hidradenitif supureatif

28
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1

Upload: rianda-dwi-putra

Post on 19-Jan-2016

61 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

presentasi

TRANSCRIPT

Page 1: hidradenitif supureatif

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari

lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-

kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ essensial, dimana dari kulit dapat

mencerminkan kesehatan seseorang. Kulit juga sangat kompleks, elastis, dan

sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, seks, ras, umur, dan juga bergantung

pada lokasi tubuh. Warna kulit juga berbeda-beda, dari kulit yang berwarna

terang. Pirang, hingga hitam. Warna merah muda pada telapak tangan dan kaki,

serta warna hitam kecoklatan pada genitalia orang dewasa.

Kulit dapat dilihat dan diraba, dan menjamin kelangsungan hidup.

Kulitpun menyokong penampilan dan kepribadian seseorang. Selain itu kulit juga

mempunyai fungsi yang berperan penting yaitu proteksi, absorbsi, ekskresi,

persepsi, pengaturan suhu tubuh, pembentukkan pigmen, keratinisasi, dan

pembentukkan vitamin D dengan bantuan matahari. Dengan anatomi dan

fisiologinya, kulit terancang sangat sempurna. Namun dalam menjalankan

fungsinya kulit juga dapat mengalami gangguan baik itu yang disebabkan infeksi

bakteri, virus atau jamur, atau karena trauma, dan lainnya. Dalam makalah ini

akan dibahas tentang penyakit kulit yang diakibatkan infeksi bakteri, yaitu

Hidradenitis Supurativa.

1

Page 2: hidradenitif supureatif

1.2 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui anatomi dan fisiologi kulit.

2. Menjelaskan tentang hidradenitis supuratif.

3. Menginformasikan penyebab - penyebab dari hidradenitis supuratif.

4. Mengetahui patogenesa hidradenitis supuratif.

5. Mengetahui manifestasi klinis hidradenitis supuratif.

6. Mengetahui pemeriksaan diagnosis hidradenitis supuratif.

7. Mengetahui diagnosis banding hidradenitis supuratif.

8. Mengetahui penatalaksanaan dan terapi hidradenitis supuratif.

2

Page 3: hidradenitif supureatif

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi kulit

Gambar 1. Anatomi dan Fisiologi kulit

Kulit dibagi menjadi 3 lapisan :

1. Epidermis

Epidermis tersusun atas lapisan tanduk (lapisan korneum) dan lapisan

Malpighi. Lapisan korneum merupakan lapisan kulit mati, yang dapat

mengelupas dan digantikan oleh sel-sel baru. Lapisan Malpighi terdiri atas

lapisan spinosum dan lapisan germinativum. Lapisan spinosum berfungsi

menahan gesekan dari luar. Lapisan germinativum mengandung sel-sel

yang aktif membelah diri, mengantikan lapisan sel-sel pada lapisan

3

Page 4: hidradenitif supureatif

korneum. Lapisan Malpighi mengandung pigmen melanin yang memberi

warna pada kulit.Lapisan Malpighi juga berfungsi sebagai pelindung dari

bahaya sinar matahari terutama sinar ultraviolet.

2. Dermis

Lapisan ini mengandung pembuluh darah, akar rambut, ujung saraf,

kelenjar keringat, dan kelenjar minyak. Kelenjar keringat menghasilkan

keringat. Banyaknya keringat yang dikeluarkan dapat mencapai 2.000 ml

setiap hari, tergantung pada kebutuhan tubuh dan pengaturan suhu.

Keringat mengandung air, garam, dan urea. Fungsi lain sebagai alat

ekskresi adalah sebgai organ penerima rangsangan, pelindung terhadap

kerusakan fisik, penyinaran, dan bibit penyakit, serta untuk pengaturan

suhu tubuh.

