hi bu rini

37
makalah HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL (Disusukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Internasional) Oleh: 1. ZALDIN ABDI MAULANA 060710101080 2. LUKMAN ARIFIN 060710101189

Upload: zaldin-abdee-maulana

Post on 30-Jun-2015

198 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: HI BU RINI

makalah

HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

(Disusukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Internasional)

Oleh:

1. ZALDIN ABDI MAULANA 060710101080

2. LUKMAN ARIFIN 060710101189

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JEMBER

FAKULTAS HUKUM

2010

Page 2: HI BU RINI

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masalah asap kebakaran hutan di Indonesia adalah masalah yang pelik.

Hal ini disebabkan oleh gangguan terhadap sumber daya hutan yang terus

berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat. Hampir setiap musim

kemarau di Indonesia pada beberapa decade trakhir ini sering mengalami

kebakaran, khusunya di beberapa wilayah yaitu Jambi, Riau, Sumatera dan

Kalimantan.

Penyebab dari masalah kebakaran hutan adalah karena kesalahan sistemik

dalam pengelolaan hutan secara nasional. Dalam praktek konservasi lahan,

penyiapan atau pembersihan atau pembukaan lahan oleh perusahaan dilakukan

dengan cara membakar. Metode land clearing dengan cara membakar tersebut

lebih dipilih daripada metode lain, karena dinilai paling murah dan efisien. Faktor

ekonomi dan ketidaktersediaan teknologi yang memadai menjadi latar belakang

kenapa metode ini lazim dilakukan, meskipun dampak yang ditimbulkan dari

penerapan metode ini terhadap lingkungan tidak sebanding dengan hasilnya.

Dampak langsung dari kebakaran hutan tersebut antara lain : Pertama,

timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat. Kedua,

berkurangnya efesiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala

besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan diliburkan. Ketiga, terganggunya

transportasi di darat, laut maupun udara.. Keempat, timbulnya persoalan

internasional asap dari kebakaran hutan tersebut menimbulkan kerugian materiil

dan imateriil pada masyarakat setempat dan sering kali menyebabkan pencemaran

asap lintas batas (transboundary haze pollution) ke wilayah negara-negara

tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Asap dari kebakaran hutan dan lahan

itu ternyata telah menurunkan kualitas udara dan jarak pandang di region di

Sumatera dan Kalimantan, termasuk Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian

Thailand.

Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional karena kasus

ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga (transboundary

Page 3: HI BU RINI

pollution) sehingga mereka mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya

masalah ini. Berdasarkan pada pertemuan menteri lingkungan hidup ASEAN

dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober 2006, Malaysia dan

Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini. Protes Malaysia

dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa kabut asap tersebut telah

menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat, perekonomian serta

pariwisata mereka.

Kerugian social ekonomi dan ekologis yang timbul oleh kebakaran hutan

cukup besar, bahkan dalam beberapa hal sulit untuk diukur dengan nilai rupiah.

Kerugian yang harus ditanggung oleh Indonesia akibat kebakaran hutan tahun

1997 dulu diperkirakan mencapai Rp.5,96 trilyun atau 70,1% dari nilai PDB

sector kehutanan pada tahun 1997. Malaysia yang juga terkena mengalami

kerugian US$ 300 juta di sector industri dan pariwisata, sedangkan Singapura

mengalami kerugian sekitar US% 60 juta di sector pariwisata.

Pernyataan maaf secara resmi terhadap masalah ini sebenarnya sudah

dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Malaysia dan

Singapura. ASEAN sebagai organisasi regional yang menaungi daerah bencana

ini patut memberikan bantuan. ASEAN dalam hal ini sebagai organisasi tempat

para pihak bernaung secara internasional memiliki perangkat yuridis berupa

traktat internasional yaitu The 1997 ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution (AATHP). Namun negara-negara ASEAN terutama Malaysia dan

Singapura belum merasa puas karena Indonesia sampai saat ini belum

meratifikasinya sehingga . Sampai dengan bulan Juli 2005, tujuh negara ASEAN

telah meratifikasi yakni Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand,

Vietnam dan Laos dan Kamboja. Menurut asas pacta sunt servanda, Indonesia

tidak terikat oleh traktat tersebut.

Meskipun demikian, pencemaran udara akibat kebakaran hutan

bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Salah satu

prinsip adalah “Sic utere tuo ut alienum non laedes” yang menentukan bahwa

suatu Negara dilarang melakukan atau mengijinkan dilakukannya kegiatan yang

Page 4: HI BU RINI

dapat merugikan Negara lan,1 dan prinsip good neighbourliness.2 Pada intinya

prinsip itu mengatakan kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu

oleh negara lain. Prinsip-prinsip hukum internasional untuk perlindungan

lingkungan lainnya adalah general prohibition to pollute principle, the prohibition

of abuse of rights, the duty to prevent principle, the duty to inform principle, the

duty to negotiate and cooperate principle, intergenerational equity principle.3

Konsekuensi dari pelanggaran tersebut dapat menjadi dasar untuk meminta

pertanggungjawaban Negara terhadap Negara yang telah melakukan tindakan

yang merugikan Negara lain. Menurut hukum internasional pertanggungjawaban

Negara timbul dalam hal Negara yang bersangkutan merugikan Negara lain.

