analisis perikanan cakalang (katsuwonus pelamis) di teluk ... · diperlukan menggunakan penegak...
TRANSCRIPT
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah Indonesia dalam amanat Undang-Undang No 31/2004
diberikan tanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia
untuk kepentingan seluruh masyarakat dengan memperhatikan kelestarian dan
keberlanjutan sumberdaya tersebut. Hal ini tentu berlaku juga untuk sumberdaya
perikanan, seperti ikan, udang, lobster, teripang, dan kerang-kerangan seperti
kima dan kerang mutiara. Meskipun sumberdaya tersebut secara umum disebut
sumberdaya dapat pulih, namun kemampuan alam untuk memperbaharui
sumberdaya alam tersebut bersifat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi
sumberdaya melebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan, maka
sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras dan bahkan menyebabkan
kepunahan.
Penangkapan berlebih atau over fishing sudah menjadi kenyataan pada
berbagai perikanan tangkap dunia. Pada Tahun 2010, Organisasi Pangan dan
Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 6 % dari stok perikanan laut dunia under
exploited, 20 % moderately exploited, 50 % telah mengalami full fished, 15 %
over fished, 6 % depleted dan hanya 2 % saja dari sumberdaya masih berada
pada kondisi developing. Sekitar 73 % yang fully or over exploited membutuhkan
pengelolaan dan 76 % dapat mendukung tingkat produktivitas optimal FAO
(2011) (Gambar 1). Untuk dapat pulih sumberdaya membutuhkan waktu yang
cukup lama walaupun telah dilakukan moratorium dan penghentian
penangkapan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki perairan yang luas
yaitu sekitar 5,8 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas
3,1 km2 juta serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7
juta km2 dengan kekayaan sumberdaya ikan laut yang sangat potensial sebesar
6,4 juta ton per tahun (Nikijuluw, 2002). Didorong oleh harapan publik di mana
sektor perikanan harus memberikan kontribusi terhadap peningkatan GNP
Indonesia melalui peningkatan produksi hasil tangkap, maka pertanyaannya
adalah sejauh manakah perairan laut Indonesia bisa dikembangkan untuk
perikanan tangkap dengan memperhatikan aspek keberlanjutan mengingat
2
perairan laut Indonesia bagian Barat telah mengalami penangkapan berlebih,
khususnya perairan pantai utara Jawa.
Gambar 1 Status perikanan dunia akibat kegiatan penangkapan ikan tahun 2010.
Berdasarkan pada kondisi geografi dan untuk kepentingan pengelolaan
sumberdaya ikan di laut, perairan laut Indonesia dibagi menjadi sebelas Wilayah
Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPPI) yaitu : (1) WPPI 571 : perairan Selat
Malaka dan Laut Andaman; (2) WPPI 572 : perairan Samudera Hindia sebelah
Barat Sumatera dan Selat Sunda; (3) WPPI 573 : perairan Samudera Hindia
sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan
Laut Timor bagian Barat; (4) WPPI 711 : perairan Selat Karimata, Laut Natuna,
dan Laut Cina Selatan; (5) WPPI 712 : perairan Laut Jawa; (6) WPPI 713 :
perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; (7) WPPI 714 :
perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; (8) WPPI 715 : perairan Teluk Tomini, Laut
Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau; (9) WPPI 716 : perairan
Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera (10) WPPI 717 : perairan
Teluk Cendrawasih dan samudera Pasifik dan (11) WPPI 718 : perairan laut Aru,
laut Arafura dan laut Timor bagian timur. Namun pengelompokan tersebut lebih
dititik beratkan pada geografi dan administrasi tempat pendaratan ikan, sehingga
perlu kiranya dipikirkan untuk membuat pengelompokan wilayah pengelolaan
sumberdaya perikanan berdasarkan ekosistem.
Salah satu isu yang muncul dan berkembang pada WPPI ini adalah
terjadinya overfishing dan ketidakseimbangan tingkat pemanfaatan jenis
sumberdaya ikan di masing-masing wilayah pengelolaan perikanan telah terjadi
3
pada beberapa WPPI, seperti WPPI 571 yang meliputi Selat Malaka dan WPPI
712 yang meliputi Laut Jawa. Overfishing ini berkaitan dengan intensitas dan
frekuensi upaya penangkapan serta kemampuan sumberdaya ikan untuk pulih
kembali. Walaupun sumbedaya ikan termasuk sumberdaya yang dapat pulih
(renewable resources) namun harus dimanfaatkan secara hati-hati. Anggapan
bahwa sumberdaya ikan adalah sumberdaya milik bersama (common property)
yang dapat dimanfaatkan secara bebas dan terbuka oleh semua orang dapat
mengancam kelestarian sumberdaya ikan.
Salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh Pemerintah sebagaimana yang
dituangkan dalam tujuan pembangunan perikanan tangkap adalah
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan guna
menyediakan ikan untuk konsumsi dalam negeri dan bahan industri
(Manggabarani, 2005). Keberlanjutan suatu sumberdaya perikanan tercapai
apabila sumberdaya perikanan tersebut dapat dikelola dengan baik sesuai
kaidah yang telah ditetapkan. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah
rasionalisasi penangkapan (effort rationalization) untuk mendorong tingkat
pemanfaatan yang berlebihan di suatu wilayah menjadi berkurang atau menjadi
terdistribusi secara lebih merata di sejumlah WPPI lainnya. Hal ini dapat dilihat
dari ketidakseimbangan fishing effort di antara wilayah pengelolaan Perikanan
Indonesia.
Di dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Pemerintah RI,
2004) dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk
proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi
serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan
untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan
tujuan yang telah disepakati. Demikian pula di dalam Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF), dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan
sebagai suatu proses yang terpadu antara pengumpulan informasi, melakukan
analisis, membuat perencanaan, melakukan konsultasi, pengambilan keputusan,
menentukan alokasi sumberdaya serta perumusan dan pelaksanaan, bila
diperlukan menggunakan penegak hukum dan aturan yang mengendalikan
kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi dan
sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan lainnya (FAO,1995).
4
Salah satu perairan yang potensi sumberdaya ikannya perlu dikelola
secara optimum adalah perairan teluk. Teluk adalah suatu perairan semi
tertutup/semi terbuka yang menjorok ke darat serta memiliki karakteristik
lingkungan biofisik perairan yang sangat berbeda dengan perairan terbuka.
McConnaughey dan Zottoli (1983) menyatakan bahwa kondisi perairan teluk
berbeda dengan perairan lainnya dari segi sejarah pembentukan secara geologi,
luasnya, volume airnya dan muatan sedimen yang dibawa sungai, fluktuasi
musiman dan banyaknya air yang dibawa, pola pasang surut, frekuensi dan arah
angin, volume air hujan di wilayahnya serta lapisan dari batu karang yang berada
di garis pantai.
Perairan teluk di daerah tropis relatif subur karena pada daerah
pesisirnya umumnya ditemukan berbagai ekosistem seperti mangrove, terumbu
karang dan padang lamun. Pada perairan teluk yang jernih terjadi proses
fotosintesa oleh biota perairan tingkat tinggi dan fitoplankton dapat berlangsung
dengan baik. Perairan yang subur biasanya merupakan suatu daerah pemijahan
(spawning ground), daerah pembesaran (nursery ground) dan sebagai daerah
untuk mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis ikan.
Teluk Bone adalah perairan semi tertutup yang terletak di antara propinsi
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Perairan ini dibatasi oleh Laut Flores
di bagian selatan sehingga massa air di dalam teluk Bone sangat dipengaruhi
oleh massa air yang ada di luar teluk khususnya Laut Flores. Hengky (2002) dan
Hadikusumah et al.(2005) menyatakan bahwa perairan laut Flores merupakan
perairan yang sangat dinamis di mana kondisi arus permukaan dan karakteristik
massa airnya dipengaruhi oleh angin musim. Pada saat angin musim Barat
massa air yang hangat dari laut Jawa akan bergerak menuju Laut Flores dan
pada saat angin musim Timur massa air yang dingin akan bergerak dari laut
Banda menuju laut Flores bergabung dengan massa air dari selat Makassar
menuju Laut Jawa.
Perairan Teluk Bone merupakan perairan yang subur. Nontji (1993)
menyatakan bahwa di Teluk Bone dan Laut Flores kemungkinan terjadi
pengangkatan massa air (up welling) dalam skala kecil. Pengangkatan massa
air ini diduga terjadi pada bulan Maret dan mencapai permukaan pada bulan Juli
dan menurun kembali pada bulan Oktober. Dari citra NOOA/AVHRR bulan Juli
sampai September 1998 terlihat massa air dingin di bagian timur Laut Flores.
