gagal ginjal kronik dan terminal

Upload: julita-yanti

Post on 19-Jul-2015

260 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

GAGAL GINJAL KRONIK DAN TERMINAL PENDAHULUAN Sindrom gagal ginjal kronik (GGK) merupakan permasalahan bisang nefrologi dengan angka kejadiannya masih cukup tinggi, etiologi luas dan komplek, sering tanpa keluhan maupun gejala klinik kecuali sudah terjun ke stadium terminal (gagal ginjal terminal). Laporan studi epidemiologi klinik Indonesia ternyata gagal ginjal terminal (GGT) akibat lanjut dari gagal ginjal kronik menempati urutan pertama dari semua penyakit ginjal, khususnya bidang nefrologi. Gagal ginjal terminal (GGT) di Indonesia dan umumnya negara berkembang, tidak hanya merupakan maslah aspek medik tetapi lebih luas dan berhubungan dengan aspek psikososial. Hanya sebagian kecil (20-30%) pasien dengan GGT yang mampu menjalani program terapi pengganti ginjal. Peranan rujukan sedini mungkin merupakan upaya yang harus digalakkan untuk mengurangi populasi gagal ginjal terminal (GGT). Dalam penatalaksanaan sindrom gagal ginjal kronik (GGK) beberapa aspek yang harus diidentifikasi sebagai berikut : 1. Etiologi GGK yang dapat dikoreksi Misal : Tuberkulosis slauran kemih dan ginjal - Nefropati yang berhubungan dengan urolitiasis, diabetes mellitus, lupus eritematosus sistemik, dan gangguan elektrolit 2. Etiologi yang tidak mungkin dikoreksi tetapi dapat dihambat perjalanan penyakitnya Misal : - Nefropati (glomerulopati ) idiopati 3. 4. Beberapa faktor risiko yang mungkin dapat memperburuk penurunan faal ginjal Infeksi saluran kemih dan ginjal Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Menentukan status derajat penurunan faat ginjal

DEFINISI Definisi konseptual Gagal ginjal kronik (GGK) Ketidak mampuan ginjal untuk mempertahankan keseimbangan & integritas tubuh yang muncul secara bertahap sebelum terjun ke fase penurunan faal ginjal tahap akhir. Gagal Ginjal kronik (GGK) Penurunan semua faal ginjal secara bertahap, diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Penyakit ginjal kronik (PGK) Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal atau penurunan faal ginjal lebih atau sama dengan tiga bulan sebelum diagnosis ditegakan. Sesuai rekomendasi dari NKF-DOQI (2002) Tabel 1. Definisi penyakit Ginjal Kronik (PGK) 1. Kerusakan ginjal 3 bulan Kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan LFG dengan presentasi : Kelainan struktur histopalogi ginjal Petanda kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah dan urin, atau uji pencitraan ginjal 2. LPG < 60 mL/menit/1.73 m2 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal Definisi operasional Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG) Tabel 2 Derajat penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) Derajat A B C D Primer (LFG) Normal 50 80 % Normal 20 50 % Normal 10 20 % Normal Sekunder = Kreatinin (mg%) Normal Normal 2,4 2,5 4,9 5,0 7,9

E F

5 10 % Normal < 5 % Normal

8,0 -12,0 > 12,0

International commite for nomenclature and nosology of renal disease ( 1975 ) Klasifikasi derajat penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) ini penting untuk panduan terapai konservatif dan saat dimulai terapi pengganti faal ginjal. Derajat penyakit ginjal kronik (PGK) berdasarkan LFG sesuai dengan rekomendasi NKF DOQI (2002) terungkap pada tabel 3. Tabel 3 Derajat penyakit ginjal kronik (PGK) Derajat 1 2 3 4 5 LFG (Radionuklida) Hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik Hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik sebagai berikut : a) Penurunan cadangan faal ginjal ( LFG = 40 75 %) Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan regulasi masih dapat dipertahankan normal. Maslah ini sesuai dengan konsep intac nephrom hypothesis. Kelompok pasien ini sering ditemukan kebetulan pada laboratorium rutin. b) Insufisiensi renal (LFG = 20 50 %) Pasien GGk pada tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normal walaupun sudah memperlihatkan keluhan-keluhan yang berhubungan dengan retensi azotemia. Pada pemeriksaan hanya ditemukan hipertensi, anemia (penurunan HCT) Deskripsi Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau meninggi Kerusakan ginjal disertai penurunan ringan LGG Penurunan moderat LFG Penurunan berat LFG Gagal ginjal 30 59 15 29 < 15 atau dialisis 60 - 89 LPG (mL/menit/1.73 m2) 90

