analisis pengelolaan teknik rapfish terhadap …repository.utu.ac.id/98/1/i-v.pdf · 2017. 9....

61
ANALISIS PENGELOLAAN TEKNIK RAPFISH TERHADAP KETERSEDIAAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PERAIRAN PESISIR ACEH BARAT SKRIPSI AMNA 06CI0432010 PROGRAM STUDI PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH 2014

Upload: others

Post on 24-Oct-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • ANALISIS PENGELOLAAN TEKNIK RAPFISH TERHADAP

    KETERSEDIAAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis)

    DI PERAIRAN PESISIR ACEH BARAT

    SKRIPSI

    AMNA

    06CI0432010

    PROGRAM STUDI PERIKANAN

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    UNIVERSITAS TEUKU UMAR

    MEULABOH

    2014

  • ANALISIS PENGELOLAAN TEKNIK RAPFISH TERHADAP

    KETERSEDIAAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis)

    DI PERAIRAN PESISIR ACEH BARAT

    SKRIPSI

    AMNA

    06CI0432010

    Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan Pada

    Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar

    PROGRAM STUDI PERIKANAN

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    UNIVERSITAS TEUKU UMAR

    MEULABOH

    2014

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Bekakang

    Potensi sumberdaya kelautan di Indonesia selama ini telah dimanfaatkan

    dalam berbagai aktivitas perekonomian, dimana salah satunya adalah dalam usaha

    perikanan tangkap. Perikanan tangkap itu sendiri merupakan aktivitas

    perekonomian yang unik bila dibandingkan dengan aktivitas lainnya. Hal ini

    berkaitan dengan kondisi sumberdaya laut dan ikan itu sendiri yang sering

    dianggap sebagai sumberdaya milik umum (Desniarti, 2007).

    Pemanfaatan sumberdaya ikan telah memberikan manfaat secara

    ekonomi kepada pelaku usaha akan tetapi pemanfaatan sumberdaya ikan ini juga

    memberikan dampak eksternalitas baik positif maupun negatif. Sumberdaya ikan

    bersifat renewable resources (sumberdaya yang dapat pulih) tetapi bukan berarti

    tak terbatas sehingga apabila tidak dikelola secara hati-hati, akan memberikan

    dampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan dan lingkungan

    (Desniarti, 2007).

    Untuk mengurangi dampak negatif dari kegiatan pembangunan maka

    pembangunan yang dilakukan saat ini adalah pembangunan yang berkelanjutan

    yaitu pembangunan yang secara ekologis lestari(ramah lingkungan), secara

    teknologi tepat guna, secara ekonomi, efisiensi dan layak, secara sosial bisa

    diterima/berkeadilan sehingga kebutuhan generasi mendatang tetap dapat

    dipertahankan (Dahuri, 2003).

    Usaha perikanan tangkap, permasalahan yang sering terjadi adalah

    tingkat penangkapan ikan di suatu wilayah yang melebihi produksi lestarinya

  • 2

    (maximum sustainable yield) sehingga terjadi fenomena tangkap lebih

    (overfishing) yang berakibat pada penurunan hasil tangkapan yang pada

    gilirannya mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan.

    Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) adalah ikan berukuran sedang

    dari familia Scombridae (tuna). Satu-satunya spesies dari genus Katsuwonus.

    Cakalang terbesar, panjang tubuhnya bisa mencapai 1 m dengan berat lebih dari

    18 kg. Cakalang yang tertangkap umumnya berukuran panjang sekitar 50 cm.

    Sumberdaya cakalang (Katsuwonus pelamis) bersifat sumberdaya yang

    dapat pulih (renewable resources) namun tingkat kecepatan pemulihannya dapat

    saja tidak seimbang dengan laju pemanfaatan. Oleh karena itu pemerintah

    bertanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia

    untuk kepentingan seluruh masyarakat dengan memperhatikan kelestarian dan

    keberlanjutan sumberdaya tersebut. Cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan

    salah satu jenis sumberdaya ikan terpenting baik sebagai komoditi ekspor

    maupun sebagai bahan konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu penambahannya

    di dalam devisa negara cukup berarti.

    Negara-negara maju seperti Jepang, Korea dan Amerika Serikat

    penelitian terhadap cakalang sudah dilakukan, baik menyangkut aspek biologi,

    distribusi dan teknik penangkapannya. Di Indonesia penelitian seperti itu belum

    banyak dilakukan sehingga informasi yang tersedia masih kurang sekali

    (Wouthuyzen et al, 1990).

    Produksi perikanan yang dihasilkan oleh nelayan di Aceh Barat terutama

    ikan belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat setempat, untuk

    kedepan misi Dinas Kelautan dan Perikanan Kapubaten Aceh Barat selain bisa

    http://id.wikipedia.org/wiki/Familiahttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Scombridae&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Tunahttp://id.wikipedia.org/wiki/Genus

  • 3

    memenuhi target konsumsi ikan masyarakat sasaran lain nya dapat menarik

    investor dari dalam maupun luar daerah.

    Adapun hasil tangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di

    Kabupaten Aceh Barat dari bulan Januari – Maret 2012 mencapai 95.918 Kg

    sedangkan dari bulan April – Juni 2012 mencapai 67.606 Kg. Dalam kegiatan

    penangkapan, para nelayan menggunakan bermacam alat tangkap yang terdiri

    dari; (1) Pukat Cincin; (2) Rawai; (3) Pancing Tonda; (4) Payang; (5) Jaring

    Insang. Sedangkan untuk armada tangkapan sebagian besar dari nelayan

    menggunakan perahu motor yang berjumlah 644 unit. Dari sebagian kecil nya

    para nelayan menggunakan perahu tanpa motor dengan jumlah 160 unit (DKP

    Aceh Barat, 2012).

    1.2 Perumusan masalah

    Permasalahan yang terjadi saat ini dimana keberlanjutan ketersediaan

    cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Aceh Barat dengan menggunakan

    pendekatan teknik Rapfish melalui penyusunan indeks dan status ketersediaan

    cakalang (Katsuwonus pelamis) yang berkelanjutan.

    1.3 Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui indeks dan

    status keberlanjutan ketersediaan cakalang(Katsuwonus pelamis) melalui

    penyusunan indeks dan status (kategori) keberlanjutan ketersediaan cakalang

    berdasarkan kriteria pembangunan berkelanjutan. Indeks ini selanjutnya

  • 4

    disimpulkan sebagai IkB-KP atau nomenklatur dari Indeks Keberlanjutan

    Ketersediaan Cakalang.

    1.4 Manfaat Penelitian

    Kegunaan kajian ini diharapkan memberikan informasi mengenai kondisi

    perikanan tangkap dan keberlanjutan pengelolaan tangkapan terhadap

    ketersediaan cakalang(Katsuwonus pelamis) antara lain:

    1. Pemerintah dapat membuat kebijakan terhadap ketersediaan cakalang

    (Katsuwonus pelamis) di Perairan Pesisir Kabupaten Aceh Barat.

    2. Masyarakat dapat meningkatkan pendapatan serta dapat mengontrol

    penangkapan cakalang(Katsuwonus pelamis).

    3. Memberikan informasi bagi instansi terkait.

  • 5

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Ikan Cakalang

    Cakalang (Katsuwonus pelamis) sering disebut skipjack tuna karena ikan

    ini termasuk kedalam familia Scombridae dan berukuran sedang. Cakalang

    terbesar, panjang tubuhnya bisa mencapai 1 meter, dengan berat lebih dari 18 Kg.

    Cakalang yang tertangkap umumnya berukuran panjang sekitar 50 cm. Nama-

    nama lain dari cakalang di antaranya cakalan, cakang, kausa, kambojo, turingan,

    dan ada pula yang menyebutnya tongkol.

    2.1.1 Aspek Biologi

    Adapun klasifikasi cakalang menurut Matsumoto, et al (1984) adalah

    sebagai berikut, Phylum : Vertebrata, Class : Telestoi, Ordo : Perciformes, Famili

    : Scombridae, Genus : Katsuwonus, Species : Katsuwonus pelamis

    Gambar 1. Ikan cakalang (sumber : http//www.fishbase.org)

  • 6

    Cakalang termasuk jenis ikan tuna dalam famili Scombridae, species

    Katsuwonus pelamis. Collete (1983) menjelaskan ciri-ciri morfologi cakalang

    (Katsuwonus pelamis) yaitu tubuh berbentuk fusiform, memanjang dan agak

    bulat, tapis insang (gillrakes) berjumlah 53- 63 pada helai pertama. Mempunyai

    dua sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14-

    16 jari-jari keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-9

    finlet. Sirip dada pendek, terdapat dua flops diantara sirip perut. Sirip anal diikuti

    dengan 7-8 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan

    lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman

    (gelap) disisi bawah dan perut keperakan, dengan 4-6 buah garis-garis berwarna

    hitam yang memanjang pada bagian samping badan.

    2.1.2 Kebiasaan Makan

    Cakalang (Katsuwonus pelamis) termasuk ikan perenang cepat dan

    mempunyai sifat makan yang rakus. Ikan jenis ini sering bergerombol yang

    hampir bersamaan melakukan ruaya di sekitar pulau maupun jarak jauh dan

    senang melawan arus, ikan ini biasa bergerombol di perairan pelagis hingga

    kedalaman 200 m. Ikan ini mencari makan berdasarkan penglihatan dan rakus

    terhadap mangsanya. Makanan mereka berupa ikan, Crustacea, Cephalopoda, dan

    Molusca. Cakalang merupakan mangsa penting bagi ikan-ikan besar di zona

    pelagik, termasuk hiu (Jones dan Silas, 1962)

  • 7

    2.1.3 Habitat dan Penyebaran

    Menurut Gunarso (1996) suhu yang ideal untuk ikan cakalang

    (Katsuwonus pelamis) antara 260C – 32

    0C, dan suhu yang ideal untuk melakukan

    pemijahan 280C– 29

    0C dengan salinitas 33% . Sedangkan menurut Jones dan Silas

    (1962) cakalang hidup pada temperatur antara 160C – 30

    0C dengan temperatur

    optimum 280C.

    Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) menyebar luas diseluruh perairan

    tropis dan sub tropis pada lautan Atlantik, Hindia dan Pasifik, kecuali laut

    Mediterania. Penyebaran ini dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu

    penyebaran horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan

    penyebaran vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan (Elina, 2003).

    Lebih lanjut Elina (2003) menyatakan penyebaran Cakalang

    (Katsuwonus pelamis) sering mengikuti sirkulasi arus garis konvergensi diantara

    arus dingin dan arus panas merupakan daerah yang kaya akan organisme dan

    diduga daerah tersebut merupakan fishing ground yang sangat baik untuk

    perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis). Dalam perikanan Tuna dan Cakalang

    (Katsuwonus pelamis) pengetahuan tentang sirkulasi arus sangat diperlukan,

    karena kepadatan populasi pada suatu perairan sangat berhubungan dengan arus-

    arus tersebut.

