hi per sensitivit as

31
REFERAT Oktober 2015 “ REAKSI HIPERSENSITIVITAS ” Nama : Fauzyah Fahma No. Stambuk : N 111 14 027 Pembimbing : dr. Suldiah, Sp.A DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA 1

Upload: ahmad-rahmat-ramadhan-tantu

Post on 28-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

Page 1: Hi Per Sensitivit As

REFERAT Oktober 2015

“ REAKSI HIPERSENSITIVITAS ”

Nama : Fauzyah Fahma

No. Stambuk : N 111 14 027

Pembimbing : dr. Suldiah, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

PALU

2015

1

Page 2: Hi Per Sensitivit As

BAB I

PENDAHULUAN

Respon imun umumnya baik spesifik maupun non spesifik pada umumnya

menguntungkan bagi tubuh, berfungsi protekif terhadap infeksi atau pertumbuhan

kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh

berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas. Komponen - komponen sistem

imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan menimbulkan reaksi

hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas

terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi

hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelaianan yang heterogen yang dapat dibagi

menurut berbagai cara. Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologis

terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan

jaringan tubuh. Reaksi ini dapat terjadi bila jumlah antigen yang masuk relatif

banyak, dan reaksi tidak pernah timbul pada pemaparan pertama.1

Kata alergi juga digunakan untuk menjelaskan reaksi hipersensitivitas tertentu

yang sering dijumpai pada manusia. Istilah alergi digunakan pertama kali oleh

Clemens von Pirquet tahun 1906 diartikan sebagai “Dahulu, reaksi hipersensitivitas

yang diperantarai oleh imunoglobulin disebut reaksi reaksi pejamu yang berubah”

bila terpajan dengan bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih.” Reaksi

hipersensitivitasoleh Robert Coombs dan Philip HH Gell tahun 1963 dibagi dalam 4

tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I,II,III

dan IV. Hipersensitivitas tipe cepat (atau humoral), sedangkan yang diperantarai oleh

mekanisme imun seluler disebut reaksi hipersensitivitas tipe lambat (atau cell

mediated). Walaupun istilah- istilah ini masih digunakan saat ini, namun kecepatan

munculnya berbagai reaksi menyebabkan ketepatan kedua istilah menjadi berkurang.2

2

Page 3: Hi Per Sensitivit As

Insiden penyakit alergi (asma, rhinitis alergik dan dermatitis atopik) semakin

meningkat. Penelitian tentang prevalensi alergi telah banyak dilakukan diberbagai

negara dengan menggunakan kuesioner standar internasional International Study

Asthma and Allergic in Childhood (ISAAC). Berdasarkan hasil survey di Semarang

dengan kuesioner ISAAC pada anak sekolah dasar usia 6-7 tahun didapatkan jumlah

kasus alergi berturut- turut meliputi asma sebanyak 8,1%, rhinitis alergik sebanyak

11,5% dan dermatitis atopik sebanyak 8,2%.2

3

Page 4: Hi Per Sensitivit As

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Hipersensitivitas adalah reaksi imun terhadap antigen dari lingkungan yang

sebenarnya tidak berbahaya yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan/ atau

penyakit. Alergi adalah salah satu dari reaksi hipersensitivitas tipe 1 (type 1

hypersensitivity atau immediate-type hypersensitivity reactions). Reaksi alergi terjadi

bila individu yang sudah mempunyai antibody IgE terhadap suatu antigen (alergen)

tertentu terpapar pada alergen yang sama (sudah tersensitisasi). Antigen yang

mengakibatkan alergi disebut alergen. Alergen memicu aktivasi IgE yang terikat sel

mast, mengakibatkan suatu rentetan kejadian yang disebut reaksi alergi.3

I. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi

A. Reaksi cepat

Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan

silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi

penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis

sistemik dan anafilaksis lokal.1

B. Reaksi intermediet

Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24

jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan

kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel NK.

Manifestasi intermediet berupa :

i. Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik

autoimun

ii. Reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness,

vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, arthritis rheumatoid dan LES.

Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang

disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.1

4

Page 5: Hi Per Sensitivit As

C. Reaksi lambat

Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan

antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada Delay Type Hipersensitivity,

sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang

menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis

kontak, dan reaksi M Tuberkulosis.1

II. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs

Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963) di

bagi dalam 4 tipe reaksi

Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas Tipe I,II,III dan IV menurut Gell dan Coombs3

5

Page 6: Hi Per Sensitivit As

A. Reaksi hipersensitivitas Tipe I atau reaksi alergi

Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi alergi cepat atau reaksi anafilaksis

atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan alergen. Pada reaksi

tipe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa

produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis

atopi.1,4

Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut1 :

1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE

sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (FcƐ-R) pada permukan sel

mast/basofil.

2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan

antigen spesifik dan sel mast/ basofil melepaskan isinya yang berisikan

granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara

antigen dan IgE.

3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis)

sebagai efek mediator- mediator yang dilepas sel mast/ basofil dengan

aktivasi farmakologis.

Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk

memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan

berikatan dengan reseptor di sel mast dan basofil sehingga sel mast atau

basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka

alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibody di sel

mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi

menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator

primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya

urtikaria, vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan

mediator sekunder menyebakan menyebakan peningkatan pelepasan

6

Page 7: Hi Per Sensitivit As

metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien) and protein (sitokin

dan enzim)5,6

Sel mast dan dan mediator pada reaksi Tipe I1

a. Histamin

Puncak reaksi tipe I terjadi dalam 10 15 menit. Histamine merupakan

komponen utama granul sel mast dan 10% dari berat granul. Histamine

merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat oleh reseptornya.

Ada 4 reseptor histamin (H1,H2,H3,H4) dengan distribusi yang berbeda

dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamine, menunjukkan

berbagai efek.

b. PG dan LT

Merupakan mediator sekunder, efek bbiologisnya timbul lebih lambat,

namun lebih menonjol dan berlangsung lebih lama disbanding dengan

histamin.

c. Sitokin

Berbagai sitokin dilepas sel mast dan basofil seperti IL-3. IL-4, IL-5, IL-

6, IL-10, IL-14, GM-CSF dan TNF α.

Mediator Primer :

• Histamine : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan

kontraksi otot polos

• Serotonin : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan

kontraksi otot polos

• ECF-A : Kemotaksis eosinofil

• NCF-A : Kemotaksis neutrofil

• Proteases : Sekresi mucus, degradasi jaringan penghubung5,6

7

Page 8: Hi Per Sensitivit As

Mediator Sekunder :

• Leukotrienes : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan

kontraksi otot polos

• Prostaglandin : Vasodilatasi pembuluh darah, aktivasi platelet, kontaksi

otot polos

• Bradykinin : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan

kontraksi otot polos

• Cytokines : Aktivasi sel endothelium, penarikan eosinofil5,6

Gambar 2. Mekanisme Reaksi hipersensitivitas Tipe I

Manifestasi reaksi Tipe I 1,2

a. Reaksi lokal

Terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang melibatkan permukaan

epitel tempat alergen masuk. Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata,

hidung, dan saluran napas. Sedikitnya 20% populasi meunjukkan

penyakit melalui IgE seperti rhinitis laergi, asma dan dermatitis atopi.

8

Page 9: Hi Per Sensitivit As

b. Reaksi sistemik-anafilaksis

Anafilaksis adalah reaksi alergi yang cepat ditimbulkan IgE yang dapt

mengancam nyawa.

c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid

Merupakan reaksi sistemik umum yang melibatkan penglepasn mediator

oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE/ non imun seperti syok,

urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritus, tetapi tidak berdasarkan

atas reaksi imun.