Kondisi seperti ini diperkirakan ada hubungannya dengan massa air dingin dari
5
laut Banda yang pada saat yang sama terjadi penaikan massa air di laut Banda
yang berpengaruh terhadap musim penangkapan cakalang di Teluk Bone
(Amiruddin 1993; Hengky 2002). Kondisi lingkungan yang demikian akan
berpengaruh terhadap distribusi dan kelimpahan sumberdaya ikan di dalam
maupun di luar teluk terutama ikan-ikan yang bermigrasi seperti ikan-ikan pelagis
besar pada umumnya. Di samping itu pula akan mempengaruhi ketersediaan
sumberdaya ikan sehingga perlu menentukan bentuk pengelolaan yang sesuai.
Dapat diduga bahwa terdapat hubungan antara ketersediaan ikan di dalam dan
di luar teluk, sehingga pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan teluk perlu
memperhatikan kondisi sumberdaya ikan dan biofisik di dalam dan di luar teluk.
Perikanan tuna dan cakalang di Indonesia adalah salah satu pilar
ekonomi nasional. Perikanan ini merupakan salah satu sumber devisa bagi
negara dan juga menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Perikanan cakalang ini
telah berkembang terutama di perairan Indonesia bagian Timur. Uktoselja et al.
(1989) menyatakan bahwa potensi cakalang di selatan Sulawesi diperkirakan
sebesar 61.800 ton/tahun. Berdasarkan hasil kajian Widodo et al. (2003)
melaporkan bahwa potensi sumberdaya ikan pelagis besar di WPPI 713 di mana
wilayah pengelolaan Teluk Bone tercakup di dalamnya memiliki potensi sebesar
193.600 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan 43,96 % sehingga masih
memungkinkan untuk dikembangkan. Jenis ikan yang masih berprospek untuk
dikembangkan di Teluk Bone adalah ikan pelagis kecil, tuna, cakalang dan
tenggiri
Kegiatan perikanan cakalang di Teluk Bone didominasi oleh nelayan
tradisional yang menggunakan pole and line untuk kebutuhan pangan lokal.
Kegiatan pemanfaatan cakalang di perairan tersebut belum dilakukan oleh
pengusaha lain selain nelayan setempat. Kegiatan perikanan cakalang saat ini
diharapkan tidak hanya menekankan pada hasil tangkapan yang sebanyak-
banyaknya akan tetapi lebih diharapkan agar kegiatan tersebut dapat berjalan
terus menerus (secara berkelanjutan) dengan suatu bentuk pengelolaan
cakalang yang memperhatikan aspek biologi, teknologi dan lingkungan setempat.
Perikanan cakalang sebagai suatu sistem di mana sumberdaya ikan
(aspek biologi) dan unit penangkapan ikan sebagai sub sistem merupakan aspek
yang penting dalam menyusun suatu konsep pengelolan perikanan tangkap
cakalang, namun tidak mudah untuk dilakukan dan mendefenisikannya.
6
Penelitian sumberdaya perikanan di Teluk Bone telah dilakukan oleh
beberapa peneliti sebelumnya. Amiruddin (1993) meneliti hubungan
penangkapan cakalang dengan kondisi oseanografi fisika ; Kadir (1994) meneliti
potensi sumberdaya cakalang; Rosana (1994) meneliti pengaruh jenis umpan
terhadap hasil tangkapan cakalang dan Suwardi (2005) meneliti pengembangan
perikanan tangkap pelagis kecil. Namun penelitian tentang pengelolaan
cakalang belum dilaksanakan. Untuk melengkapi penelitian sebelumnya telah
dilaksanakan penelitian tentang Analisis Perikanan Cakalang (Katsuwonus
pelamis) di Teluk Bone : Hubungan Aspek Biologi dan Faktor Lingkungan,
sebagai salah satu informasi dasar dalam merumuskan suatu konsep
pengelolaan perikanan cakalang di kawasan teluk dan sebagai acuan dalam
pengaturan usaha penangkapan ikan di masa yang akan datang.
1.2 Perumusan Masalah
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih
(renewable resources) sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan.
Kondisi lingkungan ini merupakan faktor pembatas yang dapat menghambat
populasi ikan dari ekosistem itu sendiri, misalnya ketersediaan makanan,
predator, persaingan memperoleh makanan, laju pertumbuhan alami, persaingan
ruang dan lainnya.
