hidradenitif supureatif
DESCRIPTION
presentasiTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-
kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ essensial, dimana dari kulit dapat
mencerminkan kesehatan seseorang. Kulit juga sangat kompleks, elastis, dan
sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, seks, ras, umur, dan juga bergantung
pada lokasi tubuh. Warna kulit juga berbeda-beda, dari kulit yang berwarna
terang. Pirang, hingga hitam. Warna merah muda pada telapak tangan dan kaki,
serta warna hitam kecoklatan pada genitalia orang dewasa.
Kulit dapat dilihat dan diraba, dan menjamin kelangsungan hidup.
Kulitpun menyokong penampilan dan kepribadian seseorang. Selain itu kulit juga
mempunyai fungsi yang berperan penting yaitu proteksi, absorbsi, ekskresi,
persepsi, pengaturan suhu tubuh, pembentukkan pigmen, keratinisasi, dan
pembentukkan vitamin D dengan bantuan matahari. Dengan anatomi dan
fisiologinya, kulit terancang sangat sempurna. Namun dalam menjalankan
fungsinya kulit juga dapat mengalami gangguan baik itu yang disebabkan infeksi
bakteri, virus atau jamur, atau karena trauma, dan lainnya. Dalam makalah ini
akan dibahas tentang penyakit kulit yang diakibatkan infeksi bakteri, yaitu
Hidradenitis Supurativa.
1
1.2 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi kulit.
2. Menjelaskan tentang hidradenitis supuratif.
3. Menginformasikan penyebab - penyebab dari hidradenitis supuratif.
4. Mengetahui patogenesa hidradenitis supuratif.
5. Mengetahui manifestasi klinis hidradenitis supuratif.
6. Mengetahui pemeriksaan diagnosis hidradenitis supuratif.
7. Mengetahui diagnosis banding hidradenitis supuratif.
8. Mengetahui penatalaksanaan dan terapi hidradenitis supuratif.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi kulit
Gambar 1. Anatomi dan Fisiologi kulit
Kulit dibagi menjadi 3 lapisan :
1. Epidermis
Epidermis tersusun atas lapisan tanduk (lapisan korneum) dan lapisan
Malpighi. Lapisan korneum merupakan lapisan kulit mati, yang dapat
mengelupas dan digantikan oleh sel-sel baru. Lapisan Malpighi terdiri atas
lapisan spinosum dan lapisan germinativum. Lapisan spinosum berfungsi
menahan gesekan dari luar. Lapisan germinativum mengandung sel-sel
yang aktif membelah diri, mengantikan lapisan sel-sel pada lapisan
3
korneum. Lapisan Malpighi mengandung pigmen melanin yang memberi
warna pada kulit.Lapisan Malpighi juga berfungsi sebagai pelindung dari
bahaya sinar matahari terutama sinar ultraviolet.
2. Dermis
Lapisan ini mengandung pembuluh darah, akar rambut, ujung saraf,
kelenjar keringat, dan kelenjar minyak. Kelenjar keringat menghasilkan
keringat. Banyaknya keringat yang dikeluarkan dapat mencapai 2.000 ml
setiap hari, tergantung pada kebutuhan tubuh dan pengaturan suhu.
Keringat mengandung air, garam, dan urea. Fungsi lain sebagai alat
ekskresi adalah sebgai organ penerima rangsangan, pelindung terhadap
kerusakan fisik, penyinaran, dan bibit penyakit, serta untuk pengaturan
suhu tubuh.
Pada suhu lingkungan tinggi (panas), kelenjar keringat menjadi aktif dan
pembuluh kapiler di kulit melebar. Melebarnya pembuluh kapiler akan
memudahkan proses pembuangan air dan sisa metabolisme. Aktifnya
kelenjar keringat mengakibatkan keluarnya keringat ke permukaan kulit
dengan cara penguapan. Penguapan mengakibatkan suhu di permukaan
kulit turun sehingga kita tidak merasakan panas lagi. Sebaliknya, saat
suhu lingkungan rendah, kelenjar keringat tidak aktif dan pembuluh
kapiler di kulit menyempit. Pada keadaan ini darah tidak membuang sisa
metabolisme dan air, akibatnya penguapan sangat berkurang, sehingga
suhu tubuh tetap dan tubuh tidak mengalami kendinginan. Keluarnya
keringat dikontrol oleh hipotalamus.Hipotalamus adalah bagian dari otak
yang terdiri dari sejumlah nukleus dengan berbagai fungsi yang sangat
peka terhadap steroid dan glukokortikoid, glukosa dan suhu
4
3. Lemak subkutan
Lapisan ini terletak di bawah dermis. Lapisan ini banyak mengandung
lemak. Lemak berfungsi sebagai cadangan makanan, pelindung tubuh
terhadap benturan, dan menahan panas tubuh.