Tabel 1. Kriteria untuk membedakan alergi dan reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid2

Alergi Pseudoalergi atau Anafilaktoid

Perlu sensitisasi Tidak perlu sensitisasi

Reaksi setelah pajanan berulang Reaksi pada pajanan pertama

Jarang (5%) Sering (5%)

Gejala klinis khas Gejala klinis tidak khas

Dosis pemicu kecil Tergantung dosis

Ada kemungkinan riwayat keluarga Ada kemungkinan riwayat keluarga

Pengaruh fisiologis sedang Pengaruh fisiologis sedang

B. Reaksi hipersensitivitas tipe II atau sitotoksik atau sitolitik

Reaksi hipersentivitas tipe II disebut sitotoksik atau sitolitik karena

dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan

bagian sel penjamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan

antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah

komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel dilibatkan.1

Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan

lisis dan bukan efek toksik. Sitotiksisitas diperantarai oleh sel dependen

antigen (ADCC). Pada reaksi tipe ini, imunoglobin yang ditujukan terhadap

9

Page 10: Hi Per Sensitivit As

antigen- antigen permukaan suatu sel berikatan dengan sel tersebut. Leukosit

seperti neutrofil dan makrofag memiliki reseptor untuk bagian tertentu (bagian

Fc) molekul imunoglobulin tersebut kemudian berikatan dengan sel dan

menghancurkannya.2,4,5

Mekanisme sitolisis oleh sel efektor sebenarnya menggambarkan

fungsi sel efektor dalam keadaan normal bila menghadapi kuman patogen.

Sebagian besar kuman patogen di fagositosis dan dibunuh intralisosom, tetapi

hal ini tidak mungkin dilakukan terhadap sel sasaran yang berukuran besar.

Karena itu pada keadaan ini, fagosit atau sel efektor lain melepaskan

mediator-mediator tertentu ke sekitarnya, misalnya protease dan kolagenase

yang mampu merusak sel sasaran. Mekanisme sitolisis dengan bantuan

antibodi yang dikenal sebagai ADCC bermanfaat untuk membantu sel

sitotoksik menghancurkan sel sasaran yang berukuran terlalu besar untuk

difagositosis. Selain itu mekanisme sitolisis dengan bantun anti bodi

bermanfaat untuk menghancurkan sel patologis, misalnya sel tumor, terutama

apabila antibodi yang terbentuk justru melindungi permukaan sel sasaran dari

serangan sel T sitotoksik secara langsung. Tetapi apabila immunoglobulin itu

melapisi sel tubuh (self) kemudian menyebabkan reaksi ADCC, maka sitolisis

dalam hal ini merugikan. Kepekaan berbagai jenis sel sasaran terhadap aksi

pengrusakan oleh sel efektor maupun oleh aktivasi komplemen berbeda-beda

tergantung pada jumlah antigen pada permukan sel sasaran, dan daya tahan sel

sasaran terhadap pengrusakan. Sebagai contoh: eritrosit mungkin dapat

dihancurkan hanya oleh reaksi C5 pada satu tempat di permukaan sel, tetapi

untuk merusak sel berinti diperlukan interaksi pada banyak tempat. 2,4,5

Seringkali suatu substansi berupa mikroba dan molekul-molekul kecil

lain atau hapten, melekat pada permukaan sel dan bersifat sebagai antigen.

Pada umumnya antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel

bersifat patogenik, karena kompleks antigen-antibodi pada permukaan sel

sasaran akan dihancurkan oleh sel efektor, misalnya oleh makrofag maupun

10

Page 11: Hi Per Sensitivit As

oleh neutrofil dan monosit, atau limfosit T-sitotoksik dan sel NK sehingga ada

kemungkinan menyebabkan kerusakan sel itu sendiri. Pada keadaan ini sulit

membedakan antara reaksi imun yang normal dengan reaksi hipersensitivitas.

Pada hipersensitivitas tipe II mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut2,4,5 :

Gambar 3. Mekanisme yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe II

Reaksi tipe II dapat meununjukkan berbagai manifestasi klinik :

1. Reaksi transfusi

Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran eritrosit disandi

oleh berbagai gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat

transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, oleh karena anti B

isohemaglutin ini berikatan dengan del darah B yang menimbulkan

kerusakan darah direk oleh hemolisis massif intravaskular.

