filsafat manusia 2010 (2004)
TRANSCRIPT
FILSAFAT MANUSIA
SERMADA KELEN DONATUS, M.A. SVD
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGIWIDYA SASANA
MALANG2010
1
Syllabus:
FILSAFAT MANUSIA
Pengantar ke dalam Filsafat Manusia.
1. Pertanyaan tentang pendekatan yang tepat.
1. 1. Pendekatan dalam konteks Biologi Perbandingan.1. 1. 1. Keistimewaan anatomis-morfoloGis.1. 1. 2. Posisi khas ontogenetis.1. 1. 3. Keistimewaan struktur sikap.
1. 2. Problematika Pendekatan.
1. 3. Pengertian tentang Subjek.1. 3. 1. Subjektivitas sebagai bentuk kesatuan.1. 3. 2. Subjektivitas sebagai “Berada dalam dunia”.
1. 4. Mencari kesatuan pengertian tentang Manusia.1. 4. 1. Kesatuan hakikat?1. 4. 2. Universalitas dalam hal mengerti?
2. Dimensi dasar Realitas “Manusia” sebagai realitas “Ada”.
2. 1. Bahasa.2. 1. 1. Lahirnya bahasa dan sistem bahasa.2. 1. 2. Prestasi bahasa.2. 1. 3. Bahasa sebagai alat dan pengantara.
2. 2. Sosialitas.2. 2. 1. Fenomen sosial.2. 2. 2. Sosiobiologi, Sosiologi dan Filsafat Sosial.2. 2. 3. Kritik terhadap posisi-posisi ekstrim.2. 2. 4. Aku dan Yang Lain.
2. 3. Kesejarahan atau Historisitas2. 3. 1. Kesejarahan dari penulisan sejarah.2. 3. 2. Ide tentang waktu objektif dan waktu subjektif2. 3. 3. Kesejarahan sendiri.
2
2. 4. Kejasmanian.2. 4. 1. Prapengertian tentang kejasmanian yang bertolak dari bahasa.2. 4. 2. Reduksi tubuh (der Leib) kepada badan (der Körper).2. 4. 3. Reintegrasi badan ke dalam tubuh.2. 4. 4. Realitas Kejasmanian (Leiblich-Sein).
3. Elemen rohaniah dari perwujudan keberadaan manusia.
3. 1. Kesadaran rohaniah.3. 1. 1. Fenomen Kesadaran.3. 1. 2. Dimensi-dimensi Kesadaran.3. 1. 3. Pengandaian ontologis Kesadaran.
3. 2. Kebebasan kehendak.3. 2. 1. Isi pernyataan “Kebebasan Kehendak”.3. 2. 2. Bukti positif tentang eksistensi Kebebasan.3. 2. 3. Ketiadaan dasar dari paham Determinisme mekanis.3. 2. 4. Ketiadaan dasar dari paham Determinisme teleologis.
4. Kesatuan Manusia sebagai Realitas “Ada” dan pertanyaan tentang maknarealitasnya.
4. 1. Ketegangan dasariah dalam realitas manusia.4. 1. 1. Ketegangan kebebasan antara akhir dan tak berakhir.4. 1. 2. Usaha melepaskan ketegangan secara berat sebelah.
4. 2. Hidup yang betolak dari ketegangan dasariah.4. 2. 1. Persyaratan-persyaratan tentang penerimaan diri.4. 2. 2. Problem kematian.
4. 3. Antropologi Filsafat dan Theologi.
&&&& Rm. Sermada Kelen Donatus, SVD.
3
PENGANTAR KE DALAM FILSAFAT MANUSIA
Sejak manusia menyibukkan diri dengan kegiatan berpikirnya, pertanyaan-
pertanyaan tentang manusia ditonjolkan kembali, seperti pertanyaan tentang hakikat
manusia, tentang asal usul manusia dan tentang nasib manusia serta tentang ketentuan
hidupnya. Pasti pertanyaan-pertanyaan ini muncul dalam banyak cara dan orang juga
berusaha menjawabnya dengan banyak cara pula. Tetapi dalam waktu yang agak lama
pertanyaan-pertanyaan tentang itu tidak mendapat perhatian, karena ada soal lain yang lebih
mendesak. Meskipun demikian pertanyaan tentang manusia tidak pernah akan hilang,
karena manusia sendiri adalah makhluk yang merasa senantiasa “tidak pasti”; ia tetap
bertanya tentang dirinya. Ia adalah satu makhluk yang bertanya
Salah satu jawaban terhadap pertanyaan tentang diri manusia ialah bahwa manusia
adalah satu hakikat yang aneh. Di satu pihak ia bersifat luhur, agung dan mulia, tetapi di
pihak lain ia juga bersifat hina rendah dan tak berarti. Apabila orang mengamati pemakaian
sehari-hari dengan menyebut kata bendanya “manusia” (Mensch) atau kata sifatnya
“manusiawi”, maka orang dapat menemukan arti yang luhur, tetapi juga dalam konteks
tertentu orang dapat menemukan arti yang hina dan rendah. Kalau orang mengatakan
“seorang penjahat juga manusia”, atau “sikapnya betul tidak manusiawi”, maka arti dan
nilai dari “manusia” betul bersifat agung dan luhur. Tetapi bila orang menemukan bahwa
seorang imam yang jatuh dengan wanita lalu orang mengatakan “imam juga seorang
manusia” atau juga uskup adalah seorang manusia, bila uskup salah dan keliru”, maka
keagungan dan keluhuran manusia tidak boleh disanjung berlebih-lebihan. Nilai dan artinya
perlu diturunkan dan direndahkan. Dengan demikian manusia menyandang nama yang kaya
dan mulia sekaligus juga miskin dan hina. Apakah itu kebetulan?
Dalam lingkungan kebudayaan Eropa ada dua teks yang menarik perhatian para
pengamat filsafat manusia. Teks itu menggerakkan kita untuk melacak artinya. Teks
pertama berasal dari satu nyanyian yang diangkat dari “Antigone” Sophocles. Nyanyian ini
dalam terjemahan Holderlin (penyair Jerman 1770- 1843) bermula dengan
4
“Ungeheuer ist viel” (Sang raksasa adalah banyak). Sang raksasa itu dimaksudkan
“manusia”. Dan teks nyanyian itu menunjukkan di satu pihak keheranan atau kekaguman
atas manusia. Manusia itu lebih dari binatang-binatang, dan di pihak lain menunjukkan
kedahsyatan atau kegentaran (Schrecken) tentang manusia. Manusia itu menakutkan dan
menggentarkan (homo homini lupus). Teks yang kedua berasal dari Mz.8 yang berbicara
tentang kesadaran akan kekecilan manusia dan kefanaannya jika dibandingkan dengan
peredaran bintang yang berjalan kekal. Dalam kekecilan itu, pertanyaan diajukan kepada
Penciptanya: “Apakah itu manusia atau apa artinya manusia, sehingga Engkau
memperhatikannya?” Hidup manusia: sikap, kemampuan dan seluruh keberadaannya
merentang dari yang paling rendah sampai kepada hal yang saling bertentangan di dalam
dirinya. Dalam lingkungan kebudayaan kita, kita bisa mengambil ajaran Paguyuban
Sumarah, salah satu aliran Kebatinan yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1950 oleh
dokter Soerono Prodjohoesodo. Aliran ini mengajarkan bahwa manusia itu terdiri dari
badan wadag (jasmani), badan Nafsu dan Jiwa atau Roh. Penjelasannya dapat dilihat dalam
buku “Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa”, oleh Dr. Harun Hadiwijono
(p.104-105).
Persoalan hidup manusia dewasa ini adalah bahwa manusia sampai kini “belum
mengenal diri” secara penuh. Hal ini dikaitkan dengan persoalan kodrat manusia itu sendiri.
Apa kodrat manusia yang sebenarnya? Duluh “Natur atau Kodrat” dialami sebagai sesuatu
yang harus dijinakkan. Kodrat itu begitu berkuasa dan ganas sehingga manusia perlu
mengolahnya secara lebih baik. Sekarang ketika kodrat manusia diatasi dan ditaklukkan
untuk menjamin keberadaan manusia, kodrat itu sendiri yang melingkupi kita dialami
sebagai satu gudang persediaan yang hampir habis. Ilmu pengetahuan dan teknik membuka
eksplorasi dan eskperimen besar-besaran tentang lingkungan kodrat manusia. Lingkungan
kodrati diatur, diciptakan dan direkayasa menurut kemampuan dan kemauan manusia.
Penciptaan bayi dengan “cloning” merupakan bagian dari ekploitasi, eksplorasi dan
eksperimen terhadap kodrat manusia. Pertanyaan etis terhadap semua percobaan ini ialah
bahwa apakah percobaan-percobaan itu yang bisa dikenakan pada manusia dapat
5
dipertanggungjawabkan secara etis, dan apakah dengan itu manusia dapat menemukan jati-
dirinya yang sesungguhnya. Ada jawaban pro-kontra, tetapi persoalan filosofis aktual akan
menjadi muncul ketika kita bertanya “siapa itu manusia dan apa hakikatnya”? Apakah
manusia itu memiliki unsur kerohanian? Kekejaman di abad 20, genoside dan peperangan-
peperangan yang membawa korban jutaan orang menimbulkan kesadaran manusia kembali
untuk bertanya tentang dirinya. Manusia ragu-ragu tentang gambaran yang ia miliki
sekarang tentang dirinya. Dia sebetulnya tiba pada satu kesadaran diri yang menetapkan
bahwa dia sendiri sebenarnya “tidak tahu” apa-apa tentang hakikat dirinya atau jati-dirinya,
tidak tahu untuk apa dia hidup dan bagaimana dia harus hidup.
