frame of reference masyarakat madura tentang kyai...

13
222 Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019 PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0: PELUANG & TANTANGAN Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019 FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI: PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya [email protected] Abstrak Kyai merupakan sosok yang tidak hanya berperan sebagai pemuka/ahli agama, tapi juga berpengaruh dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Pandangan tentang kyai, kepatuhan, bentuk penghormatan, penilaian, perilaku yang ditunjukkan, adalah manifestasi dari frame of reference tentang kyai. Perilaku ini dinilai khas, tidak nampak pada figur lainnya. Penelitian ini untuk mendeskripsikan frame of reference tentang kyai melalui: a. Perilaku masyarakat terhadap kyai, b. Pandangan tentang perilaku kyai, dan c. Penyebab timbulnya perilaku terhadap kyai. Subyek penelitian ini adalah warga desa X, kabupaten Sumenep, Madura. Metode dalam penelitian ini adalah etnografi, dengan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara selama kurang lebih 3 bulan. Sumber data adalah sumber lisan, rekaman, dokumen, dan artefak. Analisis data dilakukan sejak sebelum, selama, dan sesudah penelitian dengan teknik analisa deskriptif kualitatif. Hasilnya, deskripsi frame of reference masyarakat tentang kyai adalah: a. Perilaku yang hormat-sangat menghormati terhadap kyai, b. Kyai juga bisa salah, c. Diajari orang tua dan dituntut lingkungan Kata Kunci: frame of reference, kyai, Madura Abstract Kyai is a figure who does not only act as a religious leader/expert, but also influences various sectors of people's lives. Views of kyai, obedience, forms of respect, judgment, behavior shown, are manifestations of the frame of reference about kyai. This behavior is considered typical, not visible to other figures. This study is to describe the frame of reference about kyai: a. Community behavior towards kyai, b. Views on the behavior of kyai, and c. The cause of the behavior of the kyai. The subjects of this study were residents of village X, Sumenep district, Madura. The method in this study is ethnography, with techniques for collecting data through observation and interviews for approximately 3 months. Data sources are oral sources, records, documents, and artifacts. Data analysis was carried out before, during, and after research with qualitative descriptive analysis techniques. The result, description of the frame of reference of the community about clerics is: a. Respectful behavior - very respect for kyai, b. Kyai can also be wrong, c. Parents are taught and demanded by the environment Keyword: frame of reference, kyai, Madura Madura terkenal sebagai suku yang masyarakatnya agamis. Hampir 99 % penduduknya memeluk agama islam; maka tidak heran apabila kyai hampir selalu menjadi rujukan dalam berbagai persoalan hidup. Tradisi yang terkenal di kalangan masyarakat Madura mengenai strata atau hirarki penghormatan/kepatuhan seseorang terhadap sosok-sosok yang berpengaruh dalam kehidupannya, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan sosialnya, yaitu ada empat orang yang harus dijadikan panutan oleh orang madura, yaitu buppa’, babu’, ghuru, ratoh (bapak, ibu, guru, dan raja). Artinya, orang tua menempati level pertama sebagai orang yang harus dihormati dan dipatuhi, kemudian dilanjutkan dengan guru. Guru ini bisa berarti ulama atau kyai, yang dipandang sebagai sosok yang mempunyai ilmu agama yang lebih tinggi dari masyarakat awam. Sedangkan raja, ini yang aneh, tidak beralih kepada pemimpin formal semacam camat, bupati, dan lain-lain; tetapi hanya bergeser kepada para keturunan raja dan para bangsawan. Menurut masyarakat Madura, keempat pihak tersebut harus dihormati dan dipatuhi secara mutlak. Tidak

Upload: others

Post on 19-Oct-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI ...fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Patmawati.pdf · PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas

222

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019

PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:

PELUANG & TANTANGAN

Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI:

PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP

Patmawati Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

[email protected]

Abstrak

Kyai merupakan sosok yang tidak hanya berperan sebagai pemuka/ahli agama, tapi juga

berpengaruh dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Pandangan tentang kyai, kepatuhan,

bentuk penghormatan, penilaian, perilaku yang ditunjukkan, adalah manifestasi dari frame of

reference tentang kyai. Perilaku ini dinilai khas, tidak nampak pada figur lainnya. Penelitian ini

untuk mendeskripsikan frame of reference tentang kyai melalui: a. Perilaku masyarakat terhadap

kyai, b. Pandangan tentang perilaku kyai, dan c. Penyebab timbulnya perilaku terhadap kyai.

Subyek penelitian ini adalah warga desa X, kabupaten Sumenep, Madura. Metode dalam

penelitian ini adalah etnografi, dengan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara

selama kurang lebih 3 bulan. Sumber data adalah sumber lisan, rekaman, dokumen, dan artefak.

Analisis data dilakukan sejak sebelum, selama, dan sesudah penelitian dengan teknik analisa

deskriptif kualitatif. Hasilnya, deskripsi frame of reference masyarakat tentang kyai adalah: a.

Perilaku yang hormat-sangat menghormati terhadap kyai, b. Kyai juga bisa salah, c. Diajari orang

tua dan dituntut lingkungan

Kata Kunci: frame of reference, kyai, Madura

Abstract

Kyai is a figure who does not only act as a religious leader/expert, but also influences various

sectors of people's lives. Views of kyai, obedience, forms of respect, judgment, behavior shown,

are manifestations of the frame of reference about kyai. This behavior is considered typical, not

visible to other figures. This study is to describe the frame of reference about kyai: a. Community

behavior towards kyai, b. Views on the behavior of kyai, and c. The cause of the behavior of the

kyai. The subjects of this study were residents of village X, Sumenep district, Madura. The

method in this study is ethnography, with techniques for collecting data through observation and

interviews for approximately 3 months. Data sources are oral sources, records, documents, and

artifacts. Data analysis was carried out before, during, and after research with qualitative

descriptive analysis techniques. The result, description of the frame of reference of the community

about clerics is: a. Respectful behavior - very respect for kyai, b. Kyai can also be wrong, c.

Parents are taught and demanded by the environment

Keyword: frame of reference, kyai, Madura

Madura terkenal sebagai suku yang

masyarakatnya agamis. Hampir 99 %

penduduknya memeluk agama islam; maka

tidak heran apabila kyai hampir selalu menjadi

rujukan dalam berbagai persoalan hidup.

Tradisi yang terkenal di kalangan masyarakat

Madura mengenai strata atau hirarki

penghormatan/kepatuhan seseorang terhadap

sosok-sosok yang berpengaruh dalam

kehidupannya, baik kehidupan pribadi maupun

kehidupan sosialnya, yaitu ada empat orang

yang harus dijadikan panutan oleh orang

madura, yaitu buppa’, babu’, ghuru, ratoh

(bapak, ibu, guru, dan raja). Artinya, orang tua

menempati level pertama sebagai orang yang

harus dihormati dan dipatuhi, kemudian

dilanjutkan dengan guru. Guru ini bisa berarti

ulama atau kyai, yang dipandang sebagai sosok

yang mempunyai ilmu agama yang lebih tinggi

dari masyarakat awam. Sedangkan raja, ini

yang aneh, tidak beralih kepada pemimpin

formal semacam camat, bupati, dan lain-lain;

tetapi hanya bergeser kepada para keturunan

raja dan para bangsawan. Menurut masyarakat

Madura, keempat pihak tersebut harus

dihormati dan dipatuhi secara mutlak. Tidak

Page 2: FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI ...fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Patmawati.pdf · PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas

223

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019

PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:

PELUANG & TANTANGAN

Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

menghormati, apalagi berkhianat, akan

menimbulkan celaka atau tola (kualat), baik

secara langsung maupun tidak langsung –menimpa anak cucu (Bisri, 1995). Tradisi ini

dilestarikan, diajarkan, secara terus-menerus

antar generasi. Proses pewarisan tradisi ini

dikenal dengan internalisasi –pembentukan

norma heteronom (dari luar –tradisi) menjadi

norma otonom –milik diri, sebagaimana yang

dijelaskan oleh para ahli yang mengikuti aliran

Baldwin (1864-1934).