    Penyebaran cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Samudra Hindia

    meliputi daerah tropis dan sub tropis, penyebaran cakalang (Katsuwonus pelamis)

    ini terus berlangsung secara teratur di Samudra Hindia di mulai dari Pantai Barat

    Australia, sebelah selatan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah selatan Pulau Jawa,

    Sebelah Barat Sumatra, Laut Andaman, di luar pantai Bombay, di luar pantai

  • 8

    Ceylon, sebelah Barat Hindia, Teluk Aden, Samudra Hindia yang berbatasan

    dengan Pantai Sobali, Pantai Timur dan Selatan Afrika (Elina, 2003).

    Menurut Elina (2003), penyebaran cakalang (Katsuwonus pelamis) di

    perairan Indonesia meliputi Samudra Hindia (perairan Barat Sumatra, selatan

    Jawa, Bali, Nusa Tenggara), Perairan Indonesia bagian Timur (Laut Sulawesi,

    Maluku, Arafuru, Banda, Flores dan Selat Makassar) dan Samudra Fasifik

    (perairan Utara Irian Jaya).

    2.1.4 Musim Penangkapan

    Secara garis besarnya, cakalang (Katsuwonus pelamis) mempunyai

    daerah penyebaran dan migrasi yang luas, yaitu meliputi daerah tropis dan sub

    tropis dengan daerah penyebaran terbesar terdapat di sekitar perairan khatulistiwa.

    Daerah penangkapan merupakan salah satu faktor penting yang dapat menentukan

    berhasil atau tidaknya suatu operasi penangkapan. Dalam hubungannya dengan

    alat tangkap, maka daerah penangkapan tersebut haruslah baik dan dapat

    menguntungkan. Dalam arti ikan berlimpah, bergerombol, daerah aman, tidak

    jauh dari pelabuhan dan alat tangkap mudah dioperasikan (Indra, 2008).

    Lebih lanjut Indra (2008), menyatakan bahwa dalam memilih dan

    menentukan daerah penangkapan, harus memenuhi syarat-syarat antara lain :

    1. Kondisi daerah tersebut harus sedemikian rupa sehingga ikan dengan

    mudah datang dan berkumpul.

    2. Daerahnya aman dan alat tangkap mudah dioperasikan.

    3. Daerah tersebut harus daerah yang secara ekonomis menguntungkan. Hal

    ini tentu saja erat hubungannya dengan kondisi oseanografi dan

  • 9

    meteorologist suatu perairan dan faktor biologi dari ikan cakalang

    (Katsuwonus pelamis) itu sendiri.

    Musim penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan

    Indonesia bervariasi. Musim penangkapan cakalang di suatu perairan belum tentu

    sama dengan perairan yang lain. Penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di

    perairan Indonesia dapat dilakukan sepanjang tahun dan hasil yang diperoleh

    berbeda dari musim ke musim dan bervariasi menurut lokasi penangkapan. Bila

    hasil tangkapan lebih banyak dari biasanya disebut musim puncak dan apabila

    dihasilkan lebih sedikit dari biasanya disebut musim paceklik (Indra, 2008).

    2.2 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

    Pengolalaan sumberdaya ikan merupakan sebuah aspek yang sangat

    menonjol disektor perikanan dan ketidak mampuan dalam pengelolaan

    sumberdaya ikan/sumberdaya perikanan dapat berakibat menurunnya pendapatan

    sektor perikanan yang berasal dari sumber yang ada (Permana, 2006).

    Mengingat pengelolaan sumberdaya ikan mempunyai cakupan yang luas

    dan pengalaman kita dalam bidang pengelolaan juga masih sangat terbatas, maka

    diperlukan suatu kesamaan dalam mengartikan istilah pengelolaan

    perikanan/sumberdaya ikan itu sendiri. Kata “pengelolaan” yang kita pakai adalah

    terjemahan dari katan “management” yang dalam ilmu administrasi dijelaskan

    bahwa unsur pokok dari managemen adalah meliputi P.O.A.C (Planning,

    Organizing, Actuating, Controling). Unsur ini pun ada dalam “fisheries

    managemen” namun lebih luas dan prosesnya cukup panjang. Dalam Guideline

    no.4 CCRF pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai berikut: pengelolaan

  • 10

    perikanan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan

    informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi

    sumber dan implementasinya, dalam upaya menjamin kelangsungan produktivitas

    serta pencapaian tujuan pengelolaan (Muchtar, 2009).

    2.2.1 Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan dan Berbasis

    Masyarakat.

    Pengertian pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan adalah

    pengelolaan yang mengarah kepada bagaimana sumberdaya ikan yang ada saat ini

    mampu memenuhi kebutuhan sekarang dan kebutuhan generasi yang akan datang,

    dimana aspek keberlanjutan harus meliputi aspek ekologi, sosial-budaya, ekonomi

    dan institusi (Mallawa. A, 2006).

    Pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan tidak melarang aktifitas

    penangkapan yang bersifat ekonomi/komersial, tetapi menganjurkan dengan

    persyaratan bahwa tingkat pemanfaatan tidak melampaui daya dukung (carrying

    capacity) lingkungan perairan atau kemampuan pulih sumberdaya ikan, sehingga

    generasi mendatang tetap memiliki aset sumberdaya alam yang sama atau lebih

    banyak dari generasi saat ini.

    Bengen (2005), mengatakan bahwa suatu pengelolaan dikatakan

    berkelanjutan apabila kegiatan tersebut dapat mencapai tiga tujuan pembangunan

    berkelanjutan yaitu berkelanjutan secara ekologi, sosial-budaya dan ekonomi.

    Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti, bahwa kegiatan

    pengelolaan sumberdaya ikan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas

    ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya ikan

  • 11

    termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga pemanfaatan

    sumberdaya ikan dapat berkesinambungan.

    Berkelanjutan secara sosial-budaya mensyaratkan bahwa kegiatan

    pengelolaan ikan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil, mobilitas

    sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas

    sosial, dan pengembangan kelembagaan.

    Sedangkan keberlanjutan secara ekonomi berarti bahwa kegiatan

    pengelolaan sumberdaya ikan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi,

    pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya ikan serta investasi secara

    efesien.

    Ketertiban pengguna (user) dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah

    hal yang sangat penting di mana pengalaman di beberapa tempat bahwa tidak ada

    program pengelolaan yang sukses tanpa melibatkan pengguna. Pengguna harus

    mengambil bagian pada semua fase pengembangan rencana pengelolaan dan

    implementasi program pengelolaan (Mallawa. A, 2006) .

    Keterlibatan pemakai dan orang-orang berpotensi memakainya (potential

    user) dan lainya yang mempunyai pengaruh besar dalam implementasi rencana

    pengelolaan harus secara konfrehensif, tidak hanya dengan pemasukkan ide

    melalui pertemuan terbatas tetapi dengan kontak yang insentif dimana sebagai

    tingkatan proses perencanaan dan kebijakan yang diambil tergantung kepada

    keterlibatan Stakeholder yang meliputi : penentuan tujuan (setting of goals),

    survey sumberdaya (surveying resources), pendugaan pemakai sumberdaya

    (assessing resources use), review pra rencana alternatif, review draft rencana,

    implementasi rencana, revisi rencana yang akan ditetapkan (Mallawa. A, 2006).

  • 12

    Investigasi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya ikan akan

    dilakukan pendekatan partisispatif (participatory research approach) yaitu hasil

    yang di dapatkan sebelum difinalkan akan disosialisasikan dan partisispasi

    masyarakat untuk mendengar dan membahas dengan seluruh pihak terkait

    (stakeholders). Kegiatan partisipasi masyarakat meliputi :

    a. Pertemuan konsultasi dengan masyarakat PCM (public consultation meeting)

    b. Pembahasan antar kelompok FGD (focus group discussion)

    c. Survey wawancara semi tersusun (SSIS).

    2.2.2 Landasan Hukum Pengelolaan Sumberdaya Ikan

    Undang-undang dan peraturan yang menjadi landasan hukum dalam

    melakukan pengelolaan sumberdaya ikan antara lain:

    a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 33 yang

    menyatakan bahwa tanah, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya

    digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat.

    b. Konvensi Hukum Laut United Nation Convention of Law of the Sea,

    (UNCLOS) tahun 1982 pasal 61 yaitu negara pantai berkewajiban

    diantaranya : memastikan tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap

    sumberdaya perikanan

    c. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) oleh FAO tahun 1995

    tentang pengelolaan perikanan bertanggung jawab mengamanahkan antara

    lain : negara pengguna sumberdaya ikan harus menjaga sumberdaya ikan dan

    lingkungannya, hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban

    menangkap dengan cara yang bertanggung jawab, negara harus mencegah

  • 13

    terjadinya penangkapan berlebih, kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan

    harus berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia, pelaksanaan pengelolaan

    sumberdaya ikan harus menerapkan pendekatan kehati-hatian, pengembangan

    dan penerapan alat penangkapan ikan yang selektif dan ramah lingkungan,

    perlu dilakukan perlindungan terhadap habitat perikanan kritis, negara harus

    menjamin terlaksanannya pengawasan dan kepatuhan dalam pelaksanaan

    pengelolaan.

    d. Undang-Undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan antara lain :

    1. Bab I pasal 1 ayat 7 : pengelolaan perikanan adalah semua upaya,

    termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisi,

    perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan,

    dan inplementasi serta penegakkan hukum peraturan per undang-

    undangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau

    otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas

    sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

    2. Bab IV pasal 6 ayat 1 menyatakan, pengelolaan perikanan dalam wilayah

    pengelolaan perikanan RI dilakaukan untuk tercapainya manfaat yang

    optimal dan berkelanjutan serta terjamin kelestarian sumberdaya ikan,

    ayat 2 bahwa pengelolaan ikan dan pembudidaya ikan harus

    mempertimbangkan hukum adat dan atau kearifan lokal serta

    memperhatikan peran serta masyarakat.

    e. Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,

    “hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antara

    pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lainnya dalam hal

  • 14

    pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya dilaksanakan

    secara adil dan selaras”.

    2.2.3 Tujuan Pengelolaan Sumberdaya Ikan

    Tujuan dari pengelolaan sumberdaya ikan di Indonesia sesuai dengan

    tujuan pengelolaan perikanan yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 31

    tahun 2004 tentang perikanan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan

    berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan,

    keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Pengelolaan perikanan

    dilaksanakan dengan tujuan :

    a. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan skala kecil,

    b. Meningkatkan penerimaan dan devisa negara,

    c. Mendorong perluasan dan kesempatan kerja,

    d. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan,

    e. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan,

    f. Meningkatkan produktivitas mutu, nilai tambah, dan daya saing,

    g. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengelolaan ikan,

    h. Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan

    lingkungan sumberdaya ikan secara optimal dan,

    i. Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan, dan tata

    ruang.

  • 15

    2.2.4 Konsep Keberlanjutan

    Mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam tidak hanya dalam

    proses mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber sampai habis untuk digali.

