historis forensik

13
1. Perspektif Historis Ilmu-Ilmu Forensik Ilmu Forensik adalah aplikasi ilmu dasar terhadap sistem keadilan kriminalitas. Ilmu-Ilmu dasar ini meliputi fisika, biologi, matematika, antropologi yang digulkan untuk mengidentifikasi atau membantingkan bukti fisik dalam investigasi kriminalitas. Alphonse Bertilon (1879) memperkenalkan pengukuran badan secara sistematis (antropometri) dan bahkan mengaitkannya dengan kecenderungan/ perilaku kriminalitas, namun saat ini ditolak sesuai kemajuan Ilmu pengetahuan. Hal ini paralel dengan phrenology-pseudoscience/ilmu palsu yang menyimpulkan bagian-bagian kepala dengan sifat-sifat seseorang. Tokoh ilmu forensik diantaranya, Prancis Galon (1892) mempublikasikan “Finger Prints” dan Dr. Karl Landstainer penemu golongan darah ABO (1901) mempengaruhi perkembangan ilmu forensik. Dr. Lattes mengembangkan aplikasi golongan darah untuk investigasi bercak darah kering dan ditulis dalam buku Training Manual on Forensik Science for Police Officers, yang sampai saat ini masih digunakan. Ilmuwan, jaksa penuntut umum dan hakim mempublikasikan buku Criminal Investigation berisi manfaat penggabungan mikroskopis, fisika, kimia, zoology, botany, antropometry, sidik jari dll dalam investigasi kriminalitas. Calvin Goddard mengembangkan uji balistik (test peluru). Forensik dari kata latin, yang berarti dalam pengadilan (in the court), atau forum pubik (public forum). Sejak abad

Upload: sandi

Post on 15-Sep-2015

235 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

tentang foresiiiik

TRANSCRIPT

1

1. Perspektif Historis Ilmu-Ilmu Forensik

Ilmu Forensik adalah aplikasi ilmu dasar terhadap sistem keadilan kriminalitas.Ilmu-Ilmu dasar ini meliputi fisika, biologi, matematika, antropologi yang digulkan untuk mengidentifikasi atau membantingkan bukti fisik dalam investigasi kriminalitas. Alphonse Bertilon (1879) memperkenalkan pengukuran badan secara sistematis (antropometri) dan bahkan mengaitkannya dengan kecenderungan/ perilaku kriminalitas, namun saat ini ditolak sesuai kemajuan Ilmu pengetahuan. Hal ini paralel dengan phrenology-pseudoscience/ilmu palsu yang menyimpulkan bagian-bagian kepala dengan sifat-sifat seseorang. Tokoh ilmu forensik diantaranya, Prancis Galon (1892) mempublikasikan Finger Prints dan Dr. Karl Landstainer penemu golongan darah ABO (1901) mempengaruhi perkembangan ilmu forensik. Dr. Lattes mengembangkan aplikasi golongan darah untuk investigasi bercak darah kering dan ditulis dalam buku Training Manual on Forensik Science for Police Officers, yang sampai saat ini masih digunakan. Ilmuwan, jaksa penuntut umum dan hakim mempublikasikan buku Criminal Investigation berisi manfaat penggabungan mikroskopis, fisika, kimia, zoology, botany, antropometry, sidik jari dll dalam investigasi kriminalitas. Calvin Goddard mengembangkan uji balistik (test peluru).

Forensik dari kata latin, yang berarti dalam pengadilan (in the court), atau forum pubik (public forum). Sejak abad 12 (tahun 1248) ilmu forensik telah berkembang dengan dipublikasikannya buku Hui Yuan Lu (The Washing Away of Wrong) yang menyatakan kejahatan dapat diidentifikasi melalui deteksi forensik, bahkan sampai dengan membedakan 2 helai rambut. Dalam buku itu juga telah dibahas tenteng pentingnya studi Tempat Kejadian Perkara (Crime Scene) dan kondisi luka pada korban pembunuhan. Buku yang ditulis Song Ci tahun 1248 berjudul Xi Yuan Ji Lu (collected cases of injustice rectified) adalah dokumen pertama yang menggunakan ilmu-ilmu forensik untuk kasus hukum.

