jurnal kualitatif untuk ilmu perilaku - e-mail:...
TRANSCRIPT
JURNAL KUALITATIF UNTUK ILMU PERILAKU
ISSN ( __________ )
Volume 1, Nomor 2, Desember 2020
Terbit dua kali setahun pada bulan April dan Desember. Jurnal Penelitian Kualitatif Ilmu-Ilmu
Perilaku memuat hasil refleksi permikiran tentang metode penelitian berpendekatan kualitatif
interpretif dan hasil penelitian empiris maupun non-empiris berpendekatan kualitatif interpretif
dalam bidang ilmu-ilmu perilaku (psikologi, sosiologi, antropologi, pendidikan, sejarah, dan
perilaku organisasi).
Ketua Penyunting
Fattah Hanurawan
Wakil Ketua Penyunting
Indah Yasminum Suhanti
Penyunting pelaksana
Rakhmaditya Dewi Noorizki
Angga Yuni Mantara
Yudi Tri Harsono
Mochammad Sa’id
Bima Arya Kuswirawan
Mitra Bestari
Cholichul Hadi (Jurusan Psikologi, Universitas Airlangga)
Achmad Muhammad Diponegoro (Jurusan Psikologi, Universitas Achmad Dahlan Yogyakarta)
Budi Eko Soetjipto (Jurusan Manajemen, Universitas Negeri Malang)
Mulawarman (Jurusan Psikologi, Universitas Negeri Semarang)
Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang
(UM). Jl. Semarang No. 5 Malang.
Alamat e-mail: ......
Langganan 2 kali setahun Rp. 100.000,-
Penyunting menerima naskah yang belum pernah diterbitkan di media lain. Petunjuk tata tulis
dapat dilihat di bagian belakang sampul. Naskah yang masuk akan dievaluasi oleh penyunting.
Penyunting dapat melakukan perubahan judul dan isi untuk keseragaman format tanpa mengubah
maksud dan isi.
JURNAL KUALITATIF UNTUK ILMU PERILAKU diterbitkan oleh
Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang
Dekan Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Malang Prof. Fattah Hanurawan
Jurnal Penelitian Kualitatif Ilmu Perilaku (JKIP) is organized by Faculty of Psychoology Education, Universitas Negeri Malang. JKIP has ISSN .... (print) and E-ISSN (online) ....
JKIP fisrt published on 2020 in print form.
Jurnal Penelitian Kualitatif Ilmu Perilaku memuat hasil refleksi pemikiran tentang metode
penelitian berpendekatan kualitatif dan hasil penelitian empiris berpendekatan kualitatif dalam bidang ilmu-ilmu perilaku (psikologi, sosiologi, antropologi, pendidikan, dan perilaku organisasi).
JKIP published twice a year in Apr il and December . Every submitted ar ticles will review with blind review method and two peer reviews.
Editor-In-Chief : Fattah Hanurawan
Vice Editor : Indah Yasminum Suhanti
E-mail Journal :
Journal Address : Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang, Gedung B4 Jalan Surabaya no. 5 Malang
JURNAL KUALITATIF UNTUK ILMU PERILAKU
DAFTAR ISI
Volume 1 Desember 2020 Nomor 2
1-18 Studi Literatur Kesiapan Remaja Memasuki Perguruan Tinggi Derry Kurniawan& Rahmi Mashita
Strategi Menghadapi Kecemasan Pada Single Mother ditengah Pandemi Covid-19 Fifi Dwi Mileniasari, Rodlotul Janah Amalia Rachma Ajeng, Ali Syahidin Mubarok, & Retno Sulistyaningsih
19-27
Strategi Coping Pada Remaja Yang Mengalami Pelecehan Seksual Karina Rizki Rahmawati
28-43
Penelitian Feneomenologi Model Gaya Kepemimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa Fakultas Mochammad Ilham Bismo
44-52
Penerimaan Orang Tua Etnis Jawa Pada Penderita Skizofrenia Bhina Hangudio Hutama Barapinta
53-61
Pencapaian Generativitas Mantan Narapidana Tindak Pidana Korupsi Dewasa Tengah Melynda Narawika Rengganis
62-70
Vol. 1, No. 2, Desember, 2021 Jurnal Kualitatif Untuk
Ilmu Perilaku Hal. 1-18
Studi Literatur Kesiapan Remaja Memasuki Perguruan Tinggi
Derry Kurniawan Magister Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Jl. HR. Soebrantas, KM. 15 No. 155, Pekanbaru, Riau, Indonesia 65145
E-mail [email protected]
Rakhmi Mashita Magister Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Jl. HR. Soebrantas, KM. 15 No. 155, Pekanbaru, Riau, Indonesia 65145
Email [email protected]
Informasi Artikel Abstrak
Tanggal masuk 07-09-2020 Tujuan dari penelitian ini mengkonstruksi konsepsi terkait kesiapan remaja me-masuki perguruan tinggi (college readiness) secara lebih kuat, sehingga dapat menambah literatur dari jurnal dalam negeri. Metode dalam dalam penelitian ini menggunakan studi literatur, dengan menggunakan teknik analisis deskriptif ter-hadap data literatur. Sumber data dalam penelitian berasal dari 83 literatur baik menggunakan artikel, jurnal maupun buku-buku terkait kesiapan remaja memasu-ki pergurun tinggi (college readiness). Hasil dari analisis sumber data didapatkan bahwa definisi dari kesiapan pendidikan tinggi adalah daya siap individu yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang multidimensi. Secara ringkas faktor konsep Kesiapan Pendidikan Tinggi ini terbagi menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi potensi diri, motivasi, situasi-kondisi, dan biaya. Sedangkan pada faktor eksternal meliputi lingkungan sosial, ekspektasi dan peluang, komunikasi informasi, dan institusional. Se-dangkan dampak yang ditimbulkan oleh kesiapan remaja memasuki pendidikan tinggi mengarah pada beberapa variabel yang terbagi menjadi tiga domain, yaitu individual performance, academic performance, dan benefit capitalization.
Tanggal revisi 08-09-2020
Tanggal diterima 30-09-2020
Kata Kunci:
kesiapaan perkuliahan; studi litaratur; referensi
Keywords: Abstract
generativity; former prisoner; middle aged.
The purpose of this study is to construct a stronger conception of adolescents' readiness before college (college readiness), so that they can add to literature from domestic journals. The method in this research uses literature studies, using descriptive analysis techniques of literature data. Sources of data in the study came from 83 literatures using articles, journals and books related to the readi-ness of adolescents before college (college readiness). The results of the data source analysis show that the definition of higher education readiness is an indi-vidual's readiness that is influenced by multidimensional strengthspersonal and interpersonal, are transitional in nature and can explain the reference point for
their readiness before entering college.In summary, the concept of higher educa-tion readiness is divided into two factors, namely internal factors and external factors. Internal factors include self-potential, motivation, conditions, and costs. Meanwhile, external factors include the social environment, expectations and opportunities, information communication, and institutions. Meanwhile, the im-pact caused by the readiness of adolescents before college leads to several varia-bles which are divided into three domains, namely individual performance, aca-demic performance, and benefit capitalization.
2 | Kurniawan & Mashita - Studi Literatur Kesiapan...
PENDAHULUAN
Fenomena kasus mahasiswa bunuh diri karena depresi di Samarinda (Yusuf, 2020), Bali (Riza,
2020), Semarang (Hari, 2020), Bandung (Ruslani, 2020), fenomena salah jurusan yang menunjuk-
kan angka kenaikan. Indonesia Career Center Network (ICCN) tahun 2017 mencatat 87 persen
mahasiswa Indonesia mengakui bahwa jurusan yang diambil tidak sesuai dengan minatnya dan
71,7 persen pekerja, memiliki profesi yang tidak sesuai dengan pendidikannya (Murdaningsih,
2019). Sedangkan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) menemukan fakta 92 persen siswa
SMA sederajat merasa bingung dan tidak tahu akan menjadi apa ke depannya (Murti, 2018). Serta
fenomena ketidakmerataan peminat pada pendidikan vokasi dan non-vokasi, menurut hasil statis-
tik yang dilakukan oleh Pusat Data dan Informasi Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi (Pusdatin) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) tahun
2018. Bahwasanya terdapat sebanyak 1.574.161 orang mendaftarkan diri menjadi mahasiswa pada
pendidikan tinggi non-vokasi (Universitas, Institut, dan Sekolah Tinggi). Sebaliknya, terdaftar
sejumlah 158.147 orang menjadi mahasiswa pada pendidikan tinggi vokasi (Akademik dan
Politeknik) (Arnani, 2019). Fenomena-fenomena di atas adalah salah satu fakta bahwa faktor yang
mempengaruhi fenomena bunuh diri mahasiswa, fenomena salah jurusan, fenomena ketidakmer-
ataan peminat pada pendidikan vokasi dan non-vokasi tersebut terjadi dikarenakan minimnya
kesiapan remaja sebelum memasuki perguruan tinggi.
Pentingnya pendidikan bagi anak-anak bangsa Indonesia termaktub pada pasal 9 (1), UU
23/2002 bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengem-
bangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Meski dalam un-
dang-undang 23/2002 sudah termaktub terkait pentingnya minat dan bakat anak, namun kesiapan
remaja memasuki perguruan tinggi (college readiness) ini belum menjadi perhatian khusus
pemerintah. College readiness atau kesiapan memasuki perguruan tinggi sudah lama diimplemen-
tasikan di luar negeri. Pengukuran mengenai kesiapan kuliah pada siswa terutama di jenjang
sekolah menengah atas, bahkan sudah diterapkan di sekolah menengah pertama (Wimberly & No-
eth, 2005; Radcliffe & Bos, 2013).
Studi literatur ini bertujuan membangun dan mengkonstruksi konsepsi secara lebih kuat ber-
basis penelitian-penelitian empiris yang pernah dilakukan, sehingga dapat menambah literatur dari
jurnal dalam negeri terkait pembahasan konsep college readiness, hasil dari penelitian ini diharap-
kan dapat menjadi gambaran tolak ukur kesiapan individu jelang memasuki kehidupan di perguru-
an tinggi. Dengan bertambahnya literasi dan formulasi terkait konsep teori kesiapan remaja me-
masuki perguruan tinggi (college readiness), hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mendorong
pemerintah dan perguruan-perguruan tinggi mengadopsi implementasi konsep kesiapan memasuki
perguruan tinggi (college readiness) pada remaja yang sudah berjalan di luar negeri, seta menstim-
ulasi peneliti-peneliti lainnya mengembangkan konsep kesiapan remaja memasuki perguruan ting-
gi (college readiness).
Sumber literatur dari penelitian ini adalah jurnal-jurnal penelitian di luar negeri terkait konsep
Jurnal Kualitatif Ilmu Perilaku | 3
kesiapan memasuki perguruan tinggi (college readiness). Hal ini dikarenakan minimnya penelitian
di Indonesia terkait konsep kesiapan memasuki perguruan tinggi (college readiness) sehingga hal
ini menjadi keunikan dan keaslian dalam penelitian ini.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan studi literatur. Menurut Millan
dan Schumacer (1997) empat strategi pengumpulan data dengan multi-metode dalam penelitian
kualitatif, yaitu dengan observasi partisipatif, wawancara mendalam, studi literatur dan artefak,
serta teknik pelengkap.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari 83 jurnal ilmiah. Jurnal-jurnal
yang digunakan tidak sebatas jurnal studi primer, namun juga berupa jurnal konseptual. Empat
belas berasal dari artikel dan kajian konseptual terkait kesiapan remaja memasuki perguruan tinggi
(college readiness), 10 berasal dari buku yang di cetak di dalam maupun luar negeri, 2 jurnal da-
lam negeri dan 57 jurnal internasional seperti Journal of Innovative Counseling: Theory, Practice,
and Research, Community College Journal of Research and Practice, Journal of Adolescent &
Adult Literacy, Journal of Educational and Psychological Consultation, A Journal of Educational
Strategies, Issues and Idea, Journal of Educational and Psychological Consultation, Journal of
Child and Adolescent Counseling, Journal of Education for Students Placed at Risk (JESPAR),
International Journal of Qualitative Studies in Education yang diperolah dari sci-hub, google
scholar melalui peramban. Data dari penelitian ini adalah data sekunder teks tertulis yang berisi-
kan penelitian terkait dengan kesiapan memasuki perguruan tinggi (college readiness) dalam ben-
tuk format berkas .pdf. Kemudian, dari data-data literatur yang terkumpul diseleksi sebagai data
yang akan dianalisa setelah melalui proses verifikasi kesesuaian tema dan tidak membatasi tahun
terbitan atau publikasi dari literatur tersebut.
Teknik analisis data dalam penelitian studi literatur ini menggunakan teknik analisis deskriptif,
yaitu dilakukan kajian analisa secara deksriptif, baik secara konseptual maupun empiris terhadap
83 artikel literatur. Jurnal-jurnal atau literatur yang sudah diseleksi kemudian ditelaah lalu data
yang sudah dipahami disintesiskan ke dalam bentuk tema atau kategori yang mengikat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Definisi College Readiness
Readiness menurut Sriyanti (2011) adalah kesiapan seorang individu dalam memberikan re-
spon tertentu terhadap suatu stimulasi. Lebih lanjut Sriyanti menambahkan dalam belajar readiness
memiliki peranan penting dalam belajar. Menurut Fuad (1981) Readiness adalah kesiapan
seseorang dalam merespon sebuah stimulant yang datang dari luar dirinya. Sedangkan School
Readiness adalah adanya kesiapan mental maupun fisik seorang anak untuk bersekolah. College
menurut kamus lengkap bahasa inggris M Echols dan Shadily (1975) adalah perguruan tinggi.
4 | Kurniawan & Mashita - Studi Literatur Kesiapan...
Menurut Conley (2003) College Readiness adalah gejala-gejala yang tampak pada fenomena
siswa menyiapkan akademiknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hingga selanjutnya, ter-
us berkembang pengkajian dari konsep ini oleh berbagai ilmuwan untuk dapat mengukur daya
psikologis yang terjadi pada individu secara saintifik. Dari temuan beberapa literatur yang didapat
telah dianalisa secara materi untuk dapat menyimpulkan definisi-definisi sebagai berikut;
1. College Readiness sebagai kekuatan dimensi personal individu
Convertino & Mein (2018) menyatakan bahwa College Readiness ditandai dengan adanya
perencanaan atas pengetahuan siswa dan orang tua siswa terkait studi yang diminati, kemampuan
dalam mengerjakan tugas secara layak, modal keterampilan berakademik. Jauh sebelum dari itu,
Grimes (1997) mengidentifikasi tanda-tanda College Readiness individu dari penguasaan kontrol
internal dan eksternal terhadap persiapan masuk kuliah. Sisi kontrol eksternal menunjukkan daya
penyelesaian tugas yang mumpuni dan dapat menuntaskan hambatan dan kecemasan selama di
perguruan tinggi. Sedangkan sisi kontrol internal ditunjukkan dengan harga diri, strategi belajar,
dan nilai IPK (Grimes, 1997). Adapun Mijares (2007) yang menyatakan bahwa siswa yang siap
kuliah harus memiliki atribut khusus seperti pengetahuan, keterampilan, dan perilaku untuk me-
nyelesaikan perguruan tinggi program studi berhasil, tanpa remedial. Conley (2008) meninjau
kembali definisi College Readiness sebagai empat komponen yang perlu diperhatian dalam me-
nyusun kerangka pengukuran kesiapan kuliah partisipan; strategi kognitif, pengetahuan konten
akademik, perilaku akademis, kesadaran dan keterampilan secara kontekstual. Kemudian Roder-
ick dkk (2009) mengartikan College Readiness sebagai daya kesiapan individu yang mencakup
empat keterampilan esensial, pengetahuan terhadap studi yang diminati, keterampilan dasar, ket-
erampilan akademik, dan pengetahuan terhadap kampus. Maruyama (2012) mengartikan College
Readiness sebagai perspektif individu terhadap proses pencapaian pendidikan, dimana perspektif
tersebut merupakan akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang mempersiapkan dirinya untuk
kuliah. Komarraju dkk (2013) mengemukakan definisi dari College Readiness sebagai keterli-
batan faktor kognitif dan non-kognitif pada individu untuk mempersiapkan diri berkuliah. Faktor
kognitif ditandai dengan adanya test uji masuk sebagai indikator kelulusan, sedangkan faktor non-
kognitif ditandai dengan efikasi diri berakademik, motivasi akademik, dan tujuan akademik
(Komarraju, 2013). Knotek dkk (2019) menyebutkan pengertian dari College Readiness sebagai
strategi psikologis individu yang bersifat sosial-emosional dimana terdiri dari aspek penentuan
nasib diri, advokasi diri, manajemen diri, dan pertumbuhan pola pikir pribadi. Penentuan nasib
sendiri dijelaskan sebagai pengambilan keputusan individu, pemecahan masalah, pengaturan diri,
kesadaran diri, pengetahuan diri, dan penetapan tujuan bagi si individu. Advokasi diri
(kemandirian diri) dijelaskan sebagai kemampuan individu untuk merencanakan tujuan akademik
dan cara untuk melaksanakan tujuannya. Manajemen diri diartikan sebagai kemampuan individu
untuk menentukan target tujuan dan mensiasati strategi kontrol diri untuk stabil pada jalur pen-
capaian tujuannya. Pertumbuhan pola pikir diartikan sebagai kecerdasan individu atau mindset
yang berkembang pada dirinya untuk bisa secara fleksibel mentransisikan diri di jenjang pendidi-
Jurnal Kualitatif Ilmu Perilaku | 5
kan tinggi (Knotek et al., 2019).
2. College Readiness adalah daya siap yang bersifat transisional
McDaniel (2014) menyatakan College Readiness sebagai proses mentransisikan diri dari jen-
jang sebelumnya ke jenjang perguruan tinggi dengan meningkatkan kemampuan dalam tugas
membaca dan menulis serta penggunaan teknologi secara memadai. Foote A., Schulkind L.,
Shapiro T M. (2015) mengartikan College Readiness sebagai kebutuhan informasi yang akan
menjawab bagaimana individu akan menempuh pendidikan tinggi dengan baik. Verrell & McCabe
(2015) menyatakan College Readiness sebagai daya siap individu dengan strategi belajar mandiri
meregulasi diri. Harvey dkk (2019) menyebutkan definisi College Readiness sebagai mekanisme
mengenal dunia perkuliahan yang tahap awalnya partisipan mengenal apa itu kampus, kemudian
disokong dengan dukungan dan kepercayaan guru terhadap masa depan kelak ia menjadi, dit-
ambah dengan intervensi program untuk mempersiapkan modal utama berkuliah.
3. College Readiness adalah kemampuan menyiapkan akademik individu secara personal-
interpersonal
Cabrera dkk (2006) menyatakan College Readiness sebagai keadaan anak atau siswa menjadi
siap untuk kuliah ketika orang tuanya, guru sekolahnya beserta jajaran staf sekolahnya, teman per-
gaulannya dan ikatan komunitas yang dimilikinya terlibat bersama anak tersebut. Martin (2013)
mengartikan College Readiness sebagai komitmen terhadap pendidikan, keterampilan sumber
daya dan manajemen diri, keterampilan sosial dan interpersonal, keterampilan keberhasilan akade-
mik, dan keterampilan perencanaan karir. Nuraan Agherdien, Michelle Mey & Paul Poisat (2018)
menyatakan College Readiness sebagai daya siap individu yang dipengaruhi oleh lima faktor; sta-
tus sosio-ekonomi, kemampuan akademis, dukungan termekanisme, level motivasi, dan kondisi
serta integritas institusi terkait.
4. College Readiness sebagai titik acuan daya ekspektasi eksternal terhadap diri individu agar
siap dan mampu berkuliah.
Greene and Forster (2003) menggambarkan siswa yang siap kuliah ketika mereka telah men-
capai penanda tertentu, seperti lulus dengan nilai yang tinggi dari sekolah, menyelesaikan kursus
yang ditentukan dalam berbagai mata pelajaran, dan mencapai skor tertentu pada penilaian yang
diakui secara nasional sebagai indikasi dari College Readiness. Laura Jean Cortez, Melissa Ann
Martinez & Victor B. Sáenz (2014) mengartikan College Readiness dengan memposisikan peran
orang tua sebagai pendorong emosional, finansial, dan moral agar anak siap kuliah jelang
kesuksesan. Marisa Castellano, Kirsten Ewart Sundell & George B. Richardson (2017) menya-
takan College Readiness sebagai tujuan yang mengindikasikan tercapai atau tidaknya pelaksanaan
program yang meningkatkan akuntabilitas serta prestasi akademik dan penguasaan teknis yang
selaras terhadap instansi atau lembaga tempat siwa tersebut bernaung, seperti pemerintahan, pe-
rusahaan keluarganya, dan semacamnya.
Kerangka teoritis College Readiness
6 | Kurniawan & Mashita - Studi Literatur Kesiapan...
1. Conley’s four-dimensional model atau the dimensions of Conley’s college readiness model
Model empat dimensi College Readiness yang direfleksikan oleh Conley (2008) mengungkap-
kan adanya empat komponen yang perlu diperhatian dalam menyusun kerangka pengukuran
kesiapan kuliah partisipan yaitu pengetahuan konten akademik (key content knowledge), perilaku
akademis (academic behavior), kesadaran dan keterampilan secara kontekstual (contextual skills
and awareness), dan strategi kognitif (key cognitive strategies). Pada komponen pengetahuan
konten akademik meliputi keterampilan, konsep, dan prinsip dasar untuk subjek akademik. Pada
komponen perilaku akademis meliputi kemampuan siswa untuk dapat diatur atau dipimpin ke-
bijakan, memiliki keterampilan belajar, dan mampu bekerja dalam dinamika kelompok. Pada
komponen kesadaran dan keterampilan secara kontekstual mewakili kemampuan mendapatkan
informasi tentang sistem kampus dan norma yang diperlukan untuk kesuksesan akademik dan
navigasi di lingkungan kampus. Kemudian pada komponen strategi kognitif mencakup pengem-
bangan intelektual selama periode menjalani kehidupan kampus yang mengarah pada tingkat ka-
pabilitas pengerjaan tugas kampus. Contoh dalam komponen ini adalah kemampuan merumuskan
masalah, mengkomunikasikan informasi, meriset, kemampuan problem solving, kemampuan
menginterpretasi, membuat presisi dan akurasi pernyataan, dan sebagainya (Baber, L. D., Castro,
E. L., & Bragg, D. D., 2010; Agherdien, Mey & Poisat, 2018).
2. Tinto’s Theory
Landasan teoritis mengenai College Readiness juga diutarakan oleh Vincent Tinto (2015)
yang menjelaskan tentang tiga sumber utama terjadinya putusnya akademik pada siswa yaitu
kesulitan akademik, ketidakmampuan individu menyelesaikan tujuan pendidikannya, kegagalan
mereka untuk tetap menjadi atau tergabung dalam kehidupan intelektual dan sosial lingkungan
akademik. Ia pun menambahkan bahwa untuk dapat bertahan dalam mengatasi ancaman tersebut
maka siswa membutuhkan integritas ke wilayah formal akademik seperti prestasi akademik dan ke
wilayah informal akademik seperti interaksi terhadap lingkup peran staf fakultas akademik, juga
integritas ke dalam sistem formal akademik seperti kegiatan ekstrakurikuler formal akademik dan
sistem informal akademik seperti interaksi kelompok teman atau rekan sebaya di lingkungan
akademik (Tinto, 2015). Dalam model yang ia kembangkan menambahkan, dengan adanya pen-
erapan retensi terhadap siswa dianggap cukup efektif terhadap College Readiness nantinya. Ter-
dapat tiga landasan efektifitas retensi siswa dalam modelnya yaitu: (1) komitmen institusional
kepada siswa, (2) komitmen pendidikan terhadap siswa, dan (3) pengembangan yang mendukung
komunitas intelektual dan sosial (Tinto, 2015).
3. Pendekatan Funds of Knowledge
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang dikembangkan oleh Gonzalez dkk (2008) yang
bersifat melakukan penggalian perspektif terhadap objek. Funds of Knowledge disebutkan sebagai
variasi metode riset untuk menemukan kekayaan sumber dari berbagai budaya dan kognitif
komunitas (Gonzalez, N.,Moll, L., Amanti, C, 2008). dengan metode riset tersebut, Gonzales dkk
(2008) memastikan perwakilan dari institusi lembaga pendidikan saat memasuki wilayah anak-
Jurnal Kualitatif Ilmu Perilaku | 7
anak dalam komunitas tertentu yang bersifat sulit terjangkau akan mendapatkan sumber daya dan
kekuatan yang berbeda dari komunitas tersebut, seperti halnya perspektif, persepsi, sikap, makna,
dan seterusnya terhadap konsep College Readiness. Hal itu dibuktikan dengan pengujian riset
yang dilakukan oleh Laura Jean Cortez, Melissa Ann Martinez & Victor B. Sáenz (2014) dan Ki-
yama (2011).
4. Pendekatan Pendidikan Liberal (Liberal Education Approach)
Pendekatan yang dikemukakan oleh HRA (Hart Research Associates) menyatakan bahwa
maksud dari pendidikan liberal adalah sebuah pendekatan yang dilakukan oleh pendidikan
perguruan tinggi yang memberikan pengetahuan yang luas di berbagai bidang studi serta penge-
tahuan dalam jurusan atau bidang minat tertentu. Ini juga membantu siswa mengembangkan rasa
sosial tanggung jawab, serta keterampilan intelektual juga keterampilan praktis yang mencakup
semua bidang studi, seperti komunikasi, analitis, dan keterampilan pemecahan masalah (problem
solving), dan kemampuan menerapkan pengetahuan dan keterampilan di dalam lingkungan
masyarakat (Hart Research Associate, 2013). Dalam studinya mengasosiasikan sampel pada para
pekerja terhadap konsep pendidikan liberal dalam perguruan tinggi yang mana diharapkan ket-
erampilan-keterampilan yang dibangun akan membantu dalam konteks kehidupan. Dengan pen-
dekatan ini, College Readiness akan terpusat pada subjek anak terkait minat atau bidang studi
yang ditekuni kemudian dilakukan pemberdayaan terhadap keterampilan intelektual dan ket-
erampilan praktisnya.