Pada suhu lingkungan tinggi (panas), kelenjar keringat menjadi aktif dan

pembuluh kapiler di kulit melebar. Melebarnya pembuluh kapiler akan

memudahkan proses pembuangan air dan sisa metabolisme. Aktifnya

kelenjar keringat mengakibatkan keluarnya keringat ke permukaan kulit

dengan cara penguapan. Penguapan mengakibatkan suhu di permukaan

kulit turun sehingga kita tidak merasakan panas lagi. Sebaliknya, saat

suhu lingkungan rendah, kelenjar keringat tidak aktif dan pembuluh

kapiler di kulit menyempit. Pada keadaan ini darah tidak membuang sisa

metabolisme dan air, akibatnya penguapan sangat berkurang, sehingga

suhu tubuh tetap dan tubuh tidak mengalami kendinginan. Keluarnya

keringat dikontrol oleh hipotalamus.Hipotalamus adalah bagian dari otak

yang terdiri dari sejumlah nukleus dengan berbagai fungsi yang sangat

peka terhadap steroid dan glukokortikoid, glukosa dan suhu

4

Page 5: hidradenitif supureatif

3. Lemak subkutan

Lapisan ini terletak di bawah dermis. Lapisan ini banyak mengandung

lemak. Lemak berfungsi sebagai cadangan makanan, pelindung tubuh

terhadap benturan, dan menahan panas tubuh.

FUNGSI KULIT SECARA UMUM

1. Sebagai proteksi

· Masuknya benda- benda dari luar(benda asing ,invasi bacteri.)

· Melindungi dari trauma yang terus menerus.

· Mencegah keluarnya cairan yang berlebihan dari tubuh.

· Menyerap berbagai senyawa lipid vit. A dan D yang larut lemak.

· Memproduksi melanin mencegah kerusakan kulit dari sinar UV.

2. Pengontrol /pengatur suhu.

· Vasokonstriksi pada suhu dingn dan dilatasi pada kondisi panas peredaran

darah meningkat terjadi penguapan keringat.

3 proses hilangnya panas dari tubuh:

· Radiasi: pemindahan panas ke benda lain yang suhunya lebih rendah.

· Konduksi : pemindahan panas dari ubuh ke benda lain yang lebih dingin yang

bersentuhan dengan tubuh.

· Evaporasi : membentuk hilangnya panas lewat konduksi

· Kecepatan hilangnya panas dipengaruhi oleh suhu permukaan kulit yang

ditentukan oleh peredaran darah kekulit.(total aliran darah N: 450 ml / menit.)

3. Sensibilitas

mengindera suhu, rasa nyeri, sentuhan dan rabaaan.

5

Page 6: hidradenitif supureatif

4. Keseimbangan air

· Sratum korneum dapat menyerap air sehingga mencegah kehilangan air serta

elektrolit yang berlebihan dari bagian internal tubuh dan mempertahankan

kelembaban dalam jaringan subcutan.

· Air mengalami evaporasi (respirasi tidak kasat mata)+ 600 ml / hari untuk

dewasa.

5. Produksi vitamin

· Kulit yang terpejan sinar Uvakan mengubah substansi untuk mensintesis

vitamin D.

6

Page 7: hidradenitif supureatif

2.2 Hidradenitis Supuratif

2.2.1 Definisi

Hidradenitis suppurativa atau Verneuil’s disease atau acne inversa adalah

penyakit kulit yang bersifat kronik dan berulang yang ditandai dengan lesi

peradangan serta nyeri pada daerah tubuh yang memiliki kelenjar apokrin,

meskipun kelenjar apokrin sendiri tidak secara langsung berhubungan dengan

proses terjadinya penyakit ini. Pada umumnya terjadi di area axilla, inguinal

ataupun area anogenital. Hidradenitis suppurativa menyebabkan morbiditas fisik

dan psikologis pada penderitanya.

Hidradenitis suppurativa (HS) merupakan kondisi kronis yang dapat

melemahkan penderitanya. Penyakit ini ditandai dengan beberapa periode

inflamasi yang bersifat sementara namun berulang dan sangat menyakitkan.

Periode remisinya dapat berlangsung hingga beberapa tahun. Pada tahap awal

penyakit, lesi yang terbentuk berbentuk pustul namun kemudian akan

membentuk lesi yang supuratif dan membentuk pengeringan luka kronis dan

saluran sinus.

Pada kenyataannya, seringkali terjadi kesalahan diagnosis untuk HS dan

menyebabkan pengobatan yang tidak maksimal serta menurunkan kualitas hidup

penderita.

Studi terakhir menunjukkan bahwa HS ditemukan pada 1% dari populasi

penduduk di dunia dimana HS terjadi lebih banyak pada perempuan dibanding

laki-laki dengan perbandingan 4:1. Biasanya penyakit ini terjadi pada usia

pubertas hingga setelah usia 40 tahun, sehingga diduga terdapat keterlibatan

hormonal pada mekanisme terjadinya penyakit ini.

