hubungan antara penilaian distributive justice …lib.unnes.ac.id/28694/1/1511412104.pdf · 7. para...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN ANTARA PENILAIAN DISTRIBUTIVE
JUSTICE DAN WORK ENGAGEMENT PADA BIDAN
PEGAWAI TIDAK TETAP DI KABUPATEN PATI
SKRIPSI
disajikan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
oleh:
Kirana Mutiara Paramita1511412104
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2016
i
MOTTO DAN PERUNTUKAN
Motto
Do the best, to be the best (Penulis).
Tidak ada usaha yang sia-sia jika kita melakukannya dengan sepenuh hati dan
sukacita (Penulis).
Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku
(Filipi 4: 13).
Peruntukan
Penulis peruntukkan karya sederhana ini untuk:
Bapak Munif Wahyudi dan ibu Saparyati, Adik
Arga Bagus, Yohanes Kristiawan, Teman-teman
Psikologi angkatan 2012, Teman-teman Aji
kost.
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan
karunia yang telah diberikah selama menjalani proses pembuatan skripsi yang
berjudul “Hubungan Antara Penilaian Distributive Justice dan Work Engagement
Pada Bidan PTT di Kabupaten Pati” sampai dengan selesai.
Penyusunan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana
Psikologi di Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Penulis
menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak,
maka pada kesempatan ini ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof Dr Fakhruddin MPd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas
Negeri Semarang.
2. Dr. Drs. Edy Purwanto, M.Si., Ketua Panitia Sidang Penguji Skripsi
3. Drs. Sugeng Haryadi, S.Psi., M.S., Ketua Jurusan Psikologi FIP UNNES dan
penguji I yang telah memberikan masukan dan penilaian terhadap skripsi
penulis.
4. Rahmawati Prihastuty, S.Psi., M.Si., Penguji II yang telah memberikan
masukan dan penilaian terhadap skripsi penulis.
5. Amri Hana Muhammad, S. Psi., M.A, Dosen Pembimbing dan Dosen
pembimbing akademik atas bimbingan serta masukan selama proses
penulisan skripsi ini dan selama penulis menempuh masa studi.
6. Seluruh Dosen dan Staf di Jurusan Psikologi yang telah berkenan untuk
berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada penulis.
v
7. Para bidan PTT dan pegawai Puskesmas di Kabupaten Pati atas bantuan dan
kesediaannya menjadi subjek dalam penelitian ini
8. Bapak, ibu, adek atas doa, kasih sayang, nasehat, dan motivasi yang diberikan
kepada penulis.
9. Yohanes Kristiawan atas doa, nasehat, dan motivasi yang diberikan kepada
penulis
10. Teman-teman Psikologi angkatan 2012 yang bersama-sama dengan penulis
menempuh studi dalam suka dan duka, serta atas doa dan dukungannya.
11. Teman-teman kost (Ayu, mbak Queen, mbak Meta, mbak Indah, Suci, Riza,
Shevi) atas bantuan, dukungan, dan nasehat yang telah diberikan kepada
penulis.
12. Serta pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi siapa saja yang
membacanya dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Penulis
vi
ABSTRAK
Paramita, Kirana Mutiara. 2016. Hubungan Antara Penilaian Distributive Justicedan Work Engagement pada Bidan PTT di Kabupaten Pati. Skripsi. Jurusan
Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Pembimbing
Amri Hana Muhammad, S. Psi., M. A.
Kata kunci : penilaian distributive justice, work engagement, bidan PTT.
Work engagement merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki
secara tinggi oleh individu. Work engagement adalah tingkat keterlibatan individu
terhadap pekerjaannya. Salah satu profesi yang membutuhkan engagement yang
tinggi adalah bidan PTT. Seorang bidan PTT idealnya haruslah engaged dengan
pekerjaannya, mengingat pentingnya peran seorang bidan PTT. Setelah dilakukan
studi pendahuluan terdapat indikasi yang berbeda, yaitu tidak idealnya
engagement yang dimiliki oleh bidan PTT. Bisa diduga bidan kurang merasakan
adanya keadilan dalam hasil kerja yang mereka peroleh. Salah satu kondisi yang
dapat menyebabkan individu engaged adalah penilaian distributive justice yang
diterima. Penilaian distributive justice adalah penilaian mengenai keadilan yang
dilakukan individu mengenai tugas pekerjaannya terkait dengan reward dan
punishment yang diterima dalam pekerjaannya. Individu yang memiliki persepsi
keadilan yang tinggi, lebih cenderung untuk bersikap adil juga dalam melakukan
pekerjaan mereka dengan memberikan lebih dari diri mereka sendiri melalui
tingkat engagement yang lebih besar. Penelitian ini bertujuan untuk 1)
mendapatkan gambaran penilaian distributive justice, 2) mendapatkan gambaran
work engagement, 3) menguji hubungan antara penilaian distributive justice dan
work engagement secara ilmiah.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasi. Populasi penelitian
ini adalah bidan PTT di Kabupaten Pati yang berjumlah 256 dengan sampel 150
bidan. Sampel diambil dengan menggunakan teknik cluster random sampling.
Pengumpulan data menggunakan dua buah Skala Psikologi, yaitu Skala Work Engagement (31 aitem, α = 0,894) dan Skala Penilaian Distributive Justice (28
aitem, α = 0,794).
Penilaian distributive justice yang dimiliki oleh bidan PTT berada dalam
kategori sedang dengan aspek yang berkontribusi paling besar adalah work load. Kondisi work engagement yang dimiliki bidan PTT berada dalam kategori tinggi
dengan dimensi yang memiliki kontribusi paling besar adalah dedication. Metode
analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik korelasi Product Moment dengan hasil koefisien korelasi sebesar (rxy) = 0,637 dengan p = 0,000 (p<0,05).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan peneliti, yaitu “ada
hubungan antara penilaian distributive justice dan work engagement pada bidan
PTT” diterima.
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
PERNYATAAN............................................................................................. ii
PENGESAHAN ............................................................................................. iii
MOTTO DAN PERUNTUKAN.................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv
BAB
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 13
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 13
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 14
1.4.1 Manfaat Teoritis .................................................................................... 14
1.4.2 Manfaat Praktis ..................................................................................... 14
2 LANDASAN TEORI
2.1 Work Engagement .................................................................................... 15
2.1.1 Pengertian Work Engagement ............................................................... 15
viii
2.1.2 Dimensi Work Engagement .................................................................. 17
2.1.3 Anteseden Work Engagement ............................................................... 19
2.1.4 Faktor-Faktor Work Engagement .......................................................... 21
2.2 Distributive Justive................................................................................... 23
2.2.1 Pengertian Penilaian Distributive Justice.............................................. 23
2.2.2 Pembagian Penilaian Distributive Justice ............................................. 25
2.2.3 Anteseden Penilaian Distributive Justice.............................................. 28
2.2.4 Pengukuran Penilaian Distributive Justice............................................ 31
2.2.5 Prinsip Dasar Penilaian Distributive Justice ......................................... 34
2.2.6 Prinsip Spesifik Penilaian Distributive Justice ..................................... 35
2.3 Hubungan Antara Penilaian Distributive Justice dengan Work EngagementPada Bidan PTT ....................................................................................... 40
2.4 Kerangka Berpikir.................................................................................... 44
2.5 Hipotesis................................................................................................... 45
3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Desain Penelitian...................................................................... 46
3.1.1 Jenis Penelitian...................................................................................... 46
3.1.2 Desain Penelitian................................................................................... 46
3.2 Identifikasi Variabel Penelitian................................................................ 46
3.2. 1 Variabel Terikat (Variabel Dependen)................................................. 47
3.2.2 Variabel Bebas (Variabel Independent) ................................................ 47
3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian................................................. 47
3.3.1 Work Engagement ................................................................................. 47
3.3.2 Penilaian Distributive Justice................................................................ 48
ix
3.4 Hubungan Antar Variabel Penelitian ....................................................... 48
3.5 Subjek Penelitian...................................................................................... 49
3.5.1 Populasi ................................................................................................. 49
3.5.2 Sampel................................................................................................... 49
3.5.3 Teknik Pengambilan Sampel................................................................. 50
3.6 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 51
3.6.1 Skala Work Engagement ....................................................................... 52
3.6.2 Skala Penilaian Distributive Justice...................................................... 53
3.6.3 Uji Kuantitatif ....................................................................................... 55
3.7 Validitas dan Reliabilitas ......................................................................... 59
3.7.1 Validitas ................................................................................................ 59
3.7.2 Reliabilitas ............................................................................................ 60
3.8 Teknik Analisis Data................................................................................ 62
3.8.1 Gambaran Work Engagement dan Penilaian Distributive Justice......... 62
3.8.2 Uji Asumsi ............................................................................................ 63
3.8.3 Uji Hipotesis ......................................................................................... 64
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Persiapan Penelitian ................................................................................. 65
4.1.1 Orientasi Kancah Penelitian.................................................................. 65
4.1.2 Penentuan Subjek Penelitian ................................................................. 66
4.2 Pelaksanaan Penelitian ............................................................................. 67
4.2.1 Pengumpulan Data Penelitian ............................................................... 67
4.2.2 Pemberian Skoring ................................................................................ 67
x
4.3 Analisis Deskriptif ................................................................................... 68
4.3.1 Gambaran Penilaian Distributive Justice Bidan PTT ........................... 68
4.3.2 Gambaran Work Engagement Bidan PTT............................................. 82
4.4 Hasil Penelitian ........................................................................................ 91
4.4.1 Hasil Uji Asumsi ................................................................................... 91
4.4.2 Hasil Uji Hipotesis ................................................................................ 93
4.5 Pembahasan.............................................................................................. 94
4.5.1 Pembahasan Analisis Statistik Deskriptif Penilaian DistributiveJustice dan Work Engagement Bidan PTT............................................ 94
4.5.2 Pembahsan Analisis Statistik Inferensial Penilaian DistributiveJustice dan Work Engagement Bidan PTT............................................ 100
4.6 Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 102
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan .................................................................................................. 104
5.2 Saran......................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 106
LAMPIRAN................................................................................................... 110
xi
DAFTAR TABEL
Tabel: Halaman
1.1 Jumlah AKI dan AKB di Kabupaten Pati .................................................. 2
1.2 Hasil studi pendahuluan ............................................................................. 7
3.1 Data sampel Puskesmas ............................................................................. 50
3.2 Rentang skor skala ..................................................................................... 52
3.3 Blue print skala work engagement ............................................................. 53
3.4 Blue print skala penilaian distributive justice ............................................ 54
3.5 Ringkasan hasil uji kuantitatif skala work engagement ............................. 55
3.6 Sebaran aitem work engagement yang memiliki daya beda baik .............. 56
3.7 Ringkasan hasil uji kuantitatif skala penilaian distributive justice ............ 57
3.8 Sebaran aitem penilaian distributive justice yang memiliki validitas baik. 58
3.9 Interpretasi reliabilitas................................................................................ 61
3.10 Penggolongan kategorisasi analisis berdasarkan mean teoritis................ 62
3.11 Pedoman untuk memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi..... 64
4.1 Statistik deskriptif penilaian distributive justice ........................................ 69
4.2 Gambaran umum penilaian distributive justice.......................................... 70
4.3 Statistik deskriptif penilaian distributive justice berdasarkan workoutcomes..................................................................................................... 71
4.4 Penilaian distributive justice berdasarkan work outcomes ......................... 72
4.5 Statistik deskriptif penilaian distributive justice berdasarkan including pay level ............................................................................................................ 73
