hubungan faktor iklim dengan angka insiden demam berdarah
TRANSCRIPT
Unversitas Indonesia
HUBUNGAN FAKTOR IKLIM DENGAN ANGKA INSIDEN DEMAM BERDARAH Dengue DI KOTA ADMINISTRASI
JAKARTA SELATAN TAHUN 2012 – 2016
Novia Astarina Simangunsong, Rachmadi Purnawan Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat
[email protected] Abstrak: Demam berdarah dengue di Kota Administrasi Jakarta Selatan mengalami fluktuasi selama 5 tahun terakhir dan pada tahun 2016 angka insiden naik lebih dari 3 kali lipat dari tahun sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor iklim (curah hujan, kelembaban, suhu) dan kepadatan penduduk dengan angka insiden DBD. Studi ini merupakan studi ekologi time series dan dianalisis dengan uji korelasi. Data angka insiden DBD diperoleh dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan. Data iklim bulanan diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Jakarta. Data kepadatan penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistika DKI Jakarta. Hasil penelitian menyatakan bahwa suhu dan kepadatan penduduk tidak memiliki hubungan bermakna dengan angka insiden DBD (p > 0,05). Angka insiden DBD memiliki hubungan yang bermakna dengan curah hujan (r = 0,384 ; p = 0,002), kelembaban (r = 0,496 ; p = 0,000).
Kata kunci: demam berdarah dengue (DBD); iklim Abstract: Dengue hemorrhagic fever (DHF) in South Jakarta Administration City was fluctuating during 2012 - 2016 and in 2016 the incidence rate (IR) was more than tripled from the previous year. This study aims to determine the relationship between climatic factors (rainfall, humidity, temperature) and population density with the incidence rate (IR) of DHF. This study is a time series ecology study and was analyzed by correlation test. Incidence rate (IR) data was obtained from the South Jakarta District Health Office. Monthly climate data was obtained from the Meteorology, Climatology and Geophysics Department of Jakarta. Population density data was obtained from the Central Statistics Department of DKI Jakarta. The results demonstrate that temperature and population density have no significant correlation with dengue incidence rate (p > 0,05). The incidence rate (IR) had a significant correlation with rainfall (r = 0.384; p = 0.002), humidity (r = 0.496; p = 0,000). Key words: climate; dengue
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
1. Pendahuluan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung
meningkat dan penyebarannya semakin meluas (Kunoli, 2013). Dengue ditularkan oleh genus
aedes, nyamuk yang tersebar luas di daerah tropis dan subtropis di dunia (Soedarto, 2012).
Indonesia adalah daerah endemis Demam Berdarah Dengue dan mengalami epidemik
sekali dalam 4-5 tahun. Pada tahun 1968 Demam Berdarah Dengue pertama kali dilaporkan di
Surabaya dengan penderita sebanyak 58 orang dan 24 orang diantaranya meninggal dunia
dengan angka kematian 41,3%. DBD kemudian menyebar ke seluruh Indonesia pada tahun
1988 jumlah penderita mencapai 13,45 per 100.000 penduduk (Soedarto, 2012; Misnadiarly,
2009).
Provinsi DKI Jakarta masih merupakan wilayah endemis DBD. Dinas Kesehatan
Provinsi DKI Jakarta mencatat bahwa jumlah kasus DBD pada tahun 2014 sebanyak 8.786
kasus sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 4.194 kasus. Angka tertinggi penderita DBD di
Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2015 ada di wilayah Jakarta Barat sebesar 1.825 dan diikuti
oleh Jakarta Selatan sebesar 1.247 (Dinkes DKI Jakarta, 2015). Jumlah penderita DBD di
Jakarta Selatan pada tahun 2015 yaitu sebanyak 1.260 kasus. Pada tahun 2016 kasus DBD
naik lebih dari 3 kali lipat hingga mencapai angka 4.548 kasus (Suku Dinas Kesehatan Jakarta
Selatan, 2017).
Menurut Achmadi (2011), iklim berperan dalam proses kejadian penyakit. Suhu
lingkungan dengan kelembaban tertentu di musim kemarau akan memengaruhi bionomik
nyamuk, seperti perilaku menggigit, perilaku perkawinan, lama menetas telur nyamuk dan
lain-lain. Suhu dan kelembaban tertentu akan menstimulus nyamuk untuk melakukan kopulasi
atau perkawinan, membuat nyamuk lebih agresif dalam mencari mangsa dan menimbulkan
frekuensi gigitan nyamuk semakin meningkat yang pada akhirnya tentu akan meningkatkan
probabilitas tertular penyakit. Curah hujan dan kecepatan arah angin dan suhu lingkungan
harus diperhatikan karena bisa berperan dalam rangka perkembangbiakan nyamuk terutama
nyamuk Aedes di perkotaan. Namun kecepatan dan arah angin bukan merupakan pengukuran
yang utama.
Pada penelitian di Palembang tahun 2004 - 2010 disimpulkan bahwa curah hujan
berkorelasi dengan kejadian DBD, korelasi paling kuat terjadi dengan kasus DBD pada
puncak curah hujan. Puncak curah hujan bulanan berhimpitan dengan bulan puncak kasus dan
perubahan puncak curah hujan sejalan dengan perubahan puncak kasus DBD (Iriani, 2012).
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
Peningkatan kasus dan KLB DBD juga dipengaruhi oleh kurangnya Peran Serta
Masyarakat (PSM). Upaya pencegahan DBD dilakukan oleh masyarakat dengan kegiatan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang meliputi kegiatan 3M Plus, larvasidasi serta
Pemberantasan Jentik Berkala (PJB) (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Penelitian Lutfiana
dkk di Kota Semarang menyatakan bahwa rendahnya ABJ memperlihatkan besarnya
kemungkinan penyebaran DBD di lokasi survey mengingat radius penularan DBD adalah 100
meter dari tempat penderita (Lufiana, Muftika dkk., 2012).