7

Page 8: hidradenitif supureatif

2.2.2 Etiologi

Belum banyak yang diketahui mengenai mekanisme dasar terjadinya

hidradenitis suppurativa. Namun, telah banyak beberapa studi yang mencoba

memberikan klarifikasi mengenai etiologi penyakit ini. Hidradenitis supurativa

(HS) telah dianggap sebagai gangguan pada kelenjar apokrin, yang dihubungkan

dengan beberapa faktor predisposisi dibawah ini:

a. Obesitas

Pada penelitian dari 164 pasien dengan HS menunjukkan bahwa 20%

pasien memiliki berat badan yang overweight dan 20% adalah obese. BMI

rata-rata pasien adalah 23.6 kg/m yang menunjukkan bahwa obesitas

mungkin bukan merupakan faktor etiologi yang mutlak, namun berperan

dalam progresi dari penyakit.

b. Kebiasaan Merokok

Rokok bukan merupakan penyebab primer dari HS, namun memiliki

asosiasi yang kuat serta peran patogenik dalam terjadinya penyakit.

Penderita HS dengan kebiasaan merokok memiliki gejala klinis yang lebih

buruk.

c. Genetik

Hidradenitis supurativa juga di wariskan secara genetik. Penelitian lain

telah menduga adanya keteribatan autosomal dominan dengan transmisi

gen tunggal. Namun perkembangan mengenai keterlibatan gen dalam

patogenesis HS belum diidentifikasi secara mendalam.

d. Hormonal

Faktor hormonal dapat berpengaruh dalam mengontrol pengeluaran

keringat. Kecendrungan terjadinya penyakit HS pada masa pubertas atau

post pubertas memungkinkan adanya keterlibatan dari hormon androgen.

Kelenjar keringat apokrin dirangsang oleh androgen dan ditekan oleh

8

Page 9: hidradenitif supureatif

estrogen. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa derajat keparahan HS

pada penderita meningkat sebelum periode menstruasi dan berkurang saat

kehamilan. Sebagian penderita juga merespon cukup baik dengan terapi

hormonal.

e. Infeksi Sekunder dari Bakteri

Walaupun etiologi dari HS belum diketahui, berbagai jenis

mikroorganisme dapat diisolasi dari lesi HS, umumnya golongan

Staphylococcus. Sebagian peneliti berasumsi bahwa bakteri ini dapat

merupakan flora normal kulit atau merupakan infeksi sekunder.

2.2.3 Patogenesis

Patogenesis dari Hidradenitis Suppurativa masih belum jelas. Studi

histologis menunjukkan bahwa penyakit ini bersifat multifokal dimana terjadi

atrofi kelenjar sebaseal yang diikuti oleh inflamasi dan hiperkeratosis dari unit

pilosebaseal, dan selanjutnya terjadi destruksi folikel rambut serta pembentukan

ganuloma.

Terdapat spekulasi bahwa proses penyembuhan dari HS membentuk

jaringan parut dan pembentukan saluran sinus. Investigasi terbaru menunjukkan

adanya keterlibatan dari interleukin-12, interleukin-13 dan Tumor Necroting

Factor α (TNF-α) sehingga menguatkan pendapat bahwa HS merupakan penyakit

imunologi.

Urutan berikut ini dapat mengambarkan dugaan mekanisme

pengembangan lesi:

1. Keratin menyumbat folikel rambut dimana kemudian terjadi dilatasi

folikel rambut yang melibatkan kelenjar apokrin sehingga terjadi

inflamasi.

2. Terjadi pertumbuhan bakteri dalam saluran folikel.

9

Page 10: hidradenitif supureatif

3. folikel yang mengandung bakteri ini dapat pecah sehingga terjadi

peradangan/infeksi.

4. Terbentuk nanah / kerusakan jaringan.

5. Pembentukan ulkus dan fibrosis saluran sinus.

2.2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada tahap awal penyakit ini termasuk komedo yang

besar dan serabut nodul yang dapat dilihat. Dalam kasus seperti ini dapat lebih

mendalam dan menyatu membentuk bisul dan saluran sinus. Sebagai

tambahannya, berwarna gelap, plak peradangan yang disusupi dapat terlihat.

