hsc modul alergi week 1
DESCRIPTION
AlergiTRANSCRIPT
WEEK 1
Halo teman-teman! Jumpa lagi di blok 4.3 ini! Walopun yang ngambil modul ini cuma 39 orang, makasi banget
yaa ternyata cukup banyak yang antusias buat bantuin pengerjaan HSC untuk modul ini
Semangat semuanyaaa!! Kalau ada yang perlu dikoreksi, kritik, atau saran, bisa langsung bilang ke aku yaa
^^v
p.s: maaf covernya abal, udah gitu gambarnya hasil nanya mbah Gugel semua pula, hehe :p
Regards,
Rina (editor)
DIAGNOSIS METHOD OF ALLERGIC DISEASE
-Isya-
Saya kurang bisa berkata-kata *halah* jadi langsung masuk ke materinya aja yaaa…. Yuk mariii ;;)
Kayaknya kita semua udah tau kalau alergi itu
suatu reaksi hipersensitifitas tubuh terhadap
sesuatu allergen. Alergi itu termasuk penyakit yang
sistemik. Jadi seluruh tubuh ada peluang untuk
terlibat dan terkena alergi dengan manifestasi
klinis yang sangat bervariasi tiap individunya.
Untuk patogenesisnya mungkin sudah ada di
lecture lain yaa, jadi kita langsung diagnosisnya
aja. Nah cara diagnosis alergi itu sama aja kayak
penyakit lain, harus diawali dengan anamnesis lalu
pemeriksaan fisik lengkap dan pemeriksaan
lanjutannya.
Mulai dari anamnesis, yang harus ditanyakan akan
dimulai dari riwayat penyakit sekarang (ini
biasanya adalah manifestasi klinis kayak bersin,
hidung berair, gatal, dll) trus lanjut ke penyakit
dahulu, sama riwayat keluarga(untuk tau riwayat
atopy karena alergi itu bisa diturunkan dari orang
tua walaupun manifestasi alerginya berbeda) terus
ditanyain juga tentang provokator dari
gejalanya,sama identifikasi (kira – kira bahan apa
yang dicurigai oleh pasien menjadi penyebab
gejala yang doi alami.)
Untuk pemeriksaan fisiknya kita tetap harus
periksa keluhan utamanya dulu. Misalnya dia
asma, ya kita periksa dadanya dulu, meriksa ada
mengi, retraksi dada,dll. Setelah itu kita periksa
lengkap dari head to toe. Yang paling penting
untuk fokus diperiksa juga adalah kulitnya, karena
biasanya orang alergi itu punya lesi kulit yang
spesifik kayak ekskoriasi gitu atau likenifikasi di
daerah fleksornya.
Cara kita mengidentifikasi alergi itu ada 3 yaitu :
a. Secara organik : dari tanda dan gejalanya
melalui anamnesis, pemeriksaan dan
provokasi
b. Histopatologisnya : dari perubahan secara
histopatologis yang bisa ditemukan dengan
pemeriksaan patologi anatomi
c. Molekular : untuk mengetahui perubahan
patologi klinisnya melalui pemeriksaan
patologi klinis di laboratorium.
Diagnosis kita akan tergantung juga oleh:
a. Peningkatan kereaktifan dari imun kita
terhadap allergen yang spesifik. Nah untuk
itu diperlukan pemeriksaan dengan tes
provokasi.
b. Mengecek peningkatan reaktivitas satu organ
atau lebih, contohnya dengan skin test.
c. Mengukur IgE spesifik dan IgE totalnya yang
akan diperiksa secara in vitro.
Nah sekarang pertanyaannya adalah……. Apakah
bisa IgE darah meningkat tapi kalau diperiksa skin
testnya kok negatif? Jawabannya adalah BISA!
Kenapa? Karena tergantung reaktifitas dari sel
mast nya itu, bisa aja sel mast nya gak degranulasi
karena ga terlalu reaktif jadi skin testnya negatif.
Faktanya adalah 70% dari skin test positif ternyata
tidak menimbulkan gejala pada pasiennya! Nah
lho….. :P
Pemeriksaan penunjangnya alergi itu apa sajaa?
