hudmagz. majalah perumahan, infrastruktur, perkotaan. edisi 3 tahun 2013. 1.000 tower 1.001 masalah

96
Edisi 3 - Maret 2013 1.000 Tower 1.001 Masalah Berbincang dengan Duo Jusuf Jusuf Kalla “Sedemikian pentingnya perumahan hingga pemerintah pun membuat Kementerian Perumahan Rakyat”. Yusuf Asy’ari “Program ini harus dilanjutkan”...

Upload: pustaka-virtual-tata-ruang-dan-pertanahan-pusvir-trp

Post on 21-Jan-2016

175 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

diterbitkan berkala oleh Yayasan Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan (LP P3I)/the HUD Institute

TRANSCRIPT

Page 1: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

Edisi 3 - Maret 2013

1.000 Tower 1.001 Masalah

6 Tahun Program 1.000 Tower

Berbincang dengan

Duo JusufJusuf Kalla “Sedemikian pentingnya perumahan hingga pemerintah pun membuat Kementerian Perumahan Rakyat”.

Yusuf Asy’ari “Program ini harus dilanjutkan”...

Page 2: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

2

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower5 April 2007 - 5 April 2013

Selamat Hari Otonomi Daerah XVII Tahun 2013

dengan tema “Dengan Otonomi Daerah Kita Tingkatkan

Kapasitas Pemerintahan Daerah untuk Percepatan Kesejahteraan Masyarakat”

SukseskanProgram 1.000 Tower

Page 3: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

3

dari

RedaksiSelamat bertemu kembali pembaca kami yang

setia. Sudah cukup lama HUDmagz tidak hadir di hadapan Anda. Semuanya bukan

tanpa maksud, tetapi kami membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan perubahan terhadap tampilan dan substansi dari majalah kita ini. Sekaligus juga kehadiran kami kali ini menunggu momen 6 tahun Program 1.000 Tower Rumah Susun yang diinisiasi oleh Jusuf Kalla ketika itu.

Ya, sudah 6 tahun sejak dilaksanakannya ground breaking program 1.000 Tower pada tahun 2007. Namun kemajuan program ini masih belum sebagaimana yang diharapkan. Data terkini menunjukkan hanya 78 Tower yang berhasil dibangun. Ada apa dengan program 1.000 Tower ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada edisi kali ini kami menyajikan tema “Program 1.000 Tower. 1.000 Tower 1.001 Masalah”. Tentunya dengan harapan kita semua dapat menyelami secara obyektif permasalahan seputar belum berhasilnya program 1.000 Tower ini. Secara tersirat, hambatan utama yang dihadapi adalah terkendalanya perijinan, tidak terwujudnya insentif seperti keringanan pajak, dan rumitnya urusan pertanahan.

Memahami akar masalah tentu akan bermakna ketika kita mendapat informasi dari tangan pertama baik sebagai penggagas, pelaksana, maupun pemerhati. Untuk itu, wawancara dengan Jusuf Kalla dan Yusuf Asy’ari (Menpera 2004-2009) sangat membantu membuka pemahaman kita akan latar belakang dan inisiatif awal yang dilakukan. Sementara wawancara dengan para pengembang semakin memperdalam pemahaman kita terhadap kendala dan hambatan di lapangan. Tulisan dari pemerhati pun memberi warna tersendiri.

Apapun, pada akhirnya program 1.000 Tower ini harus dilanjutkan. Angka backlog perumahan yang sedemikian besar membuat semua pihak seharusnya menyukseskan program ini. Kekurangan, kendala, dan hambatan mari kita pecahkan bersama dengan dilandasi semangat ingin membantu saudara kita yang belum beruntung bisa menempati rumah yang layak huni. Sudah saatnya kita bekerja cerdas, dan menggunakan hati nurani.

Semoga keberadaan HUDmagz kali ini dapat memberi inspirasi bagi kita semua untuk menyukseskan program 1.000 Tower. Semoga.

Selamat membaca.

Jabat erat,

Pemimpin Redaksi Oswar Mungkasa

Edisi 3-Maret 2013

Redaksi menerima kiriman naskah de­ngan panjang tulisan maksimal 1.600 kata, melalui [email protected], disertai data diri. Redaksi berhak melakukan perubahan naskah tanpa mengubah isi.

Dewan Pembina:Cosmas Batubara, Siswono Yudho Husodo,Akbar Tandjung, Theo Sambuaga, Erna Witoelar, Soenarno, M. Yusuf Asy’ari dan Suharso Manoarfa.

Dewan Penasehat:Djoko Kirmanto, Djan Faridz,Gamawan Fauzi dan Gembong Priyono

Pemimpin Umum/Usaha/Penanggung Jawab:Zulfi Syarif Koto.

Wakil Pemimpin Umum:F. Teguh Satria, Indra Utama, Martin Roestamy dan Endrawan Natawiria

Wakil Pemimpin Usaha:Endang Kawidjaja, Djaja Roeslim dan Reddy H.

Sekretaris Pemimpin Umum/Usaha:M. Amry

Pemimpin Redaksi:Oswar Mungkasa

Redaktur:Nursalim, Hadist GP.

Konsultan Hukum: Muhammad Joni

Artistik dan Koordinasi Produksi:Agus Sumarno

Manajer Iklan & Keuangan:Herawati.

Administrasi dan Umum:Eduardo H, Asep Deni Kusnadi, Yuliandi

Diterbitkan oleh:Yayasan LP P3I/The HUD Institute

Alamat Redaksi: Yayasan LP P3I/The HUD InstituteJln. Arya Putra No. 14ACiputat-Tangerang Selatan

Email: [email protected]@gmail.com

Page 4: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

4

Daftar Isi

Dari Redaksi ......................................................... 3Daftar Isi ............................................................... 4Sekapur Sirih......................................................... 5Laporan Utama n 6 Tahun Program 1.000 Tower. 1.000 Tower 1.001 Masalah ............... 6n Saling Silang Urusan 1.000 Tower ...................................................... 12n Berbincang dengan Jusuf Kalla. “Sedemikian pentingnya perumahan hingga pemerintah pun membuat Kementerian Perumahan Rakyat”. ........................................................... 13n Wawancara Jusuf Asy’ari “Program Ini Harus DIlanjutkan” .............................................................. 15n Bersinergi dengan Berbagai Pihak, Perumnas Hidupkan Kembali

Program 1.000 Tower ............... 19

n Pandangan Pemangku Kepentingan tentang Program 1.000 Tower ... 22n Kajian Teknis dan Teknologi Program 1.000 Tower ............................... 28

Laporan Khusus n Kota Pekanbaru: Menyongsong Era Metropolitan .............................. 36n Satu Jam Bersama Walikota Pekanbaru, H. Firdaus, S.T., M.T. “Tahun 2030, Kota Pekanbaru menjadi Kota Nomor Satu di Pulau Sumatera ....................................................................................... 38

n Wawancara Direktur Perkotaan dan Perdesaan Bappenas Ir. Hayu Parasati, MPS: “Kebijakan Pembangunan Perkotaan akan Siap Tahun ini” ..................................................................................... 42

Pendapatn Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Pencapaian dan Agenda ke Depan oleh Oswar Mungkasa ................. 44n Pembangunan Rumah Susun dan Rumah Menara: Solusi Masalah Apa? oleh Tjuk Kuswartojo ............................................ 50n Pemberdayaan Penghuni Rumah Susun sebagai Proses Pembelajaran Sosial oleh Drs. Nursalim Msi ........................... 53

n Menata Transportasi dan Tata Ruang Jakarta Bagian Kedua (Tamat) oleh Yayat Supriatna.................................................................................... 57n MRT Atasi Macet Jakarta? oleh Harun al-Rasyid Lubis ....................... 59n Jas Merah: Landasan Kebijakan Penyediaan Rumah untukRakyat(MBR)olehZulfiSyarifKoto.......................................... 62n Pagar: Tinjauan Sosio-Kriminologis oleh Adrianus Meliala.................. 64

Konsepn Sistem Pracetak Beton sebagai Sistem Konstruksi Hijau oleh Hari Nugraha Nurjaman, Hairul Sitepu dan HR Sidjaba ............ 67

n Inventarisasi Prinsip Green Building dalam Desain Rumah Susun oleh Wied W. Winaktoe........................................................................... 72Profiln Bapertarum PNS ......................................................................................... 75n Metamorfosa AP2ERSI ................................................................................ 77

Liputan n Bank BTN Memasuki Usia ke-63 ........................................................ 79n HUD Institute Rayakan Usianya yang Kedua ........................................ 79

n Puncak HUT REI ke-41Berkarya Membangun Negeri ....................... 81n 16th FIABCI Asia Pacific Regional Secretariat Summit. Pembangunan Perkotaan dan Perlindungan Warisan Budaya Seiring Sejalan .............................................................................................. 85n Aksi Masyarakat untuk Penyelamatan Sungai Ciliwung ....................... 87 n Rapat Kerja Daerah REI Batam.......................................... ....................... 88

Agenda .n Hari Air Dunia 2013 di Indonesia “Gotong Royong Peduli Air”......... 89n Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional. Mengenang Kembali Tragedi Leuwigajah.......................................... 90Serba Serbi n Mengapa Kita Sebaiknya Tidak Membangun Bangunan di Atas Sungai oleh Budi Prayitno ...................................................................................... 91

Ragam Infon Info Buku ......................... 92n Info Regulasi .................... 93n Info Situs .......................... 94

Edisi 3-Maret 2013

Page 5: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

Edisi 3 - Maret 2013

5

Sekapur Sirih

ejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, banyak agenda yang harus dilaksanakan. Selain penegasan dan pembaharuan terhadap materi-materi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Peru-mahan dan Permukiman, banyak hal baru yang juga tercantum dalam undang-undang yang baru ini. Di antaranya adalah tercantumnya

lingkungan hunian berimbang dalam pasal 34 sampai 37, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang dan SE Mendagri No. 648/3868/SJ, tanggal 3 Oktober 2011.Pada periode sebelumnya, lingkungan hunian berimbang diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Negara Perumahan Rakyat) Nomor 648-384 Tahun 1992, Nomor 739/KPTS/1992 dan Nomor 09/KPTS/ 1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian yang BerimbangPencantuman lingkungan hunian berimbang dalam undang-undang ini ditengarai merupakan upaya pemerintah untuk lebih mengefektifkan penerapan konsep hunian berimbang. Banyak hal yang menjadi penyebab sulitnya penerapan konsep hunian berimbang, sehingga upaya mengefektifkannya tidak dapat hanya pada tataran pembaharuan regulasi setingkat undang-undang maupun peraturan menteri. Tetapi lebih jauh lagi, peninjauan kembali terhadap konsep lingkungan hunian berimbang agar lebih membumi dan dapat diterapkan.Konsep hunian berimbang telah dikenal lama dalam ilmu perencanaan kota maupun sosiologi perkotaan, sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan sosiologis masyarakat. Ide dasarnya bahwa keberadaan beragam strata sosial dalam satu lingkungan hunian akan menjamin terciptanya kerukunan di antara berbagai strata yang ada. Tentunya juga akan menjamin tersedianya rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah.Selain itu, konsep hunian berimbang juga diterjemahkan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial pelaku usaha, sekaligus juga sebagai bentuk kemitraan pemerintah dan pelaku usaha (pengembang) dalam penyediaan perumahan umum/publik. Terkait dengan penguasaan tanah, hunian berimbang mendorong terjadinya dekomodifikasi tanah, yaitu mengemukanya fungsi sosial tanah yang terjamin melalui dis-tribusi dan struktur penguasaan tanah yang berkeadilan.Hunian berimbang didefinisikan sebagai perumahan dan kawasan pemukiman yang diba ngun secara berimbang dengan komposisi tertentu dalam bentuk rumah tunggal dan rumah de ret antara rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah atau dalam bentuk rumah susun antara rumah susun umum dan rumah susun komersial (Pasal 1 Permenpera Nomor 10/2012).Namun yang sepertinya kurang disadari bersama oleh kita semua bahwa tujuan hunian berim-bang tidak sekedar mengurangi backlog tetapi selain itu juga untuk (i) mewujudkan kerukunan antarberbagai golongan masyarakat dari berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial dalam perumahan, pemukiman, lingkungan hunian dan kawasan pemukiman; (ii) mewujud-kan subsidi silang untuk penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum serta pembiayaan pembangunan perumahan; (iii) menciptakan keserasian tempat bermukim baik secara sosial dan ekonomi (pasal 3 Permenpera Nomor 10/2012).Ide ini yang kurang banyak dipahami oleh berbagai pemangku kepentingan bahkan di kalangan pemerintah sendiri. Sebagai akibatnya, hunian berimbang hanya diartikan sekedar membangun 1 rumah mewah, 2 rumah menengah, dan 3 rumah sederhana. Konsep hunian berimbang banyak disalahpahami sebagai hanya sekedar mengurangi backlog, padahal filosofi utamanya adalah menjaga keserasian sosial dalam masyarakat melalui hidup berdampingan di antara beragam strata sosial dalam satu lingkungan hunian. Sebagai akibatnya, hunian berimbang dalam satu hamparan adalah suatu keniscayaan. Namun perlu juga disepakati luasan minimal yang dapat dikategorikan sebagai satu hamparan yang memenuhi standar kelayakan minimal terbentuknya suatu komunitas yang heterogen.Di atas semua itu, sebenarnya kita semua sudah sewajarnya melihat pembangunan perumahan bukan sekedar pembangunan fisik, tetapi juga merupakan bagian dari upaya pembangunan bangsa. Sehingga bukan sesuatu yang luar biasa ketika seluruh pemangku kepentingan melaksanakan konsep hunian berimbang bukan karena keterpaksaan akibat adanya ancaman sanksi. Tetapi lebih sebagai ‘sumbangan’ pe-mangku kepentingan bagi perkembangan keharmonisan bangsa kita tercinta ini.Pada akhirnya, keharmonisan sebuah komunitas dapat tercapai ketika konsep hunian berimbang dilaksanakan dengan benar. Keharmonisan komunitas membentuk keharmonisan kawasan, keharmonisan kawasan membentuk keharmonisan kota, keharmonisan kota membentuk keharmonisan wilayah, dan akhirnya keharmonisan wilayah berujung pada terbentuknya keharmonisan bangsa. Semoga (ZSK).

Hunian Berimbang Bukan Sekedar Pengurangan Angka BacklogZulfi Syarif KotoPemimpin Umum/Penanggung jawab

Page 6: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

6

Laporan Utama

Kronologis Program 1.000 Tower

Perkembangan perkotaan di Indonesia saat ini sangat signifikan, ditunjukkan dengan pertam­bahan penduduk yang sangat tinggi. Sebagai gambaran, berdasar Sensus Penduduk Indone­sia tahun 2010, penduduk Indonesia mencapai

237,6 juta jiwa dan tidak kurang dari 54% penduduk In­donesia bermukim di perkotaan. Jika dibandingkan kon­disi 30 tahun lalu, telah terjadi peningkatan lebih dari 2 kali lipat. Apabila kecenderungan pertumbuhan perkotaan ini terus berlangsung, diperkirakan pada periode akhir Program Jangka Panjang Nasional tahun 2025 sekitar 68% penduduk Indonesia bermukim di perkotaan.

Perkembangan perkotaan yang sedemikian pesat mem­bawa konsekuensi meningkatnya kebutuhan perumahan di perkotaan sementara ketersediaan lahan perumahan semakin berkurang. Kondisi ini mendorong penduduk yang tidak mampu untuk bertempat tinggal di sekitar lokasi kerja yang kemudian berkembang menjadi kawasan kumuh di perkotaan. Sementara penduduk yang relatif mampu memilih untuk bertempat tinggal di daerah ping­giran kota, dengan konsekuensi meningkatnya volume perjalanan dari dan ke daerah pinggiran kota. Inilah kemu­dian yang menimbulkan terjadinya fenomena kemacetan, meningkatnya polusi, dan seterusnya.

Salah satu jalan keluar dari kondisi ini adalah dengan menyediakan perumahan vertikal atau dikenal sebagai ru­mah susun (rusun) atau apartemen. Pembangunan rusun di pusat kota atau dekat dengan lokasi bekerja dan berakti­

fitas, dengan intensitas bangunan tinggi, diharapkan dapat mendorong pemanfaatan lahan dan penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) yang lebih efisien dan efektif.

Pemerintah menyadari hal ini sehingga berinisiatif untuk memasilitasi pembangunan rumah susun secara masif di perkotaan, yang kemudian dikenal dengan nama Program 1.000 Tower. Langkah ini diawali dengan ditan­datanganinya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pemba­ngunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan pada tang­gal 9 Desember 2006. Keppres ini dimaksudkan untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah bawah di perkotaan dengan mengedepankan efisiensi penggunaan tanah dan penataan permukiman serta mempercepat pembangun­an rumah susun yang layak, sehat dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan. Selain itu, Keppres No. 22 Tahun 2006 memiliki fungsi pengarah an, koordinasi, fasilitasi, pembinaan, pengaturan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan teknologi.

Setelah terbitnya Keppres Nomor 22 Tahun 2006, pada

Rumah susun diartikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal mau-pun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun)

Saat ini kita telah memasuki usia 6 tahun perjalanan program 1.000 Tower terhitung dari saat pelak­sanaan pemancangan pertama rusunami tanggal 5 April 2007. Tidak seperti harapan ketika awal pencanangan, program 1.000 Tower berjalan tersendat-sendat kalau tidak mau dikatakan mati suri. Hanya sekitar 70-an Tower yang berhasil terbangun. Untuk itu, laporan utama ini pada intinya akan mengantar kita memahami ‘apa yang sebenarnya terjadi’ dengan program 1.000 Tower ini.

6 Tahun Program 1.000 Tower

1.000 Tower 1.001 Masalahsumber foto: istimewa

Page 7: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

7

Edisi 3 - Maret 2013

Januari 2007 dilaksanakan Rapat Koordinasi Terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden be­serta anggota Kabinet Indonesia Bersatu dan Gubernur DKI Jakarta bertempat di Kantor Kementerian Negara Pe­rumahan Rakyat. Rapat tersebut membahas Strategi Per­cepatan Pembangunan Rusunami di Kawasan Perkotaan serta persiapan pemancangan proyek percontohan rumah susun sederhana milik (rusunami) di DKI Jakarta.

Presiden memberikan 4 (empat) arahan pada saat itu yaitu (i) pastikan dengan benar besaran harga jual, subsidi, kualitas yang baik, dan penggunaan yang tepat; (ii) segera matangkan rencana dan program pencanangan paling lambat awal Maret 2007; (iii) Menpera mengoordinasi­kan semua pemangku kepentingan; (iv) program Menpera harus ambisius (dalam pengertian yang baik) dan progresif, karena membangun rumah membuka lapangan kerja yang luas yang akan mengurangi pengangguran dan kesenjang­an sosial atau salah satu upaya pengentasan kemiskinan.

Akhirnya peresmian program terlaksana pada tanggal 5 April 2007 oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono di Pulo Gebang, Jakarta Timur, yang ditandai dengan peman­cangan pertama (ground breaking) Rusunami di Pulo Ge­bang, tepatnya di atas lahan milik Perum Perumnas yang dikerjasamakan dengan PT. Primaland Internusa Develop­ment. Secara bersamaan juga dilakukan pemancangan di lokasi­lokasi lain di Jakarta, yaitu lahan milik BPLIP­DKI di Pulo Gadung; lahan milik PT. Pintu Air Mas Group (PAM Group) di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Klender, Ja­karta Timur; lahan milik PT. Bina Kualita Teknik di Jalan Binamarga, Cipayung, Jakarta Timur; lahan milik PT Cawang Housing Development – Bahama Group, di Jalan SMA 14 Kelurahan Cawang, Jakarta Timur.

Peresmian ini sekaligus juga menandai pemancangan pertama pembangunan rusun 1.000 Tower di 9 kota lain­nya yaitu Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Batam, Padang, Palembang, Makassar, dan Banjarmasin. Sejum­

lah menteri tampak hadir mendampingi presiden, antara lain Menteri Negara (Meneg) Perumahan Rakyat M. Yusuf Asy’ari, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Menteri Koordinator (Menko) Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bak­rie, Menko Perekonomian Boediono, Gubernur DKI Ja­karta Sutiyoso, Meneg BUMN Sugiharto, dan sejumlah pejabat BUMN.

Pada acara pemancangan tersebut juga dilaksanakan penandatangan Nota Kesepahaman antara Menpera de­ngan Mendagri dan Mensos, serta Menpera dengan Me­neg BUMN dan Kepala BPN, tentang Penyelenggaraan Pembangunan Perumahan Sosial Sederhana di kawasan Perkotaan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan untuk Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Ka­wasan Perkotaan Bagi Masyarakat Menengah Bawah.

Sepanjang Juli hingga September 2007, dilakukan So­sialisasi dan Kunjungan Lapangan ke 10 Kota Metropoli­tan untuk menjaring informasi secara langsung tentang kesiap an Pemerintah Daerah dalam mendukung Pemba­ngunan 1.000 tower serta mendorong minat para pelaku berpartisipasi dalam program Pemerintah, serta mengiden­tifikasi bakal calon lokasi potensial.

Skenario Awal dan Pencapaian Program 1.000 Tower

Pada saat awal dicanangkannya program 1.000 Tower, direncanakan program ini sampai tahun 2011 akan di­laksanakan setidaknya di 10 kawasan perkotaan (seleng­kapnya pada peta berikut). Namun dalam perjalanannya, sampai Februari 2013, hanya terwujud pada beberapa lokasi saja yatu DKI Jakarta (67 Tower), Bodetabek (3), Bandung Raya (1), sehingga total yang telah serah terima kunci hanya 71 Tower. Sangat jauh dari target awal pen­canangannya.

Walaupun demikian, minat pengembang untuk mem­bangun masih cukup tinggi, terlihat dari pernyataan mi­nat dari pengembang untuk setidaknya membangun 654 Tower lagi. Dari jumlah tersebut, dalam tahapan topping off mencapai 30 Tower, pemancangan pertama dan dalam pembangunan sebanyak 30 Tower, sehingga dalam waktu

Rumah susun sederhana atau biasa disebut juga dengan nama aparte-men rakyat yang dimaksud adalah hunian vertikal yang dibangun di daerah perkotaan yang ditujukan bagi MBM sebagai sasaran utama, khususnya bagi mereka yang belum mampu memiliki hunian di ka-wasan perkotaan. Rumah susun sederhana dapat diperoleh melalui status milik maupun sewa (rusunami/wa). Apartemen rakyat ini meru-pakan rumah susun sederhana milik yang dibangun dengan dukungan berbagai subsidi dari Pemerintah, sehingga muncul kemudian istilah lainnya yaitu Apartemen Bersubsidi (subsidi bebas PPN, subsidi selisih bunga dan subsidi bantuan pinjaman uang muka) bagi calon konsumen sebagai bentuk kemudahan. Apartemen rakyat ini memiliki luas 21-36 m² (tipe studio dan tipe dengan dua kamar), dengan harga yang di-pasarkan mulai dari 99 juta-144juta.

sumber foto: istimewa

Page 8: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

8

No JUMLAH TOWER

Lokasi DKI Jakarta Bodetabek Bandung

Raya Surabaya Batam Makasar Balikpapan Jambi TOTAL

1 Peminatan 384 94 86 36 114 4 4 3 725

2 Serah Terima Kunci (STK) 67 3 1 - - - - - 71

3 Topping off (TO) 20 4 3 2 1 - - - 30

4Pelaksanaan pembangunan fisik (konstruksi) dan ground-breaking (KONS)

12 9 8 - - - 1 - 30

5 Perijinan dan penyusunan DED 165 52 49 28 30 1 - 3 328

TOTAL (STK+TO+KONS+DED) 264 68 61 30 31 1 1 3

Tabel Pencapaian Target Program 1.000 Tower per Tahun 2013

Sumber: Kemenpera, 2013

dekat akan bertambah lagi sebanyak 60 Tower. Menjadi­kan sampai akhir tahun 2013, setidaknya terselesaikan seba nyak 131 Tower. Sementara itu terdapat potensi tam­bahan setidaknya dalam setahun kedepan sebanyak 328 Tower, yang sampai saat ini masih dalam tahap pengajuan ijin dan penyusunan DED. Distribusi lokasi selengkapnya pada Tabel di atas.

Dari sisi regulasi, telah banyak yang dihasilkan. Un­dang­Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Undang­Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun telah berlaku, walaupun kemudian peraturan pemerintahnya belum terselesaikan. Selain itu, menindaklanjuti Keppres Nomor 22 Tahun 2006, telah juga dikeluarkan Keputusan Menko

Perekonomian Nomor KEP­07/M.EKON/03/2007 dan Nomor KEP­09/M.EKON/02/2008 tentang Tim Pelak­sana Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan, dan Keputusan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 15/KPTS/M/2007 dan Nomor 19/KPTS/M/2008 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Pem­bangunan Rumah Susun di Perkotaan, serta beberapa keputusan tingkat menteri lainnya.

Kementerian Keuangan kemudian melengkapi regulasi yang ada melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36 Tahun 2007, yang menetapkan batas maksimum harga jual rusunami yang mendapatkan fasilitas bebas PPN ada­lah Rp. 144 juta dengan luasan minimum 36 m2. Lalu kemudian melalui Permenpera Nomor 7 Tahun 2007

sumber: presentasi Zulfi Syarif Koto, 2012.

Rencana Alokasi Target Program Pembangunan Rusunami di Kawasan Perkotaan 2007­2011

Laporan Utama

Page 9: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

9

Edisi 3 - Maret 2013

ditetapkan skema penyaluran KPR sarusun bersubsidi dan bantuan uang muka bagi kelompok sasaran masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, khususnya MBR.

Regulasi terkait persyaratan teknis dan rekomendasi teknologi juga dirilis oleh Kementerian Pekerjaan Umum melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi. Pedoman ini melengkapi peraturan yang sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun. Kedua peraturan ini selain menetapkan persyaratan keandalan bangunan gedung ­ yang meliputi persyaratan keselamat­an, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan­ juga me­rekomendasikan beberapa hal yang dapat membuat desain bangunan menjadi ekonomis. Menariknya, pada bagian akhir peraturan ini disertakan contoh desain bangunan rusun tingkat tinggi yang memenuhi rekomendasi, serta estimasi biaya pembangunannya.

Sementara sebagai upaya mendorong pemerintah dae­rah memberikan insentif bagi pelaku pembangunan rumah susun, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Per­mendagri Nomor 74 Tahun 2007 tentang Pedoman Pem­berian Kemudahan Perijinan dan Insentif dalam rangka Percepatan Pembangunan Rusuna di Kawasan Perkotaan.

Tidak hanya di tingkat pusat, di daerah pun telah di­lahirkan beberapa regulasi pendukung. Ambil contoh, Pe­merintah Provinsi DKI Jakarta menindaklanjuti program ini dengan menerbitkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 136 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangun­an Rumah Susun tertanggal 4 Oktober 2007 dan Keputusan Gubernur Nomor 1.478 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Daerah Percepatan Pembangunan Rumah Susun tertanggal 25 Oktober 2007. Se­hingga kemudian mendorong terlaksana­nya pemancangan Rusuna/Apartemen Rakyat Tahap II di DKI Jakarta yang ter­laksana pada tanggal 14 Desember 2007 di lahan DP3K Kemayoran (3 Tower) oleh Gu­bernur DKI Jakarta bersamaan dengan peman­cangan pada 4 (empat) lokasi lainnya yaitu 5 Tower di Kebagusan (PT Perdana Gapuraprima Tbk), 10 Tower di Cengkareng (PT Reka Rumanda), 1 Tower di Kebun Jeruk (PT Anggana Development) dan 4 Tower di Cibubur (PT Rajawali Core Indonesia).

Walaupun belum berfungsi optimal, namun tercatat Tim Koordinasi Daerah (TKD) telah terbentuk di DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, kota Palembang, dan kota Makassar.

Isu dan Kendala Pelaksanaan Program 1.000 TowerSeiring perjalanan waktu, memasuki tahun 2008 pelak­

sanaan program ini mulai terkendala, yang kemudian kita kenali dengan jargon “1.000 Tower, 1.001 masalah”. Dampak kebijakan kenaikan BBM pada Mei 2008 mu­lai dirasakan para pengembang rusuna, terutama terkait de ngan naiknya harga material bangunan, sehingga isu penyesuaian harga jual rusunami mulai didengungkan. Bahkan sampai saat ini, upaya Kementerian Perumahan Rakyat untuk menaikkan patokan harga maksimum ru­mah susun bersubsidi masih belum mendapat tanggapan dari Kementerian Keuangan.

Pembangunan rumah susun di perkotaan mempunyai multi dampak terhadap perkembangan kota, baik berupa perubahan bangkitan lalulintas (volume kendaraan dari

dan ke tujuan tertentu), maupun perubahan gaya hidup masyarakat. Hal ini agaknya sedikit terlam­

bat disadari oleh pemerintah. Setelah program berlangsung beberapa lama, barulah kemudi­an mulai disadari perlunya melakukan pro­ses internalisasi program 1.000 Tower ini da­lam rencana tata ruang yang ada. Untuk itu, penyempurnaan rencana tata ruang meru­

pakan suatu keniscayaan agar pembangunan rumah susun tidak ‘menabrak’ aturan dalam

rencana tata ruang yang telah disahkan melalui perda masing­masing daerah. Proses penyesuaian ini

tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama, dan ber­dampak pada tertundanya pembangunan rusun.

Pembangunan rusun di perkotaan menghadapi dilema terkait ketersediaan lahan. Hal pertama yang dihadapi pe­merintah adalah paradoks lokasi, berupa kebutuhan akan lokasi yang dekat ke tempat kerja untuk mengurangi biaya transportasi, namun lokasi dimaksud sudah tidak terjang­kau harganya. Akibatnya, lokasi yang terpilih cenderung ‘jauh’ dari lokasi kerja. Akibatnya, keberadaan rumah susun

...di daerah pun telah dilahirkan

beberapa regulasi pendukung.

sumber foto: istimewa

Page 10: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

10

menimbulkan masalah baru bagi penghuninya, yaitu ma­halnya biaya transportasi ke tempat kerja.

Selain itu, lahan yang tersedia pun masih banyak yang belum terbebas dari ‘masalah’. Istilahnya belum ‘clear’ dan ‘clean’. Sebenarnya terdapat pilihan lain berupa pemanfaat­an tanah milik BUMN/BUMD, yang ternyata juga tidak mudah prosesnya. Bahkan ternyata lahan milik BUMN/BUMD banyak yang masih disewakan atau bahkan disero­bot pihak lain. Proses sertifikasi tanah pun tidak semudah dan semurah yang dibayangkan. Belum lagi tidak adanya pembedaan antara proses program 1.000 Tower dengan proses pembangunan apartemen mewah. Maka lengkap lah kesulitan yang dihadapi terkait ketersediaan lahan dan prosesnya.

Sepertinya memang program 1.000 Tower ini belum menjadi perhatian, khususnya bagi pemerintah daerah. Terlihat dari masih kurangnya insentif yang diberikan ke­pada pengembang. Hambatan yang masih banyak dikeluh­kan diantaranya lamanya proses perijinan, belum termasuk biaya proses perijinan yang cukup besar yang perlu dike­luarkan. Termasuk juga masih banyak daerah yang belum menyiapkan regulasi berupa perda tentang rumah susun. Dapat dikatakan bahwa keberpihakan terhadap program 1.000 Tower masih belum ada. Rumah susun sederhana (rusuna) masih dianggap sama dengan apartemen mewah.

Salah satu yang selalu menjadi pertanyaan dari pengem­bang adalah kepastian adanya insentif bagi mereka se­hingga pengembang tetap tertarik membangun rusun. Di­antara insentif yang dibutuhkan adalah keringanan Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB), penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) bagi tanah Negara (saat ini sedang direvisi PP Nomor 6 Tahun 2006), penetapan PPH Final 1%. Disamping, kemudahan proses Kredit Pemilikan Sarusun, penyediaan kredit konstruksi, keringanan biaya sambungan air, dan tarif listrik.

Ketiadaan insentif baik berupa subsidi, pembebasan pa­jak, penyediaan kredit konstruksi, sementara harga jual di­patok oleh pemerintah, mendorong pengembang melaku­kan berbagai cara memperoleh dana segar dari konsumen. Akibatnya, harga jual melonjak di atas ketentuan peme­

rintah, bahkan kemudian menjadi ceruk pasar tersendiri yang dikenal sebagai Apartemen Sederhana Milik (anami). Disamping itu, perubahan skema subsidi menjadi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) ditengarai tu­rut mendorong terhambatnya pembangunan rusun.

Sebagaimana yang sering terjadi dengan program pe­merintah, koordinasi masih menjadi hambatan besar. Sekedar contoh, terjadinya penyegelan beberapa kegiatan pembangunan rusun oleh pemerintah DKI Jakarta. Terli­hat tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Hal yang senada pun terjadi antara berbagai ins­titusi pemerintah pusat sendiri. Sebagai ilustrasi, banyak kegiatan penyediaan air minum, sanitasi, listrik yang dibia­yai APBN tidak bersinergi dengan kegiatan pembangunan rusun, sehingga upaya pengurangan biaya pembangunan rusun melalui penyediaan prasarana dan sarana tidak ter­capai. Akibatnya sebagian biaya terbebankan kepada kon­sumen. Sementara prasarana dan sarana yang dibangun oleh pengembang ternyata kualitasnya kurang memadai.

Permasalahan pembangunan rumah susun tidak hanya terfokus pada proses pembangunan fisiknya saja, tetapi juga mencakup paska pembangunannya. Termasuk pem­bentukan Persatuan Penghuni Rumah Susun (PPRS) yang masih menghadapi kendala dalam prosesnya. Terjadi ba­nyak kekisruhan dalam pembentukannya.

Perhatian terhadap aspek lingkungan masih perlu di­tingkatkan, terutama dengan belum tersedianya pedoman terkait aspek Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), dan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/Upaya Pe­mantauan Lingkungan (UPL).

Strategi Pembenahan Program 1.000 Tower

Langkah awal yang perlu dilakukan adalah menyiner­gikan program 1.000 Tower dengan program terkait baik

Laporan Utama

sumber foto: istimewa

sumber foto: istimewa

Page 11: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

11

Edisi 3 - Maret 2013

yang dibiayai APBN maupun APBD. Tentunya ini dapat dilakukan jika tersedia suatu ‘grand design’ program 1.000 Tower yang dilengkapi ‘road map’ yang dapat menjadi acu­an bagi semua pemangku kepentingan. Penyiapan ‘grand design’ dan ‘road map’ didahului dengan pemetaan kondisi kesiapan seluruh pemangku kepentingan, disertai keleng­kapan yang dibutuhkan baik kebijakan, regulasi, pedoman, insentif, dan lainnya.

Masih kurangnya perhatian pemerintah daerah ter­hadap program 1.000 Tower, disikapi dengan mengada­kan sosialisasi dan advokasi secara berkala dan berkesi­nambungan. Kegiatan ini juga sekaligus bagian dari upaya memasyarakatkan ‘grand design’, ‘road map’, dan infor­masi terkait program 1.000 Tower sehingga pemahaman pengambil keputusan di tingkat daerah menjadi lebih baik, dan berujung pada pemihakan pada program 1.000 Tower.

Untuk mempermudah pelaksanaan program 1.000 Tower, dibutuhkan suatu forum komunikasi diantara pe­mangku kepentingan yang dapat menjadi ajang penyele­saian masalah. Forum dapat dijadwalkan bertemu secara berkala atau sesuai kebutuhan. Forum ini sekaligus men­jadi ajang pertemuan Tim Koordinasi Pusat, Tim Koor­dinasi Daerah, pengembang, perbankan, dan masyarakat. Forum ini akan sangat membantu pelaksanaan tugas dari Badan Pelaksana Penyelenggaraan Rumah Susun yang akan dibentuk sesuai mandat Undang­Undang Nomor 20 Tahun 2011.

Pembangunan rusunami membutuhkan kerjasama an tara pihak pemerintah dengan swasta. Untuk itu, sudah seharusnya dikem­bangkan pola­pola insentif yang menarik bagi pihak swasta untuk bisa terlibat, salah satunya insentif dalam hal perpajakan. Beberapa bentuk insentif yang diinginkan oleh pihak swasta antara lain pembebasan Pajak Pertamba­han Nilai (PPN), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Ban­gunan (BPHTB), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Selain itu insentif juga harus diberikan pemerintah dalam bentuk kemudahan perizinan (cepat, mudah, dan mu­rah).

Hal yang terkadang terlupakan adalah kepentingan para penghuni rusun. Prinsip dasar yang perlu dipertahankan adalah menjaga agar kepentingan penghuni rusun yang nota bene berasal dari kelompok MBR dapat terakomo­dasi, seperti minimalisasi jarak ke tempat kerja, kemam­puan membayar, dan lainnya. Untuk itu, beberapa hal yang harus dianalisis terlebih dahulu, yaitu: (i) kemauan

dan kesiapan masyarakat kelompok sasaran untuk tinggal di rumah susun; (ii) tingkat kemampuan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran; dan (iii). mekanisme insentif yang dapat diberikan untuk meningkatkan akses kelom­pok sasaran terhadap rusunami.

Diperlukan penyempurnaan regulasi yang dapat mem­percepat pencapaian tujuan program 1.000 Tower, ter­masuk peraturan pemerintah amanat Undang­Undang Nomor 20 Tahun 2011. Penyempurnaan dapat dimulai dari penetap an harga rusun yang lebih optimal mem­pertimbangkan kepentingan kelompok MBR/M dan pengembang. Selanjutnya, dukungan Pemerintah untuk memberikan kepastian hukum jangka panjang atas tanah untuk penghuni/pemilik sarusunami. Disamping itu, perlu segera dipersiapkan RPP tentang Konsolidasi Tanah untuk mendo rong peremajaan kawasan kumuh perkotaan (saat ini baru berupa Keputusan Kepala BPN tentang Konsoli­dasi Tanah Perkotaan). Diikuti dengan Revisi Perpres No­mor 65 Tahun 2006 tentang perubahan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangun­an bagi Kepentingan Umum, dengan memasukkan pem­bangunan Rusuna sebagai Kepentingan Umum serta revisi PP Nomor 80 Tahun 1999 tentang KASIBA dan LISIBA BS sebagai dasar pembentukan bank tanah.

Ketersediaan lahan yang terkendala, disikapi dengan melakukan upaya pe­

manfaatan tanah terlantar khusus­nya tanah negara/BUMN/BUMD melalui revisi pera­turan perundangan terkait per­tanahan, terutama untuk pem­berian kemudahan mengakses, membangun dan memiliki

tanah dengan status yang mem­berikan kepastian hukum kepada

masyarakat menengah ke bawah. Program 1.000 Tower diharapkan

berkelanjutan, se hingga dibutuhkan pembinaan dan pem­berdayaan Persatuan Penghuni Rumah Susun (PPRS) oleh pemerintah/pemerintah daerah. Perhatian khusus perlu diberikan kepada rusunami campuran. Untuk itu, pembi­naan dan pemberdayaan institusi pemerintah daerah yang terkait menjadi suatu keniscayaan.

Tentunya program 1.000 Tower akan tetap terkendala oleh 1.001 masalah ketika pemerintah, pemerintah daerah, pengembang, perbankan, masyarakat dan seluruh pemang­ku kepentingan belum saling bersinergi. Kunci utama ke­berhasilan dari program 1.000 Tower adalah kesamaan visi menyediakan perumahan bagi saudara kita yang masih be­lum beruntung dapat menghuni rumah yang layak. Tidak ada pilihan lain (om, fnd, aan, dari berbagai sumber).

Pembangunan rusunami membu-tuhkan kerjasama an tara pihak pe-merintah dengan

swasta.

sumber foto: istimewa

Page 12: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

12

Pembangunan Rusunami, yang kini bernama Rumah Susun Sejahtera, mati suri. Karena boleh dikatakan sudah tidak ada lagi pengembang yang menjual produk apartemen sederhana

dengan harga patokan maksimal Rp 144 juta, khususnya di Jakarta.Deputi Bidang Perumahan Formal Kemenpera Pangihutan Mar-

paung mengakui banyak sekali hambatan program rusunami di lapangan yang dikeluhkan pengembang sebagai pelaku, khususnya di DKI Jakarta. Ia menjelaskan ada beberapa hal yang membuat tar-get pembangungan 1.000 menara terhambat. Diantaranya insentif pembebasan pajak pertambahan nilai dari Kementerian Keuangan.

Selain insentif, tantangan lain yang dihadapi adalah soal per-izinan. Khusus untuk DKI Jakarta, pihak Kemenpera sudah meminta revisi agar persoalan perizinan dipermudah. Maklum permintaan Rusunami di Jakarta jumlahnya mencapai 728 menara hingga 2012 tapi realisasinya sangat jauh.

Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz, menurut Marpaung juga telah berkirim surat kepada Menteri Keuangan, Agus Mar-towardojo, mereka juga telah menggelar rapat beberapa kali. Na-mun informasi yang diperoleh Marpaung, persoalan insentif perlu dimintakan pendapat ke Badan Kebijakan Fiskal dan Moneter. “Jadi masih dibahas di internal mereka,” katanya.

Selain Menkeu, Kemenpera juga telah menyurati Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenai kendala-kendala yang terkait dengan perizinan. Menurut Marpaung kendala yang dihadapi bukan hanya dari sisi koefisien lantai bangunan tetapi juga proses sertifikasi.

“Kalau itu disederhanakan saya yakin pengembang akan kembali membangun Rusunami,” katanya.

Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purmana juga belum bersedia berkomentar. Pria yang akrab disapa Ahok tersebut justru mempertanyakan pengekangan seperti apa yang dilakukan oleh Pemprov. “Nanti akan saya cek dulu seperti apa peraturannya,” ujarnya.

Sejak 2007, patokan harga maksimum rusun milik bersubsidi yang bebas PPN adalah Rp 4 juta per meter persegi atau Rp 144 juta per unit. Sejak April 2012, Djan Faridz telah melayangkan empat surat usulan kepada Menteri Keuangan untuk menaikkan patokan harga maksimum rumah susun bersubsidi dari Rp 4 juta per meter persegi menjadi Rp 7 juta per meter persegi atau setara Rp 252 juta per unit. Surat itu belum ditanggapi.

Ketika dikonfirmasi, Menteri Keuangan Agus Martowardoyo enggan berkomentar lebih jauh. Ketika ditanya mengenai persoalan tersebut usai menghadiri rapat di Kementerian Perekonomian, Agus hanya berkomentar singkat. “Saya belum memikirkan memberi in-sentif,” ujarnya, seperti dikutip tabloid PRIORITAS.

Sementara Direktur Jenderal Pajak, Fuad Rahmany, menjanji-kan akan melakukan pengecekan terlebih dahulu apakah benar ada masalah pajak yang menghambat pembangunan rumah susun. Na-mun Fuad menggarisbawahi tidak pernah ada niat dari Kemenkeu untuk menghambat.

Menurutnya perpajakan telah diatur dalam Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya. “Jadi apabila mau memberikan insentif pun harus ada dasar hukumnya di UU,” katanya.

Buruknya KoordinasiProgram 1.000 Tower memang kurang dalam urusan koordi-

nasi. Contohnya, saat terjadi penyegelan terhadap proyek Kalibata City (Agung Podomoro Group) oleh Pemda DKI Jakarta. Alasannya, bahwa KLB tidak boleh lebih dari 3,5. Akibatnya, kini mulai banyak pengembang tidak tertarik membangun rusunami subsidi. Alasan-nya, “bonus keuntungan luas” tidak lagi menarik pengembang.

Dan lucunya program ini oleh Pemerintah DKI Jakarta yang saat itu dinakhodai oleh Fauzi Bowo seolah tak berkoordinasi dengan pe-merintah pusat. Dengan kata lain, program yang di label pro rakyat ini tak sejalan antara maksud pemerintah pusat dan pelaksanaannya oleh pemerintah daerah. Hal ini menggambarkan buruknya koordi-nasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sehingga kebijakan KLB 6 yang ditetapkan pusat ternyata dengan mudah dipa-tahkan oleh pemerintah daerah sebagai “penguasa” setempat.

Apartemen Sederhana Milik (Anami)Untuk menyiasati situasi sulit, banyak pengembang mengonsep

kembali rusunami menjadi apartemen sederhana hak milik (anami). Produk ini dijual dengan harga Rp200 hingga Rp500 juta, yang sebe-narnya hanya terjangkau oleh kelas menengah. “Paska beberapa permasalahan soal rusunami yang terus menggerogoti program ini, kita sebagai pengusaha tetap ingin bisnis terus berjalan. Maka kita pun bermain di kelas menengah dengan harga di atas rusunami. Dan ternyata banyak peminatnya, tentunya faktor lokasi jadi salah satu pemicu,” terang Setyo Maharso Ketua Umum DPP Real Estate In-donesia.

Di Jabodetabek pada saat ini ada sekitar 149 tower rusunami yang sudah mendapatkan izin dengan jumlah total jumlah unit seki-tar 90 ribu. Hingga akhir Desember 2010 sudah diserahterimakan sebanyak 12 ribu unit rusunami.

Selain di Jakarta, rusunami juga akan dikembangkan di Bandung, Surabaya, dan Makassar karena permintaannya cukup tinggi. “Kami terus melakukan koordinasi dengan Menpera untuk menginventari-sasi berbagai permasalahan yang menghambat pembangunan rusu-nami sekaligus mencari solusinya,” terang Maharso (fnd/aan)

Saling Silang Urusan 1.000 Tower

sumber foto: istimewa

Laporan Utama

Page 13: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

13

Edisi 3 - Maret 2013

Berbincang dengan Jusuf Kalla

“Sedemikan Pentingnya Perumahan Hingga Pemerintah pun Membuat Kementerian Perumahan Rakyat”

sumber foto: istimewa

ebagai negarawan, Jusuf Kalla, mantan wakil Presiden RI, banyak menyurahkan perhatiannya pada bidang sosial dan bidang yang berkenaan dengan kebutuhan

dasar rakyat. Pada masa pemerintahannya mendampingi SBY, Jusuf Kalla yang lebih sering disebut dengan inisial­nya JK, menggagas dan mendorong konsep perumahan vertikal dengan program 1.000 Tower. Kini ditengah masa “istirahatnya” sebagai pejabat negara, JK tetap peduli pada bidang perumahan dalam konteks hak bermukim sebagai kebutuhan dan hak dasar warga bangsa. Berikut wawancara Endrawan Natawiria dengan Pak JK ditengah persiapan ke­berangkatannya ke negeri jiran. Wawancara ini ditayangkan pada perhelatan Musyawarah Besar Asosiasi Pengembang Perumahan Rakyat Seluruh Indonesia (MUBES AP2ERSI) di Grand Preanger – Bandung pada tanggal 17 April 2013.