FUNGSI KULIT SECARA UMUM
1. Sebagai proteksi
· Masuknya benda- benda dari luar(benda asing ,invasi bacteri.)
· Melindungi dari trauma yang terus menerus.
· Mencegah keluarnya cairan yang berlebihan dari tubuh.
· Menyerap berbagai senyawa lipid vit. A dan D yang larut lemak.
· Memproduksi melanin mencegah kerusakan kulit dari sinar UV.
2. Pengontrol /pengatur suhu.
· Vasokonstriksi pada suhu dingn dan dilatasi pada kondisi panas peredaran
darah meningkat terjadi penguapan keringat.
3 proses hilangnya panas dari tubuh:
· Radiasi: pemindahan panas ke benda lain yang suhunya lebih rendah.
· Konduksi : pemindahan panas dari ubuh ke benda lain yang lebih dingin yang
bersentuhan dengan tubuh.
· Evaporasi : membentuk hilangnya panas lewat konduksi
· Kecepatan hilangnya panas dipengaruhi oleh suhu permukaan kulit yang
ditentukan oleh peredaran darah kekulit.(total aliran darah N: 450 ml / menit.)
3. Sensibilitas
mengindera suhu, rasa nyeri, sentuhan dan rabaaan.
5
4. Keseimbangan air
· Sratum korneum dapat menyerap air sehingga mencegah kehilangan air serta
elektrolit yang berlebihan dari bagian internal tubuh dan mempertahankan
kelembaban dalam jaringan subcutan.
· Air mengalami evaporasi (respirasi tidak kasat mata)+ 600 ml / hari untuk
dewasa.
5. Produksi vitamin
· Kulit yang terpejan sinar Uvakan mengubah substansi untuk mensintesis
vitamin D.
6
2.2 Hidradenitis Supuratif
2.2.1 Definisi
Hidradenitis suppurativa atau Verneuil’s disease atau acne inversa adalah
penyakit kulit yang bersifat kronik dan berulang yang ditandai dengan lesi
peradangan serta nyeri pada daerah tubuh yang memiliki kelenjar apokrin,
meskipun kelenjar apokrin sendiri tidak secara langsung berhubungan dengan
proses terjadinya penyakit ini. Pada umumnya terjadi di area axilla, inguinal
ataupun area anogenital. Hidradenitis suppurativa menyebabkan morbiditas fisik
dan psikologis pada penderitanya.
Hidradenitis suppurativa (HS) merupakan kondisi kronis yang dapat
melemahkan penderitanya. Penyakit ini ditandai dengan beberapa periode
inflamasi yang bersifat sementara namun berulang dan sangat menyakitkan.
Periode remisinya dapat berlangsung hingga beberapa tahun. Pada tahap awal
penyakit, lesi yang terbentuk berbentuk pustul namun kemudian akan
membentuk lesi yang supuratif dan membentuk pengeringan luka kronis dan
saluran sinus.
Pada kenyataannya, seringkali terjadi kesalahan diagnosis untuk HS dan
menyebabkan pengobatan yang tidak maksimal serta menurunkan kualitas hidup
penderita.
Studi terakhir menunjukkan bahwa HS ditemukan pada 1% dari populasi
penduduk di dunia dimana HS terjadi lebih banyak pada perempuan dibanding
laki-laki dengan perbandingan 4:1. Biasanya penyakit ini terjadi pada usia
pubertas hingga setelah usia 40 tahun, sehingga diduga terdapat keterlibatan
hormonal pada mekanisme terjadinya penyakit ini.