dan hiperurikemia. Pasien pada tahap ini mudah terjun ke sindrom acute on chronic renal failure artinya gambaran klinik gagal ginjal akut (GGA) pada seorang pasien gagal ginjal kronik (GGK), dengan faktor pencetus (triger) yang memperburuk faal ginjal (LFG) Sindrom ini sering berhubungan dengan faktor-faktor yang memperburuk faal ginjal (LFG). Sindrom acute on chronic renal failure : c) Oliguria Tandatanda overhydration (bendungan paru, bendungan hepar, kardiomegali). Edema perifir (ekstrimitas & otak ) Asidosis, hiperkalemia Anemia Hipertensi berat

Klinik sering dikacaukan dengan penyakit jantung hipertensif. Gagal ginjal (LFG = 5 25 %) Gambaran klinik dan laboratorium makin nyata : anemia, hipertensi, overhydration atau dehidrasi, kelainan laboratorium seperti penurunan HCT, hiperurikemia, kenaikan ureum & kreatinin serum, hiperfosfatemia, hiponatremia dilusi atau normonatremia, kalium K+ serum biasanya masih normal. d) Sindrom azotemia (LFG = kurang dari 5 %) Sindrom azotemia (istilah lama uremia) dengan gambaran klinik sangat komplek dan melibatkan banyak organ (multi organ). ETIOLOGI Umumnya gagal ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal intrinsik difus dan menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir dengan gagal ginjal kronik. Umumnya penyakit diluar ginjal, misal nefropati obstruktif dapat menyebabkan kelainan ginjal instrinsik dan berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis, hipertensi esensial dan pielonefritis merupakan penyebab paling sering dari gagal ginjal kronik, kira-kira 60 %. Gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15-20%. Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkhim ginjal progresif dan difus, seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Laki-laki lebih sering dari wanita, umur antara 20-40 tahun. Sebagian besar pasien relatif muda dan merupakan calon utama untuk transplantasi ginjal. Glomerulonefritis mungkin berhubungan dengan penyakit-

penyakit sistem (glomerulonefritis sekunder) seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan gagal ginjal kronik. Hlomerulonefritis yang berhubungan dengan amiloidosis sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis, artritis reumatoid dan mieloma. Tabel 4. Pola etiologi gagal ginjal kronik 1. Glomerulonefritis 2. Penyakit ginjal herediter 3. Hipertensi esensial 4. Uroipati obstruktif 5. Infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) 6. Nefritis Interstisial Penyakit ginjal hipertensi (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu penyebab gagal ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10 %. Kira-kira 10-15% pasien-pasien dengan gagal ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis. Pada orang dewasa gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan infeksi saluran kamih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated jarang dijumpai, kecuali tuberkulosis, abses multipel, nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Tabel 5. Etiologi nefritis interstisial 1. Obat-obatan : analgetik, sulfonamid, penisilin, furosemid, tiazid, fenindion difenilhidantoin. 2. Metabolisme kalsium : hiperparatiroidisme, sindrom milk alkali, sarkoidosis, neoplasma, dan mieloma. 3. Asam urat : nefropati asam urat, kelainan hematologi 4. Penimbunan oksalat : herediter, obat anastesi (metoksifluran), etilin glikol 5. Logam berat : timah hitam, tembaga, urenium. Seperti diketahui nefritis interstisial menunjukkan kelainan histopatologi berupa fibrosis dan reaksi inflamsi atau radang dari jaringan interstisial dengan etiologi yang banyak (lihat tabel). Kadang dijumpai juga kelainan-kelainan mengenai glomerulus dan

pembuluh darah,askuler. Nefropati asam urat menempati urutan pertama dari etiologi nefritis interstisial. Tabel 6 Biologi gagal ginjal terminal (GGT) dengan terapi hemodialisis regular di Indonesia Etiologi 1990 (%) 40.12 36.07 6.13 4.17 2.21 2.07 9.32 1991 (%) 46.39 12.83 18.65 0.16 1.41 8.46 15.20 1992 (%) 39.64 13.44 17.54 0.23 2.51 15.72 10.39

