata sedangkan yang dimaksud dengan

Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 Angka 9 UU

Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986

Tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan

hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

27 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di PTUN, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hal. 161.

Page 20: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat

hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dari pengertian tersebut, dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Penetapan tertulis

Istilah penetapan tertulis28 terutama menujukan kepada isi dan bukan

kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan

tertulis bukan bentuk formalnya seperti Surat Keputusan Pengangkatan dan

sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudaham segi

pembuktian, sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan

akan merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini

apabila sudah jelas:

- Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang

mengeluarkannya;

- Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu;

- Kepada siapa tulisan itu ditunjukan dan apa yang

ditetapkan didalamnya.

2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Pasal 1 huruf a disebutkan yang disebut dengan Tata Usaha Negara adalah

administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan

pemerintahan baik dipusat maupun di daerah.

Sedangkan urusan pemerintahan adalah tujuan pembentukan pemerintahan

sebagaimana tersebut dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yaitu “…

melindungi segenap tumpah darah Indonesia; menyelenggarakan kesejahteraan

umum; mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta menjaga perdamaian

dunia…”. Makna yang sedang menjalankan fungsi tidak harus organ pemerintah,

namun bisa juga pihak lain selain organ pemerintah menjalankan fungsi (orang-

perorang; badan hukum perdata) pemerintahan.

28 Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

Page 21: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan

perundang-undangan

Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata

Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban pada orang lain,

dengan kata lain perbuatan tersebut berupa keputusan yang bersifat konstitutif

bukan deklaratur sedangkan yang dimaksud dengan peraturan perundang-

undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang

dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat (DPR RI; DPRD Provinsi/DPRD

Kabupaten/Kota) bersama dengan Pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah

serta semua keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dipusat maupun

daerah yang bersifat dan mengikat umum.

Keputusan KPI adalah merupakan tindakan hukum Tata Usaha Negara

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan karena dalam memutus KPI

mendasarkan kewenangannya dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002

tentang Penyiaran.

4. Bersifat konkret, individual, final

Konkret artinya nyata lawan dari abstrak, artinya berwujud, tertentu atau

dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai rumah si-A, pemecatan si-B

sebagai PNS, dan lain-lain. Individual adalah tertuju kepada siapa keputusan

tersebut, bukan untuk umum. Artinya jelas dalam keputusan tersebut nama dan

alamat yang dituju. Sedangkan final adalah terakhir, artinya keputusan tersebut

sudah tidak memerlukan lagi persetujuan dari pihak lain. Keputusan tersebut

berarti telah menimbulkan akibat hukum.

5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Yang artinya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi seseorang atau

badan hukum perdata.

Page 22: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Akibat hukum dari keputusan tersebut biasanya menimbulkan kerugian

sehingga seseorang atau Badan hukum perdata tersebut mengajukan gugatan

untuk mendapatkan hak dan kewajiban yang hilang karena dikeluarkannya

keputusan tersebut.

Unsur-unsur KTUN sebagi mana tercantum dalam Pasal 1 angka 3

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 ternyata belum tuntas, ternyata terdapat

pengecualian berupa pengurangan untuk hal-hal yang tercantum dalam Pasal 2

dan pengecualian yang berupa tambahan pada hal-hal yang tercantum dalam Pasal

3.

Menurut Pasal 229, yang tidak termasuk dalam pengertian keputusan Tata

Usaha Negara menurut undang-undang ini:

a. Keputusaan Tata Usaha Negara yang merupakan

perbuatan hukum perdata;

b. Keputusan Tata Usaha Negara merupakan pengaturan

yang bersifat umum;

c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan

persetujuan;

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan

berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan

perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

e. Keputusan TUN yang dikeluarkan atas dasar hasil

pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

f. Keputusan TUN mengenai tata usaha negara Tentara

Nasional Indonesia;

g. Keputusan KPU baik di pusat maupun di daerah,

mengenai hasil pemilihan umum.

29 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 9 Tahun 2004, LN No. 35 Tahun 2004, TLN No. 4380.

Page 23: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 330 yang merupakan pengecualian yang berupa tambahan, mengatur

sebagai berikut:

(1) Jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak

mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya,

maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara

(2) Jika suatu Badan atau Pejabata TUN tdk

mengeluarkan keputusan yg dimohon, sedangkan jangka waktu

sebagai mana ditentukan dlm peraturan perundang-undangan

dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat TUN tersebut

dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan peundang-undangan yang

bersangkutan rtidak menentukan jangka waktu sebagai mana

dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu empat

bulan sejak diterimanya permohobnan, Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan kepurtusan

penolakan.

