fortifikasi tepung ikan cakalang (katsuwonus pelamis ... · dicantumkan dalam daftar pustaka di...
TRANSCRIPT
FORTIFIKASI TEPUNG IKAN CAKALANG (Katsuwonuspelamis) TERHADAP KARAKTERISTIK MIE SAGU
CHRISTINA LITAAY
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Fortifikasi TepungIkan Cakalang (Katsuwonus pelamis) terhadap Karakteristik Mie Sagu” adalah karyasaya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggimanapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkanmaupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dandicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2012
Christina LitaayNRP C351100061
ABSTRACT
CHRISTINA LITAAY. Fortification Fish Meal Skipjack Tuna (Katsuwonuspelamis) on the Characteristic of Sago Noodles. Supervised by JOKO SANTOSOand BAMBANG HARYANTO.
The effects of different immersion method namely water, 3% acetic acid and0.8% sodium bicarbonate at immersion time (2, 4, and 6 hours) on the physico-chemical characteristics of skipjack tuna fish meal were studied. Producing of fishmeal with 0.8% sodium bicarbonate immersion for 6 hours had better characteristicsthan the water and 3% acetic acid with increased in protein content by 82.86% anddecreased in fat content by 1.10%. Sago noodle characteristics with the fortificationof fish meal were investigated. Result of organoleptic evaluation showed that thefortification of fish meal had a positive impact in the assessment of aroma and flavor,however there were no effect in texture of the sago noodles. Fortification of 8% fishmeal gave the best aroma and taste of the sago noodles. Whiteness decreased slightlywith no fortification of fish meal concentration. Control and commercial sago noodleshowed the internal structure of a compact and smooth compared with the addition ofsago noodle 8% fish meal and wheat flour noodles. Optimum concentrationfortification of fish meal to increase in protein content of sago noodles was by 8%fish meal.
Keywords : fish meal, physico-chemical characteristics, sago noodles, skipjack tuna
x
RINGKASAN
CHRISTINA LITAAY, Fortifikasi Tepung Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)terhadap Karakteristik Mie Sagu. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO danBAMBANG HARYANTO.
Ikan cakalang merupakan salah satu komoditas perikanan andalan dariperairan Maluku, karena selain menjadi ikan konsumsi yang digemari masyarakat,juga merupakan komoditas ekspor. Ikan cakalang memiliki daging berwarna gelapdan lemak tinggi, sehingga perlu proses deffating yang menghasilkan tepung ikanyang berkualitas. Konsumsi mie berbahan baku terigu terus meningkat, sehinggasangat menurunkan devisa negara. Perlu adanya pengembangan teknologi mieberbahan baku lokal, misalnya dengan memanfaatkan tepung sagu. Sagu memilikikandungan protein yang rendah mengakibatkan diperlukan upaya untuk memperkayanilai gizi dari mie sagu. Fortifikasi tepung ikan cakalang pada mie sagu merupakanbentuk diversifikasi produk perikanan, dan dapat meningkatkan nilai gizi dari miesagu. Sagu tidak memiliki gluten yang dapat menyebabkan adonan elastis, namundengan adanya proses pregelatinasi dan penggunaan teknologi ekstruder dapatdigunakan 100% pati sagu yang menghasilkan mie yang kenyal. Tujuan penelitianini adalah untuk menentukan (1) pengaruh kombinasi lama perendaman dan metodeperendaman ikan dalam air, asam asetat dan natrium bikarbonat dalam prosesdeffating terhadap karakteristik fisiko-kimia tepung ikan cakalang, (2) karakteristikorganoleptik, fisiko-kimia dan mikrostruktur mie sagu dengan fortifikasi tepung ikancakalang.
Penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama.Penelitian pendahuluan yaitu pembuatan tepung ikan menggunakan dua faktor, yaitumetode perendaman (air, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%) dan lamaperendaman (2, 4 dan 6 jam). Penelitian utama yaitu pembuatan mie sagu denganfortifikasi tepung ikan dengan menggunakan lima konsentrasi tepung ikan, yaitu 0%,2%, 4%, 6% dan 8%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara metode perendamannatrium bikarbonat 0,8% dan lama perendaman 6 jam menghasilkan karakteristiktepung ikan yang lebih baik dari metode perendaman air dan asam asetat 3%. Tepungikan yang dihasilkan memiliki karakteristik rendemen 38,32%, kadar air 6,15%,kadar abu 2,64%, kadar protein 82,86% dan kadar lemak 1,10%.
Hasil evaluasi organoleptik menunjukkan bahwa fortifikasi tepung ikanberpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rasa namun tidak berpengaruh (p>0,05) padatekstur, warna dan aroma mie sagu. Konsentrasi tepung ikan 8% menghasilkan miesagu terbaik dengan karakteristik organoleptik tekstur = 3,80, warna = 3,75, aroma =4,00, dan rasa = 4,05. Fortifikasi tepung ikan berpengaruh nyata terhadap tingkatkecerahan (L*), kemerahan (a+) dan kekuningan (b+) mie sagu. Berdasarkan hasiluji derajat putih mie sagu kontrol memiliki nilai derajat putih terendah 39,49dibandingkan keempat mie sagu formula lainnya.
Variasi konsentrasi tepung ikan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap cookingtime dan elastisitas mie, tetapi tidak berpengaruh secara nyata (p>0,05) terhadapcooking losses. Konsentrasi tepung ikan 8% menghasilkan mie sagu terbaik dengankarakteristik cooking time 8,0 menit, cooking losses 23,8% dan elastisitas 16,20 gf.Pengamatan menggunakan SEM menunjukkan bahwa granula mie sagu kontrolmemiliki karakteristik bentuk oval, sedangkan mie sagu formulasi A8 berbentuk elipsagak terpotong. Struktur internal mie kontrol terlihat kompak dan halusdibandingkan dengan mie sagu dengan fortifikasi tepung ikan 8% yang terlihatkompak namun kasar. Interaksi protein dan karbohidrat yang terjadi merupakaninteraksi yang bersifat tidak nyata karena kedua molekul primer memiliki eksistensisendiri-sendiri. Konsentrasi optimum tepung ikan untuk meningkatkan kandunganprotein mie sagu yaitu tepung ikan 8%, dengan menghasilkan kadar air 18,87%,kadar abu 1,12%, kadar protein 5,56%, dan kadar lemak 0,41%
Kata kunci : ikan cakalang, karakteristik fisiko-kimia, mie sagu, tepung ikan
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan ataumenyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atautinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yangwajar IPB.Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
FORTIFIKASI TEPUNG IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis)TERHADAP KARAKTERISTIK MIE SAGU
CHRISTINA LITAAY
TesisSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister sainspada Program Studi Teknologi Hasil perairan
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc
Judul Tesis : Fortifikasi Tepung Ikan (Katsuwonus pelamis)terhadap Karakteristik Mie Sagu
Nama : Christina Litaay
NRP : C351100061
Program Studi : Teknologi Hasil Perairan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Joko Santoso, M.Si Prof.Dr.Ir.Bambang Haryanto, M.SKetua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana,Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor
Dr.Tati Nurhayati, S.Pi,M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 3 September 2012 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas berkat dankarunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Tesis inidisusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains padaProgram Studi Teknologi Hasil Perairan yang berjudul “Fortifikasi Tepung IkanCakalang (Katsuwonus pelamis) terhadap Karakteristik Mie Sagu”.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si selaku ketua komisi pembimbing yang telah
memberikan arahan, saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikanpenulisan tesis. Terima kasih atas ilmu yang Bapak berikan, semoga bermanfaatbagi saya pribadi maupun institusi tempat saya bekerja.
2. Prof. Dr. Ir. Bambang Haryanto, M.S sebagai anggota komisi pembimbing yangtelah membimbing dan memberi masukan serta motivasi kepada penulis dalammenyelesaikan tesis.
3. Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi yang telahmemberi masukan dan saran kepada penulis.
4. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku Ketua Program Studi yang selalu memberimotivasi kepada penulis dalam menyelesaikan studi di PS. Teknologi HasilPerairan dan segenap karyawan serta staf THP-IPB.
5. Deputi Bidang Masyarakat KRT selaku Penanggungjawab Program BeasiswaPascasarjana KRT yang menjadi sponsor dalam studi penulis di THP-IPB.
6. Suamiku tercinta, Marcus Rino Wakanno, S.Pi yang telah sabar serta penuhpengertian dan kasih sayang mendukung penulis untuk melanjutkan tugas belajarmeskipun harus jauh dari keluarga. Kedua putri kami tersayang Charin NadilaEsther Wakanno dan Imanuella Nadine Leathizia Wakanno yang menjadisemangat penulis untuk segera menyelesaikan studi.
7. Ayah (Marcus Litaay) dan Ibu (Martha Litaay-Hasmus, S.Pd) serta kakak- adik(Henderina, Abraham, dan Gilberth), untuk doa yang selalu mengiringi dan kasihsayang yang tidak terputus selama penulis menjalankan studi.
8. Bapak mertua (Andarias Wakanno), Ibu mertua (Martha Wakanno-Ruhukail),Papa Nadus Pormes dan Mama Nanang Pormes-Wakanno serta kakak-adik yangmendukung penulis dalam doa selama menjalankan studi.
9. Dr. Augy Syahalaitua, M.Sc selaku Kepala UPT. BKBL LIPI Ambon serta stafdan pegawai LIPI Ambon atas segala dukungan doa selama penulis menjalankanstudi.
10. Teman-teman S2 THP Angkatan 2010 (Mba Ima, Yenni, Mba Nani, Tyas, Tya,Eka, Fikri, Wiwit, Dewi, Pa Agus, Vivi, dan Lenny) dalam membangunpersahabatan, semoga persahabatan kita tetap terjalin dan terjaga selalu.
Penulis menyadari masih ada kekurangan di dalam penyusunan tesis ini,meskipun demikian semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yangmembutuhkan.
Bogor, September 2012Christina Litaay
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Saparua, pada tanggal 9 Juli 1979. Penulisadalah anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Bapak MarcusLitaay dan Ibu Martha Litaay-Hasmus, S.Pd. Penulismenyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 36 InpresAmbon pada tahun 1991. Pada tahun yang sama penulismelanjutkan studi ke SMP Negeri 7 Ambon dan lulus padatahun 1994.
Selanjutnya penulis melanjutkan studi di SMA Negeri 3 Ambon dan lulus padatahun 1997. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil PerikananFakultas Perikanan Universitas Pattimura, Ambon dari tahun 1997 – 2001.
Pada tahun 2007 sampai dengan sekarang (tahun 2012), penulis bekerjasebagai staf peneliti di UPT. Balai Konservasi Biota Laut LIPI Ambon.Pada tahun 2010, penulis mendapatkan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (tugasbelajar) dari Kementrian Ristek (KRT) serta izin dari Kepala LIPI Ambon danKepala Oseanogragi LIPI Ancol Jakarta untuk melanjutkan pendidikan S2 padaProgram Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR TABEL ................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………xiii
1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 11.2 Perumusan Masalah ................................................................................. 31.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 41.4 Hipotesis Penelitian ................................................................................. 5
2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 7
2.1 Biologi dan Komposisi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)................. 72.2 Tepung Ikan .............................................................................................. 92.3 Sagu (Metroxylon sp) .............................................................................. 102.4 Mie ........................................................................................................... 132.5 Mie Sagu .................................................................................................. 162.6 Interaksi Karbohidrat dan Protein ............................................................. 18
3 BAHAN DAN METODE ................................................................................ 21
3.1 Waktu dan Tempat .................................................................................... 213.2 Bahan dan Alat.......................................................................................... 21
3.2.1 Bahan .............................................................................................. 213.2.2 Alat.................................................................................................. 22
3.3 Tahapan Penelitian .................................................................................... 223.3.1 Penelitian pendahuluan ................................................................... 223.3.2 Penelitian utama.............................................................................. 24
3.4 Prosedur Analisis ...................................................................................... 253.4.1 Analisis organoleptik ...................................................................... 25
(1) Uji skoring (Soekarto dan Hubeis 2000)................................... 25(2) Uji perbandingan (Soekarto dan Hubeis 2000) ......................... 25
3.4.2 Analisis fisik ................................................................................... 26(1) Rendemen.................................................................................. 26(2) Waktu tanak (cooking time) (Collado et al. 2001) .................... 26(3) Cooking losses (Collado et al. 2001)......................................... 26(4) Elastisitas mie (Chen et al. 2002).............................................. 26(5) Warna (Gaurav 2003) ................................................................ 26
3.4.3 Analisis kimia ................................................................................. 27(1) Kadar protein kasar (AOAC 1980) ........................................... 27(2) Kadar lemak (AOAC 1980) ...................................................... 28(3) Kadar abu (AOAC 1980) .......................................................... 28(4) Kadar air (AOAC 1980) ............................................................ 28(5) Kadar karbohidrat...................................................................... 28
viii
3.4.4 Analisis mikrostruktur menggunakan Scanning ElectronMicroscope (SEM) (Toya et al. 1986) ............................................ 28
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data .................................................. 29
4 HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................ 33
4.1 Penelitian Pendahuluan ............................................................................. 334.1.1 Komposisi kimia pati sagu dan tepung ikan cakalang .................... 334.1.2 Karakteristik tepung ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) ............ 34
(1) Rendemen tepung ikan ............................................................. 35(2) Kadar air tepung ikan................................................................ 36(3) Kadar abu tepung ikan .............................................................. 37(4) Kadar protein tepung ikan ........................................................ 38(5) Kadar lemak tepung ikan .......................................................... 39
4.2 Penelitian Utama ....................................................................................... 404.2.1 Karakteristik organoleptik............................................................... 41
(1) Uji skoring ................................................................................. 41(2) Uji perbandingan pasangan........................................................ 46
4.2.2 Karakteristik fisik mie sagu............................................................. 47(1) Derajat putih terhadap warna mie sagu .................................... 47(2) Cooking time mie sagu.............................................................. 49(3) Cooking losses mie sagu........................................................... 50(4) Elastisitas mie sagu................................................................... 51
4.2.3 Karakteristik kimia mie sagu ......................................................... 524.2.4 Angka Kecukupan Gizi (AKG)...................................................... 544.2.5 Mikrostruktur (SEM) mie sagu ....................................................... 56
5 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 59
5.1 Simpulan.................................................................................................... 595.2 Saran.......................................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 61
LAMPIRAN ........................................................................................................... 71
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Nilai indeks glikemik mie di pasaran ……………………………………….. 16
2 Karakteristik mie sagu dari Palopo dan BBPP Pertanian Bogor ..................... 18
3 Komposisi kimia tepung ikan cakalang dan pati sagu .................................... 33
4 Pengujian derajat putih terhadap warna mie sagu............................................ 48
5 Karakteristik kimia mie sagu tepung ikan cakalang......................................... 53
6 Kandungan nutrisi per takaran penyajian …………………………………… 56
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman1 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) FAO (2012) ......................................... 82 Diagram alir pembuatan tepung ikan cakalang (Modifikasi Amirullah 2008) 233 Diagram alir pembuatan mie sagu (Modifikasi CV Putra Santoso 2010)....... 244 Bentuk pati sagu dan tepung ikan tanpa proses deffating ............................... 345 Bentuk ikan cakalang pada masing-masing kombinasi perlakuan ................. 35
6 Histogram rerata rendemen tepung ikan setelah perlakuan perendamanair, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%). Angka-
angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbedanyata (p<0,05) pada metode perendaman. ....................................................... 36
7 Histogram rerata kadar air tepung ikan setelah perlakuan perendamanair, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%. Angka-
angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c,d,e,f,g,h)menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada faktor interaksi metodeperendaman dan lama perendaman .................................................................. 37
8 Histogram rerata kadar abu tepung ikan setelah perlakuan perendamanair, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%. Angka-
angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbedanyata (p<0,05) pada metode perendaman ........................................................ 38
9 Histogram rerata kadar protein tepung ikan setelah perlakuan perendamanair, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%. Angka-
angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbedanyata (p<0,05) pada faktor interaksi metode perendaman dan lamaperendaman ...................................................................................................... 38
10 Histogram rerata kadar lemak tepung ikan setelah perlakuan perendamanair, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%. Angka-
angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan berbedanyata (p<0,05) pada faktor interaksi metode perendaman dan lamaperendaman ...................................................................................................... 39
11 Bentuk mie sagu dengan konsentrasi tepung ikan 0% (A); 2% (B); 4% (C);6% (D) dan 8% (E) .......................................................................................... 40
12 Histogram rerata penilaian panelis terhadap tekstur mie sagu dengan A0 =kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepungikan cakalang 2%, A4 = fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6=fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi tepung ikancakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip sama (a)menunjukkan tidak nyata (p>0,05) pada fortifikasi tepung ikan ………….. 42
xi
13 Histogram rerata penilaian panelis terhadap warna mie sagu dengan A0 =kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasitepung ikan cakalang 2%, A4 = fortifikasi tepung ikan cakalang 4%,A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= penambahantepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskripsama (a) menunjukkan tidak nyata (p>0,05) pada fortifikasi tepung ikan ..... .43
14 Histogram rerata penilaian panelis terhadap aroma mie sagu dengan A0 =kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasitepung ikan cakalang 2%, A4 = fortifikasi tepung ikan cakalang 4%,A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasitepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskripberbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada fortifikasitepung ikan. .................................................................................................... 44
15 Histogram rerata penilaian panelis terhadap rasa mie sagu dengan A0 =kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasitepung ikan cakalang 2%, A4 = fortifikasi tepung ikan cakalang 4%,A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasitepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskripsama (a) menunjukkan tidak nyata (p>0,05) pada fortifikasi tepungikan. ........................................................................................................... 45
16 Histogram nilai perbandingan pasangan mie sagu ........................................ 47
17 Histogram rerata cooking time mie sagu dengan A0 = kontrol (tanpafortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikancakalang 2%, A4 = fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6=fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi tepungikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda(a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada fortifikasi tepungikan. ........................................................................................................... 49
18 Histogram rerata cooking losses mie sagu dengan A0 = kontrol(tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepungikan cakalang 2%, A4 = fortifikasi tepung ikan cakalang 4%,A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasitepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskripsama (a) menunjukkan tidak nyata (p>0,05) pada fortifikasi tepung ikan .... 51
19 Histogram rerata elastisitas mie sagu dengan A0 = kontrol (tanpafortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikancakalang 2%, A4 = fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6=fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi tepungikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda(a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada fortifikasi tepung ikan. ..... 52
20 Struktur mikroskopis granula mie sagu (A) mie sagu formulasi A0,(B) mie sagu formulasi A8, (C) mie sagu komersial, (D) mie terigu............... 56
21 Struktur mikroskopis internal mie sagu. (A) mie sagu formulasi A0,(B) mie sagu formulasi A8, (C) mie sagu komersial dan (D) mie terigu ….. 57
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3551-2000).......................................71
2 Formulir uji peringkat produk mie sagu........................................................... 72
3 Formulir uji mie sagu tepung ikan cakalang terpilih dengan mie komersial ... 73
4 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada nilai rendemen tepungikan cakalang.................................................................................................... 74
5 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar air tepung ikan ............... 75
6 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar abu tepung ikan ............. 76
7 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar protein tepung ikan ........ 77
8 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar lemak tepung ikan ......... 78
9 Analisis Kruskal Wallis tekstur mie sagu......................................................... 79
10 Analisis Kruskal Wallis warna mie sagu.......................................................... 80
11 Analisis Kruskal Wallis aroma mie sagu ......................................................... 81
12 Analisis Kruskal Wallis rasa mie sagu ............................................................. 82
13 Nilai perbandingan pasangan mie sagu. ........................................................... 83
14 Analisis ragam (ANOVA) dan Uji BNT derajat putih mie sagu ...................... 84
15 Analisis ragam (ANOVA) dan Uji BNT cooking time mie sagu ..................... 85
16 Analisis ragam (ANOVA) dan Uji BNT cooking losses mie sagu .................. 86
17 Analisis ragam (ANOVA) dan Uji BNT elastisitas mie sagu .......................... 87
18 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar air mie sagu.................... 88
19 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar abu mie sagu .................. 89
20 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar protein mie sagu............. 90
21 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar lemak mie sagu .............. 91
xiii
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan merupakan bahan pangan dengan kandungan gizi tinggi karena
menyediakan asam amino esensial yang lengkap dan penting bagi tubuh.
Ikan cakalang merupakan salah satu komoditas perikanan andalan dari perairan
Maluku. Bahkan jenis ikan ini menjadi primadona, karena selain menjadi ikan
konsumsi yang digemari masyarakat, juga merupakan komoditas ekspor.