Glomerulonefritis Nefropati (nefrolitiasis) Nefropati diabetik Nefropati lupus Ginjal polikistik Hipertensi Tidak diketahui

PATOGENISIS DAN PATOFISIOLOGI 1. Toksin azotemia (metabolit toksik) ? Penyulit-penyulit atau gejala metabolik azotemia telah lama dikenal, tetapi toksin azotemia atau metabolit toksik spesifik sebagai penyebab perubahan-perubahan metabolik masih belum dapat diidentifikasi seluruhnya. Menurut beberapa peneliti, sebenarnya toksin azotemia masih merupakan suatu subtansi atau zat normal dan dapat dikeluarkan atau diekskresikan melalui ginjal. Bila terdapat penurunan LFG baru terdapat retensi dri beberapa toksin azotemia. Akumulasi substansi organik yang pernah dilaporkan pada pasien azotemia sperti urea, kreatinin, asam urat, indikan, beberapa asam amino, polipeptida, asam hipurat, konyugasi tri-karboksilik, asam fenolik, asam indolik, guanidine base, asetoin 2 : 3 butylene. Glikol. Beberapa penelitian terutama ditujukan untuk menentukan keracunan atau toksin dari beberapa metabolit. Retensi ureum hanya menyebabkan keluhan-keluhan seperti: haus, poliuria, mual-mual, anoreksia, stomatitis dan kolitis. Penyuntikan metil guanidin, pada binatang percobaan anjing menyebabkan anemia, anoreksia, muntah-muntah, ulserasi mukosa duodenum dan gaster, pendarahan, kejang-kejang otot, parese saraf motorik, hipertrigliseridemia.

Gangguan koagulasi yang terdapat pada pasien-pasien azotemia diduga mempunyai hubungan denan kenaikan konsentrasi guanidinosuccinic acid (GSA). GSA ini akan menghambat adenosis difosfat untuk melepaskan trombosit faktor 3. penelitian Walser dkk. (1973) membuktikan bhawa beberapa sisa metabolisme nitrogen merupakan zat toksik pada azotemia. Pasien diberikan diet rendah nitrogen untuk mengurangi konsentrasi sisa-sisa metabnolismenya. Kedalam diet ini ditambahkan juga analog keto-asam amino esensial. Analog keto-asam amino ini digunakan untuk menambah unsur karbon pada asam amino esensial sehingga dapat mencegah pemecah protein jaringan. Pasien memperlihatkan perbaikan dengan hilangnya beberapa gejala dari sindrom azotemia. Table 7. Main molecules involved in uremic toxicity MW (d) Low MW molecules Myoinositol Purines (xanthenes) Oxalate Dimethylarginine Middle MW molecules Pep tides Parathirmone -2 microglobulin Methylguanidine Guanidinosuccinic acid Indocyl sulfate Hippuric acid Polyamines (spermine) Phenols and indoles CarbocmethylpropylFuranpropionic acid (CMPF) Chloramines Homocysteine 240 variable 135 drug pritein binding hemolysis atherogenesis variable 9,424 11,818 73 175 251 179 202 94 impaired monocyte function intracellular calcium -2 mamyloidosis anorexia, vomiting platelet aggregability drug pritein binding drug pritein binding erythropoiesis activity of PMN and platelets 180 152 126 202 neurotoxicity calcitriol synthesis, anorexia tissue deposition of calcium nitric oxide synthesis Deleterious effect