Dengan bertolak dari kesadaran diri itu, pertanyaan tentang “hakikat” manusia
sendiri lalu menjadi pertanyaan sentral dari filsafat: Apa yang menjadi hakikat manusia?
Semula pertanyaan filosofis ini hanya terbatas pada satu bidang kecil yang memuat
informasi tentang manusia. Tetapi lama kelamaan dengan pesatnya perkembangan
pengetahuan, penelitian tentang manusia berkembang pesat menunit sudut pandangan yang
berbeda-beda dari ilmu pengetahuan, dan pada akhirnya bangkit juga minat untuk
mempersoalkan “Ada” dari manusia. Tematisasi tentang problem “Ada” dari manusia ini
justru berjalan melampaui penelitian-penelitian empiris yang digeluti selama ini. Justru
usaha untuk beranjak keluar dari bidang empiris ini menghantar orang untuk menggeluti
manusia dalam perspektif “filsafat” yang disebut “Filsafat Manusia atau Antropologi
Filsafat”. Filsafat Manusia lalu menjadi salah satu disiplin filsafiah. Objek filsafat manusia
lalu tidak hanya berpusat pada hakikat manusia yang mau diteliti seeskstensif mungkin dan
seintensif mungkin, yaitu bentuk khas realitas “adanya”, struktur batiniah dan dinamikanya,
tetapi juga sistematisasi seluruh pengetahuan tentang manusia seperti kritik pengetahuan,
metafisika pengetahuan, pendasaran etik dsb. Satu pendekatan yang tidak boleh diabaikan
dalam filsafat manusia ini juga yaitu pendekatan ontologis yang berusaha mensintesekan
semua pengetahuan manusia itu secara sistematis dengan merujuk kepada apa yang menjadi
inti atau hakikat dari manusia.
6
Diktat kuliah ini berjudul “Antropologi Filsafat”. Ia memuat cara-cara pengenalan
yang berpusat sekitar persoalan tentang “hakikat manusia”: bentuk khas dari realitas “Ada”
manusia; struktur dalamnya dan dinamikanya dsb. Judul itu tidak mewakili aliran tertentu
seperti aliran terkemuka dari filsuf Max Scheler (1928); Helmuth Plesner (1928) dan
Arnold Gehlen (1940), tetapi terbuka untuk semua pendekatan yang bergelut tentang
kekhasan manusia sedari penelitian biologis tentang manusia sampai kepada pertanyaan
sentral tentang manusia dalam filsafat. Tentu dengan jelas harus dibedakan Antropologi
Filsafat dan Antropologi sendiri. Antropologi sendiri berhubungan dengan kegiatan
penelitian empiris-positif semata tentang bidang tertentu seperti Antropologi ragawi
tentang tubuh manusia dan Antropologi Budaya yang meneliti kebudayaan manusia dan
Etnologi yang meneliti ras dan suku tertentu.
Pertanyaan antropologis di dalam diktat kuliah diolah menurut pertanyaan-
pertanyaan yang bertolak dari satu bidang kepada bidang yang lain, tetapi tetap selalu
disadari bahwa jawaban terhadap pertanyaan yang satu selalu berakhir dengan jawaban
yang tidak memuaskan. Pertanyaan-pertanyaan itu menyentuh juga pertanyaan ilmu
pengetahuan. Kesulitan pendekatan itu menunjuk kepada perlunya ada teori pendekatan
ontologis di satu pihak dan di pihak lain refleksi pndekatan pragmatis-ilmiah (bagian
pertama). Kedua momen pendekatan ini bertemu di dalam unsur subjektivitas yang
hendaknya menjadi prinsip untuk mengorganisir seluruh perlukisan tentang manusia. Dan
ini hanya tercipta di dalam usaha untuk memperjelas dan menginterpretasi dimensi dasar
manusia yang berada di dalam dunia (In-der-Welt-Sein). Interpretasi dan penjelasan
tentang dimensi dasar ini ditelaah dalam model-teori dari ilmu-ilmu kemanusiaan yang
dipilih (bagian kedua). Lebih dalam dari pada itu, lebih masuk ke dalam intisarinya
diperkenalkan satu analisa terhadap cara-cara dasar dari subjektivitas manusia yang
dituangkan dalam ungkapan “kesadaran dan kebebasan kehendak” (bagian ketiga).
Akhirnya pertanyaan itu berpusat pada usaha untuk mencari kesatuan yang paling mendasar
dan mencari makna yang dapat direalisir dalam keseluruhan Realitas keberadaan manusia
(bagian keempat).
7
Karena manusia dalam gambaran tua merupakan mikrokosmos, maka usaha untuk
mengungkapkan gagasan dasar yang menyangkut pertanyaan antropologis tidak dilihat
sebagai satu yang mendesak. Bukan juga dituntut bahwa orang harus memberi sumbangan
penelitiannya, tetapi diharapakan bahwa pembaca yang menggunakan buku kecil dapat
bertanya lebih lanjut lagi secara kritis dan dapat menemukan jawabannya sendiri dan
mengenalnya. Tidaklah cukup orang hanya bergelut satu kali tentang soal-soal itu, tetapi
selalu berulang menggelutinya supaya si pembaca secara sadar dengan penuh gembira
dapat menemukan jawabannya sendiri. Yang diutamakan di sini adalah usaha bersama dari
yang lain untuk turut memberi pertimbangan tentang masalah kemanusiaan.
1. PERTANYAAN TENTANG PENDEKATAN YANG TEPAT.
Situasi atau keadaan yang menjadi titik tolak pertanyaan kita tentang manusia adalah
ketidak-tahuan, yaitu satu kekurangan pengetahuan kita tentang diri kita, entah kekurangan
pengetahuan yang bersifat eksistensial atau hipotetis. Kita tidak tahu tentang diri kita. Kita
mempersoalkan pengetahuan tentang diri kita. Dari mana kita tahu tentang diri kita.
Bagaimana kita tahu tentang diri kita? Bidang pertama yang menjadi sasaran perhatian kita
adalah Ilmu Pengetahuan dan dalam arti yang sempit Ilmu Pengetahuan alam, karena Ilmu
Pengetahuan alam menggeluti dunia kodrat termasuk kodrat manusia secara objektif, teliti
dan tepat.
1.1. Pendekatan dalam konteks Biologi Perbandingan.
Ilmu pengetahuan alam yang berbicara tentang manusia dapat kita temui dalam ilmu
Biologi, Fisika dan ilmu Kimia. Kalau kita mengurutkan ilmu pengetahuan alam tersebut
menurut derajat penelitian terhadap manusia, maka tampaklah bahwa ilmu pengetahuan
pertama yang berbicara tentang manusia adalah “Biologi”. Di dalam Fisika dan ilmu Kimia,
manusia hanya bisa tampil sebagai objek penelitian, sejauh manusia merupakan satu tubuh
dalam ruang (Fisika), yaitu bentuk tubuh, tipe tubuh, gerakan mekanis dalam tubuh dsb,
atau satu kompleksitas ikatan-ikatan kimiawi dan proses-proses kimiawi (ilmu Kimia).
Kedua bidang ini ternyata lebih sempit dari pada Biologi, karena keduanya berfokus pada
8
penelitian terhadap realitas manusia sebagai satu benda fisis dan kemis. Objek dari Biologi
adalah makhluk hidup, yaitu satu realitas kehidupan dari makhluk-makhluk hidup; bidang
ini menyentuh seluruh bidang kehidupan makhluk hidup yang sudah dikelompokkan
menurut posisinya dalam ruang. Salah satu dari keseluruhan realitas kehidupan yang
menempati satu posisi tertentu dalam ruang disebut atau memikul nama “manusia” (homo
sapiens). Pada taraf berikut, pertanyaan lebih lanjut ialah bahwa sejauh mana semua hasil
penelitian biologis yang ditunjang oleh penelitian ilmu pengetahuan Fisika dan Kimiawi
dapat memberikan gambaran yang tepat tentang realitas manusia? Apakah realitas ontologis
makhluk hidup yang tidak dapat direduksi kepada sesuatu yang anorganis dapat sesuai
dengan kekhususan metodologis biologis dalam hadapannya dengan ilmu Kimiawi dan
Fisika.
Dengan bantuan metode Biologi yang berbicara tentang manusia, kita dapat
menemukan perbandingan antara individu dari satu jenis atau spesies dengan individu dari
spesies yang lain. Tapi dengan cara tertentu hasil perbandingan itu akan menunjukkan
bahwa dari perbedaan-perbedaan yang ada ditemui satu kesamaan yang besar sekali atau
keserupaan yang jelas dari antara spesies itu. Dan bila kita memperhatikan secara teliti
kesamaan dan keserupaan spesies itu, kita bisa melihat keistimewaan yang memperlihatkan
perbedaan antara mereka juga.