Selain faktor iklim, peningkatan kasus DBD dipengaruhi juga oleh faktor
kependudukan. Faktor kependudukan seperti kepadatan penduduk mempengaruhi proses
penularan atau pemindahan penyakit dari satu orang ke orang lain (Achmadi, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Suyasa di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan
menyatakan bahwa faktor lingkungan seperti kepadatan penduduk berhubungan dengan
keberadaan vektor DBD (Suyasa, 2007).
Oleh karena itu perlu dilakukan studi untuk mengetahui hubungan faktor iklim dan
kepadatan penduduk dengan angka insiden DBD di Kota Administrasi Jakarta Selatan tahun
2012-2016.
2. Tinjauan Teoritis
a) Kerangka Teori
Kerangka teori ini didasarkan pada teori Simpul oleh Achmadi yang mengemukakan
bahwa kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaktif antara manusia dan
perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit.
a. Simpul 1 : Sumber Penyakit
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti. Nyamuk tersebut mendapat virus dengue pada waktu menghisap darah penderita
penyakit demam berdarah dengue atau orang tanpa gejala sakit yang membawa virus itu
dalam darahnya (carrier) (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
b. Simpul 2 : Media Transmisi Penyakit
Demam berdarah dengue dapat ditularkan oleh tiga jenis nyamuk yaitu Aedes aegypti,
Aedes albopictus sebagai vektor primer dan Aedes polunesiensis, Aedes scutellaris serta
Aedes (Finalaya) niveus sebagai vektor sekunder (WHO, 2009).
c. Simpul 3 : Perilaku pemajanan (behavioral exposure)
Variabel yang termasuk dalam simpul 3 yaitu penduduk dengan berbagai variabel
kependudukan seperti pendidikan, perilaku, kepadatan serta gender (Achmadi, 2011).
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
Menurut Eldridge (2000) dalam Cecep (2011), kepadatan penduduk sangat tinggi di
beberapa negara daerah tropis menyebabkan kontak vektor dengan manusia sangat sering
sekali terjadi.
Peningkatan kasus dan KLB DBD juga dipengaruhi oleh kurangnya Peran Serta
Masyarakat (PSM). Upaya pencegahan DBD dilakukan oleh masyarakat dengan kegiatan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang meliputi kegiatan 3M Plus, larvasidasi serta
Pemberantasan Jentik Berkala (PJB) (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
d. Simpul 4 : Kejadian Penyakit
Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan
lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan.
e. Simpul 5 : Variabel Supra Sistem
Kejadian penyakit itu sendiri dipengaruhi oleh kelompok variabel simpul 5, yakni
variabel iklim, topografi, temporal, dan suprasystem. Merujuk kepada teori Simpul secara
makro, iklim mempengaruhi semua simpul baik simpul 1 yakni sumber penyakit, simpul 2
media transmisi, simpul kependudukan, ataupun simpul kejadian penyakit.
Berdasarkan teori di atas, penulis menyimpulkan dan memodifikasi dalam suatu
kerangka teori pada Gambar 2.1 :
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Achmadi (2008) dalam Achmadi (2011); Departemen Kesehatan RI (2005); Departemen Kesehatan RI (2007); Eldridge (2000) dalam Cecep (2011); Kementerian Kesehatan (2011); Susanna dan Sembiring (2011); WHO
(2009)
Upaya Pemberantasan dan Pencegahan : 1. Larvasidasi 2. PSN 3. PJB 4. Fogging
Sumber Penularan (Penderita DBD) dengan virus dengue
Aedes aegypti Aedes albopictus
Manusia/Penduduk
Sakit DBD
Iklim (suhu, kelembaban, curah hujan, kecepatan angin)
Kepadatan Penduduk
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
b) Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori, peneliti mengambil beberapa faktor yang memengaruhi
kejadian DBD yaitu faktor iklim (curah hujan, kelembaban, dan suhu) dan kepadatan
penduduk.
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
c) Definisi Operasional Tabel 2.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Ukur
Cara Ukur
1 Angka Insiden Demam Berdarah Dengue (Sari, 2014)
Jumlah penderita dan tersangka demam berdarah dengue per 100.000 penduduk yang diambil dari laporan perbulan selama 5 tahun (Sari, 2014).
Laporan Sudin Kesehatan Jakarta Selatan 2012-2016
Rasio Observasi data sekunder laporan Sudinkes
2 Curah Hujan Rata-rata jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar dalam satu bulan yang diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off, dan infiltrasi. Curah hujan diukur dengan Rain gauge. (Mulyani, 2010)
Laporan BMKG 2012-2016
Rasio (mm)
Observasi data sekunder laporan BMKG
3 Kelembaban Udara
Rata-rata kandungan uap air di dalam udara dalam satu bulan yang diukur dengan Hygrometer (Priyani, 2012)
Laporan BMKG 2012-2016
Rasio (%)
Observasi data sekunder laporan BMKG
4 Suhu udara Temperatur atau sensasi panas yang diterima benda dan bisa diukur dengan Thermometer dan dirata-ratakan dalam satu bulan (Mulyani, 2010)
Laporan BMKG 2012-2016
Rasio (oC)
Observasi data sekunder laporan BMKG
5 Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk yang menempati tiap satuan luas wilayah, biasanya dalam Km2
(Depdiknas, 2005)
Laporan BPS 2012-2016
Rasio (jiwa/km2)
Observasi data sekunder laporan BPS
• Curah hujan • Kelembaban • Suhu
Angka Insiden DBD
Kepadatan Penduduk
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
3. Metode Penelitian
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan disain studi ekologi yang bersifat
kuantitatif dengan menganalisis data sekunder. Studi ekologi atau studi korelasi merupakan
penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok
subjek (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini tidak dilakukan pengambilan sampel karena
pengamatan pada total populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah semua kejadian demam
berdarah dengue yang tercatat di Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Selatan
mulai tahun 2012-2016. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan
sudah mendapatkan ijin dari instansi terkait. Data yang diambil antara lain :
a. Data Angka Insiden DBD dan Angka Bebas Jentik (ABJ) dari bulan Januari 2012 sampai
dengan Desember 2016 yang didapatkan dari seksi P2P di suku Dinas kesehatan Masyarakat
Jakarta Selatan.
