full version abnormalitas dikaji oleh lincud

20
Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Masalah. SALAH satu bidang lintas-budaya yang paling aktif adalah penyelidikan tentang peran budaya dalam memahami, penjangkaan (asesmen), dan perawatan (tritmen) terhadap perilaku abnormal. Ada beberapa tema yang memandu penelitian dan arah berpikir dalam psikologi abnormal. Yang pertama dan paling penting adalah pertanyaan yang menyangkut definisi abnormalitas: Apa itu perilaku abnormal? Rangkaian pertanyaan kedua adalah tentang kaitan antara perilaku abnormal dan kemampuan kita untuk mendeteksinya (penjangkaan atau asesmen). Pertanyaan ketiga terkait dengan bagaimana kita merawat perilaku abnormal saat perilaku tersebut terdeteksi. Pertanyaan-pertanyaan di atas punya relevansi khusus dalam kaitannya dengan budaya, karena budaya menambah-kan dimensi penting dalam pendekatan terhadap abnormalitas dan perawatannya (Marsella, 1979). Apakah definisi normalitas dan abnormalitas berbeda-beda secara lintas- budaya? atau apakah ada standar-standar yang universal untuk mengukur abnormalitas? Apakah masing-masing budaya memiliki tingkat perilaku abnormal yang berbeda-beda? Apakah perilaku abnormal diungkapkan dengan cara yang sama di semua budaya, atau apakah kita bisa menemukan pola-pola perilaku abnormal yang khas secara kultural? 1

Upload: muhammad-zubaidi

Post on 28-Nov-2015

84 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Full Version Abnormalitas Dikaji Oleh Lincud

Bab I

Pendahuluan

I.1 Latar Belakang Masalah.

SALAH satu bidang lintas-budaya yang paling aktif adalah penyelidikan tentang peran

budaya dalam memahami, penjangkaan (asesmen), dan perawatan (tritmen) terhadap

perilaku abnormal. Ada beberapa tema yang memandu penelitian dan arah berpikir

dalam psikologi abnormal. Yang pertama dan paling penting adalah pertanyaan yang

menyangkut definisi abnormalitas: Apa itu perilaku abnormal? Rangkaian pertanyaan

kedua adalah tentang kaitan antara perilaku abnormal dan kemampuan kita untuk

mendeteksinya (penjangkaan atau asesmen). Pertanyaan ketiga terkait dengan

bagaimana kita merawat perilaku abnormal saat perilaku tersebut terdeteksi.

Pertanyaan-pertanyaan di atas punya relevansi khusus dalam kaitannya dengan

budaya, karena budaya menambah-kan dimensi penting dalam pendekatan terhadap

abnormalitas dan perawatannya (Marsella, 1979). Apakah definisi normalitas dan

abnormalitas berbeda-beda secara lintas-budaya? atau apakah ada standar-standar

yang universal untuk mengukur abnormalitas? Apakah masing-masing budaya

memiliki tingkat perilaku abnormal yang berbeda-beda? Apakah perilaku abnormal

diungkapkan dengan cara yang sama di semua budaya, atau apakah kita bisa

menemukan pola-pola perilaku abnormal yang khas secara kultural?

Jawaban atas berbagai pertanyaan ini semakin dianggap penting selama dua

puluh tahun terakhir ini karena para psikolog dan profesional kesehatan mental

lainnya telah mempertanyakan kepekaan kultural metode-metode tradisional dalam

menjangkau dan merawat individu yang mengalami gangguan psikologis. Seperti akan

dipaparkan dalam makalah ini, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas memiliki

berbagai implikasi penting terhadap bagaimana kita mengidentifikasi dan memberi

intervensi untuk mengubah perilaku abnormal.

I.2 Rumusan Masalah.