Small molecules with middle molecule behavior

Adapted from Vanholder et Al., Semin Neprol 1994; 14: 205-218 Table 8. Middle molecules with a potential biological impact Adrenomedullin (ADM) Ages Angiogenin Advanced oxidation protein products Atrial natriuretic peptide 2-M -Endorphin -Lipotrophin cholecystokinin clara cell protein Complement fagor D Cystatin C Sytokines Delta sleep inducing protein Endothelin Granulo cyte inhibitory protein I Granulo cyte inhibitory protein I Glomerulopressin Leptin Methionine-enkephalin Neuropeptide Y Retinol binding protein Nephrol Dial Transplan 2004 19:193-296 2. Trade off hypothesis (intac nephron hypothesis) Bricker (1972) mengemukakan konsep lain dari patogenesis azotemia dinamakan intac nephron atau trade-off hypothesis. Faal seluruh ginjal akan diambil oleh nefron-nefron yang masih utuh (intac). Dalam nefron-nefron tersebut terdapat kenaikan konsentrasi dari zat-zat terlarut misal urea, terjadi diuresis osmotik untuk menegeluarkan urea per menit sehingga volume urin meningkat. Mekanisme atau

adaptasi ini bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh (homeostasis). Mekanisme adapatasi untuk mempertahankan keseimbangan natrium na+ pada pasien-pasien dengan gagal ginjal kronik merupakan salah satu contoh dari hipotesisi bricker. Garam natrium sebanyak 120 mEq per hari diberikan pada pasien-pasien denga LFG masih normal : ternyata hanya sekitar 0,5% filtrat natrium na+ yang diekskresikan. Sebaliknya pada pasien azotemia dengan LFG = 2 ml per menit dengan yang mengandung garam natrium 120 mEq per hari kira-kira 30% dari filtrat natrium na+ ini harus diekresikan untuk mempertahankan keseimbangan na+ dalam tubuh. Peningkatan mekanisme ekskresi natrium atau natriuresis ini belum diketahui selurunya. Kenaikan konsentrasi ureum yang mempunyai efek diuresis osmotik merupakan salah satu hipotesis. Menurut beberapa peneliti mungkin terdapat suatu subtansi atau faktor X ini suatu hormon (?) yang dapat menghambat reabsorbsi natrium na+ sepanjang tubulus ginjal. Hipotesis ini dapat menerangkan salt-wasting pada beberapa pasien gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan pielonefritis kronik, penyakit ginjal polikistik atau sindrom Fanconi. Kenaikan konsentrasi hormon paratiroid dapat diterangkan dengan hipotesis intac nephron dari Bricker. Kerusakan sejumlah nefron walaupun pada tingkat awal atau dini, sudah terdapat penurunan ekskresi fosfat dan diikuti kenaikan konsentrasi fosfor serum. Kenaikan konsentrasi fosfor serum ini akan menyebabkan penurunan konsentrasi serum kalsium dan kan merangsang kelenjar hormon paratiroid. Kenaikan aktivitas kelenjar paratiroid (hiperparatiroid) akan disertai penurunan reabsorbsi fosfor pada tubulus ginjal dan menyebabkan kenaikan ekskresi fosfor sehingga konsentrasi fosfor akhirnya akan mendekati konsentrasi normal. Bila nefron-nefron yang mengalami destruksi makin meningkat, kenaikan konsentrasi hormon paratiroid sangat diperlukan untuk mempertahankan konsentrasi fosfor serum. Fenomena trade-off ini bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan fosfor, tetapi dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi klinik yang tidak diharapkan misal hiper paratiroidisme. Gangguan enzimatik dan hormon juga menimbulkan beberapa kesulitan selama mengelola pasien azotemia, misal resisten terhadap efek atau pengaruh vitamin D. Seperti diketahui, sel-sel tubulus ginjal bagian proksimal memegang peranan