b. Data Iklim berupa curah hujan, kelembaban dan suhu udara pada periode 2012-2016
diperoleh dari BMKG Kemayoran Jakarta Pusat
c. Data Kepadatan Penduduk pada tahun 2012-2016 diambil dari Badan Pusat Statistik DKI
Jakarta.
Pada penelitian ini dilakukan analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat
digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi semua variabel independen dan dependen.
Variabel independen yang akan dianalisis dengan analisis univariat yaitu faktor iklim (curah
hujan, kelembaban, suhu), Angka Bebas Jentik (ABJ), dan kepadatan penduduk. Sedangkan
variabel dependen yang akan dianalisis dengan analisa univariat yaitu angka insiden DBD di
Kota Administrasi Jakarta Selatan. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara
faktor iklim (curah hujan, kelembaban, suhu) dan kepadatan penduduk dengan angka insiden
DBD. Analisis yang dilakukan adalah uji normalitas dan uji korelasi.
a. Uji Normalitas
Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi data numerik tersebut normal
atau tidak. Dikatakan normal, bila :
1. Nilai rasio skewness berada diantara -2 sampai 2
2. Uji kolmogrov-smirnov dengan p > 0,05
3. Grafik histogram berbentuk kurva normal/ berbentuk lonceng
b. Uji Korelasi
Uji korelasi yaitu untuk mengetahui derajat atau keeratan hubungan serta untuk
mengetahui arah hubungan dua variabel numeric (Hastono, 2010).
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
Untuk mengetahui derajat hubungan dua variabel digunakan Koefisien Korelasi
Pearson Product Moment. Koefisien korelasi disimbolkan dengan r (huruf r kecil).
Formula koefisien korelasi :
Nilai korelasi (r) berkisar 0 s.d. 1 atau bila disertai dengan arahnya nilainya antara -1
s.d. +1.
r = 0, tidak ada hubungan linier
r = -1, hubungan linier negatif sempurna
r = +1, hubungan linier positif sempurna
Hubungan dua variabel dapat berpola positif maupun negatif. Hubungan positif terjadi
bila kenaikan satu variabel diikuti kenaikan variabel yang lain. Sementara itu, hubungan
negatif dapat terjadi bila kenaikan satu variabel diikuti penurunan variabel yang lain.
Menurut Colton dalam Hastono (2010), kekuatan hubungan dua variabel secara
kualitatif dapat dibagi dalam empat area sebagai berikut :
r = 0,00 – 0,25, tidak ada hubungan/hubungan lemah
r = 0,26 – 0,50, hubungan sedang
r = 0,51 – 0,75, hubungan kuat
r = 0,76 – 1,00, hubungan sangat kuat/sempurna
Langkah kedua adalah melihat kemaknaan hasil korelasi melalui nilai probabilitas
yang didapat dengan hipotesis sebagai berikut.
H0 = Tidak ada hubungan antara dua variabel
Ha = Ada hubungan antara dua variabel
Bila probabilitas yang didapat > 0,05 maka H0 diterima. Sedangkan jika probabilitas
yang didapat < 0,05 maka H0 ditolak.
4. Hasil Penelitian
4.1 Curah Hujan
Pada kurun waktu tahun 2012-2016, rata-rata curah hujan bulanan di Kota Administrasi
Jakarta Selatan adalah 237,85 mm. Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada tahun 2014
dengan angka 765 mm, sedangkan pada tahun 2012 dan 2015 setiap tahunnya selalu
mengalami curah hujan dengan angka 0 yang artinya tidak terjadi hujan sama sekali dalam
satu bulan penuh.
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
Tabel 0.1 Distribusi Frekuensi Curah Hujan di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2012 – 2016
Curah Hujan Mean Standar Deviasi
Min-Mak 95% CI
2012 220,83 162,492 0-482 117,59-324,08 2013 244,5 149,919 16-504 149,25-339,75 2014 270,58 212,436 6-765 135,61-405,56 2015 140,67 142,177 0-376 50,33-231 2016 312,67 124,585 120-511 233,51-391,82 2012-2016 237,85 165,936 0-765 194,98-280,72
Keterangan : Min = nilai minimal, Maks = nilai maksimal, CI = confident interval Sumber : Badan Meteorologi, Geofisika dan Klimatologi Jakarta Pusat (2017) Curah hujan mengalami pola kecenderungan yang hampir serupa setiap tahunnya yaitu
mengalami kenaikan pada bulan Januari – Juni, kemudian mengalami penurunan dengan
angka terendah 0 mm hingga bulan Oktober dan mengalami kenaikan hingga Desember.
Grafik 4.1 Curah Hujan di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2012-2016
5.4 Kelembaban Udara Berdasarkan hasil analisis yang ditampilkan pada tabel 5.2, rata-rata kelembaban pada
kurun waktu tahun 2012 – 2016 adalah 76,17%. Kelembaban rata-rata bulanan terendah
terjadi pada tahun 2015 yaitu 74,33%, sedangkan kelembaban rata-rata bulanan tertinggi
terjadi pada tahun 2016 yaitu 78,5%.
