ham dan perlindngan thdp gg. jiwa

Upload: yulie-ana-bani-mansyur

Post on 31-Oct-2015

82 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kesehatan jiwa merupakan bagian dari kesehatan manusia seutuhnya, kedudukannya sangat menentukan kemampuan manusia untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat menggangu kesehatan jiwa (UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 144). Penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) sebagai upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya meliputi upaya kesehatan jiwa preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif serta dilaksanakan berdasar prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia.Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia merupakan tanggungjawab dari Negara sebagaimana diamanahkan dalam UUD 1945, berbagai regulasi terkait kesehatan jiwa seharusnya disusun dalam kerangka HAM. Perlindungan hukum pada ODMK maupun tenaga kesehatan yang bekerja pada Institusi pelayanannya masih dipandang lemah karena belum adanya produk hukum yang khusus terkait dengan kesehatan Jiwa. Secara historis Indonesia pernah mempunyai Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1966, namun sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dan diintegrasikan ke dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pada saat ini regulasi yang terkait dalam kesehatan jiwa secara umum diatur atau dirumuskan dalam UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada bab IX Pasal 144 sampai dengan Pasal 151.Intinya sehubungan dengan masalah Kesehatan Jiwa, berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Bab IX, telah menyinggung masalah tersebut, sebagai berikut:

Pasal 144 (1) Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.(2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah psikososial.(3) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.(4) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2).(5) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatanjiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.Pasal 145Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin upaya kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (3).Pasal 146(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi yang benar mengenai kesehatan jiwa.(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menghindari pelanggaran hak asasi seseorang yang dianggap mengalami gangguan kesehatan jiwa.(3) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan layanan informasi danedukasi tentang kesehatan jiwa.Pasal 147(1) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawabPemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.(2) Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi penderita.(3) Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Pasal 148(1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain.Pasal 149(1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan danperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat.(4) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.Pasal 150(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et repertumpsikiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan.(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi.Pasal 151Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur dengan Peraturan Pemerintah.Suatu hal yang secara tegas diamanahkan dalam UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan termuat dalam pasal 151 yang berbunyi Ketentuan lebih lanjut tebtang Kesehatan Jiwa diatur dengan Peraturan Pemerintah. Setelah hampir tiga tahun berlalu sejak pengesahan UU kesehaatan Peraturan Pemerintah yang dimanahkan belum juga diterbitkan oleh pemerintah. Permasalahan kompleks yang muncul terkait Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) mengindikasikan pentingnya penyelesaian dengan melibatkan berbagai bidang yaitu Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, tidak menutup kemungkinan kementerian bidang ketenagakerjaan, ekonomi, dan infrastruktur. Minimnya regulasi tentang kesehatan jiwa dan kompleksnya permasalahan yang harus ditangani tidak menutup kemungkinan diperlukan adanya payung hukum yang kuat dengan membuat Undang Undang Kesehatan jiwa ,atau menyusun Peraturan Pemerintah untuk pengaturan upaya kesehatan jiwa. Masalah lain yang dihadapi oleh Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) yaitu terkait dalam lingkup hukum keperdataan (aturan bagaimana ODMK itu dalam kehidupan sehari-harinya berhubungan dengan orang lain dan melakukan perbuatan hukum). Pada lingkup hukum perdata yang sangat terkait adalah pada buku I KUH Perdata tentang Orang (Pengampuan dan perwalian) dan Buku III tentang Perikatan.

Kedudukan dalam hukum yang lemah terhadap Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) menyebabkan mereka sangat rentan kehilangan hak hukum, misalnya: pengampuan, hak pengasuhan anak, hak waris, dan sebagainya. Oleh hukum Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dianggap sebagai orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum (handelings bekwaamheid). Pengaturan untuk orang yang dinyatakan "tidak cakap" untuk melakukan perbuatan hukum diatur dalam pasal 1330 BW (KUH Perdata). Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) menurut hukum digolongkan sebagai orang yang tidak cakap bertindak yaitu orang yang berdasar ketentuan undang-undang tidak mampu membuat sendiri, perjanjian-perjanjian dengan akibat hukum yang lengkap. Ketidakcakapan seseorang merupakan kekecualian dalam membuat perikatan. ketidakcakapannya itu untuk melindungi orang-orang yang bersangkutan maka perbuatannya secara hukum dapat dibatalkan (vernietigbaar). Hal tersebut diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata menyatakan "Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan". Dari pasal di atas dapat disimpulkan pengampuan adalah peletakan orang dewasa, yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap pun jika kadang-kadang ia cakap menggunakan pikiranya dalam keadaan sama dengan anak yang belum dewasa dan diwakili oleh pengampu jika akan melakukan perbuatan hukum.

