harias 1

9
HARI ASYURA 10 MUHARRAM ANTARA SUNNAH DAN BID’AH * SEJARAH DAN KEUTAMAAN PUASA ASYURA Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid'ah di dalamnya. Adapun yang dituntunkan syariat kepada kita pada hari itu hanyalah berpuasa, dengan dijaga agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang Yahudi. "Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa." [1] "Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :"Apa ini?" Mereka menjawab :"Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :"Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu." [2] Dua hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di masa jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam telah melakukannya. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa. Diriwayatkan pada hadits lain. “Artinya : Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi†lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukurâ€[3] “Artinya : Abu Musa berkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulllah Shallahu †کalaihi wa sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu†[4] “Artinya :Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin†[5] CARA BERPUASA DI HARI ASYURA [1]. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu â€کanhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:

Upload: arry-el-hasyimi

Post on 10-Feb-2016

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

harias

TRANSCRIPT

Page 1: Harias 1

HARI ASYURA 10 MUHARRAM ANTARA SUNNAH DAN BID’AH *

SEJARAH DAN KEUTAMAAN PUASA ASYURASesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid'ah di dalamnya. Adapun yang dituntunkan syariat kepada kita pada hari itu hanyalah berpuasa, dengan dijaga agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang Yahudi.

"Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa." [1]

"Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :"Apa ini?" Mereka menjawab :"Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :"Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu." [2]

Dua hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di masa jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi Shallallahu â€کalaihi wa sallam telah melakukannya. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.

Diriwayatkan pada hadits lain.

“Artinya : Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judiâ€‌ lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukurâ€‌[3]

“Artinya : Abu Musa berkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulllah Shallahu â€کalaihi wa sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari ituâ€‌ [4]

“Artinya :Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarinâ€‌ [5]

CARA BERPUASA DI HARI ASYURA[1]. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 MuharramBerdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu â€کanhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:

"Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya."

Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:

"Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi."

Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma'al 2/76):"Ini adalah derajat yang paling sempurna." Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:"Inilah yang Utama."

Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434

Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuklebih hati-

Page 2: Harias 1

hati.Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.

[2]. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 MuharramMayoritas Hadits menunjukkan cara ini:“Artinya : Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:"Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi." Maka beliau Shallallahu â€کalaihi wa sallam bersabda: "Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.", tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam telah wafat."[6]

Dalam riwayat lain : "Artinya : Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan."[7].

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :"Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslimâ€‌

"Artinya : Dari 'Atha', dia mendengar Ibnu Abbas berkata:"Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10â€‌.

[3]. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram"Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnyaâ€‌Hadits marfu' ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):[a]. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.[b]. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah[c]. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu'

Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma'tsurah karya As-Syafi'i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.

Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma'arif hal 49):"Dalam sebagian riwayat disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan…."

Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):"Dan ini adalahl akhir perkara Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu â€کalaihi wa sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata :"Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).", kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab."

Ar-Rafi'i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :"Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11"

[4]. Berpuasa pada 10 Muharram sajaAl-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :"Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a'lam."

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H-2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]__________

Page 3: Harias 1

Foote Note[*]. Diolah oleh Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min Muhdatsati Asyiril Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah Hanif, tahqiq Abu Saif Ahmad Abu Ali[1]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad 6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq 4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5/253[2]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud 2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288, Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286, Al-Humaidi 515, Ath-Thoyalisi 928[3]. Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya keduanya Dha’if.[4]. Hadits Shahih Riwayat Bukahri 4/244, 7/274, Muslim 2/796, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/322 dan Al-Baihaqi 4/289[5]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/818-819, Abu Daud 2425, Ahmad 5/297, 308, 311, Baihaqi 4.286, 300 Abdurrazaq 4/284, 285[6]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391[7]. Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain

DIANTARA HUKUM BULAN MUHARRAM

Maka berbahagialah bagi seseorang yang dapat mengisi waktunya dengan sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya dengan Allah, bebahagialah bagi seseorang yang menyibukkan dirinya dengan ketaatan dan menghindari maksiat. Berbahagialah bagi seseorang yang meyakini adanya hikmah-hikmah Allah yang agung dan rahasia-rahasia-Nya (yang Dia ketahui), dengan melihat kepada silih bergantinya perkara-perkara dan keadaan-keadaan.