Dalam hal ini kasus kebakaran hutan di Indonesia telah menimbulkan dampak

negative terhadap Negara-negara tetangga.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah Indonesia dapat dimintai ganti rugi atas dasar state responsibility

oleh Negara-negara tetangga yang mengalami kerugian atau injured states

akibat transboundary haze pollution?

2. Bagaimanakah pengaruh ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary

Haze Pollution terhadap kepentingan dan kebijakan nasional Indonesia?

1 J.G, Starke, Pengantar Hukum Internasional , Jakarta : Sinar Grafika Offset, edisi kesepuluh hal 5462 Sucipto, Sistem Tanggung Jawab Dalam Pencemaran Udara, Malang, 1985, hlm.823 Adji samekto, “Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm.119

Page 5: HI BU RINI

BAB II

PEMBAHASAN

1. TINJAUAN UMUM TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION

A. Pengertian Transboundary Haze Pollution

Pencemaran udara diartikan sebagai adanya satu atau lebih pencemar

yang masuk ke dalam udara atmosfer yang terbuka, yang dapat berbentuk sebagai

debu, uap, gas, kabut, bau, asap, atau embun yang dicirikan bentuk jumlahnya,

sifat dan lamanya. 4

Menurut rekomendasi OECD tentang Principles Concerning Transfrontier

Pollution 1974 merumuskan pencemaran sebagai berikut : ”the introduction by

man, directly or indirectly, of substances or energy into the environment resulting

in deleterious effects of living resources and ecosystems, and impair or interfere

with amenities and other legitimate uses of the environment”.

Menurut rekomendasi dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah : ”smoke resulting

from land and/or forest fire which causes deleterious effects of such a nature as to

endanger human health, harm living resources and ecosystems and material

property and impair or interfere with amenities and other legitimate uses of the

environment”.

Dalam hal membicarakan masalah pencemaran lintas batas, khususnya

pencemaran udara dapat diartikan sebagai suatu gambaran yang menerangkan

bahwa suatu pencemaran yang terjadi dalam suatu wilayah negara akan tetapi

dampak yang ditimbulkannya oleh karena faktor media atmosfer atau biosfer

melintas sampai ke wilayah negara lain.

Atas dasar pengertian diatas, pencemaran udara lintas batas adalah :

Transboundary haze pollution” means haze pollution whose physical origin is

situated wholly or in part within the area under the national jurisdiction of one

4 F. Gunarwan Suratmo, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, hlm.101

Page 6: HI BU RINI

Member State and which is transported into the area under the jurisdiction of

another Member State.5

Dengan demikian disimpulkan bahwa yang dimaksud pencemaran lintas

batas tersebut adalah pencemaran udara yang berasal baik seluruh atau sebagian

dari suatu negara yang menimbulkan dampak dalam suatu wilayah yang berada

dibawah jurisdiksi negara lain.

B. Dampak dari transboundary haze pollution :

1. Dampak terhadap sosial, budaya, dan ekonomi

a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar

hutan : asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut mengganggu

aktifitas masyarakat.

b. Terganggunya aktifitas sehari-hari : gangguan asap akan

mengurangi intensitas berada diluar ruangan, memaksa orang

menggunakan masker yang dapat mengganggu aktifitas, kantor-

kantor dan sekolah yang dihentikan atau libur karena tebalnya

asap.

c. Terganggunya kesehatan : secara umum asap akibat kebakaran

hutan telah meningkatkan kasus infeksi saluran pernapasan atas,

pneumonia dan sakit mata.

d. Produktifitas menurun

2. Dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan

a. Hilangnya sejumlah species : kebakaran hutan menghancurkan

berbagai habitat satwa serta pohon-pohon dalam hutan.

b. Ancaman erosi : Hilangnya margasatwa menyebabkan lahan

terbuka sehingga mudah terjadi erosi dan tidak dapat lagi menahan

banjir.

c. Menurunnya devisa negara : turunnya produktifitas secara otomatis

mempengaruhi perekonomian mikro yang pada akhirnya

mempengaruhi perekonomian negara.

d. Pemanasan global : transbounday haze pollution juga

menyebabkan terjadinya perubahan komposisi gas rumah kaca di

5 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002

Page 7: HI BU RINI

atmosfier, yaitu meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca secara

global yang berakibat pada peningkatan suhu rata-rata permukaan

bumi, yang kemudian dikenal dengan pemanasan global.

Pemanasan global ini pada akhirnya membawa dampak terjadinya

perubahan iklim yang mempengaruhi kehidupan di bumi.

Pemanasan global sangat erat kaitannya dengan iklim yang

menjadi panas secara perlahan tapi pasti dalam jangka waktu yang

cukup panjang yang akan mengubah dunia menjadi daerah yang

terlalu panas untuk didiami. Dalam kaitan tersebut, terkaitlah peran

dari suatu fenomena alam yang disebut dengan efek rumah kaca.

Perubahan komposisi gas rumah kaca di atmosfer lebih banyak

disebabkan oleh aktifitas manusia seperti pembakaran hutan secara

luas sehingga meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca secara

global yang berakibat pada peningkatan suhu rata-rata permukaan

bumi atau pemanasan global.

Lapisan ozon merupakan tameng yang melindungi bumi

dari radiasai sinar ultraviolet yang merusak. Penipisan lapisan ozon

disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia sebagai perusak

lapisan ozon dan gas karbondioksida yang dapat berasal dari hasil

proses pembakaran seperti kebakaran hutan.