    Tetapi juga menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya agar

    semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh

    keuntungan dari usahanya. Melainkan mereka juga diminta untuk memberikan

    kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya. Perubahan pada tingkat

    kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru tentang pentingnya

    melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR)

    (Pfahl, 2003).

    Hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio pada 1992,

    telah menyepakati perubahan sebuah paradigma pembangunan. Dari sebuah

    paradigma yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi (economic growth)

    menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainibility development). Konsep

    sustainibility development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti

    diperhatikan. Tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang

    kekuatan kapitalnya makin menggurita (Pfahl, 2003).

    Adapun lima elemen konsep keberlanjutan yang penting, diantaranya

    adalah ketersediaan dana, misi lingkungan, tanggung jawab sosial,

    terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah),

    mempunyai nilai keuntungan/manfaat. Sedangkan sasaran utama dari

    pembangunan berkelanjutan adalah upayanya dalam meningkatkan tarap hidup

    manusia, sehingga kemiskinan dapat ditekan. Kemiskinan tidak hanya akan

  • 16

    mengurangi akses masyarakat untuk mendapatkan sumber-sumber

    penghidupannya (Pfahl, 2003).

    Keberlanjutan dapat didefinisikan sebagai kapasitas penampung dari

    ekosistem untuk mengasimilasi pemborosan agar tidak sampai berlebihan. Dan

    rata-rata hasil dari sumber daya yang terbarui tidak akan berlebihan pada rata-rata

    generasi. Artinya, suatu usaha dari bekerjanya ekosistem untuk mengefisienkan

    pemborosan terhadap pemanfaatan sumber daya yang tersedia, dan pemanfaatan

    tersebut akan disesuaikan dengan kemampuan pada setiap generasi (World Bank,

    2003).

    2.3 Teknik Rapfish

    Pengembangan metode Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) yang

    mulai diperkenalkan oleh Fisheries Center, University of Columbia pada tahun

    1999 saat ini telah banyak dilakukan di berbagai negara. Namun demikian,

    RAPFISH sebagai suatu metode untuk mengukur dan menggambarkan kondisi

    lestari sumberdaya kelautan dan perikanan di suatu tempat atau wilayah masih

    tetap aktual untuk dilakukan di Indonesia. Masih relevannya penggunaan analisis

    RAPFISH di Indonesia dikarenakan data aktual yang menggambarkan kondisi

    wilayah pengelolaan perairan di Indonesia masih sangat minim. Sisi lain

    kebutuhan akan pengelolaan yang berkelanjutan atas wilayah tersebut semakin

    mendesak.

    Hasil dari kegiatan pengembangan metode RAPFISH untuk mengkaji

    indikator kinerja pembangunan sektor perikanan tangkap. Dalam suatu bentuk

    pedoman penentuan indikator kinerja pembangunan sektor perikanan tangkap.

  • 17

    Penyusunan pedoman ini diolah dari hasil berbagai riset yang mengacu pada

    konsep sustainable development diantaranya metode RAPFISH (Pitcher and

    Prekshot. 2001). Penyusunan indicator Marine Protected Area oleh Fisheries

    Center - University of British Columbia, Canada (2001) serta riset penentuan

    indikator kinerja kelautan dan perikanan (PRPPSE, 2002).

    Penyusunan pedoman ini lebih bertujuan sebagai sarana sosialisasi

    metode analisis multivarites berbasis multidimensional scaling (MDS), terutama

    yang diaplikasikan dalam metode RAPFISH. Hal ini diharapkan agar lebih "user

    friendly" atau mudah digunakan serta para pengguna benar-benar mengetahui dan

    dapat me-recheck ataupun menyesuaikan penetapan setiap dimensi dan atribut

    yang digunakan. lsi dari pedoman tersebut teridiri atas kolom-kolom "Atribut",

    "Skala Skor", “Baik", “Buruk", "Penjelasan” dan "Bentuk Pertanyaan".

    a. Atribut

    Kolom "Atribut” menunjukkan atribut-atribut setiap dimensi yang diharapkan

    menjadi bahan penentuan indikator kinerja pembangunan perikanan tangkap,

    sekaligus sebagai bahan rekomendasi bagi penyusunan kebijakan pengelolaan

    subsektor perikanan tangkap yang lestari.

    Lebih lanjut didalam kolom ini disertakan kode-kode yang menunjukkan

    sumberdata untuk menverifikasi kondisi wilayah pengelolaan perikanan

    berdasarkan atribut yang dianalalisis terhadap kinerja pengelolaan perikanan

    tangkap di setiap wilayah yang bersangkutan. Kode "N" menunjukkan data yang

    diperoleh melalui wawancara dengan Nelayan, kode "0" menunjukkan data yang

    diperoleh melalui wawancara dengan staf dari Dinas Kelautan dan Perikanan

    instansi-instansi pemerintahan dan non-pemerintahan seperti LSM, lembaga

  • 18

    penelitian serta kode "S" untuk data yang diperoleh melalui penelusuran

    literatur/publikasi ilmiah.

    b. Skala skor

    Skala skor menunjukkan rentang nilai skala ordinal sebagai dasar pemberian

    skoring untuk atribut-atribut di setiap dimensi yang dianalisis. Besarnya skala

    mengacu pada pedoman RAPFISH yang berlandaskan pada "FAO Code of

    Conduct for Responsible Fisheries' (Pitcher and Preikshot, 2001).

    c. Baik

    Kolom "Baik" menunjukkan nilai (bagi setiap atribut) yang mencerminkan

    kondisi yang mendukung perikanan tangkap yang lestari. Besarnya skala mengacu

    pada pedoman RAPFISH yang berlandaskan pada "FAO Code of Conduct for

    Responsible Fisheries" (Pitcher and Preikshot, 2001).

    d. Buruk

    Kolom "Buruk" menunjukkan nilai (bagi setiap atribut) yang mencerminkan

    kondisi yang tidak mendukung perikanan tangkap yang lestari. Besarnya skala

    mengacu pada pedoman RAPFISH yang berlandaskan pada "FAO Code of

    Conduct for Responsible Fisheries" (Pitcher and Preikshot, 2001).

    e. Penjelasan

    Kolom "Penjelasan" ini berisikan uraian alasan digunakannya atribut-atribut

    didalam setiap dimensi yang dianalisis beserta pemberian skor atribut-atribut

    tersebut dengan berlandaskan pada konsep pembangunan berkelanjutan yang

    mendukung terwujudnya pembangunan sektor perikanan tangkap yang

    berkelanjutan.

  • 19

    f. Bentuk pertanyaan

    Kolom "Bentuk pertanyaan" kegunaannya lebih bersifat teknis/operasional

    yang merupakan bentuk kuesioner atau daftar pertanyaan bagi kegiatan verifikasi

    lapang pada kondisi atau status perikanan tangkap di suatu wilayah pengelolaan

    perikanan tangkap yang dianalisis.

  • 20

    III. METODOLOGI PENELITIAN

    3.1 Waktu dan Tempat

    Penelitian ini sudah dilaksanakan selama satu bulan dari bulan November

    sampai dengan bulan Desember 2012 yang berlokasi di Tempat Pendaratan Ikan

    (TPI) Kuala Bubon Kecamatan Samatiga, dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)

    Ujong Baroh Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

    Lokasi penelitian

    Gambar 2. Peta lokasi penelitian (Bappeda Aceh Barat).

    3.2 Kerangka Pemikiran

    Secara skematis kerangka pemikiran pembentukan rancang bangun

    ketersediaan cakalang disajikan pada gambar 3.

  • 21

    Gambar 3. Kerangka pemikiran pembentukan rancang bangun ketersediaan

    cakalang(Katsuwonus pelamis) (Edwarsyah, 2008).

    3.3 Metode Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan dengan metode deskriptif yaitu metode

    penelitian untuk membuat gambaran mengenai sistem dan kejadian dengan

    pemeliharaan metode survei dan studi kasus (case study) (Nazir,2005).

    Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan secara detail tentang latar

    belakang, sifat-sifat secara kerangka-kerangka yang langsung dari kasus. Metode

    survei yaitu suatu proses pengumpulan data primer dan data sekunder dengan

    menanyakan pada responden untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan

    (Nazir, 2005).

    Kondisi Saat Ini

    Isu dan Permasalahan

    1. Inkonsistensi Kelembagaan

    2. Kurangnya hasil tangkapan

    3. Pengembangan Kawasan

    4. Laju Pertumbuhan

    Penduduk

    5. Illegal Fishing

    Kebijakan Saat Ini

    1. Ekologi

    2. Ekonomi

    3. Sosial dan Budaya

    4. Kelembagaan

    Analisis

    Deskriptif

    Rap – KP

    (Rapid appraisal-

    Katsuwonus

    pelamis)

    Analisis Indeks

    Ketersediaan

    Cakalang (IkB-KP)

  • 22

    Ada empat dimensi yang dapat dijadikan sebagai parameter untuk

    mengkaji saat ini di dalam keberlanjutan ketersediaan cakalang (Katsuwonus

    pelamis): (1) Dimensi ekologi, (2) Dimensi ekonomi, (3) Dimensi sosial budaya

    dan (4) Dimensi Kelembagaan.

    Penelitian berikutnya dimulai dengan melakukan analisis kebutuhan

    stakeholders. Hasil analisis ini menjadi sumber untuk memberikan penilaian

    (skor) setiap atribut pada masing-masing dimensi dalam rangka menilai

    keberlanjutan sistem kebijakan saat ini. Atribut-atribut yang sensitif

    mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan sistem yang dikaji, selanjutnya

    dijadikan faktor-faktor penting dalam sistem dan analisis tingkat pengaruh dan

    ketergantungan antar faktor tersebut.

    Pada tahap berikutnya dilakukan analisis kebutuhan dari semua pihak

    yang berkepentingan terhadap sistem, sehingga diperoleh fakor-faktor penting,

    yang selanjutnya juga dilakukan analisis tingkat pengaruh dan ketergantungan

    antar faktor tersebut. Faktor-faktor penting dari kedua analisis (exsiting condition

    dan need analysis) dikombinasikan untuk mendapatkan hasil yang lebih

    mencerminkan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji.

    3.4 Metode Pengumpulan Data

    Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data

    primer yaitu data yang dikumpulkan langsung di lapangan yang terdiri dari: data

    spesifikasi kapal, pola usaha perikanan dan hasil tangkapan, data ini diperoleh

    secara langsung dengan melakukan pengamatan dan pencatatan dari hasil

    observasi, wawancara dan partisipasi aktif. Data sekunder adalah data yang

  • 23

    diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-

    sumber yang telah ada. Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari

    laporan-laporan peneliti terdahulu. Data sekunder disebut juga data tersedia

    (Hasan, 2002), data sekunder ini kebanyakan merupakan data urut waktu yang

    diperoleh dari instansi/Dinas terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan

    Kabupaten Aceh Barat, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan sumber lainnya.

