flyer (ma)jalah (ba)gus / 2015
DESCRIPTION
Flyer open recruitment Anggota SEMAR UI 2015. bit.ly/daftarsemarTRANSCRIPT
MABA
(Majalah Bagus) “Maju dan Berjayalah Bareng Gerilyawan Kampus”
Twitter : @SEMARUI Blog : serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com Line Official : @jtc5494
Nyatanya Change di sini pada akhirnya juga turut menyesuaikan dengan perubahan yang mendesak di pemerintah: mahasiswa tunduk pada skenario sistem
Gerakan mahasiswa harusnya lebih luas dari konsep moralitas: ia harusnya mampu berada pada tatanan struktur dasar
Tapi mahasiswa sendiri adalah bagian dari masyarakat: sehingga ia tidak punya kuasa yang lebih tinggi untuk melakukan kontrol terhadap sesamanya
Yang harusnya menjadi garda ‘baja’ terdepan, justru menjadi sumber daya untuk melanggengkan kapitalisme. Kita dipasok untuk sistem sebagai calon ‘buruh’ masa depan
Mahasiswa
Agent of
Change
Iron
Stock
Moral
Force
Social
Control
Hai, MaBa
Bagi kalian yang mahasiswa baru, tentunya sangat bahagia dapat
diterima di Perguruan Tinggi Negeri sekelas Universitas Indonesia. Sejarah
mengatakan bahwa kampus kita ini sudah sejak dulu mencetak putra-putri
kebanggaan bangsa, dari Widjojo Nitisastro si Mafia Berkeley hingga
Raditya Dhika pelawak Stand Up Comedy. UI pun sudah terbukti sebagai
Perguruan Tinggi Negeri nomer wahid di Indonesia, dan peringkat 310 di
Dunia menurut QS World University Rankings. Tidak hanya itu, kamu juga
bersaing dengan banyak siswa—pendaftar SBMPTN tahun ini saja menjapai
693.185 siswa—di seluruh Indonesia untuk mendapatkan kursi yang
sekarang berhasil kamu dapatkan.
Fakta-fakta di atas menunjukan bahwa tidak ada alasan untuk
tidak bangga menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Bila fakta tersebut
masih kurang, silahkan kamu lihat wajah kedua orangtua, sanak-saudara,
guru-guru dan teman-temanmu saat mengetahui berita bahwa kamu diterima
di Universitas Indonesia, bagaimana kagumnya mereka. Sudahkah kamu
mengunggah foto capture yang menunjukan kelulusan SBMPTN atau
SIMAK di semua sosial mediamu? Sudahkah kamu memamerkan
pencapaianmu kepada sanak-saudara saat bersilahturahmi kemarin Lebaran?
Apakah kamu sudah tidak sabar memiliki foto profile sosial media sedang
mengenakan jaket kuning? Sungguh bangganya menjadi bagian dari “We
Are The Yellow Jackets”.
Tapi, perjalananmu tidak berakhir di sini, kawan. Masih banyak
aral rintangan yang akan kamu temui sepanjang kamu menuntut ilmu di
kampus tercinta ini. Bila kalian berpikir kampusmu ini sempurna tanpa
cacat, sebentar lagi kamu akan melihat fakta-fakta yang akan membuatmu
berpikir sebaliknya. Kamu sebagai mahasiswa akan menemui banyak hal di
UI yang sangat merugikan mahasiswa. Kamu akan merasakan biaya
pendidikan mahal, padahal pendidikan adalah public goods yang seharusnya
gratis. Kamu akan merasakan sistem pembayaran uang kuliah yang memiliki
cacat di mana-mana. Kamu akan merasakan fasilitas kuliah yang tidak
layak, seperti AC tidak berfungsi, tidak ada air di toilet, kesulitan mencari
buku karena perpustakaan tidak lengkap, dsb. Kamu akan merasakan
bagaimana departemen prodi kalian kekurangan dosen pengajar. Itu hanya
segelintir kecil permasalahan dari sekian banyak permasalahan yang akan
kalian rasakan di Universitas Indonesia.