Bagi masyarakat Madura, ulama atau kyai adalah

―kiblat‖ tempat mengembalikan segala persoalan agama maupun keduniaan untuk memperoleh

petunjuk dan persetujuannya –ini termasuk

pengembangan peran, di mana sebelumnya kyai

hanya dipandang sebagai orang ahli agama menjadi

semua permasalahan hidup. Masyarakat Madura

belum merasa pas dan yakin tentang hukum suatu

perbuatan jika belum mendapat fatwa, keterangan,

persetujuan, petunjuk, contoh, dan restu dari ulama

atau kyai; ini lebih karena mereka merasa bahwa

kyai mempunyai pengetahuan lebih yang berasal

dari Allah dan hasil belajar di pondok pesantren,

sedangkan mereka tidak demikian. Contoh nyata

dibutuhkannya fatwa kyai, adalah dalam hal

menerima program-program pemerintah seperti KB

(Bisri, 1990). Pun, jembatan Suramadu, sempat

mengalami kendala dalam pembangunannya karena

ulama/kyai yang tergabung dalam BASSRA

(Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura)

tidak menyetujui pembangunan jembatan tersebut.

(Usman, 2009). Kabar terbaru, presiden

menggratiskan tol jembatan Suramadu, karena

permintaan para ulama/kyai, dan tokoh masyarakat.

Fakta ini menunjukkan bahwa demikian sentralnya

peran ulama/kyai –dan pesantrennya sebagai basis

massa, dalam kehidupan masyarakat Madura.

Jumlah pesantren di Madura agak sulit untuk

diketahui secara pasti. Menurut data tahun 2003, di

Kabupaten Sumenep terdapat 261 lembaga

pesantren, 457 Madrasah Diniyah, 515 Madrasah

Ibtidaiyah, 142 Madrasah Tsanawiyah, dan 42

Madrasah Aliyah (dapat diperbandingkan bahwa di

Sumenep terdapat 737 Sekolah Dasar, 44 SMP, dan

23 SMU). Data ini menunjukkan bahwa jumlah

pendidikan keagamaan yang lazimnya mayoritas

berbasis pondok pesantren relatif lebih banyak.

Terkait dengan pola pendidikan pesantren ini, tak

ayal para santri tersebut cenderung menjadikan

kyai masing-masing sebagai panduan dalam

bersikap dan berperilaku.

Tidak hanya santri, kalangan awam juga

mempunyai rujukan kyai masing-masing. Mereka

mendatangi kyai untuk bertanya banyak hal, mulai

dari masalah keagamaan, memilih jodoh, bertanya

tanggal memulai bercocok tanam atau tanggal

panen, memilih partner kerja, kesembuhan, pilihan

politik, dan lain sebagainya. Hal ini pun dialami

oleh penulis sendiri yang memang berasal dari suku

Madura. Ketika belum bekerja, dan ketika akan

membuka usaha, diajaklah penulis oleh orang tua

penulis untuk nyabis kepada seorang kyai dengan

tujuan menanyakan tentang usaha yang akan

dijalankan dan meminta amalan untuk kelancaran

hajat/niatnya tersebut. Setiap kyai, memiliki cara

sendiri dalam memecahkan persoalan. Ada yang

dengan memberi jimat, rajah, perhiasan, ikat

pinggang berisi rajah/jimat, mendoakan/melalui

istikharah, amalan-amalan tertentu, meminta

bantuan jin, dan lain-lain.

Pandangan tentang kyai, kepatuhan atau ketaatan,

bentuk penghormatan, penilaian, bentuk perilaku

yang ditunjukkan, adalah manifestasi dari frame of

reference masyarakat tentang kyai. Frame of

reference adalah kerangka pedoman, norma, dan

sikap yang diperoleh dari interaksi dengan sebuah

kelompok tertentu atau berdasarkan pengalaman

hidupnya yang dikumpulkan di luar kelompok itu.

Tinjauan Teoritis

a. Frame of reference

Frame of reference oleh Wasesa (1986)

disebut kerangka acuan diartikan sebagai

suatu istilah relasional atau hubungan timbal

balik, yang tidak menunjuk soal atau fungsi

psikologis itu sendiri (misalnya, berpikir,

mengingat, berperilaku, merasakan, dan lain-

lain). Sebaliknya, berpikir, merasakan,

mengingat, dan sebagainya terjadi dalam

suatu hubungan yakni dalam kerangka acuan

dimaksud yaang terdapat pada seseorang atau

sebagai hasil interaksi antara berbagai fungsi

tersebut, yang berasal dari internal dan

eksternal individu. Dengan kata lain, jika

dalam proses psikologis hanya ada salah satu

unsur yang mendorong timbulnya perilaku,

misal sikap terhadap aborsi, maka tidak bisa

dikatakan perilaku seseorang itu sebagai

manifestasi dari frame of reference yang

dimilikinya mengenai hal tersebut, karena

tidak adanya relasi atau belum jelasnya relasi

yang terbentuk dengan faktor lain yang

mencakup faktor eksternal dan internal,

misalnya pengalaman masa lalu, interaksi

Page 3: FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI ...fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Patmawati.pdf · PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas

224

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019

PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:

PELUANG & TANTANGAN

Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

dengan orang lain, dan lingkungan. Setelah

timbul relasi, maka akan terjadi proses

penilaian, manakah di antara kedua faktor

(eksternal dan internal) yang lebih dominan?.

Selanjutnya, individu akan berperilaku

menurut pola yang terjadi akibat hubungan

kedua faktor tersebut. Jika faktor stimulus

(eksternal) lebih kuat atau lebih dominan,

maka individu akan berperilaku sesuai dengan

tuntutan stimulus tersebut, dan sebaliknya jika

yang terjadi adalah faktor internal yang lebih

kuat/dominan, maka individu akan

mempertahankan sikap dan pandangannya

sendiri. Dengan pengertian ini, nampak bahwa

perilaku yang muncul pada seseorang,

bukanlah hal yang serta-merta, melainkan

melalui proses yang simultan. Tentunya, ada

masa atau fase, kapan mulai terbentuknya

frame of reference ini pada seseorang.

Demikian pula, kerangka acuan tidak sama

atau tidak dapat dicampur adukkan dengan

sikap/norma sosial, kelompok acuan

(reference group) mungkin merupakan faktor

di dalam kerangka acuan pada suatu waktu

tertentu atau pada kondisi tertentu, di mana

kelompok acuan ini bisa bermacam-macam

jenisnya. Kekinian sekarang, kelompok acuan

tidak sekedar dalam dunia nyata, tetapi bisa

juga dunia maya di mana para anggota

kelompoknya bahkan mungkin belum pernah

bertemu. Jadi, kelompok acuan adalah suatu

kelompok di mana individu

mengidentifikasikan dirinya, bahkan bisa

sebagai mirror, di mana individu ingin

melihat ―seperti apa‖ dirinya dan ―bagaimana‖ individu ingin orang lain dalam dan luar

kelompok memandangnya. Reference group

ini bisa saja menjadi faktor eksternal yang

penting dalam pembentukan frame of

reference seseorang, karena dengan

mengidentifikasikan dirinya berarti individu

menyetujui aturan atau norma-norma

kelompok, gaya hidup, dan pandangan-

pandangan kelompok; sehingga individu

menginternalisasikan hal tersebut dalam

dirinya dan bisa saja pada suatu saat

mempengaruhi frame of reference individu

apabila faktor internal tidak cukup kuat untuk

mendominasi dalam penilaian atau

pengevaluasian terhadap suatu masalah

(Atkinson, dkk., 1991).