Konsekuensi hukum yang timbul dengan berlakunya pengampuan terhadap kurandus atau orang yang ditempatkan di bawah pengampuan, adalah:

1. Kurandus berkedudukan sama dengan anak yang belum dewasa;

2. Semua perbuatan perdata yang dilakukan oleh kurandus setelah berlakunya pengampuan adalah batal demi hukum. Namun, kurandus pemboros tetap berhak melangsungkan perkawinan, dengan izin kurator dan Balai Harta Peninggalan sekali kurator pengawas, berhak membuat wasiat, dan berhak pula meminta agar dikeluarkan dari pengampuan;

3. Kurandus yang sakit ingatan (gila) tidak dapat menikah dan juga tidak dapat membuat wasiat;

4. Ketentuan undang-undang tentang perwalian atas anak belum dewasa, yang tercantum dalam Pasal 331 sampai dengan 344 KUH Perdata, Pasal-pasal 362, 367, 369 KUH Perdata sampai dengan 388, 391 KUH Perdata dan berikutnya dalam Bagian 11, 12 dan 13 Bab XV, berlaku juga terhadap pengampuan;

5. Penghasilan kurandus karena keadaan dungu, gila (sakit ingatan) atau mata gelap, harus digunakan khusus untuk memperbaiki nasibnya dan memperlancar penyembuhan;

6. Kurandus yang belum dewasa tidak dapat melakukan perkawinan, pula tidak dapat mengadakan perjanjian-perjanjian selain dengan memerhatikan ketentuan-ketentuan pada Pasal 38 dan 151 KUH Perdata.

Orang yang dapat menjadi pengampu diatur di dalam Pasal 434 KUH Perdata: Setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan seorang keluarga sedarahnya, berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Pengampu memang memegang peranan sangat penting dalam penentuan nasib seseorang yang diampunya karena pengampu merupakan orang yang mendapat hak hukum sebagai pengambil keputusan bagi terampu, tentu dengan berpedoman pada konsep manfaat yang baik (Best Interests). Oleh karena itu untuk menjadi seorang pengampu haruslah memenuhi kreteria yang ditetapkan oleh undang-undang. Bila dilihat dari Pasal 434 KUH Perdata di atas maka yang boleh menjadi pengampu untuk orang yang terus menerus dalam keadaan dungu, sakit otak, mata gelap dalam kenyataannya adalah keluarga sedarah penderita dari garis lurus ke atas dan ke bawah. Jadi yang berhak menjadi pengampu bagi penderita sakit yang telah disebut di atas adalah keluarga sedarah dan atau istri/suaminya.

Masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang hukum terkait dengan lembaga pengampuan ini yang kemudian menimbulkan permasalahan. Salah satu permasalahan yang kemudian muncul adalah terkait dengan pelayanan kesehatan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) itu sendiri. Sebagai contoh adalah siapa orang yang berhak meminta informasi tentang rekam medis bagi pasien Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) karena seperti yang dijelaskan di atas bahwa Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) oleh hukum dinyatakan sebagai orang yang tidak cakap (onbekwaam) sehingga dia harus diwakili oleh seorang pengampu. Sebagai contoh kasus adalah seseorang pensiunan PNS yang mengalami gangguan jiwa dan harus mendapatkan perawatan di Rumah Sakit kemudian setelah pasien pulang pihak keluarga meminta surat keterangan medis kepada rumah sakit untuk keperluan pengambilan uang taspen. Dalam hal ini rumah sakit tentunya berpegang pada ketentuan Permenkes Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis. Seperti kita ketahui bersama dalam Permenkes Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis menyatakan bahwa isi rekam medis hanya dapat dibuka dalam hal untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan; permintaan dan atau persetujuan pasien itu sendiri; permintaan institusi/lembaga berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien. Dari ketentuan di atas tentunya pihak rumah sakit tidak boleh memberikan surat keterangan medis kepada pihak keluarga tersebut karena keluarga bukan pihak yang berwenang meminta surat keterangan medis pasien jiwa. Untuk meminta surat keterangan medis tersebut pihak keluarga harus meminta terlebih dahulu penetapan pengampuan atas nama dalam hal ini pensiunan PNS di Pengadilan Negeri domisili dari pensiunan PNS tersebut.

Berbeda dengan lembaga perwalian yang secara hukum hak perwalian otomatis melekat pada orang tuanya, namun untuk mendapatkan hak pengampuan atas Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) tentunya tidak secara otomatis melekat pada keluarga melainkan harus mendapat penetapan pengadilan. Prosedur yang harus ditempuh untuk mendapatkan hak pengampuan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) adalah dengan mengajukan permohonan untuk pengampuan kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman orang yang hendak dimohonkan untuk ditempatkan di bawah pengampuan (calon kurandus). Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam permohonan pengampuan adalah fakta-fakta yang menunjukkan keadaan Orang Dengan Masalah Kejiwaan harus disebutkan dengan jelas dalam surat permintaan penetapan pengampuan, dengan disertai bukti-bukti dan saksi-saksi yang dapat diperiksa oleh hakim di pengadilan. Pengampuan mulai berlaku terhitung sejak saat putusan atau penetapan pengadilan diucapkan. Artinya, pengampuan sudah berlaku walaupun putusan atau penetapan itu dimintakan banding. Pengampuan berjalan terus tanpa terputus-putus seumur hidup kurandus (orang di bawah pengampauan), kecuali dihentikan berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.