    Tabel 1. Jenis pengumpulan data yang akan dilakukan dan sumber data

    No Jenis Data Sumber Data

    1

    2

    3

    Kebutuhan

    Indeks indentifikasi pakar-pakar

    Demografi, ekonomi, sosial dan budaya

    Responden (Expert/Pakar)

    Responden (Expert/Pakar)

    BPS Aceh Barat, Dinas

    Perikanan dan Kelautan

    Aceh Barat, Bappeda Aceh

    Barat

    3.5 Teknik Pengambilan Sampel

    Pengambilan sampel dalam rangka mendapatkan informasi dan

    pengetahuannya (akuisasi pendapat pakar) ditentukan/dipilih secara sengaja

    (purposive sampling). Dasar pertimbangan dalam penentuan atau pemilihan pakar

    untuk dijadikan sebagai responden menggunakan kriteria sebagai berikut :

    1. Keberadaan responden dan kesediaannya untuk dijadikan responden.

    2. Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dan telah menunjukan kredibilitasnya

    sebagai ahli atau pakar pada bidang yang diteliti.

    3. Telah memiliki pengalaman dalam bidangnya.

    4. Memiliki pengalaman dalam pakarnya.

    5. Keberadaan responden mengetahui benar tentang kondisi dan permasalahan

    keberlanjutan ketersediaan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan pesisir

    Aceh Barat.

  • 24

    Tabel 2. Kategori Responden/pakar

    No Responden/ expert atau Pakar Jumlah Orang

    1.

    2.

    3.

    4.

    5.

    6.

    7.

    Akademisi Fak.Perikanan dan Ilmu kelautan UTU

    Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat

    Pengusaha Perikanan Tangkap

    Pemilik Kapal Tangkap

    LSM (pemerhati lingkungan)

    Panglima Laot

    Nelayan

    3

    3

    4

    4

    3

    3

    5

    Jumlah 25

    3.6 Metode Analisis

    Analisis keberlanjutan sistem ketersediaan cakalang(Katsuwonus

    pelamis) dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu tahap penentuan atau

    diskriptor ketersediaan cakalang secara keberlanjutan yang mencakup 4 dimensi

    (dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya dan dimensi

    kelembagaan) tahap penelitian setiap atribut dalam skala koordinasi berdasarkan

    kriteria keberlanjutan setiap dimensi, analisis koordinasi “Rap-Katsuwonus

    pelamis” yang berbasis metode “multidimensional scaling” (MDS), penyusunan

    indeks dan status keberlanjutan sistem ketersediaan cakalang (Katsuwonus

    pelamis) yang dikaji baik umum maupun pada setiap dimensi.

    Pembuatan peringkat disusun berdasarkan urutan nilai terkecil ke nilai

    terbesar baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan bukan berdasarkan urutan

    nilai yang terburuk ke nilai yang terbaik. Metode Rap-Katsuwonus pelamis ini

    berkaitan dengan persepsi sehingga suatu atribut harus dilihat terlebih dahulu dari

    persepsi apa.

    Kemudian di dalam penilaian skor dari masing-masing atribut dianalisis

    secara multidimensi untuk menentukan satu atau beberapa titik yang

  • 25

    mencerminkan posisi keberlanjutan ketersediaan cakalang (Katsuwonus pelamis)

    yang dikaji relative terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik” („good”) dan titik

    „buruk” (“bad‟). Untuk memudahkan ordinasi Rap-Katsuwonus pelamis ini

    menggunakan perangkat lunak modifikasi Rapfish (Kavanagh, 2001). Perangkat

    lunak Rapfish ini merupakan pengembangan MDS yang ada di dalam perangkat

    lunak SPSS, untuk proses rotasi, kebalikan posisi (fliping), dan beberapa analisis

    sensitivitas telah dipadukan menjadi perangkat lunak. Melalui MDS ini maka

    posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasi dalam dua dimensi (sumbu

    horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis

    mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrem “buruk” diberi nilai skor

    0% dan titik ekstrem “baik” diberikan nilai skor 100%. Posisi keberlanjutan

    sistem yang dikaji akan berada di antara dua titik ekstrem tersebut. Nilai ini

    merupakan nilai indeks keberlanjutan ketersediaan cakalang (Katsuwonus

    pelamis) yang dilakukan oleh pemangku kepentingan (stakeholders) di Meulaboh

    saat ini. Ilustrasi hasil ordinasi yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dari

    sistem yang dikaji diperlihatkan pada gambar 4.

    0 % 88 % 100 %

    Gambar 4. Ilustrasi Indeks Keberlanjutan ketersediaan cakalang(Katsuwonus

    pelamis) di Perairan Pesisir Aceh Barat (Edwarsyah, 2008)

    Analisis ordinasi ini juga dapat digunakan hanya untuk satu dimensi saja

    dengan memasukkan semua atribut dari dimensi yang dimaksud. Hasil analisis

    akan mencerminkan seberapa jauh status keberlanjutan antar dimensi dapat

  • 26

    dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite

    diagram) seperti dalam gambar 5.

    Gambar 5. Ilustrasi Indeks Keberlanjutan setiap dimensi ketersediaan

    cakalang(Katsuwonus pelamis) di Perairan Kabupaten Aceh Barat.

    Skala indeks keberlanjutan ketersediaan cakalang mempunyai selang 0 -

    100%. Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 50% (>50%)

    maka sustainable dan sebaliknya jika kurang dari 50% (

  • 27

    Tabel 3. Kategori status keberlanjutan ketersediaan cakalang(Katsuwonus

    pelamis) yang berdasarkan nilai indeks analisis Rap-Katsuwonus

    pelamis (Edwarsyah,2008).

    Nilai Indeks Kategori

    0-25

    26-50

    51-75

    76-100

    Buruk (bad)

    Kurang

    Cukup

    Baik (good)

    Selanjutnya indeks keberlanjutan ketersediaan cakalang(Katsuwonus

    pelamis) ini akan dibuat sebagai IkB-Katsuwonus pelamis, yang merupakan

    singkatan dari Indeks Keberlanjutan ketersediaan cakalang(Katsuwonus pelamis).

    Selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat atribut apa yang

    paling sensitif memberikan kontribusi terhadap IkB-Katsuwonus pelamis di lokasi

    penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan “root

    mean square” (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu-X atau skala

    sustainabilitas. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut

    tertentu maka semakin besar peranan atribut tersebut dalam pembentukan IkB-

    Katsuwonus pelamis pada skala sustainbilitas atau dengan kata lain semakin

    sensitif atribut tersebut dalam keberlanjutan ketersediaan cakalang(Katsuwonus

    pelamis) di lokasi penelitian.

    Adapun evaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses perundangan

    nilai ordinasi sistem ketersediaan cakalang digunakan analisis Monte Carlo.

    Menurut Kavanagh (2001, dalam Edwarsyah, 2008) dan Fauzi dan Anna (2002)

    analisis Monte Carlo juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut:

    1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman

    kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman

    terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut;

  • 28

    2. Pengaruh variasi pemberian skor atribut yang disebabkan perbedaan opini atau

    penilaian oleh peneliti yang berbeda;

    3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi);

    4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data);

    5. Tingginya nilai “stress” hasil analisis Rap-Katsuwonus pelamis, (nilai “stress”

    dapat diterima jika

  • 29

    Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004); dalam Edwarsyah (2008), nilai

    stress yang dapat diperbolehkan adalah apabila berada dibawah nilai 0,25

    (menunjukan analisis sudah cukup baik). Sedangkan nilai R² di harapkan

    mendekati nilai 1 (100%) yang berarti bahwa atibut-atribut yang terpilih saat ini

    dapat menjelaskan mendekati 100 persen dari model yang ada.

    Secara lengkap tahapan analisis Rap-Katsuwonus pelamis menggunakan

    metode MDS dengan aplikasi Rapfish disajikan pada gambar 6.

    Gambar 6. Tahapan Rap-Katsuwonus pelamis menggunakan MDS dengan

    aplikasi modifikasi Rapfish (Kavanagh, P. 2001; dalam Edwarsyah.

    2008).

    3.7 Defenisi Operasional

    Definisi operasional merupakan petunjuk tentang suatu variabel di ukur,

    untuk membantu dalam komunikasi antar peneliti. Dengan menyatakan defenisi

    operasional seorang peneliti akan mengetahui baik buruknya konsep tersebut

    (Malo et al 1990 ; dalam Wirdah. S, 2006 ).

    1. Dimensi Ekologi

    - Mempertahankan Intergritas Ekosistem

    Analisis Keberlanjutan

    Ordinasi setiap atribut

    Start

    Pemilihan skor setiap

    atribut

    Kondisi ketersediaan cakalang

    (Katsuwonus pelamis)

    Penentuan atribut sebagai

    kriteria penilaian

    Analisis Monte

    Carlo Analisis

    Sensitifitas

  • 30

    - Daya Dukung Lingkungan

    - Volume Penangkapan

    - Tingkat Ketinggian Gelombang

    - Kondisi Lingkungan Perairan

    - Ketersediaan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

    - Konservasi Sumberdaya Perairan

    - Alat Tangkap Ramah Lingkungan

    2. Dimensi Ekonomi

    - Tingkat Pendapatan Nelayan

    - Kelayakan Taraf Hidup Nelayan

    - Kontribusi Pendapatan Daerah

    - Armada Tangkapan

    - Kontribusi Untuk Masyarakat

    - Biaya Pengelolaan Lingkungan

    - Nilai Ekonomis

    - Kegiatan Ekspor Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

    3. Dimensi Sosial Budaya

    - Pemerataan Hasil

    - Partisipasi Masyarakat

    - Tingkat Ketrampilan Tenaga Kerja

    - Kearifan Lokal

    - Pendidikan Tentang Pengelolaan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

    - Persepsi Stakeholders

    - Konflik Antara Masyarakat Nelayan

  • 31

    - Pendidikan Tentang Pengelolaan Lingkungan

    4. Dimensi kelembagaan

    - Efektifitas Kelembagaan

    - Aspek Legalitas

    - Kebijakan Hukum Laut

    - Fasilitas Pokok Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

    - Fasilitas Penunjang Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

    - Zonasi Peruntukan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

    - Kelayakan Alat Tangkap

    - Kelayakan Armada Tangkap

  • 32

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Letak Geografis Daerah Penelitian

    Secara geografis Kabupaten Aceh Barat terletak pada 040 06

    0-04

    0-47‟

    Lintang Utara dan 95052

    0-96

    0 30

    0 Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Aceh Barat

    memiliki batas administrasi Kabupaten Aceh Jaya dan Pidie di sebelah utara,

    sebelah timur Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Nagan Raya, sebelah barat

    Samudra Indonesia dan Kabupaten Nagan Raya di sebelah barat dan selatan

    (Bappeda Aceh Barat 2010).

    Kabupaten Aceh Barat Terletak di bagaian ujung pulau sumatera di pesisir

    barat, luas wilayah Kabupaten Aceh Barat mencapai 2,927,95 Km2 atau seluas

    292,795 Ha sedangkan panjang garis pantai diperhitungkan 50.55 km dengan laut

    12 mil 233 km2 daratan (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2011).

