forensik.doc

56
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara yang mengalami globalisasi dalam berbagai bidang, baik bidang teknologi, social maupun budaya. Globalisasi yang terjadi mempengaruhi banyak hal di Indonesia. Seperti perubahan cuaca yang meningkatkan potensi bencana alam, pada moral manusia hingga timbul berbagai macam tindak kejahatan. Kondisi ini tercermin dari pemberitaan media massa yang seringkali memuat berita mengenai kejadian bencana, seperti aksi teror bom, kecelakaan transportasi, gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, puting beliung, pembunuhan anak, kekerasan dalam rumah tangga dan lain- lain. Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah memiliki data sebaran kejadian bencana di Indonesia mulai dari tahun 1815 – 2012, dan angka kejadian bencana cenderung meningkat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Undang- undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana 1

Upload: chana-electer-chulum

Post on 13-Aug-2015

113 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: forensik.doc

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara yang mengalami globalisasi dalam

berbagai bidang, baik bidang teknologi, social maupun budaya. Globalisasi yang

terjadi mempengaruhi banyak hal di Indonesia. Seperti perubahan cuaca yang

meningkatkan potensi bencana alam, pada moral manusia hingga timbul berbagai

macam tindak kejahatan. Kondisi ini tercermin dari pemberitaan media massa

yang seringkali memuat berita mengenai kejadian bencana, seperti aksi teror bom,

kecelakaan transportasi, gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan

gunung berapi, puting beliung, pembunuhan anak, kekerasan dalam rumah tangga

dan lain-lain. Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah memiliki data

sebaran kejadian bencana di Indonesia mulai dari tahun 1815 – 2012, dan angka

kejadian bencana cenderung meningkat dalam kurun waktu sepuluh tahun

terakhir.

Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap

kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa

manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada

skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang

terkena. Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai

peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau

faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya

korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak

psikologis (Silver WE, Souviron RR., 2009)&(Pusponegoro dkk., 2006).

Singkatnya, bencana merupakan suatu kejadian di luar harapan yang dapat

menimbulkan korban luka maupun meninggal dalam jumlah banyak.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah

memberikan amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya

identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Upaya identifikasi pada korban

dimaksudkan untuk mengembalikan hak korban agar dapat dikembalikan kepada

keluarganya serta mengetahui sebab dan pelaku pada tindak kriminal.

1

Page 2: forensik.doc

Odontologi forensik merupakan salah satu cabang ilmu forensik yang

dapat membantu identifikasi korban bencana alam maupun kriminalitas melalui

pemeriksaan rongga mulut seperti gigi. Penggunaan gigi sebagai alat identifikasi

diketahui memberikan tingkat keakuratan yang tinggi setelah uji DNA.

Identifikasi menggunakan gigi tidak membutuhkan waktu yang lama seperti

halnya uji DNA. Salah satu prosedur identifikasi yang dapat dilakukan adalah

dengan membandingkan data ante-mortem dan post-mortem.

1.2 Tujuan

1) Untuk mengetahui prosedur identifikasi korban bencana alam dan kriminal

2) Untuk mengetahui cara identifikasi ante-mortem dan post-mortem

1.3 Rumusan Masalah

1) Bagaimana prosedur untuk mengidentifikasi korban bencana alam dan

kriminal?

2) Bagaimana cara identifikasi menggunakan ante-mortem dan post-mortem?

2

Page 3: forensik.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Disaster Victim Identification (DVI)

Proses identifikasi korban bencana besar seperti serangan teroris atau

gempa bumi jarang dimungkinkan oleh pengakuan visual. Perbandingan sidik jari,

catatan gigi atau sampel DNA dengan yang disimpan dalam database atau diambil

dari barang pribadi korban sering diharuskan untuk mendapatkan identifikasi yang

meyakinkan. Sebagai orang yang sering bepergian, ada kemungkinan yang tinggi

bahwa bencana akan mengakibatkan kematian warga dari berbagai negara.

2.1.1 International koordinasi

Ketika bencana besar terjadi, satu negara mungkin saja tidak memiliki

sumber daya yang cukup untuk menangani korban massal. Dalam beberapa

kasus, insiden tersebut mungkin telah merusak atau menghancurkan

infrastruktur respon darurat negara, membuat tugas identifikasi korban

bahkan lebih sulit. Sebuah upaya yang terkoordinasi oleh masyarakat

internasional secara signifikan dapat mempercepat proses pemulihan korban

dan identifikasi, memungkinkan keluarga korban untuk memulai proses

penyembuhan dan masyarakat untuk membangun kembali, dalam hal insiden

terorisme, membantu peneliti untuk mengidentifikasi penyerang.

Identifikasi korban bencana (DVI) ini sangat difasilitasi oleh

munculnya teknologi DNA modern. Forensik laboratorium di seluruh dunia

dapat mengekstrak dan merekam sampel DNA profil dari sampel terkecil.

Mengidentifikasi korban orang hilang yang dilaporkan diperumit oleh adanya

bahan DNA yang relevan. Sampel DNA yang dalam hal ini biasanya

diperoleh dari sumber tidak langsung (anggota keluarga). Menghubungkan

korban dengan kerabat terdekat mereka bukan DNA mereka sendiri jauh

lebih sulit karena mereka berbagi beberapa DNA mereka, tetapi tidak semua.

Dalam kasus bencana massal ini rumit karena keluarga mereka dapat terlibat.

Disaster Victim Identification atau DVI adalah metode yang digunakan

untuk mengidentifikasi korban insiden korban massal seperti crash pesawat

atau ledakan bom di Bali. Proses tersebut dapat berlangsung lama dan

3

Page 4: forensik.doc

melibatkan banyak personil karena sifat acara dan kebutuhan agar benar

mengidentifikasi korban. Risiko kesalahan identifikasi individu dapat

membawa ke semua pertanyaan identifikasi dan meningkatkan trauma situasi

yang sudah stres. Proses DVI melibatkan berbagai teknik ilmu forensik yang

digunakan untuk membuat identifikasi yang positif dari para korban

meninggal. Beberapa di antaranya adalah:

a. Sidik jari - dianggap sangat handal jika tersedia. Namun seperti dalam

banyak kasus sidik jari tidak tersedia dan sebagian besar individu tidak

memiliki catatan sidik jari, itu adalah untuk beberapa korban.

b. Odontologi - terutama catatan gigi - dianggap paling dapat diandalkan

untuk mengidentifikasi korban karena gigi dan tulang sebagai anggota

tubuh yang sangat tahan lama dan kebanyakan orang memiliki catatan

gigi.

c. Profiling DNA - dengan kemajuan teknologi, DNA telah menjadi

sangat handal. Perbandingan langsung dapat dibuat antara profil DNA

korban misalnya, profil DNA yang dihasilkan dari sel-sel dalam sikat

rambut diketahui milik korban tragedi itu. Perbandingan tidak langsung

juga dapat dilakukan dengan menggunakan DNA orang tua. Pada

dasarnya adalah proses yang digunakan dalam pengujian paternitas.

Mengingat sifat dari tes DNA itu 100% handal dalam membuat

pengecualian yaitu korban bukanlah orang yang hilang tertentu.

Identifikasi visual terbukti menjadi yang paling dapat diandalkan.

2.1.2 Prosedur Identifikasi DVI (Disaster Victim Identification)

2.1.2.1. Prosedur Umum

Prosedur umum DVI terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post

Mortem Examination, Ante Mortem Information Retrieval,

Reconciliation dan Debriefing.

Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan

pemilahan antara korban hidup dan korban mati selain juga

mengamankan barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku

apabila bencana yang terjadi merupakan bencana yang diduga akibat

ulah manusia. Pada korban mati diberikan label sebagai penanda.

4

Page 5: forensik.doc

Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan,

dan nomor tubuh/mayat. Label ini akan sangat membantu dalam proses

penyidikan selanjutnya

Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat.

Fase ini dapat berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase

ketiga. Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter

gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data postmortem

sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh

tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula

pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini

dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol.

Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem

dimana ada tim kecil yang menerima laporan orang yang diduga

menjadi korban. Tim ini meminta masukan data sebanyak-banyaknya

dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang

terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas

operasi, dan lainlain), data rekam medis dari dokter keluarga dan

dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan

atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya.

Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan

pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem

diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar Interpol.

Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu

fase rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan antara data Ante Mortem

dan Post Mortem dengan kriteria minimal 1 macam Primary

Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers.

Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil

memuaskan maupun tidak, proses identifikasi korban bencana ini

belumlah selesai. Masih ada satu fase lagi yaitu fase kelima yang

disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses

identifikasi selesai. Pada fasedebriefing, semua orang yang terlibat

dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi

5

Page 6: forensik.doc

terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses

identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur,

serta hasil identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus dilakukan di

masa yang akan datang, apa yang bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang

tidak boleh terulang lagi di masa datang, kesulitan apa yang ditemui

dan apa yang harus dilakukan apabila mendapatkan masalah yang

sama di kemudian hari, adalah beberapa hal yang wajib dibahas pada

saat debriefing.

2.1.2.2. Alat-alat Identifikasi DVI

a. X-Ray

b. Kamera

c. Instrumen Kedokteran Gigi dan Bedah

1) Kaca mulut

Kaca mulut, yaitu sebuah kaca kecil berbentuk bundar dan

diberi gagang. Alat ini akan dimasukkan ke dalam rongga

mulut untuk melihat keadaan gigi dan jaringan di sekitar gigi.

Gambar 2.1: Kaca mulut

2) Sonde

Sonde, yaitu alat yang ujungnya tajam, bisa berbentuk

melengkung atau lurus. Gunanya untuk mendeteksi adanya

karies atau lubang gigi, terutama di daerah yang tersembunyi

atau di antara gigi.

6

Page 7: forensik.doc

Gambar 2.2: Sonde lurus dan sonde halfmoon

3) Pinset

Pinset (yang ujungnya lancip), digunakan untuk mengambil

atau menarik bagian alat-alat tubuh mayat yang dibedah,

memisahkan organ yang satu dengan yang lain. Pinset ada dua

jenis, pinset anatomis jika ujung dari pinset tidak mempunyai

gigi, disebut juga pinset traumatis, yang ke dua, pinset sirurgis

jika ujungnya mempunyai gigi dan disebut pinset atraumatis.

Bentuk keseluruhan pinset juga bermacam-macam, ada yang

panjang dan kecil, ada pinset Addson jika bentuknya pendek

gemuk.

Gambar 2.3: Pinset

4) Gunting bedah

Gunting bedah (lurus), digunakan untuk menggunting bagian-

bagian alat tubuh yang akan diamati,

seperti usus, jantung, pembuluh darah dan sebagainya.

Umumnya digunakan untuk mengadakan bukaan pertama pada

bagian tubuh yang akan diperiksa. Gunting sangat banyak

macamnya, ada gunting verband, ada gunting metzembaum

untuk menggunting jaringan, gunting Potts untuk pembedahan

jantung dan pembuluh darah, gunting benang dengan kedua

7

Page 8: forensik.doc

ujung tajam atau salah satunya yang tajam, ada juga gunting

benang dengan salah satu ujung bilah berlekuk.

Gambar 2.4: Gunting bedah

2.2 Data Post-mortem dan Ante-mortem

Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang hidup

maupun mati, berdasarkan beberapa ciri yang khas yang terdapat pada orang

tersebut (Chadha, 1995). Dikenal ada sembilan macam metode identifikasi

personal yaitu: 1) secara visual, 2) dengan dokumen atau surat, 3) pakaian, 4)

perhiasan, 5) identifikasi medis, 6) odontologi, 7) sidik jari, 8) serologi dan 9)

eksklusi (Idris, 1989). Dokter dalam hal ini berperan terutama dalam identifikasi

medis, yang prinsipnya membandingkan data post mortem dan data ante mortem

setelah sebelumnya datanya dikumpulkan (Zainuri S.N., 2004).

Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan

data ante mortem yaitu data-data yang penting dari korban sebelum kejadian atau

pada waktu korban masih hidup,termasuk data vital tubuh, data gigi, data sidik

jari, dan data kepemilikan yang dipakai ataudibawa dan post mortem yaitu data-

data hasil pemeriksaan forensik yang dilihat dan ditemukan pada jenazah korban,

semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifier

smempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary

Identifiers (Zainuri S.N., 2004).

Data post mortem diperolah dari pemeriksaan pada mayat atau kerangka

yang ditemukan, baik berupa kerangka utuh atau berupa fragmen-fragmen yang

tidak lengkap. Data ante mortem diperoleh dari keterangan-keterangan keluarga,

data dari polisi, data dokter atau dokter gigi dan benda-benda peninggalan korban.

Selain metode membandingkan, dikenal juga metode rekonstruksi, dengan

mengevaluasi data post mortem. Semakin banyak data yang bisa dikumpulkan

8

Page 9: forensik.doc

akan semakin memudahkan untuk memastikan identitas korban (Zainuri S.N.,

2004).

a. Forensik Pathologis menentukan:

1) Sebab-sebab kematian (penjelasan medis mengenai kematian)

2) Cara kematian (penjelasan sosial tentang kematian-pembunuhan, bunuh-diri,

alam dan kecelakaan)

3) Model kematian (alat-alat atau instrumen yang digunakan-tumpul, tajam,

ujung senjata/senjat api)

4) Luka luar dan dalam

5) Luka yang didapat selama hidup (annte-mortem), pada saat meninggal,

(peri-mortem), atau setelah meninggal (post-mortem)

6) Bukti-bukti dari badan, agar dapat mengidentifikasi posibility terhadap

penyerang.

7) Barangkali dapat melalui metode atau senjata yang digunakan dalam aksi.

b. Forensik Antrhopologis menentukan:

Identifikasi terhadap tulang-tulang yang dibandingkan dengan ujian post-

mortem dan digabungkan dengan informasi ante-mortem yang diberikan oleh

anggota keluarga. Forensik Antrhopologis memperkirakan riwayat biologis

individual yang termasuk dalam penentuan: umur, jenis-kelamin (perempuan atau

laki-laki), tinggi badan, latar belakang nenek moyang (secara geografi).

Pengalian adalah pencarian kembali mayat-mayat yang dikuburakan

sebelumnya dengan tujuan untuk melakukan ujian post-mortem. Suatu ujian

dilakukan oleh suatu tim yang terdiri dari seorang Forensik Pathologis, Forensik

Archelogis, Pegawai Crime Scene dan Polisi dan juga Pegawai Investigasi.

Suatu pengalian dapat memakan waktu selama 2-4 jam, tergantung pada

tingkat kerja sama dengan anggota keluarga, cuaca (hujan), tanah yang

mempersulit, jumlah individu yang banyak dalam sebuah makam dan kondisi

terhadap tulangtulang. Sebuah Ujian post-mortem (termasuk membersihkan dan

mengeringkan tulangtulang) yang dapat memakan waktu 2-4 hari, tergantung pada

kondisi tulang yang dimaksud. Jika tulang-tulang telah retak atau berpisah, proses

rekontruksi dapat dilakukan yang memerlukan banyak waktu.

9

Page 10: forensik.doc

2.2.1 Pengertian Data Post-mortem

Data post-mortem adalah data yang diperoleh setelah kematian.

Kegiatan penggumpulan data post-mortem (fase Collecting Post Mortem

Data) dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi

yang memimpin komando DVI. Dalam fase ini dilakukan berbagai

pemeriksaan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap – lengkapnya

mengenai korban. Data post-mortem diantaranya meliputi foto kondisi

jenazah korban. Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun

pemeriksaan dalam jika diperlukan, pemeriksaan sidik jari, pemeriksaan

rontgen, pemeriksaan odontologi forensik (bentuk gigi dan rahang

merupakan ciri khusus setiap orang, tidak ada gigi yang identik pada 2 orang

yang berbeda), pemeriksaan DNA, pemeriksaan antropologi forensik, yaitu

pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat

badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban

(Yudha, 2004).

Data post-mortem digolongkan menjadi data primer dan data sekunder.

Data primer berasal dari sidik  jari, profil  gigi, DNA, sedangkan data

sekunder berasal dari pemeriksaan visual, fotografi, properti jenazah, medik-

antropologi , tinggi badan, ras (Yudha, 2004).