Faktor dan Dampak College Readiness
Faktor yang mempengaruhi College Readiness
Para peneliti yang mengkaji seputar konsep College Readiness mendapati beberapa variabel
yang mempengaruhi College Readiness ke dalam dua kategori umum, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari potensi diri, dimana Barnes & Rojas (2010) menan-
dainya dengan adanya indikasi daya kreatifitas, berfikir kritis, efikasi diri dan regulasi diri pada
anak jelang menentukan apakah dirinya siap untuk kuliah atau sebaliknya. Barnes & Rojas pun
menambahkan, penguasaan subjek materi pelajaran yang berkaitan dengan materi kuliah turut
mempengaruhi daya siap kuliah anak (Barnes & Rojas, 2010). Senada dengan temuan Greens &
Winter (2005), semakin sering dilakukan pengujian materi akan menaikkan tingkat kesiapan
kuliah anak. Adapun variabel potensial lainnya, seperti daya latih (Convertino & Mein, 2018),
strategi belajar dan kemampuan coping yang dimiliki (Conley, 2008), kemampuan berbahasa bi-
lingual (Garza-Reyna dkk, 2019), bakat, sikap, dan prestasi (Indriyanti & Ivada, 2013), niat
(Martin, 2013) dan keterampilan seperti kemampuan membaca atau meliterasi (Springer dkk,
2014) akan berdampak pada daya siap individu untuk memasuki jenjang perguruan tinggi.
Kemudian, faktor internal lainnya yaitu motivasi, dimana Budge dkk (2019) adanya kebutuhan
yang dipenuhi bagi siapapun yang siap berakademik di perguruan tinggi. Sehingga kebutuhan
menjadi pendorong anak untuk siap kuliah (Budge dkk, 2019). Variabel lain seperti keyakinan
8 | Kurniawan & Mashita - Studi Literatur Kesiapan...
(Indriyanti & Ivada, 2013), pengambilan keputusan (Sawaji dkk, 2010), menargetkan gelar sebagai
salah satu motivasi akademik dan tujuan akademik (Komarraju dkk, 2013) turut menyumbang
pengaruh terhadap daya siap kuliah individu. Adapun faktor internal selanjutnya yaitu biaya, di-
mana Foote dkk (2015) menyatakan bahwa anak yang siap kuliah bilamana terkendala pada segi
biaya perkuliahan cenderung menolak untuk berkuliah. Senada dengan Bausmith & France (2012)
dan Sawaji dkk (2010), oleh karenanya beasiswa (Gonzalez dkk, 2014) dan segala bentuk program
interventif kesiapan kuliah yang bebas biaya (Kallison & Stader, 2012) akan berpengaruh pada
tingkat daya siap kuliah individu. Terakhir pada faktor internal College Readiness adalah situasi-
kondisi, dimana bentuk-bentuk variabel seperti gambaran lingkungan masyarakat dan teman-
teman (Indriyanti & Ivada, 2013) menjadikan simbol kondisional diri individu untuk menetapkan
keputusan kuliah atau tidak. Senada dengan itu, status urban (Budge dkk, 2019), sosioekonomi dan
keadaan minoritas (Her, 2014) seseorang akan menjadi pertimbangan individu ingin berkuliah atau
tidak. Sebagai contoh, kultur ras kulit (Kelley dkk, 1998). Keadaan lain seperti putus sekolah
(Kemple dkk, 2013), program kebijakan negara (Mokher & Leeds, 2019), dan kesehatan mental
(Osborn & Belle, 2019), dan daya resiko lainnya (Raines & Talapatra) menentukan College Readi-
ness individu.
Sedangkan faktor eksternal terdiri dari ekspektasi dan peluang, dimana variabel-variabel yang
mempengaruhi College Readiness diantaranya adalah pengalaman hidup dan cita-cita menjadi in-
dikasi yang diidentifikasikan oleh Indriyanti & Ivada (2014). Dilanjutkan dengan temuan variabel
faktor lainnya seperti self-expectation (Kelley dkk, 1998), program akselarasi (Dougherty dkk,
2017), sosok konselor yang diharapkan (Roach, 2019) dengan pengembangan keprofesional-
itasannya (Sondergeld dkk, 2013) serta kesempatan mendapatkan sumber informasi dan penyalu-
ran informasi (Martinez dkk, 2013) akan menentukan taraf kesiapan kuliah individu. Lalu variabel
faktor eksternal lainnya adalah lingkungan sosial. Dimana faktor tersebut diindikasikan oleh
karakteristik sosial yang berkaitan dengan kebutuhan pribadinya (Barnes & Slate, 2013), pengaruh
teman dan persepsi masyarakat (Indriyanti & Ivada, 2013), dukungan sosial dan labeling ling-
kungan (Osborn & Belle, 2019), dan intervensi kesiapan (Raines & Talapatra, 2019) seperti halnya
muncul dari teman sebaya (Zulfa dkk, 2018), kepercayaan guru terhadap diri individu (Harvey
dkk, 2019), kelompok rujukan seperti komunitas alumni (Sawaji dkk, 2010), tujuan yang sama ter-
koneksi oleh anggota sekelompoknya (Malott dkk, 2019), serta program lingkungan positif
(Rivera dkk, 2019) diprediksi memiliki pengaruh signifikan terhadap College Readiness individu.
Tidak hanya itu, potensial lingkungan sosial berupa kultur budaya (Kolluri & Tierney, 2020),
kesukuan (Cortez dkk, 2014), dan tipikal berbahasa (Turner & Danridge, 2014) memiliki daya
tersendiri untuk menyikapi College Readiness.
Kemudian terdapat variabel faktor eksternal lainnya adalah komunikasi informasi, yang mana
ditandai oleh beberapa temuan periset terhadap College Readiness berupa komunikasi pemasaran
(Sawaji dkk, 2010), salah satu strategi komunikatif sosialisasi orang tua terhadap anak (Sondergeld
dkk, 2013), dilanjutkan dengan saran dan masukan dan informasi seputar kampus (Cates &
Jurnal Kualitatif Ilmu Perilaku | 9
Schaefle, 2011), informasi pendaftaran (Jackson, 2015), juga dapat diterapkan pada guru di ling-
kungan sekolah dalam mengkomunikasikan pemahaman guru terkait materi yang linear pada ma-
teri kampus (Jo & Milson, 2013) dan makna pendidikan (Martinez dkk, 2013) kepada anak agar
terstimuli kesiapannya memasuki jenjang perkuliahan. Lalu yang terakhir adalah variabel faktor
institusional, yang ditandai beberapanya antara lain tantangan dan hambatan dari persyaratan ma-
suk kampus (Convertino & Mein, 2018), keterangan mengenai kelembagaan kampus itu sendiri
(Indriyanti & Ivada, 2013) seperti kategori jenis institusinya (Hackmann dkk, 2018), dan citra
perguruan tinggi (Sawaji dkk, 2010). Adapun institusi berupa kelembagaan kursus, seperti halnya
bimbel (bimbingan belajar) atau program-program lainnya akan dapat mempengaruhi College
Readiness bila terpenuhi beberapa variabel berikut yaitu fasilitas kebutuhan siswa (Sondergeld
dkk, 2013), efektifitas program kesiapan (Harvey dkk, 2019), program yang bersifat vokasional
(Lakes & Donovan, 2018), praktik-praktik dalam pembelajaran (Phillips dkk, 2015), integritas
program (Ring, 2016), dan fasilitas program kesiapan (Schaefer, 2014).
Dampak College Readiness
Secara praktis, dampak dari College Readiness digolongkan menjadi tiga bentuk, yaitu individ-
ual performance, akademic performance, dan benefit capitalization. Semuanya terangkum dalam
beberapa literatur yang sudah dipelajari kemudian dianalisa sesuai kategori yang tepat. Tanpa per-
lu disertakan pembuktian, sangat diharapkan kepada pembaca apabila dengan memeriksa kembali
referensi yang tersadur akan turut membantu validasi temuan variabel dampak dari College Readi-
ness.
Untuk kategori individual performance mencakup dampaknya padanya mudah berkesempatan
masuk mendaftar ke perguruan tinggi (Cabrera dkk, 2006), prestasi akademik (Castellano dkk,
2017), tidak banyak melakukan remedial (Wilson & Lowry, 2017), berkesempatan mendapatkan
tantangan dan hambatan (Convertino & Mein, 2018), menumbuhkan kesempatan dalam men-
gaplikasikan apa yang didapatkan di kampus semasa kehidupan sehari-hari (Budge dkk, 2019),
kompetensi nonkognitif dan keakraban terhadap dunia kampus (2015), Kemampuan perencanaan
karir (Martin, 2013), Keberanian diri (self-courage) (Mokher & Leeds, 2018), dan kebiasaan
menulis (Relles & Tierney).
Kemudian untuk kategori akademic performance mencakup dampaknya pada kesuksesan akad-
emik (Conley, 2008), penyelesaian akademik (Convertino & Mein, 2018), kebutuhan akan tutoring
dan mentoring (Cates & Schaefle, 2011), membangun resiliensi dalam proses berakademik (Rivera
dkk, 2017), pengembangan strategi untuk belajar mandiri (Verrell & McCabe, 2015). Terakhir pa-
da kategori benefit capitalization mencakup dampaknya pada orang tua yang berkenan memasuk-
kan anaknya ke kampus (Cortez dkk, 2014), kesuksesan pendidikan dan ekonomi (Dougherty dkk,
2017), pengembangan kategori pelaporan akuntabilitas dan definisi sukses (Fina dkk, 2018), men-
gidentifikasikan area permasalahan siswa untuk diberikan coaching (Komarraju dkk, 2013),
menentukan kebijakan industrial (Lakes & Donovan, 2017).
10 | Kurniawan & Mashita - Studi Literatur Kesiapan...
KESIMPULAN
College Readiness adalah kondisi kesiapan mental maupun fisik seseorang dalam menghada-
pi persiapan masuk ke ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dalam makna yang lebih luas Col-
lege Readiness adalah merupakan kekuatan dimensi personal individu, daya siap yang bersifat
transisional, kemampuan menyiapkan akademik individu secara personal-interpersonal, sebagai
titik acuan daya ekspektasi eksternal terhadap diri individu agar siap dan mampu berkuliah.
Teori yang mendukung kerangka berpikir College Readiness diantaranya yaitu Conley’s four
-dimensional model , Tinto’s Theory , Pendekatan Funds of Knowledge, Pendekatan Pendidikan
Liberal (Liberal Education Approach). Conley’s four-dimensional model menekankan pada empat
komponen yang perlu diperhatian dalam menyusun kerangka pengukuran kesiapan kuliah penge-
tahuan yaitu: konten akademik (key content knowledge), perilaku akademis (academic behavior),
kesadaran dan keterampilan secara kontekstual (contextual skills and awareness), dan strategi kog-
nitif (key cognitive strategies). Teori Tinto menekankan tiga sumber utama terjadinya putusnya
akademik pada siswa yaitu kesulitan akademik, ketidakmampuan individu menyelesaikan tujuan
pendidikannya, kegagalan mereka untuk tetap menjadi atau tergabung dalam kehidupan intelektual
dan sosial lingkungan akademik. Pendekatan Funds of Knowledge menekankan kepada penggalian
perspektif terhadap objek dalam hal ini adalah perspektif subjek terhadap college atau pendidikan
tinggi agar subjek lebih dapat mepersiapkan diri menghadapinya. Yang terakhir adalah teori Pen-
dekatan Pendidikan Liberal (Liberal Education Approach) pendekatan ini adalah pendekatan yang
dilakukan oleh perguruan tinggi yang memberikan pengetahuan yang luas untuk membantu siswa
mengembangkan rasa sosial tanggung jawab, serta keterampilan intelektual juga keterampilan
praktis yang mencakup semua bidang studi, seperti komunikasi, analitis, dan keterampilan pemec-
ahan masalah (problem solving), dan kemampuan menerapkan pengetahuan dan keterampilan di
dalam lingkungan masyarakat.
Secara ringkas faktor dan dampak College Readiness dapat disimpulkan variabel yang
mempengaruhi konsep College Readiness terbagi menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal meliputi potensi diri, motivasi, situasi-kondisi, dan biaya. Se-
dangkan pada faktor eksternal meliputi lingkungan sosial, ekspektasi dan peluang, komunikasi in-
formasi, dan institusional. Dan dampak yang ditimbulkan oleh College Readiness mengarah pada
beberapa variabel yang terbagi menjadi tiga dimensi, yaitu individual performance, akademic per-
formance, dan benefit capitalization.
Diskusi dan Saran
Pada umumnya, siswa yang lulus seleksi perdaftaran masuk perguruan tinggi hanya berdasar-
kan hasil test materi. Menurut peneliti, hal itu tidak tepat sasaran untuk memilah calon mahasiswa
yang tepat dinilai dari aspek minat dan bakat calon mahasiswa. Saat ini masih banyak perguruan
tinggi yang menggunakan seleksi dengan mengkategorisasikan jurusan perkuliahan dalam segmen
dikotomi antara IPA dan IPS (salah satu contoh yang tidak tepat adalah menetapkan posisi
Jurnal Kualitatif Ilmu Perilaku | 11
keilmuan adalah jurusan psikologi, dikarenakan ilmu psikologi dapat diterapkan secara IPA mau-
pun IPS). Dengan penentuan yang tepat atas minat dan bakat calon mahasiswa, fenomena-
fenomena yang telah terjadi saat ini dapat dicegah, karena individu yang melakukan sesuatu atas
dasar kesukaan atau minat maupun bakat. Akan lebih dapat men-counter stress yang berpotensi
membuat seseorang menjadi depresi.
Oleh karena itu, saran dari hasil studi literatur terkait kesiapan remaja sebelum memasuki
perguruan tinggi (college readiness) ditujukan kepada pemerintah, perguruan tinggi dan para
peneliti lain, untuk dapat memberikan perhatian khusus terhadap kesiapan remaja sebelum me-
masuki perguruan tinggi (college readiness). Bentuk perhatian tersebut bias dengan mengem-
bangkan alat ukur kesiapan pendidikan tinggi yang disesuaikan pada pembacaan lokal kehidupan
anak di wilayahnya. Mengingat berpengaruhnya konteks budaya juga pemaknaan kolektif
mengenai perguruan tinggi. Hal ini patut diseriusi karena segala pilihan dalam menempuh ke-
hidupan akademik tentunya memiliki konsekuensi di masa depannya, bagi individu itu sendiri.
Selain kecerdasan intelektual, minat dan bakat akan mempengaruhi kemampuan individu dalam
menjadi sumber daya manusia kompeten di bidangnya. Dalam lapangan kerja yang nyata sanga-
tlah penting menempatkan sumber daya manusia sesuai kompetensinya, ‘right man in the right
job’ maka sangatlah penting mempersiapkan diri pada saat akan menempuh perguruan tinggi,
‘right college in the right purpose’.
DAFTAR RUJUKAN
Agherdien, N., Mey, M., Poisat, P. (2018). Factors Impacting on Students’ Readiness for Higher
Education, Africa Education Review, 15:1, 52-71, DOI: 10.1080/18146627.2016.1224596
Andreas, D. 2018. https://tirto.id/mengapa-pengangguran-terbanyak-justru-lulusan-smk-cJ6Y, di-
akses pada bulan Mei 2020.
Aprianto, D., Khairrunnisa, U. (2013). Hubungan Sumber Daya Manusia Terhadap Tingkat Pen-
didikan Dan Pengangguran Terbuka Di Indonesia. Seminar Ilmiah Nasional Psikologi,
Ekonomi, Sastra, Arsitektur, dan Teknik Sipil 2013, Universitas Gunadarma. Jakarta, Indo-
nesia.
Arnani, M. 2019. https://edukasi.kompas.com/read/2019/03/29/17383141/9176-kuota-dari-21-
sekolah-kedinasan-dibuka-april-ini-rinciannya?page=all, diakses pada bulan Mei 2020.
Baber, L.D., Castro, E.L., and Bragg, D.D. 2010. Measuring Success: David Conley’s College
Readiness Framework and the Illinois College and Career Readiness Act. Champaign, IL:
Office of Community College Research and Leadership, University of Illinois at Urbana-
Champaign.
Barnes, W., Slate, J R. (2013). College-Readiness Is Not One-Size-Fits-All. Current Issues in Edu-
cation, 16(1). Retrieved from http://cie.asu.edu/
Barnes, W., Slate, J., & Rojas-LeBouef, A. (2010). College-readiness and academic preparedness:
12 | Kurniawan & Mashita - Studi Literatur Kesiapan...
The same concepts? Current Issues in Education, 13(4). Retrieved from http://cie.asu.edu/
Bausmith, M J., France, M. (2012). The Impact of GEAR UP on College Readiness for Students in
Low Income Schools, Journal of Education for Students Placed at Risk (JESPAR), 17:4, 234
-246, DOI: 10.1080/10824669.2012.717036
Budge, K., Wargo, E., Carr-Chellman, D., CanfieldDavis, K. (2019). When “College and Career
Ready” Means Only (or Mostly) College Ready: Perspectives From Stakeholders in Six Ru-
ral and Small Communities, Leadership and Policy in Schools, DOI:
10.1080/15700763.2019.1696371
Cabrera, A F., et al. (2006). Increasing the College Preparedness of At-Risk Students, Journal of
Latinos and Education, 5:2, 79-97, DOI: 10.1207/s1532771xjle0502_2
Castellano, M., Sundell, K E., Richardson, G B. (2017). Achievement Outcomes Among High
School Graduates in College and Career Readiness Programs of Study, Peabody Journal of
Education, 92:2, 254-274, DOI:
10.1080/0161956X.2017.1302220
Cates, J T., Schaefle S E. (2011). The Relationship Between a College Preparation Program and At
-Risk Students’ College Readiness, Journal of Latinos and Education, 10(4), 320–334, DOI:
10.1080/15348431.2011.605683
Citradi, T. 2019. https://www.cnbcindonesia.com/news/20191105151115-4-112837/miris-tingkat-
pengangguran-terbuka-lulusan-smk-paling-tinggi, diakses pada bulan Mei 2020.
Conley, D. T. (2003). Mixed Messages: What State High School Tests Communicate About Stu-
dent Readiness for College. Eugene, Ore.: Center for Educational Policy Research, Universi-
ty of Oregon.
Conley, D T. (2008). Rethinking College Readiness. NEW DIRECTIONS FOR HIGHER EDU-
CATION, no. 144, Wiley Interscience.
Convertino, C., Mein, E. (2018). Latinx students’ transition to college: When readiness meets bar-
riers, Journal of Latinos and Education, DOI: 10.1080/15348431.2018.1521724
Cortez, L J., Martinez, M A., Sáenz, V B. (2014). Por los ojos de madres: Latina mothers’ under-
standings of college readiness, International Journal of Qualitative Studies in Education,
27:7, 877-900, DOI: 10.1080/09518398.2013.805851
Dougherty S M., Goodman J S., Hill D V., Litke E G., Page L C. (2017). Objective course place-
ment and college readiness: Evidence from targeted middle school math acceleration, Jour-
nal Economics of Education Review, 141-161.
Durham R E., Bell-Ellwanger J., Connolly F., Robinson K H., Olson L S., Rone T. (2015). Univer-
sity–District Partnership Research to Understand College Readiness Among Baltimore City
Jurnal Kualitatif Ilmu Perilaku | 13
Students, Journal of Education for Students Placed At Risk, 20: 120–140.
Fina, A D., Dunbar, S B., Welch, C J. (2018). Establishing empirical links between high school
assessments and college outcomes: An essential requirement for college readiness interpreta-
tions, Educational Assessment, 23:3, 157-172, DOI: 10.1080/10627197.2018.1481387
Foote A., Schulkind L., Shapiro T M. (2015). Missed signals: The effect of ACT college-readiness
measures on post-secondary decisions, Journal Economics of Education Review, (46), 39-
51.
Fuad, dkk.1981. Kamus Besar Psikologi. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahasa Departemen Pen-
didikan dan Kebudayaan
Ganzert, B. (2014). Dual Enrollment Credit and College Readiness, Community College Journal
of Research and Practice, 38:9, 783-793, DOI: 10.1080/10668926.2012.719483
Gina L. Garza-Reyna, J. Joy Esquierdo & Jaya Goswami (2019) A comparative study on the col-
lege readiness of bilingual learners in transitional bilingual and dual language programs,
NABE Journal of Research and Practice, 9:3-4, 155-165,
DOI:10.1080/26390043.2019.1653046
González, N., Moll, L. C., & Amanti, C. (2005). Preface. In N. González, L. Moll, & C. Amanti
(Eds.), Funds of knowledge: Theorizing practices in households, communities, and class-
rooms (pp. ix–xii). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Greene, J. P., & Forster, G. (2003). Public high school graduation and college readiness rates in
the United States (Education Working Paper No. 3). New York, NY: Center for Civic Inno-
vation at the Manhattan Institute.
Greene, J. P., & Winters, M. A. (2005). Public high school graduation and college- readiness rates:
1991-2002. (Education Working Paper No. 8). Center for Civic Innovation at the Manhattan
Institute.
Grimes, S K. (1997). Underprepared community college students: characteristics, persistence, and
academic success, Community College Journal of Research and Practice, 21:1, 47-56, DOI:
10.1080/1066892970210105
Hackmann, D G., Malin, J R., Gilley, D. (2018). Career Academies: Effective Structures to Pro-
mote College and Career Readiness, The Clearing House: A Journal of Educational Strate-
gies, Issues and Ideas, DOI: 10.1080/00098655.2018.1480196
Hart Research Associates. 2013. It Takes More than a Major: Employer Priorities for College
Learning and Student Success. Association of American Colleges and Universities 99(2).
www.aacu.org/liberaleducation/le-sp13/hartresearchassociates.cfm (accessed July 16, 2013)
Harvey, M W., Timmerman, L C., VazQuez, O G. (2018). College and Career Readiness
14 | Kurniawan & Mashita - Studi Literatur Kesiapan...
Knowledge and Effectiveness: Findings from an Initial Inquiry in Indiana, Journal of Educa-
tional and Psychological Consultation, DOI: 10.1080/10474412.2018.1522260
Her C S. (2014). Ready or Not: The Academic College Readiness of Southeast Asian Americans,
Multicultural Perspectives, 16(1), 35–42
Indriyanti, N., Siswandari, S., & Ivada, E. (2013). Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Minat
Melanjutkan Pendidikan Ke Perguruan Tinggi Pada Siswa Kelas Xii Akuntansi Smk Negeri
6 Surakarta Tahun 2013. Jurnal Pendidikan Ekonomi Universitas Sebelas Maret, 1(2),
13560.
Jackson, J S. (2014). Does an Early College Readiness Signal Discourage College Application and
Enrollment?, Journal of Research on Educational Effectiveness, DOI:
10.1080/19345747.2014.984885
Jo, I. Milson, A J. (2013). College Readiness for Geography: Perceptions of High School Teachers
and College Faculty, Journal of Geography, 112:5, 193-204, DOI:
10.1080/00221341.2012.761718
Judy Marquez Kiyama (2011) Family Lessons and Funds of Knowledge: College-Going Paths in
Mexican American Families, Journal of Latinos and Education, 10:1, 23-42, DOI:
10.1080/15348431.2011.531656
Kallison, J M., Stader, D L. (2012) Effectiveness of Summer Bridge Programs in Enhancing Col-
lege Readiness, Community College Journal of Research and Practice, 36:5, 340-357, DOI:
10.1080/10668920802708595
Kelley, G A., Lowing, L., Kelley, K. (1998). Psychological Readiness of Black College Students
to Be Physically Active, Journal of American College Health, 47:2, 83-87, DOI:
10.1080/07448489809595624
Kemple, J J., Segeritz, M D., Stephenson, N. (2013). Building On-Track Indicators for High
School Graduation and College Readiness: Evidence from New York City, Journal of Edu-
cation for Students Placed at Risk (JESPAR), 18:1, 7-28, DOI:
10.1080/10824669.2013.747945
Knotek, S E., et al. (2018): An Implementation Coaching Framework to Support a Career and Uni-
versity Readiness Program for Underserved First-Year College Students, Journal of Educa-
tional and Psychological Consultation, DOI: 10.1080/10474412.2018.1544903
Kolluri, S., Tierney, W G. (2020) Understanding College Readiness: The Limitations of Infor-
mation and the Possibilities of Cultural Integrity, The Educational Forum, 84:1, 80-93, DOI:
10.1080/00131725.2020.1672003
Komarraju, M., Ramsey, A., Rinella, V. (2013). Cognitive and non-cognitive predictors of college
Jurnal Kualitatif Ilmu Perilaku | 15
readiness and performance: Role of academic discipline, Learning and Individual Differ-
ences , (24) 103–109.
Lakes, R D., Donovan, M K. (2017). The International Baccalaureate Career Programme: a case
study of college and career readiness policy goals, Journal of Education Policy, DOI:
10.1080/02680939.2017.1338360
M, Echols, John dan Shadily, Hasan. 1975. An English-Indonesia Dictionary. London: Cornell
University Press
Malott, K M., Havlik, S., Gosai, S., Davila, J D., Steen, S. (2019). College Readiness and First-
Generation College Goers: Group Impacts with Students from an Urban, Predominantly Af-
rican-American Population, Journal of Child and Adolescent Counseling, 5:3, 256-274, DOI:
10.1080/23727810.2019.1672241
Martin, T C. (2013). Cognitive and Noncognitive College Readiness of Participants in Three Con-
current-Enrollment Programs, Community College Journal of Research and Practice, 37:9,
704-718, DOI: 10.1080/10668926.2013.774896
Martinez, M A., Cortez, L J., Saenz, V B. (2013). Latino Parents' Perceptions of the Role of
Schools in College Readiness, Journal of Latinos and Education, 12:2, 108-120, DOI:
10.1080/15348431.2012.745402
Maruyama, G. (2012). Assessing college readiness: Should we be satisfified with ACT or other
threshold scores? Educational Researcher, 41, 252–261.
McDaniel, K N. (2014). Read Long and Prosper: Five Do’s and Don’ts for Preparing Students for
College. The Clearing House, 87: 83–87. DOI: 10.1080/00098655.2013.872592
McMillan, James H dan Schumacher, , 1997. Research in Education: A Conceptual Introduction.
Ed.4. Longman: Universitas Michigan
Mijares, A. (2007). Defifining college readiness. Retrieved from http://www.edsource.org/ assets/
fifiles/convening/CollegeBoard_brief.pdf
Murdaningsih, Dwi. 2019. 87 Persen Mahasiswa Mengaku Salah Pilih Jurusa. https://
republika.co.id/berita/pmjuhw368/87-persen-mahasiswa-mengaku-salah-pilih-jurusan, di-
akses pada tanggal 20 Oktober 2020
Murti, Ayu TA. 2018. Fenomena Salah Jurusan di Kalangan Mahasiswa. https://
mahasiswaindonesia.id/fenomena-salah-jurusan-di-kalangan-mahasiswa/, diakses pada tang-
gal 20 Oktober 2020
Mokher, C G., Leeds, D M. (2018). Can a College Readiness Intervention Impact Longer-Term
College Success? Evidence from Florida’s Statewide Initiative, The Journal of Higher Edu-
cation, DOI: 10.1080/00221546.2018.1525986
16 | Kurniawan & Mashita - Studi Literatur Kesiapan...
Nazir, M. (1988). Metode Penelitian. Jakarta.