Isi ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986, dapat ditarik pengertian bahwa yang tercantum dalam Pasal

2 sebenarnya merupakan suatu KTUN, akan tetapi menurut sifatnya oleh undang-

undang ini dianggap bukan sebagai KTUN, sedangkan hal-hal yang tercantum

dalam Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 sebenarnya bukan merupakan KTUN,

tetapi menurut sifatnya oleh Undang-undang ini dianggap sebagai KTUN.

Demikian juga yang ditentukan dalam Pasal 49 UU PTUN bahwa

pengadilan TUN tidak berwenang memeriksa dan memutus keputusan-keputusan

TUN yang dikeluarkan:

a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan

bencana alam, atau dalam keadaan luar biasa yang membahayakan,

berdasarkan perundangan yang berlaku;

30 Indonesia, Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 5 Tahun 1986, LN No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344.

Page 24: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum

berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

c. Apakah kasus di atas dapat menjadi objek

sengketa dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara?

Setelah kita memahami teori di atas, maka kita dapat menganalisis sanksi

administrasi KPI yang ditujukan kepada RCTI mengenai program “Kuis

Kebangsaan”.

1. Dari segi penetapan tertulis

Syarat tertulis, yang merupakan syarat yang harus dipenuhi agar keputusan

tersebut dapat dijadikan obyek sengketa di PTUN terpenuhi karna sanksi

administrasi yang dikeluarkan oleh KPI merupakan sanksi tertulis ini sesuai

dengan Pasal 55 ayat 2 yang menyatakan Sanksi administratif yang dikeluarkan

oleh KPI berupa teguran tertulis.

2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Unsur Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat

yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-

undangan. Karna berdasarkan Pasal 7 ayat 2 KPI adalah lembaga negara yang

bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran.

3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

Keputusan KPI adalah merupakan tindakan hukum Tata Usaha Negara

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan karna dalam memutus KPI

dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

4. Bersifat konkret, individual, final

Keputusan KPI merupakan keputusan yang konkret, individual dan final

karena jelas sanksinya ditujukan kepada siapa, seperti dalam kasus ini, keputusan

Page 25: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

KPI jelas ditujukan kepada stasiun televisi RCTI yang melanggar Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Keputusan KPI jelas menimbulkan akibat hukum bagi RCTI, yang

berakibat RCTI harus menghentikan program siaran “Kuis Kebangsaan” yang

melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang

Penyiaran.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari segi teori Hukum Acara Tata Usaha Negara, surat keputusan KPI

Pusat mengenai sanksi administratif penghentian sementara pada program siaran

"Kuis Kebangsaan" yang ditayangkan di RCTI ini termasuk objek sengketa dalam

kasus sengketa Tata Usaha Negara karena keputusan KPI Pusat ini merupakan

penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Page 26: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final,

yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

B. Saran

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menjadi

dasar hukum KPI ini sedang digodok DPR untuk direvisi. Revisi Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sedang digodok DPR seharusnya

menegaskan peran fungsi dan kewenangan KPI. Secara holistik seharusnya UU

Penyiaran yang baru menyatakan secara tegas bahwa lembaga yang mengatur

penyiaran adalah Komisi Penyiaran Indonesia.

Saat ini KPI dibuat seolah-olah tidak memiliki kewenangan membuat

peraturan pelaksana Undang-undang Penyiaran. Kemudian KPI juga dibuat

seolah-olah hanya memiliki kewenangan di bidang isi siaran.

Seperti dalam kasus ini, di mana keputusan KPI memberhentikan

sementara siaran “Kuis Kebangsaan” di RCTI. KPI dapat diajukan ke Pengadilan

Tata Usaha Negara (PTUN). Ini menjadi masalah, karena keputusan administratif

KPI bisa dibatalkan oleh PTUN. Akhirnya KPI hanya menjadi lembaga riset yang

memberikan kajian-kajian.

Padahal KPI diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002

tentang Penyiaran untuk menciptakan penyiaran yang sehat, tapi kewenangan

yang diberikan tidak jelas, akhirnya KPI jadi tidak bisa berbuat banyak.

Seharusnya bisa mengatur melarang dan memberi perintah. Dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sekarang ada ambiguitas

dalam memberi sanksi atau mengambil hak-hak yang seharusnya menjadi hak

publik. Seharusnya dalam revisi nanti, UU Penyiaran harus dijelaskan sebagai lex

specialis, karena jangan sampai prinsip-prinsip dalam UU Penyiaran tidak dapat

dilaksanakan dengan alasan bertentangan dengan UU yang lain.