2.2.2 Fungsi Data Post-Mortem

Profil postmortem gigi biasanya akan memberikan informasi tentang

umur, latar belakang keturunan, jenis kelamin dan status sosial ekonomi.

Dalam beberapa kasus adalah mungkin untuk memberikan informasi

tambahan mengenai pekerjaan, kebiasaan diet, kebiasaan perilaku, dan

kadang-kadang pada penyakit gigi atau sistemik. Antropolog forensik paling

sering memberikan rincian studi osteological, namun dokter gigi forensik

dapat membantu dalam proces (Jones,1998).

Penentuan jenis kelamin dan keturunan dapat dinilai dari bentuk

tengkorak dan bentuk gigi. Umumnya, dari penampilan tengkorak, dokter

gigi forensik dapat menentukan ras dalam tiga kelompok utama: Caucasoid,

Mongoloid dan bersifat Negro. Karakteristik tambahan, seperti cusp

Carabelli, berbentuk sekop gigi seri dan multi-cusped premolar, juga dapat

10

Page 11: forensik.doc

membantu dalam penentuan seks yang biasanya didasarkan pada penampilan

kranial, karena tidak ada perbedaan jenis kelamin yang jelas dalam morfologi

gigi. Pemeriksaan mikroskopis gigi dapat mengkonfirmasi seks dengan ada

atau tidak adanya Y-kromatin dan analisis DNA juga dapat mengungkapkan

sex (Adachi,1989).

2.2.3 Pengertian Data Ante Mortem

Data Ante-mortem adalah data mengenai jenazah sebelum kematian.

Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang

terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban

semasa hidup, interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah (tato, tindikan, bekas

luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa

hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi –

informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan

identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan

korban. Pada saat kejadian bencana, kegiatan pengumpulan data mengenai

jenazah sebelum kematian ini disebut fase Collecting Ante Mortem Data

(Yudha, 2004).

Elemen yang paling penting dalam forensic kedokteran gigi adalah

bahwa praktisi umum menyediakan rekam antemortem (sebelum kematian)

untuk membantu identifikasi korban. Dokter gigi forensic bisa dipangil untuk

mengidentifikasi korban yang tidak dapat diidentifikasi secara visual. Hal ini

meliputi kasus korban terbakar, korban yang sudah membusuk atau korban

mutilasi. Data ante-mortem bisa berupa rekam medis.Rekam medis

merupakan kumpulan data-data pasien. Karena data-data yang disimpan

tersebut sangat dibutuhkan bagi pasien, dokter dan dokter gigi. Data rekam

medis dapat berupa manual maupun elektronik (Whittaker, 1998).

2.2.4 Fungsi Data Ante- Mortem

Dalam laporan singkat rekam medis pasien merupakan uraian lengkap

mengenai riwayat, pemeriksaan fisik, diagnosa, tindakan pasien. Rekam

medik dapat meliputi beberapa elemen berbeda yang paling sering

dimasukkan adalah catatan tertulis, radiografi, study model, surat konsul,

laporan konsultan, fotografi klinis, hasil dari pemeriksaan khusus, serep obat,

11

Page 12: forensik.doc

hasil laboratorium, informasi pemeriksaan pasien, dan riwayat medis secara

keseluruhan. Dental record juga merupakan alat bukti yang sah menurut

hukum, menurut yang tercantum dalam Menteri Kesehatan Siti Fadillah

Supari yangmenertibkan aturan baru yang lebih fleksibel, yakni Permenkes

No. 269/Menkes/Per/III/2008 (Whittaker, 1998).

Peran yang paling umum dari dokter gigi forensik adalah identifikasi

korban. Pertama, pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah

identifikasi dengan membandingkan barang yang dikenakan atau ada

disekitar korban dengan sebelum kejadian. Data antemortem (sebelum

kematian) seperti dental record berguna untuk memastikan bahwa seseorang

itu adalah individu yang sama. Informasi dari tubuh atau keadaan biasanya

berisi petunjuk dari korban yang telah meninggal. Jika dalam kasus-kasus di

mana data antemortem tidak tersedia, dan tidak ada petunjuk tentang identitas

, dapat dilakukan identifikasi data postmortem (setelah kematian) saja secara

maksimal (Sweet, 1998).

Dental record oleh dokter gigi dapat menjadi data antemortem.

Pengumpulan data antemortem dan postmortem digunakan untuk proses

perbandingan. Perbandingan metodis dan sistematis hasil pemeriksaan setiap

gigi dan struktur sekitarnya oleh dokter gigi forensik diperlukan. Adanya

restorasi gigi akan memudahkan proses identifikasi. Ketika dental record

antemortem tidak tersedia dan metode lain untuk identifikasi yang tidak

mungkin, dokter gigi forensik dapat membantu membuat profil gigi

postmortem (Adachi,1989).

2.3 Pencocokan Data Post-mortem dan Ante-mortem

Data gigi antemortem atau disebut juga data-data prakematian gigi-geligi

adalah keterangan tertulis, catatan atau gambaran dalam kartu perawatan gigi atau

keterangan dari keluarga atau orang yang terdekat (Depkes RI, 2006).

Keterangan data-data biasanya berisi  (Depkes RI, 2006):

a. Nama penderita

b. Umur

c. Jenis kelamin

d. Pekerjaan

12

Page 13: forensik.doc

e. Tanggal perawatan, penambalan , pencabutan, dan lain-lain

f.   Pembuatan gigi tiruan ,orthodonti, dan lain-lain

g. Foto Roentgen

Sumber data-data antemortem tentang kesehatan dan gigi diperoleh dari

(Depkes RI, 2006) :

a.  Klinik gigi rumah sakit pemerintah, TNI / Polri, dan swasta

b. Lembaga-lembaga pendidikan

c. Praktek pribadi dokter gigi

Semua data-data yang diperoleh dalam identifikasi dituangkan dalam

formulir baku mutu nasional, yaitu ke dalam formulir korban tindak pidana yang 

berwarna merah atau disebut dengan data postmortem, pada korban hidup tetap

pula ditulis ke dalam formulir yang sama, sedangkan data-data semasa hidup

ditulis ke dalam formulir antemortem yang berwarna kuning. Hal ini berlaku pula

pada pelaku, ia mempunyai kedua penulisan data pula, antemortem dan

postmortem pada kertas yang berwarna kuning dan merah (Lukman, 2006).

Rekonsiliasi merupakan fase pencocokan data antemortem dengan data

postmorten. Seseorang dinyatakan teridentifikasi apabila pada fase rekonsiliasi

terdapat kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem dengan kriteria

minimal 1 macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers.

2.3.1 Primary Identifiers:

Merupakan identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa perlu dibantu

oleh kriteria identifikasi lain. Teknik identifikasi primer yaitu :

1) Dental Record

Profil gigi dapat digunakan untuk melihat bagaimana kondisi gigi korban,

apakah ada tambalan ,pernah treatment apa, dsb. Kalau bisa diidentifikasi,

dapat ditanyakan ke dokter gigi yang pernah menangani untuk dapat

mendapatkan deskripsi fisik dari korban.

13

Page 14: forensik.doc

Gambar 2.5: Oklusi gigi geligi

Walaupun identifikasi dengan menggunakan gigi-geligi sudah banyak

terbukti keakuratannya namun tetap saja ada berbagai syarat yang harus

terdapat pada data-data untuk identifikasi kedokteran gigi forensik agar

data tersebut bisa dikatakan valid.

2) Finger print

Sedangkan sidik jari digunakan karena tiap orang pasti memilik sidik jari

yang berbeda. Dari hasil penelitian, kemungkinan sidik jari orang sama

adalah 1: 64 x 10^9. Selain itu, sidik jari juga tidak berubah dan tetap dari

kecil sampai dewasa (kecuali memang kalau ada luka, dsb).

Gambar 2.6: Sidik jari

Kuntungan dari metode ini mudah dilakukan secara massal dan biaya yang

murah. Metode ini membandingkan sidik jari jenazah dengan data sidik

jari antemortem. Sampai sekarang, pemeriksaan sidik jari merupakan

pemeriksaan yang diakui paling tinggi ketepatannya untuk menetukan

identitas seseorang. Dengan demikian harus dilakukan penanganan yang

sebaik-baikbya terhadap jari tangan jenazah untuk pemeriksaan sidik hari,

misalnya dengan melakukan pembungkusan kedua tangan jenazah dengan

kantong plastik.

