gus dur dan agama khonghucu di...
TRANSCRIPT
GUS DUR DAN AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Faur Rasid
NIM: 1111032100022
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1438 H
v
ABSTRAK
Faur Rasid
Gus Dur Dan Agama Khonghucu Di Indonesia
Tionghoa masuk ke Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada
zaman Hindia-Belanda, keturunan Tionghoa mendapatkan berbagai diskriminasi
dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada
masa pemerintahan Orde Lama etnis Tionghoa dan umat Khonghucu sempat
mendapat pengakuan dari Negara dengan Keppres No. 1 tahun 1965 tentang
penodaan dan penyalahgunaan agama. Pada masa Orde Baru selama 32 tahun,
agama Khonghucu mengalami diskriminasi karena adanya Inpres No. 14 tahun
1967. Ketika masa pemerintahan Gus Dur mencabut Inpres No. 6 tahun 1967 dan
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/BA.01.2/4683/95 tahun 1978
tentang pembatasan kegiatan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina, dengan
dikeluarkannya Keppres No. 6 tahun 2000, maka di Indonesia sudah tidak ada lagi
istilah agama yang diakui oleh pemerintah maupun agama yang tidak diakui oleh
pemerintah. Maka pemikiran dan sikap Gur Dur ini menjadi menarik untuk
diteliti.
Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif, dengan
menggunakan pendekatan historis dan filosofis, pendekatan historis ini digunakan
untuk mengkaji sejarah agama Khonghucu di Indonesia pada masa Hindia belanda
sampai reformasi dan filosofis untuk merumuskan secara jelas hakikat yang
mendasari konsep-konsep pemikiran Gus Dur.
Kajian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini berupaya menelusuri
bagaimana peran Gus Dur dalam melegalkan agama Khonghucu dan memahami
pemikiran beliau terhadap keberagaman yang ada di Indonesia serta sejarah
agama Khonghucu dari masa kemasa. Sebagai seorang presiden yang mewakili
rakyatnya tentu Gus Dur harus mengakomodasi semua keperluan rakyatnya tanpa
terkecuali termasuk masalah keyakinan yang dianut rakyatnya. Umat Khonghucu
tentu sangat bersyukur jika urusan keagamaan mereka sudah dapat diakui dan
diakomodasi segala keperluannya oleh pemerintah.
Maka dari itu, hasil yang penulis dapatkan dalam penelitian ini yakni
dihapusnya istilah agama yang diakui oleh pemerintah maupun agama yang tidak
diakui oleh pemerintahan Gus Dur dengan berlandaskan pada azas Pancasila dan
UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Pada masa Gus Dur ini juga menjadi keran
kebijakan terhadap agama Khonghucu bagi pemerintahan selanjutnya, seperti
ditetapkannya hari Libur Nasional di zaman presiden Megawati dan pemulihan
hak-hak sipil agama Khonghucu pada masa presiden Susilo Bambang Yudoyono.
vi
KATA PENGANTAR
“Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan tetapi hebat dalam tindakan”
(Nabi Khonghucu)
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa
melimpahkan rahmat serta karunianya dalam segala hal, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Gus Dur dan Khonghucu di
Indonesia”. Sholawat serta seaam selalu terlimpah curahkan kepada junjungan
Nabi Muhammad saw, kepada keluarganya, para Sahabatnya, serta kepada
umatnya hingga akhir zaman. Amin ya rabb.
Penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Strata Satu pada Program Studi Agama - Agama Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat
banyak kesan dan pelajaran dalam setiap proses yang amat panjang dalam
menyelesaikannya. Selesainya skripsi ini bukanlah semata-mata hasil kerja keras
penulis sendiri. Penulis menyadari, skripsi ini tidak akan selesai jika tidak ada
dukungan dari berbagai pihak.
Maka dari itu sudah selayaknya penulis ingin memberikan ucapan terima
kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang turut membantu dalam
setiap proses untuk menyelesaikan skripsi ini. Baik berupa dukungan, bantuan,
serta ucapan semangat yang tiada henti hentinya kepada penulis. Oleh karena itu
setelah rampungnya penulisan skripsi ini, penulis ingin menyebutkan beberapa
nama yang teramat berkesan dihati penulis, yaitu:
vii
1. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M, Si. selaku dosen pembimbing yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini, yang tidak pernah
bosan memberikan motivasi, bimbingan, do’a, dan kepercayaan yang sangat
berarti bagi penulis.
2. Dr. Media Zainul Bahri, MA, dan Dra. Halimah Mahmudy, MA, selaku ketua
dan sekretaris jurusan Studi Agama - Agama, yang telah membantu dan
memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis.
3. Prof. Dr. Masri Mansoer, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Segenap jajaran dosen dan guru besar Studi Agama - Agama, Dr. Ahmad
Ridho, DESA, Pros. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Ridwan Lubis, MA,
Dra. Hermawati, MA, Drs. M. Nuh Hasan, MA, Dr. Amin Nurdin, MA, Dr.
Hamid Nasuhi, M,Ag, Dr. Abdul Muthalib, Syaiful Azmi, MA dan Dra. Siti
Nadroh, MA, yang telah memberikan berbagai ilmu yang sangat bermanfaat
bagi penulis.
5. Staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas, Perpustakaan Utama Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia Depok, dan
Perpustakaan PBNU Pusat yang telah membantu menyediakan referensi yang
dibutuhkan penulis.
6. Litang Bio Tangerang terkhusus untuk Bapak Rudi, Engkong Tjin Enk, dan
staf lainnya, juga kepada bapak Uung Sendana Selaku Ketua MATAKIN,
serta kepada Bapak Bratayana Ongkowijaya, Bapak Masari Saputra Depok,
viii
yang telah memberikan banyak kontrinusinya kepada penulis untuk
menyelesaikan tugas akhir.
7. Perpustakaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama terkhusus buat Bapak H.
Syatiri Ahmad HS. S. Ag. Selaku pengurus perpustakaan PBNU.
8. Keluarga Besarku, Ayahanda tercinta Suhadi, Ibunda tercinta Muryati yang
senantiasa memanjatkan do’a dan harapannya untuk anaknya tercinta. Kakak-
kakaku Eko Handoyo dan Istri, Ningsih dan Suami, Siti Nur Efiyah dan
Suami, serta adikku tersayang Riski Nisa Khomisatin yang selalu membantu
dan memberi dukungan. Tidak lupa juga untuk keluaraga besar Simbah
Casmadi baik di kampung halaman maupun di Jakarta.
9. Sahabat-sahabatkuImam Arifin, Andri Wijaya, Hendro Purwanto, Jaelani
Habibi, dan Widia Nisa yang tiada bosan memberikan semangat dan
menemani hari-hari penulis.
10. Teman-teman angkatan terkhusus Martia Awaliah, Rini Farida, Helmi
Suhaimi, Arip Nurahman yang mengisi hari-hari ku di kampus, juga Mylinda
Chaerunissa, Enis Chaerunisa, Anissa Khalida dan Nur Jaman yang selalu
mememani untuk mencari referensi.
11. Teman-teman CURIOUS ( Community Of Religious Studies), yang
memberikan keceriaan dan kebahagiaan selama menimba ilmu di jurusan
Perbandingan Agama.
12. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Pelajar Pemalang - Jakarta (IMPP-J), yang
sudah menjadi keluarga kedua selama penulis menimba ilmu di Jakarta,
terkhusus untuk Zaenun Nu’man, Liliek Khanna Aisyah, Siti Nurhayati,
ix
Burhani Cokro Handoko, Faiqul Himam, Abdul Basyir, Teti Anggriani Dewi
Tantu dan Ina Nur Hasanah.
13. Keluarga Besar Ikatan Remaja Masjid Fathullah (Irmafa) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak pengalaman non
akademis sebagai tambahan pengetahuan untuk bekal hidup di masyarakat.
14. Teman-teman KKN Kreatif, Inovatif, Totalitas, dan Aktif (KITA) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
15. Dan yang terakhir untuk dua sahabatku yang selama ini selalu memberikan
segalanya buat penulis yaitu Ade Eko Kurniawan yang dengan setianya
menemani penulis dari semenjak SMK sampai sekarang, juga buat Fela Sufah
Maulina yang mengenalkan dan mengantarkan penulis sampai dapat kuliah di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua yang
membacanya, terutama bagi yang berminat di bidang Studi agama-agama lebih
khusus tentang perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia. Kritik dan saran
akan penulis terima dengan lapang dada.
Jakarta, 17 April 2017
Faur Rasid
x
DAFTAR ISI
Surat Pernyataan ............................................................................................... ii
Lembar Persetujuan ......................................................................................... iii
Lembar Pengesahan .......................................................................................... iv
Abstrak ............................................................................................................... v
Kata Pengantar ................................................................................................. vi
Daftar Isi ............................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 11
E. Kajian Pustaka ............................................................................................ 12
F. Metode Penelitian ...................................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan.................................................................................. 16
BAB II AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA ....................................... 17
A. Sejarah Agama Khonghucu di Indonesia ..................................................... 17
1. Zaman Hindia-Belanda ........................................................................... 17
2. Zaman Kemerdekaan .............................................................................. 23
a. Masa Orde Lama................................................................................. 23
b. Masa Orde Baru .................................................................................. 25
c. Masa Reformasi .................................................................................. 26
B. Ajaran Agama Khonghucu .......................................................................... 28
1. Ajaran Tentang Tuhan ........................................................................... 28
2. Ajaran Tentang Keimanan ..................................................................... 31
3. Ajaran Tentang Hidup Setelah Mati....................................................... 33
xi
BAB III GUS DUR DAN KHONGHUCU DI INDONESIA .......................... 36
A. Gus Dur dan Kebebasan Beragama ............................................................. 36
1. Humanisme Gus Dur .............................................................................. 39
2. Pluralisme Gus Dur ................................................................................ 44
B. Gus Dur dan Agama Khonghucu ................................................................. 51
C. Regulasi Politik Gus Dur Terhadap Legalitas Agama Khonghucu ............... 56
1. Menegakkan Demokrasi ......................................................................... 56
2. Penerimaan Atas Ideologi Pancasila ....................................................... 59
3. Legalitas Agama Khonghucu oleh Gus Dur ............................................ 61
D. Ditetapkannya Hari Libur Nasional Imlek ................................................... 69
E. Masuknya Agama Khonghucu dalam KTP ................................................. 72
BAB VI PENUTUP .......................................................................................... 76
A. Kesimpulan ................................................................................................. 76
B. Saran ........................................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Di
samping itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara kepulauan, karena memiliki
17.508 pulau yang membentang dari sabang sampai merauke.1 Sebagai negara
kepulauan, Indonesia dihuni oleh berbagai suku bangsa, baik yang berasal dari
Indonesia itu sendiri maupun dari negeri lain yang sudah lama tinggal di
Indonesia. Salah satu diantaranya adalah suku bangsa Cina atau orang Tionghoa.2
Di Indonesia, persoalan yang masih dianggap rawan adalah masalah
SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Dari keempat masalah tersebut
yang sangat menonjol adalah rasialisme antargolongan etnis Cina dengan
mayoritas pribumi dan persoalan yang menyangkut agama, serta kehidupan
beragama etnis Cina.3
Tidak ubahnya seperti suku bangsa lain di Indonesia, etnis Cina juga
menganut agama yang berbeda-beda, baik yang secara resmi diakui oleh
pemerintah ataupun tidak. Salah satu agama yang dianut oleh etnis Cina di
Indonesia adalah agama Khonghucu (Konfusianisme). Agama ini, di zaman Orde
1Budi Untung, Buku Pintar BimbelSD Kelas 4, 5, 6 (Jakarta: Lembar Langit 2015), h.
238. 2M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia (Jakarta:
Pelita Kebajikan, 2005). 3Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xiv.
2
Baru, tidak diakui sebagai agama resmi oleh Pemerintah Indonesia.4 Hal ini
diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres No. 14 tahun 1967 tentang larangan bagi
WNI keturunan Cina untuk melakukan perayaan pesta agama dan adat istiadat
Cina secara terbuka dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.
477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November tahun 19785 tentang lima
agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Katolik,
Hindu dan Buddha.6
Selain itu, adanya penghapusan mata pelajaran agama Khonghucu pada
tahun 1977 dipaksa mengikuti pelajaran pendidikan agama lain demi memenuhi
tuntutan kurikulum yang berlaku. Para penganut agama Khonghucu bahkan sering
mengaku beragama lain dengan alasan karena pada saat itu Khonghucu bukan
agama yang diakui. Hal ini mengakibatkan umat Khonghucu tidak diijinkan
merayakan hari-hari sucinya di depan masyarakat umum. Di dalam Kartu Tanda
Penduduk yang berfungsi sebagai identitas diri, umat Khonghucu tidak
dibenarkan dan tidak diijinkan menyebut dirinya beragama Khonghucu tetapi
harus mengakui beragama lain yang formal dan tercantum dalam daftar isian kartu
penduduk hanya diberi tanda.7 Kebijakan semacam ini jelas sangat membatasi
kebebasan manusia untuk memeluk suatu agama dan juga membatasi manusia
untuk menggunakan hak-haknya sebagai seorang yang beragama. Padahal dalam
UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 yaitu: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
4Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xiv.
5http://www.spocjournal.com/hukum/372-berbagai-keputusan-pemerintah-tentang-
agama-khonghucu.html Diakses pada 23 April 2017 Pukul 21.51 6Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xvi.
7Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES,
2002), h. 62.
3
Maha Esa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.8 Hal ini membuktikan bahwa Indonesia adalah Negara yang
beragama, bukan Negara yang tidak beragama (atheis). Dalam pasal 29 ayat 2
UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia hanya memberikan jaminan
kepada pemeluk agama untuk beribadah menurut agamanya masing-masing,
namun tidak dijelaskan agama apa saja yang diakui di Indonesia.9
Di tengah problem tersebut, keberadaan agama Khonghucu sebagai salah
satu bentuk kebangkitan kehidupan beragama dikalangan etnis Cina di Indonesia
dalam berbangsa dan bernegara belum begitu jelas dan masih simpang siur. Hal
ini dapat menimbulkan berbagai macam interpretasi, keraguan, dan dapat
membuat kurang mantapnya pelaksanaan ajaran Khonghucu dalam kehidupan
beragama dan masyarakat.10
Di satu pihak ajaran Khonghucu dianggap sebagai ajaran agama yang
dapat disetarakan dengan agama yang sah yang diakui oleh pemerintah. Mereka
yang beranggapan demikian berpendapat bahwa ajaran Khonghucu memiliki
konsep tentang adanya Tuhan yang Maha Esa, nabi (Khonghucu), kitab suci (Su
Si), rumah ibadah (Lithang), tata cara ibadah, dan konsep eskatologi. Di lain pihak
agama Khonghucu ini tidak layak dianggap sebagai agama, karena Khonghucu
tidak berbicara tetang hal-hal yang menyangkut kehidupan setelah mati, doa, atau
8Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses
Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Jakarta: Sinar Grafika 2016) h. 24. 9http://hukum.kompasiana.com/2012/08/29/norma-yang-terkandung-dalam-pasal-29-uud-
1945-dan-peraturan-nomor-ipnps1965-482817.html Diakses 16 Maret 2016 Pukul 22.43 10
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xv.
4
komunikasi antara yang hidup dan yang mati, dan sarana untuk mempertahankan
hubungan itu sepenuhnya walaupun seseorang telah meninggal.11
Perbincangan tentang Khonghucu sebagai suatu agama atau bukan, juga
merambah di kalangan tokoh-tokoh Islam. Di antaranya adalah Gus Dur12
, Cak
Nur13
dan Dr. Tarmizi Taher (mantan Menteri Agama RI). Gus Dur dan Cak Nur
sependapat bahwa Khonghucu dapat dikatakan sebagai agama, karena ia
mempunyai umat dan diyakini umatnya sebagai suatu agama.14
Berbeda dengan pendapat Gus Dur dan Cak Nur di atas, Tarmizi Taher
mengatakan bahwa sampai kapanpun pemerintah tidak akan mengakui
Khonghucu sebagai agama, karena di Republik Rakyat Cina (RRC) sendiri
Khonghucuisme tidak dianggap sebagai agama dan dipandang dari sudut apapun
Khonghucu tidak baik disebut sebagai agama.15
Namun, hal tersebut tidak menciutkan jiwa umat Khonghucu yang begitu
semangat walaupun banyak rintangan yang perlu dihadapinya. Hal ini bukan
masalah bagi umat Khonghucu sehingga mereka tidak menyerah. Umat
Khonghucu semakin semangat dengan adanya larangan kegiatan tersebut,
sehingga timbul dalam pikiran mereka untuk menciptakan misi dan
perkembangan agama Khonghucu.16
11
Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa Indonesia (Terjemahan Dede
Oetomo), (Jakarta: PT. Gramedia, 1988), h. 48. 12
Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan kata Gus Dur ketika menyebut nama
Abdurahman Wahid, sebagai panggilan akrab yang lebih membumi dikalangan masyarakat. 13
Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan kata Cak Nur ketika menyebut nama
Nurcholish Majid, sebagai panggilan akrab yang lebih membumi dikalangan masyarakat. 14
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xvi. 15
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xvi. 16
Gunawan Saidi,Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia Pada Masa
Reformasi”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta,2009), h. 3.
5
Keinginan agar Khonghucu diakui sebagai agama di Indonesia tampaknya
mulai mempunyai peluang ke arah yang lebih baik. Beberapa seminar yang
menyangkut keberadaan agama Khonghucu di Indonesia sudah mulai digelar.
Salah satunya digelar di IAIN Jakarta pada Agustus 1998. Disamping itu, karya-
karya tulis yang menyangkut agama Khonghucu juga sudah mulai bermunculan.
Diantaranya adalah “Hak-Hak Asasi Beragama dan Perkawinan Khonghucu:
Perspektif Sosial, Legal, dan Teologi” yang diterbitkan oleh PT. Gramedia 1998.