Ada IgE spesifik yang bakal ngecek IgE antibody,
skin test yang akan ngecek IgE antibody + mast cell
reactivity, dan provocation test yang akan
memeriksa IgE antibody, mast cell reactivity
ditambah airway reactivity. Jadi provocation test
itu paling lengkap walaupun resikonya paling
tinggi. Marilah kita bahas satu persatu…..
1. Skin Test
Skin test ini sebenarnya ada 4 macam. Ada rub
test, scratch test, prick test, dan intracutan
injection.
Nah kalau rub test, sebenarnya dia itu mirip
patch test. Cuma kan kalau patch itu lama (48 –
96 jam) dan ngetestnya itu Hipersensitifitas tipe
4, kalau rub test itu Cuma ditaburin allergen
sebentar gitu dan ngeceknya hipersensitifitas
tipe 1. Selain itu patch test lebih sering
digunakan untuk mengetahui adanya dermatitis
kontak.
Untuk scratch test itu mirip kayak prick test,
Cuma ternyata karena dia itu metodenya di
“scratch” alias digores dengan jarum, kalau prick
test yang memang Cuma di prick tanpa berdarah
itu termasuk subkutan. Kalau injeksi intrakutan
sudah jelas ya, kita menginjeksikan alergi secara
intrakutan. Injeksi intrakutan biasanya dilakukan
pada pasien dengan tanda dan gejala yang jelas
sekali tapi skin test nya negatif. Jadi diuji ulang
dengan injeksi intrakutan ini.
Apa sih yang diukur dalam skin test ini? Kita
akan mengukur indurasi atau bentol nya itu :D
Yang diukur itu adalah diameter indurasinya,
kalau misalnya gak beraturan yang pokoknya
cari jaraknya yang paling panjang :D
Biasanya indurasi diukur 10 – 15 menit setelah
dipaparkan alergennya. Dan juga harus
dibandingkan dengan kontrol positif dan
negatifnya. Kalau control negatifnya >3mm itu
artinya si pasien dermatographism. Jadinya ga
bisa dinilai hasil testnya ntar, jadi ga valid. Tapi
kalau control positifnya itu sama dengan control
negatifnya, berarti si pasien itu anergy, yaitu
kondisi dimana tidak ada respon terhadap
allergen, jadi gak ada yang bisa dinilai juga.
Sebenarnya dalam menentukan positif
negatifnya hasil tes ini ada sistem gradingnya,
macem macem sistem gradingnya itu, tapi yang
dibahas di lecture ini:
Grade Ukuran Indurasi
0 Tidak terdeteksi
1+ <1/2 diameter
2+ ½ - 1 diameter
3+ 1 diameter
4+ >1 diameter
5+ >2 diameter
Cut off positifnya adalah 3+ ,jadi kalau dia masih
2+ aja itu belum positif , ini hanya sebagai
standard supaya penilaiannya bisa valid dan
tidak subjektif gitu..
Lanjut, hasil dari skin test kan tergantung pada
reaktivitas dari kulitnya,ada beberapa faktor
yang mempengaruhinya,antara lain:
a. Harus bebas obat anti histamine 3 – 7 hari
b. Bebas obat astemizole 4 minggu
c. Bebas obat corticosteroid (baik oral
maupun inhalan) 5 – 7 hari.
d. Bebas dari corticosteroid yang topical pada
daerah yang akan di-uji (volar)
e. Indurasi akan berkurang seiring
meningkatnya usia (pada elderly)
2. Allergen Provocation Test
Uji ini dilakukan secara in vivo sehingga
menimbulkan resiko yang cukup tinggi, hasil
yang lama dan harga yang mahal. Jadi sering
digunakan hanya untuk research aja, jarang
digunakan di klinis. Uji ini akan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:
a. Kuat lemahnya allergen yang dipaparkan
b. Respon yang tidak spesifik dari pasien.
Misalnya, dia ga mesti kena allergen aja
alerginya uda kumat,kayak kena udara
kering atau udara dingin gitu dianya udah
bersin – bersin meler gitu.
c. Deposisi pada organ target
d. Jumlah sel mast pada organ targetnya
e. Obat – obatan yang dikonsumsi
Apa saja sih uji provokasi yang bisa dilakukan?
a. Bronkus.