7
2.2.2 Etiologi
Belum banyak yang diketahui mengenai mekanisme dasar terjadinya
hidradenitis suppurativa. Namun, telah banyak beberapa studi yang mencoba
memberikan klarifikasi mengenai etiologi penyakit ini. Hidradenitis supurativa
(HS) telah dianggap sebagai gangguan pada kelenjar apokrin, yang dihubungkan
dengan beberapa faktor predisposisi dibawah ini:
a. Obesitas
Pada penelitian dari 164 pasien dengan HS menunjukkan bahwa 20%
pasien memiliki berat badan yang overweight dan 20% adalah obese. BMI
rata-rata pasien adalah 23.6 kg/m yang menunjukkan bahwa obesitas
mungkin bukan merupakan faktor etiologi yang mutlak, namun berperan
dalam progresi dari penyakit.
b. Kebiasaan Merokok
Rokok bukan merupakan penyebab primer dari HS, namun memiliki
asosiasi yang kuat serta peran patogenik dalam terjadinya penyakit.
Penderita HS dengan kebiasaan merokok memiliki gejala klinis yang lebih
buruk.
c. Genetik
Hidradenitis supurativa juga di wariskan secara genetik. Penelitian lain
telah menduga adanya keteribatan autosomal dominan dengan transmisi
gen tunggal. Namun perkembangan mengenai keterlibatan gen dalam
patogenesis HS belum diidentifikasi secara mendalam.
d. Hormonal
Faktor hormonal dapat berpengaruh dalam mengontrol pengeluaran
keringat. Kecendrungan terjadinya penyakit HS pada masa pubertas atau
post pubertas memungkinkan adanya keterlibatan dari hormon androgen.
Kelenjar keringat apokrin dirangsang oleh androgen dan ditekan oleh
8
estrogen. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa derajat keparahan HS
pada penderita meningkat sebelum periode menstruasi dan berkurang saat
kehamilan. Sebagian penderita juga merespon cukup baik dengan terapi
hormonal.
e. Infeksi Sekunder dari Bakteri
Walaupun etiologi dari HS belum diketahui, berbagai jenis
mikroorganisme dapat diisolasi dari lesi HS, umumnya golongan
Staphylococcus. Sebagian peneliti berasumsi bahwa bakteri ini dapat
merupakan flora normal kulit atau merupakan infeksi sekunder.
2.2.3 Patogenesis
Patogenesis dari Hidradenitis Suppurativa masih belum jelas. Studi
histologis menunjukkan bahwa penyakit ini bersifat multifokal dimana terjadi
atrofi kelenjar sebaseal yang diikuti oleh inflamasi dan hiperkeratosis dari unit
pilosebaseal, dan selanjutnya terjadi destruksi folikel rambut serta pembentukan
ganuloma.
Terdapat spekulasi bahwa proses penyembuhan dari HS membentuk
jaringan parut dan pembentukan saluran sinus. Investigasi terbaru menunjukkan
adanya keterlibatan dari interleukin-12, interleukin-13 dan Tumor Necroting
Factor α (TNF-α) sehingga menguatkan pendapat bahwa HS merupakan penyakit
imunologi.
Urutan berikut ini dapat mengambarkan dugaan mekanisme
pengembangan lesi:
1. Keratin menyumbat folikel rambut dimana kemudian terjadi dilatasi
folikel rambut yang melibatkan kelenjar apokrin sehingga terjadi
inflamasi.
2. Terjadi pertumbuhan bakteri dalam saluran folikel.
9
3. folikel yang mengandung bakteri ini dapat pecah sehingga terjadi
peradangan/infeksi.
4. Terbentuk nanah / kerusakan jaringan.
5. Pembentukan ulkus dan fibrosis saluran sinus.
2.2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada tahap awal penyakit ini termasuk komedo yang
besar dan serabut nodul yang dapat dilihat. Dalam kasus seperti ini dapat lebih
mendalam dan menyatu membentuk bisul dan saluran sinus. Sebagai
tambahannya, berwarna gelap, plak peradangan yang disusupi dapat terlihat.