Buku ini ditulis oleh beberapa tokoh yang memandang Khonghucu dari berbagai
sudut.17
Di zaman pemerintahan presiden Gus Dur, agama Khonghucu mulai
mendapat angin segar. Hal ini terlihat dari pertemuan Gus Dur dengan tokoh-
tokoh agama di Bali (Oktober 1999), dan dalam pertemuannya dengan masyarakat
Cina di Beijing (November 1999). Angin segar bagi Khonghucu ini, tidak saja
datang dari Gus Dur tapi juga dari Ketua MPR, Amin Rais, pada saat penutupan
sidang umum MPR 1999, telah mengajak semua umat beragama termasuk yang
beragama Khonghucu untuk berdoa atas keselamatan bangsa Indonesia. Tidak
hanya itu, sidang Tanwir Muhammadiyah yang dimulai pada 3 sampai 5
Desember 1999 di Bandung, medesak pemerintah untuk mengakui secara hukum
keberadaan Khonghucuisme di Indonesia. Desakan ini didasarkan atas
pertimbangan Hak Asasi Manusia (HAM), karena menurut Muhammadiyah
Khonghucuisme juga bagian dari HAM.18
17
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105. 18
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia , h. 106.
6
Pada akhirnya Pemerintah Presiden Gus Dur memperbolehkan semua
kegiatan keagamaan Khonghucu dengan dikeluarkanya Inpres No. 27 1998 dan
Kepres No. 6 tahun 2000. Dengan ini, Inpres No. 14 tahun 1967 dinyatakan
dicabut dan semua ketentuan pelaksanaan yang ada akibat Inpres tersebut
dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada akhirnya umat Khonghucu dapat merayakan
hari raya Implek 2551 (bertepatan dengan tahun 2000 Masehi) secara nasional,
yang diadakan di Jakarta dan Surabaya pada bulan Februari 2000. Kemungkinan
dengan dicabutnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
No.477/74054/BA.01.2/4683/95 tahun 1978, kemungkinan besar tidak dijumpai
lagi pelarangan bagi umat Khonghucu yang mau mencatatkan pernikahannya di
Kantor Catatan Sipil.19
Sedangkan untuk murid-murid keturunan Tionghoa tidak
perlu lagi meminta izin atau membolos di hari Implek, karena Gus Dur
menetapkan hari itu sebagai hari libur fakultatif yaitu hari libur yang diperuntukan
untuk orang yang merayakannya.20
Tentu dicabutnya Inpres No. 14 tahun 1967 dan Surat Edaran Menteri
tahun 1978 tersebut, maka di Indonesia sudah tidak ada lagi istilah agama yang
diakui oleh pemerintah maupun agama yang tidak diakui oleh pemerintah. Gus
Dur berpendapat sebuah agama dapat dikatakan agama atau tidak, bukan urusan
pemerintah, sebab yang menghidupkan agama bukan jaminan pemerintah tapi hati
manusia. Sehingga, menurut Gus Dur, pengakuan negara terhadap suatu agama
merupakan kekeliruan. Dalam kesempatan perayaan tahun baru Imlek 2551,
tanggal 17 Februari 2000 di Jakarta, Gus Dur juga mengatakan bahwa apakah
19
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xvi-xvii. 20
Damien Dematra, Sejuta Hati untuk Gus Dur (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2010), h.264
7
Khonghucu itu agama atau filsafat hidup, adalah suatu pernyataan yang mudah
untuk dijawab. Agama, kata Gus Dur, manakala itu diyakini oleh pemeluk-
pemeluknya. Tanpa pengakuan negara, agama itu akan tetap hidup karena adanya
dalam hati manusia. Untuk menetapkan apakah agama betul-betul agama atau
bukan, bukan urusan pemerintah atau negara. Tidak hanya itu, mengakui saja
sudah merupakan suatu kekeliruan. Menurutnya, kalau pemerintah berbuat
demikian, artinya pemerintah juga berbuat salah.21
Gus Dur yang dikenal dengan nilai 9 prisma pemikirannya yaitu:
Ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, persaudaraan, pembebasan,
kesederhanaan, ksatria, dan kearifan lokal22
bahkan menurut Mahfud MD Gus
Dur sebagai tokoh humanis dan pluralis berkelas dunia.23
Sebagai tokoh
nasionalis beliau menerima asas tunggal pancasila. Dalam pandangan Gus Dur,
meskipun negara Pancasila tidak secara tegas sebagai negara agama, bukan berarti
negara Pancasila tidak membolehkan umat beragama menjalankan syariat
agamanya masing-masing. Ideologi Pancasila tidak berada pada kedudukan lebih
tinggi dari suatu agama., terutama karena Pancasila menjamin hak setiap pemeluk
agama untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing-masing.24
Sementara itu sebagai tokoh pluralisme agama dalam pandangan Gus Dur
adalah mengedepankan kecintaan, kasih sayang, penghargaan yang tulus kepada
umat manusia, apapun agama atau keyakinannya pada dasarnya sama-sama
21
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 106-107. 22
http://filsafat.kompasiana.com/2012/08/15/9-nilai-prisma-pemikiran-gus-dur-
479610.html Diakses 23 April 2015 Pukul 22.05 23
Aryanto Nugroho, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute 2010), h. 26. 24
Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur (Jakarta: Erlangga, 2010), h.
101.
8
mengabdi kepada Tuhan. Hanya ajarannya yang berbeda.25
Dari pemikirannya
yang demokratis, pluralis, inklusif dan egaliter inilah Beliau membela kaum
minoritas dan yang tertindas. Perjuangan Beliau menegakan demokrasi dan
keberagaman di Indonesia yang mempunyai semboyan “Bhineka Tunggal Ika”
salah satunya dapat dilihat dari perjuangan Gus Dur saat menjabat presiden
melegalkan agama Khonghucu di Indonesia. Yang kita tahu sejak zaman Orde
Baru etnis Tionghoa ini tidak mendapat tempat untuk mengekspresikan
keyakinannya. Hal inilah yang menarik untuk kemudian diangkat menjadi sebuah
judul skripsi yang bertujuan seperti apa dan bagaimana kontribusi Gus Dur
terhadap legalitas agama Khonghucu di Indonesia.
Sebagai seorang humanis yang membela kaum minoritas dan menegakkan
Hak Asasi Manusia Gus Dur mendapat banyak penghargaan dari berbagai agama,
negara, organisasi dan universitas di berbagai negara. Karena Gus Dur dianggap
sebagai individu sekaligus intelektual yang memperjuangkan terciptanya
perdamaian dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Kematian bukan akhir hayat
bagi Gus Dur untuk menyuarakan pluralisme agama, karena perjuangan tersebut
bakal dilanjutkan oleh generasi penerusnya yang mempelajari pemikiran Gus Dur.
Sebelum meninggal Gus Dur berpesan “saya ingin di kuburan saya ada tulisan:
disinilah di kubur seorang humanis”26
dan terbukti setelah dirinya meninggal,
gelombang pujian mengalir dari berbagai agama, ras, organisasi, dan negara.
Di tengah kontroversinya sosok Gus Dur sangatlah menarik jika kita
mengaktualisasikan perspektif-perspektif pemikiran Gus Dur tentang pluralisme
25
Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, h.202. 26
Rumadi, ed., Damai Bersama Gus Dur (Jakarta: Buku Kompas,2010), h. 69.
9
agama dalam konteks keindonesiaan. Demikian juga, jaminan dasar akan
keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat
melandasi hubungan antar warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-
menghormati, yang akan mendorong kerangka sikap tenggang rasa dan saling
pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah
dengan penindasan, kesempitan pandangan, dan kezaliman terhadap kelompok
minoritas yang berbeda keyakinan atau agama dari keyakinan mayoritas, sejarah
manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian yang melekat
dari kehidupan manusia.27
Satu hal yang mungkin kita tidak dapat melupakan beliau sebagai salah
satu anak bangsa terbaik adalah betapa pengabdian yang dilakukan oleh Gus Dur,
dilandasi oleh sebuah keputusan yang konsisten walaupun keputusan itu mendapat
banyak tantangan, disamping memang dukungan. Tantangan satu per satu sudah
dilalui Gus Dur mengembangkan pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan
beragama.28
Salah satu yang kontroversi adalah keputusan Gus Dur melegalkan
Agama Khonghucu di Indonesia.
Disinilah penulis bermaksud menggali bagaimana konsep legalitas agama
dalam pemikiran Gus Dur yang terkait erat dengan kontribusi Gus Dur terhadap
legalitas agama Khonghucu di Indonesia yang selama masa Orde Baru tidak
diakui sebagai agama oleh pemerintah saat itu.
27
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia & Transformasi
Kebudayaan (Jakarta: Wahid Institute, 2007), h. 5. 28
Abdul Fattah, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute, 2010), h. 46.
10
B. Masalah dan Rumusan Masalah
1. Masalah
Pada masa Orde Lama agama Khonghucu sempat mendapat pengakuan
dari pemerintah sebagai agama resmi dengan dikeluarkannya Penpres No.
1/Pn.Ps/1965 yang menyebutkan salah satu agama resmi yang dipeluk penduduk
Indonesia adalah agama Khonghucu. Namun, ketika masa Orde Baru agama
Khonghucu menjadi terbelunggu akibat adanya Inpres No. 14 Tahun 1967.
Keluarnya Inpres tersebut dikarenakan peristiwa G 30/S PKI, pemerintah pada
saat itu menganggap etnis Tionghoa adalah etnis asing sehingga perlu adanya
asimilasi untuk menjadi warga Indonesia.
Gus Dur yang pada masa Orde Baru mendirikan LSM Forum Demokrasi
selalu tampil memperjuangkan hak-hak umat Khonghucu yang terbelenggu. Mulai
dari ikut sidang di PTUN Surabaya atas gugatan Bingky Irawan terhadap Dinas
Pendudukan dan Catatan Sipil pada masa Orde Baru, mengundang seluruh tokoh
lintas agama termasuk Khonghucu di Bali pada masa Reformasi dan mencabut
Inpres No. 14 Tahun 1967 dengan mengeluarkan Keppres No. 6 Tahun 2000
ketika menjabat sebagai presiden.
2. Batasan Masalah
Untuk lebih memfokuskan kajian penelitian ini, perlu adanya pembatasan
masalah dalam skripsi ini, yaitu, mengkaji pemikiran Gus Dur tentang legalitas
agama Khonghucu.
11
3. Rumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan kajian penelitian ini, diajukan beberapa
pertanyaan sebagai perumusan masalah yang akan diuraikan dalam skripsi ini,
yaitu sebagai berikut:
1. Seperti apa hubungan Gus Dur dan agama Khonghucu di Indonesia?
2. Apa alasan Gus Dur melegalkan agama Khonghucu di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui perkembangan agama Khonghucu di Indonesia.
2. Mengetahui hubungan antara Gur Dur dan agama Khonghucu.
3. Mengetahui alasan Gus Dur melegalkan agama Khonghucu.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Menambah wawasan sebagai bahan referensi untuk proses penelitian
selanjutnya.
2. Menambah wawasan tentang pemikiran Gus Dur terhadap legalitas
agama Khonghucu di Indonesia.
3. Menambah wawasan tentang perkembangan agama Khonghucu di
Indonesia.
4. Sebagai sumber informasi khususnya bagi calon sarjana jurusan studi
agama-agama yang dituntut memiliki sikap arif dan bijaksana
terhadap berbagai macam perbedaan agama yang ada khususnya di
Indonesia.
12
E. Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini peneliti memaparkan dua pokok bahasan.
Pertama mengkaji hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.
Sebagai intelektual sekaligus pemerhati masalah-masalah sosial menjadi hal
wajar ketika banyak orang yang ingin meneliti sepak terjang Gus Dur dalam
beberapa aspek. Mulai dari masalah sosial, politik, kebudayaan, keagamaan dan
lain-lain. Inilah yang menarik untuk dijadikan sebuah penelitian ilmiah. Sebagai
bahan perbandingan terhadap apa yang sekarang penulis teliti, ada beberapa karya
ilmiah yang lebih dulu meneliti mengenai pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) maupun agama Khonghucu. Pertama, Perkembangan Agama Khonghucu di
Indonesia Pada Masa Reformasi (Studi kasus Tangerang). Merupakan penelitian
yang ditulis oleh Gunawan Saidi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
jurusan Perbandingan Agama tahun 2009. Skripsi ini menjelaskan sejarah agama
Khonghucu dari masa Orde Baru sampai Masa Reformasi hingga
perkembangannya setelah diakui sebagai agama di Indonesia dengan
menggunakan metode deskriptif analisis. Kedua, Konsep Pendidikan Pluralisme
menurut Abdurahman Wahid dalam perspektif Pendidikan Islam. Merupakan
penelitian skripsi yang ditulis Ahmad Mustholih mahasiswa IAIN Semarang
jurusan Pendidikan Agama Islam tahun 2011. Skripsi ini menjelaskan konsep
pluralisme Gus Dur dengan sudut pandang pendidikan Islam dengan
menggunakan metode deskriptif-analisis. Ketiga, Pluralisme Agama Dalam
Pandangan Abdurrahman Wahid. Merupakan skripsi yang ditulis oleh M. Bahrul
Ulum mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Perbandingan Agama
13
tahun 2014. Skripsi ini menggunakan menggambarkan pandangan Gus Dur
mengenai pluralisme agama khususnya di Indonesia.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku “Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta” yang diterbitkan CeQDA (Center For Quality Development and
Assurance) (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Jenis Penelitian
Skripsi ini menggunakan penelitian deskriptif analisis, jadi peneliti
melakukan penelitian lapangan untuk wawancara informan-informan seperti
pemeluk agama Khonghucu dan mempelajari buku-buku “Gus Dur Pecinta Ulama
Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis-Keagamaan”, “Gus Dur siapa sih
Sampean? (tafsir teoritis atas tindakan dan pertanyaan Gus Dur)”, “Teologi
Pemikiran Gus Dur”, “Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di
Indonesia”.
2. Pendekatan
Untuk mempertajam penelitian yang penulis lakukan, maka penulis
menggunakan dua metode pendekatan yang bertujuan untuk menyesuaikan atas
pesan yang ingin disampaikan Gus Dur dalam melegalkan agama Khonghucu.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
filosofis dan historis. Istilah filsafat secara etimologi berarti cinta kebijakan atau
14
kebenaran.29
Filosofis adalah cara pandang berdasarkan filsafat30
atau cinta
kebajikan dan kebenaran. Filsafat merupakan hasil proses berfikir dalam mencari
hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh, dan mendasar.31
Pendekatan
filosofis digunakan untuk merumuskan secara jelas hakikat yang mendasari
konsep-konsep pemikiran Gus Dur.
Sedangkan historis adalah adalah hal-hal yang berkenaan dengan sejarah ;
bertalian atau ada hubungannya dengan masa lampau.32
Jadi, pendekatan historis
merupakan salah satu tipe dalam penelitian kualitatif yang bertujuan untuk
merekonstruksi kembali secara sistemis, akurat dan objektif kejadian atau
peristiwa yang pernah terjadi dimasa lampau.33
Pendekatan historis dimaksudkan
untuk mengkaji, mengungkap latar belakang agama Khonghucu, perkembangan
agama Khonghucu di Indonesia serta mengungkap latar belakang Gus Dur dan
corak perkembangan pemikirannya dari kacamata kesejarahan, yakni dilihat dari
kondisi sosial, politik, dan budaya pada masa itu.
3. Subyek Penelitian
Subyek penelitian atau informan dalam penelitian ini yang menjadi
informan adalah penganut agama Khonghucu.
29
Amsal, Bakhtiar, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia
(Jakarta: PT Raja Grafindo Oersada, 2007), h.6. 30
Dendi Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Pertama Edisi
IV (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama) h. 392. 31
Sirojuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Pt Raja Grafindon
Persada, 2012), h. 2. 32
Dendi Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 503. 33
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan
(Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014), h. 346.
15
4. Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini tergolong penelitian lapangan yang bersifat kualitatif
dan pustaka yang bersifat kualitatif, maka data yang digunakan dalam penelitian
diperoleh dari wawancara atau temuan-temuan di lapangan dan dokumen-
dokumen atau transkip yang telah ada. Adapun data penelitian ini dibagi menjadi
dua, yaitu:
a. Interview (wawancara)
Dalam hal ini penulis menggunakan wawancara dengan serentetan
pertanyaan yang sudah terstruktur (sistematis), kemudian diperdalam untuk
mengorek keterangan lebih lanjut. Penulis melakukan wawancara dengan Matakin
(Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia), Kemenag, dan PBNU.
b. Dokumentasi
Sumber dokumen mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip,
buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, rapat, agenda dan sebagainya
yang berhubungan dengan penelitian.
5. Teknik Penulisan
Dalam penyusunan teknik penulisan dan berpedoman pada prinsip-prinsip
yang diatur dan dibukukan dalam pedoman penulisan Skripsi Fakultas Ushuludin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.
16
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang materi yang
menjadi pokok penulisan dan memudahkan para pembaca dalam memahami tata
aturan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai
berikut:
Pendahuluan, pada bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaaat penelitian, review studi
terdahulu, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Kedua dalam bab ini berisi kajian teoritis tentang sejarah agama
Khonghucu beserta ajarannya. Dalam bab ini menjelaskan sekilas tentang sejarah
lahirnya agama Khonghucu dari sebelum lahir dan sesudah lahir sampai masuk ke
Indonesia serta ajaran agama Khonghucu di Indonesia.
Ketiga dalam bab ini berisi tentang Gus Dur dan Khonghucu di Indonesia.
Dalam bab ini menjelaskan pandangan Gus Dur terhadap kebebasan beragama,
pandangan Gus Dur terhadap Khonghucu dan regulasi politik Gus Dur terhadap
legalitas agama Khonghucu di Indonesia serta bagaimana kelanjutan
keberagamaan umat Khonghucu di Indonesia pasca pemerintahan Gus Dur seperti
masuknya agama Khonghucu dalam kolom agama di KTP dan ditetapkannya hari
libur Nasional tahun baru Imlek.
Keempat dalam bab ini merupakan penutup, pada bab penutup ini berisi
kesimpulan sebagai jawaban atas masalah yang dirumuskan. Penulis juga
melampirkan daftar pustaka.