Kalau pada bronkus ini, penggunaan
steroid boleh tetap dilanjutkan, karena
tidak akan mempengaruhi hasil uji nya
nanti. Pasien harus dirawat inap agar bisa
di-monitor minimal 12 jam. Takutnya kalo
pasiennya baik2 aja di praktek terus
dibolehin pulang eh tiba2 kambuh
asmanya yang status asmatikus, dokter
bisa dituntut. Jadi untuk alasan safety,
hospitalisasi saja pasiennya…
b. Hidung
Sama, pasien juga harus diobservasi 12
jam. Dan biasanya provokasi hidung akan
berkaitan dengan respon di bronkus juga.
Karena 2 organ ini memang sangat
berkaitan.
c. Mata
d. Obat – obatan
Biasanya sebelum obat2an antibiotik
diadministrasikan. Walaupun memang
sebenarnya gak begitu efektif tapi tetap
dilakukan saja, daripada ntar kalau
misalnya pasiennya alergi trus syok trus
die, kita bisa dituntut karena ga melakukan
uji hipersensitifitas sebelumnya. Daripada
dituntut………….lakuin aja lah ya… :D
e. Makanan
Eliminasi makanan yang suspek alergi itu
selama 1 atau 2 minggu. Lalu ntar di re-
introduce lagi trus observasi ada tidaknya
gejala. Butuh kepatuhan yang tinggi dan
dukungan keluarga yang kuat. Kenapa?
Karena ngindarin telur aja sih gak masalah,
tapi ngindarin semua makanan yang
mengandung telur itu……..susah (x_x)
Untuk metodenya bisa dibaca sendiri di slide,ntar
kalo dimasukin kesini kepanjangan
3. IgE specific Antibody
Nah kalau 2 metode diagnosis diatas itu in vivo,
yang ketiga ini adalah in vitro. DIlakuin dengan
metode RAST (Radio Allergosorben test) yang
sebenarnya dulu pake radiasi, tapi karena takut
efek sampingnya sekarang kita pakai fluorescen
aja.
Kalau IgE total nya positif, artinya pasien itu
POTENSIAL untuk ATOPY. Tapi kalau IgE
spesifiknya yang positif, artnya pasien itu
POTENSIAL untuk menderita ALERGI. Bedanya
alergi sama atopy udah pada tau kan ya? ;;)
Sebenarnya metode diagnostic yang utama untuk alergi ya Cuma 3 diatas, tapi ada metode lain yang nggak
begitu popular. Contohnya yang ditulis di-slide itu ada blood eosinophil (kurang valid kalau dia cacingan /
kutuan,karena eosinophil juga bakalan naik), Eosinophil cathionic protein dan Tryptase (Mast Cell Marker)
trus ada Rhinomanometry dan acoustic rhinometry (biasa digunakan untuk mendiagnosis occupational
rhinitis allergy aja, ini udah dibandingkan dengan CT-scan dan hasilnya memiliki korelasi yang signifikan).
Sekiaaaaan! Selamat belajar semoga blok terakhir kita semua sukses yah! Kritik dan saran ditunggu :3
“Kamu akan berdiri lagi setiap kamu jatuh. Bahwa kamu akan mengejarnya sampai dapat, apapun
itu, segala keinginan, mimpi, cita – cita.”-5cm-
SKIN PRICK TEST
Distya
(Referensi : Penjelasan Skills Lab dr. Sumadiono, Sp. A. & Medscape – Skin Prick Test)
Merupakan pemeriksaan penunjang secara IN
VIVO yang digunakan untuk mengetahui adanya
sensitisasi IgE terhadap alergen tertentu. Hasil SPT
dapat diamati setelah 10-20 menit.
Prinsip dari SPT ini adalah reaksi hipersensitivitas
tipe I --- IgE mediated. Baik inhalan alergen
maupun ingested alergen dapat dicek dengan
menggunakan tes ini.
Manfaat dari SPT adalah sebagai supporting
diagnosis alergi dan menentukan alergen mana
yang harus dihindari. Sebenarnya, selain SPT ini,
ada pemeriksaan lain yang dapat digunakan, yaitu
RAST (pengecekan Ig E spesifik secara in Vitro).
