frh
DESCRIPTION
frhTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. R
Jenis kelamin : Permpuan
Usia : 42 tahun
Agama : Islam
Suku bangsa :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat : Kampung Pondok Ranggon RT 004/06 No 45, Jakarta Timur
Status marital : Menikah
Tanggal masuk RS : 29 April 2015
Tanggal pemeriksaan : 3 Mei 2015
II. ANAMNESIS ( Autoanamnesis & Alloanamnesis)
Keluhan Utama
Kedua kaki terasa lemah dan sulit untuk digerakkan sejak 1 minggu SMRS
Keluhan Tambahan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS POLRI dengan keluhan nyeri kepala secara
menyeluruh sejak 1 bulan SMRS, awalnya nyeri yang dirasakan hanya saat pasien
dalam keadaan sujud dan akan menghilang dengan sendirinya (yaitu tidak dalam
posisi sujud). Namun nyeri tersebut bertambah intensitasnya dengan waktu yang tidak
tertentu sejak 2 minggu SMRS, walaupun pasien dalam keadaan istirahat nyeri
tersebut masih dapat muncul sehingga terkadang pasien sulit untuk melanjutkan
aktivitasnya. Nyeri yang dirasakan seperti tertekan di bagian seluruh kepala, hilang
timbul dan tidak terdapat pemicu yang spesifik. Pasien juga merasakan adanya rasa
nyeri pada bagian wajah (pipi kanan & kiri), kening sejak 3 bulan SMRS yang hilang
timbul, ia juga merasanya adanya rasa seperti penuh bagian wajah karena nyeri yang
dialaminya.
Selain itu suami dari pasien mengaku bahwa anggota gerak badan yaitu tangan
dan kaki bagian kanan terasa lebih lemah dari sebelumnya, yang dirasakan sejak 2
minggu SMRS. Hal ini dialami dari hari ke hari semakin lemah, sehingga membuat
pasien sulit untuk melanjutkan aktivitas dan pasien juga sulit untuk berjalan. Suami
dari pasien juga merasakan bahwa ekspresi muka bagian kanan pasien lebih tertinggal
dibandingkan yang kiri (khususnya bagian mulut), hal ini dirasakan sejak 2 minggu
SMRS. Pasien juga memiliki adanya gaya berbicara yang tidak seperti biasanya
(seperti cadel) sejak 1 minggu SMRS, sehingga terkadang suami pasien sulit untuk
menginterpretasikan omongan dari pasien.
Selain itu suami pasien juga mengatakan bahwa 2 minggu belakangan ini
BAK pasien sulit terkontrol sehingga pasien sering sekali mengompol di luar kendali,
walaupun frekuensi BAK pasien masih termasuk dalam batas normal (4-5 kali sehari)
dengan warna kuning jernih tanpa ada darah. BAB pasien dalam batas normal. Karena
keluhan-keluhan tersebut, membuat suami pasien membawa pasien ke RS Siloam, dan
sempat dirawat inap selama 1 malam dan dilakukan pemeriksaan MRI kepala serta
foto rontgen bagian dada. Namun pasien memutuskan pulang paksa dan berpindah ke
RS POLRI, dikarenakan status ekonomi.
Suami pasien mengaku bahwa pasien belum pernah mengalami gejala-gejala
tersebut sebelumnya. Dan selama gejala yang dialami, pasien belum pernah
mengobatinya. Pasien menyangkal adanya penurunan kesadaran (pingsan) sebelum
atau selama gejala yang dialami. Ia juga menyangkal adanya muntah tiba-tiba tanpa
adanya rangsangan. Pasien menyangkal adawanya riwayat kejang sebelumnya. Ia juga
menyangkal adanya demam, batuk lama, sesak nafas, keringat malam, ataupun
penurunan berat badan atau nafsu makan sebelumnya. Pasien juga menyangkal
adanya riwayat infeksi sebelumnya seperti infeksi telinga, hidung, ataupun gigi.
Suami dari pasien mengatakan bahwa pasien tidak pernah memiliki penyakit apapun
sebelumnya, sehingga pasien juga tidak pernah diopname selama hidupnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi
- Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit jantung
- Pasien menyangkal adanya riwayat Diabetes Melitus
- Pasien menyangkal adanya riwayat trauma
- Pasien menyangkal adanya riwayat kejang
- Pasien menyangkal adanya riwayat infeksi yang lama
- Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit paru
- Pasien menyangkal adanya riwayat alergi
- Pasien menyangkal adanya riwayat opname
- Pasien menyangkal adanya riwayat penggunaan obat-obatan dalam jangka lama
Riwayat Penyakit Keluarga
-Tidak ada anggota keluarga yang mengalami gejala seperti pasien.