Maafkan bila seniormu ini merusak kebahagianmu yang baru saja
diterima di UI, saya hanya ingin bercerita sedikit tentang keadaan kampus
kita saat ini agar kamu tidak terkaget-kaget nantinya. Selamat datang di
Kampus Perjuangan (katanya).
Hai, MaBa
Bagi kalian yang mahasiswa baru, tentunya sangat bahagia dapat
diterima di Perguruan Tinggi Negeri sekelas Universitas Indonesia. Sejarah
mengatakan bahwa kampus kita ini sudah sejak dulu mencetak putra-putri
kebanggaan bangsa, dari Widjojo Nitisastro si Mafia Berkeley hingga
Raditya Dhika pelawak Stand Up Comedy. UI pun sudah terbukti sebagai
Perguruan Tinggi Negeri nomer wahid di Indonesia, dan peringkat 310 di
Dunia menurut QS World University Rankings. Tidak hanya itu, kamu juga
bersaing dengan banyak siswa—pendaftar SBMPTN tahun ini saja mencapai
693.185 siswa—di seluruh Indonesia untuk mendapatkan kursi yang sekarang
berhasil kamu dapatkan.
Fakta-fakta di atas menunjukan bahwa tidak ada alasan untuk tidak
bangga menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Bila fakta tersebut masih
kurang, silahkan kamu lihat wajah kedua orangtua, sanak-saudara, guru-guru
dan teman-temanmu saat mengetahui berita bahwa kamu diterima di
Universitas Indonesia, bagaimana kagumnya mereka. Sudahkah kamu
mengunggah foto capture yang menunjukan kelulusan SBMPTN atau
SIMAK di semua sosial mediamu? Sudahkah kamu memamerkan
pencapaianmu kepada sanak-saudara saat bersilahturahmi kemarin Lebaran?
Apakah kamu sudah tidak sabar memiliki foto profile sosial media sedang
mengenakan jaket kuning? Sungguh bangganya menjadi bagian dari “We Are
The Yellow Jackets”.
Tapi, perjalananmu tidak berakhir di sini, kawan. Masih banyak
aral rintangan yang akan kamu temui sepanjang kamu menuntut ilmu di
kampus tercinta ini. Bila kalian berpikir kampusmu ini sempurna tanpa cacat,
sebentar lagi kamu akan melihat fakta-fakta yang akan membuatmu berpikir
sebaliknya. Kamu sebagai mahasiswa akan menemui banyak hal di UI yang
sangat merugikan mahasiswa. Kamu akan merasakan biaya pendidikan
mahal, padahal pendidikan adalah public goods yang seharusnya gratis.
Kamu akan merasakan sistem pembayaran uang kuliah yang memiliki cacat
di mana-mana. Kamu akan merasakan fasilitas kuliah yang tidak layak,
seperti AC tidak berfungsi, tidak ada air di toilet, kesulitan mencari buku
karena perpustakaan tidak lengkap, dsb. Kamu akan merasakan bagaimana
departemen prodi kalian kekurangan dosen pengajar. Itu hanya segelintir
kecil permasalahan dari sekian banyak permasalahan yang akan kalian
rasakan di Universitas Indonesia.
Maafkan bila seniormu ini merusak kebahagianmu yang baru saja
diterima di UI, saya hanya ingin bercerita sedikit tentang keadaan kampus
kita saat ini agar kamu tidak terkaget-kaget nantinya. Selamat datang di
(katanya) Kampus Perjuangan.
