makalah php peradilan administrasi pajak

31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya Negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut. Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal. Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa dibidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, 1

Upload: hanifah-atsariyana

Post on 14-Nov-2015

171 views

Category:

Documents


31 download

DESCRIPTION

Peradilan Administrasi Pajak. Makalah. Pengantar Hukum Pajak. Perpajakan Indonesia. TAX.

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya Negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal.Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa dibidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002) memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolaholah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 4 Tahun 2004).B. Rumusan Masalah1. Apa yang dimaksud dengan peradilan administrasi pajak?2. Apa yang dimaksud dengan Pengadilan Pajak?3. Bagaimanakah kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan?

C. Tujuan1. Untuk mengetahui tentang peradilan administrasi pajak.2. Untuk mengetahui tentang Pengadilan Pajak.3. Untuk mengetahui kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian UmumPeradilan administrasi pajak adalah upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam rangka mencari keadilan terhadap surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh: Direktur Jenderal Pajak, untuk pajak-pajak pusat, antara lain:-SKPKB;-SKPKBT;-SKPLB;-SKPN;-Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga. Kepala Daerah, untuk pajak-pajak daerah, antara lain:-Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD);-SKPDKB;-SKPDKBT;-SKPDLB;-SKPN;-Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.

Peradilan administrasi pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:1. Peradilan Administrasi Tidak MurniPeradilan administrasi ini disebut tidak murni karena dalam peradilan ini hanya melibatkan dua pihak, yaitu pihak Wajib Pajak dan fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga yang independen. Fiskus sebagai pihak yang bersengketa sekaligus menjadi pihak yang mengambil keputusan dalam persilisihan pajak yang bersangkutan.Contoh peradilan administrasi tidak murni dapat dilihat dalam pengajuan keberatan yang diatur dalam Pasal 25 dan 26 Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 28 tahun 2007.Wajib Pajak mengajukan keberatan (doleansi) karena adanya perselisihan mengenai besarnya jumlah utang pajak, oleh karena itu, ada dua hal yang harus diperhatikan:a.Terhadap surat keberatan yang masuk harus diambil keputusan.b.Pihak yang mengambil keputusan adalah aparatur pajak (Dirjen Pajak, Kakanwil Pajak, Kepala KPP) yang disebut sebagai hakim doleansi.

2.Peradilan Administrasi MurniPeradilan administrasi murni adalah peradilan yang di dalamnya terdiri dari tiga pihak yakni pihak yang bersengketa dan badan hukum atau pejabat yang mengadili. Pihak yang bersengketa yakni Wajib Pajak dan Fiskus. Sedangkan Badan atau pejabat yang mengadili yaitu Hakim atau Majelis Hakim, yang merupakan Badan atau pejabat tertentu dan terpisah. Arti tertentu disini adalah suatu Badan atau pejabat telah ditentukan oleh UU atau oleh peraturan. Sedangkan terpisah memiliki arti bahwa suatu badan atau pejabat yang melaksanakan peradilan bukan merupakan bagian dari salah satu pihak. Hakim atau Majelis Hakim adalah pihak yang akan memutuskan sengketa tersebut.Dalam sistem perundang-undangan perpajakan, ada beberapa bentuk peradilan administrasi, yaitu:1.Pengajuan Surat Keberatan;2.Pengajuan Banding ke Pengadilan Pajak;3.Gugatan;4.Peninjauan Kembali.Diatur dalam pasal 27 Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 28 tahun 2007, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.B. Pengadilan PajakPengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul di bidang perpajakan antara Wajib Pajak dengan Fiskus sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yanng dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak.