Tekanan dapat menyebabkan sekresi nanah, sebum (sekresi berminyak dari
kelenjar sebaseus) atau sebuah sekresi yang berbau busuk. Pada poin
selanjutnya, penyakit ini ditandai dengan banyak daerah bekas luka akibat
peradangan yang terbakar. Daerah penyembuhan yang telah disebabkan oleh
hidradenitis suppurativa dengan berbekas luka dapat menyebabkan kontraktur
(kondisi pemendekan dan pengerasan sebuah otot, tendon, atau jaringan
lainnya, selalu menyebabkan perubahan bentuk tubuh sebagian, dan terjadi rasa
kaku pada sendi) dan sangat membatasi mobilitas anggota tubuh. Komplikasi
yang paling berat dari hidradenitisi suppurativa pada daerah anogenital (daerah
yang berhubungan anus dan genital) adalah perkembangan karsinoma sel
squamos pada dasar peradangan kronis.
10
Gambar 2. Peradangan kronis.
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis hidradenitis suppurativa umumnya ditegakkan secara klinis.
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang secara pasti dapat menegakkan diagnosa
dan biopsi biasanya jarang dilakukan.
Gejala awal dapat berupa rasa tidak nyaman, gatal, kemerahan, rasa
terbakar dan hiperhidrosis. Keluhan ini biasanya berlangsung kronis dan
progresif. Faktor resiko dan predisposisi seperti jenis kelamin perempuan, usia,
obesitas, kebiasaan merokok ataupun riwayat HS pada keluarga juga mendukung
penegakan diagnosis.
Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan ruam ataupun nodul dengan
tanda inflamasi akut (rubor, dolor, kalor, tumor, fungsio laesa). Nodul dapat
berbau, juga dapat ditemukan traktus sinus yang mengeras ataupun abses
dengan cairan yang purulen dan membentuk fistel. Lesi biasanya terdapat pada
daerah axilla (paling sering), inguinal dan anorektal. Pada sebagian kasus juga
dapat terlihat daerah indurasi dan jaringan parut.
11
Untuk menentukan derajat klinis dari HS, maka dipergunakan klasifikasi
Hurley Clinical Staging yang hingga saat ini masih dipergunakan di seluruh dunia.
Pada klasifikasi ini, terdapat tiga stadium dalam perkembangan penyakit ini.
Stadium primer berupa abses yang berbatas tegas, tanpa bekas luka dan tanpa
adanya saluran sinus. Stadium sekunder berupa terbentuknya saluran sinus
dengan bekas luka akibat bekas garukan serta abses yang berulang. Stadium
tersier menunjukkan lesi yang menyatu, terbentuknya bekas luka, serta adanya
inflamasi dan discharge saluran sinus.
Kriteria diagnostik hidradenitis supurativa menurut the 2nd International
Conference on Hidradenitis supurativa, March 5, 2009, San Francisco, CA US
adalah:
a) Lesi yang khas: nodul yang letaknya dalam, abses, sinus, skar dan
tombstone serta komedo terbuka pada lesi sekunder.
b) Topografi yang khas: pada regio axilla, pangkal paha, perineum dan
regio perianal, bokong, ataupun area lipatan inframammae dan
intermammae.
c) Kronik dan berulang
12
Semua kriteria harus terpenuhi untuk diagnosis yang tepat.
Pada beberapa kasus, pemeriksaan penunjang dapat membantu. Biopsi
ataupun kultur bakteri dapat menjadi indikasi untuk kasus-kasus yang tidak khas.
Pemeriksaan laboratorium yang rutin pada lesi HS biasanya negatif, walaupun
terkadang ditemukan infeksi sekunder dari bakteri seperti Staphylococcus
aureus. Jika ada indikasi operasi, USG dapat membantu dalam persiapan
preoperasi untuk menilai perluasan dari lesi. USG dapat dilakukan pada dermis
dan folikel untuk melihat formasi abses dan kelainan bagian profunda dari folikel.
Pada pemeriksaan histopatologi, lesi awal dapat ditandai dengan
sumbatan keratinosa dalam duktus apokrin atau orifisium folikel rambut dan
distensi kistik folikel.Proses ini umumnya meluas ke kelenjar apokrin. Dapat pula
ditemukan hiperkeratosis, folikulitis aktif atau abses, pembentukan traktus sinus,
fibrosis dan granuloma. Pemeriksaan histologis struktur adneksa dengan tanda-
tanda peradangan kelenjar apokrin hanya ditemukan pada 1/3 kasus. Pada
lapisan subkutis dapat ditemukan fibsosis, nekrosis lemak dan inflamasi.