Twitter : @SEMARUI Blog : serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com Line Official : @jtc5494y
Idealisme di Simpang Jalan
Saya tidak tertarik membuka tulisan ini dengan kuotasi syahdu
Tan Malaka soal idealisme, harta dan pemuda. Bagi saya, sudah kepalang
basi. Toh di zaman sekarang kita tinggal retweet saja di media sosial dari
akun yang rajin memberikan kuotasi Tan Malaka. Yang tak pernah basi
adalah membicarakan idealisme itu sendiri dan bagaimana seharusnya, tidak
hanya mahasiswa, tapi semua manusia memaknainya, lebih dari sekedar
sebuah kata sifat.
Yang membingungkan tentu ketika mendefinisikan. Apa
sebenarnya idealisme itu? Mengapa idealisme adalah sebuah harta bagi
pemuda? Bagi saya, idealisme adalah sebuah kutukan yang terus
menghantui seseorang, membuatnya sadar akan demoralisasi dan perangkap
kehidupan instan. Jika anda berkenalan dengan demoralisasi dan kepahitan
hidup, hanya ada dua pilihan: menjadi idealis lalu akhirnya gila dan tersadar,
atau berpura-pura dan terseret dalam kualitas masyarakat yang terus
menurun. Idealisme tidak pernah hadir dalam kuotasi Tan Malaka, tapi ia
hadir dalam cita-cita Tan Malaka itu sendiri.
Sampai di titik ini, saya tidak pernah merasakan indahnya
idealisme. Bagaimana rasanya menertawai kehidupan tapi juga harus
menangis bersamanya – seiring memperbaikinya. Menjadi idealis berarti
menandatangani kontrak untuk terus menerus memakai isi otak dan
mengkritisi nilai-nilai kehidupan– baik yang benar maupun yang salah.
Bukan karena ia begitu terpaku pada idenya, tapi bagi saya justru seorang
idealis tahu dunia jauh lebih luas daripada ide di dalam dirinya, oleh karena
itu ia harus terus membuka pikirannya akan berbagai kemungkinan akan
permasalahan hidup dan penyelesaiannya.
Berpikir, tidak seperti pemilu, tidak perlu menunggu lima tahun
sekali untuk dilakukan. Setiap detik, setiap waktu kita selalu berpikir, karena
itulah yang membuat kita waras dan tidak waras secara bersamaan. Berpikir,
sebagai kata kunci dalam memahami idealisme, berarti menjadi hidup itu
sendiri dan mengasah sensitivitas akan kehidupan di sekitarnya. Idealisme
adalah sebuah perayaan yang dikutuk, karena ia merayakan matinya
ketidakacuhan.
Lalu ada apa dengan pemuda dan idealisme? Pemuda selalu
diasosiaikan dengan orang yang bergejolak dan berada di pinggir sistem.
Karakter yang terasosiasi tersebut erat dengan idealisme, karena di
dalamnya selalu ada letupan pemikiran. Yang muda yang berkarya, yang
muda yang menguasai – itu benar adanya, karena ia akan selalu memiliki
idealismenya, antara sadar atau pun tidak. Namun tentu saja, sebaiknya sih
sadar kalau punya. Sementara sebaik-baiknya kesadaran, adalah kesadaran
yang digunakan untuk perubahan.
Idealisme di Simpang Jalan
Saya tidak tertarik membuka tulisan ini dengan kuotasi syahdu Tan
Malaka soal idealisme, harta dan pemuda. Bagi saya, sudah kepalang basi. Toh di
zaman sekarang kita tinggal retweet saja di media sosial dari akun yang rajin
memberikan kuotasi Tan Malaka. Yang tak pernah basi adalah membicarakan
idealisme itu sendiri dan bagaimana seharusnya, tidak hanya mahasiswa, tapi
semua manusia memaknainya, lebih dari sekedar sebuah kata sifat.
Yang membingungkan tentu ketika mendefinisikan. Apa sebenarnya
idealisme itu? Mengapa idealisme adalah sebuah harta bagi pemuda? Bagi saya,
idealisme adalah sebuah kutukan yang terus menghantui seseorang, membuatnya
sadar akan demoralisasi dan perangkap kehidupan instan. Jika anda berkenalan
dengan demoralisasi dan kepahitan hidup, hanya ada dua pilihan: menjadi idealis
lalu akhirnya gila dan tersadar, atau berpura-pura dan terseret dalam kualitas
masyarakat yang terus menurun. Idealisme tidak pernah hadir dalam kuotasi Tan
Malaka, tapi ia hadir dalam cita-cita Tan Malaka itu sendiri.