Dari masalah diatas, kemudian penulis merumuskan kajian makalah ini

sebagai berikut:

1. Teori Abnormalta lintas-budaya :

Mendefinisikan abnormalitas

Pandangan tradisional terhadsp abnormalitas

1

Page 2: Full Version Abnormalitas Dikaji Oleh Lincud

Perasaan inferioritas dan kompetensi

Pandangan Lintas-budaya tentang Abnormalitas

Ekspresi Abnormal dari berbagai budaya

Variasi-variasi kultural Skizofrenia

Penjangkaan dan Perawatan perilaku Abnormal di Berbagai budaya;

I.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami lebih jauh

pandangan Lintas-budaya terhadap Abnormalitas.

Adapun mamfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Mengenal lebih jauh tentang Abnormalitas.

2. Memahami lingkungan sosial budaya yang memiliki pasndangan berbeda-beda

perihal abnormalitas.

3. Mengembangkan sikap bijak dalam menilai abnormalitas.

I.4 Metodelogi Penulisan

Metodelogi yang digunakan oleh penulis untuk meneliti adalah dengan

mengadakan studi literatur terhadap buku-buku yang menjadi sumber rujukan dalam

penulisan makalah ini.

I.5 Sistematika penulisan

BAB I PENDAHULUAN : Terdiri dari Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan

dan Manfaat penelitian, Metodelogi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II PEMBAHASAN : Psikologi Abnmormal Lintas-budaya, pandangan lintas-

budaya.

BAB III PENUTUP: Terdiri dari kesimpulan dan saran

BAB II

2

Page 3: Full Version Abnormalitas Dikaji Oleh Lincud

PEMBAHASAN

II.1 Mendefinisikan Abnormalitas

Seorang siswi SMA berada di tengah sekelompok siswa lainnya, namun tiba-tiba

siswi itu berbicara dengan suara keras, tanpa ditujukan pada siapa pun secara khusus,

diiringi dengan kata-kata dan bunyi-bunyian yang tak dimengerti oleh orang-orang di

sekitarnya. Beberapa saat setelah itu, ketika ditanya mengenai perilakunya, wanita itu

bercerita bahwa ia kerasukan roh seekor binatang dan bahwa ia berbicara dengan

seorang lelaki yang baru saja meningga dunia. Apakah perilaku siswi tersebut

abnormal? Dalam mendefinisikan perilaku abnormal, psikolog biasanya mengambil

salah satu di antara beberapa pendekatan yang berbeda, yang mencakup pendekatan

statistik dan aplikasi kriteria "kerusakan" (impairment) atau inefisiensi,

penyimpangan, dan distres (perasaan tertekan) subjektif.

Dari pendekatan perbandingan-statistik, perilaku siswi sekolah tersebut di atas

dapat didefinisikan sebagai abnormal karena kemunculannya jarang terjadi atau

langka. Tercerabut dari kesadaran akan lingkungan sekitar, mengalami delusi

(keyakinan salah) bahwa dirinya adalah seekor binatang, dan berbicara dengan orang

yang sudah meninggal bukanlah pengalaman yang sering terjadi. Salah satu persoalan

yang terkandung dalam pendekatan untuk mendefinisikan abnormalitas adalah bahwa

tidak semua perilaku yang jarang terjadi itu merupakan gangguan, dan tidak semua

gangguan perilaku itu jarang terjadi. Menciptakan komposisi sebuah konser dan

berbicara dalam empat bahasa adalah perilaku yang jarang ditemui tapi secara umum

dipandang sebagai hal yang amat baik. Sebaliknya, menenggak minuman beralkohol

sampai mabuk adalah hal umum di Amerika Serikat (dan di banyak negara lain), tapi

kondisi mabuk tidak banyak dipandang sebagai pertanda kemungkinan terjadinya

gangguan penyalahgunaan obat.