Jadi, frame of reference adalah kerangka

acuan yang memandu individu dalam

bertingkah laku pada suatu waktu tertentu

yang merupakan hasil interaksi antara faktor

eksternal (lingkungan, objek, orang-orang)

dan faktor internal (motif, sikap, emosi,

konsep dan pengalaman masa lalu).

b. Proses terbentuknya frame of reference

Sherif dan Hovland, 1960 (dalam Wirawan,

1992), menyebutkan bahwa dasar teorinya

adalah individu membentuk situasi yang

penting buat dirinya, sehingga individu dalam

hal ini tidak dikendalikan oleh situasi;

melainkan dirinya sendirilah yang

mengendalikan situasi. Selanjutnya, individu

melakukan penilaian terhadap situasi dan ia

membuat keputusan apakah ia akan

bertingkah laku sesuai dengan situasi dan

kondisi yang dihadapi (faktor eksternal)

ataukah ia akan bertingkah laku sesuai dengan

pertimbangan dirinya yang didapatkan dari

pengalaman masa lalu, motif, emosi, dan

sebagainya. Pembentukan situasi ini

mencakup faktor-faktor internal (sikap, emosi,

motif, pengaruh pengalaman masa lalu, dan

sebagainya) maupun eksternal (objek, orang-

orang dan lingkungan fisik). Interaksi antara

faktor ekstern dan intern ini menjadi frame of

reference setiap perilaku. Dapat disimpulkan,

bahwa setiap keputusan yang diambil terkait

dengan penggunaan frame of reference ini,

terjadi bargaining terhadap faktor resiko

akibat penggunaan frame of reference

tersebut, baik secara disadati maupun tidak

disadari. Misal, sekelompok masyarakat desa

yang berdasarkan frame of reference-nya

memutuskan untuk tidak menyukai seorang

kyai yang dihormati oleh keluarganya, maka

ia harus siap dengan resiko pertengkaran,

dikucilkan, atau bahkan adanya pemahaman

dari keluarga.

Tradisi buppa’, babu’, ghuru, ratoh (bapak,

ibu, guru, dan raja), tuntutan agama –di mana

dalam salah satu hadist menyebutkan bahwa

kyai adalah waratsatul anbiya’ (pewaris nabi)

sehingga harus dihormati, cara pandang

lingkungan keluarga dan masyarakat terhadap

kyai, figur kyai itu sendiri –menunjukkan

kelebihan atau bahkan ―kenyelenehan‖ yang justru meneguhkan posisinya sebagai

waliyullah, nilai-nilai positif yang didapatkan

dalam hal berinteraksi dengan kyai, sikap dan

Page 4: FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI ...fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Patmawati.pdf · PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas

225

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019

PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:

PELUANG & TANTANGAN

Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

motif diri; disinyalir sebagai beberapa faktor

yang membentuk frame of reference tentang

kyai.

c. Kyai

Menurut Subky (1995), kyai adalah gelar yang

diperoleh karena pemberian dari masyarakat,

biasanya berlangsung spontan, bukan karena

settingan. Tolok ukurnya adalah kemampuan

pengetahuan agamanya. Namun, pada

perkembangannya, gelar kyai tidak hanya

diberikan kepada orang yang mumpuni ilmu

agamanya. Orang yang lulus dari pesantren

juga disebut kyai, orang yang mengajar ngaji,

orang yang memberikan khotbah/ceramah,

bahkan paranormal atau ―orang pintar‖ juga disebut sebagai kyai.

Kyai menurut Ali (1999) dalam pengantar

buku ―Kyai Nyentrik Membela Pemerintah‖, menyebutkan bahwa sebutan kyai itu

dibedakan menjadi dua, pertama yang berasal

dari keturunan atau ascribed status, yaitu

seseorang bisa menjadi kyai karena ayahnya,

kakeknya, pamannya adalah kyai. Kedua,

sebutan kyai itu bisa diperoleh melalui

keandalan atau achieved status yang mana

sebutan kyai ini didapatkan karena potensi

keilmuan –banyaknya pengetahuan agama

yang dimilikinya, kearifan (ma‘rifat) dan kebijaksanaan dalam memecahkan persoalan-

persoalan kehidupan dalam masyarakat, yang

bahkan tidak bisa dipecahkan oleh pihak lain.

Kyai dalam penelitian ini mengacu pada

pengertian dari Ali (1999), dan di luar konteks

penyebutan kyai yang berarti sesuatu

obyek/subyek yang dianggap memiliki

kekuatan di luar ―kewajaran‖. d. Frame of reference tentang kyai

Frame of reference tentang kyai adalah

seperangkat kerangka acuan yang memandu

individu untuk berperilaku terhadap kyai yang

merupakan hasil dari interaksi antara faktor

eksternal (lingkungan –keluarga, obyek –kyai,

tradisi, orang-orang –pola interaksi) dan

faktor internal (motif individual dan sosial

dalam berperilaku terhadap kyai, sikap

terhadap kyai, emosi –sikap suka atau benci

terhadap kyai, konsep tentang kyai, dan

pengalaman masa lalu yang berkaitan dengan

kyai).

Frame of reference tersebut menghasilkan

perilaku, di antaranya: sangat menghormati

terhadap kyai, menunduk dengan sikap penuh

tawadhu’ ketika berbicara dengan kyai,

mempercayai bahwa kyai memiliki dan bisa

memberikan barokah, takut celaka bila

melanggar perkataan kyai, memuliakan kyai

dan menganggapnya sebagai sosok yang

nyaris tanpa cela, dan perilaku-perilaku yang

menunjukkan penghormatan lainnya.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dan

bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengetahui

frame fo reference tentang kyai dan faktor

pembentuknya. Cara untuk mendalami masalah

dalam penelitian ini adalah menggunakan metode

etnografi, yaitu model penelitian kualitatif yang

bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau

menggambarkan karakteristik budaya yang

terdapat dalam diri individu atau sekelompok

orang, sebagai anggota dari sebuah kelompok

masyarakat kultural (Hanurawan, 2016).

Spradley (1979) mengatakan bahwa inti etnografi

adalah sebuah usaha yang memfokuskan pada

makna-makna tindakan atau perilaku dari berbagai

peristiwa yang terjadi pada orang atau

sekelompok orang yang ingin kita pahami. Atau,

bagaimana individu dapat berperilaku sesuai

dengan kelompoknya (masyarakat). Sedangkan

Creswell (2014) menjelaskan etnografi adalah

suatu cara untuk mendesain sebuah penelitian

kualitatif, di mana penelitinya berfokus kepada

upaya-upaya untuk mendeskripsikan dan

menafsirkan kesamaan pola dari nilai, perilaku,

keyakinan, dan bahasa dari suatu kelompok

berkebudayaan sama.

Subyek penelitian diambil secara snow ball, di

mana dari satu orang subyek, berkembang hingga

30 subyek yang memenuhi ciri-ciri yang sudah

ditetapkan. Adapun pembatasan ciri-cirinya adalah

sebagai berikut:

a. Tinggal dan menetap di desa tersebut,

sekurang-kurangnya selama 15 tahun dari usia

0 tahun

b. Berusia di atas 17 tahun

c. Pernah mengenyam pendidikan formal (lulus

SD, SMP, SMU, dan PT)

d. Pernah bertamu/menemui kyai

Pada studi awal, dilakukan studi literatur dan

pemilihan setting. Studi literatur dilakukan untuk

melacak konstruk teori yang terkait dengan Frame

of reference tentang kyai sebagai bekal untuk

Page 5: FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI ...fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Patmawati.pdf · PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas

226

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019

PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:

PELUANG & TANTANGAN

Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

mendesain penelitian yang akan dikembangkan

lebih lanjut.

Menurut Bogdan dan Taylor, (1982), menentukan

setting penelitian berkaitan dengan tempat, pelaku,

serta kegiatan. Dalam hal ini, kriteria yang dapat

dijadikan pegangan seperti yang diajukan adalah

tempat yang dipilih harus dapat dipercayai sebagai

pengambilan data secara menyeluruh dan

mendukung tujuan penelitian yang hendak dicapai.

Selain itu, orang yang akan dijadikan subjek

penelitian juga harus benar-benar mendukung dan

bersedia berpartisipasi. Berkaitan dengan hal

tersebut, maka Bogdan dan Taylor (1982, p.67)

menganjurkan agar seorang peneliti juga menjaga

hubungan baik dengan informan dan tidak menjaga

jarak dengan informan sehingga tercipta suatu

situasi yang wajar. Situasi yang wajar, akan

menghasilkan respon yang alamiah, sehingga data

yang didapat mendekati situasi yang sebenarnya

dan dapat mengungkap masalah-masalah yang

sedang kita teliti.