Osborn, D S., Belle, J G. (2018). Preparing Juvenile Offenders for College and Career Readiness:
A Cognitive Information Processing Approach, Journal of Educational and Psychological
Consultation, DOI: 10.1080/10474412.2018.1482216
Phillips, M., dkk. (2015). Using Research to Improve College Readiness: A Research
Partnership Between the Los Angeles Unified School District and the Los Angeles Educa-
tion Research Institute, Journal of Education for Students Placed at Risk, 20: 141–168. DOI:
10.1080/10824669.2014.990562
Pusdatin Kemenristekdikti. 2018. Statistik Pendidikan Tinggi. Jakarta, Pangkalan Data Pendidikan
Tinggi.
Radcliffe, R A., Bos, B. (2013). Strategies to Prepare Middle School and High School Students for
College and Career Readiness, The Clearing House: A Journal of Educational Strategies,
Issues and Ideas, 86:4, 136-141.
Raines, T C., Talapatra, D. (2019). College and Career Readiness Consultation for High-Risk
Youth: An Introduction, Journal of Educational and Psychological Consultation, DOI:
10.1080/10474412.2\019.1565540
Relles, S R., Tierney, W G. (2013). Understanding the Writing Habits of Tomorrow's Students:
Technology and College Readiness, The Journal of Higher Education, 84:4, 477-505, DOI:
10.1080/00221546.2013.11777299
Ring, A. (2016). Norco College’s Summer Advantage Program: Leading Change to Increase Col-
lege Readiness, Community College Journal of Research and Practice, 40:7, 589-596, DOI:
10.1080/10668926.2016.1138905
Rivera, H H et al. (2017). Fostering an environment for resilience among Latino youth: Character-
istics of a successful college readiness program, Journal of Latinos and Education, DOI:
10.1080/15348431.2017.1371605
Riza, Anggi. 2020. Wanita Muda di Badung Diduga Bunuh Diri karena Terbebani Tugas-Uang
Kuliah. https://news.detik.com/berita/d-4962197/wanita-muda-di-badung-diduga-bunuh-diri-
karena-terbebani-tugas-uang-kuliah, diakses pada tanggal 20 Oktober 2020
Ruslani, Burhan. 2016. Oknum mahasiswa IPB ditemukan tewas gantung diri, https://
www.antaranews.com/berita/573552/oknum-mahasiswa-ipb-ditemukan-tewas-gantung-diri,
diakses pada tanggal 20 Oktober 2020
Roach, A T. (2018). Agents of Hope: College and Career Readiness Consultation to Support Suc-
cessful Transitions, Journal of Educational and Psychological Consultation, DOI:
10.1080/10474412.2018.1550415
Jurnal Kualitatif Ilmu Perilaku | 17
Roderick, M., Nagaoka, J., Coca, V. (2009). College Readiness for All: The Challenge for Urban
High Schools, The Future of Children, Vol. 19, No. 1, America's High Schools, pp. 185-210,
Princeton University.
Sawaji, J., Hamzah, D., & Taba, I. (2010). Pengambilan keputusan mahasiswa dalam memilih
perguruan tinggi swasta di Sulawesi Selatan. Diakses dari http://www. google. co. id.
Schaefer, M B. (2014). Facilitating College Readiness through Campus Life Experiences, RMLE
Online, 37:7, 1-19, DOI: 10.1080/19404476.2014.11462110
Sondergeld, T A., Fischer, J M., Samel, A N., Knaggs, C M. (2013). Evaluating the Influence of
an Urban High School Reform Effort on College Readiness and Access Outcomes: A Qua-
siexperimental Cohort Study, Journal of Education for Students Placed at Risk (JESPAR),
18:3-4, 212-232, DOI: 10.1080/10824669.2013.818371
Springer, S E., Wilson, T J,. Dole, J A. (2015). Ready or Not: Recognizing And Preparing College
Ready Students. Journal of Adolescent & Adult Literacy. Vol. 58, No. 4. pp. 299-307
Sriyanti, Lilik, (2011). Psikologi Belajar. Salatiga: STAIN Salatiga Press
Subroto, Gatot. (2014). Hubungan Pendidikan dan Ekonomi:Perspektif Teori dan Empiris. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan. 20. 390. 10.24832/jpnk.v20i3.318.
Syurkani, P. 2018. https://mediaindonesia.com/read/detail/184022-jumlah-publikasi-ilmiah-
meningkat-sepanjang-2017-2018, diakses pada bulan Mei 2020.
Tinto, V. (2015). Tinto’s Theory. Retrieved from http://etorpy.com/tinto.htm
Turner, J D., Danridge, J C. (2014). Accelerating the College and Career Readiness of Diverse K–
5 Literacy Learners, Theory Into Practice, 53:3, 212-219, DOI:
10.1080/00405841.2014.916963
Verrell, P A., McCabe, N R. (2015). In Their Own Words: Using Self Assessments of College
Readiness to Develop Strategies for Self-Regulated Learning, College Teaching, 63:4, 162-
170, DOI: 10.1080/87567555.2015.1053046
Wawan. J Hari. 2020. Mahasiswa Tewas Bersimbah Darah Diduga Bunuh Diri, Ada Gerinda di
TKP. https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4880564/mahasiswa-tewas-bersimbah-
darah-diduga-bunuh-diri-ada-gerinda-di-tkp?_ga=2.148327358.826414588.1603480647-
947736013.1603480641, diakses pada tanggal 20 Oktober 2020
Wilson, D., Lowry, K M. (2017). One Goal, Two Institutions: How a Community College and 4-
Year University Partner to Bridge Student College Readiness Gaps, Community College
Journal of Research and Practice, 41:4-5, 267-272, DOI: 10.1080/10668926.2016.1251350
Wimberly, G L., Noeth, R J. (2005). College Readiness Begins in Middle School. ACT Policy Re-
port
18 | Kurniawan & Mashita - Studi Literatur Kesiapan...
Yusuf, Muhammad. 2020. Keprihatinan kasus bunuh diri mahasiswa di Kaltim https://
www.antaranews.com/berita/1610670/keprihatinan-kasus-bunuh-diri-mahasiswa-di-kaltim,
diakses pada tanggal 20 Oktober 2020
Zulfa, N. I., Heryaniningsih, S. M., Putra, M. R., & Putri, M. K. (2018). Pengaruh teman sebaya
terhadap minat melanjutkan studi ke perguruan tinggi pada siswa sma. Journal of Innovative
Counseling: Theory, Practice, and Research, 2(02), 69-74.
Zuraya, N. (2020). https://republika.co.id/berita/qcbvun383/bappenas-prediksi-pengangguran-
capai-127-juta-orang-di-2021, diakses pada bulan Juni 2020.
Vol. 1, No. 2, Desember, 2021 Jurnal Kualitatif Untuk
Ilmu Perilaku Hal. 19-27
Strategi Menghadapi Kecemasan Pada Single Mother ditengah
Pandemi Covid-19
Fifi Dwi Mileniasari Program Studi Psikologi Islam, Fakultas Ushulunuddin, Adab, dan Dakwah, IAIN Tulungagung
Jl. Mayor Sujadi Timur No. 46, Tulungagung, Jawa Timur, Indonesia
Rodlotul Janah Amalia Rachma Ajeng Program Studi Psikologi Islam, Fakultas Ushulunuddin, Adab, dan Dakwah, IAIN Tulungagung
Jl. Mayor Sujadi Timur No. 46, Tulungagung, Jawa Timur, Indonesia
Ali Syahidin Mubarok Program Studi Psikologi Islam, Fakultas Ushulunuddin, Adab, dan Dakwah, IAIN Tulungagung
Jl. Mayor Sujadi Timur No. 46, Tulungagung, Jawa Timur, Indonesia
Retno Sulistyaningsih Program Studi Psikologi, Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang
Jl. HR. Soebrantas, KM. 15 No. 155, Pekanbaru, Riau, Indonesia 65145
Informasi Artikel Abstrak
Tanggal masuk Kemunculan pandemi Covid-19 membuat segala sektor mengalami gangguan luar biasa. Sektor ekonomi menjadi bagian yang paling parah karena terhenti secara paksa sebagai dampak pandemik. Pandemi ini juga membuat semua orang menjadi cemas, cemas terpapar covid-19. Banyak terjadi pemutusan hub-ungan kerja juga hilangnya lahan pekerjaan yang membuat para tulang punggung keluarga tidak berdaya, terutama bagi seorang single mother yang bekerja mencari nafkah. Kedudukannya yang tidak hanya menjadi pencari nafkah, juga menjadi orang tua, membawa beban yang berat apalagi saat ke-hilangan pekerjaan. Tentunya, kecemasan yang ada semakin bertambah karena posisi dan kondisi ibu tersebut. Terlebih single mother semakin bertambah ce-mas jika ia turut terpapar Covid-19 dan tidak ada biaya untuk pengobatannya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penggalian data menggunakan observasi dan wawancara semi terstruktur. Jumlah subjek pada penelitian ini adalah dua orang. Hasil dari penelitian ini ada-lah baik subjek 1 dan 2 memiliki kecemasan terhadap penyebaran virus. Kedua subjek memiliki kecemasan ekonomi yang berada pada level menengah. Subjek 1 dan 2 lebih memilih pasrah atas apa yang sudah terjadi dampak pandemi ini, khususnya masalah ekonomi. Subjek 1 dan 2 bekerja semampu mereka untuk menghadapi kondisi perkonomian keluarga. Subjek 1 dan 2 menggunakan koping religius sebagai strategi bertahan hidup dalam menghadapi pandemi
Tanggal revisi
Tanggal diterima
Kata Kunci:
kecemasan; single mother; pandemi covid-19
Keywords: Abstract
anxiety; single mother; covid-19 pandemic
The occurrence of the Covid-19 pandemic made whole sectors experience ex-traordinary disruption. The economic sector was the worst part because it must be stopped as a result of the pandemic. This pandemic has also made everyone anxious because of exposure to covid-19. Many people lose their jobs, and even single mothers are no exception. Single mother position is not only as a bread-winner, but also as parent carrying a heavy burden especially when she loses their job. The anxiety increases because of her position and condition. Further-more, single mother was increasingly concerned if she had been exposed to covid-19 and she has no medical expenses. This research was a qualitative re-search with a case study approach. Data collecting used semi-structured observa-tion and inter-interviews. The number of subjects in this study were two people. The results of this study were that both subject 1 and 2 had anxiety about the
20 | Mileniasari, Ajeng, Mubarok, & Sulistyaningsih - Strategi menghadapi kecemasan...
PENDAHULUAN
Dampak buruk adanya pandemi Covid-19 tidak bisa terelakkan lagi. Hampir semua orang
terkena dampak yang luar biasa, terutama pada sektor perkonomian. Pandemi Covid-19 benar-
benar memberikan efek yang buruk ke berbagai bidang (CNN Indonesia, 2020). Sri Mulyani
(Liputan6.com, 2020) mengatakan Covid-19 memberi 3 dampak besar terhadap perekonomian
Indonesia, yakni konsumsi rumah tangga yang turun drastis, adanya ketidakpastian yang membuat
investasi melemah, dan pelemahan ekenomi yang merata membuat ekspor Indonesia terhenti.
Pada permasalahan pertama, konsumsi rumah tangga yang menurun drastis, terdapat banyak
faktor yang menjadi penyebabnya. Yustinus Prastowo, Staff Khusus Menkeu Bidang Komunikasi
Strategis menyebutkan bahwa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menjadi salah satu faktor
melemahnya perputaran ekonomi (Mediatama, 2020). Mobilitas yang terhambat membuat
pertumbuhan ekonomi nihil bahkan cenderung minus. Apalagi sektor usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM) menjadi bagian perekonomian yang mendapat efek yang paling buruk (VOA
Indonesia, 2020).
Pelaku sektor UMKM yang lebih didominasi oleh masyarakat kelas menengah kebawah tentu
mengalami kesulitan luar biasa di masa pandemi ini. Pandemi ini memaksa siapapun untuk tinggal
di rumah, membatasi segala sesuatunya hanya dari rumah. Kondisi ini memicu terjadinya family
burnout. Kondisi ini sebagian besar menyerang orang tua, disebabkan beban mereka yang ber-
tambah menjadi guru bagi anak-anaknya. Terlebih bagi keluarga dengan orang tua tunggal, family
burnout akan lebih rentan pada kondisi ini (Kompas Health, 2020). Survei KPAI yang dilakukan
pada tanggal 8-14 Juni 2020 mendapatkan hasil bahwa Ibu menjadi pelaku kekerasan terhadap
anak dengan prosentase 60,4%. Hal ini dikonfirmasi dengan hasil sebanyak 42,5% ibu-ibu yang
menjadi responden membenarkan terjadinya kekerasan fisik tersebut. Peristiwa ini terjadi disebab-
kan beban pada ibu bertumpuk, tidak hanya beban domestik namun secara psikis serta tanggung
jawab pengasuhan bertumpu pada seorang ibu (Tirto.id, 2020b). Kondisi ini sejalan dengan sebuah
penelitian di Amerika yang menyebutkan kelelahan orang tua selama pandemi memicu terjadinya
kekerasan pada anak (Griffith, 2020).
Kondisi ini menjadi lebih berat pada seorang single mother yang menjadi tumpuan segalanya
bagi keluarga dan anak. Beban menjadi seorang single mother sangat berat karena harus
menghadapi stigma buruk di masyarakat, beban domestik serta tekanan psikologis baik secara in-
ternal maupun eksternal (Dewi, 2017). Pandemi membuat perempuan bekerja dua kali lipat pada
ranah domestik daripada hari-hari biasa. Selain kewajiban bekerja dan menjadi ibu, menjadi
spread of the virus. Both subjects had economic anxiety which was at the inter-
mediate level. Subjects 1 and 2 prefer to surrender to what had happened due to
this pandemic, especially economic problems. Subjects 1 and 2 worked as best
they could to face the economic conditions of the family. Subject 1 and 2 used
religious coping for survival strategy facing Covid-19 pandemic.
Jurnal Kualitatif Ilmu Perilaku | 21
seorang guru saat pemberlakuan sekolah dari rumah merupakan salah satu beban tersendiri bagi
perempuan (Tirto.id, 2020a). Hal ini tentu membuat perempuan harus pintar-pintar mengatur wak-
tu, terlebih dalam hal perekonomian yang menjadi penopang utama dalam ketahanan keluarga. Ri-
lis survei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) (antaranews.com, 2020) menyebutkan bahwa
67,4% warga Indonesia lebih mengkhawatirkan kesulitan ekonomi atau bahkan kelaparan. Salah
satu alasan yang menguatkan hasil survei tersebut adalah laporan Menaker tentang meningkatnya
jumlah PHK yang mencapai 1,9 juta orang pada Juni 2020, jauh diatas jumlah warga yang terpapar
Covid-19.
Total 1,9 juta PHK tersebut memungkinkan adanya single mother. Selain itu, banyak single
mother yang bekerja sebagai wiraswasta atau memiliki usaha kecil-kecilan yang dipasarkan me-
lalui tempat ramai seperti pasar, tepi jalan raya atau pusat-pusat keramaian yang akibat pandemi
ditutup untuk sementara waktu. Kondisi ini tentu membuat single mother harus berpikir untuk
ketahanan ekonomi. Di sisi lain, ia juga dituntut untuk menjadi orang tua sebagaimana biasa.
Permasalahan terkait single mother dan ekonomi begitu banyak. Single mother yang hidup
dengan kedua orang tuanya mampu mengatur tekanan sosial, membantu mengurus anak saat ibu
bekerja, aktif diberbagai kegiatan untuk menghilangkan stigma negatif, serta dalam aspek ekonomi
single mother berupaya menyelaraskan pendapatan dengan pengeluaran serta menyisihkan
sebagian untuk ditabung untuk memenuhi biaya pendidikan anak (Rahayu, 2018).
Meski pandemi covid-19 erat kaitannya dengan kesehatan, namun aspek ekonomi tidak bisa
dipandang sebelah mata. Penelitian yang dilakukan di tiga negara, Amerika, Inggris dan Israel
mendapati hasil bahwa kecemasan ekonomi setara dengan kecemasan kesehatan, namun hasil ini
melampaui perubahan rutin yang ada. Hasil penelitian ini juga menunjukkan kecemasan ekonomi
bisa berakibat pada masalah fisik dan kesehatan mental yang serius dan dibutuhkan ahli didua bi-
dang tersebut untuk penanggulangan (Bareket-Bojmel, Shahar, & Margalit, 2020).
Pada penelitian lain di Amerika ditemukan adanya tingkat kecemasan ekonomi pada individu.
Orang dewasa awal cenderung lebih khawatir daripada dewasa akhir, tetapi responden kulit hitam
memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi. Kecemasan paling rendah dimiliki oleh mereka
yang tinggal di rumah dan tidak memiliki anak. Faktor penyebab kecemasan ini antara lain self-
esteem, kesadaran dan keterbukaan yang rendah menjadi penyebab tingginya kecemasan tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk melihat siapa yang memiliki kecemasan ekonomi
selama pandemi ini berlangsung (Mann, Krueger, & Vohs, 2020).
Penelitian ini akan menyajikan strategi menghadapi kecemasan ekonomi yang terjadi akibat
pandemi covid-19. Penelitian perlu diadakan karena adanya perubahan kecemasan yang berawal
dari cemas atau takut terpapar covid-19 menjadi cemas akan kondisi perekonomian yang terham-
bat selama pandemi berlangsung.
22 | Mileniasari, Ajeng, Mubarok, & Sulistyaningsih - Strategi menghadapi kecemasan...
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus yang
ada pada penelitian ini berupa eksploratori. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret-Juli
dengan mempertimbangkan awal meluasnya covid sampai dengan kebijakan-kebijakan yang di-
ambil pemerintah selama periode tersebut.
Penelitian ini melibatkan dua orang subjek dengan kondisi sebagai berikut; single mother,
mempunyai anak, memiliki usaha kecil atau usaha tidak tetap dan anak tidak mendapatkan nafkah
dari mantan suami. Subjek 1 berusia 53 tahun yang berprofesi sebagai tukang pijat. Subjek 2 beru-
sia 47 tahun dan berprofesi sebagai penjual makanan. Penelitian ini berlokasi di Denanyar, Jom-
bang.
Penggalian data dalam penelitian ini menggunakan observasi langsung dan wawancara semi
terstruktur. Pertanyaan wawancara disusun berdasarkan teori yang dipilih. Pertanyaan wawancara
disusun berdasarkan teori kecemasan Spielberger (1972). Keabsahan data diuji dengan
menggunakan triangulasi data.
HASIL
Teori kecemasan Spielberger membagi kecemasan dalam dua kategori, Trait Anxiety dan
State Anxiety. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, subjek 1 mengalami kecemasan
dalam dua aspek, kesehatan dan ekonomi. Kecemasan dalam hal ekonomi sudah dirasakan sebe-
lum datangnya pandemi karena latar belakang pekerjaan yang dimiliki semenjak suaminya
meninggal adalah menjadi tukang pijat.
Kondisi pandemi awalnya membuat subjek 1 sedikit merasa cemas sebab tidak ada pelanggan
yang datang untuk pijat. Kecemasan lain yang muncul karena pandemi ini adalah sakit. Subjek 1
membedakan antara sakit karena terpapar covid-19 dan sakit karena terlalu memikirkan dampak
pandemi, contohnya memikirkan kondisi anaknya, untuk makan sehari-hari, dan biaya sekolah.
Subjek 1 membagi pengalamannya yang gampang sakit jika memikirkan sesuatu. Subjek 1
juga berhasil menemukan cara untuk tidak memikirkan kondisi perekonomian yang sulit terlebih
subjek 1 merupakan korban Tsunami Palu tahun 2018 silam. Subjek 1 segera mengalihkan pikiran
dan perhatiannya pada hal-hal yang bisa membuatnya bahagia dan senang, dengan cara menga-
baikan pikiran-pikiran buruk tersebut. Subjek 1 juga berpikir kalau dia sakit, hal ini pasti akan be-
rakibat buruk juga pada kondisi anaknya.
Subjek 1 juga sampai pada tahap bersabar, ikhlas, berpasrah pada Tuhan jika selalu terpikirkan
dengan kondisi yang menimpanya, terutama saat pandemi tengah melanda saat ini. Subjek 1
mengekspresikan kecemasannya dengan cara menangis sembari melihat kondisi rumah yang tidak
memiliki apapun untuk dimakan. Subjek 1 tidak terlalu cemas terkait apa yang akan dimakan un-
tuk sehari-hari, tetapi lebih mencemaskan biaya sekolah anak yang tetap membayar meskipun
diberlakukan sekolah dari rumah.
Jurnal Kualitatif Ilmu Perilaku | 23
Adapun subjek 2, mengalami kecemasan pada sisi ekonomi karena tidak bisa menjajakan da-
gangannya sebab ditutupnya sekolah-sekolah selama pandemi. Subjek 2 sering menerima pesanan
untuk membuatkan bekal anak sekolah dan juga menitipkan dagangannya di kantin-kantin
sekolah.
Subjek 2 selama pandemi mengalami penurunan pendapatan karena tidak adanya pembeli.
Subjek 2 juga sering membagikan dagangannya ke tetangga jika tidak laku. Subjek 2 sering ge-
lisah, pusing dan bingung Ketika dagangannya tidak laku dan tidak memiliki uang. Subjek 2 han-
ya mengandalkan pendapatan dari persewaan play station.
Menghadapi kondisi tersebut, subjek 2 mensiasati dengan cara menabung sedikit dari pengha-
silannya. Subjek 2 juga sebisa mungkin menghindari piutang dengan cara memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari apa adanya.
Subjek 2 cenderung lebih cemas bila terpapar covid-19, tetapi berujung pada cemas akan biaya
yang dikeluarkan jika harus dirawat di rumah sakit. Subjek 2 juga mengkhawatirkan biaya hidup
sehari-hari untuk anak-anaknya karena anaknya juga tidak bisa bekerja semenjak pandemi ber-
langsung.
Subjek 2 dalam menghadapi kecemasan dan kebingungan tersebut selalu berdoa dan pasrah
kepada Tuhan. Subjek 2 yakin pasti akan ada jalan keluar terkait dengan pandemi ini. Selain
berdoa dan sabar, subjek 2 juga selalu berusaha bersyukur dengan apa yang didapatkan.
PEMBAHASAN
Problematika yang dihadapi oleh single parent begitu beragam, diantaranya problem pendidi-
kan, pengasuhan anak dan ekonomi (Cahyani, 2016) ditambah juga dengan permasalahan sosial
(Zuhdi, 2019), work family conflict (Hasanah & Ni’matuzahroh, 2018; Maulida & Kahija, 2015),
juga hubungan dengan anak (Chaidirrullah & Abdullah, 2019; Octaviani, Herawati, & Tyas,
2018).
Beberapa permasalahan tersebut berlangsung dalam kondisi normal, tanpa ada peristiwa ek-
sternal lain yang membuat permasalahan yang dihadapi oleh single mother menjadi lebih berat.
Adanya pandemi ini menjadikan beban yang ditanggung oleh single mother menjadi luar biasa
karena perannya menjadi berlipat serta perekonomian yang menjadi lebih sulit.
Menurut Taylor (2019), pandemi mempengaruhi cara berfikir seseorang dalam memahami in-
formasi tentang sakit dan sehat, perubahan emosi, serta perilaku sosial. Hal ini ditambah dengan
adanya prasangka dan diskriminasi kelompok, berakibat pada kebencian dan berujung konflik.
Psikologi pandemi setidaknya memuat tiga aspek; virus itu sendiri, manusia sebagai elemen
yang menghadapi pandemi termasuk didalamnya faktor psikologis dan lingkungan sosial yang
membantu manusia dalam menghadapi pandemi (Taylor, 2019).
Manusia dengan fungsi kognisinya dituntut mampu merespon segala macam berita dengan
seksama, khususnya terkait dengan pandemi covid-19. Subjek 1 cenderung mengikuti anjuran
pemerintah terkait hal-hal yang harus dilakukan selama pandemi, meskipun di awal pemerintah
24 | Mileniasari, Ajeng, Mubarok, & Sulistyaningsih - Strategi menghadapi kecemasan...
sempat meremehkan keberadaan covid-19 (Tirto.id, 2020). Pemerintah sempat berada pada posisi
overconfidence dan bias optimistic (Agung, 2020) yang membuat penyebaran virus terjadi secara
masif hingga saat ini.
Baik subjek 1 dan 2 sama-sama memiliki kecemasan terpapar covid-19. Keduanya juga cemas
jika terpapar, biaya yang akan dikeluarkan sangat besar karena harus dirawat di rumah sakit. Dam-
pak dari cemas akan terpapar covid-19 juga mengkonfirmasi bahwa ada kecemasan ekonomi pada
kedua subjek.
Subjek 1 dan 2 sebagaimana hasil di atas menyatakan kesulitan ekonomi yang bertambah ka-
rena pendapatan turun drastis daripada hari biasa. Subjek 1 dan 2 juga mengalami kesulitan men-
jadi guru bagi anak-anaknya karena diberlakukannya sekolah dari rumah.
Subjek 1 dan 2 memiliki cara yang sama dalam menghadapi kondisi demikian. Ditengah kesu-
litan ekonomi ditambah dengan datangnya pandemi, mereka berpasrah kepada Tuhan dan yakin
akan adanya jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi.
Subjek 1 sering mendapat bantuan dari tetangga, sedang subjek 2 masih bisa membantu
tetangga saat pandemi. Subjek 2 melakukan hal tersebut sebagai wujud syukur ia masih diberikan
rejeki oleh Tuhan, juga sebagai bentuk penerimaan diri terhadap apa yang sedang dialami dirinya.
Hasil penelitian ini turut mengkonfirmasi salah satu strategi yang dimiliki kedua subjek, yakni
tangguh dan kontrol (Nurfitri & Waringah, 2019). Penelitian ini juga sejalan dengan hasil
penelitian Sirait dan Minauli (2015) yang menyatakan bahwa pengelolaan keuangan yang baik
serta yakin akan ketentuan Tuhan merupakan cara yang digunakan untuk mengatasi kesulitan
yang sedang dialami.
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, merujuk pada teori kecemasan Spielberger (1972),
kedua subjek berada pada posisi yang sama. Pertama, subjek 1 dan 2 berada pada trait anxiety ka-
rena sebelum pandemi mereka sudah memiliki problem ekonomi. Kondisi sebagai single mother
sudah menunjukkan hal tersebut, meskipun keduanya sudah bisa melakukan resiliensi dengan
baik.
Kedua, subjek 1 dan 2 berada pada kondisi state anxiety ketika tahu pandemi tengah melanda
Indonesia dan dunia. Pandemi mengembalikan mereka pada trait anxiety, yakni permasalahan
ekonomi yang sulit sebelum pandemi dan bertambah sulit ketika pandemi datang.
Kepasrahan dan keyakinan kedua subjek akan doa-doa mereka kepada Tuhan membuat mere-
ka lebih tangguh dalam menghadapi pandemi ini, sejalan dengan penelitian Anjani (2019) dan
Astutik dan Nurchayati (2018) yang menyatakan bahwa koping religius memiliki dampak positif
bagi single mother dalam menghadapi kehidupan.