EN : Berkenaan dengan besaran angka backlog perumah­an kita yang tahun ini diperkirakan mencapai angka 15 juta, jika dirunut kebelakang angka backlog ini semakin bertambah tahun demi tahun, bagaimana pendapat bapak?

JK : Kita tentu sepaham bahwa kebutuhan perumahan itu adalah kebutuhan pokok setelah pangan, kebutuhan yang sangat penting yang menjadi kewajiban Pemerintah, pengu-saha dan masyarakat banyak. Akibat pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan lainnya maka pertumbuhan kebutuhan

perumahan meningkat setiap tahun. Jika pertumbuhan penduduk 1,5 %, pertumbuhan ekonomi 6 % dengan hasrat untuk memiliki rumah baru yang terus menerus pada tiap tahunnya, katakanlah ada pertumbuhan 5 sampai 6 % per tahun maka diperkirakan dibutuhkan 2,5 juta rumah baru per tahun. Memang bukan hal yang mudah tetapi harus diingat bahwa petumbuhan pembangunan perumahan juga meng-gerakkan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan perumahan bukan usaha sosial tapi menimbulkan manfaat ekonomi yang besar, berbeda sifatnya dengan kebutuhan pangan yang habis terpakai sedangkan nilai perumahan terus menerus berkem-bang. Sifatnya yang “bankable” membuat bidang perumahan mendapatkan dukungan pendanaan dari pemerintah dan perbankan.

Singkatnya, perumahan harus dibangun terus menerus namun yang harus dicari solusinya adalah akibat pertumbuh-an ekonomi yang berdampak pada kecenderungan migrasi penduduk ke kota. Saat ini 51 % penduduk Indonesia ting-gal di kota, tumpah di sekitar kota, akibatnya tanah mahal dan perlu penataan infrastruktur yang baik, penatagunaan tanah dan infrastruktur. Keduanya adalah tugas Pemerintah. Penataan perkotaan tentu berbeda dengan di desa. Jika tidak ditata dengan baik dan didukung infrastruktur yang memadai maka hancurlah kota itu.

Solusi kemahalan lahan adalah hunian vertikal, harus dibuat hunian vertikal minimum empat lantai sekalipun di luar kota. Hunian vertikal pun jadi solusi dari alih fungsi lahan dari persawahan atau pertanian menjadi perumah-an. Harus ada solusi sosial-ekonomi dalam hal ini. Artinya ada unsur sosial yang menjadi tugas pemerintah dan unsur ekonomi yang menjadi tugas perbankan dan pengusaha, kedua unsur digabung untuk menjadi solusi untuk mengatasi kecenderung an migrasi penduduk ke kota.

Di kota dimana terjadi pertumbuhan industri, perdagang-an yang berakibat pada meningkatnya kebutuhan hunian, tidak mengherankan jika kita butuh 2,5 juta rumah baru per tahun.

EN : Menurut UDD 45 pasal 28 H bahwa hak bermukim ini adalah hak dasar, sementara itu dalam soal pemenuhan kebutuhan rumah, pemerintah menyandarkan pada produkti­fitas para pengembang swasta, dimana peran negara ?

JK : UUD 45 tidak mengatakan bahwa semua perumahan harus dibangun oleh negara. Kewajiban negara adalah mem-

Page 14: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

14

bangun infrastrukturnya seperti jalan, pasar, menata perenca-naan/planologinya dan lain-lain, justru hal ini akan memberi-kan peluang pada pihak swasta. Kewajiban pemerintah yang lainnya adalah menyiapkan pendanaan berupa kredit jangka panjang. Hal tersebut adalah sesuatu yang umum, sesuatu yang sudah kita fahami bersama, peran negara bukan berarti mengambil alih seluruh peran bidang perumahan. Tiga hal yang harus dilakukan pemerintah dalam bidang perumahan, yaitu menyiapkan kredit jangka panjang, menyiapkan dan membangun infrastruktur, dan menyediakan lahan yang terjangkau daya beli rakyat. Hak dasar untuk bermukim tidak berarti pemerintah harus langsung membangun perumahan.

EN : Para pengembang saat ini langsung bersentuhan dengan Pemerintah Kota/Kabupaten/Provinsi terutama dalam hal perijinan. Bagaimana mengoptimalkan peran Pemerintah Kota/Kabupaten/Provinsi agar mereka lebih berkontribusi dalam mendorong percepatan pemenuhan kebutuhan rumah bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah)?

JK : Memasuki era otonomi daerah, peranan Pemerintah Daerah lebih kuat, sebelum itupun perijinan perumahan telah diiatur oleh Pemerintah Daerah. Bahwa perijinan itu keharusan untuk menghindari kekacauan namun harus di ingat oleh para Kepala Pemerintahan Daerah bahwa demi kepentingan rakyat-nya perijinan perumahan harus dipermudah sekaligus harus disiplin dalam menegakkan aturan. Perencanaan kota dengan terapan aturan yang baik akan menghindarkan kota dari keku-muhan, nilai ekonominya pun akan terus menerus meningkat.

EN : Apakah Bapak setuju adanya pembeda perlakuan dan biaya perijinan bagi perumahan MBR dan perumahan mewah?

JK : Mesti ada pembeda. Pemerintah Daerah hendaknya mempunyai perangkat regulasi baik berupa Perda, Perbup, Pergub yang mengatur perijinan perumahan sesuai lokasi, fungsi dan proporsinya. Nilai tanah dan bangunan rumah untuk MBR tentu lebih murah daripada rumah mewah maka tarif atau biaya perijinannya pun harus lebih murah. Pemerintah Pusat pun memiliki Undang-undang, Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang hal ini. Dulu, Kementerian Perumahan punya konsep proporsi perumahan 1:3:6. Pada saat itu, Pengusaha Real Estate wajib membangun Rumah Sederhana. Sekarang ada konsep hunian 1:2:3.

EN : Jadi Bapak sepakat dengan konsep hunian berim­bang?

JK : Bukan hanya sepakat tetapi harus. Ketidakseimbang-an hunian akan berdampak sosial adanya jurang pemisah yang lebar antara “The Have” and “The Have not” yang akan memicu konflik sosial.

EN : Apa saran dan Petuah Pak Jk kepada para pengem­bang yang peduli dan konsisten membangun rumah bagi MBR ?

JK : Seperti yang telah saya sampaikan bahwa kebutuhan terhadap perumahan adalah kebutuhan pokok, adalah tugas semua orang untuk menyiapkannya, tugas pengusaha, tugas pemerintah untuk menyiapkannya. Anda yang telah memilih profesi sebagai pengembang perumahan, bidang usaha yang memiliki misi sosial yang memiliki dampak ekonomi yang kuat bagi masyarakat di sekitar maupun bagi pengusahanya sendiri. Bidang ini memang membutuhkan kejelian usaha dan memiliki dampak ekonomi-sosial jangka panjang. Sedemikan pentingnya hingga pemerintah pun membuat Kementerian Perumahan Rakyat.

Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama semua fihak antara Pemerintah, dalam hal ini Kemenegpera,

Pemerintah Daerah yang mengeluarkan perijinan dan infrastruktur, kalangan perbankan yang

menyiapkan KPR/kredit jangka panjang serta para pengembang penggiat perumahan rakyat. Kerjasama banyak pihak ini akan berdampak sosial ekonomi yang menda-tangkan keuntungan bagi semua pihak. Saya

ingin mengingatkan satu hal lagi berkenaan dengan semakin terbatasnya lahan, pertum-

buhan penduduk kian meningkat, alih fungsi lahan terus menerus dari lahan pertanian menjadi

perumahan yang menganggu sediaan lahan pertanian, persawahan hingga kita harus mengimpor beras seperti seka-rang ini. Solusinya kedepan adalah perubahan pola fikir para pengembang perumahan untuk mulai dan selalu membangun rumah susun, rusunawa atau rusunami. Ini adalah sebuah jawaban ketika lahan makin mahal maka ongkos membangun perumahan pun (rumah tapak-EN) makin mahal. Memang dibutuhkan penguasaan teknis dan kemitraan yang baik untuk menyelenggarakannya.

EN : Pertanyaan terakhir pak, diluar bidang perumahan. Akronim JK saat ini mulai diartikan sebagai “Jalan Keluar”. Faktanya solusi yang bapak pernah lakukan di banyak bidang semasa menjadi pejabat pemerintah terasa sangat manfaat­nya. Diantaranya peralihan dari Bahan Bakar Minyak Tanah menjadi gas yang semula banyak ditentang kini mulai terasa manfaatnya oleh rakyat. Pertanyaannya adalah jika rakyat meminta Bapak untuk memimpin negeri ini, apakah Bapak bersedia ?

JK : Menjadi satu pertimbangan, saya selalu mengatakan bahwa kita harus selalu siap untuk berbuat baik kepada bang-sa dan negara di bidang kita masing-masing. Jika pengusaha berbuat baik dalam bidang usahanya maka saya yang memiliki pengalaman dalam bidang pemerintahan jika diminta untuk berbuat baik bagi bangsa dan negara maka saya harus siap. Setiap orang harus selalu siap jika diminta untuk berbuat baik bagi bangsa dan negaranya (EN).

….kita harus selalu siap untuk

berbuat baik kepada bangsa dan negara…

Laporan Utama

Page 15: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

15

Edisi 3 - Maret 2013

Itulah sekelumit cerita bagaimana seriusnya sang wakil presiden menangani soal pembangunan 1.000 tower rusunami.

Ditemui di kediamannya, dan ditanyakan lagi soal itu, M. Yusuf Asy’ari, tersenyum. Ia pasti tidak akan pernah melupakannya. Yusuf, ingat betul waktu itu. “Saya tidak malu, saya malah senang diingatkan, karena itu memang bagian dari tanggung jawab saya. Pak Jusuf perhatiannya memang luar biasa soal program 1.000 menara rusunami ini,” kenang Yusuf yang waktu itu memang menakhodai Kemenpera.

Yusuf, mengerti, kejengkelan sang wapres (wakil presiden­red) waktu itu, karena rusun yang dibangun Perum Perumnas tersebut baru pada tahap pemasangan tiang pancang. Padahal, sudah setahun lebih pembangunan rusun itu dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kala itu pemerintah sangat optimis program yang dipelopori oleh Jusuf Kalla tersebut akan berjalan mulus. Pada 2008 lalu, Yusuf mengatakan paling tidak dapat diselesaikan pembangunan 100 menara rumah susun.

“Kalau tahun ini (2008-red) bisa dibangun 100 tower, saya

waktu itu optimistis 2011 dapat dicapai 1.000 tower. Saya kira bisa, karena semuanya ada. Uang ada, lahan ada, kontraktor ada, pasar pun ada. Tadi pengembangnya bilang walau fisik baru selesai 30 persen, tetapi sudah 70 persen yang dipesan. Itu artinya pasarnya ada. Hanya semangatnya yang harus ditambah,”ujar Yusuf.

Menurut Yusuf, percepatan pembangunan rusun harus dilakukan karena mampu mengatasi 50-60 persen persoalan hidup masyarakat perkotaan, yakni transportasi, penggunaan lahan, banjir, pencemaran, polusi, dan kesejahteraan masyarakat miskin.

“Dengan adanya rusun yang dekat dengan tempat bekerja, seorang sopir tidak perlu mengeluarkan uang sampai 30 persen dari penghasilan untuk naik kereta dari Bogor ke kota,” katanya.

Di DKI Jakarta saja, kawasan kumuh berat dihuni 21 ribu kepala keluarga (KK), kawasan kumuh ringan dihuni 490 ribu KK, dan kawasan kumuh berat yang ilegal dihuni 82 ribu KK. Karena itu, dibutuhkan 70 ribu unit rumah landed house dan 42 ribu unit rusun per tahun.

Kepada HUDmagz, sepulang menunaikan ibadah umroh, Menpera pertama di era reformasi tersebut kembali berkisah

Hikayat Duo Jusuf di Rumah Susun

Kemayoran, medio Maret 2008. Raut muka Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI (2004-2009) tampak serius. “Sekiranya saya tidak datang, pasti tidak dibawa tiang-tiang pancang itu ke sini. Anda

pasti akan melanjutkan tidur, ” semprot-nya, pada para pejabat yang hadir.

“Pak Gubernur, tiap minggu Bapak harus datang ke sini. Pak Menteri (Menpera) tentu lebih sering, tiap dua hari. Bapak kan Menteri Perumahan Rakyat, bukan menteri perumahan elite. Ini tugas Bapak.Jadi, kalau diundang meresmikan kondomonium, gak usah hadir­lah. Kalau peresmian rusun baru hadir, “ tegas Jusuf, yang kala itu mengenakan kemeja putih, lengan pendek, bercelana biru,.

Mereka yang terkena semprot diantaranya: Menteri Perumahan Rakyat, M. Yusuf Asy’ari, Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, Direksi Pengelola dan Pelaksana Pembangunan Kawasan Kemayoran (DP3KK) Sekretariat Negara, dan Dirut Perum Perumnas, Himawan Arief. Tak tanggung­tanggung, mereka semua, disemprot Wapres di depan umum.

“Saya pikir saya datang akan lihat sepuluh tingkat. Ternyata masih

begini“ lanjut Kalla di depan tamu yang waktu itu hadir Menteri BUMN Sofyan Djalil, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyowinoto, dan Dirut PT Bank Tabungan Negara, Iqbal Latanro.

Tak lupa, Wapres juga menegur direksi DP3KK Sekretariat Negara yang hingga tiga bulan belum menyelesaikan perjanjian pelepasan lahan Bandar Udara Kemayoran. Waktu itu, lahan bekas bandara Kemayoran itu memang disewakan ke swasta. Tapi, setahun sebelum pencanangan program rusun, Wapres telah memerintahkan DP3KK memutus kontrak sewa dan digunakan untuk membangun rusun.

“Jadi, kapan MoU ditandatangani. Sudah tiga bulan kok masih diproses­proses terus. Pokoknya, senin depan harus teken!” tegas pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942 itu.

Tak cukup hanya pejabat yang dia semprot, Direktur Jakarta Auction, salah satu penyewa lahan bekas Bandara Kemayoran waktu itu juga dia tanya, kapan bisa pindah dari kawasan Kemayoran.

“Tidak usah ambil terlalu luas tanah rakyat. Ini tanah rakyat yang punya. Percepat ya, berarti Agustus sudah diserahkan. Agustus bisa kan?” desak Kalla, disambut tawa hadirin.

Wawancara

Yusuf Asy’ari (Menteri Perumahan Rakyat 2004-2009)

“Program Ini Harus Dilanjutkan”

sumber foto: nasional.news.viva.co.id

Page 16: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

16

tentang Jusuf Kalla, bos-nya waktu itu, dan berbagai sengkerut yang terjadi plus perubahan kebijakan penggantinya yang tidak lagi melanjutkan kebijakan yang sudah ada sebelumnya. Kutipannya:

Bagaimana ide awal program 1.000 tower itu tercetus?Kalau soal ide itu memang usulan dari Jusuf Kalla. Saya lupa

waktu itu kapan persisnya dia bilang soal itu. Tapi memang waktu itu kami intensif diskusi dengan Pak JK (Jusuf Kalla­red). Pak JK itu orang yang paling gampang ditemui, orang yang paling gampang diajak bicara, dan yang mau didebat. Kalau kita nggak cocok, kita debat, beliau akan menerima meskipun beliau punya argumentasi balik. Itu menyebabkan kita nyaman berdiskusi.

Jadi dari diskusi itu akhirnya cikal bakal program itu lahir?Kalau kita bicara cikal bakal program itu, panjang ceritanya.

Kita mesti kembali kepada situasi tahun 2005/2006. Pada 2004 akhir, Kementerian Negera Perumahan Rakyat baru ditimbulkan kembali setelah dua periode tidak ada. Dua periode yang tidak ada ini sudah memporak-porandakan struktur yang ada. Jadi harus dibangun kembali.

Dari berbagai diskusi, didapat beberapa usulan antara lain yang terkait dengan rusuna ini. Di dunia, pembangunan perkotaan tidak ada yang melebar, tapi naik karena di manapun juga tanah yang ada tidak diciptakan lagi sehingga makin lama semakin mahal.Karena itu, upaya untuk memperbanyak hunian, ya ke atas.

Itu kesatu. Kedua, di kota-kota besar di dunia ini yang tinggal di pusat kota orang miskin. Orang-orang yang tinggal di pinggiran kota itu orang kaya yang punya fasilitas, seperti mobil, tanah luas, tidak terhambat oleh faktor transportasi. Mungkin struktur perekonomian sudah sesuai. Banyak toko-toko besar ada di pinggir-pinggir kota sehingga tidak memacetkan lalu-lintas.

Kalau rumah-rumah kalangan menengah bawah ini dikembalikan ke pusat-pusat dan dekat dengan tempat kerja

diharapkan akan memberikan keuntungan pada kesejahteraan mereka dan juga memurahkan biaya transportasi yang selama ini mahal mereka biayai. Artinya, kesimpulannya marilah kita galakkan pembangunan rusuna baik sewa maupun milik.

Kemudian, kalau kita kembali kepada peran pemerintah.Peran pemerintah ini berbeda dalam rusunawa dan rusunami. Kita melihat peran pemerintah dibagi dua dalam masalah perumahan ini. Apakah dia menjadi enabler atau provider. Kalau dia jadi enabler, dia mencoba, mengatur, mendorong dan memfasilitasi agar orang lain atau rakyat itu membangun sendiri. Itu yang banyak dilakukan untuk rusunami.

Tapi sebagai provider itu sebaliknya, pemerintah menyediakan langsung. Ini karena rakyat belum mau terjun ke situ. Dan memang karena rakyat belum mau dan pihak swasta belum mau terjun ke situ, mau tidak mau harus dipelopori oleh pemerintah. Saya mau tanya Indonesia ini belum jelas pemerintah sebagai enabler atau provider.

Di awal pembentukan kementerian, peran pemerintah lebih berat ke enabler, tidak ada provider. Tapi, karena kita menyadari ada aspek-aspek swasta belum mau masuk dan ini perlu kita pionir maka kita mengusahakan supaya Kementerian Perumahan Rakyat diberi fungsi operasi terbatas. Itulah kemudian kenapa di Kementerian Perumahan Rakyat ada anggaran rusunawa. Kemudian juga proyek perumahan swadaya.

Dengan koordinasi wakil presiden, policy itu didukung oleh baik Kementerian Perumahan Rakyat dan pemerintah daerah, khususnya dalam hal ini adalah DKI yang selalu diajak ramai-ramai rapat. Karena itu di DKI, sebagai salah satu dari seluruh kota yang akan diupayakan digerakkan rusunami ini, setuju dan menyanggupkan diri dalam hal memberikan keringanan-keringanan. Cuma belakangan setelah Pak Sutiyoso diganti Pak Fauzi Bowo, policy ini diganti.

Mestinya waktu Pak Sutiyoso menjadi Gubernur kan Pak Fauzi Bowo menjadi wakil Gubernur. Dia mestinya terikat dong. Tapi, begitu dia menjadi Gubernur, dia ubah segala sesuatunya dengan pertimbangan kita lihat ketakutan bahwa dengan banyaknya rusunami akan ada kekumuhan baru.

Laporan Utama

Page 17: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

17

Edisi 3 - Maret 2013

Apakah soal kekumuhan itu tidak dipikirkan juga dimasa Sutiyoso?

Sudah dan rapat itu dihadiri oleh Fauzi Bowo sendiri sebagai Wakil Gubernur waktu itu. Semua itu sebetulnya dari diskusi-diskusi kami dengan Pak Jusuf Kalla. Tetapi karena program ini program baru. Tidak bisa sekaligus seluruh aturan dibikin, tidak semuanya bisa efektif. Oleh karena itu, kita dorong semua masuk dulu rusunami. Kalau kita ingin swasta mau masuk rusunami maka kita juga harus bisa mendorong mereka. Salah satunya, kita jangan merasa sayang atau merasa tidak boleh misalnya pihak swasta mendapat keuntungan. Cuma keuntungannya bisa diatur.

Karena itu kemudian Anda dekat dengan pengembang karena mau membujuk mereka bangun Rusunami?

Saya memang harus mendekati pengembang. Saya melihat dengan ketiadaan anggaran, operasional ke daerah sangat terbatas, saya mendekati teman-teman pengembang. Kita banyak bicara, kemudian ada semacam kesepakatan bahwa saya untuk sementara akan memfungsikan DPD-DPD (dewan pimpinan daerah­red.) REI sebagai kanwil-kanwil Kementerian Perumahan. Rasanya dalam setiap musyawarah kerja DPD REI, pada umumnya saya datang. Sehingga saya di daerah dapat bantuan gratis dari teman-teman REI karena setiap Musda (musyawarah daerah­red.) saya minta saya mau datang asal teman-teman mengundang seluruh bupati-bupati di ibukota propinsi untuk rapat kerja. Saya melihat win­win solution di situ. Jadi upaya kita bagaimana semua program kementerian itu di dukung juga oleh swasta.

Sekarang setelah pengembang mau bangun, regulasi yang dulu dijanjikan pemerintah tidak kunjung datang akhirnya program ini tidak jalan. Bahkan ada yang bilang sudah mati suri.Bagaimana tanggapan Anda?

Iya itu yang saya sayangkan. Kenyataannya bahwa sekarang mati suri. Kenapa ini terjadi? Karena tidak ada kepastian hukum.Hal itu karena setiap ganti menteri, ganti kebijakan, ganti prioritas.Demikian juga dengan pemerintah daerah di era otonomi daerah.Dia bisa saja tidak suka dengan keputusan seorang menteri dan tidak menjalankannya. Bahkan dengan seorang wakil presiden pun dia berani tidak menjalankan perintah beliau karena merasa dia dipilih rakyat di daerahnya. Kenyataannya itu bisa terjadi. Tidak ada dukungan akhirnya program ini mati suri.

Lalu apa saran Anda terhadap Gubernur DKI yang baru agar program rusunami dapat berlanjut dan bisa diterapkan di lapangan?

Kita berharap supaya beliau mau menengok kembali kebijakan yang diterapkan Pak Sutiyoso, meneruskan dan memperbaikinya karena sangat perlu. Maksud saya, kalau kita bicara undang-undang rumah susun jangan bergelut yang 10 lantai, 20 lantai atau 30 lantai. Tapi bagaimana rakyat harus dibiasakan membuat rumah 2 lantai 3 lantai supaya secara kultural mereka terbiasa hidup di rumah susun.

Bagaimana masalah di daerah lain di luar DKI Jakarta?Untuk menggerakkan rusunami di daerah perlu upaya yang

lebih kencang. Pertama, kebutuhan di daerah belum sekencang di DKI. Kedua, peraturan perda-nya sendiri masih harus dibuat. Masih banyak daerah yang tidak mengerti aturan rumah susun.

Jadi menurut Anda sebaiknya program ini lanjut atau tidak?Kalau kita bicara masa sekarang, program ini harus dilanjutkan.

Itu karena kebutuhan kawasan perkotaan, mau tidak mau dilanjutkan. Kalau saya lihat sekarang ini mandek di jalan. Ini cuma masalah waktu saja. Mau tidak mau kebutuhannya (rusun­red.)akan dirasakan.

Banyak yang kemudian bilang rusunami itu akhirnya salah sasaran?

Kadang-kadang salah sasaran itu istilah manis yang nggak jelas maknanya. Saya melihat, waktu saya tanya pada beberapa orang, waktu dia beli mungkin hidupnya tidak seperti sekarang. Menurut saya yang lebih liberal lagi itu pendapat Pak JK, dia bilang nggak ada orang kaya yang menghuni rumah susun yang sempit-sempit. Kalau dibeli orang kaya pasti dipakai buat supirnya untuk pegawainya dan itu biarkan saja kata Pak JK.

Terakhir, bagaimana Anda menanggapi peran Kemenpera sekarang yang sepertinya mulai mengarah menjadi penyedia (provider)?

Fungsi itu bisa saja diemban. Tetapi intinya, kalau Kementerian Perumahan Rakyat mau jadi penyedia (provider), itu kalau terpaksa saja. Terpaksa kalau masyarakat belum bergerak ke situ. Istilahnya jadi pionir saja. Hanya sebagai pendorong tadi. Menurut saya, membatasi pada enabler saja juga tidak efektif, tergantung pada pasar (fnd).

sumber foto: fnd

Page 18: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

18

Sentosa Worldwide Resort menghadirkan kembali proyek terbaru di kawasan Cempaka Putih Jakarta Pusat dengan nama Sentosa

Residence Jakarta. Kehadiran proyek ini merupakan kerja sama strategis Sentosa Worldwide Resort dengan Bahama Group. Sentosa Residence Jakarta akan mencakup tujuh menara terintegrasi yang terdiri dari lima menara apartemen, satu serviced residence dan satu menara perkantoran. Total jumlah unit apartemen Sentosa Residence Jakarta adalah 687 unit, pada lahan seluas 2,7 Ha.

LUXURY LIVINGHOLIDAY STYLE

JAKARTANOW SELLINGHEAD OFFICE

JL. AMPERA RAYA NO. 62SITE OFFICE

JL. CEMPAKA PUTIH RAYA NO. 1JAKARTA INDONESIA

t. +62 21 42 888 000f. +62 21 42 887 000

www.sentosajakarta.com

LUXURY LIVING. HOLIDAY STYLE.

L U X U R Y L I V I N G

H O L I D A Y S T Y L E

J A K A R T AN O W S E L L I N GH E A D O F F I C EJ l . A M P E R A R A Y A N O . 6 2 S I T E O F F I C EJ l . C E M P A K A P U T I H R A Y A N O . 1J A K A R T A I N D O N E S I At . + 6 2 2 1 4 2 8 8 8 0 0 0f . + 6 2 2 1 4 2 8 8 7 0 0 0 w w w . s e n t o s a j a k a r t a . c o m

Page 19: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

19

Edisi 3 - Maret 2013

Jelang 6 tahun Program 1.000 Tower Rusun, terlihat a ngin segar terkait pengembangan hunian vertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pertengah­

an Maret lalu, Perum Perumnas melakukan prosesi ground­breaking atas pembangunan rusunami tower A4 dan A5 Bandar Kemayoran, Jakarta Pusat.

Ditengah mati surinya pembangunan rusunami ternya­ta ruang untuk hunian bagi masyarakat kecil di kota masih terakomodir walau jumlahnya terbatas. Tower A4 dan A5 rusunami Bandar Kemayoran ini akan menyediakan 512 unit hunian yang dijual dengan harga khusus. Unit­unit tersebut memiliki 1 kamar tidur dan 1 ruang keluarga serta kamar mandi. Dan tak semuanya dijual pada masyarakat karena sebanyak 122 akan dijadikan unit yang disewakan sebagai subsidi silang pengelolaan rusun setelah beropera­si.

Himawan Arief, Direktur Utama Perumnas menyata­kan program pembangunan Rusunami Tower A4 dan A5 Bandar Kemayoran ini terwujud dari sinergi Kemente­rian BUMN, Kementerian Perumahan Rakyat, Pemprov DKI Jakarta dan PT. Hutama Karya (Persero). Program ini nantinya akan dilanjutkan dengan pembangunan lebih banyak tower rusunami di Jakarta.

Pembangunan rusun oleh Perumnas ini merupakan kelanjutan dari program yang pernah diusulkan kepada Gubernur DKI Jakarta mengenai program pembangunan 200 tower di atas lahan Perumnas. Selain program kawasan

baru, peremajaan rumah susun tua dan pemanfaatan lahan Perumnas yang banyak dihuni para penggarap, juga pena­taan kawasan kumuh dan padat di tanah Perumnas.

Lebih jauh Himawan mengutarakan bahwa, program 200 tower dapat dikerjakan dalam jangka waktu 3 sampai 4 tahun dengan total 80 ribu unit hunian atau 320 ribu jiwa dapat dirumahkan. ”Program ini merupakan terobos­an yang sangat baik bagi masyarakat menengah ke bawah untuk tinggal di rumah yang relatif dekat dengan tempat kerjanya,” imbuhnya.

Program ini juga dapat bergulir untuk membangun Tower berikutnya, secara berkesinambungan. Mengingat kawasan ini sangat strategis dan dilengkapi dengan fasilitas memadai dan akan dijual dengan harga dibawah ketetapan pemerintah. Tentunya akan mendapat tanggapan pasar yang tinggi. Untuk itu, ditetapkan kriteria­kriteria terten­tu agar peruntukanya tepat sasaran.

Himawan menambahkan, Program Rusunami dapat terwujud apabila ada kerjasama antara Perum Perumnas dan Pemprov DKI Jakarta dalam penyediakan lahan baik milik Pemda maupun milik Perumnas. Program ini didu­kung oleh Kementerian BUMN melalui program PKBL (Program Kemitraan Bina Lingkungan) BUMN.

Sinergi PerumnasSebagai BUMN yang bergerak pada bidang properti,

Perumnas merupakan lokomotif pembangunan perumah­an untuk masyarakat Indonesia. Perjalanannya sedari tahun 1974 saat pertama kali didirikan, Perumnas dia­manatkan untuk membangun rumah murah yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Perjalanan pro­gram 1.000 Tower ini tak lepas dari peran Perumnas. Saat pertama kali program ini dicanangkan oleh Jusuf Kalla dan kemudian diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang, Yudhoyono, di lahan milik Perumnas Pulogebang Jakarta Timur.

Saat ini di tanah tersebut, telah berdiri Sentra Timur Residence yang dalam pembangunannya Perumnas berko­laborasi dengan (PT Bakrie Pangripta Loka ) Bakrieland Development. Proyek ini dikonsep sebagai Central Bussines District (CBD) baru di wilayah timur Jakarta. “Percepatan

Bersinergi dengan Berbagai Pihak,

Perumnas Hidupkan Kembali Program 1.000 Tower

sumber foto-foto: perumnas

Page 20: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

20

pengembangan Sentra Timur Super Blok ini bertujuan un­tuk membuat kawasan bisnis baru di Jakarta Timur yang dilengkapi dengan hunian dan berbagai pembangunan highrise building untuk menarik konsentrasi bisnis ke arah timur Jakarta, sehingga mengurangi beban mobilitas, akti­fitas di pusat Jakarta,” terang Himawan.

Dan beberapa waktu lalu baru saja dilakukan topping off Tower 4. Selain bagian dari program pembangunan 1.000 Tower, juga merupakan bagian dari program 200 Tower yang digagas Perum Perumnas kerjasama dengan Pemprov DKI Jakarta yang sudah diusulkan kepada Gubernur DKI Joko Widodo beberapa waktu yang lalu. Rencananya di Sentra Timur Residence akan dibangun 17 Tower atau lebih kurang 8.900 unit hunian atau setara dengan meru mahkan 35.600 jiwa. Sentra Timur ini merupakan kawasan yang prospektif mengingat lokasi yang sangat strate gis di pinggir Tol JORR, berdampingan dengan terminal terpadu Sentra Timur Pulo Gebang didukung sarana Bus Way koridor 11, dan Stasiun Kereta Api Cakung.

Kondisi terkini pembangunan proyek Sentra Timur ini terfokus pada Sentra Timur Residence

tahap II yang terbagi atas 3 menara yaitu

Orange Tower, Ruby Tower, dan Tosca Tower. Orange Tower yang memiliki 20 lantai dengan 390 unit hunian sudah terjual habis. Topping off yang dilakukan pada awal April lalu tersebut menandakan proyek ini akan segera melaku­kan serah­terima kunci yang dijadwalkan pada Desember 2013.

Sedangkan untuk Ruby Tower telah diluncurkan pada Desember 2012 lalu dengan penjualan mencapai 70 persen hingga saat ini. Sedangkan Tosca Tower akan siap diluncur­kan pada Mei 2013 mendatang. Sebelumnya, Bakrieland dan Perumnas juga sukses menjual 3 tower di tahun 2008 di Sentra Timur Residence Tahap I yang terdiri dari Grey Tower (24 lantai, 534 unit), Green Tower (20 lantai 428 unit), dan Yellow tower (20 lantai, 431 unit) dengan total keseluruhan unit sebanyak 1.393 unit.

Selain Pulogebang, di Cengkareng Perumnas juga mengembangkan rusunami dengan nama CityPark yang berkolaborasi dengan PT Reka Rumanda Agung Abadi. Proyek ini berdiri di kawasan Bumi Indah Cengkareng mi­lik Perumnas. Di CityPark ini telah terbangun 3 ribu unit rusunami dan sudah beroperasi sejak 2009 lalu, peresmi­annya langsung dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Ke depan di kawasan ini Perumnas berencana mem­bangun 20 tower rusunami. Konsep rusun ini memin­dahkan masyarakat yang berada di kawasan kumuh dan

padat. “Proyek ini akan jalan tahun ini. Kita punya kawasan 400 hektar di Bumi Cengkareng dan kita akan bangun 20 tower untuk dihuni warga. Saat ini kita minta izin perubahan peruntukannya saja,” jelas Himawan.

Selain membangun 20 tower Rusunami di Cengkareng, Perumnas juga akan membangun puluhan tower Rusunami di Pondok Kopi, Jakarta Timur. Di tempat ini, Perumnas juga akan merevi­talisasi rusunami tua yang sudah dihuni puluhan tahun. Melalui konsep sinergi ini, Perumnas ten­tunya akan mempercepat pembangunan hunian vertikal.

Selain itu, dukungan pemerintah daerah juga merupakan bagian yang tak terpisahkan. Diharap­kan di era Jokowi ini, pemerintah provinsi DKI

Jakarta akan lebih memberikan ru­ang kemudahan terkait hunian bagi masyarakat berpenghasilan ren­dah. Bahkan juga diharapkan da­pat merubah wajah kota menjadi lebih baik dengan memindahkan masyarakat yang berada di ka­wasan kumuh dan padat ke rusu­nami (aan).

sumber foto: perumnas

Laporan Utama

Page 21: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

21

Edisi 3 - Maret 2013

SukseskanProgram 1.000 Tower

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower

5 April 2007 - 5 April 2013PT. Primaland Internusa

PT. REKA RUMANDA AGUNG ABADI

SukseskanProgram 1.000 Tower

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower

5 April 2007 - 5 April 2013

SukseskanProgram 1.000 TowerMemperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower5 April 2007 - 5 April 2013

Page 22: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

22

Ketua Umum DPP REI ini boleh dikatakan adalah salah satu pelopor sekaligus merasakan sendiri bagaimana tidak kon-dusifnya berbagai aturan yang diterapkan pemerintah terkait

program 1.000 Tower. Proyek rusunami ”East Park” di Jakarta Timur, yang digawangi PT. Cakra Sarana Persada, miliknya, adalah salah satu rusunami pelopor.

Sehingga, tentu Setyo mengerti benar dan jelas geram dengan berbagai langkah yang tidak pro bisnis yang kemudian diterapkan oleh pemerintah DKI Jakarta semasa gubenur Fauzi Bowo.

Data terbaru menunjukkan, sejak tahun 2007 hingga sekarang, di DKI Jakarta hanya terbangun 79 menara dari target awal 258 me-nara atau sebanyak 32 proyek.

Kepada HUD Magazines, pria kelahiran Se-marang, 4 November 1958 ini menceritakan ba-gaimana komitmen REI untuk tetap ingin mem-bantu pemerintah menyediakan hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat yang ting-gal diperkotaan. Berikut petikannya.

Program 1.000 Tower sejak dicanangkan oleh Presiden RI tahun 2007 lalu nyaris mati suri, tidak ada gebrakan. Bagaimana tanggap­an Anda?Apakah anggota REI juga sudah tidak berminat lagi membangunnya?

Saya rasa teman-teman tetap komit untuk itu. Program ini sejak awal mendapat dukungan REI. Sampai saat ini, yang saya dengar dari rekan-rekan, mereka tetap komit untuk itu. Mereka mau mengerjakannya. Tentu karena kami pebisnis kacamatanya adalah bagaimana supaya regulasi­nya juga menguntungkan bagi kami pengembang. Tidak mungkin pengembang masuk, tapi rugi.

REI itu dengan pemerintah adalah mitra, mari kita carikan jalan keluar bersama­sama kalau ingin program ini berlanjut. REI sudah banyak menyampaikan usulan baik lisan maupun tertulis agar pro-gram ini betul­betul berjalan dan dinikmati masyarakat. Pemerintah tidak bisa jalan sendiri. Jadi kalau pembangunannya tidak jalan di lapangan bukan berarti pengembang tidak berminat. Tetapi tentu ada yang salah. Itulah yang harus diperbaiki. Selama belum, swasta pasti juga tidak mau.

Bukan berarti untuk rusunami REI juga sudah kibarkan ben­dera Putih?

Waktu dulu HUT REI ke 40 di Manado kami katakan kalau masalah rumah sejahtera susun ibaratnya pengembang sudah ang-kat ben dera putih atau menyerah. Kalau harga usulan pengembang diterima maka bisa berjalan lagi. Nah sekarang harga memang su-dah dinaikan jadi Rp.216 juta, tetapi kan tetap tidak bisa eksekusi (bangun-red). PPN (pajak pertambahan nilai-red.) misalnya belum disesuaikan. Lalu aturan lainnya. Soal KLB (Koefisien Lantai Bangun­an-red.) misalnya di DKI Jakarta masih aturan lama maksimal 3,5 yang menurut teman­teman jelas tidak menarik. Kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuat pengembang

kebingungan sendiri. Belum lagi di luar Jakarta.Tidak ada insentif buat pengembang rusunami.Tentu sebagai pebisnis kami harus berpikir ulang.Dan itu saya rasa dirasakan oleh semua pengem-bang yang awalnya mau membangun rusunami.

Tetapi kan REI tetap komit akan janjinya membantu program Pemerintah?

Iya pasti. REI selama ini selalu di depan. Anggota kami sebagian besar kan terlibat mem-bangun rumah bersubsidi program pemerintah, khusus untuk rumah tapak sejahtera. Kami sudah membangun lebih dari 3 juta unit rumah bersub-sidi. Termasuk saya tegaskan lagi REI tetap komit untuk membangun rusunami tentu dengan regu-lasi yang jelas dan mendukung. Untuk Jakarta misalnya, kembalikan Koefisien Lantai Bangunan

(KLB) yang pernah diberikan pada zaman Guber-nur DKI Sutiyoso menjadi 6, agar secara bisnis kami tidak dirugikan dan kami punya tanggung jawab untuk membantu pemerintah.

Jika regulasi yang ada mendukung, bagaimana dengan target REI?

Kami yakin program rusunami 1.000 tower akan rampung 2 tahun yang akan datang. Dengan catatan, kembali, regulasi yang lama dapat dikembalikan oleh Gubernur Jokowi sekarang. Kita ya-kin kok, pasarnya besar. Itu sudah kami buktikan dengan banyaknya pengembang yang membangun apartemen milik begitu rusunami ini tidak jalan.

Perjalanan program 1.000 Tower yang dicanangkan pemerintah pada tahun 2007 silam belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Padahal, kebutuhan terhadap rusun sangat besar dan dapat membantu mengurangi backlog perumahan.Terkait hal tersebut, menjadi menarik untuk mengetahui pandangan pemangku kepentingan tentang pelaksanaan program 1.000 Tower di lapangan dan peluangnya ke depan. Berikut petikan wawancara dengan beberapa nara sumber, yaitu Setyo Maharso, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia (DPP REI) 2010­2013, Reddy Hartadji (Chief Executive Officer/CEO Bahama Group, Presiden Direktur Bahama Development, Wakil Ketua Umum Bidang Rumah Susun DPP REI 2010­2013), Bally Saputra Datuk Jano Sati (CEO Riyadh Group Indonesia, Presiden Direktur PT Graha Rayhan Tri Putra, Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Rumah Susun DPP REI 2010­2013), Lukas Sartono (Direktur Utama PT. Sanggar Hurip).

Pandangan Pemangku Kepentingan tentang Program 1.000 Tower

Setyo Maharso, Ketua Umum DPP REI 2010-2013“Program Rusunami Bisa Jalan Lagi Asalkan…..”

sumber foto: dok pribadi

Laporan Utama

Page 23: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

23

Edisi 3 ­ Maret 2013

Sempat terpuruk akibat tergiur bisnis perkebunan, Reddy Hartadji bangkit kembali melalui usaha impor anggur, sebelum akhirnya mendapatkan sejumlah momentum terbaik di dunia

properti. Kini dibawah grup Bahama, pelan tapi pasti benderanya kian berkibar kencang.

Ia-lah pengusaha dibalik sukses proyek Botani Square, proyek kerjasama dengan almamaternya, IPB. Reddy juga memiliki setumpuk portofolio di proyek residensial sampai hunian jangkung. Sebut saja Latumenten, Menara Kebun Jeruk, Menteng Square, dan beberapa kondotel, seperti Sea Sentosa di Pulau Dewata.

Di kelas hunian jangkung bagi MBR, Reddy adalah pelopornya. Menara Cawang, demikian nama proyek rusunaminya. Walaupun dia mengaku babak belur tetapi ia selalu bersyukur, selalu ada hikmah dibalik itu. Dan ketika ditanya apakah mau membangun rusunami lagi.Ia hanya men-jawab pendek. “Tinggal tunggu Gubenur. Sudah ada rumusnya”.

Karena itu, dibalik perjalanan 6 tahun program 1.000 menara ia banyak terlibat sejak awal. Ia juga mengaku korban bujukan. Entah siapa yang membujuk dia. Nah, disela­sela kesibukannya, pria bertubuh tambun ini menceritakan banyak masukan soal program populis bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan ini. Berikut pe tikan wawancaranya.

Bagaimana Anda melihat perkembangan program 1.000 to­wer sejak diluncurkan tahun 2007 silam?

Ya sebenarnya begini dari 2007 atau enam tahun terakhir ini kan istilahnya rusunami adalah proyek pasang surut. Kita semua kalau ingin memajukan rusunami, kita menganggap bahwa proses ini harus dijadikan suatu proses belajar. Proses belajar ini tidak hanya kepada suplai (penawaran red.). Dalam hal ini pengembang/deve­loper (pemda DKI) dan sebagainya. Dari sisi konsumennya pun harus ada suatu proses belajar. Itu lebih penting.Kita harus sepakat dulu ini harus dievaluasi semua jangan sampai salah-salahan.

Apa penyebab mandek­nya program 1.000 Tower?Kembali lagi 1.000 tower itu sifatnya hanya pencanangan,

simbolik. Proyek ini berhasil kalau ada titik temu (antara) suplai dan demand. Itu baru di titik berhasil. Tidak hanya suplai saja dan tidak hanya demand­nya saja. Ada satu proses evaluasi dari sisi suplai, dari sisi pengembang, dari sisi harga. Saya kira dengan harga Rp.216 juta itu sudah cukup bagus. Di tarik ke belakang, tanahnya harus berapa. REI merekomendasikan tidak lebih dari Rp.2 juta per meter. Nah, sekarang dengan Rp.2 juta per meter kalau itu full residence, siapa yang punya tanah Rp.2 juta itu.

Tanggapan Anda mengenai penggunaan lahan BUMN untuk rusunami?

Coba itu dievaluasi. Tanyakanlah kepada BUMN. Itu tidak Rp.1 juta harganya kan. Bisa dijual Rp.1 juta. BUMN­nya mau apa nggak?. Begitu sajalah.

Bagaimana dengan permintaan rusunami?Banyak. Tapi perlu edukasi. Ini kan sebenarnya dari rumah

tapak (landed) ke rumah susun (vertical) kan perlu perubahan gaya hidup, perlu pendidikan dan perlu tahapan. Bukan hanya sosialisasi, tapi evaluasi bahwa harus ada satu titik rumah susun itu layak atau bahwa itu adalah alternatif yang baik.

Bagaimana menggairahkan kembali pengembang untuk membangun rusunami?

Kalau pengembang kan very simple bahwa kembali lagi pengembang itu bisa bangun, tapi kita jangan bicara untung dulu lah, kemudian bisa jualan dan bisa bangun. Berarti ujungnya adalah kita harus mendapatkan tanah yang Rp.2 juta itu kan. Sekarang kalau tanah nggak bisa dapat Rp.2 juta bagaimana bisa bangunnya.

Bagaimana dengan regulasi yang dikeluarkan pemerintah terkait rusunami?

Justru kalau boleh dikatakan, yang paling siap itu DKI Jakarta.Yang dulu berubah-berubah (aturannya). Sekarang aturannya sudah ada, tinggal ketersediaan lahan. Nah lahan ini harus ada satu kerja sama yang baik antara pengembang dan tanah-tanah di DKI.

Artinya, masalah lahan pemprov DKI harus turun tangan. Sebe-narnya kalau bicara rusunami itu adalah alat untuk menyelesaikan daerah kumuh. Misalnya, daerah kumuh sekarang ada 13 hektar atau 20 hektar, kemudian ada sebagian untuk dijadikan stadion atau untuk lapangan apa yang sosial tapi yang 6 hektar dijadikan rusunami. Dan orang­orang ini tidak tergusur karena akan tinggal di rusunami.

Harapan Anda mengenai program rusunami?Yang punya kewenangan mengenai KLB (Koefisien Luas

Bangunan) itu adalah di DKI. Tidak bisa dengan keputusan menteri. Harus di evaluasi lima tahun terakhir ini apakah yang KLB 3,5 atau 5 itu berjalan atau tidak. Dulu, Pak Foke dengan KLB 6 ditakutkan akan ada daerah­daerah kumuh di rumah susun karena ketinggian. Nah, rusunami yang ada sekarang di evaluasi terlebih dahulu.