14

Page 15: forensik.doc

Daktiloskopi adalah suatu sarana dan upaya pengenalan identitas diri

seseorang melalui suatu proses pengamatan dan penelitian sidik jari, yang

dipergunakan untuk berbagai keperluan/kebutuhan, tanda bukti, tanda

pengenal, ataupun sebagai pengganti tanda tangan.

Sidik jari adalah suatu impresi dari alur-alur lekukan yang menonjol dari

epidermis pada telapak tangan dan jari-jari tangan atau telapak kaki dan

jari-jari kaki, yang juga dikenal sebagai "dermal ridges" atau " dermal

papillae", yang terbentuk dari satu atau lebih alur-alur yang saling

berhubungan. Sidik jari mulai tumnuh sejak janin berusia empat minggu

hingga sempurna saat enam bulan di dalam kandungan.

Sifat-sifat khusus yang dimiliki sidik jari :

i. Perennial nature : yaitu guratan-guratan pada sidik jari yang melekat

pada kulit manusia seumur hidup.

ii. Immutability : yaitu sidik jari seseorang tidak pernah berubah,

kecuali mendapatkan kecelakaan yang serius.

iii. Individuality : pola sidik jari adalah unik dan berbeda untuk setiap

orang.

15

Page 16: forensik.doc

Gambar 2.7: Perbedaan pola fingerprint pada setiap orang

Mengenai bentuk dan pola sidik jari yang terdiri dari tiga jenis di atas

memiliki ciri-ciri yang khas yaitu :

Whorl (melingkar) yaitu bentuk pokok sidik jari, mempunyai 2 delta dan

sedikitnya satu garis melingkar di dalam pattern area, berjalan di depan

kedua delta. Jenis whorl terdiri dari Plain whorl, Central pocket loop

whorl, Double loop whorl dan Accidental whorl.

Whorl bisa berbentuk sebuah Spiral, Bulls-eye, atau Double Loop. Whorl

adalah titik-titik menonjol dan kontras, dan bisa dilihat dengan mudah.

Cetakan Spiral dan Bulls-eye adalah persis sebangun dalam

interpretasinya, namun yang kedua memberikan sedikit lebih banyak

fokus. Di mana pun di bagian tangan, Whorl menyoroti dan menekankan

kepada daerah tertentu, menjadikannya sebuah wilayah fokus di dalam

kehidupan subyek.

Loop adalah bentuk pokok sidik jari dimana satu garis atau lebih datang

dari satu sisi lukisan, melereng, menyentuh atau melintasi suatu garis

bayangan yang ditarik antara delta dan core, berhenti atau cenderung

berhenti ke arah sisi semula. Loop dapat menaik ke arah ujung jari, atau

menjatuh ke arah pergelangan tangan. Common Loop bergerak ke arah ibu

jari, sementara Radial Loop (Loop terbalik) bergerak mengarahkan ujung

pemukulnya ke sisi lengan.

Arch merupakan bentuk pokok sidik jari yang semua garis-garisnya

datang dari satu sisi lukisan, mengalir atau cenderung mengalir ke sisi

yang lain dari lukisan itu, dengan bergelombang naik di tengah-tengah.

16

Page 17: forensik.doc

Pola ini bisa terlihat sebagai sebuah Flat Arch, atau Tented Arch.

Perhatikan setiap pola Arch menaik sangat tinggi.

3) DNA Analysis

DNA dapat dipakai karena dapat menunjukkan secara genetik apakah

benar ada kerabat antara korban dan orang yang mengaku. Selain itu DNA

juga dapat diambil dari bagian tubuh korban mana saja apakah rambut,

kulit, ketombe, kuku, dsb.

Gambar 2.8: Rantai DNA

DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat

diturunkan. Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel

dan di dalam mitokondria. Hampir semua sampel biologis dapat dipakai

untuk tes DNA, seperti buccal swab (usapan mulut pada pipisebelah

dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun lebih dipilih penggunaan

darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai sumber DNA.

Identifikasi dengan menggunakan faktor dental biasanya digunakan

apabila metode umum lainnya seperti metode pengamatan dan sidik jari

tidak mampu menghasilkan hasi lyang diharapkan, atau sebagai

identifikasi tambahan bila diperlukan. Idealnya identifikasi positif ( yang

berhasil ) harus berdasarkan dari 2 identifikasi atau lebih. Identifikasi

visual adalah metode yang sangat umum dilakukan oleh polisi atau yang

berwenang. Namun metode ini tidak dapat dilakukan bila mayat atau

jenazah mengalamikerusakan yang sangat parah, terbakar atau

terdekomposisi. Terutama apabila terjadi bencanaalam yang menghasilkan

banyak korban, pengamatan secara visual hamper tidak bisa dilakukan.

17

Page 18: forensik.doc

Identifikasi melalui sidik jari pun tidak selalu menghasilkan identifikasi

postif, karena tidak semua orang memiliki catatan mengenai sidik jari

mereka, hanya tentara serta pelakucriminal saja yang biasanya memiliki

data mengenai sidik jari mereka. Dengan beberapa kelemahan yang ada

pada metode lainnya, identifikasi secara dental menjadi salah satu metode

yang diandalkan untuk melengkapi metode lainnya.

2.3.2 Secondary Identifiers

Pemeriksaan dengan menggunakan data identifikasi sekunder tidak

dapat berdiri sendiri dan perlu didukung kriteria identifikasi yang lain.

Identifikasi sekunder terdiri atas cara sederhana dan cara ilmiah. Cara

sederhana yaitu melihat langsung ciri seseorang dengan memperhatikan

perhiasan, pakaian dan kartu identitas yang ditemukan. Cara ilmiah yaitu

melalui teknik keilmuan tertentu seperti pemeriksaan medis. Ada beberapa

cara identifikasi yang biasa dilakukan, yaitu:

1) Analisis medis

Pemeriksaan fisik secara keseluruhan, yang meliputi bantuk tubuh, tinggi

tubuh dan berat badan, warna tirai mata, adanya cacat tubuh serta kelainan

bawaan, jaringan parut bekas operasi serta tato, dapat memastikan siapa

jati diri korban.

Pada beberapa keadaan khusus, tidak jarang harus dilakukan pemeriksaan

radiologis, yaitu untuk mengetahui keadaan sutura, bekas patah tulang atau

pen serta pasak yang dipakai pada perawatan penderita patah tulang.

Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus dari seseorang,

sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua

orang yang berbeda. Menjadikan pemeriksaan gigi ini mempunyai nilai

yang tinggi dalam hal penetuan jati diri seseorang.

Pemeriksaan atas gigi ini menjadi lebih penting bila keadaan korban sudah

rusak atau membusuk, dimana dalam keadaan tersebut pemeriksaan sidik

jari tidak dapat dilakukan, sehingga dapat dikatakan gigi merupakan

pengganti dari sidik jari.

18

Page 19: forensik.doc

Satu keterbatasan pemanfaatan gigi sebagai sarana identitas adalah belum

meratanya sarana untuk pemeriksaan gigi, demikian pula pendataannya

(dental record), oleh karena pemeriksaan gigi masih merupakan hal yang

mewah bagi kebanyakan rakyat Indonesia. Dengan demikian, pemeriksaan

gigi sifatnya lebih selektif.

2) Properti

Dengan memperhatikan dengan cermat atas korban, terutama wajahnya

oleh pihak keluarga atau rekan dekatnya, maka jati diri korban dapat

diketahui. Walaupun metode ini sederhana, untuk mendapatkan hasil yang

diharapkan perlu diketahui bahwa metode ini baru dapat dilakukan bila

keadaan tubuh dan terutama wajah korban dalam keadaan baik dan belum

terjadi pembusukan yang lanjut.

Selain itu perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi, latar belakang

pendidikan; oleh karena faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil

pemeriksaan.

Pakaian

Pencatatan yang teliti atas pakaian, hal yang dipakai, mode serta adanya

tulisan-tulisan seperti merek, penjahit, laundry atau initial nama, dapat

memberikan informasi yang berharga, milik siapakah pakaian tersebut.