Tekanan dapat menyebabkan sekresi nanah, sebum (sekresi berminyak dari

kelenjar sebaseus) atau sebuah sekresi yang berbau busuk. Pada poin

selanjutnya, penyakit ini ditandai dengan banyak daerah bekas luka akibat

peradangan yang terbakar. Daerah penyembuhan yang telah disebabkan oleh

hidradenitis suppurativa dengan berbekas luka dapat menyebabkan kontraktur

(kondisi pemendekan dan pengerasan sebuah otot, tendon, atau jaringan

lainnya, selalu menyebabkan perubahan bentuk tubuh sebagian, dan terjadi rasa

kaku pada sendi) dan sangat membatasi mobilitas anggota tubuh. Komplikasi

yang paling berat dari hidradenitisi suppurativa pada daerah anogenital (daerah

yang berhubungan anus dan genital) adalah perkembangan karsinoma sel

squamos pada dasar peradangan kronis.

10

Page 11: hidradenitif supureatif

Gambar 2. Peradangan kronis.

2.2.5 Diagnosis

Diagnosis hidradenitis suppurativa umumnya ditegakkan secara klinis.

Tidak ada pemeriksaan penunjang yang secara pasti dapat menegakkan diagnosa

dan biopsi biasanya jarang dilakukan.

Gejala awal dapat berupa rasa tidak nyaman, gatal, kemerahan, rasa

terbakar dan hiperhidrosis. Keluhan ini biasanya berlangsung kronis dan

progresif. Faktor resiko dan predisposisi seperti jenis kelamin perempuan, usia,

obesitas, kebiasaan merokok ataupun riwayat HS pada keluarga juga mendukung

penegakan diagnosis.

Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan ruam ataupun nodul dengan

tanda inflamasi akut (rubor, dolor, kalor, tumor, fungsio laesa). Nodul dapat

berbau, juga dapat ditemukan traktus sinus yang mengeras ataupun abses

dengan cairan yang purulen dan membentuk fistel. Lesi biasanya terdapat pada

daerah axilla (paling sering), inguinal dan anorektal. Pada sebagian kasus juga

dapat terlihat daerah indurasi dan jaringan parut.

11

Page 12: hidradenitif supureatif

Untuk menentukan derajat klinis dari HS, maka dipergunakan klasifikasi

Hurley Clinical Staging yang hingga saat ini masih dipergunakan di seluruh dunia.

Pada klasifikasi ini, terdapat tiga stadium dalam perkembangan penyakit ini.

Stadium primer berupa abses yang berbatas tegas, tanpa bekas luka dan tanpa

adanya saluran sinus. Stadium sekunder berupa terbentuknya saluran sinus

dengan bekas luka akibat bekas garukan serta abses yang berulang. Stadium

tersier menunjukkan lesi yang menyatu, terbentuknya bekas luka, serta adanya

inflamasi dan discharge saluran sinus.

Kriteria diagnostik hidradenitis supurativa menurut the 2nd International

Conference on Hidradenitis supurativa, March 5, 2009, San Francisco, CA US

adalah:

a) Lesi yang khas: nodul yang letaknya dalam, abses, sinus, skar dan

tombstone serta komedo terbuka pada lesi sekunder.

b) Topografi yang khas: pada regio axilla, pangkal paha, perineum dan

regio perianal, bokong, ataupun area lipatan inframammae dan

intermammae.

c) Kronik dan berulang

12

Page 13: hidradenitif supureatif

Semua kriteria harus terpenuhi untuk diagnosis yang tepat.

Pada beberapa kasus, pemeriksaan penunjang dapat membantu. Biopsi

ataupun kultur bakteri dapat menjadi indikasi untuk kasus-kasus yang tidak khas.

Pemeriksaan laboratorium yang rutin pada lesi HS biasanya negatif, walaupun

terkadang ditemukan infeksi sekunder dari bakteri seperti Staphylococcus

aureus. Jika ada indikasi operasi, USG dapat membantu dalam persiapan

preoperasi untuk menilai perluasan dari lesi. USG dapat dilakukan pada dermis

dan folikel untuk melihat formasi abses dan kelainan bagian profunda dari folikel.

Pada pemeriksaan histopatologi, lesi awal dapat ditandai dengan

sumbatan keratinosa dalam duktus apokrin atau orifisium folikel rambut dan

distensi kistik folikel.Proses ini umumnya meluas ke kelenjar apokrin. Dapat pula

ditemukan hiperkeratosis, folikulitis aktif atau abses, pembentukan traktus sinus,

fibrosis dan granuloma. Pemeriksaan histologis struktur adneksa dengan tanda-

tanda peradangan kelenjar apokrin hanya ditemukan pada 1/3 kasus. Pada

lapisan subkutis dapat ditemukan fibsosis, nekrosis lemak dan inflamasi.