Bahwa dengan KLB 3,5 atau yang dulu itu kumuh apa nggak. Hipotesanya benar apa nggak? Kalau hipotesanya itu bahwa ini bisa ditingkatkan, ya ditingkatkan. Tapi, kalau itu tidak didasari oleh studi juga nggak ada gunanya.

sumber foto: dok pribadi

Reddy Hartadji, CEO Bahama Group, Presiden Direktur Bahama Development,Wakil Ketua Umum Bidang Rumah Susun DPP REI 2010-2013

“Evaluasi Menyeluruh Program Rusunami”

Page 24: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

24

Sebuah pencapaian. Itulah yang dialami dan tengah dirintis Riyadh Group Indonesia. Usai menancapkan taji di kota Pa-dang dan beberapa daerah di Sumatera Barat, pengembang

ini menorehkan jejak ke berbagai daerah di se-luruh Indonesia. Jenis properti yang digarap pun semakin beragam, tak hanya perumah-an tapak juga hunian vertikal dan beberapa ruang komersial.

Di Jakarta, Riyadh Group Indonesia mela-lui anak usahanya PT Graha Rayhan Tri Putra menggarap Pancoran Riverside. Sejatinya ini adalah proyek apartemen sederhana atau yang dikenal sebagai rusunami. Tetapi di te-ngah jalan perseroan harus berputar haluan, masuk ke segmen apartemen menengah de-ngan harga Rp 250­600 juta/unit.

Portofolio vertikal perdananya itu berloka-si di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Di atas lahan seluas 5 Ha, rencananya akan diba ngun 7 menara apartemen dengan total 3.600 unit, yang meliputi 3.200 unit rusun dan sisanya apartemen komersial. ”Semula seluruh unit dijadikan rusunami, tetapi kondisi pasar dan masyarakat minta kuali tasnya ditingkatkan, se-hingga kami masuk pasar komersial juga,” kata Bally Saputra Datuk Jano Sati, Chief Executive Officer (CEO) Riyadh Group Indonesia

Berikut petikan wawancara dengan Bally Saputra, pengembang “urang awak” yang membangun apartemen Pancoran Riverside dengan jargon “Apartemen for Rakyat” itu.

Bagaimana Anda melihat perkembangan program 1.000 To­wer sejak diluncurkan Tahun 2007 silam?

Masih jalan di tempat.Malahan jalannya mundur ke belakang, bukan jalan di tempat lagi. Ini karena tidak adanya peran serta atau keseriusan dari pemerintah untuk mendukung terjadinya pem-bangunan rusunami ini baik dari Menpera maupun dari presiden sendiri. Di Indonesia untuk masyarakat bawah tidak dipikirkan oleh pemerintah.Kalau orang kaya saja dipikirin pemerintah.

Pendapat Anda mengenai bebagai kendala seperti regulasi, perizinan yang sulit, biaya tinggi dan harga patokan rusunami?

Karena nggak ada regulasi yang dibikin pemerintah. Tidak ada satupun yang jalan. Tidak hanya soal perijinan. Soal keseluruhan aturan, termasuk harga jual, insentif pemerintah itu nggak ada yang jalan semua. Jadi, memang sama sekali tidak ada keseriusan peme­rintah dalam hal pembangunan rumah susun milik di Indonesia.

Saat ini sudah tidak ada lagi pembangunan rusunami?Sudah nggak ada lagi. Kita kan swasta. Kalau nggak ada untung

ngapain kita kerjain. Jadi kita kerjain yang low cost apartemen saja. Jadi, untuk sementara rusunami stop dulu.

Bagaimana Anda melihat permintaan rusunami?Sangat tinggi sekali. Apalagi ada beberapa yang sudah berdiri

dan orang sudah merasakan manfaatnya tinggal dan hidup di rumah susun dan apartemen. Ini untuk jangka pan-

jang demand-nya sangat besar sekali.Dan siapa bilang hidup dirumah susun

orang tidak bisa bersosialisasi dengan ling-kungan sekitar. Justru dengan (tinggal) di rumah susun sosialisasi lebih terarah de-ngan baik karena tinggal berde katan, punya fasilitas umum, fasilitas olah raga sehingga lebih bagus sosialisasinya daripada tinggal di landed (rumah tapak-red.).

Apa solusi agar pembangunan rusu­nami kembali bergairah?

Bukan hanya Kemenpera yang turun tangan, minimal Presiden karena Menpera sendiri nanti nggak disetujui sama Menteri Keu angan. Jadi, harus ada keseriusan dari pejabat yang lebih tinggi dari Menpera, ter-utama Presiden harus turun tangan bahwa ketersediaan lahan di Indonesia akan se-makin berkurang.

Anda melihat ke depan apakah ada ti­tik terang program rusunami kembali berjalan?

Sampai saat ini gelap, kecuali Presiden dalam beberapa bulan ini terbuka matanya, terbuka hatinya baru bisa terang lagi cahaya rusunami. Tapi kalau masih sibuk dengan yang lain-lain masih belum bisa. Kita harapkan buka mata dan buka hati untuk Presiden bagi program rusunami.

Terobosan langsung dari Presiden?Ya, dulu kan RI 1 langsung ditindaklanjuti RI 2 kan Pak Jusuf Kalla.

Melalui Keppres bisa kan tinggal menindaklanjuti memperbarui Kep-pres yang ada mengenai harga jual dan semua. Itu semua di bawah instansi presiden. Kuncinya, keseriusan Presiden untuk memulai lagi (program rusunami), tidak hanya Menpera.

Menurut Anda bagaimana penggunaan lahan BUMN untuk rusunami?

Itu sudah lama usulannya, tapi tidak bisa ditindaklanjuti karena peran presiden nggak jalan. Dulu udah oke masih Pak JK (Jusuf Kalla red.), BUMN diambil tanahnya dibayar seharga Rp.2 juta per meter, tapi nanti bisa dibangun rumah susun baik sewa maupun milik.

Harapan Anda terhadap program rusunami?Harapan saya Presiden turun tangan. Kalau tanpa ada campur

tangan Presiden jangan harap rusunami bisa bergerak lagi. Kalau hanya mengandalkan pasar, swasta nyari yang menguntungkan karena program rumah murah ini kan program pemerintah. Jangan dibebankan ke swasta.

Bally Saputra Datuk Jano Sati Chief Executive Officer (CEO) Riyadh Group Indonesia,Presiden Direktur PT Graha Rayhan Tri Putra,

Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Rumah Susun DPP REI 2010-2013

“Program Rusunami Mundur, Bukan lagi Jalan di Tempat”

sumber foto: dok pribadi

Laporan Utama

Page 25: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

25

Edisi 3 ­ Maret 2013

Berdiri sejak tahun 1980, PT Sanggar Hurip adalah salah satu pengembang terkemuka di Bandung, Jawa Barat. Perseroan telah memiliki beragam portfolio pengembangan properti

dari berbagai segmen, antara lain Kompleks Ruko di Tegalega, Pe-rumahan Cihanjuang Estate, Perumahan Margahayu Permai, Peru-mahan Cisaranten Indah, Sanggar Hurip Estate, dan masih banyak lagi. Lukas Sartono, Direktur Utama PT Sanggar Hurip, adalah lakon dibalik kesuksesan perusahaan.

Pada tahun 2009, PT. Sanggar Hurip mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Perumahan Rakyat untuk ikut serta dalam me-nyukseskan “Program 1.000 Tower”. Jadilah kemudian “Apartemen Sanggar Hurip ­ Soekarno Hatta” sebagai proyek rumah susun milik pertama di Bandung.

“Apartemen ini menunjang kebutuhan akan hunian di wilayah Bandung Timur yang sangat besar yaitu hunian dengan fasilitas leng-kap serta dekat dengan pusat keramaian/kota, di samping itu harga terjangkau untuk masyarakat. Karena itu kami sangat bersemangat membangunnya,” cetus Lukas.

Apalagi Apartemen Sanggar Hurip ­ Soekarno Hatta juga ter-masuk dalam kawasan pengembangan kota Satelit Gede Bage yang mempunya prospek luar biasa bagus untuk segi ekonomi dan so-sial bagi masyarakat Bandung karena letaknya berdekatan dengan Stadion Utama Sepak Bola Gede Bage (stadion olah raga bertaraf internasional).

Sayangnya akibat berbagai regulasi yang tidak mendukung proyek yang semula khusus untuk MBR dengan kepemilikan mela-lui KPR FLPP terpaksa harus disesuaikan dengan mekanisme pasar. “Soal harga, dari kementerian itu satu step posisinya selalu terlam-bat. Sehingga tidak menarik lagi. Di samping konsumen juga susah mau ambil KPR FLPP,” cetusnya.

Akibatnya, program rusunami 1.000 tower yang digulirkan se-jak 2007 silam mengalami mati suri. Kepada HUD Magazines, Lukas Sartono, sang pelopor Rusunami di Ka-wasan Bandung ini mengeluhkan ber-bagai hal. Petikannya.

Bagaimana Anda melihat perkem­bangan program 1.000 to wer sejak di­luncurkan tahun 2007 silam?

Sejak program 1.000 Tower ini di-jalankan pertama kali, terasa sangat jauh berbeda, terutama dukungannya. Contohnya pada saat kita mengaju-kan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan), kenyataannya di daerah insentif tidak ada sama sekali. Kedua, keberpihakan dulunya sangat memperhatikan sekali kesulitan-kesulitan pengembang untuk menggolkan 1.000 Tower. Tapi, saat ini dirasa kurang.

Artinya perlu revisi regulasi ?Regulasinya awalnya sudah bagus.

Sasaran pemerintah juga sa ngat bagus, tapi harus komprehensif.Sekarang har-ga rusun walaupun masuk dalam kate-

gori bersubsidi konsumen tetap tidak bisa akses.Jadi ini bagaimana? Maksud saya begini, rusun itu kan ada FLPP-nya yang digulirkan pe-merintah yang disalurkan oleh perbankan. Saat ini yang saya tahu FLPP itu sangat sulit untuk dimohonkan, khusus untuk rumah susun apalagi.

Sekarang, apapun keputusan dari kementerian itu satu step (langkah-red.)posisinya selalu terlambat. Misalnya harga rusun itu dievaluasi. Dari evaluasi sampai keluar itu kan butuh waktu paling nggak setengah tahun sampai setahun. Dan pada saat keluar harga itu sudah nggak bisa cocok lagi dan sudah harus naik lagi. Ini yang kita lihat sangat terlambat. Dulu ada aturan yang bagus, pemerintah tidak perlu harus merevisi harga, cukup hanya melihat pokok kre­ditnya masuk FLPP atau tidak. Tetapi sekarang aturan yang bagus itu dirubah lagi jadi setiap tahun pemerintah harus revisi harga.

Persoalan pembiayaan memang disini sangat harus diperhati-kan, kualitas pengembangnya juga. Perlu diperhatikan pengembang­pengembang yang serius dalam hal penyuksesan 1.000 Tower ini.Seharusnya mendapat dukungan yang benar-benar penuh.

Tanggapan Anda mengenai sulitnya mencari lahan?Dari kementerian banyak memberikan solusi. Di mana lahan pe-

merintah yang bisa diaktifkan. Menurut saya, di mana pun kesulitan toh nantinya akan ada, tapi bukan artinya tidak bisa di realisasikan. Tetap bisa direalisasi. Buat saya yang lebih penting bukan dari tanah-nya. Kalau tanah menurut saya kalau di Jakarta agak ke pinggir. Kalau di daerah, agak ke tengah kota. Itu masih dimungkinkan. Yang jadi masalah dukungannya. Komprehensif dukungan.

Bagaimana Anda melihat masa depan program ini?Harusnya kalau program untuk rakyat nggak boleh berhenti. Kita

juga minta wujud nyata dukungannya. Misalnya dalam hal menda­patkan izin, kemudahan dalam hal pembiayaan. Itu kan penting sekali sehingga siapapun akan tertarik untuk menyukseskan program ini.

Dengan permintaan yang tinggi, bagaimana prospek pemba­ngunan rusunami?

Betul. Pasti tinggi demand-nya. De-mand nggak akan bisa berku rang se iring dengan perkembangan kota. Nggak akan mungkin turun. Kalau istilah turun atau berkurang itu nggak mungkin kare-na demand akan semakin banyak. Seka-rang, kita harus memodernisasi hunian terhadap MBR ini. Ini yang harus dikejar oleh orang yang benar-benar ingin tepat sasaran sebab masyarakat ini bisa hidup ditatanan modern.

Harapan terhadap program ini?Ini kan program pemerintah jadi

nggak ada istilahnya untuk berhenti. Cuma kita harapkan juga dukungan dari pemerintah semakin lama semakin so-lid. Pemerintah harus pro (mendukung-red.), juga harus mengeluarkan insentif yang konkrit bukan hanya diatas kertas. Ijin­ijin memang harus dimudahkan ka­rena ini kan untuk MBR. (fnd)

Lukas Sartono, Direktur Utama PT. Sanggar Hurip “Kementerian Satu Step Selalu Terlambat”

sumber foto: dok pribadi

Page 26: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

26

Dalam berbagai kesempatan pemerintah melalui Kemen-terian Perumahan Rakyat menyampaikan bahwa selain rumah murah tapak, pemerintah juga berjanji akan me-

masilitasi kepemilikan rumah susun bagi masyarakat berpeng-hasilan rendah (MBR). Sayang, konsep ini hanya sebatas ucapan saja tak sesuai harapan dan tak berjalan.

Maka tak heran kondisi di lapangan justru kian menyulitkan MBR untuk memiliki rumah tapak murah atau rusunami. Faktor verifikasi perbankan selalu menjadi ganjalan MBR tidak lolos uji kelayakan sebagai syarat memiliki hunian. Ironisnya, program rusunami yang semula diperuntukkan bagi masyarakat bawah justru bergeser membidik pasar kalangan yang tak semestinya.

Padahal, tingginya minat masyarakat bawah untuk menyicil atau mengangsur kredit hunian tanpa memperhitungkan suku bunga kredit, ketimbang membeli secara tunai. Ini menunjukkan kebutuhan hunian layak bagi masyarakat bawah sebagai penggu-na langsung masih sangat bergantung pada fasilitas pembiayaan kredit yang diharapkan dapat lebih berpihak pada MBR.

Berbagai urusan kredit yang membelit masyarakat bawah dalam proses kepemilikan rusunami justru menjadi celah bagi masyarakat menengah atas dalam memperoleh rusunami yang ditujukan untuk tujuan investasi. Hampir 100 persen masyarakat menengah atas membeli unit rusunami dengan cara tunai, ke-mudian disewakan kembali dengan tujuan agar imbal hasilnya dapat melebihi keuntungan deposito. Hal ini memang banyak terjadi dalam penjualan rusunami, karena potensi sewanya me-mang ada dan juga besar. Rusunami yang dibeli oleh kalangan mene ngah atas pun disewakan dengan nilai yang berlipat-lipat dari nilai kredit. Bahkan untuk tujuan lain, investor rusunami juga kerap memindahtangankan kepemilikan unit dengan harga jual setara apartemen menengah atas.

Salah satu solusi ditawarkan oleh Endang Kawidjaja, Direk-tur Utama PT. Delta Pinang Mas, pengembang rusunami Delta Cakung. Idenya berangkat dari kenyataan bahwa dari sepuluh calon pembeli rusunami dari masyarakat bawah, hanya sekitar dua hingga tiga calon pembeli rusunami masyarakat bawah yang lolos verifikasi.

Endang mengatakan sebagian besar masyarakat bawah bia-sanya tidak lolos verifikasi perbankan karena berbagai urusan ad-ministrasi tidak terpenuhi seperti data sumber pendapatan yang mengharuskan memiliki penghasilan tidak kurang dari 4,5 juta Rupiah/bulan. Dia menjelaskan dalam urusan ini ada jalan keluar lain bagi masyarakat bawah untuk memiliki rusunami, melalui skema sewa-beli. “Dengan skema sewa-beli, masyarakat bawah dapat memiliki rusunami dengan syarat membayar 4 komponen, di antaranya uang muka, bunga kepada penyandang dana talang-

an, umpama pekerja katakanlah Jamsostek, serta biaya charge dan biaya administrasi selama sistem sewa-beli ini berlangsung,” jelas Endang.

Konsep sewa-beli dapat berlangsung selama tiga tahun, dan selama itu masyarakat bawah dapat menyelesaikan proses perbankan. Pada tahun ketiga sewa-beli, masyarakat bawah mengembalikan uang hasil akad untuk dikembalikan kepada pe-nyandang dana.

Siasati BangunanSebenarnya banyak cara agar program merumahkan MBR

khususnya yang berada di tengah kota mendapatkan hunian yang layak. Salah satu cara yang dilakukan oleh PT Delta Pinang Mas yang merupakan pengembang rusunami Delta Cakung adalah dengan menyiasati bentuk bangunan. Endang Kawidjaja menceri takan, saat pertama kali merencanakan pembangunan rusunami ini berpatokan pada ide awalnya bahwa rusunami ini diperuntukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Untuk itu, berbagai elemen yang bisa disiasati diantaranya bangunan diminimalkan bentuk dan fungsinya. Rusunami Delta Cakung tidak dikembangkan dalam ketinggian kebanyakan rusu-nami, tingginya hanya 6 lantai yang terdiri dari 2 tower dengan total unit sebanyak 520. Ini dilakukan untuk mengurangi beban bangunan, terkait kedalaman pondasi bangunan yang tentunya akan mengurangi biaya pembangunan.

Selanjutnya dengan ketinggian yang minim ini, tak memer-lukan lift untuk mengangkut penghuni rusunami ke lantai-lantai atas. Namun dalam perjalanannya setelah adanya subsidi fasilitas lift barulah dioperasikan lift. “Ini juga karena tuntutan masyarakat, konsumen Delta Cakung. Kita pun akhirnya menggunakan fasili-tas ini dengan bantuan dari Kemenpera,” kata Endang.

Dan yang paling memangkas pengeluaran adalah dalam se-tiap unit rusunami tak menggunakan plafon. Instalasi air dan listrik yang dibalut pipa disusun rapi di dinding bagian atas dan samping. Namun ini tak mengurangi estetika ruangan, karena dari sisi perawatan tentunya akan lebih mudah dan juga mengu-rangi biaya tinggi.

Nah, dengan konsepnya yang sederhana ini, ternyata ada hal lain yang patut jadi pemikiran baru agar konsep rusunami ini te-pat sasaran. “Dengan bentuk desain interior demikian, investor tentunya akan lari karena bentuknya kurang menarik. Tapi bagi mereka yang ingin memiliki hunian murah di tengah kota ini tak masalah. Terbukti dari 520 unit yang ada semuanya sudah terjual dan 90 persen penjualannya menggunakan FLPP. Rencananya kita akan melakukan prosesi topping off dalam waktu dekat ini,” tegas Endang (aan).

Agar Tak Salah Sasaran,

Sewa-Beli Bisa Jadi Solusisumber foto: dok. pribadi

SukseskanProgram 1.000 Tower

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower

Endang Kawijaya, Direktur Utama PT. Delta Pinang Mas/Wakil Ketua Umum Bidang Pembangunan Rumah Susun DPP APERSI 2010 – 2013

Laporan Utama

Page 27: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

27

Edisi 3 - Maret 2013

SukseskanProgram 1.000 Tower

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower

5 April 2007 - 5 April 2013

PT. GRAHA RAYHAN TRI PUTRA

SukseskanProgram 1.000 Tower

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower5 April 2007 - 5 April 2013

SukseskanProgram 1.000 Tower

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower

5 April 2007 - 5 April 2013

Page 28: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

28

P rogram 1000 Tower adalah program percepatan pembangunan rumah susun untuk masyarakat ber­penghasilan menengah bawah perkotaan yang diga­

gas Pemerintah pada masa kabinet Indonesia Bersatu jilid I, melalui Keppres 22 Tahun 2006. Pada tanggal 5 April 2007, dilakukan ground breaking di Rumah Susun Milik Pu­logebang Jakarta yang dilakukan sendiri oleh Presiden, yang didampingi oleh beberapa menteri terkait dan kepala daerah. Menjelang 6 tahun berlangsungnya program ini, pada pelak­sanaannya mengalami pasang surut, namun melihat esensi dan urgensinya ke masyarakat, bangsa dan negara, program ini terus dilanjutkan sampai saat ini.

Salah satu persyaratan keberhasilannya adalah pemenuh­an persyaratan teknis dan teknologis, karena menentukan keseimbangan antara keandalan bangunan dan harga ba­ngunan, yang secara realitas menentukan pasang­surutnya program ini. Tulisan ini menyajikan kaji aspek teknis dan teknologis yang dimulai dari kilas balik program rusun dari sejak pertama kali secara formal diterapkan pada tahun 1974, regulasi khusus yang dibuat untuk mendukung pro­gram 1.000 tower, pasang surut penerapan di lapangan, serta masukan untuk pelaksanaan program ini ke depan.

Kilas Balik Aspek Teknis dan Teknologi Rumah Susun Program rumah susun secara sistematis dimulai dari

sejak tahun pembangunannya di Sarijadi Bandung pada tahun 1974 oleh Perum Perumnas, seperti terlihat pada Gambar 1. Pembangunan dilakukan dengan mengguna­kan suatu prototipe desain gedung 4 lantai yang dibangun dengan teknologi sistem prefab “Brecast” yang berasal dari Inggris. Momen ini adalah sangat penting, karena meru­pakan terobosan baik dari aspek kebijakan maupun dari aspek teknis dan teknologis. Dari aspek kebijakan, hal ini merupakan antisipasi jauh ke depan bahwa masyarakat perkotaan akan tinggal di rumah vertikal, padahal sampai tahun 1980 baru 22.4% penduduk di Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Dari aspek teknis dan teknologis, juga merupakan terobosan karena menggunakan suatu proto­tipe desain dan sistem pembangunan prefab. Sistem precast adalah sistem yang memang mempunyai keunggulan in­trinsik yang lebih baik dari sistem konvensional dalam hal

mutu, kecepatan, dan biaya yang ekonomis. Sistem precast saat ini memang merupakan pilihan utama, namun pada tahun itu boleh dikatakan pertama kali diterapkan di In­donesia untuk bangunan gedung.

Perum Perumnas melanjutkan program pembangunan rusun di kota­kota besar lain seperti di Jakarta, Palembang dan Medan, seperti terlihat pada Gambar 2 dalam ku­run waktu 1979 – 1995. Teknologi yang digunakan pada u mumnya juga sistem prefab, yang saat itu masih merupa­kan teknologi impor, karena belum ada industri konstruk­si nasional yang menguasai teknologi ini pada bangun an gedung secara utuh. Saat ini, rusun­rusun itu menjadi terletak di pusat­pusat kota, dan memberi gambar an ba­gaimana seharusnya program 1.000 tower pada saat ini dilaksanakan.

Urbanisasi di Indonesia terus meningkat dengan cepat. Pada tahun 2000, penduduk perkotaan sudah mencapai 40%. Pada tahun 1995, Pemerintah sudah mulai meng­antisipasi fenomena ini dengan membuat suatu program pembangunan rusun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang lebih sistematis, dengan Perum Pe­

Kajian Teknis dan Teknologis

Program 1.000 TowerDR.Ir. Hari Nugraha Nurjaman, MT*

Gambar 1 Rumah Susun Sarijadi Bandung dengan Sistem Brecast

Gambar 2 Rusun Terbangun Tahun 1979 – 1995 di Kota­kota Besar (Jakarta dan Palembang)

Laporan Utama

Page 29: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

29

Edisi 3 - Maret 2013

rumnas menjadi ujung tombaknya. Peresmian program ini langsung dipimpin oleh Presiden, yang saat itu dijabat oleh Soeharto, di lokasi pembangunan rusun di Cengkareng. Program ini di sokong oleh beberapa pemerintah kota be­sar seperti Jakarta, Surabaya, dan Batam, serta beberapa Badan Usaha Milik Negara seperti PT Pelindo, Jamsostek dan lainnya. Dari segi teknis dan teknologis, masing­ma­sing menggunakan desain prototipe antara 4 – 6 lantai dan menggunakan sistem pembangunan yang lebih baik dari sistem konvensional, yang saat itu sudah itu terdiri dari sistem pracetak dan sistem formwork, seperti terlihat pada Gambar 3.

Pada fase inilah pemerintah mendorong pihak industri konstruksi nasional untuk mengembangkan sistem pra­cetak secara mandiri. Proses dimulai dari alih teknologi pada pembangunan rusun Cengkareng (1995), yang lalu dilanjutkan dengan penelitian dan pengembangan sistem pracetak tahan gempa oleh beberapa industri konstruksi nasional dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Per­mukiman (Puskim) Kementerian Pekerjaan Umum. Pada tahun 1998, paten pertama dihasilkan oleh industri kon­struksi nasional, diikuti oleh beberapa sistem lain, sehingga sampai tahun 2002 tersedia 6 sistem pracetak tahan gempa untuk bangunan gedung bertingkat medium, seperti terli­hat pada Gambar 4. Pada fasa ini lah terintis suatu sinergi yang baik antara pemerintah, peneliti, penemu dan indus­tri konstruksi nasional sehingga secara teknis dan teknolo­gis kemampuan industri konstruksi nasional berkembang

dalam menghasilkan rusun untuk MBR yang berkuali­tas, dengan kapasitas produksi massal dengan harga yang ekonomis.

Pada era reformasi yang mulai menampakkan kesta­bilannya pada tahun 1999 – 2004, terjadi perubahan be­sar pada pihak yang menangani rusun untuk MBR. Pe­merintah Pusat mengambil alih peran utama lewat dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan lewat Kementerian Pekerjaan Umum (dengan berbagai variasi namanya). Program secara efektif dimulai tahun 2002, lewat program uji coba rumah susun di 10 kota besar di Indonesia. Pelaksanaan program ini dilaku­kan dalam kondisi negara yang berubah secara drastis, teru­tama dalam aspek hubungan pemerintah pusat dan daerah serta metoda pengadaan barang jasa yang harus mengikuti aturan implementasi APBN. Pada awalnya, desain dilaku­kan secara khusus untuk tiap lokasi, namun seiring dengan kebutuhan yang semakin besar, maka dibuatlah prototipe desain rusunawa Kementerian Pekerjaan Umum T­24 (2006). Pelaksanaan rusun pada era ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 3 Pembangunan Rusun Era Tahun 1995 ­ 2002

Gambar 4 Sistem Pracetak yang Berkembang pada Kurun Waktu 1995 – 2002

Gambar 5 Pelaksanaan Rusuna pada 2002 ­ 2006

Page 30: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

30

Pada era ini, sistem pracetak tetap menjadi andalan implementasi program. Suatu studi dari berbagai penerap­an sistem pracetak di berbagai daerah, terbukti dapat di­terapkan dengan harga yang tidak lebih mahal dari sistem konvensional, walaupun dalam jumlah 1 blok rusun saja di berbagai daerah jauh dan terpencil seperti Jayapura, Nunukan dan Entikong. Berdasarkan studi dari berbagai desain dan penerapan sistem pracetak, disusunlah proto­tipe rusunawa T24 Kementerian Pekerjaan Umum seperti terlihat pada Gambar 6, agar secara desain lebih efisien dan peningkatan kualitas dapat dilakukan secara kontinu ber­dasarkan desain yang standar.

Regulasi Khusus untuk Mendukung Program 1.000 Tower

Untuk mendukung program 1.000 Tower dalam as­pek persyaratan teknis dan rekomendasi teknologi agar mendapatkan bangunan yang memenuhi persyaratan na­mun ekonomis, Kementerian Pekerjaan Umum mener­bitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi. Pedoman ini melengkapi peraturan yang sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun. Kedua

peraturan ini, selain menetap­kan persyaratan keandalan bangunan gedung, yang meli­puti persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan, juga merekomen­dasikan beberapa hal yang da­pat membuat desain bangunan menjadi ekonomis.

Pada aspek arsitektur dan Mechanical Engineering (ME) misalnya direkomendasikan pencahayaan, penghawaan dan kendali bau dilakukan secara alami. Pada aspek konstruksi, misalnya direkomendasikan menggunakan sistem pem­bangunan yang lebih baik dari konvensional, seperti sistem pracetak dan sistem formwork. Pada aspek material, misal­nya direkomendasikan peng­gunaan beton pracetak untuk dinding fasad serta beton ri­ngan atau kalsiboard/gipsum untuk dinding partisi dalam. Pada bagian akhir, juga disam­paikan contoh desain bangun­an rusun tingkat tinggi yang memenuhi rekomendasi, serta estimasi biaya pembangunan­nya untuk rusun bertingkat 8, 15 dan 20 lantai seperti terli­hat pada Gambar 7.

Peraturan teknis dan teknologis ini menjadi bagian terintegrasi dari seperangkat peraturan lain dari berbagai Kementerian dan Pemerintah

Gambar 6 Prototipe Rusunawa T24 Kementerian Pekerjaan Umum

Gambar 7 Prototipe Rusun Bertingkat Tinggi dari Permen PU Nomor 05/PRT/M/2007

3

1

Laporan Utama

Page 31: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

31

Edisi 3 - Maret 2013

Daerah yang menyangkut harga jual, fasilitas yang mem­beri kemudahan perijinan, fasilitas dalam bidang perpa­jakan dan lain­lain. Hal ini diperlukan karena program 1.000 tower pada dasarnya membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk berpartisipasi. Peraturan tersebut pada dasarnya memberikan berbagai insentif, agar swasta dapat terlibat untuk mendukung program pengadaan perumah­an bagi masyarakat berpenghasilan menengah bawah di kota­kota besar.

Penerapan di Lapangan (2007 -2012)a. Program Rusunami bersama Pengembang

Program 1.000 tower diresmikan oleh Presiden pada tanggal 5 April 2007, lewat pembangunan rusunami di lahan Perumnas di Pulogebang. Keseluruhan desain dan metoda pelaksanaan memenuhi persyaratan teknis dan teknologis dalam Permen PU No.05/PRT/M/2007, seper­ti terlihat pada Gambar 8.

Sejak itu pengembang swasta mulai banyak yang masuk ke pembangunan rusunami, karena secara finansial cukup menarik dan banyak insentif yang ditawarkan. Maka ter­ciptalah suatu pasar baru, yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya ­ bahkan oleh para pengembang swasta paling berpengalaman sekalipun ­, yaitu “apartemen murah’ de­ngan harga dibawah Rp.200.000.000,­. Pada waktu sebe­lumnya, apartemen umumnya berharga Rp.500.000.000,­ ke atas, yang jelas hanya bisa dimiliki oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.

Program ini mulai menghadapi cobaan berat pada akhir 2007 dan awal 2008, ketika terjadi dua kali kejadian pen­ting, yaitu krisis moneter yang mengakibatkan kenaikan drastis harga besi dan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang juga menaikkan hampir seluruh komponen harga bangunan. Secara faktual, seluruh asumsi dasar per­hitungan yang digunakan dalam membuat regulasi pendu­kung menjadi mentah. Pengembang minta harga disesuai­kan, namun pihak pemerintah tidak mampu melakukan hal tersebut karena alasan­alasan “birokratis”. Pengembang lalu menyikapinya secara pragmatis, mulai dari penaikan harga secara halus (peningkatan kualitas, harga khusus untuk posisi tertentu) bahkan sampai penurunan kualitas desain sampai dibawah standar yang ditetapkan dalam Per­men PU No.05/PRT/M/2007 (tipe yang lebih kecil, ko­ridor lebih sempit, ada kamar tidur yang tidak mendapat cahaya langsung, kamar mandi tidak ada ventilasi dan lain­lain), seperti terlihat pada Gambar 9, serta mengisi rusu­nami program 1.000 tower dengan penghuni yang tidak masuk kategori MBR.

Gambar 8 Peresmian Program 1000 Tower di Rusunami Pulogebang

Gambar 9 Beberapa Contoh Desain Rusunami yang Tidak Memenuhi Persyaratan Teknis

Page 32: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

32

Aspek penurunan kualitas desain inilah yang mendo­rong Tim Penasehat Arsitektur Kota (TPAK) mengirim surat secara khusus ke Gubernur DKI, untuk meninjau kembali persyaratan teknis rusunami, termasuk masalah kepadatan hunian yang berimbas ke insentif KLB yang ter­cantum dalam Pergub Nomor 137/2007. Pihak DKI lalu membekukan proses perijinan rusunami, selagi dilakukan diskusi untuk menyepakati aturan teknis. Diskusi aspek teknis ini berlangsung hampir 2 tahun sampai tahun 2009. Para pengembang swasta yang sudah masuk ke program ini ­dengan sudah melakukan investasi­ masih berharap bahwa Pemerintah – yang sudah mengundang mereka masuk – untuk bisa ‘memahami’ entusiasisme mereka dalam mendu­kung program 1.000 tower. Di pihak pemerintah sendiri, yang memang terdiri dari banyak instansi, tidak sepenuh­nya bisa satu suara dalam menyikapi hal ini. Birokrasi tidak dapat memahami mengapa pengembang meminta penye­suaian harga, dan bahkan terkesan menganggap pengem­bang berusaha mengambil untung “terlalu besar”.

Pukulan paling mematikan adalah keluarnya revisi Per­gub tentang rusun, yaitu Pergub Nomor 29/2009, yang secara efektif merevisi berbagai insentif, yang kemudian di­lakukannya “razia” penyegelan banyak rusunami yang tidak memiliki IMB, yang menyebabkan pengembang rusunami harus membayar denda. Ancaman lain adalah tim penye­lidik pajak yang mengancam akan memberi sanksi pidana bagi pengembang yang memberikan bagian dari rusunami yang diusulkan termasuk program 1.000 tower, kepada penghuni yang tidak memenuhi persyaratan MBR. Ke­seluruhan sikap pemerintah ini dianggap “pengkhianatan”, sehingga para pengembang swasta secara resmi ramai­ra­mai mengundurkan diri dari program 1.000 tower.

Di luar dari carut marut tersebut, suatu legasi yang tidak terbantahkan adalah munculnya pasar baru “Apar­temen Murah” yang berharga Rp.200 jutaan. Pasar ini tadinya tidak terpikirkan oleh pengembang swasta paling berpengalaman sekalipun. Pasar ini tadinya merupakan “exit” dari pengembang swasta yang terlanjur masuk ke program 1.000 tower, namun dengan carut marut yang ada mereka memutuskan menjual produk yang sudah terlanjur dibangun dengan sama sekali tidak menggunakan fasilitas insentif pemerintah. Pasar ini ternyata sangat kuat, sehing­ga secara alami para pengembang menggunakan prinsip­prinsip aspek teknis dan teknologis yang tercantum dalam Permen PU Nomor 05/PRT/M/2007 untuk mendapat­kan bangunan yang efisien, agar dapat dijual pada segmen pasar baru tersebut.

Pada tahun 2012, Pemerintah melalui Kemenpera akhirnya merevisi harga jual rusunami menjadi Rp.216 juta, namun aturan dari Kementerian lain yang mendu­kung (misal perpajakan), dan juga Pergub DKI (misalnya

insentif KLB) belum secara selaras direvisi kembali. Para pengembang swasta sudah menyatakan secara verbal akan kembali mendukung program 1.000 tower, namun pada dasarnya sikap mereka adalah “wait and see” apakah peme­rintah konsisten dalam merevisi regulasi yang terkait. Jelas bahwa saat ini pengembang swasta sudah punya pilihan di pasar “Apartemen Murah”, jadi tidak perlu bergantung lagi pada “janji­janji” pemerintah.

b. Program Rusunawa dari APBN/APBDProgram rusunawa dari APBN/APBD ditangani di

pusat oleh Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU) dan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), serta di daerah oleh beberapa Pemda seperti Pemda DKI Jakarta dan Pemkot Surabaya. Pembagian tugas antara Kemen PU dan Kemenpera sebenarnya cukup jelas, walau di lapangan terkadang masih tumpang tindih.

Kemen PU sampai saat ini konsisten mengembangkan program rusunawa berdasarkan aspek teknis dan teknolo­gis. Pada tahun 2007 – 2012, hampir semua rusunawa diba­ngun dengan prototipe T­24 dengan menggunakan metoda pracetak, dengan jumlah rusun yang dibangun meningkat secara proporsional, seperti terlihat pada Gambar 10. De­ngan cara yang konsisten ini, maka peningkatan kualitas dapat dilakukan secara sistematis, melalui pembinaan yang berkesinambungan pada para pelaku pembangunannya. Baru pada tahun 2011 ­ 4 tahun setelah ditetapkan standar prototipe ­ Kementerian PU menyatakan bahwa sudah di­capai taraf mutu rusunawa yang baik (fungsional, tampil­an baik, tepat waktu, ekonomis dan yang penting tidak bocor), seperti yang dinyatakan Menteri Pekerjaan Umum pada peresmian rusunawa mahasiswa Institut Teknologi Bandung di Jatinangor seperti terlihat pada Gambar 11.

Gambar 10 Pembangunan Rusunawa Kementerian PU 2007 – 2012 dengan prototipe T-24

Gambar 11 Menteri PU dalam Peresmian Rusunawa Kampus ITB 2011

Laporan Utama

Page 33: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

33

Edisi 3 - Maret 2013

Baru setelah aspek teknis dan teknologis dapat dikuasai dengan baik oleh para pelakunya, Kemen PU akan melang­kah ke variasi desain prototipe yang lain, yaitu tipe yang lebih besar (mengarah ke tipe 36 sesuai dengan Undang­Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun) dan bertingkat tinggi. Sebagai uji coba, dilakukan pem­bangunan rusunawa bertingkat 10 double loaded corridor dengan kombinasi unit tipe 36 dan 24 di Rempoa, yang dikhususkan untuk pegawai Kemen PU. Pencanangan ini dilakukan sendiri oleh Menteri PU pada tahun 2013, se­perti terlihat pada Gambar 12. Kemen PU berharap desain ini dapat menjadi contoh nyata bagi pihak­pihak lain yang akan membangun rusun bertingkat tinggi.

Kemenpera sampai tahun 2011 mengikuti pola Ke­men PU, yaitu penggunaan desain prototipe dan metoda pracetak, serta peningkatan jumlah rusun per tahun secara gradual. Pada tahun 2012, terjadi perubahan orientasi yang tidak sepenuhnya berdasar kajian teknis dan teknolo­gis yang tepat. Untuk rusunawa “reguler” jumlah dilipat gandakan dengan pengurangan jumlah lantai hanya men­jadi 2 – 3 lantai. Ada kesan bahwa bangunan 2 – 3 lantai “mudah” dibuat, sehingga tidak memerlukan persiapan as­pek teknis dan teknologis yang terlalu “serius”. Pengabaian ini menyebabkan banyaknya pembangunan rusun tahun 2012 yang tidak tepat waktu dan kualitas yang tidak baik. Di sisi lain, untuk DKI Jakarta, Kemenpera justru meng­

gagas konsep rusun super tinggi (di atas 24 lantai), dan bahkan sebagian direncanakan di atas jembatan kali Cili­wung. Konsep ini merupakan loncatan yang terlalu jauh dari aspek teknis dan teknologis, sehingga sampai saat ini belum bisa terwujud.

Pemda DKI Jakarta sampai saat ini masih mengikuti pola Kemen PU untuk rusunawa bertingkat medium sam­pai 6 lantai. Pada tahun 2012, di era Gubernur baru, Pem­da DKI bertekad untuk membangun rusun tingkat tinggi untuk MBR dalam jumlah yang sangat banyak, karena hal tersebut memang sudah merupakan kebutuhan khusus. Gubernur secara spesifik sudah menyampaikan agar de­sain rusun tidak “kaku” dengan berbasis hanya fungsional, mempunyai pencirian etnik Betawi, dan dibuat sesuai tematik dominan penghuninya (misalnya tematik nelayan, pasar tekstil). Saat ini sedang terjadi diskusi yang intens antarberbagai pihak terkait, namun perlu dicatat bahwa tanpa didukung persiapan aspek teknis dan teknologi yang tepat, program ini tidak dapat optimal dijalankan.

Masukan untuk Program 1.000 Tower ke DepanBerbagai pengalaman penerapan yang dijabarkan sebe­

lumnya, terlihat jelas aspek teknis dan teknologis adalah aspek alamiah penting yang harus diperhatikan oleh selu­ruh pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam program 1.000 tower. Jika diikuti pasti akan

Gambar 12 Rusunawa Rempoa, Uji Coba 10 lantai tipe 36 dan 24

Page 34: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

34

membawa berkah. Jika diabaikan atau bahkan diingkari, sama saja dengan pengingkaran hukum alam (yang me­rupakan juga Hukum Tuhan), yang pasti mendatangkan azab.

Untuk program rusunami yang konsepnya melibatkan pengembang, pemerintah harus mendukung hal yang su­dah diterobos Kemenpera yang sudah menaikkan harga jual berdasarkan kajian teknis dan teknologis, dengan re­gulasi­regulasi di sektor lain terutama di sektor fiskal (di Kementerian Keuangan) dan insentif (di Pemda, terutama di DKI). Para pengembang memang saat ini sudah mem­punyai pasar baru “Apartemen Murah Kelas 200 jutaan se­bagai ekses dari program 1.000 tower, sehingga tidak terlalu berharap akan “janji­janji” pemerintah tersebut. Berdasar­kan pengalaman sifat pasar, harga “Apartemen Murah” ini akan berangsur­angsur naik jika tidak ada penyeimbang, sehingga peran Pemerintah sebenarnya sangat diharapkan disini, agar apartemen rusun tingkat tinggi yang terjang­kau akan tetap ada bagi masyarakat berpenghasilan me­nengah bawah.

Untuk program rusunawa dari APBN/APBD, Kemen­terian Pekerjaan Umum diharapkan untuk terus konsis­ten menjadikan aspek teknis dan teknologis sebagai dasar utama, sehingga dapat menjadi acuan bagi berbagai pihak yang akan mengembangkan rusun, baik bertingkat me­dium maupun bertingkat tinggi. Kementerian Perumahan Rakyat agar kembali ke “khittah” nya, sehingga program pembangunan rusunawa dapat dilakukan kembali dengan baik. Untuk Pemda DKI, perlu persiapan yang baik dari aspek teknis dan teknologis, agar pembangunan rusuna­wa bertingkat tinggi dalam jumlah banyak dengan desain yang “tidak kaku”, mempunyai ciri Betawi, dan mempu­nyai tematik sesuai fungsi sesuai harapan Gubernur dapat terlaksana nantinya dengan baik.

Untuk asosiasi, diharapkan dapat meningkatkan ke­mampuan teknis dan teknologisnya baik secara faktual (de facto) maupun secara hukum (de jure). Kemampuan faktual adalah peningkatan sumber daya manusia, kualitas manajemen, peralatan pendukung, dan kapasitas produksi. Kemampuan secara hukum adalah membuat para pelaku konstruksi mempunyai sertifikat keahlian dan badan usa­hanya mempunyai sertifikat badan usaha yang khusus un­tuk teknologi non konvensional (misalnya seperti sistem pracetak dan sistem formwork untuk struktur) seperti yang digariskan oleh Permen PU Nomor 05/PRT/M/2007.

Dari aspek hukum, juga perlu dibuat terobosan me­ngenai cara pengadaan barang dan jasa bersumber dari APBN dan APBD. Dengan pola yang ada, setiap rusun harus melalui proses tender desain dan tender pelaksana­an. Cara pelelangan yang berpatok pada “harga terendah” sepertinya jika terapkan secara naif, biasanya justru gagal

menghasilkan perencana dan barang yang tepat mutu dan waktu. Kemen PU saat ini sudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan regulasi yang ada, sedangkan Kemen­pera sepertinya justru sedang “jatuh” dalam masalah ini.

Terdapat terobosan menarik yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Pemda DKI saat ini, dengan memanfaat­kan peluang e­purchasing dalam Pasal 110 Perpres 70/2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pada pasal ini dapat dibuat standar harga produk, yang ditetapkan ke­wajarannya oleh tim penilai khusus dan di sahkan bersama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Peme­rintah (LKPP).

Jika produk dan harganya sudah masuk daftar, maka pengguna jasa dapat membeli langsung ke pemasok tanpa melalui tender. Cara ini sangat memotong waktu imple­mentasi program dengan tetap dalam koridor hukum yang berlaku (sudah diterapkan misalnya pada normalisasi su­ngai dengan turap beton), sehingga cocok untuk antisipasi karakter Gubernur DKI yang baru. Akan sangat menarik jika konsep ini bisa diterapkan pada produk rusun dengan sistem prefabrikasi dengan desain prototipe tertentu yang sudah memenuhi kajian teknis dan teknologis yang benar. Keseluruhan harga produk dikaji dengan tim independen, lalu disahkan oleh LKPP. Jadi keinginan Gubernur yang selalu disampaikan dalam tiap kesempatan “Jika lahan, perijinan dan dana sudah siap, besok langsung cor” dapat terjembatani.

PenutupPada setiap pekerjaan konstruksi, aspek teknis dan

teknologis merupakan aspek natural yang harus menjadi pertimbangan utama para penentu kebijakan (Pemerin­tah) dan pemangku kepentingan (Pengembang dan para profesional). Pengalaman pembangunan rusun dari sejak dimulai secara sistematis sejak 1974 sampai pada program 1.000 tower saat ini menunjukkan bahwa jika program di­lakukan dengan pertimbangan teknis dan teknologis yang benar akan membahwa kemaslahatan, namun jika diabai­kan atau diingkari, justru akan membawa azab.

Program 1.000 tower pada dasarnya adalah program de­ngan tujuan mulia untuk memberi kesempatan masyarakat berpenghasilan menengah bawah untuk mendapatkan hunian yang layak, yang pada tahun 2020 diperkirakan jumlahnya 60% tinggal di perkotaan. Hunian yang layak akan menjamin tumbuhnya masyarakat yang sehat dan kuat, yang pada akhirnya akan membawa bangsa Indone­sia menuju gerbang kemakmuran dan kesejahteraan se perti yang diinginkan oleh kita semua.

*Anggota Tim Pakar HUD Institute/Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan

Perkotaan Indonesia (LP P3I).