Dengan demikian kebakaran hutan yang secara luas

menyebabkan pemanasan global dan meningkatnya suhu bumi

merupakan ancaman yang sangat serius bagi keselamatan

lingkungan hidup dan kehidupan manusia. Salah satu dampak dari

pemanasan global ini adalah penipisan lapisan ozon. Dimana

lapisan ozon ini memiliki ultra violet yang dipancarkan oleh

matahari. Rusaknya lapisan ozon ini mengakibatkan kerusakan-

kerusakan bagi kehidupan di bumi.

3. Dampak terhadap perhubungan dan pariwisata : asap tebal juga

mengganggu transportasi khsusunya udara. Pada saat kebakaran hutan

yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau

dibatalkan. Sering terdengar sebuah pesawat tidak bisa turun di suatu

Page 8: HI BU RINI

tempat karena tebalnya asap. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis

pariwisata karena keengganan orang untuk beradap di tempat yang

dipenuhi asap. Sementara pada transportasi darat dan lau terjadp beberapa

kasus tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan

harta benda.

Kebakaran hutan yang mengakibatkan pencemaan udara disinyalir

juga memberikan tiga ancaman strategis, kompleks dan melintasi batas-

batas teritorial negara berupa penipisan lapisan ozon, berkurangnya

oksidasi atmosfer serta pemanasan global. Ketiganya mempunyai daya

untuk mengubah dan mengganggu peran keseimbangan atmosfer yang

penting dalam sistem ekologi global.6

C. Metode Pembakaran Lahan yang benar

Teknik pembakaran merupakan salah satu factor penting dalam

menentukan keberhasilan pembakaran. Bahan bakar harus terbakar dengan

mencegah pembakaran supaya tidak melebar ke areal non target yang dapat

menjadi masalah baru.

Berdasarkan buku “Pengendalian Kebakaran Hutan Tradisiaonal” yang

diterbitkan oleh Sout Sumatra Forest Fire Management Project tahun 2006, ada

beberapa metode dalam melakukan pembakaran lahan yang benar, yakni :

a. Metode Melingkar(ring Method).

Dengan cara ini api benar-benar dapat dikendalikan dan api berakhir di

tengah. Metode pembakaran ini memerlukan beberapa orang pembakar, biasanya

1 ha lahan yang akan dibakar memerlukan sekitar 3 orang pembakar. Diperlukan

juga beberapa orang lain yang menjaga di belakang sekat bakar utama (paling

jauh dari asal angin) supaya tidak terjadi api loncatan. Pembakaran dapat

mengikuit arah jarum jam atau sebaliknya, tergantung dari arah dan kecepatan

angin. Setiap pembakar bergerak menuju pembakar lain setelah bahan bakar yang

berada didepannya terbakar dan bertemu pembakaran oleh pembakar lain.

6 Suparto Wijoyo, Hukum Lingkungan : Mengenal Instrumen Hukum Pengendalian Pencemaran Udara di Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press, 2004, hlm.3

Page 9: HI BU RINI

b. Metode lain yang agak aman, tetapi diperlukan kondisi cuaca yang stabil,

adalah metode bakar terbalik (back fire method):

Dengan cara ini pembakaran dapat dimulai dari sekat bakar utama dan

melawan arah mata angin, kemudian api akan ditunggu di sekat bakar seberang.

Metode ini memrluka beberapa orang pembakar dan beberapa orang lain yang

menjaga di belakang sekat bakar utama supaya tidak terjadi api loncatan. Para

pembakar bergerak menuju sekat bakar seberang, melalui sekat bakar kiri dan

kanan, setelah bahan bakar yang berada di depan terbakar.

Pemerintah melalui Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan

telah mengeluarkan Buku Pedoman Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) dan

melakukan sosialisasi tentang pelaksanaan PLTB dimaksud, sehingga diharapkan

masyarakat pelaku usaha perkebunan menyadari dan mau melaksanakan

pembukaan lahan tanpa bakar untuk menghindarkan terjadinya kebakaran lahan

dan kebun yang dapat menimbulkan asap lintas batas.

Tujuan pengelolaan lahan tanpa baker :

Kegiatan Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) bertujuan untuk :

a. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam menyiapkan

lahan usahatani dengan metode tanpa bakar

b. Meningkatkan kesadaran petani untuk tidak melakukan pembakaran lahan.

c. Memfasilitasi petani dalam melakukan pengelolaan lahan tanpa dibakar

dengan berbagai kegiatan dan teknologi.

d. Mencegah terjadinya kebakaran lahan dan hutan.

2. TANGGUNG JAWAB NEGARA

Timbulnya tanggung jawab negara atas lingkungan didasarkan pada

adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang berada di

wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang membawa

akibat yang merugikan terhadap lingkungan tanpa mengenal batas negara. Dalam

hukum internasional, tanggungjawab Negara dalam hal hukum lingkungan

internasional khususnya masalah transbondary haze pollution, diatur dalam

beberapa peraturan internasional, seperti Deklarasi Stockholm 1972, Deklarasi

Page 10: HI BU RINI

Rio 1992, Biodiversity Convention, dan Climate Change Convention, serta

dilengkapi dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional yang telah

disebutkan diatas.