17
BAB II
PEMBAHASAN TEORITIS
A. Sejarah Agama Khonghucu di Indonesia
1. Agama Khonghucu Zaman Hindia-Belanda
Pada dasarnya kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara jauh sebelum
zaman Hindia-Belanda, akan tetapi keberadaannya kurang jelas. Dugaan selama
ini hanya berdasarkan hasil temuan benda-benda kuno seperti tembikar dari
Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari, dan Kalimantan Barat
maupun yang disimpan di berbagai Keraton. Demikian juga dengan temuan
berbagai kapak batu yang dipoles dari zaman Neolithikum yang mempunyai
persamaan dengan kapak batu giok atau zamrud yang ditemukan di Tiongkok dan
berasal dari zaman yang sama.1 Oleh karena itu, penulis memulai masuknya etnis
Tionghoa ke Nusantara dari zaman Hindia-Belanda.
Agama Khonghucu mengalami perkembangan dari masa ke masa, diawali
oleh para perantau Tionghoa yang merantau ke negeri Samudra Selatan, dari
negeri leluhurnya yang sedang dilanda kekacauan, membangun rumah ibadah
yang dinamakan klenteng untuk meneruskan ketenangan batin akan leluhur dan
tanah air yang ditinggalkan.2
1Benny G. Setiopno, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Trans Media Pusaka,
2008), h. 19. 2Ws. Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu,
Sekarang dan Masa Depannya (Jakarta: Matakin, 2010), h. 2.
18
Pada masa kolonial di Indonesia terdapat tiga orientasi sosio-politik yang
besar diantaranya Pertama, Tionghoa lokal, yaitu yang berorientasi pada
Tiongkok (Kelompok Sin Po), yang percaya bahwa orang Tionghoa lokal adalah
anggota bangsa Cina. Kedua, mereka yang berorientasi ke Hindia Belanda (Chung
Hwa Hui), yang memahami posisi mereka mereka sebagai kawula Belanda sambil
melanjutkan kehidupan sebagai Tionghoa peranakan. Dan yang ketiga, mereka
yang menyebut sebagai anggota bangsa Indonesia yang akan datang (Partai
Tionghoa Indonesia). Sebagian besar para pemimpin Tionghoa di masa kolonial
Indonesia., khususnya para imigran baru, berorientasi ke Tiongkok, tetapi
kelompok yang kedua dan ketiga kebanyakan terdiri dari orang Tionghoa
peranakan.3
Masyarakat Tionghoa di Jawa sebelum akhir abad ke 19 pada dasarnya
adalah masyarakat peranakan.4 Para anggota masyarakat ini telah kehilangan
kemampuannya berbahasa Tionghoa dan menggunakan bahasa Melayu sebagai
bahasa komunikasinya. Orang-orang Tionghoa peranakan ini, sebelum abad ke-20
umumnya buta huruf dan hanya berminat mencari uang. Beberapa orang mampu
menggaji guru pribadi untuk mengajar anak-anak laki-lakinya aksara Tionghoa
dan kadang-kadang diberikan pelajaran tentang kitab-kitab klasik Khonghucu.
Akan tetapi pendidikan anak perempuan tidak diperhatikan. Anak perempuan
dibesarkan ibunya menurut kebiasaan dan pola orang-orang pribumi. Waktu anak
3Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia 2002),
h. 19. 4Tionghoa Peranakan adalah orang tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia dan
umumnya sudah berbaur. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan bertingkah
laku seperti pribumi. Lihat Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa (Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia 2002), h. 17.
19
perempuan menikah dan menjadi ibu sendiri, anak-anaknya dibesarkannya dengan
cara yang sama.5
Tentu saja adat, kepercayaan, dan agama orang-orang Tionghoa di Jawa
menjadi sangat bercampur. Dari ayah kelahiran Tiongkok, orang Tionghoa
mewarisi kebiasaan-kebiasaan dari Tiongkok tetapi dari ibunya, kebiasaan dan
adat pribumi. Kwee Tek Hoay, dan seorang yang ikut serta dalam pergerakan
pembaharuan Tionghoa sendiri berkomentar.
“[Upacara Pernikahan], adat perkabung[an] dan upacara pemakaman telah
begitu banyak berubah sehingga anak-anak membebani diri dengan tambahan
segala macam adat dari berbagai sumber”.6
Namun demikian, keadaan itu telah berubah pada tahun 1800-an, Belanida
mengeluarkan peraturan yang berisi larangan kelompok keturunan Tionghoa
masuk agama Islam dan larangan bagi kelompok pribumi menikah dengan
kelompok Tionghoa. Belanda tampaknya takut melihat Tionghoa dan Muslim
bersatu. Peraturan ini memiliki dampak pada kehidupan masyarakat Nusantara
dalam memandang keturunan Tionghoa. Keturunan Tionghoa menjadi kelompok
yang terpinggirkan, dikucilkan dan dibenci oleh kelompok masyarakat yang lain
karena hubungan dengan mereka berarti malapetaka yang dating dari
pemerintahan Kolonial Belanda. Belum lagi, Belanda dengan para sarjananya dan
juga para sarjana pribumi yang menjadi kaki tangan Belanda,, juga ikut serta
5Kwee Tek Hoay (terj. Lea E. Williams), The Origins of the Modern Chinese Movement
in Indonesia (Ithaca: Cornel Modern in Indonesia Project 1969), h. 9-10. 6Kwee Tek Hoay (terj. Lea E. Williams), The Origins of the Modern Chinese Movement
in Indonesia, h. 11.
20
menyampaikan sastra dan ajaran yang semakin memojokkan kelompok keturunan
Tionghoa.7
Menjelang akhir abad ke-19 dengan munculnya para pemimpin Tionghoa
peranakan berpendidikan Barat di Hindia, bersama dengan timbulnya kebijakan-
kebijakan anti Tionghoa dari pemerintah kolonial Belanda.8 Orang Tionghoa
Hindia dibatasi geraknya dan sumber penghasilannya yang penting yaitu sistem
Pacht Percukaian, dihapuskan.9 Akan tetapi, Tionghoa peranakan berpendidikan
Barat yang membenci kebijakan-kebijakan Belanda, sama kritisnya akan adat
yang berlaku di masyarakatnya, teristimewa kebiasaan pernikahan dan
pemakaman. Karenanya mereka memprakasai suatu pergerakan pembaruan untuk
memperbaiki kondisi budaya dan nasionalnya.10
Sementara itu, Khonghucuisme sedang dihidupkan kembali oleh para
pembaharu Tionghoa di Tiongkok. Salah satu darinya yang paling terkemuka
adalah Kang Youwei. Gagasan-gagasan penbaharuan ini juga tersebar ke Asia
Tenggara dan sebuah masyarakat penganut Khonghucu didirikan di Singapura,
yang digunakan oleh Kang youwei sebagai pangkalan ketika pergerakan
pembaharuan itu gagal di Tiongkok. Kehadiran Kang Youwei di Singapura
7MN. Ibad, Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia (Yogyakarta: PT LKiS Printing
Cemerlang 2012), h. 62. 8Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 159.
9Suatu sistem yang menggunakan orang-orang Tionghoa sebagai apa yang dinamakan
Pachter, yaitu pemegang izin resmi untuk mengoperasikan beraneka ragam monopoli sebagai
penghasilan pajak negara. Untuk suatu uraian yang lebih lengkap mengenai sistem Pacht pajak
dan orang Tionghoa di Jwa, lihat, Lea E. Williams, “The Ethical Program and the chinese of
Indonesia”, Journal of Southeast Asian History, Thn. II, No. 2 (1961), h. 35-42. 10
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 159.
21
berdampak besar pada orang-orang Tionghoa perantauan dan sejak waktu itu
pengaruhnya terasa di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Hindia.11
Tanggal 1900, Gubernur General Hindia Belanda menyetujui berdirinya
THHK (Tiong Hoa hwee Koan) di Jakarta12
dengan tujuan utama untuk
memperbaharui adat dan kebiasaan orang Tionghoa di Jawa, yang masih
merupakan penganjur ajaran khonghucu.13
Tahun 1919 di Nusantara sudah ada 200 lebih sekolah yang diusahakan
oleh Tiong Hua Hwe Koan. Arah perjuangan THHK berubah dari ajaran
pendidikan ajaran Khonghucu menjadi sekolah umum bersifat nasional.
Perubahan ini menyebabkan orang-orang yang berorientasi pada agama
Khonghucu meninggalkan THHK, kemudian membentuk Kong-jiou Hui (Khong
Kauw Hwe) yang mandiri.14
Tahun 1923, para wakil-wakil Khong Kauw Hwe berkumpul di Jogja
membentuk Khong Kauw Tjong Hwe atau pusat perkumpulan Khong Kauw
(Agama Khonghucu) yang memilih pengurus pusatnya di Bandung dengan ketua
Poey Kok Gwan (Bandung), wakil ketua Tjiook Khe Bing (Jogja), Sekretaris Tjia
Tjip Ling (Cilacap), sayang Khong Kauw Tjong Hwe ini hanya beberapa tahun
aktif selanjutnya pasif dan Khong Kauw Hwe-Khong Kauw Hwe berjalan sendiri-
11
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 159-160. 12
M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia (Jakarta:
Pelita Kebijakan 2005), h. 89 13
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 161 14
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 3.
22
sendiri. Laporan rapat dimuat di Khong Kauw Goat Po atau Bulanan Khong
Kauw yang diterbitkan pada 8 Desember 1923.15
Dari tahun 1928-1954 banyak bermunculan organisasi sosial ekonomi dan
politik di Indonesia, namun kehadiran banyaknya organisasi ini telah membuat
para penganut Khonghucu Khawatir. Berdasarkan kekhawatiran tersebut, maka
para pengikut Khonghucu mencoba memurnikan ajaran Khonghucu dengan jalan
menciptakan Dewan Agama Khonghucu. untuk mewujudkan pemikiran tersebut,
pada Agustus 1967 diselenggarakanlah konggres Agama Khonghucu ke-6 di Solo.
Dalam konggres tersebut, ditentukan sifat dan upacara keagamaan Khonghucu.16
Walaupun posisi etnis Tionghoa dalam kesejarahan Indonesia pada masa
penjajahan Belanda tidak begitu terlihat dalam teks sejarah, namun sebenarnya
mereka ikut aktif dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Diantara etnis Tionghoa yang ikut aktif dalam pergerakan dan perjuangan adalah
John Lie alias Jahya Daniel Dharma seorang keturunan Tionghoa yang menjadi
perwira angkatan laut RI. Dengan kapal kecil cepat bernama The Outlow, ia rutin
melakukan operasi melawan blokade Belanda dengan membawa hasil bumi
Indonesia ke Singapura untuk barter dengan senjata. Senjata yang diperoleh
kemudian diserahkan ke pejabat RI yang ada di Sumatera sebagai sarana
perjuangan melawan Belanda.17
Adanya organisasi Khonghucu pada masa penjajahan menunjukan
eksistensi agama Khonghucu jauh sebelum Indonesia merdeka. Tidak dapat
15
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 3. 16
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 86 17
Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 67-68.
23
dipungkiri juga dengan eksistensi tersebut banyak etnis Tionghoa yang ikut
berjuang untuk memerdekakan Indonesia dari jerat penjajah yang terjadi di bumi
pertiwi. Meskipun ajaran dan tradisi yang mereka amalkan berasal dari nenek
moyangnya tetapi mereka juga menganggap Indonesia adalah tanah air dan
negaranya karena mereka lahir di Indonesia.18
2. Agama Khonghucu Zaman Kemerdekaan
a. Masa Orde Lama
Semenjak Desember1923 sudah ada niat membentuk Pusat Perkumpulan
Khong Kauw Hwe atau Khong Kauw Tjong Hwe. Tujuannya menyatukan seluruh
kegiatan keagamaan dalam keseragaman. Dengan catatan setiap cabang khong
Kauw Hwe mandiri tidak berada dalam satu komando, meski memiliki kedaulatan
tersendiri tetapi satu dalam Keimanan., tetapi pusat majelis ini beku pada zaman
pendudukan Jepang.19
Tahun 1954 bulan Desember, beberapa tokoh Khong Kauw Hwe
mengadakan pertemuan di Solo membahas kemungkinan dibentuknya Khong
Kauw Hwe Pusat. Selanjutnya, tanggal 16 April 1955 di solo terbentuklah
Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI) yang bersifat federasi meski
tetap dalam satu Keimanan.. PKCHI mengadakan konggres I di Solo pada tanggal
6-7 Juli 1956 dengan Dr. Kwik Tjie Tiok sebagai ketua pertamanya.20
18
Wawancara dengan pemeluk agama Khonghucu Oesman Arif, Sabtu 14 Mei 2016
Pukul 14.30 19
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 5-6. 20
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 6.
24
Konggres nasional I, II, dan III diadakan pada tahun 1956, 1957, dan 1959,
musyawarah ke IV yang diadakan di Solo pada Tahun 1961 mengganti nama
“Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia” menjadi “Lembaga Ajaran Sang
Khonghucu Indonesia ((LASKI)”. Pada tanggal 22-23 Desember 1963 diadakan
konfrensi dengan keputusannya antara lain mengubah nama LASKI menjadi
“Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-Indonesia (GAPAKSI)”.
Konggres ke V di Tasikmalaya pada tanggal 5-6 Desember 1964 mengganti
“Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-Indonesia (GAPAKSI)” diganti
dengan “Gabungan Perhimpunan Agama Khonghucu se-Indonesia
(GAPAKSI)”.21
Pada tahun 1965 Presiden Soekarna mengeluarkan Penetapan Presiden
No.1/Pn.ps/1965, tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan
Agama,22
yang di dalamnya menjelaskan bahwa agama-agama yang dipeluk
penduduk Indonesia berdasarkan sejarah ada enam, yaitu Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan Khonghucu. Menurut Eka Dharmaputra, seperti yang dikutip
Lasiyo dalam disertasinya dan dikutip kembali oleh Chandra Setiawan,
menyebutkan bahwa pemilihan keenam agama diatas berdasarkan pada definisi
agama seperti yang diusulkan menteri agama pada masa itu adalah minimal
memiliki: Kitab Suci, Nabi, kepercayaan akan satu Tuhan, dan tata ibadah bagi
pengikutnya.23
21
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 6. 22
Emma Nurmawati Hadian, Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama
Khonghucu di Indonesia, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013), h. 65. 23
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 104.
25
b. Zaman Orde Baru
Pada dasarnya masa Orde Baru, pemerintahan Indonesia sedikit berpihak
pada etnis Tionghoa. Terutama dalam bidang ekonomi dan budaya, karena
pemerintahan Orde Baru mengininkan adanya legitimasi terhadap keberhasilan
dalam bidang pembangunan ekonomi. Pemerintahan Orde Baru lebih memilih
merangkul dalam bidang ekonomi, namun tetap mencurigai dan mengawasi
mereka dalam bidang politik.24
Namun demikian, umat Khonghucu mulai mengalami tugas yang berat.
Pada periode 1965-1967 terjadi tragedi nasional peristiwa G. 30S PKI, yang
terjadi pada tahun 1965 yang mengakhiri masa Orde Lama menjadi Masa Orde
Baru. Disini pengurus GAPAKSI berkewajiban meningkatkan pembinaan mental
dan moral beragama serta mengintensifkan pembinaan kebaktian di seluruh
Indonesia.25
Pada 23-27 Agustus 1967 diadakan konggres VI GAPAKSI di Solo yang
dihadiri utusan dari 17 daerah. Keputusan yang diambil dalam konggres tersebut
antara lain:
1. Pejabat Presiden RI, Jendral Soeharto berkenan memberikan
sambutan tertulis, yang antara lain menyampaikan,”Agama
Khonghucu mendapat tempat yang layak dalam negara kita yang
berlandaskan Pancasila ini.”
24
Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 69-70. 25
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang
dan Masa Depannya, h. 6.
26
2. Nama Gabungan Agama Khonghucu disempurnakan menjadi
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin).26
Tanggal 5 Mei 1966 semua sekolah berbahasa Tionghoa ditutup, segala
terbitan yang berhuruf Tionghoa, kecuali satu Koran pemerintah yang
menggunakan aksara, yang lain dilarang beredar di bumi Indonesia.
Desember 1967, semua kegiatan agama dan adat istiadat yang bernuansa
tradisi Tionghoa dilarang diselenggarakan di depan umum. Hal ini karena
dikeluarkannya Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat
istiadat Cina oleh presiden Soeharto. Tanggal 14 Juli 1978 agama Khonghucu
tidak boleh dicantumkan lagi pada kolom „agama‟ dalam KTP dan Sidang
Kabinet tanggal 27 Januari 1979 dengan tegas mengatakan, “Khonghucu bukan
Agama”. Sejak itulah status agama Khonghucu menjadi tidak jelas.27
c. Masa Reformasi
Ketika zaman reformasi ini nampaknya agama Khonghucu mempunyai
peluang kearah yang lebih baik. Presiden Habibie telah menghapuskan istilah
pribumi dan non pribumi (Inpres No. 26/1998),28
beberapa seminar juga diadakan
menyangkut keberadaan agama Khonghucu di Indonesia, salah satunya di IAIN
Jakarta tahun 1998. Ada juga karya tulis yang menyangkut agama Khonghucu,
diantaranya “Hak-Hak Beragama dan Perkawinan Khonghucu: Persfektif Sosial,
26
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 104. 27
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105. 28
E. Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga Dan Silsilah Warga Tionghoa (Semarang:
Yayasan Widya Manggala Indonesia, 2012), h. 134.
27
Legal, dan Teologi” yang diterbitkan oleh PT. Gramedia 1998. Buku ini ditulis
oleh berbagai tokoh yang memandang Khonghucu dari berbagai sudut.29
Ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden dengan wawasan
kebangsaannya, dan adanya kesempatan dan kekuatan selaku presiden, kemudian
mengeluarkan kebijakan untuk mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 yang
dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru yang berisi apapun bentuk ekspresi
keagamaan dan adat istiadat Tionghoa di muka umum, dan termasuk pelarangan
bagi semua tempat usaha kelompok etnis Tionghoa, seperti toko, pabrik dan
sebagainya untuk tutup pada hari raya Imlek, dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 6 tahun 2000. Gus Dur juga mengeluarkan pengumuman bahwa
tahun baru Imlek juga menjadi hari libur fakultatif yaitu hari libur untuk penganut
agama yang sedang merayakan hari raya.30
Pengumuman Gus Dur atas hari libur fakultatif pada tahun baru Imlek
ditindak lanjuti oleh megawati dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 19
tahun 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional berlaku sejak
Imlek tahun 2003.31
Sebagaimana dua presiden sebelumnya, presiden Susilo
Bambang Yudoyono, juga mengeluarkan kebijakan yang membela etnis
Tionghoa, berupa UU. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Indonesia, yang
salah satu poin pentingnya adalah etnis Tionghoa yang lahir di negeri ini termasuk
orang Indonesia asli. Bukan hanya itu saja, sejumlah kebijakanpun dikeluarkan
oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan pasal-pasal yang telah diambil
29
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105. 30
Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 81-82. 31
Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga Dan Silsilah Warga Tionghoa, h. 135.