- Riwayat keganasan, darah tinggi, kencing manis, kolesterol, dan kelainan jantung
pada keluarga disangkal.
Riwayat Kebiasaan / Pola Hidup
- Pasien tidak merokok, meminum alkohol, atau mengkonsumi obat- obatan terlarang
- Pola makan : makan teratur setiap hari (daging, sayur)
- Pola olahraga : senam seminggu sekali (sudah dijalankan selama setahun)
III. PEMERIKSAAN FISIK (9 April 2015)
a) Status Generalisata
Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS: 15 ( E4 M6 V5))
Tekanan darah: 130/80 mmHg
Nadi : 72 x/menit
Pernapasan : 20x /menit
Suhu : 36,8°C
Kepala : Normocephal, tidak terdapat jejas, distribusi rambut merata.
Mata :
- Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
- Pupil Æ : 3mm / 3mm, isokor
- Refleks cahaya langsung, tidak langsung ++/++
Telinga :
- Aurikula normal, serumen -/-, hiperemis -/-
Hidung :
- Bentuk normal, septum nasi di tengah, tidak ada luka dan perdarahan.
Mulut :
- Bibir deviasi ke kanan, lidah deviasi ke kanan, bibir, gusi, lidah, dan
faring berwarna merah muda; papil lidah (+); hipertrofi gusi (-) cheilosis(-);
uvula di tengah; pharinx hiperemis (-); tonsil T1/T1
Leher :
- Tidak ada luka, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
Thorax :
- Inspeksi à simetris dalam keadaan statis/dinamis
- Palpasi à fremitus normal, kanan = kiri
- Perkusi à sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi
à jantung : S1 dan S2 normal, murmur (-), gallop (-)
à paru : bunyi vesikuler, wheezing (-), ronchi (-)
Abdomen :
- Inspeksi : datar, kaput medusa(-).
- Auskultasi : bising usus (+)
- Perkusi : timpani di 9 regio abdomen
- Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+) ; hepar dan lien tidak teraba
Punggung :
- Tidak terdapat luka dan deformitas.
Ekstremitas :
- Akral hangat, bentuk normal, tidak terdapat deformitas, cyanosis, bekas luka
maupun benjolan. Capillary refill time < 2 detik.
b) Status Neurologis
Tanda rangsang meningeal :
Kaku kuduk : (-)
Laseque : (-)
Kernique : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Brudzinski III : (-)
Brudzinski IV : (-)
Saraf kranialis:
- Nerve I (Olfactorius) :
Tidak ada kelainan
- Nerve II (Opticus) :
OD / OS : Visus dalam batas normal. Refleks cahaya langsung dan tak
langsung dalam batas normal.
- Nerve III (Okulomotor), IV (Troklearis), VI (Abdusen) :
Celah kelopak mata normal, tidak ada ptosis.
Pupil bulat, isokor Æ : 3mm / 3mm
Pergerakan kedua bola mata normal.
- Nerve V (Trigeminal)
Sensorik :
V1 : Normal.
V2 : Normal.
V3 : Normal.
Motorik :
Menggigit : tidak maksimal, mulut bagianan kanan lebih tertinggal.
Membuka rahang : baik
- Nerve VII (Facialis)
Sensorik :
Pengecapan 2/3 ant lidah : Baik.
Motorik :
Mengangkat alis : bagian kanan sedikit tertinggal
Mengembung pipi : kekuatan mencembungkan pipi pada sebelah
kanan lebih lemah daripada yang kiri.
Mencucu : terdapat kelemahan bibir ke kanan
Meringis : terdapat kelemahan bibir ke kanan
- Nerve VIII (Vestibulocochlear)
Gesekkan jari AD / AS : baik
Rinne Test : +
Post-pointing tangan kanan&kiri: baik
- Nerve IX (Glosofaringeal)
Sensorik :
Pengecapan 1/3 posterior lidah baik.
Motorik :
Refleks menelan baik.
- Nerve X (Vagus)
Tidak terdapat disfonia maupun disfagia.
Refleks muntah : Baik.
Arkus faring : Simetris.
Letak uvula : Di tengah.
- Nerve XI (Asesorius)
Mengangkat bahu : bahu bagian kanan tertinggal
Memalingkan kepala : Baik.