Namun, RAST lebih mahal dan lebih lama proses
untuk dapat diketahui hasilnya (1-3 hari bahkan
mingguan).
Alat dan Bahan meliputi Alergen, Alat penusuk
(ex:lancet), Aseton, Alat ukur (penggaris),
Emergency Kit (adrenalin, dimenhidramin,
dexamethasone, syringe). Emergency Kit wajib
disiapkan agar jika terjadi reaksi anafilaktik kita
dapat menanganinya langsung.
Syarat bisa dilakukannya SPT antara lain tidak ada
reaksi anafilaksis yang pernah terjadi pada pasien
sebelumnya dan pasien tidak sedang
mengkonsumsi obat anti histamin dalam 10 hari.
Pemeriksaan SPT pada saat pasien mengkonsumsi
anti histamin akan membuat false negative pada
hasil.
Lokasi dari SPT ini biasanya di volar, pada bayi bisa
dilakukan di punggung (tetapi dr. Cahya Dewi
mengatakan bahwa pemeriksaan SPT di punggung
susah karena akan mudah keliru mana alergen
mana keringatnya sehingga bingung ketika akan
mem-prick.)
Kontra indikasi dari pemeriksaan ini adalah
adanya UKK yang luas/berat pada area yang akan
dilakukan skin prick test. Jika hal tersebut kita
temui pada pasien maka pasien dapat dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan IgE spesifik sebagai
penggantinya.
Prosedur pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan
2. Cuci tangan kita hingga bersih
3. Bersihkan bagian volar lengan
4. Beri nomor 1,2,3,4, dst sesuai alergen yang
akan diteskan. 1 untuk kontrol (+) dan 2 untuk
kontrol (-). Jarak antara masing-masing nomor
minimal 1 cm.
5. Teteskan alergen sesuai dengan nomornya.
6. Tusukkan lanset 45’ ke kulit, lalu di-prick. *agak
dicantol dan diangkat gitu, pasti teman2 sudah
paham lah yha seperti apa.. hehe* . Dalam step
ini, penusukan tidak boleh sampai
mengeluarkan darah. Jika mengeluarkan darah
(terlalu dalam), maka diulang di tempat lain.
7. Keringkan alergen yang tersisa dengan tissue,
tetapi tidak boleh diusap-usap. Langsung sekali
angkat.
8. Tunggu 10-15 menit.
9. Lihat, ukur, dan catat indurasi*.
*indurasi : peninggian kulit. BUKAN kemerahan
pada kulit.
Mungkin pada saat pemeriksaan SPT pasien akan
merasakan sedikit gatal, edukasikan pasien untuk
tidak menggaruk bagian yang terasa gatal tersebut
karena dapat memunculkan false positive.
Hasil dikatakan positif apabila diameter
indurasinya 3mm lebih besar dari diameter
indurasi kontrol negativenya. Jadi, misalkan
indurasi kontrol negatifnya sebesar 1mm, maka
hasil dinyatakan positif jika diameter indurasinya
4mm atau lebih.
Negatif Predictive Value dari pemeriksaan ini
adalah sebesar 95%, yang artinya hasil negatif
pada pemeriksaan pasien terhadap suatu alergen
menunjukkan bahwa pasien 95% tidak alergi
terhadap alergen tersebut sehingga pasien boleh
mengkonsumsinya.
Positive Predictive Value dari pemeriksaan ini
adalah sebesar 50-60%, yang artinya hasil positif
pada pemeriksaan pasien terhadap suatu alergen
menunjukkan bahwa pasien 50-60% alergi
terhadap alergen tersebut, tetapi juga 40-50% dari
pasien belum tentu alergi.
Menurut dr. Sumadiono, Sp.A., alergen yang digunakan untuk skin prick test bisa juga berupa alergen fresh
(misalnya : susu formula ya susu formulanya langsung diteteskan dan diprickkan, buah bisa juga, atau serum
pasien). Namun, dalam penerapan alergen fresh ini, kita harus menambah probandus lain untuk diperiksa
sebagai kontrolnya.