Walaupun lesi dari HS tampak cukup khas, biasanya HS hanya didiagnosa
setelah adanya penundaan diagnosa yang cukup lama. Jarak waktu rata-rata
penundaan dalam mendiagnosis HS adalah 12 tahun. Banyak kasus mengalami
misdiagnosis dan diobat dengan antibiotik yang pada awal pemberiannya dapat
terlihat efektif namun tidak memberikan kesembuhan bagi penderita.
Penilaian derajat keparahan penyakit dengan Hurley Staging System
dianggap cukup bermanfaat dalam menentukan terapi. Pada mayoritas kasus,
pasien dengan derajat II pada saat didiagnosa mencerminkan adanya penundaan
diagnosa. Sedangkan hanya sekitar 1% pasien derajat III yang mengalami
progresivitas pasca terapi.
13
2.2.6 Diagnosa Banding
a. Furunkel dan Karbunkel
Nodul dan abses yang nyeri pada hidradenitis supurativa sering
membuat salah diagnosis dengan furunkel atau karbunkel. Pada
furunkel atau karbunkel, infeksi dan distribusi lesi biasanya asimetris
dan menyerang secara acak pada beberapa lokasi di tubuh, sedangkan
daerah predileksi HS yaitu pada aksila, lipat paha, pantat atau dibawah
payudara. Selain itu, HS ditandai dengan abses steril dan sering
berulang.
Pada pemeriksaan mikrobiologi, patogen akan ditemukan pada
furunkel atau karbunkel. Selain itu, terapi antibiotik secara topikal atau
sistemik akan memberikan perubahan yang signifikan.
Gambar 3. Furunkel Gambar 4. Karbunkel
14
b. Limfogranuloma venereum (LGV).
Hidradenitis supurativa yang terdapat di lipatan paha terkadang
mirip dengan limfadenitis pada LGV. Perbedaan yang penting adalah
pada LGV terdapat riwayat kontak seksual. Pada stadium lanjut LGV
terdapat gejala bubo bertingkat yang berarti pembesaran kelenjar di
inguinal medial dan fosa iliaka. Pada LGV tes Frei positif.
Gambar 5. LymphogranolomaVenereum (LGV)
c. Kista Epidermoid/Dermoid
Kista epidermoid dapat ditemukan pada penderita HS, namun
biasanya kista ini muncul secara independen meskipun terletak
ditempat yang sama dengan nodul HS. Kista biasanya tunggal dan
asimetri. Kista epidermoid memiliki permukaan yang elastis, dome-
shaped, superficial dan mobile.
15
2.2.7 Penatalaksanaan dan Terapi
Memberi informasi kepada pasien bahwa penyakitnya bisa jadi
disebabkan oleh infeksi.
Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan obat secara teratur dan
tidak menghentikan pengobatan tanpa izin dokter.
Menyarankan kepada pasien untuk jangan menggerok atau memecahkan
bintil dan benjolan, memakai pakaian yang longgar, mandi dengan
menggunakan air hangat dan menjaga kebersihan.
Terapi pada hidradenitis supurativa berbeda pada tiap stadium penyakit
tersebut. Kriteria Hurley dapat digunakan untuk menentukan stadium dari
penyakit ini.
Stadium I
Terapi pada stadium I bersifat kuratif dan profilaksis, yaitu bertujuan untuk
menyembuhkan dan mencegah berkembangnya penyakit ke stadium II, serta
mempersingkat durasi dari lesi. Pengobatan yang diberikan berupa antibiotik
topikal, antibiotik sistemik jangka pendek 7-10 hari, dan adjuvan untuk
meningkatkan keberhasilan terapi. Terapi yang diberikan yaitu:
Topikal:
Klindamisin 1-2%
Resorcinol
Antibiotik sistemik:
Tetrasiklin
Eritromisin atau antibiotik golongan makrolid lainnya
Amoksisilin
Klindamisin
Terapi Adjuvan:
Zinc Glukonat
16
Asam azelaic
Stadium II
Terapi pada stadium II bertujuan untuk mengobati atau setidaknya
menurunkan progresifitas penyakit hingga ke stadium I. Terbentuknya sinus
dan jaringan parut memerlukan kombinasi antara terapi medikamentosa dan
operatif. Terapi medikamentosa bertujuan untuk mengontrol inflamasi akut
dan persiapan operasi.