Laporan Utama

Page 35: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

35

SukseskanProgram 1.000 TowerMemperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower

5 April 2007 - 5 April 2013

HUT Bank BTN ke 63HUT REI ke 41HUT Bapertarum PNS ke 20HUT Otonomi Daerah ke 17

Alamat Redaksi:Yayasan LP P3I/The HUD Institute

Jln. Arya Putra No. 14A, Ciputat-Tangerang Selatan

Email:[email protected]

[email protected]

Page 36: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

36

Pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia terbilang sangat pesat. Bahkan beberapa kota besar dalam waktu dekat akan naik kelas menjadi kota metropolitan. Di antara kota besar dengan jumlah penduduk yang mendekati 1 (satu) juta

jiwa adalah kota Pekanbaru. Dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 4,47 persen per tahun, diperkirakan tahun 2013 angka 1 (satu) juta jiwa telah tercapai.

Menjadi menarik kemudian melihat dari dekat bagaimana sebuah kota mempersiapkan diri menjadi sebuah metropolitan. Tulisan ringkas ini merupakan hasil pengamatan langsung, dan bincang-bincang dengan walikota Pekanbaru, H. Firdaus, dan pemangku kepentingan lainnya.

Sekilas Kota PekanbaruSejak tahun 2010, Pekanbaru telah menjadi kota ketiga

berpenduduk terbanyak di Pulau Sumatera, setelah Medan dan Palembang. Laju pertumbuhan ekonomi Pekanbaru yang cukup pesat mencapai 9,05 persen per tahun (2011), menjadi pendorong tingginya laju pertumbuhan penduduk. Ciri-ciri sebuah metropolitan telah lama disandangnya. Misalnya saja, pertambahan penduduk yang tinggi, lapangan pekerjaan didominasi perdagangan dan jasa, serta penduduknya yang multi etnis.

Langkah Antisipatif dan KreatifPemerintah kota Pekanbaru terlihat siap dalam

menyongsong keberadaan kota Pekanbaru sebagai kota Metropolitan, setidaknya melalui visinya, yaitu “Mewujudkan kota Pekanbaru menjadi kota Metropolitan yang Madani”. Hal ini dibuktikan dengan langkah antisipatif pemerintah kota melalui penyebaran pusat kegiatan dengan memindahkan pusat pemerintahan kota ke wilayah yang lebih rendah kepadatannya. Langkah ini terbilang sistematis karena didahului oleh revisi tata ruang. Selain itu, penyiapan infrastruktur kota juga dilakukan sebagai antisipasi pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi.

Penyediaan fasilitas yang menjadi prioritas adalah saluran drainase yang didahului dengan penyusunan rencana induk pengembangan drainase sebagai upaya mengatasi

banjir. Terkait transportasi publik dilakukan penambahan jumlah bus kota, penambahan koridor, serta jaringan jalan. Peningkatan kapasitas listrik terpasang juga dilakukan melalui berbagai sumber baik pembangkit listrik tenaga uap dari batubara, pembangkit listrik tenaga sampah, dan pembangkit listrik tenaga gas. Peningkatan kapasitas layanan air minum pun dilakukan bekerja sama dengan investor. Pengelolaan sampah juga menjadi kepedulian dengan memanfaatkan TPA sistem sanitary landfill dan melibatkan masyarakat dalam mengurangi timbulan sampah.

Untuk mencegah pertumbuhan kawasan perumahan dan permukiman yang tidak terkendali, pemerintah kota berinisiatif mengundang para pengembang yang mengajukan ijin untuk melakukan ekspose di hadapan walikota dan seluruh SKPD. Pertemuan ini juga menjadi ajang saling bertukar informasi antara pemerintah dan pengembang sehingga terbentuk kesamaan paradigma pembangunan kota.

Kesiapan sumber daya manusia juga menjadi perhatian. Pelayanan kesehatan dengan pendekatan preventif.Masyarakat didorong berperilaku hidup bersih dan sehat. Pembenahan pendidikan dilakukan melalui gerakan bersama antara pemerintah, ulama dan masyarakat yang dikenal dengan nama Sekolah Mengaji. Terjadi keterpaduan antara pendidikan formal dan pendidikan moral. Intinya, pengembangan sumber daya manusia melalui ‘gerakan’.

Pembenahan birokrasi dilakukan dengan perubahan paradigma dari atasan-bawahan menjadi mitra kerja. Setiap pimpinan unit menandatangani pakta integritas dan mempunyai indikator kinerja yang dievaluasi setiap 3 (tiga) bulan. Birokrat tidak sekedar pegawai pemerintah tetapi juga

Laporan Khusus

Kota Pekanbaru: Menyongsong Era Metropolitan

sumber foto: istimewa

Page 37: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

37

Edisi 3 - Maret 2013

menjadi agen perubahan.Keterbatasan anggaran disikapi dengan menarik investor

bekerja sama dengan perusahaan daerah. Beberapa skema investasi yang akan dan sedang dilakukan adalah kerja sama perusahaan daerah propinsi dan kota Pekanbaru dengan investor Australia untuk membangun pembangkit listrik tenaga sampah, kerja sama BOT (build, operate, transfer) PDAM dengan investor Korea untuk penambahan layanan air minum, dan kerja sama perusahaan daerah dengan investor domestik untuk membangun fiber optic bawah tanah dalam upaya menjadikan kota Pekanbaru sebagai cyber city.

Perkembangan kota yang pesat juga diantisipasi oleh pengembang. Di antaranya DPD APERSI Riau yang melakukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kepemilikan rumah melalui penyediaan Rubrik Pojok APERSI bekerja sama dengan koran lokal, dan penyediaan Pojok APERSI bekerja sama dengan pusat pertokoan lokal. Selain itu, dibentuk forum komunikasi untuk meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan pengembang.

Kesesuaian dengan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN)

Walaupun belum terjalin komunikasi yang intensif dengan pemerintah pusat yang sedang menyiapkan KSPN (lihat juga wawancara dengan Direktur Perkotaan dan Perdesaan Bappenas), namun terlihat upaya pemerintah kota Pekanbaru sudah menerapkan 3 (tiga) pendekatan pembangunan perkotaan, yaitu smart city, liveable city dan green city.

Setidaknya terkait smart city, pemerintah kota sedang bersiap bekerja sama dengan swasta membangun fiber optic bawah tanah untuk mencapai Pekanbaru Cyber City. Sementara agar kotanya nyaman ditinggali (liveable city), dilakukan penyebaran pusat kegiatan melalui revisi rencana tata ruang, penambahan kapasitas layanan fasilitas umum, penyediaan lokasi berdagang pedagang kaki lima berikut bantuan modal memanfaatkan dana CSR (corporate Social responsibility) perusahaan dan pembentukan koperasi, serta menjadikan keberagaman etnis sebagai obyek pariwisata budaya. Upaya menjaga lingkungan hidup juga telah dilakukan (green city) melalui upaya penyiapan Ruang Terbuka Hijau (RTH) bekerja sama perguruan tinggi besar, selain mengoperasikan Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Sampah secara sanitary landfill.

Terkendala Pembebasan LahanDi antara beragam permasalahan yang dihadapi, yang

cukup signifikan adalah tingkat urbanisasi yang tinggi dan kendala pembebasan lahan. Tingginya tingkat urbanisasi telah diantisipasi dengan penyediaan lapangan kerja informal. Sementara kendala pembebasan lahan berdampak pada lambatnya pembangunan infrastruktur dan penyediaan perumahan. Hal ini diakui baik oleh pemerintah kota maupun para pengembang yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) dan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI).

Keluhan utama para pengembang adalah lamanya proses perijinan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Dibutuhkan waktu setahun sebelum ijin yang dibutuhkan dapat diperoleh. Hal ini berakibat pada menurunnya pasokan perumahan (OM).

Fakta1: Pekanbaru mencapai luas 632,26 km2, terdiri dari 12 kecamatan dan 58 kelurahan, dan berbatasan dengan kabupaten Siak, kabupaten Kampar, dan kabupaten Pelalawan.Fakta 2: Lokasi Pekanbaru dipandang strategis karena berada tepat di te ngah-tengah propinsi Riau dan pulau Sumatera. Selain itu, dilalui oleh su ngai Siak yang merupakan jalur kapal besar dari dan ke daerah peda-laman. Fakta 3: Jumlah penduduk mencapai 937.939 jiwa (2011), dengan tingkat pertumbuhan penduduk di atas rata-rata nasional, yaitu 4,47%. Kepadat an penduduk tertinggi mencapai 12.710 jiwa per km2. Fakta 4: Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mencapai 64,16% de-ngan pengangguran relatif besar mencapai 9,33%. Fakta 5: Penduduk sebagian terbesar bekerja pada lapangan usaha perda-gangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel (40%); jasa kemasyarakat-an, sosial, dan perorangan (26%), sementara hanya sedikit yang bekerja pada lapangan usaha pertanian (4,7%).Fakta 6: Penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan mencapai 3,45% (proporsi terkecil di propinsi Riau, walaupun secara absolut bukan yang terkecil).Fakta 7: Pendapatan per kapita mencapai Rp.45,2 juta.Fakta 8: Pertumbuhan ekonomi sebesar 9,05% (terbesar di propinsi Riau).Fakta 9: Terdapat 3 (tiga) perguruan tinggi besar yaitu Universitas Riau (30 ribu mahasiswa), Universitas Islam Riau (16 ribu), dan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (17 ribu)Fakta 10: Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 78,72 (terbesar di propinsi Riau).Fakta 11: Realisasi Pendapatan Daerah (Rp.1,54 triliun) lebih besar dari Realisasi Pengeluaran (Rp.1,45 triliun), sehingga terdapat surplus sebesar Rp.91,4 miliar.

Sumber: Pekanbaru dalam Angka 2012.

11 Fakta Kota Pekanbaru

sumber foto: www. dbestlists.com

Page 38: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

38

Pertama-tama kami ingin mengetahui konsep anda dalam menyikapi keberadaan Pekanbaru sebagai kota metropolitan?

Penduduk kota Pekanbaru saat ini telah mencapai 1 (satu) juta jiwa. Untuk itu, dalam menyikapi perkembangan ini kami telah menyiapkan visi yaitu “Mewujudkan kota Pekanbaru menjadi kota Metropolitan yang madani”. Ter­dapat 2 (dua) konsentrasi kami, yaitu Pertama, membangun fisik kota dengan menyediakan infrastruktur metropolitan.Kedua,membangun wilayah kota yang merata. Hal ini dikare nakan perkembangan kota tertumpu di pusat kota, dan kemacetan mulai terjadi.

Terkait penyediaan infrastruktur metropolitan sebagai konsentrasi pertama anda, apa saja yang telah dan akan dilakukan?

Banjir masih terjadi di bantaran sungai Siak dan be­berapa daerah lainnya karena ketinggian yang rendah dan kondisi drainase yang kurang baik. Kami segera menyusun master plan drainase sebagai pedoman pembangunan pusat, propinsi dan kota.

Terkait prasarana jalan, dilakukan penambahan jaringan jalan sehingga terjadi peningkatan rasio jaringan jalan, dan pengembangan outer ring road yang tersambung ke rencana jalan tol Pekanbaru­Dumai. Sementara kondisi angkut­an umum yang hanya tersedia 20 unit bus kota bantuan pemerintah pusat, sangat tidak memadai. Tahun 2013, kami sedang mempersiapkan pengoperasian tambahan angkutan umum 70 unit. Saat ini ada 2 koridor, direncanakan akan ada 6 koridor baru. Taksi berargo juga telah tersedia.

Kemudian infrastruktur lain, seperti listrik, pada akhir ta­

hun 2013 akan beroperasi pembangkit listrik tenaga uap dari batubara dengan kapasitas 2 kali 110 MW (mega watt­red) di kecamatan Tenayan. Kami merencanakan akan menambah tenaga listrik dengan memanfaatkan semua potensi yang ada. Diantaranya dengan membangun pembangkit listrik skala kecil dari non fosil berupa sampah yang berkapasitas 1.000 ton per hari, yang akan menghasilkan 40 Kilo Watt per hari. Sumber dananya berasal dari investasi swasta asing (Austra­lia) bekerja sama dengan perusahaan daerah propinsi dan kota Pekanbaru dengan membentuk sebuah konsorsium. Disamping juga, kami merencanakan akan memanfaatkan gas yang akan menghasilkan 30 Kilo Watt.

Air menjadi persoalan. PDAM Tirta Siak putus kontrak kerjasama dengan Belanda 3 tahun lalu. Sebenarnya kerja­sama dimulai 7 tahun lalu. Pada awalnya terdapat 25 ribu SR (sambungan rumah red.) tetapi ternyata empat tahun malah berkurang menjadi 14.000 SR. Saat ini, kondisi mulai membaik dengan penambahan SR dalam dua bulan terakhir.

Selain itu, PIP (pusat investasi pemerintah­red) Kemen­terian Keuangan memberi bantuan investasi untuk meng ‘upgrade’. Untuk mengejar peningkatan jumlah layanan

Satu Jam Bersama Walikota Pekanbaru, H. Firdaus, S.T., M.T.

Tahun 2030, Kota Pekanbaru Menjadi Kota Nomor Satu di Pulau Sumatera

Pekanbaru sebagai salah satu kota besar di Indonesia telah berkembang cukup pesat sehingga penduduknya saat ini telah mencapai angka 1 juta jiwa, yang berarti Pekanbaru telah ‘naik kelas’ menjadi kota Metropoli­tan. Untuk itu, menjadi menarik mendengarkan langsung dari Walikota Pekanbaru, H. Firdaus, langkah antisipasi pemerintah daerah dalam menyambut keberadaan Pekanbaru sebagai kota metropolitan dengan berbagai peluang, tantangan dan permasalahannya.

H. Firdaus, baru menjabat selama setahun lebih, setelah sebelumnya menjabat sebagai Kepala Dinas PU. Tepatnya beliau dilantik pada 26 Januari 2012. Pria yang masih terlihat energik ini menerima kami dalam sebuah wawancara yang akrab di ruang kerja pribadinya di kediaman resmi Walikota Pekanbaru pada suatu siang medio Maret 2013.

Berikut ini petikan hasil wawancaranya.

sumber foto: bagian humas pemkot Pekanbaru

Laporan Khusus

Page 39: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

39

Edisi 3 - Maret 2013

200 ribu SR, kami juga menjalin kerjasama BOT (Build, Operate, Transfer red.) 30 tahun dengan Korea yang saat ini sedang dalam tahapan studi kelayakan. Direncanakan distribusi ke masyarakat tetap oleh PDAM. Total sambungan pada tahun 2018 akan mencapai 150 ribu SR.

Infrastruktur telekomunikasi dilayani oleh semua opera­tor, namun kami membatasi jumlah tower nya agar tidak ter­jadi ‘hutan tower’. Dalam upaya mencapai Pekanbaru sebagai Cyber City, telah disepakati investasi Rp.500 miliar oleh perusahaan swasta nasional konsorsium dengan perusahaan daerah untuk membangun fiber optic bawah tanah. Nantinya kebutuhan penyimpanan data akan terlayani untuk keselu­ruhan kota.

Tahun ini pengelolaan sampah sudah sanitary land fill. Tahun depan sampah akan jadi bahan baku listrik. Masyarakat juga dilibatkan dalam mengelola bank sampah di sekolah, dan kantor kelurahan. Saat ini, sudah berjalan baik pada 7 sekolah dan sudah terkumpul dana Rp.31 juta.

Pembangunan kota secara merata menjadi konsentrasi kedua. Apa langkah yang telah dan akan dilakukan?

Pada tahun 2012 telah dilakukan revisi tata ruang.Dalam revisi ini, beberapa hal yang signifikan telah dilaku­kan. Pertama, memindahkan pusat pemerintahan kota dari pusat kota sekarang ke wilayah bagian selatan Pekanbaru di kecamatan Tenayan Raya, yang berada di ruas jalan lingkar luar Pekanbaru yang mempunyai akses ke rencana jalan tol Pekanbaru–Dumai. Akses tol ini termasuk hub MP3EI di Sumatera.

Kemudian juga diupayakan penataan ruang de ngan membagi kawasan berdasar fungsi tertentu sehingga masing­masing mempunyai daya tarik agar dapat memicu per­tumbuhan.Terdapat 3 (tiga) wilayah kecamatan yang akan dikembangkan, yaitu kecamatan Tenayan sebagai pusat pemerintahan dan kawasan industri, pusat bisnis baru, termasuk terminal barang (darat dan laut). Rumbai Pesi­sir sebagai kawasan pariwisata, dan CBD (Central Business District­red) baru sebagai super blok kota Pekanbaru. Keca­matan Rumbai untuk perumahan, dilengkapi pusat rekreasi berupa kebun binatang dipadu dengan wisata air. Bantaran sungai jadi water front city dikombinasikan dengan wisata air.Selain itu di kecamatan Tampan, terdapat dua kampus besar Universitas Riau (30.000 mahasiswa) dan Universitas Islam Riau (26.300 mahasiswa) ditambah beberapa kampus kecil.

Terkait bidang perumahan dan permukiman, bagaimana kesiapan kota Pekanbaru?

Tata ruang untuk perumahan sudah ditetapkan. Mulai tahun lalu telah dimulai pengadaan tanah dalam rangka memenuhi 30 per­sen Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Kerjasama dengan perguruan tinggi untuk penyiapan RTH telah dimulai. Seperti kerjasama dengan Universitas Islam Riau, UNRI dan Politeknik, berupa penyediaan RTH di da­lam kampus. RTH difungsikan sebagai kolam retensi untuk antisipasi berkurangnya daerah rawa. RTH juga difungsikan sebagai tempat berolahraga. RTH menjadi multi fungsi.

Penyediaan tanah untuk masyarakat menjadi perhatian kita. Terutama mengantisipasi tingginya tingkat pertumbuh­an penduduk yang mencapai 4,47 persen per tahun. Selain itu, sejak bencana alam di Sumatera Barat, terjadi lonjakan migrasi penduduk yang mendorong meningkatnya minat beli rumah khususnya MBR.

Kami menyadari lahan yang terbatas sehingga harus dimanfaatkan secara efisien dan efektif. Saat ini, kami mulai mengambil kebijakan pembangunan rumah secara vertikal baik berupa rusunawa maupun rusunami.

Kembali kepada perkembangan kota Pekanbaru yang

demikian pesat, apakah terdapat daerah kumuh disini?Alhamdulilah tidak ada yang kumuh. Ini merupakan ha­

sil kerjasama yang baik dengan APERSI (Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia­red), REI (Real Estate Indonesia­red), dan Perumnas.

Sebelum mengeluarkan ijin prinsip membangun, para pengembang diminta untuk melakukan ekspose. Hasil evalu­asi menunjukkan bahwa masalah lingkungan yang timbul terjadi karena ketidaksinkronan atau kurangnya koordinasi antarperumahan, yang tidak saling mendukung. Itu lah saya katakan pada teman pengembang untuk membangun masyarakat madani dimulai dengan perencanaan yang baik termasuk perencanaan perumahan.

Kenapa? Kita harapkan tidak ada celah sedikit pun untuk terjadinya konflik. Kita antisipasi. Apa yang terjadi sekarang? Kemungkinan konflik terjadi karena perencanaan yang kurang matang dan pelaksanaan di lapangan yang tidak selalu bersinergi. Ini bisa membuat masyarakat berkonflik.

Masalah drainase antarperumahan yang mengakibat­kan banjir. Ini yang saya beri pengertian pada pengembang maupun asosiasi sebagai rumah besar para pengembang.Kami juga menjaga air tanah, selain menjaga banjir, dengan menyiapkan sumur resapan. Bahkan kita punya perda (pera­turan daerah­red) untuk sumur resapan. Ini menunjukkan kepedulian kami untuk menjaga lingkungan.

Terkait dengan ekspose yang dilakukan sebelum memper-oleh ijin prinsip membangun, apakah Anda masih punya cukup waktu untuk itu?

Kita sempatkan. Awalnya selama enam bulan pertama pro sesnya seperti biasa. Begitu dievaluasi di lapangan ternyata

sumber foto: bagian humas pemkot Pekanbaru

Page 40: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

40

hasilnya tidak bisa (diterima­red). Jadi selama enam bulan sampai setidaknya setahun ini akan diminta ekspose. Kita mengajak menyatukan persepsi untuk mencintai lingkungan yang bersih, dan sehat. Kita sampaikan kepada mereka ini bukan untuk mempersulit. Sekarang sudah mulai terlihat hasilnya. Pada saat ekspose tidak hanya di depan saya tapi termasuk SKPD (satuan kerja perangkat daerah­red) terkait. Semua pihak hadir karena ini menyamakan persepsi.

Percepatan pembangunan yang diinginkan membu-tuhkan dukungan sumberdaya manusia yang memadai.Bagaimana anda mengantisipasinya?

Hasil penelitian salah satu perguruan tinggi terkemuka menyatakan bahwa 20­30 tahun mendatang kota Pekanbaru berpeluang menjadi kota nomor satu di pulau Sumatera. Karenanya, pembangunan kota Pekanbaru tidak hanya fisik kota tapi juga sumberdaya manusianya terutama karena mempunyai sumberdaya alam terbatas.

Pembangunan sumberdaya manusia penting. Pemba­ngunan sumberdaya manusia dimulai dengan pemberian pemahaman ajaran agama. Kembali kepada ajaran agama. Konkritnya mulai Mei tahun lalu ada program Sekolah Me­ngaji. Menyediakan waktu 40 menit sebelum jam pertama sekolah. 20 menit untuk membaca Al­Qur’an bersama, dan 20 menit mendengar terjemahan dan pemahaman kandung­an Al­Qur’an. Hasilnya, pertama terbebas dari buta aksara Al­Qur’an. Kedua, bisa menangkap, paham dan melaksana­kannya.

Dua program andalan dalam pengembangan sumberdaya manusia, pelayanan kesehatan, dan pendidikan formal dan keagamaan. Meningkatkan pelayanan kesehatan dengan merubah paradigma. Selama ini asumsinya (pelayanan kesehatan masyarakat­red) dengan menyediakan rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat yang bersifat kuratif. Kan butuh biaya besar dan tidak menyelesaikan masalah. Dirubah menjadi preventif. Dicegah di hulu. Menciptakan masyarakat sehat. Konkritnya, cintai lingkungan. Mulai dari diri sendiri, keluarga, rumah tangga, lingkungan permukim­an, dan seterusnya seluruh kota. Jadilah kota yang bersih sehat dan tertata rapi.

Ujungnya tercipta masyarakat agamis penuh toleransi dapat bekerja sama berdampingan tanpa membedakan suku agama. Ini semua dalam sebuah gerakan dan tidak sporadik.Sekolah mengaji itu gerakan, lingkungan sehat juga gerakan.Kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah tidak bisa dengan kekuatan sendiri tapi harus ada 3 (tiga) unsur yang bekerjasama yaitu pemerintah (ek­sekutif dan legislatif ), pemerintah­masyarakat, pemerintah­masyarakat­ulama.

Bagaimana dengan kesiapan aparatur?Saya menyadari kondisi sumberdaya manusia dari peme­

rintah. Dibutuhkan perubahan sangat mendasar. Walikota

yang lama berbeda cara berpikirnya dengan saya. Perubahan mendasar dalam manajemen. Yang lalu ada bapak buah dan anak buah. Sekarang tidak menggunakan kata itu tapi mitra (partner) kerja. Satu tahun awal belum melakukan mutasi. Pemahaman yang sama dulu. Setelah setahun baru dilakukan perubahan. Saat ini baru saja sekitar 2 (dua) bulan dilaku­kan penggantian (staf dan pimpinan unit­red). Hanya diberi waktu 2 (dua) kali tiga bulan, kemudian prestasi dievaluasi.Diminta menandatangani pakta integritas. Kecepatan masih belum sama tapi sudah terlihat perubahan. Pegawai di minta menjadi agen perubahan agar tercipta masyarakat yang madani.

Kendala dan hambatan utama dalam menjalankan semua konsep ini?

Sampai hari ini yang signifikan belum ada paling riak­riak kecil. Paling PKL (pedagang kaki lima­red.). Maka men­jadi kepedulian kami. Pekanbaru tidak punya sumberdaya alam, yang jadi andalan kami adalah jasa termasuk pasar dan PKL. Setiap bulan kami menerima migran sekitar 2.000 orang dengan tingkat pendidikan rendah. Karenanya kami melakukan pembinaan PKL melalui pembentukan koperasi dan menyediakan tempat. Kami juga bekerjasama dengan PTP V, perbankan, Telkom dan Pegadaian untuk menyedia­kan bantuan modal untuk UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah­red.) termasuk juga investasi dengan bekerjasama swasta untuk membangun Pasar Induk.

Selain itu, lambatnya pembangunan infrastruktur karena kesulitan pembebasan lahan. Tahun lalu dari alokasi dana Rp.86 miliar, hanya cair Rp.30 miliar. Raker APEKSI (Aso­siasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia­red.) juga membahas tentang pembebasan lahan. Ini perlu disuarakan.

Deputi BPN (Badan Pertanahan Nasional­red.) pada Raker APEKSI menyatakan beban tugas begitu berat, jumlah personil terbatas, paradigma yang belum sama, ini tidak dipungkiri menjadi kendala yang membuat lambatnya pelak­sanaan pembangunan (pembebasan lahan­red.). Kerugian besar buat bangsa ini jika BPN tidak cepat menangani ini. Apalagi Tahun 2013 diberlakukan aturan yang baru. Semua (urusan pembebasan tanah­red.) tidak lagi di Tim 9 tapi di BPN.

Kalangan pengembang juga masih terkendala oleh lamanya waktu yang dibutuhkan untuk proses perijinan di BPN (OM).

sumber foto: bagian humas pemkot Pekanbaru SukseskanProgram

1.000 TowerMemperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower

Laporan Khusus

Page 41: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

41

Edisi 3 - Maret 2013

SukseskanProgram

1.000 TowerMemperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower

5 April 2007 - 5 April 2013

PEMERINTAH KOTA PEKANBARU

Page 42: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

42

Indonesia telah menjadi salah satu negara dengan populasi perkotaan terbesar di Asia Timur dan Pasifik. Pada tahun 2010, tercatat 49,8 persen penduduk

Indonesia bermukim di wilayah perkotaan (Bank Dunia, 2012). Fenomena ini terus berlanjut, dan ditengarai dalam waktu dekat beberapa kota besar akan bertumbuh menjadi kota metropolitan, yaitu kota dengan jumlah penduduk minimum 1 (satu) juta jiwa.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, menjadi menarik untuk mengetahui antisipasi pemerintah baik berupa kebijakan, strategi maupun program yang dilaksanakan. HUDmagz berkesempatan mewawancarai Direktur Perkotaan dan Perdesaan Bappenas, Ir. Hayu Parasati, MPS. yang bertanggung jawab menyiapkan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN). Berikut hasil wawancaranya.

Bagaimana perkembangan penyusunan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN)?

Kegiatan penyusunan KSPN dimulai dalam bentuk Proyek Reformasi Birokrasi Perkotaan di Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum.Mereka bikin implementasi di beberapa lokasi dan terdapat komponen kebijakannya berupa kebijakan pengelolaan perkotaan. Ternyata implementasinya jalan duluan karena TA-nya (technical assistance/bantuan teknis­red), berupa penyusunan kebijakan, berlarut-larut. Implementasinya bikin pasar, terminal dan lainnya terlepas dari penyusunan kebijakannya. Sementara TA-nya tanggung. Reformasinya hanya menyangkut birokrasinya saja. Akhirnya diperbesar menjadi KSPN.

Kebetulan pembangunan perkotaan dinamikanya tinggi tapi tidak punya payung kebijakan secara makro.Walaupun penyelesaiannya mengambil waktu yang cukup lama. Padahal sudah dilakukan diskusi dengan banyak pihak termasuk pemerintah daerah.

Sekarang ini prosesnya sedang dicoba ditetapkan melalui Perpres atau kalau memungkinkan jadi Undang-Undang. Indikatornya harus jelas ada bench marking (tolok ukur). Sementara itu, atas desakan stakeholder dibuatlah RUU Perkotaan yang sedang disiapkan di Kemendagri. Materinya sama. Secara paralel.

Saat ini telah dibentuk Tim Koordinasi Pembangunan Perkotaaan (TKPP). Tim Pengarah Kemenko Perekonomian, Kemenpera, Kemen PU, Kemendagri, dan Bappenas. Koordinatornya Menteri PPN/KepalaBappenas. Salah satu tugas TKPP adalah menggodok KSPN melalui Pokja (kelompok kerja­red). Pokja dibentuk berdasar isu yang

dibahas. Karena sedang menyusun KSPN maka dibentuklah Pokja KSPN. Sementara ini masih berjalan agak lambat, padahal isunya berkembang terus. Ada keinginan dari kalangan di luar pemerintah yang meminta dilibatkan dalam Pokja KSPN, termasuk juga perguruan tinggi.

Bisa digambarkan garis besar substansi dari KSPN tersebut?

Tentunya ada visi pembangunan perkotaan, yaitu Kota Berkelanjutan dan Berdaya Saing untuk Kesejahteraan Rakyat. Pendekatannya adalah smart city, green city, dan liveable city. Smart city diartikan sebagai kota inovatif, kreatif dan berbasis IT (information and technology-red), liveable city adalah kota layak huni, berkeadilan dan mengakui keragaman, dan green economy city adalah kota produktif, hijau dan berketahanan iklim. Pendekatan ini kemudian diterjemahkan masing-masing ke dalam bench marking atau tolok ukur. Sehingga pencapaiannya dapat terukur.Namun sampai saat ini, kami belum sepenuhnya berhasil menerjemahkan tolok ukur perkotaan tersebut ke dalam indikator dan parameter. Masing-masing (pendekatan­red.) sudah dilakukan banyak lokakarya, yang seharusnya menyatu dan tidak terpisah.

Wawancara Direktur Perkotaandan Perdesaan Bappenas

Ir. Hayu Parasati, MPS.

“Kebijakan Pembangunan Perkotaan akan Siap Tahun ini”

Laporan Khusus

Page 43: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

43

Edisi 3 - Maret 2013

Rencananya, agar workable (indikator dan parameter­red.) maka dibagi dalam tahapan, yaitu standar minimum dan standar ideal. Tahun 2025, minimal ada kota yang memenuhi standar ideal. Ada SPP (Standar Pelayanan Perko taan) tahun 2025, semua perkotaan terpenuhi. Saat ini, Kemendagri sedang menyusun SPP tetapi hanya aspek pelayanan publik. Seharusnya menyangkut tiga pendekatan tadi, karena berbicara perkotaan banyak aspek lain yang perlu disentuh, seperti ketenagakerjaan dan lainnya. Jalannya paralel. Ibu-nya belum ada tapi anaknya sudah dibuat.

Selain SPP, kita juga sudah punya indikator yang ditetap-kan dalam RPJMN. Misalnya Indeks Kriminalitas salah satu bagian dari livable city. Ini dijadikan standar minimum saat ini. Kota-kota sendiri belum tahu jika terdapat indikator ini.

SPP nanti akan menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Jadi akhir tahun ini, regulasi terkait kebijakan pembangunan perkotaan seperti Perpres, dan PP dapat diselesaikan. Tentunya substansi kebijakannya masuk dalam RPJMN 2015-2019. Dengan demikian, kita berharap tahun 2015 sudah mulai dilaksanakan.

Kalau melihat perkembangan perkotaan termasuk metropolitan saat ini, sepertinya berjalan sendiri saja. Apakah benar begitu?

Ya, karena belum ada acuan. Belum ada kebijakan yang jelas. Walaupun demikian, sebenarnya kota-kota sudah banyak melakukan inisiatif bahkan inovasi yang kalau diperhatikan sebenarnya sejalan dengan apa yang sedang digodok menjadi kebijakan pembangunan perkotaan. Semua tergantung pimpinannya.

Saat ini, pemerintah kota Surabaya, Yogya, Balikpapan, Makasar, Palembang, dan Denpasar telah bertemu dengan pemerintah pusat dan menyatakan minatnya untuk medapatkan fasilitasi dan pendampingan dalam rangka pembangunan perkotaan. TKPP menjadi satu-satunya pintu (one gate policy) dalam memasilitasi kota tersebut. Dibantu juga oleh Bank Dunia. TKPP diberdayakan secara nasional, kebijakan disiapkan segera, prosedur disiapkan dengan bantuan lembaga donor.

Apakah dalam TKPP ada pembahasan isu perkotaan?Ada tetapi kaitannya dengan Jabodetabekjur (Jakarta­

Bogor­Depok­Tangerang­Bekasi­Cianjur­red.), yaitu menyinkronkan pelaksanaan pembangunan antarwilayah

melalui BKSP (Badan Kerja Sama Pembangunan) Jabodetabekjur.

Efektifitas BKSP dievaluasi. Ternyata terbatas hanya melakukan kompilasi saja tetapi pelaksanaannya tidak berperan. Telah di evaluasi bahwa pelaksanaan usulan BKSP harus diangkat ke atas minimal Wapres.

Sebetulnya ada dasarnya yaitu Perpres tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTRKSN) Perkotaan. Tidak perlu jauh-jauh membahas isu yang akan ditangani, sementara ini tidak ada satu pun propinsi yang telah melaksanakan RTRKSN ini.

Apakah ada koordinasi antara BKTRN dan TKPP?Selama ini sepertinya belum, karena TKPP sendiri belum

efektif. Tadinya karena konsep utuh kebijakan perkotaan belum jadi, maka kami belum berani melakukan tindakan. Karena kan harus ada dasarnya.

Bagaimana peran Bappenas dan kementerian teknis dalam konteks pembangunan perkotaan? Apakah keterlibatan masyarakat sudah diakomodasi?

Saat ini yang aktif berperan dalam pembangunan perkotaan adalah Bappenas, Kementerian PU, Kementerian Dalam Negeri. Bappenas bertanggung jawab menyelesaikan KSPN termasuk menggolkan regulasinya baik berupa peraturan presiden atau bahkan undang-undang, dan menyiapkan program pembangunan perkotaan.

Kementerian PU sudah lebih maju, misal Direktorat Jenderal Tata Ruang sudah menyusun konsep green city misalnya. Bahkan sudah juga mengembangkan beberapa parameter yang terkait dengan tupoksi mereka. Sebenarnya parameter yang telah ditetapkan oleh mereka telah mencakup keseluruhannya tetapi karena bukan tupoksi mereka sehingga tidak dielaborasi. Keterkaitan antara kota dan desa juga sudah mulai dielaborasi. Ada hal lain lagi. Nantinya RPIJM (Rencana Program Investasi Jangka Menengah­red.) yang ditangani oleh Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum diselaraskan dengan KSPN.

Kemendagri yang saat ini sedikit tertinggal. Sementara TKPP nantinya berperan menyebarluaskan informasi termasuk pembelajaran pembangunan perkotaan.

Terkait keterlibatan masyarakat, masih dalam bentuk keterlibatan beberapa LSM seperti Rujak Center, dan beberapa individu dari perguruan tinggi dari berbagai daerah dan asosiasi perencana (OM).

Page 44: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

44

Pengantar

Pelaksanaan konsep desentralisasi dan otonomi daerah telah berlangsung lama bahkan sejak sebelum kemerde­kaan, dan mencapai puncaknya pada era reformasi

dengan dikeluarkannya Undang­Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang­Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan yang kemudian direvisi masing­masing menjadi Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang­Undang Nomor 33 Tahun 2004.

Walaupun demikian, penerapan konsep desentralisasi dan otonomi daerah di Indo­nesia sampai saat ini dianggap masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Masih ditemukan banyak kele­mahan dalam pelaksanaannya, baik dari kelengkapan regulasi, kesiapan pemerintah daerah, maupun penerimaan masyarakat sendiri.

Terlepas dari itu semua, desentralisasi dan otonomi daerah telah menjadi suatu keniscayaan dengan mempertimbangkan amanat UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia yang telah menegaskan hal tersebut. Dengan demikian, menjadi lebih berharga kemudian meninjau kembali pencapaian se­lama ini dan merumuskan agenda desentralisasi dan otonomi ke depan. Dengan keterbatasan yang ada, tulisan ini pada intinya mencoba merumuskan agenda tersebut.

Pengertian dan Filosofi

Secara formal, berdasar Undang­Undang Nomor 32 Ta­hun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi diar­tikan sebagai penyerahan kewenangan pemerintah oleh Pe­merintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah oto­nom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan peme­rintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang­undangan (Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004).

Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah

pusat kepada daerah otonom bermakna peralihan kewenang­an secara delegasi, lazim disebut delegation of authority. De­ngan demikian, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu, semua beralih kepada penerima delegasi. Berbeda ketika pe­limpahan wewenang secara mandatum, pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan kewenangan dimaksud. Mandat­aris bertindak untuk dan atas nama mandator. Sebagai kon­sekuensinya bahwasanya pemerintah pusat kehilangan ke­wenangan dimaksud. Semua beralih menjadi tanggungjawab

daerah otonom, kecuali urusan pemerin­tahan yang oleh undang­undang dinyata­kan sebagai urusan pemerintah pusat.3

Walaupun demikian, menurut Devas (1997), pengertian dan penafsiran ter­hadap desentralisasi ternyata sangat be­

ragam, dan pendekatan terhadap desentralisasipun sangat bervariasi dari negara yang satu ke negara yang lain. Tetapi, secara umum definisi dan ruang lingkup desentralisasi selama ini banyak diacu adalah pendapat Rondinelli dan Bank Dunia (1999), bahwa desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggungjawab fungsi­fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, lembaga semi­pemerintah, maupun kepada swasta.

Menurut Suwandi (2005), filosofi dari otonomi daerah adalah (i) eksistensi pemerintah daerah untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis; (ii) setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan ke sejahteraan dan demokrasi; (iii) kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik; (iv) pelayanan pubik dapat bersifat pelayanan dasar maupun bersifat pengembangan sektor unggulan.

Reformasi Regulasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dimulainya otonomi daerah pada era reformasi di Indo­

nesia ditandai dengan diterbitkannya Undang­Undang No­

Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia:

Pencapaian dan Agenda Kedepan1

Mungkin banyak diantara kita yang tidak mengetahui bahwa setiap tanggal 25 April diperingati sebagai hari Otonomi Daerah di Indonesia. Hari otonomi daerah diperingati pertama kali pada tahun 1997. Untuk itu, tulisan ini dimaksud­

kan sebagai salah satu upaya memperingati Hari Otonomi Daerah tersebut. Selamat dan semoga otonomi daerah mencapai tujuannya menyejahterakan masyarakat Indonesia dalam waktu tidak lama lagi. Amin

Oswar Mungkasa2

1. Versi lengkap dari tulisan ini dengan judul Desentralisasi dan Otonomi daerah di Indonesia: Konsep, Pencapaian dan Agenda Ke Depan dapat di akses on line di www.academia.edu/2759012/Desentralisasi_dan_Otonomi_Daerah_di_Indonesia_Konsep_Pencapaian_dan_Agenda_Kedepan

2. Pemimpin Redaksi HUD Magazines. ([email protected])3. Pasal 10 ayat (3) Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan,

bahwasanya urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama.

Pendapat

Page 45: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

45

Edisi 3 - Maret 2013

mor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Un­dang­Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang secara resmi dicanangkan per 1 Januari 2001.

Kemudian, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi dae­rah di Indonesia memasuki babak baru dengan terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Undang­undang tersebut secara substansial mengubah beberapa para­digma penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999. Salah satunya adalah desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat konti­num bukan bersifat dikotomis. Dalam pembentukan daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mengatur persyaratan ad­ministrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Hal ini dimaksudkan agar pembentukan daerah dapat menjamin terselenggaranya pelayanan secara optimal.

Berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan ter­dapat pembagian urusan yang spesifik. Pertama, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi poli­tik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Kedua, urusan yang bersifat con­current atau urusan yang dapat dikelola bersama antara pusat, provinsi, atau pun kabupaten/Kota.

Dalam urusan bersama yang menjadi kewenangan daerah terbagi dua, yakni urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pe­layanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuh­an kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan.

Selanjutnya agar penyediaan pelayanan kepada masyarakat mampu memenuhi ukuran kelayakan minimal, pelaksanaan pe­layanan kepada masyarakat oleh Pemerintah Daerah harus berpedoman kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur keter­libatan masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah. Oleh sebab itu, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi.

Sementara berdasar UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah, yang merupakan hasil revisi

terhadap UU Nomor 25 Tahun 1999, pengaturan pembiayaan daerah dilakukan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsen­trasi, dan tugas pembantuan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD. Oleh karenanya, kepala daerah diberikan ke­wenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perim­bangan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan ber­dasarkan asas dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat pe­merintahan yang menugaskan.

Selain itu, dilakukan juga perubahan pola bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sub­sidi Daerah Otonom dan Dana Inpres dihapuskan dan diganti dengan DAU yang bertujuan untuk mengurangi ke timpangan kemampuan keuangan antar daerah (horizontal imbalance). Pencapaian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Sejak dicanangkannya otonomi daerah pada tahun 2000, telah terbentuk daerah otonom baru sebanyak 217 buah yang terdiri dari 8 provinsi, 175 kabupaten dan 34 Kota. Dengan perkataan lain terjadi peningkatan 68% dari jumlah daerah otonom tahun 1998 atau secara rata rata dalam satu tahun lahir 18 daerah otonom baru. Sehingga daerah otonom men­jadi sebanyak 536 unit (propinsi, kabupaten, kota) (Wikepe­dia, 2013). Selengkapnya pada Tabel 1.

Hasil evaluasi efektifitas pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum mencapai tujuan yang hakiki dari otonomi daerah yaitu me­ningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesimpulan ini merupakan hasil kajian Direktorat Otonomi Daerah Bappenas pada ta­hun 2011.

Adapun indikator pengukuran efektifitas pelaksanaan oto­nomi daerah yang dipergunakan adalah (i) angka Kemiskinan; (ii) kualitas SDM; (iii) pemenuhan hak dasar; (iv) lapangan kerja dan angka pengangguran; (v) pengembangan infrastruk­tur seperti jalan, penerangan dan air minum; (vi) pember­dayaan ekonomi; (vii) kualitas pengelolaan pemerintahan ber­

Tabel 1 Perkembangan Jumlah Daerah Otonom antara Tahun 1999 – 2013JUMLAH DAERAH OTONOM 1999 PERUBAHAN 2010Jumlah provinsi 26 8 34Jumlah kabupaten 234 175 409jumlah kota 59 34 93Jumlah Total Daerah Otonom(*) 319 217 536Sumber: Wikipedia, 2013(*) Angka ini tidak termasuk 1kabupaten administratif dan 5 kota administratif di DKI Jakarta.

Page 46: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

46

dasar prinsip Kepemerintahan yang Baik (Good Governance). Terlepas dari perdebatan tentang dampak positip dan

negatip dari otonomi daerah, setidaknya berbagai kalangan mempercayai terdapat banyak hal positip dari penerapan konsep otonomi daerah di Indonesia, diantaranya (i) se­makin meningkatnya tingkat kemandirian dan kemampuan daerah dalam mengelola pembangunan ekonomi daerahnya, ditunjukkan dari terjadinya perencanaan ekonomi daerah yang lebih mempertimbangkan aspirasi masyarakat di daerah (bottom­up planning), disertai peningkatan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan; (ii) perkembangan pereko­nomian yang signifikan, ditandai dengan peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, serta semakin membaiknya fungsi in­termediasi bank umum.

Sementara hasil kajian IRDA (2002) menunjukkan de­sentralisasi berhasil mendorong terwujudnya tiga kondisi penting, yaitu (i) meningkatnya kepedulian dan pengharga­an terhadap partisipasi masyarakat dalam proses politik di tingkat lokal; (ii) perangkat pemerintahan daerah memiliki komitmen yang makin kuat dalam pemberian layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari masyarakat agar mereka meningkatkan kualitas pelayanan publik; dan (iii) pemerintah daerah saling bekerjasama dan berbagi informasi untuk menyelesaikan persoalan yang sama­sama mereka ha­dapi. Walaupun demikian, SMERU (2002) mengungkap fakta banyaknya daerah yang memberlakukan berbagai pu­ngutan baru yang berpotensi menghambat iklim investasi dan gairah bisnis lokal (Utomo, 2010).

Di sisi lain, dampak negatif juga terjadi dian­taranya (i) banyak kebocoran (korupsi) dan peng­gunaan anggaran yang tidak efisien dan efektif; (ii) terbukanya potensi kegaduhan yang disebab­kan oleh ketidaksiapan daerah dan ketidakleng­kapan desain regulasi untuk mengimplementasikan proses desentralisasi, berupa desentralisasi KKN dan duplikasi Perda yang justru berlawanan dengan spirit otonomi daerah. Jika sebelumnya watak KKN lebih bersifat vertikal dengan institusi di atas mengambil bagian yang paling besar, maka sejak era otonomi watak KKN lebih bersifat hori­zontal dengan setiap lini penyelenggara pemerintah (daerah) mengambil bagian yang sama. Contoh lainnya, pemerintah daerah mencoba meningkatkan penerimaan daerah akibat orientasi kepada PAD yang berlebihan. Masalahnya adalah, peningkatan PAD tersebut dibarengi dengan kebijakan­ke­bijakan duplikatif sehingga sangat memberatkan masyarakat dan pelaku ekonomi pada khususnya4. Sebagian besar perda­perda tersebut dianggap menjadi penyebab munculnya high cost economy (ekonomi biaya tinggi) sehingga tidak mendu­kung upaya peningkatan iklim usaha di Indonesia, baik dalam bentuk pajak, retribusi, maupun non­pungutan. Pada kasus

ini tentu saja pemerintah daerah telah berperan sebagai pen­cari rente (Rent­Seeker) (Sari dkk, 2012).

Temuan lain oleh Hidayat (2003), bahwa kebijakan de­sentralisasi juga tak luput dari serangkaian permasalahan se­perti munculnya pembengkakan organisasi daerah, terjadinya oligarki politik oleh elit lokal maupun gejala pembangkangan daerah terhadap pemerintah pusat.

Isu, Tantangan dan KendalaMemperhatikan pengalaman pelaksanaan otonomi daerah,

dapat dikategorikan beberapa isu utama yang perlu mendapat perhatian, yaitu lTumpang tindih regulasi sektoral dan desentralisasi terhadap

pelaksanaan otonomi daerah.Berdasarkan kajian Direktorat Otonomi Daerah Bappenas

(2011), terdapat 87 regulasi sektoral yang mengatur 31 urus­an yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Setidaknya 29 bidang urusan diantaranya tumpang tindih.