Dalam Draft Articles on State Responsibility yang diadopsi oleh Komisi

Hukum Internasional (ILC)7, disebutkan dalam pasal 1 bahwa ”Every

internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of

that State”. Jadi setiap tindakan atau kelalaian yang dilarang oleh hukum

internasional membawakan pertanggungjawaban internasional bagi negara itu.

ILC Draft tersebut tidak mengikat sebagai suatu instrumen hukum Internasional

karena belum ditetapkan sebagai sebuah produk hukum. Namun demikian,

kekuatan mengikat ILC Draft tidak dilihat dari bentuknya sebagai suatu

instrumen, melainkan dari isinya. ILC Draft dapat digunakan sebagai sumber

tambahan dan mengikat sebagai hukum kebiasaan Internasional.8

Secara lengkap, bentuk-bentuk pertanggungjawaban Negara diatur dalam

pasal-pasal draf ILC. Ganti rugi atau reparation diatur dalam pasal 31. Bentuk-

bentuk ganti rugi dapat berupa :

a. Restitution (pasal 35) : kewajiban mengembalikan keadaan yang dirugikan

seperti semula.

b. Compensation (pasal 36) : kewajiban ganti rugi berupa materi atau

uang

c. Satisfaction (pasal 37) : penyesalan, permintaan maaf resmi.

Dalam kasus transboundary haze pollution ini, negara yang dirugikan

dapat saja menggugat Pemerintah Indonesia karena menurut sejumlah konvensi

internasional yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia, seperti Biodiversity

Convention dan Climate Change Convention dan ASEAN Agreement on the

Conservation of Nature and Natural Resources 1985, di mana Indonesia telah

meratifikasinya, yang memuat ketentuan bahwa negara boleh saja

mengeksploitasi sumber daya alam mereka, tetapi berkewajiban untuk

memastikan bahwa aktivitas tersebut tidak menimbulkan kerusakan di wilayah

negara lain (state responsibility). Ketentuan ini bahkan telah menjadi hukum 7 Draft Articles Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, International Law Commission, 20018 Martin Dixon, Textbook on International Law, Third Edition, Blackstone Press Limited 1996, hal 219.

Page 11: HI BU RINI

kebiasaan internasional (international customary law) dan mengikat semua negara

beradab, bahkan telah diterapkan sejak tahun 1941 dalam kasus Trail Smelter (AS

vs Kanada).

Di samping itu, ketentuan di atas juga telah diadopsi dalam Undang-

Undang (UU) Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, tidak ada alasan hukum yang bisa

membebaskan Indonesia daritanggung jawab jika negara yang dirugikan

menggugat Indonesia. Tanggungjawab Indonesia diperkuat lagi oleh hukum

nasional Indonesia sendiri karenaUU No 4/1999 tentang Kehutanan dan Peraturan

Pemerintah (PP) No 4/2001tentang Kebakaran Hutan serta PP No 45/2004 tentang

Perlindungan Hutanmelarang dengan tegas pembakaran hutan.9

Menurut Danny (2001), penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di

Kalimantan Timur adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang

disebabkan oleh kejadian alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja

(1997), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsuran batu, singkapan

batu bara, dan tumpukan srasahan. Namun menurut Saharjo dan Husaeni (1998),

kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan

kurang dari 1 %.

Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh munculnya fenomena iklim El-

Nino seperti kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997

(Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998). Perkembangan

kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran lokasi

kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir di seluruh

propinsi, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan tetapi juga di lahan non hutan.

Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik

perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun

berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama

kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau

permasalahan sebagai berikut:

Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-

pindah.

9 Laode Syarif, Menggantang Asap Indonesia, Opini Kompas, 15 Agustus 2005

Page 12: HI BU RINI

Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)

untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.

Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan

pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum

adat dan hukum positif negara.10

Untuk membuktikan apakah Indonesia dapat dimintai ganti rugi, harus

dilihat bentuk dari kerugian yang diakibatkan oleh suatu Negara yang bisa berupa

tindakan aktif (an act) atau tidak adanya tindakan (omission). Tindakan aktif

berarti tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh aparat Negara yang kemudia

menjadi tanggung jawab Negara. Sementara tindakan omission adalah aparat

Negara tidak melakukan tindakan apapun namun karena ketiadaan tindakan

mengakibatkan kerugian bagi Negara lain.

Negara yang tercemar oleh polusi yang disebabkan oleh asap tentunya

dapat meminta pertanggungjawaban Indonesia. Mereka harus membuktikan

bahwa pencemaran asap ke wilayah mereka merupakan kegagalan dari para

pejabat Indonesia dalam menangani masalah asap. Ini bisa saja kandas karena

yang terjadi adalah para pejabat Indonesia bukannya membiarkan (omission)

terjadi pencemaran asap, melainkan karena ketidakmampuan aparat di Indonesia

untuk menangani secara tuntas. Ketidakmampuan bukanlah tindakan membiarkan.

Ketidakmampuan adalah sudah dilakukan tindakan tetapi tidak memadai.

            Sejak kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi pada tahun 1982

yang kemudian diikuti rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya,

sebenarnya telah dilaksanakan beberapa langkah, baik bersifat antisipatif

(pencegahan) maupun penanggulangannya oleh Indonesia.

Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan

antara lain (Soemarsono, 1997):

(a)    Memantapkan kelembagaan dengan membentuk dengan membentuk Sub

Direktorat Kebakaran Hutan dan Lembaga non struktural berupa

Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan Satlak serta Brigade-brigade

pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI;

10 dishut.jabarprov.go.id/data/arsip/kebakaran%20hutan.doc

Page 13: HI BU RINI

(b)    Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis

pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan;

(c)    Melengkapi perangkat keras  berupa peralatan pencegah dan pemadam

kebakaran hutan;

(d)    Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat

pemerintah, tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat

sekitar hutan;

(e)    Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian

kebakaran hutan;

(f)     Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan

Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri

Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup;

(g)    Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan

non kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.

Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga nelakukan

penanggulangan melalui berbagai kegiatan antara lain (Soemarsono, 1997):

(a)    Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta

melakukan pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama

siaga I dan II.

(b)    Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua

tingkatan, baik di jajaran Departemen Kehutanan maupun instansi

lainnya, maupun perusahaan-perusahaan.

(c)    Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui

PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui

PUSDALKARHUTDA Tk I dan SATLAK kebakaran hutan dan lahan.

(d)    Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain:

pasukan BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel

dan Kalbar; Bantuan pesawat AT 130 dari Australia dan Herkulis dari

USA untuk kebakaran di Lampung; Bantuan masker, obat-obatan dan

sebagainya dari negara-negara Asean, Korea Selatan, Cina dan lain-lain.

Menurut hukum internasional, liability timbul dalam hal negara yang

bersangkutan merugikan Negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang

Page 14: HI BU RINI

melanggar hukum internasional. Bila dilihat, sebenarnya Indonesia telah

melakukan segala upaya yang mampu dilakukan untuk mencegah dan

menanggulangi polusi asap akibat kebakaran hutan. Hal ini jelas bukan

merupakan tindakan aktif negara dan juga tidak dapat dikategorikan sebagai

tindakan membiarkan, mengingat upaya-upaya telah dilakukan. Namun, Presiden

SBY telah meminta maaf kepada Malaysia dan Singapura sebagai bentuk

tanggung jawab, meskipun hanya sebagai tanggung jawab moral.

3. AATHP DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEPENTINGAN DAN

KEBIJAKAN NASIONAL INDONESIA

A. Latar Belakang Pembuatan AATHP

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun dan

seringkali mengakibatkan asap lintas batas yang merugikan negara tetangga

terdekat di lingkungan ASEAN seperti Singapura, Malaysia dan Brunei

Darussalam. Oleh karena itu, maka Indonesia beserta negara ASEAN lainnya

sepakat untuk mengatasi kebakaran dan dampak asapnya tersebut melalui

penandatanganan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution

(AATHP) pada tanggal 10 Juni 2002. Salah satu alasan perlunya mengatasi

kebakaran hutan dan lahan beserta dampak asapnya tersebut secara bersama-sama

adalah masalah lemahnya kelembagaan, AATHP telah berlaku pada tanggal 25

November 2003 sejak 6 (enam) negara anggota ASEAN meratifikasinya.

Tujuan dari konvensi ini adalah merumuskan implikasi kelembagaan atas

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Dengan

diketahuinya bentuk-bentuk implikasi kelembagaan dari pemberlakuan AATHP

khususnya yang dapat mendorong perbaikan persoalan kelembagaan

penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia maka

diharapkan Indonesia dapat lebih mampu mengatasi kebakaran hutan dan lahan

berserta dampak asapnya. Untuk mengetahui hal ini, maka selain dilakukan kajian

terhadap isi AATHP, juga diperlukan kesamaan pendapat dari para stakeholder

yang terkait dengan pemberlakuan AATHP.

Hasil studi menyimpulkan bahwa terdapat 7 (tujuh) bentuk implikasi

kelembagaan atas AATHP sebagai berikut : (1) AATHP berimplikasi terhadap

peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan peralatan dalam penanggulangan

Page 15: HI BU RINI

bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia melalui mekanisme perbantuan

dan kerjasama teknis, (2) AATHP berimplikasi terhadap perbaikan pengelolaaan

informasi dan data kebakaran hutan dan lahan yang lebih efektif di Indonesia

melalui mekanisme pemantauan, pelaporan dan komunikasi dengan ASEAN

Centre, (3) AATHP berimplikasi terhadap kejelasan tugas dan fungsi institusi

dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia melalui

penunjukan dan pembentukan NFP (National Focal Point), NMC (National

Monitoring Centre) and CA (Competent Authorities), (4) AATHP berimplikasi

dalam memacu pembuatan SOP Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan

Lahan di Indonesia, (5) AATHP berimplikasi terhadap pembangunan ASEAN

Centre yang dapat memfasilitasi kerjasama dan koordinasi antar para Pihak dalam

upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, (6)

AATHP berimplikasi terhadap peningkatan pengembangan penerapan Pembukaan

Lahan Tanpa Bakar (PLTB) di Indonesia melalui adanya penjaminan bahwa

langkah legislatif, administratif dan langkah relevan lainnya akan diambil untuk

mencegah pembukaan lahan dengan membakar serta adanya kerjasama teknis

antar para Pihak untuk lebih mempromosikan PLTB, dan (7) AATHP

berimplikasi dalam memacu alokasi dana yang lebih memadai dalam

penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia11.