Lokasi penelitian adalah desa X, kabupaten

Sumenep, Madura. Desa X dipilih karena

berdasarkan observasi peneliti, adalah desa yang

heterogen dalam hal sikap, pandangan, maupun

perilaku terhadap kyai. Desa X terbagi atas tiga

dusun, yaitu dusun A, dusun B, dan dusun C.

Dusun A, dihuni oleh orang-orang yang sebagian

besar rajin sholat berjamaah ke musholla –di mana

ketika penulis berkunjung ke dusun tersebut, baik

selama masa penelitian, sebelum maupun

sesudahnya, hampir seluruh orang tua dan anak-

anak penghuni dusun, berjamaah ke musholla pada

waktu maghrib; anak-anaknya kebanyakan

disekolahkan di pondok pesantren –hanya 3 anak

yang disekolahkan di sekolah umum, sementara

jumlah KK ada sekitar 30 KK dengan 2-3 anak

setiap KK, dan sering menghadiri acara-acara

kajian di pondok pesantren.

Dusun B, dihuni oleh orang-orang yang justru

kurang rajin sholat berjamaah –dalam amatan

penulis, setiap waktu sholat berjamaah tiba, jumlah

jamaahnya jarang mencapai 20 orang, dengan

jumlah KK sekitar 40 KK dengan anggota keluarga

rata-rata 3-4 orang; meskipun masjid besar desa ini

berada di dusun tersebut. Anak-anak warga yang

menghuni di dusun ini, mayoritas sekolah di

sekolah umum. Hanya ada 2 orang yang menimba

ilmu di pondok pesantren, itu pun terhitung

pendatang (bukan warga asli). Namun, beberapa

warga masih mempunyai hubungan yang dekat

dengan kyai –jika ada hajatan (contoh: acara

pernikahan), masih sering mengundang kyai.

Dusun C, hampir tak ada bedanya dengan dusun B,

dan hanya sekitar 3 orang saja dari seluruh

penghuni dusun (kurang lebih 600 orang) yang

pernah mengenyam pendidikan di pondok

pesantren. Selain itu, juga terdapat basecamp

kesenian khas Madura di dusun ini, yaitu Ludruk.

Sebuah pentas drama semacam topeng orang, yang

semua pemainnya adalah laki-laki. Pun yang

memerankan tokoh perempuan.

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah

masyarakat yang tersebar pada tiga dusun tersebut

dan tokoh masyarakat (Kepala Desa). Data

dikumpulkan dengan teknik observasi dan

wawancara mendalam (depth interview) dan

gabungan keduanya. Selain itu, juga digunakan

dokumen, dan artefak. Artefak ini di antaranya

berupa benda-benda yang dipercayai mempunyai

kekuatan magis dan gambar/lukisan orang alim-

ulama (kyai) di rumah warga yang menjadi sumber

penelitian.

Data dalam penelitian ini berupa deskripsi

mendalam atas aktivitas subjek berdasarkan

perspektif subjek, bukan peneliti. Peneliti

melakukan refleksi dengan informan terhadap sikap

terhadap kyai, ucapan tentang kyai, dan tindakan-

tindakan yang menunjukkan kyai sebagai acuannya

dalam bersikap, bertingkah laku, dan mengambil

keputusan. Data dibandingkan antara satu subyek

dengan subyek lainnya, sehingga terjadi penafsiran

inter-subyek. Hasil penafsiran ini selanjutnya

dihubungkan dengan kerangka teori yang telah

dibangun untuk mendapatkan jawaban dari

permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.

Untuk mengungkap permasalahn yang ada, penulis

menggunakan teknik analisis kualitatif etnografi.

Proses analisis data dilakukan terus-menerus, baik

di lapangan maupun setelah dari lapangan. Analisis

data dilakukan dengan cara mengatur, membuat

urutan data, mengelompokkan data, melakukan

coding, dan mengkategorikan data. Setelah itu,

baru dicari tema budaya yang kemungkinan

menjadi fokus atau tujuan penelitian. Fokus dan

tujuan penelitian ini diperdalam melalui

pengamatan dan wawancara berikutnya. Dalam

analisis ini, yang berbicara adalah data dan peneliti

tidak melakukan penafsiran. Jika terdapat

penafsiran, hal tersebut merupakan hasil

pengamatan dan interpretasi informan.

Dalam penelitian ini proses analisis data dilakukan

sejak sebelum memasuki lapangan, selama di

Page 6: FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI ...fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Patmawati.pdf · PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas

227

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019

PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:

PELUANG & TANTANGAN

Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

lapangan dan setelah selesai di lapangan. Sugiyono

(2006), berpendapat ―In qualitative research is an

ongonging activity that occurs throught out the

investigativeprocess rather than after process‖. Jadi, analisis data kualitatif berlangsung selama

proses pengumpulan data, bukan setelah

pengumpulan data. Sebelum memasuki lapangan,

dilakukan oleh penulis sendiri yang notabene

adalah warga setempat, namun pada usia 14 tahun

telah pindah tempat tinggal ke kabupaten lain.

Proses analisis dapat dijelaskan bahwa analisis

kualitatif ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang

terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data (data

reduction), penyajian data (data display), dan

penarikan kesimpulan/conclution. Komponen

analisis data model interaktif ini merupakan upaya

berlanjut, berulang, dan terus-menerus. Reduksi

data, penyajian data, dan konklusi sebagai

rangkaian kegiatan analisis yang saling susul-

menyusul.

Reduksi data adalah proses memilih, memusatkan

perhatian, dan transformasi data kasar dari catatan-

catatan lapangan. Mereduksi data berarti

merangkum, memilih hal-hal pokok, memusatkan

perhatian pada hal yang penting, dan mencari tema

dan pola. Melalui proses reduksi ini,

penyederhanaan data dilakukan, kemudian

ditransformasikan melalui seleksi, ringkasan

ataupun uraian singkat, meringkas, dan seterusnya.

Setelah data direduksi, alur selanjut-nya adalah

penyajian data (data display) (Miles dan

Huberman, 2007).

Reduksi data adalah bagian dari analisis. Reduksi

data merupakan suatu bentuk analisis yang

mempertajam, membagi data dalam golongan-

golongan tertentu, mengarahkan data sesuai

tujuan/maksud penelitian, membuang data yang

tidak relevan, dan mengorganisasi data dengan cara

sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan

finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Dengan

―reduksi data‖, data kualitatif dapat disederhanakan dan transformasikan dalam aneka macam cara,

yakni: melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan

atau uraian singkat, menggolongkan-nya dalam

satu pola yang lebih luas, dan sebagainya.

Men-display atau menyajikan data merupakan

kegiatan mengumpulkan informasi serta

menyusunnya sehingga dapat memberikan

gambaran pola hubungan antardata. Hal ini

memungkinkan peneliti untuk penarikan

kesimpulan dan pengambilan tindakan berdasarkan

hasil penyusunan data tersebut. Dalam penelitian

kualitatif, penyajian data dapat disajikan dalam

bentuk uraian singkat, gambar, hubungan

antarkategori, dan sebagainya.