Melihat kedua subjek yang cenderung menggunakan strategi koping religius, hal ini sejalan
dengan salah satu strategi koping, yakni emotional focused coping, strategi koping dengan
melakukan hal lain guna meredam atau merubah pikiran-pikiran yang membuat mereka stress
dengan cara berdoa atau beribadah (Pitasari & Cahyono, 2014).
Jurnal Kualitatif Ilmu Perilaku | 25
KESIMPULAN
Menghadapi pandemi dengan segala keterbatasan tentu akan memicu kecemasan, stress dan
perilaku negatif karena banyaknya hal-hal yang tidak bisa dilaksanakan secara normal. Himbauan
untuk tinggal di rumah saja, penutupan perkantoran, pertokoan, tempat keramaian, sekolah hingga
kampus yang menjadi lahan utama perekonomian menjadi salah satu peristiwa yang membuat
orang banyak kehilangan pekerjaan dan otomatis pendapatan.
Kondisi tersebut dapat direspon baik oleh subjek 1 dan 2 meskipun secara ekonomi keduanya
terganggu karena penghasilan mereka berdasarkan orang yang datang meminta jasa mereka;
tukang pijit dan penjual nasi geprek. Meskipun mereka cemas karena pendapatan berkurang dras-
tis serta cemas akan terpapar covid-19, mereka berserah diri dan yakin Tuhan akan membukakan
jalan terbaik bagi mereka terutama terkait dengan permasalahan ekonomi.
Koping religius membuktikan bahwa penyerahan diri kepada Tuhan, berpasrah, merupakan
salah satu cara agar manusia bisa bertahan, berjuang dan melanjutkan hidup dengan sebaik mung-
kin. Turut serta Tuhan dalam kehidupan manusia membuat manusia yakin tidak ada yang tidak
mungkin jika semuanya diserahkan kepada Tuhan.
DAFTAR RUJUKAN
Agung, I. M. (2020). Memahami Pandemi Covid-19 Dalam Perspektif Psikologi Sosial.
Psikobuletin:Buletin Ilmiah Psikologi, 1(2), 68–84. https://doi.org/10.24014/pib.v1i2.9616
Anjani, V. M. D. (2019). Dukungan Sosial dengan Srategi Koping Religius pada Janda Polisi
(WARAKAWURI). Intuisi, 11(3), 219–237.
antaranews.com. (2020, Juni 12). LSI temukan lima alasan kecemasan ekonomi menonjol pada
COVID-19. Diambil 10 September 2020, dari Antara News website: https://
www.antaranews.com/berita/1549708/lsi-temukan-lima-alasan-kecemasan-ekonomi-
menonjol-pada-covid-19
Astutik, D., & Nurchayati. (2018). Tantangan Single Mother Berpendidikan Rendah dalam
Memberikan Pendidikan Tinggi pada Anak-Anaknya. Character, 05(2), 1–11.
Bareket-Bojmel, L., Shahar, G., & Margalit, M. (2020). COVID-19-Related Economic Anxiety Is
As High as Health Anxiety: Findings from the USA, the UK, and Israel. International
Journal of Cognitive Therapy, 1–9. https://doi.org/10.1007/s41811-020-00078-3
Cahyani, K. D. (2016). Masalah dan KebutuhanOrang Tua Tunggal sebagai Kepala Keluarga. E-
Journal Bimbingan dan Konseling, 8(5), 156–164.
Chaidirrullah, & Abdullah. (2019). Komunikasi Interpersonal antara Ibu Single Parent dengan
Aanak Remaja. Sahafa: Journal of Islamic Communication, 1(2), 93–102.
26 | Mileniasari, Ajeng, Mubarok, & Sulistyaningsih - Strategi menghadapi kecemasan...
CNN Indonesia. (2020). Dampak Resesi Corona Mengalir ke Berbagai Sektor. Diambil 10
September 2020, dari Ekonomi website: https://www.cnnindonesia.com/
ekonomi/20200908105412-532-543899/dampak-resesi-corona-mengalir-ke-berbagai-sektor
Dewi, L. (2017). Kehidupan Keluarga Single Mother. SCHOULID: Indonesian Journal of School
Counseling, 2(3), 44–48. https://doi.org/10.23916/08422011
Griffith, A. K. (2020). Parental Burnout and Child Maltreatment During the COVID-19 Pandemic.
Journal of Family Violence, 7. https://doi.org/10.1007/s10896-020-00172-2
Hasanah, S. F., & Ni’matuzahroh, N. (2018). Work Family Conflict pada Single Parent. Jurnal
Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, 1(2), 381–398. https://doi.org/10.24912/
jmishumsen.v1i2.972
Kompas Health, K. C. M. (2020). Stres Pandemi Covid-19 Sebabkan Family Burnout, Begini
Baiknya... Halaman all. Diambil 10 September 2020, dari KOMPAS.com website: https://
health.kompas.com/read/2020/07/10/193300868/stres-pandemi-covid-19-sebabkan-family-
burnout-begini-baiknya-
Liputan6.com. (2020, Juni 30). Sri Mulyani: Corona Beri 3 Dampak Besar ke Ekonomi Indonesia.
Diambil 10 September 2020, dari Liputan6.com website: https://www.liputan6.com/bisnis/
read/4292763/sri-mulyani-corona-beri-3-dampak-besar-ke-ekonomi-indonesia
Mann, F. D., Krueger, R. F., & Vohs, K. D. (2020). Personal economic anxiety in response to
COVID-19. Personality and Individual Differences, 167, 1–7. https://doi.org/10.1016/
j.paid.2020.110233
Maulida, D. S., & Kahija, Y. F. L. (2015). Work Family Conflict pada Single Mother yang
Bercerai: Interpretative Phenomenological Analysis. Empati, 4(1), 62–68.
Mediatama, G. (2020, Juni 21). Ini penyebab tingkat konsumsi rumah tangga melemah di kuartal
kedua 2020. Diambil 10 September 2020, dari Kontan.co.id website: http://
nasional.kontan.co.id/news/ini-penyebab-tingkat-konsumsi-rumah-tanggal-melemah-di-
kuartal-kedua-2020
Nurfitri, D., & Waringah, S. (2019). Ketangguhan Pribadi Orang tua Tunggal: Studi Kasus pada
Perempuan Pasca Kematian Suami. Gadjah Mada Journal of Psychology (GamaJoP), 4(1),
11–24. https://doi.org/10.22146/gamajop.45400
Octaviani, M., Herawati, T., & Tyas, F. P. S. (2018). Stres, Strategi Koping dan Kesejahteraan
Subjektif pada Keluarga Orang Tua Tunggal. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 11(3),
169–180. https://doi.org/10.24156/jikk.2018.11.3.169
Pitasari, A. T., & Cahyono, R. (2014). Coping pada Ibu yang Berperan Sebagai Orangtua Tunggal
Pasca Kematian Suami. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 3(1), 37–41.
Jurnal Kualitatif Ilmu Perilaku | 27
Rahayu, A. S. (2018). Kehidupan Sosial Ekonomi Single Mother dalam Ranah Domestik dan
Publik. Jurnal Analisa Sosiologi, 6(1), 82–99. https://doi.org/10.20961/jas.v6i1.18142
Sirait, N. Y. D., & Minauli, I. (2015). Hardiness pada Single Mother. JURNAL DIVERSITA , 1
(2), 28–38. https://doi.org/10.31289/diversita.v1i2.492
Spielberger, C. D. (Ed.). (1972). Anxiety: Current Trends in Theory and Research. New York:
Academic Press.
Taylor, S. (2019). The Psychology of Pandemics: Preparing for the Next Global Outbreak of
Infectious Disease. Cambridge Scholars.
Tirto.id. (2020a). Sulitnya Menjadi Ibu Pekerja Selama Pandemi. Diambil 10 September 2020,
dari Tirto.id website: https://tirto.id/sulitnya-menjadi-ibu-pekerja-selama-pandemi-fTYi
Tirto.id. (2020b). Survei KPAI: Kekerasan Anak Akibat Beratnya Beban Ibu Saat COVID-19.
Diambil 10 September 2020, dari Tirto.id website: https://tirto.id/survei-kpai-kekerasan-anak
-akibat-beratnya-beban-ibu-saat-covid-19-fS2L
Tirto.id. (2020). Telat Tangani Corona COVID-19, Pemerintahan Jokowi Bisa Digugat? Diambil
12 September 2020, dari Tirto.id website: https://tirto.id/telat-tangani-corona-covid-19-
pemerintahan-jokowi-bisa-digugat-eG8y
VOA Indonesia. (2020). Sektor UMKM Paling Terdampak Covid-19. Diambil 10 September
2020, dari VOA Indonesia website: https://www.voaindonesia.com/a/sektor-umkm-paling-
terdampak-covid-19/5523330.html
Zuhdi, M. S. (2019). Resiliensi Pada Ibu Single Parent. Martabat: Jurnal Perempuan dan Anak, 3
(1), 141–160.
Vol. 1, No. 1, April, 2021
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku Hal. 28-43
Strategi Coping Pada Remaja yang Mengalami Pelecehan Seksual
Karina Rizki Rahmawati Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang No. 5, Kota Malang, Indonesia 65145
Informasi Artikel Abstrak
Tanggal masuk dd-mm-yyyy Penelitian ini dilakukan di SMA Laboratorium UM, dengan jenis penelitian deskriptif. Subjek yang dijadikan sampel penelitian adalah remaja yang pernah dan sedang mengalami pelecehan seksual yang diwakili oleh siswi kelas XI SMA Laboratorium UM sebanyak 45 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah puposive sampling. Jenis instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala pelecehan seksual dan angket strategi coping dengan menggunakan model penskalaan Likert. Dari hasil uji coba diperoleh 25 dan 22 butir item valid dengan reliabilitas sebesar 0,885 dan 0,86. Teknik analisis deskriptif menggunakan mean dan standar deviasi. Hasil penelitian ini menunjuk-kan bahwa: 1) sebagian besar siswi mengalami pelecehan seksual dengan tingkat sedang yaitu sebanyak 32 orang (71%). 2) sebagaian besar siswi yang mengalami pelecehan seksual lebih cenderung menggunakan problem focused coping strate-gy yaitu sebanyak 32 orang (71%). 3) siswi yang mengalami pelecehan seksual tingkat berat cenderung menggunakan emotion focused coping strategy yaitu sebanyak 8 orang (18%), siswi yang pelecehan seksual tingkat sedang cenderung menggunakan problem focused coping strategy yaitu sebanyak 32 orang (71%), dan siswi yang mengalami pelecehan seksual tingkat ringan cenderung menggunakan avoidant coping strategy yaitu sebanyak 5 orang (11%).
Tanggal revisi dd-mm-yyyy
Tanggal diterima dd-mm-yyyy
Kata Kunci:
Strategi Coping; Pelecehan Seksual.
Keywords: Abstract
PENDAHULUAN
Pelecehan seksual yang dialami hampir sebagaian besar remaja putri menunjukkan bahwa
remaja yang dalam proses menuju pendewasaan diri atau sedang mencari identitas diri dalam ke-
hidupan sehari-hari dihadapkan pada kenyataan adanya diskriminasi seks, bukan hanya dalam soal
pekerjaan tetapi juga hampir di seluruh aspek kehidupan, termasuk adanya pelecehan seksual ini.
Persoalan pelecehan seksual masih dianggap oleh sebagaian besar masyarakat atau bahkan dalam
tradisi-tradisi yang berwujud norma atau aturan sebagai hal yang sepele dan hanya merupakan per-
soalan individu yang bisa diselesaikan sendiri oleh individu tersebut. Padahal pelecehan seksual
bisa menyebabkan terganggunya perkembangan kepribadian seseorang apabila remaja baik secara
fisik maupun psikis. (http://satumed.com/isi_artikel/1477.html).
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 29
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual
yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan
oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan dampak negatif seperti rasa malu, ter-
singgung, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan sebagainya pada diri orang yang
menjadi korban Berdasarkan pengertian di atas tingkat pelecehan seksual dapat dibagi dalam tiga
tingkatan. Pertama, tingkatan ringan, seperti godaan nakal, ajakan iseng, dan humor porno. Kedua,
tingkatan sedang, seperti memegang, menyentuh, meraba bagian tubuh tertentu, hingga ajakan
serius untuk ”berkencan”. Ketiga, tingkatan berat, seperti perbuatan terang-terangan dan me-
maksa, penjamahan, pemaksaan kehendak, hingga percobaan pemerkosaan. Sedang pemerkosaan
itu sendiri sudah masuk dalam kategori kejahatan seksual (sexual crime) (Soepardi & Sadarjoen,
2006).
Fase remaja merupakan masa perkembangan individu yang sangat penting. (Sanderowitz &
Paxman, 1985; Hanifah, 2000) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode da-
lam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak
sampai dengan awal masa dewasa. Conger (dalam J.W. Santrock, 2003) berpendapat bahwa masa
remaja merupakan masa yang amat kritis yang mungkin dapat merupakan the best of time and the
worst of time. Freud (dalam Hurlock, 2004) menafsirkan masa remaja sebagai suatu masa men-
cari hidup seksual yang mempunyai bentuk yang definitif.
Pengaruh pelecehan seksual terhadap kesehatan emosinal korban tampaknya sangat besar. Be-
berapa penelitian telah menemukan bahwa enam bulan pertama setelah suatu pemerkosaan atau
pelecehan lain, wanita dan pria menunjukkan tingkat depresi, kecemasan, kekagetan yang tinggi
dan menunjukkan tanda lain distress emosional (Burgess & Holmstrom, 1974; Kilpatrick, Venor-
en, & Resick, 1979; Wirtz & Harrell, 1987). Bagi sebagian orang distress emosional ini menurun
dengan berlalunya waktu. Tetapi bagi orang lain, distress ini berlangsung lama.
Sifat penuh stress dari pelecehan seksual bukan hanya dari pelecehan itu sendiri, tetapi juga
dari tuduhan masyarakat yang sering ditudingkan pada korban. Menurut Burt (dalam Suyanto,
2001) terutama berkaitan dengan wanita dan pemerkosaan, mitos dan stereotip kutural dapat me-
nyebabkan korban menyembunyikan pengalamannya, dalam rasa bersalah dan takut dicemooh
karena telah “membiarka dirinya” diserang.
Keadaan yang menimbulkan stress ini kemudian menstimulasi individu untuk beraksi. Setiap
individu pada hakekatnya selalu bereaksi terhadap setiap tuntutan yang datang atas dirinya dan
akan berusaha untuk mengurangi stress yang timbul. Stress yang timbul sebagai akibat perubahan
pola kehidupan seseorang akan mendorong munculnya perilaku coping (coping behavior).
Konsep coping behavior sering digunakan untuk menjelaskan hubungan antara stress dan ting-
kah laku dalam menghadapi tekanan. Safarino (dalam Nadiroh, 2006) mengatakan bahwa strategi
coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai
situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan
perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya. Strategi coping
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 30
juga dapat dipahami sebagai perilaku yang mengiringi perkembangan dan pertumbuhan individu
dalam menghadapi ancaman-ancaman, guna mempertahankan keseimbangan (Newman dalam
Mulyastuti, 2006).
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) strategi coping apa yang digunakan oleh
remaja yang mengalami pelecehan seksual; dan (2) seberapa seringkah pelecehan seksual yang
dialami oleh remaja?
Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui strategi coping apa yang digunakan oleh
remaja yang mengalami pelecehan seksual; dan (2) untuk mengetahui seberapa sering para remaja
mengalami pelecehan seksual.
Manfaat penelitian ini adalah (1) Kegunaan teoritis, yaitu penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan informasi bagi pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi klin-
is, psikologi perkembangan dan psikologi remaja, terutama mengenai strategi coping dan peleceh-
an seksual. (2) Kegunaan praktis, yaitu (a) bagi remaja, yaitu penelitian ini diharapkan berguna
bagi para remaja agar dapat mengetahui penggunaan strategi coping yang tepat pada remaja yang
mengalami pelecehan seksual. (b) Orang tua, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai tambahan pengetahuan dalam memberikan pendidikan kepada anak mereka yang me-
masuki usia remaja, sehingga orang tua dapat membimbing serta mengarahkan remaja dengan
lebih baik agar mereka dapat melakukan pencegahan sedini mungkin.
Ruang Lingkup dalam penelitian ini adalah remaja putri berusia antara 13-18 tahun yang men-
galami pelecehan seksual. Untuk jabaran variable dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jabaran Variabel
Variabel Sub Variabel Indikator Deskriptor Alat Pengumpul
Data
Pelecehan Seksual Bentuk-bentuk
pelecehan seksual
Visual Tatapan penuh nafsu dan
tatapan mengancam
Angket pelecehan
seksual
Verbal Pernyataan yang
bersifat seksual dan
mengancam baik secara
tersurat maupun tersirat
Fisik Menyentuh bagian tubuh
lawan jenis dengan senga-
ja dan dengan paksaan
Coping Strategy Problem Focused
Coping Strategy
Exercised caution Berpikir, meninjau dan
mempertimbangkan be-
berapa alternatif pemeca-
han masalah yang terse-
dia.
Angket strategi
coping
Seeking social
support
Usaha individu untuk
mendapatkan bantuan
informasi dan simpati dari
orang lain
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 31
Definisi Operasional dari (1) Strategi coping adalah suatu proses dimana individu berusaha
untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang
dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa
aman dalam dirinya. (2) Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi
seksual dan tidak senonoh yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh pihak yang
menjadi sasaran baik pelecehan seksual yang bersifat ringan, sedang, dan berat sehingga men-
imbulkan reaksi negatif yang dapat mengganggu aspek fisik maupun psikologis korban.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari remaja
yang telah atau sedang mengalami pelecehan seksual, kemudian data yang terkumpul dianalisis
untuk mengetahui strategi coping apa yang digunakan oleh remaja yang mengalami pelecehan
seksual tersebut. Selanjutnya data yang diperoleh dinyatakan dan disajikan dengan sistem kuanti-
tatif dalam bentuk angka-angka. Berdasarkan penyajian data yang berupa angka-angka ini dapat
diketahui frekuensi suatu kejadian atau gejala (Singarimbun, 1982).
Populasi dalam penelitian ini adalah siswi kelas XI SMA Laboratorim Universitas Negeri Ma-
lang yang pernah atau sedang mengalami pelecehan seksual. Dapat diketahui bahwa populasi
yang dapat mewakili kriteria dalam penelitian ini berjumlah kurang lebih 100 siswi dimana
jumlah ini di dapat dari pihak sekolah dan hasil observasi kepada para sisiwi kelas IX SMA La-
boratorim Universitas Negeri Malang itu sendiri.
Sampel adalah sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi, sampel juga setid-
aknya mempunyai sifat yang sama dengan populasi (Hadi, 2000: 221). Teknik pengambilan sam-
pel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling dengan cara mengam-
bil subjek yang didasarkan pada strata, random, atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan
tertentu. Teknik ini biasanya dipergunakan karena adanya beberapa pertimbangan tertentu, misal-
nya karena keterbatasan waktu, tenaga, dan dana sehingga pengambilan sampel tidak banyak.
Oleh karena itu, diambillah 45 siswa sebagai sampel penelitian. Subjek ini memiliki karakteristik
Variabel Sub Variabel Indikator Deskriptor Alat Pengumpul
Data
Emotion Focused
Coping Strategy
Self Blame Menerima permasalahan
dan mengubah keadaan
menjadi lebih baik
Turning to
Religion
Berpegang pada agama
Avoidant Coping
Strategy
Pallative Menjauhkan diri dari sua-
tu kegiatan atau situasi
yang berpotensi men-
imbulkan stress
Denial Penyangkalan terhadap
permasalahan
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 32
sebagai berikut: (1) merupakan siswi kelas XI SMA Laboratorim Universitas Negeri Malang; (2)
merupakan siswi yang berusia 16-17 tahun yang mampu mewakili usia remaja; dan (3) merupakan
siswi yang sudah pernah atau sedang mengalami pelecehan seksual.
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun so-
sial yang diamati (Sugiyono, 2008: 102). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
angket atau kuisioner. Angket adalah sejumlah pernyataan atau pertanyaan tertulis yang digunakan
untuk memperoleh informasi dari responden yang bersifat pelaporan diri atau hal-hal yang
diketahuinya. Yang menjadi dasar pertimbangan penelitian menggunakan instrumen angket ada-
lah, pertama metode ini digunakan untuk mengungkapkan data yang bersifat pelaporan diri, kedua
pengumpulan data melalui angket dapat menghemat waktu dan biaya.
Untuk mengukur variabel strategi coping disusun berdasarkan teori dari Lazarus & Folkman
(dalam Nadiroh, 2006). Kuisioner strategi coping ini terdiri dari 90 item, untuk lebih jelas dapat
dilihat dalam tabel 2, tabel 3, dan tabel 4.
Sebelum instrumen diberikan pada subjek penelitian, terlebih dahulu diujicobakan pada subjek
uji coba (try out). Uji coba dilakukan pada siswa kelas XI SMA Laboratorium Universitas Negeri
Malang dengan catatan siswa yang sudah menjadi subjek uji coba tidak diikutsertakan pada saat
penelitian.
Tabel 2. Blueprint Skala Strategi Problem Focused Coping
No. Indikator No. Aitem Jumlah
1 Exercised caution
14
2 Seeking Social Sipport
16
Jumlah 30
Tabel 3. Blueprint Skala Strategi Emotion Focused Coping
No. Indikator No. Aitem Jumlah
1 Self Blame
12
2 Seeking Social Support
16
Jumlah 30
Tabel 4. Blueprint Skala Strategi Avoidant Coping
No. Indikator No. Aitem Jumlah
1 Pallative
18
2 Denial
16
Jumlah 30
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 33
Untuk mengetahui tingkat validitas suatu tes, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
dengan mencari validitas aitem (validitas internal). Dalam penyusunan skala strategi coping,
peneliti memilih aitem-aitem terbaik dengan menggunakan koefisien korelasi Product Moment
Pearson. Prosedur dalam pencarian validitas dalam penelitian ini diawali dengan tabulasi skor
masing-masing skala, selanjutnya perhitungan validitas dilakukan dengan menggunakan SPSS
12.0 for windows dengan taraf signifikansi 5%. Hasil uji validitas untuk skala strategi coping dari
30 item diperoleh 20 item valid dengan rentangan koefisien validitas sebesar 0,335-0,675 dan 10
item gugur. Adapun blue print skala strategi coping terdapat dalam tabel berikut:
Reliabilitas atau reliability diartikan sebagai dapat diartikan sebagai sejauhmana hasil
pengkuran dapat dipercaya. Dalam penelitian ini reliabilitasskala strategi coping dihitung
menggunakan rumus koefisien Alpha (α) dari Cronbach untuk mencari reliabilitas, yang diawali
dengan pentabulasian skor hasil uji coba dari masing-masing skala dan selanjutnya perhitungan
reliabilitas dicari dengan batuan SPSS 12.0 for windows. Hasil perhitungan reliabilitas skala
strategi coping diperoleh koefisien Alpha sebesar 0,860.
Tabel 5. Blueprint Skala Strategi Problem Focused Coping Setelah Uji Validitas
No No. Aitem
Indikator Lama Baru
1 Exercised
caution
2c, 11a, 12c, 13a, 14a, 15a, 16b, 17c, 21c,
22b, 23b, 24a, 26c, 30a
2c, 9a, 10c, 11a, 12a, 13a, 14b, 17c,
18a, 22a
2 Seeking social
support
1a, 3a, 4a, 5b, 6a, 7c, 8a, 9b, 10a, 18a, 19a,
20b, 25a, 27c, 28c, 29b
1a, 3a, 4a, 5c, 6a, 7b, 8a, 15a, 17b,
19a, 20c, 21b
Jumlah 30 22
Tabel 6. Blueprint Skala Strategi Emotion Focused Coping Setelah Uji Validitas
No No. Aitem
Indikator Lama Baru
1 Self Blame 10c, 11c, 12b, 14c, 18c, 20c, 24b, 26b, 25c,
27a, 28b, 29c
8c, 9c, 10b, 12c, 15c, 16c, 18b, 19c,
20b, 21c
2 Turning to
Religion
1b, 2b, 3c, 4b, 5a, 6c, 7b, 8b, 9a, 13b, 15c,
16a, 17a, 19c, 21b, 22c, 23c, 30b
1b, 2b, 3c, 4b, 5b, 6b, 7a, 11b, 13c,
14a, 17b, 22b
Jumlah 30 22
Tabel 7. Blueprint Skala Strategi Avoidant Coping Setelah Uji Validitas
No No. Aitem
Indikator Lama Baru
1 Pallative 3b, 4c, 5c, 6b, 7a, 9c, 10b, 12a, 13c, 15b,
18b, 19b, 21a, 22a, 23a, 26a, 27b, 28c, 29a
3b, 4c, 5a, 7c, 8b, 10a, 11c,
2 Denial 1c, 2a, 8c, 11b, 14b, 16c, 17b, 20a, 24c,
Jumlah 30 22
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 34
Untuk skala pelecehan seksual disusun berdasarkan tiga aspek sumber masalah pelecehan
seksual yang dijelaskan dalam tabel 8.
Sebelum instrumen diberikan pada subjek penelitian, terlebih dahulu diujicobakan pada subjek
uji coba (try out). Uji coba instrumen dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah aitem
mudah dan dapat dipahami oleh responden (Azwar, 2003). Uji coba dilakukan pada subjek yang
mempunyai karakteristik yang sama dengan responden penelitian. Uji coba dilakukan pada siswi
kelas XI jurusan IPA dan IPS SMA Laboratorium Universitas Negeri Malang yang berjumlah 40
orang.
Dalam penyusunan skala pelecehan seksual, peneliti memilih aitem-aitem terbaik dengan
menggunakan koefisien korelasi Product Moment Pearson. Prosedur dalam pencarian validitas
dalam penelitian ini diawali dengan tabulasi skor masing-masing skala, selanjutnya perhitungan
validitas dilakukan dengan menggunakan SPSS 12.0 for windows dengan taraf signifikansi 5%.
Uji validitas untuk skala pelecehan seksual dari 30 item diperoleh 25 aitem valid dengan rentangan
koefisien validitas sebesar 0,317-0,746 dan 5 aitem gugur. Adapun blue print skala pelecehan
seksual terdapat dalam tabel 9.