B. Alasan Indonesia belum meratifikasi AATHP

Negara-negara ASEAN kesulitan untuk membantu Indoensia mengatasi

kebakaran hutan karena Indonesia sendiri belum meratifikasi kesepakatan

tersebut. Menurut beberapa pihak, ratifikasi ini terhambat oleh faktor politik

karena parlemen Indonesia yang punya mewenang melakukan ratifikasi tersebut,

ternyata minta soal perjanjian kabut asap ini dikaitkan dengan masalah lingkungan

yang lain, yaitu agar undang undang itu juga dikaitkan dengan ilegal logging dan

pengiriman limbah beracun. Jadi sebenarnya kesepakatan ini dipandang sebagai

adu strategi politik regional hingga DPR minta agar pemerintah untuk

membicarakan isu isu lain dengan memanfaatkan traktar tersebut.

Selain itu, melalui upaya penanggulangan dengan merupakan perwujudan

solidaritas ASEAN, Indonesia akan didesak secara perlahan untuk bersikap lebih

11Titi Novitha Harahap, Central Library Institute Technology Bandung

Page 16: HI BU RINI

tegas dalam penegakan hukumnya, bila meratifikasi AATHP tersebut. Memang

dalam perjanjian itu tidak secara tegas dijelaskan hukuman apa yang bakal

dijatuhkan kepada Indonesia jika hutannya terus terbakar dan melakukan ekspor

asap. Tetapi dengan perjanjian tersebut, selain Indonesia mendapat bantuan teknis,

negara ini juga bakal mendapatkan tekanan politis dari negara negara tetangga

untuk lebih serius terhadap masalah kebakaran hutan tersebut.

Indonesia sedang menyelesaikan proses ratifikasi tersebut yang

memerlukan tahapan prosedur cukup panjang sesuai ketentuan UU No.24 tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional pasal 10 yang menyebut bahwa pengesahan

perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan

antara lain dengan bidang lingkungan hidup.

C. Pengaruh Ratifikasi AATHP Bagi Kepentingan dan Kebijakan

Indonesia

AATHP terdiri dari 32 pasal dan sebuah lampiran. Berikut akan dibahas

bagian-bagian terpenting dari kesepakatan tersebut yang memiliki pengaruh

terhadap Indonesia.

1. Pasal 2 : Tujuan

Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk mencegah dan memonitor

transboundary haze pollution yang diakibatkan oleh kebakaran hutan yang

sebaiknya dilakukan dengan upaya-upaya nasional dan dengan kerjasama

regional dan internasional.

2. Pasal 3 : Prinsip

a. Prinsip tanggung jawab negara

b. Prinsip pencegahan

c. Prinsip precautionary

d. Prinsip pembangunan yang aman

e. Prinsip kerjasama dengan semua pihak termasuk masyarakat lokal,

NGO, petani dan perusahaan swasta.

3. Pasal 4 : Kewajiban Umum

a. Bekerjasama dalam upaya pencegahan polusi udara lintas batas

akibat kebakaran hutan termasuk didalamnya pengembangan upaya

Page 17: HI BU RINI

monitor, adanya sistem peringatan dini, pertukaran informasi dan

teknologi dan saling memberi bantuan,

b. Ketika terjadi transboundary haze pollution dari suatu negara,

segera merespon dan menginformasikan negara atau negara-negara

yang terkena atau akan terkena polusi udara tersebut untuk

meminimalisir akibatnya.

c. Melakukan upaya legislatif dan administratif untuk melaksanakan

kewajiban dalam kesepakan ini.

4. Pasal 5 : adanya ASEAN center yang dibuat untuk memfasilitasi

kerjasama dan koordinasi antar pihak dalam mengelola dampak polusi

asap. Ketika suatu negara menyatakan keadaan darurat, dapat meminta

bantuan kepada ASEAN center

5. Pasal 16 : Kerjasama secara teknis dan penelitian termasuk pertukaran

informasi, para ahli, teknologi dan alat. Memberikan pelatihan, pendidikan

dan kampanye pengembangan kesadaran tentang dampak polusi udara

terhadap kesehatan dan lingkungan.

6. Pasal 27 : Penyelesaian sengket yang dilakukan dengan konsultasi dan

negosiasi. Sebenarnya dalam hukum internasional terdapat banyak model

penyelesaian sengketa internasional yang telah dikenal baik secara teori

maupun praktek.12Hukum internasional selalu menganggap tujuan

fundamentalnya adalah pemeliharaan perdamaian.13 Keharusan untuk

menyelesaikan sengketa secara damai tercantum dalam Pasal 1 Konvensi

mengenai Penyelesaian Sengketa-sengketa Secara Damai yang kemudian

dikukuhkan oleh pasal 2(3) Piagam PBB.14 Berbagai aturan hukum

internasional dapat dikemukakan prinsip-prinsip mengenai penyelesaian

sengketa internasional seperti prinsip itikad baik, prinsip larangan

penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa, prinsip kebebasan

memilih cara-cara penyelesaian sengketa, prinsip kesepakatan para pihak,

dan prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan kemerdekaan

12 Andreas Pramudianto, Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Lingkungan Internasional, 200913 Malcom Shaw, International Law, Sixth Editon, Cambridge University Press, 2008, hlm.101014 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni 2001, hlm.186

Page 18: HI BU RINI

dan integritas wilayah Negara-negara.15 Jadi dalam hukum internasional

pada umunya, dan kasus kebakaran hutan ini pada khususnya,

penyelesaian sengketa terbaik adalah dengan jalur diplomatic secara

langsung dan menghindari penggunaan acaman kekerasan.16

Bila dilihat isi beberapa pasal terpenting dalam AATHP di atas, dapat

dilihat bahwa dengan meratifikasi AATHP tersebut, Indonesia akan mendapatkan

banyak keuntungan.