Ditengarai beberapa faktor menjadi penyebab tum pang tindihnya regulasi sektoral yaitu (i) pertentangan antara undang­undang dengan peraturan pelaksanaannya; (ii) kebi­jakan instansi pusat saling bertentangan; (iii) benturan antara wewenang instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis; (iv) perbedaan antara peraturan perun­dangan dengan yurispudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (Direktorat Otonomi Daerah, 2011). lPelaksanaan otonomi daerah belum efektif

Salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata.

Namun berdasar hasil kajian Direktorat Otonomi Daerah Bappenas (2011), ternyata pelaksanaan

otonomi daerah belum berhasil meningkatkan kesejahteraan secara signifikan. lEkstensifikasi sumber pendapatan Daerah yang berlebihan

Salah satu konsekuensi otonomi daerah ada­lah kewenangan daerah yang lebih besar dalam

pengelolaan keuangannya, yang berdampak pada munculnya risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapat­an daerah.

Langkah yang dilakukan adalah melalui pola tradisional dengan mengintensifkan dan mengekstensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Pola ini menjadi sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha (enterpreneurship).

Langkah ekstensifikasi pajak daerah akan menimbulkan

4. Menteri Keuangan pada tahun 2003 telah merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mencabut 206 Perda di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Perda yang bermasalah pada level kabupaten pada tahun 2006 bahkan mencapai 65,63% dari seluruh total Perda yang diproduksi, sedangkan pada level propinsi dan kota di bawah 22%. (Jatmiko, 2010)

Pendapat

Page 47: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

47

Edisi 3 - Maret 2013

beban yang terlalu besar buat masyarakat umum dan pelaku ekonomi yang pada akhirnya berujung pada meningkatnya beban masyarakat secara tidak proporsional dan menimbul­kan ekonomi biaya tinggi sehingga dapat melemahkan per­tumbuhan ekonomi daerah. lBelum optimalnya hasil pemekaran daerah

Pemekaran wilayah merupakan salah satu dampak ikutan dari penerapan kebijakan desentralisasi di Indonesia, bahkan terlihat bahwa pertambahan wilayah administratif kabupaten/kota hasil pemekaran bertambah secara signifikan sejak dimu­lainya kebijakan desentralisasi ini.

Namun dengan banyaknya daerah otonom baru, ber­dampak terhadap semakin besarnya dana pembangunan dae­rah otonom baru yang dialokasikan dari APBN. Sebagai ilus­trasi, pada tahun 2002 dialokasikan DAU sebesar Rp. 1.33 triliun, tahun 2003 sebesar Rp. 2.6 triliun dan pada tahun 2010 sebesar Rp. 47.9 triliun. (Harmantyo, 2011).

Berdasar kajian Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerin­tahan (2010), terdapat sejumlah kelemahan dalam pelaksana­an penataan daerah di Indonesia, yaitu (i) desain kebijakan sangat kental dengan pola pikir ‘inward looking’ sehingga penataan daerah diterjemahkan hanya sebagai pembentukan daerah otonom baru; (ii) bersifat parsial, sehingga kepenting­an per daerah yang menjadi acuan.

Dilain pihak, ditemui fakta bahwa pemekaran wilayah tersebut terlihat tidak disiapkan dengan baik sehingga ditemui kabupaten baru yang hanya berpenduduk 12 ribu jiwa. Di­samping persoalan adanya ketimpangan antara besarnya dana yang dialokasikan dengan hasil yang dicapai dalam pemba­ngun an daerah otonom baru serta munculnya konflik hori­sontal yang cenderung semakin meningkat, yang ternyata masalah di atas juga disebabkan oleh lemahnya aturan per­syaratan dan penahapan pembentukan daerah otonom baru.lKondisi SDM aparatur pemerintahan dan legislatif yang be­

lum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerahKeberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah sangat ber­

gantung kepada kemampuan aparaturnya, sementara berdasar fakta pencapaian otonomi daerah, hanya 20 % pemerintah daerah mampu menyelenggarakan otonomi daerah dan ber­buah kesejahteraan rakyat di daerah. Ditengarai rendahnya pencapaian ini banyak ditentukan oleh kapasitas dan integri­tas sumberdaya manusia yang masih jauh dari memadai.

Beberapa faktor menyumbang pada terjadinya kondisi ini, yaitu (a) masih rendahnya profesionalitas birokrasi, di­sebabkan antara lain pola rekruitmen yang belum sempurna (menyangkut perencanaan kebutuhan dan seleksi); (ii) pola pembinaan karir yang belum mempunyai aturan yang jelas dan pasti, sehingga mempengaruhi terhadap semangat dan budaya kerja birokrasi; (iii) masih kuatnya pengaruh kekuat­an politik pada birokrasi daerah, sehingga loyalitas aparatur pemerintah cenderung lebih kuat kepada kekuatan politik

dari pada kepentingan masyarakat lPartisipasi masyarakat masih belum memadai

Masyarakat menjadi salah satu faktor penting bagi setiap kebijakan yang diberlakukan, karena masyarakat sesungguh­nya adalah pelaku utama, yang langsung “bersentuhan” atau berkepentingan dengan kebijakan tersebut. Oleh karenanya keterlibatan masyarakat menjadi suatu keniscayaan. Secara umum, keterlibatan masyarakat dalam proses implementasi Otonomi Daerah belum terlihat jelas. Kondisi ini bermuara pada masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang oto­nomi daerah. Bahkan pemahaman masyarakat cenderung bertentangan dengan jiwa otonomi daerah. Sebagai ilustrasi, pada beberapa daerah, nelayan daerah lain tidak boleh me­nangkap ikan di luar daerahnya (Sari dkk., 2012).lKorupsi di Daerah masih marak

Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke dae­rah5. Beberapa bentuk korupsi yang masih terjadi diantaranya (i) penggelembungan nilai barang dan jasa pada proses peng­adaan barang dan jasa; (ii) Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah); (iii) pungutan liar dalam penerimaan pe­gawai, pembayaran gaji, kenaikan pangkat, pengurusan pensi­un dan sebagainya; (iv) pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo); (v) pemberian bantuan fiktif; (vi) penyelewengan dana proyek; (vi) penyelenggaraan proyek fiktif; (vii) manipulasi hasil pe­nerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran (Sari dkk., 2012)lKesalahpersepsian terhadap keberhasilan otonomi daerah

yang diukur dengan kemampuan keuangan daerahKeberhasilan otonomi daerah seringkali dipersepsikan

sebagai keberhasilan suatu daerah hanya dalam aspek ke­mampuan keuangan daerah. Akibatnya konsep “urusan” lebih dikaitkan dengan “keuangan”, yaitu hak daerah untuk menggali sumber keuangan dan bukan untuk memberikan pelayanan.

Agenda ke Depan Memperhatikan isu utama dalam pelaksanaan otonomi

daerah yang telah banyak mempengaruhi pelaksanaan otono­mi daerah, dibutuhkan langkah nyata dalam menanggapi isu dimaksud. Beberapa agenda yang dipandang perlu dan segera untuk dilakukan adalah:lPenyusunan Desain Besar Otonomi Daerah Tahun 2015­

2025Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah telah

berlangsung lama, namun pelaksanaannya masih terkesan

5. Sepanjang 2004­2011 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat terdapat sebanyak 158 kasus korupsi yang menimpa kepala daerah yang terdiri atas gubernur, bupati, dan wali kota (Sari dkk., 2012).

Page 48: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

48

berubah­ubah bahkan pada era reformasi perubahan regu­lasi terkait otonomi daerah berlangsung dalam waktu yang singkat. Sebagai ilustrasi, Undang­Undang Nomor 22 Ta­hun 1999 hanya efektif selama 5 tahun dan direvisi menjadi Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004. Untuk itu, perlu disiapkan langkah penyiapan naskah akademik dengan me­libatkan berbagai pihak. Desain Besar ini akan dilengkapi dengan peta jalan yang sekaligus merupakan masukan bagi penyusunan RPJMN Tahun 2015­2019.lPenyempurnaan regulasi otonomi daerah dan sinkronisasi

dengan regulasi sektoral terkaitAgenda utama yang perlu dilakukan adalah sinkronisasi

keseluruhan regulasi terkait otonomi daerah, baik sektoral maupun yang terkait langsung dengan otonomi daerah, ter­masuk regulasi di pusat (undang­undang, PP, permen, juklak, juknis), maupun daerah (perda). Sebagai konsekuensi logis­nya, undang­undang otonomi daerah kemungkinan besar juga perlu direvisi.

Berdasar penelitian dan diskusi yang diselenggarakan Pro­gram Pascasarjana S2 Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada selama tahun 2008­2009, di­sepakati terdapat beberapa isu yang belum mampu dijawab oleh desain desentralisasi saat ini, yaitu:

Ketidakjelasan pembagian ke­wenangan antara pemerintah pusat, provinisi dan kabupaten/kota yang berakibat pada per­bedaan interprestasi, tumpang tindih, dan tarik­menarik kewenangan antarlevel peme­rintahan (pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah provinsi dengan kabupaten/kota);Kerancuan yang terjadi menyusul model susunan pe­merintahan yang menempatkan provinsi sebagai daerah otonom sebagaimana kabupaten/kota, padahal wilayah provinsi meliputi wilayah kabupaten/kota, dan pada saat bersamaan juga merupakan wakil pemerintah pusat di daerah;Situasi pembuatan kebijakan desentralisasi/otonomi dae­rah yang cenderung terpecah­pecah sehingga menghasil­kan peraturan perundang­undangan yang saling ber­tentangan atau tidak tepat sasaran, baik dalam lingkup nasional maupun lokal Kecenderungan pemerintah nasional tidak melakukan penyesuaian kelembagaan dengan rezim desentralisasi se hingga yang terjadi justru “pembengkakan” struktur kelembagaan di pusat;Pembagian kewenangan menjadi urusan wajib dan urus an pilihan yang belum jelas dan cenderung seragam untuk

seluruh daerah sehingga menimbulkan banyak kesulitan karena tak seluruhnya sesuai dengan karaktersitik dan ke­butuhan daerah, dan;Banyaknya urusan pemerintahan yang menyaratkan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria), dimana kelambanan di kementerian sektoral dalam mengeluarkan NSPK berimbas pada tidak adanya standar kualitas penye­lenggaran urusan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Walaupun ada keleluasaan bagi daerah untuk bergerak sebelum NSPK keluar, namun sangat sedikit daerah yang­berinovasi untuk menetapkan sendiri kualitas pelayanan publiknya (Dwipayana, 2011).Salah satu masukan terkait revisi Undang­Undang Nomor

32 Tahun 2004 berasal dari Hakim Konstutusi Akil Mochtar (2012), yang menyatakan bahwa setidaknya terdapat 22 isu strategis yang dirumuskan dalam RUU Pemerintahan Daerah antara lain: (1) pembentukan daerah otonom; (2) pembagian urusan pemerintahan; (3) daerah berciri kepulauan; (4) pemi­lihan kepala daerah; (5) peran gubernur sebagai Wakil Peme­

rintah Pusat di Daerah; (6) Muspida; (7) perangkat daerah; (8) kecamatan; (9) aparatur daerah; (10) peraturan daerah; (11) pembangunan daerah; (12) keuangan daerah; (13) pelayanan publik; (14) partisipasi masyarakat; (15) kawasan perkotaan; (16) kawasan khusus; (17) kerjasama antardaerah; (18) desa; (19) pembinaan dan peng­awasan; (20) tindakan hukum ter­hadap aparatur Pemda; (21) inovasi

daerah; (22) dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). lPeningkatan kualitas proses perencanaan pembangunan daerah

Pembangunan daerah yang berkualitas masih sulit dica­pai, ketika proses perencanaan pembangunan daerah belum mendapat perhatian. Untuk itu, beberapa hal yang perlu di­lakukan adalah peningkatan kualitas para pimpinan dan staf perencana melalui pendidikan dan pelatihan perencanaan berkala, dan peningkatan kualitas rapat koordinasi wilayah, pembenahan sistem informasi, peningkatan kualitas data, dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara berkala dan tepat waktu. lPeningkatan kualitas pengendalian program melalui pengem­

bangan sistem informasi otonomi daerah yang menerapkan manajemen pengetahuan Salah satu kelemahan pelaksanaan otonomi daerah adalah

tidak terpantaunya kegiatan secara memadai, yang terutama diakibatkan oleh kesulitan mengakses data pencapaian. Aki­batnya hasil evaluasi pelaksanaan otonomi daerah menjadi kurang berkualitas. Untuk itu, perlu dikembangkan konsep

Pendapat

Page 49: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

49

Edisi 3 - Maret 2013

manajemen pengetahuan yang pada intinya menjaga aliran data dan informasi mulai dari pengumpulan data dasar, peng­olahan, pendistribusian dan bahkan meningkatkan data dan informasi tersebut menjadi pengetahuan. Beberapa hal yang akan tercakup adalah sistem informasi, mekanisme monitor­ing dan evaluasi, ketersediaan akses melalui keberadaan pusat informasi di tiap daerah.l Pembenahan proses pemekaran daerah melalui penyusunan

Desain Besar Penataan daerah Sebagaimana telah diketahui bahwa pemekaran daerah

ternyata pada akhirnya tidak mendukung tujuan pelaksanaan otonomi daerah, bahkan pada titik tertentu menjadi beban bagi pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, dibutuhkan suatu grand design (desain besar) yang dapat menjadi suatu acuan bagi langkah pemekaran daerah.

Saat ini telah tersedia suatu makalah kebijakan bertema Desain Besar Penataan Daerah6 di Indonesia, yang merupa­kan hasil kolaborasi berbagai pihak dengan dikoordinasikan bersama oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Gover­nance Reform). Menjadi agenda pemerintah selanjutnya untuk mereview dan menginternalisasikan Desain Besar ini kedalam Desain Besar Otonomi Daerah dan regulasi terkait khususnya undang­undang otonomi daerah

Beberapa ide utama dalam dokumen ini diantaranya ada­lah (i) terdapat 4 (empat) elemen dasar penataan daerah, yaitu

(a) pembentukan daerah persiapan sebagai tahap awal sebelum ditetapkan sebagai daerah otonom; (b) peng­gabungan dan penyesuaian daerah otonom; (c) penataan daerah yang memiliki karakteristik khusus; (d) penetapan estimasi jumlah maksimal daerah otonom di Indonesia ta­hun 2010­2025 (selengkapnya pada Tabel 2 );

(ii) nilai dasar pembentukan daerah otonom terdiri atas efisiensi administrasi (daya saing daerah dan skala ekono­mi dan jumlah beban propinsi) dan efektifitas adminis­trasi (rentang kendali, aksesibilitas dan potensi wilayah), demokrasi pemerintahan (aspirasi dan kendali masyarakat, keterwakilan), dan ketahanan nasional.Untuk melihat jumlah ideal dari propinsi, kabupaten/kota,

digunakan 7 (tujuh) formulasi dari berbagai sudut pandang, yaitu (i) administrasi publik, yaitu meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemerintahan dan mengaktualisasikan representasi lokal; (ii) manajemen pemerintahan, dengan pertimbangan jumlah penduduk, luas wilayah, dan rentang kendali; (iii) manajemen keuangan; (iv) demografi, dengan pertimbang­an kepadatan penduduk, persebaran dan etnis; (v) geografi, yaitu hidrologi, perairan kepulauan, topografi, ekologi; (vi) perta hanan dan keamanan, yaitu geografi, demografi, sumber daya alam/buatan, kondisi sosial ekonomi; (vii) sosial ekono­mi, yaitu agama, budaya, tingkat kemakmuran.

lPeningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembenah an birokrasi daerah melalui reformasi birokrasiFenomena rendahnya kualitas sumberdaya manusia di

daerah yang telah berlangsung lama perlu segera dihentikan. Dimulai dengan penyusunan sistem kepegawaian daerah yang berisi pola rekrutmen, penjenjangan karir, sistem insentif/di­sinsentif, sistem pendidikan pegawai, dan lainnya, yang di­padu dengan pengembangan reformasi birokrasi di daerah. Dimungkinkan juga pertukaran data dan informasi secara aktif diantara pemerintah daerah.lPelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan,

pemantauan dan evaluasi secara partisipatifSelama ini proses desentralisasi dan otonomi daerah ter­

lalu fokus pada aspek kepemerintahan, dengan melupakan bahwa filosofi otonomi daerah diantaranya adalah keterlibat­an aktif masyarakat dalam proses ini. Akibatnya masyarakat hanya menjadi obyek. Untuk itu, dibutuhkan upaya bertahap untuk mulai melibatkan masyarakat dimulai dengan melaku­kan sosialisasi secara intensif, menyelenggarakan dengar pendapat publik, melibatkan masyarakat dalam pemantauan dan evaluasi secara partisipatif. Dengan demikian diharapkan dukungan masyarakat akan membantu meningkatkan kuali­tas otonomi daerah. l Pengembangan alternatif sumber pembiayaan pemerintah

daerahKesulitan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mem­

peroleh sumber pembiayaan di daerah perlu disikapi dengan menyiapkan terobosan alternatif pembiayaan. Diantara yang dapat dilakukan adalah efisiensi anggaran, revitalisasi perusa­haan daerah, dan kerjasama dengan swasta.lPembenahan forum komunikasi otonomi daerah

Pelaksanaan otonomi daerah menjadi kepentingan semua pihak, sehingga keterlibatan pemangku kepentingan men­jadi suatu keniscayaan. Untuk itu, dibutuhkan suatu forum yang dapat membantu mengakomodasi semua kepentingan, baik pemerintah, dan pihak di luar pemerintah termasuk masyarakat. Forum yang ada selama ini dapat dioptimalkan perannya dalam meningkatkan keterlibatan pemangku ke­pentingan.

6. Penataan daerah meliputi (i) pemekaran dan pembentukan daerah; (ii) penghapusan dan penggabungan daerah; (iii) penyelesaian batas daerah; (iv) pengalihan status daerah serta pemindahan ibukota (Kemitraan bagi Tata Pemerintahan, 2010).

Tabel 2 Estimasi Jumlah Maksimal Kabupaten/Kota di Indonesia (2010­2025)

Daerah otonom 2010 Penambahan 2025(*)

Jumlah provinsi 33 11 44

Jumlah kabupaten/kota 491 54 545

Jumlah daerah otonom 524 65 589(*) Diolah berdasarkan estimasi tim Desertada Kemendagri (2010)

Page 50: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

50

Pembangunan rumah susun massal sebagai produk kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah pe­rumahan dan perkotaan di Indonesia baru muncul

awal tahun 80an. Dimulai dengan membangun rumah susun 4 lantai di Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota lain­nya, sekedar eksperimen untuk mendapatkan pengalam­an teknis. Tahun 1985, kemudian diterbitkan undang­undang rumah susun untuk memberi landasan hukum tentang kepemilikan dan kewajiban serta tanggung jawab penghuninya. UU ini beriringan dengan pembangunan rumah susun di Kebon Kacang, Klender (Jakarta), di Suka­jadi (Bandung), dan sebagainya. Sementara itu, peratur an pemerintah tentang persyaratan yang lebih teknis terkait rumah susun diterbitkan pada tahun 1988.

Tahun 1990, muncul instruksi presiden untuk mena­ngani permukiman kumuh pada tanah negara dan secara eksplisit menyatakan bahwa perbaikan permukiman ku­muh itu dilakukan dengan membangun rumah susun. Membangun tanpa menggusur, begitulah slogan yang dicanangkan. Pada waktu itu belum ada undang­undang tentang perumahan dan permukiman, yang ada adalah UU Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok­Pokok Perumah an yang terfokus pada hubungan sewa menyewa perumahan. Dengan demikian, kehadiran payung hukum rumah susun mendahului payung hukum perumahan dan permukiman yang lebih menyeluruh dan komprehensif.

Pembangunan rumah susun di Kebon Kacang (Jakarta) juga merupakan eks­perimen untuk menggantikan permu­kiman kumuh dengan rumah susun. Sedang pembangunan rumah su­sun di Klender (Jakarta), Sukajadi (Bandung), Palembang dan seba­gainya oleh Perumnas sebagai al­ternatif rumah sederhana. Dengan demikian, sejak awal pembangun­an rumah susun dianggap sebagai solusi untuk dua misi. Pertama untuk meningkatkan kualitas per­kotaan dengan mengganti permu­kiman kumuh dengan rumah susun. Kedua untuk memenuhi

kebutuhan akan rumah yang terus meningkat oleh per­tambahan penduduk. Pertambahan penduduk dan per­luasan kota yang tak terbendung, menjadikan kehidupan dan manajemen kota makin sulit, makin memberatkan masyarakat maupun pemerintah kota. Masalah inilah yang diatasi dengan membangun kota secara vertikal.

Misi tersebut belum akan berubah selama permukiman kumuh masih ada. Apalagi rencana pembangunan jang­ka panjang telah mencanangkan kota tanpa permukiman kumuh 2025. Persoalannya adalah bagaimana agar rumah susun menjadi solusi yang tepat dan efektif itulah yang menjadi soal.

Rumah Susun dan Rumah Menara: Dapatkah Meng-ganti Permukiman Kumuh?

Kampung yang menjadi kumuh, adalah solusi bagi masyarakat berpenghasilan rendah agar beban menghuni lebih ringan dan terjangkau. Kampung kumuh pasti de­kat de ngan tempat mencari nafkah, air gratis, tidak harus membayar iuran sanitasi maupun sampah dan ongkos pe­meliharaan rumah pun ringan. Kalaupun rumah tersebut harus menyewa, biasanya juga murah. Resiko tinggi meng­huni kampung kumuh seperti banjir, kebakaran, penyakit oleh kondisi lingkungan, penyakit menular dan mungkin juga penggusuran, semuanya terpaksa harus dihadapi. Ka­rena dengan sifat kebutuhan dan tingkat pendapatannya, tidak ada pilihan lain bagi suatu lapisan masyarakat, kecua­li harus menghadapi resiko tersebut. Apalagi resiko meng­huni tersebut dikompensasikan juga dengan hubungan

keakrab an sosial yang terbangun di kampung tersebut.Rumah susun sebagai pengganti permukiman

kumuh sudah diselenggarakan sejak 25 tahun yang lalu, tetapi tidak memberikan hasil yang berarti.

Karena selama itu, pembangunan rumah susun memang tidak pernah sungguh­sung­

guh menjadi instrumen peningkat­an kualitas permukiman kumuh. Skala pembangunan terlampau ke­cil dibanding luas dan banyaknya rumah di permukiman kumuh. Apa yang dianggap uji coba dan contoh yang baik seperti rumah susun di Dupak dan Sombo (Sura­baya), atau Kepunden (Semarang)

Pembangunan Rumah Susun dan Rumah Menara:

Solusi Masalah Apa?Tjuk Kuswartojo*

sum

ber f

oto:

istim

ewa

Pendapat

Page 51: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

51

Edisi 3 - Maret 2013

tidak direplikasi atau dikembangkan lebih lanjut. Karena itu, pembangunan rumah susun terkesan inkremental dan terfragmentasi sehingga tidak memberi efek nyata, seper­ti misalnya pembangunan rumah susun untuk mengatasi permukiman liar dan kumuh di Hongkong tahun lima­puluhan. Terlebih lagi karena manajemen pengoperasian dan pemeliharaan rumah susun tersebut sangat lemah sehingga akhirnya rumah susun mengumuh juga.

Didorong oleh niat meningkatkan skala pembangun­an massal dengan lebih cepat, pada suatu waktu di ta­hun 2007, wakil presiden dan beberapa menteri, terbang de ngan helikopter mengamati permukiman kumuh di Jakarta. Beliau­beliau tersebut mungkin trenyuh dan risau melihat sebaran, lokasi dan luasnya permukiman kumuh dan menjadi yakin bahwa rumah menara adalah solusi yang tepat. Muncullah gagasan mem­bangun tower, rumah susun lebih dari 10 lantai, untuk mengganti rumah kumuh. Mengapa tower, karena penggunaan tanahnya kecil sehingga bisa diperoleh ruang terbuka hijau yang luas, yang akan menyelamatkan Jakarta dari banjir dan juga memberi udara segar. Mengapa bukan rumah susun empat/lima lantai seperti yang telah ada, tentu saja agar penduduk yang dapat ditampung bisa lebih banyak. Rumah susun bisa menam­pung maksimum 400 orang/hektar sedang tower bisa lebih dari 2.000 orang/hektar. Ha­rapannya bahwa perumahan ini tidak hanya diperuntukkan bagi penghuni permukiman kumuh saja, tetapi masyarakat yang saban hari naik di atap KRL mondar mandir ke Ja­karta juga dapat ditampung.

Begitulah, pengamatan dari helikopter itu meneguhkan kebijakan perumahan yang dikenal dengan program 1.000 tower. Mungkin hanya suatu lontaran ide tanpa telaah yang mendalam, tetapi nyatanya menjadi kebijakan yang menyibukkan para penjabat kementerian. Ide itu memba­wa serta banyak soal. Bagaimana membiayainya, apakah para pengembang mau, di mana lokasinya dan berapa luas lahan yang dibutuhkan untuk memulainya. Dengan meng otak atik struktur bangunan, meminimkan kebutuh­an ruang dan utilitas, ditambah dengan subsidi pemerin­tah serta kemudahan perizinan akhirnya Perumnas dan beberapa pengembang mau membangun tower tersebut. Hadirlah kemudian kompleks apartemen ”sederhana” di Kelapa Gading, Kalibata dan Pulo Gebang. Disebut apar­temen sederhana karena harganya pada waktu itu ”hanya” Rp.85 juta per unit satu kamar tidur dan Rp.144 juta per unit dua kamar tidur.

Apartemen yang telah dibangun itu ternyata diserbu bukan oleh yang membutuhkan rumah, tetapi oleh investor kecil yang tidak terlalu menghitung pengembalian walaupun tetap mau untung. Tipe studio sekarang disewakan dengan harga Rp.900.000 sehingga tidak terlalu jauh berbeda dengan indekosan sekitar Jalan Thamrin atau Jalan Gatot Subroto. Walaupun demikian penghuni apartemen terkena kewajiban membayar ongkos manajemen antara Rp.9.000 sampai Rp.15.000 per meter persegi per bulan. Dengan demikian, penyewa tipe studio misalnya seluas 20 m2 harus menyediakan Rp.180.000

sampai Rp.300.000 per bulan untuk pemeliharaan. Tentu saja lis trik dan air harus bayar juga. Karena lokasinya, apartemen Gading Nias dan Kalibata kini tampak hidup dan bahkan bisa menumbuhkan banyak aktivitas ekonomi. Berbagai usaha kecil, mulai dari warung makanan, penjual sayur­sayuran, tukang pijit, salon, dokter dan agen properti kecil­kecilan, tumbuh di kompleks tersebut.

Bagaimana hubungannya dengan per­mukiman kumuh. Nah ini yang tidak ada, ternyata rumah menara tidak menjawab soal permukiman kumuh. Memang benar pem­bangunan ini dilaksanakan tanpa menggusur, karena memang tidak ada yang harus digusur. Tower yang diba ngun tersebut nggak nyam­bung dengan permukiman kumuh. Walau­pun demikian masih ada sisa pemikiran un­tuk tetap membangun tower guna mengatasi kekumuhan di pinggiran Ciliwung. Kalau memang demikian, kebijakan tower ini harus

disertai dana subsidi untuk menghuni. Karena pasti ong­kos tinggal di tower akan jauh lebih tinggi dari pada ting­gal di kampung. Hubungan sosial yang terbangun selama puluhan tahun di permukiman kumuh juga perlu diperha­tikan dan difasilitasi di kompleks tower. Selain itu, masih harus diselesaikan soal siapa yang berhak dan bagaimana mengelola tower pengganti permukiman kumuh tersebut.

Meski tidak menjadi keputusan dan pernyataan yang eksplisit, sesungguhnya Gubernur DKI Jakarta waktu itu tidak terlalu suka dengan kebijakan towerisasi rumah mu­rah itu. Karena dengan kepadatan penduduk yang begitu tinggi, 30.000 jiwa menempati persil seluas 12 Ha, pasti menjadi beban berat bagi sarana dan prasarana kota di ka­wasan tersebut. Ketinggian bangunan itu sendiri, menun­tut persyaratan teknis yang tinggi pula. Seperti apa yang terjadi dengan tower Kalibata, persyaratan yang diajukan Gubernur mengakibatkan beliau dituduh sebagai peng­hambat pembangunan.

...rumah menara tidak menjawab

soal permukiman kumuh...

sumber foto: istimewa

Page 52: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

52

Rumah susun, apartemen murah atau apapun nama­nya, mungkin akan mengatasi ongkos transpor dan me­ngecilkan resiko menghuni. Walaupun demikian, ongkos menghuni akan berlipat ganda sehingga tidak dapat di­jangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah, apalagi masyarakat miskin yang tinggal di kampung kumuh .

Subsidi Ongkos Menghuni

Ongkos pemeliharaan, perbaikan, penyediaan air bersih akan menjadi beban menghuni. Pajak bumi dan bangunan pun akan menjadi lebih tinggi. Keluhan Dinas Perumah­an DKI Jakarta atas besarnya penunggak sewa perumahan Marunda yang konon ”hanya” Rp.128.000 per bulan, mengindikasikan ada kesenjangan antara pendapatan dan ongkos menghuni. Masyarakat miskin yang tinggal di ko­long jalan layang atau di genangan air memang tidak akan mampu tinggal di rumah susun sewa. Masyarakat yang hi­dup dibawah garis kemiskinan, tidak mungkin menang­gung ongkos sewa rumah susun seperti Marunda. Apalagi bila bangunan itu berupa menara lebih dari duapuluh lan­tai. Keamanan konstruksi, intalasi keamanan dan lift akan menjadi beban menghuni. Dari segi ini, tidak mungkin apartemen sesederhana apapun bisa menggantikan permu­kiman kumuh, kecuali pemerintah juga memberikan sub­sidi beban menghuni tersebut. Artinya pemerintah juga harus ikut menanggung ongkos pemeliharaan, air bersih, sanitasi, selain subsidi ongkos konstruksi.

Subsidi beban menghuni tersebut mungkin bisa juga dihubungkan dengan beban pemerintah daerah untuk pe­nanganan kebakaran dan pemeliharaan kesehatan. Selain itu, ada soal lain yang harus ditangani dengan sungguh­sungguh, yaitu bagaimana mengelola subsidi tersebut agar

tepat sasaran, mendapat respon masyarakat dan mempu­nyai efek konstruktif. Subsidi yang saat ini disediakan oleh pemerintah nasional, ternyata disambut dingin­dingin saja oleh masyarakat. Masyarakat yang begitu beragam, berla­pis dan dengan kesenjangan yang tinggi menjadi soal be­rat untuk dapat menentukan besaran dan sasaran subsidi dengan tepat. Apalagi sebagian besar masyarakat tersebut berpenghasilan dari sumber­sumber informal yang sulit diketahui besarannya. Pada waktunya subsidi memang dapat dicabut. Kapan pencabutannya perlu dipantau dan dikaji secara mendalam, yang pasti tidak dalam jangka penggantian menteri atau pimpinan daerah. Pemerintah Inggris baru mencabut susbsidi yang dilaksanakan lewat peru mahan publik (public housing), setelah subsidi terse­but berlangsung selama lebih dari 50 tahun.

Sering kita dengar, yang perlu kita dicari adalah solu­si, tetapi banyak solusi yang ditawarkan bahkan dilaksa­nakan, ternyata tidak didasari pada pemahaman atas apa masalahnya. Kalaupun masalah itu dikemukakan, sering hanya berupa masalah simptomatik dan bukan masalah yang mendasar. Masalah yang sering dikemukakan para penjabat bahkan para tokoh perumahan konon adalah backlog membesar. Ini bukan masalah simptomatik, tetapi kiralogi (ilmu kira­kira begitulah ) untuk retorika politik. Istilah backlog yang digunakan menyatakan kekurangan rumah itu pun sesungguhnya keliru, tetapi menjadi le­bih keliru lagi karena tidak diungkapkan kekurangan itu dimana dan terjadi untuk lapisan masyarakat yang mana. Begitulah jadinya, rumah susun adalah solusi, tetapi tidak jelas apa masalah yang sesungguhnya.

*) Pemerhati kebijakan permukiman, perkotaan dan lingkungan hidup

sumber foto: istimewa

Pendapat

Page 53: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

53

Edisi 3 - Maret 2013

Kata pemberdayaan masih terus didesakkan ke­pada pemerintah oleh para pakar dan penggiat pembangunan guna membantu masyarakat mis­

kin (lemah) yang tak berdaya menghadapi permasalahan yang muncul dari implementasi kebijakan pembangunan. Demikian pula, pemberdayaan sangat diperlukan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah (MBR) penghuni rumah susun (rusun) di perko­taan. Mengapa pemberdayaan diperlukan? Hal ini dikarenakan: Pertama, karakteristik sosial ekonomi dan budaya MBR yang lemah sering memunculkan permasalahan dalam penghunian rusun, dan kedua, kebijakan pembangunan rusun masih sering tidak berpihak kepada MBR.

Gerakan pemberdayaan atau empowerment bagi MBR penghuni rusun diperlukan karena gerakan tersebut didasar­kan pada gagasan “memberikan kekuatan (power) kepada yang lemah (powerless) sehingga dengan kepemilikan kekuat­an seseorang dapat melaksanakan proses aktualisasi (Pranar­ka, 1996). Bagi MBR, dengan adanya keberdayaan yang tinggi dalam proses pembangun an rusun, maka kesejahte­raan hidup mereka dalam meng huni rusun dapat sustainable. Pemberdayaan bagi MBR penghuni rusun telah sering di­lakukan oleh pemerintah. Namun, yang terjadi masih mun­cul sejumlah permasalahan di dalamnya. Masalah apa saja yang muncul dalam penghunian rusun bagi MBR di berba­gai kota besar Indonesia?, dan bagaimanakah implementasi pemberdayaan yang dapat mengatasi problem peng hunian

rusun oleh MBR? Kedua hal tersebut akan dibahas dalam artikel pendek ini dan selanjutnya diharapkan memuncul­kan diskursus tentang permasalahan penghunian rusun bagi MBR perkotaan.

Masalah dan faktor penyebab Pembangunan rusun ditujukan untuk mengatasi kebu­

tuhan perumahan MBR di perkotaan yang tidak mampu mendapatkan sarana dan prasarana tempat huni­an (rumah) yang layak, terjangkau, dan berkelan­jutan. Namun, dalam proses pembangunan rusun dan pemanfaatannya masih menimbulkan banyak masalah bagi penghuni rusun yang hingga kini sulit terpecahkan. Berbagai masalah dan faktor penyebab dalam penghunian rusun bagi MBR dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

a. Bias investasi pembangunan rusunMunculnya masalah ini terlihat dari penghunian rusun

yang jatuh pada masyarakat non target group. Dalam ba­nyak rusun yang ada, terutama di DKI Jakarta, penghuni­nya adalah PNS dan lainnya yang tidak berhak atas rusun. Hal ini disebabkan oleh harga rusun tidak terjangkau MBR di satu sisi, dan di sisi lain disebabkan pengembang ingin rusun yang dibangunnya cepat terjual.b. Termarjinalisasi penghuni rusun

Masalah ini terjadi karena MBR penghuni rusun tidak sanggup membiayai biaya angsuran dan biaya operasional hidup di rusun. Hasil penelitian Fatwan Tadjung (1999) di Rusun Benhil DKI Jakarta yang me nyimpulkan masih 30 persen penghuni asli masih bertahan hidup di rusun dan selebihnya penghuni lain bukan kelompok sasaran. Adanya fenome na ini membuktikan bahwa dalam peng­hunian rusun telah terjadi marjinalisasi terhadap peng­huni rusun.c. Penghunian rusun belum optimal

Dalam kasus di beberapa kota besar di Indonesia, masih nampak tingkat penghunian rusun belum optimal. Mun­culnya masalah ini disebabkan oleh adanya harga rusun tak terjangkau oleh MBR dan praktik pemasaran rusun sulit diakses MBR. Adanya akses yang rendah bagi MBR untuk menghuni rusun dikarenakan persyaratan tertentu, seperti kepemilikan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan struk gaji sulit dipenuhi oleh MBR. Demikian pula, rendahnya akses MBR tersebut juga disebabkan oleh pe­rilaku oknum pejabat di Dinas Perumahan yang tidak

Pemberdayaan Penghuni Rumah Susunsebagai Proses Pembelajaran Sosial

Drs. Nursalim, M.Si.

sumber foto: istimewa

Page 54: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

54

memberikan informasi yang benar kepada masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dari tindakan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang memecat seorang pejabat Dinas Perumahan yang menghalang­halangi masyarakat korban banjir me­nempati rusun yang disediakan Pemda.d. Rusaknya sarana dan prasarana rusun

Suatu realita yang dapat dijumpai, terutama pada peng­huni rusunawa, misal di rusun di Penjaringan DKI Jakarta, memperlihatkan kondisi fisik bangunan rusun yang se­makin rusak dan kumuh. Munculnya masalah ini disebab­kan oleh tingkat kesadaran penghuni yang masih rendah dalam memelihara rumah yang disewa. Di samping itu, Pemda DKI tidak melakukan pengawasan yang tegas dan terkesan membiarkan proses terjadinya kerusakan rusun yang berlarut­larut.e. Kehidupan sosial, ekonomi, budaya kurang berkembang

Pembangunan rusun di perko­taan adalah untuk menyejahtera­kan MBR. Dampak positif yang diharapkan adalah terwujudnya kehidupan yang harmonis para peng huni, perkembangan tingkat ekonomi penghuni, dan budaya hidup MBR di rusun semakin berkembang. Akan tetapi yang terjadi banyak penghuni men­jual rusun dengan pindah ke lain tempat, kondisi ekonomi tidak semakin baik, rusun dalam keadaan kumuh, dan rusun dijadikan ke giatan tempat kriminal (transaksi narkoba), dan lain­lain. Masalah ini muncul karena kurang adanya pembinaan pemerintah yang tepat dan intensif terhadap penghuni rusun.f. Belum adanya asuransi penghunian

Hingga saat ini MBR penghuni rusun di berbagai kota besar di Indonesia masih belum tenang hidupnya jika mendapat musibah atau bencana seperti bangunan runtuh dan terjadinya kebakaran. Hal ini karena tidak adanya per­hatian pemerintah untuk peduli melindungi harta dan jiwa penghuni rusun. Disamping itu, lembaga jasa swasta juga tidak tertarik memberikan layanan asuransi penghunian rusun karena dipandang tidak menguntungkan dan ba­nyak ruginya bila dilakukan.

Formalitas PemberdayaanDalam paket kebijakan pembangunan rusun, sebe­

narnya telah disertakan program pemberdayaan penghuni rusun. Kegiatan sosialisasi dan pembinaan penghuni rusun dengan konsep pendekatan “TRI DAYA” (sosial, ekono­mi, dan lingkungan) telah dilakukan oleh pemerintah/pemda. Akan tetapi dalam implementasi, pemberdayaan

tersebut belum memberikan kontribusi yang besar bagi kelangsung an hidup penghuni rusun. Berbagai masalah penghunian rusun yang telah dipaparkan di muka men­jadi bukti bahwa pemberdayaan penghuni rusun belum diimplementasikan secara tepat dan benar.

Sosialisasi sebagai pemberdayaan pada tahap awal pem­bangunan rusun masih memosisikan masyarakat calon penghuni rusun sebagai obyek pembangunan. Sosialisasi yang dilakukan pemerintah lebih mengesankan pada mo­bilisasi dan instruktif.

Demikian pula, dalam kegiatan pembangunan rusun masih sering MBR tidak dilibatkan dalam perencanaan bentuk (desain) rusun yang akan ditempati. Sebagai aki­batnya, seperti telah dipaparkan di depan telah memun­culkan masalah ketidakmampuan bertahan hidup di rusun karena terbebani biaya operasional perawat an rusun yang

tinggi. Dampak dari kondisi ini menimbulkan eksodus pindah ru­mah yang jauh dari tempat beker­janya sehingga menyebabkan be­ban hidup untuk biaya sosial dan ekonomi menjadi semakin tinggi.

Adapun ketidakefektifan pem­berdayaan penghuni rusun melalui pendekatan “TRI DAYA” ada­lah dalam implementasinya lebih terkesan bersifat proyek. Artinya, program penguatan kehidupan

sosi al, ekonomi, dan lingkung an belum dilakukan secara konprehensif, berkelanjut an dan kurang dapat melahirkan kader­kader penghuni rusun sebagai ahli pemberdayaan untuk diri mereka.

Dari kenyataan implementasi pemberdayaan tersebut tidak berarti apa yang telah dilakukan pemerintah salah. Akan tetapi implementasi pemberdayaan penghuni rusun perlu disempurnakan baik mengenai teknik pendekatan maupun pengaturan pihak­pihak yang terlibat dalam pem­berdayaan penghuni rusun.

Implementasi PemberdayaanKata pemberdayaan dalam Undang­Undang Nomor

20 Tahun 2011 tentang Rusun, terdapat dalam pasal 11 ayat (1) berbunyi ”Pemerintah melakukan pembinaan penyelenggaraan rumah susun secara nasional untuk me­menuhi tertib penyelenggaraan rumah susun” dan pada ayat (2) butir g dinyatakan bahwa pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara pember-dayaan pemangku kepentingan rumah susun.

Dengan memperhatikan bunyi ketentuan tersebut, ter­lihat bahwa pemerintah wajib melakukan pemberdayaan pemangku kepentingan rumah susun, termasuk penghuni

sumber foto: Peduli Menara Latumeten

Pendapat

Page 55: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

55

Edisi 3 - Maret 2013

rusun sehingga dapat membantu meningkatkan kehidup­an sosial, ekonomi dan budaya penghuni rusun. Seperti diungkapkan di depan bahwa kebijakan yang tepat bagi peningkatan kesejahteraan MBR penghuni rusun adalah dilakukan melalui pemberdayaan. Bagaimanakah imple­mentasi pemberdayaan MBR dapat membantu memecah­kan berbagai problem yang muncul dalam penghunian rusun?

Implementasi yang tepat dalam pemberdayaan peng­huni rusun dapat dilakukan pada tahap perencanaan, pembangunan dan penghunian rumah susun. Sedang­kan siapa yang melaksanakan, kita dapat mengacu pada tahapan pemberdayaan seperti dikemukakan Prijono (1996), yaitu (i) Tahap inisial, dari pemerintah, oleh pe­merintah, dan untuk rakyat; (ii) Tahap partisipatoris, dari pemerintah bersama masyarakat, oleh pemerintah bersama masyarakat, untuk rakyat; dan 3. Tahap emansipatif, dari rakyat, untuk rakyat, dan didukung oleh pemerintah ber­sama masyarakat. Ketiga tahapan tersebut dapat dilakukan pada implementasi pemberdayaan masyarakat BMR peng­huni rusun, dengan cara sebagai berikut a. Perencanaan rusun

Rusun dibangun tidak hanya untuk kepentingan pihak pembangun (swasta atau pemerintah), tapi yang lebih penting untuk memenuhi kepentingan penghuni. Oleh karenanya, segala keinginan dan harapan yang ada pada calon­calon penghuni rusun harus benar­benar didalami dan diakomodasi dalam pembuatan rencana pembangun­an rusun. Sosialisasi program dan perencanaan rusun perlu dilakukan dengan pendekatan manusiawi dan komunikasi dua arah serta menerapkan bottom up planning. Meski

pada tahap awal pembangunan rusun porsi pemerintah dominan, namun pemerintah harus mendengarkan aspi­rasi MBR. Dan, apa yang direncanakan pemerintah harus benar­benar untuk kepentingan MBR. Melalui pendekat­an ini akan menimbulkan kepercayaan (trust) yang tinggi dari calon penghuni MBR bahwa pemerintah benar­benar memikirkan pemenuhan kebutuhan rumah yang layak, terjangkau, dan berkelanjutan yang menjadi harapannya.b. Pembangunan rusun

Pada tahapan pembangunan rusun (rusunami dan rusunawa), pemberdayaan pada penghuni rusun harus di­orientasikan pada terciptanya kemampuan daya beli dan sewa rusun. Di samping itu, keberdayaan penghuni rusun juga harus diwujudkan dalam pilihan lokasi yang strategis dekat dengan tempat kerja dan sarana transportasi massal. Untuk kepentingan pertama, pemerintah wajib memberi­kan insentif (pajak), kemudahan berbagai perijinan, dan lainnya kepada pengembang rusun MBR sehingga harga rusun tidak mahal baik untuk dimiliki atau disewa. Un­tuk kepentingan kedua, pemerintah daerah harus berani menyusun RTRW yang memungkinkan MBR dapat ting­gal di rusun yang dekat dengan tempat kerja dan sarana transportasi umum. c. Penghunian rusun

Pemberdayaan melalui “TRI DAYA” pada penghuni rusun, yaitu penguatan kehidupan sosial, ekonomi, dan bu­daya (lingkungan) seperti yang telah dilakukan pemerintah masih relevan untuk dilanjutkan. Namun, pendekatannya harus dirubah dari pendekatan proyek ke pendekatan non proyek. Pemerintah/pemda dalam implementasi pember­dayaan harus melibatkan peran serta masyarakat de ngan memberikan fasilitasi terbentuknya forum peran serta dalam pemanfaatan rusun (Pasal 132 Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman). Di samping itu, sudah saatnya pemerintah/pemda memasilitasi tersedianya tenaga pendamping dari masyarakat (LSM atau Perguruan Tinggi) untuk dilibat­kan dalam kegiatan memberikan bimbingan dan pelatihan ke arah terwujudnya proses pembelajaran sosial, ekonomi, dan budaya penghuni rusun.