Setelah reduksi data, langkah berikutnya dalam

analisis kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan

verifikasi (Miles dan Huberman, 2007), atau

disebut juga conclusing/drawing, yaitu kesimpulan

dalam penelitian kualitatif yang masih bersifat

sementara, dan akan sangat tergantung kepada data

yang ditemukan di lapangan. Apabila tidak

ditemukan data-data yang mendukung kesimpulan

sementara tersebut, maka tidak akan berubah dan

dinilai sebagai kesimpulan yang tepat.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Desa X adalah sebuah desa yang terletak di

kabupaten Sumenep, tepatnya di wilayah di mana

pintu masuk ke kota Sumenep berada. Bisa

dikatakan, bahwa desa X ini termasuk pinggiran

kota. Luas desa X sekitar 1200 m2, terdiri dari tiga

dusun (A, B, C), dengan batas-batasnya adalah

sebagai berikut:

a. Dusun A dan dusun B, dibatasi oleh sebuah

sungai

b. Dusun B dan dusun C, dibatasi oleh tambak

ikan dan tambak garam yang cukup luas

Dari gambaran perbatasan wilayah dusun tersebut,

dapat disimpulkan bahwa jarak antara satu dusun

ke dusun lain terhitung cukup jauh. Sedangkan

perbatasan dengan wilayah lain adalah sebagai

berikut:

a. Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan

Saronggi

b. Sebelah utara berbatasan dengan desa Patean

dan desa Gung-gung (masuk wilayah kota

Sumenep)

c. Sebelah barast berbatasan dengan desa Sendir,

d. Sebelah timur berbatasan dengan desa Karang

Anyar

Lokasi geografis desa X yang berada di wilayah

pertengahan antara kota kecamatan dan kota

kabupaten, membuat desa X memiliki ciri-ciri

masyarakat pinggiran kota atau urban fringe yang

terjadi sebagai akibat penetrasi kota ke desa, yaitu

masuknya produk, nilai kekotaan, perilaku, gaya

hidup, dan lain-lain yang berasal dari kota.

Dari hasil observasi penulis di lapangan,

didapatkan hasil untuk mata pencaharian penduduk

desa X, sebagian besar (sekitar 60 %) adalah

sebagai petani, baik di sawah milik sendiri maupun

menggarap sawah milik orang lain. 20 % sebagai

pemilik dan penggarap tambak ikan (udang) dan

garam, dan sisanya adalah pedagang, peternak,

Page 7: FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI ...fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Patmawati.pdf · PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas

228

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019

PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:

PELUANG & TANTANGAN

Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

pegawai negeri, tukang ojek, dan ragam pekerjaan

lainnya. Seorang petani, bisa juga ia adalah pemilik

tambak, dan sekaligus pedagang. Peningkatan

pendapatan terjadi apabila musim tambak ikan tiba.

Orang tua dan anak muda, banyak yang bekerja di

tambak; sehingga hampir tidak ada orang usia

produktif yang menggangur di desa ini.

Jumlah penduduk desa X pada saat penelitian ini

dilakukan adalah sekitar 1.400 orang, dengan

pendapatan rata-rata sebesar Rp. 250.000,- per

bulan, sebagaimana diungkapkan oleh Bapak MJ,

Kepala Desa X. Tingkat pendidikan rata-rata

adalah SR (Sekolah Rakyat –setingkat SD pada

jaman dahulu), dengan perincian:

a. Aktif sekolah SD = + 150 orang

b. Aktif sekolah SMP = + 50 orang

c. Aktif sekolah SMU = + 50 orang

d. Aktif kuliah di PT = + 5 orang

e. Lulusan SR/SD = + 300 orang

f. Lulusan SMP = + 25 orang

g. Lulusan SMU = + 50 orang

h. Lulusan PT = + 5 orang

i. Sisanya adalah tidak sekolah, lulusan pondok

pesantren (nyantri), dan balita.

Data ini didapatkan dari penuturan lisan Kepala

Desa X, dalam proses wawancara.

Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam dua tahap:

1. Wawancara kepada 28 orang subyek penelitian,

mulai tanggal 2 Agustus – 30 September 2002.

2. Observasi, mulai Juli – Agustus 2002

Salah satu hasil interview yang cukup menarik

dengan bapak AS, ketika ditanya apa

pandangannya tentang kyai dan bagaimana

perilakunya terhadap kyai tersebut, adalah sebagai

berikut:

―Kyai bagi saya adalah panutan. Tempat bertanya

banyak hal, tetapi sebelum nyabis kepada kyai,

terlebih dahulu saya bicarakan masalahnya dengan

istri. Apapun keputusan kami berdua, ketika itu

tidak sejalan atau tidak sesuai dengan petunjuk

kyai, maka akan kami abaikan. Kami akan lakukan

sebagaimana petuah kyai, karena petuah itu

diperoleh berkat kedekatan kyai dengan gusti

Allah. Namun, tidak semua kyai itu baik. Kyai

sudah mulai terjun ke dunia politik, dan itu

membuat wibawanya berkurang. Menurut saya,

politik dekat dengan hal-hal duniawi dan kurang

tepat kalau kyai berkecimpung di dalamnya.

Alhamdulillah, kyai panutan saya tidak terjun ke

politik. Itu kyai yang benar dan saya sangat

menghormati kyai yang demikian. Setiap bertemu

dengan kyai, saya akan bersalaman sambil

mencium tangannya karena saya percaya kyai itu

mempunyai barokah‖. Bapak AS adalah salah seorang warga desa X yang

berdiam di dusun A.

Lain lagi pernyataan dari bapak K, beliau adalah

warga desa X yang bermukim di dusun B. Berikut

kutipannya:

―Saya menghormati kyai sebagaimana mestinya,

karena secara adat, kyai memang harus dihormati.

Dihormati karena ilmunya lebih dari saya yang

orang awam. Saya tidak pandang usia, bagi saya

kyai muda atau yang sudah sepuh sama saja. Saya

menghormati keduanya. Kalau bersalaman pun

mencium tangan. Namun, kyai tetap manusia biasa

yang bisa kuga berbuat salah; hanya mungkin

salahnya tidak berat seperti kita-kita yang awam

ini, karena ya itu tadi ... ilmunya banyak‖. Sedangkan ibu S yang bermukim di dusun A desa

X mengungkapkan hal ini:

―Kyai itu orang pilihan, dia pasti tidak pernah

berbuat salah. Semacam ada perlindungan. Beda

dengan kita yang orang biasa. Kalaupun di mata

kita salah, itu sesungguhnya tidak. Pasti ada tujuan

dari perbuatan salahnya. Kalau kita yang salah kan

ya memang beneran salah. Saya biasanya nyabis ke

dalemma (rumah –bahasa Madura halus, untuk

menunjukkan penghormatakyai, tapi bertemu

dengan n) nyai (sebutan untuk istri kyai)‖. Berbeda dengan Sdr. R, yang adalah lulusan sebuah

perguruan tinggi dan bermukim di dusun B.

menurut R, kyai adalah manusia biasa yang

mungkin lebih berilmu dari orang pada umumnya.

Ia menghormati kyai, sebagaimana penghormatan

pada orang yang lebih tua. Tidak ada yang

istimewa. Jika petunjuk kyai menurutnya salah,

maka ia memilih untuk mengabaikan dan

mengikuti keyakinannya sendiri.

Sedangkan Sdr. SJ, yang bermukin di dusun C,

mengungkapkan pernyataan yang tidak jauh

berbeda dengan Sdr. R. Kyai dihormati sebagai

perilakunya benar. Apalagi sekarang gampang

menjadi kyai. Cukup pernah mondok, jadi guru

ngaji, sudah dipanggil kyai. Kyai tidak lagi

―keramat‖ seperti dulu yang memang dipercaya punya kesaktian yang membuatnya disegani, selain

ilmu agamanya yang tinggi. Bertemu dengan kyai

yang sepuh, Sdr. SJ mengaku akan mencium

tangannya, namun jika kyai tersebut masih

seusianya atau lebih tua sedikit, ia akan bersalaman

biasa saja (tanpa cium tangan).

Hasil reduksi data dari interview yang dilakukan

dan penyajiannya, adalah sebagai berikut:

Page 8: FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI ...fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Patmawati.pdf · PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas

229

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019

PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:

PELUANG & TANTANGAN

Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

Tabel 1. Gambaran tentang frame of reference

subyek penelitian mengenai kyai

Definisi Kyai Jml Penilaian

terhadap kyai

Jml

Kyai adalah panutan 9 Semua kyai baik 13

Kyai adalah orang

yang pandai agama

16 Tidak semua

kyai adalah baik

15

Kyai adalah orang

yang ―berilmu‖

3

TOTAL 28 28

Alasan 46% subyek menganggap semua kyai baik

adalah karena tidak pernah mendengar kyai berbuat

salah dan kyai itu selalu menyebarkan pertolongan

dan kebaikan. Sedangkan 54% subyek lainnya

menilai tidak semua kyai baik adalah karena

sekarang banyak kyai yang terjun ke dunia politik,

kyai sama dengan manusia biasa, dan pernah

mendengar bahwa ada kyai sesat.