penting

selama

proses

hidroksilase

dari

vitamin

D

menjadi

1,25

di

hidroksikholekalsiferol. Keruskan sejumlah nefron dapat menimbulkan beberapa gangguan absorbsi kalsium dari usus sehingga kemampuan ginjal menurun untuk mengubah 25hidrosikolekalsiferol menjadi 1,25 di-hidrokolekalsiferol. Aktivitas renin plasma mungkin meningkat terutama pada stadium terminal. Kenaikan renin plasma menyebabkan pembentukan angiotensin II, suatu pressor yang menyebabkan kenaikan tekanan darah arteri (hipertensi) dan Growth factors. 3. kelaian metabolisme 3.1. Metabolisme hidrat arang Pada pasien gagal ginjal kronik yang tidak mempunyai hubungan dengan nefropati diabetik, sering ditemukan gangguan metabolisme hidrat arang walaupun ringan dan tanpa keluhan diabetes mellitus. Penyulit ini jangan dikacaukan dengan nefropati diabetik karena mempunyai implikasi terpeutik terutama untuk seleksi transplantasi ginjal. Mekanisme intoleransi glukosa ini tidak diketahui, diduga mempunyai hubungan dengan toksin azotemia. Hipotesis ini berdasarkan kenyataan klinik bhwa intoleransi glukosa ini dapat dikoreksi dengan hemodialisis intermiten. Menurut beberapa peneliti, gangguan metabolisme karbohidrat/hidrat arang mungkin mempunyai hubungan dengan antagonis insulin perifir, kenaikan insulin basal, dan sekresi yang terlambat dari insulin terhadapa beban glukosa. Tabel 9. Kelainan metabolisme pada gagal ginjal 1. Metabolisme hidrat arang - pseudo diabetes mellitus 2. Metabolisme lemak - hipertrigliseridemia 3. Metabolisme protein 4. Metabolisme asam urat - hiperurikemia 5. Metabolisme elektrolit - deplesi natrium dan air hiper / hipokalemia

-

asidosi osteodistrofi ginjal - hiperfosfatemia hipermagnesemia

3.2. Metabolisme lemak Pada umunya lemak bebas dan kolesterol dalam batas normal, kecuali pada sindrom nefrotik. Bagdade dkk. (1968) melaporkan hipertrigliseridemia pada pasien-pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis intermiten. Mekanisme hipertrigliseridemia tidak diketahui, diduga akibat dari kenaikan sintesis triglycerida-rich lopoprotein dalam hepar. 3.3. Metabolisme protein Pada orang normal pembatasan jumlah protein dalam waktu lama dapat menyebabkan keseimbangan negative dari nitrogen. Sebaliknya pada pasien gagal ginjal kronik pembatasan jumlah protein dalam menu tidak akan menyebabkan keseimbangan negative dari nitrogen. 3.4. Metabolisme asam urat Hiperurikemia sering dijumpai pada gagal ginjal kronik, walaupun kenaikan asam urat serum ini tidak mempunyai hubungan dengan derajat penurunan faal ginjal. Kenaikan konsentrasi asam urat serum (hiperurikemia) ini sering dipakai sebagai pedoman atau indicator untuk menentukan diagnosis dini dari gagal ginjal kronik, asal semua faktor atau keadaan yang menyebabkan hiperurikemia dapat disingkirkan. Hiperurikemia sekunder ini tidak akan menyebabkan keluhan-keluhan arthritis gout. Keadaan hiperurikemia primer yang diperberat oleh penurunan faal ginjal sulit dibedakan dengan hiperurikemia sekunder.

3.5.4. Keseimbangan asam basa

Pada keadaan normal ekskresi ion H+ melalui ginjal berkisar antara 60-70 mEq per hari untuk mempertahankan dan mencegah tubuh menjadi asam (Wardener, 1975) Pada gagal ginjal kronik dapat terjadi gangguan ekskresi ion H+ sehingga dapat menyebabkan asidosis sistemik dengan penurunan pH plasma dan darah. Patogenesisi asidosis metabolic pada gagal ginjal kronik : (a) Penurunan ekskresi ammonia karena kehilangan sejumlah nefron (b) Penurunan ekskresi titrable acid terutama fosfat, karena asupan dan absorbs melalui usus berkurang (c) Kehilangan sejumlha bikarbonat melalui urin (bicarbonate wasting) Pada sebagian besar pasien gagal ginjal kronik, asidosis metabolic ini sifatnya ringan dengan penurunan pH darah jarang kurang dari 7,35. Asidosis ringan ini mudah dikoreksi dengan pemberian natrium bikarbonat atau sitrat, takaran 20-30 mEq per hari. Pernafasan Kussmaul merupakan gambaran klinik dari asidosis sistemik berat, dengan pH < 10 mEq. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Akhir-akhir ini telah terbukti bahwa perubahan-perubahan mengenai tulang-tulang mempunyai hubungan dengan retensi ion H+. rentensi dari anion gap dapat menyebabkan gejala-gejala saluran cerna dan susunan saraf pusat. 3.5.5. Metabolisme kalsium Pada gagal ginjal kronik sering ditemukan hipokalsemia, disebabkan : Penurunan absorbsi kalsium melalui usus Gangguan mobilisasi kalsium dari tulang dan hiperfosfatemis