28
untuk diimplementasikan demi mengembangkan hak-hak sipil terhadap umat
Khonghucu dan etnis Tionghoa.32
B. Ajaran Agama Khonghucu
Ajaran-ajaran yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan konsep
metafisika, tidak terlalu banyak disinggung dalam kitab Su Si. Ajaran tentang
metafisika ini justru lebih banyak bersumber pada kitab klasik yang memang
sudah ada sejak sebelum kelahiran Khonghucu. Adapun yang dimaksud dengan
ajaran metafisika ialah ajaran yang mencangkup tentang Tuhan, manuasia, alam
semesta dan konsep tentang hidup setelah mati atau eskatologi.33
1. Ajaran Tentang Tuhan
Tidaklah benar jika mengatakan bahwa umat Khonghucu tidak mengakui
adanya Tuhan. Dalam agama Khonghucu istilah Tuhan disebut dengan Thian dan
bukan allah seperti yang terdapat dalam agama kristen dan Islam. Dalam kitab-
kitab agama Khonghucu terdapat banyak berbicara tentang Thian atau Tuhan
Yang Maha Esa, diantaranya terdapat dalam kitab She Cing (kitab puisi). Dalam
kitab ini banyak bicara tentang Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut sebagai
Thien dan Shang Ti. Syair-syair tersebut sebagai berikut.34
32
Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 82. 33
M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: Diva Press,
2015), h. 249. 34
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 44.
29
“Kekuasaan dan bimbingan dari Thian (Tuhan Yang Maha Esa) sangat
luas dan dalam hal ini di luar jangkauan suara, sentuhan, atau penciuman” (She
Cing IV Wen Wang 1/7)35
“Oh, betapa besarnya kekuasaan Shang Ti (Tuhan Yang Maha Kuasa)
yang memerintah dan membimbing seluruh umat manusia” (She Cing IV Thang
1/1)36
Syair-syair di atas, ditulis jauh sebelum Khonghucu lahir, menurut
perkiraan para ahli, syair-syair tersebut ditulis kira-kira 1000 tahun sebelum
kelahiran Khonghucu atau sekitar tahun 1550 SM. Dari syair-syair di atas, dapat
dikatakan karya-karya klasik di atas yang ditulis 1000 tahun sebelum kelahiran
Khonghucu tersebut, sudah mengenal konsep Tuhan yang diistilahkan dengan
Thian dan Shang Ti.37
Disamping konsep Tuhan yang banyak dibicarakan dalam kitab She Cing
dan Su Cing di atas, istilah Tuhan (Thien) juga banyak dijumpai dalam kitab Lun
Yu (Lun Gi) atau Analects Confucius atau ujar-ujar Khonghucu dan murid-
muridnya. Berikut ini dapat dilihat ungkapan-ungkapan Khonghucu yang terdapat
dalam kitab Lun Yu (Lun Gi) yang ada kaitannya dengan konsep Tuhan (Thian).38
35
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 44. 36
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 44. 37
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 44. 38
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 45.
30
“Dia yang telah berdosa pada Thien, berdoapun tidak akan bermanfaat”
(Lun Gi III:13)39
“Aku tidak menggerutu pada Thien, tidak pula menyesali manusia. Aku
hanya belajar dari tempat terendah ini, terus maju menuju tempat yang tinggi.
Thien-lah yang mengenal diriku” (Lun Gi XIV:35)40
Tentunya masih banyak lagi kitab suci agama Khonghucu yang berbicara
banyak tentang Tuhan, seperti dalam kitab Tai Hak (Ajaran Besar), yang terdapat
satu kali (satu ayat), dalam kitab Tiong Yong (Tengah Sempurna) juga ada ayat-
ayatnya yang berbicara tentang Tuhan Yang Maha Esa dan juga terdapat dalam
kitab Bingcu yaitu kitab keempat dari kitab suci Su Si.
Selain istilah Thien atau Thian yang banyak dijumpai dalam kitab-kitab
Khonghucu, kita juga mengenal istilah Thian Li dan Than Ming. Istilah Thian Li
itu sendiri sebenarnya bersumber pada pengertian Thian yang mengalami
perluasan pada masa Neo-Konfusianisme. Jadi, Thian Li itu sendiri bukanlah nama
lain dari Thian, tetapi lebih dekat dengan firman Thian atau hukam-hukum dan
peraturan yang bersumber pada Thian.
Thian Ming sendiri dapat diartikan sesuatu yang telah dijadikan atau
sesuatu yang telah terjadi. Pangeran Chou pernah mengajarkan Thien Ming (The
mandate of Heaven) yang isinya bahwa Thien memberikan dekrit (ketetapan)
kepada seseorang yang memimpin bangsa dan negara. Oleh karena itu seseorang
39
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 45. 40
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 45.
31
atau manusia harus menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan kehendak
Tuhan atau Thian.41
Dengan adanya kepercayaan kepada Thian yang oleh pemeluknya
diterjemahkan sebagai Tuhan Yang Maha Esa, maka agama Khonghucu dapat
dikategorikan ke dalam kepercayaan monoteis. Kepercayaan dalam agama ini
bersifat dogmatik, yang diyakini umatnya berdasarkan wahyu (agama langit).
Selain itu, agama tersebut juga mempercayai dewa-dewa, roh-roh suci dan para
nabi.42
Dalam Khonghucuisme, Thian selalu hadir, melihat, dan mendengar segala
sesuatu, mencintai kebaikan, memberi pahala serta menghukum kejahatan.
Gambaran khonghucu tentang Tuhan adalah imanen atau Thian (Tuhan/langit) itu
dekat pada makhluk dan bukan transenden (jauh dari makhluknya).43
2. Ajaran Tentang Keimanan
Selain memiliki ajaran tentang Thian, Khonghucu juga memiliki ajaran
tentang keimanan yang terdapat dalam kitab Su Si. Oleh umat Khonghucu di
Indonesia yang berhubungan dengan keimanan dijadikan landasan utama dalam
menetapkan konsep keimanan umat Khonghucu di Indonesia.44
Pengertian keimanan menurut Hs. Tjhie Tjay Ing, rohaniawan agama
Khonghucu di Indonesia, bahwa istilah iman yang sering dipakai dalam agama
Khonghucu selama ini diambil dari kata “Sing”. Kata “Sing” ini menurut asalnya
41
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 46-48. 42
Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia, h. 249. 43
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 50. 44
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 51.
32
terdiri dari rangkaian akar kata “gan” dan “sing”. Gan berarti
berbicara/sabda/kalam, dan “sing” berarti “sempurna atau jadi”. Oleh karena itu,
pengertian “sing” mengandung makna “sempurna kata, batin dan perbuatan.”
Menurut Hs, Tjhie Tjay Ing, umat Khonghucu wajib memiliki sing (iman)
terhadap kebenaran ajaran agama yang mereka anut.45
Iman menurut Khonghucu dari beberapa ayat kitab suci Su Si adalah
sebagai berikut:
a. Iman adalah jalan suci Thian.
b. Iman berfungsi menggerakkan hati manusia ke arah yang lebih baik.
c. Iman itu dapat diperoleh kalau manusia dapat berbuat hal-hal yang
baik.
d. Untuk dapat menggembirakan orang tua, manusia terlebih dahulu
memenuhi dirinya dengan iman.46
Dalam agama Khonghucu di Indonesia , konsep keimanan tersebut
dikembangkan lagi menjadi delapan (Pat sing). Delapan keimanan tersebut
adalah:
a. Adanya Thian.
b. Adanya nilai mutlak pentingnya kebijakan.
c. Adanya firman/takdir/watak sejati.
d. Adanya Roh (Sien) dan Nyawa (Kwi)
e. Adanya perwalian orang tua atas anak-anaknya.
f. Adanya Thian menjadikan nabi Khonghucu sebagai genta rohani.
45
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 51. 46
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 52.
33
g. Adanya kebenaran kitab suci Su Si.
h. Adanya jalan suci yang agung.47
Demikian itulah delapan keimanan yang wajib diimani oleh penganut
agama Khonghucu.
3. Ajaran Tentang Hidup Setelah Mati
Menurut Lie Kim Hok,48
Khonghucu tidak banyak bicara tentang hidup
setelah mati, tetapi ia percaya akan keberadaan roh-roh dan roh-roh yang
berhubungan dengan keluarga, maka anggota keluarga yang hidup harus
mempersembahkan korban kepadanya.49
Dalam tradisi masyarakat Cina di Indonesia khususnya dalam kehidupan
sehari-hari, setiap keluarga memiliki meja sembahyang atau altar untuk keluarga.
Meja sembahyang inilah yang mereka gunakan sebagai media atau sarana untuk
menghormati atau menyembah roh leluhurnya. Mereka percaya bahwa roh leluhur
mereka dapat mengawasi kehidupanm keluarga dalam rumah tangga.50
Dalam kitab Su Si tidak banyak kita jumpai ungkapan-ungkapan
Khonghucu tentang roh-roh. Meskipun demikian, bukan berarti Khonghucu tidak
percaya tentang dunia setelah kematian, namun bagi dia dunia setelah kematian
itu dapat diketahui kalau manusia sudah mengenal kehidupan. Bagi Khonghucu,
47
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 53. 48
Lie Kim Hok adalah seorang penulis Indonesia, perintis sastra Melayu Tionghoa yakni
masa rintisan (1875-1895), pada periode ini telah ditulis karya-karya sastra berbahasa Melayu
Rendah baik oleh orang-orang Belanda maupun Tionghoa peranakan. 49
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 54. 50
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 55.
34
mengenal arti kehidupan itu lebih penting untuk diketahui sebelum kita mengenal
arti kematian.51
Di samping itu, Khonghucu juga percaya bahwa perbuatan baik itu akan
mendapat balasan (Tai Hak Bab X:11). Namun Khonghucu tidak berbicara
tentang surga sebagai ganjaran bagi orang yang berbuat baik dan neraka bagi
orang yang berbuat jahat.52
Jelas sekali, sebelum Khonghucu lahir masyarakat Cina sudah mempunyai
peradaban yang maju dan juga mempunyai sistem kepercayaan dengan percaya
kepada roh leluhur yang sangat mereka hormati. Roh leluhur disini adalah para
raja yang sudah wafat dan kembali yang dipercaya mengawasi anak cucunya yang
masih hidup di dunia.
Khonghucu sendiri semasa hidupnya dikenal sebagai pribadi yang baik
dan sangat bermoral. Khonghucu sebagai nabi yang agung tidak hanya
menyebarkan ajaran agamanya saja melainkan juga menyempurnakan ajaran dari
nenek moyangnya. Hal tersebut yang membuat ajarannya masih digunakan
sampai sekarang.
Karena ajaran-ajarannya yang sangat berpengaruh di Tiongkok bahkan
seluruh belahan dunia termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan banyak keturunan
Tionghoa menetap di Indonesia. Meskipun hidup di Indonesia, mereka masih
memegang teguh ajaran dan tradisi Khonghucu.
51
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 55. 52
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 56.
35
Eksistensi agama Khonghucu di Indonesia pun mengalami naik turun dari
awal kedatangan mereka sampai sekarang. Misalnya ketika awal kemerdekaan
Indonesia, sebenarnya agama Khonghucu mendapat pengakuan dari pemerintah
sebagai salah satu agama yang dianut di Indonesia. Tetapi pada zaman Orde Baru,
eksistensi agama Khonghucu mulai redup karena berbagai peristiwa dan
kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Namun, sejak bergantinya masa Orde
baru ke masa reformasi sampai sekarang, agama Khonghucu menemukan
eksistensinya kembali.
Dengan ajaran mengenai konsep tentang Thian (Tuhan Yang Maha Esa),
keimanan dan kehidupan setelah mati serta mempunyai kitab suci sebagai
pedoman para penganutnya, maka Khonghucu pantas disebut sebagai agama.
36
BAB III
GUS DUR DAN KHONGHUCU DI INDONESIA
A. Gus Dur dan Kebebasan Beragama
K.H Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa dengan Gus Dur
mempunyai ciri khas untuk mencari ilmu yang mendalam demi disumbangkan
untuk kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Selain itu juga pemikiran Gus Dur
dicurahkan untuk membela nilai-nilai atau ajaran agama dan tradisi setempat.
Nilai-nilai ajaran agama ditafsirkan kembali untuk dijadikan sebagai sumber
inspirasi perubahan sosial yang ditopang oleh semangat toleransi dan penghargaan
yang tinggi terhadap kemanusiaan. Bahkan tidak jarang Gus Dur sering mendapat
hujatan baik dari kalangan umat muslim sendiri atau umat agama lain karena
pemikirannya yang kontroversial.1
Dalam beragama Gus Dur memiliki sikap yang inklusif, ia sangat terbuka
dengan berbagai agama. Banyak sekali gagasan-gagasan kebebasan beragama
yang ia sampaikan dalam berbagai kesempatan seperti dialaog antar agama,
kunjungannya ke berbagai negara maupun melalui undangan-undangan seminar.
Salah satu perjuangan yang dilakukan Gus Dur adalah dalam relasi nilai
ajaran agama dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Lebih khusus dalam hal ini
yaitu tentang perlindungan kebebasan beragama yang sebenarnya sudah ada di
1Umaruddin Masdar, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Jalan, Pembela Minoritas
Etnis-Keagamaan, (Jakarta: DPP PKB dan KLIK.R, 2005), h. 160.
37
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948, artikel 18
yang menyebutkan “setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan,
dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau
kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya
dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara
pribadi”.2
Di dalam isi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), tentunya
ada hal yang kontradiksi dengan ajaran setiap agama termasuk Islam, yaitu hak
mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan. Dalam ajaran Islam
ganti atau pindah agama disebut murtad dan termasuk perbuatan dosa besar.
Mengenai hal tersebut, Gus Dur mempunyai pandangan tersendiri dalam
tulisannya “Culture Of Peace: Sebuah Pendekatan Islam” 2002. Ada dua hal yang
dikemukakan oleh Gus Dur. Pertama, dengan mencari kejelasan dan reinterpretasi
terhadap hukum kanonik Islam (fiqh) tentang pindah agama yang di dalam Islam
disebut murtad3 atau riddah
4 yang hukumannya adalah hukuman mati. Kalau
hukuman ini diterapkan dalam negara yang mayoritas muslim, maka akan banyak
2http://lama.elsam.or.id/downloads/1363164069_HAM_dan_Kebebasan_Beragama._Mus
dah_Mulia.pdf dan lihat Gunawan Sumodiningrat dan Ibnu Purna (ed), Landasan Hukum dan
Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009, (Jakarta: 2004), h. 9 di akses pada tanggal
25 Juni 2016. 3Murtad adalah berpindahnya agama Islam dengan agama yang lain. Lihat :
http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukum-islam.html
diakses tanggal 25 Juni 2016. 4Riddah adalah keluar dari Islam baik dengan perkataan, perbuatan maupun dengan
keyakinan. Misalnya, enggan membayar zakat, puasa atau haji karena dianggap tidak wajib atau
meyakini Muhammad dusta. Tapi keyakinan yang tidak disertai perbuatan, belum dianggap
murtad. Lihat : http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukum-
islam.html diakses tanggal 25 Juni 2016.
38
sekali orang yang di hukum mati karena pindah agama. Dengan demikian, hal ini
sangat bertentang dengan DUHAM yang sebagian besar negara-negara telah
menandatangani dan memverifikasi beserta protokolnya, yang memberikan
kebebasan hak beragama termasuk ganti atau pindah agama secara sukarela.
Menurut Gus Dur, kaum muslimin harus mengakhiri kontradiksi seperti ini
supaya terlihat lebih dewasa.
Kedua, banyaknya intelektual muda Islam yang mencari ilmu di Barat
dengan bidang ilmu teknologi dan sains dan merangkumnya dengan pengetahuan
dan penghayatan agama. Sayang, di bidang agama para intelektual muda Islam ini
hanya mempelajari al-qur’an dan hadist secara tekstual tanpa ada pemahaman
yang mendalam dengan menggunakan ilmu tafsir melainkan hanya sebatas harfiah
saja. Pada akhirnya, yang muncul kepermukaan adalah sikap defensif kaum
muslim di seluruh dunia, yang berintikan kepada ketidakmampuan kaum
intelektual muda untuk menafsirkan permasalahan di era modern ini. Padahal
menurut Gus Dur, sejarah membuktikan hanya pihak-pihak yang mampu
beradaptasi yang diperlukan, tanpa meninggalkan nilai-nilai esensial bagi sebuah
kaum, dapat dicari sebuah penyelesaian yang memuaskan.5
Dari pemaparan yang dikemukakan oleh Gus Dur dapat kita pelajari
mengapa sikap intoleran dan kebebasan beragama sangat susah dijumpai baik
sesama muslim maupun beda agama. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya
pemahaman dan metode dalam belajar agama. Pada dasarnya kekeliruan dalam
5M. Imam , Aziz, Culture Of Peace: Sebuah Pendekatan Islam, dalam kumpulan kolom
dan artikel Abdurrahman Wahid selama era lengser (Yogyakarta, ELKiS 2002), h. 145-148.