Rentang pendidikan 46 % subyek tersebut rata-rata

adalah pernah sekolah atau lulusan SR/SD, dan

SMP. Sedangkan 54 % subyek, tingkat

pendidikannya adalah SMP, SMU, dan PT.

Tabel 2. Gambaran tentang frame of reference

masyarakat desa X mengenai kyai

Tanggapan terhadap

kyai Jml

Sikap terhadap

kyai Jml

Kyai tidak pernah

salah 9 Menghormati 12

Kyai bisa saja berbuat

salah 19 Biasa-biasa saja 11

Sangat

menghormati 5

TOTAL 28 28

Alasan 32% subyek penelitian menilai kyai tidak

pernah salah adalah karena meyakini bahwa apapun

yang dilakukan kyai pasti untuk kebaikan.

Sedangkan 68% subyek penelitian menganggap

kyai bisa saja berbuat salah adalah walaupun

seorang kyai, harus melihat situasi dan kondisi

serta menghargai hak asasi manusia. Sebagai

contoh adalah ketika warga nyabis bersama-sama,

ada kyai yang tiba-tiba mengungkapkan aib salah

seorang di antara mereka. Mungkin tujuan kyai itu

baik, supaya malu dan jera; tetapi tetap saja itu

melanggar hak karena tanpa ijin orang yang aibnya

dibuka.

Ditelisik lebih jauh, dari 68% subyek yang menilai

kyai juga bisa berbuat salah, rentang tingkat

pendidikannya adalah SD/SR – PT, namun dari

32% subyek yang tidak meyalahkan kyai,

semuanya berpendidikan SR/SD.

Untuk sikap terhadap kyai, 60.7% dari subyek

penelitian berada pada rentang menghormati dan

sangat menghormati, sedangkan sisanya bersikap

biasa-biasa saja terhadap kyai. 60.7% subyek

penelitian tersebut, menghormati dan sangat

menghormati kyai karena beberapa alasan, yaitu

karena menghormati kyai adalah kewajiban, kyai

secara adat memang harus dihormati, kyai adalah

guru, agar dapat barokah dari kyai, dan karena kyai

derajatnya lebih tinggi dari manusia biasa.

Sedangkan yang biasa-biasa saja terhadap kyai,

mengungkapkan alasannya bersikap demikian

adalah karena kyai sama saja dengan manusia pada

umumnya, kecewa karena kyai banyak yang terjun

di dunia politik, dan jarang bertemu dengan kyai

sehingga merasa tidak telalu kenal bagaimana

perilaku kyai tersebut.

Tabel 3. Proses terbentuknya frame of reference

subyek penelitian tentang kyai

Faktor Keterangan Jml Ttl

Lingkungan

Sangat menghormati

kyai

14

28

Biasa-biasa saja 14

Keluarga

Sangat menghormati

kyai

14

28 Biasa-biasa saja 7

Heterogen/campuran 7

Faktor ajar

Diajari untuk bersikap

hormat pada kyai

20

28 Tidak diajari untuk

bersikap hormat pada

kyai

8

Contoh orang

tua

Sangat menghormati

kyai

20

28

Biasa-biasa saja 8

Menarik untuk dicermati dari paparan data pada

Tabel 3 di atas, bahwa mulai dari orang tua,

keluarga, dan lingkungan berada dalam rerata 61%

dalam hal mengajari dan memberikan contoh

kepada subyek penelitian untuk menghormati kyai.

Page 9: FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI ...fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Patmawati.pdf · PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas

230

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019

PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:

PELUANG & TANTANGAN

Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

Tabel 4. Bentuk Perilaku Subyek sebagai Manifestasi

Frame of Reference tentang Kyai

Bentuk

Perilaku

Keterangan Jml Ttl

Intensitas dalam

meminta

petunjuk kyai

Selalu meminta

petunjuk

10

28 Jarang meminta

petunjuk

4

Tidak pernah meminta

petunjuk

14

Ketika

menghadapi

masalah

Konsultasi pada kyai 7

28

Konsultasi kepada

keluarga, lalu kepada

kyai

10

Konsultasi ke keluarga

saja

3

Konsultasi kepada

teman

6

Konsultasi ke orang lain 1

Minta petunjuk kepada

Allah

1

Mencium

tangan ketika

bersalaman

Karena kyai lebih tua

(adat-istiadat)

9

28

Agar mendapat barokah 11

Kyainya berwibawa 2

Tanda hormat 2

Tanda bakti, karena

agama

2

Jarang cium tangan 2

Pembelaan

terhadap kyai

Menyadari hak orang

lain untuk tidak

menyukai kyai

22

28 Marah dan membela

kyai yang tidak disukai

oleh orang lain

6

Tabel 4 memetakan beberapa bentuk perilaku nyata

yang ditujukan kepada kyai, dalam kehidupan

keseharian subyek penelitian. 50% dari subyek

penelitian berada dalam rentang intensi jarang

sampai dengan selalu meminta petunjuk kyai,

dengan 25% di antaranya melibatkan keluarga

terlebih dahulu sebelum konsultasi kepada kyai.

Sedangkan untuk perilaku mencium tangan, yang

merupakan salah satu bentuk perilaku

penghormatan dan tanda bakti, dilakukan oleh 93%

subyek penelitian, dengan alasan ingin

mendapatkan barokah sebagai alasan terbanyak,

yaitu 42%. Untuk perilaku membela kyai yang

tidak disukai oleh orang lain, hanya dilakukan oleh

26% dari keseluruhan subyek penelitian yang

berjumlah 28 orang, selebihnya menyadari bahwa

sudah mennjadi hak orang lain untuk tidak

menyukai kyai yang kita sukai.

Conclusing/drawing dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Tabel 5. Conclusing/Drawing Frame of Reference

Masyarakat Desa X tentang Kyai

No

Dugaan

Faktor

Pembentuk

Hasil Perilaku Jml Sekolah

1 Nilai-nilai

orang tua a. Sangat

menghormati

kyai

b. Hormat

terhadap kyai

c. Kyai sama saja

dengan

manusia pada

umumnya

5 SD/SR

a. Hormat 3 SMP

b. Biasa saja

2 Nilai-nilai

Keluarga

a. Hormat 5 SD/SR

b. Biasa saja 2 SMP

c. Heterogen 2 SMU

3 Nilai-nilai

lingkungan

1 PT

a. Hormat

b. Biasa saja 1 SD/SR

4 Faktor ajar

orang tua

4 SMU

a. Diajari 5 PT

b. Tidak

diajari

Total 28

Tabel 5 didapatkan dari hasil reduksi data yang

bersumber dari wawancara mendalam (depth

interview) oleh penulis. Tabulasi tersebut

menyimpulkan bahwa:

a. Nilai-nilai orang tua terpetakan menjadi orang

tua yang menunjukkan sikap hormat terhadap

kyai dan sikap yang biasa-biasa saja terhadap

kyai.

b. Nilai-nilai keluarga terpetakan menjadi

keluarga yang menghormati kyai, keluarga yang

biasa-biasa saja terhadap kyai, dan keluarga

yang heterogen; yaitu keluarga yang

menghormati kyai dan keluarga yang biasa saja

terhadap kyai. Keluarga dimaksud ini adalah

keluarga besar (orang tua, saudara, kakek,

nenek, paman, bibi, sepupu, dll) yang masih

terhitung kerabat.

c. Nilai-nilai lingkungan, terpetakan menjadi

lingkungan yang hormat terhadap kyai dan

biasa saja. Tidak terdapat lingkungan yang

menunjukkan sikap negatif terhadap kyai.

d. Faktor ajar, faktor ajar ini adalah pembelajaran

dengan contoh atau perilaku dari orang tua.