Bagi korban yang tidak dikenal, menyimpan pakaian secara keseluruhan

atau potongan-potongan dengan ukuran 10cmx10cm, adalah merupakan

tindakan yang tepat agar korban masih dapat dikenali walaupun tubuhnya

telah dikubur.

Perhiasan

Anting-anting, kalung, gelang serta cincin yang ada pada tubuh korban,

khususnya bila pada perhiasan terdapat initial nama seseorang yang

biasanya terdapat pada bagian dalam dari gelang atau cincin. Akan

membantu dokter atau pihak penyidik di dalam menetukan identitas

korban. Mengingat kepentingan tersebut, maka penyimpanan dari

perhiasan haruslah dilakukan dengan baik.

19

Page 20: forensik.doc

Dokumen

Kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, kartu golongan

darah, tanda pembayaran dan lainnya yang ditemukan dalam dompet atau

tas korban dapat menunjukka jati diri korban.

Khusus pada kecelakaan masal, perlu diingat akan kebiasaan seseorang di

dalam menaruh dompet dan tasnya. Pada pria dompet biasanya terdapat

dalam saku baju atau celana, sedangkan pada wanita tas biasanya

dipegang, sehingga pada kecelakaan masal tas dapat terlempar dan sampai

pada orang lain bukan pemiliknya. Jika hal ini tidak diperhatikan,

kekeliruan identitas dapat terjadi, khususnya bila kondisi korban sudah

busuk atau rusak.

3) Fotografi

Identifikasi melalui fotografi  kedokteran gigi forensik, misalnya teknik

fotografi superimposisi yang dilakukan dengan menumpang-tindihkan foto

postmortem dan foto wajah antemortem, teknik ini dilakukan apabila

identifikasi dengan teknik lain seperti rekam medik gigi, sidik jari, dan

DNA tidak dapat dilakukan, selain itu harus tersedia foto antemortem yang

fokus pada wajah.

Reconciliation Pada fase ini dilakukan pembandingan data post

mortem dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang

terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem

pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai

sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka

dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang

dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan

data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem

yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.

Semakin banyak kecocokan antara data antemortem dan postmortem,

maka akan semakin baik hasil identifikasi korban. Primary Identifiers

mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary

Identifiers. Selanjutnya dalam identifikasi tidak hanya menggunakan satu

20

Page 21: forensik.doc

cara saja, segala cara yang mungkin harus dilakukan, hal ini penting oleh

karena semakin banyak kesamaan yang ditemukan akan semakin akurat.

Identifikasi tersebut minimal harus menggunakan 2 cara yang digunakan

memberikan hasil yang positif (tidak meragukan). Identifikasi terhadap mayat

dapat dikatakan positif apabila minimal satu dari metode identifikasi primer

adalah cocok atau jika tidak ada yang cocok dari metode identifikasi primer,

maka seluruh metode identifikasi sekunder harus cocok. Prinsip dari proses

identifikasi, mudah yaitu dengan membandingkan data-data tersangka korban

dengan data dari korban yang tak dikenal, semakin banyak kecocokan

semakin tinggi nilainya. Data gigi, sidik jari, atau DNA secara tersendiri

sudah dapat digunakan sebagai faktor determinan primer. Sedangkan, data

medis, properti dan ciri fisik harus dikombinasikan setidaknya dua jenis

untuk dianggap sebagai ciri identitas yang pasti.

Beberapa kategori yang disarankan digunakan dalam menentukan hasil

investigasi identifikasi odontology forensik. American Board of Forensic

Odontology merekomendasikannya dalam 4 kesimpulan hasil, antara lain:

1. Positif Identification (identifikasi posistif) : jika dental record

antemortem dan postmortem memiliki kesesuaian untuk dapat diputuskan

bahwa kedua datatersebut berasal dari orang yang sama. Sebagai

tambahan tidak terdapat perbedaan yang tidak dapat dijelaskan.

2. Possible Identification (kemungkinan identifikasi) : jika pada dental

recordantemortem dan postmortem memiliki bagian-bagian yang sesuai

namun karena kualitas keadaan sisa-sisa tubuh postmortem atau bukti

antemortemsehingga tidak memungkinkan mengambil keputusan

identitas adalah positif.

3. Insufficient Evidence (barang bukti kurang) : jika data-data yang

didapatkantidak mencukupi untuk menjadi dasar dalam mengambil

keputusan.

4. Exclusion (pengecualian): data antemortem dan postmortem jelas tidak

sama.

Gigi merupakan suatu cara identifikasiyang dapat dipercaya,

khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yangpernah

21

Page 22: forensik.doc

dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat

pentingapabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti

halnya kebakaran. Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui

gigi, kita dapatkan 2 kemungkinan:

1) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau

menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain

mengenai:

a. umur

b. jenis kelamin

c. ras

d. golongan darah

e. bentuk wajah

f. DNA

Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban

misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang

berada disekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi

lebih terarah.

2) Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Di

sini dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara

lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis

kelamin.

Identifikasi dalam kedokteran gigi forensik ada beberapa macam, yaitu

(Lukman, 2006):

a. Identifikasi ras korban maupun pelaku melalui gigi-geligi dan

antropologi ragawi.

b. Identifikasi seks atau jenis kelamin korban melalui gigi-geligi, tulang

rahang, dan antropologi ragawi.

c. Identifikasi umur korban (janin) melalui benih gigi.

d. Identifikasi umur korban melalui gigi susu (decidui).

e. Identifikasi umur korban melalui gigi campuran.

f. Identifikasi umur korban melalui gigi tetap.

g. Identifikasi korban melalui kebiasaan menggunakan gigi.

22

Page 23: forensik.doc

h. Identifikasi korban melalui pekerjaan menggunakan gigi.

i. Identifikasi golongan darah korban melalui air liur.

j. Identifikasi golongan darah korban melalui pulpa gigi.

k. Identifikasi DNA korban melalui analisa air liur dan jaringan dari sel

dalam rongga mulut.

l. Identifikasi korban melalui gigi palsu yang dipakainya.

m. Identifikasi wajah korban melalui rekontruksi tulang rahang dan tulang

facial.

n. Identifikasi melalui wajah korban.

o. Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku.

p. Identifikasi korban melalui eksklusi pada korban  bencana massal.

q. Identifikasi melalui radiologi  kedokteran gigi forensik.

r. Identifikasi melalui fotografi  kedokteran gigi forensik, misalnya

teknik fotografi superimposisi yang dilakukan dengan menumpang-

tindihkan foto postmortem dan foto wajah antemortem, teknik ini

dilakukan apabila identifikasi dengan teknik lain seperti rekam medik

gigi, sidik jari, dan DNA tidak dapat dilakukan, selain itu harus

tersedia foto antemortem yang fokus pada wajah.

3) Identifikasi melalui formulir identifikasi korban.

Walaupun identifikasi dengan menggunakan gigi-geligi sudah banyak

terbukti keakuratannya namun tetap saja ada berbagai syarat yang harus

terdapat pada data-data untuk identifikasi kedokteran gigi forensik agar

data tersebut bisa dikatakan valid. Ada beberapa kriteria yang merupakan

syarat untuk validitas identifikasi dengan gigi-geligi, yaitu ( Sopher,

1976):

1) Data yang tersedia harus bersifat multipel, permanen, dapat diukur

atau diteliti, sehingga menjamin individualitas dari data yang tersedia.

2) Terdapat registrasi yang akurat mengenai karakteristik individu  (data

antemortem) yang memungkinkan untuk dibandingkan dengan data

postmortem.

3) Data dilengkapi dengan gambaran spesifik yang tahan terhadap gaya

destruktif, sehingga dapat tetap menjadi jaminan untuk

23

Page 24: forensik.doc

keindividualitasan data walaupun tidak tersedia gambaran identifikasi

lainnya.