- Nerve XII (Hipoglosus)
Deviasi lidah : deviasi ke kanan
Atrofi/fasikulasi/tremor lidah : (-) / (-) / (-)
Artikulasi : kurang jelas
Pemeriksaan Motorik
- Kekuatan Motorik:
3333 5555
3333 5555
- Tonus :
- Trofi:
Lokasi Kanan Kiri
Ekstremitas atas Eutrofi eutrofi
Ekstremitas bawah Eutrofi eutrofi
- Refleks fisiologis:
Ekstremitas Atas
Biceps : +2 / +2
Triceps : +2 / +2
Ekstremitas Bawah
Patella : +2/ +2
Achilles : +2 / +2
- Refleks patologis:
Ekstremitas Atas
Hoffman : + / -
Trommer : +/ -
Ekstremitas Bawah
Babinski : + / -
Lokasi Kanan kiri
Ekstremitas atas Normotonus normotonus
Ekstremitas bawah Normotonus normotonus
Schaefer : + / -
Chaddock : + / -
Oppenheim : + / -
Gordon : + / -
Klonus
Patella : - / -
Achilles : - / -
- Pemeriksaan sensorik:
Ekstremitas Atas
Raba : Normoestesia/Normoestesia
Nyeri : Normoalgesia/Normoalgesia.
Getar : Tidak diperiksa.
Suhu : Tidak diperiksa.
Propioseptif : Normal.
Diskriminasi dua titik : Normal.
Ekstremitas Bawah
Raba : Normoestesia/Normoestesia.
Nyeri : Normoalgesia/Normoalgesia.
Getar : Tidak diperiksa.
Suhu : Tidak diperiksa.
Propioseptif : Normal.
Diskriminasi dua titik : Normal.
- Otonom
Buang air besar : Normal.
Buang air kecil : abnormal (incontinense)
Berkeringat : Normal.
- Fungsi Luhur
Memori : Baik.
Kognitif : Baik.
Bahasa : Baik.
- Pemeriksaan Koordinasi
Disdiadokinesia : -
Tes telunjuk hidung: Baik.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 06/04/2015 (SILOAM HOSPITAL)
Laboratorium 07/04/2015
(SILOAM HOSPITAL)
Laboratorium 08/04/2015 (RS. POLRI)
Pemeriksaan CT-scan kepala dengan
kontras (6 April 2015)
o Lesi lobulated kistik kental ring
enhancement multiple tersebar
mencakup white matter lobus
frontal kiri, corona radiata kiri
dan lobus temporal kiri
(diameter kisaran +/- 0,5 sampai
4,5 cm
Lesi-lesi tersebut disertai edema perifokal finger like
mengakibatkan deviasi midline ke kanan, obliterasi ventrikel
lateralis kiri kanan dan III serta pendesakan struktur intracranial
hemisfer kiri cerebri
o Gambaran meningitis
o Edema cerebri
o Sinusitis frontalis kanan, maksilaris kanan, dan ethmoidalis kanan kiri
Pemeriksaan Thorax
Kesan (6 April 2015):
COR tidak membesar
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
Corakan bronchovaskular paru kasar
Fibrosis di lapangan tengah paru kanan
Diafragma licin, sinus costrofrenikus lancip
Tulang-tulang costae baik
à Proses spesifik paru kanan
V. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Hemiparese dextra,Cephalgia, sinusitis
Diagnosis Topis: Hemisphere sinistra, sinus frontalis dextra, sinus ethmoidalis
dextra, sinus maxilaris dextra & sinistra
Diagnosis Etiologi: Sinusitis (infeksi perkontuinatum)
VI. DIAGNOSIS BANDING
Tumor Otak Sekunder / Metastasis
VII. TATALAKSANA
Umum
a. Observasi tanda-tanda vital (tekanan darah, suhu, nadi, respiratory rate)
b. Breathing: menjaga oksigenisasi dan ventilasi baik; penghisapan lendir
jika ada
c. Brain: pengendalian peninggian tekanan intra kranial; memonitor adanya
muntah proyektil, bradikardia relatif, maupun nyeri kepala; menghindari
hipertermia; pengendalian kejang.
d. Bladder: menjaga agar output urin tetap lancar; jika ada retensio urin
dipasang kateter.