39
memahami suatu teks agama tidak dapat disalahkan teks ajaran tersebut,
melainkan cara memahaminya yang keliru. Oleh karena itu, cara memahami teks
ajaran harus menafsirkan dari segi historisitas dan juga perkembangan jaman
manusia. Demikian juga metode pemahaman teks ajaran yang melulu harfiah, ikut
bertanggungjawab dalam proses produksi makna dan praksis tertentu. Praksis
intoleransi dan kekerasan terhadap umat lain dan kelompok sempalan di dalam
Islam sendiri, merupakan hasil dari sebuah proses berfikir dan pemahaman
tertentu yang menafikan kontekstualitas dan kesejarahan.6
Berikut sikap Gus Dur dalam memandang kebebasan beragama
1. Humanisme Gus Dur
Humanisme adalah paham yang bertujuan menghidupkan rasa
perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan yang lebih baik.7 Jadi, manusia
sebagai makhluk yang bermartabat mempunyai hak yang sama dengan manusia
lainnya tanpa memandang suku, agama maupun ras yang berbeda. Sebagai warga
negara Indonesia, tentu hak-hak kita sudah dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945.
Setiap manusia hidup dalam ruang sosial, tempat dan waktu tertentu.
Disinilah manusia memperoleh pengetahuan tentang apa yang berharga dalam
hidup individu dan sosialnya, atau apa yang tidak berharga. Berdasarkan
6Aziz, Culture Of Peace: Sebuah Pendekatan Islam, dalam kumpulan kolom dan artikel
Abdurrahman Wahid selama era lengser, h. 145-148. 7Dendi Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Pertama Edisi IV
(Jakarta: Gramedia Pusaka Utama) h. 152.
40
pengetahuan tentang nilai-nilai tersebut, setiap manusia dapat hidup bersama
dengan yang lainnya.8
Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi hanya
sebagai pemeluk agama tertentu, tetapi karena didasari pemahaman bahwa nilai
kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang. Apalagi bangsa Indonesia yang
majemuk ini memang berbeda dengan bangsa-bangsa lain.
Menurut Drs. H. Kamilun Muhtadin, M.Si, Indonesia sejak awal
sejarahnya telah bersinggungan dengan budaya-budaya luar. Orang-orang Cina,
India, Persia, Arab, Asia Tenggara dan Eropa masuk ke perairan Indonesia
berinteraksi di kota-kota niaga Indonesia dan meninggalkan jejak-jejak
budayanya, entah terbatas atau luas. Pluralisme budaya primordial Indonesia,
mengakibatkan perkenalan dengan budaya-budaya luar itu membangun
transformasi budayanya masing-masing. Dan budaya-budaya transformatif di
wilayah-wilayah primordial ini juga saling berinteraksi serta menghasilkan
bentuk-bentuk budaya transformasi baru di masing-masing wilayah dan semua
kini menyatu dalam wilayah kesatuan yang bernama Indonesia.9
Kiranya hal di atas itulah yang kemudian menyemangati sosok Gus Dur
memiliki tanggung jawab personal-nasional maupun universal. Bagi kebanyakan
rakyat Indonesia Gus Dur ialah seorang yang humanis yang ingin menegakkan
demokrasi dan hak asasi manusia dalam hal yang sebenar-benarnya. Apa yang
8 Mahmudi Muhith, M. Latif, Imam Muslich, Gus Dur Bapak Pluralisme (Malang 2010),
h. 77. 9Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 78.
41
diperjuangkan Gus Dur adalah nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang unsur-
unsur primordial. Gus Dur sangat sadar bahwa humanisme yang masih dibatasi
oleh sekat-sekat primordialisme hanya akan menjadi ancaman bagi objektifitas
perjuangan atas nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.10
Menurut Mahfud MD, bagi Gus Dur penghayatan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan adalah inti dari ajaran agama. Tanpa nilai-nilai tersebut dunia akan
dipengaruhi berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial. Penekanan pada
pemahaman seperti ini semakin mengokohkan sikap humanisme yang hendak
dibangunnya.11
Dalam berpikir dan bertindak, Gus Dur bahkan melampaui batas-batas
agama yang sempit. Islam bagi Gus Dur, sebagaimana agama lain, adalah doktrin
yang menjangkau nilai-nilai kemanusiaan secara universal dan menyeluruh.
Dengan demikian, doktrin agama yang di dalamnya menyangkut ajaran-ajaran
tentang toleransi dan harmonisasi sosial, seharusnya mendorong seorang muslim
untuk tidak takut terhadap perbedaan.12
Jadi keterbukaan (inklusif) dalam beragama sangatlah penting, apalagi
hidup di negara yang beranekaragam agama dan kepercayaan yang berbeda. Sikap
merasa paling benar (eksklusif) dengan ajaran dan kepercayaannya hanya akan
merugikan diri sendiri, orang lain dan negara. Karena sikap tersebut dapat
10
Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur (Jakarta: Erlangga 2010), h.
119. 11
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur h. 120. 12
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur h. 120.
42
menimbulkan konflik dan ketidakstabilan keamanan negara yang berakibat pada
terhambatnya pembangunan negara.
Disimak dari dimensi sejarah, tidak banyak pemimpin di kancah
Internasional yang menerapkan prinsip humanisme. Tentunya Gus Dur
merupakan salah satu diantara sedikitnya pemimpin di dunia yang menerapkan
prinsip humanis dalam gaya dan pola kepemimpinannya.
Prinsip humanis yang diterapkan Gus Dur, diakui oleh segenap lapisan
sosial. Baik warga dikalangan Islam maupun non Islam, mengakui gaya humanis
yang dipraktikkan Gus Dur. Dalam hal ini KH Hasyim Muzadi pernah
mengatakan, “humanisme Gus Dur berangkat dari nilai-nilai Islam yang paling
dalam. Tetapi, humanismenya itu melintasi agama, etnis, teritorial, dan negara.”
Karena itu tidak perlu heran apabila Gus Dur menerima banyak penghargaan
dalam bidang perdamaian di kancah Internasional. Lewat pendekatan yang
humanis, Gus Dur mengetahui persis apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dan
apa yang diinginkan masyarakat.13
Gus Dur yang seorang humanis ini juga dapat dibuktikan ketika beliau
menjadi presiden. Untuk membuktikan komitmennya terhadap HAM, tercatat Gus
Dur telah membubarkan Bakorstranas (Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan
Stabilitas Nasional), sebuah lembaga ekstra yudisial penerus Kopkamtib
(Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), yang memiliki kewenangan
luas dan berpeluang menindas. Gus Dur juga menghapus penelitian khusus
13
H. Muhammad Zen, Gus Dur Kiai Super Unik (Malang:Cakrawala Media Publisher
2010), h. 125-126.
43
(litsus), yang “menakuti” pegawai negeri agar jangan bersikap kritis. Gus Dur
juga mengusulkan pencabutan Tap MPRS No. XXV/1996 soal pembubaran Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan pelanggaran penyebaran ajaran Marxisme,
Komunisme, dan Leninisme. Begitu juga, Gus Dur mengakhiri perlakuan
diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, melalui Keppres No. 6/2000 dan mencabut
Inpres No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.14
Intinya, Gus Dur membuka paradigma baru agar setiap orang mendapat
perlakuan setara dalam hukum, tanpa membeda-bedakan warna kulit, etnis, agama
ataupun ideologinya. Ini bagian dari cita-cita Gus Dur yang ingin membangun
Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang damai
tanpa prasangka dan bebas dari segala kebencian.15
Humanisme Gus Dur adalah sebuah wujud dari penghargaan yang tinggi
terhadap nilai kemanusiaan dan kecintaannya terhadap bangsa dan negara yang
majemuk ini. Sebelum meninggal Gus Dur berpesan “saya ingin di kuburan saya
ada tulisan: disinilah di kubur seorang humanis”16
dan terbukti setelah dirinya
meninggal, gelombang pujian mengalir dari berbagai agama, ras, organisasi, dan
negara. Hal tersebut menunjukan konsistensi Gus Dur terhadap kesetaraan hak
asasi manusia tidak ada yang sia-sia dan menunjukan kebesarannya sebagai Guru
Bangsa.
14
Mahfud MD, Gus Dur Tokoh Humanis dan Pluralis Kelas Dunia dalam buku Aryanto
Nugroho, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute, 2010), h. 27-28. 15
Mahfud MD, Gus Dur Tokoh Humanis dan Pluralis Kelas Dunia dalam buku Aryanto
Nugroho, Jejak Langkah Guru Bangsa h. 28. 16
Rumadi, ed., Damai Bersama Gus Dur, (Jakarta: Buku Kompas,2010), h. 69.
44
2. Pluralisme Gus Dur
Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan
dengan sistem sosial dan politiknya).17
Jadi pluralisme bisa dikatakan paham atau
pandangan hidup yang mengakui adanya kemajemukan atau keberagaman yang
ada ditengah-tengah masyarakat. Keragaman ini dilihat tidak sebagai penghambat
pembangunan suatu bangsa tetapi justru dilihat sebagai anugrah dari Tuhan yang
patut disyukuri oleh bangsa Indonesia.
Di sebuah negara yang pluralistik seperti Indonesia ini, sikap toleransi dan
rendah hati dalam beragama merupakan suatu keniscayaan. Dengan sikap seperti
itulah, pluralitas akan menjadi nilai dan kekuatan yang memungkinkan
masyarakat bergerak maju secara dinamis. Sebaliknya, tanpa sikap demikian,
pluralitas yang ada hanya akan menjadi hambatan bagi perubahan yang dicita-
citakan oleh para pejuang bangsa.18
Sikap pluralisme juga merupakan tolak ukur untuk pembangunan bangsa.
Tanpa adanya sikap pluralisme niscaya pembangunan negara menjadi terhambat,
karena membangun negara yang besar dan beragam yang berazas “Bhinneka
Tunggal Ika” tidak hanya dari segi infrastruktur saja tetapi juga dari segi
suprastruktur juga. Dimana masyarakat bisa saling menghargai dan menerima
perbedaan untuk mengisi negara ini.
1717
Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Pertama Edisi IV
(Jakarta: Gramedia Pusaka Utama), h. 1086. 18
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 117.
45
Pluralitas atau kemajemukan masyarakat Indonesia sendiri sekurang-
kurangnya bisa dilihat sebagai fakta dalam dua sisi. Pertama, pluralitas suku,
agama dan budaya serta berbagai turunannya. Berbagai suku, agama dan budaya
yang ada di Indonesia sejak berabad-abad yang lampau merupakan fakta sejarah
masyarakat yang tidak bisa diabaikan. Kedua, pluralitas di internal suku, agama
dan budaya itu sendiri. Dalam Islam misalnya, ada berbagai aliran yang secara
formal seringkali berseberangan. Demikian juga di dalam agama, budaya dan
suku yang lain.19
Kesadaran terhadap pluralisme sebagai fakta sejarah yang tidak bisa
dihindarkan dan sekaligus merupakan kekuatan bangsa dan komitmen untuk tidak
melakukan pemaksaan terhadap kehendak guna melakukan penyeragaman
merupakan modal dasar untuk membangun toleransi. Dan kesadaran seperti ini
merupakan cermin dari sebuah sikap dewasa, arif dan rendah hati, sebagaimana
yang diajarkan oleh agama itu sendiri.20
Oleh sebagian tokoh-tokoh agama, toleransi sejauh ini disosialisasikan
sebatas hidup berdampingan secara damai. Menghormati dan menghargai
keyakinan orang lain, itulah yang menjadi pakem ajaran tentang toleransi selama
ini. Termasuk dalam pakem ini adalah ajaran tentang tri kerukunan yang sering
disosialisasikan oleh pemerintah masa lalu.
Padahal dalam kontek Indonesia yang sangat beragam ini tidak hanya
diperlukan saling menghormati dan menghargai keyakinan orang lain, tetapi kita
19
Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur, h. 118. 20
Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur, h. 118.
46
bisa melakukan lebih dari sekedar hal tersebut. Seperti halnya membantu warga
masyarakat yang terkena bencana secara bersama tanpa memandang suku, agama
atau budayanya. Saling bersilaturahmi antar warga dan terlibat aktif dalam
kegiatan sosial lainnya. Jadi toleransi tidak hanya dibatasi tentang keyakinan saja
tetapi juga bentuk sosial masyarakat lain yang lebih luas.
Dalam hal menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur ternyata lebih maju
beberapa langkah daripada tokoh agama dan intelektual muslim yang lain. Karena
itu tidak heran jika ia mendapat gelar sebagai Bapak Pluralisme dan Pembela
Toleransi oleh bangsa dan negara.21
Menurut Gus Dur, tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya pola
hidup berdampingan secara damai, karena hal demikian masih sangat rentan
terhadap munculnya kesalahpahaman antar kelompok masyarakat yang pada saat
tertentu dapat menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu, penghargaan terhadap
pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara
tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan
menerima.22
Dari pandangan agama, sebagai sistem keyakinan yang memuat dimensi
ketuhanan, agama merupakan faktor tunggal yang menyatukan umat pemeluknya
dalam satu dogma yang mutlak kebenarannya. Namun sebagai dimensi budaya,
agama dipahami memiliki derajat pluralitas yang cukup tinggi. Dimensi budaya
ini dapat dipahami sebagai upaya penerjemahan nilai-nilai dan ajaran agama yang
21
Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur, h. 119. 22
Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur, h. 119-120.
47
ada dalam dimensi keyakinan. Dimensi budaya dalam hal ini akan sangat
tergantung pada pola penafsiran dan derajat peradaban masyarakat dalam
memahami dan menerjemahkan ajaran agama yang diyakini.23
Jelaslah dengan demikian, upaya penafsiran kembali ajaran agama adalah
kegiatan untuk memahami keimanan dalam konteks kehidupan yang senantiasa
berubah-ubah. Kehidupan beragama dalam kompleksitas seperti itu memadukan
dalam dirinya pengetahuan akan ajaran agama, nilai-nilai keagamaan yang
membentuk perilaku pemeluk agama dan lingkungannya. Kombinasi antara
pengetahuan, nilai dan relasi sosial itu membentuk pola yang membedakan
seorang atau sekelompok pemeluk dari pemeluk lain. Sehingga, menjadi tak
terhindarkan lagi adanya perbedaan.24
Pandangan Gus Dur ini menyiratkan bahwa meski agama mengandung
ajaran tunggal, namun karena ia dipahami oleh umat yang memiliki latar belakang
pengetahuan, pengalaman, dan kepentingan yang berbeda, maka dalam
pelaksanaan dan prakteknya menjadi berbeda dan plural. Di samping itu, Gus Dur
berpikir bahwa tidak semua simbol dan ritus itu sebagai sesuatu yang baku yang
bisa dianggap sebagai suatu ajaran yang harus dijaga dan dipertahankan, di dalam
agama ada dimensi kebudayaan yang kadang juga menjelma dalam bentuk simbol
dan ritus.25
23
Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pertanyaan Gus Dur (Jakarta: Erlangga, 1999), h. 267. 24
Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pertanyaan Gus Dur, h. 267. 25
Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pertanyaan Gus Dur, h. 267.
48
Sebenarnya umat beragama memiliki kebebasan untuk mengubah simbol
dan ritus yang menjadi bagian dari dimensi kebudayaan agama. Inilah yang
dilakukan Gus Dur selama ini. Untuk mendinamisir agama, agar nilai-nilai agama
tetap relevan dengan realitas zamannya, dan agar agama memiliki fungsi yang
maksimal dalam menjawab problem kehidupan, Gus Dur mencoba melakukan
pembaharuan penafsiran dan pembongkaran simbol-simbol agama yang
mengalami stagnasi tanpa mengubah esensi ajaran agama.26
Atas dasar ini juga, Gus Dur bersikap tegas menjadi pembela pluralisme
dalam beragama. Gus Dur tidak menginginkan agama hanya sebagai simbol,
jargon dan menawarkan janji-janji yang serba akhirat sementara realitas
kehidupan yang ada dibiarkan tidak tersentuh. Sikap demikian memang sangat
mengkhawatirkan, terutama bagi mereka yang mengedepankan simbol-simbol dan
ritus-ritus formal.27
Menurut Prof. Dr. H. M. Bashori Muhsin, Pluralisme yang dipahami Gus
Dur adalah dalam masyarakat yang majemuk tidak boleh ada perlakuan yang
berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Dalam masyarakat
yang majemuk dalam konsep kenegaraan “Bhinneka Tunggal Ika” tidak boleh ada
dominasi mayoritas atau minoritas dalam kelompok yang berkuasa. Keterbukaan
dalam wacana pluralisme Gus Dur ibarat sebuah masjid yang dapat digunakan
oleh siapa saja tanpa melihat pangkat dan derajat. Masjid tidak boleh diklaim
26
Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pertanyaan Gus Dur, h. 268-269 27
Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pertanyaan Gus Dur, h. 269.
49
milik salah satu kelompok orang tertentu yang akibatnya ada dominasi dan
membatasi partisipasi orang lain. Filosofi masjid yang terbuka bebas untuk
digunakan ibadah sesuai dengan asas kemaslahatannya dan ketentuan yang
berlaku. Yang demikian ini contoh pluralisme religius ditinjau dari kesamaan
untuk dapat beribadah tanpa ada perbedaan.28
Pluralisme struktur yang dilakukan oleh Gus Dur ketika menjabat sebagai
Presiden merupakan bukti ketegaran yang prima dalam merubah secara radikal
dari birokrasi yang sakral menjadi keterbukaan. Pilar-pilar kekuasaan Orde Baru
yang masih ada pada kabinet Presiden Gus Dur dilakukan perombakan hingga
pemberhentian. Secara institusional, departemen yang menjadi corong pemerintah
saat Orde Baru berkuasa dibubarkan seperti Departemen Penerangan RI.
Departemen Pertahanan Keamanan yang dulu dipimpin seorang militer diganti
dengan perjabat sipil.29
Secara kultural pluralisme tanpa kompromi diberlakukan dalam
pemerintahannya. Teman sealiran dalam organisasi NU juga dikenakan kebijakan
yang sama yaitu pemecatan dari jabatan seperti Hamza Haz dari Menteri. Faham
nepotisme tidak ada dalam kamus perilaku pluralisme Gus Dur dalam hal yang
prinsip.
Pemikiran pluralisme yang dilakukan oleh Gus Dur dalam praktek
pemerintahannya adalah perubahan-perubahan menuju demokrasi diawali dengan
terjangan reformasi. Keberanian untuk melakukan perubahan dalam pemerintahan
28
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 63. 29
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 64.