4.6 Penilaian distributive justice berdasarkan including pay level .................. 74
4.7 Statistik deskriptif penilaian distributive justice berdasarkan work load... 75
xii
4.8 Penilaian distributive justice berdasarkan work load.................................
4.9 Statistik deskriptif penilaian ditributive justice berdasarkan work
76
schedule...................................................................................................... 77
4.10 Penilaian distributive justice berdasarkan work schedule ........................ 78
4.11 Statistik deskriptif penilaian distributive justice berdasarkan jobresponsibilities ......................................................................................... 79
4.12 Penilaian distributive justice berdasarkan job responsibilities ................ 80
4.13 Ringkasan deskriptif spesifik penilaian distributive justice bidan PTT... 81
4.14 Perbandingan mean empiris tiap dimensi penilaian distributive justice .. 82
4.15 Statistik deskriptif work engagement ....................................................... 83
4.16 Gambaran umum work engagement ........................................................ 84
4.17 Statistik deskriptif work engagement berdasarkan vigor ......................... 85
4.18 Gambaran spesifik work engagement berdasarkan vigor......................... 87
4.19 Statistik deskriptif work engagement berdasarkan dedication................. 86
4.20 Gambaran spesifik work engagement berdasarkan dedication ................ 87
4.21 Statistik deskriptif work engagement berdasarkan absorption ................ 88
4.22 Gambaran spesifik work engagement berdasarkan absorption................ 89
4.23 Ringkasan deskriptif gambaran spesifik work engagement bidan PTT... 90
4.24 Perbandingan mean empiris tiap dimensi work engagement ................... 91
4.25 Hasil uji normalitas .................................................................................. 92
4.26 Hasil uji linieritas ..................................................................................... 93
4.27 Hasil uji hipotesis..................................................................................... 94
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar: Halaman
1.1 Proporsi penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi di Indonesia ... 3
2.1 Kerangka berfikir hubungan penilaian distributive justice dengan work engagement ................................................................................................ 44
3.1 Hubungan Antar Variabel .......................................................................... 49
4.1 Gambaran umum penilaian distributive justice.......................................... 70
4.2 Diagram gambaran spesifik penilaian distributive justice berdasarkan work outcomes..................................................................................................... 72
4.3 Diagram gambaran spesifik penilaian distributive justice berdasarkan
including pay level ..................................................................................... 74
4.4 Diagram gambaran spesifik penilaian distributive justice berdasarkan work load............................................................................................................. 76
4.5 Diagram gambaran spesifik penilaian distributive justice berdasarkan workSchedule ..................................................................................................... 78
4.6 Diagram gambaran penilaian spesifik distributive justice berdasarkan job responsibilites ............................................................................................ 81
4.7 Diagram gambaran spesifik penilaian distributive justice ......................... 81
4.8 Diagram perbandingan mean empiris tiap dimensi penilaian distributivejustice ........................................................................................................ 82
4.9 Diagram gambaran umum work engagement ............................................ 84
4.10 Diagram gambaran spesifik work engagement berdasarkan vigor .......... 86
4.11 Diagram gambaran spesifik work engagement berdasarkan dedication .. 88
4.12 Diagram gambaran spesifik work engagement berdasarkan absorption.. 89
4.13 Diagram gambaran spesifik work engagement ........................................ 90
4.14 Diagram gambaran mean empiris tiap dimensi work engagement .......... 91
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Study pendahuluan.................................................................................. 110
2. Tabulasi study pendahuluan ................................................................... 112
3. Skala penelitian ...................................................................................... 114
4. Tabulasi skala penelitian ........................................................................ 123
5. Validitas penelitian................................................................................. 153
6. Uji reliabilitas penelitian ........................................................................ 167
7. Uji normalitas skala penelitian ............................................................... 169
8. Uji linieritas skala penelitian .................................................................. 171
9. Uji hipotesis............................................................................................ 173
xv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi belakangan ini, banyak masalah yang timbul dalam
masyarakat. Dua hal besar adalah pendidikan dan kesehatan. Tanpa
mengesampingkan bidang pendidikan, kesehatan menjadi salah satu tolak ukur
dalam kesejahteraan masyarakat suatu negara. Setelah sekian lama upaya-upaya
pembangunan kesehatan dilakukan di Indonesia, ternyata hasilnya belum seperti
yang diharapkan. Permasalahan kesehatan yang belum terpecahkan antara lain
angka kematian ibu dan bayi serta peningkatan kesehatan ibu.
Latar belakang tersebut menjadi salah satu alasan untuk PBB membentuk
Millenium Development Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium
pada bulan September 2000. Deklarasi ini dihadiri oleh 198 negara, salah satunya
adalah Indonesia. Menurut Kemenkes RI (2004) MDGs dibentuk untuk
menegaskan kepedulian utama secara global terhadap kesejahteraan masyarakat
dunia, meliputi pengurangan kemiskinan, pencapaian pendidikan dasar,
kesetaraan gender, menurunkan angka kematian anak, meningkatan kesehatan ibu,
pengurangan prevalensi penyakit menular, pelestarian lingkungan hidup, dan
kerjasama global. Berdasarkan kedelapan indikator, indikator yang sesuai dengan
kesehatan ibu dan anak adalah menurunkan angka kematian anak dan
meningkatkan kesehatan ibu. Selain itu angka kesehatan ibu (AKI) dan Angka
1
2
Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator yang peka dalam
menggambarkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara.
Berdasarkan Kemenkes RI (2014) Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2012, dalam Kementrian Kesehatan RI tahun 2014 disebutkan
bahwa pada tahun 2012 angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi sebesar 359
per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini sedikit menurun jika dibandingkan dengan
SDKI tahun 1991, yaitu sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Selain sebagai
indikator penggambaran kesejahteraan masyarakat, Angka Kematian Ibu (AKI)
dan Angka Kematian Bayi (AKB) juga merupakan indikator kesuksesan tenaga
kesehatan dalam melaksanakan tugasnya. Berikut data AKI dan AKB lima tahun
terakhir yang diperoleh penulis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pati:
Tabel 1.1
Jumlah AKI dan AKB di Kabupaten PatiTahun AKB AKI
2011 380 23
2012 462 22
2013 377 31
2014 523 17
2015 272 21
Tabel di atas menunjukkan data AKB dan AKI di Kabupaten Pati yang
terlapor pada Dinas Kesehatan, dengan asumsi sudah sesuai berdasarkan masing-
masing konstanta. Target MDGs untuk AKB yaitu 32 per 1.000 kelahiran hidup,
sedangkan untuk AKI yaitu 102 per 100.000 kelahiran hidup (Kompas, 2013:
n.d.). Apabila dibandingkan kesesuaian pencapaian target jumlah AKI dan AKB
di Kabupaten Pati berdasarkan target yang telah ditetapkan, maka Angka
Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Pati sudah memenuhi target MDGs, sedangkan
Angka Kematian Bayi (AKB) masih jauh dari target yang ditetapkan.
3
Salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan AKI dan AKB adalah
dengan meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di
fasilitas kesehatan. Berdasarkan Rieskesdas, 2013 (dalam Kemenkes RI, 2014)
diketahui data proporsi persalinan dengan kualifikasi tertinggi disajikan dalam
diagram berikut.
Gambar 1.1 Proporsi Penolong Persalinan dengan Kualifikasi Tertinggi di
Indonesia
Berdasarkan data di atas diperoleh bahwa 68,6% penolong persalinan adalah
seorang bidan, dapat diketahui jika bidan menempati posisi yang penting dalam
proses persalinan. Dimana posisi ini merupakan posisi strategis menyangkut
nyawa manusia. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1464/MENKES/PER/X/2010 Pasal 1, “Bidan adalah seorang perempuan yang
lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Bidan dikelompokkan menjadi 4, yaitu PNS, PTT
(Pegawai Tidak Tetap), honorer, dan magang. Bidan PNS adalah seorang bidan
yang sudah diangkat menjadi pegawai negeri oleh pemerintah serta mendapatkan
surat pengangkatan dari pemerintah. Bidan honorer adalah bidan yang dalam
4
melakukan tugasnya tidak diangkat oleh pemerintah melainkan oleh puskesmas
dan menjadi tanggungan dari puskesmas. Bidan magang adalah bidan yang
sebelum melakukan tugasnya turun ke masyarakat untuk menerima pelatihan
terlebih dahulu.
Permenkes Nomor 7 tahun 2013 Pasal 8 ayat 1 menyebutkan bahwa
pengangkatan dan penempatan bidan sebagai bidan PTT hanya dapat dilakukan
untuk menempatkan seorang bidan sebagai bidan di desa. Dalam penempatannya
terdapat beberapa kriteria sebagai tempat praktek bidan desa. Kriteria ini menjadi
patokan dalam pengelompokan lokasi praktek bidan, kriteria tersebut adalah desa
biasa, desa terpencil, atau desa sangat terpencil. Pada pasal 8 ayat 2 dan 3
dijelaskan bahwa penetapan desa dengan kriteria biasa, terpencil, atau sangat
terpencil ditentukan oleh gubernur atau bupati/walikota dan berdasarkan kriteria
fasilitas pelayanan kesehatan yang berada di desa tersebut sesuai ketentuan
perundang-undangan. Berdasarkan paparan di atas bisa dikatakan bahwa bidan
PTT juga bisa disebut sebagai bidan desa, tetapi terdapat beberapa bidan desa
yang bukan bidan PTT.
Bidan PTT memiliki tugas dan peran 1) pelayanan kesehatan ibu dan anak,
khususnya dalam menurunkan angka kematian ibu, bayi dan anak balita serta
meningkatkan berperilaku hidup sehat di masyarakat; 2) pelayanan kesehatan 24
jam; 3) melaksanakan penyuluhan kesehatan; 4) melaksanakan kegiatan
Posyandu; 5) membantu kegiatan senam ibu hamil; 6) melaksanakan asuhan
kebidanan kepada ibu hamil (antenatal care); 7) melakukan asuhan persalinan
5
fisiologis kepada ibu bersalin (postnatal care); 8) menyelenggarakan pelayanan
terhadap bayi baru lahir (kunjungan neonatal care).
Telah disebutkan sebelumnya bahwa bidan PTT memiliki tugas yang tidaklah
ringan. Bidan dituntut untuk memberi bantuan secara total, baik secara fisik
maupun emosional. Selain itu, bidan dituntut untuk memiliki empati dan
memberikan motivasi serta masukan kepada pasien karena tidak sedikit seorang
ibu yang memasuki masa persalinan mengalami kecemasan dan ketakutan.
Melihat kondisi yang ada di lapangan, wajar saja jika seorang bidan dituntut untuk
engaged terhadap pekerjaannya. Salah satu kondisi psikologis yang melekat pada
individu tergambar dalam bahasan work engagement. “Work engagement
diartikan sebagai hal positif, memenuhi dan dalam bekerja memiliki karakteristik
yang ditandai dengan adanya vigor, dedication dan absorption” (Schaufeli &
Bakker, 2004: 295).
Work engagement mengacu kepada gambaran keterlibatan individu dengan
pekerjaannya sendiri. Individu yang engaged terhadap pekerjaannya akan
menjalani pekerjaan dengan sepenuh hati, menikmati setiap proses dengan
perasaan yang bahagia. Sehingga ketika hasil yang didapatkannya baik, hal
tersebut dikarenakan prosesnya yang baik.
Khan (1990: 700) memberikan penjelasan mengenai engagement sebagai
wujud ekspresi kerja individu secara fisik, kognitif, dan emosional dalam
mewujudkan kinerja. Keterikatan individu secara fisik, kognitif, dan emosional,
ditunjukkan melalui keterlibatan individu dalam tugas-tugas, dimilikinya
perhatian yang lebih pada tugas dan perannya di dalam pekerjaan, serta
6
kemampuan membangun hubungan, berempati dan memberi perhatian terhadap
rekan kerjanya.
Work engagement yang melekat pada individu menjadi dasar bagi individu
untuk memiliki kesadaran dalam kontak dengan rekan keja dalam rangka
meningkatkan kinerja. Banyak organisasi meyakini bahwa work engagement
merupakan sumber dominan bagi keunggulan daya saing (competitive advantage).
“Berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan banyak organisasi menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang kuat antara work engagement, kinerja pegawai dan
hasil-hasil bisnis” (Margaretha & Santosa, 2012: 104).
Work engagement dibutuhkan oleh seorang bidan, karena dalam
melaksanakan tugasnya dibutuhkan vigor, dedication, dan absorption; seperti
pengertian work engagement yang telah diutarakan oleh Schaufeli dan Bakker
(2004: 295). Apabila work engagement yang dimiliki seorang bidan rendah, hal
ini akan berimbas pada kinerjanya yaitu kualitas pelayanan kepada pasien, yang
bisa membahayakan bagi ibu dan anak.
Peneliti melakukan studi pendahuluan terhadap bidan PTT dengan
menyebarkan skala sederhana kepada pegawai Puskesmas yang sering
berkoordinasi dengan bidan PTT, dengan subjek yang berjumlah 21 individu,
pada 7 Desember 2015 yang bertujuan mengungkap gambaran kasar work
engagement bidan PTT. Berikut adalah hasil dari studi pendahuluan yang telah
peneliti lakukan.