Sampai di titik ini, saya tidak pernah merasakan indahnya idealisme.
Bagaimana rasanya menertawai kehidupan tapi juga harus menangis bersamanya –
seiring memperbaikinya. Menjadi idealis berarti menandatangani kontrak untuk
terus menerus memakai isi otak dan mengkritisi nilai-nilai kehidupan– baik yang
benar maupun yang salah. Bukan karena ia begitu terpaku pada idenya, tapi bagi
saya justru seorang idealis tahu dunia jauh lebih luas daripada ide di dalam dirinya,
oleh karena itu ia harus terus membuka pikirannya akan berbagai kemungkinan
akan permasalahan hidup dan penyelesaiannya.
Berpikir, tidak seperti pemilu, tidak perlu menunggu lima tahun sekali
untuk dilakukan. Setiap detik, setiap waktu kita selalu berpikir, karena itulah yang
membuat kita waras dan tidak waras secara bersamaan. Berpikir, sebagai kata
kunci dalam memahami idealisme, berarti menjadi hidup itu sendiri dan mengasah
sensitivitas akan kehidupan di sekitarnya. Idealisme adalah sebuah perayaan yang
dikutuk, karena ia merayakan matinya ketidakacuhan.
Lalu ada apa dengan pemuda dan idealisme? Pemuda selalu diasosikan dengan
orang yang bergejolak dan berada di pinggir sistem. Karakter yang terasosiasi
tersebut erat dengan idealisme, karena di dalamnya selalu ada letupan pemikiran.
Yang muda yang berkarya, yang muda yang menguasai – itu benar adanya, karena
ia akan selalu memiliki idealismenya, antara sadar atau pun tidak. Namun tentu
saja, sebaiknya sih sadar kalau punya. Sementara sebaik-baiknya kesadaran,
adalah kesadaran yang digunakan untuk perubahan.
Twitter : @SEMARUI Blog : serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com Line Official : @jtc5494y
Obrolan Warung Kopi
T: “Assalamu’alaikum Cuk.”
C: “Wa’alaikumsalam Tong. Dari mana loe?”
T: “Dari keluarga yang baik-baik, Cuk.”
C: “Atur dah atur. Palingan abis aksi ye sama anak-anak?”
T: “Hahaha, yooiii. Biasa, Cuk. Kan kita mahasiswa, gak bisa kita cuman
belajar doang di kampus. Masyarakat butuh sama kita, Cuk.”
C: “Widiih, mahasiswa gerakan banget nih lau… Emang bedanya kita sama
masyarakat apaan sih Tong?”
T: “Kan kita agent of change cuk. Kita golongan terdidik dan terpelajar.
Sebagai mahasiswa, kita harus selalu turun ke masyarakat, memberi
pencerdasan ke mereka. Ini jakun bukan sekedar jaket bro!”
C: “Hoo, gitu yak Tong… Loe OKK gak pernah bolos ya pasti? Hafal
banget kayaknya gitu-gituan.”
T: “Lau sensi banget kayaknya Cuk… Emang menurut loe gimana?”
C: “Ya menurut gue, mahasiswa itu nggak lebih tinggi dari masyarakat
Tong. Mahasiswa itu bagian dari masyarakat. Sok banget, nganggep diri kita
itu lebih tinggi dari masyarakat, agent of change lah, apa lah. Loe pernah
baca berita soal ibu-ibu Rembang yang bulan puasa kemarin aksi di hutan
berhari-hari, ngelawan perusahaan semen yang mau ancurin tempat tinggal
mereka?”