Penetapan pertama tentang manusia, tentang siapa dia, justru terletak dalam
ketermasukan manusia ke dalam sistem dari makhluk hidup. Bila kita menempatkan
manusia dalam konteks makhluk hidup, maka dia bisa digolongkan sebagai binatang
menyusu (tidak seperti binatang amfibi), dan dalam kelompok binatang menyusu, manusia
tergolong dalam binatang menyusu tingkat tertinggi (bukan seperti binatang pengerat), dan
dalam kelompok binatang menyusu tingkat tertinggi, manusia termasuk dalam kelompok
manusia kera (antropoide) dan tidak seperti binatang menyusu tingkat tertinggi lain seperti
kera. Dan dalam kekerabatan yang lebih dekat dengan antropoide manusia tergolong ke
dalam cimpase, Gorilla atau Orang-Utan. Dengan penelitian metodis tentang
pengelompokkan seperti ini kita makin lama makin menemukan keistimewaan manusia dan
9
mengartikan keistimewaan itu secara analogis. Bila kita perlahan melepaskan kesamaan,
keserupaan dan kekerabatan biologis itu, kita menemukan juga kekhasan serta
keistimewaan tertentu dalam spesies tadi. Kekhasan yang terpenting dalam manusia sejauh
penelitian biologis dapat ditonjolkan dalam tiga titik tolak berikut ini: titik-tolak anatomis-
morfologis; titik tolak ontogenitis dan titik tolak ethologis.
1.1.1. Keistimewaan anatomis-morfologis.
Keistimewaan anatomis-morfologis terletak dalam anatomi tubuh dan postur atau
bentuk tubuh. Keistimewaan anatomi tubuh dan bentuk tubuh manusia hanya bisa
ditangkap bila dibandingkan dengan anatomi tubuh dan bentuk tubuh binatang yang
menyerupai manusia. Binatang yang menyerupai manusia dalam penelitian biologis adalah
manusia-kera dan secara lebih khusus Simpase. Menurut penelitian biologi-molekular,
jumlah kromosom simpase berangka 48, sedangkan pada manusia 46. Perbedaan struktur
biomolekular antara manusia dan simpase hanyalah 1, 5 persen (Franz Dähler: Pijar
Peradaban manusia, hh. 41-42). Manusia-kera memiliki ciri-ciri yana dapat kita saksikan
demikian: tulang punggung berbentuk “S”, dan tulang punggung yang berbentuk demikian
berada pada sisi bawah bagian tubuh; pinggul kurang tegak; persendian pangkal paha dan
sendi lutut tidak merentang secara penuh; kaki melengkung dsb. Semua itu sesuai dengan
sikap tegak yang dimiliki secara tetap oleh manusia sebagai satu-satunya binatang
menyusu. Korelasi sikap yang tegap itu tidak lain dari pada satu pembebasan bagian tubuh
paling depan untuk bergerak sendiri dan pembentukan kaki untuk berdiri tegak. Sesuai
dengan cara hidup manusia-kera di atas pohon-pohon, tangan manusia-kera (dalam
perbandingannya dengan manusia) berbentuk seperti kait dan agak menyorok serta
dilengkapi dengan ibu jari yang kecil dan yang tidak dapat melawan secara baik.
Sebaliknya, tangan manusia tampak kurang terspesialisir dan terdiferensiasir dengan
bergerak maju secara ringan. Tangan manusia tidak cocok untuk menerkam dengan sekuat
tenaga, tapi cocok dan peka untuk bekerja trampil dan tepat.
Tangan manusiayang bergerak bebas - oleh Aristoteles disebut “alat kerja dari alat
kerja” - mempunyai hubungan erat dengan pembentukan tengkorak. Mata yang melihat ke
10
depan dan sering membelalak serta dahi dengan moncong khas pada wajah manusia-kera
masih tampak teraksentuir juga pada manusia. Itu berarti bahwa muka dan alat peraba
manusia masih punya arti yang dominan melebihi indra pencium. Gigi geraham tetap
tumpul, begitu juga urat-urat untuk rahang yang sangat kuat. Kekuatan-kekuatan ini
terkompensir dengan kemampuan tangan untuk membawa atau mengangkut benda-benda
objek dari satu tempat ke tempat yang lain dan kemampuan untuk menghasilkan alat dan
senjata. Melalui itu kompleksitas dari organ-organ tubuh yang menghasilkan suara berubah
sedemikian sehingga terjadi kemungkinan pembentukan suara yang akhirnya tampil dalam
bentuk “bahasa” pada manusia. Dahi yang tampak tidak lagi berfungsi untuk memperkuat
daya pengunyah “tidak mengancing”. Tengkorak dahi dapat membesar dan memberi tempat
untuk bentuk dahi yang lebih besar.
Otak yang merupakan bagian terpenting dari seluruh sistem syaraf sentral
memainkan peranan yang menentukan untuk struktur organisasi makhluk hidup yang lebih
tinggi. Peranan itu sejalan dengan evolusi yang mencakup proses penyempurnaan peranan
itu. Manusia tidak lagi memiliki bagian-bagian otak seperti pada manusia kera. Tetapi
volume dari otak manusia lebih besar dari otak manusia kera. Volume atau isi otak manusia
sekitar 1300cm3 kalau dibandingkan dengan Gorilla yang memiliki isi otak sekitar 500
cm3. Lebih jelas lagi dalam hal berat otak. Ada perbedaan yang mencolok antara manusia
dan manusia kera. Pada manusia, otak utama (otak kecil) yang lebih tua dan yang
bertanggung jawab untuk reaksi afektif dan instinktif mempunyai arti yang sudah teredusir,
jika dibandingkan dengan otak besar yang relatif muda dan yang memungkinkan fungsi-
fungsi yang lebih tinggi. Otak besar yang relatif muda ini berkembang luar biasa kuat.
Teristimewa jaringan jaringan saraf yang kuat menjadi tebal. Informasi lain diminta untuk
lihat dalam literatur-literatur lain.
Keistimewaan anatomi dan bentuk tubuh manusia dalam perbandingannya dengan
manusia-kera menunjukkan adanya evolusi perkembangan makhluk hidup. Anatomi dan
bentuk tubuh manusia dalam perspektif filsafat manusia hanyalah jenjang-jenjang;
perkembangan yang belum menyimpulkan adanya keluarbiasaan dan kelebihan kedudukan
11
manusia dalam skala evolusi. Evolusi manusia dapat dilambangkan sebagai panah yang
terlepas dan bergerak menuju sasaran, yaitu masa depan. Tidak ada sesuatu pun yang
berhenti di masa lampau, masa sekarang, tetapi senantiasa berkembang ke depan. Masa
depan adalah bahasa evolusi.
1. 1. 2. Posisi khas ontogenetis.
Posisi khas ontogenetis pada manusia dalam perbandingan dengan binatang
menyusu terlihat dalam fase kelahiran sejak berada dalam kandungan sampai kepada masa
awal sesudah kelahiran. Kelahiran merupakan saat peralihan kehidupan dari kehidupan
dalam kandung ibu kepada keterpisahannya dari kandungan ibu untuk masuk ke dalam
dunia dan memiliki “Dasein” (realitas “ada”) tersendiri. Semua binatang menyusu lain
memiliki masa mengandung yang agak lama sesuai dengan tingkat perkembangannya yang
berbeda-beda. Biasanya masa mengandung berlangsung 21 dan 22 bulan; manusia
sebetulnya memiliki masa mengandung seperti ini, tapi sampai sekarang yang diketahui,
manusia dikandung selama 9 bulan. Pengamatan yang lain lagi selain masa mengandung ini
tertuju kepada saat langsung sesudah kelahiran. Hampir semua binatang mengalami
kematangan segera untuk berdiri sendiri sesudah lahir. Mereka memiliki kematangan yang
cepat dengan perkembangan kemampuan yang perlu untuk berada sendiri. Pada bayi
manusia, organisasi otot dan saraf berkembang perlahan dan bisa berlangsung sampai
sekitar satu tahun. Portmann melukiskan tahun-tahun pertama hidup manusia sebagai
,”tahun ekstra-uterin embrio”. Arti dari anomalitas ini terletak di dalam kenyataan bahwa
dengan cara itu penempaan sosio-kultural dari bayi bersangkutan merasuk masuk ke dalam
stadium embrional yang belum lengkap. Di dalam waktu 9 sampai 11 bulan dari tahun
pertama terbentuk tiga unsur penting secara serempak untuk hidup manusia: kesanggupan
untuk menggunakan alat; bahasa yang khas dan sikap yang tegap. Dalam semua usaha ini
pembawaan lahir dan dorongan alamiah berpengaruh satu sama lain untuk meniru keadaan
sekitarnya dengan cara meresapkannya secara membatin. Hal serupa tidak mungkin berlaku
untuk binatang menyusu dalam tingkat lebih tinggi selain manusia. Fase di dalam
kandungan ibu itu sudah merupakan fase penentu untuk mengorganisir sistem urat- saraf,
12
dan dalam situasi yang jauh dari kontaknya dengan dunia luar, seluruh organisasi instink
diatur dan dibangun secara kokoh.
Posisi khas ontogenetis yang ditemui pada manusia tidak menyelesaikan persoalan
juga tentang kekhasan manusia, karena posisi khas ontogenetis bisa ditemui juga pada
gorila. Fakta biologis yang memperlihatkan kekhasan ontogenetis pada manusia, gorilla,
kera, babi dsb. belum memberi kesimpulan bahwa hakikat manusia berbeda dengan
binatang.