Pemanfaatan ikan dalam produk pangan telah dilakukan beberapa peneliti
diantaranya adalah fortifikasi tepung tenggiri (Scomberomorus sp) dalam
pembuatan bubur bayi instan (Amirullah 2008); peningkatan kadar protein mie
sagu instan dengan penambahan tepung ikan tongkol (Rayanti 2010)
dan pembuatan mie instan dengan penambahan daging ikan nila
(Oreochromis niloticus) (Robiyanto 2008).
Kandungan gizi ikan cakalang pemanfaatannya belum dilakukan secara
optimal. Hal ini dibuktikan dengan tingkat pemanfaatan masih rendah karena
dikelola oleh usaha perikanan berskala kecil dan bersifat tradisional (Wardja
2011) selain itu ikan cakalang memiliki kendala, yaitu memiliki daging berwarna
gelap dan kandungan lemak tinggi (Guenneugues dan Morrissey 2005).
Pemanfaatan ikan diperlukan dalam fortifikasi dimana memerlukan bahan yang
tidak mudah tengik dan tidak berbau, sehingga proses meminimumkan lemak
pada daging ikan cakalang sangat diperlukan. Salah satu upaya untuk
meminimumkan lemak adalah melakukan perendaman menggunakan asam dan
alkali (Nolsoe dan Ingrid 2009). Rawdkuen et al. (2009) melaporkan bahwa
pengurangan mioglobin dan lemak lebih mudah terjadi dalam proses alkali atau
asam, bila dibandingkan dengan proses konvensional. Menurut Suzuki dan
Watabe (2011) ikan pelagis yang memiliki daging merah perlu penambahan
natrium bikarbonat dengan konsentrasi 0,5-1,0% untuk mengurangi lemak.
Tepung ikan adalah produk yang diperoleh dari penggilingan ikan berkadar
air rendah dan diperoleh dari suatu reduksi bahan mentah menjadi suatu produk
yang sebagian besar terdiri dari komponen protein ikan (Irianto 2002). Fortifikasi
tepung ikan cakalang pada mie sagu merupakan bentuk diversifikasi produk
2
perikanan dan dapat meningkatkan nilai gizi dari mie sagu. Kandungan gizi mie
sagu dengan fortifikasi tepung ikan akan meningkatkan nilai ekonomisnya, selain
itu dapat digunakan sebagai makanan pengganti yang bergizi dan menyenyangkan
karena selain mengandung karbohidrat juga mengandung protein yang tinggi.
Masyarakat di Indonesia gemar mengkonsumsi mie mulai dari mie kering
sampai mie siap santap. Mie merupakan bahan pangan yang cukup potensial,
selain harganya relatif murah dan pengolahannya yang praktis (Muhajir 2007).
Perkembangan konsumsi mie yang sangat pesat memberi gambaran bahwa mie
merupakan jenis makanan yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi
konsumen Indonesia. Namun di sisi lain berpeluang menurunkan devisa negara,
mengingat mie merupakan produk yang terbuat dari tepung terigu suatu
komoditas impor. Nilai impor tepung terigu pada tahun 2009 mencapai US$
223,2 juta dan meningkat menjadi US$ 261,7 juta pada tahun 2010
(Prasetya 2011). Mengingat bahan baku terigu harus diimpor maka diupayakan
pengembangan teknologi mie berbahan baku lokal, misalnya dengan
memanfaatkan tepung sagu.
Mie sagu merupakan salah satu produk olahan di Maluku yang terbuat dari
pangan lokal sagu. Pati sagu berbeda dengan tepung terigu, karena di dalam pati
sagu tidak terdapat gluten. Gluten merupakan suatu massa yang kohesif dan dapat
meregang secara elastis sehingga peningkatan gluten akan menyebabkan adonan
semakin elastis dan tidak mudah putus, baik sewaktu pencetakan maupun
gelatinisasi. Namun dengan adanya proses pregelatinasi dan penggunaan
teknologi ekstruder dapat digunakan 100% pati sagu yang menghasilkan mie yang
kenyal seperti mie tepung terigu.
Widaningrum et al. (2005) menyatakan bahwa mie sagu termasuk ke dalam
mie berbasis pati, karena terdapat resistant starch (pati resisten). Mie sagu
mengandung pati resisten sekitar 45 mg/g. Kadar resistant starch di dalam mie
sagu 4-5 kali lebih besar dibanding kadar resistant starch mie instan terigu.
Kandungan resistant starch yang tinggi sangat bermanfaat bagi kesehatan usus
dan sangat berperan penting di dalam diet. Mie sagu juga memiliki kandungan
indeks glikemik yang rendah yaitu sebesar 28 sehingga baik untuk penderita
diabetes (Rimbawan dan Siagian 2004).
3
Selama ini pembuatan mie sagu yang dihasilkan memiliki kandungan
karbohidrat yang tinggi, tetapi sangat rendah kandungan protein. Beberapa
penelitian tentang mie sagu telah dilakukan diantaranya adalah pembuatan mie
sagu dengan pemanfaatan tepung rumput laut (Pujiastuti 2009) dan penggunaan
suhu pemeraman (Widaningrum et al. 2005). Kandungan protein yang rendah
mengakibatkan diperlukan upaya untuk memperkaya nilai gizi dari mie sagu
dengan fortifikasi protein hewani. Interaksi protein dengan polisakarida
digunakan dalam industri makanan karena berperan penting dalam struktur dan
tekstur bahan makanan, akibat adanya interaksi elektrostatik atau ikatan kovalen
(Stephen 1995).
Interaksi protein dengan polisakarida dalam pembuatan mie sagu dapat
memberikan pilihan yang lebih variatif bagi masyarakat luas sekaligus mendorong
usaha-usaha “Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis
Sumberdaya Lokal”, sehingga ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi
beras dan terigu dapat dikurangi. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk
mempelajari karakteristik mie sagu dengan penambahan tepung ikan cakalang.
1.2. Perumusan Masalah
Propinsi Maluku memiliki sumberdaya alam yang potensial antara lain
sagu dan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), namun pemanfaatannya belum
dilakukan secara optimal. Pemanfaatan sagu masih dalam bentuk makanan
tradisional antara lain sagu lempeng, bagea, sinoli, dan buburne (Lawalata 2004).
Potensi ikan cakalang saat ini berada pada tingkat pemanfaatan masih rendah
karena dikelola oleh usaha perikanan berskala kecil dan bersifat tradisional
(Wardja 2011). Menurut Gaspersz (1985) pemanfaatan ikan cakalang masih
dalam bentuk produk olahan tradisional, yaitu dendeng dimana usaha pengolahan
ini umumnya masih dilakukan dengan cara sederhana, serta masalah sanitasi, dan
hygiene kurang mendapat perhatian dari para pengolah.
Untuk meningkatkan pemanfaatan dan nilai tambahnya, ikan cakalang dapat
diolah menjadi tepung ikan. Cakalang merupakan hasil perikanan yang bersifat
mudah rusak dan membusuk (perishable) karena memiliki daging berwarna gelap
atau merah dan memiliki kandungan lemak yang tinggi, sehingga dapat
berpengaruh dalam pembuatan tepung ikan karena mengakibatkan ketengikan
4
atau bau. Untuk mengurangi kandungan lemak maka dalam pembuatan tepung
ikan cakalang dilakukan proses deffating yaitu penghilangan lemak.
Proses deffating dapat dilakukan dengan perlakuan perendaman dalam air,
asam, dan alkali pada proses pengolahannya. Pengurangan mioglobin dan lemak
lebih mudah terjadi dengan dalam proses alkali atau asam, bila dibandingkan
dengan proses konvensional (Rawdkuen et al. 2009). Hultin et al. (2005)
menyatakan bahwa proses asam dan alkali dapat mengatasi beberapa masalah
karena menggunakan otot gelap (daging merah/gelap). Proses asam dan alkali
dalam perendaman daging ikan cakalang diharapkan menjadi alternatif untuk
menghasilkan tepung ikan yang berkualitas dengan kandungan protein yang tinggi
dan rendah lemaknya sebelum ditambahkan kedalam produk mie sagu.
Tekstur dan struktur produk secara keseluruhan tidak hanya tergantung pada
sifat individu protein dan polisakarida, tetapi juga sifat alami, dan kekuatan
interaksi protein dengan polisakarida. Oleh karena itu, untuk mengembangkan
sifat yang diinginkan pada produk makanan, pengetahuan mekanisme interaksi
protein dengan polisakarida sangat penting (Hemar et al. 2002).
Pemanfaatan ikan pelagis dalam produk pangan telah dikaji, namun
demikian pemanfaatan ikan cakalang dalam produk mie sagu belum pernah
dilakukan. Interaksi protein dan karbohidrat dalam mie sagu diharapkan akan
membantu meningkatkan nilai gizi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui karakteristik tepung ikan yang dihasilkan serta untuk mengetahui
pengaruh penambahan tepung ikan cakalang dalam peningkatan kandungan
protein mie sagu.
1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan :
1) pengaruh kombinasi lama perendaman dan metode perendaman ikan dalam
air, asam asetat3%, dan natrium bikarbonat 0,8% dalam proses deffating
terhadap karakteristik fisiko-kimia tepung ikan cakalang,
2) karakteristik organoleptik, fisik, kimia, dan mikrostruktur mie sagu dengan
penambahan tepung ikan cakalang
5
Manfaat penelitian adalah sebagai salah satu sumber informasi ilmiah
pemanfaatan sagu dan ikan cakalang dalam produk mie sagu sebagai sumber
alternatif makanan bergizi.
1.4. Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Proses deffating dengan kombinasi perlakuan metode perendaman pada air,
asam asetat 3%, dan natrium bikarbonat 0,8% dengan lama perendaman 2, 4,
dan 6 jam mempengaruhi karakteristik fisiko-kimia tepung ikan,
2) Penambahan tepung ikan cakalang dengan berbagai variasi konsentrasi
mempengaruhi karakteristik organoleptik, fisiko, kimia dan mikrostruktur
mie sagu yang dihasilkan.
6
7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi dan Komposisi Kimia Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan jenis ikan pelagis
yang beruaya dan mendiami seluruh perairan tropis dan subtropis lautan di dunia
(Arai et al. 2005). Spesies ini secara komersial sangat penting, dan menempati
peringkat pertama dari 10 spesies yang telah memberi kontribusi yang besar
dalam penangkapan secara global (FAO 2009).
Ciri-ciri morfologi ikan cakalang antara lain badan berbentuk torpedo
(fusi form), memanjang, dan bulat dengan kedua ujung mulutnya meruncing.
Ikan ini mempunyai 4-6 garis hitam tebal, seperti pita yang membujur di bagian
bawah gurat sisinya. Punggung ikan cakalang berwarna biru keunguan, sedangkan
bagian tubuh di bawah gurat sisi dan perut berwarna keperak-perakan. Tubuh ikan
cakalang tidak bersisik, kecuali pada gurat sisi dan bagian depan sirip punggung
pertama. Ikan cakalang mempunyai 7-9 sirip dubur dan pada bagian
batang ekornya terdapat tiga buah tonjolan. Ikan cakalang memiliki ukuran
panjang yang bervariasi mulai dari ukuran 26,0 cm sampai 58,9 cm. Ukuran ini
merupakan ukuran ikan yang telah dewasa atau layak untuk dieksploitasi
(Syamsuddin et al. 2007). Klasifikasi cakalang menurut Direktorat Jenderal
Perikanan (1979) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Subordo : Scombridea
Famili : Scombridae
Subfamili : Thunninae
Genus : Katsuwonus
Spesies : Katsuwonus pelamis
Menurut FAO (2012) ikan cakalang merupakan komoditas penting dalam
perikanan (Gambar 1).
8
Gambar 1 Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) (FAO 2012).
Menurut Miyake et al. (2004) sebagian besar tangkapan ikan cakalang
berasal dari Samudera Pasifik. Ikan ini merupakan salah satu perikanan paling
produktif di dunia, terutama Pasifik utara barat. Ikan cakalang mempunyai nilai
ekonomis tinggi dan potensinya besar di perairan Indonesia bagian timur.
Lokasi penangkapan ikan cakalang tersebar diantara 5oLU-10oLS, terdiri dari Laut
Sulawesi, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Flores, dan Laut Sawu sedangkan
Laut Timor, dan Laut Arafura, serta perairan utara Irian dalam batas antara
131oBT-146oBT dan 5oLU-11oLS (Bunyamin 1981).
Komposisi kimia daging ikan bervariasi menurut jenis, umur, kelamin, dan
musim. Perubahan musim yang terjadi berpengaruh pada kandungan lemak
sebelum dan sesudah memijah. Kandungan lemak berbeda pada bagian tubuh
yang satu dengan yang lain. Ketebalan lapisan lemak di bawah kulit berubah
menurut umur atau musim. Lemak paling banyak terdapat di dinding perut
(Murniyati dan Sunarman 2000). Daging ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
segar mempunyai komposisi kimia yang terdiri dari kadar air 70,40%, kadar
protein 25,80%, kadar lemak 2,00%, dan kadar abu 1,40% (Murniyati dan
Sunarman 2000).
Ikan umumnya memiliki kandungan gizi yang baik, yaitu protein yang
tersusun oleh asam amino esensial yang lengkap dan lemak yang tersusun oleh
asam lemak tak jenuh omega-3 yang berkhasiat terhadap berbagai penyakit dan
membantu perkembangan otak. Kandungan protein dan mineral daging ikan
relatif konstan, tetapi kadar air dan kadar lemak sangat berfluktuasi.
Jika kandungan lemak pada daging semakin besar, kandungan air akan semakin
kecil dan sebaliknya (Irianto dan Soesilo 2007).
9
2.2 Tepung Ikan
Tepung ikan merupakan sumber protein yang sangat baik karena dapat
meningkatkan konsumsi makanan dan pakan (Solangi et al. 2002). Tepung ikan
adalah tepung yang berwarna coklat yang diperoleh setelah memasak, menekan,
pengeringan, dan penggilingan ikan. Penggunaan ikan sebagai tepung hampir
secara keseluruhan dari kecil, spesies ikan pelagis (biasanya hidup di permukaan
perairan atau di kedalaman laut), dan 90% dari ikan yang digunakan untuk
membuat tepung ikan dalam jumlah besar sebagai konsumsi makanan manusia
(Green 2010).
Komposisi tepung ikan bervariasi tergantung pada spesies ikan dan metode
yang digunakan dalam pengolahan (Nadeem 2003). Tepung ikan yang baik adalah
tepung ikan yang berkadar protein tinggi, yaitu di atas 60% dan mengandung
kadar lemak rendah 3-7%. Lemak yang terlalu tinggi akan mengakibatkan tepung
ikan mudah tengik sehingga menyebabkan mutu rendah. Tepung ikan yang
memenuhi syarat adalah tepung ikan rucah karena dapat menyamai tepung ikan
impor (Puspita 2005). Tepung ikan yang dipasarkan memiliki protein kasar 65%,
tetapi dapat bervariasi dari 57-77% tergantung pada spesies ikan yang digunakan
(Maigualema dan Gernet 2003).
Menurut Jassim (2010) komposisi kimia tepung ikan, yaitu protein kasar
60%, kadar air 2,5%, lemak 2,54%, dan kadar abu 1,2%. Kandungan protein
tepung ikan relatif tinggi. Protein tersebut disusun oleh asam-asam amino esensial
yang kompleks, diantaranya asam amino lisin 3,1%, metionin 0,96%, vitamin
2,00 mg, kalsium 0,3 mg, dan fosfor 1,2 mg. Ikan tuna memiliki komposisi
proksimat adalah kadar air 6,6%, protein 61,3%, lemak 13,6%, dan abu 19,4%
(Tekinay et al. 2009).
Pengolahan tepung ikan pada prinsipnya adalah perubahan bentuk dari ikan
utuh menjadi tepung ikan melalui tahap-tahap pemasakan, pengepresan,
pengeringan, dan penggilingan sedangkan teknologi pengolahannya dapat
ditentukan berdasarkan ketersediaan bahan mentah yang akan diolah. Jika bahan
mentah yang akan diolah menjadi tepung ikan terdapat dalam jumlah yang besar
dan teratur pengadaanya, maka dapat dipilih cara konvensional yang lazim
digunakan dalam industri tepung ikan, sebaliknya jika bahan mentah yang akan
10
diolah menjadi tepung ikan terdapat dalam jumlah yang kecil dan tidak teratur
pengadaanya, maka hasil tangkapan tersebut dapat diolah dalam skala kecil
dengan menggunakan metode sederhana (Ilyas et al. 1985).
Mutu tepung ikan dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan, metode
pengolahan, cara pengolahan, dan lama penyimpanan. Proses pembuatan yang
semakin baik diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas tepung yang
dihasilkannya, sehingga dapat meningkatkan dan memenuhi kebutuhan tepung
ikan dalam negeri (Annafi 2009).
Tepung ikan yang berkualitas baik harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut: tepung ikan harus merupakan partikel-partikel yang dapat melewati
saringan Tyler nomor 8, memiliki warna terang, keputihan, abu-abu sampai coklat
muda. Selain itu tepung ikan memiliki kandungan protein lebih dari 50%,
kandungan lemak 2,5-5%, dan kandungan air 6% (Murtidjo 2001).
Tepung ikan dapat dijadikan sebagai bahan fortifikasi pada produk pangan
yang rendah proteinnya. Menurut Irianto (2011), fortifikasi pangan adalah
penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) ke pangan. Tujuan utama adalah
untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan sehingga
dapat meningkatkan status gizi populasi. Fortifikasi pangan dapat diterapkan
untuk tujuan-tujuan berikut :
1) Untuk memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki
defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan).
2) Untuk mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang
siquifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama
pengolahan.
3) Untuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang
digunakan sebagai sumber pangan bergizi missal : susu formula bayi.
4) Untuk menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang
menggantikan pangan lain, misal margarin yang difortifikasi sebagai
pengganti mentega.
2.3 Sagu (Metroxylon sp.)
Sagu (Metroxylon sp.) tergolong suku palmae dan merupakan tanaman
tahunan yang dapat dikembangbiakan dengan anakan atau biji. Pohon sagu
11
tumbuh mengelompok membentuk rumpun mulai dari anakan sampai tingkat
pohon. Tinggi pohon dewasa berkisar 8-20 m, tergantung jenis dan tempat
tumbuh. Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras, dengan tebal
sekitar 3-5 cm, bagian ini sering digunakan sebagai bahan bangunan di daerah
Maluku. Bagian yang kedua yaitu bagian dalam berupa empulur yang
mengandung serat-serat dan aci atau pati (Lawalata 2004).
Pohon sagu (Metroxylon sp.) merupakan tumbuhan yang berkembang
biak melalui tunas akar sehingga tumbuh berkelompok atau dengan bijinya.
Taksonomi sagu mengacu pada Haryanto dan Pangloli (1992) adalah :
Divisio : Spermathophyta
Ordo : Spadiciflorae
Klas : Angiospermae
Subklas : Monocotyledoneae
Famili : Palmae
Genus : Metroxylon
Spesies : Metroxylon sp
Sagu adalah produk pangan yang diperoleh dari empulur batang tanaman.
Jenis sagu yang diketahui adalah Metroxylon sago atau Metroxylon rumphii.
Pati sagu adalah pati yang diperoleh dari sari empulur pohon sagu. Sagu memiliki
kadar air tidak lebih dari 13% (BPOM 2006).
Sagu (Metroxylon sp) merupakan sumber karbohidrat yang cukup penting di
Indonesia dan menempati urutan ke 4 setelah ubi kayu, jagung dan ubi jalar.
Tanaman sagu tersebar di kawasan Timur Indonesia terutama Papua, Maluku dan
Sulawesi. Sebanyak 90% (1.015 juta ha) tumbuh dan berkembang di Propinsi
Papua dan Maluku (Lakuy dan Limbongan 2003). Sagu (pati sagu) dimanfaatkan
sebagai makanan pokok masyarakat di kawasan Timur Indonesia. Pati sagu diolah
dalam bentuk makanan tradisional seperti papeda, kapurung dan sagu bakar
(Lestari 2009).
Menurut Hendrasari (2000) sagu memiliki fungsi sebagai pengganti dan
pelengkap makanan. Sagu digunakan sebagai pengganti makanan pokok di
beberapa daerah seperti di Melanesia sedikitnya 300.000 orang tergantung kepada
12
sagu sebagai makanan pokok dan sekitar 1.000.000 orang mengkonsumsi sagu
untuk diet.
Sagu memiliki kandungan karbohidrat, protein, lemak, kalsium, dan zat besi
yang tinggi. Dengan kandungan tersebut, sagu berpotensi dijadikan sebagai bahan
baku sirup glukosa yang dapat meningkatkan nilai tambah sagu. Pati sagu
mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin. Perbandingan komposisi kadar
amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat pati. Semakin tinggi kadar
amilosa maka pati bersifat kurang kering, kurang lekat dan mudah menyerap air
(higroskopis) (Wirakartakusumah et al. 1986).