Perairan teluk adalah salah satu wilayah ekosistem pesisir yang
mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan masih menerima masukan
air tawar dari daratan. Perairan ini memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga perlu
dijaga keberlanjutannya. Namun demikian permasalahan utama yang terjadi
adalah karena pemanfaatan yang berlebihan (over exploitation) terhadap
sumberdaya perikanan dan degradasi biofisik lingkungan perairan akibat
pencemaran, sehingga diperlukan upaya pengelolaan yang efektif dan
bertanggung jawab. Kondisi lingkungan biofisik perairan yang sesuai akan
berpengaruh terhadap populasi ikan yang ada.
Perairan Teluk Bone adalah perairan semi terbuka/tertutup yang
berhubungan langsung dengan Laut Flores memberi konsekuensi terjadinya
sirkulasi massa air di antara perairan di dalam teluk dengan perairan disekitarnya
sehingga berdampak terhadap sifat biofisik lingkungan, sifat ekologis, dinamika
sumberdaya, serta pola distribusi dan kelimpahan ikan. Adanya perubahan
musiman akan menghasilkan variasi pola arus yang mampu menimbulkan
7
penaikan massa air sehingga berpengaruh terhadap parameter lingkungan dan
kesuburan perairan Teluk Bone. Parameter lingkungan yang diperkirakan
berpengaruh terhadap penyebaran ikan pelagis adalah suhu dan kandungan
klorofil-a. Suhu merupakan parameter oseanografi penting yang dibutuhkan oleh
setiap organisme perairan untuk menunjang berbagai proses kehidupannya.
Bagi organisme yang hidup pada lapisan permukaan perairan seperti cakalang,
secara spesifik kelimpahan dan distribusinya lebih banyak dipengaruhi oleh suhu
permukaaan laut.
Parameter yang berkaitan dengan kesuburan perairan adalah kandungan
nutrien dan plankton dengan kandungan klorofil yang dimilikinya. Perairan
dengan tingkat kesuburan yang tinggi merupakan daerah berlimpahnya berbagai
jenis ikan termasuk cakalang. Dengan mengetahui hubungan antara parameter
lingkungan (oseanografi) dengan penyebaran serta kelimpahan ikan maka akan
diperoleh informasi tentang daerah penangkapan. Andarade (2003) menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara pola migrasi cakalang dengan kondisi
oseanografi dan pola arus. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengetahuan
tentang hubungan antara variabel lingkungan dengan sumberdaya perikanan
harus dijadikan dasar untuk menentukan bentuk kebijakan pengelolaan dan
meningkatkan produksi hasil tangkapan.
Teluk Bone telah lama dimanfaatkan untuk usaha penangkapan ikan.
Usaha penangkapan ikan yang ada masih dalam skala kecil namun jumlahnya
banyak. Salah satu sumberdaya ikan yang dieksploitasi di Teluk Bone adalah
cakalang. Potensi cakalang yang ada dipengaruhi oleh pola kondisii biofisik
lingkungan secara spasial dan temporal. Lingkungan biofisik yang berada dekat
mulut teluk (Laut Flores) dipastikan berbeda dengan lingkungan biofisik yang
jauh dari mulut teluk. Demikian pula pola musim yang bervariasi akan pula
berpengaruh terhadap kondisi biofisik lingkungan. Ketersediaan makanan baik
dalam jumlah dan kualitas mempengaruhi tingkat predasi dan merupakan
variabel penting bagi populasi cakalang. Ketersediaan makanan berhubungan
dengan rantai makanan (food chains). Plankton tumbuhan (phytoplankton)
melalui proses fotosintesis dapat memproduksi bahan organik (produsen primer),
organisme yang memakan produsen primer dinamakan konsumen primer,
organisme yang memakan konsumer primer dinamakan konsumer sekunder dan
seterusnya. Berdasarkan komposisi makanannya cakalang merupakan salah
satu contoh konsumer sekunder (Lalli and Parsons 1997).