Setelah dilakukan SPT, pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan open challenge, sehingga dengan open
challenge kita dapat semakin yakin dengan hasil SPT sebelumnya dan dapat memberitahu pasien alergen apa
yang harus pasien hindari, karena pada dasarnya “AVOIDANCE boleh disarankan jika sudah ada bukti”- dr.
Sumadiono, Sp.A.
PATOGENESIS ALERGI By: @TaufikMP
Introduction Bismillahirrahmaanirrahim.
Gokigen you, minna-san! Di sesi ini aku mau bahas tentang kuliah Patogenesis Alergi yang dibawakan oleh
Prof. Hardyanto. Semangat membaca! ^^
Sebelum kita mulai bahas soal patogenesisnya, ada baiknya kita melihat definisi alergi dulu. Ada perbedaan
definisi alergi yang dikemukakan oleh beberapa sumber. Slide dari Prof. hardyanto mendefinisikan alergi
sebagai penyakit berupa inflamasi dan kerusakan jaringan akibat respon imun terhadap antigen lingkungan.
Berbeda dengan dosen kita, Paul (2006) menyatakan kalau saat ini ruang lingkup dari alergi disempitkan pada
penyakit yang diakibatkan oleh respon imun yang berbahaya dan terkait dengan produksi IgE.
Dalam slide Prof. Hardyanto, alergi disamakan dengan reaksi hipersensitivitas. Jadi, kalau mau mereview
materi slide ini di text book lain, carinya hipersensitivitas, ya.
Penyebab
Reaksi alergi disebabkan oleh apa yang disebut
alergen. Alergen merupakan antigen dari
lingkungan yang dapat menyebabkan reaksi alergi
pada individu tertentu (Paul, 2006). Bentuk dari
alergen ini macam-macam, ada yang berupa
inhalan, makanan, maupun kontaktan. Persamaan
di antara mereka adalah alergen harus berupa
protein kompleks atau protein dengan berat
molekul rendah.
Orang-orang tertentu memiliki kecenderungan
untuk memberikan respon immunologis yang
berlebihan terhadap alergen tertentu melalui
produksi IgE. Kecenderungan yang diturunkan
inilah yang disebut atopi. Setiap reaksi alergi atau
hipersensitivitas, belum tentu merupakan penyakit
atopik, namun setiap penyakit atopik adalah reaksi
hipersensitivitas.
Tipe Reaksi
Berdasarkan klasifikasi Coombs dan Gell, reaksi
hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe.
Reaksi tipe I – III merupakan reaksi yang dimediasi
oleh antibody, sementara reaksi tipe IV
merupakan reaksi yang dimediasi oleh sel T
(Burmester dan Pezzuto, 2002). Walaupun ada
empat macam reaksi yang berbeda, beberapa
penyakit hipersensitivitas mungkin saja
dilatarbelakangi oleh dua atau lebih tipe reaksi
yang berbeda.
Reaksi Tipe I
Immediate Hypersensitivity Reaction dan
Anaphylactic Type Reaction adalah nama lain yang
digunakan untuk menyebut reaksi tipe ini.
Karakteristik dasar dari reaksi tipe ini adalah
mediasi IgE yang memiliki peran sentral dalam
pathogenesis reaksi ini.
Reaksi ini diawali dengan paparan alergen yang
berulang pada tubuh penderita (Skoner, 2001).
Alergen ini kemudian dibawa ke Antigen
Presenting Cells (APC) yang akan memproses
alergen sebelum dibawa ke sel T CD4+, yang pada
individu atopik akan berdiferensiasi menjadi sel
Th2. Sel ini kemudian akan merangsang
diferensiasi sel B menjadi sel Plasma yang
selanjutnya akan memproduksi IgE terhadap
alergen tersebut. IgE ini kemudian menyelimuti sel
mast melalui reseptor Fc. Seluruh proses tadi
dikenal juga dikenal sebagai proses sensitisasi.