Menurut Hasbullah (2008), tepung sagu adalah pati yang diekstrak dari
batang sagu. Produk ini digunakan untuk pengolahan makanan, pakan, kosmetik,
industri kimia, dan pengolahan kayu. Batang sagu dapat diolah menjadi tepung
sagu dengan cara sederhana menggunakan alat-alat yang biasa terdapat di dapur
rumah tangga. Untuk industri kecil pengolahan memerlukan alat-alat mekanis
untuk mempertinggi efisiensi hasil dan biaya.
Cara pengolahan pati sagu memiliki beberapa tahapan proses pengolahan,
yaitu meliputi penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan, penokokkan atau
pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan, dan pengemasan. Penebangan
pohon dilakukan menggunakan peralatan sederhana, yaitu parang atau kampak,
selanjutnya batang sagu dibersihkan dan dipotong-potong. Potongan-potongan
batang sagu kemudian dibelah dua dan empulur batang yang mengandung aci
dihancurkan dengan alat yang disebut nanni. Penghancuran empulur sagu
dilakukan dengan pemarutan empulur. Pemarutan dilakukan untuk memisahkan
aci dari serat-serat empulur. Empulur yang telah ditokok atau diparut akan
berwarna kecoklatan. Empulur hasil tokokan dibawa ke tempat peremasan atau
penyaringan yang disebut goti. Goti terdiri dari dua bagian, yaitu tempat
peremasan yang disebut sahani dan tempat pengendapan aci yang disebut tawaer.
Proses setelah pengendapan aci sagu adalah semua air dibuang kemudian aci sagu
diangkat dan dijemur. Aci sagu yang sudah kering kemudian diayak dan
menghasilkan tepung sagu yang siap dipasarkan (Haryanto dan Pangloli 1992).
Komposisi gizi aci sagu dalam setiap 100 g aci sagu, yaitu kalori 353 kkal, protein
13
0,7 g, lemak 0,2 g, air 14,0 g, karbohidrat 84,7 g, fosfor 13 mg, kalsium 11 mg
dan besi 1,5 mg (Direktorat Gizi 1979).
2.4 Mie
Mie (noodle) adalah salah satu produk pangan yang terbuat dari tepung dan
menyerupai tali. Mie merupakan salah satu jenis produk pasta yang
ditemukan pertama kali oleh bangsa Tiongkok 5000 tahun SM, lalu berkembang
ke daerah Asia yang lain, sampai akhirnya terkenal di seluruh dunia.
Seluruh dunia telah mengenalnya dengan masing-masing nama atau istilahnya.
Dalam bahasa Inggris disebut noodle, bahasa Jepang terdapat beberapa
istilah yaitu ramen dan udon. Mie merupakan salah satu bentuk pangan
yang cukup populer dan disukai oleh berbagai kalangan masyarakat.
Jenis makanan ini digemari oleh berbagai lapisan masyarakat, karena
penyajiannya sangat mudah dan cepat. Mie dapat digunakan sebagai lauk
pauk juga sebagai bahan alternatif pengganti nasi. Beragam jenis mie dijumpai di
pasar, yang disebabkan oleh perbedaan bahan baku. Berdasarkan
cara penyiapannya dikenal dengan mie basah, mie kering, dan mie instan
(Purwani et al. 2006a).
Mie dapat diklasifikasikan berdasarkan 2 kategori, yaitu berdasarkan
bahan baku dan proses pengolahannya.
(a) Mie berdasarkan bahan baku
Berdasarkan bahan bakunya, mie dapat dibagi menjadi 2 jenis mie,
yaitu mie terigu dan mie non-terigu. Mie terigu yaitu mie yang
bahan baku utamanya menggunakan terigu atau campuran dengan
tepung yang lain (buckwheat flour). Yang termasuk mie terigu tersebut, yaitu mie
Jepang dan Cina. Mie Jepang yaitu udon biasanya berwarna putih dan memiliki
tekstur yang lebih lunak. Mie ini terbuat dari tepung terigu soft dan medium yang
memiliki kandungan protein 8-10%, kadar abu 0,33-0,45%, air, dan garam. Mie
Cina biasanya berwarna kuning dan memiliki tekstur yang keras. Tepung terigu
yang digunakan untuk membuat mie ini biasanya tepung terigu jenis hard.
Tepung terigu jenis hard memiliki kandungan protein 10,5-12,0% dan kadar abu
0,33-0,38% (Virtucio 2004).
14
Ada jenis lain yang tergolong mie terigu yaitu soba. Mie jenis ini memiliki
warna coklat muda atau abu-abu dengan rasa dan flavour yang unik. Mie tersebut
merupakan campuran tepung terigu dan buckwheat flour, dengan berbagai variasi
sesuai dengan produk yang diinginkan. Kelebihan dari buckwheat flour, yaitu
memiliki nutrisi yang sangat baik, daya cerna tinggi, kandungan lisin dan lesitin
tinggi, serta kadar mineral tinggi (Virtucio 2004). Di benua Eropa terdapat jenis
mie yang biasa disebut dengan pasta. Pasta berbentuk helaian dikenal dengan
nama spaghetti, fettucine dan vermicelli. Perbedaan antara pasta dengan mie
terigu antara lain pasta terbuat dari durum (Triticum durum), tepung semolina, dan
air sedangkan mie terigu terbuat dari tepung gandum (Triticum aestivum), air, dan
alkali (Kruger et al. 1996). Menurut Fabriani dan Lintas (1988) terdapat
perbedaan karakteristik mie terigu dan pasta, yaitu mie terigu terbuat dari tepung
gandum yang berwarna putih dan biji yang keras sedangkan pasta pasta terbuat
dari durum yang berwarna kuning, bukan putih dan memiliki biji yang lebih keras.
Mie non-terigu terkadang disebut dengan mie berbasis pati.
Yang tergolong mie non-terigu antara lain bihun dan soun. Terdapat perbedaan
karakteristik bihun dan soun. Bihun merupakan makanan yang terbuat dari tepung
beras, berwarna putih kusam, tekstur agak kesat, helai bihun yang masih kering
sangat rapuh (mudah patah) dan cara melunakkan bihun adalah diseduh dengan
air mendidih selama 20 menit. Bihun atau mihun merupakan masalah satu jenis
makanan dari Tiongkok, bentuknya seperti mie namun lebih tipis. Dalam bahasa
Inggris disebut rice vermicelli atau rice noodles atau rice sticks. Bihun berasal
dari bahasa Tionghoa, yaitu “Bi” artinya beras dan “hun” artinya tepung. Bahan
baku bihun adalah tepung beras. Soun adalah mie halus yang terbuat dari
pati. Bahan baku adalah pati kacang hijau, umbi (kentang, ubijalar, tapioka),
sagu, aren, dan midro (ganyong) di Korea disebut dangmyun atau tangmyon)
(Virtucio 2004). Soun memiliki warna putih bening, teksturnya licin, helai soun
yang masih kering sangat kuat dan liat. Cara melunakkan soun adalah diseduh
dengan air mendidih selama 10 menit. Mie non-terigu yang lain adalah mie sagu,
yang terbuat dari pati sagu.
15
(b) Mie berdasarkan proses pengolahannya
Berdasarkan proses pengolahannya, mie yang dipasarkan terdiri dari mie
mentah (Raw Chinese Noodles), mie basah (Boiled Noodle), mie kering (Steamed
and Dried Noodles), dan mie instan (Steamed and Fried Noodle/instant noodle)
(Haryanto dan Pangloli 1992). Proses pembuatan mie yaitu semua bahan
dicampur dan diaduk dalam mixer sampai terbentuk adonan seperti dalam
pembuatan roti. Adonan ditekan sampai permukaan halus. Adonan digiling
membentuk lembaran, kemudian dilipat dua kali dan digiling kembali. Proses ini
dilakukan beberapa kali sampai permukaan lembaran adonan menjadi halus dan
tidak kelihatan bintik-bintik tepung atau aci. Lembaran adonan didiamkan selama
kurang lebih 15 menit supaya semua bahan tercampur secara sempurna, kemudian
diroll sampai mencapai ketebalan kurang lebih 0,5 mm. Jenis mie yang dihasilkan
pada proses ini adalah mie mentah (raw noodle) (Haryanto dan Pangloli 1992).
Mie mentah yang diperoleh dapat diproses lebih lanjut untuk
menghasilkan jenis atau bentuk-bentuk mie lainnya. Untuk memproduksi mie
basah, mie mentah dibiarkan kurang lebih 30 menit kemudian direbus dalam air
mendidih selama kurang lebih 5 menit. Mie yang dihasilkan dicuci dengan
air dingin sampai semua pati yang tidak tergelatinisasi terbuang, setelah itu
ditiriskan, dan diolesi minyak goreng supaya lembaran-lembaran mie tidak
lengket (Haryanto dan Pangloli 1992).
Proses pengolahan mie kering (Steam and Dried Noodle) hampir sama
dengan pengolahan mie instan. Untuk menghasilkan mie kering, mie mentah yang
telah didiamkan selama kurang lebih 30 menit dikukus kemudian dikeringkan
pada suhu kurang lebih 40 oC, sedangkan untuk mie instan setelah proses
pengukusan (steam) dilanjutkan dengan proses penggorengan (fried) (Haryanto
dan Pangloli 1992).
Mie yang beredar di pasaran adalah mie kering dengan bahan baku
utamanya adalah tepung terigu. Komposisi kimia hasil karakterisasi dari mie
adalah kadar protein 39,61%, kadar air 3,44%, kadar abu 1,6%, dan kadar vitamin
A 0,014 mg (Nasution 2005).
Produk sumber karbohidrat memiliki indeks glikemik yang berbeda dapat
dilihat pada Tabel 1. Indeks glikemik (IG) adalah tingkatan pangan menurut
16
efeknya terhadap gula darah. Pangan yang menaikkan kadar gula darah dengan
cepat memiliki IG tinggi. Sebaliknya, pangan yang menaikkan kadar gula darah
dengan lambat memiliki IG rendah. Indeks glikemik bahan pangan dipengaruhi
oleh kadar amilosa, protein, lemak, serat, dan daya cerna pati. Daya cerna pati
merupakan kemampuan pati untuk dapat dicerna dan diserap dalam tubuh.
Karbohidrat yang lambat diserap menghasilkan kadar glukosa darah yang rendah
dan berpotensi mengendalikan kadar glukosa darah (Rimbawan dan Siagian
2004). IG dikategorikan tinggi jika memiliki nilai 70 atau lebih, sedang antara
56-69 dan rendah jika nilainya 55 ke bawah (Miller et al. 1997). Beberapa produk
sumber karbohidrat memiliki nilai indeks glikemik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Nilai indeks glikemik beberapa produk sumber karbohidrat
Produk Nilai indeks glikemik Golongan IG
Mie kacang hijau* 26 Rendah
Mie sagu* 28 Rendah
Gandum* 30 Rendah
Mie instan (dari gandum)* 47 Rendah
Semolina* 55 Sedang
Mie jagung varietas Srikandi putih* 57 Sedang
Jagung* 59 Sedang
Spaghetti (dari semolina)* 59 Sedang
Mie atau pasta beras* 61 Sedang
Tepung jagung* 68 Sedang
Beras* 69 Sedang
Jagung pipil merah kukus** 79,36 Tinggi
Nasi (Beras BMW Cianjur)** 81,7 Tinggi
Sumber : * Rimbawan dan Siagian (2004)** Yuliani et al. 2011
2.5 Mie Sagu
Mie sagu adalah produk mie yang terbuat dari tepung sagu. Jenis mie
tersebut ditemukan di Maluku dan Papua dikenal dengan mie sadap atau mie sagu,
selain itu juga banyak ditemukan di Bogor, Cianjur dan Sukabumi yang dikenal
dengan nama mie glosor. Mie sagu memiliki harga yang lebih murah bila
17
dibandingkan dengan mie yang terbuat dari tepung terigu. Bila dilihat secara
sekilas, penampakan mie ini tidak berbeda jauh dengan mie terigu, namun bila
dilihat lebih seksama mie ini memiliki warna yang lebih mengkilap dan keras.
Hasil pengolahan dari mie sagu memiliki tekstur yang lebih kenyal tetapi tidak
elastis dan licin ketika dimakan. Oleh karena itu masyarakat menyebutnya mie
glosor (Hendrasari 2000).
Mie berbasis pati sangat berbeda dengan mie dari bahan terigu. Kekhasan
mie berbasis pati adalah adonan terbuat dari campuran “binder” (pati
tergelatinisasi) dengan pati mentah (native). Binder berfungsi sebagai pengikat
seperti halnya gluten pada terigu sehingga dapat dibentuk adonan yang mudah
ditangani (Purwani et al. 2004). Menurut Hendrasari (2000), mie sagu memiliki
sifat yang berbeda bila dibandingkan dengan mie yang terbuat dari terigu, yaitu
memiliki tekstur yang lebih kenyal namun tidak elastis dan licin waktu di makan.
Kandungan karbohidrat mie sagu sangat tinggi, tetapi sangat rendah kadar protein,
lemak, dan zat gizi lainnya.
Munarso (2004) mengemukakan bahwa pati resisten memiliki peran
penting bagi kesehatan saluran pencernaan. Pati resisten dapat memperbaiki
kesehatan kolon dengan cara mendorong perkembangan sel-sel sehat yang kuat.
Pati resisten memiliki manfaat prebiotik, yaitu menstimulasi pertumbuhan dan
aktivitas bakteri menguntungkan (bifidobacteria), serta menurunkan konsentrasi
bakteri patogen (Escherichia coli dan Clostridia). Penambahan pati resisten dapat
menurunkan ketersediaan karbohidrat tercerna, yang hasilnya adalah tingkat
respon glikemik yang rendah. Pemanfaatan pati resisten dapat diarahkan pada
pengembangan pangan untuk penderita diabetes maupun untuk mereka yang
melakukan diet.
Mie sagu biasanya berwarna kuning, kuning kemerahan, coklat kemerahan,
atau putih. Ketika dimakan terasa kenyal dan licin. Mie yang baik ketika dimasak,
yaitu tampak transparan, tidak mudah putus, dan tidak mengakibatkan air
perebusannya keruh. Hal ini menandakan bahwa tidak banyak padatan mie yang
terlepas atau padatan yang hilang relatif kecil (Purwani et al. 2006c).
Mie sagu dapat diolah sesuai selera. Mie sagu merupakan sumber
karbohidrat yang tidak dapat dikonsumsi sebagai produk tunggal, melainkan harus
18
dikonsumsi dengan bahan pangan lain untuk mendapatkan tambahan zat gizi yang
memadai (Purwani et al. 2006b). Mie sagu memiliki komposisi kimia dengan
karakteristik dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik mie sagu dari Palopo dan BBPP Pertanian Bogor
Karakteristik Mie Sagu Palopo SulawesiSelatan
Mie Sagu BBPPPertanian Bogor
Rendemen (%) 347,7 315,5Kekerasan (gf) 35,5 49,8Kehilangan akibatpemanasan(%)
4,00 2,3
Air (%) 75,89 71,95Protein (%) 0,80 0,70Lemak (%) 5,84 6,63Abu (%) 1,73 1,76
Sumber : Purwani et al. (2006b)
2.6 Interaksi Karbohidrat dan Protein
Sistem makanan selalu mengandung campuran heterogen protein dan
polisakarida yang berbeda sifat alami kimia, modifikasi, rantai dasar, ukuran,
bentuk molekul, tingkatan hidrolisis, denaturasi, disosiasi dan agregasi. Interaksi
protein dengan polisakarida, beragam protein satu sama lain, dan dengan air akan
mengatur kelarutan dan co-solubility biopolimer, kemampuan untuk membentuk
larutan dan gel kental, viskoelastis dan sifatnya di permukaan (Damodaran
dan Paraf 1997).
Menurut Oakenfull et al. (1997) jika protein dan polisakarida berinteraksi
dapat menghasilkan tiga kemungkinan, yaitu:
1) Co-solubility, bila terjadi interaksi yang bersifat tidak nyata karena kedua
molekul primer memiliki eksistensi sendiri-sendiri.
2) Incompatibility, bila kedua tipe polimer saling menolak sehingga
menyebabkan keduanya berada pada fase terpisah.
3) Complexing, yaitu kedua polimer saling berikatan yang menyebabkan
membentuk fase tunggal atau endapan.
Sifat sistem polimer yang bercampur telah dipelajari secara luas, bila satu
atau kedua polimer memiliki kekuatan membentuk gel akan memiliki potensi
untuk menciptakan produk dengan beragam tekstur. Ziegler dan Foegeding (1990)
menyatakan bahwa tipe jaringan gel dapat terbentuk dengan dua bahan pembentuk
19
gel yang berbeda. Bila proses pencampuran adalah eksotermik, dan interaksi tarik
menarik maka dapat mengarah pada susunan komplek larut atau tidak larut.
Menurut Hurrel (1980), protein merupakan komponen yang paling aktif
dari kebanyakan bahan pangan. Protein dapat bereaksi dengan gula pereduksi,
lemak, dan zat-zat hasil oksidasi. Hal ini dapat menyebabkan turunnya nilai gizi,
munculnya flavor yang tidak diinginkan, reaksi browning, dan timbulnya zat
toksik. Kemampuan protein untuk mengikat komponen pangan lain penting untuk
formulasi makanan. Ikatan ini menyebabkan gaya adhesi, pembentukan serat dan
film, serta peningkatan viskositas. Sifat fungsional protein dapat didefinisikan
sebagai sifat-sifat fisiko-kimia di luar sifat nutrisi yang memungkinkan protein
menyumbang karakteristik tertentu pada suatu makanan (Cheftel et al. 1985).
Menurut Philips dan Beuchat (1981) protein dapat berinteraksi dengan komponen
lain di dalam sistem pangan yang kompleks selama persiapan, pengolahan,
penyimpanan, dan konsumsi.
Karbohidrat secara alami dapat berinteraksi dengan protein. Menurut
Farnum et al. (1976), interaksi antara protein dan karbohidrat dapat terjadi karena
adanya pembentukkan ikatan ionik dan hidrogen di dalam struktur film,
sedangkan Samanth et al. (1993) menjelaskan bahwa interaksi polisakarida
dengan protein dapat terjadi karena pembentukan kompleks elektrostatik, antara
lain polisakarida anionik, CMC, pH 6 dengan mioglobin, dan Bovine Serum
Albumin (BSA). pH mioglobin biasanya bermuatan positif sedangkan BSA
bermuatan negatif. Ketergantungan muatan ini memerlukan adanya keterlibatan
grup karboksilat dari polisakarida dan residu asam amino yang bermuatan positif
seperti έ-amino, α-amino, guanidium, dan imidizol. Kekuatan interaksi
yang sebenarnya sangat tergantung pada jumlah dan distribusi sisi-sisi
tersebut. Proses denaturasi akibat pemanasan atau penambahan alkali dapat
menyebabkan jumlah sisi-sisi meningkat, karena terbebaskan dari strukturnya
yang dapat memaksimalkan interaksi dan menghasilkan kompleks yang stabil
(Imeson et al. 1977).
Protein bisa membentuk ikatan silang dengan molekul lain, misalnya
melalui ikatan kovalen dengan karbohidrat membentuk glikoprotein. Protein dapat
meningkatkan kemampuan gelasi karena memiliki molekul yang besar sehingga
20
mempermudah pembentukan ikatan silang dan juga memiliki nilai gizi yang baik.
Sifat-sifat protein yang penting dalam pembentukan gel adalah fleksibilitas, yaitu
kemampuan protein untuk terdenaturasi dan membentuk jaringan dengan ikatan
silang (Oakenfull et al. 1997).
Protein juga dipengaruhi oleh komponen-komponen kandungan karbohidrat
dan lemak. Hal ini disebabkan karena protein dapat berikatan dengan
molekul-molekul tersebut. Kemampuan ekstraksi protein dipengaruhi oleh faktor
ukuran partikel tepung, umur tepung, perlakuan panas sebelumnya, rasio
pelarutan, suhu, pH, dan kekuatan ion dari medium pengekstrak (Kinsella 1979).
21
3. METODE PENELITIAN
3.1.Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 hingga bulan
Maret 2012. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium yaitu Laboratorium
Pengolahan LIPI Ambon untuk preparasi sampel dan pengukusan ikan,
Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan untuk pengepresan
daging ikan, Laboratorium Kimia Terpadu Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi IPB untuk pembuatan tepung ikan, analisis cooking time, cooking losses dan
karakteristik kimia, Laboratorium Organoleptik Departemen Teknologi Hasil
Perairan untuk uji organoleptik, Laboratorium Teknologi Industri Agro dan
Biomedika PUSPITEK Serpong untuk pembuatan mie sagu, Laboratorium
Pengolahan Pangan IPB untuk pengujian warna dan elastisitas mie sagu, dan
laboratorium Zoologi LIPI Cibinong untuk analisa mikrostruktur mie sagu (SEM).