Pendekatan lain untuk mendefinisikan abnormalitas terpusat pada apakah

perilaku seorang individu bisa dianggap cacat atau tidak efisien dalam menjalani

peran-peran sehari-hari. Sulit membayangkan bahwa siswi yang digambarkan dalam

skenario di atas sedang menjalani fungsi normal sehari-hari merawat diri dan bekerja

sementara ia percaya bahwa dirinya adalah seekor binatang. Dalam kebanyakan

kasus, gangguan-gangguan psikologis memang melibatkan penurunan serius dalam

3

Page 4: Full Version Abnormalitas Dikaji Oleh Lincud

berfungsinya individu secara keseluruhan. Namun hal ini tak selalu berlaku. Beberapa

orang yang menderita gangguan bipolar (manic depresif) mengalami peningkatan

produktivitas selama episode-episode manik mereka. Bila kita meninjau perilaku

wanita di atas dari sudut pandang penyimpangan, kita mungkin juga akan

menyimpulkannya sebagai abnormal karena hal itu tampaknya berlawanan dengan

norma-norma sosial. Tapi tidak semua perilaku yang menyimpang secara sosial bisa

dianggap abnormal atau terganggu secara psikologis. Sebagai contoh, banyak orang

yang sampai sekarang menganggap homoseksualitas sebagai hal yang menyimpang,

meski hal itu tak lagi digolongkan sebagai gangguan mental (American Psychiatric

Association, 1987). Selain itu, meski beberapa kalangan dalam budaya kita sekarang

memandang homoseksualitas sebagai hal yang abnormal, beberapa budaya lain dan

dalam berbagai periode sejarah secara luas mempraktikkan dan mentoleransi

homoseksualitas. Menggunakan norma-norma sosial sebagai kriteria abnormalitas

mengandung persoalan, tak hanya karena norma bisa berubah seiring waktu, tapi juga

hal itu adalah sesuatu yang subjektif yang dipandang oleh seorang anggota

masyarakat sebagai menyimpang, mungkin disanggah oleh yang lain.

Mendefinisikan abnormalitas berdasarkan laporan subjektif tentang distres

juga mengandung persoalan. Apakah seseorang 'mengalami distres sebagai

konsekuensi dari perilaku abnormal mungkin tergantung pada bagaimana ia

diperlakukan oleh orang lain. Misalnya, bila Siswi dalam skenario di atas dicemooh,

dikucilkan, dan dipandang "sakit" karena perilakunya, sangat mungkin ia akan

mengalami distres. Sebaliknya, kalau ia dianggap memiliki kekuatan khusus dan ia

ada dalam lingkungan yang menerima, wanita itu mungkin sama sekali tidak akan

mengalami distres.

Seperti kita lihat, tiap-tiap pandangan tradisional yang dipakai oleh psikolog

memiliki kelebihan maupun kelemahan. Isu-isu ini menjadi bahkan lebih kompleks

lagi bila budaya juga turut diperhitungkan. Definisi-definisi abnormalitas bisa

bervariasi secara lintas-budaya maupun dalam suatu budaya.

II.2 Pandangan Lintas-budaya Terhadap Abnormalitas

Ketidakpuasan atas definisi-definisi tradisional tentang abnormalitas

mendorong beberapa peneliti lintas-budaya untuk berpendapat bahwa kita bisa

memahami dan mengidentifikasi perilaku abnormal hanya bila kita turut

4

Page 5: Full Version Abnormalitas Dikaji Oleh Lincud

memperhitungkan budaya. Sudut pandang ini menyatakan bahwa kita harus

menerapkan prinsip relativisme budaya pada abnormalitas. Sebagai contoh, perilaku

siswi dalam skenario di atas akan dipandang terganggu bila terjadi di suatu sudut jalan

di sebuah kota besar di A.S. Namun perilaku yang sama akan dipandang wajar dan

bisa dipahami bila terjadi dalam konteks suatu upacara spiritual di mana wanita itu

berperan sebagai seorang dukun. Budaya-budaya yang memiliki kepercayaan akan

adanya intervensi supranatural dapat membedakan dengan jelas antara kondisi-kondisi

trans dan berbicara dengan arwah bisa diterima, dengan ketika perilaku yang sama

akan dipandang sebagai tanda gangguan jiwa (Murphy,1976). Contoh budaya

semacam ini adalah budaya Yoruba di Afrika dan sebuah suku Eskimo di Alaska.