“Artinya : Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatanâ€‌ [An-Nur : 44]

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya pada hari ini kamu berpisah dengan tahun yang telah lalu, yang menjadi saksi. Dan kamu akan menyambut tahun yang akan datang, tahun yang baru, maka apakah yang telah kamu tinggalkan untuk tahun kemarin ? Dan dengan apa kamu akan menyambut tahun yang baru ini ?

Maka seseorang yang berakal hendaklah menginstropeksi dirinya, dan melihat urusannya. Jika sekiranya dia telah meninggalkan suatu kewajiban, maka segeralah bertaubat dan segeralah untuk memperbaiki apa yang ditinggalkannya. Dan jika dia telah mendhalimi dirinya sendiri dengan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan dan hal-hal yang haram segeralah ia meninggalkannya sebelum datangnya kematian.

Dan jika dia termasuk orang yang diberi keistiqomahan oleh Allah, maka mintalah untuk tetap istiqomah sampai akhir hidupnya. [Dari kitab Dhiya’ul Lami Minal Khutabil Jawami’ I/313-314 secara bebas, karya Syaikh Utsaimin]

Awal bulan telah membawa kita ketahun baru Hijriyah, bulan itu ialah bulan Allah Al-Muharam. Hal ini bukanlah sesuatu yang asing lagi bagimu. Tetapi ….! Apakah bulan ini memiliki hukum-hukum yang harus diketahui oleh thalibul ilmi, thalibul haq dan thalibul akhirah (penuntut ilmu, pencari kebenaran dan orang yang menginginkan akhirat)? Yaa … di bulan ini ada amalan-amalan yang harus diperhatikan, sebagai upaya untuk menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam dan upaya untuk memperoleh pahala serta kebaikan bagi orang yang mengajak kepada petunjuk agama.

“Artinya : Siapa yang mengajak kepada suatu petunjuk maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari pahala merekaâ€‌ [Hadits Riwayat Muslim]

Page 4: Harias 1

Pemuda sejati, demi Allah ialah yang memiliki ilmu dan ketaqwaanTidaklah dikatakan pemuda sejati kalau tidak memiliki keduanya.

DIANTARA HUKUM-HUKUM BULAN MUHARRAMPertama : Dilarang Berbuat Dhalim Di Bulan Itu.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat ituâ€‌ [At-Taubah : 36]

Sesungguhnya Allah tidak menulis di dalam Lauhul Makhfud yaitu pada hari penciptaan langit dan bumi, bahwa jumlah bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan. Empat bulan di antaranya ialah haram (mulia) : Tiga beriringan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, serta Rajab Mudhar yang ada antara Jumada dan Sya’ban,

“Allah memiliki hikmah yang sempurna, yaitu ketika Dia memilih utusan-utusan dari kalangan malaikat (seperti Jibril untuk menyampaikan wahyu, -red), begitu juga dari kalangan manusia (yakni para rasul yang diutus Allah,-red). Dan Allah juga mengutamakan beberapa waktu dibanding dengan waktu yang lainnya, beberapa tempat dibanding dengan tempat-tempat lainnya. Dan mengutamakan sebagian bulan dengan sebagian lainnya, sebagian hari dengan sebagian lainnyaâ€‌ [Dhiya’ul Lami 2/704]

Adapun tentang larangan berbuat dhalim pada ayat diatas, ulama Salaf berbeda pendapat. Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud kedhaliman adalah peperangan secara mutlak. Sebagian mereka berkata –dan ini yang lebih rajih- bahwa maksud dari kedhaliman dalam ayat diatas ialah dilarangnya memulai peperangan. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kedhaliman di dalam ayat ialah berbuat dosa dan kemaksiatan.

Maka –wahai saudara-saudara seagama Islam-, hendaklah kita berhati-hati dari kedhaliman, baik mendhalimi diri kita sendiri atau mendhalimi orang lain. Hendaklah kita mengingat wasiat kekal Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam dalam sabdanya.