8
Kegiatan penangkapan ikan di Teluk Bone saat ini berlangsung secara
bebas (open access) tanpa aturan dan pengendalian yang jelas sehingga semua
nelayan dan alat tangkap yang ada di daerah tersebut bebas mengakses Teluk
Bone untuk melakukan kegiatan penangkapan. Sumberdaya ikan mempunyai
kemampuan terbatas dalam mendukung usaha penangkapan ikan, oleh karena
itu kelestarian sumberdaya ikan akan terancam bila intensitas pemanfaatannya
melebihi daya dukung sumberdayanya. Demikian pula apabila pemanfaatan
sumberdaya ikan secara berlebih juga akan mengakibatkan hilangnya manfaat
ekonomi, yang sebenarnya dapat diperoleh bila pemanfaatan sumberdaya
dilaksanakan secara benar. Masalah pengurasan (depletion) sumber daya
perikanan demikian, oleh Smith (1986) diacu dalam Nikijuluw (2005), dirumuskan
dalam bahasa ekonomi sebagai keadaan di mana hasil tangkapan dibandingkan
dengan upaya tidak mampu menghasilkan suatu kehidupan yang layak bagi
nelayan. Maka untuk menghindari kondisi demikian, perlu adanya suatu
manajemen stok dan tersedianya data biologi dan ekonomi perikanan yang baik.
Hingga saat ini penangkapan ikan cakalang dilakukan tanpa pengaturan
yang jelas sesuai dengan kaidah pengelolaan sumberdaya perikanan. Nelayan
memiliki kecenderungan kapan dan dimana saja dengan bebas melakukan
penangkapan termasuk ikan yang masih berukuran belum layak tangkap. Untuk
keperluan pengelolaan sumberdaya ikan, maka informasi tentang ukuran ikan
yang layak tangkap (legal size) akan menjadi sangat penting.
Tingkat eksploitasi sumberdaya ikan cakalang perlu dikendalikan dan
dikelola agar kelestarian sumbedaya ikan tersebut dapat dijaga dan
dipertahankan. Batasan tingkat upaya penangkapan dan alokasinya yang
secara biologi tidak membahayakan sumberdaya ikan cakalang dan secara
ekonomi dapat memberikan keuntungan maksimum bagi usaha perikanan
merupakan kajian yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan cakalang.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu:
1. Bagaimana kondisi biologis ikan cakalang pada kawasan perairan teluk
Bone Sulawesi Selatan.
2. Bagamana kecenderungan (trend) penurunan CPUE cakalang, dan
berapa produksi cakalang (MSY) dan upaya penangkapan yang optimum.
3. Bagaimana pola hubungan dan kelimpahan cakalang berdasarkan
karakteristik biofisik perairan.
9
4. Bagaimana pengelolaan perikanan tangkap cakalang yang berkelanjutan
di kawasan Teluk Bone
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan konsep pengelolaan
perikanan tangkap cakalang di kawasan teluk yang menjelaskan tentang
produksi optimum, spesifikasi unit penangkapan ikan dan alokasi produksi alat
tangkap.
Untuk mencapai tujuan umum maka disusun beberapa tujuan khusus
penelitian yaitu :
1. Menganalisis aspek-aspek biologi cakalang pada perairan Teluk Bone
Sulawesi Selatan.
2. Menentukan produksi berimbang lestari (MSY) cakalang dan upaya
penangkapan cakalang yang optimum
3. Menentukan pola hubungan biofisik lingkungan dengan kelimpahan
cakalang.
4. Menyusun konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di Teluk
Bone Sulawesi Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembangunan
perikanan di Indonesia, khususnya pembangunan perikanan cakalang
di kawasan Teluk Bone. Secara lebih spesifik, hasil penelitian ini diharapkan
bermanfaat bagi :
1. Pengembangan ilmu dan teknologi
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi lain dalam
pengembangan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan kegiatan
pengelolaan perikanan cakalang. Informasi lain dimaksud adalah
digunakannya pendekatan shared stock dalam pengelolaan perikanan
cakalang dan tipologi hubungan antara SPL dan klorofil-a dengan
produksi cakalang.
2. Pemerintah
Hasil penelitiian ini dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah Pusat dan
Daerah dalam merumuskan kebijakan pembangunan perikanan,
10
khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan
perikanan cakalang di kawasan Teluk Bone.
3. Masyarakat nelayan
Manfaat yang dapat disumbangkan untuk nelayan, khususnya yang
melakukan penangkapan cakalang adalah berkaitan dengan besarnya
upaya yang dapat dilakukan agar usaha penangkapan dapat berjalan
secara optimal.
1.5 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah :
1. Hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) cakalang dan upaya
penangkapan belum optimum.
2. Ikan cakalang yang tertangkap di Teluk Bone didominasi oleh ukuran
belum layak tangkap.
3. Hubungan biofisik lingkungan dengan kelimpahan cakalang berbeda
secara temporal.