Beberapa perilaku, terutama yang terkait dengan psikosis (seperti delusi dan

halusinasi), secara universal dipandang sebagai abnormal (Murphy, 1976). Meski

demikian, beberapa peneliti (misalnya, Kleinman, 1988; Marsella, 1979, 1980)

berargumen bahwa abnormalitas dan normalitas adalah dua konsep yang bersifat

kultural. Peneliti-peneliti ini menggarisbawahi kenyataan bahwa tiap budaya berbeda

dalam keyakinan tentang dan sikap terhadap perilaku abnormal.

Laporan tentang distres subjektif untuk mendefinisikan abnormalitas juga

problematis ketika mempertimbangkan abnormalitas secara lintas-budaya. Ada

beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa kelompok-kelompok budaya mengalami

tingkat distres yang berbeda-beda dalam kaitannya dengan gangguan psikologis.

Sebagai contoh, Kleinman (1988) menguraikan penelitian yang mengindikasikan

bahwa individu-individu Cina dan Afrika yang depresi melaporkan bahwa mereka

mengalami lebih sedikit rasa bersalah dan malu dibanding individu Euro-Amerika dan

Eropa yang depresi. Namun individu Cina dan Afrika melaporkan lebih banyak

keluhan Somatik. Temuan-temuan ini mungkin mencerminkan perbedaan dalam

respons set, ada beberapa kelompok budaya yang menganut nilai-nilai yang menekan

orang untuk tidak melaporkan atau terlalu memperhatikan distres subjektif. Ini

berbeda dengan nilai orang Barat yang mementingkan pengungkapan diri.

II.3 Ekspresi Abnormalitas di berbagai Budaya.

Banyak kajian lintas-budaya tentang abnormalitas memusatkan perhatian pada

pertanyaan apakah tingkat dan manifestasi gangguan-gangguan psikologis berbeda

secara lintas-budaya. Dua gangguan yang paling banyak mendapat perhatian adalah

5

Page 6: Full Version Abnormalitas Dikaji Oleh Lincud

skizofrenia dan depresi, biasanya diteliti menggunakan kriteria diagnostik dan

prosedur-prosedur penjangkaan yang dikembangkan oleh psikologi dan psikiatri

Barat. Pada dasarnya, pendekatan ini bisa dikatakan sebagai pendekatan "etik" yang

mengasumsikan adanya definisi abnormalitas dan metodologi yang diterima secara

universal .

Berseberangan dengan pendekatan etik pada kajian lintas-budaya atas

abnormalitas, ada beberapa laporan etnografis yang menggambarkan sindrom-

sindrom terikat-budaya (culture-bound), yaitu bentuk-bentuk perilaku abnormal yang

hanya ada di lingkungan sosiokultural tertentu. Temuan-temuan tentang adanya

perbedaan lintas-budaya dalam tingkat kemunculan dan riwayat gangguan, serta

adanya bentuk-bentuk gangguan yang khas secara budaya, menjadi indikasi

pentingnya budaya dalam memberi bentuk pada ekspresi perilaku abnormal.

II.4 Berbagai variasi Kultur terhadap gangguan Skizofrenia

Skizofren merupakan bagian dari kelompok gangguan psikotik yang dicirikan

oleh adanya distorsi realitas yang menyeluruh; penarikan diri dari interaksi sosial dan

kacaunya organisasi persepsi, pikiran dan emosi (Carson, Butcher& Coleman, 1988,

hal.322), definisi tersebut merupakan pandangan tradisional tentang skizofren.

Beberapa teori yang mengungkapkan tentang etiologi (penyebab) skizofren

menekankan pada peran faktor-faktor biologis yang di alami pasien. Dalam teori

lainya latar belakang terjadinya skizofren ada dinamika keluarga seperti ekspresi

permusuhan pada orang yang sakit. Model disteses-stres tentang skizofrenia

menyatakan bahwa idividu dengan predisposisi biologis terhadap gangguan diatesis

memiliki kemungkinan untuk mengalami gangguan setelah ditimpa stresor dari

lingkungan.