Gigi mempunyai nilai spesifik atau individualitas yang sangat tinggi

mengingat begitu tidak terbatasnya kemungkinan kombinasi ciri-ciri khas

pada gigi, baik ciri alami maupun akibat tindakan perawatan terhadap gigi-

geligi. Ciri-ciri khas tersebut antara lain (Ardan, 1999):

a. Jumlah gigi

Jumlah gigi dapat menjadi suatu ciri yang khas pada seseorang. Hal ini

karena jumlah gigi pada seseorang dapat berbeda-beda. Satu atau

beberapa gigi pada  rahang dapat tidak ada, baik secara klinis atau

radiologis, selain itu sering juga ditemukan jumlah gigi lebih banyak

dari normal. Jumlah gigi yang berkurang dapat disebabkan gigi yang

lepas alami, pencabutan, trauma (benturan dengan benda tumpul),

kongenital (tidak terbentuknya benih gigi molar ketiga, premolar

kedua, incisivus kedua), impaksi, dan pergeseran gigi.

b. Restorasi mahkota dan protesa

Restorasi mahkota dan protesa sangat bersifat individual karena dibuat

sesuai kebutuhan masing-masing individu. Beberapa ciri khas dari

protesa yang dapat diamati adalah bentuk daerah relief dari langit-

langit, bentuk dan kedalaman post-dam, desain sayap labial, penutupan

daerah retromolar, warna akrilik, bentuk, ukuran dan bahan gigi

artifisial, serta bentuk dan ukuran linggir alveolar.

c. Karies Gigi

Jumlah gigi yang karies dan letaknya dicatat dalam odontogram. Ada

kemungkinan gigi yang karies sudah ditambal, maka harus dilakukan

juga pemeriksaan catatan perawatan.

Fraktur dari gigi yang karies bentuknya tidak teratur, berwarna coklat,

umumnya terjadi pada gigi posterior, dilapisi sisa-sisa makanan, dan

bekas rokok. Adanya dentin sekunder menunjukkan bahwa fraktur

sudah lama terjadi. Fraktur gigi mahkota karena trauma yang baru

terjadi atau pascakematian dengan bagian tepi gigi  tidak menunjukkan

karies maka permukaan frakturnya cenderung tajam.

24

Page 25: forensik.doc

d. Gigi yang malposisi dan malrotasi

Malposisi dapat berupa gigi berjejal, gigi saling menutup

(overlapping), miring, bergeser, dan jarang-jarang. Malrotasi dapat

berupa terputarnya gigi. Keadaan malposisi dan malrotasi seringkali

tidak dicatat pada pemeriksaan sehari-hari (antemortem), maka untuk

mengatasinya keadaan malposisi dan malrotasi dapat diperiksa data

postmortem dari model cetakan atau dari foto roentgen.

e. Gigi berbentuk abnormal

Gigi dapat berbentuk abnormal karena faktor kongenital atau dapatan.

Gigi abnormal yang disebabkan faktor kongenital dapat berupa

hutchinson dan gigi incisivus lateral berbentuk runcing (peg shaped).

Bentuk gigi abnormal yang disebabkan faktor dapatan antara lain

akibat pekerjaan dan kebiasaan yang akan mempengaruhi bentuk gigi.

f. Perawatan endodontik

Perawatan endodontik merupakan perawatan bagian pulpa (rongga

pulpa dan atau saluran akar). Jaringan pulpa pada rongga pulpa dan

atau saluran akar sudah non-vital atau sudah didevitalisasi, yang

kemudian diawetkan dengan bahan mumifikasi atau diisi dengan bahan

pengisi berisi obat, sehingga tidak akan jadi sumber infeksi.

Sebagai bahan pengisi pulpa diberi bahan yang akan memberikan

kontras, sehingga dapat terlihat jelas pada foto roentgen. Bentuk bahan

pengisi, maupun kesempurnaan pengisian pulpa dapat memberikan

gambaran foto roentgen yang spesifik. Biasanya mahkota gigi yang

sudah mengalami perawatan saluran akar dibungkus dengan mahkota

tiruan dari bahan logam atau bahan porselen.

g. Pola trabekulasi tulang

Pola trabekulasi tulang dapat dilihat pada foto roentgen antemortem

maupun foto roentgen postmortem. Dari foto roentgen tersebut dapat

juga dilihat kemiringan gigi, ruang interproksimal, resorpsi tulang

akibat penyakit periodontal, perubahan pada ruangan pulpa, dan

bentuk saluran akar.

25

Page 26: forensik.doc

h. Oklusi gigi

Oklusi gigi adalah hubungan kontak oklusal antara gigi di rahang atas

terhadap gigi di rahang bawah. Oklusi gigi diklasifikasikan menurut

klasifikasi Angle, yaitu oklusi kelas I, kelas II, dan kelas III. Masing-

masing kelas mempunyai subkelas tergantung keadaan gigi yang lain

(berjejal, gigitan bersilang, dll).

i. Patologi oral

Kelainan struktur oral dapat merupakan suatu ciri yang khas pada

individu. Macam-macam kelainan struktur rongga mulut tersebut dapat

berupa:

Torus mandibularis dan torus palatinus

Torus mandibularis adalah protuberansia perkembangan tulang yang

kadang-kadang terdapat pada aspek lingual mandibula di daerah

premolar. Torus palatinus adalah eminensia perkembangan tulang

yang kadang-kadang terdapat pada garis median palatum keras

(Harty dan Ogston, 1993).

Kelainan lidah

Kelainan lidah yang khas pada individu dapat membantu proses

identifikasi. Kelainan yang biasa terjadi pada lidah dapat berupa

pendeknya frenulum lingualis (ankyloglossia), lesi yang berbentuk

seperti peta (geographic tongue), fissure tongue, Fordice’s granules,

dan Median Rhomboid Glossitis  (Sonis, et al., 1995).

Hiperplasia gusi karena dilantin

Hiperplasia gusi adalah pembengkakkan gingiva akibat proliferasi

sel. Hal tersebut bisa timbul akibat pengobatan (Harty dan Ogston,

1993).

Pigmentasi gusi

Pigmentasi merupakan pewarnaan yang dihasilkan oleh tubuh

melalui deposisi pigmen (Harty dan Ogston, 1993). Deposisi pigmen

ini bisa berasal dari sumber eksogen dan endogen. Sumber eksogen

dapat dikarenakan dari deposit bahan asing pada jaringan, bakteri,

fungi, dan ingesti dari bahan logam yang terdeposit di jaringan.

26

Page 27: forensik.doc

Sumber endogen disebabkan oleh melanin, bilirubin, dan besi (Sonis,

et al., 1995). Jadi dari pigmentasi gusi ini dapat diperkirakan

penyakit sistemis yang diderita korban dan pekerjaan korban.

Adanya kista pada tulang rahang

Kista adalah kantung atau rongga abnormal pada jaringan yang

dikelilingi epitel. Kista memiliki batas jelas dan mengandung cairan

atau  bahan semi cair (Harty dan Ogston, 1993).

Gigi-geligi juga dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin

korban, ras korban, dan umur korban. Hal-hal tersebut dibutuhkan

sebagai data tambahan dan dapat juga digunakan sebagai alat

mempersempit populasi untuk memudahkan proses identifikasi.

2.3.3 Penentuan jenis kelamin

Pada kasus-kasus tertentu seperti mutilasi atau korban bencana massal

dengan tubuh yang sudah terpisah-pisah, penentuan jenis kelamin tidak dapat

dilakukan dengan mudah seperti penentuan jenis kelamin pada orang hidup

atau mayat yang masih utuh. Penentuan jenis kelamin pada kasus-kasus

tersebut dapat ditentukan melalui gigi-geligi.

Penentuan jenis kelamin melalui gigi-geligi dapat dilakukan dengan

melihat bentuk lengkung gigi, ukuran diameter mesio-distal gigi, dan

kromosom yang terdapat pada pulpa. Bentuk lengkung gigi pada pria

cenderung tapered, sedangkan wanita cenderung oval, ukuran diameter

mesio-distal gigi taring bawah wanita = 6,7 mm dan pria = 7 mm. Kromosom

X dan Y dapat ditentukan dengan menggunakan sel pada pulpa gigi sampai

dengan lima bulan setelah pencabutan gigi dan kematian (Astuti, 2008).

2.3.4 Penentuan ras korban

Ras korban dapat diketahui dari struktur rahang dan gigi-geliginya.

Secara antropologi, ras dibagi tiga yaitu ras kaukasoid, ras negroid, dan ras

mongoloid. Masing-masing ras memiliki bentuk rahang dan struktur gigi-

geligi yang berbeda (Astuti, 2008).