1.1.3. Keistimewaan struktur tingkah laku atau sikap.
Biologi perbandingan coba menyoroti struktur tingkah laku pada binatang dan
struktur tingkah laku pada manusia. Struktur tingkah laku pada binatang dan pada manusia
memiliki struktur dasar yang sama. Dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya setiap
makhluk hidup (binatang dan manusia) menjawabi situasi yang punya arti tertentu dan yang
dirangsang secara biologis dari luar tanpa pengalaman sebelumnya, tanpa percobaan dan
kekeliruan. Makhluk hidup menjawabi itu dengan cara yang berarti, dan menerima
rangsangan itu dengan cara khas dan jelas. Mereka mempunyai kemampuan untuk
membentuk dan mengatur semua data pengalaman indrawi ke dalam satu reaksi tertentu,
dan hal ini justru memungkinkan satu kesempatan optimal dalam setiap situasi untuk
bertindak secara tepat. Apakah struktur dasar ini dilengkapi juga dengan keistimewaan
struktur tingkah laku pada masing-masingnya, baik pada binatang maupun pada manusia?
Kita melihat lebih dahulu struktur tingkah laku pada binatang. Untuk binatang
perubahan-perubahan di dalam lingkungan hidup, yaitu perubahan yang ada di dalam
dirinya sendiri, dikenal melalui skemata-skemata yang menimbulkan reaksinya secara
sesuai, karena di dalamnya sudah terdapat kesediaan batiniah-naluriah yang dikendalikan
secara hormonal. Reaksi bagian yang satu terintegrir ke dalam reaksi bagian yang lain, dan
hal itu membangun satu mata rantai tindakan yang punya arti tertentu. Setiap bagian reaksi
yang terintegrir satu sama lain itu justru menghantar kepada tujuan akhir tertentu yang
sementara sifatnya seperti pemuasan, perkawinan, penetapan posisi dsb. Setiap bagian
reaksi ini dihasilkan lagi oleh satu rangsangan atau stimulus baru. Jadi terdapat satu
13
hierarki: Dari tujuan umum yang meliputi segalanya seperti tujuan pengakuan atau
pertahanan diri dan jenisnya, sampai kepada tujuan khusus seperti pemuasan terhadap
kebutuhan pokok dan pengembangbiakan dsb; untuk pemenuhan kebutuhan dasar ini
sebagian tujuan khusus harus dicapai, misalnya untuk pengembang biakan si jantan harus
mengalahkan saingannya dengan cara mengejar-ngejar, mengancam atau menggigit dsb.
Faktor yang menentukan di sini ialah bahwa setiap binatang tidak pertama-tama “harus”
belajar membuat seleksi terhadap tingkah laku yang berarti di dalam setiap situasi, tetapi
setiap binatang semacam “sudah” tahu secara hormonal, yaitu bertindak seakan-akan dia
sudah selalu tahu bagaimana dia harus memberi reaksi dan bertingkah laku. Dengan
demikian tidaklah tertutup kemungkinan bahwa tingkah laku binatang itu dapat juga
ditentukan oleh faktor-faktor yang tidak berasal dari warisan kelahiran; hal ini misalnya
terdapat pada binatang verterbrata (binatang yang beruas tulang belakang), terutama pada
jenisnya yang lebih tinggi. Pada binatang itu terdapat faktor “penempaan” atau
penggemblengan dan faktor “belajar”. Faktor penempaan atau penggemblengan terjadi
ketika kesan-kesan indrawi mempunyai pengaruh, dan dampak pada organ tertentu dari
tubuh di dalam satu fase kehidupan tertentu yang sensibel. Dampaknya ialah bahwa kesan-
kesan indrawi itu akan tetap menjadi ransangan yang menimbulkan reaksi dalam tempat-
tempat rangsangan tertentu pada tubuh. Ahli etologi (ahli tentang tingkah laku binatang)
menjelaskan bahwa melalui “proses tempaan itu” misalnya hubungan antara anak-induk
menjadi stabil, orientasi seksual ditetapkan (tipe-tipe persahabatan: heteroseksualitas dan
homoseksualitas). Cara-cara untuk memberi reaksi baru dapat diperoleh, ketika cara-cara
bereaksi itu bersenyawa satu sama lain sesuai dorongan-dorongan melalui rasa sakit dan
nafsu yang selalu terulang. Semakin tinggi berkembangnya jenis binatang tertentu, semakin
mampu dia mengumpulkan pengalaman-pengalaman melalui “percobaan dan kekeliruan”,
begitu juga semakin mampu dia mengubah tingkah lakunya lewat “belajar”, yaitu dengan
cara mengambil alih tingkah laku dari yang lain. Perlengkapan instink menjadi kaku dan
diperluas oleh peristiwa tempaan itu dan oleh tingkah laku yang dipelajari itu.
14
Pada manusia ikatan automatis antara stimulus dan response berada di bawah
pengawasan akal. Memang di satu pihak di dalam diri manusia tidaklah dapat dibedakan
dengan jelas mana kerja instink dan mana rangsangan yang ditimbulkan oleh objek dari
luar, tapi instink dan rangsangan dari luar dapat ditransformir oleh akal sedemikian
sehingga pada tingkat tertentu manusia dapat membedakan dorongan-dorongan yang
bekerja pada bidang yang berbeda-beda seperti dorongan makan untuk pertahanan hidup,
dorongan seksual untuk pengembangbiakkan dsb. Tapi satu kenyataan yang harus diakui
ialah bahwa semua dorongan yang bekerja dalam bidang yang berbeda-beda itu tidak dapat
ditaksir dan tidak dapat diperhitungkan, sebab semua dorongan itu selalu terselimut dengan
motif-motif tertentu yang berpengaruh dalam seluruh tingkah laku seperti dorongan seksual
diselimuti juga oleh motif-motif prestise dana.
Perbedaan utama yang terpenting adalah unsur terbaru baik dari pihak dorongan-
dorongan maupun dari pihak objek-objek yang berkorespondensi dengan dorongan-
dorongan itu. Manusia mampu bukan hanya untuk merasakan objek-objek yang berhadapan
atau bersentuhan dengannya sebagai., kompleksitas rangsangan-rangsangan, tetapi juga
untuk mengartikan dan menghargai objek-objek itu menurut realitas “Ada” yang melekat
padanya, realitas apa adanya. Sampai pada taraf itu, manusia jtistru membangunkan satu
etik dan satu ontologi yang kritis. Kemampuan dan dorongan untuk ,tingkah laku semacam
itu berhubungan dengan satu tujuan yang berada melampaui tujuan dirinya sendiri dan
melampaui tujuan untuk mempertahankan jenisnya. Karena itu manusia dapat mengelakkan
perkembangbiakan demi kepentingan tujuan-tujuan yang lain; manusia dapat dengan sadar
mengakhiri hidupnya atau dengan sadar mengarahkan perhatiannya pada hal-hal penting
lainnya.
Biologi perbandingan menunjukkan keistimewaan struktur tingkah laku pada
manusia bahwa struktur tingkah laku manusia berada di bawah pengawasan akal.
Kenyataan ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa realitas manusia sudah memiliki
(perbedaan hakiki dari binatang meskipun ada kesamaan dan keserupaan mendasar antara
keduanya dalam menjawab rangsangan dari luar secara intinktif. Tetapi kekhasan yang
15
dilukiskan itu belum juga menyelesaikan persoalan tentang akal manusia itu sendiri, apakah
akal itu bersifat material atau tidak. Di antara binatang ada juga semacam “akal” yang
menjadi pengawas tingkah laku mereka ketika kita memperhatikan bahwa mereka
mempunyai kemampuan “belajar” dan dapat keliru seperti yang dilukiskan tadi.
1.2. Problematika pendekatan.
Melalui tiga jalan pendekatan biologis yang disebutkan sebelumnya untuk masuk ke
dalam pemahaman tentang hakikat manusia, orang dapat membuat satu kesimpulan umum
bahwa biologi perbandingan justru menempatkan manusia sederajat dengan binatang.
Memang ada perbedaan-perbedaan khas pada manusia seperti yang ditunjuk dalam ketiga
pendekatan itu, tetapi hasil-hasil penelitian biologis memperlihatkan tidak adanya
perbedaan esensial yang menyangkut hakikat hidup makhluk hidup seperti binatang dan
manusia. Pertanyaan filosofis; muncul untuk mengkonfrontir metode pendekatan biologi
perbandingan, yaitu bahwa apakah hakikat manusia itu sama dengan binatang; apakah
manusia sederajat dengan binatang atau lain dari binatang. Di sanalah letak paradoksnya,
yaitu bahwa manusia sederajat dengan binatang, di satu pihak dalam konteks biologi
perbandingan dan di pihak lain berbeda dengan binatang dalam konteks penelitian terhadap
keistimewaan-keistimewaan yang disebut di atas.