Dalam penelitian ini reliabilitas skala pelecehan seksual dihitung menggunakan rumus
koefisien Alpha (α) dari Cronbach untuk mencari reliabilitas, yang diawali dengan pentabulasian
skor hasil uji coba dari masing-masing skala dan selanjutnya perhitungan reliabilitas dicari dengan
Tabel 8. Blueprint Skala Pelecehan Seksual
No Indkator Deskriptor No. Aitem TOTAL
1 Visual Tatapan penuh nafsu dan mengancam 1, 3, 7,15, 19, 23, 24 8
2 Verbal Pernyataan yang bersifat seksual dan
mengancam baik secara tersurat
maupun tersirat
2, 6, 9, 12, 13, 17,
20, 21, 27, 28
11
3 Fisik Menyentuh bagian tubuh lawan jenis
dengan sengaja dan dengan paksaan
4, 5, 8, 10, 11, 14,
16, 18, 22, 25, 26,
29, 30
11
Jumlah 30
Tabel 9. Blueprint Skala Pelecehan Seksual Setelah Uji Validitas
No Indkator Deskriptor No. Aitem
Lama Baru
1 Visual Tatapan penuh nafsu dan mengancam 1, 3, 7,15, 19,
23, 24
1, 3, 6,14, 17,
20
2 Verbal Pernyataan yang bersifat seksual dan
mengancam baik secara tersurat
maupun tersirat
2, 6, 9, 12, 13,
17, 20, 21, 27,
28
2, 8, 11, 12, 15,
18, 22, 23
3 Fisik Menyentuh bagian tubuh lawan jenis
dengan sengaja dan dengan paksaan
4, 5, 8, 10, 11,
14, 16, 18, 22,
25, 26, 29, 30
4, 5, 7, 9, 10,
13, 19, 21, 24,
25
30 25 Jumlah
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 35
batuan SPSS 12.0 for windows. Hasil perhitungan reliabilitas skala pelecehan seksual diperoleh
koefisien Alpha sebesar 0,885.
Data yang terkumpul selanjutnya diolah guna menjawab rumusan masalah dalam penelitian
ini, adapun langkah-langkah pengolahan data sebagai berikut: (1) editing yaitu memeriksa skala
Tabel 10. Pedoman Skor Angket Strategi Coping
No. Soal Alternatif
Jawaban Skor No. Soal
Alternatif
Jawaban Skor
1 a b c
3 2 1
16 a b c
3 2 1
2 a b c
3 2 1
17 a b c
3 2 1
3 a b c
3 2 1
18 a b c
3 2 1
4 a b c
3 2 1
19 a b c
3 2 1
5 a b c
3 2 1
20 a b c
3 2 1
6 a b c
3 2 1
21 a b c
3 2 1
7 a b c
3 2 1
22 a b c
3 2 1
8 a b c
3 2 1
23 a b c
3 2 1
9 a b c
3 2 1
24 a b c
3 2 1
10 a b c
3 2 1
25 a b c
3 2 1
11 a b c
3 2 1
26 a b c
3 2 1
12 a b c
3 2 1
27 a b c
3 2 1
13 a b c
3 2 1
28 a b c
3 2 1
14 a b c
3 2 1
29 a b c
3 2 1
15 a b c
3 2 1
30 a b c
3 2 1
36 | Rahmawati - Strategi Coping pada Remaja...
yang terkumpul setelah penelitian. Pemeriksaan ini meliputi kelengkapan identitas subyek dan
kesesuaian antara jumlah instrumen yang terkumpul; (2) skoring yaitu memberikan skor pada
pilihan jawaban dari para subjek. Langkah pemberian skor ini dengan cara memberikan skor pada
jawaban yang telah dipilih oleh subyek penelitian; dan (3) Tabulasi yaitu memasukkan jawaban
yang telah diberi skor pada tabel tabulasi hingga siap dianalisis. Dalam pentabulasian ini, terdapat
dua cara yaitu: (a) Untuk pentabulasian strategi coping, jika subjek lebih banyak menjawab
pertanyaan yang memiliki skor jawaban 3, berarti subjek cenderumg menggunakan strategi
problem focused coping, jika subjek lebih banyak menjawab pertanyaan yang memiliki skor
jawaban 2, berarti subjek cenderumg menggunakan strategi emotion focused coping dan jika
subjek lebih banyak menjawab pertanyaan yang memiliki skor jawaban 1, berarti subjek
cenderumg menggunakan strategi avoidant coping. (b) Untuk pentabulasian pelecehan seksual,
skor dimasukkan ke dalam tabel yang telah dibuat dan selanjutnya dianalisis dengan bantuan
program SPSS 12.0 for windows.
Pemberian skor ini bertujuan untuk mempermudah dalam menganalisis data.rincian pedoman
skoring yang digunakan terdapat pada tabel 10 dan tabel 11.
Teknik analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan secara umum hasil penelitian.
Penggunaan teknik analisis deskriptif dimaksudkan untuk mengungkap gambaran keadaan
responden di lapangan tentang strategi coping pada remaja yang mengalami pelecehan seksual.
Data deskriptif berguna untuk mendukung interpretasi terhadap teknik analisis lainnya.
Pendeskripsian ini dilakukan dengan cara mengklasifikasi skor subjek sesuai dengan norma
kelompok sebelum dilakukan perhitungan persentase. Pengkategorian menggunakan harga Modus,
Mean, dan Standar Deviasi (SD).
Tabel 11. Pedoman Skor Skala Pelecehan Seksual
Alternatif Jawaban Keterangan Skor
TP Tidak Pernah 1
J Jarang 2
S Sering 3
SS Sangat Sering 4
Tabel 12. Pedoman Klasifikasi Pelecehan Seksual (berdasar harga mean dan standar deviasi)
Rumus Klasifikasi
Mean + 1SD < X Berat
Mean - 1 SD < X < Mean + 1 SD Sedang
X < Mean - 1SD Ringan
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 37
Setelah diketahui klasifikasi tingkatannya dilakukan penghitungan jumlah subjek dalam setiap
kategori dengan menggunakan presentase dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
P = Presentase
F = Frekuensi (banyaknya responden yang menjawab)
N = Jumlah responden seluruhnya
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Tingkat Pelecehan Seksual
Skala pelecehan seksual terdiri dari 25 item yaitu 6 aitem pelecehan seksual visual, 8 aitem
pelecehan seksual verbal dan 11 item pelecehan seksual fisik.
Dari hasil skoring diperoleh mean 100,83 dan standar deviasi 11,46 seperti yang ditunjukkan
pada tabel berikut ini:
Setelah dilakukan skoring, tingkat pelecehan seksual yang dialami subjek akan diklasifikasikan
ke dalam 3 kategori yaitu: tinggi, sedang, rendah yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa dari 45 orang subjek penelitian ditemukan bahwa
remaja yang diwakili oleh siswi kelas XI di SMA Laboratorium
UM sebagian besar mengalami pelecehan seksual tingkat sedang yaitu sebanyak 32 orang
(71%), kemudian diikuti dengan pelecehan seksual tingkat berat sebanyak 8 orang (18%) dan
pelecehan seksual kategori ringan sebanyak 5 orang (11%). Dari hasil tersebut maka disimpulkan
Keterangan Tabel 12
X : Skor Subjek
SD : Standar Deviasi
Mean : Skor ata-rata kelompok
P F
X 100% = N
Tabel 13. Hasil perhitungan mean dan standar deviasi skala pelecehan seksual
N Mean Standar Deviasi Skor Minimal Skor Maksimal
45 47,47 7,01 34 64
Tabel 14. Hasil Analisis Deskriptif Tingkat Pelecehan Seksual yang Dialami Subjek
Rumus (Mean = 47,47; SD = 7,01) Interval Klasifikasi Jumlah %
Mean + 1 SD < X 54-64 Berat 8 18
Mean - 1 SD < X < Mean + 1 SD 40–53 Sedang 32 71
X < Mean - 1 SD 34-39 Ringan 5
38 | Rahmawati - Strategi Coping pada Remaja...
bahwa sebagian besar remaja mengalami pelecehan seksual tingkat sedang.
2. Strategi Coping
Angket strategi coping terdiri dari 22 aitem soal yaitu masing-masing terdiri dari 22 aitem
problem focused coping, 22 aitem emotion focused coping dan 22 aitem avoidant coping.
Berdasarkan kecenderungan jawaban dari 45 orang subjek penelitian ditemukan bahwa remaja
yang diwakili oleh siswi kelas XI di SMA Laboratorium UM yang cenderung menggunakan
strategi problem focused coping sebanyak 32 orang (71%), emotion focused coping sebanyak 8
orang (18%) dan avoidant coping sebanyak 5 orang (11%). Dari hasil tersebut maka disimpulkan
bahwa sebagian besar remaja di SMA Laboratorium UM menggunakan strategi problem focused
coping untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi yaitu termasuk pelecehan seksual.
B. Pembahasan
1. Tingkat Pelecehan Seksual
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 45 orang subjek penelitian ditemukan bahwa
remaja yang diwakili oleh siswi kelas XI di SMA Laboratorium UM yang mengalami pelecehan
seksual berat sebanyak 8 orang (18%), sedang 32 orang (71%), ringan 5 orang (11%). Jadi dari
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar remaja di SMA Laboratorium UM
mengalami pelecehan seksual dalam tingkat sedang.
Dampak psikologis pelecehan seksual tergantung pada frekuensi terjadi pelecehan, parah
tidaknya (halus atau kasar, taraf), apakah secara fisik juga mengancam atau hanya verbal, apakah
mengganggu kinerja pekerja. Dampak utama yang paling sering tampil adalah, jengkel, snewen,
stress hingga breakdown, kebencian pribadi hingga generalisasi kebencian pada pelaku atau
mereka dari jenis kelamin yang sama dengan pelaku, marah, kehilangan rasa percaya pada orang
lain, ketakutan, merasa berdosa atau merasa diriya sebagai penyebab, frustasi, menarik diri, dan
lain-lain.
2. Strategi Coping
Dari hasil penelitian dari 45 orang subjek penelitian ditemukan bahwa remaja yang diwakili
oleh siswi kelas XI di SMA Laboratorium UM yang cenderung menggunakan strategi problem
focused coping sebanyak 32 orang (71%), emotion focused coping sebanyak 8 orang (18%) dan
avoidant coping sebanyak 5 orang (11%). Dari hasil tersebut maka disimpulkan bahwa sebagian
besar remaja di SMA Laboratorium UM menggunakan strategi problem focused coping untuk
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi yaitu termasuk pelecehan seksual. Lazarus & Folkman
(dalam Atkinson 1997) menggolongkan tiga strategi coping yang biasanya digunakan oleh indi-
vidu dalam upaya mengatasi dan mengurangi stres, yaitu problem-focused coping merupakan
usaha untuk mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan
lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Contoh bentuk coping jenis ini anta-
ra lain melakukan perencanaan, menekan aktifitas lain, menahan diri, dan mencari dukungan so-
sial. Emotion-focused coping merupakan usaha untuk mengatasi stres dengan cara mengatur re-
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 39
spon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh sua-
tu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Contoh bentuk coping ini antara lain mencari
dukungan emosi, menafsirkan masalah secara positif, menerima masalah yang dihadapi, ataupun
menghindari masalah dan bertindak seolah-olah masalah tersebut tidak ada secara nyata. Avoidant
coping strategi merupakan suatu tindakan yang diarahkan untuk mengurangi, menghilangkan,
atau bertahan terhadap tekanan atau emosi negatif yang dirasakan akibat masalah yang dihadapi.
Dalam mengatasi tekanan yang ditimbulkan oleh masalah, individu berusaha untuk mengurangi
atau menghilangkan emosi-emosi yang tidak menyenagkan akibat masalah tersebut, misalnya
mendekatkan diri pada Tuhan, humor, menghindar, dan lain-lain.
3. Strategi Coping pada Remaja yang Mengalami Pelecehan Seksual
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi coping yang digunakan oleh remaja pada
umumnya yang pernah atau sedang mengalami pelecehan seksual. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat penggunan strategi coping pada remaja yang mengalami pelecehan seksual yang
ditunjukkan pada tabel berikut:
percaya pada orang lain, ketakutan, merasa berdosa atau merasa diriya sebagai penyebab,
frustasi, menarik diri, dan lain-lain.
Strategi Coping pada Remaja yang Mengalami Pelecehan Seksual Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui strategi coping yang digunakan oleh remaja pada umumnya yang
pernah atau sedang mengalami pelecehan seksual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
penggunan strategi coping pada remaja yang mengalami pelecehan seksual yang ditunjukkan pada
tabel berikut:
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa dari 45 orang remaja yang menjadi subjek
penelitian 32 orang remaja mengalami pelecehan seksual dengan kategori sedang menggunakan
strategi problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau
mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya
tekanan. Individu cenderung untuk menggunakan strategi problem focused coping dalam
menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut dapat dikontrolnya.
Tabel 15. Kategorisasi Subjek Pengggunaan Strategi Coping
Pelecehan
Seksual
Strategi Coping
Jumlah Problem
Focused Coping Emotion Focused
Coping Avoidant Cop-
ing
Berat 8 8
Sedang 32 32
Ringan 5 5
Jumlah 32 8 5 45
40 | Rahmawati - Strategi Coping pada Remaja...
Sedangkan 8 orang remaja yang mengalami pelecehan seksual dengan kategori tinggi
menggunakan strategi emotion focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur
respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh
suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Individu cenderung menggunakan
emotion focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk
dikontrol.
Kemudian 5 orang mengalami pelecehan seksual dengan kategori rendah menggunakan
strategi avoidant coping, yaitu suatu tindakan yang diarahkan untuk mengurangi, menghilangkan,
atau bertahan terhadap tekanan atau emosi negatif yang dirasakan akibat masalah yang dihadapi
termasuk akibat dari pelecehan seksual.
Seorang individu, termasuk remaja dalam proses perkembangannya akan mengalami sejumlah
peristiwa yang terkadang cenderung menimbulkan stress karena menuntut adanya perubahan
dalam pola kehidupannya sehingga dibutuhkan penyesuaian kembali dari individu yang
bersangkutan. Termasuk pelecehan seksual yang sering terjadi pada remaja.
Kumar (dalam Astuti, 2007) menyebutkan emosi cemas dan terancam mendorong individu
untuk berperilaku menarik diri dari suatu masalah. Dampak negatif pelecehan seksual konon dapat
menurunkan skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis pada anak dan remaja. Berbagai
penelitian juga menunjukkan hubungan antara pelecehan seksual dengan meningkatnya depresi
dan agresi, serta penurunan nilai akademik dan tindakan bunuh diri. Jika individu tidak mampu
mengelola emosinya dengan baik, ia akan selalu merasa berfokus pada upaya meredakan emosi
yang muncul. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat penggunaan strategi coping
pada remaja yang mengalami pelecehan seksual.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, serta teori yang mendasari penelitian ini, maka
dapat ditarik kesimpulan, yaitu:
1. Secara umum gambaran tingkat pelecehan seksual pada remaja di SMA Laboratorium UM
termasuk dalam kategori sedang yaitu sebanyak 71% atau 32 remaja, maka dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar remaja yang mengalami pelecehan seksual di SMA Laboratorium UM
mengalami pelecehan seksual tingkat sedang.
2. Secara umum gambaran strategi coping yang digunakan pada remaja yang mengalami
pelecehan seksual di SMA Laboratorium UM yaitu problem focused coping yaitu sebanyak
71% atau 32 remaja, maka dapat disimpulkan bahwa remaja yang mengalami pelecehan
seksual di SMA Laboratorium UM sebagian besar menggunakan strategi problem focused
coping untuk mengatasi stress akibat dari pelecehan seksual tersebut.
3. Dari hasil analisis deskriptif, maka dapat diketahui bahwa remaja yang mengalami pelecehan
seksual tingkat berat lebih cenderung menggunakan strategi emotion focused coping yaitu
sebanyak 8 orang (15%), remaja yang mengalami pelecehan seksual tingkat sedang lebih
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 41
cenderung menggunakan strategi problem focused coping yaitu sebanyak 32 orang (72%),
remaja yang mengalami pelecehan seksual tingkat ringan lebih cenderung menggunakan
strategi avoidant coping yaitu sebanyak 5 orang (11%).
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, serta teori yang mendasari penelitian ini, maka
saran untuk penelitian ini adalah:
1. Bagi Guru Bimbingan Konseling
Hendaknya pihak sekolah terutama guru Bimbingan Konseling mulai memberikan
bimbingan khusus kepada para siswi yang mengalami pelecehan seksual. Misalnya dengan
mengadakan pelatihan tentang kelola diri agar para siswi dapat mengatur emosinya dengan
baik agar tidak menimbulkan stress.
2. Bagi Remaja yang Mengalami Pelecehan Seksual
Mengingat dari hasil penelitian ini tingkat pelecehan seksual tergolong sedang, maka para
remaja putri hendaknya lebih dapat mengelola emosi dengan lebih baik agar dapat mengatasi
dan menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan stress akibat dari pelecehan seksual yang
dialaminya dengan menggunakan strategi coping yang tepat untuk mengatasinya misalnya
dengan cara selalu tanamkan dalam diri sendiri bahwa pelecehan yang dialami sama sekali
bukan kesalahan diri sendiri. Selanjutnya para remaja putri hendaknya menambah pengetahuan
mengenai perilaku atau perbuatan yang termasuk dalam kategori pelecehan seksual agar sebisa
mungkin pelecehan seksual tersebut tidak dialami lagi.
3. Bagi Peneliti Lain
a. Melakukan penelitian yang lebih komprehensif tentang berbagai aspek yang berkaitan
dengan pelecehan seksual pada remaja dan strategi coping yang digunakan oleh remaja
untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi.
b. Menambah instrumen yang digunakan, misalnya wawancara dengan subyek, observasi, dan
menambah butir instrumen sehingga hasil penelitian akan lebih tepat dan sempurna.
c. Menambah populasi penelitian, misalnya menambah jumlah subjek dengan memasukkan
remaja yang mengalami sering pelecehan seksual.
42 | Rahmawati - Strategi Coping pada Remaja...
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, S.2006. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta.
Apinwall, L. G., and Taylor, Selley. 1992. Modelling Cognitive : A Longitudinal Investigation of
the Impact of Longitudinal Differences and Coping and Collage Adjunment and
Performences. Journal of Personality and Social Psychology., 63: 989-1003.
Atkinson, Rita. L, dkk. 1999. Pengantar Psikologi (2nd ed) jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Azwar, S. 1998. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Azwar, S. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Azwar, S.2005. Tes Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S.2006. Reliabilitas dan Validitas.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S.2007. Sikap Manusia; Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bruno, F.J. 1993. Kamus Istilah Kunci Psikologi. Jakarta: Erlangga.
Chaplin, J.P. 1999. Kamus Psikologi Lengkap. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.
Collier, Rohan. 1998. Pelecehan Seksual, Hubungan dominasi Mayoritas dan Minoritas.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Cozby, Paul C. 1997. Methods in Behavioural Research. USA: Mayfiled Publishing.
Dala, Tenri., Erawati., Taat, Astri. 2009. Don’t Touch Me. Jakarta: Lingkar Pena.
Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.
Folkman dan Lazarus. 1988. Coping as Mediator of Emotion. Journal of Personality and Social
Psychology. Vol 56:466-475. San Fransisco: West Publishing co.
Hadi, Sutrisno. 2004. Analisis Butir Untuk Instrumen. Yogyakarta : Andi Offset.
Hermawan, Iwan. 2001. Kedudukan dan Nilai-Nilai Perampuan, (online), (www.google.com,
diakses tanggal 25 Oktober 2008).
Hadi, S. 1997. Metodologi Researh II. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada.
Hadi, S. 2000. Statistik. Jogjakarta: Andi Offset.
Hurlock, Elizabeth B.1973. Adolescent Development. Tokyo: McGraw-Hill, Inc.
Larocca, M.A., and Komrey, J.D. 1999 (June). The Perception of Sexual Harassement in Hinger
Education:Impect of Gender andAttractiveness, (online), (www.yahoo.com, diakses tanggal
25 Oktober 2008).
Mu’tadin, Z. 2002. Strategi Coping, (online), (www.e-psikologi.com/remaja/220702.html, diakses
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 43
tanggal 25 0ktober 2008).
Panuju, Panut dan Umami, Ida.1999. Psikologi Remaja. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Priyatno, Dwi. 2008. Mandiri Belajar SPSS. Yogyakarta: Mediakom.
Rohde, Paul., et.al. 1990. Dimensionality of Copimg and it’s Rellation to Depression. Journal of
Personality and Social Psychology., 58:499-511.
Santrock, John W.1995. Adolescense. Boston: McGraw Hill.
Santrock, John W.2002. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J.W. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S.W. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sudjiono. 2004. Pelatihan Analisa Data dengan SPSS Versi 11.5. Malang: FIP UM.
Sugiyanto, M. S. Prof. Dr. Ir. 2004. Analisis Statistika Sosial. Malang: Bayumedia Publishing.
Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sukidin dan Mundir. 2005. Metode Penelitian (Membimbing dan Mengantar Kesuksesan Anda
dalam Dunia Penelitian).Surabaya: Insan Cendekia.
Viatrie, Diantini Ida. 2006. Bahan Bacaan Psikologi Klinis. Tidak diterbitkan.
Watson, Robert I dan Henry Clay Lindgren.1979. Psychology of The Child and The Adolescent.
New York: MacMillan Publishing Co, Inc.
Vol. 1, No. 2, Desember, 2020 Jurnal Kualitatif untuk
Ilmu Perilaku Hal. 44-52
Penelitian Fenomenologi Model Gaya Kepemimpinan Badan Eksekutif
Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa Fakultas
Mochamad Ilham Bismo Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang No. 5, Kota Malang, Indonesia 65145
E-mail (xxx@xxx)
Informasi Artikel Abstrak
Tanggal masuk dd-mm-yyyy Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui model gaya kepemimpinan yang ter-dapat di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Mahasiwa (DMF) Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang. Analisis yang digunakan dalam penelitian adalah dengan model fenomenologi dengan menggunakan teknik Triangulasi untuk memvalidasi data. Partisipan yang ter-dapat di dalam penelitian berjumlah 2 orang, sebagai partisipan utama. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketua BEM dan ketua DMF mempunyai model gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional. Ketua BEM cukup ter-lihat dengan aspek yang menonkol yaitu oritentasi hubungan antar manusia, oren-tasi tugas, dan orientasi tujuan; sedangkan ketua DMF cukup terlihat pada gaya kepimpinan transaksional dan transformasional.
Tanggal revisi dd-mm-yyyy
Tanggal diterima dd-mm-yyyy
Kata Kunci:
Model kepemimpinan; Transformasional; Transaksional; Badan Eksekutif Mahasiswa; Dewan Mahasiswa Fakultas: Fenomenologi.
Keywords: Abstract
PENDAHULUAN
Pemimpin adalah penentu kebijakan keputusan dalam mengambil solusi terhadap masalah
yang ada. Peran pemimpin sangat diperlukan. Sebagai anggota organisasi harus mengetahui model
gaya kepemimpinan pemimpinnya, sebagai pengetahuan untuk nantinya dapat bersikap dalam or-
ganisasi. Sebagai seorang pemimpin pun juga perlu mengetahui bagaimana anggota organisasinya
berperilaku, sikapnya, motivasi dalam berorganisasi, kepribadiannya, dan lain sebagainya. Pem-
impin sebagai ujung tombak keputusan yang mempengaruhi proses organisasi. Ketika pemimpin
dan bawahannya atau anggota organisasinya cocok dalam hal apapun secara umum maka kelang-
sungan organisasi akan berlangsung dengan baik. Atasan atau pemimpin perlu mengetahui
bagaimana anggota organisasi dalam kepribadiannya terutama. Bawahan atau anggota organisasi
juga perlu mengetahui atasannya bagaimana atasannya dalam memimpin organisasi.
Kepemimpinan merupakan kajian yang populer. Banyak pendekatan tentang kepemimpinan.
Kepemimpinan mempunyai banyak teori atau pendekatan. Pendekatan atau teori menyesuaikan
Jurnal Kualitatif unuk Ilmu Perilaku | 45
dengan kondisi organisasi yang ada. Semua mempunyai dampak positif dan negatifnya. Dampak
positif dan negatif tergantung pada gaya kepemimpinan yang dipakai. Secara umum gaya kepem-
impinan pemimipin yang membuat senang bawahan atau berkembang bawahannya itu banyak
menimbulkan dampak positif, dalam hal ini gaya kepemimpinan lebih kearah leader. Dalam teori
kepemimpinan selama ini belum ditemukan atau belum ada yang paling sempurna (Munandar,
2011).
Manajer dan pemimpin mempunyai perbedaan yang jelas. Tapi sering secara umum disamakan
oleh masyarakat. Manajer lebih mendekati pada mengatur, merencanakan, dan memberi tugas. Se-
dangkan pemimpin lebih mendekati pada memberikan semangat, tanggung jawab, motivasi, se-
bagai panutan yang perlu dicontoh oleh bawahannya. Perbedaan tersebut tidak membuat masalah,
hal tersebut hanyalah pendekatan. Pendekatan juga mempengaruhi kesuksesan dalam organisasi
atau perusahaan.
Banyak teori tentang kepemimpinan, tetapi tidak ada yang sempurna. Ada teori sifat, ada teori
gaya, teori kontingensi, teori transaksional, teori transformasional, dan lain sebagainya. Gaya
kepemimpinan memberikan inovasi kepada bawahannya atau berkembang tidaknya bawahan. Per-
lu mengetahui secara mendalam model gaya kepemimpinan atasan agar bawahan bisa me-
nyesuaikan diri dengan model kepemimpinan atasannnya dan organisasi mampu maju serta
berkembang. Ada kepemimpinan partisipatif, dalam hal ini kepemimpinan partisipatif adalah gaya
kepemimpinan yang besar peluangnya bawahan atau karyawan untuk mengembangkan inovasi
mereka (Ancok, 2012).
Kajian-kajian tentang kepemimpinan selama ini masih kurang dilakukan. Mengetahui model
gaya kepemimpinan pemimpin organisasi atau perusahaan sangat perlu. Pemimpin yang mempu-
nyai pengalaman cukup banyak dapat mempengaruhi anggota untuk menjalankan tujuan yang di-
capai. Penyelesaian masalah yang ada perlu kerjasama antara pemimpin dan bawahan. Ketika
bawahan atau anggota organisasi mengetahui gaya kepemimpinan atasannya atau pemimpinnya
maka bawahan bisa menyesuaikan dirinya untuk menjalankan visi misi organisasi atau perusahaan.
Penyesuaian bawahan terhadap atasan perlu sebagai berjalannya organisasi menuju yang lebih
maju.
Organisasi terhadap maju tidaknya tergantung pemimpin dan bawahan. Bawahan atau anggota
organisasi sebagai pelaksana tugas dan pemimpin sebagai pengarah bawahan. Pemimpin perlu
memperlakukan bawahannya dengan manusiawi dan proporsional. Proporsional artinya sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan yang ada sesuai tujuan organisasi. Sebagai bawahan harus
mengetahui model gaya kepemimpinan atasannya, sebagai cara untuk menyesuaikan diri dalam
organisasi lebih-lebih dapat memajukan organisasi.
Pada pendekatan kepemimpinan ada pendekatan transaksional dan transformasional.