Peran pemangku kepentingan pembangun rusun perlu ditingkatkan perannya sehingga mempercepat terwujud­nya kehidupan penghuni rusun yang harmonis (sosial), kesejahteraan keluarga (ekonomi), dan perilaku bersih dan betah tinggal di rusun (budaya). Uluran tangan yang diberikan dapat berwujud pemberian (i) jaminan asu­ransi kepenghunian rusun, (ii) bimbingan keterampilan kewirausahaan, (iii) memasilitasi kemudahan memper­oleh modal ke lembaga keuangan bank dan non bank, (iv) bimbingan keamanan dan ketertiban masyarakat, (v) pe­nyuluhan kebersihan lingkungan.

sumber foto: www.koran-jakarta.com

Page 56: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

56

Pendapat

KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYATREPUBLIK INDONESIA

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower5 April 2007 - 5 April 2013

SukseskanProgram 1.000 Tower

Page 57: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

57

Edisi 3 - Maret 2013

KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYATREPUBLIK INDONESIA

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower5 April 2007 - 5 April 2013

SukseskanProgram 1.000 Tower

Di dalam Perda RTRW Jakarta 2030, sinergi kedua komponen termuat dalam aturan tentang struktur ruang dan sistem transportasi pada Pasal 17 hing­

ga Pasal 40. Muat an materi yang perlu mendapat perhatian secara khusus di RTRW Jakarta 2030 adalah sistem pusat kegi atan yang direncanakan pada Pasal 18. Hal yang perlu dipertimbangkan dan mendapat catatan adalah apakah sistem dan jaring an transportasi yang diuraikan pada Pasal 21 yang terkait Sistem dan Jaringan Transportasi mampu mewa dahi kebutuhan mobilitas akibat pengembangan sistem pusat kegiatan sebagaimana dijabarkan pada Pasal 18. Kondisi empiris menunjukkan bahwa bangkitan lalu lintas akibat perubahan tata guna lahan pada masa ber­lakunya RTRW Jakarta 2000–2010 tidak mampu diwa­dahi/dilayani oleh pertumbuhan jaringan transportasi.

Tidak dapat ditutupi, kegagalan menyinergikan aspek tata guna lahan dan transportasi menjadikankota yang tidak rapi, dan pada akhirnya akan memberi kontribusi pada terciptanya kemacetan yang menetap. Harian Kom­pas (2010), secara khusus pernah menyoroti perubahan tata guna lahan yang semakin sulit dikendalikan. Bahkan hasil evaluasi terhadap RTRW 2000­2010 menunjukkan indikasi ter ja dinya penyimpangan terhadap tata ruang cu­kup tinggi. Hal yang menjadi pertanyaan apakah untuk membangun Jakarta saat ini dan kedepannya masih tetap menggunakan rencana tata ruang atau tidak. Jika tata ru­ang tidak menjadi rujukan, dimana letak kemandulan dari rencana tata ruang Jakarta?

Terdapat beragam penyebab lemahnya implementasi suatu rencana tata ruang, seperti beragamnya penafsiran dan pemahaman yang terbatas terhadap setiap produk hu­

kum yang terkait dengan penataan ruang. Faktor lemah­nya penegakan hukum, disertai kebijakan yang sering berubah­ubah karena tuntutan perkembangan zaman aki­bat tekanan kapitalisme (neo­liberal) dan perubahan so­sial yang dipengaruhi perkembangan teknologi yang amat cepat menjadi faktor yang mempengaruhi pemanfaatan ruang. Sehingga dalam pelaksanaannya pun kerap terpaksa harus “meninggalkan” peraturan yang sudah ditetapkan.Terjadinya inkonsistensi dan juga tidak konsekuennya dalam mengimplementasikan, bukan hanya disebabkan kelemahan aparatur, namun karena memang aturan yang disusun di dalam rencana tata ruang belum dilengkapi dengan berbagai ketentuan aturan pelaksanaannya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah tumpang tindih kewenangan yang tidak jarang menimbulkan ben­turan konflik kepentingan disebabkan ego sektoral atau benturan kepentingan ekonomi, sosial dan politik. Jakarta memerlukan struktur birokrasi dan aktor pimpinan daerah yang kompeten, memiliki komitmen yang tinggi serta in­tegritas yang kuat untuk berpihak pada sisi kepentingan publik yang lebih besar dalam penataan sistem tata ruang kota dan sistem tranportasinya.

Percepatan Pembenahan SistemSaat ini untuk membenahi masalah transportasi, Pem­

prov DKI telah menerapkan kebijakan Pola Transportasi Makro, melalui Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2007. Arahan pengembangan transportasi yang dikembang­kan adalah menjadikan angkutan umum sebagai tulang punggung sistem dan menerapkan kebijakan manajemen permintaan (TDM) serta penyediaan jaringan jalan seba­gai pendukungnya. Pola Transportasi Makro ini memiliki tiga langkah strategi untuk mengatasi masalah kema cetan,

Yayat Supriatna*

n Bagian kedua (Tamat)

Menata Transportasi dan

Tata Ruang Jakarta

Pendapat

Page 58: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

58

antara lain melalui strategi pembangunan infra struktur jalan, pembangunan angkutan massal, dan pe nerapan re­gulasi untuk sisi pengendalian kendaraan pribadi. Kendala terbesar untuk memba ngun infrastruktur dan pembenahan angkutan massal adalah masalah ruang/lahan, waktu dan dana. Akibat keterbatasan ruang, upaya menambah ruas jalan semakin sulit. Hal lain yang cukup menambah ruwet adalah terkait pembebasan lahan yang berlarut­larut akibat sengketa hukum dan harga pembebasan yang kadangkala sulit untuk mencari nilai kesepakatan.

Penerapan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Peng­adaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, belum sepenuhnya berjalan karena berbagai ken­dala operasional dan sosialisasi peraturannya yang belum sepenuhnya dipahami masyarakat. Diharapkan dengan turunnya berbagai peraturan pelaksanaan dalam bentuk PP dan Perda yang dapat diberlakukan di wilayah Jakarta, masalah pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruk­tur jalan dapat me nemukan jalan keluarnya. Tingginya nilai lahan dan semakin padatnya kota, menjadi catatan tersen­diri tertundanya berbagai target pembangunan angkutan massal. Seharusnya berdasarkan target yang ditetapkan da­lam Pergub 103 Tahun 2007, pencapaian pemba ngunan 15 koridor busway sudah harus tercapai pada tahun 2010. Hal ini didasarkan pertimbangan penahapan pembangunan sistem transportasi yang terintegrasi dengan menyinergikan konsep pengembangan jaringan Bus Priority (Busway), LRT (Light Rapid Transit) dan MRT (Mass Rapid Transit) yang diharapkan akan selesai pada tahun 2020.

Pengembangan BRT telah beroperasi sejak tahun 2004. Hingga saat ini telah beroperasi 11 koridor. Koridor 1 sam­pai 8 telah terpenuhi targetnya dari 2004 sampai 2007, si­sanya koridor 9 sampai 15 ditetapkan selesai 2007 sampai 2010. Terjadi kelambatan pembangunan yang seha rusnya dijelaskan kepada masyarakat faktor penyebabnya, sehingga masyarakat dapat memahami sejauh mana tingkat keserius­an Pemprov DKI untuk membenahi angkutan umumnya.Dengan semakin tingginya jumlah pengguna busway, di­harapkan layanan yang mencakup beberapa simpul kegiat­an utama di Jakarta dapat dipenuhi tanpa kendala.

Sementara untuk pembangunan jaringan LRT, yang melingkupi LRT Monorail Green Line dan Blue Line, yang dimulai sejak tahun 2005/2006 resmi dibatalkan oleh Gubernur sehingga tidak dapat diketahui bentuk ren­cana alternatif apa yang akan dikembangkan selanjutnya. Direncanakan mengembangkan model elevated busline, sebagai alternatif pengganti monorail. Kita belum ba nyak mempunyai pengalaman dalam pengelolaan elevated bus­line, walau ada pertimbangan dengan adanya model seper­ti ini diharapkan efektifitas layanan akan lebih me ningkat karena tidak adanya penyerobotan terhadap jalur bus ka­

rena bersifat khusus. Tetapi yang menjadi catatan penting dari pengelolaan Transjakarta, adalah keterkaitan dengan unsur­unsur penunjangnya seperti kepastian ter hadap pa­sokan gasnya dan bagaimana menata ulang dengan jalur­jalur busway yang sudah berjalan selama ini. Peru bahan konsep sebaiknya dikaji ulang dan disertai dengan me­rubah ketentuan Peraturan Gubernur yang mengatur peri­hal Pola Transportasi Makro.

Jika mengkaji dari berbagai studi transportasi yang telah dilakukan di Jakarta, terdapat banyak catatan buruk yang harus diperbaiki. Berdasarkan rencana, sejak tahun 1974 Jakarta sudah memiliki lebih dari 12 Dokumen Rencana Sistem Transportasi yang minim realisasi. Termasuk di da­lamnya upaya langkah­langkah percepatan yang dikemu­kakan oleh Wakil Presiden terhadap 17 langkah strategis mengatasi kemacetan di Jakarta. Hampir sebagian besar isi rencana jauh dari realisasi yang diharapkan. Implikasi dari setiap penundaan adalah akan munculnya masalah baru yang lebih parah, karena penundaan dan sekedar berwacana. Fenomena yang menarik saat ini akibat tidak berjalannya sistem, adalah dengan munculnya ribuan ojek sepeda motor sebagai sarana yang paling efektif mengatasi kemacetan. Hingga saat ini belum banyak tindakan yang sudah dilakukan untuk menata ratusan sepeda motor yang menyebar dan bergerombol di pintu­pintu masuk gedung­gedung perkantoran dan pusat­pusat perbelanjaan di se­antero Jakarta.

Pembenahan sistem transportasi perlu segera dilaku­kan, baik pada tataran makro (kebijakan dan kewilayah an) hingga pada tataran mikro (tingkat operasional di lapang­an). Kebijakan di tataran makro harus tegas dan jelas serta mampu menjelaskan siapa yang harus bertanggungjawab untuk menjalankan hak dan kewajibannya. Esensi yang pa­ling krusial untuk di tingkat makro adalah masalah finan­sial. Kapasitas anggaran APBD yang terbatas dan mi nimnya dukungan finansial yang kuat dari peme rintah pusat men­jadi kendala untuk menyelesaikan semua masalah di dalam sistem. Indikator banyaknya hambatan dan kelambatan sudah banyak yang diketahui. Untuk meng atasi berbagai dilema dalam pembenahan transportasi di Jakarta, salah satu rekomendasi yang penting untuk dijalankan Pemprov DKI adalah harus tetap konsisten dengan semua hasil rencana dan kebijakan yang telah disusun. Semua hasil kajian adalah hasil kerja keras para ahli dan masukan dari masyarakat, dan semua dokumen rencana dibuat dengan biaya yang cukup besar. Setiap rencana perlu untuk segera ditindak lanjuti. Masalah kemacetan tidak dapat diselesaikan hanya dengan wacana, tetapi diperlukan kerja keras serta konsisten dengan amanat yang telah diberikan.

*Staf Pengajar Teknik Planologi – Universitas Trisakti. Penggiat di SUD­Forum, Peneliti P4W –IPB serta Pengguna Komuter Line Bogor –Jakarta.

Pendapat

Page 59: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

Edisi 3 - Maret 2013

59

Kemacetan lalu lintas yang terjadi di kota­kota me tropolitan seperti Jabodetabek, Surabaya, Metro Bandung dan Medan, tidak mungkin lagi

dicari jalan keluarnya melalui ritual predict and provide, membangun jalan (tol) dalam kota yang memadai untuk

mengakomodasi lalu lintas. Kenyataan yang terjadi, terbukti menambah jalan malah mendorong pemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi. Hasilnya jalan semakin macet, polusi bertambah dan mutu lingkungan terus merosot. Diperlukan keterpaduan kebijakan dan strategi untuk mempercepat implementasi pengembangan dan perbaikan angkutan umum, paralel dengan upaya mengurangi ketergantungan terhadap angkutan pribadi (mobil, motor), dan memperpendek jarak pergerakan penduduk lewat penataan ruang kota yang efisien. Target untuk menurunkan hingga 26% emisi rumah kaca pada tahun 2020 yang diungkap Presiden SBY dalam G20 Pittsburgh Summit, seharusnya disambut dan merupakan pintu dialog kebijakan publik untuk merinci target dan action planning penataan transportasi kota yang

Harun al-Rasyid Lubis, Ph.DAssociate Professor, Transportation Research GroupInstitut Teknologi Bandung

MRT Atasi Macet Jakarta?

Gambar 1. MRT Masa Depan

Gambar 2. Angkutan Umum

Berbasis Rel Masa Depan

Page 60: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

60

berkelanjutan, sampai kini dimaklumi baru sampai batas basa­basi.

Di Jakarta, pembangunan MRT (mass rapid transit) koridor Utara­Selatan Tahap I, Lebak Bulus ­ Bunderan HI sepanjang 15,2 km terdiri dari 9,2 km layang dan 6 km terowongan sekarang memasuki tahap konstruksi, setelah berwacana selama 30 tahun. Tahap II HI­ Kota ­ Kp Bandan 8,1 km, segera menyusul. MRT Tahap III dan Tahap IV koridor Timur­ Barat sepanjang 87 km masih dalam tahap studi, lihat Gambar 1. MRT Tahap I direncanakan beroperasi tahun 2016, dengan target daya angkut setelah tiga tahun operasi ( 2020) berkisar 412 ribu per hari. Tahap II target operasi tahun 2018, dengan target daya angkut 630 ribu per hari (2037?). Akankah MRT dapat mengatasi macet Jakarta? Kebijakan pendukung apa yang penting untuk percepatan realisasi MRT dan target angkutnya?

Saat ini sesungguhnya jaringan angkutan umum sudah lumayan banyak di Jakarta dan sekitarnya mencakup metromini, bus konvesional, busway dan kereta api KRL Jabodetabek, namun semua belum terintegrasi dengan apik. Transjakarta (busway) dengan 12 koridor operasi hari ini sudah mengangkut 320 ribu penumpang per hari, bila fokus dengan 12 koridor saja dan ditambah dengan jalur­lalur pengumpan (feeder) diperkirakan bisa meng­angkut 1,5 juta penumpang per hari. KRL sepanjang 150 km sudah beroperasi dan saat ini mengangkut sekitar 400 ribu penumpang per hari. Sekarang melalui PT KCJ (anak perusahaan PT KAI) tengah berbenah operasi KRL dan menambah armada. Daya angkut KRL ditargetkan berlipat tiga kali (1,2 juta penumpang per hari) dalam

dua tahun mendatang. Gambar 2, menyajikan jaringan angkutan umum berbasis rel masa depan, yang sangat potensial dipadukan secara fisik, ticketing, maupun secara kelembagaan dalam jangka panjang.

Angkutan berbasis rel, termasuk rencana monorel bila dipadukan bersama BRT Transjakarta total diperkirakan memiliki daya angkut riil saat ini tidak kurang dari 4 juta penumpang per hari. Hal ini bisa direalisasi dalam jangka pendek, dan dapat dilipatgandakan dalam jangka menengah, asalkan ada kepemimpinan dan komitmen anggaran yang kuat terutama dari Pemerintah Pusat, Pemerintah DKI Jakarta dan DPR/DPRD.

Keberadaaan MRT sendiri, hanya satu dari beragam jenis moda angkutan umum yang ada di Jakarta. Dengan kecepatan dan target pembangunan MRT, pengembangan KRL juga TransJakarta saat ini sulit dibayangkan potensi di atas dapat dicapai, terkecuali ada program fokus dan kebijakan lain untuk menunjang target jangka pendek. Gambar 3 menunjukkan beragam kapasitas, jarak tempuh dan kecepatan moda angkutan umum yang dapat dirancang untuk saling menunjang. Moda yang berkapasitas besar ditempatkan pada koridor utama yang padat, yang berkapasitas lebih kecil ditempatkan sebagai pengumpan. Untuk kondisi Jakarta, ini membutuhkan restrukturisasi yang sangat mendasar untuk memadukan beragam moda angkutan umum yang sudah ada. Setiap pengembangan koridor angkutan umum apapun jenisnya hampir dipastikan akan bersentuhan dengan trayek angkutan umum yang lama, seperti bis, metromini, dan angkot.

Gambar 3. Ragam Kapasitas, Jarak Tempuh dan Kecepatan Angkutan Umum.

Pendapat

Page 61: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

Edisi 3 - Maret 2013

61

Strategi Transportasi Terpadu yang BerkelanjutanKebijakan pendukung lain yang diperlukan untuk

mencapai target daya angkut di atas mencakup 2 hal berikut: (i) beragam upaya Transport Demand Management (TDM) baik yang menyangkut pembatasan fisik/ruang (kendali ruang parkir, penutupan jalan, traffic calming), pembatasan waktu (flexi hours, plat kendaraan ganjil/genap) maupun fiskal (jalan berbayar/ERP, menaikkan tarif parkir, subsidi angkutan umum). (ii) Transit Oriented Development (TOD), tata ruang dan angkutan dirancang sedemikian rupa agar untuk sampai ke tujuan, sehari­hari orang diarahkan menggunakan angkutan umum berbasis utama rel (kereta api) yang ditunjang oleh trayek umpan (feeder) moda angkutan umum lain, serta dilengkapi fasilitas park & ride, kenyamanan akses berjalan kaki untuk jarak dekat dan bersepeda (tersedia gratis) untuk menjangkau 1,5 atau 2,5 km selanjutnya.

Pertanyaannya adalah tingkat keterpaduan dan keberlanjutan seperti apa yang ingin ditargetkan? Upaya dan debat tentang ini, kebanyakan baru terfokus sampai keterpaduan fisik transportasi khususnya jalan dan operasional angkutan umum: tingkat pelayanan, tarif, tiket elektronik. Sesungguhnya ada strategi terpadu yang lebih komprehensif menyangkut bagaimana memadukan beragam paket instrumen kebijakan dalam upaya meningkatkan kinerja transportasi yang berkelanjutan. Dalam literatur “Implementing Sustainable Urban Travel Policies” (ECMT, 2002), pilihan strategi dapat mencakup:a) Keterpaduan antarinstrumen kebijakan yang me nyang­

kut beragam moda angkutan b) Keterpaduan antarinstrumen kebijakan yang menyang­

kut pengadaan infrastruktur, manajemen operasi, pembiayaan dan informasi

c) Keterpaduan antarberagam upaya kebijakan tansporta­si dan tata ruang

d) Keterpaduan sektoral bukan hanya transportasi, tetapi le bih melebar mencakup bisnis kota, kesehatan dan pendidikan

e) Keterpaduan otorita/kelembagaan antarpemerintah an, khususnya di kota metropolitan yang beragglome rasi.Mengingat setiap paket kebijakan dapat memiliki

dampak yang berbeda, bisa jadi dua instrumen paket kebijakan bersifat counter­productive, atau pun bersinergi memberikan nilai positif. Sehingga keberhasilan merancang strategi terpadu dapat didekati melalui dua prinsip: i) sinergi antarberagam instrumen paket kebijakan, atau ii) menghilangkan halangan (barrier) yang menghambat eksekusi suatu kebijakan. Sinergi diartikan bila dua paket dilaksanakan bersamaan, akan menghasilkan manfaat ekstra, hasilnya tidak sekedar penjumlahan manfaat (additive) dari masing­masing paket. Istilah sinergi

terkadang diartikan memiliki sifat komplementer dengan dua paket kebijakan bila diterapkan bersamaan akan berdampak saling mendukung dan menghasilkan dampak yang lebih luas, daripada bila salah satu diimplementasi secara terpisah.

Memilih pasangan­pasangan paket kebijakan yang saling mendukung merupakan kunci sinergisitas kebijakan dalam mewujudkan transportasi yang berkelanjutan. Beberapa contoh dapat disampaikan, seperti menyiapkan fasilitas park & ride untuk mendukung pengembangan angkutan umum perkeretaapian ataupun bus; memberikan insentif bagi pengembangan kawasan baru untuk mendukung investasi jalur perkeretaapian; merelokasi parkir on­street dan mengadakan ruang parkir off­street untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan kapasitas jalan.

Upaya mengintegrasi paket kebijakan untuk mewu­judkan transportasi yang berkelanjutan, tak dapat dihin­dari memerlukan keterpaduan otorita atau kordinasi sesama kelembagaan publik. Integrasi ataupun efektifitas kerjasama antarpemda dalam menangani permasalahan bersama menyangkut utilitas publik, masih merupakan barang langka dan sulit diwujudkan. Keberadaan BKSP (Badan Kerja Sama Pembangunan) Jabodetabek yang sudah ada, misalnya, belum bermanfaat dan belum efektif berjalan. Wilayah metropolitan seperti Jabodetabek haruslah menyiapkan protap perencanaan transportasi yang dilengkapi kolaborasi institusi publik (pemda), swasta dan peran serta masyarakat. Upaya ini harus dimotori oleh Gubernur dan Kepala Daerah di sekitar wilayah metropolitan guna membangun protap perencanaan, mengembangkan kapasitas lembaga, sembari berusaha memecahkan masalah­masalah jangka pendek (quick wins) yang mendukung implementasi agenda transportasi yang berkelanjutan. Dalam cakupan lebih sempit lembaga sejenis dapat dimulai dari badan Otorita Angkutan Umum saja, baik di internal Pemda dan antarPemda se Jabodetabek.

sumber foto: istimewa

Page 62: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

62

Landasan Penyelenggaraan Perumahan di Indonesia

Penyelenggaraan perumahan rakyat semula berawal dari lahirnya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang diumumkan oleh Majelis Umum PBB

pada tanggal 10 Desember 1948 melalui Resolusi 217 A. Dalam Pasal 25 ayat (1) resolusi tersebut menyatakan bah­wa: ” Setiap orang berhak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlu­kan, dan seterusnya ...”. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan dilaksanakannya Kongres Perumahan Rakyat Per­tama di Bandung pada tanggal 25–30 Agustus 1950. Esensi dari kongres ini menyatakan bahwa Negara (harus) ikut campur dalam masalah perumahan rakyat secara sungguh­sungguh. Seperti apa yang disampaikan dalam Pidato Wakil Presiden RI ketika itu, H. Moh. Hatta, “Satu Rumah Se-hat untuk Satu Keluarga”, yang mengamanatkan kepada kita sebagai pewaris bangsa untuk secara bersama­sama menyelenggarakan pembangunan perumahan yang la­yak bagi rakyat yang telah hidup merdeka, beradab dan bermartabat (memiliki harga diri).

Kongres Perumahan Rakyat tahun 1950 telah menghasilkan 3 keputusan yaitu (i) setiap provinsi meng usahakan berdirinya perusahaan pembangunan perumahan rakyat; (ii) dirumuskan norma dan syarat minimum perumahan rakyat dan segera ditetapkan da­lam Undang­Undang; dan (iii) membentuk badan yang menangani pembangunan dan pembiayaan perumahan. Sebagai tindak lanjut, di tingkat pusat dibentuk Djawa­tan Perumahan Rakyat sebagai bagian dari Departemen Pekerjaan Umum, di tingkat provinsi didirikan Yayasan Kas Pembangunan Perumahan Rakyat yang berfungsi sebagai lembaga pembiayaan yang bersifat koperatif.

Penegasan status Bank Tabungan Negara (BTN) seba­gai bank milik negara ditetapkan dengan Undang­Undang Nomor 20 Tahun 1968, dengan tugas utama saat pendirian postspaarbank (1897) sampai dengan Bank Tabungan Negara (1968) adalah bergerak dalam lingkup penghimpunan dana masyarakat melalui tabungan. Pada tanggal 29 Januari 1974, pemerintah memberikan tambahan tugas kepada Bank BTN sebagai wadah pembiayaan proyek pembangunan perumah­an rakyat. Menindaklanjuti tugas tersebut, sejak tahun 1976 Bank BTN menyalurkan pemberian Kredit Pemilik an Rumah (KPR), dan untuk pertama kalinya penyaluran KPR terjadi pada tanggal 10 Desember 1976, karena itulah tanggal 10 De­

sember diperingati sebagai hari KPR bagi BTN. Adapun jenis produknya yakni KPR subsidi. Dalam perjalanannya peranan Bank BTN terhadap pembangunan perumahan bertambah luas dengan diluncurkannya KPR Non Subsidi dalam bentuk KPR Komersil, KP Rumah Toko (Ruko), Kredit Swagriya, Kredit Griya Multi dan Kredit Griya Sembada.

Pada Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman I (1972), dilahirkan Badan Usaha Milik Negara bidang perumahan dan permukiman yaitu PERUM PERUM­NAS. Perumnas diarahkan untuk berperan: (i) Melayani kebutuhan perumahan rakyat sebagai kebutuhan publik; (ii) Mengembangkan aset publik untuk menunjang peran di atas; (iii) Menyelenggarakan kegiatan­kegiatan produktif dengan mengacu pada prinsip­prinsip ekonomi dan prinsip menjamin keamanan dan pemanfaatan aset­aset negara; (iv) Menerapkan kebijakan perumahan sesuai arahan kebijakan dan program pemerintah.

Sebelumnya persatuan Perusahaan Real Estate Indone­sia (REI) didirikan pada hari Jumat bersejarah 11

Februari 1972 di Jakarta. REI lahir dalam kondisi serba kekurangan. Saat itu, REI belum mem­punyai pengurus, dan baru sepekan kemudian,

pada 18 Februari 1972, dibentuk Peng urus Se­mentara yang dipimpin Ir. Ciputra dari PT. Pem­

bangunan Jaya.Pada tanggal 10 Maret 1992 lahir Undang­Undang

Nomor 4 tentang Perumahan dan Permukiman, yang juga kemudian diikuti dengan Undang­Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Keterkaitan antara perumah an dan tata ruang muncul dalam dokumen Ke­bijaksanaan dan Strategi Nasional Perumahan 1990 yang

kemu dian diperkenalkan konsep perumahan dengan pen­dekatan lingkungan hunian berimbang (1:3:6) berdasar Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Perumahan Rakyat (SKB Tiga Menteri) Nomor 648­384 Tahun 1992, Nomor 739/KPTS/1992 dan Nomor 09/KPTS/1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Ling­kungan Hunian yang Berimbang.

Pada Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukim­an II (1992), potensi­potensi masyarakat lebih banyak di­bahas dan salah satu rekomendasinya adalah dikembang­kan Pembangun an Perumahan Bertumpu pada Kelompok (P2BPK). Sebagai tindak lanjutnya dikembangkan Lembaga

Oleh Zulfi Syarif Koto*

Jas Merah: Landasan Kebijakan Penyediaan Rumah untuk Rakyat (MBR)

Jas Merah: Adaptasi Judul Pidato Presiden RI (Bung Karno) dalam Peringatan HUT RI Tahun 1966: “JANGAN SEKALI­KALI MELUPAKAN SEJARAH!!”

Pendapat

Page 63: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

63

Edisi 3 - Maret 2013

Keswadayaan Masyarakat (LSM) bidang pembangunan perumahan sebagai mitra pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat yang tidak mempunyai akses kepada kredit perbankan. Pada tahun 1992, Kemente­rian Perumahan Rak yat bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP) mengembangkan P2BPK (Pembangunan Perumahan Bertumpu pada Kelompok) melalui proyek Community Based Low­Cost Housing Pro­ject. Dalam uji coba yang dilakukan di Cengkareng, Jakarta dan Rancaekek, Bandung ini dikembangkan pembangunan perumahan bertumpu pada kelompok masyarakat dengan melakukan pergeseran orientasi dari menyediakan (provi­ding) kepada memampukan (enabling). Melekat dengan P2BPK dikembangkan mekanisme pembiayaan Kredit Tri­guna (BTN) yang mencakup Kredit Pemilikan Kaveling Siap Bangun (KP­KSB).

Melalui Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1994, di­bentuk Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangun­an Perumahan dan Permukiman Nasional (BKP4N) yang tugasnya menyiapkan rumusan kebijaksanaan, memecahkan berbagai permasalahan, dan melaksanakan pengawasan dan pengendalian di bidang pembangunan perumahan dan per­mukiman. Di daerah, BKP4N dibantu oleh Badan Pengen­dalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Daerah Tingkat II (BP4D).

Gagasan Pemikiran Kebijakan Penyelenggaraan Perumahan Rakyat

Mempertimbangkan gambaran sejarah landasan kebijak­an perumahan rakyat tersebut di atas, perlu dirumuskan be­berapa gagasan pemikiran yang paling tidak terdiri dari:a. Perumahan merupakan hak dasar rakyat. Perumahan ada­

lah untuk semua golongan dan lapisan masyarakat, tetapi politik perumahan harus lebih tegas dan berpihak kepada kaum lemah dan tidak mampu, yang dikenal dengan isti­lah Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR),

b. Perlunya memperluas paradigma pendanaan perumahan, yang semula hanya bertumpu pada dana pemerintah (APBN/APBD), menjadi konsep pendanaan yang juga mengakomodasikan dukungan dari berbagai sumberdaya pendanaan yang lebih luas dan beragam (consolidated fund), termasuk memobilisasi skema pendanaan ru­mah swadaya. Keterbatasan sumberdaya pendanaan pemerintah/pemerintah daerah dalam penyediaan peru­mahan bagi masyarakat perlu disikapi dengan upaya mendorong kemitraan antarpelaku (badan usaha), misalnya Bapertarum PNS, PT. Asabri, Taspen, dana pensiun BUMN, PT. Jamsostek, dan lain­lain secara maksimal melalui konsep Kesepakatan Bersama (MoU), Kerjasama Swasta Pemerintah/Public­Private Partnership, termasuk memasilitasi pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) bagi pembangunan perumahan dan permukiman. Keseluruhannya akhirnya bermuara pada

Tabungan Perumahan Rakyatc. Pembiayaan perumahan berbasis perbankan perlu dileng­

kapi dengan pembiayaan khusus perumahan yang di­jalankan oleh lembaga keuangan bukan bank, sehingga consolidated fund dan multipurpose financing lebih bisa dilayani. Dengan demikian dibutuhkan upaya evalua­si program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Disamping itu, skema subsidi dan skema ban­tuan infrastruktur perlu diperluas, mengingat proporsi MBR di Indonesia masih cukup besar, sehingga urgensi­nya keberadaan tabungan perumahan rakyat dapat segera direalisasikan dalam Undang­Undang (sesuai amanat da­lam Pasal 124 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang PKP).

d. mendorong kebersamaan dan kemitraan antarpelaku (ba­dan usaha) secara maksimal melalui konsep PPP (Public private partnership) termasuk memasilitasi pemanfaatan dana CSR bagi pembangunan perumahan guna menyi­kapi keterbatasan sumberdaya pendanaan pemerintah/pemerintah daerah dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat, khususnya MBR. Tentunya termasuk pe­nguatan 3 (tiga) pilar pembangunan perumahan, yaitu Kemenpera, Perum Perumnas, dan BTN, yang disertai penguatan kelembagaan perumahan dan kawasan per­mukiman yang berkesinambungan di daerah.

e. pembenahan dengan segera terhadap permasalahan 6 (enam) K dalam penyelenggaraan perumahan dan kawas­an permukiman, yang terdiri dari: Konsepsi, Komunikasi, Koordinasi, Kerjasama, Komitmen, dan Kontrol. Kelemah­an 6 K tersebut perlu dipadukan dengan elemen kepe­mimpinan, dengan karakter pemimpin yang mampu menjalankan amanat konstitusi demi kepentingan rakyat (masyarakat menengah ke bawah, khususnya MBR).

f. Pada akhirnya, diharapkan agar institusi perumahan rak­yat (dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat) da­pat memastikan atau mewujudkan beberapa hal, antara lain: (i) backlog perumahan semakin menurun; (ii) luas­an perumahan dan kawasan permukiman (PKP) kumuh semakin berkurang; (iii) kepedulian atau keberpihak­an pemda provinsi, kabupaten, maupun kota terhadap penyediaan perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah, khususnya MBR semakin meningkat; (iv) keswa­dayaan, kesetiakawanan, atau kegotong royongan ma­syarakat semakin meningkat; (v) kemitraan yang setara dan sinergis dengan para pemangku kepentingan PKP semakin meningkat dan terarah; (vi) pemupukan dana murah, masa tenor yang panjang dan bunga murah dapat terwujud; (vii) stimulan fisik maupun non­fisik berupa insentif dan disinsentif dapat tepat waktu, tepat mutu, dan tepat sasaran; dan (viii) daya beli atau daya cicil ma­syarakat menengah ke bawah, khususnya MBR semakin meningkat. Insya Allah.

*Ketua Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia (LP P3I)/the HUD Institute

Page 64: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

64

Jika pagar berfungsi sebagai penghalang masuknya orang atau binatang yang tidak diundang, apa anehnya? Jika pagar berfungsi sebagai pencegah hilangnya harta­benda

yang terdapat dalam rumah, juga apa anehnya?Memang tidak aneh jika hanya dua hal di atas saja yang

merupakan fungsi pagar. Pada kenyataannya, pagar bisa memiliki 1.001 fungsi. Oleh karena itu pula, menjadi wajar jika tampilan pagar bisa beragam mewakili beragam fungsi­nya tadi. Sehingga, guna memahaminya, bisa dipergunakan tinjauan atau perspektif sosio­kriminologis.

KepemilikanPada fungsinya yang paling purba, pagar merepresentasi­

kan suatu kepemilikan atas tanah. Dengan dipagarinya suatu bidang tanah, maka terciptalah konsepsi sederhana tentang kepemilikan lahan; yang dibalik pagar ini milikku, yang sebe­lah sana milikmu. Untuk fungsi itu, maka bongkahan batu yang ditumpuk teratur memanjang sudah cukup untuk ke­mudian disebut pagar.

Ketika pemilik lahan itu bernama kerajaan, maka pagar atas suatu wilayah yang dikuasai raja pada dasarnya bernama pagar juga. Sebagai contoh, lihatlah Tembok Cina. Ha nya saja, saking besar dan panjangnya, kemudian memiliki se­butan khusus yakni benteng (fortress). Namanya saja benteng, maka pagar itu disertai dengan persenjataan un­tuk mempertahankan diri dan wilayah dari serangan lawan. Benteng­benteng khas dari kerajaan­kerajaan Eropa mencerminkan hal ini.

Pada ekstrim yang lain, pagar sebenarnya cukup berupa ditancapkannya sebuah bambu berwarna tertentu, didirikan­nya sebuah pohon yang khas atau ditumpuknya batu menjadi semacam monumen. Bambu, pohon atau monumen itu men­simbolisasikan siapa yang menjadi pemilik tanah tersebut. Ketika jaman menjadi lebih maju, simbol kepemilikan lahan berubah menjadi patok yang terbuat dari batu dan semen atau berbentuk sebuah papan yang bertuliskan nama pemilik lahan, termasuk di sini dasar hukum yang diacu. Tak lupa pula disertai ancaman seperti “dilarang masuk” atau “dilarang mendirikan bangunan” dan sebagainya.

Ketika simbol­simbol ini menjadi tidak atau kurang ber­makna bagi sebagian orang, terbukti dari adanya penguasaan lahan oleh orang yang tidak berhak, maka “pagar simbolik” ini cenderung tidak banyak lagi dimanfaatkan. Sebagai gan­

tinya, dibuatlah pagar dari kawat berduri mengelilingi lahan tertentu. Tidak cukup dengan itu, di mulut lahan, dibangun­lah pos jaga di tempat orang keluar­masuk. Tidak lupa pula, di palang papan nama yang telah dibuat tertulis pula “awas anjing galak”.

Agak berbeda adalah situasi di Eropa yang pada kebanyak­an palang tertulis trespasser will be prosecuted. Dengan kata lain, melewati suatu wilayah tanpa ijin pun tidak boleh. Apa­lagi jika ada orang yang membuat bangunan tidak permanen hingga semi­permanen, seperti sering dilakukan Etnis Gipsy di Eropa.

Ketika di dalam lahan terdapat properti yang lain, katakan­lah terdapat peternakan atau perkebunan, atau di dalam lahan terdapat rumah dengan segala perangkatnya, maka pagar le­bih berfungsi sebagai pencegah penyusup (intruder). Dengan fungsi baru ini, maka bentuk pagar juga berubah ketimbang pagar yang dipakai untuk mempertahankan diri dari orang yang ingin menguasai (invader). Para penyusup itu kita ke­nal dengan sebutan pencuri, maling, pencoleng atau bahkan pemulung. Terkait penyusup­penyusup itu, pagar cenderung dibangun tinggi­tinggi atau dikelilingi kawat berduri, bahkan juga dilengkapi Closed­Circuit Television (CCTV).

Dewasa ini, penyusup tidak sela­manya dikenal sebagai pencuri, maling dan sebagainya, tetapi bisa jadi mun­cul terang­terangan. Di siang bolong pula. Jika ada kasus pembobolan ru­mah berupa orang yang berpura­pura mengambil barang milik tuan rumah, atau kasus perampokan rumah oleh orang yang mengaku­aku orang dekat

korban, itulah penyusup model baru yang seringkali tampil perlente dan, oleh karenanya, tidak disangka­sangka. Tembok yang gagah pun seakan takluk oleh para penipu ini.

Inilah pula kelemahan CCTV, sebagai suatu sistem penga­manan wilayah paling mutakhir. CCTV hanya melihat per­gerakan orang, tidak melihat pada motif, niat serta kesiapan orang untuk melakukan suatu tindak pidana. Alhasil, di mata orang­orang yang sudah siap dan punya tekad melakukan tin­dak pidana, CCTV bukan lagi penghalang.

Target HardeningPerbincangan di atas pada dasarnya terkait dengan pagar

dalam fungsinya sebagai alat bantu si pemilik untuk memper­tahankan diri dari gangguan, entah itu berupa invader atau intruder. Secara teknis, hal itu disebut dengan maintaining defensible space. Tanpa pagar, maka orang bisa tidak berdaya apa­apa ketika ada orang iseng atau orang jahat hendak meng­

Pagar: Tinjauan Sosio-KriminologisAdrianus Meliala *

Pendapat

Page 65: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

65

Edisi 3 - Maret 2013

65

ganggu. Tiba­tiba saja orang iseng atau jahat itu sudah ada di depan pintu rumah dan bisa segera masuk rumah dengan cara mencungkil pintu atau jendela. Sebaliknya, dengan adanya pagar, maka orang iseng atau jahat itu pertama­tama perlu melewati pagar terlebih dahulu, entah dengan cara melom pati atau membobol pagar, yang tentunya tidak terlalu mudah.

Masih dalam rangka defensible space, maka terhadap mere­ka yang tinggal di hotel, apartemen atau asrama, pertahanan diri dibangun melalui sistem yang membatasi dan menyaring orang­orang yang hendak menemui mereka. Dengan ban­tuan CCTV, telepon internal, kunci yang diberi password atau dengan bantuan tenaga pengaman, jangankan intruder, yang bisa bertemu kita pun bukanlah sembarang orang.

Singkatnya, dengan pagar, orang lebih mampu bertahan. Upaya untuk bertahan pun bisa dilakukan secara lebih ber­variasi. Ujung­ujungnya, keberadaan kita (dalam hal ini ru­mah atau properti lainnya) menjadi lebih kuat, tidak mudah dikerjai, sebagai suatu target kejahatan. Itulah prinsip target hardening.

Namun demikian, dalam rangka “memperkeras” diri agar tidak menjadi target kejahatan yang mudah dikerjai, perlu di­ingatkan terkait azas proporsionalitas dan fungsionalitas. De­ngan kata lain, upaya tersebut perlu disesuaikan dengan bahaya yang mungkin datang serta probabilita datangnya bahaya dan, di pihak lain, nilai atau besaran dari target yang hendak dilin­dungi. Jika, katakanlah, kita memiliki uang yang amat banyak, amat wajar apabila dilakukan pengamanan yang tidak hanya ketat tetapi juga berlapis dan bersenjata. Sebaliknya, jika kita bukan seseorang yang kaya­raya, maka dapat diperkirakan tidak banyak pihak yang akan mengganggu kita.

Mengingat dalam rangka mempertahankan defensible space dan melakukan target hardening diperlukan biaya tidak sedikit, maka banyak perumahan memakai konsep cluster yang menyinergikan banyak hal, salah satunya, aspek keamanan. Dengan metode satu pintu, orang hanya boleh keluar­masuk dari pintu yang selalu dijaga tersebut, sehingga defensible space ditarik pada tingkat blok atau cluster. Hal ini jauh lebih efisien dari segi biaya. Seiring dengan itu, rumah­rumah didalamnya tidak perlu lagi membuat pagar.

Masalahnya, jika pengamanan di pintu masuk lemah atau bobol (entah karena satpam tidak ada di tempat atau sudah diperdaya), semua rumah dalam cluster bisa dikatakan tidak berdaya apa­apa lagi (defenseless).

Status

Pagar bisa menjadi tidak bisa diprediksi lagi tampilannya ketika dikaitkan dengan status sosial pemilik pagar tersebut. Guna memperlihatkan preferensi pemilik rumah, misalnya, dibangunlah pagar bergaya Yunani. Jika pemilik mengingin­kan pagar yang tetap memungkinkan orang “melongok” ke dalam rumahnya yang megah, bisa dibangun pagar bergaya

Gothik yang penuh ukiran. Nuansa tradisional, misalnya, ju­ga bisa dihadirkan melalui pagar. Tidak hanya itu, kehadiran pintu pagar yang angker plus satpam berkumis, misalnya, adalah cara lain menancapkan status sosial pemilik rumah.

Singkatnya, pagar tidak lagi sekadar menjadi simbol ke pe­milikan atau mekanisme mempertahankan diri, tetapi sudah menjadi instrumen dalam rangka aktualisasi diri. Oleh kare­na itu, sifatnya sangat subyektif dan penuh cita rasa pribadi. Namun demikian, seyogyanya keinginan untuk mengejar es­tetika sekaligus pengedepanan status, tidak kontra produktif dengan perspektif pencegahan kejahatan (crime prevention) yang seyogyanya built­in atau termaktub dengan sendirinya dalam perencanaan rumah tinggal atau properti lainnya.

Pagar yang terlalu kokoh, tinggi dan tertutup pada dasarnya menempatkan rumah dan penghuni rumah dalam keadaan terisolasi dan, jika terjadi apa­apa, tidak bisa meman­faatkan enerji sosial yang terdapat di luar rumah. Enerji so­sial itu berasal dari kehadiran tetangga atau orang yang lewat (passers­by) yang bisa membantu saat, katakanlah, mendengar teriakan atau kegaduhan dari dalam rumah. Hal ini sering terjadi ketika ada penyusup yang masuk rumah, terlepas dari apakah itu rumah mewah atau rumah sederhana. Inilah con­toh ketika niat untuk meningkatkan status malah bisa beru­jung pada ketidakamanan diri sendiri dan keluarga.

Tentunya ada saja orang yang memilih tidak mau meng­andalkan pada enerji sosial dan lebih percaya sepenuhnya pada kemampuan diri sendiri. Hal ini memang ada benarnya. Kemampuan finansial yang kuat serta kepercayaan diri dan ditunjang oleh perangkat komunikasi yang canggih, bagi banyak orang dapat menggantikan dukungan enerji sosial jika terjadi ketidakamanan pada diri orang tersebut. Nama­nya juga orang dari kelas menengah hingga elite, untuk apa tergantung pada masyarakat di lingkungan sekitar yang se­ringkali lebay. Inilah fenomena yang terjadi pada komunitas baru masyarakat perkotaan yang hidup di apartemen penca­kar langit di Jakarta.

Kehidupan mereka amat “dipagari” oleh dinding­dinding unit tempat tinggal mereka. Interaksi sosial yang minim, bah­kan boleh dibilang tidak ada kontak sama sekali antarpenghu­ni apartemen, adalah pemandangan sehari­hari. Unit tempat tinggal bukan lagi sebagai pagar, tetapi telah menjadi “penjara baru” yang mengurung mereka sendiri. Akibatnya, muncul fenomena ketidakamanan model baru. Sebagai contoh, peng­huni apartemen meninggal berhari­hari tanpa ada yang tahu. Atau, terjadinya kasus perampokan yang pelakunya orang dekat korban, yang dengan demikian melumpuhkan semua sistem pengamanan yang ada.

*) Prof. Adrianus Meliala, Ph.DKriminolog & Guru Besar FISIP UI,

Komisioner pada Komisi Kepolisian NasionalDapat dihubungi di [email protected]

Page 66: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

Konsep

66

AGUNG PODOMORO GROUP

L’Avenue

Green Bay Pluit

Page 67: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

67

Edisi 3 - Maret 2013Konsep

Pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Construction) merupakan suatu topik yang saat ini berkembang di dunia konstruksi internasio­

nal sebagai respon atas isu pemanasan global (global warming). Prinsip dasar dari tipe pembangunan ini ada­lah penggunaan energi yang optimal secara integratif mulai dari tahap perencanaan, konstruksi, pemanfaat­an sampai pada pembongkaran. Sistem pracetak be­ton merupakan suatu sistem pembangunan yang me­menuhi kaidah konstruksi hijau (green construction), karena menerapkan penggunaan material dan metoda kerja yang efisien sehingga dida­pat optimalisasi penggunaan energi selama konstruksi. Penelitian optimasi energi konstruksi dan dampak lingkungan dilakukan pada pembangunan ru­mah susun di Batam, yang dilakukan dengan bebera­pa sistem pembangunan: sistem konvensional, sistem pracetak sebagian, dan sistem pra cetak penuh. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pelaku konstruksi nasional, agar juga mulai mem­pertimbangkan optimalisasi energi dalam perencanaan pembangunan, sehingga dapat menjadi bagian dalam usaha menjaga kelestarian bumi.