Para peneliti mencatat banyaknya perbedaan lintas-budaya dalam ekspresi

gejala. Pasien-pasien dari negara Denmark atau Nigeria lebih menunjukan gejala

hilangnya daya pikir rasinal dan halusinasi suara dibandingkan dengan pasien –pasien

dari negara Amerika Serikat. Fakta ini terkait dengan perbedaan-perbedaan kultural

dalam nilai yang diasosiasikan dengan adanya daya pikir rasional dan kesadaran-diri

yang terdapat dalam budaya Amerika dan sangat dihargai lebih dari negara lainnya.

Selain itu terdapat perbedaan dalam toleransi terhadap jenis gejala-gejala tertentu.

Dalam budaya nigeria, orang yang mengalami skizofrenia secara keseluruhan lebih

6

Page 7: Full Version Abnormalitas Dikaji Oleh Lincud

menerima adanya gejala halusinasi suara. Namun pasien-pasien di Nigeria dan

Denmark lebih banyak yang mengalami katatonia atau penarikan diri dari kecemasan

yang ekstrem.

Kleiman (1988) dan Leff (1981) mendiskusikan beberapa permasalahan

mengenai metodologis yang terkandung dalam penelitian WHO, seperti alat

penjangkaan penelitian yang gagal menangkappengalaman dan ekspresi gangguan

yang unik secara budaya. Kleinman juga mencatat bahwa sampel yang terambil

bersifat artifisial dan homogen karena kriteria seleksi yang dipakai. Ia berpendapat

bahwa perbedaan lintas-budaya yang ditemui mungkin akan lebih banyak lagi bila

heterogenitas atau keragaman sampelnya tidak dikurangi.

Beberapa perbandingan lintas-budaya lainnya menemukan bukti adanya

variasi kultural dalam tingkat kemunculan dan ekspresi skizoftrenia. Murphy

menemukan bahwa tingkat kemunculan skizofrenia di Irlandia empat kali lebih tinggi

dibandingkan Inggris dan Wales. Berbagai temuan ini menunjukan bahwa beberapa

ciri khas budaya Irlandia seperti rasa humor yang tajam. Ambivalensi terhadap

individualitas mungkin merupakan penjelasan atas perbedaan kultural di atas. Dalam

sebauah penelitian awal terhadap kasus-kasus psikiatri di New York, Opler dan Singer

menemukan bahwa pasien skizofren berlatar belakang Irlandia-Amerika lebih

mungkin mengalami delusi paranoid dari pada pasien skizofrenia berlatarbelakang

Italia-Amerika. Para peneliti ini menunjuk pada variasi kultural dalam cara

pengasuhan orang tua untuk menjelaskan perbedaan tersebut. Sebuah penelitian

tentang penderita skizofren Jepang mengindikasikan bahwa, dibandingkan dengan

penderita Euro-Amerika, mereka lebih sering menarik diri dan menjadi pasif, yang

sejalan dengan nilai-nilai budaya mereka.

II.5 Variasi kultural dalam Depresi

Gangguan Depresif melibatkan gejala-gejala ”kesedihan, perasaan tak berguna

dan tak berharga, dan penarikan diri dari orang lain yang intens”(Sue, Sue,&Sue

1990, hal 325). Gangguan depresi juga sering disertai perubahan-[erubahan fisik

seperti gangguan tidur dan makan(Berry, Poortingan, Segall,& Dasen, 1992). Seperti

halnya skizofren, depresi juga merupakan salah satu gangguan psikologi yang paling

umum di Amerika Serikat. Dalam pendidikan berskala luas, Myres dkk.(1984)

7

Page 8: Full Version Abnormalitas Dikaji Oleh Lincud

menemukan bahwa 3% dari populasi laki-laki dan 7% dari populasi wanita dewasa

pernah mengalami gangguan depresif dalam kurun waktu enam bulan terakhir.