Orang coba memecahkan paradoks yang disebut terakhir itu (sederajat dengan
binatang atau berbeda dengan binatang?) dengan merujuk kembali pada data-data yang
dihasilkan biologi perbandingan, khususnya data-data tentang usaha makhluk hidup seperti
manusia dan binatang, untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan untuk mencapai tujuan
pertahanan diri dan jenisnya. Pendekatan pertama untuk mengatasi paradoks itu berpusat
pada konsepsi yang melihat manusia sebagai “hakikat yang cacat” sebagaimana
ditandaskan oleh Arnold Gehlen. Bila manusia itu dilihat sebagai satu “hakikat yang
cacat”, maka seluruh kekurangan atau cacat cela yang melekat padanya dikompensasikan
oleh kemampuan dirinya untuk menutup kembali cacat celanya itu. Misalnya, manusia
mengkompensir kekurangan-kekurangan dengan berpakaian untuk menutup tubuhnya yang
kekurangan buluh, dengan bersenjata seperti pentungan dan senjata atom manusia
16
mengkompensir senjata gigi yang tidak tajam dan mengambil alih ketrampilan “mencuri”
pada binatang, atau dengan membentuk institut sosial ia (manusia) sebetulnya
mengkompensir daya-daya instink yang terorganisir di dalam dirinya seperti yang terjadi
dalam binatang. Tentu saja cacat yang digambarkan itu berhubungan dengan perlengkapan-
perlengkapan yang ada pada binatang dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok dan
pertahanan dirinya serta jenisnya. Tampak bahwa memang kompensasi itu tidak berjalan
menurut satu norma khas manusia, tetapi satu daya pengimbang yang harus ada demi
pemenuhan kebutuhan pokok dan pertahanan diri manusia. Dengan demikian di balik
konsepsi tentang manusia sebagai hakikat yang cacat ini terletak satu pemahaman bahwa
sebetulnya manusia itu sederajat dengan binatang. Kekhasan-kekhasan yang dimilikinya
tidak lain dari pada kompensasi terhadap kekurangan-kekurangan yang ia miliki dalam
proses pemenuhan kebutuhan, pertahanan diri dan jenisnya. Kelemahan dari konsepsi
manusia sebagai hakikat yang cacat ialah bahwa konsepsi ini justru menempatkan cara
binatang sebagai ukuran yang dikenakan pada manusia. Ukuran itu ditarik dari cara
binatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk mempertahankan hidupnya dan
melanjutkan turunannya. Kita menafsirkan tingkah laku dan susunan badan dari binatang
dengan ungkapan-ungkapan yang antropomorfisme, yaitu ungkapan-ungkapan tentang
binatang seakan-akan binatang itu adalah manusia; dengan ungkapan-ungkapan itu pula kita
mendapat kesulitan untuk secara kritis menentukan batas-batas antropomorfisme.
Sebaliknya juga, kita coba mengartikan tingkah laku manusia dengan merujuk kepada
tingkah laku yang telah ditafsirkan dari dunia binatang. Atas cara ini terciptalah pengertian
kita tentang binatang dan juga pengertian kita tentang manusia tanpa satu pengetahuan yang
diteliti secara objektif. Juga indikasi tentang asal usul yang sama antara manusia dan
manusia-kera dengan bertolak dari satu ikatan jenis yang sama hanya menjamin identitas
kedua bentuk kehidupan itu menurut hakikatnya. Itu hanya bisa diandaikan bila dalam
perjalanan evolusi tak terjadi sesuatupun yang baru. Karena itu orang mau tidak mau
menyetujui pendapat W. Schulz: “Dorongan untuk mempertahankan diri menurut pendapat
Gehlen pada dasarnya berfungsi sebagai satu prinsip abstrak yang menjadi titik tolak dan
17
sasaran untuk interpretasi”. Secara lebih tajam dikatakan: “Gehlen bertolak dari satu
metafisika biologis.”
Pendekatan kedua dari paradoks tersebut, bahwa manusia merupakan satu dari
binatang dan secara serempak berbeda dari binatang, berasal dari pandangan Dualisme yang
melihat manusia sebagai yang terdiri dari dua komponen, yaitu tubuh yang dikendalikan
oleh dorongan-dorongan naluri seperti pada binatang dan Roh yang merupakan
kekhususannya. Pandangan Dualisme ini coba diperlunak oleh gagasan Max Scheler dalam
karyanya “Die Stellung des Menschen im Kosmos”. Max Scheler berpendapat bahwa
kekhususan atau kekhasan pada manusia ialah kemampuannya untuk mengatakan “Tidak”
kepada dorongan-dorongan naluriah. Kemampuan untuk mengatakan “tidak” kepada
dorongan-dorongan itu adalah Roh yang keberadaannya sudah terserap di dalam dorongan
dan naluri-naluri. Karena itu di dalam lapisan terdalam dari eksistensi manusia, di dalam
lapisan tersebut yang menjadi milik bersama dari semua dorongan hidup, manusia justru
sudah memiliki kemampuan vital roh. Eksistensi roh ini merentang dari ruang lingkup yang
gelap di dalam lapisan terdalam dari manusia menuju tingkat kesadaran sampai ke tingkat
kesadaran yang paling cerah pada puncak tertinggi yang disebut ‘PRIBADI” sebagai bentuk
eksistensi yang menjadi milik khas manusia. Tempat metafisis yang melingkupi realitas
hakikat manusia menurut Scheler terletak di antara dua ujung kutub, yaitu antara realitas
ilahi dan realitas kebinatangan atau antara dunia ilahi dan dunia binatang. Manusia bcrdiri
sebagai jembatan penghubung antara kedua realitas itu, dan satu fenomen yang
menunjukkan bidang kontak itu adalah rasa malu. Rasa malu hanya secara hakiki terdapat
pada manusia. Dunia binatang dan dunia ilahi tidak mengenal rasa malu. Namun pandangan
Max Scheler tidak menghilangkan sama sekali unsur dualistis dalam konsep tentang
manusia, karena tubuh dan roh masih merupakan dua unsur yang dapat dibedakan. Problem
Dualisme tidak membantu kita untuk menangkap kesatuan manusia itu secara utuh.
Dualisme sering meremehkan kenyataan bahwa tubuh manusia sama sekali lain dari pada
binatang, baik dalam bentuk atau figurnya yang khas, yang di dalamnya “jiwa” manusia
menemukan ungkapannya yang luar biasa, maupun dalam caranya yang khas untuk
18
memiliki satu badan. Manusia bukanlah setengah binatang, setengah malaikat, tetapi
“manusia sebagai satu keseluruhan yang utuh.”
Untuk melihat manusia sebagai satu keseluruhan yang utuh itu, cara penglihatan
biologis (optik biologis) harus direlativir untuk mengesampingkan cara pendekatan yang
mereduksi realitas manusia kepada realitas makhluk hidup lain seperti manusia-kera. Cara
pendekatan seperti itu bukanlah satu-satunya pendekatan dan juga, bukanlah satu cara
utama yang kita pakai untuk melukiskan hakikat manusia. Dari sisi fenomen-fenomen
masih terdapat banyak pendekatan ilmu pengetahuan tentang manusia, pendekatan-
pendekatan yang harus diperhatikan seperti Ethnologi, Psikologi, Medizin, Sosiologi, Ilmu
Agama, Ilmu Musik dsb. Ilmu-ilmu pengetahuan ini mempelajari bentuk-bentuk dan dasar-
dasar perbuatan manusia, bentuk-bentuk dan dasar-dasar dari pergaulan manusia satu
dengan yang lain, hasil usahanya, dan juga struktur batiniah dari hasil-hasil ciptaannya yang
khas, juga struktur batiniah si ilmiawan sendiri. Kalau kita berpegang teguh pada ilmu-ilmu
pengetahuan itu, maka kita harus melakukan itu dengan kesadaran bahwa ilmu-ilmu
pengetahuan itu menyusun juga apa yang perlu untuk interpretasinya, yaitu menyusun
pengalaman-pengalaman hidup yang biasa. Dari sisi gejala-gejala yang dapat dimengerti
haruslah ditemukan satu bidang yang bisa lolos dari dilemma yang dilukiskan itu, karena
dilema itu didasarkan pada pandangan bahwa baik manusia maupun manusia-kera (dan
binatang-binatang serupa) dimengerti dalam konteks pengertian umum tentang dunia
binatang dengan tidak memperhitungkan lebih dahulu elemen khas manusia, sehingga
untuk menentukan hakikat manusia terjadilah proses reduksionisme biologis atau Dualisme
sebagai jalan pemecahannya.
Bidang teoretis yang menjadi dasar untuk pengolahan tentang hakikat manusia
secara adekuat adalah bidang Ontologi. Bidang ini membicarakan manusia sebagai “satu
realitas Ada” secara tersendiri. Realitas “Ada” dari manusia berbeda dari realitas “ada” dari
binatang. Karena itu pendekatan ontologis tentang manusia justru mengalahkan pendekatan
biologi perbandingan yang diuraikan sebelumnya. Di dalam bidan ontologis haruslah
dipenuhi tiga tuntutan berikut.
19
a. Harus ada satu pengertian umum yang mencakup baik dunia binatang dengan cara
hidupnya yang berbeda-beda maupun dunia manusia dengan kekhasannya. Pengertian
umum itu hanya dapat dikonstruksikan dari pengertian ontologis yaitu pengertian yang
dirumuskan dalam bentuk satu kata, term atau rumusan, tapi pengertian yang
dirumuskan itu harus mewakili segala bidang kehidupan. Satu pengertian umum yang
mencakup baik dunia binatang maupun dunia manusia dapat ditemui dalam rumusan
bahasa Indonesia “lmakhluk hidup”. Malaikat dan roh tidak tercakup dalam pengertian
itu. Sedangkan kata “zoon” dalam bahasa Yunani menunjuk kepada dunia binatang,
dunia manusia bahkan dunia ilahi, tetapi tidak termasuk dunia tumbuh-tumbuhan.