7
Tabel 1.2
Hasil Studi Pendahuluan
No PernyataanJumlah Jawaban
Ya Tidak
1 Sebagian besar bidan PTT kurang menjiwaipelaksaan tugasnya.
11(10,48%)
10(9,52%)
2 Sebagian besar bidan PTT sibuk menuntut hak-haknya saja.
12(11,43%)
9(8,57%)
3 Sedikit bidan PTT yang bertanggungjawabterhadap pekerjaannya.
9(8,57%)
12(11,43%)
4 Sedikit bidan PTT yang tempak menikmatipelaksanaan tugas/pekerjaannya sehari-hari.
14(13,33%)
7(6,67%)
5 Sebagian besar bidan PTT belum menunjukkanperilaku keseharian yang sesuai dengan kode etik.
17(16,19%)
4(3,81%)
Total 63 (60%) 42 (40%)
Berdasarkan hasil dari studi pendahuluan yang telah dilakukan, didapati hasil
bahwa kondisi engaged yang ada di lapangan masih belum ideal. Walaupun pada
item terkait dengan tanggung jawab bidan, sudah banyak bidan yang
bertanggungjawab terhadap pekerjaannya, tidak dapat menunjukkan bahwa work
engagement yang dimiliki bidan adalah baik. Hal ini dikarenakan, pada item-item
yang lain hanya sedikit bidan yang tidak sesuai dengan pernyataan yang diajukan
oleh peneliti. Ditambah lagi dengan pernyataan item kelima terkait dengan kode
etik bidan yang ternyata banyak dari para bidan yang belum menunjukkan
perilaku keseharian sesuai dengan kode etik bidan. Padahal di dalam kode etik
bidan pastilah terdapat tanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaannya.
Selain menyebarkan skala sederhana, peneliti juga melakukan wawancara
dengan salah satu pegawai puskesmas, berinisial N dengan usia 52 tahun, pada 18
November 2015. Beliau merupakan salah satu pegawai puskesmas yang sering
8
berkoordinasi dan berhubungan secara langsung dengan para bidan. Beliau
berkata :
“Dari berbagai bidan yang ada, bidan PTT yang paling berat mbak. Bidan PTT yang mengangkat pemerintah, tapi untuk gaji diserahkan ke APBD Kabupaten.”
Permasalahan kondisi engaged yang belum ideal pada bidan terbukti ketika
penulis melakukan wawancara secara tidak terstruktur kepada salah satu pegawai
puskesmas.
“Ada beberapa bidan yang tidak membuka praktek pada pagi hari, tetapi membuka praktek pada sore hari. Padahal, bidan diwajibkan untuk bukapraktek pagi hari.” Kata salah satu pegawai puskesmas berinisial N.
Praktek pagi hari yang dilakukan oleh bidan merupakan program pemerintah,
sedangkan praktek sore hari merupakan praktek mandiri bidan tersebut. Program
pemerintah disini yang dimaksud adalah program yang sudah dicanangkan oleh
pemerintah dan bidan wajib untuk melaksanakan program tersebut. Praktek
mandiri bidan disini bidan membuka praktek sendiri di luar program pemerintah.
Ternyata, masalah yang timbul bukan hanya terjadi di intern tempat mereka
bekerja saja dan praktek yang dilakukan. Masalah lain yang muncul adalah
mengenai rujukan dan domisili bidan.
“Ada bidan yang tidak berdomisili di daerah yang menjadi tempat tugasnya. Padahal, itu kan salah satu kewajiban bidan. Coba saja kalo tiba-tiba ada pasien dengan kondisi yang darurat membutuhkan pertolongan bidan, pastiakan menyusahkan pasien untuk mencari pertolongan dan bisa membahayakan kondisi pasien juga. Pada akhirnya nanti akan merugikan bidan karena profesionalitasnya dipertanyakan. Kemarin ada kasus di desa X mbak, bidannya tidak memberi rujukan ke rumah sakit, padahal pasien tidak memungkinkan untuk melahirkan di bidan yang pada akhirnya bayinyameninggal. Kemudian bidan tersebut mendapatkan sanksi pencabutan SK bidan PTT dan diharuskan melakukan magang kembali di rumah sakitselama 2 bulan dengan biaya pribadi.” Kata salah satu pegawai puskesmas
berinisial N.
9
Berdasarkan gejala-gejala dan permasalahan yang ada bisa diduga, kondisi
engaged yang dimiliki oleh bidan belum ideal dengan apa yang diharapkan.
Namun, semua permasalahan di atas dapat dimungkinkan muncul karena
beban yang diterima oleh bidan tidaklah ringan. Petugas N mengatakan :
“Bidan PTT kerjanya itu kontrak selama 3 tahun, ketika sudah habis masa kontraknya, nanti diperpanjang lagi 3 tahun sampai 3x peridoe dan belum tentu nanti akan jadi bidan PNS. Kalo mau jadi bidan PNS ya harus ikut tesCPNS dulu. Padahal tugasnya tidaklah ringan, mereka ditempatkan di desa yang terkadang desa tersebut terpencil, melakukan pemeriksaan kehamilan, posyandu, imunisasi, kadang juga masih ada tugas tambahan lain.”
Jika berbicara mengenai pekerjaan pasti hal ini akan bersangkutan dengan
penghasilan yang diperoleh dan ternyata banyaknya beban tugas yang diterima
oleh bidan dirasa tidak sesuai dengan gaji yang didapat. Gaji yang diterima oleh
bidan PTT dibebankan kepada APBD Kabupaten/Kota yang beracuan pada
Permenkes Nomor 7 tahun 2013 pasal 32 ayat 2.
“Gaji yang diterima bidan PTT per bulan hanya Rp. 1.450.000,- kok mbak. Gaji itu belum termasuk potongan-potongan. Cuma gaji kotornya saja. Yabisa dibayangkan kira-kira per bulan dapatnya berapa kalo masih ada potongan PPH dan sebagainya. Jadi, ya wajar kalo banyak yang merasa gak sebanding sama beban kerjanya. Ditambah lagi diwajibkan punya rumah didesa prakteknya. Kalo misal bidannya gak menyanggupi ya berarti dioper kebidan lain yang mau dan bersedia.” Kata salah satu pegawai puskesmas
berinisial N.
Terkait dengan masalah bidan yang jarang membuka praktek pada pagi hari,
tetapi membuka praktek mandiri di sore hari. Pegawai N berkata :
“Tidak bukanya praktek pagi hari dimungkinkan karena income yang diterima oleh bidan lebih banyak jika membuka praktek pada sore hari. Padahal jika bidan terlalu sering tidak membuka praktek pagi hari, bidan tersebut bisa ditindak disipliner oleh puskesmas.”
10
Gaji atau pendapatan yang diterima oleh bidan PTT yang dirasa tidak sesuai
merupakan masalah yang cukup serius. Dari hasil wawancara tersebut bisa ditarik
sebuah hipotesa, jika income mereka tidak sesuai maka mereka akan melakukan
cara lain (membuka praktek sore) untuk menambah penghasilan mereka. Selain
permasalahan di atas perubahan aturan dari askes ke BPJS dirasa semakin berat
sehingga individu membutuhkan waktu untuk menyesuaikan kondisi tersebut.
Secara nyata dengan adanya perubahan ini, akan muncul dua kondisi yaitu
tantangan untuk berprestasi atau beban bagi para bidan.
Sama halnya dengan para tenaga medis lainnya, bagi bidan PTT aturan BPJS
administrasinya dirasa sangat rumit dan para bidan PTT tidak diperbolehkan
untuk membuka praktik secara mandiri. Apabila bidan ingin membuka praktek
harus berada di dalam naungan klinik BPJS yang dikepalai oleh dokter umum atau
dokter gigi. Selain itu mereka juga harus ikut mendampingi pasien sampai di
Puskesmas atau rumah sakit apabila dibutuhkan penanganan yang lebih lanjut.
Hal tersebut sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan nomor 71 tahun
2013 Pasal 2 yaitu “penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas
Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa Fasilitas Kesehatan
tingkat pertama dan Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan.” Fasilitas
kesehatan tingkat pertama yang melakukan kerjasama dengan BPJS yang
dimaksud adalah Puskesmas atau yang setara, sedangkan bidan PTT tidak setara
dengan Puskesmas sehingga bidan PTT tidak dapat bekerja sama dengan BPJS
dan melakukan praktek sendiri tanpa bekerjasama dengan Puskesmas.
11
Keluhan yang dirasakan bidan ketika berpraktik di lapangan dengan
berjalannya program JKN tersebut. Salah satu yang menjadi sorotan adalah
adanya kebijakan agar bidan bekerja sama dengan klinik umum yang sudah
ditentukan oleh dinas kesehatan. “Yang menjadi masalah, bidan hanya
mendapatkan biaya persalinan Rp 400 ribu sedangkan yang Rp 200 ribu
diperuntukkan untuk klinik,” tutur Suhartini (Sita, 2014: n.d.). Berbeda lagi
dengan sumber yang lain, menurut Hariyanto (Ketua Presidium K3D Kebumen)
idealnya bidan dijadikan sebagai fasilitas pelayanan tingkat pertama khusus pada
pelayanan persalinan. Serta status bidan yang lebih jelas akan hak dan
kewajibannya. Sehingga, klaim persalinan dapat di terima langsung oleh bidan
tanpa proses yang panjang yang mungkin saja dapat mempengaruhi kualitas
pelayanan persalinan (www.asik-medialink.org).
Permasalahan lain muncul di Sumatera Barat, bidan PTT di Sumbar terancam
kehilangan pekerjaannya dan banyak dari mereka memperjuangkan nasibnya agar
ada kejelasan. Hal ini dikarenakan, disana bidan PTT dipekerjakan selama tiga
periode atau sembilan tahun. Namun, setelah itu tidak ada kejelasan bagaimana
status bidan PTT. Gaji yang didapat oleh seorang bidan PTT juga jauh di bawah
UMR, padahal bidan PTT telah mengabdi sembilan tahun di daerah terpelosok
dengan peralatan yang minim, sehingga satu bidan bisa bertanggungjawab untuk
dua sampai tiga tempat (Wulandari, 2015; n.d.).
Berdasarkan permasalahan di atas, para bidan merasa bila antara beban kerja
yang diterima dengan gaji dan penghargaan yang didapatkan tidaklah seimbang.
Hal ini dikhawatirkan menjadi salah satu penyebab terjadinya pelanggaran-
12
pelanggaran yang ada di lapangan dan kurang optimalnya para bidan dalam
melaksanakan tugasnya.
Persepsi individu dalam menilai hasil yang didapatkannya dengan beban
kerja yang diterimanya merupakan salah satu cerminan dari penilaian distributive
justice. Distributive justice adalah tingkatan penghargaan dan hukuman yang
berhubungan dengan kinerja (Price dan Mueller, 1986; dalam Mitchell et al.,
2012: 731).
Maslach et al, 2001 (dalam Saks, 2006: 606) “persepsi yang baik mengenai
keadilan merupakan salah satu kondisi yang bisa meningkatkan work
engagement”. “Penilaian Individu yang berkaitan dengan kewajaran hasil atau
rasa keadilan yang individu terima disebut dengan istilah distributive justice, atau
dengan kata lain distributive justice mengacu pada kewajaran yang diterima”
(Greenberg, 1990: 400). “Distributive justice didiskripsikan sebagai sumber
keadilan individu atau hasil orientasi” (Corpanzano & Ambross, 2001; dalam Alvi
& Abbasi, 2012: 643). “Individu akan merasa puas ketika menerima imbalan yang
dinilai sebanding dengan pekerjaan yang sudah dilakukannya” (Rudman, 2004:
130).
Rendahnya penilaian distributive justice yang dimiliki oleh individu
memberikan efek yang berbanding terbalik dengan penilaian distributive justice
yang tinggi. Individu yang memiliki penilaian distributive justice rendah, akan
cenderung melihat dari hasil (penghargaan) yang akan didapat atau telah didapat.
Sedangkan individu yang memiliki persepsi penilaian distributive justice yang
tinggi, lebeih cenderung untuk bersikap adil dalam melakukan pekerjaan mereka
13
dengan memberikan lebih dari diri mereka sendiri melalui tingkat engagement
yang lebih besar. Hal inilah yang kemudian menarik hubungan antara distributive
justice dan work engagement.
Bisa diduga bidan kurang merasakan adanya penilaian distributive justice
yang mereka terima, hal tersebut bisa mempengaruhi work engagement bidan
yang akan berdampak kepada kinerjanya yaitu pelayanan terhadap pasien, yang
bisa membahayakan ibu dan anak. Tinggi rendahnya work engagement yang
dimiliki bidan dapat berhubungan terhadap apa yang bidan terima.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan saran terbaik bagi
instansi terkait, yaitu puskesmas untuk memberikan penanganan bagi
permasalahan yang terjadi pada bidan PTT. Penanganan yang efektif mampu
menyelesaikan permasalahan dan meningkatkan kinerja bidan, sehingga
pelayanan yang diberikan kepada pasien maksimal karena bidan sudah engaged
terhadap pekerjaannya.