Setelah si penderita mengalami proses sensitisasi,
paparan berikutnya terhadap alergen akan
mengakibatkan alergen tersebut berikatan pada
IgE yang menyelimuti sel mast. Ikatan ini
menyebabkan sel mast mengalami degranulasi
dan melepaskan mediator proinflamasi, baik yang
tersimpan di dalamnya maupun yang baru
terbentuk. Mediator-mediator inilah yang akan
mengakibatkan gejala dan tanda dari reaksi alergi.
Proses yang dikenal juga sebagai early phase atau
immediate allergic response ini terjadi dalam
hitungan menit.
Pelepasan mediator inflamasi dari sel mast yang
dilepaskan pada early phase akan mengundang
lebih banyak sel imun seperti granulosit, limfosit T,
dan makrofag. Dalam waktu 4 – 8 jam
pascapaparan alergen, sel-sel ini akan teraktivasi
dan melepaskan mediator inflamasi yang
mengakibatkan reaksi yang serupa dengan reaksi
pada immediate allergic response (Skoner, 2001).
Reaksi inilah yang dikenal sebagai late phase.
Reaksi hipersensitivitas tipe I yang baru saja
dijelaskan merupakan reaksi yang
melatarbelakangi penyakit seperti: asma bronkial,
dermatitis atopik, rhinitis alergi, dan beberapa
reaksi alergi makanan.
Animasi yang menggambarkan reaksi ini dapat
dilihat di: http://goo.gl/k5ZSU
Reaksi Tipe II
Antibody-Mediated Cytotoxic Reaction adalah
nama lain dari reaksi hipersensitivitas tipe II.
Sesuai dengan namanya, reaksi ini melibatkan
perusakan sel tubuh pasien dengan dimediasi oleh
antibody IgG dan IgM. Antigen yang ditarget pada
reaksi ini dapat berasal dari dua sumber: antigen
intrinsik dan antigen ekstrinsik.
Antigen intrinsik adalah antigen yang berasal dari
tubuh si pasien sendiri (autoantigen). Contoh dari
antigen ini adalah antigen membran basal pada
Goodpasteur syndrome dan antigen eritrosit pada
anemia hemolitik autoimun.
Sebaliknya, antigen ekstrinsik adalah antigen yang
berasal dari luar tubuh pasien. Pada proses
hipersensitivitas tipe II, antigen ini menempel pada
membran sel dari sel tubuh pasien. Contoh dari
antigen tipe ini adalah molekul penisilin yang
menempel pada membran eritrosit pada alergi
penisilin.
Kedua tipe antigen ini, kemudian dipresentasikan
oleh APC, yang akhirnya berujung pada sensitisasi
tubuh pasien terhadap antigen tersebut. Hal ini
memicu pembentukan IgG dan IgM terhadap
antigen tersebut. IgG dan IgM tersebut kemudian
membentuk ikatan dengan antigen pasangannya.
Selanjutnya, ikatan ini akan mengaktifkan
mekanisme ‘komplemen’ yang memicu terjadinya
lisis sel target. Alternatif lainnya, ikatan ini dikenali
oleh sel NK yang juga melisiskan sel tersebut.
Alternatif terakhir, ikatan tersebut dikenali oleh
fagosit yang kemudian memfagositosis sel target.
Animasi yang menggambarkan reaksi ini dapat dilihat di: http://goo.gl/ujgt3
Reaksi Tipe III
Reaksi tipe ini disebut juga sebagai Immune
Complex-Mediated Reaction. Pada dasarnya, reaksi
ini terjadi akibat adanya deposit kompleks imun
pada jaringan tertentu yang memicu terjadinya
reaksi immunologis. Reaksi ini dimediasi oleh
antibodi yang berupa IgG dan IgM.
Reaksi ini terjadi ketika suatu antigen terikat IgG
atau IgM membentuk kompleks imun. Ada dua
nasib akhir dari kompleks imun ini. Kompleks imun
yang besar cenderung akan berikatan dengan
komplemen dan akhirnya terfagosit oleh
monosit/makrofag. Kompleks imun yang lebih kecil
cenderung terdeposit di dinding pembuluh darah
dan berikatan dengan sel mast dan leukosit lain.