“Artinya : Tahukah kalian dengan kedhaliman, karena sesungguhnya kedhaliman itu merupakan kegelapan-kegelapan pada hari kiamatâ€‌ [Hadits Riwayat Muslim dan lainnya. Shahih al-Jami no 102]

Dan hendaklah kita menjaga diri dari do’anya orang-orang yang didhalimi, walaupun ia kafir atau fajir (jahat), karena sesungguhnya do’anya dikabulkan oleh Allah (karena tidak ada penghalang antara dia dengan Allah).

Ingatlah kita kepada sabda Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam

“Artinya : Tidak ada dari satu dosapun yang lebih pantas untuk dicepatkan siksanya bagi pelaku dosa itu baik di dunia maupun di akhirat daripada melewati batas (kedhaliman) dan memutus silaturahimâ€‌ [Ash-Shahihah no 915]

Di dalam syair dikatakan.

Apakah orang yang sangat dhalim itu akan selamat.Padahal di belakangnya terdapat panah do’a yang siap menancap dari orang negeri Qas yang sedang ruku.

Maka hendaklah orang-orang yang terdhalimi bergembira dengan diijabahi do’a mereka oleh Allah yang Maha Mendengar dan Mengetahui, walaupun selang beberapa waktu.

Hendaklah mereka senang dan tenang, yaitu bahwa orang-orang yang dhalim itu akan celaka di dunia dan akhirat. Dan bahwasanya Allah tidaklah menyelisihi janjiNya, “akan tetapi

Page 5: Harias 1

kalian itu kaum yang tergesa-gesaâ€‌.

Adapun orang yang membantu orang-orang yang dhalim di dalam kedhaliman dan kesesatan mereka, apapun kedudukan orang-orang yang dhalim itu, baik penguasa ataupun rakyat, maka ingatlah bahwa adzab yang pediah pasti akan menunggu mereka. Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Siapa membantu orang yang dhalim, untuk menolak kebenaran dengan kebhatilannya, maka sesungguhnya jaminan Allah dan RasulNya telah terlepas darinyaâ€‌ [Hadits Riwayat Hakim. Shahihul Jami’ no 6048]

Hadits yang mulia diatas cukuplah menjadi peringatan dari kedhaliman, baik kecil maupun besar, bagi orang yang berakal, atau orang yang mau mendengarkan, sedangkan dia menyaksikan.

Kedua : Disunahkan Puasa Secara Mutlak Khususnya 9 dan 10 Muharram

Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharramâ€‌ [Hadits Riwayat Muslim dari Abu Hurairah]

Adapun puasa 9 Muharram, maka itu disunnahkan. Ibnu Abbas Radhiyallahu â€کanhu meriwayatkan.

“Artinya : Ketika Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan (para sahabat) supaya berpuasa. Para sahabat berkata : “Wahai Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasraniâ€‌, Maka Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam bersabda : “Pada tahun depan insya Allah kita puasa tanggal 9â€‌. Tetapi beliau wafat sebelum datangnya tahun berikutnyaâ€‌ [Hadits Riwayat Muslim]

Di dalam hadits lain.

“Artinya : Seandainya aku mendapati tahun depan, maka aku akan puasa tanggal 9. Tetapi beliau meninggal sebelum ituâ€‌ [Hadits Riwayat Muslim]

Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam telah menganjurkan kepada umatnya supaya berpuasa Asyura (tanggal 10 Muharram), ketika ditanya tentang puasa Asyura, dengan sabdanya ;

“Artinya : Puasa Asyura menghapus kesalahan setahun yang telah laluâ€‌ [Hadits Riwayat Muslim]

Beliau juga senantiasa melakukan puasa Asyura berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu â€کanhu, beliau berkata.