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu
bahan untuk pembuatan tepung ikan, bahan untuk pembuatan mie sagu dan bahan
untuk analisis. Bahan baku untuk pembuatan tepung ikan adalah ikan cakalang.
Bahan baku ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) berasal dari Desa Latuhalat Kota
Ambon-Maluku. Bahan pendukung yang digunakan untuk pembuatan tepung ikan
meliputi air, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%, sedangkan bahan yang
digunakan untuk karakterisasi tepung ikan adalah pelarut lemak berupa N-heksan,
selenium, H2SO4 pekat, NaOH, akuades, H3BO3, HCl, dan indikator Brom Cresol
Green-Methyl Red berwarna merah muda. Pada tahap pembuatan mie sagu, bahan
yang digunakan adalah tepung sagu, tepung ikan, air, dan garam. Bahan yang
digunakan untuk analisis karakteristik mie sagu terdiri dari analisis organoleptik
adalah score sheet dan sampel mie sagu. Bahan untuk analisis fisik adalah air,
akuades, dan sampel mie sagu. Bahan untuk analisis kimia adalah selenium,
H2SO4 pekat, akuades, NaOH, H3BO3, HCl, indikator Brom Cresol Green-Methyl
Red berwarna merah muda dan pelarut lemak berupa N-heksan. Spesifikasi
bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian adalah “merck”.
22
3.2.2 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini juga terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu alat yang digunakan untuk pembuatan tepung ikan, pembuatan
mie sagu dan alat untuk analisis karakteristik mie sagu. Alat-alat yang digunakan
dalam proses pembuatan dan karakterisasi tepung ikan adalah timbangan digital
(Fisher scientific), alat press (Press-Tokyo Jepang), dan oven (Heraeus
instrument), cawan porselen (Duran), desikator (csn simax), tanur (Furnace
thermolyne), labu soxhlet (Kimax), labu kjeldahl (Duran dan Pyrex), dan labu
erlenmeyer (Pyrex). Pembuatan mie sagu menggunakan alat-alat antara lain
adalah ekstruder (power 2 pk screw bertingkat), timbangan digital (Fisher
scientific), sedangkan untuk karakteristik mie sagu alat yang digunakan adalah
chromameter minolta (tipe CR 200, Jepang), hot plate (Cimarec 3), gelas arloji,
cawan petri (Pyrex), oven (Heraeus instrument), desikator (csn simax), timbangan
digital (Fisher scientific), texture analyzer TAXT2 (kec 3 mm/det dan force 100
g), scanning electron microscope (SEM) JFC-1100, cawan porselen (Duran), oven
(Heraeus instrument), tanur (Furnace thermolyne), labu soxhlet (Kimax), kertas
saring, labu kjeldahl (Duran dan Pyrex) dan labu erlenmeyer (Pyrex).
3.3 Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama.
Penelitian pendahuluan adalah pembuatan tepung ikan dan analisis karakteristik
fisiko-kimia tepung ikan yang dihasilkan. Penelitian utama adalah pembuatan mie
sagu dengan penambahan tepung ikan terbaik yang dihasilkan pada penelitian
pendahuluan dilanjutkan analisis karakteristik organoleptik, fisiko-kimia dan
mikrostruktur mie sagu.
3.3.1 Penelitian Pendahuluan
Pembuatan tepung ikan cakalang dilakukan mengacu pada penelitian
Amirullah (2008) yang telah dimodifikasi. Perlakuan yang diberikan dalam
pembuatan tepung ikan adalah metode perendaman air, asam asetat 3%, natrium
bikarbonat 0,8% dengan lama perendaman masing-masing 2, 4, dan 6 jam.
Tepung ikan yang dihasilkan akan dikarakterisasi terlebih dahulu untuk
23
Ikan cakalang
mengetahui rendemen, kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak.
Pada tahap ini akan diperoleh tepung ikan terbaik dengan kadar protein tertinggi
dan kadar lemak rendah yang akan digunakan dalam proses pembuatan mie sagu.
Diagram alir prosedur pembuatan tepung ikan dapat dilihat pada Gambar 2.
Keterangan : *bagian yang dimodifikasi
Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung ikan cakalang (Modifikasi Amirullah2008).
Pencucian dan penyiangan
Pemfilletan (7 x 5 x 1 cm3)*
Perendaman dengan air, asam asetat 3%;natrium bikarbonat 0,8% (faktor A) dan lama
perendaman 2, 4, dan 6 jam (faktor B), denganperbandingan 2 : 1 *
Pengukusan10 menit, 80 oC
Pengepresan 10 menit
Pengeringan pada suhu 50 oC, 5 jam
Penepungan 60 mesh
Tepung ikan terbaik
Tepung ikan
Analisis rendemen dan proksimatair, abu, protein, dan lemak
24
3.3.2 Penelitian Utama
Pembuatan mie sagu dilakukan mengacu pada metode CV Putra Santoso
(2010) yang telah dimodifikasi. Perlakuan yang diberikan dalam pembuatan mie
sagu adalah penambahan tepung ikan dengan konsentrasi 0%, 2%, 4%, 6%, dan
8%. Untaian mie sagu yang utuh dibandingkan dengan SNI 01-3551-2000 tentang
Mie Instan (Lampiran 1). Diagram alir prosedur pembuatan mie sagu dapat dilihat
pada Gambar 3.
Keterangan : *bagian yang dimodifikasi
Gambar 3 Diagram alir pembuatan mie sagu (Modifikasi CV Putra Santoso 2010).
Parameter yang diamati pada penelitian utama adalah analisis organoleptik
uji skoring dan uji perbandingan pasangan, dimana sampel mie sagu disajikan
dalam bentuk mie basah dan diberi kode sesuai dengan konsentrasi tepung ikan.
Penilaian uji skoring dan perbandingan pasangan dilakukan oleh 20 orang panelis
Tepung sagu 100% + konsentrasi tepungikan 0%, 2%, 4%, 6%, dan 8% *
Mie Sagu
Pencampuran air 25% dangaram 2% kemudian diaduk
Adonan dicampurdengan mixer 15 menit
Pragelatinasi pati 30 menit
Pembentukan untaianmie dengan ekstruder
Pengeringan suhu ruang 10 menit
Analisis organoleptik : ujiskoring (tekstur, warna,aroma, rasa) dan ujiperbandingan pasangan
Analisis fisik :warna, cooking
time, cooking lossesdan elastisitas
Analisis kimia :protein, lemak,
abu, dan air, sertakarbohidrat
Analisismikrostruktur
(SEM)
25
semi terlatih meliputi tekstur, warna, aroma, dan rasa. Analisis fisik yaitu warna,
cooking time, cooking losses, dan elastisitas mie. Analisis kimia terdiri dari kadar
air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak serta kadar karbohidrat (by
difference). Analisis mikrostruktur mie sagu menggunakan Scanning Electron
Microscope (SEM).
3.4 Prosedur Analisis
3.4.1 Analisis organoleptik
Analisis organoleptik mie sagu dalam penelitian ini menggunakan uji
skoring dan uji perbandingan pasangan. Uji skoring berfungsi untuk menilai suatu
sifat organoleptik yang spesifik, sedangkan uji perbandingan pasangan digunakan
untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan mie sagu hasil formulasi
dibandingkan dengan produk komersial.
(1) Uji skoring (Soekarto dan Hubeis 2000)
Uji skoring adalah uji yang digunakan untuk menentukan karakteristik mutu
sensorik. Pelaksanaan uji adalah mie sagu disediakan dalam bentuk basah dan
diberi kode sesuai dengan perlakuannya, selanjutnya panelis diminta untuk
memberikan penilaian. Penilaian dilakukan oleh 20 orang panelis semi terlatih
meliputi tekstur, bau, rasa, dan warna dengan nilai berkisar antara 1 sampai 7
(sangat kurang sampai sangat lebih). Formulir uji peringkat produk mie sagu
dapat dilihat pada Lampiran 2.
(2) Uji perbandingan pasangan (Soekarto dan Hubeis 2000)
Uji perbandingan pasangan adalah uji yang digunakan untuk menentukan
kelebihan suatu produk dibandingkan dengan produk contoh lainnya. Mie sagu
yang terpilih adalah mie sagu yang paling tinggi nilai berdasarkan uji skoring,
kemudian dilakukan uji perbandingan pasangan dengan mie sagu komersial yang
diproduksi oleh CV Putra Santoso. Parameter yang diuji meliputi tekstur, warna,
aroma, dan rasa dengan skala -3 sampai +3 (sangat lebih buruk sampai sangat
lebih baik). Formulir uji mie sagu terpilih dengan mie sagu komersial dapat dilihat
pada Lampiran 3.
26
3.4.2 Analisis Fisik
(1) Rendemen
Rendemen merupakan hasil akhir yang dihitung berdasarkan proses input
dan output. Rendemen dihitung berdasarkan berat basah dengan rumus
sebagai berikut :
Rendemen (%) =( )( ) x 100%
(2) Waktu tanak (cooking time) (Collado et al. 2001)
Air sebanyak 200 ml dipanaskan sampai mendidih, kemudian 5 gram mie
yang telah dipotong sepanjang 3 cm, dimasukkan ke dalam air mendidih tersebut.
Setiap 30 detik helaian mie diletakkan diantara dua gelas arloji kemudian ditekan.
Waktu tanak optimum diperoleh pada saat seluruh bagian mie menyerap air
dengan sempurna atau pada saat tidak terbentuk titik putih ketika mie ditekan
dengan gelas arloji. Waktu dicatat mulai dari perebusan mie sagu sampai matang.
(3) Cooking losses (Collado et al. 2001)
Cooking losses adalah kehilangan padatan akibat pemasakan. Sebanyak
5 gram sampel direbus dalam 50 ml akuades mendidih. Setelah mencapai waktu
tanak optimum, mie ditiriskan dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah
diketahui bobotnya kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 100 oC sampai
beratnya konstan lalu ditimbang. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)
dihitung berdasarkan rumus :
KPAP (%) = x 100%
(4) Elastisitas mie (Chen et al. 2002)
Elastisitas diukur menggunakan alat texture analyzer TAXT2, dengan
kecepatan 3 mm/det dan force 100 g. Sehelai sampel yang telah direhidrasi
dikaitkan sedemikian rupa pada kedua ujung probe, kemudian sampel ditarik oleh
probe yang di atas sampai putus. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan
hubungan antara kekuatan dan waktu. Titik puncak kekuatan positif menunjukkan
nilai elastisitas (gf).
(5) Warna (Gaurav 2003)
Pengujian warna dilakukan dengan menggunakan chromameter Minolta
(tipe CR 200, Jepang). Chromameter terlebih dahulu dikalibrasi dengan standar
27
warna putih yang terdapat pada alat tersebut. Sejumlah sampel ditempatkan pada
wadah yang datar. Pengukuran menghasilkan nilai L, a dan b. L menyatakan
parameter kecerahan (warna akromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Warna
kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+ = 0-100 untuk warna
merah, a- = 0-(-80) untuk warna hijau. Warna kromatik campuran biru kuning
ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70 untuk warna kuning, b- = 0-(-70) untuk
warna biru. Pengukuran warna didasarkan pada indeks keputihan dengan
menggunaan persamaan :
W (%) = 100 – (100 − ) + +Keterangan : W = derajat keputihan
L = kecerahana = warna merah jika bertanda + dan hijau jika bertanda –b = warna kuning jika bertanda + dan biru jika bertanda –
3.4.3 Analisis Kimia
(1) Kadar protein kasar (AOAC 1980)
Sebanyak 0,25 gram sampel dimasukkan dalam labu kjeldahl 100 ml dan
ditambahkan selenium 0,25 gram dan 3 ml H2SO4 pekat. Proses destruksi
(pemanasan dalam keadaan mendidih) dilakukan selama 1 jam, sampai larutan
jernih. Setelah dingin ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%
kemudian didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi
campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Brom Cresol Green-Methyl Red
berwarna merah muda. Destilasi dihentikan setelah volume hasil tampungan
(destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan. Hasil destilasi dititrasi
dengan HCl 0,1N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan
juga terhadap blanko. Kadar nitrogen total dihitung dengan rumus :
N (%) =( )
x 100%
Keterangan:S = Volume titran sampel (ml)B = Volume titran blanko (ml)W = Bobot sampel kering (mg)
Kadar Protein (%) = % Nitrogen x faktor konversi
28
(2) Kadar lemak (AOAC 1980)
Sebanyak 2 gram sampel disebarkan di atas kapas kemudian dibungkus
dengan kertas saring, dan dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Sampel diekstraksi
selama 6 jam dengan pelarut lemak berupa heksan sebanyak 150 ml. Lemak yang
terekstrak dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 1 jam. Kadar lemak
dihitung dengan rumus :
Kadar lemak (%) = x 100%
(3) Kadar abu (AOAC 1980)
Sebanyak 1 gram sampel ditempatkan dalam cawan porselen kemudian
dibakar. Cawan dimasukkan ke dalam tanur dan diabukan sampai beratnya
konstan. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama suhu 100 oC
dan dilanjutkan pada suhu 600 oC dalam tanur. Cawan didinginkan dalam
desikator kemudian di timbang. Kadar abu dihitung dengan rumus :
Kadar abu (%) = x 100%
(4) Kadar air (AOAC 1980)
Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam
dan didinginkan dalam desikator ±15 menit kemudian ditimbang. Sebanyak 1
gram sampel dimasukkan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven
dengan suhu 105 oC selama 8 jam sampai beratnya konstan. Cawan dimasukkan
ke dalam desikator sampai dingin dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan
rumus :
Kadar air (%) =( )
x 100%
(5) Kadar karbohidrat
Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode carbohidrat by difference
yaitu : 100% - (kadar air + abu + protein + lemak).
3.4.4 Analisis Mikrostruktur menggunakan Scanning Electron Microscope(SEM) (Toya et al. 1986)
Struktur mikroskopis mie sagu diamati menggunakan scanning electron
microscope (SEM). Sampel ditaburkan pada specimen holder yang dilapisi double
29
sticky tape, kemudian dibersihkan dengan hand blower untuk menghilangkan
debu-debu pengotor. Sampel yang telah menempel pada double sticky tape
kemudian dilapisi emas-pladium setebal 400 Ǻ dengan menggunakan mesin ion
Sputter JFC-1100. Coating tersebut dimaksudkan agar benda uji yang akan
dilakukan pemotretan menjadi penghantar listrik. Sampel yang telah dilapisi
emas-pladium selanjutnya dimasukkan ke dalam specimen chamber pada mesin
SEM untuk dilakukan pemotretan pada perbesaran 150x untuk butiran dan 500x
untuk penampang dalam. Sumber elektron dipancarkan menuju sampel untuk
memindai permukaan sampel, kemudian emas sebagai konduktor akan
memantulkan elektron ke detektor pada mikroskop SEM. Hasil pemindaian akan
diteruskan ke detektor menuju monitor. Hasil yang diperoleh berupa gambar tiga
dimensi permukaan butiran mie sagu.
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data (Steel dan Torrie 1993)
Penelitian pendahuluan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)
faktorial dengan dua faktor. Faktor A adalah perendaman fillet ikan cakalang
dalam air, asam asetat 3%, dan natrium bikarbonat 0,8% sedangkan faktor B
adalah lama perendaman 2, 4, dan 6 jam. Masing-masing perlakuan diulang
sebanyak dua kali. Model matematika rancangan acak lengkap (RAL) faktorial
dapat dirumuskan sebagai berikut :
Yijk = µ+ A1 + B1 + (AB)ij + Єijk
Keterangan :
Yijk = Nilai pengamatan dari faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j danulangan ke-k
µ = Nilai tengah umumAi = Pengaruh utama faktor A (metode perendaman) pada taraf ke-i, (i=1,2,3)Bj = Pengaruh utama faktor B (lama perendaman) pada taraf ke-j, (j=1,2,3)(AB)ij = Komponen interaksi faktor A dan faktor B masing-masing pada taraf
ke-i dan ke-jЄijk = Pengaruh galat percobaan dari faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan
ulangan ke-k
Penelitian utama menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor yaitu
penambahan tepung ikan dengan lima taraf (0%, 2%, 4%, 6%, dan 8%) dan
masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua kali. Model matematika
rancangan acak lengkap satu faktor adalah sebagai berikut:
30
Yij = µ + Ai + εij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan taraf ke-i pada ulangan ke-jµ = Nilai tengah umumAi = Pengaruh perlakuan ke-i, (i= 0%, 2%, 4%, 6%, dan 8%)εij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam untuk mengetahui
adanya pengaruh atau tidak dari masing-masing perlakuan. Apabila ada pengaruh,
maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) untuk melihat perbedaan
dari masing-masing perlakuan.
Data organoleptik diolah menggunakan uji statistik nonparametrik Kruskal
Wallis (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Uji Kruskal Wallis ini bertujuan untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan dalam
ranking. Statistik uji yang digunakan adalah :
H = ( ) + ∑ − 3( + 1)H1 =
Pembagi = 1-∑( )( ) dengan T = (t-1)(t+1)
Keterangan :
n = jumlah data totalni = banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-1Ri
2 = jumlah peringkat dari perlakuan ke-iT = banyaknya pengamatan seri dalam kelompokH = simpangan bakuH1 = H terkoreksit = banyaknya pengamatan seri
31
Apabila data hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan beda nyata, maka
dilanjutkan dengan uji multiple comparison untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan. Uji lanjut multiple comparison dapat dirumuskan sebagai berikut :
| − |> < 2 ( )Keterangan :Ri = rata-rata ranking perlakuan ke-iRj = rata-rata ranking perlakuan ke-jk = banyaknya ulangann = jumlah data total
32
33
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan terdiri dari dua tahap yaitu pengujian kimia pati
sagu (Metroxylon sp.) dan tepung ikan cakalang tanpa proses deffating yang
meliputi kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. Penelitian pendahuluan
tahap kedua adalah pembuatan tepung ikan cakalang dengan perlakuan media
perendaman (air, asam asetat 3%, dan natrium bikarbonat 0,8%) dan lama
perendaman (2,4, dan 6 jam). Masing-masing tepung ikan cakalang dianalisis
yang meliputi rendemen, kadar air, abu, protein, dan lemak. Tepung ikan cakalang
dengan protein tinggi dan lemak rendah yang digunakan dalam formulasi
mie sagu.
4.1.1 Komposisi kimia pati sagu dan tepung ikan cakalang
Sagu telah dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan pokok rakyat
Maluku sejak ratusan tahun yang lalu, yaitu dikonsumsi dengan ikan, atau daging,
dan sayuran. Selain itu juga dalam bentuk makanan penyerta ataupun nyamikan
dengan berbagai ragam kue (bagea, bangket, sarut, sagu tumbuk dan sagu
mutiara). Pemanfaatan sagu sebagai sumber pangan juga dikembangkan seperti
dalam pembuatan roti, biskuit, kerupuk, mie, dan sohun (Lawalata 2004).
Ikan cakalang merupakan ikan pelagis yang memiliki protein dan
lemak yang tinggi. Spesies ini merupakan jenis ikan yang komersial dan memiliki
kandungan gizi yang tinggi. Hasil analisis komposisi pati sagu dan tepung ikan
cakalang tanpa proses deffating dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi kimia tepung ikan cakalang dan pati sagu
Kandungan Gizi Tepung ikancakalang*
Pati sagu Standar tepungikan ( Buckle et
al.1987)Air (%) 12,82 ± 0,20 16,08 ± 0,05 10,0
Abu (%) 2,65 ± 0,08 0,19 ± 0,01 -
Protein (%) 76,55 ± 0,57 0,27 ± 0,05 67,5
Lemak (%) 1,25 ± 0,35 0,13 ± 0,02 0,75
Karbohidrat (%) 6,74 ± 0,33 83,35 ± 0,11 -
*tanpa proses deffating (pengeluaran lemak)
34
Hasil analisis pati sagu menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat sangat
tinggi yaitu 83,35%; sedangkan kandungan terendah adalah lemak 0,13%; air
16,08%; abu 0,19% dan protein 0,27%. Kandungan karbohidrat yang tinggi pada
pati sagu disebabkan karena tepung sagu merupakan bahan pangan lokal sumber
karbohidrat yang berpotensi dikembangkan dalam upaya mendukung pelaksanaan
program diversifikasi pangan (Lawalata 2004). Hal ini berbeda dengan tepung
ikan cakalang yang memiliki kandungan protein tinggi 76,55%; sedangkan
kandungan terendah adalah lemak 1,25%; air 12,82%; abu 2,65% dan karbohidrat
6,74%. Tingginya kandungan protein menunjukkan bahwa ikan cakalang
merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai gizi protein yang tinggi.