Transaksional lebih ke arah hubungan saling tukar antara pemimpin dan bawahan. Dalam pen-
dekatan transaksional banyak menimbulkan dampak negatif, karena lebih menitikberatkan pada
penyelesaian tugas. Kurang mengedepankan kesejahteraan anggota organisasi. Kepemimpinan
46 | Bismo - Penelitian Fenomenologi Model Gaya Kepemimpinan...
yang berorientasi tugasberhubungan positif dengan kemangkiran (turn over), dapat disimpulkan
bahwa kemangkiran adalah keluarnya karyawan atau anggota organisasi dalam perusahaan, dalam
hal ini cepat tidaknya pergantian anggota dalam organisasi, pergantian anggota organisasi secara
terus menerus (Hanurawan & Diponegoro, 2005).
Seorang pemimpin atau ketua dalam mengelola sumber daya organisasi perlu adanya model
kepemimpinan yang tepat, sehingga atasan dan bawahan mempunyai sinergi yang kuat (Roscahyo
2013). Sumber daya manusia perlu diatur secara berkelanjutan. Pengaturan secara berkelanjutan
sumber daya manusia untuk memajukan organisasi. Peran pemimpin disini sangat penting sebagai
kemajuan organisasi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Perubahan dalam organisasi yang paling utama adalah tergantung pemimpin. Dalam hal peru-
bahan, pemimpin perlu melakukan perubahan terlebih dahulu karena pemimpin sebagai contoh
atau panutan (Trang, 2012). Pemimpin sebagai manajer tingkat puncak yang harus menyesuaikan
dengan bawahan dan juga tujuan organisasi. Pemimpin harus pintar dalam mengelola organisasi
dan bawahannya atau anggota organisasinya. Saling mengerti antara sifat pemimpin dan bawahan
perlu sebagai mempererat hubungan interpersonal untuk menjalankan dinamika organisasi.
Peran pemimpin dalam era yang sekarang ini sangat perlu. Pemimpin yang demokratis secara
umum dapat mengembangkan organisasi. Tetapi tidak selamanya begitu, pemimpin
mempengaruhi organisasi, bawahan atau anggota organisasi juga mempengaruhi organisasi. Pem-
impin yang otoriter dapat pula mempengaruhi organisasi tetapi lebih kearah negatif secara umum.
Dalam kepemimpinan ada pendekatan kepemimpinan tentang transformasional dan pendekatan
kepemimpinan tentang transaksional. Tidak ada yang salah terhadap gaya kepemimpinan, yang
terpenting adalah bagaimana gaya kepemimpinan menyesuaikan kondisi yang ada, menyesuaikan
dengan bawahan atau anggota serta menyesuaikan dengan tujuan organisasi.
Positif dan negatif dari pendekatan kepemimpinan tidak selalu absolut. Artinya tidak selalu
kepemimpinan transformasional atau transaksional lebih kearah satu sudut pandang, positif atau
negatif. Positif atau negatif tergantung pada pemimpinnya dalam mengatur organisasi serta ang-
gota dalam berperilaku di organisasi. Dari penelitian-penelitian yang sudah ada tidak selamanya
kepemimpinan transformasional selalu berkorelasi positif pada organisasi atau berkorelasi negatif.
Pada kepemimpinan transaksional juga tidak selalu berkorelasi positif atau negatif pada organ-
isasi, semuanya bersifat relatif.
Masalah yang sering dihadapi dalam organisasi mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa dan
Dewan Mahasiswa Fakultas di Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang adalah
miskomunikasi antara pemimpin dan bawahan atau anggota organisasi. Kurang mengertinya mak-
sud atau tujuan dari setiap yang dilakukan oleh pemimpin pada bawahan atau anggota organisasi,
sering menjadi salah paham dalam berorganisasi. Komunikasi yang kurang tepat banyak men-
imbulkan permasalahan, contohnya bisa salah dalam menjalankan jobdesk, program kerja tidak
terlaksana, beban kerja semakin menumpuk dan lain sebagainya. Komunikasi diperlukan secara
tepat oleh pemimpin dan anggota organisasi. Fenomena permasalahan tersebut berasal dari eval-
Jurnal Kualitatif unuk Ilmu Perilaku | 47
uasi BEM serta DMF tahun 2016 dan tahun 2017.
Berdasarkan rapat evaluasi akhir kepengurusan yang dilakukan oleh BEM terutama, perlu
adanya sosialisasi tentang gaya kepemimpinan pemimpinnya atau penelitian terkait tersebut untuk
mengkaji gaya kepemimpinan pemimpin organisasi. Kajian penelitian adalah agar anggota organ-
isasi mengetahui bagaimana pemimpinnya dan menyesuaikan bagaimana bekerja dalam organ-
isasi.
Pada evaluasi organisasi mahasiswa terutama Badan Eksekutif Mahasiswa, yang menjadi
pokok utama adalah tentang kepemimpinan. Kurangnya sosialisasi atau pemberian informasi
model gaya kepemimpinan atasannya. Hal tersebut menimbulkan salah paham, kurang senangnya
bawahan terhadap atasan, bawahan kurang bersemangat dalam berorganisasi, ada anggota yang
tidak aktif dalam organisasi, kerja kurang efektif serta maksimal, kerja dalam organisasi menjadi
sesuka hati. Evaluasi sebagai bahan untuk memperbaiki kearah langkah kedepan.
Masalah yang dihadapi waktu kepengurusan organisasi mahasiswa ini bepengaruh pada kiner-
ja organisasi terutama di Badan Eksekutif Mahasiswa tahun 2017 adalah kurangnya pendekatan
atau sosialisasi terhadap model kepemimpinan pemimpin organisasi. Dari hal tersebut banyak ter-
jadi miskomunikasi antara pemimpin dan bawahan. Berdasarkan evaluasi yang ada maka perlu
untuk mengetahui model kepemimpinan pemimpin organisasi. Rekomendasi evaluasi adalah dari
organisasi mahasiswa terutama di Badan Eksekutif Mahasiswa kepengurusan tahun 2017 sebagai
pengurus lama dan pengurus baru.
Permasalahan tentang fenomena kepemimpinan sangat banyak sekali. Ketika anggota tidak
mengetahui gaya kepemimpinan pemimpinnya, bisa menjadi masalah. Contoh masalah yang ada
adalah miskomunikasi, salah dalam bersikap atau berperilaku anggota, kurang berjalannya tujuan
dan misi organisasi karena pemimpin tidak mensosialisasikan gaya kepemimpinannya. Kurang
adanya interaksi yang baik atau banyak salah paham dalam berorganisasi, konflik interpersonal
karena salah paham, ini adalah beberapa masalah terkait dengan kepemimpinan, yang mana pem-
impin tidak mensosialisasikan bagaimana model kepemimpinannya. Sebagai anggota harus secara
aktif dapat mengetahui bagaimana model kepemimpinan pemimpinnya agar nantinya dalam beror-
ganisasi tidak banyak menimbulkan masalah.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif model fenomenologi. Fenomenologi
adalah penelitian kualitatif yang mendeskripsikan kesadaran atau pengalaman seseorang tentang
fenomena, dengan fokus individu melakukan interaksi dengan dunia fenomena, fenomena dapat
berupa benda atau makna empiris seseorang (Hanurawan, 2016). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui model gaya kepemimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa
Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang.
Kehadiran peneliti disini sangat penting. Peneliti terlibat aktif dalam pelaksanaan penelitian.
Peneliti berinteraksi secara langsung dan terlibat aktif dengan subjek atau partisipan penelitian,
48 | Bismo - Penelitian Fenomenologi Model Gaya Kepemimpinan...
untuk melihat perilaku berdasarkan wawancara, observasi, dan dari kuesioner kualitatif. Lokasi
dalam penelitian ini berada di Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang. Data
dalam penelitian ini mempunyai fokus untuk mengetahui dan menganalisis model gaya kepem-
impinan Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa Fakultas Pendidikan Psikologi Uni-
versitas Negeri Malang.
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 2 orang sebagai partisipan utama. Partisipan utama da-
lam penelitian ini berstatus sebagai mahasiswa. Sedangkan significant other atau orang terdekat
partisipan berjumlah 3 orang dari Badan Eksekutif Mahasiswa dan 3 orang dari Dewan Maha-
siswa Fakultas, untuk menambah data dan cek akurasi data.
Hasil dan Pembahasan
A. Model Gaya Kepemimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pendidikan
Psikologi Universitas Negeri Malang
Pemimpin Badan Eksekutif Mahasiswa Organisasi Mahasiswa Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang menggunakan atau cenderung pada gaya kepemimpinan transaksional
dengan aspek yang cukup terlihat pada orientasi hubungan antar manusia, orientasi tugas, serta
orientasi tujuan. Secara umum pemimpin Badan Eksekutif Mahasiswa tetap mempunyai gaya
kepemimpinan transformasional, namun di gaya kepemimpinan transformasional belum menonjol
atau tidak cukup terlihat dari seorang pemimpin. Secara khusus pemimpin lebih menggunakan
gaya kepemimpinan transaksional. Pemimpin Badan Eksekutif Mahasiswa atau SF mempunyai
ciri kepemimpinan transaksional dengan pemberian reward terhadap pelaksanaan tugas anggota
organisasi, sesuai dengan teorikepemimpinan transaksional bahwa pemimpin memperlakukan
anggota organisasi untuk mendapat hadiah dalam pelaksanaan tugas (Rusdiyanto & Riani, 2015).
Berkaitan dengan hubungan sosial atau orientasi hubungan antar manusia SF di organisasi, SF
menganggap bahwa organisasi adalah keluarga. Di aspek hubungan antar manusia SF cukup men-
onjol atau lebih terlihat di semester gasal. SF cukup baik dalam berhubungan sosial. SF cukup ter-
buka dengan anggotanya. Bisa dikatakan bahwa SF bertindak humanis dengan anggota organisasi.
SF berusaha profesional di organisasi. Keterbukaan terhadap bawahan adalah contoh perilaku
kepemimpinan transaksional (Hanurawan & Diponegoro, 2005).
Pada sisi orientasi tugas, SF lebih melakukan penekanan. Artinya bahwa SF lebih terlibat lagi
dalam pelaksanaan tugas anggota. Pada aspek orientasi tugas, SF juga mempunyai kecenderungan
atau menonjol pada aspek ini. Di semester sebelumnya SF kurang terlibat dalam tugas anggota. SF
banyak melakukan pertimbangan dalam pemberian tugas pada anggota. SF melakukan pembagian
tugas secara adil. Dalam beberapa anggota atau divisi tertentu SF melakukan penekanan bahwa
tugas-tugas anggota semaksimal mungkin harus berjalan. Salah satu ciri kepemimpinan
transaksional adalah mengawasi anggota dalam bekerja atau melaksanakan tugas apakah sudah
sesuai atau belum (Ancok, 2012).
Jurnal Kualitatif unuk Ilmu Perilaku | 49
Berhubungan dengan orientasi tujuan, SF melakukan sesuai tujuan organisasi. Di aspek orien-
tasi tujuan, SF lebih terlihat lagi di semester gasal. Hal ini misalnya berkaitan dengan pembuatan
kebijakan. SF mengambil kebijakan berdasarkan pertimbangan yang matang. SF di semester gasal
lebih melibatkan banyak orang atau beberapa orang untuk mengambil kebijakan. SF pun tidak
mau banyak pertimbangan, apabila hal tersebut dirasa perlu bertindak SF langsung mengambil
tindakan dengan koordinasi dengan orang terkait. Hal itu SF lakukan agar menghasilkan tindakan
atau kebijakan yang tepat. SF juga banyak melakukan arahan pada anggota organisasi, bahwa ada
hal-hal tertentu yang harus dilakukan anggota agar organisasi berjalan dengan baik. Tujuan utama
SF dalam mengarahkan anggota di organisasi adalahkebijakan yang diambil bisa tepat. Dalam te-
ori kepemimpinan transaksional, pemimpin membuka motif-motif bawahan atau anggota untuk
merealisasi tujuan-tujuan satu sama lain (Muluk, 2012).
B. Model Gaya Kepemimpinan Dewan Mahasiswa Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang
Pemimpin Dewan Mahasiswa Fakultas Organisasi Mahasiswa Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang menggunakan gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional
dengan menonjol atau cukup terlihat pada Aspek yang berbeda-beda. Pemimpin Dewan Maha-
siswa Fakultas atau AR di gaya kepemimpinan transaksional cukup terlihat atau menonjol pada
aspek orientasi kegiatan bersifat teknis dan orientasi hubungan antar manusia. AR mempunyai ciri
memeriksa kinerja bawahan lewat kegiatan organisasi, mengklarifikasi terkait hal-hal teknis,
sesuai dengan karakteristik teori kepemimpinan transaksional bahwa pemimpin memonitor
penyimpangan anggota organisasi dan mengoreksi jika anggota gagal mencapai tujuan (Narsa,
2012). Pada gaya kepemimpinan transformasional AR cukup terlihat pada aspek motivasi yang
memberi inspirasi dan kepemimpinan karismatik. AR mempunyai ciri mampu memotivasi ang-
gota dengan cukup persuasif, sesuai dengan teori kepemimpinan transformasional bahwa pem-
impin yang transformasional adalah pemimpin yang menginspirasi anggota organisasi sebagai
sumber ideal, berfungsi sebagai model, membangun percaya diri anggota dan kebanggaan anggota
organisasi (Hamdani & Handoyo, 2012).
Di organisasi DMF AR ingin melakukan evaluasi diri, lebih baik lagi di semester sebelumnya.
Di sisi orientasi kegiatan bersifat teknis, AR berusaha klarifikasi terkait hal teknis dan lebih
mengarahkan anggota organisasi bagaimana menjalankan hal teknis. Di semester gasal AR sering
melakukan klarifikasi atau bertanya-tanya pada hal teknis. Hal itu AR lakukan sebagai langkah
hati-hati. AR sering melakukan koordinasi kecil dengan anggota. Musyawarah dilakukan oleh
ARdalam mengambil tindakan, meskipun menyangkut hal kecil. Dalam hal ini aspek kegiatan ber-
sifat teknis dari AR bisa dikatakan menonjol atau terlihat di semester gasal. Pemimpin DMF
menggunakan gaya kepemimpinan transaksional dengan aspek orientasi kegiatan bersifat teknis
seperti dalam situasi fokus membahas program kerja organisasi. Sisi transaksional nampak pada
50 | Bismo - Penelitian Fenomenologi Model Gaya Kepemimpinan...
arahan oleh pemimpin terhadap hal teknis, sesuai dengan ciri-ciri teori kepemimpinan transaksion-
al. Pemimpin atau atasan berusaha atau selalu menjelaskan hal-hal yang perlu dikerjakan oleh
bawahan atau anggota organisasi (Ancok, 2012).
Di sisi lain berkaitan dengan orientasi hubungan antar manusia, AR semester sebelumnya ku-
rang berhubungan sosial dengan anggota organisasi. Aspek hubungan antar manusia AR lebih ter-
lihat di semester gasal. Di semester selanjutnya AR ingin lebih dekat dengan anggota. AR tidak
ingin hanya berlaku profesional saja dalam organisasi. Pemimpin DMF menggunakan gaya
kepemimpinan transaksional dengan aspek orientasi hubungan antar manusia seperti dalam situasi
ketika bertemu anggota organisasi. Dalam kegiatan sehari-hari di organisasi AR lebih terlihat hu-
manis, misalnya dalam rapat sering melakukan sedikit mencairkan suasana atau bercanda seben-
tar. Dari salah satu informasi oleh informan, bahwa AR biasanya setelah rapat mengadakan shar-
ing sesion untuk membicarkan hal-hal yang dirasa perlu. Hal itu sebagai contoh keterbukaan pem-
impin terhadap bawahan atau anggota organisasi. Sesuai dengan teori paradigma transaksional,
yang mengatakan bahwa contoh perilaku hubungan interpersonal adalah keterbukaan terhadap
anggota organisasi (Hanurawan & Diponegoro, 2005).
Berkaitan dengan cara AR dalam memotivasi anggota di organisasi, AR melakukan dengan
cara meminta tolong untuk lebih maksimal bekerja di organisasi. Di aspek ini AR bisa dikatakan
cukup terlihat atau menonjol. AR berusaha mengingatkan anggota di organisasi. AR mengarahkan
anggota untuk mensukseskan program kerja. Pemimpin Dewan Mahasiswa Fakultas
menggunakan gaya kepemimpinan transformasional dengan aspek motivasi yang memberi in-
spirasi seperti dalam situasi akan atau sedang melaksanakan program kerja atau kegiatanorgan-
isasi. AR memberi persuasi secara positif pada anggota. Pemberian semangat oleh pemimpin dan
saling membantu sering dilakukan oleh AR. Pemimpin yang mampu menciptakan sifat optimis
dan menciptakan tujuan organisasi secara realistis adalah pemimpin transformasional (Hanurawan
& Diponegoro, 2005).
Pada bahasan tentang pemimpin memberi contoh pada anggota organisasi atau kepemimpinan
karismatik, AR ingin dan berusaha lebih disiplin lagi. Dari aspek kepemimpinan karismatik AR
cukup terlihat atau bisa dikatakan menonjol pada aspek ini. AR lebih sering berkomunikasi
dengan anggota. Komunikasi dengan anggota terutama lebih terlihat pada semester gasal. Arahan
dalam bekerja di organisasi AR lebih meningkatkan lagi. AR berusaha memperbaiki diri dari se-
mester sebelumnya. AR juga berusaha mendedikasikan dirinya pada anggota dan organisasi, dia
mengaku lebih terbuka lagi dalam komunikasi dengan anggota. Peningkatan komunikasi dengan
anggota secara emosi adalah contoh perilaku kepemimpinan transformasional (Hanurawan &
Diponegoro, 2005).
Kesimpulan dari penelitian fenomenologi model gaya kepemimpinan Badan Eksekutif Maha-
siswa dan Dewan Mahasiswa Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang adalah
pola kepemimpinan kedua pemimpin yaitu BEM dan DMF secara umum menggunakan atau
mempunyai pola kepemimpinan transaksional dan transformasional. Secara khusus ada aspek-
Jurnal Kualitatif unuk Ilmu Perilaku | 51
aspek tertentu yang menonjol pada setiap gaya kepemimpinan. Pemimpin DMF lebih mempunyai
atau menggunakan gaya kepemimpinan transaksional dengan dua aspek yang menonjol yaitu ori-
entasi kegiatan bersifat teknis dan orientasi hubungan antar manusia serta kepemimpinan transfor-
masional dengan dua aspek yang menonjol yaitu motivasi yang memberi inspirasi dan kepem-
impinan karismatik. Sedangkan pada pemimpin BEM lebih cenderung menggunakan pada gaya
kepemimpinan transaksional dengan aspek yang menonjol pada orientasi hubungan antar manusia,
orientasi tugas, dan orientasi tujuan. Pada aspek-aspek kepemimpinan transformasional pemimpin
BEM tidak cukup menonjol, namun tetap digunakan atau tetap ada pada pemimpin BEM.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian tentang model gaya kepemimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa dan
Dewan Mahasiswa Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang, dapat diambil kes-
impulan sebagai berikut :
1. Model gaya kepemimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa Fakultas
Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang menggunakan gaya kepemimpinan
transaksional dan transformasional dengan menonjol mempunyai kecenderungan atau cukup
terlihat pada aspek yang berbeda-beda.
2. Model gaya kepemimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pendidikan Psikologi Uni-
versitas Negeri Malang menggunakan gaya kepemimpinan transaksional. Aspek Pada gaya
kepemimpinan transaksional yang menonjol atau cukup terlihat adalah aspek orientasi hub-
ungan antar manusia, orientasi tugas, dan orientasi tujuan.
3. Model gaya kepemimpinan Dewan Mahasiswa Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas
Negeri Malang menggunakan gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional.
Aspek yang cukup terlihat pada kepemimpinan transaksional yaitu orientasi kegiatan bersi-
fat teknis dan orientasi hubungan antar manusia. Pada kepemimpinan transformasional pem-
impin Dewan Mahasiswa Fakultas menonjol atau cukup terlihat di aspek motivasi yang
memberi inspirasi dan kepemimpinan karismatik.
DAFTAR RUJUKAN
Ancok, D. 2012. Psikologi Kepemimpinan dan Inovasi. Yogyakarta: Penerbit Erlangga.
Hamdani, W & Handoyo, S. 2012. Hubungan antara Gaya Kepemimpinan Transformasional
dengan Stres Kerja Karyawan PDAM Surya Sembada Kota Surabaya. Jurnal Psikologi In-
dustri dan Organisasi, 1(02). Dari http://journal.unair.ac.id/filerPDF/110610102_14v.pdf.
Hanurawan, F & Diponegoro, A. 2005. Psikologi Sosial Terapan dan Masalah-masalah Sosial.
Yogyakarta: UAD Press.
Hanurawan, F. 2016. Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Psikologi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Muluk, H. 2012. Pengantar Psikologi Politik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Munandar. 2011. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
52 | Bismo - Penelitian Fenomenologi Model Gaya Kepemimpinan...
Narsa, I.M. 2012. Karakteristik Kepemimpinan : Transformasional versus Transaksional. Jurnal
Manajemen dan Kwirausahaan, 14(2),102-108. Dari http://jmk.petra.ac.id/repository/
transfer/JMK2012-nas11a-new.pdf.
Roscahyo, A. 2013. Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Karyawan pada Rumah Sa-
kit Siti Khodijah Sidoarjo. Jurnal Ilmu Riset dan Manajemen, 2(12),1-16. Dari https://
ejournal.stiesia.ac.id/jirm/article/download/410/401.
Rusdiyanto, W & Riani, A. L. 2015. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Transaksion-
al Terhadap Kepuasan Kerja dan Organizational Citizenship Behavior. Jurnal Economia. 11
(2),161-168. Dari https://journal.uny.ac.id/index.php/economia/article/view/7950/6923.
Trang, D.S. 2012. Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Pengaruhnya terhadap Kinerja
Karyawan. ISSN, 2303-1174. Dari https://media.neliti.com/media/publications/1640-ID-
gaya-kepemimpinan-dan-budaya-organisasi-pengaruhnya-terhadap-kinerja-karyawan.pdf.
Vol. 1, No. 1, April, 2021 Jurnal Kualitatif untuk
Ilmu Perilaku Hal. 53-61
Penerimaan Orang Tua Etnis Jawa Pada Penderita Skizofrenia
Bhina Hangudio Hutama Barapinta Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang No. 5, Kota Malang, Indonesia 65145
E-mail (xxx@xxx)
Informasi Artikel Abstrak
Tanggal masuk dd-mm-yyyy Penderita skizofrenia terbesar di Indonesia terletak di bagian pulau Jawa, tepat-nya pada Jawa timur dan Jawa tengah, masih berbanding lurus, di antara banyak-nya jumlah penderita masih banyak yang dipasung, ini yang menggugah peneliti untuk meninjau lebih jauh, sebagian dari orang tua penderita yang mampu untuk memilih tidak memasung dan menerima keadaan anaknya yang menderita skizof-renia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap orang tua Etnis Jawa terhadap anaknya yang mengidap gangguan jiwa Skizofrenia, bagaimana bentuk dari penerimaan tersebut dan apa peranan budaya dalam mendorong mun-culnya penerimaan tersebut. Penelitian dilaksanakan dengan model studi kasus etnografi. Hasil dari penelitian diketahui bahwa penerimaan orang tua etnis Jawa ditunjukkan dengan perilaku peduli, menyayangi, mendukung, merawat anak, dan bersedia untuk berdekatan secara fisik dengan anak. Dalam istilah Jawa per-ilaku tersebut muncul dalam 3 hal yaitu mengalah, sabar, dan mendidik.
Tanggal revisi dd-mm-yyyy
Tanggal diterima dd-mm-yyyy
Kata Kunci:
Penerimaan orang tua; Etnis Jawa; Skizofrenia
Keywords: Abstract
PENDAHULUAN
Berdasarkan data hasil Riskesdas 2013 dan dikombinasi dengan data rutin dari Pusdatin
(Budjianto, 2015) didapati bahwa Jawa timur menduduki peringkat 1 daerah dengan jumlah pen-
gidap skizofrenia tertinggi di Indonesia dengan jumlah pengidap mencapai 63.483 ribu jiwa dan
pada posisi kedua adalah Jawa tengah. Jumlah pengidap skizofrenia di Jawa tengah mencapai
317.504 jiwa, hal ini diungkapkan oleh Karsono selaku anggota seksi E DPRD Jawa tengah
(dalam Wibowo, 2016). Banyaknya jumlah penderita skizofrenia di daerah dengan latar belakang
kebudayaan Jawa berbanding lurus dengan angka pemasungan yang juga tinggi, bahwa sedikitnya
731 warga penderita gangguan jiwa di 26 kabupaten/kota masih dipasung itu adalah data dari blog
resmi Bappeda Jawa Timur (2014), informasi ini di update pada tahun 2016 meningkat menjadi
1200 penderita gangguan jiwa yang masih di pasung, dan telah di bebaskan sebanyak 459 pen-
derita itu adalah informasi yang disediakan oleh Mensos (dalam web antarajatim.com
2017).Sedangkan di kabupaten Trenggalek sendiri juga masih terdapat banyak penderita gangguan
jiwa yang dipasung oleh pihak keluarga sekitar 60 penderita skizofrenia yang masih dipasung oleh
54 | Barapinta - Penerimaan Orang Tua Etnis Jawa...
keluarga (Antaranews.com. 2013).
A. Pengasuhan Orangtua
Pengasuhan adalah sebuah proses interaksi antara 2 pihak, yaitu dari orang tua kepada anak,
baik secara fisik, emosi, sosial, emosional, intelektual, baik dari anakmasih kecil sampai dewasa
(Kemendikbud, 2016). Pengasuhan orang tua dapat diklasifikasikan berdasarkan kombinasi dari
penerimaan dan responsivitas (Maccoboy dan Martin dalam Santrock, 2012), berdasarkan pen-
erimaan rang tua akan memperlakukan/berinteraksi dengan anak secara berbeda, ada 5 bentuk dari
pola asih tersebut yaitu otoritarian, orotitatif, pengasuhan yang melalaikan, pengasuhan yang me-
manjakan, dan permisif.
B. Penerimaan Orangtua Etnis Jawa
Rohner, dkk (2012) menyebutkan ciri khas yang terdapat dalam sebuah penerimaan orang tua
adalah warmth atau kehangatan, kehangatan ditunjukkan oleh orang tua dalam bentuk perilaku
kasih sayang, keramahan, kepedulian, kenyamanan, merawat anak, pengasuhan, dukungan, atau
yang sederhana adalah membuat anak merasa dicintai dan disayangi. Perilaku tersebut dapat te-
mamati secara fisik dan verbal. Dalam psikologi raos yang ditulis oleh Suryomentraman (dalam
Sugiarto, 2014) orang tua pada umumnya memiliki Raos sih yaitu kasih sayang yang tanpa batas
kepada anaknya, perasaan ini dapat tumbuh menjadi subur apabila orang tua telah mampu untuk
menghilangkan Karmadangsa.
