hetcheri

14
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu organisme akuatik yang hidupnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan akuatik, baik faktor fisika, kimia dan biologi, seperti suhu, DO, pH, ketinggian tempat tertentu, ketersediaan makanan, dan predator yang dapat memengaruhi proses biologi pada ikan, termasuk reproduksi dan pertumbuhan karena setiap spesies mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda. Selain faktor eksternal (kondisi lingkungan), proses reproduksi pada ikan juga dapat dipengaruhi oleh faktor internal (kondisi hewan jantan). Kondisi gamet ikan yang dipelihara di dataran tinggi akan berbeda dengan di dataran rendah karena adanya perbedaan kondisi lingkungan. Transportasi ikan hidup tanpa media air pada dasarnya menggunakan prinsip hibernasi. Hibernasi dapat dilakukan melalui teknik pembiusan dengan penggunaan suhu rendah atau bahan kimia. Penggunaan suhu rendah merupakan cara yang paling efektif, ekonomis, dan aman karena tidak meninggalkan residu bahan kimia (Wijaya 2008). Pembiusan dilakukan untuk menurunkan aktivitas metabolisme dan respirasi krustasea, sehingga selama transportasi tidak banyak bergerak dan tidak banyak memerlukan oksigen untuk respirasinya. Untuk

Upload: putra-sejuta-impian

Post on 18-Dec-2015

21 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Perikanan

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN1.1. Latar BelakangIkan merupakan salah satu organisme akuatik yang hidupnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan akuatik, baik faktor fisika, kimia dan biologi, seperti suhu, DO, pH, ketinggian tempat tertentu, ketersediaan makanan, dan predator yang dapat memengaruhi proses biologi pada ikan, termasuk reproduksi dan pertumbuhan karena setiap spesies mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda. Selain faktor eksternal (kondisi lingkungan), proses reproduksi pada ikan juga dapat dipengaruhi oleh faktor internal (kondisi hewan jantan). Kondisi gamet ikan yang dipelihara di dataran tinggi akan berbeda dengan di dataran rendah karena adanya perbedaan kondisi lingkungan.Transportasi ikan hidup tanpa media air pada dasarnya menggunakan prinsip hibernasi. Hibernasi dapat dilakukan melalui teknik pembiusan dengan penggunaan suhu rendah atau bahan kimia. Penggunaan suhu rendah merupakan cara yang paling efektif, ekonomis, dan aman karena tidak meninggalkan residu bahan kimia (Wijaya 2008). Pembiusan dilakukan untuk menurunkan aktivitas metabolisme dan respirasi krustasea, sehingga selama transportasi tidak banyak bergerak dan tidak banyak memerlukan oksigen untuk respirasinya. Untuk mempertahankan kondisi pingsan selama transportasi sistem kering dibutuhkan media pengisi kemasan yang berkualitas. Media pengisi yang baik harus memiliki daya serap air yang tinggi dan mampu mempertahankan suhu rendah (Suryaningum et al. 2007). Umumnya media pengisi yang sering digunakan untuk transportasi sistem kering adalah serbuk gergaji. Serbuk gergaji dapat digunakan sebagai media pengisi karena mampu menyerap air dan merupakan penghambat panas yang baik (Wijaya 2008).Salah satu jenis ikan yang merupakan komoditas unggulan budidaya air tawar di Indonesia adalah ikan lele (Clarias sp.) yang telah banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Produksi maupun konsumsi ikan lele di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya. Produksi ikan lele secara nasional mulai tahun 2009 sebesar 144.755 ton, tahun 2010 sebesar 242.811 ton, dan tahun 2011 sebesar 337.577 ton dengan rata-rata peningkatan produksi sebesar 39,50% per tahun. Sebagai contoh, kebutuhan ikan lele konsumsi di Jakarta pada tahun 2012 mencapai 80 ton untuk setiap harinya. Permintaan yang besar ini belum diimbangi pasokan lele dari pembudidaya, yang baru mencapai 62,5% atau 50 ton per hari (KKP 2012).