50
masa transisi Gus Dur ini adalah menuju pada supremasi sipil. Negara demokrasi
yang maju dimana kekuasaan dipegang oleh rakyat melalui pemilihan umum yang
jujur, kedaulatan di tangan rakyat maka supremasi sipil harus cepat ditegakkan.30
Atas sikapnya yang humanis, pluralis dan demokratis itulah Gus Dur
mendapatkan banyak penghargaan salah satunya, pada tahun 1993, Gus Dur
menerima hadiah “Nobel” Asia, yaitu Roman Magsaysay Award dari pemerintah
Filipina karena Gus Dur dinilai berhasil memimpin organisasi Islam terbesar di
Asia Tenggara, yaitu Nahdlatul Ulama, sebagai kekuatan toleransi agama,
pemerataan pembangunan dan demokrasi di Indonesia.31
Ketika menerima penghargaan tersebut, Gus Dur menyatakan,
“penghargaan ini bukan hanya kehormatan bagi saya dan keluarga saya, tetapi
juga pengakuan atas upaya-upaya yang dilakukan oleh komunitas Islam di
Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Dengan demikian ini juga pengakuan
terhadap fakta bahwa Indonesia sebagai bangsa telah menunjukan secara nyata
kemampuan untuk menjaga pluralitas tanpa harus mengorbankan perubahan-
perubahan penting yang diperlukan.32
Oleh karena itu, mengembangkan toleransi jangan sampai memicu
intoleransi. Gerakan pluralisme di Indonesia perlu mencontoh Gus Dur, yang
berkumpul lintas agama, tidak murni dalam rangka titik temu teologis, melainkan
gerakan publik agama demi perjuangan di luar agama yaitu lintas agama demi
30
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 64. 31
Mitsuo Nakamura, Abdurrahman Wahid, dalam John I. Esposito (ed.), The Oxford
Encyclopedia of the Modern Muslim World (New York, Oxford university Press,1995), I:14. 32
Masdar, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Jalan, Pembela Minoritas Etnis-
Keagamaan, h. 159.
51
demokratisasi politik, lintas agama demi struktur ekonomi berkeadilan. Karena
pancasila tidak hanya berisi tentang sila kemajemukan, namun juga berkelindan
dengan sila keadilan sosial dan demokrasi. Dengan cara seperti ini, gerakan
toleransi antar agama tidak memicu intoleransi antar agama.
B. Gus Dur dan Agama Khonghucu
Sebagai seorang yang dikenal humanis, pluralis, demokratis dan pembela
hak-hak kaum minoritas, tentunya Gus Dur juga tidak dapat dipisahkan dari
sejarah perkembangan agama Khonghucu di Indonesia. Banyak peristiwa yang
terjadi terhadap umat Khonghucu di Indonesia yang secara langsung maupun
tidak langsung melibatkan Gus Dur. Bahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi
terhadap agama Khonghucu di Indonesia yang melibatkan Gus Dur sampai
berpengaruh terhadap dunia internasional.
Gus Dur sendiri mengaku bahwa para Walisongo adalah keturunan
Tionghoa dan ia sendiri adalah keturunan Tan Kim Han. Tan Kim Han menurut
Gus Dur menikah dengan Tan A Lok yang merupakan saudara kandung Raden
Pattah (Tan Eng Hwa), dan keduanya adalah anak dari Putri Cempa (Putri
Tiongkok)yang merupakan selir dari Rden Brawijaya V. Tan Kim Han ini dalam
tradisi Islam dikenal sebagai Syaikh Abdul Qadir ash-Shiniyang makamnya
terdapat di Trowulan Mojokerto di samping makam Syaikh Jumadil Kubro.33
Diceritakan oleh Bingky Irawan, Kedekatan Gus Dur dengan Khonghucu
di Indonesia sudah terlihat ketika ia mendengar berita Bingky Irawan menggugat
33
MN. Ibad, Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia (Yogyakarta: PT LKiS
Printing Cemerlang 2012), h. 62.
52
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, karena ada etnis Tionghoa yang mau
menikah dipersulit administrasinya hanya karena ia adalah etnis Tionghoa. Gus
Dur yang saat itu masih aktif di LSM Forum Demokrasi (Fordem) langsung
menelpon Bingky untuk dijemput di Bandara untuk ikut sidang di PTUN.34
Kedatangan Gus Dur di PTUN Surabaya tentu menjadi sorotan publik.
Masyarakat menganggap upaya Gus Dur itu sia-sia, karena kekuatan rezim
Soeharto sangat kuat, termasuk dalam urusan pengadilan. Namun, sikap pesimistis
masyarakat tidak mengendurkan semangat Gus Dur untuk menegakkan Hak Asasi
Manusia (HAM) di bumi pertiwi ini. Kedatangan Gus Dur yang berkaitan dengan
etnis Tionghoa dan agama Khonghucu ini menjadi titik awal yang berdampak
panjang.35
Sebelum peristiwa Bingky Irawan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
ke PTUN, menurut Gatot Seger Santoso ada juga peristiwa Kapasan akibat
penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga sekitar tahun 1970 yang
menimbulkan atmosfer anti-Tionghoa. Ketika itu Gus Dur juga tampil membela
warga Tionghoa dan bahkan menyatakan dirinya sebagai keturunan Tionghoa.
Sementara sejumlah keturunan Tionghoa yang saat itu duduk di jajaran birokrat
justru diam, tidak berbuat apa-apa untuk meredam gejolak anti-Tionghoa.36
Pembelaan Gus Dur terhadap etnis Tionghoa dan agama Khonghucu di era
Orde Baru merupakan bentuk eksistensi perjuangan hak asasi manusia dan
34
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 87. 35
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 87. 36
Zen, Gus Dur Kiai Super Unik, h. 35.
53
penegakan keadilan. Diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa dan agama
Khonghucu tidak mencerminkan negara Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika”
juga adanya keniscayaan terhadap Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara.
Ketika menjabat sebagai presiden, pada bulan Oktober 1999 Gus Dur
mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama di Bali termasuk tokoh dari
Khonghucu dan November 1999 mengadakan pertemuan dengan masyarakat Cina
di Beijing.37
Pertemuan tersebut merupakan sinyal positif untuk umat Khonghucu
di Indonesia.
Harapan umat Khonghucu terhadap pemerintahan Gus Dur sangat besar di
masa mendatang karena pada masa itu Gus Dur mencabut Inpres No. 14 Tahun
1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina dirasa oleh warga
negara Indonesia yang beretnis Tionghoa telah dibatasi ruang geraknya dalam
menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadatnya, dan
langsung diganti dengan Keppres No. 6 Tahun 2000.38
Ada kejadian menarik ketika Gus Dur mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967
dan menggantinya dengan Keppres No 6 Tahun 2000. Pada waktu itu, menurut
Budi Tanuwibowo39
yang merupakan teman dekat Gus Dur meminta untuk
merayakan Tahun Baru Imlek secara nasional. Tanggapan Gus Dur pada waktu itu
37
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105. 38
Emma Nurmawati Hadian, Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama
Khonghucu di Indonesia (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013), h. 6. 39
Budi Tanuwibowo adalah Sekretaris Dewan Rohaniawan Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia (Matakin).
54
langsung mengiyakan, bahkan Gus Dur menyarankan Imlek digelar dua kali, di
Jakarta dan Surabaya untuk Cap Go Meh.40
Namun, ada Inpres No 14 Tahun 1967 yang menghalangi perayaan Imlek,
Gus Dur dengan spontan berkata “gampang Inpres saya cabut”. Gus Dur lantas
memanggil Menteri Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet untuk membahas
rancangan Keppres tentang pencabutan Inpres No 14 Tahun 1967. Beberapa
waktu kemudian Gus Dur memanggil Menteri Dalam Negeri untuk mencabut
surat edaran Menteri Dalam Negeri Amirmachmud tahun 1978 tantang agama
yang diakui oleh negara.41
Mulai saat itulah, Imlek dirayakan dengan riang dan meriah di sudut-sudut
negeri, Imlek yang menandai hari lahirnya nabi Khonghucu itu menjadi bagian
penting perayaan hari besar keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat di
Indonesia.
Bukan saja tentang Imlek, pencabutan Inpres Nomer 14 Tahun 1967 juga
berdampak signifikan terhadap perkembangan kebebasan beragama maupun
kebebasan untuk berekspresi. Agam Khonghucu saat ini sudah dapat ditulis dalam
kolom agama di KTP, pernikahan secara Khonghucu dapat dicatatkan di Kantor
Catatan Sipil dan siswa Khonghucu dapat mengikuti pelajaran agama sesuai
dengan imannya.
Pada tahun 2001, presiden Gus Dur menjadikan tahun baru Imlek sebagai
hari libur fakultatif bagi etnis Tionghoa. Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh
40
IVV, Gus Dur dan Imlek, Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari 2016. 41
IVV, Gus Dur dan Imlek, Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari 2016.
55
pengganti Gus Dur yaitu presiden Megawati dengan menetapkan Imlek sebagai
hari libur nasional melalui Keppres No 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru
Imlek.42
Dengan berbagai perjuangan untuk membebaskan belenggu etnis
Tionghoa dan agama Khonghucu pada masa Orde Baru, Gus Dur ditasbihkan
sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang, di Klenteng
Tay Kak Sie, di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 10 Maret 2004.43
Umat
Khonghucu juga mengusulkan agar Gus Dur mendapatkan Nobel atas jasanya
tersebut.
Budi S. Tanuwibowo dalam pengantarnya di buku Selayang Pandang
Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya. Ketika Gus
Dur wafat dalam hitungan kurang dari dua jam, tempat-tempat ibadah Khonghucu
telah disesaki umat yang langsung mengadakan doa bersama untuk beliau.
Bahkan menyimpang dari kebiasaan, ditampilkan barongsai bisu, yaitu permainan
barongsai tanpa iringan musik, sebagai tanda duka cita yang amat mendalam.44
Begitu besarnya dukungan dan simpati terhadap wafatnya Gus Dur yang
mengalir dari rakyat Indonesia termasuk umat Khonghucu dari berbagai penjuru
negeri. Hal tersebut menandakan betapa dekatnya dan dicintainya sosok Gus Dur
oleh umat Khonghucu di Indonesia.
42
Hadian, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 9. 43
Masdar, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Jalan, Pembela Minoritas Etnis-
Keagamaan, h. 157. 44
Ws. Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan
Masa Depannya, h. x.
56
C. Regulasi Politik Gus Dur Terhadap Legalitas Agama Khanghucu
Akar pemikiran politik Gus Dur sesungguhnya didasarkan pada komitmen
kemanusiaan dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Gus Dur, komitmen
kemanusiaan itu dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan
persoalan utama kiprah politik umat Islam di dalam masyarakat modern dan
pluralistik Indonesia. Komitmen kemanusiaan itu pada intinya adalah menghargai
sikap toleransi dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan
sosial.45
Dalam kasus Indonesia, negara yang demikian majemuk susunan warga
negara dan situasi geografisnya telah menempatkan Islam bukan satu-satunya
agama yang ada. Dengan kata lain negara harus memberikan pelayanan yang adil
kepada semua agama yang diakui.46
Berikut pandangan Gus Dur dalam melegalkan agama Khonghucu di
Indonesia.
1. Menegakkan Demokrasi
Negara Indonesia juga menganut konsep negara-bangsa, sebagai
konsekuensi logis dari segenap pluralitas di dalamnya.47
Oleh karena itu, sebagai
negara yang heterogen ini Gus Dur sangat mencintai demokrasi agar dapat
diimplementasikan oleh segenap warga negara.
45
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h. 87. 46
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur h, 103. 47
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Yogyakarta: Ar-Ruzz Jogjakarta 2004), h.
195.
57
Di dalam demokrasi sendiri terdapat tiga prinsip, yaitu pertama, prinsip
kebebasan mengandung makna bahwa negara memperbolehkan pengamalan
agama apapun, sekalipun dalam batasan-batasan tertentu. Prinsip ini merupakan
suatu prinsip mengenai toleransi dan mungkin juga tentang pluralisme. Prinsip
tersebut tidak berpengaruh terhadap munculnya agama-agama yang lain. Prinsip
tersebut secara sederhana mengakui pentingnya warga negara untuk diberi
kebebasan dalam beribadah sesuai dengan agamanya dan pada sisi negatif campur
tangan terhadap kebebasan itu oleh institusi-institusi negara, apabila dalam negara
adalah tidak cocok.48
Oleh karena itu, kebebasan dalam beragama dengan campur tangan
institusi-institusi negara bertolak belakang dengan demokrasi yang dianut oleh
Indonesia. Apalagi undang-undang juga mengatur tentang kebebasan setiap
individu untuk melaksanakan kepercayaan dan agamanya masing-masing.
Sementara prinsip yang kedua, prinsip kesetaraan, berupaya untuk
menjelaskan bahwa negara tidak boleh memberikan pilihan kepada suatu agama
atas pihak lainnya. Hal ini merupakan prinsip tentang tidak memihak. Negara
yang demokratis tidak boleh berdiri di atas kepentingan golongan yang satu
dengan meminggirkan golongan yang lain. Setiap golongan atau agama
mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
Prinsip yang ketiga, prinsip netralitas yang lebih banyak menegaskan,
bahkan juga memiliki peluang untuk menjadi dasar demokrasi, utamanya
48
Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 189-190.
58
demokrasi liberal dengan membuat pemisahan antara negara dan agama. Prinsip
ketiga ini lebih ditekankan kepada posisi negara untuk selalu menghindarkan diri
dari sikap tidak suka atau suka terhadap agama (keberagaman)49
Hak-hak tersebut di atas harus dilakukan secara adil kepada seluruh warga
negara tanpa harus memandang asal usulnya. Bagi Gus Dur heterogenitas adalah
kenyataan bangsa Indonesia yang melekat pada eksistensi manusia dan
masyarakat. Wacana dan perilaku politik dalam suatu negara harus menjadi
medan untuk menyerap heterogenitas politik rakyat. Karena itu sektarianisme dan
penyekatan politik atas nama agama dan etnis tertentu ditolaknya. Sikap
penolakan terhadap ICMI misalnya, lalu ia mendirikan Forum Demokrasi
(Fordem).50
Gus Dur selalu mengkritik ICMI dengan alasan tidak setuju
memformalkan Islam dalam politik. Ia mengatakan ICMI diberikan tempat dan
fasilitas dengan Habibie membangun kekuatan dengan menghimpun para
intelektual muslim dalam suatu wadah dalam bendera Islam demi tujuan
mendominasi lembaga politik.51
Dalam hal ini Gus Dur menunjukkan kecintaan
terhadap demokrasi dan pengetahuan tentang kebangsaan yang luas.
Dalam pandangan Masykuri Abdillah, Gus Dur sendiri berpendapat bahwa
mendukung demokrasi tanpa adanya Islamisasi bukan berarti menolak Islam.
Tetapi, agama baginya adalah kesadaran individu dan tidak perlu diformalkan.
49
Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 189-190. 50
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h 98-99. 51
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h. 110.
59
Bahkan sewaktu ditanya oleh beberapa kyai, Gus Dur memberikan alasan bahwa
kalau agama itu dibesarkan oleh negara, maka sesungguhnya agama itu lemah.
Tetapi, yang diinginkan adalah agama yang berkembang tanpa turut campur
negara, yang sesungguhnya itulah kekuatan agama.52
2. Penerimaan Atas Ideologi Pancasila
Indonesia sebagai negara yang majemuk tentu formalisasi agama sangat
ditolak oleh Dus Dur. Salah satu konsekuensi logis dari penolakan formalisasi
agama dalam konsep negara bangsa Indonesia tersebut, Gus Dur berkeyakinan
bahwa Pancasila merupakan negara damai yang harus dipertahankan. Penerimaan
atas pemerintahan yang berideologi Pancasila, menurut Gus Dur, karena syariah
dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat masih dilaksanakan oleh
kaum muslimin di dalamnya, sekalipun hal itu tidak diikuti dengan upaya legislasi
dalam bentuk undang-undang negara.53
Ideologi Pancasila tidak berada pada kedudukan lebih tinggi dari agama
Islam atau agama lainnya, terutama karena Pancasila menjamin hak setiap agama
untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing-masing. Agama berperan
sebagai sumber pandangan hidup bangsa dan negara. Ideologi negara dan
pandangan hidup negara bersumber pada sejumlah nilai luhur yang ada dalam
52
A. Malik Harmain, Mohammad Badi’ Zamas, Eko Darwanto, Gus Dur: Goro-Goro
Dalam Lakon Multi Krisis (Jakarta: Bumi Selamat Printing 2001), h. 74-75. 53
Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 251.
60
agama. Namun, pada saat yang sama Ideologi Pancasila menjamin kebebasan
pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya.54
Hubungan antara keduanya dapat digambarkan sebagai agama berperan
memotivasikan kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur yang diserap oleh
Pancasila dan dituangkan dalam bentuk pandangan hidup bangsa. Dalam hal ini,
menurut Gus Dur, karena dalam negara yang begitu majemuk susunan warga
negara dan letak geografisnya, maka Islam ternyata bukan satu-satunya agama
yang ada. Dengan kata lain, negara harus memberikan pelayanan yang adil kepada
semua agama yang diakui. Ini berarti negara harus menjamin pola pergaulan yang
serasi dan berimbang antara sesama umat beragama.
Dominasi satu kelompok atas kelompok yang lainnya dalam pluralitas
tersebut berakibat pada pereduksian konsep negara bangsa yang di dalamnya
berisi berbagai agama, suku, dan bahasa. Karenanya, penerimaan Pancasila dalam
keadaan seperti itu konsekuensi logis dan tidak dapat ditolak. Bagi Gus Dur,
penerimaan itu bukanlah untuk menggantikan posisi agama dalam kehidupan
bermasyarakat, melainkan hanya pola relasi antar berbagai elemen yang ada.55
Atas pertimbangan tersebut dan setelah berkonsultasi dengan banyak orang
dan merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai referensi pembenaran, pada
Oktober 1983 Gus Dur menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila
sebagai Ideologi Negara.56
54
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h. 90. 55
Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 254. 56
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h 11.
61
Penerimaan Pancasila sebagai Ideologi negara memiliki makna sebagai
bentuk pengakuan bahwa negara ini harus dijalankan berdasarkan konsensus
bersama secara berkeadilan, tanpa harus melebihkan satu kelompok atau agama
tertentu.57
Atas dasar itulah, penerimaan dan pengakuan terhadap Pancasila
sebagai Ideologi negara bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh seluruh
warga negara.