1.1 Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran penilaian distributive justice bidan PTT?
2. Bagaimana gambaran work engagement bidan PTT?
3. Apakah ada hubungan antara penilaian distributive justice dengan work
engagement bidan PTT?
1.2 Tujuan
1. Mengetahui gambaran penilaian distributive justice bidan PTT.
2. Mengetahui gambaran work engagement bidan PTT.
14
3. Menguji hubungan antara penilaian distributive justice dengan work
engagement bidan PTT.
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis, seperti:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan ilmu
pengetahuan psikologi, khususnya pada bidang psikologi industri dan organisasi.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Diharapkan dapat memberikan masukan kepada dinas kesehatan, terkait
persoalan bidan PTT agar lebih memperhatikan kesejahteraan bidan PTT.
b. Diharapkan dapat meningkatkan minat para peneliti lain untuk melakukan
penelitian lebih lanjut dan mendalam, atau melakukan penelitian baru yang
berhubungan dengan distributive justice dan work engagement.
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Work Engagement
2.1.1 Pengertian Work Engagement
Sari (2013: 16) berpendapat bahwa penggunaan istilah engagement yang
dikemukakan oleh berbagai peneliti masih berbeda-beda, ada yang menyebut
dengan istilah employee engagement seperti Saks (2006) dan istilah work
engagement, seperti Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, dan Bakker (2002).
Murnianita (2012: 11) menyatakan bahwa istilah employee engagement
dengan work engagement seringkali digunakan bergantian, tetapi work
engagement dianggap lebih spesifik. Work engagement mengacu pada hubungan
antara karyawan dengan pekerjaannya, sedangkan employee engagement terkait
hubungan antara karyawan dengan organisasi.
Maslach dan Leiter, 1997 (dalam Schaufeli, dkk, 2002: 73) mendefinisikan
work engagement ditandai dengan adanya energi, keterlibatan, dan kemandirian
individu dengan pekerjaannya dan individu mampu memenuhi setiap tuntutan
pekerjaannya. Menurut Brown, 2002 (dalam Robbins, 2006: 113) work
engagement adalah saat individu dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis
dengan pekerjaannya dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain
untuk organisasi.
Wellins dan Concelman, 2004 (dalam Kumar & Swetha, 2011: 232) work
engagement adalah kekuatan ilusif yang memotivasi individu meningkatkan
15
16
kinerja pada level yang lebih tinggi. Menurut Wellins dan Concelman, work
engagement menekankan kepada kekuatan yang dapat memotivasi diri.
Federmen (2009: 22) work engagement adalah derajat dimana seindividu
individu mampu berkomitmen pada suatu organisasi dan komitmen tersebut
ditentukan pada bagaimana individu bekerja dan lama masa bekerja. Selain itu,
work engagement menurut Lockwood (2007: 2) adalah tingkat individu dalam
melakukan sesuatu dalam pekerjaan individu, seberapa keras individu bekerja dan
seberapa lama individu mampu bertahan atas komitmen yang telah dibuat.
Swetha dan Kumar (2012: 60) menyatakan bahwa work engagement sebagai
suatu tingkat komitmen seorang individu terhadap pekerjaannya dan juga
seberapa keras ia berusaha dan seberapa lama mereka mampu bertahan sebagai
bukti dari komitmen yang mereka miliki. Menurut Swetha dan Kumar, individu
dengan work engagement yang tinggi memiliki komitmen dan mampu bertahan
terhadap pekerjaannya.
Berdasarkan pendapat Marciano (2010: 57), work engagement is a heightened
emotional and intellectual connection that an employee has for his/her job,
organization, manager, or coworkers that, in turn, influences him/ her to apply
additional discretionary effort to his/her work. Menurut Marciano, work
engagement adalah tingginya hubungan emosional dan intelektual yang dimiliki
oleh pekerja terhadap pekerjaannya, organisasi, managerm atau rekan kerja yang
secara timbul balik mempengaruhinya untuk menerapkan usaha-usaha dalam
pekerjaannya.
17
Dari berbagai pendapat tokoh di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa work
engagement adalah tingkat keterlibatan individu terhadap pekerjaannya.
2.1.2 Dimensi Work Engagement
Schaufeli dan Bakker (2003: 5-6) menjelaskan aspek mengenai dimensi yang
terdapat pada work engagement, sebagai berikut :
a. Vigor (kekuatan)
Vigor mengacu pada level energi yang tinggi dan resiliensi, kemauan untuk
berusaha, tidak mudah lelah dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Biasanya
individu yang memiliki skor vigor yang tinggi memiliki energi, gelora semangat,
dan stamina yang tinggi ketika bekerja, sementara yang memiliki skor yang
rendah pada vigor memiliki energi, semangat dan stamina yang rendah selama
bekerja.
b. Dedication (dedikasi)
Dedication mengacu pada perasaan penuh makna, antusias dan bangga dalam
pekerjaan, dan merasa terinspirasi dan tertantang olehnya. Individu yang memiliki
skor dedication yang tinggi secara kuat mengidentifikasi pekerjaannya karena
menjadikannya pengalaman berharga, menginspirasi dan menantang. Disamping
itu, individu biasanya merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaannya.
Sedangkan skor rendah pada dedication berarti tidak mengidentifikasi diri dengan
pekerjaan karena individu tidak memiliki pengalaman bermakna, menginspirasi
atau menantang, terlebih lagi individu merasa tidak antusias dan bangga terhadap
pekerjaannya.
18
c. Absorption (absorpsi)
Absorption mengacu pada berkonsentrasi secara penuh dan mendalam,
tenggelam dalam pekerjaan dimana waktu berlalu terasa cepat dan kesulitan
memisahkan diri dari pekerjaan, sehingga melupakan segala sesuatu disekitarnya.
Individu yang memiliki skor tinggi pada absorption biasanya merasa senang
perhatiannya tersita oleh pekerjaan, merasa tenggelam dalam pekerjaan dan
memiliki kesulitan untuk memisahkan diri dari pekerjaan. Akibatnya, apapun
disekelilingnya terlupakan dan waktu terasa berlalu cepat. Sebaliknya individu
dengan skor absorption yang rendah tidak merasa tertarik dan tidak tenggelam
dalam pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk berpisah dari pekerjaan dan tidak
lupa segala sesuatu disekeliling individu, termasuk waktu.
Menurut Lockwood (2007: 8), work engagement mempunyai tiga dimensi
yang merupakan perilaku utama, yaitu:
a. Membicarakan hal-hal positif mengenai organisasi pada rekannya dan
mereferensikan organisasi tersebut pada individu dan pelanggan potensial.
b. Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi tersebut,
meskipun terdapat kesempatan untuk bekerja di tempat lain.
c. Memberikan upaya dan menunjukkan perilaku yang keras untuk berkontribusi
dalam kesuksesan bisnis perusahaan.
Dimensi work engagement dari Schaufeli dan Bakker (2003: 5-6), yaitu vigor,
dedication, dan absorption dipilih sebagai dasar pembuatan alat ukur penelitian
ini karena mencerminkan secara tepat keperilakuan yang akan muncul terkait
19
engaged yang dimiliki oleh individu. Sehingga diharapkan instrumen penelitian
ini dapat mengukur secara tepat dan relevan.
2.1.3 Anteseden Work Engagement
Saks (2006: 604-607) menyebutkan bahwa terdapat beberapa antecedents
yang mempengaruhi work engagement, yaitu :
a. Job Characteristic
Kahn, 1990 (dalam Saks, 2006: 604) mengungkapkan bahwa kebermaknaan
psikologis dapat dicapai dari karakteristik tugas yang menyediakan pekerjaan
menantang, bervariasi, membutuhkan berbagai keterampilan, kebebasan
mengambil keputusan sendiri dan kesempatan untuk membuat suatu kontribusi
yang penting. Hal ini sesuai dengan karakteristik pekerjaan dari Hackman dan
Oldham, 1980 (dalam Saks, 2006: 604), yaitu skill variety, task identity, task
significance, autonomy, dan feedback. Menurut Kahn, 1990 (dalam Saks, 2006:
604) “individu akan lebih engaged apabila disediakan pekerjaan yang memiliki
kelima karakteristik tersebut”.
b. Perceived Organizational dan Supervisor Support
Variabel yang penting dalam dukungan sosial adalah persepsi terhadap
dukungan organisasi (POS) dan persepsi terhadap dukungan supervisor (PSS).
POS mengacu pada keyakinan umum bahwa organisasi menghargai kontribusi
individu dan peduli akan kesejahteraan individu. Dasar dari penelitian dukungan
organisasi adalah social exchange theory (SET). SET merupakan norma timbal
balik antara individu dengan perusahaan, dimana ketika individu menerima
sumber-sumber yang penting dari organisasi, maka individu akan merasa
20
berkewajiban untuk membayar ataupun meresponnya dengan kinerjanya terhadap
organisasi. POS menciptakan sebuah kewajiban individu untuk peduli terhadap
kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi mencapai tujuannya sebagai
balasannya organisasi akan menghargai kontribusi individu dan peduli terhadap
kesejahteraan individu. POS dapat membawa pada hasil yang postitif yaitu
melalui engagement. Dengan kata lain, “individu yang memiliki POS yang tinggi,
menjadi lebih engaged terhadap pekerjaan dan organisasi individu sebagai bagian
dari norma timbal balik dari SET sehingga membantu organisasi untuk mencapai
tujuannya” (Rhoades et al, 2001; dalam Saks, 2006: 605).
c. Reward and Recognition
Kahn, 1990 (dalam Saks, 2006: 604) mengungkapkan bahwa engagement
yang dimiliki individu berbeda-beda sesuai dengan bagaimana individu tersebut
mempersepsikan keuntungan yang diterima dari tugasnya. Oleh karena itu,
individu akan lebih mungkin untuk engaged dalam pekerjaan sesuai dengan
bagaimana individu tersebut mempersepsikan jumlah yang lebih besar dari
rewards dan rekognisi terhadap kinerja individu.
d. Distributive Justice-Procedural Justice
Distributive justice berkaitan dengan persepsi individu tentang kewajaran
hasil keputusan sedangkan procedural justice merupakan persepsi keadilan
terhadap proses yang digunakan dalam menentukan dan mendistribusikan sumber
daya yang ada. “Ketika individu memiliki persepsi yang tinggi terhadap keadilan
organisasi, individu akan lebih mungkin untuk merasa wajib adil untuk
21
berperforma dalam peran individu dengan memberikan diri individu sendiri
melalui tingkat engagement yang lebih besar” (Saks, 2006: 606).
e. Consequences of employee engagement
Pendorong dalam keterlibatan individu adalah yang memiliki konsekuensi
yang positif untuk organisasi. Engagement merupakan tingkat konstruksi yang
dibentuk oleh manusia, dan jika dikaitkan dengan bisnis, maka hal itu harus
berdampak pada individual outcomes. Kahn, 1990 (dalam Saks, 2006: 606)
berpendapat bahwa keterlibatan mengarah ke kedua hasil individu (yaitu kualitas
pekerjaan individu dan pengalaman individu sendiri selama melakukan pekerjaan
tersebut).
2.1.4 Faktor-Faktor Work Engagement
Menurut Federman (2009:6-21) menyebutkan bahwa ada tujuh faktor yang
mempengaruhi engagement, yaitu :
a. Pace
Sebuah keadaan meningkatnya kecepatan dalam menyelesaikan tugas yang
harus dicapai dalam kurun waktu tertentu yang telah diberikan oleh atasan,
individu hanya berfokus pada gambaran tugas secara detail atau gambaran
kecilnya saja, individu tidak memperhatikan gambaran besar dari tugas yang telah
diberikan. Banyak tugas terselesaikan secara efisien karena perintah dari manager,
namun banyak dari manager yang tidak memberi tahu apa sebenarnya tujuan
karier individu, karena manager beranggapan bahwa individu tidak mempunyai
waktu untuk melakukan hal tersebut.