C. Kedudukan Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 ini mengundang banyak perhatian. Ahli hukum menilai keberadaan pengadilan pajak bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman karena tidak termasuk dalam empat peradilan Indonesia, yakni pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan militer dan pengadilan tata usaha negara (PTUN). Bahkan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 24 ayat (2) amandemen ketiga yang menyatakan Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Sedangkan pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 menyatakan, Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Hal-hal tersebut mencerminkan adanya pengaruh kuat dari Kementerian Keuangan terhadap pembentukan UU Pengadilan Pajak, akibatnya terjadi ketidakjelasan kedudukan pengadilan pajak dalam struktur kekuasaan kehakiman sehingga akan berpengaruh negatif dalam proses penyelesaian sengketa pajak. Saat ini, Pengadilan Pajak tidak terintegrasi di bawah Mahkamah Agung (MA). Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan UU Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan pengadilan satu atap, semua di bawah MA. Kekuasaan MA hanya dibatasi menyangkut pembinaan teknis peradilan (pasal 5 ayat 1 UU Pengadilan Pajak) sedangkan urusan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan serta pembiayaan Pengadilan Pajak masih berada di bawah Kementerian Keuangan (pasal 5 ayat 2). Keadaan ini diduga menjadi salah satu sebab yang menghambat independensi para hakim untuk dapat memutuskan sengketa pajak dengan adil. Mahkamah Agung sendiri gamang dalam melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasannya. Pengadilan Pajak hanya merupakan subsistem dari sistem hukum pajak, tidak merupakan subsistem dari sistem kekuasan kehakiman. Oleh karena itu, kedudukan Pengadilan Pajak berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tidak sesuai atau tidak diletakkan dalam sistem peradilan yang berlaku di Indonesia. Maka untuk mewujudkan Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan sesungguhnya, yaitu sebagai badan peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman, dapat dilakukan dengan menempatkan atau meletakkan Pengadilan Pajak menjadi salah satu lingkungan peradilan tersendiri. Dan yang paling penting adalah, apabila Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus memang telah diletakkan atau ditempatkan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, maka Pengadilan Pajak harus tunduk pada jenjang pengawasan secara teknis yuridis, dalam bentuk upaya hukum biasa baik banding maupun kasasi. Secara organisasi, administrasi, dan finansial, Pengadilan Pajak juga harus berada dalam pengawasan berjenjang dari pengadilan yang lebih tinggi di bawah Mahkamah Agung, yaitu PTUN dan PTTUN.

D. Sengketa Pajak Upaya mencari keadilan dengan peradilan administrasi pajak timbul karena adanya sengketa pajak antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak. Sengketa pajak ini dijadikan sebagai dasar-dasar umum di dalam pengajuan ke Peradilan Administrasi Pajak. Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. (Pasal 1 angka 5 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak). Sengketa Pajak timbul dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak atau diterbitkannya surat tindakan penagihan pajak. Penerbitan SKPKB seringkali menimbulkan sengketa, Namun penerbitan SKPLB dan SKPN pun juga dapat menimbulkan sengketa jika fiskus menerbitkan SKPLB dengan nilai lebih kecil dari nilai SKPLB yang diharapkan Wajib Pajak. Penerbitan SKPN juga demikian apabila menurut perhitungan Wajib Pajak seharusnya diterbitkan SKPLB. Selain itu sengketa pajak juga bisa timbul karena adanya pemotongan atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa pajak yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah: 1. Keberatan Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa wajib pajak (WP) merasa kurang puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan pihak ketiga. Dalam hal ini WP dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak melalui KPP dimana Wajib Pajak tersebut terdaftar. Upaya hukum keberatan dilakukan masih berada dalam lingkungan lembaga yang sama yaitu Direktorat Jenderal Pajak. Peradilan administrasi seperti ini lazim disebut quasi peradilan/peradilan doleansi (peradilan administrasi tidak murni), di mana: a.Tidak ada sidang peradilan; b.Tidak ada panitera sidang; c.Tidak ada saksi maupun saksi ahli; d.Tidak mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa; e.Tidak ada pembacaan keputusan; dan f.Keputusan dibuat oeh Pejabat yang menerbitkan surat ketetapan.