1.2. Tujuan Adapun tujuan dari kegiatan praktikum mata kuliah ekosistem rawa ini adalah sebagai berikut :1. Untuk mengetahui lama waktu penyadaran dan atu pembugaran kembali.2. Agar mengetahui tingkat kelangsungan hidup ikan lele sangkuriang pasca transportasi.3. Dapat mengetahui tingkat konsumsi oksigen ikan lele sangkuriang pasca transportasi.

1.2.2. KegunaanManfaat yang dapat diambil dari kegiatan praktikum ini adalah dapat mengetahui teknik yang tepat yang dapat diterapkan pada proses transpotasi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus).

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA2.1. Sistematika dan Morfologi Ikan Lele Sangkuriang Menurut Kartini (2012) klasifikasi ikan lele sangkuriang adalah sebagai berikut: kingdom: Animiafilum: Chordatakelas: Actinopterygii ordo : Siluriformes famili : Clariidae genus : Clarias spesies : Clarias gariepinus Secara umum morfologi ikan lele sangkuriang tidak memiliki banyak perbedaan dengan lele dumbo yang selama ini banyak dibudidayakan. Hal tersebut dikarenakan lele sangkuriang merupakan hasil persilangan dari induk lele dumbo. Ikan lele sangkuriang merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah banyak dibudidayakan di Indonesia. Asal-usul dari lele sangkuriang, yaitu Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) memutuskan untuk melakukan pemurnian kembali dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas ikan lele dumbo yang mengalami penurunan. Ikan lele betina keturunan kedua yang merupakan lele dumbo asli dari Afrika Selatan (F2) dikawinkan dengan ikan lele jantan keturunan keenam (F6) yang merupakan sediaan induk yang ada di BBPBAT Sukabumi, sehingga anakan yang dihasilkan kemudian dinamakan Lele Sangkuriang (Amri & Khairuman 2008). Tubuh ikan lele sangkuriang mempunyai bentuk tubuh memanjang, berkulit licin, berlendir, dan tidak bersisik. Bentuk kepala menggepeng (depress) dengan mulut yang relatif lebar, dan mempunyai empat pasang sungut. Ikan lele sangkuriang memiliki tiga sirip tunggal, yaitu sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur. Pada sirip dada dijumpai sepasang patil atau duri keras yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri dan dapat dipakai untuk berjalan di permukaan tanah atau pematang. Pada bagian atas ruangan rongga insang terdapat alat pernapasan tambahan (organ arborescent) berbentuk seperti batang pohon yang penuh dengan kapiler-kapiler darah untuk membantu mengikat oksigen dari udara. Mulutnya terdapat di bagian ujung dan terdapat empat pasang sungut. Insangnya berukuran kecil dan terletak pada kepala bagian belakang. Ikan lele mempunyai kebiasaan makan di dasar perairan dan bersifat karnivora dan kanibal, yaitu memangsa jenisnya sendiri jika kekurangan jumlah pakan dan lambat memberikan pakan (Najiyati 1992).

2.2. Transportasi IkanPada transportasi ikan hidup sistem kering, perlu dilakukan proses penenangan terlebih dahulu. Kondisi Ikan yang tenang akan mengurangi stress, mengurangi kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen. Pada kondisi ini tingkat kematian selama transportasi akan rendah sehingga memungkinkan jarak transportasi dapat lebih jauh dan meningkatkan kapasitas angkut. Metode penanganan ikan hidup dapat dilakukan dengan cara menurunkan suhu air atau dapat juga menggunakan zat anestesi. Perlu diperhatikan bahwa ikan yang akan dipingsankan ini nantinya akan dikonsumsi sehingga pemilihan metode imotilisasi harus memperhatikan aspek kesehatan (Nitibaskara et al. 2006). Transportasi hidup sistem kering memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat mengurangi stres pada organisme yang ditransportasikan, menurunkan kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen, mengurangi mortalitas akibat perlakuan fisik (getaran, kebisingan, cahaya), tidak mengeluarkan hasil metabolisme (feses) serta tidak perlu media air sehingga daya angkut lebih besar. Stabilitas suhu dalam kemasan memegang peranan yang penting karena fluktuasi suhu yang tajam dapat menyebabkan kematian biota yang ditransportasikan (Nitibaskara et al. 2006).