e. Bowel: menjaga nutrisi seimbang (25-30 kkal/kgBB/hari) dan pencegahan
adanya obstipasi
Khusus
Medikamentosa
i. Antibiotika : Inj.Ceftriaxone 1x2gr
ii. Neuroprotektor : inj.Citicolin 1x2 amp
Inj.Metycobalamin 3x1 amp
iii. Steroid : Inj. Dexamethason 3x 1 amp
iv. Obat-obatan untuk pencegahan gejala lain
1. Ranitidin 3x50 mg injeksi
Nonmedikamentosa: pengendalian faktor resiko
VIII. ANALISA KASUS
TEORI KASUS
Definisi :Perjalanan penyakit progresif dan terdapat riwayat infeksi
Progresif :Anggota gerak (tangan dan kaki kanan) terasa lebih lemah dari sebelumnya, yang dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Hal ini dialami dari hari ke hari semakin lemah, sehingga membuat pasien sulit untuk melanjutkan aktivitas dan pasien juga sulit untuk berjalanRiwayat infeksi :Sebelumnya pasien mengaku tidak pernah mengalami riwayat infeksi, namun dapat dilihat berdasarkan gejala yang dialami pasien
Etiologi :(penyebaran hematogen, penyakit immunologic, sinusitis, otitis, mastoiditis, dll)
Berdasarkan gejala :Sinusitis à Pasien juga merasakan adanya rasa nyeri pada bagian wajah (pipi kanan & kiri), kening sejak 3 bulan SMRS yang hilang timbul, ia juga merasanya adanya rasa seperti penuh bagian wajah karena nyeri yang dialaminyaSinusitis (2 major / 1 major + 2 minor)Major : nyeri wajah/ rasa tertekan, onstruksi nasal, penghidu menurun, wajah terasa penuh/kongesti, sekret nasal (purulent), pus pada rongga nasal)Minor : demam, fatigue, halitosis, nyeri gigi, nyeri/tekanan pada telinga)
Manifestasi & Pem.Fisik:Tanda defisit neurologis (fokal )
-Hemiparese dextra- Disartria- NC : parese NC V motoric, NC VII motoric, NC XI, NC XII- Motorik :
3333 5555
3333 5555
- Reflex Patologis :
- Ekstremitas Atas
- Hoffman : + / -
- Trommer : +/ -
- Ekstremitas Bawah
- Babinski : + / -
- Schaefer : + / -
- Chaddock : + / -
- Oppenheim : + / -
- Gordon : + / -
Pemeriksaan Penunjang :
MRI dengan kontras- Lesi lobulated kistik kental ring
enhancement multiple tersebar mencakup white matter lobus frontal kiri, corona radiata kiri dan lobus temporal kiri (diameter kisaran +/- 0,5 sampai 4,5 cm
- Lesi-lesi tersebut disertai edema perifokal finger like mengakibatkan deviasi midline ke kanan, obliterasi ventrikel lateralis kiri kanan dan III serta pendesakan struktur intracranial hemisfer kiri cerebri
- Gambaran meningitis
- Edema cerebri
- Sinusitis frontalis kanan, maksilaris kanan, dan ethmoidalis kanan kiri
Tatalaksana :
Konservatif > Operatif à Abses multiple
- Medikamentosan :
i. Antibiotika:
Inj.Ceftriaxone 1x2gr
ii. Neuroprotektor:
inj.Citicolin 1x2 amp
Inj.Metycobalamin 3x1 amp
iii. Steroid :
Inj. Dexamethason 3x 1 amo
iv. Obat-obatan untuk pencegahan
gejala lain
1. Ranitidin 3x50 mg injeksi
ABSES SEREBRI
I. DEFINISI
Abses serebri adalah infeksi purulen pada parenkim otak yang diikuti
kerusakan jaringan dan edema di sekitarnya serta terdapat lesi desak ruang . Pada
umumnya soliter tetapi ada kalanya terdapat abses multilokular akibat emboli septik
dari bronkiektasis. Kebanyakan abses terletak di hemisfer serebri, 20-30% berlokasi
di serebelum dan hampir tidak pernah bersarang di batang otak.
II. EPIDEMIOLOGI
Menurut Britt, Richard et al., penderita abses otak lebih banyak dijumpai pada
laki-laki daripada perempuan dengan perban-dingan 3:1 yang umumnya masih usia
produktif yaitu sekitar 20-50 tahun.
Yang SY menyatakan bahwa kondisi pasien sewaktu masuk rumah sakit
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi rate kematian. Jika kondisi pasien
buruk, rate kematian akan tinggi.
Hasil penelitian Xiang Y Han (The University of Texas MD. Anderson Cancer
Center Houston Texas) terhadap 9 penderita abses otak yang diperolehnya selama 14
tahun (1989-2002), menunjukkan bahwa jumlah penderita laki-laki > perempuan
dengan perbandingan 7:2, berusia2 sekitar 38-78 tahun dengan rate kematian 55%.
Demikian juga dengan hasil penelitian Hakim AA. terhadap 20 pasien abses
otak yang terkumpul selama 2 tahun (1984-1986) dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya,
menunjukan hasil yang tidak jauh berbeda, dimana jumlah penderita abses otak pada
laki- laki > perempuan dengan perbandingan 11:9, berusia sekitar 5 bulan - 50 tahun
dengan angka kematian 35% (dari 20 penderita, 7 meninggal).
III. FAKTOR ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI
Berdasaran bakteri penyebab, maka etiologi dari abses otak dapat dibagi menjadi:
1. Organisme aerobik:
Gram positif : Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus
Gram negatif : E. coli, Hemophilus influenza, Proteuss, Pseudomonas
2. Organisme anaerobic : B. fragilis, Bacteroides sp, Fusobacterium sp, Prevotella
sp, Actinomyces sp, dan Clostridium sp.