C. Penerimaan Orang Tua Etnis Jawa Pada Penderita Skizofrenia
Penerimaan keluarga dengan pasien skizofrenia pada awalnya berupa penyerahan sepenuhnya
kepada tenaga medis, maupun pihak-pihak yang bersedia membantu keluarga dalam mengatasi
Skizofrenia, proses penerimaan yang dialami masing-masing keluarga memiliki keunikan yang
beragam, hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahaman keluarga skizofrenia yang di-
peroleh melalui informasi dari berbagai sumber, pada awalnya keluarga akan menolak pasien ski-
zofrenia, hal inidilakukan oleh keluarga dengan tidak mencari informasi, merawat dengan meran-
tai kaki, mengasingkan, dan berperilaku kasar selama penderita skizofrenia berada di rumah, dan
keluarga menolak untuk menjenguk di rumah sakit jiwa. Dalam proses penerimaan saudara kan-
dung dapat melaluinya dengan lebih cepat dibandingkan dengan orang tua pasien, semakin lama
seseorang mengalami skizofrenia maka semakin besar pula kemungkinan ia diterima oleh keluarga
(Wardhani, 2013).
Penerimaan orang tua dalam kebudayaan Jawa seharusnya dapat terjadi dengan lebih mudah
kepada penderita skizofrenia karena nilai ini terinternalisasi dalam seluruh orang yang sudah
“Jowo”, terlebih perasaan dari orang tua. Namun tetap saja masih ada beberapa penghalang dari
penerimaan ini, diantaranya adalah stigma masyarakat mengenai penderita skizofrenia yang masih
buruk, tak menutup kemungkinan bahwa keluarga juga memberikan stigma buruk bagi penderita
itu sendiri (Hawari, 2014) mungkin pengaruh dari stigma masyarakat akan memiliki pengaruh
yang cukup besar, namun stigma dari dalam keluarga itu sendirilah yang sebenarnya memegang
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 55
peranan yang lebih besar dari penerimaan ini, apabila keluarga terlebih orang tua telah terdoktrin
dari stigma masyarakat yang buruk terhadap penderita skizofrenia, seperti stigma diguna-guna
atau kerasukan roh halus, maka perilaku keluarga akan menjadi berbeda apabila dibandingkan
dengan stigma bahwasannya penderita adalah orang yang mengalami gangguan, dan membutuh-
kan dukungan secara sosial, apabila stigma buruk yang lebih melekat kepada keluarga maka tinda-
kan-tindakan yang mampu menghambat proses penyembuhan, seperti pemasungan, atau tindakan
kekerasan yang lain.
Penerimaan keluarga memiliki kaitan yang erat dengan dukungan keluarga, keluarga yang
mampu menerima penderita akan memliki kemungkinan yang lebih untuk bisa menunjukkan
dukungannya, dan dukungan keluarga memiliki peranan penting dalam perkembangan menuju
kesembuhan bagi penderita (Ambari, 2014) menyebutkan dalam hasil penelitiannya bahwa
dukungan keluarga memiliki pengaruh yang positif kepada keberfungsian sosial penderita, yang
mana salah satu simptom dari skizofrenia adalah ketidak berfungsian sosial, apabila simptom ini
dapat dibantu dengan dukungan keluarga maka kemungkinan penderita untuk sembuh akan se-
makin tinggi. Dalam kebudayaan Jawa memiliki istilah Raos sih yaitu kasih sayang tanpa batas
dari orang tua kepada anaknya, rasa kasih yang tertuang dalam bentuk perilaku dan perkataan dari
orang tua ini dapat tumbuh apabila orang tua telah mampu menghilangkan karmadangsa yang
dirasakan oleh orang tua berikut adalah penjelasan yang diungkapkan oleh Suryomentraman
(dalam Sugiarto, 2014). Perasaan nyaman yang diterima oleh anak berkat raos sih dari orang tua
tersebut dapat membuat anak kesampyok atau tertular, dalam artian anak juga akan menjadi lebih
mudah untuk mengasihi orang lain seperti bagaimana ia diperlakukan oleh orang tuanya. Peng-
hambat terbesar dari tumbuhnya perasaan ini adalah adanya anggapan bahwa orang tua mampu
untuk mengasihi dan menyayangi anaknya dengan benar, perasaan dan anggapan ini dapat mem-
buat orang tua menjadi suloyo atau lengah terhadap perasaannya sendiri kepada anak. Apabila
orang tua sudah dapat menerima keadaan anak, dan mampu untuk menunjukkan kasih sayang/
raos sih kepada anak, maka hal ini dapat membantu penderita menjauhi faktor-faktor yang dapat
membangkitkan kekambuhan, selain itu kasih penerimaan yang diberikan oleh orang tua juga
akanmembuat anak belajar untuk mengasihi orang lain sehingga kehidupan sosial dari penderita
dapat berkembang.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan dalam peneltian ini adalah studi kasus etnografi, studi kasus
adalah sebuah jenis penelitian kualitatif yang dalam pengumpulan datanya menggunakan beberapa
metode secara bergantian dan saling mendukung satu dengan yang lain guna mengungkap dan
menjelaskan secara rinci tentang suatu fenomena, sedangkan etnografi adalah sebuah metode
penelitian untuk menemukan dan mendeskripsikan secara komprehensif makna fenomena keji-
waan atau perilaku sebagai isu atau topik psikologi dalam sebuah kelompok budaya tertentu, dan
studi kasus adalah sebuah jenis penelitian kualitatif yang menggunakan berbagai metode dan be-
56 | Barapinta - Penerimaan Orang Tua Etnis Jawa...
ragam sumber data untuk menjelaskan secara rinci dan mendalam tentang suatu unit analisis
(Hanurawan 2016). Kehadiran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai instrumen utama dalam
mengumpulkan data yang diperlukan. Hal ini berarti pengumpulan data terkait subjek dilakukan
secara langsung oleh peneliti. Dalam penelitian ini peneliti menetapkan beberapa karakteristik
subjek yang akan diambil, berikut adalah kriteria yang ditetapkan peneliti :
1. Orang tua yang merawat anak dengan gangguan skizofrenia
2. Memiliki latar belakang budaya Jawa
3. Memiliki bahasa ibu Jawa
Penelitia menggunakan metode wawancara mendalam guna mencari data tentang perasaan dan
pandangan partisipan terhadap fenomena yang dialami, serta wawancaradilaksanakan dengan cara
semi terstruktur sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan probing, data hasil wawancara
diperkuat dengan data catatan lapangan, berupa observasi yang dilaksanakan sebelum proses
penelitian dan pada saat penelitian dilaksanakan. Pengecekan keabsahan data dlakukan dengan
Triangulasi prespektif yaitu dengan mencari informasi dari prespektif orang lain (Herdiansyah,
2014), yang dimaksudkan orang lain adalah informan, selain itu juga penggunaan 2 alat pengum-
pul data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, ketiga partisipan menunjukkan perilaku menerima, apabila ditin-
jau dari dasar teori yang digunakan,berdasarkan Rohner dkk. (2012) penerimaan orang tua ter-
hadap anak terwujud dalam bentuk kepedulian, kasih sayang, kedekatan secara fisik, dan kemauan
orang tua untuk merawat anak dengan baik. ,beberapa bentuk penerimaan yang tampak pada keti-
ga partisipan adalah orang tua bersedia untuk duduk didekat anak, berbicara dengan anak, me-
nanggapi pembicaraan anak dengan serius. Keempat hal tersebut merupakan bentuk-bentuk pen-
erimaan yang ditampakkan oleh ketiga partisipan penelitian, selain keempat hal tersebut setiap
partisipan juga mempunyai ciri khas masing-masing dalam menunjukkan perilaku menerima.
Sikap orang tua menolak masyarakat yang hendak memasung penderita merupakan bentuk
dari kasih sayang/warmth. Rohner (2005) menyebutkan bahwa kehangatan adalah sikap orang tua
secara emosional, ataupun perilaku dari perasaan cinta, mengasuh dengan baik, dan juga sikap
mendukung. Penerimaan ini dilandasi oleh perasaan tanggung jawab yang dimiliki oleh orang tua
Etnis Jawa juga merupakan bentuk dari kasih sayang/warmth.. nilai kebudaayaan jawa yang masih
kental mengenai perilaku orang tua kepada anak ini mendorong orang tua untuk berperilaku baik
kepada anak, termasuk dalam bentuk ekspresi emosi. Hasil dari penerimaan ini mampu untuk
menurunkan kemungkinan penderita mengalami kekambuhan atau tantrum kembali, karena pen-
erimaan yang dilakukan oleh orang tua tertuang dalam bentuk EE yang positif sehingga mampu
untuk meredam anak yang hendak mengalami tantrum, dan juga mampu untuk mencegah anak
mendekati fase tantrum dari Handayani dan Nurwidawati (2013). Hal ini juga muncul selama
proses penelitian, dimana cara dari setiap partisipan dalam menangani penderita ketika hendak
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 57
mengalami tantrum adalah sabar dan mengalah, sehingga penderita menjadi lebih tenang, pada P3
data tentang mengalah muncul baik secara verbal maupun fisik, dimana ia tidak melawan anak
ketika hendak atau menunjukkan ciri-ciri anak akan mengalami tantrum, karena perasaan sayang
dan juga perasaan tanggung jawab untuk merawat anak dengan baik.
Perasaan tanggung jawab sebagai orang tua untuk merawat anak dengan baik dan benar men-
jadi landasan utama penerimaan yang dilakukan oleh ketiga partisipan. Dalam budaya jawa
tanggung jawab itu disebut dengan nggulowentah anak, Sugiarto (2014) menjelaskan bahwa nggu-
lowentah hanya sebatas pendidikan yang diberikan oleh orang tua untuk mensejahterakan anak,
pada deskripsi ini konsep nggulowentahmemiliki tujuan untuk menuntaskan anak secara fisik saja
untuk bisa menjadi lebih mandiri, sehingga terasa menjadi lebih spesifik dan sempit, namun Court
De La (1936) menjelaskan lebih terperinci bahwa nggulowentah adalah sebuah konsep yang lebih
kompleks dari sekedar pendidikan, nggulowentah merupakan tugas orang tua untuk menuntun
anak baik secara fisik maupun batin, merawat anak, mensejahterakan anak, memberikan contoh
kepada anak, memenuhi kebutuhan anak dan juga menjadikan anak supaya dapat dadi uong. , keti-
ga partisipan mengungkapkan bahwa mereka memiliki harapan kelak penderita mampu untuk
mandiri dan tidak menjadi ketergantungan kepada orang lain atau juga dapat diistilahkan mampu
hidup bermasyarakat secara mandiri atau dalam bahasa Jawa disebut “wes dadi uong”. Ketiga
bentuk penerimaan yang telah sebutkan diatas adalah manifestasi dari nggulowentah itu sendiri,
dalam kebudayaan Jawa orang tua memang harus diwajibkan untuk dapat secara sabar, terus me-
rawat anak, bahkan berdasarkan data penelitian keharusan ini tetap berjalan walaupun anak men-
galami gangguan jiwa, bahkan dalam kebudayaan jawa orang tua dituntut untuk bisa mengerti
keadaan anak Court De La (1936) menyebutkan dalam bukunya tijang sepah poeniko engkang
nomer satoenggal kedah ngertos, oetawi ngroemaosi yang artinya adalah hal utama yang harus
dimiliki oleh orang tua adalah mengerti atau memahami, dalam hal ini yang di mengerti atau dipa-
hami adalah keadaan anak, apabila partisipan sudah mampu untuk mengerti dan memahami
keadaan anak yang membutuhkan perlakuan khusus maka perilaku sabar dan ngalah pasti akan
muncul menyusul dari pengertian tersebut. Salah satu manifestasi dari nggulowentah ini adalah
pendidikan.
Dalam kebudayaan jawa orang tua memiliki tanggung jawab untuk menuntaskan anak sampai
dadi uwong yang artinya anak siap untuk bermasyarakat, tidak hanya pendidikan secara moral,
dalam Sugiarto (2014) juga dijelaskan tanggung jawab ini juga dirasakan orang tua sampai tingkat
mencarikan lahan pekerjaan untuk anak apabila hal itu dirasa memang dibutuhkan. Hal tersebut
juga dirasakan oleh ketiga partisipan sehingga ketiga partisipan secara perlahan dan sabar juga
memberikan pendidikan untuk membantu anak mampu untuk bisa mandiri secara ekonomi, selain
pendidikan untuk membantu anak sejahtera secara ekonomi ada 3 hal lain yang harus diajarkan
oleh orang tua etnis jawa kepada anak, yaitu mendidik anak untuk sumerep atau mengerti tentang
hal yang benar, mendidik anak tentang rasa cinta, dan mendidik anak untuk mencintai keindahan,
sedangkan, Court De La (1936) juga menyebutkan bahwa orang tua memiliki tugas untuk men-
58 | Barapinta - Penerimaan Orang Tua Etnis Jawa...
didik anak sampai anak bisa menjadi orang yang sejahtera baik badan dan fikirannya, peranan ini
juga dilaksanakan oleh ketiga partisipan, dengan mendidik anak walaupun anak mengalami
gangguan jiwa. Maka dari itu partisipan juga memberikan pendidikan terkait dengan kemampuan
merawat diri sendiri, seperti mencuci baju, menyapu, mandi, mencuci piring dan lain-lain. Karena
keadaan anak yang membutuhakan perhatian khusus membuat partisipan harus melaksanakan
pendidikan ini sabar dan konsisten. Seperti pada P2 dimana pada pengatan tanggal 3 Mei 2017
penderita sama sekali belum bersedia untuk bekerja sampai pada akhirnya berdasar data pada 5
November 2017 penderita sudah mulai bersedia untuk membantu partisipan untuk bekerja dila-
dang, hal ini cukup disyukuri oleh partisipan.
Kesabaran sangat dibutuhkan dalam merawat anak yang membutuhkan perlakuan khusus ini.
Sabar adalah perilaku penerimaan dimana orang tua dapat menahan diri untuk tetap berperilaku
baik walaupun anak mengalami gangguan jiwa, atau bahkan ketika anak sedang tantrum dan
mampu untuk mengesampingkan keinginan atau perasaan pribadi guna menjaga perasaan anak
dalam hal ini. Perilaku sabar ini menunjukkan sebuah ekspresi emosi yang positif kepada anak,
dimana penyampaian ekspresi emosi yang demikian menurut Handayani (2013) dan Marchira,
dkk (2008) dapat menurunkan resiko penderita mengalami kekambuhan atau tantrum kembali, hal
ini juga tampak pada ketiga partisipan yang tidak menggunakan nada tinggi atau bersifat marah
kepada penderita bahkan ketika penderita melakukan hal yang kurang tepat, ketiga partisipan tetap
berusaha untuk menjadi sabar dan terus merawat anak, walaupun kadang tersirat perasaan sedih
dan lelah. Sugiarto (2014) menjelaskan bahwa rasa cinta orang tua terhadap anak termanifestasi-
kan ketika orang tua mampu untuk mengendalikan hasrat-hasratnya untuk mengejar kepentingan
pribadi dan mengharapkan untuk dapat imbalan, perilaku ini sudah tampak pada ketiga partisipan,
dengan terus merawat anak dan mengesampingkan keinginan atau hasrat pribadi demi menjaga
perasaan anak yang mengalami gangguan jiwa dan membutuhkan perlakuan khusus.
Ngalah adalah salah satu menifestasi dari perilaku sabar, menghadapi perilaku anak yang
kadang kurang tepat atau malah kadang mengalami tantrum dengan tidak melawan bisa menjadi
salah satu definisi dari ngalah, perilaku ngalah akan sangat berkaitan dengan ekspresi emosi orang
tua kepada anak, orang tua yang tidak dapat mengalah kepada anak, terutama ketika anak men-
galami tantrum akan cenderung menunjukkan ekspresi emosi yang negative kepada anak, hal ini
tentu akan berdampak buruk kepada anak, dalam keadaan sadar ekspresi emosi yang negative
dapat kekambuhan dari penderita, dan apabila dalam keadaan tantrum ekspresi emosi yang nega-
tive hanya akan memperburuk keadaan dari penderita Handayani (2013) dan Marchira, dkk
(2008). Dalam kebudayaan Jawa orang tua juga tidak sepantasnya melampiaskan kemarahan atau
kekesalan kepada anak, Sugiarto (2014), sehingga mendorong partisipan untuk bisa mengalah ter-
hadap anak. Ketiga partisipan memiliki kesamaan dalam mewujudkan perilaku ngalah ini, yaitu
ketika anak meminta sesuatu orang tua akan cenderung mengikuti dan menyediakan apa yang
menjadi keinginan, selama hal itu memang masih dapat untuk diperjuangkan.
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 59
Sikap penerimaan orang tua Etnis Jawa pada penderita skizofrenia menumbukan perilaku yang
baik kepada anak dan dampak yang baik pula, berdasarkan penerimaan tersebut poa asuh yang
dilakukan oleh orang tua lebih bersifat memanjakan anak, karena sikap anak yang tidak dapat
diberikan batasan, hukuman dan tekanan sehingga orang tua bersikap mengalah dan memanjakan
anak, Baumrid (dalam Santrock, 2012) menyebutkan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh
ini berkeyakinan bahwa perilaku menyayangi, kehangatan dan kedekatan anak dengan orang tua
akan menumbuhkan sikap kreatif dan kepercayaan diri bagi anak. Sikap orang tua yang demikian
memang lebih tepat dilakukan kepada anak dengan gangguan skizofrenia, karena dengan sikap ini
kemungkinan penderita untuk mendapatkan stressor yang bersar akan semakin berkurang,
dimikian juga dengan kemungkinan penderita mengalami kekambuhan.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan penjabaran data dalam bab-bab sebelum ini dapat disimpul-
kan sebagai berikut : Penerimaan orang tua etnis Jawa pada penderita skizofrenia terwujud dalam
perilaku peduli, menyayangi, mendukung, merawat anak, dan bersedia untuk berdekatan secara
fisik dengan anak, dalam istilah Jawa perilaku tersebut muncul dalam 3 hal yaitu mengalah, sabar,
dan mendidik. Penerimaan orang tua Etis Jawa pada penderita skizofrenia didasari oleh perasaan
tanggung jawab untuk menuntaskan anak sampai mampu untuk bermasyarakat.
B. SARAN
1. Bagi Orang Tua Etnis Jawa Yang Memiliki Anak Dengan Gangguan Skizofrenia
Penolakan bagi penderita skizofrenia akan memperburuk keadaan, dan menghambat proses
pengobatan dan juga kesembuhan dari penderita, dengan adanya penelitian ini saya mengharapkan
kepada orang tua Etnis Jawa yang memiliki anak dengan gangguan skizofrenia untuk dapat meng-
ingat dan memahami kembali kebudayaan Jawa agar dapat lebih mudah dalam proses menerima
keadaan anak yang mengalami gangguan jiwa.
2. Bagi Praktisi Psikologi Klinis Yang Menangani Penderita Skizofrenia Dengan Latar
Belakang Etnis Jawa.
Melaksanakan sosialisasi kepada orang tua Etnis Jawa yang memiliki anak dengan gangguan
skizofrenia mengenai pentingnya penerimaan dan berperilaku baik kepada anak, serta meng-
ingatkan mengenai bagaimana Budaya Jawa mengajarkan cara untuk merawat anak, dan besarnya
pengaruh sifat nggulowentah..
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang penerimaan
orang tua Etnis Jawa yang memiliki anak dengan gangguan skizofrenia, agar supaya dapat mem-
ilih partisipan dengan anggota keluarga yang lengkap. Serta dapat melakukan pengambilan data
secara lebih mendalam.
60 | Barapinta - Penerimaan Orang Tua Etnis Jawa...
4. Bagi Dinas Sosial
Bagi dinas sosial yang bekerja dalam ranah penuntasan pemasungan oleh orang tua Etnis Jawa
yang memiliki anak dengan gangguan skizofrenia dapat menggunakan hasil penelitian untuk
menyadaran orang tua akan bentuk dari penerimaan dan dampaknya bagi anak.
DAFTAR RUJUKAN
Antarajatim. 2017. Mensos: Kasus Pemasungan Psikotik Terbanyak Di Jatim. Online: :http://
www.antarajatim.com/berita/188498/mensos-kasus-pemasungan-psikotik-terbanyak-di-
jatimutm_source=fly&utm_medium=related&utm_campaign=news diakses pada tangaal 19
Februari 2017.
Alwisol. 2011. Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang : UMM pres
Ambari, Prinda Kartika Mayang. 2014. Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Keber-
fungsian Soial Pada Pasien Skizofrenia Pasca Perawatan Di Rumah Sakit. Semarang : Uni-
versitas Negeri Diponegoro.
Bappeda. 2014. Data Orang Dipasung Harus Di Update. Online: http://
bappeda.jatimprov.go.id/2014/04/02/data-orang-dipasung-harus-diupdate/ diakses pada
tanggal 19 Februari 2017.
Budjianto, Didik. 2015. 400 Ribu Alami Gangguan Jiwa Berat (Schizophrenia), 10 Juta Alami
Gangguan Mental Emosional (Gme). Online:http://www.kompasiana.com/de-be/400-ribu-
alami-gangguan-jiwa-berat-schizophrenia-10-juta-alami-gangguan-mental-emosional-
gme_54f431267455137f2b6c887b diakses pada tanggal 1 Oktober 2016.
Court De La. 1936. Antje-Antjer Bab Anggulowentah Lare. Batavia-C : Bale Poestaka
Delisi, lynn E. 2011. 100 Question & Answer about Schizophrenia: Painful Minds Second Edi-
tion. Canada: Jones and Bartlett Publisher.
Endaswara, Suwardi. 2015. Etnologi Jawa, Penelitian Pengabdian, Dan Pemaknaan Budaya. Ja-
karta : Caps.
Handayani Lestari, Nuriwdawati. 2013. Hubungan Pola Asuh Dan Ekspresi Emosi Keluarga
Dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia Dirumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Surabaya :
Universitas Sebelas Maret. Online: http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/character/article/
view/7103/9669diakses pada tanggal 4 oktober 2016.
Hanurawan Fatah, 2016, Metode Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu Psikologi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Hawari, Dadang. 2014. Skizofrenia Pendekatan Holistik (BPSS) BIO-PSIKO-SOSIAL-
SPIRITUAL Edisi Ketiga. Jakarta : Universitas Indonesia.
Herdiansyah, Haris. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu Psikologi. Jakarta :
Salemba Humanika.
Kartono, Kartini. 2002. Patologi Sosial 3, Gangguan Kejiawaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Per-
sada.
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 61
Kemendikbud. 2016. Seri Pendidikan Orang Tua : Pengasuhan Positif. Jakarta
Matsumoto, David. 2008. Pengatar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Marchira, Sumarni, Lusia. (2008). Hubungan Antara Ekspresi Emosi Keluarga Pasien Dengan
Kekambuhan Penderita Skizofrenia di RS DR. Sardjito Yogyakarta. Yogyakarta : Berita
Kedokteran Masyarakat.
Nevid, Jeffrey S, dkk. 2005. PSIKOLOGI ABNORMAL, EDISI KELIMA. JILID 2. Jakarta : PT.
Gelora Aksara Pratama.
Rohner P. Ronald.2008. Introduction: Parental Acceptance-Rejection Theory Studies Of Intimate
Adult Relationships.Connecticut: University of Connecticut.
Rohner Ronald P. 2005. Glossary Of Significant Concepts in Parental Accaptance-Rejection The-
ory.
Rohner Ronald P, Khaleque Abdul, Cournoyer David E. 2012. Introduction To Parentalacceptanc
-Rejection Theory, Methode, Evidence, And Implication. Connecticut: Universityof Connect-
icut.
Santrock, J. W. 2013. Life-span Devlopment Perkembangan Masa Hidup, Edisi ke 13 Jilid 1. Ja-
karta : PT. Penerbit Erlangga
Subandi, M A. 2011. Family Expresed Emotion In A Javanese Cultiral Context.Yogyakarta : Uni-
versitas Gajah Mada.
Sugiarto, Ryan. 2014. Psikologi Raos Saintifikasi Kaweruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Yog-
yakarta : Pustaka.
Suharsaputra, Uhar. 2012. Metode Penelitian : Kuantitatif, Kualitatif, Dan Tindakan. Bandung :
Refika Aditama.
Wardhani, Rizka Stevi Putra. 2013. Penerimaan Keluarga Pasien Skizofrenia Y ang Menjalani
Rawat Inap. Surakarta : Universitas Muhammadiah Surakarta
Wibowo, Suryo. 2016. Penderita Jiwa Di JawaTengah Terus Meningkat.Online: https://
m.tempo.co/read/news/2016/10/10/060811005/penderita-gangguan-jiwa-di-Jawa-tengah-
terus-meningkat diakses pada tanggal 9 Oktober 2016.
Widyarini. Nilam. 2009. Seri Psikologi Populer : Gaya Hidup Sehat. Jakarta : Alex Media Kompi-
tundo.
Vol. 1, No. 1, April, 2021 Jurnal Kualitatif untuk
Ilmu Perilaku Hal. 62-70
Pencapaian Generativitas Mantan Narapidana Tindak Pidana
Korupsi Dewasa Tengah
Melynda Narawika Rengganis Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang No. 5, Kota Malang, Indonesia 65145
E-mail (xxx@xxx)
Informasi Artikel Abstrak
Tanggal masuk dd-mm-yyyy Tujuan penelitian ini secara rinci adalah untuk mengetahui bagaimana Pen-capaian Generativitas mantan rarapidana tipikor. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan teknik fenomenologi menggunakan tiga subjek 2 orang laki-laki, dan 1 orang perempuan yang pernah menjalani masa hukuman karena kasus tipikor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Para Mantan Napi dapat mencapai Generativitas mereka memaknai generativitas sebagai upaya untuk aktualisasi agar bisa menularkan ilmu atau pengalaman subjek ke orang lain dan kebutuhan akan penerimaan diri, ketiga subjek sebenarnya hanya-lah korban dari sebuah kebijakan atau sistem yang akhirnya membuat mereka berubah status menjadi tersangka. Generativitas tersebut dapat dicapai salah satunya karena dukungan dari pihak keluarga, teman-teman, serta orang disekitar subjek. Dan untuk penelitian selanjutnya diharapkan melakukan penelitian lagi yang cakupannya lebih luas karena pada konteks penelitian ini hanya berfokus panda mantan narapidana tipikor khususnya dewasa tengah
Tanggal revisi dd-mm-yyyy
Tanggal diterima dd-mm-yyyy
Kata Kunci:
generativtas; mantan narapidana; dewasa tengah.
Keywords: Abstract
generativity; former prisoner; middle aged.