Untuk itu, anggota legislatif ketika memberikan masukan untuk revisi UU

Penyiaran yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasioanal (Prolegnas) agar

revisi terbatas UU Penyiaran tidak mengubah landasan filosofi UU Penyiaran

Page 27: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

yang berlandaskan diversity of content dan diversity of ownership serta

menyerahkan urusan publik untuk diatur secara mandiri oleh publik sesuai konsep

negara modern dan semangat reformasi.

Revisi UU Penyiaran yang menjadi dasar hukum KPI harus didasari atas

kepentingan dan partisipasi publik seluas-luasnya karena penyiaran merupakan

ranah publik. Selain itu, KPI juga berharap revisi dilakukan dengan semangat

untuk memperbaiki demokratisasi penyiaran bebas dari pengaruh kepentingan

yang bersifat otoriter maupun liberalistik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Media Cetak

Achmad, Ali. Pintar Berbahasa. Yogyakarta: Erlangga. 2003.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Ed. Rev. Cet. 1.

Jakarta: Konstitusi Pers. 2005.

Page 28: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

_____, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Cet. 1. Jakarta:

Konstitusi Press. 2006.

_____, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi RI. 2006.

Heryanto, Gun Gun. “Regulasi Kampanye”. Kompas (8 Juni 2013).

Indra, Muhammad Ridhwan. Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara dan Hak

Menguji Menurut Undang-Undang Dasar 1945. Cet. 1. Jakarta: Sinar

Grafika. 1987.

Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Peradilan Tata Usaha

Negara. Cet. 6. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996.

_____. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha

Negara Buku II Beracara di PTUN. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1994.

Irwan. Sengketa Tata Usaha Negara. Makassar: Unhas Press. 2009.

Kansil, C. S. T. dan Christine S. T. Kansil. Hukum Tata Negara Republik

Indonesia 1. Ed. Rev. Cet. 3. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2000.

_____, C. S. T. dan Christine S. T. Kansil. Ilmu Negara (Umum dan Indonesia).

Cet. 2. Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2004.

Kusnaedi, Muhammad. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Liberty. 1995.

Page 29: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Lotulung, Paulus Effendi. Perbuatan-perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum

Publik, dalam P. J. J Sipayung (Editor), Pejabat Sebagai Calon Tergugat

Dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: CV. Sri Rahayu. 1989.

McChesney, Robert. Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap

Demokrasi. Diterjemahkan oleh Andi Achdian. Jakarta: Freedom Institute.

2003.

Muhtadi, Buhanuddin. Perang Bintang 2014. Jakarta: Noura Book. 2013.

Rogers, E. M. dan J. D. Storey. Handbook of Communication Science. Newbury

Park, CA: Sage. 1987.

Rosadi, Otong. Hukum Tata Negara Indonesia: Teori dan Praktek. Padang:

Fakultas Hukum Universitas Ekasati. 2004.

Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. Ed. 1.

Cet. 1. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. 1989.

Tjumano, Datuak Alat. “Konglomerasi Media Massa”. Kompas (8 September

2013).

Winardi. Buku Bahasa Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo. 2000.

Undang-Undang

Indonesia. Undang-Undang Tentang Penyiaran. UU No. 32 Tahun 2002. LN No.

147 Tahun 2003. TLN No. 4342.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 5

Tahun 1986. LN No. 77 Tahun 1986. TLN No. 3344.

Page 30: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 9 Tahun

2004. LN No. 35 Tahun 2004. TLN No. 4380.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 51

Tahun 2009. LN No. 160 Tahun 2009. TLN No. 5079.

Internet

Hermawan, Ilham Wayank. “Konsep Tentang Lembaga Negara Penunjang

(Komisi Negara)” http://ilhamendra.wordpress.com/2009/02/19/1konsep-

tentang-lembaga-negara-penunjang/. Diunduh 19 April 2014.

Ira. “Pengaturan Iklan Kampanye di Lembaga Penyiaran Untuk Mewujudkan

Keadilan” http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/31084-pengaturan-

iklan-kampanye-di-lembaga-penyiaran-untuk-wujudkan-keadilan.

Diunduh 16 April 2014.

N.N. “Periklanan dan Etika”

http://initugasku.wordpress.com/2010/03/03/%E2%80%9Cperiklanan-dan-

etika%E2%80%9D/. Diunduh 16 April 2014.

ST. “Penghentian Sementara “Kuis Kebangsaan” RCTI”

http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi/31890-penghentian-

sementara-program-siaran-kuis-kebangsaan-rcti. Diunduh 9 April 2014.

Wibiono, Bambang. “Peran Media Sebagai Alat Komunikasi Politik dalam

Kampanye Politik” http://w3b3.wordpress.com/2007/12/17/peran-media-

sebagai-alat-komunikasi-politik-dalam-kampanye-pemilu/. Diunduh 16

April 2014.