3. Fungi : Kandida, Aspergilus, Nokardia
4. Parasit : E. histolytica, Schistosomiasis, Amoeba
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga tengah,
sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries).
• Abses dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru sistemik
(empyema, abses paru, bronkhiektase, pneumonia), endokarditis bakterial akut
dan subakut dan pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses
multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari jaringan otak). Abses otak
yang penyebarannya secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan
peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri media terutama lobus
parietalis, atau cerebellum dan batang otak.
• Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti AIDS,
penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh.
• Penyebab abses yang jarang dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas
wajah, abses tonsil, pustula kulit, luka tembus pada tengkorak kepala, infeksi
gigi luka tembak di kepala, septikemia. Berdasarkan sumber infeksi dapat
ditentukan lokasi timbulnya abses dilobus otak.
• Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograd thrombophlebitis melalui
klep vena diploika menuju lobus frontalis atau temporal. Bentuk absesnya
biasanya tunggal, terletak superfisial di otak, dekat dengan sumber infeksinya.
• Sinusitis frontal dapat menyebabkan abses di bagian anterior atau inferior lobus
frontalis.
• Sinusitis sphenoidalis dapat menyebab–kan abses pada lobus frontalis atau
temporalis.
• Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada lobus temporalis.
• Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis.
• Infeksi pada telinga tengah dapat menyebar ke lobus temporalis.
• Infeksi pada mastoid dan kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan
seperti kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan tulang temporal oleh
kolesteoma dapat menyebar kedalam cerebellum.
• Infeksi parasit (Schistosomiasis, Amoeba, Fungus (Actinomycosis, Candida
albicans)
• 20-37% penyebab abses otak tidak diketahui.
IV. PATOGENESIS
Infeksi dapat mencapai otak dengan jalan yang berbeda-beda, seperti pada
otitis media, infeksi dapat meluas melalui cavum tympani atau melalui mastoid dan
meningen, kemudian mencapai jaringan otak. Infeksi meluas melalui vena-vena
dalam, menyebabkan trombosis vena. Trombosis menghambat sirkulasi serebral,
sehingga terjadi iskemia dan infark yang mempercepat terjadinya infeksi lokal. Setiap
robekan pada duramater akibat trauma merupakan sumber yang potensial untuk
terjadinya infeksi pada otak.
Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak. Biasanya terdapat
di bagian substansia alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah. Proses
peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh
darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati.
Di daerah yang mengalami peradangan tadi timbul edema, perlunakan, dan
kongesti jaringan otak disertai perdarahan kecil. Di sekeliling abses terdapat
pembuluh-pembuluh darah dan infiltrasi leukosit. Bagian tengah kemudian melunak
dan membentuk ruang abses. Mula-mula dindingnya tidak begitu kuat, kemudian
terbentuk dinding yang kuat membentuk kapsul yang konsentris. Di sekeliling abses
terjadi infiltrasi leukosit polimorfnuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses
ini memakan waktu lebih kurang dua minggu. Abses dapat membesar, kemudian
pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat
mengakibatkan meningitis.
V. NEUROPATOLOGI DAN GAMBARAN CT- SCAN
Proses pembentukan abses otak oleh bakteri Streptococcus alpha hemolyticus secara
histologis dibagi dalam 4 fase dan waktu 2 minggu untuk terbentuknya kapsul abses.
10
1. Early cerebritis (hari 1 – 3 )
2. Late cerebritis(hari 4 – 9 )
3. Early capsule formation (hari 10 – 13 )
4. Late capsule formation (hari 14 atau lebih)
Early cerebritis
Terjadi reaksi radang lokal dengan infiltrasi polymorphonuclear leukosit, limfosit dan
plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan
meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika adventisia dari
pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular ini
disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema disekitar otak dan peningkatan efek massa
karena pembesaran abses.
Gambaran CT Scan :Pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens dengan sebagian
gambaran seperti cincin. Pada hari ketiga gambaran cincin lebih jelas sesuai dengan
diameter serebritisnya. Didapati mengelilingi pusat nekrosis.
Late cerebritis
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis
membesar oleh karena peningkatan “acellular debris” dan pembentukan nanah karena
pelepasan enzim- enzim dari sel radang. Ditepi pusat nekrosis didapati daerah sel
radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblast yang terpencar. Fibroblast
mulai menjadi retikulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini edema
otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar.