1. Indonesia dapat memanfaatkan SDM dan dana yang disediakan dalam

kesepakatan ini. Transboundary haze pollution dianggap sebagai masalah

bersama oleh para anggota ASEAN. Bagi Indonesia tentunya

menguntungkan mengingat keterbatasan dan ketidakmampuan untuk

menyelesaikan sendiri.

2. Dari perspektif tanggung jawab negara, Indonesia akan terhindar dari

potensi dimintai ganti rugi oleh negara tetangga. Hal ini karena masalah

asap merupakan masalah seluruh anggota ASEAN. Segala potensi yang

ada di negara anggota ASEAN, termasuk dana yang dialokasi dapat

dimanfaatkan untuk menangani masalah asap.

3. Melihat kondisi asap yang berasal dari Indonesia maka ratifiaksi akan

menguntungkan karena negara ASEAN yang dari tahun ke tahun

mengalami masalah asap adalah Indonesia. Bila tidak terkena dampak baru

akan rugi karena dana dan berbagai sumber tidak bermanfaat bagi

kepentingan nasional namun karena adanya solidaritas ASEAN saja.

4. Indonesia akan ada anggaran yang terkumpul dari berbagai sumber yang

dapat digunakan untuk mengatasi kebakaran hutan. Tanpa meratifikasipun

kita juga akan mengeluarkan dana untuk memadamkan kebakaran, namun

dengan meratifikasi maka dana yang bisa digunakan akan menjadi lebih

besar. Dengan AATHP, penanggulangan kebakaran tersebut dapat

dilaksanakan secara bersama-sama dengan negara ASEAN lainnya17.

15 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.15-1816 Peret Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, Routledge, 1997, hlm.27517 Www. Google.go.id Article Indonesia-AATHP.

Page 19: HI BU RINI

Indonesia diuntungkan juga karena akan menjadi tuan rumah bagi adanya

pertemuan ASEAN tentang perjanjian tersebut serta menjadi pusat

kegiatan untuk penanggulangan polusi asap di ASEAN.

Sudah sepatutnya, tindakan pertama pemerintah Indonesia adalah

meratifikasi perjanjian tersebut, karena Indonesia sangat memerlukan bantuan dan

kerjasama negara negara ASEAN memadamkan kebakaran hutan. Dari awal

sampai akhir penanggulangan kebakaran hutan, Indonesia memerlukan sumber

daya dan dana yang besar yang tidak bisa dia tanggung sendiri. Masalah illegal

logging dan  isu lingkungan lainnya, sebaiknya dibicarakan nanti setelah

Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Page 20: HI BU RINI

Dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal

negara yang bersangkutan merugikan Negara lain, dan dibatasi hanya terhadap

perbuatan yang melanggar hukum internasional. Bila dilihat, sebenarnya

Indonesia telah melakukan segala upaya yang mampu dilakukan untuk mencegah

dan menanggulangi polusi asap akibat kebakaran hutan. Hal ini jelas bukan

merupakan tindakan aktif negara dan juga tidak dapat dikategorikan sebagai

tindakan membiarkan, mengingat upaya-upaya telah dilakukan. Selain itu,

Presiden SBY telah meminta maaf kepada Malaysia dan Singapura sebagai

bentuk tanggung jawab, meskipun hanya sebagai tanggung jawab moral.

Upaya pemerintah Indonesia sekarang menanggulangi kebakaran hutan

sudah membaik namun keterbatasan dana dan personil serta luasnya skala

kebakaran, menyebabkan Indonesia sekali lagi tidak berdaya. Indonesia

memerlukan bantuan, tidak hanya menanggulangi kebakaran hutan dengan

pengerahan personil dari ASEAN, tetapi juga pencegahan, yakni dengan membuat

aturan hukum yang efektif menghukum pembakar hutan. Dan sebagian dari

masalah ini bisa ditanggulangi hanya apabila Indonesia meratifikasi ASEAN

Agreement on Transboundary Haze Pollution ini. Bila dilihat, sebenarnya

ratifikasi kesepakatan tersebut lebih banyak keuntungannya daripada kerugiannya

terhadap kepentingan dan kebijakan nasional Indonesia. Contohnya Indonesia

dapat memanfaatkan bantuan teknis serta dana yang ada dalam menanggulangi

kebakaran hutan (Pasal 20 AATHP). Dan juga, Indonesia tidak lagi dapat dituntut

karena telah menjadi tanggung jawab bersama negara ASEAN, meskipun

munculnya polusi asap berasal dari Indonesia. (Pasal 4 dan Pasal 5 AATHP).

B. SARAN

Bagi Indonesia :

1. Pemerintah sejak dini harus memberikan penyuluhan kepada masyarakat

Page 21: HI BU RINI

betapa pentingnya memelihara keberadaan hutan baik manfaat ekonominya

maupun konservasi. Juga harus ditekankan secara terus menerus bahwa

daerah-daerah yang berdampingan dengan kawasan hutan pada musim

kemarau sangat sensitif dan rawan kebakaran, sehingga pembakaran

semestinya tidak diperbolehkan sama sekali walaupun diperuntukan bagi

penyiapan lahan pertanian dan lainnya.