Dalam bahasa Jerman, kata “Lebewesen” (makhluk hidup) cuma mencakup dunia
tumbuh-tumbuhan, binatang dan dunia manusia, sedangkan dunia ilahi cuma dimengerti
dalam arti metaphoris. Kedua pengertian itu (Zoon dan Lebewesen) tidak cocok untuk
diterima sebagai satu pengertian ontologis, karena pengertian ontologis justru menuntut
pemahaman yang memperlihatkan pembedaan ontologis antara makhluk-makhluk hidup
itu, juga pembedaan ontologis antara manusia dan binatang. Karena itu orang memilih
saja ungkapan yang berasal dari satu kata buatan yang diciptakan sendiri oleh para
pengamat filsafat manusia, yaitu Subjek dan subjektivitas, yang akan dibicarakan
kemudian.
b. Pertanyaan tentang hakikat dari sesuatu hal harus berkaitan dengan pertanyaan tentang
ada tidaknya pembatasan antara hakikat sesuatu hal dengan hakikat hal yang lain,
misalnya antara hakikat seekor binatang dan hakikat seorang manusia. Dengan kata
lain, apakah realitas “Ada” pada satu makhluk berbeda dengan realitas “Ada” pada
makhluk lain. Ontologi berusaha menggeluti soal itu, dan kalau ada perbedaan antara
realitas “Ada”, maka dalam Ontologi orang perlu merefleksikan juga apakah ada ide
terakhir yang mencakup segala-galanya. Ide terakhir itu adalah ide tentang Realitas
“Ada”, yang berdiri melampaui semua penampilan lahiriah dari realitas “Ada” yang
berbeda-beda itu. Dan kalau tidak ada perbedaan antara Realitas “Ada” dalam setiap
makhluk, maka pertanyaan lebih lanjut dalam Ontologi ialah bahwa Realitas “Ada”
macam mana yang dapat direfleksikan pada manusia. Ontologi yang berbicara tentang
20
hakikat makhluk hidup atau Realitas “Ada” dalam makhluk hidup tentu berhubungan
erat dengan Filsafat Antropologi, dan bila Ontologi bergelut tentang hakikat atau
Realitas “Ada” dalam diri manusia, Ontologi semacam ini merupakan bagian dari
Filsafat Antropologi .
c. Pengertian tentang hakikat manusia merupakan hasil dari satu penafsiran tentang
fenomen-fenomen (gejala-gejala) yang tampak dari manusia. Dengan demikian kegiatan
menafsir yang dijalankan oleh manusia yang satu hanya terbatas pada daya teropongnya
yang bersifat sebagian. Kegiatan menafsir itu selalu bergantung kepada situasi dan
kondisi si penafsir. Justru keterbatasan kegiatan menafsir inilah yang mencerminkan
masalah “Fenomenologi” dan “Ontologi”: Sejauh mana penafsiran terhadap fenomen-
fenomen yang tampak dalam diri manusia menyentuh sesuatu yang menjadi inti atau
hakikat atau Realitas “Ada” dalam manusia itu.
1.3. Pengertian tentang Subjek.
Kata “Subjek” berasal dari bahasa Latin: Sub + iacere (di bawah + melemparkan,
menundukkan). Kata jadian yang berasal dari “sub+iacere” adalah “subicere”:
melemparkan atau meletakkan ke bawah. Dalam pengertian filosofis kata “subjek”
dikenakan kepada manusia sebagai satu hakikat yang memiliki realitas keberadaan (das
Seiende) tersendiri. Dengan bertolak dari pengertian bahasa dan pengertian ontologis
tentang realitas keberadaannya, kita coba memperkenalkan satu pengertian tentang
Subjektivitas sebagai realisasi kesatuan dan Subjektivitas sebagai “Sesuatu yang berada
dalam dunia”.
1.3.1. Subjektivitas sebagai satu realisasi kesatuan.
Subjektivitas bertolak dari ide tentang sesuatu sebagai satu realitas “ada” (das Sein
= Realitas “Ada” = Realitas yang benar) dan tentang kesatuan yang melengkapi dan
mengokohkan realitas “ada” itu. Antara realitas “ada” dan kesatuan terjalin hubungan yang
saling mendukung. Di mana kita menemukan “realitas ada”, di sana kita juga menemukan
kesatuan, begitu juga sebaliknya, di mana kita menemukan “kesatuan”, di sana kita
menemukan “realitas ada”. Semakin sedikit sesuatu itu tampil sebagai sesuatu yang real,
semakin kurang hal itu menemukan kesatuan yang asli. Bila kita berbicara tentang “satu
21
kesatuan”, maka kita pertama-tama berpikir tentang unsur jumlah: 1+1+1+1........Satu
kesatuan memang terbentuk atas cara ini, bahwa unsur-unsurnya memiliki sesuatu yang
menjadi milik bersama dan serempak menjadi satu ketersendirian yang unik. Dengan
demikian, setiap unsur yang membentuk satu kesatuan itu memiliki “keterpaduan”
(Geschlossenheit) yang memperlihatkan ketersendiriannya yang unik dan serempak
keterbukaan terhadap yang lain untuk diterima ke dalam satu kesatuan yang lebih besar dari
unsur itu. Melalui kedua sifat ini setiap elemen dapat “diterima” semata-mata sebagai
“satu”; ia terpadu secara ke dalam dan terbuka untuk dapat bersatu dan bergabung dengan
yang lain. Kesatuan yang terbentuk itu dapat saja mengalami perubahan “jati-diri” yang
berasal dari dalam dirinya sendiri atau juga yang berasal dari kemungkinan peleburan
bagian-bagiannya ke dalam satu keseluruhan yang lebih besar dari kesatuannya. Bila kita
menganalis satu benda atau satu makhluk hidup seperti binatang dan manusia sebagai
realitas “ada” dalam terang ide satu kesatuan itu - seperti sebuah batu yang ditemukan di
satu tempat, sebuah objek yang dapat dipakai, seekor anjing, seorang manusia - maka
tampaklah satu kesatuan yang terwujud secara intens dan padat, yaitu satu intensitas yang
tampil sejalan dengan urutan jenjang-tingkatan yang dikenal di dalam tata tertib realitas
“Ada”, seperti satu kesatuan yang tenvujud secara intens pada sebuah batu tentu lain dari
satu satu kesatuan yang terwujud secara intens pada seekor anjing. Melalui contoh itu,
pengertian tentang subjektivitas sebagai realisasi kesatuan menerima arti menunit bentuk
luar dan menurut ketahanan hasil keterpaduannya. Dengan bertolak dari paham tentang
kesatuan (keterpaduan dan keterbukaan terhadap yang lain), sebagaimana elemen-elemen
ini menampilkan diri kepada pengamatnya, kita berangkat menuju pembahasan tentang dua
sifat dari kesatuan yang disebut di bawah ini.
a. Jenjang pembentukan jati-diri objektif dan keseluruhan.
Saya memegang “satu” batu di tangan saya. Kita bertanya: “Apa yang menjadi dasar
kesatuan batu ini? Sifat kesatuan atau unsur khas dari bahan-bahan materialnya hampir
tidak memainkan peranan. Hal yang lebih penting adalah keterpaduan bentuknya (bahwa
orang dapat memperhatikan permukaannya dari satu sisi ke sisi yang lain secara
22
keseluruhan, atau bahwa batu ini dapat berguling dalam kesatuan). Apakah orang
memperhatikannya dalam waktu yang agak lama atau sekilas, batu itu toh tetap
memperlihatkan keseluruhannya. Satu bentuk geometris yang teratur memudahkan kita
untuk menjatuhkan penilaian kita terhadapnya, apabila kita memecahkan batu itu menjadi
dua bagian lalu mempertanyakan apakah batu yang satu itu menjadi dua keping batu dari
satu batu yang sama atau dua buah batu yang berbeda. Dengan mengamati, memperhatikan
dan mengukurnya menjadi pentinglah kegiatan menafsir kita untuk mendekatinya menurut
tujuan dan model penggunaan benda itu. Tujuan dan model penggunaan benda itu
dimengerti sebagai tujuan dan model yang secara jelas menunjuk kepada satu kesatuan
yang jelas atau satu keterpaduan yang tampak dalam keseluruhan bentuknya (mis. bola atau
pisau), kesatuan yang mendapat pembatasan tajam oleh karena tujuan penggunaannya.
Tujuan penggunaan dari benda itulah yang menentukan kesatuannya dan oleh karena tujuan
tertentulah benda itu dibuat. Dari pengertian tentang tujuan itulah kita dapat mengenal
bahwa bagian-bagian yang terpisah dapat menunjuk kepada keseluruhannya dan dapat
menyatu juga ke dalam keseluruhannya; dari situ kita dapat menilai bahwa perubahan
macam mana dapat mengancam identitas benda itu dan perubahan-perubahan macam mana
tidak menghilangkan identitas benda itu. Dari itu pulalah kita dapat melihat keadaan
keseluruhan dari benda itu sebagai sesuatu yang penuh cacat dan retak. Pengertian tentang
tujuan justru berfungsi sebagai prinsip kesatuan satu benda atau objek.