Gambaran CT-Scan :Gambaran cincin sempurna, 10 menit setelah pemberian kontras
perinfus. Kontras masuk ke daerah sentral dengan gambaran lesi homogen -
menunjukkan adanya cerebritis.
Early capsule formation
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag-makrofag menelan “acellular debris” dan
fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast membentuk
anyaman retikulum mengelilingi pusat nekrosis. Didaerah ventrikel, pembentukan
dinding sangat lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi didaerah substansi putih
dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan
tengah memungkinkan abses membesar kedalam substansi putih. Bila abses cukup
besar, dapat robek kedalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat
daerah anyaman retikulum yang tersebar membentuk kapsul kollagen, Reaksi astrosit
disekitar otak mulai meningkat.
Gambaran CT-Scan :Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat nekrosis lebih
kecil dan kapsul terlihat lebih tebal.
Late capsule formation
Terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran histologis sebagai berikut:
bentuk pusat nekrosis diisi oleh “acellular debris” dan sel-sel radang. Daerah tepi dari
sel radang, makrofag dan fibroblast. Kapsul kolagen yang tebal. Lapisan neovaskular
sehubungan dengan cerebritis yang berlanjut. Reaksi astrosit, gliosis dan edema otak
diluar kapsul.
Gambaran CT-Scan :Gambaran kapsul dari abses jelas terlihat, sedangkan daerah
nekrosis tidak diisi oleh kontras.
VI. TANDA DAN GEJALA KLINIS
Gejala dan tanda klinis dari abses otak tergantung kepada banyak faktor,
antara lain lokasi, ukuran, stadium dan jumlah lesi, keganasan kuman, derajat edema
otak, respons pasien terhadap infeksi, dan juga umur pasien. Bagian otak yang terkena
dipengaruhi oleh infeksi primernya. Pada stadium awal gambaran klinik abses otak
tidak khas, terdapat gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejala-
gejala peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan kejang.
Dengan semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas berupa trias abses otak yang
terdiri dari gejala infeksi, peninggian tekanan intrakranial dan gejala neurologik fokal
Tanda dan gejala yang muncul biasanya selama 2-3 minggu secara progresif.
Onset yang dimilikinya lebih gradual, dan mungkin akan berkembang secara akut
pada pasien dengan immunocompromised. Gejala klinik yang muncul :
- Toxicity : demam, malaise
- Raised intracranial Pressure : nyeri kepala, muntah, sampai gangguan kesadaran
- Focal Damage : hemiparesis, disfasia, ataksia, nistagmus
Epilepsy (general / parsial ) sebanyak 30 %
- Infection Source : nyeri tekan pada mastoid atau sinus, cairan telinga
- Neck stiffness : karena munculnya tanda meningitis atau herniasi tonsilar (25%)
Gejala berdasarkan presentase :
- Hampir seluruh penderita abses didapati keluhan sakit kepala (70-90%)
- Muntah-muntah (25-50%)
- Kejang-kejang (30-50%)
- Gejala-gejala pusing, vertigo, ataxia (pada penderita abses cerebelli)
- Gangguan bicara (19,6%), hemianopsis (31%). Unilateral midriasis (20,5%) yang
merupakan indikasi terjadinya herniasi tentorial. (pada penderita abses temporal)
- Gejala fokal (61%) (pada penderita abses supratentorial)
1) Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala neurologik
seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai kesadaran yang
menurun menunjukan prognosis yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi
dan perforasi ke dalam kavum ventrikel
2) Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan mengecap
didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan
hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas
dapat terjadi bila perluasan abses ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik,
berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal adalah gejala
sensorimotorik
3) Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan menyebabkan
gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus.
4) Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan berakibat
fatal.
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Laboratorium
- Pemeriksaan darah :
LED, leukositosis, dapat ditemukan kultur darah 10%
b) EEG (electroencephalogram)
Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam
hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta
dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses
c) Pencitraan
- Xray : untuk mendiagnosis adanya infeksi pada sinus dan mastoid
- CT Scan : pada penyakit infeksi serebral dapat terlihat normal atau pun densitas
yang rendah. Namun pada abses yang prgresif akan terlihat :
Pada abses yang terdapat di beberapa lokasi, dapat dipikirkan adanya sumber
hematogen.
Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur
diagnostik, dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk mendiagnosis
abses otak. Yang perlu dipertimbangkan adalah walaupun gambaran CT tipikal
untuk suatu abses, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk didiagnosis banding
dengan tumor (glioblastoma), infark, metastasis, hematom yang diserap dan
granuloma.
Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma,
metastasis) dari CT scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk
membedakan keduanya antara lain : umur penderita, ketebalan ring (cincin tipis
hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform, diameter ring, rasio lesi dan ring. Pada
sebagian kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul subkortikal. Hal ini
menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari masa putih dan menjelaskan mengapa
abses biasanya berkembang di medial.