Bentuk pati sagu dan tepung ikan cakalang tanpa proses deffating dapat dilihat
pada Gambar 4.
Gambar 4 Pati sagu (A); tepung ikan cakalang tanpa proses deffating (B).
Pati sagu yang selama ini dimanfaatkan dalam pembuatan mie sagu ternyata
memiliki kandungan protein yang cukup rendah, oleh karena itu untuk
meningkatkan kandungan gizi mie sagu maka perlu ditambahkan tepung ikan
cakalang, sehingga diharapkan kandungan protein pada tepung ikan cakalang
dapat meningkatkan nilai gizi mie sagu.
4.1.2 Karakteristik tepung ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Tahapan pembuatan tepung ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) terdiri dari
pencucian dan penyiangan, pemfiletan, perendaman ikan dalam air, asam asetat
3%, dan natrium bikarbonat 0,8% masing-masing selama 2, 4, dan 6 jam. Tahap
selanjutnya adalah pengukusan pada suhu 80 oC selama 10 menit kemudian
dilakukan pengepresan selama 10 menit, pengeringan di oven pada suhu 50 oC
selama 5 jam, dan penepungan dengan saringan 60 mesh. Bentuk tepung ikan
cakalang pada masing-masing kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5.
A B
35
Gambar 5 Tepung ikan cakalang proses perendaman air selama 2 jam (A1); airselama 4 jam (A2); air selama 6 jam (A3); asam asetat 3% selama 2jam (B1); asam asetat 3% selama 4 jam (B2); asam asetat 3% selama6 jam (B3); natrium bikarbonat 0,8% selama 2 jam (C1); natriumbikarbonat 0,8% selama 4 jam (C2) dan natrium bikarbonat 0,8%selama 6 jam (C3).
(1) Rendemen tepung ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Rendemen merupakan perbandingan antara produk akhir (tepung ikan
cakalang) dengan bahan baku (ikan cakalang). Rendemen dapat dijadikan sebagai
parameter yang sangat penting untuk mengetahui nilai ekonomis produk ikan
tersebut. Rendemen tepung ikan cakalang yang dihasilkan dengan perendaman
dalam media air, asam asetat dan natrium bikarbonat selama 2, 4, dan 6 jam
disajikan pada Gambar 6.
Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa rendemen tepung
ikan cakalang dipengaruhi secara nyata oleh penggunaan metode perendaman
A1
C3C2C1
B3B2B1
A3A2B
36
43,95 (a) 42,96 (a) 42,93 (a)40,06 (a) 41,91 (a) 41,85 (a)38,79 (b) 38,44 (b) 38,32 (b)
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
2 jam 4 jam 6 jam
Rend
emen
(%)
Lama perendaman
berbeda (p<0,05), sedangkan lama perendaman dan interaksi antara kedua faktor
tersebut tidak berpengaruh nyata (p>0,05).
Gambar 6 Histogram rerata rendemen tepung ikan cakalang setelah perlakuanperendaman air, asam asetat 3%, dan natrium bikarbonat0,8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b)menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada metode perendaman.
Gambar 4 menunjukkan bahwa perlakuan metode perendaman dengan
natrium bikarbonat 0,8% dan asam asetat 3% menghasilkan rendemen yang lebih
rendah dibandingkan dengan perendaman dalam air. Hal ini dikarenakan air tidak
banyak memecah protein dan lemak, sedangkan jenis asam dan alkali dapat
mengurangi atau meminimalkan lemak (Nolsoe dan Inggrid 2009). Menurut
Rawdkuen et al. (2009) pengurangan mioglobin dan lemak lebih mudah terjadi
dalam proses alkali atau asam dibandingkan proses konvensional (dalam air).
(2) Kadar air tepung ikan
Kadar air tepung ikan cakalang dipengaruhi secara nyata (p<0,05) oleh
kombinasi perlakuan metode perendaman dan lama perendaman (Lampiran 5).
Kadar air terendah dan tertinggi berturut-turut dihasilkan oleh kombinasi
perlakuan metode perendaman asam asetat 3% selama 2 jam sebesar 6,04% dan
metode perendaman air selama 2 jam sebesar 16,05% (Gambar 7).
37
16,05 (a)
11,33(b)
7,96(f)6,04(h)
10,78(c) 9,38(d)
6,89(g)8,79(e)
6,15(h)
0.002.004.006.008.00
10.0012.0014.0016.0018.00
2 jam 4 jam 6 jam
Kada
r air
(%)
Lama perendaman
Gambar 7 Histogram rerata kadar air tepung ikan cakalang setelah perlakuanperendaman air, asam asetat 3%, dan natrium bikarbonat0,8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c,d,e,f,g,h) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada faktor interaksimetode perendaman dan lama perendaman.
Kadar air terendah diperoleh pada perlakuan perendaman ikan dalam asam
asetat 3% selama 2 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam asetat 3%
sebagai media perendaman dapat menarik air keluar dari sel-sel jaringan ikan
sehingga dapat menurunkan kadar air. Menurut Wijaya (2001), perendaman
dengan asam asetat mengakibatkan banyaknya ikatan hidrogen yang terputus pada
kolagen sehingga ikatan antara asam amino penyusunnya semakin lemah. Hal ini
berpengaruh pada banyaknya air yang terjerat pada ikatan tersebut, dimana
kekuatan mengikat molekul air berkurang dan mengakibatkan kadar air menurun.
(3) Kadar abu tepung ikan
Kadar abu dikenal sebagai unsur mineral atau zat anorganik.
Abu merupakan salah satu komponen dalam bahan makanan. Komponen ini
terdiri dari mineral-mineral, yaitu kalium, fosfor, natrium, dan tembaga
(Winarno 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu tepung ikan
yang dihasilkan berkisar antara 1,96% hingga 2,89% (Gambar 8). Kadar abu
terendah dihasilkan oleh perlakuan asam asetat 3% dengan lama perendaman
4 jam, sedangkan kadar abu tertinggi merupakan hasil perendaman menggunakan
natrium bikarbonat 0,8% dengan lama perendaman 2 jam. Berdasarkan hasil
analisis ragam metode perendaman berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar
abu, sedangkan lama perendaman dan interaksi kedua faktor tersebut tidak
berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kadar abu yang dihasilkan (Lampiran 6).
38
2,54 (b)2,26 (b) 2,42 (b)
2,80 (b)1,96 (b) 2,38 (b)
2,89 (a) 2,78 (a) 2,64 (a)
0.000.501.001.502.002.503.003.50
2 jam 4 jam 6 jam
Kada
r Abu
(%)
Lama Perendaman
71,46 (e) 75,92 (cd) 74,16 (d)79,56 (b) 80,32 (b)
77,00 (cd)77,67 (c) 78,29 (c) 82,86 (a)
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
2 jam 4 jam 6 jam
Kada
r Pro
tein
Lama perendaman
Gambar 8 Histogram rerata kadar abu tepung ikan cakalang setelah perlakuanperendaman air, asam asetat 3%, dan natrium bikarbonat0,8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b)menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada metode perendaman.
(4) Kadar protein tepung ikan
Kadar protein pada tepung ikan cakalang dalam penelitian ini berkisar
antara 71,46% hingga 82,86% (Gambar 9). Berdasarkan analisis ragam, interaksi
antara metode perendaman dan lama perendaman berpengaruh nyata p<0,05
terhadap kadar protein tepung ikan (Lampiran 7).
Gambar 9 Histogram rerata kadar protein tepung ikan cakalang setelah perlakuanperendaman air, asam asetat 3%, dan natrium bikarbonat0,8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c,d)menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada faktor interaksi metodeperendaman dan lama perendaman.
Gambar 9 menunjukkan bahwa perlakuan metode perendaman natrium
bikarbonat 0,8% selama 6 jam mengakibatkan kadar protein tepung ikan lebih
tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Subatin (2004), yaitu
penggunaan natrium bikarbonat dapat meningkatkan kadar protein. Kadar protein
39
1,83 a 1,78 a1,95 a
1,24 b0,78 c
1,24 b
1,05 b 0,89 c
1,10 b
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
2 jam 4 jam 6 jam
Kada
r Lem
ak(%
)
Lama Perendaman
meningkat juga dipengaruhi oleh jumlah asam amino dalam bahan. Ikan cakalang
memiliki asam amino yang lengkap dan banyak, sehingga semakin banyak asam
amino akan meningkatkan kadar protein. Menurut Hawab (2003) nilai gizi protein
sangat tergantung pada asam-asam amino penyusunnya.
(5) Kadar lemak tepung ikan
Nilai kadar lemak tepung ikan tertinggi diperoleh dari perendaman air
dengan lama perendaman 6 jam yaitu 1,95%. Nilai kadar lemak tepung ikan
terendah adalah 0,78% yang merupakan hasil perendaman asam asetat 3% dengan
lama perendaman 4 jam (Gambar 10).
Gambar 10 Histogram rerata kadar lemak tepung ikan cakalang setelah perlakuanperendaman air, asam asetat 3%, dan natrium bikarbonat0,8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c)menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada faktor interaksi metodeperendaman dan lama perendaman.
Analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara metode perendaman
dan lama perendaman berpengaruh nyata (p<0,05) (Lampiran 8), terhadap kadar
lemak yang dihasilkan. Gambar 10 menunjukkan bahwa kadar lemak dengan
metode perendaman asam asetat 3% dengan lama perendaman 4 jam memiliki
kadar lemak terendah. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan
penelitian Susanto dan Nurhikmah (2008) sebesar 5,11%. Perbedaan kadar lemak
tersebut dipengaruhi oleh adanya penggunaan metode perendaman, dimana sifat
asam yang dapat memecah lemak. Nolsoe dan Ingrid (2009) menyatakan bahwa
penggunaan asam dan alkali dapat menghilangkan lemak atau meminimumkan
lemak. Penurunan kadar lemak sangat berpengaruh terhadap daya awet bahan,
apabila kadar lemak bahan tinggi maka akan mempercepat ketengikan akibat
terjadinya oksidasi lemak (Ketaren 2005).
40
Berdasarkan karakteristik fisik dan kimia tepung ikan cakalang, maka
tepung ikan terbaik adalah tepung ikan yang memiliki kadar protein tinggi dan
kadar lemak yang rendah. Kadar protein yang tinggi menunjukkan bahwa proses
deffating dapat digunakan untuk menghasilkan tepung ikan dengan nilai gizi
protein yang tinggi. Kadar lemak juga merupakan parameter penting yang
berkaitan erat dengan daya awet produk yang dihasilkan. Berdasarkan kedua
parameter tersebut, maka metode perendaman yang dapat menghasilkan tepung
ikan dengan spesifikasi terbaik adalah proses deffating menggunakan metode
perendaman natrium bikarbonat 0,8% dengan lama perendaman 6 jam.
Tepung ikan ini memiliki kandungan protein tertinggi 82,86% dan lemak rendah
1,10%. Tepung ikan terbaik yang dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai bahan
fortifikasi dalam produk mie sagu.
4.2 Penelitian Utama
Penelitian utama dilakukan dengan pembuatan mie sagu yang ditambahkan
tepung ikan cakalang terbaik dengan memiliki nilai protein yang tinggi dan lemak
rendah. Formulasi mie sagu yang dibuat dalam penelitian ini terdiri dari 5
formulasi yaitu: 0%; 2%; 4%; 6% dan 8%. Bentuk mie sagu dapat dilihat pada
Gambar 11.
Gambar 11 Mie sagu yang dihasilkan dengan konsentrasi tepung ikan 0% (A); 2%(B); 4% (C); 6% (D) dan 8% (E).
Mie sagu yang dihasilkan diuji dengan uji organoleptik skoring
untuk mendapatkan formulasi terbaik yang selanjutnya dilakukan uji
perbandingan pasangan dengan produk komersial (mie sagu) yang dijual di
ED
CBA
41
pasaran. Formulasi mie sagu kemudian dianalisis dengan analisis fisik, analisis
kimia, dan analisis mikrostruktur menggunakan Scanning Electron Microscope
(SEM).
4.2.1 Karakteristik organoleptik
Dalam uji organoleptik yang dilakukan terhadap mie sagu hasil formulasi
dengan penambahan tepung ikan cakalang meliputi uji skoring dan uji
perbandingan pasangan.
(1) Uji skoring
Soekarto dan Hubeis (2000) menyatakan bahwa uji organoleptik terhadap
suatu makanan adalah penilaian menggunakan alat indra yaitu indera penglihatan,
penciuman, pencicipan, dan peraba. Dalam melakukan suatu penilaian, panelis
dituntut menggunakan indera untuk menilai sehingga didapat suatu kesan
terhadap rangsangan. Tujuan pengenalan sifat organoleptik pangan ini adalah
mengenal beberapa sifat-sifat organoleptik beberapa produk. Uji ini dapat
dilakukan untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap suatu produk
yang dihasilkan.
(a) Tekstur
Tekstur merupakan komponen dan unsur struktur yang ditata dan digabung
menjadi mikro dan makro struktur dalam segi aliran deformasi. Penilaian
karakteristik tekstur dapat berupa kekerasan, elastisitas dan daya kohesif
(Sugiyono et al. 2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata panelis terhadap tekstur
berkisar antara 3,80-4,35 dengan skala agak kurang kenyal hingga kenyal.
Uji Kruskal Wallis (Lampiran 9) menunjukkan bahwa fortifikasi tepung
ikan cakalang tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tekstur mie sagu
(Gambar 12).
42
4,35 (a)4,10 (a) 4,05 (a) 3,85 (a) 3,80 (a)
1
2
3
4
5
6
7
A0 A2 A4 A6 A8
Teks
tur
Tingkat penambahan tepung
Gambar 12 Histogram rerata penilaian panelis terhadap tekstur mie sagu denganA0= kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang,A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4 = fortifikasi tepung ikancakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8=fortifikasi tepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti hurufsuperskrip sama (a) menunjukkan tidak nyata (p>0,05) padafortifikasi tepung ikan.
(b) Warna
Warna merupakan sifat sensori pertama yang dapat dilihat langsung oleh
panelis. Warna dalam bahan pangan mempunyai peranan yang sangat penting
dalam keterterimaan makanan. Suatu produk akan menarik minat konsumen
apabila warnanya menarik (Sumbaga 2006). Penentuan mutu bahan makanan
pada umumnya sangat tergantung pada warna. Suatu bahan makanan yang dinilai
bergizi tinggi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila
memiliki warna yang tidak sedap dipandang. Warna merupakan faktor yang ikut
menentukan mutu dan sebagai indikator keseragaman atau kematangan
(Achyadi dan Afiana 2004).
Dalam uji organoleptik, suatu produk pertama kali dinilai dengan mata,
yaitu dengan melihat warna yang dimiliki karena secara visual warna tampil
terlebih dahulu dalam penentuan produk makanan. Apabila suatu produk memiliki
warna yang kurang menarik untuk dilihat meskipun memiliki rasa, tekstur, dan
aroma yang sangat baik, setiap orang akan mempertimbangkan untuk
mengkonsumsinya. Warna memberikan respon yang paling cepat dan kesan yang
baik (Fellows 2000). Menurut Purwani et al. (2006c) warna dapat memberi
petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan, seperti warna kuning,
kuning kemerahan, coklat kemerahan, atau putih
43
4,15 a3,45 a 3,50 a 3,55 a 3,75 a
1
2
3
4
5
6
7
A0 A2 A4 A6 A8
War
na
Tingkat penambahan tepung
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata panelis terhadap warna
berkisar antara 3,45-4,15 dengan skala agak kurang bening/kecoklatan hingga
bening/kuning. Uji Kruskal Wallis (Lampiran 10) menunjukkan bahwa fortifikasi
tepung ikan cakalang tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap warna mie sagu
(Gambar 13).
Gambar 13 Histogram rerata penilaian panelis terhadap warna mie sagu denganA0= kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang,A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4 = fortifikasi tepung ikancakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8=fortifikasi tepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti hurufsuperskrip sama (a) menunjukkan tidak nyata (p>0,05) padafortifikasi tepung ikan.
(c) Aroma
Dalam industri pangan pengujian aroma dianggap penting karena dengan
cepat dapat memberikan hasil penilaian terhadap produk tentang diterima atau
tidaknya produk tersebut. Menurut Soekarto dan Hubeis (2000), kelezatan suatu
makanan sangat ditentukan oleh faktor aroma. Makanan akan terlihat enak, jika
aromanya mampu merangsang indera penciuman manusia dan memicu orang
yang mencium aromanya untuk mengkonsumsinya (Sumbaga 2006).
Berdasarkan uji Kruskal Wallis (Lampiran 11), fortifikasi tepung ikan
cakalang memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap aroma mie sagu
(Gambar 13). Fortifikasi tepung ikan ke dalam produk mie sagu terbukti mampu
memberikan pengaruh terhadap aroma, karena adanya aroma khas ikan cakalang.
Hasil uji panelis terhadap aroma mie sagu menunjukkan nilai rata-rata aroma
tertinggi adalah A2 (4,10) dan A8 (4,00) yang termasuk dalam skala harum,
sedangkan nilai terendah adalah A0 (2,65).
44
2,65 (b)
4,10 (a)3,35 (ab) 3,55 (ab) 4,00 (a)
1
2
3
4
5
6
7
A0 A2 A4 A6 A8
Arom
a
Tingkat penambahan tepung
Gambar 13 Histogram rerata penilaian panelis terhadap aroma mie sagu denganA0=kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang,A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4 = fortifikasi tepung ikancakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8=fortifikasi tepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti hurufsuperskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) padafortifikasi tepung ikan.
Gambar 13 menunjukkan bahwa mie sagu formula A2 dan A8 sangat
disukai oleh panelis karena memberikan aroma khas ikan cakalang.
Menurut Muhajir (2007) penambahan tepung ikan memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap organoleptik aroma. Hasil ini berbeda dengan pendapat
Ismanadji et al. (2000), yaitu semakin tinggi tingkat konsentrasi penambahan
tepung ikan cakalang maka semakin menurun tingkat kesukaan panelis atas aroma
karena bau ikan kering.
(d) Rasa
Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk
pangan dan lebih banyak dinilai menggunakan indera pengecap atau lidah.
Rasa suatu produk makanan mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan
makanan tersebut. Rasa suatu bahan pangan dapat berasal dari sifat bahan itu
sendiri atau karena adanya zat lain yang ditambahkan pada proses pengolahannya
(Achyadi dan Afiana 2004 ).
Rasa suatu makanan merupakan gabungan dari berbagai macam rasa
bahan-bahan yang digunakan dalam makanan tersebut (Kartika et al. 1998).
Rasa didefinisikan sebagai rangsangan yang ditimbulkan oleh bahan yang
dimakan, terutama yang dirasakan oleh indera pengecap. Rasa merupakan faktor
yang penting dalam menentukan keputusan bagi konsumen untuk menerima atau
45
3,25 (a)3,75 (a) 3,70 (a) 4,00 (a) 4,05 (a)
1
2
3
4
5
6
7
A0 A2 A4 A6 A8
Rasa
Tingkat penambahan tepung
menolak suatu makanan. Meskipun parameter lain nilainya baik, jika rasa tidak
enak atau tidak disukai, maka produk akan ditolak. Ada empat jenis rasa dasar
yang dikenali, yaitu manis, asin, asam, dan pahit; sedangkan rasa lainnya
merupakan perpaduan dari rasa dasar (Fellows 2001).
Hasil panelis terhadap rasa mie sagu rasa yang tertinggi adalah formula A8
yaitu 4,05 (enak) dan terendah adalah A0 yaitu 3,25 (agak kurang enak).
Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 12), rasa mie sagu tidak
dipengaruhi secara nyata (p>0,05) oleh perlakuan fortifikasi tepung ikan cakalang
(Gambar 14).
Gambar 14 Histogram rerata penilaian panelis terhadap rasa mie sagu denganA0=kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang,A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4 = fortifikasi tepung ikancakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8=fortifikasi tepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti hurufsuperskrip sama (a) menunjukkan tidak nyata (p>0,05) padafortifikasi tepung ikan.
Penilaian panelis menunjukkan bahwa secara umum fortifikasi tepung ikan
tidak mempengaruhi secara nyata terhadap parameter tekstur, warna, aroma, dan
rasa. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan bahan asing yaitu tepung ikan
cakalang yang sengaja ditambahkan pada produk mie sagu tidak mengganggu
penerimaan panelis. Berdasarkan nilai rata-rata dari kesemua parameter, mie sagu
A8 mempunyai nilai rata-rata organoleptik lebih baik. Mie sagu formulasi
terbaik A8 selanjutnya dibandingkan dengan mie sagu komersial melalui uji
perbandingan pasangan.