Ide tentang prinsip kesatuan itu dikenakan juga pada interpretasi kita tentang
makhluk hidup. Di dalam makhluk hidup terdapat tujuan di dalam dirinya sendiri.
Keberadaannya memiliki karakter yang bersifat ganda, yaitu sebagai satu individuum dan
sebagai makhluk dari satu jenis atau spesies. Individuum menunjuk kepada jati-diri objektif
dari satu makhluk, dan jenis atau spesies yang disandangnya menunjuk kepada keseluruhan
yang di dalamnya individuum termasuk. Dalam keseluruhan kodratnya makhluk hidup
tidak terlepas dari tempat dan fungsinya untuk membangun keseluruhannya. Jika
seandainya arti keberadaan makhluk itu terletak dalam fungsinya, maka keseluruhan yang
menjadi sasaran jalinan antara jenis jenisnya tidak punya arti, sebab keseluruhannya
23
hanya dapat memiliki satu eksistensi yang real di dalam setiap makhluk hidup dari jenis
yang sama. Tetapi arti keberadaan makhluk hidup tidak terletak dalam fungsinya. Setiap
makhluk hidup memikul di dalam dirinya satu prinsip kediriannya (prinsip jati-diri objektif)
yang sangat jelas terlihat dalam realisasi diri seperti memnertahankan diri, mengembangkan
diri melalu metamorfose, pertukaran zat-zat kimiawi, pengembangan diri atau
perubahan lainnya. Serempak pula, makhluk hidup ini juga memiliki di dalam dirinya
dan melalui dirinya prinsip keseluruhan, dan prinsip ini bukan hanya terwujud di dalam
proses pengembangan struktur kodrati dari keberadaan makhluk itu sendiri, yang mencakup
juga unsur-unsur atau bagian-bagian yang tidak lagi ada, tetapi juga terwujud sedemikian
rupa sehingga prinsip itu sendiri merupakan asal usul dinamis untuk perkembangan dari
bagian-bagian yang termasuk dalam keseluruhan itu (seperti organ-organ dan fungsi-
fungsinya), yaitu untuk regenerasi (regenerasi untuk bagian-bagian lama yang harus
diganti) dan kompensasi (kompensasi untuk bagian-bagian yang tak berfungsi) dari bagian-
bagian itu.
b. Jenjang perwujudan kesatuan yang melekat pada sifat subjek.
Kita mengambil contoh dengan menderetkan benda dan makhluk hidup: batu,
pohon, binatang dan seorang manusia. Tampaklah pada kita bahwa prinsip kesatuan pada
batu berbeda dengan prinsip kesatuan pada pohon, dst. Pertanyaan kita ialah bahwa di mana
letak perbedaan prinsip antara mereka itu. Prinsip kesatuan apa yang berbeda? Prinsip
kesatuan batu tidak memiliki prinsip kesatuan batiniah; yang ada di sana adalah prinsip
kesatuan yang bersifat instrumentalis seperti yang sudah ditunjuk sebelumnya. Sedangkan
prinsip kesatuan makhluk hidup memiliki prinsip kesatuan batiniah, meskipun prinsip
kesatuan sebatang pohon lebih kecil dari binatang, dan prinsip kesatuan seekor binatang
lebih kecil dari manusia.
Mengapa benda-benda material seperti batu tidak memiliki kesatuan batiniah dan
hanya kesatuan yang bersifat instrumentalis? Benda-benda material seperti batu tidak
berada untuk dirinya. Hakikatnya hanyalah satu kesatuan tertutup yang berada di tempat ini
dan serempak merupakan sesuatu yang bukan benda yang lain. Hakikat keberadaan model
24
ini sebetulnya hanya dapat dipahami dalam konteks pengamat. Hakikat keberadaannya
sendiri sebagai “kemampuan berada untuk” atau “kemampuan untuk mempunyai tujuan di
dalam dirinya” tidak ada. Pengamat menaruh tujuan penggunaan benda material itu.
Kemampuan berada untuk atau kemampuan untuk memiliki tujuan di dalam dirinya
hanya berlaku untuk makhluk hidup. Kemampuan berada untuk atau kemampuan untuk
memiliki tujuan di dalam dirinya diartikan sebagai kemampuan refleksivitas yang dimiliki
makhluk hidup sebagai satu realitas “Ada”. Kegiatan refleksivitas ini tercermin dalam
kegiatan aktif-pasif dari makhluk hidup itu sendiri. Kegiatan refleksivitas dengan daya
aktif-pasif ini terserap di dalam dinamika dorongan kehidupan makhluk hidup itu sendiri.
Daya “aktif” terarah kepada aktivitas gerak-laku ketika berhadapan dengan rangsangan dari
luar seperti ketika berhadapan dengan musuh atau berhadapan dengan pasangannya,
sedangkan daya “pasif” terarah kepada posisi “menantikan” rangsangan dari luar. Kegiatan
refleksivitas aktif-pasif ini berkorelasi secara intrinsik di dalam dinamika dorongan-
dorongan itu, dan perkembangan korelasi aktif-pasif itu bersifat evolutif dan ontogenitis,
dalam arti bahwa pada tumbuhan misalnya dinamika dorongan yang berpusat pada
refleksivitas pasif lebih menonjol dari pada aktif. Aktivitas dan pasivitas memiliki intensitas
berbeda dan terpisah.
Indikasi refleksivitas yang bersifat aktif-pasif pada binatang kita kenakan pada
manusia dalam tingkat tertentu. Pada manusia kegiatan refleksivitas yang bersifat aktif-
pasif berkembang pesat dan khas. Identitas individual pada manusia menonjol. Tidak lagi
ditekankan arti dari spesies tertentu, tetapi arti individual dan arti sosial dari realitas
manusia. Dalam lingkungan sosial, manusia memainkan peranan yang bermacam-macam,
membentuk hubungan dan fungsi yang beragam, tetapi dalam lingkungan individual dia
tetap menyandang identitas yang sama. Prinsip identitas ini otonom, dan dari sana
beraksilah pusat atau sentrum untuk segala macam kegiatan dan fungsi. Dalam prinsip
individual yang otonom dan sosial ini tugas manusia adalah senantiasa untuk
mengintegrasikan dan memperjuangkan keseluruhan dirinya, dan tugas ini justru
melampaui tugas biologis semata-mata seperti pada makhluk hidup lain (mempertahankan
25
hidup dan melanjutkan keturunan). Karena tugasnya ini melampaui tugas biologis,
maka tugas ini menyentuh satu bidang yang melampaui dunia fisis, dan itu hanya
tercermin dalam ide atau gagasan tentang tugas untuk memperjuangkan dan mencapai satu
“hidup yang penuh arti”. Di dalam horison hidup yang berarti inilah tugas pengintegrasian
itu terlaksana. Proses ini mau tidak mau harus melibatkan juga “realitas ada” yang lain,
yaitu realitas manusia yang lain. Mengintegrasikan diri untuk membangun keseluruhan
berarti berusaha untuk mengenal “realitas lain”, dalam hal ini manusia lain sebagai individu
sekaligus realitas lain yang berhadapan dengan kita. Dalam mengenal yang lain sebagai
satu realitas keberadaan yang berbeda, maka diri sendiri atau jati diri juga “dikenal”.
Dengan demikian dalam proses mengenal dan dikenal, dalam proses mewujudkan jati diri
dan realitas yang lain, kegiatan mengenal dan dikenal itu, menghargai dan dihargai itu,
mencintai dan dicintai itu adalah identis. Di sinilah letak penghayatan kesatuan dalam
jenjang yang tertinggi, yaitu mengenal di dalam yang mengenal, mencintai di dalam yang
dicintai.
Dalam penghayatan kesatuan yang dilukiskan di atas, baik orang yang mengenal
maupun orang yang dikenal berdiri dalam satu kesatuan yang terpisah. Jati diri individu
yang satu berbeda dari jati diri individu yang lain, tapi hubungan keduanya membanguni
satu kesatuan tanpa peleburan. Keberadaan seperti itu atau kesadaran seperti itu kita sebut
“subjek”, yaitu satu keberadaan yang menyikapi diri sendiri dengan cara menyikapi orang
lain. Kata “subjek” ini lalu menjadi satu “lintas-pengertian” yang dalam kategori ontologis
dapat menjadi satu tanda pengenal hakikat manusia. Persoalannya ialah bahwa para filsuf
belum memecahkan apakah kata “subjek” dapat dikenakan kepada binatang dan tumbuh-
tumbuhan (persoalan filsafat pengetahuan alam). Tetapi untuk seorang pakar filsafat
manusia kata “subjek” sudah bisah dijadikan ide penuntun untuk analisa tentang realitas
manusia.
Di dalam pokok di atas disebut jenjang perwujudan kesatuan yang melekat pada
sifat subjek. “Yang melekat pada, sifat subjek” tidak disamakan dengan “subjektif”.