- MRI : pada infeksi serebral akan lebih terlihat jelas dengan menggunakan MRI
khususnya stadium yang terkena, namun teteap belum dapat menyingkirkan dari
patologi lainnya.
d) Lumbal pungsi :
kontaindikasi dilakukannya tindakan ini yaitu apabila terdapat masa sehingga
dapat mendesak jaringan sekitarnya seperti terdapat tanda midline shift yang
terlihat pada pencitraan. Apabila LCS dapat diperoleh akan menunjukan hasil
peningkatan protein, peningkatan sel darah putih. Pewarnaan gram juga akan
menunjukan hasil positif.
VIII. PENATAKSANAAN
Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek massa dan menghilangkan
kuman penyebab. Terapi definitif untuk abses melibatkan :
1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam
jiwa
2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
4. Pengobatan terhadap infeksi primer
5. Pencegahan kejang
6. Neurorehabilitasi
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan
pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang
memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat digunakan
kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole.
Jika terdapat riwayat cedera kepala dan komplikasi pembedahan kepala, maka
dapat digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan sephalosforin
generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan ketika
hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia.
Etiologi Antibiotik
Infeksi bakteri gram negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus
Meropenem
Penyakit jantung sianotik Penissilin dan metronidazole.
Post VP-Shunt Vancomycin dan ceptazidine
Otitis media, sinusitis, atau mastoiditis Vancomycin
Infeksi meningitis citrobacter Sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi
aminoglikosida1) Tabel 1. Prinsip pemilihan antibiotik pada abses otak.14
Sumber : Bacteriological study of photogenic cerebral abscess. In: Chemotherapeutic role of metronidazole, British Med J, 2009.
Pada abses yang terjadi akibat trauma penetrasi, cedera kepala, atau sinusitis
dapat diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin, cefotaxime atau
cetriaxone dan juga metronidazole. Monoterapi dengan meropenem terbukti baik
melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus dan
menjadi pilihan alternatif.
Pada abses yang terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan
penissilin dan metronidazole. Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt
dapat diterapi dengan vancomycin dan ceftazidine. Jika otitis media, sinusitis, atau
mastoidits yang menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus
pneumonia telah resisten terhadap penisilin. Jika meningitis citrobacter, yang
merupakan bakteri utama pada abses local, dapat digunakan sefalosporin generasi
ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada pasien
dengan immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan
dipertimbangkan pula terapi amphoterids.
Dosis obat Frekwensi dan rute
Cefotaxime (50-100 mg/KgBB/Hari)
2-3 kali per hari, IV
Ceftriaxone (50-100 mg/KgBB/Hari)
2-3 kali per hari, IV
Metronidazole (35-50 mg/KgBB/Hari)
3 kali per hari, IV
Nafcillin (2 grams)
setiap 4 jam, IV
Vancomycin (15 mg/KgBB/Hari)
setiap 12 jam, IV
Tabel 2. Dosis dan cara pemberian antibiotik pada abses otak.14
Sumber : Bacteriological study of photogenic cerebral abscess. In: Chemotherapeutic role of metronidazole, British Med J, 2009.
Penggunaan antibiotik intravena selama 2-3 minggu dan dilanjutkan dengan
antibiotik oral selama 3-4 minggu.
Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat
mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan
kapsul abses. Tetapi penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus
dimana terdapat risiko potensial dalam peningkatan tekanan intrakranial. Dosis yang
dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6 jam intravena, dan ditapering dalam 3-7 hari.
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan adanya
tekanan intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran edema yang luas
serta midline shift pada CT scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu
di tap-off, dan terlihat bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada
pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak didapatkan papil edema. Penatalaksanaan
secara bedah pada abses otak dipertimbangkan dengan menggunakan CT-Scan, yang
diperiksa secara dini, untuk mengetahui tingkatan peradangan, seperti cerebritis atau
dengan abses yang multipel.
Terapi optimal dalam mengatasi abses otak adalah kombinasi antara
antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan drainase
abses melalui kraniotomi merupakan prosedur pilihan. Tetapi pada center-center
tertentu lebih dipilih penggunaan stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration and
biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan pada abses multipel, abses batang otak dan
pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi. Pada beberapa keadaan terapi operatif
tidak banyak menguntungkan, seperti: small deep abscess, multiple abscess dan early
cerebritic stage.
Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi eksisi
dalam mengurangi risiko kejang.
Antibiotik mungkin dapat digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses
berkapsul dan secara umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang
berefek terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Namun, harus ditatalaksanakan
dengan kombinasi antibiotik dan aspirasi abses.
Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena prosedur
ini dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan dengan teknik
aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika abses berdiameter lebih dari 2,5 cm,
adanya gas di dalam abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yang terletak di fosa
posterior, atau jamur yang berhubungan dengan proses infeksi, seperti mastoiditis,
sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula dilakukan pembedahan drainase. Terapi
kombinasi antibiotik bergantung pada organisme dan respon terhadap
penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu.
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya
terhadap korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari
kasus per kasus (ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada tidaknya
abnormalitas pemeriksaan neurologis, EEG dan neuroimaging).
IX. KOMPLIKASI
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya adalah:
1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subaraknoid
2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
3. Edema otak
4. Herniasi oleh masa abses otak
X. PROGNOSIS
Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara signifikan
berkurang, dengan perkiraan 5-10% didahului CT-Scan atau MRI dan antibiotik yang
tepat, serta manajemen pembedahan merupakan faktor yang berhubungan dengan
tingginya angka kematian, dan waktu yang mempengaruhi lesi, abses mutipel,
kesadaran koma dan minimnya fasilitas CT-Scan. Angka harapan yang terjadi paling
tidak 50% dari penderita, termasuk hemiparesis, kejang, hidrosefalus, abnormalitas
nervus kranialis dan masalah-masalah pembelajaran lainnya.
Prognosis dari abses otak ini tergantung dari:
1) Cepatnya diagnosis ditegakkan
2) Derajat perubahan patologis
3) Soliter atau multipel
4) Penanganan yang adekuat.
Dengan alat-alat canggih dewasa ini abses otak pada stadium dini dapat lebih
cepat didiagnosis sehingga prognosis lebih baik. Prognosis abses otak soliter lebih
baik dan mu1tipel. Defisit fokal dapat membaik, tetapi kejang dapat menetap pada
50% penderita.
XI. KESIMPULAN
Abses otak merupakan suatu proses infeksi dengan pernanahan terlokalisir
diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam bakteri, fungus dan
protozoa, dimana kasusnya jarang dijumpai tetapi angka kematiannya tinggi (rata-rata
40%), sehingga tergolong kelompok penyakit “life threatening infection”. Sebagian
besar penderita abses otak adalah laki-laki, dibandingkan perempuan (3:1), yang
berusia produktif (20-50) tahun.
Abses otak timbul akibat penyebaran langsung dari infeksi telinga tengah,
sinusitis dan mastoiditis. (35-65%). Abses dapat juga timbul secara hematogen,
menurunnya system kekebalan tubuh (akibat penyakit kronis, immunology), Tetralogi
Fallot (abses multiple) dan trauma luka tusuk keotak, parasit dan lain- lain.
Proses pembentukan abses otak memakan waktu 2 minggu dan terdiri dari 4
tahap. Umumnya gejala-gejala yang timbul sama dengan gejala-gejala peninggian
tekanan intra cranial. Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, rontgen, CT-
Scan dan pemeriksaan laboratorium. Pengobatan umumnya dilakukan dengan
tindakan bedah (aspirasi atau eksisi) dan pemberian antibiotik yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tonam. 2004. Panduan Diagnosis dan Penatalaksanaan Ilmu Penyakit Syaraf.
FKUI. Jakarta.
2. Mardjono M, Sidharta P. 1989. Neurologi Klinis Dasar, ed 5. PT. Dian
Rakyat. Jakarta.
3. Harsono. 1999. Buku Ajar Neurologi Klinis, ed 1. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
4. Xiang Y .Han et al :”Fusobacterial brain abscess” A review of five cases and
analysis of possible pathogenesis; Journal of Neurosurg, Oct.2003; vol.99.
5. Britt, Richard H : “Brain Abscess”, J. Neurosurg. 1985; vol.3.
6. Yang. SY :”Brain Abscess” ; A review of 400 cases, J. Neurosurg, 1981.
7. Garfield JS ; “Primary excision of brain abscess”, British Med. J., 1977
8. Fischbein Charles A. et al “Risk factors for brain abscess in patients with
congenital heart disease; The American.J of Cardiology, July 1974
9. Keogh. AJ :”Bacteriology of abscesses of the CNS” ; British Med. J, 1977.
10. Choudhury AR, Taylor et al; “Primary excision of brain abscess”, British
Med. Journal, 1977.
11. Richard H., Setti S. Rengachary :”Brain Abscess”; Neurosurg; Mc.Graw-Hill
Company, New York, 1985, vol.1
LAPORAN KASUS
Pembimbing:
dr. Joko, SpS
Penyusun:
Nama: Desi Adiyati
NIM: 2010-071-0104
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I Raden Said Sukanto
Periode 30 Maret – 2 Mei 2015