Pada perjalanannya, Gus Dur menganggap pemerintah Orde Baru belum
konsisten melaksanakan Pancasila dan UUD 1945, melainkan sekedar untuk
mendapatkan legitimasi untuk kekuasaannya. Karena kalau pemerintah Orde Baru
konsisten mengamalkan Pancasila ini, pemerintah pasti akan berbuat adil serta
melindungi kebebasan menyatakan pendapat, bergerak, berkumpul dan
berserikat.58
Hal tersebut dibuktikan dengan terbelenggunya agama khonghucu pada
masa Orde Baru. Dimana kegiatan ritual keagamaan umat khonghucu dilakukan
dengan cara sembunyi-sembunyi tanpa adanya perayaan secara terbuka di depan
umum seperti perayaan Imlek dan Cap Gomeh.
3. Legalitas Agama Khonghucu oleh Gus Dur
Dari segi geografis, Indonesia terletak di dua benua (Asia dan Australia)
dan dua samudra (Hindia dan Pasifik). Hal ini mengakibatkan Indonesia menjadi
jalur perdagangan dari berbagai negara termasuk Tiongkok. Banyak dari para
57
Santoso, Teologi Politik Gus Dur h. 261. 58
Masykuri Abdillah, Berguru Kepada Bapak Bangsa (Jakarta: PP Gerakan Pemuda
Ansor 1999), h. 193.
62
pedagang ini bersosialisasi, menetap bahkan menikah dengan pribumi. Seiring
berjalannya waktu maka banyak tersebarlah keturunan Tionghoa di berbagai
wilayah nusantara, baik yang berdarah asli Tionghoa maupun yang campuran
darah pribumi.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, para perantau Tionghoa ini membentuk
organisasi yang bernama Bing Sing Su Wan, sebuah lembaga yang menyebarkan
ajaran Khonghucu. Tahun 1919 di Nusantara sudah ada 200 lebih sekolah yang
diusahakan oleh Tiong Hua Kauw Hwe Koan. Arah perjuangan THHK berubah
dari pendidikan ajaran Khonghucu menjadi sekolah umum bersifat nasionalis.
Perubahan haluan ini menyebabkan orang-orang yang berorientasi pada
agama Khonghucu meninggalkan Tiong Hua Hwe Koan, kemudian membentuk
perkumpulan Kong-jiao Hui (Khong Kauw Hwe) yang mandiri, misalnya Khong
Kauw Hwe Solo, Surabaya, Bandung, Sumenep, Kediri, Semarang, Blora,
Purbalingga, Cicalengka, Wonogiri, Jogjakarta, Kartasura, Pekalongan dan lain-
lain.59
Tahun 1923, muncul organisasi Khong Kauw Tjong Hwee atau Himpunan
Pusat Umat Penganut Konghucu yang didirikan di Yogyakarta. Pada tahun ini
juga diadakan musyawarah dalam rangka membentuk Badan Pusat Khong Kauw
Tjong Hwee di Bandung. Dalam musyawarah tersebut diputuskan bahwa kota
Bandung lah yang tepat untuk dijadikan pusat Khong Kauw Tjong Hwee.60
Para
59
Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa
Depannya, h. 3. 60
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 98.
63
wali Khong Kauw Tjong Hwee juga memilih pengurus pusatnya dengan ketua
Poey Kok Gwan (Bandung), wakil ketua Tjiook Khe Bing (Jogja), sekretaris Tjia
Tjip Ling (Cilacap).61
Ketika Indonesia merdeka, umat Khonghucu masih bebas mengekpresikan
kepercayaannya. Hal ini terlihat dengan seringnya umat Khonghucu mengadakan
konggres dan juga pada tahun 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan
presiden No. 1/Pn.Ps/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama, yang di dalam penjelasannya menyebutkan, bahwa agama-
agama yang dipeluk penduduk Indonesia berdasarkan sejarahnya ada 6 (enam),
yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu (Confucius).
Pada periode 1965-1967 umat Khonghucu menghadapi tugas berat yaitu
terjadinya tragedi nasional peristiwa G. 30S. PKI, yang terjadi pada tahun 1965
yang mengakhiri masa Orde Lama menjadi masa Orde Baru. Pengurus
berkewajiban meningkatkan pembinaan mental dan moral beragama serta
mengintensifkan pembinaan kebaktian di seluruh Indonesia.62
Tanggal 5 Mei 1966 semua sekolah berbahasa Tionghoa ditutup, segala
terbitan yang berbahasa Tionghoa, kecuali satu koran pemerintah boleh
menggunakan aksara Tionghoa, yang lain dilarang di bumi Indonesia. Desember
1967, semua kegiatan agama yang bernuansa tradisi Tionghoa dilarang
diselenggarakan di depan umum. Para pimpinan BAKOM-PKB (Badan Kordinasi
61
Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa
Depannya, h. 3. 62
Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa
Depannya, h. 6.
64
Masalah Persatuan dan Kesatuan Bangsa) menyerukan agar keturunan Tionghoa
meninggalkan agama leluhurnya (Khonghucu dan Tao) untuk pindah ke agama
Islam, Kristen atau Katolik.63
Keterbelengguan umat Khonghucu karena presiden Soeharto
mengeluarkan Inpres Nomer 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan
Adat Istiadat Cina dicabut dan penyelenggaraan kegiatan keagamaan,
kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus
sebagaimana berlangsung sebelumnya.64
Kondisi politik pada saat masa
pemerintahan Orde Baru kebudayaan Cina dianggap sebagai bentuk afenitas
kultur masyarakat Tionghoa terhadap negeri leluhurnya (Tiongkok) yang asing
dan menjadi penghambat atas proses asimilasi.65
Meskipun pemerintah Orde Baru menganggap kebudayaan Cina adalah
bukan asli dari Indonesia tetapi dengan dikeluarkannya Inpres tersebut berarti
pemerintah telah melanggar kontitusi negara yaitu Pancasila terutama sila pertama
dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2.
Angin segar mulai dirasakan umat Khonghucu ketika masa Reformasi.
Pada masa presiden Habibie telah menghapus istilah pribumi dan non pribumi
dengan mengeluarkan Intruksi Presiden No. 26. Tahun 1998 tentang
menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua
63
Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa
Depannya, h. 7. 64
Hadian, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 6. 65
Agus N. Cahyo, Salah Apakah Gus Dur? Misteri di Balik Pelengserannya (Jogjakarta:
IRCiSoD, 2014), h. 135.
65
perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun
pelaksanaan kegiatan penyelenggara pemerintah Indonesia.66
Tentu saja kebijakan itu menguntungkan etnis Tionghoa dan umat
Khonghucu, apalagi selama era Orde Baru mereka dianggap sebagai non pribumi
sehingga harus melakukan proses asimilasi salah satunya dengan mengganti nama
Tionghoanya menjadi mana pribumi dan mengganti agamanya dari Khonghucu
menjadi salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah.
Puncaknnya pada pemerintahan Gus Dur, sikap politik Gus Dur yang
dikenal sangat pluralis, humanis, pejuang HAM dan penegak demokrasi sejati
menjadi anugrah tersendiri bagi umat Khonghucu. Gus Dur yang mempunyai
wawasan kebangsaan yang luas mengerti akan heterogennya Indonesia. Hal ini
terbukti dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara.
Gus Dur berpandangan bahwa ideologi Pancasila tidak berada pada
kedudukan lebih tinggi dari agama Islam dan yang lainnya, terutama karena
Pancasila menjamin hak setiap pemeluk agama untuk melaksanakan kewajiban
agamanya masing-masing.67
Hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1
dan 2 yaitu:Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
66
E. Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga dan Silsilah Warga Tionghoa (Semarang:
Yayasan Widya Manggala Indonesia, 2012), h. 135. 67
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h. 101.
66
Pancasila bukan agama dan tidak dapat menggantikan agama. Rumusan
Ketuhanan Yang Maha Esa menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menjiwai
sila-sila lainnya, mencerminkan tauhid menurut keimanan. Dalam pasal 29 ayat 2
UUD 1945 dijelaskan bahwa negara Indonesia hanya memberikan jaminan
kepada pemeluk agama untuk beribadah menurut agamanya masing-masing,
namun tidak dijelaskan agama apa saja yang diakui di Indonesia.
Dalam penjelasan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 juga bahwa negara Indonesia
hanya memberikan jaminan kepada pemeluk agama untuk beribadah menurut
agamanya masing-masing tanpa harus campur tangan negara. Menurut Masykuri
Abdillah, Gus Dur memberikan alasan bahwa kalau agama itu dibesarkan oleh
negara, maka sesungguhnya agama itu lemah. Tetapi, yang diinginkan adalah
agama yang berkembang tanpa turut campur negara, yang sesungguhnya itulah
kekuatan agama.68
Pada tahun 2000, agama Khonghucu sudah mulai mendapatkan pengakuan
dari pemerintah, terutama pengakuan yang datang dari Gus Dur. Menurut Gus
Dur sebuah agama dapat dikatakan agama atau tidak, bukan urusan pemerintah,
sebab yang menghidupkan agama bukan jaminan pemerintah tapi hati manusia.
Sehingga menurut Gus Dur, pengakuan negara terhadap suatu agama merupakan
suatu kekeliruan. Dalam kesempatan perayaan tahun baru Imlek 2551, tanggal 17
Februari 2000 di Jakarta, Gus Dur juga mengatakan bahwa apakah Khonghucu
agama atau fisafat hidup, adalah suatu pertanyaan yang mudah dijawab. Agama,
kata Gus Dur, manakala itu diyakini oleh pemeluk-pemeluknya. Tanpa pengakuan
68
Harmain, Gus Dur: Goro-Goro Dalam Lakon Multi Krisis, h. 74-75.
67
negara, agama itu akan tetap hidup karena adanya dalam hati manusia. Untuk
menetapkan apakah agama itu betul-betul agama atau bukan, bukan urusan
pemerintah atau negara. Tidak hanya itu, mengakui saja sudah merupakan
kekeliruan. Menurutnya, kalau pemerintah berbuat demikian, artinya pemerintah
juga berbuat salah.69
Atas dasar pemikiran Gus Dur yang inklusif dan sikap politik Gus Dur
tentang kehidupan berbangsa dan bernegara seperti pluralisme, demokrasi, dan
hak asasi manusia70
begitu juga dengan penerimaannya terhadap Pancasila yang
menegaskan kalau Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Akhirnya dengan
langkah politiknya, Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, dengan mengeluarkan Keppres
Nomer 6 Tahun 2000. Dengan dicabutnya Inpres Nomor 14 Tahun 1967 maka
umat Khonghucu dapat dengan bebas mengekspresikan agama, kepercayaan dan
adat istiadatnya.71
Setelah mengeluarkan Keppres Nomer 6 Tahun 2000, Gus Dur juga
memeritahkan Menteri Dalam Negeri Letjen Suryadi Sudirja untuk mencabut
surat edaran Menteri Dalam Negeri Amirmachmud era Orde Baru No. 477/74054
tanggal 18 November tahun 1978 tantang agama yang diakui oleh negara.72
Dengan dicabutnya Inpres tersebut menunjukkan bahwa sebagai presiden
yang memimpin suatu negara dan juga seorang ulama Gus Dur mempraktekkan
69
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 106-107. 70
Mahfud MD, Gus Dur Tokoh Humanis dan Pluralis Berkelas Dunia dalam buku
Aryanto Nugroho, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute, 2010), h. 26. 71
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 108. 72
IVV, Gus Dur dan Tahun Baru Imlek, Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari 2016
68
prinsip agama Islam yang rahmatan lil alamin, karena sebagai presiden Gus Dur
adalah pemimpin buat warganya yang beragam agamanya tidak hanya dari satu
agama. Hal ini menunjukan kalau Gus Dur mempunyai wawasan kebangsaan dan
agama yang luas.
Sebelum dicabutnya Inpres tersebut, umat Khonghucu tidak dapat
merayakan tahun baru Imlek secara terbuka dan hanya diperbolehkan
merayakannya diingkungan keluarga saja. Namun, ketika Inpres tersebut dicabut
umat Khonghucu di Indonesia dengan lega dapat melaksanakan tahun baru Imlek
dengan terbuka dan tidak lagi terbatas dengan lingkungan sendiri.73
Pada masa ini juga, Gus Dur menetapkan perayaan Tahun Baru Imlek
sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya)
dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2001 tertanggal 9
April 2001.74
Dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari libur fakultatif maka umat
Khonghucu tidak perlu meminta izin libur kerja maupun sekolah karena sudah
otomatis libur untuk merayakan Imlek.
Meskipun hanya menjabat 2 tahun 9 bulan Gus Dur mendapat tempat
istimewa bagi umat Khonghucu, karena dengan mengeluarkan Keppres Nomer 6
Tahun 2000 yang menjadi kran untuk memulihkan kembali hak-hak sipil umat
Khonghucu dan etnis Tionghoa sebagai warga negara Indonesia yang sebelumnya
terbelunggu selama 32 tahun pada masa pemerintahan Orde baru.
73
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 108. 74
Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga dan Silsilah Warga Tionghoa, h. 135.
69
Dikeluarkannya keppres tersebut juga menjadi salah satu bentuk tolak ukur
pembangunan negara. Karena Gus Dur sadar membangun negara yang sangat
pluralistik ini tidak hanya melulu soal infrastruktur saja tetapi juga dari segi
suprastruktur. Dimana kebebasan berfikir, berpendapat dan berkeyakinan harus
ditegakan agar meminimalisir terjadinya diskriminasi dan konflik di masyarakat.
Jadi masyarakatnya hidup rukun dan bahagia karena majunya infrastruktur dan
suprastruktur di Indonesia.
Ketika pemerintahan Gus Dur juga terlihat ueforia budaya Tionghoa yang
yang dipertunjukan dimuka umum. Masyarakat dapat melihat Tarian Naga dan
Barongsai di jalan-jalan yang sangat meriah, tergantung lampiaon merah dan
spanduk bertuliskan “Selamat Tahun Baru Imlek......Gong Xi Fat Cai” yang
dipadukan dengan kebudayaan daerah setempat. Hal tersebut tidak terjadi di
zaman pemerintahan sebelumnya.75
D. Ditetapkannya Hari Libur Nasional Imlek
Tahun baru Imlek sebenarnya bukan perayaan tahun baru yang asing bagi
masyarakat Indonesia. Dulu ketika masa pemerintahan Soekarno atau yang biasa
dikenal dengan masa Orde Lama perayaan tahun baru Imlek diadakan rutin setiap
tahunnya. Hal ini terjadi karena pada waktu itu agama Khonghucu diakui sebagai
salah satu agama resmi di Indonesia merujuk pada Penetapan Presiden (Penpres)
Nomor 1 Tahun 1965. Namun, ketika masa Orde Baru perayaan tahun baru Imlek
75
Tesis Sugiandi Surya Atmaja Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi
Agama Khonghucu Program Studi Perbandingan Agama dengan judul Politik Hukum Pemerintah
Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde Baru Hingga Era Reformasi (1967-2014), h.
124.
70
tidak dapat ditampilkan lagi di depan publik. Hal ini terjadi ketika presiden
Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Inpres tersebut secara tidak langsung
mengekang ekspresi agama, kebudayaan dan adat istiadat umat Khoghucu karena
tidak bisa dipungkiri agama Khonghucu sendiri berasal dari Cina atau Tiongkok.76
Dengan adanya Inpres tersebut etnis Tionghoa dan umat Khonghucu tidak
dapat lagi menggunakan bahasa Mandarin, hak-hak sipil yang tidak terpenuhi oleh
negara termasuk perayaan tahun baru Imlek yang tidak dapat lagi dirayakan secara
terbuka di depan publik. Umat Khonghucu hanya dapat merayakannya di
lingkungan keluarga saja.
Pada masa Reformasi tepatnya pemerintahan Gus Dur tahun baru Imlek
dapat dirayakan secara terbuka kembali di depan publik. Dilatar belakangi dengan
pertemuan antara Gus Dur dan Budi Tanuwibowo di Istana. Ketika itu Gus Dur
yang dikenal sangat terbuka dan berpegang teguh terhadap Hak Asasi Manusia
menerima permintaan Budi Tanuwibowo untuk menggelar tahun baru Imlek
secara nasional dengan mengeluarkan Keppres Nomer 6 Tahun 2000.77
Namun,
pada masa Gus Dur tahun baru Imlek masih ditetapka sebagai hari libur fakultatif.
Ketika Gus Dur dilengser sebagai presiden setelah adanya sidang istimewa
MPR, tanggal 23 Juli 2001 dan digantikan oleh wakilnya yaitu Megawati, tahun
baru Imlek tetap diadakan secara terbuka dan meriah. Semangat presiden
76
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde
Baru Hingga Era Reformasi, (1967-2014), h. 124. 77
IVV, Gus Dur dan Tahun Baru Imlek, Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari 2016.
71
Megawati untuk meneruskan estafet reformasi terutama rasa simpati terhadap
umat Khonghucu sangat besar.78
Sebagai presiden yang menggantikan Gus Dur, Megawati masih
meneruskan program pemulihan hak sipil Agama Khonghucu dengan menetapkan
Hari Raya Tahun Bharu Imlek sebagai Hari Libur Nasional pada tanggal 9 April
2002 dengan Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2002. Keputusan presiden ini
ditindaklanjuti oleh menteri Agama dengan mengeluarkan Keputusan Menteri
Agama RI Nomor 331 Tahun 2002 tertanggal 25 Juni 2002 Tentang Tahun Baru
Imlek sebagai Hari Libur Nasional.79
Penetapan Imlek sebagai hari Libur Nasional disampaikan presiden
Megawati dalam perayaan Tahun Baru Imlek 2553 di Pekan Raya Jakarta. Pada
kesempata tersebut dihadiri oleh Gus Dur dan sekitar 1.000 orang. menurut
Megawati, keputusan menetapkan Imlek sebagai Hari Libur Nasional sebagai
bentuk kebersamaan bangsa Indonesia yang terbangun dari berbagai asal-usul,
etnis, suku dan agama yang berbeda.80
Ditetapkannya Imlek sebagai Hari Libur Nasional juga semakin
mengukuhkan eksistensi agama Khonghucu di Indonesia. Jadi tidak hanya umat
Khonghucu saja yang menikmati Tarian Naga, Barongsai, dan Lampion tetapi
78
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde
Baru Hingga Era Reformas, (1967-2014), h. 125. 79
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde
Baru Hingga Era Reformasi, h. 125. 80
http://news.liputan6.com/read/29279/imlek-resmi-menjadi-hari-libur-nasional Diakses
pada 22 Agustus 2016 pukul 22.30
72
juga seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan
kebudayaan Indonesia yang menjadi sangat beragam.