Identifikasi senjata api oleh Henry Goddart, polisi Inggris (1835) yaitu membandingkan rigi selongsong peluru di TKP dengan beberapa senjata api milik tersangka. Sampai saat ini jejak selongsong peluru menjadi dasar pemeriksaan balistik.

Racun adalah salah satu studi kuno forensik, dari kata Yunani Toxicon. Hippocrates memperkenalkan toxicology dengan menggambarkan beberapa efek racun. Catherine de Medici (1518-1589) bereksperimen dengan meracuni masyarakat ekonomi rendah dan mencatat berbagai efek reaksi racun tersebut (pada abad ini, perlakuan seperti itu melanggar hukum). Pada abag 19, dokter Spanyol Mathieu Joseph Bonaventura Orfila (1787-1853) adalah ilmuwan pertama yang memperkenalkan analisa kimiawi sebagai bukti keracunan di pengadilan.

Pada abad 16, ilmu forensik berkembang dengan metode bedah mayat, dengan Ambrose Pare (Ahli bedah tentara Perancis) dan Fortunando Fidelis, Polo Zacchia (Italia) sebagai pioner dibidang ini. Dokter Perancis Fodere menulis A treatise on forensik medicine and public health

Pada abad 20, FBI (Federal Bureau Investigation) di Amerika dibentuk, menerbitkan sistem identifikasi sidik jari (Automated Fingerprint Identification System, AFIS) dengan scaning komputer.

Pada abad 21, berkembang komputer forensik dan hampir selalu menyehtuh penanganan kasus forensik.

Saat ini ilmu forensik sudah sangat berkembangan, muncul cabang-cabang keahlian spesialistik/ disiplin seperti :

1. Antropologi Forensik adalah aplikasi antropologi biologi dalam konteks hukum, biasanya berkenaan dengan penemuan dan identifikasi sisa hayat manusia yang telah menjadi rangka.

2. Arkeologi Forensik adalah aplikasi dari kombinasi tehnik arkeologi dan ilmu forensik, dalam konteks penegakan hukum.3. Biologi Forensik meliputi serologi dan analisa DNA cairan fisiologis untuk tujuan identifikasi dan individualisasi.

4. Entomologi Forensik berhubungan dengan pemeriksaan insekta pada atau di sekitar sisa hayat manusia untuk membantu menetukan waktu dan tempat kematian termasuk kemungkinan badan dipindahkan setelah kematian.

5. Geologi Forensik berhubungan dengan jejak bukti-bukti dalam bentuk tanah, mineral maupun petroleum.

6. Metereologi Forensik adalah analisa lokasi yang spesifik tentang kondisi cuaca dimasa lampau.

7. Odontologi Forensik adalah studi morfologi dan kondisi gigi.

8. Patologi Forensik adalah bidang dimana prinsip-prinsip kedokteran dan patologi diaplikasikan untuk menentukan cara dan sebab kematian atau injury dalam konteks pertanyaan hukum.

9. Toxycologi Forensik adalah studi efek obat dan racun pada badan. 2. Keahlian Antropologi Forensik dalam penentuan orang hilang/ korban kecelakaan massal/ pembunuhan

Antropologi Forensik adalah aplikasi antropologi biologi dalam konteks hukum. Antropologi Forensik berbasis pada osteologi dan anatomi manusia untuk identifikasi sisa hayat manusia yang jaringan lunaknya telah hilang sebagian atau seluruhnya sehingga tinggal kerangka. Identifikasi Antropologi Forensik bertujuan mencari jawaban atas sejumlah masalah seperti :1. Apakah temuan berupa rangka manusia atau hewan?