Pada pasien dengan inflamasi berat dan jaringan parut yang minimal,
diberikan antibiotik sistemik jangka panjang secara intensif selama 3 bulan.
Jika nyeri, suppurasi dan frekuensi timbulnya lesi berkurang, terapi
maintenance diberikan, berupa tetrasiklin atau zinc dosis tinggi atau dapson.
Terapi operatif diberikan jika terbentuk banyak jaringan parut dan sinus,
berupa eksteriorisasi, eksisi, maupun laser. Berikut ini jenis-jenis terapi yang
diberikan pada hidradenitis stadium II:
Antibiotik sistemik:
Klindamisin + Rifampisin
Dapson
Terapi maintenance atau adjuvan:
Tetrasiklin
Zinc Glukonat
Terapi operatif:
Eksteriorisasi
Eksisi lokal
Laser evaporasi
17
Stadium III
Terapi medikamentosa pada stadium III tidak bersifat kuratif, hanya
bersifat paliatif sebab penyakit akan terus kambuh. Kombinasi antibiotik
klindamisin dan rifampisin biasanya digunakan. Terapi immunosupresif
berupa kortikosteroid dan siklosporin dapat pula diberikan.
Terapi kuratif yang dapat dilakukan pada stadium ini yaitu operasi
ekstensif, berupa tindakan eksisi area lesi. Berikut ini jenis-jenis terapi yang
diberikan pada stadium III:
Terapi medikamentosa (paliatif):
Kortikosteroid
Siklosporin
Terapi operatif:
Eksisi luas
18
BAB III
PENUTUP
Hidradenitis supuratif adalah gangguan yang berpotensi berat dengan
dampak negatif pada kualitas hidup dan komplikasi yang mengancam jiwa.
Pengobatan konservatif memainkan peran dalam tahap ringan, tetapi
pembedahan tetap satu-satunya terapi untuk penyembuhan, terutama pada
stadium lanjut. Ini adalah yang paling luar biasa bahwa obesitas adalah co-
morbiditas utama pada hidradenitis supuratif, tetapi juga merupakan faktor
risiko untuk hidradenitis supuratif yang parah. Jaringan adipose pada obesitas
ditandai dengan inflamasi kronis tingkat rendah yang berkelanjutan dengan
makrofag yang menyerang stromanya, angiogenesis, dan aktivasi dari kaskade
adhesi leukosit. Jaringan adiposa Obesitas mengeluarkan berbagai sitokin
inflamasi termasuk TNFa.
Dalam hidradenitis supuratif tingkat lanjut (Hurley kelas III), jaringan
adiposa secara langsung dipengaruhi oleh inflamasi pada fistula. Dan sebaliknya,
orang dapat berspekulasi bahwa jaringan adiposa sendiri memberikan kontribusi
untuk keparahan dan kelanjutan hidradenitis supuratif pada pasien obesitas. Jika
itu benar, pengobatan apapun yang tidak dapat mengembalikan inflamasi
jaringan adiposa akan gagal untuk mengendalikan hidradenitis supuratif. Hanya
pembedahan yang luas mampu memulihkan gangguan lokal system kekebalan
tubuh bawaan. Wawasan lebih lanjut pada mekanisme imun,bagaimanapun juga,
akan berkaitan dengan terapi obat baru di masa depan.
19
REFERENSI
Wiseman, M.C. 2008. Hidradenitis Suppurativa. In Wolff K., Goldsmith,
L.A., Katz, S.I. Gilcherts, B.A., Paller, A.S., Lefell, D.J.(Eds) ’Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine’ Volume I. 7th Edition. USA: McGraw-
Hill
Behman, Klegman, Arvin. 2009. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Schwartz, Shires-Spencer. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi
6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Barankin, B; Freiman, A. 2006. Derm Notes: Dermatology Clinical Pocket
Guide. Philadelpia Davis Company
Brown, RG., Burns, T. Lecture notes :Dermatologi. Edisi Kedelapan. Jakarta
: Erlangga
Hall, John C. 2006. Sauer's Manual of Skin Diseases, 9th Edition. Kansas
City, Missouri: University of Missouri-Kansas City School of Medicine,
Clinician, Kansas City Free Health Clinic.
Amiruddin, Dali, dkk. Buku Ajar Penyakit Kulit di Daerah Tropis
“Hidradenitis supurativa”.
20