22
b. Anxiety
Suatu keadaan stres yang dialami oleh individu karena banyaknya tekanan
yang ada dalam lingkup kerjanya seperti persaingan antar individu, rasa aman di
lingkunga kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK), jumlah beban kerja tidak
signifikan, produktifitas individu dan hal lain yang membuat individu serasa
berlomba-lomba memberikan hal teraik untuk organisasi dan atas perusahaannya.
c. Schedule
Jadwal yang dibuat sedemikian rupa sehingga individu merasa antusias dalam
menyelesaikan pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya. Pemberian waktu
untuk berlibur juga dibutuhkan agar individu tidak merasa jenuh dalam
menghadapi beban kerja yang telah diberikan serta kemampuan organisasi untuk
membuat jadwal yang seimbang untuk pekerjaannya antara kehidupan pribadinya
dan kehidupan kerjanya.
d. Technology
Penggunaan penuh fungsi dari teknologi, sehingga teknologi tersebut dapat
memudahkan individu untuk bekerja menyelesaikan tugasnya, individu dapat
berhubungan dengan divisi lain tanpa harus mengeluarkan tenaga yang berlebih,
sehingga terjadi lingkungan kerja yang efisien dan mudah untuk individu maupun
untuk individu lain dalam organisasi tersebut.
e. Turnover
Rasa ingin berpindahnya individu dari organisasinya sekarang. Rasa ingin
berpindahnya individu dari suatu organisasi ke organisasi lainnya dapat dikurangi
dengan penentuan omset untuk individu pada suatu organisasi, sehingga tercipta
23
keterlibatan kerja. Omset dan keterlibatan saling terkait, menurut Federman
(2009:18) “organisasi yang menentukan omset untuk individunya, tingkat
turnover akan jauh lebih rendah”.
f. Productivity
Sebuah produktivitas yang diukur dari jumlah jam kerja yang dilalui oleh
individu dengan meninjau kualitas kerja individu dalam sebuah organisasi.
Produktivitas berkaitan dengan bagaimana hubungan masing-masing individu
dengan misi organisasi saat ini.
g. Revenue and Provitability
Sebuah konsep pendapatan dan keuntungan. Pendapatan dan keuntungan
adalah suatu hal yang disebut finansial. Indikator kesuksesan suatu organisasi
adalah sebuah finansial yang didapatkan oleh suatu organisasi, akan tetapi hal
tersebut merupakan tindakan awal sebuah organisasi. Organisasi yang
berkembang sekarang lebih mengindikasikan keterlibatan individu sebagai suatu
kesuksesan daripada yang diindikasikan dengan pendapatan finansial yang
diterima.
2.2 Penilaian Distributive Justice
2.2.1 Pengertian Penilaian Distributive Justice
Penilaian Distributive justice didefinisikan secara berbeda-beda oleh para ahli
dari berbagai bidang. Price dan Mueller, 1986 (dalam Mitchell et al., 2012: 731)
menjelaskan bahwa distributive justice is the degree to which rewards and
punishments are related to performance inputs. Menurut Price dan Mueller,
24
distributive justice adalah tingkatan penghargaan dan hukuman yang berhubungan
dengan kinerja.
Lind dan Tyler, 1988 (dalam Alvi & Abdus, 2012: 645), distributive justice is
defined as the fairness of output in term of contribution, needs, and equity
perspective. Menurut Lind dan Tyler, distributive justice adalah keadilan individu
dalam hasil kerja yang di dalamnya terdapat kontribusi, kebutuhan dan persamaan
perspektif.
Judeh (2012: 583), menjelaskan bahwa distributive justice berkaitan dengan
keadilan dari hasil organisasi, seperti gaji dan keuntungan. Selain itu, distributive
justice menurut Niehoff & Moorman (1993: 531) adalah persepsi mengenai sejauh
mana imbalan (rewards) dialokasikan secara adil oleh organisasi.
Greenberg, 1998 (dalam Hussain et al., 2012: 540) mendefinisikan
distributive justice sebagai hasil rasa keadilan individu atas hasil atau alokasi yang
diterima individu. Menurut Greenberg dan Baron, 2003 (dalam Hasmarini &
Yuniawan, 2008: 101) distributive justice adalah persepsi individu mengenai
keadilan atas pendistribusian sumber-sumber di antara para individu atau dengan
kata lain yaitu persepsi keadilan atas bagaimana imbalan didistribusikan diantara
individu.
Kreitner dan Kinicki (2003: 49) mendefinisikan distributive justice adalah
suatu keadilan sumber daya dan imbalan penghargaan yang mencerminkan
keadilan mengenai bagaimana sumber daya dan penghargaan tersebut diberikan.
Menurut Ivancevich dkk. (2009: 161), distributive justice didefinisikan sebagai
25
keadilan yang dipersepsikan mengenai bagaimana penghargaan dan sumber daya
didistribusikan di seluruh organisasi.
Dari berbagai pendapat tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa penilaian
distributive justice adalah penilaian mengenai keadilan yang dilakukan individu
mengenai tugas pekerjaannya terkait dengan reward dan punishment yang
diterima dalam pekerjaannya.
2.2.2 Pembagian Penilaian Distributive Justice
Reis, 1987 (dalam Faturochman, 1993: 6) menemukan sedikitnya tujuh belas
standart dalam keadilan distributif dan dari sekian banyak standar tersebut tiga
diantaranya merupakan standar yang paling sering diterapkan yaitu prinsip equity,
equality, dan need (Faturochman, 1993: 6).
Keadilan atau ketidakadilan distributif dapat dilihat menjadi tiga tingkatan
yaitu nilai-nilai, peraturan, dan implementasi peraturan (Deutsch, 1975; dalam
Faturochman, 2012: 35). Keadilan distributif mempunyai nilai-nilai yang sangat
bervariasi dan setiap nilai mempunyai tujuan serta kesesuaian dengan kondisi
tertentu. Faturochman (2012: 35) mengungkapkan nilai-nilai yang telah
teridentifikasi berkaitan dengan cara-cara distribusi, antara lain adalah :
2.2.2.1 Distribusi Secara Proporsional
Thornblom, 1977 (dalam Faturochman, 2012: 35) keadilan distributif
menurut prinsip Equity Theory pada dasarnya dapat tercapai bila yang dikeluarkan
dan diterima oleh dua orang sebanding. Individu akan menilai tidak adil ketika dia
mendapatkan perbandingan yang berbeda, perbandingannya bisa lebih besar
maupun lebih kecil. Namun, individu akan lebih dapat mentoleransi atau
26
menganggap adil ketika proporsi yang diterimanya lebih besar dibandingkan bila
mendapatkan proporsi yang lebih kecil atau rendah dari yang semestinya.
Pemberlakuan prinsip ini dapat diterapkan ketika tolok ukur untuk masukan dan
keluaran sudah jelas dan disepakati oleh pihak-pihak terkait. Namun, dalam
pelaksaannya prinsip ini sering berubah, misalnya proporsi yang dipertimbangkan
hanya berdasarkan kemampuan atau usaha seseorang.
2.2.2.2 Distribusi Merata
Prinsip distribusi ini dilaksanakan denga cara memberikan bagian yang sama
pada setiap individu yang terlibat. Variasi penerimaan antara individu yang satu
dengan yang lainnya sangat kecil atau bahkan tidak ada. Variasi dimungkinkan
terjadi bila terdapat jenis-jenis pekerjaan atau bagian-bagian dalam satu organisasi
atau kelompok, karena variasi terjadi antar kelompok bukan di dalam kelompok.
Prinsip ini juga sulit diterapkan karena sering kali terjadi kritik terhadap
pengabaian potensi dan produktivitas kerja individu.
2.2.2.3 Distribusi berdasarkan Kebutuhan.
Prinsip ini mengutamakan kebutuhan sebagai pertimbangan untuk distribusi.
Individu akan mendapatkan bagian sesuai dengan kebutuhannya, semakin banyak
kebutuhannya maka semakin besar hak yang akan diperolehnya. Prinsip ini juga
mempunyai kelemahan karena kebutuhan yang harus dipenuhi berdasarkan
prinsip ini masih kurang jelas dan belum ada kesepakatan umum.
2.2.2.4 Distribusi berdasarkan Permintaan dan Penawaran di Pasar.
Mekanisme pasar sering dinilai tidak tepat sebagai dasar untuk menyusun
formulasi keadilan. Konsep mekanisme pasar yang dapat digunakan untuk
27
memformulasikan keadilan adalah permintaan dan penawaran. Konsep ini sejalan
dengan prinsip kebutuhan. Kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi dapat
menyebabkan terjadinya ketidakadilan, walaupun tidak selamanya demikian.
Ketika persediaan (penawaran) benar-benar tidak ada, maka tidak dapat dikatakan
tidak adil. Penawaran yang berlebihan tanpa melihat permintaan, sebaliknya dapat
menimbulkan ketidakadilan. Smith, 1987 (dalam Faturochman, 2012: 38)
mengusulkan adanya nilai-nilai kemanusiaan yang selalu dijunjung tinggi untuk
dapat menjaga agar mekanisme ini tetap adil dan tidak berubah menjadi sistem
kapitalisme yang buta.
2.2.2.5 Distribusi yang Mengutamakan dan Menguntungkan Individu Lain.
Prinsip keadilan distributif salah satunya juga menggunakan konsep karitatif.
Nilai-nilai agama, sosial, dan budaya di berbagai belahan dunia juga menekankan
pentingnya bantuan karitatif sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial
(Lomasky, 1995; dalam Faturochman, 2012: 39). Konsep tersebut melihat bahwa
tidak semua orang memiliki potensi, dapat berusaha dan memperoleh hasil dari
usahanya sehingga perlu dibantu agar mampu bertahan hidup. Contohnya,
penyandang disabilitas, orang sakit, anak-anak, lanjut usia, yatim piatu, miskin
dan sejenisnya. Beberapa negara bahkan menempatkan kesejahteraan sebagai
bagian dari ideologi, mengingat pentingnya masalah tersebut sebagai bagian dari
masalah keadilan (George & Wilding, 1992; dalam Faturochman, 2012: 39).
Selanjutnya Faturochman (2012: 88) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menilai keadilan distributif. Faktor-
faktor tersebut diantaranya adalah gender, situasi, karakteristik penilaian, harapan,
28
dan kesejahteraan. Faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh yang berbeda bagi
tiap individu.
2.2.3 Anteseden Penilaian Distributive Justice
Banyak hal yang mempengaruhi individu dalam menilai distributive justice.
Pada bagian ini banyak dikaji faktor-faktor individu yang berpengaruh. “Secara
garis besar faktor individu yang dimaksud dapat dikategorikan menjadi faktor
psikologis dan nonpsikologis” (Faturochman, 2012: 77). Meskipun keduanya
dibedakan, dalam kenyataan keduanya saling berkaitan dalam mempengaruhi
penilaian keadilan.
2.2.3.1 Gender.
Sadar atau tidak dalam kehidupan sehari-hari masih terdapat banyak tindakan
yang membedakan laki-laki dan perempuan, termasuk dalam distribusi.
Faturochman (2012: 89) mengungkapkan bahwa tindakan tersebut pada umumnya
menguntungkan laki-laki, sehingga dapat disimpulkan ada ketidakadilan
distributif antara laki-laki dan perempuan. Ketidakadilan semacam ini justru
dinilai sebagai keadilan oleh laki-laki dan perempuan yang secara sadar atau tidak
banyak menerima, mengadopsi dan melakukan hal itu. Perlu memperhatikan
konteks yang lebih luas, termasuk ideologi kesetaraan gender agar dapat
meluruskan atau menjelaskan false consciousness.
2.2.3.2 Situasi.
Menurut Faturochman (2012: 89) penilaian keadilan juga sangat dipengaruhi
oleh konteks atau situasi seperti tempat kerja dan suasananya. Berbagai kondisi
kerja juga berpengaruh terhadap penilaian keadilan distributif.
29
2.2.3.3 Karakteristik penilai.
Karakteristik tertentu dari individu telah terbukti memiliki peran yang besar
dalam menilai keadilan (Faturochman, 2012: 90). Individu yang memiliki sifat
hedonis, berorientasi politis dan ingin cepat maju berbeda dalam menilai keadilan
jika dibandingkan dengan individu yang prososial dan spiritualitasnya tinggi.
2.2.3.4 Harapan.
Harapan merupakan faktor psikologis yang banyak berkaitan dengan
penilaian keadilan distributif. Faturochman (2012: 90) mengungkapkan bahwa
makin sesuai kenyataan dengan harapan maka individu semakin merasakan
adanya keadilan. Harapan banyak dikaitkan dengan aspek seperti usia,
pendidikan, dan pengalaman kerja. Semakin tinggi pendidikan dan pengalaman
individu akan semakin tinggi pula harapannya.