Absorbs kalsium pada keadaan normal diatur sebagian besar oleh vitamin D seperti dapat dilihat pada skema berikut : Pada gagal ginjal kronik, pembentukan metabolit vitamin D yang aktif 1,25 (OD) 2D3 yang mempunyai pengaruh atau efek langsung pada tulang. Penurunan metabolit viatamin D yang sangat aktif ini dikenal sebagai vitamin D resistance pada pasien azotemia. Pada gagal ginjal kronik, tulang ternyata sangat resisten terhadap hormone paratiroid karena efek hormone tersebut ditentukan oleh derajat vitamin D. toksin azotemia diduga mempunyai peranan walaupun sedikit untuk mempengaruhi efek vitamin D. Bila terdapat hiperfosfatemia, hasil perkalian kalsium dan fisfat (Ca++ X PO4) sangat meninggi (lebih dari 1), terjadi penegndapan kalsium fosfat dan akhirnya kalsium

serum menurun (hipokalsemia). Keadaan hipokalsemia ini akan merangsang kelenjarparatiroid (hiperparatiroidisme) dan menyebabkan perubahan-perubahan tulang berupa osteomalasia dan osteoitis fobrosa (lihat skema patogenesa oasteodistrofi ginjal). 7 dehidrokholeterol kulit sinar U.V Kholekalsiferol (D3) hati 25 hidroksiholekalsiferol (25 OHD3) ginjal 1,25 dehidroksikholekalsiferol (1,25 (OH)2D3 (sangat aktif) Gambar 2. Skema peranan ginjal dalam metabolisme vitamin D Sel-sel tubulus proksimal merupakan tempat pembentukan metabolit-metabolit vit.D yang sangat aktif yaitu 1,25 (OH)2D3 . metabolit vitamin D yang sangat aktif ini dihasilkan oleh ginjal normal dan disebarkan ke dalam : Usus halus, metabolit ini akan merangsang absorbsi kalsium Tulangm nobilitas kalsium ditingkatkan Ginjal, reabsorbsi fosfat ppada tubulus proksimal akan ditingkatkan

Hipokalsemia yang terjadi pada gagal ginjal kronik sangat jarang menyebabkan gejala tetani karena : Asidosis metabolik akan menggagalkan faal ionisasi kalsium H+ akan menghambat perubahan faal dari membrane sarkolemna tulang

Keadaan hipokalsemia sendiri tanpa gejala tetani atau kelainan tulang, tidak merupakan indikasi untuk pemberian kalsium atau vitamin D. 3.5.6. Fosfat

Walaupun sudah terdapat penurunan LFG kurang dari 25% dari normal, fosfat serum masih dipertahankan dalam batas normal. Keseimbangan fosfat serum ini diimbangi oleh penurunan reabsobsi fosfat pada setiap nefron, dan akhirnya fosfaturia dari setiap nefron dapat meningkatkan sekresi hormone paratiroid (hiperparatiroidsme sekunder). Hiperfosfatemia yang terjadi pada gagal ginjal kronik memegang peranan penting untuk timbul hipokalsemia dan diperparatiroidisme, dan akhirnya dapat menyebabkan penyebaran klasifikasi pada organ-organ lain (metastatic calcification). 3.5.7. Magnesium Kenaikan serum magnesium sangat jarng menumbulkan keluhan atau gejala, kecuali magnesium yang mengandung laksantif dan antasida akan menekan susunan saraf pusat. GAMBARAN KLINIK Pasien gagal ginjal kronik dengan ureum darah kurang dari 150 mg%, biasanya tanpa keluhan maupun gejala dan sering kali ditemukan kebetulan pada pemeriksaan rutin. Gambaran klinik makin nyata bila ureum darah lebih dari 200 mg%. seperti diketahui, ureum darah merupakan indicator adanya retensi sisa-sisa metabolisme protein yang termasuk dalam golongan dialyzable dan non- dialyzable substances. Pada gagal ginjal kronik tingkat awal dengan LFG kurang dari 25% dari normal, gambaran klinik sangat minimal. Kelainan yang sering ditemukan hanya albuminuria, hiperurikemia, dan hipertensi. Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat komplek, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti : hemopoeitik, mata, kulit, selaput serosa, psikiatri dan neurologi, dan sistem kardiopulmonal. 1. Kelainan hemopoeisis Anemia normokrom normosister (MCHC 32-36%) dan normosister (MCV 78-94 CU). Sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau penjernihan kratinin kurang dari 25 m; per menit. Dalam praktek penentuan hematokrit (HCT) akan terlihat lebih penting dari pada penentuan jumlah hemoglobin (Hb) karena :