Penentuan umur korban atau lebih tepatnya perkiraan umur juga dapat

dilakukan melalui pemeriksaan gigi-geligi (Astuti, 2008):

27

Page 28: forensik.doc

a. Melihat pertumbuhan dan perkembangan gigi

Perkembangan gigi mulai dapat dipantau sejak mineralisasi gigi susu,

yaitu umur empat bulan dalam kandungan hingga mencapai saat

sempurnanya gigi molar kedua tetap. Pemanfaatan  molar ketiga mulai

terbatas karena sudah mulai banyaknya molar tersebut yang tidak tumbuh

sempurna. Sehubungan dengan ini dikenal beberapa tahap yang dapat

dipantau dengan baik, yaitu:

1)    Intrauteri: dipantau melalui sediaan, dengan melihat tahap

mineralisasi gigi dapat diketahui usia kandungan.

2)    Postnatal tanpa gigi: berkisar antara umur 0 – 6 bulan, yaitu saat

tumbuhnya gigi susu yang pertama. Penentuan umur secara tetap disini

masih memerlukan sediaan mikroskopis dengan melihat mineralisasi.

Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan terhadap tahap

perkembangan gigi yang belum tumbuh atau masih di dalam tulang

dengan bantuan roentgen.

3)    Masa pertumbuhan gigi susu: berkisar antara umur 6 bulan – 3 tahun,

saat bermunculannya gigi susu ke dalam mulut. Dengan

memperhatikan gigi mana yang sudah tumbuh dan belum tumbuh,

umur dapat diperkirakan dengan kisaran yang relatif sempit.

4)    Masa statis gigi susu: berkisar antara umur 3 – 6 tahun. Pada masa ini

penentuan umur melihat tingkat keausan gigi susu dan jika diperlukan

dengan bantuan roentgen untuk melihat tahap pertumbuhan gigi tetap.

5)    Masa gigi-geligi campuran: berkisar antara 6 – 12 tahun. Pada masa

ini umur dapat dilihat dari gigi susu yang tanggal dan gigi tetap yang

tumbuh.

6)    Masa penyelesaian pertumbuhan gigi tetap: yaitu saat tidak adanya

gigi susu yang tanggal dan selesainya pembentukan akar gigi yang

terakhir tumbuh, yaitu molar kedua tetap.

b. Metode Gustafson

Setelah masa pertumbuhan gigi tetap selesai, maka pertumbuhan dan

perkembangan gigi tidak banyak lagi memberikan bantuan untuk

28

Page 29: forensik.doc

menentukan umur karena kondisinya dapat dikatakan menetap. Untuk itu

Gustafson (1950) menemukan 6 metode dalam menentukan umur:

1)   Atrisi: akibat penggunaan rutin pada saat makan, sehingga permukaan

gigi mengalami keausan.

2)   Penurunan tepi gusi: sesuai dengan pertumbuhan gigi dan

pertambahan umur, maka tepi gusi (margin-gingival attachment) akan

bergerak ke arah apikal.

3)   Pembentukan dentin sekunder: sebagai upaya perlindungan alami pada

dinding pulpa gigi akan dibentuk dentin sekunder yang bertujuan

menjaga ketebalan jaringan gigi yang melindungi pulpa. Semakin tua

seseorang semakin tebal dentin sekundernya.

4)   Pembentukan semen sekunder: dengan bertambahnya umur, maka

semen sekunder di ujung akar pun bertambah ketebalannya.

5)   Transparansi dentin: karena proses kristalisasi pada bahan mineral

gigi, maka jaringan dentin gigi berangsur menjadi transparan. Proses

transparan ini dimulai dari ujung akar gigi meluas ke arah mahkota

gigi.

6)   Penyempitan atau penutupan foramen apicalis: akan semakin

menyempit dengan bertambahnya umur dan bahkan akan menutup.

Garis besar yang perlu diperhatikan dalam penentuan umur dengan gigi

setelah masa pertumbuhan gigi tetap selesai adalah sebagai berikut

(Harmaini, 2001):

1)   Keausan pada gigi menunjukkan seseorang berusia di atas 50 tahun.

2)   Banyaknya tulang yang hilang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.

3)   Penutupan foramen apicalis molar ketiga tidak terjadi sebelum usia 20

tahun.

Ada beberapa keuntungan dengan menjadikan gigi sebagai objek

pemeriksaan, yaitu (Lukman, 2006) :

1)   Gigi-geligi merupakan rangkaian lengkungan secara anatomis,

antropologis, dan morpologis mempunyai letak yang terlindung

dengan otot-otot, bibir, dan pipi. Apabila terjadi trauma, maka akan

mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu.29

Page 30: forensik.doc

2)   Gigi-geligi sukar untuk membusuk walaupun dikubur kecuali gigi

tersebut sudah mengalami nekrotik atau gangren. Umumnya organ-

organ lain bahkan tulang telah hancur tetapi gigi tidak (masih utuh).

3)   Gigi-geligi di dunia ini tidak ada yang sama. Menurut Sims dan

Furnes, gigi manusia kemungkinan sama  adalah 1 : 2.000.000.000.

4)   Gigi-geligi mempunyai ciri-ciri yang khusus apabila ciri-ciri gigi

tersebut rusak atau berubah, maka sesuai dengan pekerjaan dan

kebiasaan menggunakan gigi bahkan setiap ras memiliki ciri yang

berbeda.

5)   Gigi-geligi tahan asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh yang

terbunuh dan direndam di dalam drum berisi asam pekat, jaringan

ikatnya hancur tetapi giginya masih utuh.

6)   Gigi-geligi tahan panas, apabila terbakar sampai dengan suhu 400 °C

gigi tidak akan hancur, terbukti pada peristiwa Parkman yang terbunuh

dan dibakar tetapi giginya masih utuh. Kemudian pada peristiwa aktor

perang dunia kedua, yaitu Hitler, Eva Brown, dan Arthur Boorman

mereka membakar diri kedalam tungku yang besar di dalam bunker

tahanan tetapi giginya masih utuh dan gigi palsunya bisa dibuktikan.

Kecuali dikremasi karena suhunya di atas 1000 °C. Gigi menjadi abu

sekitar suhu lebih dari 649 °C. Apabila gigi tersebut ditambal

menggunakan amalgam, maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar

di atas 871 °C. Apabila gigi tersebut memakai mahkota logam atau

inlay alloy emas, maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar suhu

871-1093 °C.

7)   Gigi-geligi dan tulang rahang secara roentgenografis, walaupun

terdapat pecahan-pecahan rahang pada roentgenogramnya dapat dilihat

(interpretasi) kadang-kadang terdapat anomali dari gigi dan komposisi

tulang rahang yang khas.

8)   Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya ia memakai

gigi tiruan dengan berbagai macam model gigi tiruan dan gigi tiruan

tersebut dapat ditelusuri atau diidentifikasi. Menurut Scott, gigi tiruan

akrilik akan terbakar menjadi abu pada suhu 538 °C sampai 649 °C.

30

Page 31: forensik.doc

Apabila memakai jembatan dari porselen maka akan menjadi abu pada

suhu 1093 °C.

9)   Gigi-geligi merupakan sarana terakhir di dalam identifikasi apabila

sarana-sarana lain atau organ tubuh lain tidak ditemukan.

Berbagai keuntungan yang dapat diperoleh dengan menjadikan gigi-geligi

sebagai objek pemeriksaan tersebut dapat diperoleh dari data gigi-geligi

yang memenuhi berbagai syarat validitas.

31

Page 32: forensik.doc

BAB 3

DISKUSI

Contoh kasus :

Pada 28 Februari 1996 terjadi kecelakaan berupa tabrakan antara mobil

dengan sebuah bus berisi 57 pemnumpang di satu jalanan di Spanyol bagian

selatan. Kejadian tersebut terjadi sekitar pukul 22.00 waktu setempat. Beberapa

detik setelah tabrakan terjadi, bus kemudian terbakar. Kebakaran tersebut

menyebabkan 28 orang meninggal karena terbakar.