46
(2) Uji perbandingan pasangan
Uji perbandingan pasangan dilakukan untuk mengetahui keunggulan
dan kelemahan poduk baru apabila dibandingkan dengan produk komersial
(Rahayu 1998). Uji perbandingan pasangan dilakukan dengan formulasi mie sagu
terbaik yaitu penambahan tepung ikan cakalang 8% terhadap mie sagu komersial.
Produk komersial yang digunakan sebagai pembanding adalah “Mie Sadap”
yang diproduksi oleh CV Putra Santoso Ambon. Parameter yang diuji dalam uji
perbandingan pasangan meliputi tekstur, warna, aroma, dan rasa. Keempat
parameter tersebut digunakan dengan pertimbangan mampu mewakili ketertarikan
konsumen terhadap produk mie sagu.
Penilaian dilakukan dengan kriteria subyektif yang dikonversikan menjadi
angka parameter yang diuji dalam uji perbandingan pasangan adalah meliputi
tekstur, warna, aroma dan rasa dengan skala -3 sampai 3, dimana -3 = sangat lebih
buruk, -2= lebih buruk, -1= agak lebih buruk, 0= tidak berbeda, +1= agak lebih
baik, +2= lebih baik, +3= sangat lebih baik untuk mendapatkan nilai-nilai
kelebihan dan kekurangan dari dua formulasi mie sagu terbaik dibandingkan
dengan mie sagu komersial.
Rata-rata perbandingan pasangan (Gambar 15) menunjukkan bahwa tekstur,
warna, dan aroma mie sagu formulasi A8 memiliki kriteria penilaian tidak berbeda
dari produk komersial (Lampiran 13). Walaupun demikian tekstur mie komersial
lebih kenyal jika dibandingkan mie sagu formulasi A8, karena mie komersial tidak
terdapat penambahan tepung ikan yang dapat mempengaruhi kekenyalan.
Warna mie sagu komersial lebih kuning dari mie sagu formulasi A8 karena
pembuatan mie komersial menggunakan kunyit untuk memberi warna khas mie.
Mie sagu formulasi A8 tidak menggunakan pewarna sehingga warna yang muncul
disebabkan pigmen flavonoid dari pati sagu dan tepung ikan.
47
0,35
0,500,45
1,05
-3
-2
-1
0
1
2
3
Tekstur Warna Aroma Rasa
Rata
-rat
a Pe
rban
ding
an P
asan
gan
Parameter
Gambar 15 Histogram nilai perbandingan pasangan mie sagu.
Aroma mie sagu formulasi A8 memiliki aroma khas ikan, sedangkan mie
komersial menimbulkan aroma jahe/kunyit. Dari kesemua parameter hanya rasa
mie sagu formulasi A8 yang memiliki kriteria penilaian agak lebih baik dari mie
sagu komersial. Mie sagu penelitian memiliki rasa ikan kering, sedangkan mie
komersial memiliki rasa yang hambar.
4.2.2 Karakteristik fisik mie sagu
Karakteristik fisik yang dianalisis meliputi derajat putih, cooking time,
cooking losses, dan elastisitas mie. Pengujian dilakukan terhadap mie sagu
formulasi dengan mie sagu komersial.
(1) Derajat putih mie sagu
Warna dari mie sagu cenderung putih yang ditunjukkan dari pengukuran
produk menggunakan chromameter (nilai L*, a+, b+). Perubahan warna pada mie
sagu pada variasi konsentrasi penambahan tepung ikan menunjukkan berbeda
nyata (p<0.05) pada tingkat kecerahan (L*), kemerahan (a+) dan kekuningan (b+).
Nilai L menyatakan tingkat gelap terang dengan kisaran 0-100, dimana nilai 0
kecenderungan warna hitam, sedangkan nilai 100 menyatakan kecenderungan
warna putih atau cerah (Pomeranz dan Meloan 1994). Hasil pengujian warna
dapat dilihat pada Tabel 4.
48
Tabel 4 Pengujian derajat putih terhadap warna mie sagu
Perlakuan Kecerahan(L*)
Kemerahan(a+)
Kekuningan(b+)
Derajatputih
A0 42,49b 9,15a 16,44a 39,49b
A2 42,64b 5,47bc 10,9b 41,35ab
A4 42,58b 6,59b 12,5ab 40,86ab
A6 43,41ab 7,28ab 13,0ab 41,48ab
A8 48,34a 6,51b 11,39ab 46,70a
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf superscriptsyang berbeda (a,b, c) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p < 0,05).A0 = Kontrol (0%)A2 = Penambahan tepung ikan cakalang 2%A4 = Penambahan tepung ikan cakalang 4%A6 = Penambahan tepung ikan cakalang 6%A8 = Penambahan tepung ikan cakalang 8%
Hasil pengukuran warna menunjukkan bahwa mie sagu formulasi A0
memiliki kecerahan (L*) sebesar 42,49 dari skala 100 yang menunjukkan bahwa
warna mie sagu cenderung cerah atau putih. Nilai kemerahan (a+) mie sagu
formulasi A0 senilai 9,15 yang berarti mie sagu tanpa fortifikasi tepung ikan warna
kemerahan, sedangkan nilai kekuningan (b+) mie sagu formulasi A0 memiliki nilai
16,44 yang berarti mie sagu tanpa fortifikasi tepung ikan berwarna kekuningan.
Derajat putih atau warna sangat berpengaruh terhadap penampakan mie sagu
secara keseluruhan, hal pertama yang menarik minat konsumen dalam
menentukan suatu produk adalah warna produk itu sendiri. Hasil analisis
menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan memberikan pengaruh yang
berbeda nyata (p<0,05) terhadap derajat putih mie sagu (Lampiran 14).
Berdasarkan variasi konsentrasi fortifikasi tepung ikan terlihat bahwa mie sagu
dengan formulasi A8 memiliki derajat putih yang lebih tinggi sebesar 46,70%
dibandingkan dengan mie sagu formulasi lainnya. Hal ini disebabkan karena mie
sagu formulasi A8 memiliki kandungan protein paling banyak yaitu 8%.
Rendahnya derajat putih mie sagu formulasi A0 karena mie sagu yang dihasilkan
tanpa fortifikasi tepung ikan. Perbedaan derajat putih terjadi karena adanya
perbedaan konsentrasi fortifikasi tepung ikan dan terjadinya reaksi antara protein
dengan gula-gula pereduksi (reaksi Maillard). Nilai derajat putih meningkat
seiring dengan bertambahnya konsentrasi tepung ikan dalam adonan pembuatan
mie sagu.
49
12.5 a11,0 ab 10,0 ab 9.5 ab
8,0 ab
02468
10121416
A0 A2 A4 A6 A8
Cook
ing
time
(men
it)
Tingkat penambahan tepung
Menurut Hurrel (1980), protein merupakan komponen yang paling aktif dari
kebanyakan bahan pangan. Protein dapat bereaksi dengan gula pereduksi, lemak
dan zat-zat hasil oksidasi. Hal ini dapat menyebabkan turunnya nilai gizi,
munculnya flavor yang tidak diinginkan, dan reaksi browning. Garnida et al.
(2000); Julianti et al. (2011) mengemukakan bahwa perubahan warna dapat
terjadi karena adanya proses pengeringan, dimana terdapat enzim yang kontak
dengan udara.
(2) Cooking time mie sagu
Cooking time (waktu tanak) adalah lamanya bahan pangan tersebut untuk
melakukan rehidrasi sehingga teksturnya menjadi kenyal dan elastis sehingga siap
untuk diolah kembali (Winarno 2004). Cooking time mie sagu berkisar antara
8,0-12,5 menit. Mie sagu penambahan tepung ikan 8% (A8) memiliki cooking
time selama 8 menit. Cooking time mie sagu kontrol (A0) selama 12,5 menit lebih
lama dibandingkan mie sagu dengan fortifikasi tepung ikan (Gambar 16).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa fortifikasi tepung ikan cakalang
memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) untuk waktu tanak (cooking
time) mie sagu (Lampiran 15).
Gambar 16 Histogram rerata cooking time mie sagu dengan A0= kontrol (tanpafortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikan cakalang2%, A4 = fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6= fortifikasi tepungikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi tepung ikan cakalang 8%.Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b)menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada fortifikasi tepung ikan.
50
Gambar 16 menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi tepung ikan
mengakibatkan cooking time mie sagu yang dihasilkan semakin menurun,
sedangkan mie sagu kontrol memiliki cooking time lebih lama, hal ini disebabkan
karena kandungan pati mie sagu kontrol lebih tinggi. Pada saat proses
pregelatinasi terjadi pengembangan pati karena molekul-molekul air yang masuk.
Faktor utama yang berperan dalam penyerapan air sehingga ukuran produk
membengkak adalah amilosa dan amilopektin yang merupakan komponen utama
penyusun pati.
Menurut Marsono (1999), molekul amilosa dan amilopektin pada pati secara
fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan hidrogen yang lemah.
Dengan adanya tepung ikan dalam adonan, maka ikatan antar molekul pati juga
akan terganggu sehingga makin memudahkan penetrasi air yang masuk. Semakin
cepat penetrasi air yang masuk, maka cooking time dipersingkat. Pada proses
pregelatinasi, pati akan tergelatinasi dan akan menyerap air. Gelatinasi ini
menyebabkan mie sagu meleleh kemudian membentuk lapisan tipis pada
permukaan mie yang dapat mempengaruhi daya rehidrasi mie. Semakin tinggi
kadar pati maka daya serap air semakin besar sehingga mempengaruhi waktu
tanak (cooking time). Penentuan cooking time dilakukan untuk menghasilkan
tekstur mie yang diinginkan. Jika mie terlalu matang maka mie menjadi lengket
dan mudah hancur sebagai akibat dari banyaknya padatan yang keluar dari mie,
sebaliknya jika mie kurang matang maka mie akan keras pada bagian tengahnya.
Cooking time mie sagu yang dihasilkan dengan penambahan tepung ikan
sebesar 8% (A8) sebanding dengan penelitian Widaningrum et al. (2005) yaitu 7-9
menit, dimana pembuatan mie sagu dilakukan dengan pencampuran sagu kering
dan binder. Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan penelitian Pujiastuti (2009)
tentang pemanfaatan tepung rumput laut (Kappaphycus alvarezii) dalam
pembuatan mie sagu yaitu berkisar antara 6,67-7,33 menit.
(3) Cooking losses mie sagu
Cooking losses adalah banyaknya padatan yang terkandung di dalam mie
kering yang keluar serta terlarut ke dalam air selama pemasakan. Jumlah air yang
digunakan untuk memasak berpengaruh positif terhadap cooking losses, namun
jumlah kehilangan padatan akibat pemasakan (cooking losses) tidak dipengaruhi
51
21.87a 22.91 a 22.02 a 24.47 a 23.80 a
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
A0 A2 A4 A6 A8
Cook
ing
loss
es (%
)
Tingkat penambahan tepung
oleh jumlah air untuk membuat adonan (Oh et al. 1985). Nilai cooking losses mie
sagu berkisar antara 21,87-24,47% (Gambar 17). Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa fortifikasi tepung ikan cakalang memberikan pengaruh yang
tidak nyata (p>0,05) untuk cooking losses mie sagu (Lampiran 16).
Gambar 17 Histogram rerata cooking losses mie sagu dengan A0=kontrol (tanpafortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikan cakalang2%, A4 = fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6= fortifikasi tepungikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi tepung ikan cakalang 8%.Angka-angka yang diikuti huruf superskrip sama (a) menunjukkantidak nyata (p>0,05) pada fortifikasi tepung ikan.
(4) Elastisitas mie sagu
Elastisitas menggambarkan gaya yang diperlukan oleh mie untuk kembali
ke bentuk asalnya setelah kekuatan yang menyebabkan mie berubah bentuk
dihilangkan. Elastisitas diukur menggunakan alat texture analyzer TAXT2.
Titik puncak kekuatan positif menunjukkan nilai elastisitas. Hasil pengukuran
menunjukkan bahwa fortifikasi tepung ikan cakalang dapat meningkatkan
elastisitas mie sagu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisitas mie sagu yang dihasilkan
berkisar antara 10,65 hingga 16,20 gf (Gambar 18). Elastisitas terendah dihasilkan
oleh mie sagu tanpa fortifikasi tepung ikan 0% (A0), sedangkan elastisitas
tertinggi dihasilkan oleh mie sagu dengan fortifikasi tepung ikan 8% (A8).
Berdasarkan hasil analisis ragam, fortifikasi tepung ikan berpengaruh nyata
(p<0,05) terhadap elastisitas mie sagu (Lampiran 17).
52
10.65b 11.15b 11.25b
15.30a 16.20a
0.002.004.006.008.00
10.0012.0014.0016.0018.00
A0 A2 A4 A6 A8
Elas
tisita
s M
ie S
agu(
gf)
Tingkat penambahan tepung
Gambar 18 Histogram rerata elastisitas mie sagu dengan A0=kontrol (tanpafortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikan cakalang2%, A4 = fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6= fortifikasi tepungikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi tepung ikan cakalang 8%.Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b)menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada fortifikasi tepung ikan.
Fortifikasi tepung ikan sebesar 8% memiliki elastisitas yang tinggi
dibandingkan dengan konsentrasi tepung ikan yang lainnya yaitu sebesar 16,20 gf.
Hal ini disebabkan oleh kandungan protein ikan dalam tepung ikan yang dapat
membuat gel pati sagu stabil, yang ditunjukkan dengan meningkatnya elastisitas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mie sagu formulasi memiliki elastisitas
lebih baik dibandingkan dengan mie sagu instan, yaitu sebesar 1,00 gf
(Sugiyono et al. 2009) dan mie sagu dengan penambahan tepung rumput laut
(Kappaphycus alvarezii), yaitu sebesar 7,4-11,75 gf (Pujiastuti 2009).
Hasil karateristik fisik untuk mie sagu menunjukkan bahwa mie sagu
dengan fortifikasi tepung ikan 8% (A8) merupakan formulasi mie sagu terbaik
sehingga dapat dilakukan pengujian karakteristik kimia. Mie sagu dengan
formulasi A8 akan dianalisis dengan mie sagu formulasi A0 dan produk komersial.
4.2.3 Karakteristik kimia mie sagu
Karakteristik kimia yang dianalisis pada penelitian ini adalah kadar air, abu,
protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat (by difference). Pengujian tersebut
dilakukan terhadap mie sagu formulasi A0 dan A8 serta produk komersial.
Hasil analisis karakteristik kimia dapat dilihat pada Tabel 5.
53
Tabel 5 Karakteristik kimia mie sagu tepung ikan cakalang
Parameter Jenis Mie SNI 01-3551-2000
(Mie Instan)Komersial A0 A8
Air (%) 12,42±0,01b 18,79±0,16a 18,87±0,38a Maks 14,5
Abu (%) 0,82±0,21a 0,56±0,11a 1,12±0,09a Belum ada
Protein (%) 0,25±0,00b 0,23±0,00b 5,56±0,03a Min 4,0
Lemak (%) 0,57±0,07a 0,33±0,01a 0,41±0,01a Belum ada
Karbohidrat 85,95±0,27a 80,11±0,26b 74,05±0,52c Belum ada
Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama dan diikuti oleh huruf superscripts yangberbeda (a, b,c) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p < 0,05).A0 = Kontrol (0%)A8 = Fortifikasi tepung ikan cakalang 8%Komersial = Mie sagu “Mie Sadap” produk CV Putra Santoso Ambon.
Kadar air mie sagu hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan SNI 01-3551-
2000 yaitu maksimal 14,5%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa fortifikasi
tepung ikan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar air mie sagu (Lampiran
18). Kadar air mie sagu hasil penelitian tinggi disebabkan adanya fortifikasi
tepung ikan. Menurut Saloko et al. (1997), jika kandungan protein semakin tinggi
maka bahan tersebut akan semakin banyak menyerap air dan sulit untuk
melepaskannya saat berada pada suhu pemanasan. Kadar air yang tinggi
disebabkan protein yang terkandung dalam tepung ikan mempunyai kemampuan
untuk mengikat air, selain itu pati sagu mempunyai kandungan pati yang cukup
tinggi dengan jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati yang sangat besar,
sehingga kemampuan menyerap air juga sangat besar.
Berdasarkan SNI 01-3551-2000, mie sagu belum memiliki standar
kandungan abu. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa fortifikasi tepung ikan
tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kadar abu mie sagu (Lampiran 19).
Mie sagu A8 mepunyai kandungan lemak relatif sama dengan mie sagu kontrol
dan mie sagu komersial. Kadar abu yang tinggi pada mie sagu A8 dipengaruhi
oleh penambahan adanya fortifikasi tepung ikan cakalang dalam adonan. sehingga
meningkatkan kandungan mineral pada produk.
Berdasarkan SNI 01-3551-2000, mie sagu dengan fortifikasi tepung ikan
cakalang 8% (A8) telah memenuhi standar dengan kadar protein 5,56%.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa fortifikasi tepung ikan berpengaruh
54
nyata (p<0,05) terhadap kadar protein mie sagu (Lampiran 20). Mie sagu dengan
fortifikasi tepung ikan cakalang 8% (A8) mempunyai kandungan protein tinggi
dibandingkan mie sagu kontrol dan mie komersial. Kadar protein dipengaruhi
oleh formulasi bahan baku dan perlakuan proses fortifikasi tepung ikan cakalang
8%. Mie sagu ini memiliki kadar protein yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan penelitian Pujiastuti (2009) dimana mie sagu dengan pemanfaatan tepung
rumput laut memiliki kadar protein berkisar antara 0,28-0,34%.
Berdasarkan SNI 01-3551-2000, mie sagu belum memiliki standar
kandungan lemak. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa fortifikasi
tepung ikan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kadar lemak mie sagu
(Lampiran 21). Produk mie sagu A8 mempunyai kandungan lemak relatif sama
dengan mie sagu kontrol dan mie sagu komersial. Menurut Susanto (2008) kadar
lemak suatu produk selain berasal dari baku utama juga berasal dari bahan
tambahan lain yang digunakan.
Kadar karbohidrat dalam SNI 01-3551-2000 belum memiliki standar
kandungan karbohidrat. Kandungan karbohidrat penelitian menunjukkan hasil
berkisar 74,05-80,11%. Kadar karbohidrat mie sagu kontrol dan komersial lebih
tinggi dibandingkan mie sagu formulasi A8, karena bahan baku mie sagu kontrol
dan mie sagu komersial adalah pati sagu sebagai sumber karbohidrat, sedangkan
mie sagu A8 terdapat fortifikasi tepung ikan. Fortifikasi tepung ikan dalam produk
mie sagu menyebabkan kadar karbohidrat berkurang, hal ini memberikan nilai
gizi protein yang baik dalam produk mie sagu.
4.2.4 Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Takaran saji adalah sejumlah pangan yang biasa dikonsumsi setiap kali
makan yang dinyatakan dalam ukuran yang biasanya dipakai dalam rumah tangga
sesuai dengan jenis pangan tersebut, sedangkan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
adalah suatu kecukupan rata-rata gizi setiap hari menurut golongan umur, jenis
kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan
yang optimal (BPOM, 2004).
Nilai gizi yang terdapat pada mie sagu formulasi A8 dihitung berdasarkan
Angka Kecukupan Gizi (AKG). Mie sagu formulasi A8 memiliki nilai gizi protein
yang tinggi, hal ini disebabkan karena adanya penambahan tepung ikan cakalang;
55
sedangkan untuk mie sagu komersial dan mie sagu formulasi A0 memiliki nilai
gizi protein yang sangat rendah karena tidak adanya penambahan tepung ikan
cakalang.
Penentuan takaran penyajian yang menjadi bahan pertimbangan utama
adalah pemenuhan angka kecukupan gizi (AKG) protein. Kandungan nutrisi per
takaran penyajian ditunjukkan pada Tabel 6. Perhitungan takaran saji mie sagu
terpilih adalah sebagai berikut :
(1) Angka Kecukupan Gizi Orang Dewasa
Angka Kecukupan Gizi (AKG) protein yang dianjurkan untuk orang
dewasa adalah 45 g per hari (Widyakarya Pangan dan Gizi 2008).
Jika dalam satu hari dua kali makan, maka protein yang terpenuhi 22,5 g.
Jika dalam satu kali makan protein yang ingin dipenuhi dua per tiga dari
total protein, maka asupan protein untuk satu kali makan 15 g.
Protein mie sagu terpilih sebesar 5,56%.
Maka perhitungan takaran penyajian secara sistematis sebagai berikut :,x
= 270 g
(2) Angka Kecukupan Gizi Anak-anak
Angka Kecukupan Gizi (AKG) protein yang dianjurkan untuk anak-anak
adalah 32 g per hari (Widyakarya Pangan dan Gizi 2008).
Jika dalam satu hari dua kali makan, maka protein yang terpenuhi 16 g.
Jika dalam satu kali makan protein yang ingin dipenuhi dua per tiga dari
total protein, maka asupan protein untuk satu kali makan 10,7 g.