    Keseluruhan luas wilayah Kabupaten Aceh Barat terdapat 12 Kecamatan

    dan empat kecamatan di antaranya adalah empat (4) Kecamatan pesisir yaitu

    Kecamatan Meureubo, Kecamatan Johan Pahlawan, Kecamatan Samatiga, dan

    Kecamatan Arongan Lambalek serta delapan kecamatan daratan yang terdiri dari

    Kecamatan Kaway XVI, Kecamatan Sungai Mas, Kecamatan Pante Ceureumen,

    Kecamatan Panton Reu, Kecamatan Bubon, Kecamatan Woyla Induk, Woyla

    Timur dan Woyla Barat (Bappeda Aceh Barat 2010).

    4.2 Potensi Perikanan dan Kelautan

    Kondisi geografis Kabupaten Aceh Barat yang berhadapan langsung

    dengan Samudera Hindia merupakan suatu potensi yang besar untuk

  • 33

    pengembangan budidaya perikanan dan penangkapan ikan. Wilayah pesisir dan

    laut memiliki potensi yang cukup baik dalam rangka mengembangkan budidaya

    udang windu dan kepiting, serta pengembangan keramba jaring apung, sedangkan

    untuk hasil penangkapan lebih terarah pada upaya penangkapan ikan-ikan

    demersal dengan komoditi unggulan nya adalah kakap merah, kerapu dan tenggiri

    (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2011).

    Sektor perikanan tangkap ke depannya juga masih akan menghadapi

    berbagai masalah dan tantangan yaitu:

    1. Masih lemahnya pengelolaan usaha perikanan tangkap dan penguasaan

    teknologi tepat guna yang berakibat pada rendahnya produksi,

    2. Kompetisi dalam penggunaan lahan perairan antar daerah sebagai dampak

    dari semakin banyaknya penduduk di wilayah pesisir,

    3. Masih terus berlangsung overfishing di beberapa wilayah,

    4. Kenaikan dan kelangkaan BBM yang mengakibatkan semakin membebani

    nelayan untuk melaut,

    5. Masih ada kegiatan illegal fishing sehingga semakin cepatnya penurunan

    sumber daya perikanan dan kelautan,

    6. Kerusakan ekoperairan sebagai dampak dari eksplotasi berlebih dan

    bencana alam,

    7. Tumpang tindih kewenangan dalam pemberian ijin dan adanya peraturan

    yang tidak memberikan iklim yang kondusif bagi investasi perikanan,

    8. Rendahnya penggunaan teknologi dan kemampuan penanganan dalam

    usaha perikanan tangkap yang berakibat pada rendahnya mutu, nilai

    tambah dan daya saing produk perikanan,

  • 34

    9. Proses penanganan dan pengolahan hasil yang kurang memperhatikan

    keamanan produk perikanan.

    Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan,

    Pasal I poin 5 dijelaskan bahwa penangkapan ikan adalah kegiatan untuk

    memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan

    alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,

    mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan atau

    mengawetkan. Pada pasal 9 dijelaskan bahwa setiap orang dilarang memiliki,

    mengusai, membawa, dan atau menggunakan kapal penangkapan ikan di wilayah

    pengelolaan perikanan Republik Indonesia:

    a. Alat penangkapan ikan dan atau alat bantu penangkapan ikan yang tidak

    sesuai dengan ukuran yang ditetapkan.

    b. Alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar

    yang di tetapkan untuk tipe alat tertentu dan atau

    c. Alat penangkapan ikan yang dilarang.

    Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan,

    Pasal 2 dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas

    manfaat, keadilan, dan kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan,

    efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Adapun tujuan pengelolaan

    perikanan dilaksanakan adalah sebagai berikut:

    a. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan

    b. Meningkatkan penerimaan dan devisa negara

    c. Mendorong perluasan dan kesempatan kerja

    d. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan

  • 35

    e. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan

    f. Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing

    g. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan

    h. Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan tata

    ruang

    Ditekankan pada pengembangan usaha perikanan yang berkualitas yang

    berlandaskan pada keberlanjutan dan peningkatan kesejahteraan nelayan dan

    masyarakat pesisir lainnya, yang meliputi :

    1. Optimalisasi pendayagunaan sumber daya perikanan secara lestari sesuai

    dengan daya dukung lingkungannya, melalui penguatan dan pengembangan

    perikanan tangkap yang bertanggung-jawab dan berkelanjutan, efisien dan

    berbasis kerakyatan, pengembangan usaha budidaya yang berdaya saing dan

    berwawasan lingkungan,

    2. Revitalisasi perikanan terutama untuk komoditas ikan tuna, cakalang, tongkol

    dan madidihang melalui pengembangan skala usaha nelayan, dan masyarakat

    pesisir lainnya, serta pemberdayaan dan penguatan kelembagaan masyarakat,

    3. Pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya pelaku usaha perikanan dan

    masyarakat pesisir,

    4. Pengembangan dan rehabilitasi sarana dan prasarana perikanan terutama pada

    wilayah yang memiliki potensi perikanan tinggi,

    5. Pengembangan dan pembinaan usaha perikanan, peningkatan standar mutu

    dan nilai tambah, serta pemasaran hasil,

  • 36

    6. Penguatan basis data statistik dan informasi perikanan yang mudah diakses

    dan dapat digunakan sebagai dasar bagi perencanaan dan pengembangan

    usaha perikanan,

    7. Pengembangan penelitian rekayasa teknologi terapan perikanan serta

    diseminasi hasil-hasilnya,

    8. Peningkatan kualitas SDM perikanan melalui pendidikan dan pelatihan bagi

    aparatur dan pelaku usaha perikanan, serta memantapkan sistem penyuluhan

    dan pendampingan,

    9. Peningkatan kualitas dan perijinan usaha perikanan, sertifikasi balai benih,

    serta pengembangan wilayah berbasis perikanan,

    10. Peningkatan dukungan sektor lain, terutama untuk peningkatan permodalan,

    akses jalan, penataan dan koordinasi penanganan illegal fishing, dan

    prasarana pendukung lainnya.

    4.3 Nelayan

    Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 Tentang

    Perikanan,Pasal I poin 10, 11, 12, dan 13 dijelaskan bahwa nelayan adalah orang

    yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan kecil adalah

    orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi

    kebutuhan hidup sehari-hari..

    Dalam statistik perikanan perairan umum, nelayan adalah orang yang

    secara aktif melakukan operasi penangkapan ikan di perairan umum. Penduduk

    Aceh Barat yang berkerja di sektor perikanan pada saat ini berjumlah 4.140 jiwa

    dan tersebar di berbagai kecamatan. Dari keseluruhan jumlah tersebut, penduduk

  • 37

    yang bermata pencarian utama sebagai nelayan sampai pada tahun 2011 dapat

    dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Adapun jumlah nelayan menurut profesi seperti

    yang ditunjukan pada Tabel 4 Berikut ini.

    Tabel 4. Jumlah nelayan tahun 2011

    No Kecamatan ABK Pawang Pawang

    pemilik

    Total

    Nelayan

    1 Samatiga 250 97 33 380

    2 Johan Pahlawan 1230 180 121 1531

    3 Meureubo 272 74 31 377

    4 Arongan Lambalek 43 3 1 47

    Jumlah 1795 354 186 2335

    Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat 2011.

    Dari jumlah keseluruhan penduduk Aceh Barat yang bekerja di sektor

    perikanan, sebagiannya merupakan petani nelayan, yang berjumlah 1.805 jiwa.

    Masyarakat nelayan dalam usaha penangkapan ikan pada saat ini masih

    mengunakan peralatan tradisional. Hal ini dapat dilihat dari pengunaan armada

    penangkapan yang rata-rata berukuran kecil, sedangkan populasi perikanan

    tangkap di perairan Aceh Barat masih stabil dan belum menganggu keseimbangan

    biota perairan.

    Jumlah dan jenis armada tangkap yang masih dipergunakan oleh nelayan

    dapat dilihat pada Tabel 5. dibawah ini.

    Tabel 5. Jumlah dan jenis armada tangkap di Kabupaten Aceh Barat tahun 2011

    No Kecamatan Perahu Tanpa

    Motor Perahu Motor

    1 Johan Pahlawan 20 333

    2 Samatiga 27 152

    3 Arogan Lambalek 103 0

    4 Meureubo 13 159

    Jumlah 160 644

    Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat 2011.

  • 38

    4.4 Produksi Perikanan

    Perikanan tangkap di laut adalah mata pencarian utama penduduk Aceh

    Barat yang merupakan daerah pesisir. Hasil perikanan ini sangat besar mencapai

    12.723,73 ton selama tahun 2011 dengan nilai 311,71 milyar rupiah. Angka ini

    meningkat di banding tahun sebelumnya dengan produksi 11.202,63 ton atau

    senilai 289,01 milyar rupiah. Namun dengan jumlah produksi perikanan yang

    sangat besar tersebut belum juga mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan

    konsumsi masyarakat setempat, untuk kedepan misi Dinas Kelautan dan

    Perikanan Aceh Barat selain bisa memenuhi target konsumsi ikan masyarakat

    sasaran lain yaitu dapat menarik investor dari dalam maupun luar daerah. Adapun

    produksi perikanan tangkap di Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2011 seperti

    ditunjukan pada Tabel 6 berikut ini.

    Tabel 6. Jumlah jenis produksi tahun 2011

    No Jenis Produksi Produksi (ton)

    1 Ikan 11.234,44

    2 Kepiting 44,60

    3 Udang 1.432,29

    4 Cumi-cumi 12,40

    Jumlah 12.723,73

    Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat 2011.

    Berdasarkan panjang garis pantai, diperkirakan luas perairan pantai

    dengan 12 Mil berkisar 7.299 Km2 dan stok kehidupan populasi ikan lestari

    diestimasikan setiap tahun mencapai 68.810,6 ton, sementara kawasan lepas 12

    Mil sampai batas ZEE 200 Mil populasi lestari diestimasikan masing-masing

    stock ikan pelagis 19.907,3 ton dan ikan domersal 14.598 ton(Dinas Kelautan dan

    Perikanan, 2011).

  • 39

    Kondisi iklim di Kabupaten Aceh Barat terdiri dari 2 musim yaitu

    musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan yang disertai gejala gelombang

    laut biasanya terjadi pada bulan September s/d Febuari dengan rata-rata lama

    penyinaran 33%. Sedangkan musim kemarau berlangsung antar bulan Maret s/d

    Agustus. Suhu udara rata-rata berkisar antara 26-33 0C pada siang hari dan 23-25

    0C pada malam hari(Dinas Kelautan dan Perikanan, 2011).

    Alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan-ikan pelagis

    besar seperti ikan cakalang di perairan Kabupaten Aceh Barat adalah rawai dan

    pancing tonda. Jenis alat tangkap yang di pergunakan untuk menangkap ikan

    cakalang dapat di perhatikan pada lampiran terlampir.