2.3. ImotilisasiMenurut Nitibaskara et al. (2006), metode imotilisasi dengan penurunan suhu secara bertahap yaitu ikan dimasukkan ke dalam air yang beraerasi kemudian diimotilisasi dengan menurunkan suhu air secara bertahap hingga suhu tertentu. Pada suhu yang dikehendaki, ikan dipertahankan di dalam air selama waktu tertentu sampai ikan imotil. Pada penurunan suhu bertahap ini ikan secara bertahap direduksi aktivitas, respirasi dan metabolismenya hingga titik imotil yang diperlukan. Selain itu pada kondisi imotil tersebut aktivitas ikan cukup rendah atau bahkan sudah pingsan sehingga mudah ditangani untuk transportasi (Suryaningrum et al., 2005).

2.4. Alang-Alang Alang-alang (Imperata cylindrica) merupakan gulma tahunan yang keberadaannya sangat tidak dikehendaki oleh kaum petani khususnya. Salah satu upaya pemanfaatan alang-alang adalah dengan menggunakannya sebagai herbisida hayati (bioherbisida). Sajise (1980) mengemukakan bahwa dalam ekstrak alang-alang terdapat empat golongan senyawa fenolik yaitu asam isofemfik,asam salisilik, asam veratatrat dan asam amisat.Wattimena (1988) menambahkan bahwa keempat golongan senyawa tersebut dapat menghambat perpanjangan batang, akar, perkecambahan dan pembentukan tunas.Hal ini didasarkan pada alelokimia (senyawa kimia) yang dihasilkan alang-alang dapat menghambat atau meracuni tumbuhan lain (Rice 1984).

BAB 3PELAKSANAAN PRAKTIKUM3.1. Tempat dan WaktuPraktikum manajemen hatcheri dilaksanakan di laboratorium Hetcheri Akuakultur Universitas Sriwijaya hari Jumat, 14 April 2015, pada pukul 13.00 WIB sampai dengan selesai.

3.2. Bahan dan Metoda3.2.1. Bahan dan AlatAdapun bahan yang digunakan pada praktikum majemen hetcheri disajikan pada tabel 3.1. sebagai berikut.3.1. Tabel BahanNoBahanSpesifikasiKegunaan

1Ikan lele30 ekor per 3 kelompokMengawetkan Plankton

2Batu es7 buahSebagai media pengisi dan media pembius

3Alang-alangKetebalan 6 cmSebagai media pengisi

4Busa1 buahAlat peneyekat antara alang-alang dan batu es

Adapun alat yang digunakan pada praktikum manajemen hetcheri disajikan pada tabel 3.2. sebagai berikut.3.2. Tabel AlatNoAlatSpesifikasiKegunaan

1Kotak Styrofoam1 buahMedia pengangkut

2Akuarium1 buahMedia pembugaran

3Do meter1 buahMengukur DO

4Toples1 buah (5 L)Media pemingsanan

5Stopwatch1 buahPetunjuk waktu

3.2.2. Metoda 3.2.2.1. Penentuan Suhu PembiusanKondisi pingsan diperlukan agar proses metabolisme selama berlangsungnya transportasi ikan hidup dapat berkurang, sehingga aktivitas fisiologis, kebutuhan oksigen, dan produksi CO2 menjadi rendah (Nitibaskara et al. 2006). Metode penentuan suhu pembiusan yang digunakan adalah penurunan suhu secara bertahap. Suhu pembiusan yang diuji yaitu 15 C, 12 C dan 9 C. Penurunan suhu dilakukan dengan kecepatan 5-10 C/jam atau 0,4-0,8 C/menit (Suryaningum et al. 2005). Penurunan suhu dilakukan dengan memasukkan es batu yang dibungkus plastik ke dalam air secara perlahan hingga suhu yang diinginkan tercapai. Setelah suhu imotilnya tercapai, udang dibiarkan selama 30 menit hingga aktivitas udang diam (Ikasari et al. 2008). Suhu pembiusan terbaik hasil percobaan tahap ini akan digunakan pada penelitian utama.