Harapan ini meliputi harapan akan pendapatan yang tinggi dan stabil, jaminan
pendapatan pada masa mendatang, dan memiliki akses terhadap berbagai sumber
untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
a. Harapan hidup sejahtera. Harapan ini meliputi harapan akan pendapatan yang
tinggi dan stabil, jaminan pendapatan pada masa mendatang, dan memiliki akses
terhadap berbagai sumber untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
b. Status sosial. Harapan ini adalah memiliki pekerjaan yang prestisius,
terpandang dalam masyarakat, berpendidikan tinggi, dan memiliki pengaruh
dalam lingkungannya.
c. Kenyamanan hidup. Kenyamanan yang dimaksud diharapkan datang baik dari
lingkungan kerja maupun lingkungan sosialnya. Indikator yang diharapkan, antara
30
lain, adalah rumah yang nyaman, lingkungan tempat tinggal yang menyenangkan,
dan punya waktu luang serta dapat menikmatinya.
d. Stimulasi yang menyenangkan. Mengalami dan melakukan hal-hal baru,
melihat tempat dan menjumpai individu baru, dapat terus melakukan aktivitas dan
memiliki kesibukan yang berarti.
e. Otonomi. Harapan ini meliputi kebebasan pribadi, memiliki privasi, tidak
terlalu terikat dengan semua aturan, dan kebebasan menyampaikan pendapat.
f. Afiliasi. Individu akan berusaha untuk dapat berafiliasi dengan individu atau
kelompok yang diinginkannya dan memiliki keterikatan dengan lingkungan
sosialnya.
g. Moralitas. Berharap dapat hidup dalam lingkungan yang memiliki nilai-nilai
moral yang tinggi. Di samping itu, individu juga ingin menjaga moralitas yang
dipegangnya atau bahkan menyebarkannya bagi individu lain.
2.2.3.5 Kesejahteraan.
Faturochman (2012: 93) mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat
kesejahteraan yang diperoleh individu maka penilaian distribusi semakin dianggap
adil. Secara umum kesejahteraan dapat dicapai bila kebutuhan dasar dipenuhi.
Bila kebutuhan lain dapat dipenuhi maka tingkat kesejahteraannya semakin tinggi.
Faturochman (2012: 94) menambahkan bahwa untuk menilai kesejahteraan yang
dirasakan individu digunakan indikator seperti konsumsi (pangan), tempat tinggal,
pakaian, kesehatan, transportasi, pendidikan anggota keluarga, informasi, rekreasi
dan member sumbangan sosial.
31
2.2.4 Pengukuran Penilaian Distributive Justice
Leventhal, 1976 (dalam Colquitt, 2001: 389) mengukur penilaian distributive
justice melalui pertanyaan sebagai berikut (a) apakah outcome Anda
merefleksikan usaha yang anda lakukan dalam bekerja?, (b) Apakah outcome
Anda sesuai dengan kerja yang telah anda lakukan?, (c) Apakah outcome Anda
merefleksikan kontribusi anda dalam organisasi?, (d) Apakah outcome Anda
diberikan sesuai dengan performa Anda?
Pengukuran penilaian distributive justice dapat dikembangkan berdasarkan
pertanyaan yang telah disampaikan oleh Leventhal, 1976 (dalam Colquitt, 2001:
389), yang kemudian dijabarkan menjadi beberapa sub item di bawah ini :
a. Penerimaan yang merefleksikan usaha yang dilakukan ketika bekerja.
b. Peneriman yang sesuai dengan kerja yang sudah dilakukan.
c. Penerimaan yang merefleksikan kontribusi dalam organisasi.
d. Kesesuaian penerimaan yang diberikan berdasarkan performa kerja.
Colquitt, 2001 (dalam Tjahjono, 2007: 120) memberikan pernyataan yang
berbeda untuk mengukur penilaian distributive justice. Colquitt, 2001 (dalam
Tjahjono, 2007: 120), mentransformasikan item-item penilaian distributive justice
ke dalam konteks penilaian kinerja dengan menggunakan skala likert sebagai
berikut :
a. Penilaian kinerja terhadap diri saya di dalam organisasi menggambarkan usaha
yang telah saya lakukan dalam pekerjaan saya.
b. Penilaian kinerja terhadap diri saya di dalam organisasi sesuai dengan
pekerjaan yang telah saya lakukan.
32
c. Penilaian kinerja terhadap diri saya di dalam organisasi menggambarkan apa
yang telah saya kontribusikan kepada organisasi.
d. Penilaian kinerja terhadap diri saya di dalam organisasi telah sesuai dengan
kinerja yang saya berikan.
Berdasarkan yang telah disampaikan oleh Colquitt, 2001 (dalam Tjahjono,
2007: 120), bisa dipahami bahwa pengukuran penilaian distributive justice dapat
dikembangkan berdasarkan pertanyaan tersebut, yang kemudian menghasilkan
sub item yaitu kinerja, produktifitas, jenis pekerjaan dan performa.
Berbeda dari ketiga tokoh, Moorman, 1991 (dalam Miller et al., 2012: 270)
mengukur penilaian distributive justice dengan item-item berikut :
Atas tingkatan apakah anda secara adil diberi penghargaan :
a. ... mempertimbangkan tanggung jawab yang anda miliki?
b. ... berdasarkan pengalaman yang dimiliki dan yang telah dilakukan?
c. ... jumlah usaha yang terus dilakukan?
d. ... pekerjaan yang telah dilakukan dengan sebaik-baiknya?
e. ... tekanan dan ketegangan dari pekerjaan anda?
Berdasarkan yang telah disampaikan oleh Moorman, 1991 (dalam Miller et
al., 2012: 270), bisa dipahami bahwa pengukuran penilaian distributive justice
dapat dikembangkan berdasarkan pertanyaan tersebut, yang kemudian
menghasilkan sub item yaitu :
a. Tanggungjawab yang dimiliki.
b. Pengalaman yang dimiliki.
c. Usaha yang dilakukan.
33
d. Pekerjaan yang sudah dilakukan.
e. Tekanan dalam pekerjaan
Berbeda dari peneliti yang lain, Niehoff dan Moorman (1993: 537) mengukur
penilaian distributive justice dengan menggunakan lima item, yaitu work
outcomes, including pay level, work load, work schedule, dan job responsibilites
dalam segi keadilan. Ke lima item yang diungkap oleh Niehoff dan Rebort
sebenarnya merupakan dimensi dari penilaian distributive justice. Hal ini
diperkuat oleh Desyani dan Nurtjahjanti (2014: 84) memberikan pendapat bahwa
kelima item tersebut adalah dimensi dari penilaian distributive justice.
Ke lima dimensi tersebut, dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Work outcomes adalah suatu nilai yang diperoleh individu sebagai akibat dari
hasil atau konsekuensi kerja yang sudah dilakukannya.
b. Including pay level adalah tingkat pembayaran yang diberikan oleh organisasi
kepada individu. Dalam pemberiannya, Including pay level memperhatikan
tanggung jawab dan beban kerja yang diterima oleh individu.
c. Work load adalah sebuah proses yang dilakukan oleh individu baik secara fisik
maupun psikis dalam menyelesaikan tugas-tugas suatu pekerjaan dalam jangka
waktu tertentu.
d. Work schedule adalah pemberian pekerjaan dengan waktu yang sudah
ditentukan oleh organisasi sehingga menuntut individu untuk melakukan
pekerjaan tersebut, dengan memperhatikan waktu sehingga individu tidak
merasa jenuh dalam menghadapi beban kerja.
34
e. Job responsibilites adalah kewajiban dalam melakukan beban kerja yang
diberikan kepada individu dan dilakukan dengan penuh kesadaran sehingga
dapat mencapai hasil kerja yang diinginkan.
Dari lima dimensi tersebut, Niehoff dan Moorman menjabarkan ke dalam
skala, yaitu:
a. Jadwal kerja yang saya terima sudah adil.
b. Saya rasa tingkat pembayaran/gaji saya adil
c. Saya mempertimbangkan beban pekerjaan saya cukup adil
d. Secara keseluruhan, penghargaan yang saya terima adil
e. Saya merasa bahwa tanggung jawab kerja saya adil
Berdasarkan beberapa pendapat dari para tokoh tentang pengukuran penilaian
keadilan distribusi. Pada akhirnya peneliti lebih memilih untuk menggunakan
pengukuran menurut Niehoff dan Moorman (1993: 537), yaitu yaitu work
outcomes, including pay level, work load, work schedule, dan job responsibilites,
karena item dan skala yang diberikan lebih jelas dan mudah untuk digunakan.
2.2.5 Prinsip Dasar Penilaian Distributive Justice
Bass, 2003 (dalam Budiarto & Wardari, 2005: 112) menyatakan bahwa
prinsip spesifik dalam penilaian distributive justice adalah:
a. Batasan egalitarian, yaitu setiap individu harus diperlakukan secara adil karena
sumbangsihnya terhadap kehidupan masyarakat sehingga memberikan
keuntungan maupun akumulasi-akumulasi tertentu.
b. Kontribusi, yaitu setiap individu seharusnya mendapatkan keuntungan karena
sumbangsihnya terhadap tujuan-tujuan yang telah sebelumnya ditetapkan oleh
35
kelompoknya, melalui: (a) Upaya kerja keras: individu yang bekerja keras patut
untuk mendapatkan penghargaan yang lebih banyak; (b) Hasil/ produktivitas,
yaitu tingginya kuantitas maupun kualitas hasil kerja individual mempengaruhi
penghargaan yang diperolehnya; (c) Permintaan kepuasan, yaitu individu yang
memperoleh penghargaan adalah individu yang telah mampu memberikan
kepuasan bagi kepentingan-kepentingan publik. Misalnya, dalam dunia pemasaran
yang sangat kompetitif, pemenang pasar ialah produsen yang mampu
menghasilkan barang yang sangat sempurna.
2.2.6 Prinsip Spesifik Penilaian Distributive Justice
Bass, 2003 (dalam Budiarto & Wardari, 2005: 112) menyatakan bahwa
prinsip spesifik penilaian distributive justice terdiri dari prinsip egalitarianism,
perbedaan, sumber, kesejahteraan, desert, libertarian, dan feminis. Prinsip
egalitarianism merupakan penilaian distributive justice yang sifatnya sangat
radikal. Prinsip egalitarianism menyatakan bahwa setiap individu seharusnya
mendapatkan jumlah maupun kualitas yang sama ketika sumber-sumber berupa
barang maupun pelayanan diberikan. Prinsip ini dapat diberlakukan ketika
individu di dalamnya menaruh hormat terhadap prinsip keadilan yang sejajar
melalui pemberian barang dan pelayanan yang sama untuk setiap individu dari
mana pun golongannya. Masalah-masalah dari penerapan prinsip egalitarianism
dalam menerapkan prinsip-prinsip keadilan adalah sebagai berikut ini:
a. Sulit untuk melakukan pengukuran mengenai nilai-nilai keadilan yang sifatnya
benar-benar objektif untuk semua individu karena setiap individu mempunyai
persepsi yang berbeda mengenai suatu kejadian yang sama.
36
b. Sulit untuk mendapatkan barang-barang maupun jasa yang kualitasnya benar-
benar sama, yang kemudian didistribusikan untuk banyak individu yang
membutuhkannya.
Cara-cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara
lain ialah:
a. Mendistribusikan barang maupun jasa bukan berdasarkan pada kualitasnya
akan tetapi mengacu pada jumlah barang maupun jasanya. Misalnya, setiap
individu mendapatkan enam buah jeruk dan satu buah apel tanpa memperhatikan
kualitas dari buah-buahan tersebut
b. Alat tukar barang bukan lagi barang (barter) melainkan dalam bentuk uang.
Tujuannya ialah untuk mencapai prinsip keadilan karena individu dapat
menukarkan apa saja dan individu lain mendapatkan imbalan dari apa yang telah
ditukarkannya, yaitu berupa uang. Juga, untuk menghindari barang yang baik
ditukarkan dengan barang yang kualitasnya buruk.
Bass, 2003 (dalam Budiarto & Wardari, 2005: 113) berpendapat bahwa
prinsip perbedaan bertolak pada kesejahteraan ekonomi dalam suatu masyarakat
akan terus menerus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Artinya,
pertumbuhan ekonomi bukanlah sesuatu yang bersifat statis melainkan dinamis.