The purpose of this study in detail is to know how the Attainment of Generativity to former Corruption Prisoners. This research was conducted by using qualitative method with phenomenology technique using three subjects 2 men, and 1 woman who had been in the prison because of corruption case. The results show that Former Prisoners can reach Generativity they interpret generativity as an attempt to actualize in order to transmit subject experiences to others and they need for their self-acceptance, the three of subjects are actually just victims of a policy or system that eventually makes them change the status of being suspect. Generativ-ity can be achieved by them because of support for their family, friends, and peo-ple around the subject. And for further research is expected to conduct more ex-tensive research because in the context of this study only untouchable ex-corruption inmates especially middle aged.
PENDAHULUAN
Kebebasan merupakan proses yang paling ditunggu oleh narapidana yang sedang menjalani
masa hukuman. Angan-angan indah dari setiap narapidana (napi) untuk dapat menghirup udara
segar di luar penjara, kembali dan hidup di tengah masyarakat bersama keluarga, sahabat, dan ber-
gaul dengan anggota masyarakat yang lain, terkadang tidak semulus seperti yang terlintas dalam
benak mereka, karena predikat mantan narapidana ibarat beban yang amat berat, penuh tantangan
dan pandangan negatif dari masyarakat. Akhirnya timbulah sikap pesimis yang akan memunculkan
kecanggungan bagi mantan narapidana untuk menjalani kehidupan dimasyarakat. Pekerjaan yang
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 63
layak, hasil yang mencukupi serta hubungan baik dengan masyaraka adalah dambaan bagi setiap
orang apalagi mantan narapidana, agar semua kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi.
Subjek penelitian ini adalah dewasa tengah. Pada periode ini ada tugas perkembangan yang
harus dilewati , dan apabila tidak dilalui dengan baik tentunya akan mengganggu tugas perkem-
bangan selanjutnya. Generativitas versus stagnasi adalah tahap perkembangan menurut Erikson,
yang berlangsung di masa dewasa menengah. Persoalan utama yang dihadapi individu di masa ini
adalah membantu generasi muda untuk mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang
berguna.
Erikson (1968) menyatakan bahwa orang dewasa tengah menghadapi sebuah isu penting yaitu
generativitas versus stagnasi. Generativitas merujuk pada hasrat orang dewasa untuk mewariskan
sesuatu dari diri mereka kepada generasi selanjutnya. Generativitas ini merujuk pada kepedulian
orang dewasa yang matang untuk membangun dan membimbing generasi berikutnya, melang-
gengkan diri sendiri pada generasi selanjutnya. Melalui cara mewariskan ini, orang dewasa men-
capai kepuasan. Sebaliknya, stagnasi akan terjadi jika individu merasa bahwa tidak ada apa pun
yang dapat dilakukan untuk generasi selanjutnya. Orang-orang ini hanya tertarik pada diri dan
kegiatanya sendiri dan tidak peduli pada lingkungan sekitar atau perasaan bahwa belum
melakukan sesuatu untuk menolong generasi selanjutnya, pada usia dewasa madya ada kecender-
ungan untuk lebih memilih generatifitas daripada stagnasi, karena untuk mencapai sebuah keber-
maknaan hidup yang lebih bahagia serta untuk menuju sebuah kematangan menjadi orang dewasa
(Bramanti Nindi, 2013).
Sementara pada mantan narapidana, tentunya tidak enak menyandang status sebagai mantan
napi terlepas dari masalah kita itu benar atau tidak, karena yang masyarakat tahu adalah orang
pernah menjalani vonis hukuman dari majelis hakim. Dan stigma dari masyarakat sendiri pasti
negatif. Oleh karena itu, menyandang status sebagai mantan narapidana tentunya tidaklah mudah.
Hal, tersebut tentunya berpengaruh pada tugas perkembangan yaitu pencapaian generativitas pada
mantan narapidana itu sendiri. Apabila, generativitas tidak dapat dicapai maka tentunya akan ter-
jadi stagnasi. Hal ini ditandai dengan: merasa tidak dibutuhkan oleh orang lain, tidak berusaha me-
mastikan bahwa orang-orang muda memperoleh kesempatan untuk berkembang, level produktivi-
tas atau efektivitas rendah , tidak menghargai dan menyadari orang yang lebih tua , bahkan level
terparah adalah kecenderungan untuk merusak diri , anak-anaknya bahkan lingkungan masayara-
kat. Peterson (dalam Santrock 2012) menyatakan generativitas pada orang tua berkaitan dengan
perkembangan sukses anak-anak mereka sebagai orang dewasa muda. Dalam studi ini, orang tua
yang generatif memiliki anak dewasa muda yang bertanggung jawab dan ramah. Penelitian ini
akan melihat bagaimana pencapaian generativitas mantan narapidana tipikor dewasa tengah yang
telah kembali ke lingkungan masyarakat.
64 | Rengganis - Pencapaian Generativitas Mantan Narapidana...
KAJIAN TEORI
Tahap Generativitas versus Stagnasi
Erikson (1968) menyatakan bahwa orang dewasa di usia paruh baya (40 tahun, 50 tahun-60
tahun) menghadapi sebuah isu penting yaitu generativitas versus stagnasi. Generativitas merujuk
pada hasrat orang dewasa untuk mewariskan sesuatu dari diri mereka kepada generasi selanjutnya
(Peterson, dalam Santrock 2012). Melalui cara mewariskan ini, orang dewasa mencapai keabadi-
an. Sebaliknya, stagnasi (self-absorption) akan terjadi jika individu merasa bahwa tidak ada apa
pun yang dapat dilakukan untuk generasi selanjutnya. Melalui generativitas biologis, orang de-
wasa hamil dan melahirkan anak. Melalui generativitas parental (orang tua), orang dewasa mem-
berikan asuhan dan bimbingan kepada anak-anak. Melalui generativitas kultural, orang dewasa
menciptakan, merenovasi atau memelihara kebudayaan yang akhirnya bertahan. Dalam hal ini ob-
jek generatif adalah kebudayaan itu sendiri. Melalui generativitas kerja, orang dewasa mengem-
bangkan keahlian yang diturunkan kepada orang lain. Dalam hal ini, individu generaf adalah
seseorang yang mempelajari keahlian. Melalui generativitas, orang dewasa mempromosikan dan
membimbing generasi berikutnya melalui aspek-aspek penting kehidupan seperti menjadi orang
tua (parenting), memimpin, mengajar dan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat
Orang dewasa yang berada di usia paruh baya dapat mengembangkan generativitaas melalui
sejumlah cara (Kotre, dalam Santrock 2012). Bentuk dari generativitas biologis adalah memiliki
keturunan. Bentuk dari generativitas kerja adalah mengembangkan ketrampilan yang bisa diterus-
kan pada orang lain. Dan melalui budaya, generativitas adalah menciptakan, memperbaharui, atau
memelihara aspek dari budaya.
Orang dewasa mengembangkan dan membimbing generasi berikutnya. Hal ini dilakukan
dengan mengasuh, mengajar memimpin, melakukan hal-hal yang dapat menguntungkan komuni-
tas (Pratt & lain-lain , dalam Santrock 2012). Orang dewasa yang generatif berbuat sesuatu untuk
kelanjutan dan kemajuan masyarakat secara keseluruhan yang ditempuh dengan cara menjalin
koneksi dengan generasi selanjutnya. Orang dewasa yang generatif mengembangkan sebuah war-
isan yang positif dari dirinya yang kemudian ditawarkan untuk diberikan pada generasi selanjut-
nya.
Studi mengungkapkan bahwa generativitas orang tua berkaitan dengan perkembangan sukses
anak-anak mereka sebagai orang dewasa muda (Peterson, dalam Santrock 2012). Dalam studi ini,
orang tua yang generatif memiliki anak-anak dewasa muda yang bertanggung jawab dan ramah.
Aspek Yang Digunakan Untuk Menilai Generativitas
Indikator ini digunakan untuk menilai generativitas yang dilakukan oleh Loyola Generativity
Scale (McAdams & de St. Aubin, 1992). Indikator-indikator tersebut adalah :
a. Menciptakan sesuatu (creating) :
Aspek ini meliputi, subjek bisa membuat produk baru, mempunyai inisiatif untuk membuat
proyek, atau menghasilkan ide baru. Misalnya, memperbaiki lingkungan di sekitar tempat tinggal,
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 65
pernah membuat event tertentu ataupun menjadi anggota dalam event tersebut.
b. Memelihara (maintaining) :
Aspek ini meliputi, melakukan usaha dalam mendukung , memelihara dan menjaga suatu
produk (sarana dan prasarana) dan tradisi (adat istiadat) yang sudah ada dilingkungan. Hal ini
mencakup berbagai hal yang dilakukan dalam upaya perawatan serta melakukan perbaikan ter-
hadap sarana dan prasarana yang sudah ada dalam lingkungan. Misalnya, merayakan tradisi
keagamaan bersama keluarga, mengikuti kerja bakti memperbaiki produk yang ada di lingkungan
tempat tinggal.
c. Memberikan atau menawarkan (offering) :
Aspek ini meliputi, memberikan atau menawarkan sesuatu yang ia punya seperti uang ataupun
ilmu yang ia miliki atau hasrat untuk melakukan sesuatu yang ia bisa berikan untuk orang lain
atau generasi berikutnya, berusaha menurunkan pengalaman yang ia dapat melalui pengalaman,
memiliki ketrampilan yang diajarkan pada orang lain.
d. Hubungan positif dengan generasi selanjutnya:
Aspek ini meliputi, mempunya interaksi atau hubungan yang positif dengan individu ataupun
generasi yang lebih muda, bisa membuat keputusan untuk mempengaruhi banyak orang, bisa men-
jadi contoh untuk generasi berikutnya.
e. Memiliki kehidupan yang lebih bermakna (symbolic immortality):
Aspek ini meliputi meninggalkan warisan, mempunyai pengaruh yang kekal walaupun sudah
meninggal, meninggalkan suatu produk untuk orang yang hidup lebih lama dari segi fisik, merasa
telah membuat perbedaan atau menularkan ilmunya untuk orang disekitar. Membuat dan mencipt-
kan hal yang memiliki dampak bagi orang lain seperti memberikan motivasi atau nasehat serta
menularkan ilmunya, membuat kontribusi untuk masyarakat seperti mengikuti kerja bakti diling-
kungan atau ikut hadir bila dilingkungan tempat tinggalnya ada sebuah acara, dan membuat
komitmen kepada orang lain, kelompok, dan kegiatan yang berbeda dalam hidup.
f. Membuat perkembangan yang maksimal (peak) :
Aspek ini adalah bagaimana individu menyelesaikan sebuah permasalahan ketika ia sudah
bebas dan menjadi seorang mantan narapidana. Hal ini mencakup bagaimana ia bisa bertahan
menghadapi situasi dan menemukan solusi.
g. Titik terendah (nadir)
Aspek ini adalah ketika subjek mengalami titik terendah ketika menjadi seorang mantan na-
rapidana dan bagaimana mereka bisa mengatasinya. Hal ini mencakup pada bagaimana individu
bisa tetap bertahan pada keadaan yang tidak menyenangkan dan bagaimana cara individu menga-
tasi atau menemukan solusinya.
h. Komitmen (commitment)
Aspek ini meliputi bagaimana individu menetapkan komitmen selama masa hidup mengenai
tujuan setelah ia bebas dari tahanan. Hal ini mencakup pada kemauan individu untuk tetap fokus
pada tujuan walaupun ada yang mencemooh karena statusnya sebagai mantan narapidana. Hal ter-
66 | Rengganis - Pencapaian Generativitas Mantan Narapidana...
sebut juga berlaku jika individu menjadi sebuah anggota dalam organisasi, baik organisasi
pemerintah ataupun non pemerintah maka ia akan mempunyai kemauan yang kuat, kesetiaan serta
kebanggan menjadi anggota dalam organisasi tersebut.
i. Tujuan (goal)
Aspek ini meliputi tujuan yang ditetapkan atau ingin dicapaisetelah ia bebas dari tahanan. Hal
ini mencakup pada bagaimana usaha yang dilakukan individu serta tidak menyerah untuk men-
capai tujuannya
j. Masa depan (future)
Aspek ini mencakup pada bagaimana individu menata masa depan atau ketika sesudah bebas
dari penjara dan menyandang status sebagai mantan narapidana. Hal tersebut juga termasuk ketika
individu mendapat pelajaran dari kejadian sebelumnya dan ingin membuka lembaran baru menata
kehidupannya menjadi lebih baik lagi.
Tugas Perkembangan Masa Dewasa Tengah
Hurlock (2003) menyatakan ada beberapa tugas perkembangan yang harus dicapai pada usia
dewasa tengah. Tugas perkembangan tersebut adalah :
a. Tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik :
Tugas ini meliputi untuk mau melakukan penerimaan akan dan penyesuaian dengan berbagai
perubahan fisik yang normal terjadi pada usia madya.
b. Tugas-tugas yang berkaitan dengan perubahan minat :
Orang yang berusia madya seringkali mengasumsikan tanggungjawab warga Negara dan so-
sial, serta mengembangkan minat pada waktu luang yang berorientasi pada kedewasaan pada tem-
pat kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada keluarga yang biasa dilakukan pada masa dewasa
dini.
c. Tugas-tugas yang berkaitan dengan penyesuaian kemampuan:
Tugas ini meliputi pemantapan dan pemeliharaan standar hidup yang relatif mapan.
d. Tugas-tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga :
Tugas yang penting dalam kategori ini meliputi hal-hal yang berkaitan dengan seseorang se-
bagai pasangan, menyesuaikan diri dengan orang tua yang lanjut usia, dan membantu anak remaja
untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dalam ranah psikolo-
gi bertujuan untuk memahami mengapa manusia melakukan perilaku tertentu, bagaimana perilaku
tersebut dalam sudut pandang individu , seperti apa perasaannya ketika individu berperilaku ter-
tentu, emosi apa yang mendasarinya, nilai-nilai apa yang mendasarinya, faktor apa yang mem-
perkuat perilaku tersebut, serta dinamika antara faktor-faktor tersebut. Pada riset kualitatif
difokuskan kepada “bagaimana (how)” dan “apa (what)”. Pertanyaan mengenai “bagaimana” dan
“apa” merujuk pada sebuah proses interaksi antara satu faktor dengan faktor lainnya, antara satu
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 67
unit analisis dengan unit analisis lainnya sehingga menghasilkan gambaran yang utuh dari sebuah
central phenomenon yang diteliti (Herdiansyah, 2015). Pendekatan yang digunakan adalah fe-
nomenologis (phenomenology).
Pendekatan pada penelitian ini menggunakan model fenomenologi. Penelitian psikologis
dengan pendekatan fenomenologi berusaha untuk mengungkapkan dan mempelajari serta me-
mahami suatu fenomena berdasarkan konteksnya yang khas dan unik yang dialami oleh individu.
Maka dalam mempelajari dan memahaminya, haruslah berdasarkan sudut pandang, paradigma,
dan keyakinan langsung dari individu yang bersangkutan sebagai subjek yang mengalami lang-
sung. Dengan kata lain, penelitian fenomenologi berusaha untuk mencari makna atau arti secara
psikologis dari suatu pengalaman individu terhadap suatu fenomena melalui penelitian yang men-
dalam dalam konteks kehidupan sehari-hari (Herdiansyah, 2015). Sedangkan prosedur yang
digunakan dalam penelitian menggunakan metode wawancara dengan menggunakan wawancara
semi terstruktur dan observasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian ke tiga subjek dapat mencapai generativitas. Namun, ada perbe-
daan dalam pencapaian generativitas. S1 (Subjek 1) mencapai generativitas dengan baik, S2
(Subjek 2) mencapai generativitas dengan sangat baik, sedangkan S3 mencapai generativitas
dengan cukup baik atau sedang.
Walaupun, status mereka semua sebagai mantan narapidana tapi mereka tidak ada masalah
mengenai itu, mereka juga tetap bisa membina hubungan positif dengan generasi selanjutnya, dan
tidak bebani dengan status mereka yang sebagai mantan narapidana . Selain itu, orang-orang di
sekeliling mereka juga tau bahwa ke tiga subjek hanyalah korban dari sebuah kebijakan. S1 dan
S2 juga dapat memelihara serta menciptakan sesuatu di bidangnya masing-masing, terlebih S2
yang ikut serta dalam berbagai organisasi dan komunitas, serta kegiatannya mengajar sebagai
dosen. Sementara, S3 aspek dalam menciptakan atau memelihara belum tercapai, tetapi di aspek
lainnya dapat tercapai.
Ketiga subjek dikenakan Pasal 3 tentang penyalahgunaan kewenangan Tipikor. Jadi, karena ke
3 subjek dikenakan pasal penyalahgunaan kewenangan, dalam arti tidak ada aliran dana masuk
atau tidak mengambil uang negara sama sekali, sehingga ke tiga subjek tidak terlalu terbebani
dengan status mereka sebagai mantan narapidana.
Teori Erikson menyatakan, orang yang sangat generatif tampak sangat bisa menyesuaikan diri
dengan baik, memmiliki tingkat kecemasan dan depresi yang rendah, memiliki otonomi, pen-
erimaan diri dan kepuasan hidup tinggi. Mereka juga lebih terbuka dalam ragam sudut pandang,
memiliki kualitas kepemimpinan, sangat peduli terhadap kesejahteraan anak, pasangan, serta
masyarakat luas. Dari hasil penelitian, dapat dilihat bahwa ke 3 subjek dapat mencapai generativi-
tas mereka melalui penerimaan diri walaupun mereka sekarang menyandang status sebagai man-
tan narapidana, mereka juga peduli dengan masyarakat serta orang-orang sekitar dengan cara
68 | Rengganis - Pencapaian Generativitas Mantan Narapidana...
menularkan pengalam mereka agar orang lain tidak mengalami hal yang sama seperti yang mere-
ka alami. Mereka juga bisa menciptakan komitmen, tujuan hidup, bisa bangkita ketika berada da-
lam fase terendah, kemudian mereka menata maadepan kembali. Hal tersebut terbukti Subjek 1
dan Subjek 2 bisa melakukan semuanya, mereka juga sudah menetapkan komitmen mereka di da-
lam keluarga, masyarakat, serta organisasi. Subjek 3 juga sudah bisa menetapkan komitmen yang
ingin dicapai tetapi masih berfokus di keluarga, belum sampai mencapai ke ranah masyarakat
ataupun organisasi.
Ketika ketiga subjek menghadapi masa tersulit atau titik terendah dalam fase hidupnya yang
mereka lakukan adalah mendekatkan diri kepada tuhan, serta yang membuat mereka bisa bangkit
adalah karena dukungan dari keluarga dan teman. Hal ini senada dengan penelitian yang dil-
akukan Darmawati (2012) di temukan adanya korelasi yang positif antara religiusitas seseorang
denga coping stress yang artinya semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang semakin tinggi pula
coping stressnya. Religiusitas dapat mempertinggi kemampuan seseorang dalam mengatasi
ketegangan-ketegangan akibat permasalahan yang ia hadapi.
Makna generativitas bagi subjek satu dan tiga adalah sebagai bentuk dari penerimaan diri serta
aktualisasi diri, sedangkan bagi seubjek tiga adalah sebagai bentuk dari aktualisasi diri.
Fenomena yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, bahwa narapidana yang telah
bebas dari rumah tahanan kurang begitu diterima dengan baik keberadaanya untuk kembali hidup
bersama di masyarakat. Beberapa warga masyarakat beranggapan bahwa sekali orang berbuat ja-
hat, maka selamanya orang tersebut akan berbuat jahat yang berkepanjangan. Anggapan masyara-
kat bahwa narapidana yang telah berada di rumah tahanan masih mempunyai kecenderungan kuat
untuk menjadi residivis (orang yang berulangkali melakukan tindak kejahatan, dalam pengertian
kambuh seperti penyakit). Hal ini akan menghadapkan seorang narapidana setelah bebas dari ru-
mah tahanan tidak memperoleh hak kemanusiaanya kembali di dalam lingkungan masyarakatnya
atau terdiskriminasi di lingkungan sosialnya sendiri (Akhyar Zainul, 2014). Namun, pada ken-
yataanya dalam kasus ini mereka dapat kembali lagi ke masyarakat, mereka dapat hidup ber-
masyarakat dengan normal, serta masyarakat pun menerima dengan baik, meskipun ada beberapa
pihak ataupun orang yang mempunyai stigma negatif. Bahkan Subjek 1 masih dipercaya menjadi
Bendahara di lingkungan tempat tinggalnya serta di kantor, Subjek 1 juga dipercaya menjadi Pem-
bina di sebuah organisasi wanita tani. Selain itu, ketika Subjek 2 bebas pun ia masih dipercaya
menjadi Ketua Pelaksana dalam sebuah event besar, ia juga mendirikan sebuah komunitas dalam
bidang kesenian serta aktif dalam berbagai organisasi dan ia pun juga masih diminta untuk
mengajar atau menjadi Dosen di salah satu Perguruan Tinggi Swasta, sedangkan Subjek 3 bisa
membuka usaha sendiri yaitu berupa usaha menjahit dan menjual baju, mukena serta makanan rin-
gan, hal tersebut dilakukan Subjek 3 agar ia ada kegiatan sehingga tidak merasa stress ataupun
jenuh. Jadi, dapat dikatakan selama ini hukum, khususnya hukum tipikor berbeda dengan opini
masyarakat secara psikologis dan sosiologis karena meskipun ada beberapa pihak yang mempu-
nyai pandangan atau stigma negatif, namun pada kenyataanya dalam kasus ini sebagian besar
Jurnal Kualitatif untuk Ilmu Perilaku | 69
masyarakat dapat menerima keberadaan ketiga subjek dengan baik, walaupun status mereka se-
bagai mantan narapidana, karena sebagian besar masyarakat tahu bahwa mereka hanyalah korban
dari sebuah kebijakan dimana mereka tidak bisa menolak perintah dari pimpinan, sehingga mere-
ka bukanlah tersangka utama yang dikonotasikan sebagai orang yang mengambil atau mencuri
uang negara.
SIMPULAN
Berdasarkan analisa kasus diatas, ditemukan Pencapaian Generativitas Pada Mantan Narapi-
dana Tipikor Dewasa Tengah, adalah sebagai berikut :
Para Mantan Napi dapat mencapai Generativitas karena sesungguhnya mereka bukan tersang-
ka utama dalam arti tersangka yang terbukti mengambil atau mengeruk uang negara, para mantan
napi sebenarnya hanyalah korban dari sebuah kebijakan atau sistem yang akhirnya membuat
mereka berubah statusnya menjadi tersangka. Generativitas tersebut dapat dicapai salah satunya
karena dukungan dari pihak keluarga, teman-teman, serta orang disekitar subjek.
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa ketiga subjek tersebut dapat mencapai
generativitas salah satunya adalah karena faktor eksternal, yaitu mereka mempunya kegiatan di
luar lingkungan keluarga dengan menciptakan atau memelihara sesuatu semisal organisasi,
komunitas, ataupun kegiatan lain, serta dukungan dari orang-orang sekitar semisal dukungan
keluarga atau teman. Sehingga, itu membuat mereka tidak jenuh sekaligus merasa dihargai walau-
pun statusnya sebagai mantan narapidana dan secara otomatis munculah hasrat atau keinginan un-
tuk menularkan ilmu atau pengalaman yang selama ini ia dapat.
Makna generativitas bagi ketiga subjek adalah sebagai manifestasi untuk mengaktualisasikan
diri, penerimaan diri, serta pelajaran hidup yang berharga bagi ketiga subjek yang mengubah pan-
dangan serta pemikiran subjek sehingga mereka dapat menemukan kehidupan yang bermakna,
wakaupun fenomena yang berkembang di masyarakat selama ini narapidana yang sudah bebas
kurang begitu diterima dengan baik keberadaanya untuk kembali hidup bersama di masyarakat.
Namun, pada kenyataanya dalam kasus ini mereka dapat kembali lagi ke masyarakat, mereka
dapat hidup bermasyarakat dengan normal, serta masyarakat pun menerima dengan baik, mes-
kipun ada beberapa pihak ataupun orang yang mempunyai stigma negatif. Jadi, dapat dikatakan
selama ini hukum, khususnya hukum Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) berbeda dengan opini
masyarakat secara psikologis dan sosiologis
SARAN
Dari penelitian ini dapat diperoleh beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai beri-
kut :
Setiap orang yang menyandang status sebagai mantan narapidana pada kenyatannya belum
tentu sebenarnya adalah pelaku atau tersangka utama atau bisa saja mereka adalah korban kemudi-
an berubah statusnya menjadi tersangka. Fenomena yang berkembang di masyarakat selama ini
narapidana yang sudah bebas kurang begitu diterima dengan baik keberadaanya untuk kembali
70 | Rengganis - Pencapaian Generativitas Mantan Narapidana...
hidup bersama di masyarakat. Namun, pada kenyataanya dalam kasus ini mereka dapat kembali
lagi ke masyarakat, mereka dapat hidup bermasyarakat dengan normal, serta masyarakat pun
menerima dengan baik, meskipun ada beberapa pihak ataupun orang yang mempunyai stigma
negatif. Jadi, dapat dikatakan selama ini hukum, khususnya hukum Tipikor (Tindak Pidana
Korupsi) berbeda dengan opini masyarakat secara psikologis dan sosiologis. Dari, hasil penelitian
didapatkan bahwa ketiga subjek dapat mencapai generativitas mereka sehingga untuk peneliti se-
lanjutnya diharapkan melakukan peneltian lagi yang cakupannya lebih luas karena pada konteks
penelitian ini hanya berfokus pada mantan narapidana tipikor khususnya dewasa tengah.
DAFTAR RUJUKAN
Herdiansyah, Haris. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Psikologi. Jakarta:
Salemba Humanika.
Santrock, John. W., Jilid 1. (2012). Life Span Development. Jakarta: Erlangga
Santrock, John. W., Jilid 2. (2012). Life Span Development. Jakarta: Erlangga
Hurlock, Elizabeth. (2003). Development Psychological A . Life-Span Approach, Diterjemahkan :
Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjag Rentang Kehidupan. Jakarta : Pen-
erbit Erlangga
Nindi, Bramanti (2013). Kebermaknaan Hidup Pada Dewasa Madya Menghadapi Syndrome Emp-
ty Nest. Jurnal Psikologi Universitas Airlangga.
Erikson, E. H. (1968). Identity: Y outh and crisis. New York: W.W Norton.
Akhyar, Zainul., dkk. (2014). Persepsi Masyarakat Terhadap Mantan Narapidana Di Desa Benua
Jingah Kecamatan Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Jurnal Pendidikan Kewarga-
negaraan Universitas Lambung Mangkurat
Darmawanti, I. (2012) . Hubungan antara tingkat religiusitas dengan kemampuan dalam mengatasi
stres (coping stress). Jurnal Psikologi: Teori dan Terapan, 2, (2), 24-29.
McAdams & de St. Aubin (1992). A Theory of Generativity and Its Assesment Through Self-
Report, Behavioral and Narrative Themes in Autobiography. Journal of Personality and So-
cial Psychology, Northwestern University