Pandangan lintas-budaya tentang Depresi mencatat banyak variasi dalam

gejala. Ada kelompokkelompok budaya seperti nigeria yang cenderung lebih jarang

mengalami perasaan tak berharga yang ekstrem. Beberapa budaya lain seperti Cina

lebih sering melaporkan keluhan-keluhan somatik atau tubuh(kleinman, 1988).

Seperti skizofren, tingkat kemunculan depresi juga bervariasi dari satu budaya ke

yang lainnya(marsella,1989).

Leff (1977) berpendapat bahwa tiap budaya berbeda dalam memilah-milah dan

menyampaikan terminologi emosional, dan kaerna itu pula dalam bagaimana mereka

mengalamim dan mengekspresikan depresi hal ini mungkin dapat menjelaskan

mengapa ada beberapa kelompok budaya yang menekankan keluhan somatik dalam

ekspresi depresi mereka.

Sebelumnya Kleinman (1978) menyatakan bahwa penyakit depresif

mencerminkan suatu gangguan yang biologis sedangkan pengalaman depresif

mengacu pada pengalaman personal dan sosial dari depresi. Meski Kleinman

menerima gagasan bahwa penyakit depresi itu universal, ia berpendapat bahwa

ekspresi dan jalannya penyakit itu ditentukan secara kultural.

Marsella (1979,1980) juga mendukung pandangan yang relatif secara kultural

tentang depresi. Ia menyatakan bahwa depresi akan mengambil bentuk yang

menekankanpada perasaan (afektif) di budaya-budaya dengan orientasi objektif yang

kuat (yakni budaya-budaya yang menekankan individualisme). Dalam budaya-budaya

ini, perasaan kesepian dan isolasi akan mendominasi gambaran gejala yang muncul.

Gejala-gejala somatik seperti sakit kepala akan dominan di budaya-budaya yang

subjektif(yang memiliki struktur yang lebih komunal). Marslla (1979) juga

mengusulkan bahwa pola-pola gejala depresif akan berbeda secara lintas-budaya

karena adanya variasi kultural dalam sumber stres serta sumber daya yang ada untuk

menghadapinya.

II.6 Beberapa Syndrom yang terikat budaya

Bukti paling kuat untuk menerapkan relativisme kultural pada abnormalitas

datang dari laporan-laporan etnografis tentang beberapa sindrom yang culture-bound

atau terikat budaya. Dengan mengandalkan pendekatan-pendekatan Khas-budaya,

8

Page 9: Full Version Abnormalitas Dikaji Oleh Lincud

termasuk penyelidikan etnografis atas perilaku dalam suatu konteks budaya yang

spesifik, antropolog dan psikiater telah menemukan beberapa bentuk gangguan

psikologi yang unik. Ada kemiripan gejala antara bentuk gangguan psikologis yang

khas budaya ini dengan dengan gejala-gejala dari ganguan-ganguan yang biasa

ditemui di berbagai budaya.

Sindrom terikat budaya yang paling banyak muncul dapat ditemui di beberapa

negara di Asia (Malaysia, Filiphina, dan Thailand). Amok adalah suatu gangguan

yang memiliki ciri meluapnya amarah dan agresi untuk membunuh yang datang tiba-

tiba. Gangguan ini di anggap sebagai akibat dari stres, kurang tidur dan konsumsi

alkohol (Carson dkk.,1988) dan terutama terjadi pada laki-laki. Amok terjadi dalam

beberapa tahap, mulai dari penarikan diri yang ekstrem sebelum muncel perilaku

menyerang, sampai kelelahan dan amnesia setelahnya. Istilah dalam bahasa Inggris

”running amok” berasal dari gangguan ini.