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kelembaban Udara di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2012 –
2016 Kelembaban Mean Standar Deviasi Min-Mak 95% CI
2012 74,67 4,053 68-80 72,09 - 77,24 2013 77,42 3,704 72-84 75,06 - 79,77 2014 75,92 6,127 65-86 72,02 - 79,81 2015 74,33 5,694 66-84 70,72 - 77,95 2016 78,5 1,97 76-83 77,24 – 79,76 2012-2016 76,17 4,687 65-86 74,96 - 77,38
Keterangan : Min = nilai minimal, Maks = nilai maksimal, CI = confident interval Sumber : Badan Meteorologi, Geofisika dan Klimatologi Jakarta Pusat (2017)
0
500
1000Curah Hujan (mm)
2012 2013 2014 2015 2016
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
Dari grafik 5.2, terlihat bahwa selama kurun waktu 2012 – 2015 kelembaban rata-rata
mengalami penurunan yang signifikan pada bulan Agustus hingga bulan Oktober yaitu pada
kisaran 65 – 70%, lalu mengalami peningkatan lagi hingga bulan Desember. Pola cukup
berbeda terlihat pada tahun 2016 dimana fluktuasi kelembaban udara terjadi pada kisaran 75
– 85%.
Grafik 5.2 Kelembaban Udara di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2012 – 2016
5.5 Suhu
Berdasarkan hasil analisis yang ditampilkan pada tabel 5.3, rata-rata suhu pada kurun
waktu tahun 2012 – 2016 adalah 28,4 0C. Suhu udara tertinggi terjadi pada tahun 2014 yaitu
29,8 0C, sedangkan suhu udara terendah terjadi pada tahun 2016 yaitu 26,6 0C.
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Suhu di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2012 – 2016
Suhu Mean Standar Deviasi
Min-Mak 95% CI
2012 28,5 0,48 27,6 – 29,4 28,2 – 28,8 2013 28,2 0,77 26,9 – 29,3 27,7 – 28,7 2014 28,4 1 26,6 – 29,8 27,7 - 29 2015 28,3 0,81 26,7 – 29,4 27,8 – 28,8 2016 28,5 0,43 27,7 – 29,4 28,2 – 28,8 2012-2016 28,4 0,72 26,6 - 29,8 28,2 - 28,5
Keterangan : Min = nilai minimal, Maks = nilai maksimal, CI = confident interval Sumber : Badan Meteorologi, Geofisika dan Klimatologi Jakarta Pusat (2017)
Pada grafik 5.3 terlihat bahwa selama kurun waktu tahun 2012 – 2016 fluktuasi suhu
udara terjadi pada kisaran 26 – 29 0C, sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu udara tidak
bervariasi.
60
70
80
90
100
Kelemba
banUda
ra
(%)
2012
2013
2014
2015
2016
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
Grafik 5.3 Suhu Udara Rata-rata per Bulan di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun
2012 – 2016 5.6 Angka Bebas Jentik (ABJ)
Data Angka Bebas Jentik (ABJ) diperoleh dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan
seperti halnya data angka insiden DBD. Namun dikarenakan terdapat banyak data Angka
Bebas Jentik yang kosong, maka diputuskan untuk tidak mengikutkan data Angka Bebas
Jentik dalam analisis data. Pada tabel 5.4 dapat dilihat bahawa data yang lengkap hanya pada
empat kecamatan sehingga tidak dapat mewakili seluruh kecamatan.
Tabel 5.4 Rata-rata Angka Bebas Jentik per Kecamatan di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2012-2016
Kecamatan 2012 2013 2014 2015 2016
Jagakarsa - - 98,40% 98,70% 96,90% Pasar minggu - - - 96,40% 96,80% Cilandak - - - - - Pesanggrahan 96,8% 97,22% 97,6% 97,46% 97,2% Kebayoran lama 97,88% 93,49% 97,80% 98,35% 95,15% Kebayoran baru - - - - - Mampang Prapatan
99,24% 99,07% 99,15% 99,33% 99,43%
Pancoran - - 97,35% 95,55% 98,56% Tebet 97,85% 97,89% 97,78% 97,71% 97,75% Setiabudi - - - - -
Sumber : Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Selatan Berdasarkan tabel 5.4 terlihat bahwa rata-rata angka bebas jentik (ABJ) tahunan
beberapa kecamatan sudah mencapai target pemerintah yaitu > 95%.
5.7 Kepadatan Penduduk
Berdasarkan hasil pengolahan data distribusi kepadatan penduduk yang disajikan pada
tabel 5.5, dapat dilihat bahwa rata-rata kepadatan penduduk selama kurun waktu 2012-2016
adalah 15611,56/km2, dimana kepadatan penduduk tertinggi sebesar 25445/km2 dan terendah
sebesar 8209/km2. Berdasarkan hasil estimasi interval diyakini bahwa 95% kepadatan
25
27
29
31
Suhu
(0C)
Suhu udara rata-rata (0C)
2012
2013
2014
2015
2016
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
penduduk di Kota Administrasi Jakarta Selatan dalam kurun waktu 2012-2016 berada pada
nilai diantara 14440,97/km2-16782,15/km2.