2. Upaya-upaya mengatasi teror asap tidak hanya bersifat reaksioner apabila

terjadi kebakaran hutan dan lahan. Tetapi seharusnya juga ditekankan pada

upaya-upaya preventif seperti misalnya menyiapkan kantong-kantong air pada

kawasan rawan kebakaran sebelum terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

3. Penegakan hukum tanpa pandang bulu bagi pembakar hutan dan lahan.

Dengan kata lain perlu diberikan contoh hukuman yang jelas bagi pelaku

pembakaran baik bagi perorangan maupun perusahaan. Misalnya dengan

memberikan sanksi denda administratif yang tinggi, pencabutan ijin operasi,

dan sebagainya yang diharapkan dengan demikian akan membuat efek jera

pelaku pembakaran hutan dan lahan.

4. Pemerintah juga harus mengeluarkan kebijakan tentang tanggungjawab

perusahaan terhadap konsesi yang dimiliknya jika terjadi kebakaran.

Perusahaan harus bertanggung jawab dan diberi sanksi jika terjadi kebakaran

hutan dan lahan dalam cakupwan wilayah konsesinya. Perusahaan tidak hanya

berhak mengambil keuntungan dari konsesi yang dikelolanya tetapi juga harus

bertanggung jawab dan wajib menjaga agar konsesinya bebas dari aktivitas

kebakaran hutan dan lahan. Jika ada, perusahaan harus menanggung dampak

yang ditimbulkan, sehingga sudah perusahaan dimaksud seharusnya

menyediakan dana on call untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya

kebakaran hutan dan lahan di konsesinya.

5. Pemerintah harus mengeluarkan larangan pembakaran lahan pada kawasan

tertentu misalnya pada kawasan bergambut. Kebakaran hutan dan lahan pada

kawasan bergambut sulit dipadamkan. Pengalaman menunjukkan bahwa

meskipun pada lapisan permukaan sudah tidak titik api, tetapi pada kawasan

bergambut lapisan di bawahnya masih terbakar. Dari kebakaran hutan dan

lahan pada kawasan bergambut inilah teror asap yang cukup besar dihasilkan.

Page 22: HI BU RINI

6. Menjalin kerjasama dengan negara tetangga dalam menanggulangi teror asap.

Karena sesungguhnya teror asap yang muncul akibat kebakaran hutan dan

lahan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia saja. Sudah

sepantasnya negara tetangga juga ikut memanggulangi teror asap karena

sebagian kebakaran hutan dan lahan mengingat kebakaran hutan dan lahan di

Indonesia juga dilakukan oleh sekelompok perusahaan asing dari negeri

tetangga seperti Malaysia. Dalam kondisi normal hutan Indonesia sebagai

paru-paru dunia telah memproduksi oksigen yang secara bebas juga dinikmati

oleh negara tetangga, sehingga semestinya negara tetangga tidak serta merta

mengkambinghitamkan pemerintah Indonesia tetapi juga harus ikut

memberikan solusi atas musibah kebakaran hutan dan lahan itu.

Bagi Malaysia dan Singapura serta Negara ASEAN lainnya :

1. Membentuk komisi pencari fakta untuk menghitung kerugian jika mekanisme

penyelesaian arbitase yang dipilih sebagai alternatif penyelesaian sengketa

kelak, juga untuk mencari fakta-fakta di lapangan yang dapat mendukung

solusi bagi bencana kabut asap.

2. Membuat nota kesepakatan dengan Indonesia dalam penyelesaian masalah ini

mengingat bencana kabut asap dapat digolongkan sebagai bencana

internasional sehingga diharapkan bantuan dari negara-negara maju dapat

mengatasi masalah ini.

3. Mengintensifkan bantuan internasional untuk bias menanggulangi bencana

kabut asap ini meningat Indonesia sendiri dalam hal ini tidak mampu

menangani dengan cepat dan tanggap. Jadi yang diharapkan adalah prinsip

kerjasama internasional.

DAFTAR PUSTAKA

LITERATUR

Page 23: HI BU RINI

Adji samekto, “Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional”, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2009

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global, Bandung, Alumni 2001, hlm.186

F. Gunarwan Suratmo, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gajah Mada

University Press, Yogyakarta, 1995

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar

Grafika, 2004, hlm.15-18

J.G, Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta : Sinar Grafika Offset,

Edisi kesepuluh 1999

Malcom Shaw, International Law, Sixth Editon, Cambridge University Press,

2008, hlm.1010

Martin Dixon, Textbook on International Law, Third Edition, Blackstone Press

Limited, 1996

Peret Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law,

Routledge, 1997

Sucipto, Sistem Tanggung Jawab Dalam Pencemaran Udara, Malang, 1985

Suparto Wijoyo, Hukum Lingkungan : Mengenal Instrumen Hukum

Pengendalian Pencemaran Udara di Indonesia, Surabaya, Airlangga

University Press, 2004

PERJANJIAN INTERNASIONAL

Page 24: HI BU RINI

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002

Draft Articles Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts,

International Law Commission, 2001

Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) 1976

ARTIKEL

Andreas Pramudianto, Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Lingkungan

Internasional, 2009

Laode Syarif, Menggantang Asap Indonesia, Opini Kompas, 15 Agustus 2005