Perubahan orientasi masyarakat petani menjadi industri, menjadikan kesejahteraan
ekonomi individu ditentukan oleh pekerjaan yang dilakukannya. Semakin
individu bekerja keras maka ia akan mendapatkan uang yang semakin banyak. Hal
inilah yang menjadikan ia lebih sejahtera dibandingkan dengan individu lain yang
37
lebih malas untuk bekerja keras. Prinsip-prinsip keadilan yang mengacu pada
perbedaan sebagai berikut ini:
a. Setiap individu mempunyai hak yang sama, yaitu hak-hak azasi maupun
kebebasan. Artinya, setiap individu mempunyai skema pemikiran yang sama
mengenai nilai-nilai keadilan seperti ini.
b. Ketidakadilan secara ekonomi maupun sosial dapat dipuaskan dengan dua cara,
yaitu memberikan kesempatan yang sama untuk setiap individu dalam memasuki
dunia kerja dan masyarakat yang lebih sejahtera mempunyai keinginan untuk
berbagi dengan masyarakat yang lebih miskin.
Lebih lanjut, Bass, 2003 (dalam Budiarto & Wardari, 2005: 113) menyatakan
bahwa prinsip keadilan yang berdasarkan sumber mengakui setiap individu
mempunyai hak yang mutlak untuk menggunakan sumber-sumber yang
dimilikinya. Individu yang telah menghabiskan tenaganya untuk bekerja keras
seharian mempunyai hak untuk menghabiskan gajinya untuk bersenangsenang
tanpa harus memperhatikan individu lain yang lebih miskin dari dirinya. Artinya,
setiap individu mempunyai hak untuk menikmati dari apa yang telah
diperjuangkannya tanpa harus merisaukan keadaan individu lain yang lebih tidak
beruntung dari dirinya. Kritik-kritik yang diajukan terhadap prinsip keadilan
seperti ini antara lain ialah:
a. Individu diajarkan untuk mengabaikan nilai moral khususnya kepedulian
terhadap keadaan individu lain. Karena, setiap individu mempunyai hak yang
sebebas-bebasnya untuk menikmati hasil kerja kerasnya tanpa harus
mempehatikan keadaan individu lain.
38
b. Individu yang cacat secara fisik maupun mental akan semakin terjepit
keadaannya karena sulit untuk bekerja keras (karena keterbatasan-
keterbatasannya). Kondisi inilah yang menyulitkan kaum cacat untuk mencapai
kesejahteraan.
Kesejahteraan akan diperoleh ketika individu telah mengorbankan segala
sesuatunya untuk mendapatkan kesenangan. Akibatnya, relasi yang terbentuk
dalam masyarakat lebih terfokus bagaimana caranya saling menguntungkan
sehingga setiap individu mampu mencapai kesejahteraannya secara pribadi.
Prinsip keadilan seperti ini dipengaruhi oleh nilainilai kapitalis dalam masyarakat,
yaitu hubungan antar masyarakat lebih dipengaruhi oleh kepentingan ekonomis
untuk mendapatkan modal. Individu yang mampu mempunyai modal yang besar
pada akhirnya dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat secara umum (Bass,
2003; dalam Budiarto & Wardari, 2005: 113).
Prinsip spesifik penilaian distributive justice lainnya adalah prinsip desert.
Keadilan berdasarkan prinsip desert didasarkan pada:
a. Kontribusi, yaitu individu mendapatkan imbalan atas hasil kerjanya
berdasarkan pada kontribusi (sumbangsihnya) terhadap produk-produk sosial
b. Kerja keras, yaitu individu dihargai hasil kerjanya atas upaya kerja keras yang
dilakukannya selama ia melakukan pekerjaan-pekerjaannya
c. Kompensasi, yaitu individu dihargai hasil kerjanya atas pengorbanan-
pengorbanan yang diberikannya.
Prinsip selanjutnya adalah prinsip keadilan libertarian. Prinsip keadilan
libertarian (Bass, 2003; dalam Budiarto & Wardari, 2005: 115) menyatakan
39
bahwa individu akan mendapatkan keadilan apabila ia sendiri telah melakukan
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada dirinya. Prinsip-prinsip keadilan
libertarian mengandung nilai-nilai sebagai berikut ini:
a. Penghargaan yang diterima oleh individu sebenarnya berasal dari dirinya
sendiri, yaitu apa yang telah ditunjukkan kepada masyarakatnya
b. Dunia bukanlah milik semua individu karena dunia tidak mempunyai pemilik.
Ia merupakan kepunyaan setiap individu sehingga setiap individu mempunyai hak
untuk memanfaatkannya maupun memeliharanya
c. Individu sebenarnya telah mendapatkan apa yang menjadi haknya ketika ia
telah berupaya untuk memperlakukan individu lain sesuai dengan hak-hak dan
kewajiban yang dimilikinya
d. Individu boleh menuntut hak-haknya ketika ia sendiri telah melakukan
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukannya.
Prinsip terakhir dari prinsip spesifik penilaian distributive justice adalah
prinsip feminis. Etika feminis menganggap bahwa pertanyaan dasar Aristoteles
dapat dijawab oleh teori-teori etika melalui sudut pandang laki-laki, yakni
kehidupan yang baik menurut laki-laki. Para filsuf feminis bersikeras bahwa cara
pandang etika tersebut menganut filsafat "berhaluan laki-laki" (male stream
philosophy), yang tidak memasukkan persoalan perempuan di dalamnya. Etika
feminis di sini melakukan revisi terhadap filsafat moral. Para filsuf feminis
menantang hegemoni teori etika patriarkal dan menuntut adanya "suara
perempuan". Etika feminis mengemukan pendapatnya yang berdasarkan dari
kehidupan perempuan dan isu-isu perempuan.
40
2.3 Hubungan Antara Penilaian Distributive Justice dengan Work
Engagement Pada Bidan PTT
Setiap individu pastilah mengharapkan hasil yang memuaskan dari pekerjaan
yang di miliki. Hasil pekerjaan yang individu terima merupakan cerminan
seberapa besar dan mampu individu tersebut melakukan setiap tugas-tugasnya.
Selain itu, hasil yang diterima dijadikan sebagai pembanding dengan sesama
rekan kerjanya untuk mengetahui apakah hasil yang didapat setara atau tidak.
Salah satu pekerjaan yang dibahas disini adalah bidan. Dalam melakukan
tugas-tugasnya seorang bidan pastilah dituntut untuk melakukan berbagai tugas
yang tidaklah ringan. Dalam pelaksanaan tugasnya, seorang bidan bertanggung
jawab terhadap nyawa pasiennya. Beratnya beban kerja yang diterima oleh bidan
menyebabkan seorang bidan menginginkan imbalan yang berupa gaji, reward,
dan promosi yang setara dengan beban kerjanya.
Rudman (2004: 130) mengungkapkan bahwa individu akan merasa puas
ketika menerima imbalan yang dinilai sebanding dengan pekerjaan yang sudah
dilakukannya. Menurut Greenberg (1990: 400), penilaian individu yang berkaitan
dengan kewajaran hasil atau rasa keadilan yang individu terima disebut penilaian
distributive justice, atau dengan kata lain penilaian distributive justice mengacu
kepada kewajaran yang diterima.
Pengaruh tentang persepsi keadilan atas hasil yang diterima oleh individu
sebagian disebabkan bagaimana keterlibatan individu dengan pekerjaannya.
Menurut Greenberg (1990: 606), individu yang memiliki persepsi yang tinggi
terhadap keadilan dalam lingkup pekerjaan, indidivu tersebut akan lebih patuh
41
dan juga adil dalam performa dengan memberikan hal yang lebih melalui tingkat
engagement yang lebih besar. Dalam hal lain, persepsi yang rendah akan keadilan
lebih dapat menyebabkan seorang individu untuk memisahkan diri dan
disengaged dalam pekerjaan individu.
Niehoff dan Moorman (1993:537) memunculkan dimensi-dimensi
distributive justice sebagai berikut work outcomes, including pay level, work load,
work schedule, dan job responsibilities. Work outcomes adalah seberapa besar
nilai yang diterima oleh individu dari hasil atau konsekuensi kerja yang sudah
dilakukannya. Work outcomes disini dapat berupa gaji, rewards, dan promosi.
Jika, work outcomes yang diterima oleh individu tinggi dapat memunculkan
perasaan bahwa hasil kerja individu tersebut dihargai. Sehingga dalam
melaksanakan tugasnya, individu merasa antusias, memberikan pelayanan yang
maksimal, dan bangga terhadap pekerjaannya sebagai seorang bidan Apabila work
outcomes yang diterima individu rendah, dikhawatirkan dapat berpengaruh dalam
cara individu mengidentifikasi pekerjaannya sebagai bidan, yang menyebabkan
munculnya perasaan kurang antusias dalam memberikan pelayanan atau
melaksanakan tugasnya dan kurang bangga terhadap pekerjaan individu.
Including pay level terkait dengan pembayaran yang diberikan kepada
individu yang mana dalam pemberiannya memperhatikan memperhatikan
tanggung jawab dan beban kerja yang diterima oleh individu. Pembahasan terkait
including pay level dengan work outcomes memiliki kesamaan yaitu tentang hasil
yang diterima oleh individu. Sehingga rendah dan tingginya including pay level
42
yang diterima oleh individu memberikan efek yang sama seperti ketika individu
menerima work outcomes yang rendah atau tinggi.
Berdasarkan penjelasan di atas terkait work outcomes dan including pay level,
dikhawatirkan dapat mempengaruhi tingkat engaged seorang bidan, karena dapat
mempengaruhi dedikasi yang merupakan salah satu komponen dari work
engagement.
Work load terkait dengan usaha yang dilakukan oleh individu baik secara
fisik maupun psikis dalam menyelesaikan tugas-tugas suatu pekerjaan dalam
suatu jangka waktu tertentu. Work load disini berkaitan dengan resiliensi yang
dimiliki oleh individu. Individu dengan work load dan resiliensi yang tinggi tidak
akan mengalami masalah dalam melaksanakan pekerjaannya. Individu dengan
work load yang tinggi dengan resiliensi rendah, maka akan memunculkan rasa
jenuh, tertekan, dan kurangnya semangat dalam melaksanakan pekerjaannya.
Apabila work load yang dimiliki individu rendah tetapi resiliensi yang
dimilikinya tinggi. Individu tersebut dapat tetap melakukan pekerjaannya dengan
maksimal. Individu yang memiliki work load dan resiliensi yang rendah, dalam
melaksanakan pekerjaannya tidak ada semangat, bahkan merasa kurang adanya
penghargaan atas pekerjaannya.
Work schedule terkait dengan jadwal pemberian pekerjaan dengan
memperhatikan waktu yang sudah ditentukan. Pembuatan work schedule yang
tersusun dengan baik, menyebabkan individu tidak merasa jenuh dalam
menghadapi beban kerjanya. Akan tetapi, pembutan work schedule yang tidak
43
dapat tersusun rapi dan tidak memperhatikan waktu kerja indidivu, dapat
memunculkan perasaan jenuh dan lelah dalam menghadapi beban kerjanya.
Work load dan work schedule seorang bidan haruslah diperhatikan, karena
dalam melaksanakan tugasnya seorang bidan berinteraksi langsung dengan pasien.
Apabila work load dan work schedule kurang diperhatikan, ditakutkan dapat
mempengaruhi vigor yang berkaitan dengan resiliensi dan semangat yang dimiliki
oleh individu. Dimana, vigor merupakan salah satu dimensi yang dimiliki oleh
work engagement. Sehingga, ditakutkan akan berpengaruh engagement yang
dimiliki bidan terhada pekerjaannya.
Dimensi terakhir dari distributive justice adalah job responsibilities. Job
responsibilities terkait dengan tanggung jawab yang dimiliki individu terhadap
pekerjaannya. Individu dengan job responsibilities yang tinggi akan sangat
bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, bahkan individu tersebut akan lebih
mementingkan kepentingan pekerjaannya daripada kepentingan pribadinya. Akan
tetapi, individu dengan job responsibilities yang rendah akan menyepelekan tugas
pekerjaan dan tidak dapat total dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Bagi
seorang bidan, job responsibilities yang tinggi sangat diperlukan dalam
melaksanakan tugas pekerjaannya, karena tanpa adanya job responsibilities yang
tinggi dapat menyebabkan kecelakaan kerja yang dapat berakibat buruk bagi
pasien.
Job responsibilities yang dimiliki oleh individu berhubungan dengan
seberapa dalamkah individu tersebut dalam memahami dan menghayati pekerjaan
yang dimilikinya. Sehingga, ditakutkan job reponsibilities individu dapat
44
mempengaruhi absorption yang dimiliki oleh individu dan mempengaruhi tingkat
engaged individu dengan pekerjaannya.
Pada penjelasan diatas peneliti mencoba untuk menjelaskan hubungan
distributive justice dengan work engagement berdasarkan dimensi kedua variabel.
Untuk menguji ketepatan tentang penjelasan hubungan kedua variabel tersebut.