Witiko (atau dikenal juga sebagai windigo) adalah gangguan yang ditemui

pada orang-orang Indian Algonquin di Kanada, orang yang mengalaminya merasa

dirasuki oleh arwah witiko(monster pemakan manusia). Perilaku kanibalistik mungkin

akan muncul, disertai dengan pikiran untuk bunuh diri guna menghindari dorongan

kanibalistik tersebut (Carson dkk., 1988).

Anorexia nervosa adalah gangguan yang muncul di Barat tapi belum ada di

negara-negara Dunia Ketiga(Swartz, 1985). Gangguan ini cirinya aalah citra tubuh

yang terdistorsi, ketakutan menjadi gemuk, dan berkurangnya berat badan secara

drastis akibat menahan diri tidak makan atau memuntahkan makanan. Ada beberapa

faktor yang dipandang sebagai kemungkinan penyebab gangguan ini, termasuk

penekanan kultural pada kelangsingan tubuh perempuan ideal, peran seks yang

terikat, dan ketakutan individual akan kehilangan kendali diri atauketakutan terhadap

tanggung jaeab masa dewasa.

Pfeiffer (1982) memaparkan empat dimensi untuk memahami sindrom terikat-

budaya. Menurutnya, wilayah-wilayah stres yang khas budaya mungkin berperan

dalam memunculkan sindrom-sindrom tersebut. Wilayah sttres ini meliputi struktur

keluarga dan sosial serta konndisi-kondisi ekologis. Skema klasifikasi barat saat ini

tak mungkin dipakai untuk memahami simdrom-sindrom terikat-budaya karena hal ini

dialami dari sudut pandang yang berbeda secara kualitatif. Mereka berpendapat bahwa

budaya memberi bentuk pada gangguan psikologi yang dialami, menentukan ekspresi

gejala-gejala gangguan yang universal serta berperan dalam memunculkan gangguan

9

Page 10: Full Version Abnormalitas Dikaji Oleh Lincud

khas budaya. Kleinman dan Marsella melangkah sedikit jauh dengan menyatakan

bahwa pengakuan atas peran budaya dalam membentuk perilaku abnormal

mensyaratkan pada kita untuk mengkaji ulang cara kita menjangka dan merawat

individu yang mengalami gangguan psikologis.

Penjangkaan (asesmen) dan perawatan perilaku abnormal di Berbagai Budaya

Penjangkaan perilaku abnormal mencakup identifikasi dan menggambarkan gejala-

gejala seorang individu dalam konteks lingkungan dan tingkat keberfungsian orang

terebut secara umum (Carson dkk., 2988, hal.531). alat dan metode penjangkaan

seharusnya peka terhadap pengaruh-pengaruh kultural dan lingkungan lainnya

terhadap pegnaruh-pegnaruh kultural dan keberfungsian individu.

Pada umumnya berbagai teks psikologi sudah bagus dalam menguraikan metode-

metode penjangkaan trdisional : berbagai tes psikologi, skema-skema klasifikasi dan

diagnostik, prosedur wawancara dan observasi. Pendekatan-pendekatan yang berbeda

dalam merawat gangguan psikologi juga dipaparkan secara memadai, termasuk

pendekatan terapi psikoanalisis, perilakuan dan humanistik.

Dalam sebuah penelitian awal tentang perbedaan etnis dalam respon terhadap

pelayanan kesehatan mental standar di daerah Seattel, Sue (1977) menemukan bahwa

orang Asia, Amerika dan Indian Amerika lebih jarang memanfaatkan pelayanan

kesehatan mental di banding orang Afrika Amerika dan Amerika kulit putih, Sue juga

menemukan bahwa semua kelompok diatas kecuali orang Amerika kulit putih,

memiliki tingkat drop out yang tinggi serta hasil perawatan yagn relatif lebih buruk.

Sebuah penelitian lain di daerah Los Angels juga menghasilkan temuan yang serupa.

Sue menyimpulkan bahwa pemanfaatan yang minim serta tingkat drop out yang tinggi

ini disebabkan oleh ketidakpekaan kultural metode-metode perawatan standar.