Gambar 4. Reaksi Transfusi

11

Page 12: Hi Per Sensitivit As

2. Anemia hemolitik

Antibiotik seperti penisilin, sefalosforin dan streptomisin dapat diabsorpsi

nonspesifik pada protein membran eritrosit yang membentuk kompleks

serupa kompleks molekul hapten pembawa. Kompleks membentuk

antibody yang selanjutnya mengikat obat pada eritosit dan dengan

bantuan komplemen menimbulkan lisis dan anemia progresif.

3. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir

Penyakit ini ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaitu

pada ibu dengan golongan darah Rhesus negatif dan janin dengan Rhesus

positif. 2,4,5

C. Reaksi tipe III atau kompleks imun

Reaksi tipe III memiliki beberapa bentuk tetapi akhirnya akan

diperantarai oleh kompleks imun (kompleks imunogen dengan

immunoglobulin, biasanya IgG) yang mengendap di jaringan, arteri dan vena.1

Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut

eritrosit ke hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umunya

kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh

maktofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan,

karena itu dapat lebih lama berada disirkulasi. Meskipun kompleks imun

berada disirkulasi untuk jangka waktu lebih lama, biasanya tidak berbahaya.6

Kompleks imun terbentuk setiap kali antibodi bertemu dengan antigen,

tetapi dalam keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan

secara efektif oleh jaringan retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan

kompleks imun menyebabkan reaksi hipersensitivitas. 2,4,5

Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis

besar dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :

12

Page 13: Hi Per Sensitivit As

1) Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody

yang lemah, menimbulkan pembentukan kompleks imun kronis yang dapat

mengendap di berbagai jaringan.

2) Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi

secara terus menerus yang berikatan dengan jaringan self.

3) Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru –

paru, akibat terhirupnya antigen secara berulang kali. 2,4,5

Pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang

pembentukan antibody yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti

halnya pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tpe III,

antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen

antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem

komplemen, menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit.

Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan

kompleks. Dilain pihak proses itu juga merangsang PMN sehingga sel–sel

tersebut melepaskan isi granula berupa enzim proteolitik diantaranya

proteinase, kolegenase, dan enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks

antigen-antibodi itu mengendap dijaringan, proses diatas bersama–sama

dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar

kompleks. Reaksi ini dapat terjadi saat terdapat banyak kapiler twisty

(glomeruli ginjal, kapiler persendian).1,2

Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap

dijaringan.1

1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah

Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgA

diendapkan di membran basal vaskular dan membran basal ginjal yang

menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks yang terjadi yang

13

Page 14: Hi Per Sensitivit As

terjadi dapat menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi makrofag,

perubahan permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan

penglepasan mediator inflamasi dan bahan kometaktik serta influx

neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat menimbulkan

kerusakan jaringan setempat.1

2. Kompleks imun mengendap di jaringan

Terjadinya pengendapan kompleks imun di jaringan ialah ukuran kompleks

imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang meningkat, antara laion

karena histamine yang dilepas sel mast.2

Gambar 4. Mekanisme yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe III

Reaksi tipe III berbeda dari reaksi tipe II. Kerusakan sel selama reaksi

tipe II terbatas pada tipe sel tertentu yang merupakan “sasaran” spesifik,

sedangkan reaksi tipe III menghancurkan jaringan atau organ dimana saja

14

Page 15: Hi Per Sensitivit As

tempat kompleks imun mengendap. Sebagai contoh, glomerulonefritis dapat

terjadi saat kompleks imun mengendap di ginjal, serta lupus eritematosus

sistemik dan arthritis dapat terjadi apabila kompleks imun mengendap di kulit

dan sendi. Contoh lain, adalah serum sickness, yang timbul 1 sampai 2 minggu

setelah sesorang disuntik dengan suatu serum asing. Kompleks imun menendap

di dinding pembuluh darah, menyebabkan komplemen terfiksasi dan timbul

edema, demam dan peradangan. 1,2

D. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (Delayed Type Hypersensitivity)