Ketentuan mengenai keberatan diatur dalam Pasal 25 UU KUP dengan peraturan pelaksanaannya pada Peraturan Menteri Keuangan No.194/PMK.03/2007. Pasal 25 UU KUP No. 28 Tahun 2007 secara lengkap berbunyi sebagai berikut: Ayat (1):Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu: a.Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; b.Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c.Surat Ketetapan Pajak Nihil; d.Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; ataue.Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Ayat (2):Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.Ayat (3):Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.Ayat (3a):Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.Ayat (4):Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.Ayat (5):Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.Ayat (6):Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.Ayat (7):Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.Ayat (8):Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).Ayat (9):Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.Ayat (10):Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan.

Pihak yang mengajukan keberatan adalah: a.Bagi WP Badan oleh Pengurus b.Bagi WP orang pribadi oleh WP yang bersangkutan c.Pihak yang dipotong/dipungut oleh pihak ketiga d.Kuasa yang ditunjuk oleh mereka di atas dengan surat kuasa khusus pengajuan keberatan.

Syaratsyarat mengajukan keberatan:a.Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia; b.Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan; c.1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan Pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak. d.Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan; e.Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan wajib Pajak (force majeur);dan f.Surat keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.

Dalam hal surat keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf f, Wajib Pajak dapat menyampaikan perbaikan surat keberatan dengan melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terlampaui. Dalam hal WP menyampaikan perbaikan surat keberatan, tanggal penyampaian perbaikan surat keberatan merupakan tanggal surat keberatan diterima.

Pengajuan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas, maka bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan. Jangka waktu pengajuan keberatan: a.Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. b.Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. c.Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos (harus dengan pos tercatat), maka jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Keputusan KeberatanDirektur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, keberatan yang diajukan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib Pajak. Apabila Dirjen Pajak mengeluarkan keputusan menolak keberatan Wajib Pajak, maka pilihannya hanya ada dua, yaitu Wajib Pajak harustetap melunasi utang pajak sebesar yang tercantum dalam keputusan keberatan atau Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. 2. Banding Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Landasan hukum upaya banding adalah berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan Pasal 27 Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 28 tahun 2007. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi WP atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Tugas Pengadilan adalah memutuskan Sengketa pajak. Menurut Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 28 tahun 2007, putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara. Artinya, tidak dimungkinkan lagi Wajb Pajak mengajukan gugatan atas keputusan keberatan maupun Pengadilan Pajak ke PTUN. Meskipun demikian, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.Pasal 27 Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 28 tahun 2007 secara lengkap berbunyi sebagai berikut:Ayat (1):Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).Ayat (2):Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.Ayat (3):Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.Ayat (4):Dihapus.Ayat (4a):Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis halhal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.Ayat (5):Dihapus.Ayat (5a):Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Ayat (5b):Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).Ayat (5c):Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan. Ayat (5d):Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.Ayat (6):Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang. 3. Gugatan Gugatan adalah upaya hukum Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 23 ayat (2) UU KUP menyatakan bahwa Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap: a.pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; b.keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; c.keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau d.penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.

Syarat pengajuan Gugatan: a.Gugatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kapada Pengadilan Pajak. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksana penagihan pajak adalah 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan. b.Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan selain gugatan adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya keputusan yang digugat. c.Jangka waktu sebagaimana dimaksud diatas tidak mengikat. Apabila jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat, maka dapat dimohonkan perpanjangan jangka waktu. d.Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas adalah 14 hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat. e.Terhadap saatu pelaksanaan penagihan atau satu keputusan diajukan satu surat gugatan.

Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampirkan salinan dokumen yang digugat. Apabila selama proses gugatan, penggugat meninggal dunia, gugatan dapat diajukan oleh ahli warisnya, pengampunya dalam hal pemohon banding pailit. Apabila selama proses gugatan, pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/ pemekaran usaha, atau likuidasi, pemohon dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertangungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi yang dimaksud. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan.