Dalam upaya ke arah pelayanan yang lebih sesitif budaya, Sue dan beberapa

orang lain menyarankan agar metode-metode perawatan yang dimodifikasikan untuk

lebih mencocokan dengan pandangan dunia dan pengalaman klien dari berbagai

budaya. Misalnya, pendekatan psikoanalisis di dasarkan pada pandangan dunia yang

menagasumsikan adanya konflik-konflik tak sadar (biasanya bersifat seksual) yang

memunculkan perilaku abnormal. Mungkin saja pandangan dunia ini mencerminkan

pengalaman wanita kelas atas Austria yang dirawat Freud dan menjadi dasar banyak

asumsi teoritisnya, tapi pandangan dunia seperti ini mungkin tak sesuai bila

diterapkan pada budaya-budaya yang mengatribusikan perilaku abnormal pada faktor-

faktor alami (seperti fisik atau ketidak harmonisan dengan lingkungan) atau sebab

10

Page 11: Full Version Abnormalitas Dikaji Oleh Lincud

supranatural seperti kemasukan arwah. Sistem-sistem penyembuhan dan pengobatan

kultural menjadi efektid justru karena bekerja dalam kerangka pandangan dunia yang

sesuai (Tseng & McDermott, 1981), karena itu suatu upacara spiritual yang dilkukan

dukun asli mingkin akan terbukti sebagai perawatan yang lebih efektif atas sindrom

terikat budaya seperti susto ketimbang pendekatan kognitif-behavioral. Terdapat

serangkaian penelitian tentang preferensi atas pendekatan terapeutik pada berbagai

populasi etnis di Amerika yang mengindikasikan bahwa klien-klien non-kulit putih

cenderung lebih menyukai terapi yang berorientasi tindakan daripada pendekatan

yang non-direkif seperti terapi psikoanalisis dan humanistik (Sue&Zane, 1987). Ada

juga indikasi bahwa klien-klien dari beragam latar belakang budaya lebih senang

bekerja dengan terapis dari latar belakang budaya dan gender yang sama. Namun

demikian, penelitian yang lebih baru menunjukan bahwa kesamaan dalam pandangan

dunia dan sikap tapaknya lebih oenting daripada kesamaan etnis. Status akulturasi

menentukan respon seseorang terhadap terapi. Orang Amerika, Asia Amerika serta

Meksiko Amerika (Atkinson dkk, 1992) memandang bahwa konselor-konselor yang

”peka budaya” lebih bermutu dan kompeten untuk melakukan perawatan lintas-

budaya. Intervensi yang khas-budaya menjadi fokus pembahasan diskusi lintas

budaya tentang perilaku abnormal akhir-akhir ini. Beberapa format perawatan khas-

budaya sudah ditulis dalam litelatur, termasuk terapi Naikan dan Morita di Jepang dan

espiritismo yang dipraktikan di beberapa kalangan di Puerto Rico. Pendekatan-

pendekatan ini biasanya akan terasa amat ”asing” bagi kebnyakan orang Amerika.

Misalnya, dalam terapi naikan ada suatu ”proses pengobatan terus-menerus yang

didasarkan pada instruksi observasi-diri dan refleksi –diri yang sangat trerstruktur”

(Murse, 1986, hal. 389). Pasien yang biasanya ditempatkan di area duduk yang

sempit, berlatih meditasi sejak dini hari (sekitar 5.30 pagi) sampai petang.

Pewawancara akan berkunjung setiap 90 menit untuk mendiskusikan kemajuannya,

bisanya selama sekitar lima menit, pasien akan diminta untuk memeriksa dirinya

sendiri secara teliti, seperti penuntut yang akan memeriksa seorang terdakwa.

11

Page 12: Full Version Abnormalitas Dikaji Oleh Lincud

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

dan saran.

Daftar Pustaka

12

Page 13: Full Version Abnormalitas Dikaji Oleh Lincud

13