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Kepadatan Penduduk di kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2012-
2016 Kepadatan Penduduk
Mean Standar Deviasi Min-Mak 95% CI
2012 14071,6 5046,423 8209-22895 10461,61-17681,59 2013 15974,3 3790,901 10895-23240 13262,45-1868,15 2014 15925 3788 10790-23260 13215,20-18634,80 2015 15886,3 4552,707 11157-25445 12629,49-19143,11 2016 16200,6 3754,35 10956-23317 13514,9-18886,3 2012-2016 15611,56 4118,938 8209-25445 14440,97-16782,15
Keterangan : Min = nilai minimal, Maks = nilai maksimal, CI = confident interval Sumber : Badan Pusat Statistik (2017) Jika melihat pada pola kecenderungan (trend), angka kepadatan penduduk per
kecamatan di Kota Administrasi Jakarta Selatan tahun 2012-2016 umumnya mengalami
peningkatan. Adapun angka kepadatan penduduk yang tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan
Tebet, sedangkan terendah terjadi di Kecamatan Cilandak. Selengkapnya dapat dilihat pada
Grafik 5.4 berikut ini :
Grafik 5.4 Kepadatan Penduduk di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2012-2016
5.8 Angka Insiden DBD
Berdasarkan hasil observasi dokumen kasus DBD pada Seksi P2P Suku Dinas
Kesehatan Jakarta Selatan, diperoleh data bulanan periode tahun 2012 sampai dengan tahun
2016 sebagaimana tercantum pada tabel 5.6. Angka insiden atau incidence rate (IR) tahunan
tertinggi terjadi pada tahun 2016 yaitu 208/100.000 penduduk.
5000
15000
25000
35000
Kepadatan Penduduk Berdasarkan Kecamatan di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2012-2016
2012
2013
2014
2015
2016
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
Tabel 5.6 Gambaran Kasus DBD di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2012 – 2016
Keterangan : IR = !"#$%! !"#$#!"#$%! !"#$%$%&
𝑥100.000 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘
Sumber : Seksi P2P Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan Berdasarkan hasil pengolahan data distribusi angka insiden DBD bulanan yang
disajikan pada tabel 5.7, rata-rata angka insiden DBD per bulan pada tahun 2012 – 2016
adalah 9,6/100.000 penduduk, dengan nilai minimal IR 0,7 per 100.000 penduduk serta nilai
maksimalnya adalah 33 per 100.000 penduduk. Sementara untuk rata-rata angka insiden
terendah terjadi pada tahun 2015 yaitu 4,8/100.000 penduduk dan untuk angka insiden
tertinggi terjadi pada tahun 2016 dengan angka 17,2/100.000 penduduk.
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Angka Insiden DBD per Bulan di Kota Administrasi Jakarta Selatan
IR DBD Mean Standar Deviasi Min-Mak 95% CI 2012 6,4 3,6 1,1 – 12,1 4,1 – 8,7 2013 10 3,4 6,5-17,9 7,9 – 12,2 2014 9,7 6 1,3 – 17,8 5,9 – 13,5 2015 4,8 3,5 0,7 – 9,1 2,5 - 7 2016 17,2 8,3 7 - 33 11,9 – 22,5 2012-2016 9,6 6,7 0,7-33 7,9-11,4
Keterangan : Min = nilai minimal, Maks = nilai maksimal, CI = confident interval Trend angka insiden DBD yang disajikan pada grafik 5.5 menunjukkan bahwa pada
tahun 2016 terjadi lonjakan kasus pada bulan Maret dan baru mencapai titik minimalnya pada
bulan Desember.
Grafik 5.5 Angka Insiden DBD di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2012-2016
0
10
20
30
40
AngkaInside
n
Angka Insiden DBD per Bulan 20122013201420152016
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jlh IR Jlh Pddk
2012 197 195 253 209 165 180 145 83 41 25 42 95 1630 78 2088359 2013 195 178 141 190 236 221 303 380 265 146 139 178 2572 121 2119009
2014 343 343 382 358 274 134 169 238 111 91 28 44 2515 117 2141941 2015 154 187 199 197 183 127 64 42 26 17 19 45 1260 58 2164070 2016 294 594 722 656 451 345 317 274 232 252 256 155 4548 208 2185711
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
5.9 Uji Normalitas Data
Untuk melakukan analisis bivariat, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data.
Bentuk distribusi data dapat diketahui dari grafik dan kurva normalnya, namun untuk melihat
uji normalitasnya dilakukan dengan uji Kolmogrov – Smirnov. Data dikatakan berdistribusi
normal bila nilai p > 0,05 (Hastono, 2010). Berdasarkan tabel 5.8 dapat disimpulkan bahwa
semua variabel memiliki data yang terdistribusi normal.
Tabel 5.8 Uji Normalitas Data Curah Hujan, Kelembaban, Suhu, Kepadatan Penduduk dan Angka
Insiden DBD Variabel Uji Kolmogrov - Smirnov Kesimpulan Curah hujan 0,839 Normal Kelembaban 0,123 Normal Suhu 0,115 Normal Kepadatan Penduduk 0,864 Normal Angka Insiden DBD per Bulan 0,398 Normal Angka Insiden DBD per kecamatan
0,998 Normal
5.10 Hubungan Faktor iklim (Curah Hujan, Kelembaban dan Suhu) dan Kepadatan
Penduduk dengan Angka Insiden DBD di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun
2012-2016
Hubungan faktor iklim, kepadatan penduduk dengan angka insiden DBD disajikan
dalam tabel 5.9. Analisis bivariat yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara faktor
iklim, kepadatan penduduk dengan angka insiden DBD adalah dengan uji korelasi Pearson.
Data yang tersedia pada faktor-faktor iklim dan angka insiden DBD adalah data
bulanan, sehingga analisis korelasi yang dilakukan adalah mengolah data dalam bentuk yang
sama yaitu data per bulan (n=60). Berbeda dengan analisis korelasi pada angka kepadatan
penduduk dengan angka insiden DBD yang dilakukan adalah dengan menggunakan data rata-
rata kecamatan menyesuaikan dengan data angka kepadatan penduduk yang tersedia (n = 10).