1.6 Kerangka Pemikiran
Ekosistem Teluk Bone merupakan ekosistem yang mempunyai kekhasan
tersendiri karena perairannya semi tertutup sehingga massa air yang masuk
berasal dari satu arah yaitu dari Laut Flores. Wilayah Teluk Bone dengan luas
sekitar 31.837,077 km2 dengan panjang garis pantai 1.126,84 km memiliki
potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar khususnya perikanan cakalang
karena 59 % (13,616) ton produksi ikan cakalang Sulawesi Selatan berasal dari
Kawasan Teluk Bone. Meskipun dalam satu teluk namun kondisi ekologis
berbeda pada masing-masing zona (Utara, Tengah dan Selatan) (Tabel 4).
Sumberdaya cakalang termasuk sumberdaya yang dapat pulih, namun intensitas
penangkapan terhadap ikan tersebut cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
perkembangan produksi yang makin meningkat setiap tahunnya dan sebaliknya
produktivitas alat tangkapnya cenderung makin menurun. Penurunan
produktivitas akan memberikan dampak terhadap rendahnya pendapatan yang
diterima oleh nelayan.
Agar pemanfaatan sumberdaya cakalang di Teluk Bone dapat
berlangsung secara berkelanjutan, maka perlu dibuat konsep pengelolaan
perikanan tangkap cakalang yang didasarkan pada aspek evaluasi potensi
11
sumberdaya ikan, biologi ikan dan aspek lingkungan. Analisis potensi lestari
(MSY) digunakan untuk melihat seberapa besar sumberdaya cakalang dapat
dieksploitasi setiap tahunnya. Informasi tentang biologi ikan yang berkaitan
dengan beberapa parameter populasi ikan cakalang, seperti pertumbuhan yang
mempengaruhi ukuran stok ikan. Ukuran ikan yang tertangkap secara langsung
dapat menjelaskan kondisi stok ikan di suatu daerah penangkapan. Semakin
kecil ukuran ikan yang tertangkap berarti kondisi stok ikan terancam karena ikan
yang tertangkap diduga belum sempat memijah sehingga pada periode
berikutnya individu baru semakin berkurang. Pendugaan ukuran saat pertama
kali ikan matang gonad merupakan salah satu cara untuk menentukan ukuran
ikan layak tangkap, sehingga sebagai tindakan pencegahan diperlukan
penggunaan alat tangkap yang selektif.
Analisis terhadap kondisi lingkungan dilakukan pada zona yang berbeda.
Hal ini penting karena perbedaan zona berpengaruh terhadap kondisi
lingkungan seperti SPL, klorofil-a dan produktivitas primer yang tentunya pula
akan berdampak terhadap kondisi stok sebagai fungsi ekologis cakalang.
Perumusan konsep pengelolaan perikanan tangkap cakalang di Teluk
Bone dilakukan dengan pendekatan deskriptif yaitu berdasarkan karakteristik
perikanan cakalang, biologi perikanan dan hubungan SPL dan klorofil-a dengan
produksi cakalang yang dibahas pada bab lainnya. Diagram alir kerangka
pemikiran disajikan pada Gambar 2.
12
Sumberdaya
Cakalang di Teluk
Bone
Aktivitas Perikanan Tangkap Cakalang
berdasarkan Zona Penangkapan
Kondisi biologi perikanan
Hasil tangkapan
Upaya penangkapan
Kondisi lingkungan biofisik
Suhu permukaan laut
Klorofil-a
Potosyntetically available
radiation (PAR)
Panjang ikan
Berat ikan
Hubungan panjang berat
Pertumbuhan Ikan
Analisis komposisi ukuran
Ukuran layak tangkap
Pola pertumbuhan
Komposisi ukuran
Ukuran Layak Tangkap
Konsep pengelolaan perikanan
cakalang Teluk Bone
Lingkungan
Biofisik
INPUT
PROSES
OUTPUT
Perkembangan produksi
Upaya standar
Regresi linier
ANOVA regresi
Analisis parameter statistik
SPL dan klrofil-a
Korelasi parsial
Vertically generalized
production model (VGPM)
Catch per unit effort
(CPUE)
Maximum sustainable
yield (MSY)
Fopt
Tipe hubungan
Signifikansi SPL dan
klorofil-a terhadap produksi
Estimasi biomas
Masalah Penelitian
- Berapa MSY dan Fopt
- Berapa batas ukuran ikan
yang layak ditangkap
- Bagaimana hub cakalang
dengan kondisi perairan teluk
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian pengelolaan perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Teluk Bone.