-

Penurunan hematokrit (HCT) akan terlihat terlebih dahulu dari pada jumlah hemoglobin (Hb). Hematokrit dapat dipakai untuk penuntun atau monitor selama tranfusi darah dan terapi Epo.

Kelainan yang sering dijumpai pada sedian darah tepi seperti burr cell dan helmet cell akibat proses hemolisis. Kadang-kadang terlihat hipersegmentasi sel-sel lekosit PMN. Hipersegmentasi sel-sel lekosit PMN ini diduga akibat defisiensi asam folat dan vitamin B 12. Sumsum tulang memperlihatkan normoselular atau hiperselular dengan perbandingan myeloid / eritoid normal atau meninggi. Kadang-kadang terlihat proliferasi yang jelas dari sel myeloid atau megakariosit. Pada stadium terminal sering ditemukan supresi normoblast. Anemia pada gagal ginjal kronik bersifat komplek, mungkin berhubungan dengan : Anemia normokrom normosister Anemia hemolisis Anemia akibat defisiensi besi Beberapa hipotesis mekanisme anemia sebagai berikut : a) Azotemia related anemia Faktor utama kontribusi anemia terkait azotemia yaitu defisiensi eritropoietin oleh sel-sel peritubular sebagai respon hipoksia lokal akibat pengurangan parenkhim ginjal fungsional (mass of functional parenchyma) b) Penurunan masa hidup eritrosit Penurunan masa hidup eritrosit disebabkan guandine coumpounds (missal guandino succinic acid), kloramina, nitrit, atau sekuestrasi eritrosit. c) Defisiensi Fe Defisiensi Fe dapat mengganggu eritropoisis d) Defisiensi vitamin Defisiensi asam folat dan vitamin B 12 menyebabkan anemia hipokrom makrosister e) 2. Perdarahan saluran cerna dan uterus Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Pathogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehinggaterbentuk ammonia (NH3). Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan makosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan salusan cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diit protein dan antibiotika. Hiccup sering mengganggu dan sulit diatasi kecuali dengan rangsangan selaput faring. Stomatitis azotemia ditandai dengan mukosa kering disetai lesi ulserasi luas, dinamakn bright-red stomatitis. Stomatitis azotemia ini disebabkan sekresi xairan saliva yang banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut. Pembesaran kelenjarparotis pada gagal ginjal kronik menyerupai parotis epidemika, tetapi tidak sakit dan konsistensinya tidak keras. Pamkreatitis tidak jarang dijumpai pada gagal ginjal kronik dan diduga mempunyai hubungan dengan gangguan ekskresi enzim amilase. 3. Kelainan mata Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, missal hemodialisis. Kelainan saraf mata menmbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tertier. 4. Kelainan kulit Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi.

Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan Kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost. Easy bruishing tidak jarang ditemukan pada beberapa pasien gagal ginjal kronik dan diduga mempunyai hubungan dengan gangguan faal trombosit dan kenaikan permeabilitas kapiler-kapiler pembuluh darah. 5. Kelainan selaput serosa Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering djumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialysis. Selaput serosa menebal, hipervaskularisasi, disertai infilrasi sel-sel plasma dan histiosit. Cairan rongga pleura maupun perikard biasanya berdarah (hemoragis) dengan jumlah trombosit kurang dari 10.000 mm3. Perikarditis ini tidak jarang dijumpai pada beberapa pasien yang sedang menjalani hemodialisis intermiten, patogenesisnya tidak diketahui dan dikenal sebagai pericarditis associated with hemodialysis. 6. Kelainan neuropsikiatri 6.1. Kelainan psikiatri Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dipresi, kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas). 6.2. Kelaianan nerologi Kejang otot atau muscular sering ditemukan pada pasien sudah berat, terjun mejadi koma, serangan grandma disertai kelainan fokal sering dijumpai pada stadium terminal. Konvulsi atau kejang yang terdapat pada pasien aggal ginjal kronik mungkin disebabkan beberapa faktor : - Hiponatremia menyebabkan sembab jaringan otak - Ensefalopati hipertensif - Tetani hipokalsemia