Protein mie sagu terpilih sebesar 5,56%.
Maka perhitungan takaran penyajian secara sistematis sebagai berikut :, , x
= 192,3 g ≈ 192 g
Setelah penentuan takaran penyajian, kemudian dilakukan penentuan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) per takaran penyajian tersebut.
56
Tabel 6 Kandungan nutrisi per takaran penyajian
Komponen gizi
Mie sagu terpilih
Dewasa Anak
Per 100 g Per 270 g Per 100 g Per 192 g
Protein (%) 5,56 0,46 5,56 0,46
Lemak (%) 0,41 2,49 0,41 2,49
Karbohidrat (%) 74,05 82,45 74,05 82,00
Mie sagu yang dianjurkan per takaran penyajian kebutuhan apabila
dikonsumsi maka kebutuhan protein akan terpenuhi sekitar dua pertiga per hari.
Pemenuhan angka kecukupan gizi (AKG) protein per takaran penyajian adalah
sebagai berikut :
Serving size = 0,46
AKG untuk orang dewasa = 64 g.
AKG untuk anak-anak = 32 g.
4.2.5 Mikrostruktur mie sagu
Struktur mikroskopis mie sagu diamati menggunakan scanning electron
microscope (SEM) untuk mengetahui perbedaan granula dan struktur internal mie
sagu kontrol, mie sagu formulasi A8, mie sagu komersial, dan mie kering.
SEM merupakan mikroskop yang menggunakan prinsip pancaran elektron yang
ditembakkan pada sampel dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20.
Gambar 19 Struktur mikroskopis granula mie sagu. (A) mie sagu formulasi A0;(B) mie sagu formulasi A8; (C) mie sagu komersial; (D) mie terigu.
DC
BA
57
Pengamatan mikrostruktur dilakukan dengan menggunakan SEM. Sampel
yang diamati meliputi mie sagu tanpa fortifikasi tepung ikan (kontrol), mie sagu
dengan fortifikasi tepung ikan 8%, mie sagu komersial, dan mie terigu. Secara
umum bentuk granula mie sagu kontrol (Gambar 19 A) dan mie sagu komersial
(Gambar 19 C) memiliki kesamaan dengan perbesaran 150 kali, namun berbeda
dengan mie sagu formulasi A8 (Gambar 19 B), dan mie terigu (Gambar 19 D).
Bentuk granula mie sagu kontrol (Gambar 19 A) dan mie sagu komersial (Gambar
19 C) memiliki granula bentuk oval, mie sagu formulasi A8 (Gambar 19 B)
memiliki bentuk elips agak terpotong, dan mie terigu (Gambar 19 D) berbentuk
elips. Menurut Suarni (2008), ukuran partikel yang lebih kecil akan memberikan
tekstur produk yang lebih halus dan lembut. Santosa et al. (2006); Widaningrum
dan Purwani (2006) menyatakan bahwa kadar amilosa suatu bahan pangan
berpengaruh pada sifat amilografnya. Viskositas puncak adalah kriteria yang
digunakan untuk mengetahui kemampuan tepung atau pati dalam
mempertahankan granula pati akibat proses pemanasan.
Gambar 20 Struktur mikroskopis internal mie sagu. (A) mie sagu formulasi A0;(B) mie sagu formulasi A8; (C) mie sagu komersial; (D) mie terigu.
Mikrostruktur internal mie sagu kontrol (Gambar 20 A) dan mie sagu
komersial (Gambar 20 C) secara umum terlihat adanya kesamaan dengan
perbesaran 500 kali. SEM menunjukkan mie sagu kontrol (Gambar 20 A)
mempunyai struktur internal yang kompak dan halus, namun struktur internal mie
sagu komersial (Gambar 20 C) lebih kompak dan lebih halus. Mie sagu formulasi
A8 (Gambar 20 B) dan mie terigu (Gambar 20 D) memperlihatkan struktur
A B
C D
58
internal berbeda. Mie sagu formulasi A8 (Gambar 20 B) memiliki struktur internal
yang kompak dan sedikit kasar, sedangkan mie terigu (Gambar 20 D) memiliki
struktur internal yang lebih halus tetapi kurang kompak. Perbedaan disebabkan
karena mie terigu mengandung gluten sehingga permukaan tampak mengkilat.
Hasil ini selaras dengan penelitian Fitriani (2004), dimana mie terigu memiliki
permukaan yang lebih mengkilat dibandingkan mie jagung yang terlihat kasar.
Liu et al. (1999) menyatakan bahwa modifikasi pati, berpengaruh terhadap sifat
fungsional pati seperti meningkatnya indeks absorbsi air, viskositas, nilai
kelarutan air dan kekuatan gel. Penggunaan foto SEM pada pada mie sagu tanpa
penambahan tepung ikan (kontrol), mie sagu dengan penambahan tepung ikan
8%, mie sagu komersial dan mie terigu penting.
59
4. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Interaksi perlakuan metode perendaman dan lama perendaman pada proses
deffating mempengaruhi karakteristik fisiko-kimia tepung ikan cakalang.
Tepung ikan yang dihasilkan dengan metode perendaman natrium bikarbonat
0,8% selama 6 jam memberikan hasil yang lebih baik, dengan karakteristik kimia
diantaranya kadar protein yang lebih tinggi sebesar 82,86% dan lemak
yang rendah sebesar 1,10%, sehingga tepung ikan ini yang digunakan dalam
pembuatan mie sagu.
Fortifikasi tepung ikan cakalang pada mie sagu berpengaruh nyata terhadap
organoleptik aroma, namun tidak berpengaruh pada tekstur, warna dan rasa mie
sagu. Karakteristik fisik mie sagu memiliki nilai derajat putih 39,49-46,70%,
cooking time 8,0-12,5%, cooking losses 21,87-24,47% dan elastisitas 10,65-
16,20%. Konsentrasi optimum yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kandungan gizi mie sagu adalah fortifikasi tepung ikan 8% dengan karakteristik
kimia, yaitu kadar abu 1,12%, kadar protein 5,56%, dan kadar lemak 0,41%
dengan struktur internal yang kompak.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian tentang optimasi proses pengeringan mie sagu
yang difortifikasi tepung ikan cakalang dengan alat pengering.
Perlu dilakukan sosialisasi produk mie sagu yang difortifikasi dengan
tepung ikan cakalang ke masyarakat luas agar mie sagu lebih dikenal.
Perlunya dukungan dari pemerintah daerah agar mie sagu mendapat
perhatian lebih serius guna menghambat penggunaan terigu.
60
61
DAFTAR PUSTAKA
Achyadi NS, Afiana H. 2004. Pengaruh konsentrasi bahan pengisi dan konsentrasisukrosa terhadap karakteristik fruit leather cempedak (Artocarpuschampeden Lour) [skripsi]. Bandung: Universitas Pasundan.
Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia.
Amirullah TC. 2008. Fortifikasi tepung ikan tenggiri (Scomberomorus sp.) dantepung ikan swangi (Priacanthus tayenus) dalam pembuatan bubur bayiinstan [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, InstitutPertanian Bogor.
Annafi FA. 2009. Proses pengolahan tepung ikan dengan metode konvensionalsebagai usaha pemanfaatan limbah perikanan [skripsi]. Yogyakarta: UGM.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1980. Official Methods ofAnalysis. Virginia: AOAC Inc. USA.
Arai T, Kotake A, Kayama S, Ogura M, Watanabe Y. 2005. Movements andlife history patterns of the skipjacktuna Katsuwonus pelamis in theWestern Pacific, as revealed by otolith Sr. Ca ratios. J Mar Biol Assoc85:1211–1216.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2004. Pedoman UmumPelabelan Produk Pangan. Jakarta.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2006. Kategori Pangan.Jakarta.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1987. Ilmu Pangan.Penerjemah: Adiono, Purnomo H. Food Science. Jakarta: UI Press.
Bunyamin EK. 1981. Suatu studi tentang skipjack tuna (Katsuwonus pelamis)dan penyebarannya di Perairan Sorong dan sekitarnya. Bogor: FakultasPerikanan, IPB.
Cheftel JC, Cug JL, Lorient D. 1985. Amino acids, peptides and proteins. Didalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. USA: Marcel Dekker, Inc.Hlm 296-298.
Chen Z, Sagis L, Ledder A, Linssen JHP, Schols HA, Voragen AGJ. 2002.Phsycochemical properties of sweet potato starches and their applicationin noodle product. J Food Sci 67:3342-3347.
Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corse H. 2001. Bihon type noodles fromheat-moisture-treated sweet potato starch. J Food Sci 66(4):604-609.
CV Putra Santoso. 2010. Metode Pembuatan Mie Sagu. Ambon-Maluku.
62
Damodaran S, Paraf A. 1997. Food Proteins and Their Applications. New York:Marcel Dekker.
Direktorat Gizi. 1979. Komposisi Zat Makanan. Departemen Kesehatan RI.Jakarta: Bharata.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1979. Buku Pedoman Pengenalan SumberPerikanan Laut. Bagian I (Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting). Jakarta:Direktorat Jenderal Perikanan.
Fabriani G, Lintas C. 1988. Durum Wheat: Chemistry and Technology.Minnesota: American Association of Cereal Chemists, Inc.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2009. The state of world fisheries andaquaculture. Rome: FAO.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2012. Main species of majorimportance to fisheries. Fisheries and Aquaculture Department. [terhubungberkala] http://www.fao.org/fishery/topic/3441/en [12 Agustus 2012].
Farnum C, Stanley DW, Gray JI. 1976. Protein-lipid interactions in soy films.J Food Sci Tech 9(4):201-206.
Fellows P. 2001. Food Processing Technology Principle and Practice. OxfordEngland: Ellis Hordwoad.
Fitriani D. 2004. Kajian pengembangan produk, mikrostruktur dan analisis dayasimpan mie jagung instan [tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Pangan,Institut Pertanian Bogor.
Garnida Y, Turmala, Yusviani. 2000. Pembuatan makanan tradisional gatotdengan variasi ketebalan dan lamanya perendaman ubi kayu. ProsidingSeminar Nasional Makanan Tradisional; Malang, 26 Feb 2000. Malang:Pustaka Karya Ilmiah Indonesia.
Gaspersz FF. 1985. Pengaruh konsentrasi garam dan lamanya penggaramanterhadap mutu dendeng cakalang (Katsuwonus pelamis) [karya ilmiah].Bogor: Fakultas Perikanan, Intitut Pertanian Bogor.
Guenneugues P, Morrissey MT. 2005. Surimi resources. Di dalam: Park JW,editor. Surimi and Surimi Seafood. Ed ke-2. Boca Ratton Florida: CRCPress, Inc. Hlm 375-433.
Gaurav, Sharma. 2003. Digital Color Imaging Handbook. Boca Ratton: CRCPress.
Green K. 2010. Annual review of the feed grade fish stocks used to produce fishmeal and fish oil for the UK Market. Industry EnvironmentalCommunications. [terhubung berkala] http://www.seafish.co.uk [Mei 2010]Origin Wa : Europarc.
63
Haryanto B, Pangloli P. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Yogyakarta:Kanisius.
Hasbullah. 2001. Tepung ikan. Jakarta : Deputi Menegristek BidangPendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Hawab HM. 2003. Pengantar Biokimia. Malang: Bayumedia Publishing.
Hemar Y, Hall CE, Munro PA, Singh H. 2002. Small and large deformationrheology and microstructure of κ-carrageenan gels containing commercialmilk protein products. Int Dairy J. 12(4): 371-381.
Hendrasari R. 2000. Pengaruh penambahan tepung kedelai terhadap sifat fisik,kimia dan daya terima bihun dan mie golosor [skripsi]. Bogor: FakultasTeknologi Pertanian, IPB.
Hultin HO, Kristinsson HG, Lanier Tyre C, Park JW. 2005. Process for recoveryof functional proteins by pH-shifts. Di dalam : Park JW, editor. Surimi andSurimi Seafood. Boca Raton : Taylor and Francis Group. Hlm107-139.
Hurrel RF. 1980. Interaction of Food Component during Processing. Food andHealth: Science and Technology. London: Applied Science Publisher. Hlm369-388.
Ilyas S, Saleh M, Irianto HE. 1985. Teknologi Pengolahan Tepung Ikan.Prosiding Rapat Teknis Tepung Ikan. 6:109-120.
Imeson AP, Ledward DA, Mitchell JR. 1977. On the nature of the interactionbetween some anionic polysaccharides and proteins. J Sci Food Agric.28:661-668.
Irianto HE, Soesilo I. 2007. Dukungan teknologi penyediaan perikanan. Jakarta :Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Irianto HE. 2011. Fortifikasi pada Pangan Hasil Perairan. Bogor: FakultasTeknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor.
Ismanadji I, Djazuli N, Widarto, Istihastuti T, Herawati N, Ismarsudi, Lasmono.2000. Laporan perekayasaan teknologi pengolahan limbah. Jakarta:Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Direktorat JenderalPerikanan.
Jassim JM. 2010. Effect of using local fish meal (Liza abu) as proteinconcentration in broiler diets. J Poultry Sci 9(12):1097-1099.
Julianti E, Lubis Z, Ridwansyah, Era Y, and Suhaidi I. 2011. Physicochemical andfunctional properties of fermented starch from flour cassava varietas.Asian J Agric Res. 5(6):292-299.
64
Kartika BP, Hastuti, Supartono W. 1998. Pedoman Uji Inderawari BahanPangan. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,Universitas Gadjah Mada.
Ketaren S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UIPress.
Kinsella JE. 1979. Fungsional Pengolahan Kedelai Menjadikan MakananBermutu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kruger JE, Matsuo RB, Miskelly, Dick JW. 1996. Pasta and Noodle Technology.American Association of Cereal Chemist. USA: St Paul Minnesota Inc.
Lakuy H, Limbongan J. 2003. Beberapa hasil kajian dan teknologi yangdiperlukan untuk pengembangan sagu di Provinsi Papua. ProsidingSeminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt 2003. Manado: Balai PenelitianTanaman Kelapa dan Palma Lain. Hlm 41-47.
Lawalata VN. 2004. Kajian pemanfaatan kenari (Canarium ovatum) untukmeningkatkan nilai sagu mutiara [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,IPB.
Lestari MS. 2009. Penerapan teknologi pengolahan sagu rakyat di KabupatenJayapura Papua. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua.J Ilmiah Tambua 8(3):440-445.
Liu H, Ramsden, and Corke. 1999. Physical properties and enzimatic digestbilityof phosphorilated and normal maize starch preparated at different pHlevels. J Cereal Chem. 76(6):938-943.
Maigualema M.A and A.G. Gernet. 2003. The effect of feeding elevated levels ofTilapia (Oreochromus niloticus) by-product meal on Broiler performanceand Carcass characteristics. J Poult Sci 2:195-199.
Marsono Y. 1999. Perubahan kadar resistant starch (RS) dan komposisi kimiabeberapa bahan pangan kaya karbohidrat dalam pengolahan. Agritech19:124-127.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan. Bogor: IPB Press.
Miller JCB, Powel KF, Colagiuri S. 1997. The GI Factor : The GI SolutionHodder and Stoughton. Australia: Hodder Headine Australia Pty Limited.
Miyake MP, Miyabe N, Nakano H. 2004. Historical trends of tuna catches in theworld. Rome: FAO Fisheries Tech. Paper No. 467:74
Muhajir A. 2007. Peningkatan gizi mie instan dari campuran tepung terigu dantepung ubi jalar melalui penambahan tepung tempe dan tepung ikan[skripsi]. Sumatera Utara: Jurusan Teknologi Pertanian, FakultasPertanian, USU.
65
Munarso SJ. 2004. Pati resistan dan peluang perbaikan mutu pangan tradisional.Prosiding Seminar Nasional. Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional.Jakarta.
Murniyati, Sunarman S. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan.Jakarta: Kanisius.
Murtidjo B. 2001. Beberapa Metode Pengolahan Tepung Ikan. Yogyakarta:Kanisius.
Nadeem MA. 2003. Production and quality of fish meal in Pakistan. Anim Nutri.Conf. Pakistan: Univ. Vet. Anim Sci.
Nasution EZ. 2005. Pembuatan mie kering dari tepung terigu dengan tepungrumput laut yang difortifikasi dengan kacang kedelai. J Sains Kimia9(2):87-91.
Nolsoe H, Inggrid U. 2009. The acid and alkaline solubilization processfor theisolation of muscle proteins: State of the Art. J Food BioprocessTechnol. 2:1–27.
Oakenfull D, Pearce J, Burley RW. 1997. Protein Gelation. Food Proteins andTheir Applications. New York: Marcel Dekker.
Oh NH, Seib PA, Ward AB. 1985. Noodles II: The Surface Firmness of CookedNoodles from Soft and Hard Wheat Flour. Cereal Chem 62(6):431-436.
Philips RD, Beuchat LR. 1981. Enzyme Modification of Protein. Di dalam :Cherry JP, editor. Protein Functionalty in Food. Washington DC:American Chemical Society.
Pujiastuti LT. 2009. Pemanfaatan tepung rumput laut (Kappaphycus alvarezii)dalam pembuatan mi sagu [skripsi]. Bogor: Jurusan Perikanan, FakultasPerikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Pomeranz Y, Meloan CE. 1994. Food Analysis: Theory and Practice. New York:Chapman and Hall.
Prasetya D. 2011. Terigu impor makin membanjiri pasar lokal. [terhubungberkala] http://industri.kontan.co.id/news/terigu impor [5 September 2011].
Purwani EY, Y Setiawati, H Setianto, SJ. Munarso, N Richana, Widaningrum.2004. Utilization of Sago Starch for Transparent Noodle in Indonesia.Balai Besar (BB) Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian,Cimanggu – Bogor.
Purwani EY, Widaningrum, Thahrir R, Muslich. 2006a. Effect of moisturetreatment of sago starch on its noodle quality. Indones J Agric Sci 7(1):8-14.
66
Purwani EY, Setiawati Y, Setiyanto H, Widaningrum. 2006b. Karakteristik danstudi kasus penerimaan mie sagu oleh masyarakat di Sulawesi Selatan.Agritech 26(1):24-30.
Purwani EY, Widaningrum, Setiyanto H, Savitri E, Tahir R. 2006c. Teknologipengolahan mie sagu. Balai Besar Penelitian dan PengembanganPascapanen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Hlm:44.
Puspita A. 2005. Jenis dan kualitas tepung ikan. Buletin Teknik LitkayasaAkuakultur. 4(1):12-16.
Rahayu WP. 1998. Penuntun praktikum penilaian organoleptik. Bogor: JurusanTeknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Rasulu H, Sudarminto S, Yuwono, Kusnadi J. 2012. Karakteristik tepung ubi kayuterfermentasi sebagai bahan pembuatan sagu kasbi. J Teknologi Pertanian13(1):1-7.
Rayanti N. 2010. Peningkatan kadar protein mie sagu instan dengan penambahantepung ikan tongkol (Euthynnus affinis) [skripsi]. Padang: FakultasTeknologi Pertanian, Universitas Andalas.
Rawdkuen S, Sai-Ut S, Khamsorn S, Chaijan M, Benjakul S. 2009. Biochemicaland gelling properties of tilapia surimi and protein recovered using an acid-alkaline process. Food Chem 112:112–119.
Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penerbit Swadaya.
Robiyanto S. 2008. Pembuatan mie instan dengan penambahan daging ikan nila(Oreochromis niloticus) serta uji karakteristik mie yang dihasilkan [skripsi].Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Saloko SB, Yasa, Handayani. 1997. Pemanfaatan produk biji-bijian potensialuntuk pembuatan biskuit protein tinggi pada wilayah pertumbuhan diKabupaten Lombok Barat. Prosiding Seminar Teknologi Pangan.Yogyakarta. hlm 308-325.
Samanth SK, Singhal RS, Kurkani PR, Rege DV. 1993. Protein polysaccharideinteractions: A new approach in food formulations. Inter. J Food SciTechnol. 28:547-562.
Santosa BAS, Sudaryono, Widowati S. 2006. Karakteristik ekstrudat beberapavarietas jagung dengan penambahan aquades. J Penelitian PascapanenPertanian 3(2):96−108.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. SNI 01-3551-2000. Mie Instan. Jakarta: BadanStandardisasi Nasional.
67
Stephen AM. 1995. Food Polysaccharides and Their Applications. New York:Marcel Dekker.
Suarni. 2008. Tepung komposit sorgum, jagung, dan beras untuk pembuatan kuebasah (cake). [Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain]. Balai PenelitianTanaman Jagung dan Serealia, Maros. 6:55-60.
Sumbaga DS. 2006. Pengaruh waktu curing (perendaman dalam larutan bumbu)terhadap mutu dendeng fillet ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) selamapenyimpanan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB.