E. Masuknya Agama Khonghucu dalam KTP
Masa Reformasi bisa dikatan sebagai kebangkitan etnis Tionghoa dan
Umat Khonghucu di Indonesia, karena banyak peraturan dan kebijakan di era
Orde Baru yang bersifat diskriminasi terhadap kaum minoritas sedikit demi
sedikit mengalami perubahan atau penghapusan kebijakan tersebut.
Mulai dari kebijkan presiden Habibie yang menghapus istilah pribumi dan
non pribumi dengan mengeluarkan Intruksi Presiden No. 26. Tahun 1998 tentang
menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua
perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun
pelaksanaan kegiatan penyelenggara pemerintah Indonesia.81
Keluarnya Keppres
Nomor 6 Tahun 2000 untuk mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang
menjadikan etnis Tionghoa dan umat Khonghucu terbebas dari belenggu pada
masa Orde Baru. Keppres tersebut seakan menjadi pintu masuk bagi pemerintah
Indonesia untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada Hak Asasi
Manusia.
Selain Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2002 yang dikeluarkan presiden
Megawati tentang Hari Libur Nasional Imlek, pemerintah selanjutnya pada masa
presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga tetap konsisten menghapus kebijakan
yang dirasa diskriminasi.pada masa ini etnis Tionghoa benar-benar diterima
81
Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga dan Silsilah Warga Tionghoa, h. 135.
73
sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia. Bukti dari keseriusan presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yaitu dengan banyak kebijakan hukum yang
dikeluarkan terhadap masyarakat Khonghucu, terutama dalam pemulihan hak-hak
sipil umat Khonghucu.82
Kebijakan yang penting dengan mengeluarkan Intruksi Menteri Agama
sebagaimana tertuang dalam Surat Menteri Agama Nomor MA/12/2006 tanggal
24 Januari 2006, tentang penjelasan mengenai Status Perkawinan Menurut Agama
Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu.83
Namun, surat menteri agama
itu tidak serta merta memudahkan umat Khonghucu mendaftarkan perkawinannya
dengan cara Khonghucu karena masih terhambat oleh administrasi kependudukan.
Akhirnya dengan mengacu dan menindaklanjuti surat menteri agama
tersebut, keluarlah kebijakan Menteri Dalam Negeri Nomor 470/336/SJ tentang
Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama Khonghucu. Surat
tersebut ditujukan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota untuk disosialisasikan
kepada masyarakat.84
Dengan dikeluarkannya surat menteri dalam negeri tersebut, maka umat
Khonghucu dapat terpenuhi hak-hak sipilnya seperti memasukkan agama
Khonghucu dalam kolom di KTP, mendaftarkan perkawinannya secara
Khonghucu dan dilayani oleh negara, dalam bidang pendidikan para siswa yang
82
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde
Baru Hingga Era Reformasi, (1967-2014), h. 126. 83
Hadian, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 107. 84
Hadian, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105.
74
beragama Khonghucu dapat kembali belajar agama Khonghucu serta bahasa
Mandarin di sekolahnya.
Selain administrasi tersebut, umat Khonghucu juga dapat menggunakan
nama aslinya (Tionghoa) di dalam KTP, tetapi hal tersebut tidak lantas membuat
mereka langsung menggati namanya kembali lantara beberapa merasa sudah
nyaman dan banyak yag kenal dengan nama Indonesianya. Ada juga yang malas
mengurus administrasinya lantara merasa repot.
Mengenai peraturan pendidikan agama dan keagamaan tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 55 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan, tanggal 5 Oktober tahun 2007. PP 55 ini ditandatangani langsung
oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang aturan main Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan masing-masing agama dan agama Khonghucu
masuk dalam peraturan tersebut.
Untuk mempercepat pemulihan hak-hak sipil agama Khonghucu, maka
presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum habis masa jabatannya,
memberikan hadiah kepada umat Khonghucu berupa peraturan Nomer 135 Tahun
2014, tertanggal 17 Oktober Tahun 20014, tentang pembukaan struktur baru
Direktorat Jendral Khonghucu di Kementrian Agama RI dalam pasal 475 bagian I
ditulis bahwa susunan organisasi eselon I Kementrian Agama terdiri Direktorat
Jendral Bimbingan Masyarakat Khonghucu.85
85
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde
Baru Hingga Era Reformasi, (1967-2014), h. 128
75
Dengan adanya pemulihan hak-hak sipil agama Khonghucu, juga
berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan di Indonesia. Sekarang ini
bahasa mandarin dapat dipelajari secara luas oleh masyarakat. Kebudayaan
Tionghoa dan agama Khonghucu juga sudah mulai secara bebas dipertunjukan di
Indonesia. Kebudayaan seperti Barongsai, Naga Liong, Perayaan Cap Gomeh,
perayaan Imlek, saat ini mudah ditemui di Indonesia. Hak-hak politik, ekonomi,
sosial dan budaya yang pada masa sebelumnya tidak pernah didapatkan oleh etnis
Tionghoa dan umat Khonghucu, mulai didapatkan kembali.
Hal ini cukup menggambarkan bahwa perkembangan Hak Asasi Manusia
di Indonesia pasca Reformasi mengalami peningkatan secara signifikan terutama
di bidang kebebasan beragama bagi kaum minoritas.86
Terutama bagi umat
Khonghucu sendiri setelah dikeluarkannya Keppres Nomor 6 Tahun 2000.
86
Hadian dan Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di
Indonesia, h. 10
76
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan agama khonghucu sebenarnya terjadi jauh sebelum
Indonesia merdeka, banyak orang Tionghoa bermukim dan menetap di Indonesia.
Meski hidup di Indonesia tetapi tidak serta merta membuat mereka meninggalkan
ajaran nenek moyangnya. Agama Khonghucu tetap dipegang teguh dan
dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan semakin banyaknya keturunan
Tionghoa di Indonesia maka semakin banyak juga penganut agama
Khonghucunya.
Pada perkembangannya di Indonesia, agama Khonghucu mengalami
berbagai dinamika. Ketika pemerintahan Orde Lama, presiden Soekarno
mengeluarkan ketetapan Nomor 1 Tahun 1965, tentang pencegahan
penyalahgunaan dan atau penodaan agama, yang di dalamnya menjelaskan bahwa
agama yang dipeluk penduduk Indonesia ada enam, yaitu Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Masa pemerintahan Orde Baru, agama Khonghucu mengalami
diskriminasi. Hal ini terjadi karena presiden Soeharto mengeluarkan Inpres
Nomor 14 Tahun 1967, tentang larangan bagi WNI keturunan Cina untuk
melakukan perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina secara terbuka dan Surat
77
Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18
November tahun 1978 tentang lima agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu:
Isalm, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Adanya kebijakan tersebut,
membuat kebebasan dan hak-hak umat Khonghucu menjadi terbelenggu.
Masa diskriminasi tersebut terjadi kurang lebih selama 32 tahun atau pada
masa berkuasanya Orde Baru. Kemudian di masa reformasi, umat Khonghucu
terbebas dari diskriminasi, karena pemerintah pada zaman Gus Dur membuka
pintu lebar-lebar atas eksistensi agama Khonghucu di Indonesia sampai sekarang.
Kedekatan Gus Dur dengan agama Khonghucu seperti halnya dengan
agama atau etnis lain yang minoritas dan tertindas. Kedekatan Gus Dur dengan
agama Khonghucu bukan berawal ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden,
melainkan jauh sebelum itu, yaitu terjadi pada masa Orde Baru berlangsung.
Banyak sekali kejadian yang melibatkan Gus Dur dengan agama Khonghucu pada
saat itu. Gus Dur tidak serta merta membela begitu saja melainkan ada alasan
yang memang mengharuskan agama Khonghucu untuk dibela. Dilatar belakangi
dengan menegakkan dan memperjuangkan Hak Asasi Manusia, Gus Dur tampil
membela dan memperjuangkan umat Khonghucu dari diskriminasi yang mereka
alami.
Seperti halnya ketika Gus Dur menghadiri sidang di PTUN Surabaya
ketika umat Khonghucu menggugat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
untuk masalah administrasi perkawinan. Dukungan tersebut menandakan Gus Dur
sangat memperhatikan kaum tertidas yang minoritas. Gus Dur juga mengadakan
78
pertemuan dengan tokoh-tokoh agama di Bali termasuk tokoh dari Khonghucu
dan November 1999 mengadakan pertemuan dengan masyarakat Cina di Beijing.
Tidak hanya dengan lembaga keagamaan Khonghucu saja, Gus Dur juga
menjalin persahabatan dengan tokoh-tokoh agama Khonghucu seperti Bingky
Irawan dan Budi Santoso Tanuwibowo. Jadi kedekatan Gus Dur dengan agama
Khonghucu sama seperti dengan agama atau etnis lain yang tertindas tanpa
membeda-bedakan latar belakang baik suku, agama, ras maupun etnisnya.
Pancasila dan UUD 1945 secara tegas menjamin hak-hak warga negaranya
termasuk agama dan kepercayaan yang dianutnya seperti dalam pasal 29 ayat 1
dan 2 yaitu: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan alasan ingin
menegakkan Ideologi Pancasila, UUD 1945 dan juga negara yang benar-benar
demokratis tanpa ada diskriminasi yang dialami oleh setiap warga negara.
Akhirnya Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang selama
32 tahun membelunggu umat Khonghucu dengan mengeluarkan Keppres Nomor
6 Tahun 2000. Selain itu Gus Dur juga beralasan, sebuah agama dapat dikatakan
agama atau tidak, bukan urusan pemerintah, sebab yang menghidupkan agama
bukan jaminan pemerintah tapi hati manusia. Sehingga, menurut Gus Dur,
pengakuan negara terhadap suatu agama merupakan kekeliruan. Justru
pemerintahlah yang harusnya mengayomi dan memfasilitasi kebutuhan setiap
79
warga negara untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-
masing, seperti yang sudah diatur oleh Pancasila dan UUD 1945.
Melalui Keppres presiden Gus Dur No. 6 tahun 2000 tersebut, maka umat
Khonghucu dapat mengekspresikan kembali ajaran agama yang selama masa Orde
Baru terbelenggu. Hak-hak sipil sebagai warga negara Indonesia juga mulai pulih
dengan adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintahan selanjutnya setelah Gus
Dur. Dari ditetapkannya Hari Libur Nasional Imlek pada masa pemerintahan
Megawati, dicatat dan dilayaninya perkawinan secara Khonghucu, pendidikan
agama Khonghucu, hingga masuknya Khonghucu dalam kolom agama di KTP.
Imlek yang diperingati setiap Tahun oleh umat Khonghucu pada
khususnya dan warga Indonesia pada umumnya menambah kekayaan kebudayaan
bagi bangsa Indonesia, karena budaya Tionghoa dan local bercampur. Hal ini
menjadikan peringatan Imlek tidak sama persis seperti di Tiongkok melainkan
punya identitas tersendiri karena percampuran budaya tersebut.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang penulis kerjakan, maka ada beberapa saran
dari penulis baik untuk umat Khonghucu, peneliti selanjutnya dan lembaga
Matakin maupun fakultas Ushuluddin lebih khusus program studi agama-agama.
1. Umat Khonghucu
a. Sebagai agama yang baru dilegalkan pada masa reformasi, semoga
tetap menjaga tradisi yang selama ini dipraktekkan.
80
b. Meskipun dibeberapa kejadian atau peristiwa keagamaan masih sikap
intoleransi terhadap umat Khonghucu di Indonesia, tetapi hal tersebut
semoga tidak menyurutkan sikap cinta terhadap negara Indonesia.
2. Peneliti selanjutnya
a. Masih banyak aspek-aspek dalam agama Khonghucu yang belum
diteliti. Jadi bisa menjadi bahan penelitian selanjutnya, agar dapat
menjadi wawasan keilmuan terutama prodi studi agama-agama.
b. Carilah referensi yang berkaitan dengan Khonghucu seperti ke Majelis
Tinggi Agama Khonghucu atau Litang Bio Tangerang, disana terdapat
banyak referensi mengenai agama Khonghucu.
3. Fakultas Ushuluddin dan Jurusan Studi Agama-Agama
Perbanyak referensi buku untuk penelitian agama Khonghucu, karena
untuk referensi agama Khonghucu terbilang masih sedikit.
81
Daftar Pustaka
Abdillah, Masykuri, Berguru Kepada Bapak Bangsa (Jakarta: PP Gerakan
Pemuda Ansor 1999)
Atmaja, Sugiandi Surya, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama
Khonghucu Era Orde Baru Hingga Era Reformasi (1967-2014) (Tesis S2
Konsentrasi Agama Khonghucu, Program Studi Perbandingan Agama,
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia
(Jakarta: PT Raja Grafindo Oersada, 2007)
Cahyo, Agus N., Salah Apakah Gus Dur? Misteri di Balik Pelengserannya
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2014)
Creel, H.G, Alam Pikiran Cina, Terj. Soemargono (Yogyakarta:Tiara Wacana
1990)
Aziz, M. Imam, Culture Of Peace: Sebuah Pendekatan Islam, dalam kumpulan
kolom dan artikel Abdurrahman Wahid selama era lengser (Yogyakarta,
ELKiS 2002)
Dhakiri, M. Hanif, 41 Warisan Kebesan Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2010)
Darwanto, Eko dan A. Malik Harmain dan Mohammad Badi’ Zamas ,Gus Dur:
Goro-Goro Dalam Lakon Multi Krisis (Jakarta: Bumi Selamat Printing
2001)
Dematra, Damien, Sejuta Hati untuk Gus Dur (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2010)
Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses
Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Jakarta: Sinar Grafika 2016)
Fattah, Abdul, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute, 2010)
Hadian, Emma Nurmawati, Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut
Agama Khonghucu di Indonesia (Jakarta: Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2013)
Ibad, MN, Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia, (Yogyakarta: LKiS
Printing Cemerlang 2012)
82
Imron, M. Ali, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: Diva
Press, 2015)
Indarto, Ws., Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu,
Sekarang dan Masa Depannya, (Jakarta: Matakin, 2010)
IVV, Gus Dur dan Tahun Baru Imlek (Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari
2016)
Masdar, Umaruddin, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Jalan, Pembela
Minoritas Etnis-Keagamaan, (Jakarta: DPP PKB dan KLIK.R, 2005)
Milles, M.B. dan Huberman, AM, Analisa Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang
Metode-Metode Baru, (Jakarta: UI Press, 1992)
Muhith, Mahmudi dan M. Latif dan Imam Muslich, Gus Dur Bapak Pluralisme,
(Malang, 2010)
Musa, Ali Masykur, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, (Jakarta: Erlangga,
2010)
Nakamura, Mitsuo, Abdurrahman Wahid, dalam John I. Esposito (ed.), The
Oxford Encyclopedia of the Modern Muslim World (New York, Oxford
university Press,1995)
Ng, Al-Zastrauw, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan
dan Pertanyaan Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 1999)
Nugroho, Aryanto, Jejak Langkah Guru Bangsa, (Semarang: Ein Institute, 2010)
Rumadi, ed., Damai Bersama Gus Dur, (Jakarta: Buku Kompas,2010)
Saidi, Gunawan, Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia Pada Masa
Reformasi, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta,2009)
Santoso, Listiyono, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Jogjakarta
2004)
Setiawan, E., Tahun Baru Imlek, Marga Dan Silsilah Warga Tionghoa,
(Semarang: Yayasan Widya Manggala Indonesia, 2012)
Setiopno, Benny G., Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Trans Media
Pusaka, 2008)
Smith, Huston, Agama-Agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990)
83
Sugono, Dendi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Pertama
Edisi IV (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama)
Sumodiningrat, Gunawan dan Ibnu Purna (ed), Landasan Hukum dan Rencana
Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009, (Jakarta: 2004)
Suryadinata, Leo, Kebudayaan Minoritas Tionghoa Indonesia, (Terjemahan Dede
Oetomo), (Jakarta: PT. Gramedia, 1988)
Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, (Jakarta: Pustaka
LP3ES, 2002)
Tanggok, M. Ikhsan, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia
(Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005)
Untung Budi, Buku Pintar BimbelSD Kelas 4, 5, 6 (Jakarta: Lembar Langit 2015)
Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia & Transformasi
Kebudayaan, (Jakarta: Wahid Institute, 2007)
Wahid, Abdurrahman, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000)
Yusuf , A. Muri, Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian
Gabungan, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014)
Zen, H. Muhammad, Gus Dur Kiai Super Unik, (Malang: Cakrawala Media
Publisher 2010)
Zar, Sirojuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Pt Raja
Grafindon Persada, 2012)
84
Website
http://filsafat.kompasiana.com/2012/08/15/9-nilai-prisma-pemikiran-gus-dur-
479610.html Diakses pada tanggal 22 Maret 2016
http://hukum.kompasiana.com/2012/08/29/norma-yang-terkandung-dalam-pasal-
29-uud-1945-dan-peraturan-nomor-ipnps1965-482817.html Diakses pada
tanggal 21 Maret 2016
http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukum-
islam.html Diakses tanggal 25 Juni 2016
http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukum-
islam.html Diakses tanggal 25 Juni 2016
http://lama.elsam.or.id/downloads/1363164069_HAM_dan_Kebebasan_Beragam
a._Musdah_Mulia.pdf Diakses pada tanggal 25 Juni 2016
http://news.liputan6.com/read/29279/imlek-resmi-menjadi-hari-libur-nasional
Diakses pada tanggal 22 Agustus 2016
http://www.spocjournal.com/hukum/372-berbagai-keputusan-pemerintah-tentang-
agama-khonghucu.html Diakses pada 23 April 2017