Dipetakan menjadi dua, yaitu diajari dan tidak

diajari.

Page 10: FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI ...fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Patmawati.pdf · PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas

231

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019

PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:

PELUANG & TANTANGAN

Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

Ramuan berbagai faktor eksternal yang membentuk

frame of reference terhadap kyai tersebut

menghasilkan sikap yang sangat menghormati

terhadap kyai, hormat terhadap kyai, dan

menganggap kyai tidak ada bedanya dengan

manusia lainnya dan tidak perlu menghormati

secara berlebihan.

Kemudian, dari hasil tabulasi data tersebut (Tabel

5), penulis mengaitkan dengan tingkat pendidikan

subyek penelitian dan didapatkan hasil, bahwa 35.7

% subyek penelitian dengan tingkat pendidikan

SD/SR, 17.8% subyek penelitian dengan tingkat

pendidikan SMP, 7.1 % subyek penelitian dengan

tingkat pendidikan SMU, dan 3.5% subyek

penelitian dengan tingkat pendidikan PT; berada

pada level sangat menghormati dan hormat

terhadap kyai. Total subyek penelitian dengan level

tersebut adalah 64.3 %. Mayoritas subyek

penelitian pada kelompok ini, terutama yang

lulusan SD/SR dan SMP, adalah individu yang

berusia rata-rata 40 tahunan.

Sedangkan, 3.5% subyek penelitian dengan tingkat

pendidikan SD/SR, 14.3 % subyek penelitian

dengan tingkat pendidikan SMU, dan 17.8%

subyek penelitian dengan tingkat pendidikan PT;

menganggap kyai tidak berbeda dengan manusia

biasa lainnya. Total subyek penelitian yang

menyimpulkan demikian adalah 35.7%.

Menariknya, hanya 1 orang dari 28 subyek

penelitian yang berpendapat demikian, tingkat

pendidikannya adalah SD/SR.

Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan rangkaian

analisis data (reduksi sampai dengan

conclusing/drawing) tersebut, maka didapatkan

hasil sebagai berikut:

a. Masyarakat desa X adalah masyarakat yang

tergolong sangat menghormati dan

menghormati kyai.

b. Perilaku yang nampak pada hasil interview

adalah mereka cenderung berkonsultasi kepada

kyai ketika menghadapi permasalahan hidup,

mencium tangan ketika bersalaman dengan

tujuan mendapatkan barokah dan tuntutan adat-

istiadat.

c. Mereka memahami bahwa kyai pun bisa

berbuat salah, sehingga hanya sebagian kecil

dari mereka yang akan membela secara

membabi-buta jika kyai yang menjadi

panutannya disalahkan oleh orang lain.

d. Mereka menghormati kyai karena memang

orang tua, keluarga, dan lingkungan yang

mencontohkan demikian; dan tentunya juga

diajari oleh orang tua bagaimana cara

menghormati kyai.

Menarik untuk dibahas adalah temuan hasil

penelitan yang terpapar di Tabel 5 di atas, bahwa

secara kasat mata terdapat perbedaan sikap

terhadap kyai antara kelompok subyek penelitian

yang berpendidikan SD/SR dan SMP dengan

kelompok penelitian yang berpendidikan SMU dan

PT, di mana kelompok pendidikan SD/SR dan

SMP hasilnya adalah sangat menghormati dan

menghormati kyai, dan kelompok pendidikan SMU

dan PT, cenderung menganggap kyai sama saja

dengan manusia pada umumnya. Sehingga, timbul

hipotesis baru, apakah faktor pendidikan

berpengaruh dalam perbedaan frame of reference

tentang kyai?. Untuk ini, akan dibedah dalam

pembahasan di bawah ini.

Pembahasan

Frame of reference, atau kerangka pikir adalah

sebuah acuan atau panduan atas perilaku kita

terhadap sesuatu hal, dalam peneilitian ini adalah

kyai. Frame of reference tidak terbentuk seketika,

melainkan terbentuk secara simultan. Frame of

reference bersifat dinamis, ia bisa berubah dari

positif menjadi negatif, dan sebaliknya. Tergantung

pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Frame of reference tentang kyai pada masyarakat

desa X, pada umumnya adalah sangat menghormati

dan menghormati kyai, yanng mana dibentuk oleh

faktor internal dan eksternal. Internal adalah:

a. Motif, dalam penelitian ini tentunya adalah

motif berperilaku terhadap kyai. Sherif (dalam

Ahmadi, 1991), motif yang membentuk adalah

motif individu –seperti ingin mendapat barokah

dari kyai, motif sociogenic –seperti,

menghormati kyai karena melihat semua orang

di lingkungannya hormat, dan motif teogenic –seperti, ingin mendapatkan pahala dan barokah.

b. Sikap. Sikap terhadap kyai sebagai sikap

individual. Masing-masing subyek penelitian

memiliki ketidaksukaaan dan kesukaan

terhadap kyai yang berbeda-beda. Sedangkan,

sikap terhadap kyai yang termasuk sikap sosial

adalah adanya perilaku yang sama dan

berulang-ulang pada subyek penelitian, terkait

dengan sikap terhadap kyai, yaitu

kecenderungan untuk nyabis kepada kyai bila

mempunyai masalah hidup; dan perilaku

bersalaman sambil mencium tangan kyai.

c. Emosi, reaksi terhadap kyai memberi

sumbangan dalam pembentukan frame of

reference tentang kyai. Reaksi subyek terhadap

Page 11: FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI ...fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Patmawati.pdf · PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas

232

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019

PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:

PELUANG & TANTANGAN

Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

kyai, dalam penelitian ini; mayoritas bereaksi

positif, yaitu hormat terhadai kyai.. Mereka

menghormati kyai adalah karena ingin

mendapatkan barokah dan juga karena tradisi

yang mengajarkan bahwa mereka harus tunduk

kepada bhupak, bhabuk, guruh, rato. Di mana,

kyai menduduki strata ketiga untuk dihormati,

sebelum menghormati pemimpin.

d. Konsep. Konsep adalah hasil dari proses

berpikir, baik yang diperoleh secara sengaja

maupun tidak sengaja. Tidak sengaja biasanya

karena pengalaman dalam kehidupan sehari-

hari, dan inilah yang paling berperan dalam

pembentukan konsep. Menurut subyek

penelitian, mayoritas dari mereka, hidup

bersama orang tua, keluarga, dan lingkungan

yang memang menghormati kyai; sehingga

mereka pun tumbuh menjadi pribadi yang

kurang lebih sama karena demikianlah orang

tua, keluarga, dan lingkungan membentuk

konsep yang nyaris seragam tentang kyai

(Walgito, 1997).

e. Pengalaman masa lalu. Subyek penelitian

memiliki pengalaman masa lalu dengan kyai.

Pengalaman yang rata-rata postitif, membuat

subyek penelitian tumbuh menjadi pribadi yang

menghormati kyai. Pengalaman positif ini di

antaranya, subyek merasa mendapatkan

ketenangan hati setelah bertemu dengan kyai,

subyek merasa mendapat jalan keluar dari

masalah-masalahnya.

Eksternal adalah:

a. Lingkungan. Lingkungan sosial, dengan

keluarga sebagai lingkungan sosial primer.

Ditemukan fakta, bahwa orang tua, keluarga,

dan lingkungan mengajarkan, memberi contoh,

memberi konsep, bagaiman bersikap terhadap

kyai, seperti mencium tangan ketika bersalaman

dengan kyai dengan harapan agar mendapatkan

barokah dan adat istiadat. Perilaku ini terjadi

pada

b. Obyek. Obyek dalam hal ini adalah kyai itu

sendiri. Kyai dengan segala tingkah lakunya

yang mengundang decak kagum, derajat

kesalehannya yang dinilai lebih tinggi dari

orang lain pada umumnya, dan kyai yang

menunjukkan kelebihannya –meramal nasib,

jodoh, peruntungan, dan lain-lain; semakin

mengukuhkan anggapan bahwa kyai harus

dihormati.

c. Interaksi dengan orang lain. Interaksi dengan

orang lain yang pada umumnya berdiam di

tempat yang sama dan dengan pemahaman yang

hampir sama pula, menghasilkan frame of

reference yang nyaris homogen. Mungkin akan

berbeda cerita jika subyek penelitian pernah

bermukim di tempat lain dengan acuan yang

berbeda tentang kyai.