“Artinya : Tidaklah aku melihat Rasulullah lebih menjaga puasa pada hari yang diutamakannya dari hari lain kecuali hari ini, yaitu Asyuraâ€‌ [Shahih At-Targhib wa Tarhib]

Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Asyura merupakan hari diantara hari-hari Allahâ€‌ [Hadits Riwayat Muslim]

Benarlah bahwa Asyura merupakan hari-hari Allah, yang pada hari itu al-haq mendapatkan kemenangan atas kebatilan. Orang-orang mukmin yang sedikit mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir yang banyak. Pada hari itu pula Allah menyelamatkan Nabi Musa  Alaihis sallam dan kaumnya dari kejaran Fair’aun. Maka berpuasalah Nabi Musa âک Alaihis sallam sebagai wujud syukur kepada Allah. Tatkala Rasulullah datang di Madinah danکmengetahui bahwa orang Yahudi puasa pada hari itu, beliau Shallallahu â€کalaihi wa sallam

Page 6: Harias 1

bertanya tentang sebabnya. Maka orang-orang Yahudi menjawab bahwa mereka mengagungkan hari itu, karena pada hari itu Nabi Musa â€کAlaihis sallam dan kaumnya diselamatkan oleh Allah dari kejaran Fir’aun. Maka Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Maka aku lebih berhak terhadap Musa daripada kamu. Maka beliaupun berpuasa dan memerintahkan umatnya supaya berpuasa pada hari ituâ€‌ [Hadits Riwayat Bukhari]

Pada mulanya puasa Asyura diwajibkan, tetapi setelah Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan, Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa berkehendak, silahkan berpuasa, dan barangsiapa berkehendak, silahkan meninggalkan (tidak berpuasa)â€‌.

Mungkin ada orang yang berkata : “Bagaimana Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura, mengikuti orang-orang Yahudi, padahal kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka, yaitu orang-orang yang di murkai oleh Allahâ€‌.

Jawabannya adalah : Bahwa Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam telah berpuasa Asyura pada zaman jahiliyah, bahkan orang Quraisy pun berpuasa pada hari itu. Jadi Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam berpuasa Asyura itu sebelum beliau datang ke Madinah (yang disana bertemu dengan orang-orang Yahudi,-red). Kemudian Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam membenarkan khabar orang-orang Yahudi, bahwa nabi Musa â€کAlaihis sallam berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur, karena Allah telah menyelamatkan dari Fir’aun. Maka orang-orang Yahudi pun mengagungkan hari itu. Al-Mazari berpendapat bahwa pembenaran Nabi kepada Yahudi mungkin setelah Nabi diberi wahyu tentang kebenaran mereka, dan kabar itu telah sangat masyhur pada beliau. Atau mungkin orang Yahudi yang telah masuk Islam, seperti Ibnu Salam, telah mengabarkan kepada Nabi tentang kebenaran kabar tersebut, Kesimpulannya, bahwa Nabi melakukan puasa Asyura bukanlah karena mengikuti orang Yahudi, karena Rasulullah Shallallahu â€کalaihi wa sallam telah berpuasa sebelum Rasulullah pergi ke Madinah. Dan waktu itu menyamai Ahli Kitab dalam perkara yang tidak dilarang secara syar’i.

MUHARRAM (SURO) BULAN KERAMAT ?

Muharram (Suro) dalam kacamata masyarakat, khususnya Jawa, merupakan bulan keramat. Sehingga mereka tidak punya keberanian untuk menyelenggarkan suatu acara terutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak di indahkan akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi mempelai berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan. Hal ini diakui oleh seorang tokoh keraton Solo. Bahkan katanya : “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa musibah!â€‌. Maka kita lihat, bulan ini sepi dari berbagai acara. Selain itu, untuk memperoleh kesalamatan diadakan berbagai kegiatan. Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan pada malam satu Suro (Muharram), entah di tiap desa, atau tempat lain seperti puncak gunung. Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu di larung (dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau. Mungkin supaya sang ratu pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu. Peristiwa seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti Tulungagung, Cilacap dan lainnya.

Acara lain yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab kerbau bule yang terkenal dengan nama kyai slamet di keraton Kasunanan Solo. Peristiwa ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela berpayah-payah. Apa tujuannya ? Tiada lain, untuk ngalap berkah dari sang kerbau, supaya rizki lancar, dagangan laris dan sebagainya. Naudzubillahi min dzalik. Padahal kerbau merupakan symbol kebodohan, sehingga muncul peribahasa Jawa untuk menggambarkannya : “bodo ela-elo koyo keboâ€‌. Acara lainnya adalah jamasan pusaka dan kirab (diarak) keliling keraton.