    4.5 Analisis Ketersediaan Cakalang Multidimensi

    Analisis Rap-KP multidimensi dengan menggunakan teknik ordinasi melalui

    metode “multidimensional scaling”(MDS) menghasilkan nilai Indeks Keberlanjutan

    Cakalang(IkB-KP) yang terlihat pada Gambar 7 Nilai IkB-KP yaitu 88,42. Hasil

    nilai analisis multidimensi tersebut ikan cakalang termasuk dalam kategori baik

    berkelanjutan, karena nilainya berada pada selang 76–100. Nilai IkB-KP ini

    diperoleh berdasarkan 32 atribut yang tercakup empat dimensi yaitu dimensi

    ekologi (8 atribut) , ekonomi (8atribut), sosial budaya (8 atribut) dan kelembagaan

    (8 atribut).

  • 40

    KEBERLANJUTAN IKAN CAKALANG

    ACEH BARAT

    INDEKS STATUS

    88,42 Baik Berkelanjutan

    Stres : 0,1229

    R2 : 0,9557

    Gambar 7. Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Multidimensi Ketersediaan

    Ikan Cakalang.

    Berdasarkan gambar 7 diketahui bahwa ketersediaan ikan cakalang

    mempunyai indeks keberlanjutan yang bagus atau berkelanjutan.Hal ini terjadi

    karena ketersediaan cakalang dilihat dari kondisi perairan maupun alat tangkap

    yang digunakan masih menunjang keberlangsungan komoditi tersebut.

    Potensi ikan cakalang masih sangat baik di perairan Aceh Barat

    sehingga pemanfaatannya sangat menguntungkan nelayan lokal. Usaha

    perikanan tangkap sangat bergantung pada ekologis perairan dimana ekologis

    perairan masih sangat berperan dalam ketersediaan maupun keberlangsungan

    ekosistem yang hidup di dalamnya.

    88.42 GOODBAD

    UP

    DOWN-60

    -40

    -20

    0

    20

    40

    60

    0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0

    Sum

    bu

    Y S

    etel

    ah R

    ota

    si

    Sumbu X Setelah Rotasi: Sustainabelitas

    MULTI DIMENSI PENGELOLAAN CAKALANG

  • 41

    4.6 Ketersediaan Cakalang Masing-Masing Dimensi

    Untuk mengetahui indeks keberlanjutan di masing-masing dimensi serta

    atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan di masing-masing dimensi dan

    wilayah, perlu dilakukan analisis Rap-KP dan analisis leverage pada setiap

    dimensi.

    4.6.1 Keberlanjutan Dimensi Ekologi

    Adapun Gambar 8 Menunjukan analisis Rap-KP yang menunjukkan nilai

    indeks sustainabilitas dimensi ekologi.

    Gambar 8. Analisis Rap-KP yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

    dimensi ekologi.

    Hasil analisis indeks keberlanjutan ketersediaan cakalang dimensi ekologi

    menunjukkan adanya keragaman yang bagus yaitu 74,69. Nilai indeks

    keberlanjutan dikategorikan berkelanjutan. Hal ini mengandung makna

    kualitas lingkungan dan sumberdaya cakalang berikut proses-proses alami di

    dalamnya masih baik dan dapat mendukung secara berkelanjutan setiap kegiatan

    74.69 GOODBAD

    UP

    DOWN

    -60

    -40

    -20

    0

    20

    40

    60

    0 20 40 60 80 100 120

    Sum

    bu

    Y S

    etel

    ah R

    ota

    si

    Sumbu X Setelah Rotasi: Sustainabelitas

  • 42

    ekonomi yang dilakukan dalam sektor perikanan tangkap. Nilai indeks dimensi

    di masa yang akan datang dapat ditingkatkan dengan cara pemeliharaan dan

    konservasi ikan cakalang terhadap nilai indeks dimensi tersebut.

    Gambar 9. Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam

    bentuk perubahan RMS IkB-KP.

    Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana ditampilkan pada

    gambar diatas ada dua atribut yang paling sensitif mempengaruhi besarnya

    nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi yaitu : (1) alat tangkap ramah

    lingkungan; (2) volume penangkapan. Munculnya atribut sensitif pertama,

    berupa alat tangkap ramah lingkungan, lebih disebabkan karena kegiatan

    penangkapan cakalang di wilayah Aceh Barat sudah mulai menggunakan alat

    tangkap dengan tidak memperhatikan kelestarian lingkungan maupun kelestarian

    1.49

    3.00

    6.90

    7.97

    5.03

    4.71

    3.08

    2.77

    0 2 4 6 8 10

    Mempertahankan intergritas ekosistem

    Daya dukung lingkungan

    Volume penangkapan

    Alat tangkap ramah lingkungan

    Tingkat ketinggian gelombang

    Kondisi lingkungan perairan

    Ketersediaan ikan cakalang

    Konservasi sumberdaya perairan

    Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan

    Atr

    ibu

    t

    Analisis Leverage Dimensi Ekologi Cakalang

  • 43

    sumber daya ikan di dalamnya, meskipun sumber daya ini dapat pulih kembali

    (renewable recourses). Munculnya atribut lain yang sensitif, seperti volume

    penangkapan, dipengaruhi oleh alat tangkap dan waktu penangkapan. Alat

    tangkap yang digunakan masih sangat tradisional, dan di beberapa tempat

    kegiatan penangkapan hanya dilakukan dalam waktu yang sangat singkat.

    Selama ini tingkat pemanfaatan perikanan tangkap di Aceh masih di

    bawah tingkat maksimum yang diperbolehkan. Maksudnya, tingkat pemanfaatan

    baru mencapai 37,60% atau 102.555 ton (tahun 2004), sedangkan tingkat

    Maximum Sustainable Yield (MSY) plus Total Allowable Catch (TAC) mencapai

    272.707 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD 2008). Jadi, masih ada peluang

    pengembangan/pemanfaatan perikanan tangkap di Nanggroe Aceh Darussalam

    sebesar 62,40%. Tahun 2005 tingkat pemanfaatan potensi lestari menurun

    menjadi 80.230,2 ton atau hanya 29,4%. Jumlah Nelayan Perikanan Tangkap (laut

    dan perairan umum) tahun 2006 : 17.742 orang. Nilai produksi perikanan tangkap

    (2006) :Rp. 959.202.323.500,- Jumlah armada perikanan tangkap 17.317 unit

    terdiri dari:

    1. Perahu Tanpa Motor : 3.854 unit

    2. Motor Tempel : 4.717 unit

    3. Kapal Motor : 8.746 unit

    Untuk melihat pola musim penangkapan digunakan data CPUE bulanan.

    Karena data CPUE yang diperoleh dari lapangan memiliki peluang yang tidak

    sama benar dengan distribusi normal, maka digunakan metode rata-rata bergerak

    (moving average) sehigga diperoleh data yang mendekati kondisi ideal.

    Perhitungan pola musim penangkapan diperoleh dengan menggunakan analisis

  • 44

    deret waktu (time series) terhadap hasil tangkapan data hasil tangkapan per satuan

    upaya penangkapan bulanan. (Tety, 1994). Data hasil penangkapan

    dikelompokkan berdasarkan spesies ikan yang tertangkap. Perhitungan hasil

    tangkapan (CPUE) bertujuan untuk mengetahui laju tangkap upaya penangkapan

    ikan pelagis yang tertangkap yang didasarkan atas pembagian total hasil

    tangkapan (catch) dengan upaya penangkapan dengan upaya penangkapan

    (effort). Rumus yang digunakan Gulland (1983) adalah sebagai berikut:

    CPUE = C / f

    Keterangan :

    C : Hasil tangkapan (kg)

    F : Upaya penangkapan (trip)

    CPUE : Hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/trip).

  • 45

    4.6.2 Keberlanjutan Dimensi Ekonomi

    Adapun gambar 10 menunjukan analisis Rap-KP yang menunjukkan nilai

    indeks sustainabilitas dimensi ekonomi.

    Gambar 10. Analisis Rap-KP yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

    dimensi ekonomi.

    Hasil analisis indeks keberlanjutan ketersediaan cakalang dimensi

    ekonomi menunjukkan adanya keragaman dimensi ekonomi yang tinggi yaitu

    85,76. Nilai Indeks keberlanjutan dikategorikan tinggi atau berkelanjutan.

    Hal ini mengandung makna kegiatan pemanfaatan sumberdaya cakalang

    memperoleh hasil yang secara ekonomis dapat berjalan dalam jangka panjang dan

    berkelanjutan.

    85.76

    GOODBAD

    UP

    DOWN

    -60

    -40

    -20

    0

    20

    40

    60

    0 20 40 60 80 100 120

    Sum

    bu

    Y S

    etel

    ah R

    ota

    si

    Sumbu X Setelah Rotasi: Sustainabelitas

  • 46

    Gambar 11. Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam

    bentuk perubahan RMS IkB-KP.

    Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana ditampilkan pada

    gambar diatas ada dua atribut yang mempengaruhi besarnya nilai indeks

    keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu tingkat pendapatan nelayan dan armada

    tangkapan. Munculnya atribut sensitif yang pertama yaitu tingkat pendapatan

    nelayan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, modal yang dimiliki,

    harga jual ikan, dan pengalaman melaut. Secara tidak langsung faktor-faktor

    di atas mempengaruhi besar kecilnya volume tangkapan, sehingga

    pendapatan nelayan akan berkurang.

    Munculnya atribut lain yang sensitif seperti armada tangkapan

    dikarenakan nelayan yang saat ini masih menggunakan alat tradisional dan

    hanya beberapa yang menggunakan alat modern sehingga dari armada yang

    masih sederhana maka berpengaruh kepada hasil tangkapan selanjutnya dari

    hasil tangkapan akan berpengaruh kepada pendapatan nelayan.

    12.55

    2.40

    7.97

    10.01

    3.09

    3.42

    2.00

    5.60

    0 2 4 6 8 10 12 14

    Tingkat pendapatan nelayan

    Kelayakan taraf hidup nelayan

    Kontribusi pendapatan daerah

    Armada tangkapan

    Kontribusi untuk masyarakat

    Biaya pengelolaan lingkungan

    Nilai ekonomis

    Kegiatan ekspor ikan cakalang

    Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan

    Atr

    ibu

    t

    Analisis Leverage Dimensi Ekonomi Cakalang

  • 47

    4.6.3 Dimensi Sosial Budaya

    Adapun gambar 12 menunjukan analisis Rap-Kp yang menunjukkan nilai

    indeks sustainabilitas dimensi sosial budaya.

    Gambar 12. Analisis Rap-KP yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

    dimensi sosial budaya

    Hasil analisis indeks keberlanjutan ketersediaan cakalang dimensi sosial

    budaya menunjukkan nilai yang tinggi yaitu 76,08. Nilai Indeks keberlanjutan

    dikategorikan tinggi atau berkelanjutan. Hal ini mengandung makna sistem sosial

    manusia (masyarakat nelayan) yang terjadi dapat mendukung berlangsungnya

    pembangunan perikanan tangkap dalam jangka panjang dan secara berkelanjutan.