- Keadaan azotemia sendiri Hipokalsemia tetani murni (true hypocalcaemia) jarang ditemukan dan biasanya berhubungan dengan gangguan metabolik umum (hipoproteinemia dan asidosis) yang mempengaruhi susunan saraf pusat. Hipokalsemia tetani lebih sering dijumpai pada pasien-pasien yang mendapat infuse bikarbonat yang tidak terkontrol. Neropati perifir merupakan gangguan metabolik penting pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Gejala permulaan berupa sindrom restless yaitu creeping, intching, crowling, mengenai ekstremitas bawah terutama bagian distal. Gejala neropati ini memburuk pada sore hari, dan mereda atau hilang setelah kaki digerakkan atau berjalan. Gejala neroapati perifir ini sering bersamaan dengan gangguan sensoris seperti rasa terbakar, hiperestesi, dan parestasi. Pada umumnya gejala neropati perifir dan gangguan sensoris ini akan hilang setelah menjalani hemodialisis. Gangguan saraf motorik dengan gambaran foot drop dan paraplegia, sering dijumpai pada pasien laki-laki dan mempunyai prognosis buruk. Gangguan saraf motorik ini tidak akan hilang atau mereda walaupun pasien menjalani dialysis. Pada umumnya gangguan saraf motorik ini akan memperlihatkan perbaikan 6-12 bulan selama setelah transplantasi ginjal. Gangguan atau gejalanerologi lain yang tidak jarang dijumpai terutama pada pasien-pasien untuk pertama kali menjalani hemodialisis atau dialysis peritonel intermitan ialah disepuilibrium syndrome. Sindrom ini terdiri dari : sakit kepala yang hebat disertai mual dan muntah, dan kejang. Patogenesisnya masih beum jelas. 7. Kelainan sistem kardiopulmonal 7.1. Kardiovaskular Patogenesis GJK pada gagal ginjal kronik sangat komplek. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensim, aterosklerosis, penyebaran klasifikasi mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal, dapat menyebabkan gagal faal jantung. Gejala jantung yang berhubungan dengan anemia dinamakan high out put heart failure.

Pada umumnya GJK yang terdapat pada gagal ginjal sangat resisten terhadap obat konvensional dan dinamakan gagal jantung refrakter. 7.2. Hipertensi Pathogenesis hipertensi ginjal (renal hypertension) sangat komplek, banyak faktor turut memegang peranan seperti keseimbangan natrium (sodium homesotasis), aktivitas sistem rennin-angiotensin-aldosteron, penurunan zat dipresor dari medulla ginjal (renal medullry factors missal prostaglandin E1), aktivitas sistem saraf simpatis, dan faktor hemodinamik lainnya seperti cardiac output dan hipokalsemia. Keseimbangan natrium (sodium homeostasis) memegang peranan penting dalam genesis hipetensi ginjal. Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan mempunyai respon baik terhadap pengobatan konservatif yaitu pembatasan garam natrium dan cairan, diuretika yang kuat, dan pengeluaran cairan dengan dialisis. Patogenesis keseimbangan natrium dalam genesis hipertensi ginjal lihat skema. Retensi natrium Na+ dan sekresi rennin menyebabkan kenaikan volume plasma (VP), dan volume cairan Ekstra selular (VCES). Ekspansi VP akan mempertinggi tekanan pengisian jantung (cardiac filling pressure) dan cardiac output (COP). Kenaikan COP akan mempertinggi tonus arteriol (capacitance) dan pengecilan diameter arteriol sehingga tahanan perifir (resistensi) meningkat. Kenaikan tonus vaskuler arteriol akan menimbulkan aktivasi mekanisme umpan balik (feed back mechanism) sehingga akhirnya terjadi penurunan COP sampai mendekati batas normal tetapi kenaikan tekanan darah arterial (hipertensi) masih dipertahankan. Seperti diketahui, 7.3. Klasifikasi pembuluh darah perifir 7.4.