Sedangkan untuk data Angka Bebas Jentik tidak dilakukan analisis korelasi, hal ini
dikarenakan data ABJ tidak lengkap.
Tabel 5.9 Hubungan Faktor Iklim (Curah Hujan, Kelembaban dan Suhu) dan Kepadatan Penduduk dengan Angka Insiden Demam Berdarah di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2012 – 2016
No Variabel r Nilai p Keterangan 1 Curah hujan 0,384 0,002 Bermakna, positif, hubungan
sedang 2 Kelembaban 0,496 0,000 Bermakna, positif, hubungan
sedang 3 Suhu -0,165 0,209 Tidak ada hubungan 4 Kepadatan Penduduk 0,215 0,55 Tidak ada hubungan
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
Dari hasil uji korelasi Pearson didapatkan bahwa curah hujan dan kelembaban memiliki
hubungan bermakna dengan angka insiden DBD (nilai p < 0,05). Sedangkan suhu dan
kepadatan penduduk tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan angka insiden DBD.
Hubungan curah hujan dan kelembaban terhadap angka insiden DBD menunjukkan hubungan
sedang dengan pola kecenderungan positif yang artinya semakin bertambah nilainya maka
akan semakin tinggi angka insiden DBDnya.
5.10.1 Hubungan Curah Hujan dengan Angka Insiden DBD di Kota Administrasi
Jakarta Selatan Tahun 2012-2016
Hasil uji keeratan hubungan antara curah hujan dengan insiden DBD menunjukkan
nilai r sebesar 0,384 yang menandakan hubungan sedang. Nilai P sebesar 0,002 yang berarti
terdapat hubungan yang bermakna antara curah hujan dengan insiden DBD selama tahun
2012-2016.
Pada analisis hubungan secara grafis dapat dilihat pada grafik 5.6 bahwa curah hujan
memiliki pola tren yang mengikuti pola tren angka insiden DBD. Ketika curah hujan naik,
maka angka insiden DBD pun ikut naik.
Grafik 5.6 Curah hujan dan Angka Insiden DBD Menurut Bulan di Kota Administrasi Jakarta Selatan
5.10.2 Hubungan Kelembaban dengan Angka Insiden DBD di Kota Administrasi
Jakarta Selatan Tahun 2012-2016
Hasil uji korelasi antara kelembaban dengan angka insiden DBD menunjukkan nilai r
sebesar 0,496 yang menandakan hubungan sedang. Nilai p yang didapat sebesar 0,000 yang
berarti terdapat hubungan bermakna antara kelembaban dengan angka insiden DBD selama
tahun 2012-2016.
0
200
400
600
800
05
101520253035
1 3 5 7 9 11131517192123252729313335373941434547495153555759
IRDBD
Bulan ke- Curahhujan
IR
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
Berdasarkan grafik 5.7 dapat dilihat bahwa pola kelembaban memiliki pola tren yang
mengikuti pola tren angka insiden DBD. Pada saat kelembaban naik, angka insiden pun ikut
naik.
Grafik 5.7 Kelembaban dan Angka Insiden DBD Menurut Bulan di Kota Administrasi Jakarta Selatan
5.10.3 Hubungan Suhu dengan Angka Insiden DBD di Kota Administrasi Jakarta
Selatan Tahun 2012-2016
Hasil uji keeratan hubungan antara suhu dengan insiden DBD menunjukkan nilai r
sebesar -0,165 yang menandakan hubungan lemah dengan arah hubungan yang diperoleh
adalah negatif yang berarti peningkatan suhu akan diikuti penurunan angka insiden DBD.
Nilai p yang didapat sebesar 0,209 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara suhu dengan insiden DBD selama tahun 2012-2016.
Pada Grafik 5.8, pola suhu tidak memiliki pola yang cukup mirip dengan angka insiden
DBD. Dari grafik terlihat ada beberapa bulan yang mengikuti pola namun ada beberapa bulan
juga yang berlawanan dengan pola.
Angka insiden tertinggi yaitu 33 per 100.000 penduduk terjadi ketika suhu tercatat pada
suhu 28,50C pada bulan Maret tahun 2016. Sedangkan angka insiden terendah yaitu 0,7 per
100.000 penduduk terjadi pada suhu 29.40C di bulan Oktober tahun 2015.
Suhu tertinggi di Kota Administrasi Jakarta Selatan selama periode tahun 2012-2016
terjadi pada bulan Oktober 2014 dengan suhu 29,80C dan angka insiden 4,2 per 100.000
penduduk. Sedangkan suhu terendah terjadi pada bulan Januari dan Februari tahun 2014 yaitu
26,60C dengan angka insiden 16 per 100.000 penduduk.
0
20
40
60
80
100
05101520253035
1 3 5 7 911131517192123252729313335373941434547495153555759
IRDBD
Bulanke- KelembabanIR
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
Grafik 5.8 Suhu dan Angka Insiden DBD Menurut Bulan di Kota Administrasi Jakarta Selatan
5.10.5 Hubungan Kepadatan Penduduk dengan Angka Insiden DBD di Kota
Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2012-2016
Hasil analisis bivariat menunjukkan hubungan tak bermakna antara kepadatan penduduk
dengan angka insiden DBD di Kota Administrasi Jakarta Selatan (p = 0,55 dan r = 0,215).
Berdasarkan grafik 5.9 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa kecamatan dengan
kepadatan penduduk tinggi yang tidak mengikuti pola angka insiden DBD. Ketika kepadatan
penduduk naik maka angka insiden DBD pun ikut naik. Sementara pada grafik 5.9 terlihat
bahwa pada kepadatan penduduk di Kecamatan Jagakarsa sebanyak 13923.2/km2 memiliki
angka insiden yang tinggi yaitu 18,9 per 100.000 penduduk, hal ini berbanding terbalik
dengan Kecamatan Pasar Minggu yang memiliki Kepadatan Penduduk sebanyak 13839,4/km2
dengan angka insiden yang jauh lebih rendah yaitu 3,4 per 100.000 penduduk.