Walaupun lesi dari HS tampak cukup khas, biasanya HS hanya didiagnosa

setelah adanya penundaan diagnosa yang cukup lama. Jarak waktu rata-rata

penundaan dalam mendiagnosis HS adalah 12 tahun. Banyak kasus mengalami

misdiagnosis dan diobat dengan antibiotik yang pada awal pemberiannya dapat

terlihat efektif namun tidak memberikan kesembuhan bagi penderita.

Penilaian derajat keparahan penyakit dengan Hurley Staging System

dianggap cukup bermanfaat dalam menentukan terapi. Pada mayoritas kasus,

pasien dengan derajat II pada saat didiagnosa mencerminkan adanya penundaan

diagnosa. Sedangkan hanya sekitar 1% pasien derajat III yang mengalami

progresivitas pasca terapi.

13

Page 14: hidradenitif supureatif

2.2.6 Diagnosa Banding

a. Furunkel dan Karbunkel

Nodul dan abses yang nyeri pada hidradenitis supurativa sering

membuat salah diagnosis dengan furunkel atau karbunkel. Pada

furunkel atau karbunkel, infeksi dan distribusi lesi biasanya asimetris

dan menyerang secara acak pada beberapa lokasi di tubuh, sedangkan

daerah predileksi HS yaitu pada aksila, lipat paha, pantat atau dibawah

payudara. Selain itu, HS ditandai dengan abses steril dan sering

berulang.

Pada pemeriksaan mikrobiologi, patogen akan ditemukan pada

furunkel atau karbunkel. Selain itu, terapi antibiotik secara topikal atau

sistemik akan memberikan perubahan yang signifikan.

Gambar 3. Furunkel Gambar 4. Karbunkel

14

Page 15: hidradenitif supureatif

b. Limfogranuloma venereum (LGV).

Hidradenitis supurativa yang terdapat di lipatan paha terkadang

mirip dengan limfadenitis pada LGV. Perbedaan yang penting adalah

pada LGV terdapat riwayat kontak seksual. Pada stadium lanjut LGV

terdapat gejala bubo bertingkat yang berarti pembesaran kelenjar di

inguinal medial dan fosa iliaka. Pada LGV tes Frei positif.

Gambar 5. LymphogranolomaVenereum (LGV)

c. Kista Epidermoid/Dermoid

Kista epidermoid dapat ditemukan pada penderita HS, namun

biasanya kista ini muncul secara independen meskipun terletak

ditempat yang sama dengan nodul HS. Kista biasanya tunggal dan

asimetri. Kista epidermoid memiliki permukaan yang elastis, dome-

shaped, superficial dan mobile.

15

Page 16: hidradenitif supureatif

2.2.7 Penatalaksanaan dan Terapi

Memberi informasi kepada pasien bahwa penyakitnya bisa jadi

disebabkan oleh infeksi.

Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan obat secara teratur dan

tidak menghentikan pengobatan tanpa izin dokter.

Menyarankan kepada pasien untuk jangan menggerok atau memecahkan

bintil dan benjolan, memakai pakaian yang longgar, mandi dengan

menggunakan air hangat dan menjaga kebersihan.

Terapi pada hidradenitis supurativa berbeda pada tiap stadium penyakit

tersebut. Kriteria Hurley dapat digunakan untuk menentukan stadium dari

penyakit ini.

Stadium I

Terapi pada stadium I bersifat kuratif dan profilaksis, yaitu bertujuan untuk

menyembuhkan dan mencegah berkembangnya penyakit ke stadium II, serta

mempersingkat durasi dari lesi. Pengobatan yang diberikan berupa antibiotik

topikal, antibiotik sistemik jangka pendek 7-10 hari, dan adjuvan untuk

meningkatkan keberhasilan terapi. Terapi yang diberikan yaitu:

Topikal:

Klindamisin 1-2%

Resorcinol

Antibiotik sistemik:

Tetrasiklin

Eritromisin atau antibiotik golongan makrolid lainnya

Amoksisilin

Klindamisin

Terapi Adjuvan:

Zinc Glukonat

16

Page 17: hidradenitif supureatif

Asam azelaic

Stadium II

Terapi pada stadium II bertujuan untuk mengobati atau setidaknya

menurunkan progresifitas penyakit hingga ke stadium I. Terbentuknya sinus

dan jaringan parut memerlukan kombinasi antara terapi medikamentosa dan

operatif. Terapi medikamentosa bertujuan untuk mengontrol inflamasi akut

dan persiapan operasi.