2. Berapa jumlah individu?

3. Apa rasnya?

4. Apa jenis kelaminnya?

5. Berapa umur dan tinggi badannya?

6. Apakah ada bekas trauma perimortemnya?Maka keahlian Antropologi Forensik sangat membantu dalam penentuan orang hilang/korban kecelakaan massal/pembunuhan. Sebagai contoh nyata peran penting Antropologi Forensik dibuktikan pada kasus kecelakaan terbakarnya pesawat Garuda Indonesia GA 200PK-2C Boing 737-400 pada rabu tanggal 3 Maret 2007 di Yogyakarta dengan jumlah korban meninggal hangus terbakar 20 orang yang terdiri 15 orang pribumi dan 5 orang WNA. Dengan cepat Antropolog Forensik mengidentifikasi jumlah korban individu berikut rasnya, sehingga dengan mudah untuk dikelompokkan, baru kemudian di teliti umur dan tinggi badannya dan penelitian lain termasuk Odonto Forensik yang membutuhkan data pembanding yang dikumpulkan dari data keluarga korban.3. Euthanasia dan saran bagi perkembangan hukum di Indonesia

Kematian secara alamiah, dapat selalu diterima sebagai hal yang wajar, sebab manusia pada saatnya akan mati, tetapi mati tidak secara / alamiah adalah mati yang tidak diharapkan. Pada mati tidak secara alamiah, apakah itu pengakhiran hidup dengan bunuh diri (zelfmoord) atau minta "dibunuh" (diakhiri hidupnya), akan ada hubungannya dengan hak seseorang untuk mati secara tidak alamiah (selanjutnya "hak untuk mati") dari seseorang. Berbicara tentang hak, maka kita berbicara tentang hukum, dan hukum selalu berisi ketentuan tentang hak dan kewajiban yang timbal-balik dan tentang boleh dan tidak boleh. Jadi, kalau ada hak untuk mati dari seseorang, maka ada kewajiban dari pihak lain untuk menghargai hak seseorang itu dan sebaliknya. Kalau tidak ada hak untuk mati, apabila seseorang melakukan bunuh diri atau melaksanakan euthanasia, maka terjadi perbuatan melanggar hukum dan perbuatan itu dapat dikenakan sanksi hukum.

Euthanasia pada dasarnya dapat dibedakan dalam 3 macam, yaitu sebagai berikut :1.Euthanasia aktifTindakan ini secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.2.Euthanasia pasifDokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien.3.Auto-euthanasiaSeorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.Auto-euthanasia telah mulai dijalankan di Amenka Serikat, di mana pasien menulis living will, yang bunyinya secara umum adalah sebagai berikut:"If I should have a terminal illness and I am unable to make medical decisions, I direct my attending physician to withhold Of withdraw medical treatment that prolongs the dying process and is not necessary to my comfort or to alleviate my pair.. "Hal ini pertama kali dilegalisasi di California pada tahun 1976, sebagai California Natural Death Act (Valko, 2001). Adalah Perhimpunan Euthanasia meluncurkan living will, wasiat sesuai pcrmintaan pasien yang isinya pada prinsipnya adalah memberi izin kepada paramedik dan keluarga untuk tidak memberi tindakan medis terhadapnya, sampai kematian menjemputnya. Berbagai tindakan medis yang boleh tidak dilakukan bila ada living will maupun bila pasien dalam kondisi permanent vegetative state antara lain: bedah, CPR (heart-lung resuscitation), antibiotik, ventilator mekanik (respirator), selang makanan dan atau cairan yang disalurkan melalui vena, hidung, ataupun perut (Valko. 2001).

Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia, melalui Pasal 344, Kitab Undang-undang Pidana (KUHPid), jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Pasal 344 KUHPid, menentukan tentang dapat dipidananya seseorang yang menghilangkan nyawa orang atas pemintaan orang itu sendiri, meskipun dinyatakan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh. Pasal 345 KUHPid: Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri. menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri. dihukum penjara selama-lamanya empat tahun. KUHPid tidak memuat pasal yang menentukan tentang dapat dipidananya orang yang telah gagal melakukan percobaan bunuh diri (poging tot zelfmoord). Dalam hal bunuh dirinya telah terjadi, tentunya hukum tidak dapat mempermasalahkannya lagi, tetapi kalau bunuh dirinya itu gagal dilakukan, maka yang bersangkutan masih hidup, hukum masih dapat mempermasalahkan tentang gagalnya percobaan bunuh diri, apakah melanggar hukum atau tidak melanggar hukum. Tetapi di Negeri Belanda, (asal dari KUHPid Indonesia - het Wetboek van Straafrecht), diatur tentang dapat dipidananya seseorang yang telah gagal melakukan percobaan bunuh diri (sekarang pasal yang mengatur tentang itu telah dicabut dari het Wetboek van Straafrecht). Mereka berpendapat bahwa orang yang berupaya membunuh dirinya sendiri, adalah orang yang sedang dalam keadaan sakit, dalam arti tidak dalam keadaan sehat rohani (jiwa). Orang yang dalam keadaan sakit jiwa, tentunya adalah orang yang dalam hukum dianggap tidak dapat menentukan kehendaknya, sehingga menghukum orang yang gagal melakukan percobaan bunuh diri tidak ada gunanya, dan juga sebenarnya mereka tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Alasan lain, dengan makin dihargainya hak manusia untuk menentukan diri sendiri (TROS), maka hak untuk mati semakin mendapatkan penghargaan dan pengertian. Sehingga orang yang gagal melakukan percobaan bunuh diri, tidak dapat dikenakan sanksi Pidana. Bahkan kepada mereka perlu mendapatkan pertolongan dalam bidang kesehatan, sehingga dirinya tidak lagi mempunyai niat untuk bunuh diri.Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati, adalah hak asasi manusia, hak yang mengalir dari "hak untuk menentukan diri sendiri" (the right of self determination -TROS), sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hak ini adalah hak asasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh siapapun dan menuntut penghargaan dan pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.Saran, dengan semakin panjangnya umur manusia dan makin tingginya insidensi penyakit degeneratif di Indonesia, living wiil dan euthanasia perlu didiskusikan di kalangan kedokteran dan pemerhati bioetika, agama, dan hukum, akan ke mana kita melangkah? Disamping pandangan agama, seperti tiga agama Asia Buda, Sinto dan Confusius yang menerima euthanasia, namun 3 agama monoteis Kristen, Yudaism dan Islam menolak euthanasia. Perlu pikirkan perlindungan hukum bagi anggota keluarga dan dokter bilamana pasien sendiri menghendaki respirator atau selang makan dilepas? Bila bantuan teknologi kedokteran dilanjutkan dan pasien terjaga dari koma dengan setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun koma, siapakah yang menanggung biayanya? Hal ini merupakan pertanyaan hipotetis namun kasus-kasus telah bermunculan dan penanganannya selalu saja ad hoc, karena pemikiran dan perhatian dalam bidang ini belum, begitu dirumuskan, dan diprioritaskan.Ketika manusia tidak berdava, janganlah diambil haknya untukada harapan kembali terjaga dan berfungsi normal sebagai mahkluk sosial. Bagaimana bila di saat tak sadarkan diri pasien sebenarnya berubah pikiran dari living wiil yang dibuatnya jauh sebelum la dalam kondisi tidak berdaya? Selain koma yang umumnya kasuistik, bagaimana dengan penyakit degeneratif seperti kanker cukup tinggi insidensinya di Indonesia? Ketika kanker yang telah dioperasi atau dikemoterapi tidak lagi efektif dihambat pertumbuhannya dan pasien dalam kondisi kesakitan luar biasa.Wewenang untuk "boleh" meninggal dengan "layak" di rumah seharusnya memperhatikan aspek utama etik yaitu respect for persons' autonomy kehendak pasien itu sendiri. Tiga prinsip dasar etik adalah penghargaan terhadap seseorang (respect for persons], hal yang menguntungkan (beneficence), dan keadilan (justice]; merupakan rumusan CIOMS, Center for International Organisations of Midical Sciences, 1993. Ketiganya memiliki kekuatan moral yang sepadan. CIOMS (1993) merumuskan bahwa penghargaan terhadap seseorang mencakup setidaknya 2 pertimbangan etik yang mendasar yaitu: (a) penghargaan atas autonomi, penting bahwa mereka yang mampu memilih pilihan personal harus diperlakukan dengan respek atas kapasitas mereka untuk menentukan sendiri (self-determination} nasibnya.; dan (b) perlindungan bagi seseorang yang autonominya hilang atau berkurang, dan wajib bahwa bagi mereka yang bergantung atau kurang dapat melindungi diri dari bahaya maupun kekerasan.