Konsep Perhitungan Energi Konstruksi dan Dampak Lingkungan

Referensi perhitungan energi tiap item pekerjaan konstruksi didasarkan referensi [5]. Proses penyetaraan untuk perbandingan tiap item dilakukan dengan metoda LCA (life cycle analysis) melalui software Simapro 5.0 untuk menganalisis aspek lingkungan yang berhubungan dengan suatu produk dan siklus hidupnya, mulai diambil dari alam, diproduksi, dipergunakan, dipelihara sampai dibongkar dan kembali ke alam. Software ini mengalkulasi input seperti kuantitas bahan baku suatu proses industri dan menghasilkan output agar kita bisa

melakukan perbaikan proses dan dampak yang lebih aman ke lingkungan.

a. Analisis Bahan Baku Pembangunan RusunawaPembangunan rusunawa membutuhkan banyak

sumberdaya alam sebagai bahan baku konstruksi. Pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat berdampak terhadap kerusakan alam. Bangunan Rusunawa terbuat dari konstruksi beton, yang dalam pengerjaannya dapat dilakukan melalui 3 alternatif pelaksanaan konstruksi, yaitu secara konvensional, pracetak sebagian dan pracetak penuh. Bahan bangunan utama yang digunakan beserta kebutuhan masing-masing pada setiap jenis

Sistem Pracetak Beton sebagai Sistem Konstruksi Hijau:

Studi Kasus Perbandingan Energi Konstruksi dan Dampak Lingkungan di Pembangunan Rumah Susun di Batam

Oleh:Hari Nugraha Nurjaman, Hairul Sitepu dan HR Sidjabat

Gambar 8. Pembangunan Rusun di Batam 2010 ­ 2011

Bagian Kedua*

Page 68: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

68

pelaksanaan konstruksi dapat dilihat pada Tabel 2

Pada Tabel.2 terlihat pemakaian besi tulangan beton pada pracetak sebagian berkurang secara signifikan, dari 180 ton pada konvensional menjadi 77 ton pada pracetak sebagian. Penghematan besi yang sangat signifikan ini didapat karena sistem pracetak yang digunakan adalah sistem column­slab yang sangat efisien, terutama dari komponen pelat yang menggunakan sistem grid prategang seperti terlihat pada Gambar 9.

Kondisi yang sama juga pada peng-gunaan kayu, baik sebagai perancah maupun sebagai cetakan sebanyak 603 m3, tidak diperlukan lagi pada pracetak sebagian dan pracetak penuh. Selain penggunaan ba-han bangun an lebih efisien, kelebihan lain dari peng-gunaan beton pracetak sebagian dan pracetak penuh adalah dalam pembiayaan yang berkurang secara cu-kup signifikan dan kecepatan pelaksanaan pembangun-an dari semula 8 bulan, menjadi hanya 5-6 bulan. Di-lain pihak, penggunaan tenaga kerja secara total lebih sedikit diban dingkan beton konvensional, namun peng-gunaan tenaga kerja terampil lebih banyak di beton pra cetak [10]. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gibb [4] yang mengemukakan bahwa beberapa prinsip beton pra cetak tersebut dipercaya dapat memberikan man-faat lebih dibandingkan beton monolit terkait dengan pe ngurangan waktu dan biaya, peningkatan jaminan kualitas, predicability, relocability, dan sebagainya.

b. LCA Beton KonvensionalHasil analisis skor tunggal menunjukkan bahwa besi

beton merupakan elemen yang memberikan dampak paling besar (8,19 kPt), disusul oleh semen (4,55 kPt).

Elemen yang memberikan dampak paling kecil adalah air untuk beton (3,93 x 10-7 kPt) dan penggunaan truk (1,66 x 10-5 kPt). Berdasarkan hasil pembobotan, hampir seluruh elemen berpotensi menimbulkan tiga dampak lingkungan dominan (impact categories), yaitu: (1) kandungan racun lingkungan perairan kronis (5,55 kPt); (2) kandungan racun lingkungan perairan akut (5,17 kPt); (3) kandungan racun lingkungan tanah kronis (4,13 kPt).

Kandungan racun lingkungan perairan kronis disebabkan oleh material-material mencemari badan air permukaan dalam jangka waktu yang lama. Apabila pencemaran tersebut tidak ditangani dengan serius dan benar dampaknya akan berlanjut ke pencemaran lingkungan perairan akut. Hal tersebut akan sangat berbahaya terhadap manusia dan organisme hidup lainnya yang akan memanfaatkan perairan tersebut.

Hasil pembobotan menunjukkan bahwa hampir seluruh elemen berpotensi menimbulkan tiga dampak lingkungan dominan, yaitu: (1) kandungan racun lingkungan perairan kronis (5,56 kPt); (2) kandungan

Gambar 9. Sistem Pracetak Column Slab

Besi tulangan beton 180 ton 77 ton 122 tonCetakan kayu 41 m3 Perancah kayu 562 m3

Tabel 2. Kebutuhan Bahan Bangunan Masing-masing Alternatif

*) Teknologi Pracetak yang digunakan adalah dari salah satu produsen nasional

Konsep

Page 69: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

69

Edisi 3 - Maret 2013

racun lingkungan perairan akut (5,17 kPt); (3) kandungan racun lingkungan tanah kronis (1,56 kPt)

c. LCA Beton Pracetak SebagianHasil analisis skor tunggal penggunaan beton pracetak

sebagian menunjukkan bahwa semen merupakan elemen yang bisa memberikan dampak paling besar (4,7 kPt), disusul oleh besi beton (3,59 kPt). Selain hal tersebut, kontributor proses yang memberikan dampak paling kecil adalah air untuk beton (3,57 x 10-7 kPt) dan penggunaan truk (1,66 x 10-5 kPt).

Hasil pembobotan menunjukkan hampir seluruh ele-men berpotensi menimbulkan tiga dampak lingkungan dominan, yaitu: (1) kandungan racun lingkungan perair-an kronis (4,06 kPt); (2) kandungan racun lingkungan perairan akut (3,79 kPt); (3) kandungan racun lingkung-an tanah kronis (3,00 kPt).

d. LCA Beton Pracetak penuhHal yang membedakan material yang digunakan da-

lam pembuatan rusuna menggunakan beton pracetak penuh dengan pracetak sebagian adalah pengurangan penggunaan bahan baku bagi pembuatan dinding dan plesterannya, seperti semen, pasir dan bata merah. Pengurangan bahan baku dinding ini disubtitusi selu-ruhnya oleh beton pracetak, sehingga dampak lingkung-an akibat pemanfaatan bata me rah berkurang secara signifikan, tetapi di sisi lain meningkatkan volume peng-gunaan beton pracetak. Seperti halnya dalam penggu-naan beton konvensional dan beton pracetak sebagian, besi beton dan semen merupakan kontributor proses terbesar yang berdampak terhadap lingkungan. Bahkan dampak lingkungannya relatif lebih tinggi, ka rena pe-ningkatan volume penggunaan semen dan besi sebagai bahan pokok penyusun beton pracetak.

Hasil analisis skor tunggal menunjukkan besi beton

merupakan kontributor proses yang bisa memberikan dampak paling besar (6,81 kPt), disusul oleh semen (3,82 kPt). Sementara elemen yang memberikan dampak paling kecil adalah air untuk beton (5,75 x 10-7 kPt) dan penggunaan truk (1,12 x 10-5 kPt).

Seperti pada penggunaan beton konvensional dan beton pracetak sebagian, hampir seluruh elemen ber-potensi menimbulkan tiga dampak lingkungan dominan, yaitu: (1) kandungan racun lingkungan perairan kronis (4,19 kPt); (2) kandungan racun lingkungan perairan akut (3,91 kPt); (3) kandungan racun lingkungan tanah kronis (3,06 kPt).

e. AnalisisPerbandingan energi konstruksi alternatif berdasar-

kan analisis daur hidupnya (LCA) dilakukan terhadap tiga pilihan, yaitu pembangunan rusunawa mengguna-kan beton konvensional, beton pracetak sebagian, dan beton pracetak penuh. Hasil skor tunggal secara agre-gat menunjukkan penggunaan beton pracetak sebagian memiliki kinerja sedikit lebih baik dibandingkan dengan penggunaan beton pracetak penuh dalam hal dampak lingkungan yang ditimbulkan daur hidup kontributor prosesnya. Dampak lingkungan secara keseluruhan aki-bat daur hidup kontributor proses penggunaan beton konvensional sebesar 18,6 kPt. Hal ini bisa diturunkan menjadi hanya 13,8 kPt dengan penggunaan beton pracetak penuh dan menjadi hanya 13,0 kPt dengan penggunaan beton semi pracetak. Sementara perbe-daan kemampuan antara penggunaan beton pracetak penuh dan beton Pracetak sebagian 6% (0,8 kPt) dalam menurunkan dampak lingkungan.

Bahan bangunan utama yang mempunyai dampak lingkungan terbesar adalah besi beton, semen, alumini-um, bata merah, keramik dan sanitari, sebagaimana disajikan pada Tabel-3.

Jika dilihat dari kebutuhan energi pembangunan sistem konvensional merupakan sistem pembangunan yang terboros yaitu 272 kWh/m2, disusul sistem pra-

cetak penuh 219 kWh/m2, dan yang paling he-mat adalah sistem pracetak sebagian yaitu

175 kWh/m2. Kebutuhan energi kon-struksi yang dianggap wajar untuk

bangun an perumahan adalah 240 kWh/m2 [9] sehingga

sumber foto: istimewa

Page 70: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

70

pem bangunan rumah susun bertingkat medium dengan sistem prace tak dapat dianggap memenuhi kriteria kon-struksi hijau.

Besi sebagai bahan baku pembuatan besi beton, me-rupakan kontributor proses yang memiliki dampak terbe-sar dalam pembangunan rusunawa terhadap lingkungan. Secara umum besi terbuat dari biji besi, batu bara dan limestone, lalu dicampur, diolah, dipanaskan dalam oven, lalu setelah melalui proses pendinginan dalam air, akan diperoleh batangan atau lembaran besi. Selanjutnya di-lakukan proses deform sesuai kebutuhan, misalnya besi beton polos, ulir, kawat, pelat, balok, dan lain-lain se-suai kebutuhan. Semua proses mulai dari pengambilan di alam, proses produksi, perakitan, pemeliharaan sam-pai pembongkaran akan berdampak pada lingkungan, salah satu dampak yang akan muncul pencemaran pada perairan. Tanda-tanda terdapatnya pencemaran akibat besi di perairan adalah apabila terdapat suasana asam dalam kondisi aerob [2]. Pada perairan yang diperuntuk-kan bagi keperluan domestik, kadar besi yang berlebihan dapat mengakibatkan warna kemerahan pada porselin, bak mandi, pipa air dan pakai an. Kelarutan besi mening-kat dengan menurunnya pH [3]

Bahan lain yang memiliki dampak terbesar adalah se-men. Secara umum semen terbuat dari batu kapur, tanah liat, pasir silika, pasir besi, clicker dan gypsum. Semua ba-han baku ini dieksplorasi dari alam, sehingga mulai dari pengambilan di alam, pemilahan, pember sihan, pencam-puran, pembakaran, penggilingan, penggunaan, peme-liharaan sampai pembongkaran akan mencemari ling-kungan. Proses eksplorasi sumber daya alam berpotensi pencemaran lingkungan perairan dan tanah, sedangkan proses pembakaran akan berakibat pemanasan global dan pelepasan debu berakibat polusi udara. Bahan bangunan lain yang berpengaruh pada sitem pracetak adalah kayu yang dapat dihemat sebesar 603 m3. Apabila rerata diame-

ter pohon 1 m dan jarak pohon di hutan 25 m, maka akan dapat dihemat hutan seluas 1,25 ha untuk setiap bangunan Rusunawa, yang pada gilirannya akan dapat memper-tahankan penyerapan CO2. Pelaksanaan konstruksi dengan pracetak sebagian juga dapat menghemat penggunaan energi sebesar 446.792,8 KWH bila dibandingkan dengan konvensional. Berdasarkan bebera-pa hasil perbanding an diatas, sistem pelak-sanaan pracetak sebagian merupakan yang paling ramah lingkungan.

PenutupPelaksanaan konstruksi dengan

meng gunakan beton pracetak sebagian dan pracetak penuh mempunyai kelebihan dalam per-cepatan waktu pelaksanaan, biaya lebih murah dan penghematan penggunaan kayu dibanding konvensio-nal, sehingga memenuhi kriteria konstruksi hijau yang sangat memperhatikan efisiensi energi. Analisis juga menunjukkan bahwa sistem pra cetak sebagian adalah yang lebih ramah lingkungan dibandingkan sistem pra-cetak penuh. Kekurangan penggunaan beton pracetak sebagian adalah penggunaan tenaga kerja secara total lebih sedikit dibandingkan beton konvensional, namun penggunaan tenaga kerja terampil lebih banyak. Besi beton dan semen merupakan kontributor proses yang bisa memberikan dampak paling besar, sementara air untuk beton dan penggunaan truk merupakan elemen dengan dampak terkecil. Hampir seluruh elemen bahan bangunan berpotensi menimbulkan tiga dampak ling-kungan dominan, yaitu: (1) kandungan racun lingkungan perairan kronis; (2) kandungan racun lingkungan perair-an akut; (3) kandung an racun lingkungan tanah kronis.

*) Bagian Pertama dimuat pada HUD Magazines Edisi Pertama

daftar pustaka1. BPS (2010). Data Sensus Penduduk. Jakarta.2. Cole, G.A. (1988). Textbook of Limnology. Waveland Press, Inc.Illinois. USA.3. Effendi, H. (2000). Telaan Kualitas Air. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan.

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.4. Gibb, A.G.F. (1999). Off-Site fabrication. John Wiley and Son. New York. USA5. Goedkoop, M and M. Oele. (2001). Database Manual General Introduction. PRé

(Product Ecology Consultant). USA.6. Graubner, C.A, T Mielecke (2010). Sustainability of Highrise Building, High Rise

Towers and Tall Buildings 2010 Design and Construction of Safe and Sustainable Highrise Structures, Munich, Germany.

7. Morgen, K. (2010). New Icon of Dubai. High Rise Towers and Tall Buildings 2010 Design and Construction of Safe and Sustainable Highrise Structures, Munich, Germany.

8. Nasir, R.Y (2011). Achieving High Performance Building through Green Building Rating Tools in Indonesia, Diseminasi Peraturan Perundang­undangan Bangunan Gedung dan Lingkungan. Kementerian Pekerjaan Umum, Makasar, Indonesia.

9. Sabbarudin, A. (2011). Standardisasi Pengujian Material Ramah Lingkungan, Seminar Konstruksi Ramah Lingkungan. PT Estop Indonesia, Jakarta, Indonesia.

10. Sijabat, H.R dan H.N. Nurjaman (2007). Sistem Bangunan Pracetak untuk Rumah Susun dan Rumah Sehat Sederhana. Pusat Pengembangan Perumahan Kemenpera, Jakarta, Indonesia.

Tabel 3. Perbandingan Dampak Lingkungan Bahan Bangunan Utama

Alternatif Pelaksanaan dan

Bahan Bangunan Utama Potensi Pencemar

Katagori Dampak Lingkungan (Pt)Energi(kWh)Racun

perairan kronis

Racun perairan

akut

Racuntanah kronis

Konvensional:-besi beton-semen-aluminium

5,18 x 108

2,85 x 1084,95 x 107

3,68 x 106

2,53 x 107

1,39 x 107

1.253.774,7

Pracetak sebagian:-semen-besi beton-bata merah

2,94 x 108

2,27 x 1082,82 x 107

-9,97 x 106

1,43 x 107

1,11 x 107

806.981,9

Pracetak penuh:-besi beton-semen-keramik & sanitari

4,11 x 108

2,39 x 1083,92 x 107

2,29 x 107 1,97 x 107

3,65 x 106

1.008.199,9

Konsep

Page 71: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

71

Edisi 3 - Maret 2013

APERSI

5 April 2007 - 5 April 2013

SukseskanProgram 1.000 Tower

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower

Page 72: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

72

Konservasi Energi sebagai Isu­Historis Green Building dan Desain Rumah Susun

Green building didefinisikan sebagai praktik (i) pe-ningkatan efisiensi energi, air, material yang di-gunakan suatu bangunan dan tapak, (ii) reduksi

dampak bangunan terhadap kesehatan manusia dan ling-kungan (melalui orientasi, desain, konstruksi, operasional-isasi, pemeliharaan, serta pembangunan-kembali) (Office of the Federal Environmental Executive, USA, 2003).

Kesadaran konseptual green building ini muncul usai penggunaan teknologi era 1930-an (penggunaan HVAC se-cara masif serta ikon glass box architecture) (Cassidy, 2003)

mengalami tantangan penyusutan sumberdaya akibat era minyak-murah II (1950-1974) (Burberry, 1979) serta em-bargo OPEC (1973). Pada era 1970-an, sejumlah arsitek, ahli lingkungan, serta pakar ekologi menilai-ulang kebijak-an membangun yang mendayagunakan sistem heating and cooling secara masif tersebut seiring dorongan akibat sejumlah dokumen, yakni ”Design with Climate” karya Victor Olgyay, ”Form and Stability” karya Ralph Knowles, serta ”Silent Spring” karya Rachel Carson (Cassidy, 2003). Isu energi ini menjadi fokus dari Leadership in Energy and Environmental Design (LEED versi 1.0) yang muncul pada akhir tahun 1998 di Amerika Serikat; LEED menjadi salah satu alat penilaian peringkat green building yang populer dan kerap menjadi rujukan penyusunan alat penilaian di luar Amerika Serikat.

Sebagaimana tercatat dalam White Paper on Sustain­ability: A Report on the Green Building Movement, se-jumlah tipe bangunan yang menjadi tonggak (milestone) periode 1970-1993 didominasi oleh perkantoran (misal: Environmental Defense Fund Offices, 1985), rumah (mi-sal: Audubon House, 1992) (Burberry, 1979). Sebuah hal yang menarik bahwa di luar kerangka milestone tersebut,

sebuah dokumen komprehensif berjudul “Housing” ter-bit pada tahun 1981 [mendahului Bruntland Report, UN World Commission on Environment and Development, 1987 dan AIA Committee on the Environment (COTE), 1989]; sejalan dengan upaya mengatasi isu energi di ja-mannya, dokumen ini juga memberi perhatian khusus mengenai konservasi energi yang berlaku untuk berbagai tipe rumah susun (lowrise, midrise, highrise). Konservasi energi pada rumah susun pada dasarnya diarahkan untuk mengendalikan jumlah panas yang dilepaskan (heat loss) oleh selubung ba ngunan sedemikian sehingga area kaca sebaiknya direduksi sedangkan dinding/atap haruslah ter-insulasi (Macsai dkk, 1981)

Adapun sejumlah advis rinci mengenai data peran-cangan dan konservasi energi, antara lain:

Data Iklim, • analisis pola dan durasi suhu, hujan, perge-rakan matahari, perilaku angin sangat dibutuhkan seba-gai dasar penetapan sistem pengendalian lingkungan; Konstruksi• , bagian-bagian bangunan harus tersambung erat untuk mencegah kebocoran (leakage) udara mau-pun air;Orientasi• , jika layak maka pemanfaatan sinar matahari, pepohonan, perbukitan dapat diinternalisasi ke dalam desain;Pemanasan secara pasif (passive solar heat),• sudut pe-nyinaran matahari, jenis kaca, serta material sebaiknya direncanakan untuk penyerapan dan penyimpanan pa-nas;Pengendalian suhu udara• (temperature control), desain bangunan disarankan untuk menyertakan perencanaan dan pemeliharaan agar suhu dapat dikelola secara opti-mum (mencegah overheating maupun overcooling).

Inventarisasi Prinsip

Green Building dalam Desain Rumah Susun

Wied W. Winaktoe*

sumber foto/ill.: istimewaKonsep

Page 73: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

73

Edisi 3 - Maret 2013

Perluasan Adopsi Prinsip­prinsip Green Building dalam Desain Rumah Susun

Pada kasus Indonesia, komponen bangunan yang berhubungan dengan kenyamanan-termal agaknya akan tetap mendominasi isu desain rumah susun, sebagaima-na terindikasi melalui komposisi penggunaan listrik pada bangun an secara umum (AC 66%, pencahayaan 17,4%) (DJLEB, 1992) maupun residensial (AC 11%, pencahayaan 33%) (ITB, 1994). Pada sisi lain, keberadaan sistem penilai-an green building, sebagaimana yang dikembangkan Pem-prov DKI Jakarta (Pergub Nomor 38/2012 tentang Bangun-an Gedung Hijau), Kementerian Pekerjaan Umum (Draft Permen PU tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau), maupun GBCI (Greenship) diperkirakan akan memperluas prinsip-prinsip yang harus diinternalisasi rumah susun. Selain efisiensi energi, maka prinsip efisiensi air, material bangunan ramah lingkungan, reduksi limbah, reduksi tok-sik, kualitas udara ruang-dalam, efisiensi lahan akan me-lekat pada desain rumah susun.

Manifestasi fisik dari prinsip green building tersebut dapat saja bervariasi namun, paling tidak, substansi dari komponen yang hendak diinternalisasi antara lain:

Efisiensi energi• , desain rumah susun diarahkan untuk mengendalikan laju panas (heat rate) yang memasuki selubung bangunan serta, secara bertahap, merestruk-turisasi sumber-sumber energi listrik melalui pening-katan proporsi penggunaan renewable energy;Efisiensi air• , desain rumah susun diarahkan untuk melakukan upaya penghematan penggunaan air baik di dalam (aplikasi fixtures yang efisien) maupun di luar bangunan (reduksi run off serta meningkatkan ground­water recharging);Material bangunan ramah lingkungan• , desain rumah susun diarahkan untuk memrioritaskan penggunaan material dengan nilai indikator lingkungan yang baik (embodied energy rendah, embodied carbon yang rendah, mampu didaur-ulang). Pada kasus penerapan skema self build dan sweat policy yang melibatkan kon-tribusi tenaga penghuni sebagai bagian skema pem-biayaan unit maka material juga haruslah memiliki in-dikator labour intensive serta cost effective; Reduksi limbah• , desain rumah susun diarahkan untuk mampu mengelola produksi dan transformasi limbah-nya agar tidak membebani ekosistem;Reduksi toksik• , desain rumah susun diarahkan sebagai wahana yang mampu memelihara kesehatan penghuni melalui pengendalian terhadap berbagai elemen de-sain yang berpotensi meracuni air, udara, tanah;Kualitas udara ruang­dalam• , desain rumah susun di-arahkan untuk mampu mengendalikan kenyamanan-termal, kebisingan/akustik, serta bau (odor);

Efisiensi lahan• , desain rumah susun diarahkan untuk mengoptimasi penggunaan lahan mengingat keter-batasan lahan-layak serta carbon footprint yang dihasil-kan dari setiap pembangunan;

PenutupUnited Nations Conference on Human Settlements

(Habitat II, 3-14 Juni 1996) di Istanbul, Turki, telah mende-klarasikan agar berbagai negara menjamin perwujudan ad­equate shelter for all; relatif sejalan dengan prinsip efisiensi energi yang diusung green building movement maka ade­quate shelter menyertakan ”lighting, heating, ventilation” (pencahayaan, suhu, ventilasi) sebagai kriteria yang harus dipenuhi dalam membangun rumah layak, termasuk ru-mah susun. Itikad positip Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, serta non-Pemerintah untuk mengimplementasi-kan prinsip-prinsip green building diharapkan dapat ber-imbas pada komoditas rumah susun pula. Secara khusus, Pergub Nomor 38/2012 tentang Bangunan Gedung Hijau yang diluncurkan Pemprov DKI Jakarta telah secara spesi-fik menempatkan rumah susun (minimum total luas lantai 50.000 m2) sebagai subyek yang wajib mengaplikasikan prinsip-prinsip hijau (green). Kini merupakan momentum yang tepat untuk menyinergikan kriteria adequate shelter dengan regulasi green building agar rumah susun turut berkontribusi pada kesinambungan fungsi ekosistem.

*Green Development Initiatives, Dana Mitra Lingkungan (DML)

Page 74: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

74

SukseskanProgram 1.000 Tower

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower5 April 2007 - 5 April 2013

BAPERTARUM-PNS

ProfilSukseskanProgram 1.000 Tower

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower5 April 2007 - 5 April 2013

Page 75: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

75

Edisi 3 - Maret 2013

Rumah sebagai kebutuhan dasar manusia, disamping sandang dan pangan, merupakan harapan setiap manusia untuk dapat memenuhinya. Dari tiga kebutuhan dasar tersebut , pemenuhan kebutuhan akan rumah merupakan hal

yang paling sulit dijangkau oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada khususnya.

Pegawai Negeri Sipil yang jumlahnya hampir mencapai 3,9 juta orang dan tersebar di seluruh Indonesia tersebut terdiri dari berbagai golongan yaitu mulai dari golongan I sampai dengan IV, yang berarti juga terdapat perbedaan penghasilan, yang berpengaruh kepada kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, terutama rumah.

BAPERTARUM-PNS didirikan berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor 14 Tahun 1993 tentang Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1994.

Yang melatarbelakangi didirikannya BAPERTARUM-PNS, antara lain :

1. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil untuk memiliki rumah yang layak.

2. Terbatasnya kemampuan Pegawai Negeri Sipil untuk membayar uangmuka pembelian rumah dengan fasilitas Kredit Kepemilikan Rumah atau KPR

3. Tabungan perumahan PNS dapat membentuk dana untuk mengatasi kendala tersebut yang merupakan kegotong-royongan diantara Pegawai Negeri Sipil dalam upaya peningkatan kesejahteraan antara Pegawai Negeri Sipil.

Sejak didirikan tahun 1993 BAPERTARUM-PNS telah melakukan beberapa kebijakan dan upaya yang bertujuan untuk semakin meningkatkan pelayanannya kepada PNS.

Struktur OrganisasiKetua: Presiden Republik IndonesiaKetua Harian merangkap anggota: Menteri Negara Perumahan RakyatAnggota: 1. Menteri Keuangan2. Menteri Dalam Negeri3. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara4. Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara

Kepala Pelaksana

Divisi PerencanaanPropram dan Evaluasi Divisi Umum Divisi Keuangan

dan Penyaluran Dana

Satuan PengawasanInternal (SPI)

Sub Satuan PengawasanBidang Pelayanan Penyaluran

Taperum-PNSSub Satuan Pengawasan

Bidang Operasional

Sub Divisi Administrasi

Keuangan

Sub Divisi Administrasi Penyaluran

Dana

Sub Divisi Administrasi Pengelolaan

Dana PNS

Sub Divisi Umum

Sub Divisi Humas dan

Protokol

Sub Divisi Sumber Daya

Manusia (SDM)

Sub Divisi Hukum

Sub Divisi Propram dan

Anggaran

Sub Divisi Pengembangan

Sistem Informasi dan Pengolahan

Data

Sub Divisi Monitoring dan

Evaluasi

BAPERTARUM-PNSBadan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil

Struktur Organisasi Pelaksana Sekretariat TetapBadan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil

VisiMenjadi pengelola Tabungan Perumahan (Taperum) PNS yang bereputasi baik dan dipercaya serta handal dalam pemupukan dan pengelolaan dana perumahan

Misi1. Memberikan kemampuan kepada PNS dan

kepada masyarakat yang berpenghasilan tetap dalam pemilikan rumah yang layak melalui bantuan pembiayaan dari dana tabungan perumahan PNS dan dana perumahan lain dari masyarakat non PNS, serta bantuan pemerintah dan bantuan fasilitas pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan dan non perbankan, serta bantuan fasilitas teknis dengan bekerjasama secara kemitraan strategis dengan pihak terkait dalam pengadaan rumah

2. Memberikan pelayanan yang terintegrasi dan memuaskan dengan pengelolaan serta pemupukan dana untuk pembiayaan perumahan yang bernilai bagi PNS dan masyarakat berpenghasilan tetap, sehingga berkontribusi dalam mendukung pemerintah memenuhi kebutuhan rumah untuk masyarakat

ProfilSukseskanProgram 1.000 Tower

Page 76: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

76

Profil

Visi PerusahaanMenjadi pemain utama

ekonomi nasional yang didukung oleh tenaga kerja yang prima,

produk berkualitas, pelayanan terbaik, dan

sistem yang terintegrasi.

Misi PerusahaanMemberi berkah bagi masyarakat dengan membangun kepeloporan

ekonomi nasional.

SukseskanProgram 1.000 Tower

Memperingati 6 TahunProgram 1.000 Tower

5 April 2007 ­ 5 April 2013

Page 77: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

77

Edisi 3 - Maret 2013Profil

etelah enam tahun beraktifitas sebagai asosiasi penggiat perumahan di Jawa Barat, Asosiasi Pengembang Perumah-an Rakyat (AP2ERSI) kini siap untuk berkiprah sebagai aso-

siasi penggiat perumahan di tingkat nasional de ngan dukungan 8 (delapan) DPD tingkat Provinsi.

Perubahan AP2ERSI menjadi asosiasi penggiat perumah-an nasional dikukuhkan pada MUBES I AP2ERSI yang berlangsung pada tanggal 16-17 April 2013 di Grand Preanger–Bandung. Pada MUBES yang bertajuk “Metamorfosa AP2ERSI menjadi Organisasi Nasional: Semakin Pro-Rakyat Pro-MBR” tersebut, disepakati 3 (tiga) agenda utama yaitu (i) Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran RumahTangga AP2ERSI; (ii) Platform organisasi AP2ERSI sebagai asosiasi penggiat perumahan skala nasional; (iii) Pemilihan Ketua Umum AP2ERSI masa bakti 2013-2018

Pada hari pertama tanggal 16 April 2013, antusiasme peserta begitu besar sejak persidangan Pertama. Pada persidangan Ke-dua yang dipimpin oleh Ketua DPD Provinsi Aceh dan DPD Nusa Tenggara Barat didampingi Ketua Komite Pengarah, terjadi ba-nyak koreksi dan interupsi yang membahas perubahan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) serta platform Organisasi AP2ERSI. Persidangan Ketiga, yang mengagendakan pemilihan Ketua Umum, berhasil terpi-lih H Ferry Sandiyana SE sebagai Ketua Umum dengan dukungan bulat dari DPD Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Ba-rat. Pemilihan Ketua Umum dilaksanakan secara langsung dan terbuka dengan diimbuh pandangan dari seluruh DPD. Hampir senada mereka menyampaikan dukungan kepada H. Ferry Sandiyana S.E. karena kapasitas dan kredibilitasnya serta mengapresiasi perjuangan AP2ERSI Jawa Barat yang melahirkan AP2ERSI dari organisasi skala regional menjadi asosiasi penggiat perumahan skala nasional.

Dalam sambutan Pelantikannya Ketua Umum AP2ERSI terpilih menyatakan, pengalaman enam tahun sebagai peng-

giat perumahan di Jawa Barat memberikan pengalaman dan pembelajaran bagi AP2ERSI saat ini untuk tetap konsisten seba-gai asosiasi yang berpihak pada Masyarakat Berpenghasilan Ren-dah (MBR). Tag perjuangan AP2ERSI adalah Pro Rakyat-Pro MBR. Dua Program utama kami adalah pengembangan organisasi dan

kemitraan. Insya allah dalam waktu dekat AP2ERSI akan be-kerjasama dengan salah satu BUMN untuk membangun

rumah murah bagi para pekerjanya. Dengan dukungan peme rintah dan banyak pihak kami yakin rencana un-tuk memba ngun perumahan rakyat yang termurah akan bisa terwujud.

Menteri Negara Perumahan Rakyat yang diwakili oleh Ir Sri Hartoyo, Deputi bidang Pembiayaan Kemenegpera RI, menyata-kan menyambut baik dan menyatakan selamat datang kepada AP2ERSI untuk turut berkiprah dalam bidang perumahan nasio-nal disertai harapan agar AP2ERSI akan memberikan kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan perumahan nasional .

Pada MUBES I AP2ERSI tersebut di selenggarakan Diskusi Panel bertajuk “Solusi Pemenuhan Backlog Rumah Rakyat” de ngan Pembicara Kunci, Jusuf Kalla dan para panelis, Ir. Zulfi Syarif Koto (The Hud Institute), Dr. Nugraha (Kemenegpera) dengan modera-tor, Yusuf Fitriadi SE (Pikiran Rakyat). Dalam keterangannya Ketua

Komite Pengarah MUBES I AP2ERSI, Drs. Endrawan Natawiria, menyatakan “kami memilih Pak JK (Jusuf Kalla) sebagai pem-bicara kunci karena pengalaman beliau sebagai negarawan, birokrat dan praktisi bisnis. Sayang pada Diskusi panel kali ini kami tidak bisa menghadirkan gagasan dan fikiran beliau secara langsung tetapi secara virtual (pre­recorded), karena be-liau mendadak harus ke luar negeri”.

Mengawali program kemitraannya, DPP AP2ERSI pada MUBES I tersebut menan-datangani Nota Kesepahaman dengan PT Cemerlang Mandiri Selaras (Distributor Semen BOSOWA Jawa Barat) yang akan ditindaklanjut dengan BOSOWA GROUP untuk bekerjasama dalam menyeleng-garakan pembangunan rumah murah di Indonesia.

METAMORFOSA Asosiasi Pengembang Perumahan Rakyat Indonesia (AP2ERSI)

KETUA UMUM : H Ferry Sandiyana SESEKRETARIS UMUM : Drs. Endrawan NatawiriaBENDAHARA UMUM : Nina Herlina

KETUA I : R. H. Agus Rachman S.H.KETUA II : Adin RestiadiKETUA III : Nuslih Jamiat S.E., M.M.KETUA IV : Azhar Hariman S.T.KETUA V : M. Perkasa Alam S.H., M.H., M.M.KETUA VI : DR. H. PurwadhiKETUA VII : H. Ahmad Zailani Mpd.

WASEKUM I : Drs. Agus IrsyadWASEKUM II : Ir. Atri Kusumaningsih M.T.WASEKUM III : Ir. Dany Juanda

WABENDUM I : Hasan Kurniawan S.E.WABENDUM II : Diana LB. Limbong

DEWAN PEMBINAKETUA : DR. Ir. H. Lili Asdjudiredja ANGGOTA : Ir. Zulfi Syarif Koto H. Yomanius Untung Spd. DR. H. Sodik Mujahid Mpd.

DEWAN PENASIHAT KETUA : Ir. Wahyu NugrohoANGGOTA : Irwan A. Gunawan Agus Sumarno S.E. Yusuf Fitriadi S.E.

DEWAN PENGURUS PUSATAsosiasi Pengembang Perumahan Rakyat Indonesia (AP2ERSI)

Masa Bakti 2013-2018

sumber foto: AP2ERSI

Page 78: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

78

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower5 April 2007 - 5 April 2013

SukseskanProgram 1.000 Tower

Page 79: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

79

Edisi 3 - Maret 2013

SukseskanProgram 1.000 Tower

Rapat Kerja dan Tasyakuran dalam rangka per­ingatan ulang tahun kedua Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indo­

nesia (LP P3I) atau dikenal sebagai the HUD Institute di­laksanakan pada tanggal 14 Januari 2013 secara sederhana di Wisma PKBI Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Turut hadir para anggota Dewan Pembina yaitu Yusuf Asy’ari (Menpera 2004­2009), Teguh Satria (Ketua Umum DPP REI 2007­2010), para pengurus, termasuk wartawan. Peringatan dimulai pagi harinya dengan rapat terbatas anggota mendengarkan Laporan Pengurus dan tanggapan Dewan Pembina. Pada kesempatan tersebut, Zulfi Syarif Koto selaku Ketua Umum menyampaikan Laporan Tahunan, yang pada intinya dapat diterima oleh Dewan Pembina yang diwakili oleh Yusuf Asy’ari.

“Ke depannya LP P3I akan mulai memantapkan fokus kegiatan dan melebarkan jejaring ke daerah. Dengan demikian diharapkan isu perumahan menjadi lebih dipa­hami oleh pengambil keputusan baik di tingkat pemerin­tah pusat maupun daerah” jelas Zulfi.

Pada sesi siangnya, dilanjutkan dengan pernyataan Pers Tahunan LP P3I /the HUD Institute dengan topik “Evaluasi Pembangunan Perumahan Rakyat Tahun 2012 dan Rekomendasi Tahun 2013”, yang pada intinya me­nyoroti berbagai isu perumahan yang mengemuka dan perlu mendapat perhatian para pemangku kepentingan. Pernyataan Pers selengkapnya dapat diakses http://www.scribd.com/doc/120289940/Evaluasi­Pembangunan­Pe­rumahan­Rakyat­Tahun­2012­dan­Rekomendasi­Tahun­2013 (OM).

Tidak terasa BTN telah memasuki usia ke 63 pada tanggal 9 Februari 2013 lalu. Dalam rangkaian peringatan HUT BTN, sejak tiga tahun lalu,

BTN menyelenggarakan BTN Property Expo. Pameran kali ini merupakan ajang pameran terbesar dibanding tahun­tahun sebelumnya. Tema yang diangkat adalah `Pesta KPR BTN Menuju Keluarga Sejahtera’, diikuti sekitar 218 developer yang menyajikan lebih dari 400 proyek perumahan, dari rumah subsidi, menengah maupun mewah dengan harga mulai Rp 65 juta hingga miliaran rupiah, dan didominasi oleh proyek­proyek perumahan yang tersebar di Jabodetabek. “Ini bukti komitmen dan konsistensi Bank BTN dalam mewujud­kan pembiayaan perumahan. Pameran ini hanya diikuti oleh satu bank (BTN) dengan banyak pengembang” kata Maryono, Direktur Utama BTN.

Menurut Maryono, yang baru diangkat 28 Desember 2012, kebutuhan rumah di Indonesia rata­rata sekitar 800 ribu unit, tapi yang bisa direalisasi baru sekitar 400 ribu unit. Ini menunjukkan potensi pasar perumahan masih besar. Secara kumulatif sejak tahun 1974 Bank BTN telah

memberikan KPR lebih dari 3,1 juta orang di seluruh Indonesia. “Kami sebagai pemimpin pasar di bidang KPR dengan menguasai pangsa KPR sekitar 25%, sementara pangsa KPR subsidi hingga 98%,” kata Maryono.

Dijelaskan Maryono, hingga saat ini portofolio Bank BTN 86% di perumahan, sedangkan sisanya 14% untuk non perumahan. Kedepan, komposisi KPR subsidi akan ditingkatkan komposisinya menjadi 65%, sedangkan sisanya untuk KPR non subsidi 35%. Dalam 3 tahun terakhir Bank BTN telah menambah lebih dari 400 kan­tor layanan, hingga akhir tahun lalu Bank BTN memiliki 3.678 kantor layanan, termasuk 2.922 outlet Kantor Pos.

Bank BTN saat ini sudah masuk pada kelompok besar perbankan nasional. Asset Bank BTN per Desember 2012 diperkirakan mencapai lebih dari Rp.100 Triliun. Kredit, Dana Pihak Ketiga, Laba diperkirakan tumbuh masing­masing di kisaran 20% sampai dengan 30% dengan rasio keuangan yang sehat. ”Kami menargetkan penyaluran kredit sebesar Rp 28 triliun tahun ini,” beber Maryono (OM, dari berbagai sumber).

Bank BTN Memasuki Usia ke-63Menajamkan Fokus Bisnis dan

Mengutamakan Good Corporate Governance

sumber foto: LP P3I/the HUD Institute

HUD Institute Rayakan Usianya yang Kedua

Lebih Fokus dan Berjejaring

Liputan

Page 80: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

80

SukseskanProgram 1.000 Tower

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower5 April 2007 - 5 April 2013

Page 81: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

81

Edisi 3 - Maret 2013

Memasuki usia yang tidak muda lagi, yakni 41 tahun, REI telah berperan penting dalam memajukan dunia properti Indonesia. Ke depan,

diharapkan peran REI makin berkibar dengan proaktif me­nyelesaikan sejumlah masalah di industri properti.

Usia ke­41 bukanlah usia yang muda lagi bagi sebuah organisasi yang telah menorehkan berbagai prestasi di dunia properti Indonesia. Keberadaan REI sebagai organisasi perusahaan wadah pengembang bersama seluruh anggotanya yang telah 41 tahun berkiprah berperan di dalam sebuah perjalanan panjang penuh tantangan menempuh arah tujuan turut serta mengemban amanah berkontribusi kepada Negara dan Bangsa Indonesia demi memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman serta menggerakkan pertum­buhan ekonomi nasional melalui berbagai jenis pembangunan properti.

Sebagai mitra kerja Pemerintah dan ber sinergi dengan semua pemangku kepentingan, perbank­an, industri pendukungnya, serta instansi terkait, diharapkan REI semakin mampu Berkarya Mem­bangun Negeri mendukung program penyediaan perumahan dan permukiman yang seimbang dan berkelanjutan dalam memenuhi kebutuh­an rumah bagi seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.

Melewati masa waktu dengan berbagai ke ada an dan perubahan menjadikan REI semakin dewasa, me ning katkan perannya menjadi mitra kerja strategis peme rintah dan men­jalin kerjasama konstruktif dengan pemangku kepentingan dan berbagai lembaga, memberikan parameter positif bagi dunia usaha dan iklim investasi sehingga mampu melakukan perannya sebagai organisasi perusahaan yang memberikan manfaat bagi para anggotanya dan mendorong pertumbuh­an industri properti dalam membangun negeri.

Kondisi ini tentunya tidak serta merta terwujud tanpa adanya prakarsa awal dan konsistensi sosok figur para pendi­ri yang mendeklarasikan pembentukan REI oleh Ir. Ciputra pada tanggal 11 Februari 1972, dan semangat para mantan Ketua Umum REI, Alm. Ir. Eric Samola, Soekarjo W, Ir. Siswono Yudo Husodo, Alm. Ferri Soneville, MS Hidayat,

Drs. Enggartiasto Lukito, Ir. Edwin Kawilarang, Ir. Agus­man Efendi, Ir. Yan Mogi, Ir. Lukman Purnomosidi, Ir. FX Teguh Satria, hingga periode ini yang di nakhodai Ir. Setyo Maharso masih membingkai pigura REI mencapai tujuan menjadi organisasi yang semakin maju berperan memberi­kan kontribusinya bagi seluruh anak negeri.

Momentum HUT REI ke 41 sangat penting bagi organisasi untuk sejenak merenung dan menengok kebela­kang mengevaluasi tapak tilas sejarah perjalanannya dengan senantiasa merajut kebersamaan membangkitkan semangat daya juang dalam menghadapi tantangan dan peluang guna menapak hari esok yang lebih baik dan bermakna.

Puncak Perayaan HUT REIPuncak Peringatan HUT REI 41 tahun

2013 telah berlangsung di Padang, Sumatera Barat. Sedikitnya 700 orang tamu undangan dari seluruh Indonesia hadir selama 13­15 Maret 2013 lalu. Seperti tradisi REI dalam merayakan HUT­nya setiap tahun, maka perayaan kali ini juga diisi dengan kunjungan ke berbagai lokasi wisata, selain dijamu oleh penguasa negeri, seperti Gubernur, Bupati dan Walikota.

Malam Selamat Datang dilakukan di ke­diaman dinas Gubernur Sumatera Barat. Disana hadir para sesepuh REI, Bupati/Walikota se Sumatera Barat dan pejabat instansi terkait. Selain kegiatan temu ramah dan presentasi peluang investasi daerah, para tamu undangan juga dijamu dengan berbagai pertunjukan kesenian daerah.

Esoknya, pada hari pertama HUT, peserta mengunjungi objek wisata Istano Basa Pagaruyung. Di sana selain me­nikmati berbagai hiburan tradisional, Bupati Tanah Datar juga menghidangkan makanan tradisional Minangkabau dengan tradisi “Makan Bajamba”.

“Tidak semua tamu bisa menikmati makan bajamba di Istana Basa ini. REI adalah salah satunya yang menu­rut kami harus merasakan bagaimana masyarakat Minang menjalankan tradisinya. Dan kedatangan 600 orang REI secara serentak di Istana Basa hari ini menurut kami sangat

Puncak HUT REI ke-41

Berkarya Membangun

Negerisumber foto: REI

Liputan

Page 82: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

82

istimewa.Kami mengundang investor untuk melihat secara langsung potensi negeri kami,” harap Hendri Arnis, Wakil Bupati Tanah Datar dalam sambutannya.

Selesai menikmati beragam sajian khas minang, rom­bong an kemudian melanjutkan perjalanannya ke Bukit­tinggi. Di Jam Gadang dan Pasar Atas, Bukittinggi, rom­bongan selanjutnya menikmati berbagai acara wisata dan belanja kuliner. Malamnya, dilanjutkan ke Padang Panjang, menikmati sate Mak Syukur, untuk selanjutnya beristirahat di kota Padang.

Keesokan harinya rombongan menuju Pantai Air Manis Padang. Selain melakukan kegiatan wisata juga bakti sosial ke berbagai panti asuhan serta menyerahkan bantuan perbaik an sarana infrastruktur. Siangnya dilanjutkan dengan wisata keliling kota dan membantu program perbaikan ling­kungan permukiman kumuh yang ada di kota Padang.

Peresmian 100.000 Unit RSTYang istimewa dalam HUT REI ke 41 tahun ini adalah

puncak perayaan HUT REI juga dibarengi dengan kegiatan Peresmian 100.000 unit Rumah Sejahtera Tapak (RST) yang dibangun oleh anggota REI di seluruh Indonesia. Ini peresmian RST yang keempat. Tahun 2010 REI meresmi­kan 100 ribu unit RST di Lamongan, Jawa Timur. Tahun 2008 sebanyak 100 ribu unit di Jonggol, Jawa Barat dan tahun 2007 juga 100 ribu unit di Semarang.

Kali ini peresmian dilakukan di Perumahan Nuansa Griya Arosuka kabupaten Solok, Sumatera Barat oleh Ketua DPD RI, Irman Gusman. Hadir pada kegiatan peresmian tersebut adalah Menteri Perindustrian, para Bupati/walikota dan wakil Gubenur Sumatera Barat

Pada kesempatan tersebut, Ketua DPD RI, Irman Gus­man berpesan agar para kepala daerah di seluruh Indonesia mendukung percepatan pengembangan perumahan sejenis bekerja sama dengan anggota REI dan instansi lainnya yang juga berkewajiban menyediakan perumahan untuk masyarakat.

Pemerintah, baik pusat maupun daerah harus memiliki komitmen dan kesungguhan untuk terus membangun peru­mahan rakyat, utamanya untuk golongan menengah ke bawah.

“Gubernur, Bupati, dan walikota yang bagus adalah yang bisa menjadi contoh dalam upaya memfasilitasi dan mem­berikan kemudahan agar pembangunan perumahan rakyat berjalan dengan baik di daerahnya masing­masing berupa infrastruktur, kemudahan perizinan dan bantuan lain,” kata Irman.

Apalagi, dia menambahkan, PP Nomor 38 Tahun 2007 mengatur kewajiban bagi pemerintah daerah untuk juga melakukan pembangunan perumahan rakyat, terutama untuk golongan menengah ke bawah.