Pada pasien dengan inflamasi berat dan jaringan parut yang minimal,

diberikan antibiotik sistemik jangka panjang secara intensif selama 3 bulan.

Jika nyeri, suppurasi dan frekuensi timbulnya lesi berkurang, terapi

maintenance diberikan, berupa tetrasiklin atau zinc dosis tinggi atau dapson.

Terapi operatif diberikan jika terbentuk banyak jaringan parut dan sinus,

berupa eksteriorisasi, eksisi, maupun laser. Berikut ini jenis-jenis terapi yang

diberikan pada hidradenitis stadium II:

Antibiotik sistemik:

Klindamisin + Rifampisin

Dapson

Terapi maintenance atau adjuvan:

Tetrasiklin

Zinc Glukonat

Terapi operatif:

Eksteriorisasi

Eksisi lokal

Laser evaporasi

17

Page 18: hidradenitif supureatif

Stadium III

Terapi medikamentosa pada stadium III tidak bersifat kuratif, hanya

bersifat paliatif sebab penyakit akan terus kambuh. Kombinasi antibiotik

klindamisin dan rifampisin biasanya digunakan. Terapi immunosupresif

berupa kortikosteroid dan siklosporin dapat pula diberikan.

Terapi kuratif yang dapat dilakukan pada stadium ini yaitu operasi

ekstensif, berupa tindakan eksisi area lesi. Berikut ini jenis-jenis terapi yang

diberikan pada stadium III:

Terapi medikamentosa (paliatif):

Kortikosteroid

Siklosporin

Terapi operatif:

Eksisi luas

18

Page 19: hidradenitif supureatif

BAB III

PENUTUP

Hidradenitis supuratif adalah gangguan yang berpotensi berat dengan

dampak negatif pada kualitas hidup dan komplikasi yang mengancam jiwa.

Pengobatan konservatif memainkan peran dalam tahap ringan, tetapi

pembedahan tetap satu-satunya terapi untuk penyembuhan, terutama pada

stadium lanjut. Ini adalah yang paling luar biasa bahwa obesitas adalah co-

morbiditas utama pada hidradenitis supuratif, tetapi juga merupakan faktor

risiko untuk hidradenitis supuratif yang parah. Jaringan adipose pada obesitas

ditandai dengan inflamasi kronis tingkat rendah yang berkelanjutan dengan

makrofag yang menyerang stromanya, angiogenesis, dan aktivasi dari kaskade

adhesi leukosit. Jaringan adiposa Obesitas mengeluarkan berbagai sitokin

inflamasi termasuk TNFa.

Dalam hidradenitis supuratif tingkat lanjut (Hurley kelas III), jaringan

adiposa secara langsung dipengaruhi oleh inflamasi pada fistula. Dan sebaliknya,

orang dapat berspekulasi bahwa jaringan adiposa sendiri memberikan kontribusi

untuk keparahan dan kelanjutan hidradenitis supuratif pada pasien obesitas. Jika

itu benar, pengobatan apapun yang tidak dapat mengembalikan inflamasi

jaringan adiposa akan gagal untuk mengendalikan hidradenitis supuratif. Hanya

pembedahan yang luas mampu memulihkan gangguan lokal system kekebalan

tubuh bawaan. Wawasan lebih lanjut pada mekanisme imun,bagaimanapun juga,

akan berkaitan dengan terapi obat baru di masa depan.

19

Page 20: hidradenitif supureatif

REFERENSI

Wiseman, M.C. 2008. Hidradenitis Suppurativa. In Wolff K., Goldsmith,

L.A., Katz, S.I. Gilcherts, B.A., Paller, A.S., Lefell, D.J.(Eds) ’Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine’ Volume I. 7th Edition. USA: McGraw-

Hill

Behman, Klegman, Arvin. 2009. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC

Schwartz, Shires-Spencer. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi

6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Barankin, B; Freiman, A. 2006. Derm Notes: Dermatology Clinical Pocket

Guide. Philadelpia Davis Company

Brown, RG., Burns, T. Lecture notes :Dermatologi. Edisi Kedelapan. Jakarta

: Erlangga

Hall, John C. 2006. Sauer's Manual of Skin Diseases, 9th Edition. Kansas

City, Missouri: University of Missouri-Kansas City School of Medicine,

Clinician, Kansas City Free Health Clinic.

Amiruddin, Dali, dkk. Buku Ajar Penyakit Kulit di Daerah Tropis

“Hidradenitis supurativa”.

20