Soekarto ST, Hubeis M. 2000. Metodologi penelitian organoleptik. Bogor:Program Studi Ilmu Pangan, IPB.
Solangi AA, Memon A, Qureshi TA, Leghari HH, Baloch GM, Wagan MP. 2002.Replacement of fish meal by soybeen meal in broiler ration. J Anim Vet Adv.1:28-30.
Stell RGD, Torrie JH. 1993. Principles and Procedures of Statistics Indeks.Sumantri B, Penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Subatin E. 2004. Pengaruh tingkat penambahan udang dan NaHCO3 (NatriumBikarbonat) terhadap kadar protein, kadar air, daya kembang danorganoleptik kerupuk susu [skripsi]. Malang: Universitas Muhammadiyah.
Sugiyono, Thahir R, Kusnandar F, Purwani EY, Herawati D. 2009. Peningkatankualitas mi instan sagu melalui modifikasi heat moisture treatment.Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian. Bogor: IPB. hlm 666-677.
Susanto A, Nurhikmat A. 2008. Pengaruh proses perebusan, pengukusan danpengepresan terhadap kualitas tepung ikan. Seminar Nasional Tahunan VPascapanen. Hasil penelitian Perikanan dan Kelautan. Yogyakarta: UGM.
Syamsuddin, Mallawa A, Najamuddin, Sudirman. 2007. Analisis pengembanganperikanan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus) berkelanjutandi Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur [Disertasi]. Bogor: IPB.
Suzuki T, Watabe S. 2011. New processing technology of small pelagic fishprotein. Food Rev Inter 2(3):271-307.
Tekinay AA, Deveciler E, Guroy D. 2009. Effects of dietary tuna by-product onfeed intake and utilization of rainbow trout Oncorhychus mykiss.J Fish Intern 4:8-12.
Toya T, Jotaki R, Kato A. 1986. Specimen Preparation in EPMA and SEM.JEOL Training Center EP Section.
Virtucio L. 2004. Oriental Noodles. [terhubung berkala]. http//www.pavan.com.
68
Wardja N. 2011. Optimalisasi penangkapan perikanan cakalang di Laut Banda.[terhubung berkala] http://psp06perikananunpatti.blogspot.com.
Widaningrum, Santosa BA, Endang YP. 2005. Penelitian pengaruh suhupemeraman terhadap kualitas mi sagu dan kadar resistant starch (RS).Prosiding Seminar Nosional Teknologi lnovatif Pascapanen untukPengembangan lndustri Berbasis Pertanian. Balai Besar Penelitian danPengembangan Pascapanen Pertanian.
Widaningrum, Purwani EY. 2006. Karakterisasi serta studi pengaruh perlakuanpanas dan HTM terhadap sifat fisikokimia pati jagung. J PenelitianPascapanen Pertanian 3(2):109−118.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi.2008. Meningkatkan ketahanan pangandan gizi untuk mencapai millenium development goal’s. Jakarta, 26-27Agustus 2008. Jakarta.
Wijaya H. 2001. Pengaruh konsentrasi asam asetat dan lama perendaman kulitikan pari (Trygon spp) pada pembuatan gelatin [skripsi]. Bogor: FakultasPerikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Winarno FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wirakartakusumah MA, Apriyantono A, Ma’arif MS, Suliantari, Muchtadi D,Otaka K. 1986. Isolation and characterization of sago starch and itsutilization for production of liquid sugar. The Development of the SagoPalm and its Products. Jakarta: January 16-21 1984. Report of theFAO/BPP Teknologi Consultation.
Yuliani A, Dian RER, Trikorian AS, Ika M. 2011. Pengukuran indeks glikemik.[Laporan Evaluasi Nilai Gizi: Indeks Glikemik]. Bogor: Jurusan GiziMasyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB.
Ziegler GR, Foegeding EA. 1990. The gelation of proteins. Adv Food Nutr Res.34:203-298.
69
L A M P I R A N
70
71
Lampiran 1. Standar SNI Mie Instan (SNI 01-3551-2000)
Syarat Mutu Mie Instan
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan1. Keadaan
1.1 Tekstur - Normal/dapat diterima1.2 Aroma - Normal/dapat diterima1.3 Rasa - Normal/dapat diterima1.4 Warna - Normal/dapat diterima
2. Benda asing - Tidak boleh ada3. Keutuhan % bb Min, 904. Kadar air
4.1 Proses penggorengan % bb Maks 10,04.2 Proses pengeringan % bb Maks 14,5
5. Kadar protein5.1 Mie dari terigu % bb Min 8,05.2 Mie bukan dari terigu % bb Min 4,0
6. Bilangan asam Mg KOH/g minyak Maks 2,07. Cemaran logam
7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,07.2 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,05
8. Arsen (As) mg/kg Maks 0,59. Cemaran mikroba
9.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks 1,0x106
9.2 E coli APM/g < 39.3 Salmonela - Negatif per 25 g9.4 Kapang Koloni/g Maks 1,0x103
72
Lampiran 2. Formulir uji peringkat produk mie sagu
Nama Panelis :
Hari/Tanggal :
Petunjuk : Buatlah urutan peringkat (ranking) produk mie sagu berdasarkan
tekstur, warna, aroma dan rasa dengan memberi nomor 1-7 pada kolom yang
tersedia sesuai dengan penilaian anda.
kode tekstur warna aroma rasa
Penilaian berdasarkan parameter :
Tekstur Warna7 : Sangat lebih kenyal6 : Lebih kenyal5 : Agak lebih kenyal4 : Kenyal3 : Agak kurang kenyal2 : Kurang kenyal1 : Sangat kurang kenyal
7 : Sangat lebih bening6 : Lebih bening5 : Agak lebih bening4 : Bening3 : Agak kurang bening2 : Kurang bening1 : Sangat kurang bening
Aroma Rasa7 : Sangat lebih harum6 : Lebih harum5 : Agak lebih harum4 : Harum3 : Agak kurang harum2 : Kurang harum1 : Sangat kurang harum
7 : Sangat lebih enak6 : Lebih enak5 : Agak lebih enak4 : Enak3 : Agak kurang enak2 : Kurang enak1 : Sangat kurang enak
73
Lampiran 3. Formulir uji mie sagu tepung ikan cakalang terpilih dengan mie sagukomersial
Nama Panelis :
Hari/Tanggal :
Nama Produk : Mie sagu
Pembanding :
kode tekstur warna aroma rasa
Kriteria Penilaian :
-3 = sangat lebih buruk
-2 = lebih buruk
-1 = agak lebih buruk
0 = tidak berbeda
+1= agak lebih baik
+2= lebih baik
+3= sangat lebih baik
Komentar :
74
Lampiran 4. Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada nilai rendementepung ikan cakalang
a. Analisis ragam (ANOVA) rendemen tepung ikan
SumberKeragaman
Derajatbebas
JumlahKuadrat
KuadratTengah Fhitung Nilai P F tabel
MetodePerendaman 2 68,62554 34,31277 25,59 0,00019 4,26LamaPerendaman 2 0,086011 0,043006 0,03 0,96854 4,26Interaksi 4 5,941022 1,485256 1,11 0,41011 3,63Galat 9 12,0682 1,340911
Total 17 86,72078
Kesimpulan : Media perendaman berbeda nyata (p<0,05)Lama perendaman tidak berbeda nyata (p>0,05)Interaksi tidak berbeda nyata (p>0,05)
b. Analisis uji lanjut BNT
Perlakuan N SubsetA B
Air 2 43,95
Asam asetat 3% 2 41,27
Na-bikarbonat 0,8% 2 38,79
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan metode perendamantidak berbeda nyata.
75
Lampiran 5. Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT kadar air tepung ikancakalang
a. Analisis ragam (ANOVA)
SumberKeragaman
DerajatBebas
JumlahKuadrat
KuadratTengah F hitung Nilai P F tabel
Mediaperendaman 2 63,32841 31,66420 981,16 2,93551 4,26Lamaperendaman 2 19,73954 9,86977 305,83 5,32423 4,26Interaksi 4 77,40128 19,35032 599,60 6,54887 3,63Galat 9 0,29045 0,03227
Total 17 160,75969
Kesimpulan : Media perendaman berbeda nyata (p<0,05)Lama perendaman berbeda nyata (p<0,05)Interaksi berbeda nyata (p<0,05)
b. Analisis uji lanjut BNT
Perlakuan N Subset
A B C D E F G H
Air * 2 jam 2 16,05
Air * 4 jam 2 11,33
As. Asetat 3% * 4 jam 2 10,78
As. Asetat 3% * 6 jam 2 9,38
Na-Bikarbonat 0,8% * 4 jam 2 8,79
Air * 6 jam 2 7,96
Na-Bikarbonat 0,8% * 2 jam 2 6,89
Na-Bikarbonat 0,8% * 6 jam 2 6,15
As. Asetat 3% * 2 jam 2 6,04
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara metodeperendaman dan lama perendaman) tidak berbeda nyata.
76
Lampiran 6. Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT kadar abu tepung ikancakalang
a. Analisis ragam (ANOVA)
SumberKeragaman
DerajatBebas
JumlahKuadrat
KuadratTengah
Fhitung Nilai P F tabel
Mediaperendaman 2 0,59250 0,29625 4,68 0,040392 4,26Lamaperendaman 2 0,537733333 0,268866667 4,25 0,050193 4,26Interaksi 4 0,213866667 0,053466667 0,84 0,530762 3,63Galat 9 0,5695 0,063277778
Total 17 1,91360
Kesimpulan : Media perendaman berbeda nyata (p<0,05)Lama perendaman tidak berbeda nyata (p>0,05)Interaksi tidak berbeda nyata (p>0,05)
b. Analisis uji lanjut BNT
Perlakuan N SubsetA B
Na-bikarbonat 0,8% 2 2,70
Air 2 2,38
Asam asetat 3% 2 2,28
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan metode perendamantidak berbeda nyata.
77
Lampiran 7. Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT kadar protein tepung ikancakalang
a. Analisis ragam (ANOVA)
SumberKeragaman
DerajatBebas
JumlahKudrat
KuadratTengah Fhitung Nilai P F
tabelMedia perendaman 2 119,5991 59,79957222 230,99 1,843217 4,26Lama perendaman 2 13,91101 6,955505556 26,87 0,00016 4,26Interaksi 4 50,43959 12,60989722 48,71 4,23368 3,63Galat 9 2,32995 0,2589
Total 17 186,2797
Kesimpulan : Media perendaman berbeda nyata (p<0,05)Lama perendaman berbeda nyata (p<0,05)Interaksi berbeda nyata (p<0,05)
b. Analisis uji lanjut BNT
Perlakuan N SubsetA B C CD D E
Na-Bikarbonat * 6 jam 2 82,86
As. Asetat 3% * 4 jam 2 80,32
As. Asetat 3% * 2 jam 2 79,56
Na-Bikarbonat 0,8% * 4 jam 2 78,29
Na-Bikarbonat 0,8% * 2 jam 2 77,67
As. Asetat 3% * 6 jam 2 77,00
Air * 4 jam 2 75,92
Air * 6 jam 2 74,16
Air * 2 jam 2 71,46
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara metodeperendaman dan lama perendaman) tidak berbeda nyata.
78
Lampiran 8. Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT kadar lemak tepung ikancakalang
a. Analisis ragam (ANOVA)
SumberKeragaman
DerajatBebas
JumlahKuadrat
KuadratTengah Fhitung Nilai P
Ftabel
Media perendaman 2 1,8105333 0,9053 43,63 0,000023 4,26Lama perendaman 2 0,9241 0,4621 22,27 0,000328 4,26Interaksi 4 0,9136667 0,2284 11,01 0,001618 3,63Galat 9 0,18675 0,0208
Total 17 3,83505
Kesimpulan : Media perendaman berbeda nyata (p<0,05)Lama perendaman berbeda nyata (p<0,05)Interaksi berbeda nyata (p<0,05)
b. Analisis uji lanjut BNT
Perlakuan N SubsetA B C
Air * 6 jam 2 1,95
Air * 2 jam 2 1,83
Air * 4 jam 2 1,78
As Asetat 3% * 6 jam 2 1,24
As Asetat 3% * 2 jam 2 1,24
Na-Bikarbonat 0,8% * 6 jam 2 1,10
Na-Bikarbonat 0,8% * 2 jam 2 1,05
Na-Bikarbonat 0,8% * 4 jam 2 0,89
As Asetat 3% * 4 jam 2 0,78
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara metodeperendaman dan lama perendaman) tidak berbeda nyata.
79
Lampiran 9. Analisis Kruskal Wallis tekstur mie sagu
Analisis Kruskal Wallis tekstur
Kruskal-Wallis Test on tekstur
Mie sagu N Median Ave Rank
A0 20 4,000 59,2 1,50
A2 20 4,000 52,0 0,26
A4 20 4,000 50,8 0,06
A6 20 4,000 46,5 -0,69
A8 20 4,000 43,9 -1,13
Overall 100 50,5
H = 3,26 DF = 4 P = 0,515
H = 3,60 DF = 4 P = 0,462 Tidak nyata = ns
Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskal Wallis, variasi konsentrasi tepung ikantidak mempengaruhi nilai tekstur yang diamati.
80
Lampiran 10. Analisis Kruskal Wallis warna mie sagu
Analisis Kruskal Wallis warna
Kruskal-Wallis Test on warna
Mie sagu N Median Ave Rank
A0 20 4,000 60,8 1,77
A2 20 3,000 42,8 -1,33
A4 20 4,000 47,0 -0,60
A6 20 4,000 48,0 -0,44
A8 20 4,000 54,0 0,60
Overall 100 50,5
H = 4,64 DF = 4 P = 0,326
H = 5,09 DF = 4 P = 0,279 Tidak nyata = ns
Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskal Wallis, variasi konsentrasi tepung ikantidak mempengaruhi nilai warna yang diamati.
81
Lampiran 11. Analisis Kruskal Wallis aroma mie sagu
a. Analisis Kruskal Wallis aroma
Kruskal-Wallis Test on aroma
Mie sagu N Median Ave Rank
A0 20 3,000 25,1 -4,37
A2 20 4,000 70,3 3,41
A4 20 3,000 46,6 -0,68
A6 20 3,000 51,3 0,14
A8 20 4,000 59,3 1,51
Overall 100 50,5
H = 26,80 DF = 4 P = 0,000
H = 30,46 DF = 4 P = 0,000 berbeda nyata
Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskal Wallis, variasi konsentrasi tepung ikanmempengaruhi nilai aroma yang diamati.
b. Analisis uji lanjut multiple comparison
Perlakuan N SubsetA AB B
A2 20 4,10
A8 20 4,00
A6 20 3,55
A4 20 3,35
A0 20 2,65
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar variasi konsentrasi tidak berbedanyata.
82
Lampiran 12. Analisis Kruskal Wallis rasa mie sagu
Analisis Kruskal Wallis rasa
Kruskal-Wallis Test on rasa
Mie sagu N Median Ave Rank
A0 20 3,000 35,9 -2,52
A2 20 4,000 51,9 0,23
A4 20 4,000 49,1 -0,25
A6 20 4,000 58,5 1,37
A8 20 4,000 57,3 1,16
Overall 100 50,5
H = 7,76 DF = 4 P = 0,101
H = 9,32 DF = 4 P = 0,053 Tidak nyata = ns
Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskal Wallis, variasi konsentrasi tepung ikantidak mempengaruhi nilai rasa yang diamati.
83
Lampiran 13. Nilai perbandingan pasangan mie sagu.
Mie Sagu Tekstur Warna Aroma Rasa
8%
1121
-1111
-1-1-11
-11210
-100
-1-1211
-113
-1-1-21
-12221
-112
001110000100
-1-123
-2211
22102220001012220002
Rata-rata perbandingan pasangan: Tekstur = 0,35 Warna = 0,50
Aroma = 0,45 Rasa = 1,05
Kesimpulan : Berdasarkan rata-rata perbandingan pasangan tekstur, warna danaroma mie sagu formulasi A8 memiliki kriteria penilaian tidakberbeda dari mie sagu komersial, sedangkan rasa mie saguformulasi A8 memiliki kriteria penilaian agak lebih baik dari miesagu komersial.
84
Lampiran 14. Analisis ragam (ANOVA) dan Uji BNT derajat putih mie sagu
a. Analisis ragam (ANOVA)
SumberKeragaman
DerajatBebas
JumlahKuadrat
KuadarTengah Fhitung Nilai P F tabel
Perlakuan 4 60,70244 15,17561 5,19 6,9868583 236,53Galat 5 0,3208 0,06416
Total 9 61,02324
Kesimpulan : konsentrasi tepung ikan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadapderajat putih mie sagu.
b. Analisis uji lanjut BNT
Perlakuan N SubsetA AB B
A8 20 46,70
A6 20 41,48
A2 20 41,35
A4 20 40,86
A0 20 39,49
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar variasi konsentrasi tidak berbedanyata.
85
Lampiran 15. Analisis ragam (ANOVA) dan Uji BNT cooking time mie sagu
c. Analisis ragam (ANOVA)
SumberKeragaman
DerajatBebas
JumlahKuadrat
KuadarTengah Fhitung Nilai P F tabel
Perlakuan 5 37,41667 7,48333333 5,99 0,0250 4,39Galat 6 7,5 1,25
Total 11 44,91667
Kesimpulan : konsentrasi tepung ikan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadapcooking time mie sagu.
d. Analisis uji lanjut BNT
Perlakuan N SubsetA AB
A0 2 12,5
A2 2 11,0
A4 2 10,0
A6 2 9,5
A8 2 8,0
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar variasi konsentrasi tidak berbedanyata.
86
Lampiran 16. Analisis ragam (ANOVA) cooking losses mie sagu
Analisis ragam (ANOVA)
SumberKeragamn
JumlahKuadrat
DerajatBebas
KuadratTengah Fhitung Nilai P F tabel
Perlakuan 10.13346 4 2.533365 1.50211 0.32873955 5.19Galat 8.4327 5 1.68654
Total 18.56616 9
Kesimpulan : konsentrasi tepung ikan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadapcooking losses mie sagu.
87
Lampiran 17. Analisis ragam (ANOVA) dan Uji BNT elastisitas mie sagu
a. Analisis ragam (ANOVA)
SumberKeragaman
JumlahKuadart
DerajatBebas
KuadratTengah Fhitung Nilai P F tabel
Perlakuan 67.56696 4 16.89174 10.25 0.001455 3.48Galat 16.4794 10 1.64794
Total 84.04636 14
Kesimpulan : konsentrasi tepung ikan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadapelastisitas mie sagu.
b. Analisis uji lanjut BNT
Perlakuan N SubsetA AB
A8 2 16,20
A6 2 15,30
A4 2 11,25
A2 2 11,15
A0 2 10,65
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar variasi konsentrasi tidak berbedanyata.
88
Lampiran 18. Analisis ragam (ANOVA) dan Uji BNT kadar air mie sagu
a. Analisis ragam (ANOVA)
Sumber JK DB KT Fhitung Nilai P F tabelPerlakuan 54.8341 2 27.41705 477.37 0.00018 9.55Galat 0.1723 3 0.057433
Total 55.0064 5
Kesimpulan : konsentrasi tepung ikan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadapkadar air mie sagu.
b. Analisis uji lanjut BNT
Perlakuan N SubsetA B
A8 2 18,87
A0 2 18,79
Komersial 2 12,42
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan tidak berbeda nyata.
89
Lampiran 19. Analisis ragam (ANOVA) kadar abu mie sagu
Analisis ragam (ANOVA)
Sumber JK DB KT Fhitung Nilai P F tabelPerlakuan 0.314133 2 0.157067 7.63 0.066585 9.55Galat 0.06175 3 0.020583
Total 0.375883 5
Kesimpulan : konsentrasi tepung ikan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadapkadar abu mie sagu.
90
Lampiran 20. Analisis ragam (ANOVA) dan Uji BNT kadar protein mie sagu
a. Analisis ragam (ANOVA)
Sumber JK DB KT Fhitung Nilai P F tabelPerlakuan 37.73693 2 18.86847 70756.75 9.760481 9.55Galat 0.0008 3 0.000267
Total 37.73773 5
Kesimpulan : konsentrasi tepung ikan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadapkadar protein mie sagu.
b. Analisis uji lanjut BNT
Perlakuan N SubsetA B
A8 2 5,56
Komersial 2 0,25
A0 2 0,23
Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan tidak berbeda nyata.
91
Lampiran 21. Analisis ragam (ANOVA) kadar lemak mie sagu
Tabel 1. Analisis ragam (ANOVA)
Sumber JK DB KT Fhitung Nilai P F tabelPerlakuan 0.0769 2 0.03845 2.61 0.220742 9.55Galat 0.04425 3 0.01475
Total 0.12115 5
Kesimpulan : konsentrasi tepung ikan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadapkadar lemak mie sagu.