Baik CD4+ maupaun CD8+ berperan dalam reaksi tipe IV. Sel T

melepas sitokin, bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya

menimbulkan respon inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit

hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh

neomisin, anestesi tpikal, antihistamin topikal dan steroid topikal.1

Reaksi tipe IV diperantarai oleh kontak sel- sel T yang telah

tersensitisais dengan imunogen yang sesuai. Reaksi ini cenderung terjadi 12

sampai 24 jam setelah pajanan awal ke imunogen. Sel- sel CD4 (sel T helper)

melepaskan sitokin yang menarik dan merangsang makrofag untuk

membebaskan mediator- mediator peradangan. Apabila imunogen menetap,

maka kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses ini dapat berkembang

menjadi reaksi granulomatosa yang kronik misalnya berkumpulnya sel- sel

mononukleus di daerah kerusakan jaringan. 1,2,3

1. Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV (DTH)

Reaksi tipe IV merupakan hipersensitivitas granulomatosis. Biasanya

terhadap bahan yang tidak dapat disingkan dari tubuh seperti talcum di

rongga peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit. Reaksi khas DTH

mempunyai 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase efektor. Fase sensitisasi

yang membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan

antigen. Dalam fase itu diaktifkan Th oleh APC (Antigen presenting cell)

15

Page 16: Hi Per Sensitivit As

seperti sel langerhans di kulit melalui MHC (Mayor histocompatibility

complex) II. Sel langerhans (APC di kulit) )dan makrofag yang menagkap

antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk

dipresentasikan ke sel T. pada fase efektor, sel Th1 melepas berbagai

sitokin yang mengerahkan dan mengaktifkan makrofag dan sel inflamasi

non spesifik lain. Gejala biasanya baru nampak 24 jam sesudah kontak

kedua. Dengan antigen. Makrofag merupakan efektor utama respon DTH .

sitokin dilepas sel Th1 menginduksi monosit menempel ke endotel

vaskular, bermigrasi dari sirkulasi darah ke jaringan sekitar.1,2,3

Gambar 5. Mekanisme yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe IV

2. Manifestasi klinis reaksi Tipe IV

a. Dermatitis kontak

Dermatitis kontak merupakan penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat

kontak dengan bahan tidak berbahaya. Kontak dengan bahan seperti

formaldehid, nikel, terpenting dan berbagai bahan aktif dalam cat

rambut yang menimbulkan dermatitis kontak terjadi melalui sel Th1. 1,5

16

Page 17: Hi Per Sensitivit As

b. Hipersensitivitas tuberkulin

Merupakan bentuk alergi bacterial spesifik terhadap produk filtrate

biakan M. Tuberkulosis yang bila disuntikan ke kulit, akan

menimbulkan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV. Yang berperan

dalam reaksi ini adalah sel limfosit CD4+ T. Setelah suntikan

intrakutan ekstrak tuberkulin atau derivate protein yang dimurnikan

(PPD), daerah kemerahan dan indurasi timbul di tempat suntukan

dalam 12- 24 jam. Pada inddividu yang pernah kontak dengan M.

Tuberkulosis, kulit bengkak terjadi pada hari ke 7-10 pasca induksi.

Reaksi dapat dipindahkan melalui sel T.1,5

c. Reaksi Jones Mote

Reaksi Jones Mote adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap

antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil mencolok

di kulit dibawah dermis. Reaksi disebut juga hipersensitivitas basofil

kutan. Disbanding hipersensitivitas tipe IV lainnya, reaksi ini adalh

lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam

jumlah kecil. Tidak terjadi nekrosis dan reaksi dapat diinduksi dengan

suntikan antigen larut seperti ovalbumin dengan ajuvan freud. 1

d. T Cell Mediated Cytolisis (Penyakit CD8+)