Beberapa saat setelah api berhasil dipadamkan, segera dilakukan evakuasi

korban meninggal untuk mulai dilakukan proses identifikasi. Proses yang

dilakukan pertama kali adalah pengumpulan dan pemeriksaan data postmortem

lengkap dari 28 korban. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Multidisciplinary

Identification Commission. Komisi ini terdiri dari sepuluh petugas polisi (dari

Departemen Identifikasi Guardia Civil), dua ahli odontologi forensik dan patologi

forensik (dari Departemen Kedokteran Forensik dari Universitas Granada,

Spanyol), dua dokter gigi umum, satu ahli patologi forensik dan satu asisten ahli

radiologi.

Pemeriksaan untuk identifikasi dilakukan pada 28 korban (13 perempuan

dan 15 laki-laki). Usia rata-rata dari korban adalah 22 tahun (rentang usia 5-48

tahun) dan 17 korban (60%) berada di bawah 20 tahun. Standar pengumpulan data

postmortem sesuai dengan prosedur forensik, termasuk pemeriksaan keadaan luar

tubuh secara umum pada tiap korban oleh ahli patologi forensik dengan fotografi,

radiografi umum dan metode biologis (analisis DNA).

Selain itu, dilakukan pendataan postmortem pada gigi secara rinci pada

dilakukan dalam kasus tersebu. Data yang dikumpulkan antara lain: keutuhan gigi,

adanya restorasi (beserta restorasi yang digunakan), gigi yang hilang (misalnya

gigi yang dicabut, atau kehilangan gigi saat kejadian kecelakaan) dan prostetik

yang ada (baik yang tetap seperti mahkota dan jembatan maupun yang lepasan).

Gangguan pada erupsi gigi (yaitu ektopik, gigi yang impaksi) dan berbagai jenis

maloklusi (seperti deepbite, crossbite, crowding), fraktur gigi dan tulang rahang

dan setiap perubahan patologis dalam jaringan lunak atau tulang rahang juga

dicatat. Pemeriksaan gigi dilakukan oleh dua dokter gigi pada kasus tersebut (satu

32

Page 33: forensik.doc

dokter gigi umum dan satu ahli odontologi forensik). Ahli odontologi forensik

memeriksa gigi sementara dokter gigi yang lain mengisi formulir data postmortem

dan memantau proses pemeriksaan.

Pengumpulan data postmortem juga diambil dalam bentuk radiografi gigi.

Radiografi tengkorak lateral dan posteroanterior dibuat dengan alat X-ray mobile,

dengan eksposur yang diambil pada 7 mA / sg dan 60 kV. Kegiatan radiografi

tersebut dilakukan oleh seorang asisten ahli radiologi yang mengambil radiografi

umum ekstraoral. Radiografi yang lainnya dilakukan di rumah sakit terdekat.

Setelah itu pengumpulan data antemortem korban mulai dilakukan oleh

petugas kepolisian. Sebagian besar data dikumpulkan dari informasi teknis dengan

menanyakan pertanyaan kepada penumpang lain yang selamat serta kerabat

korban. Foto antemortem korban diperoleh dari kerabat. Sedangkan dental record

dan rekam medis diperoleh dengan menghubungi langsung dokter gigi dan dokter

keluarga dari korban. Dental record dan rekam medis antemortem diberikan

setelah ditranskripsi ke bentuk DVI Interpol oleh ahli patologi forensik dan ahli

odontologi forensik.

Kecelakaan ini terjadi sangat dekat kota tempat korban tinggal

memudahkan pengumpulan bahan antemortem menjadi relatif mudah dan cepat.

Dokter gigi umum membantu untuk menafsirkan dental record pasien yang telah

mereka rawat. Hal ini ditujukan agar meminimalkan kesalahan dalam transkripsi

data antemortem gigi ke bentuk DVI Interpol. Radiograf antemortem diperoleh

sebanyak 11 buah dari 28 yang dibutuhkan, tetapi hanya enam yang

memperlihatkan gambaran eksposur gigi baik secara periapikal atau

roentgenogram.

Data antemortem dan postmortem yang sudah berupa bentuk formulir

Interpol DVI dan radiografi dibandingkan secara manual oleh dua tim terpisah,

satu untuk korban berjenis kelamin perempuan dan satu tim untuk korban berjenis

kelamin laki-laki. Setiap tim terdiri dari satu ahli odontologi dan patologi forensic,

satu dokter gigi dan tiga petugas polisi. Hasil yang diperoleh kedua tim kemudian

didiskusikan kemudian dibahas untuk menarik kesimpulan.

Dari 28 korban, hanya terdapat 16 korban yang mungkin untuk dilakukan

identifikasi secara metode odontologi forensik. Sebab, data ante dan post mortem

33

Page 34: forensik.doc

pada 12 korban lainnya tersebut sangat minim, Karena gigi telah hancur semua

dan tidak adanya data antemortem berupa dental record. Setelah proses

pencocokan, didapatkan hasil 16 korban yang dilakukan pencocokan tersebut

berhasil diidentifikasi sebab terdapat banyak kecocokan antara data antemortem

dengan data postmortem. Setelah proses identifikasi selesa, kemudian dibuat

sebuah laporan dengan pernyataan identitas untuk setiap korban dan

ditandatangani oleh anggota perwakilan Multidisciplinary Identification

Commission, termasuk dua ahli odontologi dan patologi forensik dan tiga anggota

tim identifikasi Guardia Civil. (sumber : http://is.gd/uxuwom)

34

Page 35: forensik.doc

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1) Prosedur umum DVI dalam menangani kasus bencana antara lain; the

Scene, Post Mortem Examination, Ante Mortem Information Retrieval,

Reconciliation dan Debriefing.

2) Identifikasi korban bencana alam maupun kriminal dapat dilakukan

dengan pencocokan data antemortem dan postmortem atau rekonsiliasi.

3) Rekonsiliasi dibagi menjadi primary identifiers yang terdiri dari dental

record, fingerprint, dan analisis DNA, serta secondary identifiers yang

terdiri dari analisis medis, property, dan fotografi.

4) Data postmortem merupakan data yang diperoleh setelah korban

mengalami bencana. Bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kelamin, ras,

status keturunan, ekonomi dan social.

5) Data antemortem adalah data yang diperoleh sebelum terjadi bencana.

Dibuat oleh dokter ataupun dokter gigi dengan tujuan sebagai acuan

pencocokan dengan data postmortem.

35

Page 36: forensik.doc

DAFTAR PUSTAKA

Adachi H. Studies on sex determination using human dental pulp. II. Sex determination of teeth

left in a room. Nippon Hoigaku Zasshi 1989; 43: 27-39.

Disaster Victim Identification Workshop on enhancing operational preparedness in Eastern

Region of Indonesia. In conjunction with the Center for Human Identification – Victorian

Institute of Forensic Medicine / Monash University, the Singapore Health Sciences

Authority, and Universitas Airlangga. Surabaya, 24-26 November 2007.

http://www.anzpaa.org.au/resources-and-links/disaster-victim-identification

http://www.bonaparte-dvi.com/en/bonaparte.html

http://www.interpol.int/INTERPOL-expertise/Forensics/DVI

INTERPOL. Disaster victim identification guide 2009. Diakses 14 Jan 2012. Diunduh dari: URL:

www.interpol.int/Media/Files/INTERPOLExpertise/DVI/ DVI-Guide.

Jones D G. Odontology often is final piece to grim puzzle. J Calif Dent Assoc 1998; 26:650-651.

Mulyono A, dkk., 2006, Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana

Massal. 2nd ed. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Pusponegoro AD, dkk., 2006, Identifikasi Korban Bencana Massal. In: Paturusi IA, Pusponegoro

AD, Hamuworno GB, (Eds)., Penatalaksanaan korban bencana massal. 3 rd ed,

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, pages 123-30.

Sweet D, DiZinno J A. Personal identification through dental evidence-tooth fragments to DNA. J

Calif Dent Assoc 1996; 24: 35-42.

Whittaker, 1998 D K, Richards B H, Jones M L. Orthodontic reconstruction in a victim of murder.

Br J Orthod 1998; 25: 11-14.

Yudha N., 2004, Management of Dead Victims in Mass Disaster. Interpol dead victim

identification guideline, diunduh dari

http://www.interpol.int/Public/DisasterVictim/Guide/Guide

36