Page 31: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

LAMPIRAN

Penghentian Sementara Program Siaran "Kuis Kebangsaan" RCTI

Diterbitkan pada Kamis, 20 Februari 2014 22:00

Ditulis oleh ST

 

Tgl Surat 20 Februari 2014

No. Surat 310/K/KPI/02/14

Page 32: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Status Penghentian Sementara

Stasiun TV RCTI

Program Siaran “Kuis Kebangsaan"

Deskripsi

Pelanggaran

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat

berdasarkan kewenangan menurut Undang-

Undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran

(UU Penyiaran), pengaduan masyarakat,

pemantauan, dan hasil analisis telah

menemukan pelanggaran Pedoman Perilaku

Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3

dan SPS) KPI tahun 2012 pada Program

Siaran “Kuis Kebangsaan” (selanjutnya

disebut program kuis) yang ditayangkan oleh

stasiun RCTI pada 9 Februari 2014  mulai

pukul 16.51 WIB.

Pada program kuis tersebut menayangkan isi

siaran yang bersifat tidak netral dan

dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi

pemilik lembaga penyiaran dan/atau

kelompoknya,  dengan melibatkan Calon

Presiden dan Wakil Presiden yang telah

dideklarasikan oleh Partai Hanura, yaitu;

Wiranto dan Hary Tanoesodibjo (WIN-HT)

yang bertindak sebagai pemberi pertanyaan.

Pembawa acara dalam siaran tersebut

memulai kuis dengan cara menyatakan WIN-

HT dan pemirsa di rumah yang menelpon

wajib untuk menyebutkan password: Bersih,

Page 33: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Peduli, Tegas yang merupakan tagline

kampanye dari pasangan WIN-HT. Selain

pada tanggal tersebut, KPI juga menemukan

program yang  sama yang ditayangkan hampir

setiap hari, dengan melibatkan Calon

Legislatif dari Partai Hanura.

KPI Pusat memutuskan bahwa tindakan

penayangan tersebut telah melanggar P3 Pasal

11 dan SPS Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) serta

Pasal 71 ayat (3). 

Program kuis ini telah diberikan sanksi

administrasi teguran tertulis sebanyak 2 (dua)

kali, melalui Surat Keputusan KPI Pusat

Tentang Teguran Tertulis Pertama No.

872c/K/KPI/12/13 tertanggal 5 Desember

2013 dan Surat Keputusan KPI Pusat Tentang

Sanksi Administratif Teguran Kedua No.

103/K/KPI/01/14 tanggal 24 Januari 2014.

Kami juga telah melaksanakan tahap

klarifikasi kepada Saudara pada tanggal 13

Februari 2014 di Kantor KPI Pusat.

 

Berdasarkan pelanggaran-pelanggaran yang

telah dilakukan program kuis, sesuai dengan

ketentuan Pasal 79 ayat (3) Standar Program

Siaran dan hasil Rapat Pleno Komisioner KPI

Pusat tentang pemutusan sanksi administratif

program pada tanggal 17 Februari 2014, KPI

Pusat memutuskan:

Page 34: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

1.    Menjatuhkan Sanksi Administratif

Penghentian Sementara untuk Program Siaran

Kuis Kebangsaan sejak tanggal 21 Februari

2014 sampai dengan dilakukan perubahan

pada program kuis tersebut;

2.    Upaya perubahan program kuis

sebagaimana dimaksud pada butir (1)

dilakukan dengan cara menghilangkan seluruh

materi siaran yang bersifat tidak netral dan

dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi

pemilik lembaga penyiaran dan/atau

kelompoknya dengan menghilangkan

penyebutan WIN-HT, tagline kampanye 

WIN-HT: Bersih, Peduli, Tegas, dan tidak

melibatkan pemilik lembaga penyiaran atau

kelompoknya, dalam hal ini calon anggota

legislatif Partai Hanura, sebagai pembaca

kuis; dan

3.    Meminta kepada Saudara untuk

melaporkan upaya perubahan sebagaimana

dimaksud pada butir (2) kepada KPI Pusat,

bila ingin segera menayangkan kembali

program kuis tersebut.   

Kami meminta kepada Saudara agar

menjadikan P3 dan SPS KPI tahun 2012

sebagai acuan utama dalam penayangan

sebuah program siaran.

Page 35: Tugas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Demikian agar surat sanksi administratif

penghentian sementara ini diperhatikan dan

dipatuhi. Terima kasih.

Sumber: http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi/31890-penghentian-

sementara-program-siaran-kuis-kebangsaan-rcti, diunduh 9 April 2014.