    76.08

    GOODBAD

    UP

    DOWN

    -60

    -40

    -20

    0

    20

    40

    60

    0 20 40 60 80 100 120

    Sum

    bu

    Y S

    etel

    ah R

    ota

    si

    Sumbu X Setelah Rotasi: Sustainabelitas

  • 48

    Gambar 13. Peran masing-masing atribut sosial budaya yang dinyatakan dalam

    bentuk perubahan RMS IkB-KP.

    Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana ditampilkan pada

    gambar di atas ada dua atribut yang mempengaruhi besarnya nilai indeks

    keberlanjutan dimensi sosial budaya yaitu pendidikan tentang pengelolaan

    ikan cakalang dan partisipasi masyarakat. Munculnya atribut yang sensitif,

    seperti disebutkan di atas, diduga diakibatkan oleh masih minimnya pengetahuan

    tentang pemanfaatan maupun pengelolaan sumberdaya perikanan, karena pada

    umumnya jenjang pendidikan yang di tempuh keluarga dan masyarakat nelayan

    hanya sampai pada jenjang bangku Sekolah Dasar, sehingga pengelolaan

    5.21

    6.53

    3.73

    4.43

    7.37

    3.95

    4.11

    3.22

    0 1 2 3 4 5 6 7 8

    Pemerataan hasil

    Partisipasi masyarakat

    Tingkat ketrampilan tenaga kerja

    Kearifan lokal

    Pendidikan tentang pengelolaan ikan cakalang

    Persepsi stakeholders

    Konflik antara masyarakat nelayan

    Pendidikan tentang pengelolaan tentang lingkungan

    Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan

    Att

    rib

    ute

    Analisis Leverage Dimensi Sosila Budaya Cakalang

  • 49

    cakalang hanya pengelolaan sederhana dan tradisional. Di sisi lain partisipasi

    masyarakat di sini menyatakan bahwa perhatian dan keterlibatan masyarakat

    dalam usaha perikanan masih sangat kurang.

    4.6.4 Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan

    Adapun gambar 14 menunjukan analisis Rap-KP yang menunjukkan nilai

    indeks sustainabilitas dimensi kelembagaan.

    Gambar 14. Analisis Rap-KP yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

    dimensi kelembagaan

    Hasil analisis indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan menunjukkan

    nilai yang t inggi yaitu 72,92. Nilai Indeks keberlanjutan dikategorikan

    tinggi atau berkelanjutan. Hal ini mengandung makna ketersediaan cakalang

    berkelanjutan, dalam status baik dari aspek kelembagaan di mana ikan

    cakalang mendapatkan izin operasi penangkapan ikan cakalang serta sudah

    72.92 GOODBAD

    UP

    DOWN

    -60

    -40

    -20

    0

    20

    40

    60

    0 20 40 60 80 100 120

    Sum

    bu

    Y S

    etel

    ah R

    ota

    si

    Sumbu X Setelah Rotasi: Sustainabelitas

  • 50

    tercantum dalam Undang-undang Nomor 31 Tentang Perikanan.

    Gambar 15. Peran masing-masing atribut kelembagaan yang dinyatakan

    dalam bentuk perubahan RMS IkB-KP

    Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana ditampilkan pada gambar

    di atas ada empat atribut yang mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan

    dimensi kelembagaan yaitu (1) fasilitas penunjang penangkapan ikan cakalang;

    (2) Fasilitas pokok penangkapan ikan cakalang, (3) zonasi peruntukan ikan

    cakalang, (4) kebijakan hukum laut. Muncul nya atribut sensitif di atas

    dikarenakan kurang nya kesadaran nelayan akan pentingnya fasilitas-fasilitas

    tersebut dalam mendukung kegiatan penangkapan, baik pada pengadaan maupun

    pemeliharaan fasilitas-fasilitas tersebut. Sedangkan zonasi peruntukan cakalang

    3.66

    10.14

    12.90

    13.23

    13.24

    13.04

    10.23

    3.67

    0 2 4 6 8 10 12 14

    Efektifitas kelembagaan

    Aspek legalitas

    Kebijakan hukum laut

    Fasilitas pokok penangkapan ikan cakalang

    Fasilitas penunjang penangkapan ikan cakalang

    Zonasi peruntukan ikan cakalang

    Kelayakan alat tangkap

    Kelayakan armada tangkap

    Perubahan RMS ordinasi jika salah satu atribut dihilangkan

    Atr

    ibu

    tAnalisis Leverage Dimensi Kelembagaan Cakalang

  • 51

    belum adanya ketentuan-ketentuan pelarangan penangkapan di suatu wilayah

    yang dilindungi peraturan perundang-undangan dan pembatasan kegiatan

    pemanfaatan sumberdaya kelautan dalam mempertahankan kelestarian

    lingkungan. Atribut yang sensitif terakhir yaitu kebijakan hukum laut, di mana

    kurangnya perhatian dari dunia pendidikan dan pemerintah akan pentingnya

    peraturan-peraturan yang mengatur kebijakan hukum laut. Sering kali kebijakan-

    kebijakan mengenai pengelolaan sumberdaya laut masih tumpang tindih dan

    bertentangan.

    Adapun gambar 16 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi

    ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan.

    Gambar 16. Diagram layang nilai indeks keberlanjutan ketersediaan cakalang di

    pesisir Aceh Barat.

    Berdasarkan gambar 16, bahwa diagram layang menunjukkan dari 4

    (empat) dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan pada

    pengelolaan ikan cakalang di pesisir Aceh Barat di dominasi oleh dimensi

    ekonomi.

    74.69

    85.76

    76.08

    72.9265

    70

    75

    80

    85

    90Ekologi

    Ekonomi

    SosBud

    Kelembagaan

  • 52

    Adapun parameter statistik dari analisis Rap-KP dengan menggunakan

    metode MDS berfungsi sebagai standar untuk menentukan kelayakan terhadap

    hasil kajian yang dilakukan di wilayah studi. Tabel 7 menyajikan nilai “stress”

    dan R2 (koefisien determinasi) untuk setiap dimensi maupun multi dimensi. Nilai

    tersebut berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk

    mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat (mendekati kondisi sebenarnya).

    Tabel 7. Hasil Analisis Rap-KP

    Nilai

    Statistik

    Multi

    Dimensi Ekologi Ekonomi

    Sosial

    Budaya Kelembagaan

    Stress

    R2

    Jumlah

    iterasi

    0,12

    0,95

    2

    0,13

    0,94

    2

    0,14

    0,94

    2

    0,13

    0,95

    2

    0,14

    0,91

    2

    Sumber : Hasil analisis, 2014.

    Berdasarkan tabel 7 pada masing-masing dimensi maupun multidimensi

    memiliki nilai “stress” yang jauh lebih kecil dari ketetapan yang menyatakan

    bahwa nilai “stress” pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai

    jika diperoleh nilai 25% (Fishersis. Com, 1999 dalam Edwarsyah 2008). Karena

    semakin kecil nilai “stress” yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil

    analisis yang dilakukan berbeda dengan nilai koefisien determinasi (R2), kualitas

    hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi (R2) semakin besar

    (mendekati 1). Dengan demikian dari kedua parameter (nilai “stress” dan R2

    menunjukan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan

    ikan cakalang di pesisir Aceh Barat sudah cukup baik dalam menerangkan 4

    dimensi pembangunan yang di analisis).

  • 53

    Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks total maupun dimensi

    digunakan anlisis Monte Carlo. Analisis ini merupakan analisis yang berbasis

    komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan mendapat dugaan peluang

    suatu solusi persamaan atau model matematis (EPA). Mekanisme untuk

    mendapatkan solusi tersebut mencakup perhitungan yang berulang-ulang. Oleh

    karena itu menurut Bielajew (2001) dalam Edwarsyah (2008) proses perhitungan

    akan lebih cepat dan efisien jika menggunakan komputer. Nama “Monte Carlo”

    diambil dari nama kota “Monte Carlo” pada prinsipnya mirip dengan permainan

    rolet (roullet) di Monte Carlo. Permainan rolet ini dapat berfungsi sebagai

    pembangkit bilangan acak yang sederhana.

    Analisis Monte Carlo sangat membantu didalam analisis Rap-KP untuk

    melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada dimensi

    yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut,

    variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang

    berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau

    penilaian atau ada data yang hilang (missing data), dinilai “stress” yang terlalu

    tinggi. Dengan demikian hasil akhir analisis Rap-KP berupa IkB-KP (Indeks

    keberlanjutan Ketersediaan cakalang) di lokasi penelitian mempunyai tingkat

    kepercayaan yang tinggi.

    Hasil analisis Monte Carlo dilakukan dengan beberapa kali pengulangan

    ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total

    maupun dimensi. Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai status

    Keberlanjutan Ikan cakalang di pesisir Aceh Barat pada selang kepercayaan, 90%

    didapatkan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan hasil analisis MDS

  • 54

    dengan analisis Monte Carlo. Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan

    antara hasil analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan

    hal-hal sebagai berikut : 1) kesalahan dalam membuat skor setiap atribut relatif

    kecil; 2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil; 3) proses

    analisis yang dilakukan secara berulang-ulang stabil; 4) kesalahan memasukkan

    data yang hilang dapat dihindari.

    Tabel 8 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai IkB-KP dan masing-masing

    dimensi pengelolaan dengan selang kepercayaan 95% di ikan cakalang.

    Status Indeks Hasil MDS Hasil Monte Carlo Perbedaan

    IkB-KP 88.42 83.1 5.32

    Ekologi 74.69 73.29 1.4

    Ekonomi 85.76 71.82 13.94

    Sosial Budaya 76.08 74.97 1.11

    Kelembagaan 72.92 69.03 3.89

    Sumber : Hasil Analisis,2014.

    Pada tabel 8 perbedaan hasil analisis yang lebih kecil menunjukkan bahwa

    analisis Rap-KP dengan menggunakan metode MDS untuk menentukan

    keberlanjutan pengelolaan yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi

    dan sekaligus dapat disimpulkan bahwa metode analisis Rap-KP (Rapid

    appraissal Cakalang) yang dilakukan dalam kajian dapat dipergunakan sebagai

    salah satu alat evaluasi untuk menilai secara cepat (rapid appraissal)

    keberlanjutan dari ikan cakalang di suatu wilayah/kawasan.

  • 55

    V. KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    Berdasarkan hasil penelitian Analisis Pengelolaan Teknik Rapfish

    Terhadap Ketersediaan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Pesisir Aceh

    Barat dapat disimpulkan dan disarankan hal-hal sebagai berikut.

    1. Hasil pengamatan di lapangan dan studi pustaka menunjukkan terdapat 32

    (tiga puluh dua) indikator yang dapat mencerminkan indeks keberlanjutan

    ketersediaan cakalang di Perairan Pesisir Aceh Barat. Nilai Indeks

    Keberlanjutan Ketersediaan Cakalang (IkB-KP) di Perairan Pesisir Aceh

    Barat secara analisis multidimensi dengan metode Rap-KP adalah sebesar

    88,42 pada skala sustainabilitas 0 –100 (baik berkelanjutan).