Harapan Sejumlah DaerahREI sebagai sebuah organisasi yang berkontribusi besar

terhadap pertumbuhan sektor properti di Indonesia diharap­kan berperan lebih aktif lagi memasuki usia ke­41. Menurut Erlangga Satriagung, Ketua DPD REI Jatim, ke depan REI tidak hanya menunggu kebijakan yang dikeluarkan pemerin­tah, tapi harus lebih aktif memberikan kerangka konstruktif untuk kemajuan dunia properti Indonesia.

“REI dalam usia yang ke­41 tahun ini, kita mengharap­kan bahwa REI ini tidak hanya menunggu kebijakan peme­rintah, tapi REI harus mampu memberikan konsep­konsep yang strategis kepada pemerintah untuk dijadikan kebijakan. Karena kalau hanya menunggu akan bersifat reaktif. Ke de­pan kita harus lebih aktif sebagai suatu tim agar pemerintah mengeluarkan kebijakan di sektor properti ini. Kemudian setelah memberikan kerangka konstruktif kita meng awalnya supaya menjadi kebijakan,” jelasnya.

Erlangga berharap sektor pro perti dimasukkan ke dalam kelompok sektor strategis terkait dengan pembangunan ekonomi nasional karena mengingat sektor ikutannya yang banyak sekali. Menurutnya industri properti diyakini dapat memberikan pengaruh kepada sektor lain. Belum lagi dampak setelah pembangunan dilaksanakan pasti kawasan itu akan menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi baru.

“Yang sekarang, sektor properti belum dimasukkan da­lam kelompok itu. Harusnya oleh pemerintah dimasukkan dalam kelompok sektor strategis sehingga saya yakin kalau itu masuk dalam kelompok sektor strategis maka kebijakan­kebijakan pemerintah akan menjadi diperhatikan karena masuk ke dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional,” ucap Erlangga.

sumber foto: REI

sumber foto: REI

Liputan

Page 83: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

83

Edisi 3 - Maret 2013

Sebagai tuan rumah HUT REI ke­41, kota Padang akan mendapatkan sejumlah dampak positif. Menurut Ketua DPD REI Sumatera Barat, Alkudri, REI banyak berkontri­busi terhadap kemajuan kota­kota di daerah. Tidak hanya berkontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) mela­lui pajak dan retribusi, tetapi juga meningkatkan perekono­mian dan menciptakan lapangan kerja baru.

“Penciptaan multiplier efek itu adalah menggerakkan 175 industri lainnya. Jadi, REI terus berkarya untuk negeri. Kami dari keluarga besar Sumatera mengucapkan terima kasih kepada REI diberi kepercayaan atas penyelenggaraan HUT REI ke­41 di Sumatera Barat dan ini istimewa rasanya bagi kami di daerah karena tidak hanya ulang tahun saja. ada juga peresmian 100.000 rumah sederhana. Ada juga MoU Kota Baru Mandiri. Ini akan membawa dampak positif bagi keluarga REI Sumatera Barat dan juga kepada pemerintah Sumatera Barat dan masyarakat Sumatera Ba­rat,” jelas Alkudri.

Ajang HUT REI ke­41, lanjut Alkudri juga menjadi ajang silaturahim antaranggota yang dapat memberikan dampak positif bagi Sumatera Barat. “Harapan kita motto­nya silaturahim yang baik akan tumbuh rezeki. HUT REI itu kan juga ajang silaturahim. Mudah­mudahan rezeki ini tidak berkaitan dengan uang saja, tetapi peluang, kesempat­an, ilmu, pengalaman dan jaringan” tutur Alkudri.

Sementara Ketua DPD REI Riau, Rifa Yendi berharap, di ulang tahunnya yang ke­41, REI tetap eksis sebagai organisasi yang sangat memperhatikan anggotanya. Tidak hanya bagi anggotanya, REI sebagai organisasi profesi juga sangat membantu masyarakat dengan program­prgram yang menguntungkan baik bagi anggota maupun masyarakat.

“Kita berharap ke depannya REI tetap eksis dalam arti kata tetap mengetahui permasalahan yang dihadapi anggota dan ada solusi yang terbaik. Kita menginginkan REI suatu organisasi yang dapat melindungi anggota dan organisasi yang bisa tetap mengikuti perkembangan ekonomi sebagai roda perekonomian Indonesia,” kata Rifa Yendi. (fendi).

Presiden Batal Hadir di Acara Peresmian 100 ribu Unit RST

Awalnya seperti peresmian 100.000 unit RST yang dibangun anggota REI pada tahun sebelumnya, dilakukan Presiden RI. Namun tahun ini presiden

tidak bisa hadir karena tidak turunnya rekomendasi dari kementerian teknis, dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat.

Padahal pemilihan lokasi tersebut menurut Setyo berdasarkan saran dan permintaan Presiden secara lisan, sewaktu membuka Rakernas REI 2012 lalu yang berjanji akan datang kembali meresmikan perumahan sederhana yang sudah dibangun oleh pengembang REI dan meminta lokasi peresmian RST, sebaiknya di luar wilayah pulau Jawa.

Setyo Maharso, mengungkapkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sedianya meresmikan perumahan tersebut, akhirnya batal hadir akibat tidak adanya rekomendasi dari Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz.

Menurut Maharso, Menpera menilai perumahan tersebut tidak layak. “Cuma tidak layaknya apa, tidak dijelaskan Menpera. Padahal Deputi Pembiayaan Kemenpera sudah melihat langsung dan mengatakan sudah layak karena harga jualnya Rp 75 juta per unit, sesuai aturan KPR FLPP, memiliki saluran air bersih, jalan yang layak, bangunan sesuai spesifikasi, karena seluruh rumah sudah terbangun dan menggunakan KPR FLPP. REI juga sudah mendapatkan rekomendasi dari BTN serta gubernur,” terang Maharso.

sumber foto: REI

Page 84: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

84

Liputan

SukseskanProgram 1.000 Tower

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower

5 April 2007 - 5 April 2013

REAL ESTATE INDONESIA

Page 85: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

85

Edisi 3 - Maret 2013

Semangat menyerasikan pembangunan perkotaan dan perlindungan warisan budaya mewarnai 16th FIAB­CI Asia Pcific Regional Secretariat Summit yang ber­

tema “Cultural Heritage and Urban Develompent in Har­mony” di Bandung tanggal 23­24 Maret 2013.

Pada kesempatan tersebut Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestate Indonesia (REI), Setyo Maharso, menekankan pentingnya pertemuan ini bagi Indonesia de­ngan mempertimbangkan banyaknya potensi yang dimi­liki tetapi belum dimanfaatkan dengan baik.

”Kota­kota di Indonesia memiliki banyak warisan pe­ninggalan arsitektur bernilai tinggi. Namun, hampir se­mua warisan budaya itu tidak bisa dikelola secara optimal demi kepentingan wisata budaya dan penggalian potensi ekonomi bagi masyarakat,” ujar Ketua Umum Persatuan Perusa­haan Real Estate Indonesia (REI) Setyo Maharso.

Sementara Presiden FIABCI Asia Pasific, Teguh Satria, yang juga Ketua Umum DPP REI pe­riode 2007­2010 ini, mengung­kapkan pertemuan ini untuk menyamakan persepsi terkait pengembangan kawasan waris­an budaya, yang intinya kami memasilitasi dan mendorong pengembangan kawasan secara harmoni dan berimbang.

Pertemuan yang digagas oleh FIABCI bekerja sama dengan REI ini dihadiri sekitar 150 pe­serta yang berasal dari berbagai elemen seperti arsitek, pejabat pemerintahan, penggerak peles­tarian warisan budaya, anggota REI serta elemen terkait lainnya. Sementara nara sumber yang

hadir selain dari Indonesia, juga hadir nara sumber dari Australia, Taiwan, Singapura, Jepang dan Malaysia.

Sementara I Gede Ardika, selaku Ketua Indonesian Heritage yang pernah menjabat sebagai Menteri Pariwisata, dalam paparannya menekankan bahwa saat ini masyarakat kita tengah dalam kebingungan besar. Masyarakat kita seolah kehilangan kecintaannya pada berbagai kearifan dan identitas lokal. Terbukti dari nama­nama konstruksi, gedung dan berbagai fasilitas lainnya menggunakan nama dana istilah asing. Untuk itu, Ardika menyambut baik per­temuan ini sebagai langkah mengembalikan kebanggaan kita semua terhadap warisan budaya bangsa sendiri. Ditam­bahkannya pula, Indonesia dapat kehilangan keunikannya yang berdampak pada berkurangnya daya tarik Indonesia sebagai tujuan wisata. Untuk itu, pers memegang peranan penting dalam mengomunikasikan pesan pelestarian wa­risan budaya bangsa ini.

Saat ini, di Asia Pasifik, Penang, Singapura dan Shanghai meru­pakan contoh kota yang berhasil melakukan pengembangan kawasan warisan budaya secara harmoni dan berimbang

Pesan yang disampaikan oleh Ardika disambut baik oleh Ketua Umum DPP REI, Setyo Maharso, dan Presiden FIABCI Asia Pacific, Teguh Satria. Setyo mengomentari bahwa implementasi ide ini harus dimulai dari pengembang, yang sudah seharusnya mendidik klien. Sementara Teguh mengingatkan, pada periode tahun 1992 sampai 1995 REI pernah menegaskan re­gulasi mengenai penggunaan nama Indonesia. Penggunaan nama In­donesia terbukti tidak mengurangi nilai ekonomi. “Pak Ciputra telah membuktikan, Pondok Indah dan Puri Indah dapat laku dengan nama Indonesia,” tambahnya. (OM)

Sekilas FIABCIFIABCI adalah akronim bahasa Perancis “Federation Internationale des Administrateurs de Bien-Conselis Immobiliers”, yang artinya Federasi Realestat Interna-sional (International Real Estate Federation). FIABCI merupakan asosiasi nir laba dan sebuah federasi dari 120 organisasi real estate profesional yang mewakili 1,5 juta tenaga profesional dan 3.300 praktisi pro-perti individual.

Tujuan pembentukan FIABCI adalah membantu anggotanya meningkatkan pengetahuan, mengem-bangkan jejaring, dan mengoptimalkan kesempatan bisnis di seluruh dunia.

Indonesia bergabung dengan FIABCI sejak tahun 1977, dan merupakan salah satu perwakilan dari 60 negara yang terwakili dalam FIABCI. Selain pengem-bang, pemangku kepentingan lainnya juga terlibat seperti broker properti, perbankan, notaris, konsul-tan dan lainnya.

FIABCI memiliki status khusus sebagai Special Consultative di dalam Konsil Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council-ECOSOC). Tugas utama FIABCI disini adalah mengeluarkan rekomendasi dan saran atas hak properti dan perumahan bagi rakyat miskin. Sumber: Situs FIABCI

16th FIABCI Asia Pacific Regional Secretariat Summit

Pembangunan Perkotaan dan

Perlindungan Warisan Budaya Seiring Sejalan

sumber foto: detikfinance

Liputan

Page 86: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

86

Teguh SatriaPresiden FIABCI Asia-Pasifik

Alamat: Suite E 12-12Wisma Sunrise, Plaza No. 2Jalan Kiara, Mont’ KiaraKuala Lumpur 50480

Email:info@fiabci-asiapacificSitus: www.fiabci-asiapacific.com FIABCI Asia Pacific

(Federasi Real Estate Internasional)

FIABCI (The International Real Estate Federation) adalah asosiasi nir-laba yang memperoleh keistimewaan sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berstatus mitra konsultasi PBB dan merupakan federasi dari 120 organisasi real estate profesional yang mewakili lebih dari 1,5 juta profesional dan 3.300 individu praktisi real estate.

FIABCI telah berusia 62 tahun dan tersebar di 60 negara dan bertujuan membawa dimensi internasional ke pasar lokal dan menyalurkan kesempatan bisnis real estate ke seluruh anggotanya. Keanggotaannya terbuka bagi semua praktisi yang terlibat dalam disiplin real estate.

ANCOL MANSION

Page 87: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

87

Edisi 3 - Maret 2013

Permasalahan Ciliwung berupa penurunan kualitas dan kuan­titas air sungai masih belum

memiliki solusi yang terpadu. Per­masalahan berupa fluktuasi debit air yang tidak terkendali yang mengaki­batkan banjir, pencemaran kualitas air sungai berstatus mutu tercemar ringan hingga berat akibat limbah rumah tangga maupun industri, serta sampah yang dibuang ke sungai dari hulu hingga hilir Ciliwung, masih mewarnai keseharian sungai Cili­wung.

Kementerian Lingkungan Hidup bersama dengan komunitas masyarakat dan institusi lainnya secara berkala menyelenggarakan aksi dengan memanfaatkan momen tertentu. Kali ini dengan tema memperingati Hari Peduli Sampah diselenggarakan aksi bertema “Aksi Masyarakat untuk Penyelamat­an Sungai Ciliwung” di Cikoko, Cawang, Jakarta Timur. Acara ini diisi dengan pemutaran film “Solusi Sampah oleh Komunitas Ciliwung”, talk show, penanaman pohon, dan pameran daur ulang sampah.

Talk Show menghadirkan nara­sumber Menteri Lingkungan Hidup Prof.Dr.Baithasar Kambuaya MBA, Direktur Jenderal Cipta Karya

Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Imam Ernawi, Kepala Badan Pe ngendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Ja­karta Muhammad Tauhid dan Ketua Gerakan Ciliwung Bersih Erna Wi­toelar. Acara dihadiri oleh masyarakat Komunitas Ciliwung, Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan dan 7 Organisasi Perempuan. Pada kesempatan ini, juga diresmikan ‘polisi Ciliwung’, yang beranggotakan masyarakat Ci­liwung dengan tugas mengawasi dan mencegah kegiatan yang merusak sungai Ciliwung.

Acara ini tidak terlepas dari kerja keras komunitas Ciliwung di Cikoko yaitu Masyarakat Peduli Ciliwung (Mat Peci) yang dinakhodai oleh Usman. Tempat ini terpilih kare­na Mat Peci yang diprakarsai oleh Kelompok Tani mengembangkan pertanian perkotaan beserta kegiatan daur ulang sampah organik menjadi kompos dan sampah anorganik men­jadi barang daur ulang yang memi­liki nilai tambah untuk membantu perekonomian mereka, yang telah menjadi salah satu praktek unggulan (best practice) di Indonesia.

Lokasi acara menjadi salah satu daerah kunjungan Kementerian

Lingkungan Hidup Korea Selatan saat berkunjung ke Indonesia. Di lahan seluas 1.500 m² di bantaran sungai Ciliwung yang terabaikan, sejak tahun 2012 telah ditanami ber­bagai macam tanaman langka Jakarta, sayur mayur dan tanaman buah­buahan. Walaupun kemudian pada Januari 2013 dihantam oleh debit air Ciliwung yang tinggi.

Semangat Masyarakat Peduli Ciliwung di Cikoko yang kembali beraktivitas memperbaiki lahan pertanian perkotaan yang mereka kembangkan telah memperoleh perhatian dari berbagai pihak, baik pemerintah dan dunia usaha untuk membantu usaha restorasi lahan pertanian perkotaan dan kegiatan pengolahan sampah mereka. Kini program penanaman berbagai jenis bambu, sayur mayur, buah­buahan dan tanaman langka Jakarta akan dilaksanakan pada bantaran Ciliwung di daerah Cikoko, Pancoran, sepanjang + 2 km.

Masyarakat di bantaran Ciliwung sering dianggap sebagai sumber masalah daripada sebagai solusi. Mereka terpaksa hidup di bantaran Ciliwung dan sering terjangkit penyakit akibat air Ciliwung yang tercemar, meskipun sumber pence­maran juga berasal dari masyarakat yang tinggal jauh dari Ciliwung melalui kontribusi sampah mereka. Melalui Masyarakat Peduli Ciliwung di Cikoko dan komunitas peduli Ciliwung lainnya yang berjumlah 25 komunitas di hulu hingga hilir Ciliwung, maka kini komunitas Ciliwung telah menjadi solusi untuk lingkungannya (Miya­DML).

“Aksi Masyarakat untuk Penyelamatan Sungai Ciliwung”

sumber foto: DML

Liputan

Page 88: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

88

REI Khusus Batam baru saja (18 April 2013), menyeleng­garakan Rapat Kerja Daerah

(Rakerda) yang dilaksanakan dengan tema “Bersama Kita Menyelesaikan Permasalahan Pengembang untuk Pembangunan Pro perti Berkualitas di Batam”. Rakerda dipersiapkan seba­gai ajang konsultasi antara pengem­bang de ngan pemerintah baik pusat maupun daerah.

Pada rapat kerja tersebut turut hadir Ketua Umum DPP REI, wakil dari Kementerian Perumahan Rakyat, dan Kementerian Dalam Negeri yang berkesempatan menyampaikan pokok­pokok pemikiran.

Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), yang diwakili oleh Sekretaris Kementerian Perumahan Rakyat, Rildo Ananda Anwar, me­negaskan pemerintah akan me­nyiapkan lahan untuk membantu pembangunan perumahan, terutama yang berpenghasilan rendah. Selain itu, diingatkan juga tentang penting­nya pertumbuhan industri properti dalam menggerakkan bidang usaha lain. “Hasil penelitian menyebutkan bahwa setiap kehadiran pengembang akan menggerakkan 140 bidang usaha,” papar Rildo. Pada kesem­patan yang sama, Direktur Jenderal

Bina Pembangunan Daerah, yang diwakili oleh Direktur Perkotaan, mengingatkan perlunya sinkronisasi pembangunan perkotaan.

Wakil Gubernur Kepulauan Riau, Soerya Respationo, menyoroti kendala perijinan sebagai akibat tidak adanya koordinasi yang baik antara Badan Pengusahaan Kawasan Batam dan pemerintah kota Batam yang berujung benturan kewenangan perijinan pengelolaan lahan.

Ketua UmumDPP REI, Setyo Maharso, menekankan prospek pertumbuhan Batam sebagai Free Trade Zone (FTZ) perlu diantisipasi oleh pemerintah dengan mempermu­dah pengurusan izin pembangunan properti yang diperlukan. “Untuk itu, pemerintah diharapkan dapat mempermudah perizinan,” harapnya.

Dari sisi pengembang, diharapkan pemerintah segera turun tangan membantu menyelesaikan status hutan lindung. Banyak ditemui lahan yang telah dibangun oleh pengembang dan telah bersertifikat, ternyata lokasinya merupakan kawasan hutan lindung. “Banyak pengembang di Batam yang menghadapi ketidakpastian hukum lahan setelah lahan­lahan dialokasikan,” ujar Djaja Roeslim,

Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Khusus Batam.Bahkan, beberapa perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) ternyata dibangun di sejumlah kawasan hutan lindung seperti Mukakuning.

Selain itu, kendala proses perijinan IMB yang baru ternyata menjadikan biaya IMB membengkak. “Sekarang malah ada izin Amdal Lalin yang biayanya lebih besar dari pada mengurus IMB­nya,” sambung Djaja. Tak kalah pentingnya adalah keberadaan peraturan yang tidak sinkron. ”Yang kami alami di Batam, kami memiliki dua intitusi pemerintahan yaitu BP Batam dan Pemko Batam yang sering kali kita alami peraturannya tidak sinkron,” kata dia.

REI Khusus Batam juga meng­usulkan agar pemerintah segera menangani kawasan rumah liar atau rumah illegal melalui penyediaan rusunawa atau rusunami. Dengan catatan, dibangun pada lokasi yang dekat dengan sentra industri.

Selain itu, usai Rakerda diseleng­garakan BTN REI Ekspo di Mega Mall Batam Centre yang rutin diselenggarakan setiap Rakerda REI Batam (OM, dari berbagai sumber).

Rapat Kerja Daerah REI Batam

“Bersama Menyelesaikan Masalah”

Liputan

Page 89: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

89

Edisi 3 - Maret 2013

Hari Air Sedunia diperingati setiap tanggal 22 Maret sebagai wadah untuk menyatukan fokus perhatian dunia kepada peran penting tersedianya air (minum) dan mengupayakan

tata kelola sumber daya air yang berkelanjutan. Hari Air Sedunia dicetuskan untuk pertama kali pada saat Nations Conference on Environment and Development (UNCED) dan di umumkan pada Sidang Umum PBB ke 47 tanggal 22 Desember 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Tiap tahun peringatan hari air dunia mempunyai tema yang berbeda, pada tahun 2013 ini Hari Air seDunia XXI, biasa disingkat HAD, mempunyai tema”Water Cooperation”. Tema “Wa­ter Cooperation” ditujukan untuk meningkatkan kesadaran bekerja sama dalam menghadapi tantangan dalam pengelolaan air berupa peningkatan akses, alokasi serta pelayanan atas air.

Biasanya per-ingatan HAD dilakukan oleh berbagai pihak sesuai dengan temanya. Pemerintah sendiri baru akan mengadakan peringatan puncak HAD pada bulan Mei 2013. Salah satu kegiatan pe-rayaan HAD yang cukup besar di Jakarta dilaku-kan secara bersama-sama oleh sekitar 17 institusi baik peme-rintah, swasta, maupun

LSM selama tiga hari pada tanggal 18, 21 dan 22 Maret 2013. Acara puncaknya dilaksanakan di sekretariat Gerakan Ciliwung Bersih (GCB), yang dikoordinasikan oleh GCB bekerja sama dengan kelompok kerja Indonesia Water Mandate yang merupakan forum dukungan Indonesia Global Compact Network (IGCN) dan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Peringatan ini juga didukung oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup, Asia Pulp & Paper (APP), PAM JAYA, PALYJA, Aetra, Nestlé Indonesia, Unilever, Express Group, SmartFM, Green Radio, Martina Berto, Coca-Cola Amatil Indonesia, Danone Aqua, Palang Merah Indone-sia, PPM Manajemen.

Rangkaian peringatan hari air sedunia tersebut dimulai dengan dialog yang bertema “Tantangan dan Solusi Permasalahan Air un-tuk Agenda Pasca 2015” pada tanggal 18 Maret 2013. Dilanjutkan pada tanggal 21 Maret2013 dengan pameran edukasi air, kunjung-an ke instalasi air bersih Palyja untuk anak-anak dan ibu-ibu yang bertujuan agar mereka mengetahui bagaimana proses penjernihan air, sehingga mereka bisa menghargai air yang diperoleh. Diadakan juga pelatihan kesiapsiagaan banjir untuk ibu-ibu, anak-anak dan masyarakat. Selain itu, ada rangkaian aktivitas permainan bertema-

kan air untuk anak-anak, pertun-jukan musik bertema lingkungan, dan dialog antarkomunitas peduli sungai dari Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, Bandung, Bogor, Depok.

Pada acara dialog tersebut, sesama komunitas yang peduli sungai saling belajar dan berbagi pengalaman dari apa saja yang sudah mereka lakukan terhadap sungai dan outputnya untuk pe-meliharaan sungai. Komunitas peduli sungai Berantas merupa kan salah satu komunitas yang berhasil dalam memperbaiki kualitas air sungai dan mengumpulkan jenis flora fauna di sungai Beran-tas. Hal ini disebabkan karena Ecoton sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bekerja penuh di sungai ini mampu memadukan kegiatan antarkomunitas sungai Brantas dari hulu sampai hilir.

Bersamaan dengan peringatan hari air sedunia pada tanggal 22 Maret2013, Forum Air Jakarta (FAJ) mendeklarasikan dirinya dengan motto “Bersama untuk Keterjaminan Air”. Pembentukan FAJ bertujuan menyediakan forum diskusi, wadah bekerja sama bagi semua pemangku kepentingan, untuk mencari solusi bagi ketersediaan sumber air minum yang berkelanjutan. Anggota FAJ sebagian besar merupakan penyelenggara acara Hari Air Dunia 2013 ini, yaitu PAM Jaya, PALYJA, Aetra, Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta, Tim Koordinasi Pengelolaan SDA, Dewan SDA DKI Jakarta, Bappeda DKI, Forkami, Komunitas Ciliwung, Perum Jasa Tirta II, Perpamsi, KPAM DKI Jakarta, Dana Mitra Lingkungan, dan beberapa individu pemerhati masalah air minum di Jakarta. Pembentukan FAJ difasilitasi oleh Jejaring AMPL (Air Minum dan Penyehatan Lingkungan).

Salah satu komitmen menarik dinyatakan oleh Indonesia Global Compact Network (IGCN) yang menargetkan tersedianya tambahan lubang resapan biopori sebanyak 10.000 lubang di Jakarta dalam setahun ke depan.

Pada tanggal 22 Maret 2013 yang merupakan puncak per-ingatan hari air sedunia ini diadakan Dialog Multi-stakeholder bertema ”Solusi Air Berbasis Masyarakat”. Peserta berasal dari pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, komunitas ciliwung, komunitassungai Brantas, komunitas sungai Gajahwong dan LSM yang peduli terhadap sungai Ciliwung. Dialog tersebut bertujuan untuk berbagi informasi kebijakan pemerintah serta pengalaman yang telah dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan.

Pada kesempatan HAD juga diserahkan bantuan dari hasil peng-galangan dana GCB berupa beberapa mesin pencacah plastik, alat pembuat lubang biopori dan alat pembuat gas berbahan baku kompos kepada beberapa komu-nitas sepanjang sungai Ciliwung (Miya GCB/DML).

Hari Air Dunia 2013 di Indonesia

“Gotong Royong Peduli Air”

foto: GBC/DML

foto: GBC/DML

Agenda

Page 90: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

90

Kamis siang tanggal 21 Februari lalu, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Rawasari, Jakarta Pusat menjadi pusat peringatan Hari Peduli Sampah Nasional. TPST Rawa-

sari pada hari itu dipenuhi oleh para pelaku, praktisi dan pemerhati pengelolaan sampah padat.

Tepat tujuh tahun yang lalu, 69 rumah penduduk ambruk diterjang longsor ratusan kubik sampah TPA Leuwigajah. Sebanyak 157 nyawa menjadi korban tragedi pengelolaan sampah terbesar sepanjang sejarah di Indonesia, dua kampung terhapus dari peta karena tergulung longsoran sampah.

‘’Inilah musibah yang barangkali tercatat pertama kali dalam sejarah peradaban manusia, ratusan nyawa melayang gara-gara tertimbun sampah,’’ Wakil Ketua Umum InSWA Mohammad Helmy mengawali uraiannya mengingatkan setiap orang yang hadir untuk menoleh kembali kepada kejadian di TPA terbesar di Provinsi Jawa Barat itu. ‘’Jarak kampung yang terkena longsoran sampah lebih kurang 1,5 Km dari TPA Leuwigajah,’’ tambah Mohammad Helmy. Bayangkan betapa tingginya gunungan sampah tersebut hingga mampu menimbun dua kampung yang jaraknya cukup terbilang jauh dari TPA.

Inilah cermin pengelolaan sampah yang umum dipraktikkan di negara berpenduduk 250 juta jiwa ini. Padahal sistem pembuang-an sampah open dumping ini merupakan sistem paling primitif dalam terminologi pengelolaan sampah kota di manapun di dunia. Pengelolaan sampah kota belum menjadi program strategis peme-rintah daerah. Sebagai gambaran betapa minimnya alokasi angga r-an untuk pengelolaan sampah kota, seperti disebutkan Mohammad Helmy, adalah yang terjadi di salah kota di Kalimantan. Dengan produksi sampah 300 ton per hari, pemerintah daerah tersebut hanya mengalokasikan biaya operasionalnya Rp. 200 juta per ta-hun. ‘’Sungguh dana yang tidak layak untuk pengelolaan sampah di sebuah kota,’’ ujar Helmy prihatin.

Perilaku Tidak Tertib dan Kendala LahanSelain miskin dukungan pendanaan pengelolaan sampah,

perilaku dan mental masyarakat yang miskin kesadaran membuang sampah dengan tertib juga cukup memusingkan. Pemerintah Jakar-ta Pusat, contohnya, telah menempatkan tong-tong sampah yang dirasa sangat cukup. Tapi tetap saja, masyarakat seakan tidak peduli dengan sampahnya. Contoh nyata bisa dilihat di kawasan Monas yang sampahnya masih terlihat berserakan, padahal jelas-jelas tong

sampah telah disediakan lebih dari cukup di sana. Pemerintah Kota Jakarta Pusat yang diwakili sekretarisnya

Bambang Musyawardana mengatakan, pemerintah memerlukan dukungan dalam mencari solusi yang tepat mengenai pendekatan dan strategi apa yang sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat. Selain hal itu, kendala yang saat ini di-hadapi Jakarta Pusat adalah kekurangan lahan dalam mengimple-mentasikan Bank Sampah. ‘’Kami berharap pihak swasta bisa membantu program ini dari segi desain penempatan Bank Sampah agar tidak memerlukan lahan yang luas untuk pembangunannya,’’ ujar Bambang Musyawardana.

Kepala Bidang Peran Serta Masyarakat dan Kebersihan Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta Ajang P. Pinem mengatakan, pe-ngelolaan sampah di tingkat masyarakat saat ini tergantung sekali pada seorang tokoh masyarakat yang peduli terhadap lingkungan sekaligus bisa menggerakkan masyarakatnya. Untuk pengelolaan skala komunal, TPST Rawasari menjadi percontohan, namun belum ada dua TPST yang seperti ini. Pemerintah Provinsi DKI sendiri, untuk perbaikan semua aspek pengelolaan sampah, menurutnya, telah melakukan beberapa langkah maju.

Seperti dikatakan Ajang P Pinem, Pemerintah Provinsi DKI Ja-karta saat ini sedang membuat Perda tentang Pengelolaan Sampah. ‘’Seperti diamanatkan UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sampah tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun juga tanggung jawab masyarakat, pelaku industri serta pengelola kawasan,’’ kata Ajang menjelaskan. Apalagi dari sampah yang dihasilkan, tambahnya, komposisi terbesar berasal dari rumah tangga yakni 53%, diikuti industri sebanyak 47%.

Menurut Ajang lagi, Perda pengelolaan sampah bertujuan agar pengelola kawasan seperti apartemen, mal, hotel, rumah sakit, pabrik-pabrik dan sebagainya harus bisa mengelola sampahnya sendiri hingga tuntas. Pengelola kawasan juga harus menyediakan sarana untuk pemilahan sampah dari sumber dan juga membuat program Bank Sampah di kawasannya. ‘’Dalam surat perjanjian pembangunan gedung untuk izin penggunaan bangunan juga tertu-lis kewajiban seperti itu. Surat Ijin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) mewajibkan setiap pengguna tanah memiliki Instalasi Pe ng olahan Air Limbah (IPAL), Analisis Mengenai Dampak Ling-kungan (AMDAL), serta menyediakan sarana pengelolaan sampah. ‘’Dengan begitu nantinya akan mengurangi volume sampah yang di buang ke TPA,’’ papar Ajang mengakhiri (InSWA).

Peringatan Hari Peduli Sampah NasionalMengenang Kembali Tragedi Leuwigajah

sumber foto: InSWA

Agenda

Page 91: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

91

Edisi 3 - Maret 2013

Serba Serbi

Mengapa kita sebaiknya tidak membangun

bangunan di atas sungai

sumber foto: istimewa

Di perkotaan, permukaan basah seperti kolam dan sungai berfungsi mengurangi gejala Urban Heat Island (UHI) akibat permukaan penyerap panas seperti aspal dan beton (termasuk atap dan dinding bangunan). Kolam dan sungai membantu

mengurangi gejala UHI melalui proses pendinginan evaporatif (evaporative cooling). Dengan demikian, selain memperluas permukaan hijau, kota juga perlu memperluas permukaan basah dan membiarkan permukaan basah yang secara alami sudah ada (seperti sungai) tetap terbuka.

Sungai adalah tempat tumbuh dan berkembang biota sungai yang juga menjadi bagian biodiversitas kota yang saat ini menjadi isu penting pada perencanaan dan perancangan

kota berkelanjutan. Biota sungai tersebut memerlukan cahaya matahari. Sungai yang ditutupi akan mengganggu kehidupan biota tersebut. Phytoplankton akan mati karena tidak memperoleh cahaya matahari cukup yang berakibat turunnya oksigen terlarut. Memang untuk skala kecil penutupan itu dapat ditolerir, tetapi pembangunan satu bangunan yang melintang sungai akan memberi preseden bagi bangunan lain yang kemudian akan menutupi sungai.

Sungai memiliki fungsi sebagai wind path (lorong angin) yang akan membantu pergerakan angin di kota, terutama kota padat. Atmospheric boundary layer (lapisan batas

atmosfir) di kota cukup tinggi karena padatnya bangunan. Pergerakan angin terhalang oleh bangunan. Lajur sungai menjadi kesempatan bagi angin untuk bergerak bebas dan mengembangkan kecepatan. Ini diperlukan dalam ventilasi kota. Membuat bangunan melintang sungai akan mengganggu fungsi tersebut. Sungai yang curam bahkan bisa menjadi urban canyon alami.

Secara alami, sungai menjadi penghias kota yang unik. Orang suka melihat pemandangan dari atas jembatan karena salah satunya adalah efek indah

kemenerusan aliran sungai. Pemandangan alami tersebut tidak dapat digantikan oleh kemenerusan jalan raya, misalnya. Di atas sungai orang bisa mendapatkan pelepasan pandangan yang biasanya sesak (sumpek) oleh bangunan. Jembatan yang melintang sungai dapat menjadi ornamen kota yang indah tetapi bangunan hunian yang melintang sungai akan sangat mengganggu.

Bangunan hunian melintang sungai dalam skala besar dihindari di seluruh dunia walau secara teknologi, biaya, dan desain dapat diwujudkan. Itu menjadi pesan yang jelas bahwa membuat bangunan hunian melintang di atas sungai tidak dapat diterima akal sehat; semacam

kesepakatan tak tertulis yang ada di pikiran bawah sadar manusia (Budi Prayitno).

Page 92: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

92

Kondisi transportasi khususnya di kota metropolitan dan kota besar telah menjadi prioritas pemerintah kota dimana pun di dunia. Hal ini disebabkan pertumbuhan kota yang demikian

cepat melampaui kemampuan pemerintah kota menyediakan transportasi publik yang memadai, sehingga berdampak pada kemacetan, dan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit bagi semua pihak. Namun upaya pemerintah kota menyediakan fasilitas transportasi tidak selamanya berhasil, bahkan tidak sedikit yang gagal. Untuk itu, menjadi menarik untuk mengetahui faktor yang berdampak terhadap keberhasilan maupun menjadi kendala proyek transportasi perkotaan.

Laporan ini merupakan hasil penelitian yang diselenggarakan oleh KPMG International untuk menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan proyek transportasi perkotaan,

berikut penjelasan terhadap signifikansi dampak dari masing-masing faktor.

Dipertimbangkan terdapat 6 (enam) faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan proyek transportasi perkotaan, yaitu situasi dan gangguan terhadap proyek, kendali politik, peran pemerintah pusat, kefektifan perencanaan, keefektifan proses pelelangan dan pembiayaannya, dan pengelolaan. Untuk mengetahui dampaknya, dilakukan penelitian terhadap 19 buah proyek transportasi perkotaan di 13 lokasi berbeda pada 9 negara. Sebagian terbesar berupa kereta api, sebagian kecil bus dan jalan terowongan bawah tanah. Keberhasilan dinilai dari 3 (tiga) hal, yaitu keuangan, kebijakan dan daya tahan.

Hasilnya secara umum menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh adalah keefektifan proses pelelangan dan pembiayaan untuk ketiga jenis ukuran keberhasilan.

Berdasar perbandingan terhadap ketiga ukuran keberhasilan, disimpulkan proyek tranportasi perkotaan yang paling berhasil adalah Manchester Metrolink Phase 1, London Dockland’s Light Railway (DLR), dan Nottingham Express Transit (NET). Sementara proyek yang dipertimbangkan gagal pada ketiga ukuran keberhasilan adalah London Underground Limited Public Private Partnership (LUL PPP). Proyek yang lainnya berada pada kondisi sedang saja.

Berkaitan dengan rencana pembangunan Mass Rapid Transport (MRT) di DKI Jakarta, terdapat dua proyek MRT yang menjadi sasaran penelitian, yaitu Manila MRT 2 dan Manila MRT 3. Hasil penelitian menunjukkan Manila MRT 2 tingkat keberhasilannya rendah, sementara Manila MRT 3 relatif lebih baik. Dengan demikian, Pemerintah dan Pemerintah DKI dapat belajar banyak dari hasil penelitian ini (OM).

Info Buku

Buku ini pada dasarnya mengungkapkan fenomena tingkat urbanisasi yang demikian tinggi di kota-kota Asia yang berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan perkotaan.

Khususnya, terfokus pada (i) masalah lingkungan yang dihadapi kota Asia sebagai dampak urbanisasi; (ii) implikasi masalah lingkungan tersebut terhadap lingkungan global; (iii) upaya yang perlu dilakukan dalam menanganinya, baik di tingkat kota Asia maupun global.

Materi buku ini secara garis besar terbagi dalam 10 (sepuluh) bab yang membahas (i) teknologi dan pengembangan tata ruang sebagai katalisator pengembangan kota hijau. Pada bagian ini diperkenalkan beberapa upaya baik melalui teknologi dan pengaturan tata ruang yang dapat mengurangi penggunaan energi; (ii) konsep-konsep kota hijau seperti green urbanism, atau zero waste city; (iii) pendekatan energi sebagai bagian dari kota hijau, misalnya program konsumsi energi rendah-karbon; (iv) pengembangan sistem transportasi menuju kota hijau; (v) pemanfaatan air secara efisien, seperti pengolahan kembali air limbah, pemanfaatan air hujan; (vi) pengelolaan sampah padat, melalui upaya pengurangan timbulan sampah, dan pengolahan kembali; (vii) sumber pembiayaan kota hijau; (viii) konsep smart cities.

Pada intinya, setelah membaca buku ini, pembaca diharapkan dapat memahami bahwa untuk mencapai kondisi kota hijau dibutuhkan upaya mengurangi penggunaan energi, mengurangi polusi udara dan air, melalui pengelolaan proses urbanisasi, bentuk

dan desain kota, kepadatan kota, sistem transportasi dan logistik dengan lebih efisien dan efektif.

Kondisi kota-kota di Indonesia dengan tingkat urbanisasi yang sangat tinggi mulai menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Peristiwa kemacetan, banjir, ketidaktersediaan air yang layak, keberadaan sampah yang tidak tertangani, air limbah yang mencemari lingkungan dan seterusnya telah menjadi fenomena biasa di perkotaan Indonesia. Dengan demikian, keberadaan buku ini mungkin bisa menjadi sumber pencerahan bagi para pengambil keputusan, mulai dari eksekutif maupun legislatif, termasuk juga tentunya para konsultan, pemerhati perkotaan, dan pengajar di perguruan tinggi (OM).

Judul:Success and Failure in Urban Transport Infrastructure ProjectsPenulis:Stephen Glaister, Roger Allport, Richard Brown, Tony TraversPenerbit:KPMG InternationalTahun:2010Halaman:ii, 22

Judul:Green CitiesEditor: Michael Lindfield dan Florian SteinbergPenerbit:Asian Development Bank (ADB), ManilaTahun:2012Halaman:xiv, 413

Page 93: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

93

Edisi 3 - Maret 2013Info Regulasi

Peraturan Presiden (Perpres) ini diluncurkan sebagai dasar pelaksanaan MP3EI. Keberadaan MP3EI merupakan

bagian dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 dan untuk melengkapi dokumen perencanaan agar perekonomian nasional lebih berdaya saing. Dalam Perpres ditekankan bahwa MP3EI merupakan arahan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode 15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2011 sampai tahun 2025. MP3EI memberi arah yang lebih jelas, strategi yang tepat, fokus dan terukur. Dokumen MP3EI tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perpres ini.

Secara khusus Perpres ini menetapkan beberapa hal utama yaitu (i) MP3EI terdiri dari 4 (empat) bagian meliputi Pendahuluan, Prasyarat dan Strategi MP3EI, Koridor Ekonomi Indonesia, Pelaksanaan, Pemantauan dan Evaluasi MP3EI; (ii) fungsi MP3EI sebagai acuan para menteri dan pimpinan lembaga nonkementerian untuk menetapkan kebijakan sektoral, maupun sebagai acuan penyusunan kebijakan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota bersangkutan terkait percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia; (iii) MP3EI merupakan acuan bagi badan usaha dalam menetapkan modal di Indonesia; (iv) penetapan KP3EI

(Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) sebagai koordinator pelaksanaan MP3EI, yang diketuai oleh Presiden dan Ketua Harian ditunjuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Dalam Perpres ini juga disebutkan KP3EI dibantu oleh Tim Kerja, dan KP3EI didukung oleh Sekretariat KP3EI. Secara rinci juga dijelaskan tentang sekretariat KP3EI mencakup kedudukan, pimpinan, penetapan susunan organisasi dan tata kerja, tata cara pengangkatan dan status tenaga profesional (PNS dan non PNS) (OM).

Terkait penyusunan dan pelaksanaan MP3EI, terdapat beberapa regulasi penting yang menjadi acuannya. Pada rubrik Regulasi kali ini, beberapa diantara regulasi tersebut disajikan secara ringkas, sebagai berikut.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011­2025

Salah satu kendala terbesar dalam pembangunan khususnya infrastruktur di Indonesia adalah ketersediaan

tanah. Terjadi tarik menarik antara pemilik tanah dan pihak pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Kepentingan umum dianggap lebih prioritas dibanding kepentingan individu, namun demikian pengadaan tanah harus dilaksanakan dengan

tetap mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil. Sementara peraturan perundang-undangan belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan. Untuk itu, dibutuhkan suatu Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejah-teraan, keberlanjutan dan keselarasan.

Undang-Undang ini ditetapkan pada tanggal 14 Januari 2012, yang terdiri dari 7 bab dan 61 pasal, berisikan pengaturan terkait pokok-pokok pengadaan tanah, penyelenggaraan pengadaan tanah, sumber dana pengadaan tanah, hak, kewajiban dan peran serta masyarakat (OM).

sumber foto: istimewa

Undang­Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Page 94: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

94

Info Situs

World Green Building Councilwww.worldgbc.org

World Green Building Council sebagai pemilik situs ini menyiapkan dengan baik materi yang ter sedia. Sebagaimana situs

sejenis, disini tersedia juga apa dan siapa, agenda dan kegiatan, dan be-rita terkait. Termasuk juga kita dapat meng akses situs Green Building Coun­cil Regional. Namun hal paling me-narik dari situs ini adalah tersedianya layanan resources berupa kumpulan dokumen, bahan presentasi, dan video yang dapat diunduh.

Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI)www.kp3ei.go.id

Situs ini merupakan situs KP3EI, yang sekaligus merupakan situs resmi MP3EI. Situs KP3EI merupakan situs terlengkap tentang MP3EI. Sebagian terbesar isinya menyangkut MP3EI dimulai dari penjelasan ringkas KP3EI,

latar belakang, visi misi dan strategi utama MP3EI; regulasi; inisiatif strategis, dan daftar proyek investasi. Walaupun beberapa informasi masih belum tersedia, tetapi sebagai sebuah sumber data dan informasi terkait MP3EI, situs ini sudah cukup memadai.

Beberapa informasi tambahan dapat diperoleh dari situs ini melalui E-Library seperti buku MP3EI (edisi Bahasa dan Inggris), dan Jawaban pertanyaan (FAQ) MP3EI; Seputar KP3EI yang mengetengahkan berita kliping; Berita Koridor yang secara khusus mengungkapkan data terkait 6 (enam) koridor. Selain juga terdapat situs khusus Koridor Ekonomi Jawa.

Kota Tua Jakartakotatuajakarta.org

Situs ini dikelola oleh Unit Pengelola Kawasan Kota Tua yang diberi tugas oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk mengelola kawasan kota tua Jakarta termasuk melaksanakan penyebarluasan informasi.

Situs ini sangat menarik khususnya bagi para pencinta kota tua. Tersedia beragam informasi terkait keberadaan kota tua Jakarta, mulai dari petunjuk obyek wisata, sejarah kota tua, dan daftar komunitas terkait kota tua. Bagian paling menarik dari situs ini adalah tersedianya info terkini tentang agenda

kegiatan maupun berita terkait kota tua Jakarta. Tersedia juga video kota tua Jakarta dan beragam buku sejarah Batavia.

Jika ingin bergabung dengan salah satu komunitas kota tua Jakarta, sisa memilih dari Daftar Komunitas yang ada di laman situs ini. Situs ini juga dilengkapi dengan Rencana Induk Kota Tua Jakarta yang dapat diun-duh. Disayangkan bahwa situs ini tidak ter-mutakhirkan lagi setidaknya 6 (enam) bulan terakhir.

FIABCI (The International Real Estate Federation)www.fiabci.org

Situs ini merupakan situs resmi Federasi Perusahaan Pengem-bang Dunia yang dikenal dengan

singkat an FIABCI yang berasal dari sing-katan bahasa Perancis. FIABCI didiri-kan di Perancis oleh Federasi Nasional Manajer Properti Perancis (CNAB).

Melalui situs ini kita juga bisa meng-akses situs FIABCI regional. Mengakses situs ini akan sangat membantu kita memahami apa dan sia-pa, sejarah, agenda dan kegiatan, dan berita ter-kait FIABCI. Selain itu, juga tersedia informasi tentang bea siswa oleh yayasan yang dibentuk FIABCI. Melalui situs ini, kita juga bisa mengakses situs FIABCI regional.

Hal yang paling me-narik adalah ProxioPro yaitu sebuah layanan pe masaran dan jeja ring global eksklusif bagi profesional pro perti. Ber gabung dengan layanan ini memungkinkan kita dikenal oleh dunia internasional. Layan-an ProxioPro menjangkau lebih dari 500.000 agen properti di 100 negara. Layanannya tanpa bayar.

Berita terbaru adalah akan diseleng-garakannya Kongres FIABCI ke 64 pada tanggal 24-29 Mei 2013 di Taichung, Taiwan. (OM)

Page 95: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

95

Edisi 3 - Maret 2013

Page 96: HUDmagz. Majalah Perumahan, Infrastruktur, Perkotaan. Edisi 3 Tahun  2013. 1.000 Tower 1.001 Masalah

96

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

SukseskanProgram 1.000 Tower

Memperingati 6 Tahun Program 1.000 Tower

5 April 2007 - 5 April 2013