3.2.2.2. Penentuan Jumlah Es dan Media Pengisi Penentuan jumlah es dilakukan serentak dengan penentuan jumlah media pengisi serbuk gergaji. Jumlah es yang diuji yaitu sebanyak 0,5 kg, 0,75 kg, dan 1 kg, dengan ketebalan serbuk gergaji 3 cm, 5 cm, dan 7 cm. Masing-masing perlakuan jumlah es dikombinasikan dengan tingkat ketebalan media pengisi. Langkah awal yaitu meletakkan bongkahan es di bagian dasar styrofoam yang dibungkus plastik, bagian atas es ditaburi serbuk gergaji dingin, dan diatas media pengisi disusun udang mantis. Kemudian ditaburi lagi media pengisi hingga penuh. Kotak styrofoam ditutup rapat dengan menggunakan lakban. Untuk mengontrol perubahan suhu didalam kotak kemasan dipasang termometer, yang mana bagian dasar termometer berada di sekitar ruang penyusunan udang mantis. Prosedur penyusunan bahan-bahan didalam kotak styrofoam dalam uji penentuan jumlah es dan media pengisi. Perubahan suhu didalam kotak styrofoam diamati setiap 1 jam selama 12 jam. Hasil terbaik dari perlakuan yaitu yang paling lama mempertahankan suhu dan kemudian digunakan pada penelitian utama.

2.3.2.3. Penentuan Tingkat Konsumsi Oksigen Tingkat konsumsi oksigen (TKO) ditentukan untuk mengetahui kebutuhan oksigen udang mantis. Wadah yang digunakan berupa toples kaca bervolume liter yang telah dibersihkan, dan dikeringkan, kemudian diisi air laut dengan salinitas 25 yang sebelumnya diberi aerasi selama 3 hari hingga kandungan oksigen dalam air jenuh. Ikan lele dimasukkan kedalam toples dengan kepadatan 1 ekor/Liter air, kemudian wadah tersebut ditutup rapat. Kandungan DO dalam air pada wadah toples diukur tiap satu jam. Pada bagian tutup toples diberi lubang yang berfungsi untuk memudahkan prosedur pengukuran DO dalam wadah. Saat tidak digunakan lubang tersebut ditutup dengan lakban. Perlakuan penentuan tingkat konsumsi oksigen dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Tingkat konsumsi oksigen dapat dihitung dengan menggunakan rumus Liao dan Huang (1975).

TKO = {(DOawal DOakhir)/W x t} x V

Keterangan : TKO : tingkat konsumsi oksigen (mg O2/g tubuh/jam) DOawal : oksigen terlarut pada awal pengamatan (mg/L) DOakhir : oksigen terlarut pada akhir pengamatan (mg/L) W : berat ikan uji (g) t : periode pengamatan (jam) V : volume air (L)

DAFTAR PUSTAKAAchmadi. 2005. Pembiusan ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan tegangan listrik untuk transportasi sistem kering. Sskripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.Amri K, Khairuman. 2008. Buku Pintar Budidaya Ikan Konsumsi. PT.Agro Media Pustaka, Tangerang. 358 p.Berka R. 1986. The Transport of Live Fish.A Review. EIFAC Tech. Pap.FAO, Roma.Ikasari D, Syamdidi, Suryaningrum ThD. 2008. Kajian fisiologis lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) pada suhu dingin sebagai dasar untuk penanganan dan transportasi hidup sistem kering. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 3(1):45-53. Indonesian aquaculture. 2010. Ternak Ikan Lele Sangkuriang. PT. Tequisa Indonesia, Jakarta Barat.Kartini, N. 2012. Kajian aspek reproduksi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) jantan yang dipelihara pada kondisi lingkungan berbeda. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). 2012. Bisnis ikan lele menggiurkan. http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/6990/Bisnis-Ikan-Lele-Menggiurkan/. Diakse pada 2 Mei 2015.Liao IC, Huang HJ. 1975. Studies On The Respiration Of Economic Prawns In Taiwan. I. Oxygen Of Egg Up To Young Prawns Of Penaeus monodon Fab.Fish Social Taiwan 4(1):33-50.Najiyati S. 1992. Memelihara Lele Dumbo di Kolam Taman. Penebar Swadaya, Jakarta. 53 p.Nitibaskara R, Wibowo S, Uju. 2006. Penanganan dan Transportasi Ikan Hidzip untuk Konsumsi. Bogor: Departemen Teknologi hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.Odum EP. (1971). Fundamental of Ecology3th Ed. W.E. Saunder Co. Philadelphia. London.