Grafik 5.9 Kepadatan Penduduk dan Angka Insiden DBD Menurut Kecamatan di Kota Administrasi Jakarta Selatan
24.0
25.0
26.0
27.0
28.0
29.0
30.0
0.005.0010.0015.0020.0025.0030.0035.00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58
IRDBD
Bulanke-
suhu
SuhuIR
0
5
10
15
20
05000
10000150002000025000
Rata2Kepadatan
Rata2IR
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
5. Pembahasan
5.1 Hubungan Curah Hujan dengan Angka Insiden DBD
Hasil analisis bivariat data bulanan selama periode 2012 – 2016 didapat nilai korelasi (r)
sebesar 0,384 dengan arah hubungan yang diperoleh positif yang berarti peningkatan curah
hujan akan diikuti dengan peningkatan angka insiden DBD per bulan. Nilai p sebesar 0,002,
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara curah hujan dan
angka insiden DBD pada periode 2012 – 2016.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sintorini (2007) yang menyatakan bahwa
ada hubungan bermakna antara jumlah kasus DBD dengan curah hujan di DKI Jakarta tahun
2004 – 2005. Penelitian yang dilakukan oleh Su et al (2008) di Filipina juga menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara curah hujan dengan angka insiden DBD.
Kemudian penelitian yang dilakukan Iriani (2012) di Kota Palembang pada periode 2004 –
2010 juga menyatakan bahwa terdapat korelasi antara curah hujan dan peningkatan jumlah
kasus DBD.
Curah hujan yang tinggi menciptakan tempat perindukan yang berlimpah bagi Aedes
sp. dalam jangka panjang. Hal tersebut juga memicu banyaknya kontainer-kontainer
penyimpanan air yang dapat menyediakan habitat bagi perkembangbiakan nyamuk di saat
musim kering (Hii, Zhu, et al., 2012). Menurut Susanna & Sembiring (2011), Kejadian
penyakit yang ditularkan oleh nyamuk biasanya meninggi beberapa waktu sebelum musim
hujan lebat ataupun setelah hujan lebat yang dapat menciptakan tempat perkembangbiakan
(habitat) larva di berbagai tempat, antara lain yaitu di kolam, rawa, wadah, genangan air,
lubang pohon dan tempat lainnya yang terdapat air mengandung garam dan yang tidak
mengandung garam.
5.2 Hubungan Kelembaban dengan Angka Insiden DBD
Hasil uji korelasi antara kelembaban dengan angka insiden DBD menunjukkan nilai r
sebesar 0,496 yang berarti menandakan hubungan sedang dengan arah hubungan yang
diperoleh adalah positif yang berarti peningkatan suhu akan diikuti peningkatan angka insiden
DBD per bulan. Nilai p yang didapat sebesar 0,000 yang berarti terdapat hubungan yang
bermakna antara kelembaban dengan angka insiden DBD pada tahun 2012 – 2016. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wirayoga (2013) di
Kota Semarang tahun 2006 – 2011 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara kelembaban udara dengan peningkatan kasus DBD.
Pada kelembaban kurang dari 60% maka hidup nyamuk akan pendek dikarenakan
siklus pertumbuhan parasit dalam tubuh nyamuk tidak cukup (McMichael A. e., 1996) dalam
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
(Febriyetti, 2010). Kelembaban udara relatif antara 70 – 90% menjadi faktor yang
mempengaruhi nyamuk untuk berkembangbiak sepanjang tahun (Regis et al., 2008 dalam
(Costaa, Santos, Correia & Albuquerque, 2010).
5.3 Hubungan Suhu dengan Angka Insiden DBD
Hasil analisis bivariat menunjukkan hubungan tak bermakna dengan kekuatan lemah berpola
negatif (p = 0,209 dan r = -0,165) antara suhu udara dengan angka insiden DBD di Kota
Administrasi Jakarta Selatan tahun 2012-2016. Hubungan tak bermakna ini sejalan dengan
penelitian yang diakukan oleh Sungono (2004) di Jakarta Utara pada periode 1999-2003 yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara suhu dengan angka insiden DBD.
Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan proses metabolisme yang
sebagian diatur oleh suhu (Depkes RI, 2004). Pada suhu di atas 350C, dapat mengalami
perubahan yaitu lambatnya proses fisiologi, rata-rata suhu optimum berkisar 250C-270C dan
pertumbuhan akan terhenti bila suhu kurang dari 100C atau di atas 400C serta nyamuk
mempunyai toleransi suhu berkisar 50C-60C (Susanna & Sembiring, 2011). Pada umumnya
nyamuk akan meletakkan telurnya pada temperatur sekitar 20 – 300C. Toleransi terhadap suhu
tergantung pada spesies nyamuk dan letak geografis seperti daerah tropis, sub tropis,
khatulistiwa dan daerah dingin (Depkes RI, 2005).
6.4 Hubungan Kepadatan Penduduk dengan Angka Insiden DBD
Hasil korelasi antara kepadatan penduduk dengan angka insiden DBD di Kota
Administrasi Jakarta Selatan tahun 2012-2016 tidak menunjukkan hubungan bermakna. Hal
ini sejalan dengan penelitian Hernawati (2008) di Jakarta Selatan tahun 2007 yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan penduduk dengan
kejadian DBD.