Dalam T Cell Mediated Cytolisis kerusakan terjadi melalui sel CD8+

yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit cenderung terbatas

kepada bebrapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit

virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan

ditimbulkan oleh respon CD8+ terhadap yang terinfeksi.1

17

Page 18: Hi Per Sensitivit As

Gambar 6. Contoh reaksi hipersensitivitas tipe IV

Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen atau sel sel autologus dapat

membunuh sel dengan langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi

melalui mekanisme seluler, biasanya ditemukan baik sel CD4+ maupun CD8+

spesisifk untuk self- antigen dan kedua jenis sel tersebut dapat menimbulkan

kerusakan.1,5

Reaksi tipe IV juga merupakan penyebab utama penolakan yang terjadi

pada beberapa transplantasi organ. Apabila jaringan hidup dari satu orang

ditandur ke orang lain , kecuali identik secara genetik jaringan akan dianggap

oleh sistem imun resipien sebagai benda asing dan noself. Setelah suatu fase

induksi yang singkat, limfosit secara spesifik ke antigen MHC dari donor akan

menyerbu tandur. Limfosit- limfosit ini menyebabkan destruksi atau penolakan

18

Page 19: Hi Per Sensitivit As

tandur melalui sejumlah mekanisme yang melibatkan limfositotoksisitas

langsung atau rekrutmen makrofag. Tipe reaksi ini membatasi kemampuan kita

mengganti organ yang cacat pada sesorang dengan organ yang diambil dari orang

lain.2,6

19

Page 20: Hi Per Sensitivit As

BAB III

KESIMPULAN

Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi inflamasi, dapat humoral atau selular.

Hipersensitivitas juga merupakan reaksi imun terhadap antigen dari lingkungan yang

sebenarnya tidak berbahaya yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan/ atau

penyakit. Alergi adalah salah satu dari reaksi hipersensitivitas tipe 1 (type 1

hypersensitivity atau immediate-type hypersensitivity reactions). Reaksi alergi terjadi

bila individu yang sudah mempunyai antibody IgE terhadap suatu antigen (alergen)

tertentu terpapar pada alergen yang sama (sudah tersensitisasi).1,2,3

Reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi empat tipe : tipe I (anafilaktik); reaksi

tipe II (sitotoksik); reaksi tipe III (kompleks imun); dan reaksi tipe IV (diperantarai

oleh sel). 1,2,3

Reaksi tipe I diperankan oleh igE yang diikat FcƐ-R pada sel mast atau

basofil. Efek utama mediator yang dikeluarkan adalah kontraksi otot polos dan

vasodilatasi. Reaksi tipe II terjadi bila antibody bereaksi dengan determinan antigen

pada permukaan sel yang menimbulkan kerusakan sel atau kematian melalui lisis

dengan bantuan komplemen atau ADCC. Reaksi tipe III terjadi melalui pembentukan

kompleks imun yang mengaktifkan komplemen. Aktivasi komplemen menghasilkan

molekul efektor yang menimbulkan vasodlatasi lokal dan menarik neutrofil. Reaksi

tipe IV merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol sebagian besar oleh

reaktivitas sel T terhadap antigen. 1,2,3

20

Page 21: Hi Per Sensitivit As

DAFTAR PUSTAKA

1. Baratawidjaja and Rengganis. 2010. Imonologi Dasar Edisi ke 9. Pg 369-397.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

2. Price and Wilson. 2006. Patofisiologi Edisi ke 6 Volume 1. 102-105. EGC:

Jakarta

3. Robbins and Cotran. 2004. Phatologic Basis of Disease 8th edition. Bab 6

Disease of the imune system. Pg 197-208. SAUNDERS ELSEVIER: China

4. Abdul K Abbas, MBBS. 2004. Basic Immunology 2nd edition. Hypersensitivity

Disease. Pg 193-208. SAUNDERS: China

5. NCBI. Immunobiology. Allergy and Hypersensitivity.

Accesed from :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?book=imm&part=A1719[ (8 Oct

2015; 21:00)

6. Miriam K Anand, MD, FAAAAI, FACAAI. 2010. Hypersensitivity reaction

immediate.

Accesed from http://emedicine.medscape.com/article/136217-overview   [8 Oct;

21:00]

21