Itulah sekelumit gambaran kepercayaan masyarakat khususnya Jawa terhadap bulan Muharram (Suro). Mungkin masih banyak lagi tradisi yang belum terekam disini. Kelihatannya tahayul ini diwarisi dari zaman sebelumnya mulai animisme, dinamisme, hindu dan budha. Ketika Islam datang keyakinan-keyakinan tersebut masih kental menyertai perkembangannya.

Page 7: Harias 1

Bahkan terjadi sinkretisasi (pencampuran). Ini bisa dicermati pada sejarah kerajaan-kerajaan Islam di awal pertumbuhan dan perkembangan selanjutya, hingga dewasa ini ternyata masih menyisakan pengaruh tersebut.

Namun kepentingan kepada Muharram (Suro) ini tidak dimonopoli oleh suku atau bangsa tertentu. Syi’ah umpamanya, -mayoritas di Iran, meskipun di Indonesia sudah meruyak di berbagai sudut kota dan desa-, memiliki keyakinan tersendiri tentang Muharram (Suro). Terutama pada tanggal 10 Muharram, mereka mengadakan acara akbar untuk memperingati dan menuntut bela atas meninggalnya Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Seperti dikatakan oleh Musa Al-Musawi tokoh ulama mereka : “Belum pernah terjadi sepanjang sejarah adanya revolusi suci yang dikotori kaum Syi’ah dengan dalih mencintai Husainâ€‌ Perbuatan buruk itu setiap tahun masih terus dilakukan kaum Syi’ah, terutama di Iran, Pakistan, India dan Nabtiyah di Libanon. Peritiwa ini sempat menimbulkan pertikaian berdarah anyara Syi’ah dan Ahlus Sunnah di beberapa daerah di Pakistan yang menelan korban ratusan jiwa yang tidak bersalah dari kedua belah pihak. [Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI hal. 85]

Dikatakan pula : “Orang-orang Syi’ah setiap bulan Muharram memperingati gugurnya Imam Husain di Karbala tahun 61H, peringatan tersebut dilakukan dengan cara berlebih-lebihan. Dari tanggal 1 Muharram sampai 9 Muharram diadakan pawai besar-besaran di jalan-jalan menuju ke Al-Husainiyah. Peserta pawai hanya mengenakan sarung saja sedang badanya terbuka. Selama pawai mereka memukul-mukul dada dan punggungnya dengan rantai besi sehingga luka memar. Acara puncak dilakukan dengan melukai kepala terutama dahinya sehingga berlumuran darah. Darah yang mengalir ke kain putih yang dikenakan sehingga tampak sangat mencolok. Suasana seperti itu membuat mereka yang hadir merasa sedih, bahkan tidak sedikit yang menangis histeris. [Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI, hal. 51]

Mengapa mereka begitu ekstrim ? Karena ziarah ke kuburan Al-Husain merupakan amalan yang mereka anggap paling mulia. Dalam kitab mereka semisal Furu’ul Kafi oleh Al-Kulani, Man La Yahdhuruhul Faqiihu oleh Ibnu Babawih dan kitab lainnya, diriwayatkan : “… Barangsiapa mendatangi kubur Al-Husain pada hari Arafah dengan mengakui haknya maka Allah akan menulis baginya seribu kali haji mabrur, seribu kali umrah mabrur dan seribu kali peperangan bersama Nabi yang diutus dan imam yang adilâ€‌. Dalam kitab Kamiluzaroot dan Bahirul Anwar disebutkan “ Ziarah kubur Al-Husain merupakan amalan yang paling muliaâ€‌, riwayat lainnya, “Termasuk amalan yang paling mulia adalah ziarah kubur Al-Husainâ€‌. Bahkan Karbala itu lebih mulia dibanding Makkah Al-Mukaramah. Karena Al-Husain dikuburkan di disana. [Lihat Ushul Madzhab Asy-Syiah Al-Imamiyah Al-Itsna Asyriyah Dr Nashir Al-Qifari, hal. 460-464]