T: “Pernah denger sekilas sih Cuk, cuman kan anak-anak lagi fokus ke isu-
isu nasional… Yaudah emang kenape itu ibu-ibu?”
C: “Itu ibu-ibu aksi loe kira ada mahasiswa apa yang gerakin? Kagak Tong!
Mereka kagak butuh jakun atau ngisi IRS buat bisa gerak. Padahal sekolah
aja belum tentu. Gerak juga pake duit sendiri, kagak pake duit emaknya.”
T: “Ya tetep aja Cuk, mahasiswa ya mahasiswa.”
C: “Terserah loe, Tong. Gue cabs dulu ya.
T: “Yaudah sono. Inget Cuk, kita ini maha-siswa, udah bukan siswa biasa.
Masyarakat butuh kita, Cuk!”
C: “Iye iye. Ngomong-ngomong, cuman di Indonesia doang tau Tong, kita
dipanggil maha-siswa. Loe coba cari dah, di luar sono kagak ada tuh super-
student, mahasiswa tetep student biasa kok!”
“Jika hatimu bergetar melihat ketidakadilan, maka kau adalah kawanku.” Che Guevara
Belajar, Melawan, dan Menang! bit.ly/daftarsemar
Obrolan Warung Kopi
T: “Assalamu’alaikum Cuk.”
C: “Wa’alaikumsalam Tong. Dari mana loe?”
T: “Dari keluarga yang baik-baik, Cuk.”
C: “Atur dah atur. Palingan abis aksi ye sama anak-anak?”
T: “Hahaha, yooiii. Biasa, Cuk. Kan kita mahasiswa, gak bisa kita cuman
belajar doang di kampus. Masyarakat butuh sama kita, Cuk.”
C: “Widiih, mahasiswa gerakan banget nih lau… Emang bedanya kita sama
masyarakat apaan sih Tong?”
T: “Kan kita agent of change cuk. Kita golongan terdidik dan terpelajar.
Sebagai mahasiswa, kita harus selalu turun ke masyarakat, memberi
pencerdasan ke mereka. Ini jakun bukan sekedar jaket bro!”
C: “Hoo, gitu yak Tong… Loe OKK gak pernah bolos ya pasti? Hafal banget
kayaknya gitu-gituan.”
T: “Lau sensi banget kayaknya Cuk… Emang menurut loe gimana?”
C: “Ya menurut gue, mahasiswa itu nggak lebih tinggi dari masyarakat Tong.
Mahasiswa itu bagian dari masyarakat. Sok banget, nganggep diri kita itu
lebih tinggi dari masyarakat, agent of change lah, apa lah. Loe pernah baca
berita soal ibu-ibu Rembang yang bulan puasa kemarin aksi di hutan berhari-
hari, ngelawan perusahaan semen yang mau ancurin tempat tinggal mereka?”
T: “Pernah denger sekilas sih Cuk, cuman kan anak-anak lagi fokus ke isu-isu
nasional… Yaudah emang kenape itu ibu-ibu?”
C: “Itu ibu-ibu aksi loe kira ada mahasiswa apa yang gerakin? Kagak Tong!
Mereka kagak butuh jakun atau ngisi IRS buat bisa gerak. Padahal sekolah
aja belum tentu. Gerak juga pake duit sendiri, kagak pake duit emaknya.”
T: “Ya tetep aja Cuk, mahasiswa ya mahasiswa.”
C: “Terserah loe, Tong. Gue cabs dulu ya.
T: “Yaudah sono. Inget Cuk, kita ini maha-siswa, udah bukan siswa biasa.
Masyarakat butuh kita, Cuk!”
C: “Iye iye. Ngomong-ngomong, cuman di Indonesia doang tau Tong, kita
dipanggil maha-siswa. Loe coba cari dah, di luar sono kagak ada tuh super-
student, mahasiswa tetep student biasa kok!”
Twitter : @SEMARUI Blog : serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com Line Official : @jtc5494y