Meski demikian, terhadap kyai yang menjadi

panutan mereka, subyek penelitian masih

menganggap bahwa kyai bisa saja berbuat salah

dengan alasan kyai jaman sekarang banyak yang

terjun di politik. Politik, oleh subyek penelitian

dianggap sebagai urusan duniawi dan tidak

sepantasnya kyai, sebagai pemuka agama,

mengurusi politik yang pada umumnya berurusan

dengan harta dan tahta.

Temuan data di lapangan, dari hasil reduksi hingga

konklusi mendapat informasi menarik, di mana ada

perbedaan perlakuan dan perilaku terhadap kyai,

pada subyek penelitian dengan tingkat pendidikan

SD/SR–SMP dengan subyek penelitian dengan

tingkat pendidikan SMU-PT. Bahwa, subyek

dengan pendidikan rendah–menengah, tergolong

sebagai individu yang hormat–sangat menghormati

kyai, sementara subyek dengan pendidikan

menengah-atas; bergerak antara hormat-bersikap

biasa saja ketika bertemu kyai.

Ahli sosiologi (dalam Ahmadi, 1992) berpendapat

bahwa pendidikan adalah proses perubahan

perilaku, yang terjadi di dalam diri individu (dari

tidak tahu menjadi tahu –menitikberatkan pada

koginitif dan keterampilan teknis) dan di

masyarakat (dari tidak paham aturan menjadi

paham aturan). Jadi, semakin lama individu

mengenyam pendidikan –dalam hal ini adalah

bangku sekolah, maka semakin banyak menemukan

dan mendapatkan pengalaman baru. Kognitif,

afektif, dan kemampuan-kemampuan sosial, dapat

berkembang.

Berdasarkan penelitian Siti Rahayu Haditono yang

dilakukan pada tahun 1983, menemukan hasil

bahwa orang tua dengan frame of reference yang

sederhana, cenderung untuk mendorong anaknya

bekerja, alih-alih menempuh pendidikan lanjut

(dalam Haditono, dkk., 2001).

Terbentuknya sikap kritis, kemampuan pemecahan

masalah yang lebih tinggi, interaksi sosial dengan

banyak orang di luar lingkungan asalnya yang

terjadi pada saat menempuh pendidikan formal,

mengakibatkan individu mempunyai wilayah ruang

hidup yang lebih kompleks dari pada individu yang

tidak menempuh pendidikan tinggi –Teori Medan

Page 12: FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI ...fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Patmawati.pdf · PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas

233

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019

PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:

PELUANG & TANTANGAN

Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

(Kurt Lewin), sehingga faktor pembentuk frame of

reference individu juga lebih beragam sumbernya.

Interaksi antara faktor internal dan eksternal yang

membentuk frame of reference tentang kyai, maka:

pada saat individu memutuskan untuk mengikuti

apa yang dilakukan orang lain, dapat disimpulkan

bahwa faktor eksternallah yang lebih dominan.

Begitu pula, sebaliknya.

PENUTUP

Simpulan

Menghormati kyai bukan hanya tuntutan agama,

melainkan juga oleh diajarkan secara turun temurun

melalui tradisi suku Madura. Jika pada orang

Madura produk jaman dahulu (nampak pada usia

subyek penelitian yang sudah di atas 40 tahun,

pendidikan SD/SR – SMP), menghormati kyai

adalah demi hal-hal yang bersifat tradisi dan sakral

(mendapat barokah, mengikuti adat-istiadat), maka

pada subyek penelitian dengan rentang usia di

bawahnya yang berpendidikan SMU – PT,

menghormati kyai adalah hal logis yang perlu

dilakukan karena kyai lebih tua dan memiliki ilmu.

Jadi, mereka menghargainya. Nampak di sini,

mulai ada perbedaan frame of reference tentang

kyai pada kelompok subyek penelitian.

Namun demikian, rata-rata seluruh subyek

penelitian menganggap kyai adalah manusia biasa

yang walau pun punya kelebihan, jjuga bisa berbuat

salah. Hal ini disebabkan kyai jaman sekarang

sudah berbeda dari kyai pada jaman dahulu. Kyai

jaman sekarang banyak yang terjun ke dunia

politik, dan ini menyebabkan wibawa kyai

menurun.

Saran

Dari penelitian ini, penulis menyarankan

pentingnya pemahaman mempelajari frame of

reference untuk memahami latar belakang perilaku

seseorang, sehingga kita terhindar dari judgeing

atau prasangka yang pada akhirnya akan membuat

kita salah dalam memahami suatu peristiwa. Selain

itu pula, penghormatan terhadap perilaku etnis

tertentu mutlak diperlukan, demi menjaga

keragaman dalam kebhinekaan. Orang Madura

dengan frame of reference yang demikian tentang

kyai, hendaklah jangan dimanfaatkan untuk

kepentingan-kepentingan pribadi maupun

sekelompok orang dalam ranah negatif.

Untuk penelitian selanjutnya, penulis menyarankan

untuk lebih membedah persoalan bagaimana

pendidikan dapat membentuk frame of reference

seseorang yang tentunya diharapkan, sehingga

menghasilkan output perilaku yang sesuai dengan

kaidah kebaikan dan kebenaran dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bisri, Effendy. 1990. An Nuqayah: Gerak

Transformasi Sosial di Madura. Jakarta: P3M

(Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan

Masyarakat)

Usman, Ali. 2009. Madura Pasca Jembatan

Suramadu. Dapat diakses pada

http://kabarmadura07.blogspot.com/2009/03/ma

dura-pasca-jembatan-suramadu.html

Musthafa, M. 2016. Budaya Madura. Dapat diakses

pada

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/wp-

content/uploads/2016/10/2-39.

Wasesa, M.G. 1986. Dimensi-dimensi Psikologi

Sosial. Cetakan I. Yogyakarta: PT. Hanindika

Atkinson, Atkinson, dan Hilgard. 1991. Pengantar

Psikologi. Edisi ke-delapan. Jakarta: Erlangga

Ali, Fachry. 1999. Kyai Nyentrik Membela

Pemerintah. Bandung: Mizan.

Subky, Baharuddin H. 1995. Dilema Ulama dalam

Perkembangan Zaman. Jakarta: Gema Insani

Press.

Spradley, James P. 1979. The etnographic

interview. New York : Harcourt Brace

Javanovich College Publishers.

Hanurawan, F. 2016. Metode penelitian kualitatif

dalam ilmu psikologi. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Creswell, John W. 2014. Penelitian kualitatif dan

desai riset: memilih di antara lima pendekatan

(edisi 3), Jakarta: Pustaka Pelajar

Bogdan, Robert C. & Biklen, Sari Knopp. 1982.

Qualitative research for education: An

intoduction to theory and methods. Boston,

Massachusetts: Allyn and Bacon.

Sugiyono. 2006. Metode penelitian pendidikan:

Pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R & J.

Bandung: Alfabeta

Miles, M. B, & Huberman, A. Michael. 2000.

Analisis data kualitatif. Terjemahan Tjetjep

Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press

Walgito, Bimo. 1997. Pengantar Psikologi Umum,

Yogyakarta: Andi Offset

Page 13: FRAME OF REFERENCE MASYARAKAT MADURA TENTANG KYAI ...fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Patmawati.pdf · PENELITIAN ETHNOGRAFI DI DESA X KABUPATEN SUMENEP Patmawati Universitas

234

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019

PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:

PELUANG & TANTANGAN

Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

Ahmadi, Abu dan Widodo Supriyono. 1991.

Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta

Haditono, Sri Rahayu, Monks, F.J., dan Knoers,

A.M.P. 2001. Psikologi Perkembangan:

Pengantar dalam Berbagai Bagiannya.

Yogyakarta: Gajah Mada University