Namun demikian, selain penerapan respek terhadap autonomi pasien itu sendin dalam penyakit terminal, perlu dukungan 4 pihak terkait yaitu next of Kin, physician, family lawyer, dan religius person (N,P,L,R). Meneruskan atau menghentikan terapi pada penyakit terminal harus mengindahkan kehendak pasien disertai NPLR. Rumah sakit berkewajiban memberikan informasi akibat-akibat pemberian dan penghentian terapi, tetapi bukan rumah sakit atau Komisi Etik rumah sakit yang menentukan kapan menghentikan terapi.4. Peranan Komputer Forensik

Komputer Forensik adalah alat dan tehnik untuk mengungkap, menyimpan, dan memeriksa data yang dimasukkan atau ditransmisikan dalam bentuk biner. Kemajuan Komputer Forensik di abad ini sudah sangat berkembang, terutama di negara di negara-negara maju. Komputer Forensik tidak lagi hanya digeluti oleh peminat teknologi komputer tetapi juga oleh penegak hukum untuk merekonstruksi kejahatan, menemukan secara digital, yang intinya mengungkap jejak elektronik untuk membuktikan ada atau tidaknya kaitan suatu peristiwa. Hal ini sudah dibuktikan dan ternyata efektif pada beberapa kasus seperti hilangnya Candra Levy, musibah Enron/ Arthur Anderson, kasus kematian Danielle Van Dam, uji coba anti trust Microcoft, skandal sex Presiden Clinton, dan melacak Al Qaeda.Pada Komputer Forensik penyidik tidak hanya sekedar mendapat bukti , namun harus bisa mengungkap dan mengubungkan bukti tersebut. Oleh karena itu, yang menjadi tantangan adalah, harus dimana mencari? Tehnik apa yang akan membuat bukti muncul? Dan apakah bukti bisa digunakan dalam proses hukum?.

Para ahli Komputer Forensik dapat menganalisa waktu kapan modifikasi/akses/pembuatan file dimulai, dimana bukti digital kemungkinan disimpan (hard drive, floppy disk, CD-ROM, PDA) dan pada lokasi seperti sprint spooler files, hidden partitions, registries, system logs, bad cluster, dan/atau metafiles. Komputer Forensik mempunyai tehnik untuk mengungkap data yang sudah dihapus, mengetahui password, menganalisa file slack, unallocated space, dan mencari email untuk bukti dan informasi isinya. Namun masih menjadi kontroversial untuk proses hukum adalah kemampuan perangkat lunak yang diperiksa, apakah ada rata-rata eror yang bisa diukur dari perangkat lunak yang memungkinkan hilangnya bukti potensial?Yang menarik adalah analisis komputer forensik, bukti digital membutuhkan tantangan baru, karena sifat bukti digital yang tidak berbicara, berlalu dengan cepat, dan tidak dapat diraba berlawanan dengan sifat fisik persisten yang digunakan pada disiplin ilmu lain, seperti halnya pola ridge sidik jari, karakteristik tulang untuk antropologi forensik. Kemampuan sumber daya manusia untuk mengungkap, mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis ratusan gigabyte data dalam suatu jaringan bukanlah tugas yang mudah.Sebagai simpulan, dalam era teknologi saat ini, bukti digital semakin banyak di tempat kejadian perkara (TKP) dan permasalahan di masyarakat. Komputer forensik adalah disiplin ilmu yang semakin dibutuhkan dalam memecahkah masalah. Namun kewaspadaan terhadap sabotase dan spionase juga harus lebih diperhatikan.