Berbeda dengan penelitian Farid (2009) di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat
tahun 2005 - 2007 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
kepadatan penduduk dengan DBD. Kepadatan penduduk sangat tinggi di beberapa negara
daerah tropis menyebabkan kontak vektor dengan manusia sangat sering terjadi (Eldridge
(2000) dalam Sucipto (2011)). Padatnya penduduk akan mempermudah terjadinya penularan
DBD oleh karena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50-100 meter dan nyamuk lebih
menyukai mencari darah di dalam rumah (Depkes RI, 2007).
6. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan pada bab 5
dan bab 6 dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Distribusi frekuensi angka insiden DBD di Kota Administrasi Jakarta Selatan
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
a. Angka insiden DBD tertinggi terjadi pada tahun 2016 yang mencapai angka
17,2/100.000 penduduk.
b. Pola angka insiden mulai meningkat pada bulan Januari hingga bulan Mei, kemudian
mengalami penurunan hingga bulan Desember.
c. Rata-rata angka insiden DBD per bulan pada tahun 2012-2016 adalah 9,6/100.000
penduduk
2. Distribusi frekuensi faktor iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu) di Kota Administrasi
Jakarta Selatan
a. Rata-rata curah hujan bulanan di Kota Administrasi Jakarta Selatan pada kurun waktu
2012-2016 adalah 237,85 mm sedangkan curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada
tahun 2014 dengan angka 765 mm.
b. Rata-rata kelembaban udara bulanan pada kurun waktu 2012-2016 adalah 76,17%
sedangkan kelembaban rata-rata bulanan tertinggi terjadi pada tahun 2016 yaitu
78,5%.
c. Rata-rata suhu udara bulanan pada kurun waktu 2012-2016 adalah 28,40C. Fluktuasi
suhu udara terjadi pada kisaran 26-290C.
3. Distribusi frekuensi Angka Bebas Jentik (ABJ)
Data Angka Bebas Jentik diperoleh dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan seperti
halnya data angka insiden DBD. Namun dikarenakan terdapat banyak data ABJ yang
kosong, maka diputuskan untuk tidak mengikutsertakan variabel Angka Bebas Jentik
(ABJ) dalam analisis data. Bila dilihat dari data yang tersedia, terlihat bahwa rata-rata
angka bebas jentik (ABJ) tahunan beberapa kecamatan sudah mencapai target pemerintah
yaitu > 95%.
4. Distribusi frekuensi kepadatan penduduk
Rata-rata kepadatan penduduk selama kurun waktu 2012-2016 adalah 15611,56/km2.
Adapun angka kepadatan penduduk yang tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Tebet.
5. Hasil analisis hubungan antara faktor iklim (curah hujan, kelembaban, suhu) dan kepadatan
penduduk dengan angka insiden DBD menyimpulkan bahwa curah hujan dan kelembaban
memiliki hubungan bermakna dengan angka insiden DBD (nilai p < 0,05). Sedangkan suhu
dan kepadatan penduduk tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan angka insiden
DBD. Hubungan curah hujan dan kelembaban terhadap angka insiden DBD menunjukkan
hubungan sedang dengan pola kecenderungan positif yang artinya semakin bertambah
nilainya maka akan semakin tinggi angka insiden DBDnya.
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017
Unversitas Indonesia
1.1 Saran
1. Disarankan kepada Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan agar dapat meningkatkan dan
memperbaiki kualitas pencatatan dan pelaporan:
a. Kejadian DBD dilaporkan secara tepat waktu dan data tidak hanya diperoleh
dari laporan puskesmas serta rumah sakit daerah saja, namun juga dari klinik-klinik
serta rumah sakit swasta agar populasi kasus dapat menyeluruh.
b. Diperlukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemantauan jentik berkala
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan maupun juru pemantau jentik tiap
puskesmas oleh Suku Dinas Kesehatan. Hal tersebut agar didapatkan angka
kepadatan jentik (ABJ, HI, CI) yang baik serta pelaporan yang rutin (lebih baik setiap
bulan atau bahkan setiap minggu). Selain itu diharapkan pemantauan jentik tidak hanya
dilakukan di dalam rumah tetapi juga di tempat penampungan air alami yang berada di
luar rumah (talang air, axilla daun, lubang pohon).
2. Untuk Masyarakat
Faktor iklim sulit untuk dirubah karena berhubungan dengan lingkungan global, oleh
karena itu untuk mencegah berjangkitnya kasus DBD masyarakat diharapkan turut terlibat
secara mandiri untuk melakukan pencegahan dengan memperkecil kontak dengan vektor
dan memutuskan rantai perkembangbiakan vektor yaitu dengan cara memodifikasi
lingkungan sesuai dengan kondisi iklim yang terjadi, membersihkan atau menyingkirkan
tempat-tempat yang disukai nyamuk untuk berkembangbiak seperti melakukan kegiatan
3M Plus dan PSN secara rutin.
3. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan metode penelitian dan analisis data yang lebih baik.
Disarankan agar melakukan penelitian dalam jangka waktu yang lebih panjang dan dapat
ditambah dengan ditambah faktor lain agar dapat lebih sensitif dalam menganalisis faktor
risiko transmisi kejadian demam berdarah dengue.
Daftar Referensi
1. Achmadi, U. F. (2005). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Kompas 2. ________. (2008). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: UI Press 3. ________. (2008). Horison Baru Kesehatan Masyarakat di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta 4. _______. (2010). DBD di Indonesia tahun 1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi, (2): 1-13. 5. _______. (2013). Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan.Jakarta : Raja Grafindo Persada 6. Anies. (2015). Penyakit Berbasis Lingkungan : Berbagai Penyakit Menular & Tidak Menular yang Disebabkan oleh Faktor Lingkungan. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
Hubungan faktor ..., Simangunsong, Novia Astarina, FKM UI, 2017