    2. Hasil analisis setiap dimensi menunjukkan dimensi ekologi memiliki nilai

    indeks sebesar 74,69 (baik berkelanjutan), dimensi ekonomi memiliki nilai

    indeks tertinggi sebesar 85,76 (baik berkelanjutan), dimensi sosial budaya

    76,08 (baik berkelanjutan), dan dimensi kelembagaan 72,92 (baik

    berkelanjutan).

    3. Hasil uji statistik metode Rap-KP cukup baik untuk dipergunakan sebagai

    salah satu alat untuk mengevaluasi kebijakan ikan cakalang di suatu

    kawasan atau wilayah secara cepat (rapid appraissal).

    5.2 Saran

    Berdasarkan hasil analisis indeks keberlanjutan, perlu diprioritaskan

    perbaikan dimensi yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan yang lebih rendah.

  • 56

    Perbaikan terhadap setiap dimensi hendaknya dilakukan terhadap semua indikator

    secara keseluruhan sehingga berpengaruh terhadap peningkatan nilai indeks

    keberlanjutan agar status keberlanjutan ketersediaan cakalang dapat ditingkatkan

    secara maksimal.

  • 57

    DAFTAR PUSTAKA

    Bappeda Aceh Barat, 2010. Dipublikasikan.

    Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya alam pesisir dan laut

    serta prinsip pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan

    Lautan. Institut Pertanian Bogor.

    Bengen, D.G., 2005. Merajut Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan

    Laut Kawasan Timur Indonesia Bagi Pembangunan Berkelanjutan,

    Disajikan Pada Seminar Makasar Maratime Meeting, Makasar.

    Bielajew, A.F.2001.Fundamental of The Monte Carlo Method for Natural and

    Charged Particle.

    Collete, BB dan Naven,C.E 1983.FAO. Species Catalogue,Vol 2,scombrids of the

    world.An annotated and illustrated catalogue of tunas,Mackerels,Bonitos

    and related species know to date.FAO Fish .Synop:125 vol :137 pp.

    Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Bebasis Kelautan.

    Orasi ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

    dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian

    Bogor. 233 hal.

    Desniarti. 2007. Analisis Kapasitas Perikanan Pelagis di Perairan Pesisir

    Provinsi Sumatera Barat (Disertasi Program Doktoral Sekolah

    Pascasarjana IPB tidak dipublikasi).

    Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Aceh Barat, 2011. Data Statistik Kelautan dan

    Perikanan, Kabupaten Aceh Barat.

    Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Aceh Barat, 2012. Data Statistik Kelautan dan

    Perikanan, Kabupaten Aceh Barat.

    Dinas Kelautan dan Perikanan NAD, 2008. Data Statistik Kelautan dan

    Perikanan, Nanggroe Aceh Darussalam.

    Edwarsyah, 2007. Indeks Keberlanjutan Pengelolaan DAS dan Pesisir. Jurnal

    Pascasarjana IPB. Volume IV Bulan Maret-Juni Tahun 2007.

    Edwarsyah, 2008. Rancang Bangun Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran

    Sungai dan Pesisir. (Studi Kasus : DAS dan Pesisir Citarum Jawa Barat).

    (Disertasi Program Doktoral Sekolah Pascasarjana IPB tidak dipublikasi).

    Elina. 2003. Laporan Ikhtiologi(http://www.docstoc.com/docs/21071378/laporan-

    ikhtiologi, diakses pada 30 September 2012).

  • 58

    Fauzi,A dan S.Anna. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembengunan

    Perikanan : Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan DKI

    Jakarta).Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol.4 (3). Pp :43-55.

    Fisheries. Com, 1999. Rapfish Softwere for Exel. The Fisheries Centre, University

    of British Columbia, Fisheries Center Research Reports.

    Gulland, J.A. 1983. Fish stock assessment A manual of basis methods

    .FAO/Wiley Ser on Food and Agriculture ,Vol 1:233 pp.

    Gunarso, W. 1996. Tingkah Laku Ikan dan Gill Net. Fakultas Perikanan IPB.

    Bogor. 87 hal.

    Hasan, I. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.

    Ghalia Indonesia. Jakarta. 260 hal.

    Indra. 2008. Klasifikasi, Morfologi, dan Pemijahan Ikan Ekor Kuning

    (http://seputarberita.blogspot.com, diakses pada 30 September 2012)

    Jones and Silas,1962.Synopsis Biological Data on Skip-Jack (Katsuwonus

    Pelamis). India Ocean World Sci. Meeting on The Biology of Tuna and

    Related Species.FAO.No.21.Rome.Italy.

    Kavanagh P, 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project.Rapfish

    Software Discription (for Microsoft Excel).University of British

    Columbia.Fisheries Centre.Vancouver.

    Kavanagh, P and Tony J. Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel

    SoftwareFor Rapfish: A Technique For the Rapid Appraisal of Fisheries

    Status. The Fisheries Centre, University of British Columbia, 2259

    Lower Mall.Fisheries Centre Research Reports 12(2).

    Mallawa. A, 2006. Agenda Penelitian Program COREMAP, Disajikan Pada

    Lokakarya Kabupaten Selayar, Selayar.

    Malo, Manasse dan Sri Trisnoningtias. 1990. Metode Penelitian Masyarakat,

    PAU Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta.

    Matsumoto, M.W. 1984. The skipjack tuna an underutilized resources. MFR

    Paper 107. Technical Information Division Enviromental Science

    Information Center, NOAA Washington. 180 p.

    Muchtar. 2009. Pantai Kalisusu Buton Utara Tempat Pemijahan Ikan Cakalang

    (http://www.goblue.or.id/pantai-kulisusu-buton-utara-tempat-pemijahan-

    ikan-cakalang, diakses pada 30 September 2012).

    Nazir, Moh. 2005.Metode Penelitian. Indonesia : Penerbit Ghalia 2005

  • 59

    Permana, Y.A. 2006. Kualitas Perairan Laut dan Tingkat Pencemaran Teluk

    Jobokuto, Pantai Kartini, Jepara, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas

    Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.

    Pfahl, Jürgen, Stadtgestalt als Prozess,2003.Versuch über die Entsprechung von

    Stadtgestalt und Gesellschaft anhand eines bewusst seins geschicht lichen

    Modells, Heider Druck GmbH, Bergisch Gladbach.

    Pitcher, T.J. and D. Preikshot. 2001. RAPFISH: ARapid Appraisal Technique to

    Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49(3):

    255-270. Fisheries Center University of British Columbia. Vancouver.

    PRPPSE. 2002. Indikator Kinerja Pembangunan Kelautan dan Perikanan.

    Laporan Teknis Kegiatan Penelitian Tahun 2002. PRPPSE, BRKP DKP.

    Jakarta.

    [RI] Republik Indonesia, 2007. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang

    Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Jakarta.

    [RI] Republik Indonesia, 2004. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang

    Perikanan, Jakarta.

    Setiyawan, A.,Setiya, T. H, dan Wijopriono. 2013. Perkembangan hasil

    tangkapan per upaya dan pola musim penangkapan ikan cakalang

    (Katsuwonus pelamis) di Perairan Prigi, Provinsi Jawa Timur. Jurnal

    Depik. ISSN 2089-7790. Vol. II, No. 2 : 76-81. Pusat Penelitian

    Pengelolaan Perikanan dan Konservasi SDI, Jakarta.

    Wirdah, S. 2006. Analisis Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pelabuhan Sunda

    Kelapa. Jakarta.

    World Bank.World Development Report, 2003. Sustainable Development in a

    Dynamic World. Transforming Institutions,Grow and Quality of Life.

    Oxford University, New York.

    Wouthuyzen, S, Teguh, P, Manik,N, Djoko, S.D.E, dan Hukom,F.D. 1990.

    Makanan dan aspek reproduksi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis ) di

    Laut Banda, suatu studi perbandingan. Dalam : Soepangat,I., Ruyitno

    dan Soedibjo, B. S. (eds.) Perairan Maluku dan Sekitarnya. Balitbang

    SDL, P3O – LIPI : 1 – 16.

    Yuniarti, 2010. Model Penilaian dan Strategi Kinerja Manajemen Berkelanjutan

    di PT Golden Rama Express dengan Metode Rap-Insustouromance dan

    paropekti. (Fakultas Ekonomi Manajemen, Universitas Bina Nusantara)

    Jakarta, Skripsi tidak dipublikasi.

    12HASIL DAN PEMBAHASANLetak Geografis Daerah PenelitianPotensi Perikanan dan KelautanUndang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Pasal I poin 5 dijelaskan bahwa penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan y...Alat penangkapan ikan dan atau alat bantu penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan.Alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar yang di tetapkan untuk tipe alat tertentu dan atauAlat penangkapan ikan yang dilarang.Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Pasal 2 dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, dan kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanj...Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikanMeningkatkan penerimaan dan devisa negaraMendorong perluasan dan kesempatan kerjaMengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikanMeningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikanMeningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saingMeningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikanMenjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan tata ruangPeningkatan dukungan sektor lain, terutama untuk peningkatan permodalan, akses jalan, penataan dan koordinasi penanganan illegal fishing, dan prasarana pendukung lainnya.NelayanProduksi PerikananPerikanan tangkap di laut adalah mata pencarian utama penduduk Aceh Barat yang merupakan daerah pesisir. Hasil perikanan ini sangat besar mencapai 12.723,73 ton selama tahun 2011 dengan nilai 311,71 milyar rupiah. Angka ini meningkat di banding tahun ...Berdasarkan panjang garis pantai, diperkirakan luas perairan pantai dengan 12 Mil berkisar 7.299 Km2 dan stok kehidupan populasi ikan lestari diestimasikan setiap tahun mencapai 68.810,6 ton, sementara kawasan lepas 12 Mil sampai batas ZEE 200 Mil pop...Kondisi iklim di Kabupaten Aceh Barat terdiri dari 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan yang disertai gejala gelombang laut biasanya terjadi pada bulan September s/d Febuari dengan rata-rata lama penyinaran 33%. Sedangkan musim kem...Analisis Ketersediaan Cakalang MultidimensiBerdasarkan gambar 7 diketahui bahwa ketersediaan ikan cakalang mempunyai indeks keberlanjutan yang bagus atau berkelanjutan.Hal ini terjadi karena ketersediaan cakalang dilihat dari kondisi perairan maupun alat tangkap yang digunakan masih menunjang ...Potensi ikan cakalang masih sangat baik di perairan Aceh Barat sehingga pemanfaatannya sangat menguntungkan nelayan lokal. Usaha perikanan tangkap sangat bergantung pada ekologis perairan dimana ekologis perairan masih sangat berperan dalam ketersedia...Ketersediaan Cakalang Masing-Masing DimensiUntuk mengetahui indeks keberlanjutan di masing-masing dimensi serta atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan di masing-masing dimensi dan wilayah, perlu dilakukan analisis Rap-KP dan analisis leverage pada setiap dimensi.Keberlanjutan Dimensi EkologiKeberlanjutan Dimensi EkonomiDimensi Sosial BudayaKeberlanjutan Dimensi Kelembagaan