Maka peneliti akan melakukan penelitian secara langsung dengan cara
pengumpulan data dan dilanjutkan dengan pengolahan data penelitian sehingga
dapat diketahui hasil penelitian yang berkaitan dengan hubungan distributive
justice dengan work engagement. Berikut merupakan bagan kerangka berfikir
dalam penelitian ini.
2.4 Kerangka Berpikir
Berdasarkan teori-teori yang telah di jelaskan pada sub bab sebelumnya
mengenai penilaian distributive justice bidan PTT dan work engagement yang
dimiliki oleh bidan PTT. Peneliti menjelaskan alur hubungan penilaian
distributive justice bidan PTT dan work engagement yang dimiliki oleh bidan PTT
melalui kerangka berpikir.
Dimensi penilaian
distributive justice : � Work outcomes� Including pay level� Work schedule� Work load� Job responsibilities
Dimensi work engagement :� Vigor� Dedicate� Absorption
Gambar 2.1 Kerangka berfikir hubungan penilaian distributive justice dengan
work engagement
45
2.5 Hipotesis
Hadi (2010: 210) menjelaskan bahwa hipotesis adalah pernyataan yang masih
lemah kebenarannya dan masih perlu dibuktikan kenyataannya. Menurut Azwar
(2010:32) terdapat dua jalur menuju hipotesis. Jalur pertama adalah membaca dan
menelaah ulang teori serta konsep-konsep yang membahas mengenai variabel-
variabel penelitian dan hubungannya proses berfikir deduktif. Jalur ke dua adalah
membaca dan meriview temuan-temuan penelitian terdahulu yang relevan dengan
permasalahan lewat prosesi berfikir induktif. Dalam penelitian ini, penulis
menentukan hipotesis dengan cara berfikir induktif dan deduktif, karena
pemunculan hipotesis penelitian ini berdasarkan penelitian terdahulu dan teori-
teori-teori yang sudah ada. Sehingga memunculkan hipotesis “ada hubungan
antara penilaian distributive justice dengan work engagement pada bidan PTT”.
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian, maka diperoleh simpulan sebagai
berikut:
1. Tingkat penilaian distributive justice bidan PTT berada pada kategori sedang.
Dimensi yang paling berkontribusi terhadap tinggi rendahnya penilaian
distributive justice adalah work load atau beban kerja yang diterima oleh bidan.
2. Tingkat work engagement bidan PTT pada kategori tinggi. Dimensi yang
paling berkontribusi adalah dedication atau perasaan penuh antusias,
bermakna, dan bangga terhadap pekerjaannya.
3. Terdapat hubungan yang sangat significant antara penilaian distributive justice
dengan work engagement. Arah hubungan yang terjadi antara penilaian
distributive justice dengan work engagement merupakan hubungan positif.
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan yang telah disimpulkan dari hasil penemuan penelitian,
maka peneliti memberikan saran untuk beberapa pihak sebagai berikut:
1. Bagi Dinas Kesehatan
Diharapkan bagi pihak dinas kesehatan untuk lebih memperhatikan kondisi
psikologis individu dengan memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang sudah
dikerjakan oleh individu agar individu mampu memberikan kinerja yang
maksimal dalam melakukan setiap tugas yang diberikan oleh instansi. Salah satu
104
105
cara yang bisa digunakan untuk meningkatkan penilaian distributive justice adalah
dengan meningkatkan work engagement individu, agar dalam melakukan setiap
tugas tidak hanya dinilai dari apa yang individu dapat.
2. Bagi Individu (Bidan PTT)
Individu yang memiliki tingkat distributive justice rendah dan sedang memiliki
potensi untuk ditingkatkan secara optimal. Salah satu cara yang bisa digunakan
individu untuk meningkatkan distributive justice adalah dengan meningkatkan
work engagement. Mencari makna positif dari pekerjaan serta berfokus pada
makna positif merupakan salah satu cara yang mampu digunakan untuk
meningkatkan work engagement. Berfokus pada makna positif membantu
individu untuk mencintai dan lebih terikat secara psikologis dengan pekerjaannya
yang nantinya berefek pada keyakinan individu kepada kemampuannya.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan, diharapkan peneliti selanjutnya
lebih peka dalam melakukan studi awal sehingga peneliti mampu mendapatkan
hasil yang lebih maksimal. Peneliti selanjutnya juga dapat menambahkan variabel
lain, seperti komitmen kerja, kepuasan kerja, motivasi kerja, dan prosedural
justice. Kekurangan penelitian ini memberikan peluang bagi peneliti selanjutnya
yang berniat mengembangkan penelitian serupa mampu mencapai hasil yang lebih
sempurna
DAFTAR PUSTAKA
Alvi, Abdul Khaliq & Abbasi, Abdus Sattar. 2012. Impact of Organizational
Justice on Employee Engagement in Banking Sector of Pakistan. Journal of Scientific Research, 12(5): 643-649.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta: Rineka Cipta.
. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar, Saifuddin. 2010. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
. 2012. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
. 2015. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Budiarto, Yohanes & Wardani, Rani Puspita. 2005. Peran Keadilan Prosedural
dan Keadilan Interaksional Perusahaan Terhadap Komitmen Karyawan Pada
Perusahaan (Studi Pada Perusahaan X). Jurnal Psikologi, 3(2).
Colquitt, Jason A. 2001. On the Dimensionality of Organizational Justice: A
Construct Validation of a Measure. Journal of Applied Psychology, 86(3):
386-400.
Desyani, I. D. & Harlina N. 2014. Hubungan Antara Keadilan Distributif dengan
Employee Engagement Pada Karyawan PT. Telkom, TBK Divisi Regional IV
Semarang. Journal of Empaty, 3(1): 80-87.
Faturochman. 1993. Penilaian terhadap Alokasi Upah Ekual pada Situasi yang
Berbeda. Laporan penelitian. Fakultas Psikologi: Universitas Gajah Mada.
. 2012. Keadilan Perspektif Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Federman, Brad. 2009. Employee Engagement: A Roadmap for Creating Profits, Optimizing Performance, and Increasing Loyality. United States of America :
Jossey-Bass.
Greenberg, Jerald. 1990. Organizational Justice: Yesterday, Today, and
Tomorrow. Journal of Management, 16(2).
Hadi, Sutrisno. 2004. Statistik. Jilid 2. Yogyakarta: ANDI OFFSET.
106
http://asik-medialink.org/jampersal-era-bpjs-bagaimana-kualitasnya/ (12 April
2015)
Hussain, Ibiwani Alisa, Yunus, Noorlaila Haji, Ishak, Noormala Amir, & Daud,
Normala. 2012. Effects of Dimensions in Organizational Justice Towards
Employee Engagement. International Conference on Management, Economics and Finance (ICMEF 2012) Proceding, 537-546.
Ivancevich. J. M., Konopaske. R., & Matteson. M. T,. 2009. Perilaku danManajemen Organisasi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Edisi Ketujuh. Jilid 1.
Judeh. Mahfuz,. 2012. Examining the Relationship between Organizational
Justice, Job Security, and Organizational Citizenship Behavior in the
Jordanian Bank: A Structural Equation Modeling Perspective. Jordan Journal of Business Administration, 8(3): 581-602.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. InfoDatin. Pusat Data dan Informasi.
Kompas. 2013. Ancaman Target MDG: Angka Kematian Ibu Melonjak Drastis.
http://www.kalyanamitra.or.id/2013/09/ancaman-target-mdg-angka-kematian-
ibu-melonjak-drastis/. (diunduh pada 30 Mei 2016)
Khan, William A. 1990. Psychological Conditions of Personal Engagement and
Disengagement at Work. Academy of Management Journal, 33(4): 692-724.
Kumar, D. Pradeep & Swetha, G. 2011. A Prognostic Examination of Employee
Engagement from its Historical Roots. Internasional Journal of Trade Economic and Finance, 2(3): 232-241.
. 2012. Implications of Employee Engagement
on Critical Business Outcomes –An Empirical Evidence. Journal ofHumanities and Social Science. e-ISSN: 2279-0837. h. 60-68
Lockwood, Nancy R. 2007. Leveraging Employee Engagement for CommpetitiveAdvantage HR’s Strategic Role. SHRM Research. h. 1-12.
Marciano, Paul L. 2010. Carrots and Sticks Dont Work: Build a Culture of Employee Engagement with the Principles of Respect. United States:
McGraw-Hill.
Margaretha, Meily & Santosa, T. Elisabeth Cintya. 2012. Keadilan Prosedural dan
Keadilan Ditributif Sebagai Prediktor Employee Engagement. Jurnal Management, 12(1): 103-114.
107
Miller, Brian K., Konopaske, Robert, Byrne, Zinta S. 2012. Dominance analysis
of Two Measures of Organizational Justice. Journal of Management Psychology, 27(3): 264-282.
Mitchell, Jonathan I., Gagne, Marylene, Beaudrey, Anne, & Dyer, Linda. 2012.
The role of perceived organizational support, distributive justice and
motivation in reactions to new information technology. Computers in Human Behavior, 28: 729-738.
Murnianita, Febriana Budhi. 2012. Pengaruh Kepemimpinan Terhadap EmployeeEngagement Pada PT PLN (Persero) Pusdiklat. Tesis. Program Studi
Manajemen: Universitas Indonesia.
Mujiasih, Endah and Ratnaningsih, Ika Zenita. 2012. Meningkatkan Work
Engagement Melalui Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Budaya
Organisasi. Seminar Nasional dan Call For Papers . ISSN ISBN: 978-979-
3649-65-8
Niehoff, Brian P. & Moorman, Robert H. 1993 Justice as A Mediator of The
Relationship Between Methods of Monitoring and Organizational Citizenship
Behavior. Academy of Management Journal, 36(3): 527-556.
[Permenkes RI] Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan. Nomor 1464/MENKES/PER/X/2010.
. 2013. Pedoman
Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan Sebagai Pegawai Tidak
Tetap. Nomor 7 Tahun 2013.
Purwanto, Edy. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Semarang: FIP UNNES.
Robbins, Stephen P. & Judge. 2006. Organizational Behavior. 13th edition. New
Jersey: Pearson Education.
Rudman, L. A.. 2004. Social Justice in Our Minds, Homes, and Society: The
Nature, Causes, and Consequences of Implicit Bias. Social Justice Research,17(2).
Saks, Alan M. 2006. Antecedens and consequences of employee engagement.
Journal of Managerial Psychology, 21(7): 600-619.
Saragih, Susanti & Margareth, Meily. 2013. Anteseden dan Konsekuensi
Employee Engagement: Studi pada Industri Perbankan. Seminar Nasional dan Call for Paper. Universitas Kristen Maranatha.
108
Sari, Rani Dina. 2013. Pengaruh Kepercayaan Kepada Pemimpin Terhadap WorkEngagement. Skripsi. Program Studi Psikologi : Universitas Sumatera Utara.
Schaefuli, Wilmar B., Salanova, M., Gonzalez-Roma, V. & Bakker, A. B. 2002.
The Measurament of Engagement and Burnout: A Two Sample Confirmatory
Factor Analytic Approach. Journal of Happiness Studies, 3: 71-92.
Schaufeli, Wilmar B. & Bakker, Arnold B. 2003. UWES: Utrecht WorkEngagement Scale. Ocupational Health Psychology Unit: Utrecht University.
. 2004. Job Demands, Job
Resources, and Their Relationship with Burnout and Engagement: A Multi-
Sample Study. Journal of Organizational Behavior, 25: 293-315.
Sita. 2014. Mekanisme belum jelas, Bidan di Surabaya pilih layani pasien non- BPJS. http://majalahbidan.com/mekanisme-belum-jelas-bidan-di-surabaya-
pilih-layani-pasien-non-bpjs/ (12 april 2015)
Soraya, Evi. 2014. Studi Deskriptif Mengenai Work Engagement pada Guru
Sekolah Menengah Atas (SMA) LabSchool Jakarta. Karya Ilmiah. Fakultas
Psikologi: Universitas Padjajaran.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D). Bandung: ALFABETA.
. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D). Bandung: ALFABETA.
Tjahjono, Heru Kurnianto. 2007. Validasi Item-Item Keadilan Distributif dan
Keadilan Prosedural: Aplikasi Structural Equation Modeling (SEM) dengan
Confirmatory Factor Analysis (CFA). Jurnal Akuntansi & Manajemen, 18(2):
115-125.
Wulandari, Indah. 2015. Ribuan Bidan PTT Terancam Kehilangan Pekerjaan.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/03/17/nld5u0-ribuan-
bidan-ptt-terancam-kehilangan-pekerjaan. (diunduh pada 18 Juni 2015).
109