Seperti yang dijelaskan di atas, kompleks imun
yang berukuran besar cenderung berikatan
dengan komplemen. Ikatan ini melepaskan
mediator C5a yang menarik leukosit ke area
inflamasi dan membuatnya melepaskan mediator-
mediator inflamasi yang mengakibatkan kerusakan
jaringan.
Selain itu, kompleks imun tersebut juga berikatan
dengan reseptor Fc pada sel mast dan leukosit.
Ikatan tersebut memicu reaksi inflamasi yang
mengakibatkan peningkatan permeabilitas vasa.
Kondisi ini mengakibatkan cairan dan sel
polymorhonuclear lebih mudah memasuki lokasi
inflamasi (Janeway, dkk., 2001).
Rangkaian reaksi di atas disebut juga reaksi
Arthrus. Kondisi ini bisa ditemukan pada penyakit
SLE, Post Streptococcal Glomerulonefritis, dan
Polyarteritis Nodosa.
Animasi yang menggambarkan reaksi ini dapat dilihat di: http://goo.gl/uV9WR
Reaksi Tipe IV
Delayed-Type Hypersensitivity Reaction adalah
istilah lain untuk reaksi tipe ini. Reaksi ini
merupakan satu-satunya reaksi hipersensitivitas
yang tidak dimediasi oleh antibodi, melainkan oleh
sel T. Reaksi ini meliputi reaksi imun yang terjadi
pada dermatitis kontak alergi, tes tuberkulin, dan
lepra.
Pada salah satu tipe Delayed-Type Hypersensitivity
Reaction, reaksi ini dipicu oleh adanya Hapten
yang menembus epidermis. Nikel, Chrome, dan
lateks adalah contoh dari molekul ini. Hapten
sendiri adalah molekul berukuran <1kDa, cukup
kecil untuk menembus epidermis, namun terlalu
kecil untuk dikenali sebagai antigen.
Mengingat ukurannya tersebut, hapten perlu
diikat oleh protein pembawa sebelum bisa
ditangkap oleh APC. APC kemudian membawa
kompleks hapten-protein ini ke limfonodi terdekat
untuk dipresentasikan pada sel T. Fase yang
dikenal sebagai fase sensitisasi ini terjadi antara
10 – 14 hari.
Jika si individu terekspose oleh hapten kembali,
sel T yang spesifik untuk hapten tersebut akan
bermigrasi ke kulit dan berproliferasi di sana.
Proses ini menyebabkan edema dan reaksi
inflamasi yang diperantarai mediator inflamasi
yang dilepaskan oleh sel tersebut. Proses ini
membutuhkan waktu antara dua sampai tiga hari
untuk memunculkan tanda dan gejala yang cukup
nyata.
Animasi yang menggambarkan reaksi ini dapat dilihat di: http://goo.gl/m4uTm
Summary
Sebelum pembahasan ini ditutup, aku mau ngasi resume dari kuliah Prof. Hardyanto ini. Resumenya kubuat
dalam bentuk table di bawah, ya. Semangat belajar! :D
Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV
Antibodi IgE IgG dan IgM IgG dan IgM -
Sel Efektor Sel Mast Eosinofil Basofil
Sel NK Fagosit
Fagosit Limfosit T Monosit/Makrofag
Komplemen - + + -
Waktu Reaksi Beberapa menit 6 – 24 jam 6 – 24 jam 48 – 72 jam
Contoh - Rhinitis alergi - Dermatitis atopik
- Asma Bronkial
- Goodpasteur Syndrome
- Myasthenia Gravis - Alergi Penisilin
- SLE - Post Streptococcal Glomerulonefritis
- Polyarteritis Nodosa
- Tes Tuberkulin - Dermatitis Kontak
Alergi - Lepra
Sumber
Burmester, G.R., Pezzuto, A. (2003) Color Atlas of Immunology. 1st
ed. New York: Thieme.
Janeway, C.A., Travers, P., Walport, M., Shlomchik, M. (2001) Immunobiology. 5th
ed. New York: Garland
Science.
Paul, W.E. (2008) Fundamental Immunology. 6th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Skoner, D.P. (2001) Allergic rhinitis Definition, epidemiology, pathophysiology, detection, and diagnosis. J
Allergy Clin Immunol, 108 (1), S2-S8.