Pemeriksaan dan Pembuktian dalam Persidangan a. Pemeriksaan Proses pemeriksaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Pemeriksaan dengan acara biasa a) Dilakukan oleh majelisb) Sebelum pemeriksaan dilakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan dan atau kejelasan banding/gugatanc) Banding/gugatan tidak lengkap/tidak jelas sepanjang bukan persyaratan, kelengkapan dan atau kejelasan dapat diberikan dalam persidangan d) Biaya untuk kedatangan saksi ke persidangan yang diminta pihak bersangkutan dibebankan ke pihak yang meminta 2) Pemeriksaan dengan acara cepat. a) Dilakukan oleh majelis/hakim tunggal b) Dilakukan terhadap: Sengketa pajak tertentu Gugatan tidak putus dalam jangka waktu 6 bulan sejak gugatan diterima Tidak dipenuhinya salah satu dalam putusan pengadilan pajak atau kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung Sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang pengadilan pajak

b. Pembuktian Alat bukti yang diperlukan dalam persidangan, terdiri dari: surat/tulisan keterangan ahli keterangan para saksi pengakuan para pihak pengetahuan hakim 4. Peninjauan Kembali (PK) Peninjauan kembali ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum luar biasa setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atau ada hal lain yang ditentukan undang-undang. Ketentuan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak menyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan lima alasan, yaitu: a.Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; b.Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan keputusan yang berbeda; c.Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputuskan berdasarkan Pasal 80 ayat 1 huruf b dan c; d.Apabila mengetahui suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; e.Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud di atas huruf a dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan terhitung sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan pada jangka waktu paling lambat 3 bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. Pengajuan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud di pada huruf c, d, dan e dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan terhitung sejak putusan dikirim. Mahkamah Agung memeriksa dan memutuskan permohonan peninjauan kembali dengan ketentuan: a.Dalam jangka 6 bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh MA telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa. b.Dalam jangka waktu 1 bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh MA telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Apabila di tempat tinggal atau tempat kedudukan pemohon belum ada Pengadilan Pajak, permohonan diajukan ke PTUN. Apabila PTUN juga belum ada, maka dapat diajukan ke Pengadilan Negeri. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpuanDari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.a. Dasar hukum bidang perpajakan Indonesia yang utama adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Sedangkan dasar hukum pembentukan dan pelaksanaan Pengadilan Pajak adalah UndangUndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002).b. Pengadilan Pajak memiliki kedudukan sebagai pengadilan khusus yang ditempatkan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.c. Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan.B. SaranDari penjelasan di atas, semoga Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak terdapat kekurangan. Kami selaku penulis makalah meminta maaf serta mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun demi terciptanya sebuah makalah yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

---. Penggolongan Pajak dan Sistem Pemungutan Pajak. http://kabarpajak.blogspot.com/, diakses pada Kamis, 30 Oktober 2014, pukul 18.37 WIB.Bagus, I Gede. Penggolongan dan Jenis Pajak. http://kuliahpajakub.blogspot.com/, diakses pada Kamis, 30 Oktober 2014, pukul 18.45 WIBBrotodihardjo, Santoso. 2004. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika AditamaEdhi, Djaka Saranita S. 2003. Dasar Dasar Perpajakan di Indonesia. Jakarta : BPPK"http://elfriza.blogspot.com/2013/10/pengertian-peradilan-administrasi-pajak.html""https://thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/peradilan-pajak/"http://nurmakrufah.blogspot.com/2013/03/pengadilan-administrsi-pajak-dan.htmlMardiasmo. 2011. Perpajakan. Yogyakarta: CV. Andi OffsetNainngolan, Pahala. 2004. Perpajakan untuk Yayasan dan Lembaga Nirlaba Sejenis. Jakarta: CV. Teruna GraficaZulvina, Susi. 2011. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta.

1