Subjektif berkonotasi, dengan semau hati atau tidak objektif. Yang melekat pada sifat
26
subjek berarti sifat yang berpautan dengan “subjektivitas”, dan subjektivitas itu sendiri
berarti “cara berada dari realitas manusia”, yaitu cara berada yang melipiiti baik kesadaran
maupun ketidaksadaran dan unsur-unsur psiko-biologis.
1.3.2. Subvjktivitas sebagai “Berada-dalam-dunia” (In-der-Wett-Sein).
Manusia dan binatang membangun satu lingkungan hidup yang di dalamnya
manusia dan binatang serta makhluk-makhluk hidup lainnya ada bersama dan
berdampingan. Tetapi lingkungan hidup manusia dan lingkungan hidup binatang berbeda,
meskipun dalam tingkat tertentu untuk lingkungan hidup keduanya sudah tersedia prasyarat
yang sama untuk peristiwa kehidupan yang bersifat intra-organis. Perbedaan yang
mencolok antara lingkungan hidup manusia dan lingkungan hidup binatang ialah makna
kata “subjek” yang melekat pada manusia. Benda-benda dan makhluk hidup lain adalah
sesuatu apa adanya, sedangkan subjek yang melekat pada manusia adalah pelaku yang
menjawabi pertanyaan bagaimana dan terhadap apa dia bersikap. Pengertian “dunia”
bertolak dari sikap subjek ini, karena itu kita bisa memahami sikap subjek yang mengerti
dunia dalam arti keseluruhan, seperti dunia manusia, dunia binatang dan dalam arti tertentu
seperti dunia orang tua, dunia remaja dsb.
Pengertian “dunia” yang terakhir ini merupakan satu pengertian antropologis yang
harus dibedakan dari pengertian kosmologis. Secara formal, dunia berarti totalitas atau
keseluruhan. Dalam arti kosmologis dunia berarti keseluruhan realitas yang ada
sebagaimana adanya an sich dan yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi.
Dalam arti antropologis, dunia berarti keseluruhan realitas yang berhubungan dengan
subjek dan mempunyai arti tertentu untuk subjek. Secara konkret dan linguistis, dunia ini
ditandai dengan atau dihubungkan dengan bentuk Genitif substantif seperti dunia buruh
(“buruh” adalah Kata benda yang berbentuk Genitif dalam kaca mata bahasa barat), dunia
perempuan, dunia anak-anak, dsb. Dengan demikian secara formal arti dunia dalam
pengertian antropologis dan kosmologis berbeda. Dunia dalam pengertian antropologis
bukan cuma sebagian dunia dalam arti kosmologis, tetapi satu realitas relasi antara tindak-
tanduk tertentu dari subjek dengan dunia di luar subjek. Dan ungkapan relasi ini tentu
27
terbatas dan relatif, sebab tindak-tanduk dan cara si subjek dalam membentuk relasi
tergantung pada apakah dunia di luar subjek punyai arti tertentu untuk subjek yang
bersangkutan. Dalam arti ini, pengertian dunia semakin lebih sempit, karena subjek-subjek
yang hidup dalam dunia itu memiliki dunianya sendiri. Dunia si A berbeda dengan dunia
si B.
Meskipun dunia si A berbeda dengan dunia si B atau dunia dari subjek yang satu
berbeda dari dunia dari subjek yang lain, namun semua manusia dalam proses
perkembangannya memiliki alur atau jalan hidup yang sama. Alur hidup itu adalah dunia
manusia sendiri, yang bercirikan kesadarannya yang terbuka terhadap dunia yang lain,
terutama terhadap dunia manusia yang lain. Kesadaran yang terbuka ini tercermin dalam
sikap “merasa senasib” dengan manusia lain dalam dunia yang sama, menaruh empati
terhadap yang lain, solider, bersikap sosial bahkan mampu merobah atau memodifisir
dunianya sendiri. Subjektivitas sebagai sesuatu yang berada dalam dunia tidak lain dari
pada “dunia manusia” yang tidak hanya tinggal dalam dunia ini, tapi yang bertanggung
jawab untuk mengolah dunia menjadi miliknya.
1. 4. Mencari kesatuan pengertian tentang manusia.
Kita mencari pengertian tentang hakikat manusia. Ada dua persoalan yang mau
digeluti di sini. Apakah manusia yang berbeda-beda itu memiliki hakikat yang sama?
Karena pengertian tentang manusia selalu bergantung kepada cara berpikir, kebudayaan dan
sejarah peradaban dsb., maka persoalan kedua yang hendak digeluti ialah bahwa apakah ada
pengertian universal tentang manusia?
1.4.1. Kesatuan hakikat?
Pengertian tentang hakikat hendaknya digunakan untuk semua unsur dari satu kelas
makhluk hidup, dan dibuat sedemikian sehingga pengertian itu memberikan satu iktisar
dasar tentang realitas hidup makhluk yang bersangkutan. Begitu juga halnya dengan usaha
untuk memberi pengertian tentang hakikat manusia. Pengertian ini harus menyentuh hal
yang hakiki pada manusia, dan perlu dirumuskan melalui “definisi” yang jelas tentang
28
realitas makhluk manusia. Defenisi yang jelas ini harus memuat satu identitas tetap di
dalam semua keanekaragaman manusia dan satu realitas yang tetap di dalam proses hidup
manusia sejak kelahirannya sampai kematiannya.
Realitas yang tetap ini dapat kita amati sejak dulu sampai sekarang. Unsur-unsur
yang sama itu adalah seperti bahasa, teknik, cara berpikir abstrak dan lain-lain. Manusia
zaman kuno, kecuali manusia-kera, sampai manusia dewasa ini mempunyai kemampuan-
kemampuan yang mendasar itu. Kemampuan-kemampuan yang mendasar itu merupakan
bagian dari definisi tentang hakikat manusia.
Tese tentang realitas manusia, yaitu satu realitas yang tinggal tetap sejak dulu
sampai sekarang, dapat dilihat dari dua sisi: Pertama, tidak ada sama sekali kesatuan
hakikat manusia. Yang ada hanyalah gejala-gejala lahirah yana coba dianalogikan sebagai
gejala-gejala sama yang memberi kesan seakan-akan ada hakikat yang sama. Kedua, ada
pendapat bahwa memang ada kesatuan hakikat yang dijenjangkan secara analog pada
realitas manusia. Dari semua manifestasi terdapat derajat yang sama, dan itu hanya dapat
dipahami bila manifestasi-manifestasi itu berasal dari hakikat yang sama.
Penjelasan tentang tese pertama bahwa tidak ada sama sekali kesatuan hakikat
manusia adalah demikian. Peralihan dari unsur-unsur hakiki pada binatang menuju unsur-
unsur hakiki pada manusia tampak tidak jelas. Begitu pula pembedaan unsur-unsur hakiki
pada manusia yang satu dengan manusia yang lain tampak tidak jelas. Pembagian yang
telah dibuat dalam pengelompokkan jenis makhluk hidup, termasuk juga manusia, dibuat
sewenang-wenang, karena orang tidak bisa menentukan sejenak kapan sesuatu makhluk
disebut “manusia”. Juga pengelompokkan manusia berdasarkan kulit, ras, suku dsb.;
pembagian ini juga bersifat sewenang-wenang, karena hal ini hanya menyentuh gejala
lahiriah dan penampilan lahiriah manusia yang satu dengan manusia yang lain. Orang tidak
boleh dengan mudah menyimpulkan bahwa ada perbedaan hakikat; penetapan yang tampak
sewenang-wenang itu hanya menunjuk kepada cara-cara berada dan gejala-gejala lahiriah
dari realitas makhluk hidup dan realitas manusia. Perbedaan-perbedaan ini juga sama sekali
tidak menunjukkan perbedaan hakikat atau kesatuan hakikat.
29
Penjelasan tentang tese kedua bahwa memang ada kesatuan hakikat pada manusia
adalah demikian. Semua manifestasi kehidupan manusia berasal dari satu hakikat yang
sama. Ada kesatuan hakikat. Hal ini dapat diphat dari perkembangan daya-daya manusia
yang menunjuk kepada pembentukan hakikat yang sama. Daya-daya itu terwujud
umpamanya melalui teknik. Dalam pengembangan teknik, mulai dari teknik yang paling
sederhana sampai kepada teknik yang paling canggih, sudah tersirat adanya satu daya untuk
memenuhi tujuan yang sama, yaitu untuk menjawabi tantangan dunia. Teknik merupakan
hasil kemampuan manusia untuk menjawabi tantangan dunia itu. Melalui teknik realitas
hakiki manusia diungkapkan; semacam tercermin adanya kesatuan hakikat melalui
“kemampuan-kemampuan” yang terwujud dalam pengembangan teknik serempak pula
kemungkinan-kemungkinan baru untuk penemuan teknik. Dengan tese yang kedua ini
muncullah kritik tajam terhadap penilaian sementara orang bahwa oleh karena perbedaan
perkembangan teknik kebudayaan sebelumnya lebih rendah dari pada kebudayaan
sesudahnya. Atas kriteria apa penilaian semacam itu dibuat? Dalam sejarah kebudayaan
ternyata ada jalur jalur tetap yang bertahan, jalur yang menunjukkan kesatuan realitas
manusia, meskipun jalur-jalur tetap itu terperangkap dalam perubahan waktu. Jalur tetap itu
adalah kemampuan manusia untuk menjawabi tantangan dunia melalui penemuan dan
pengembangan teknik.
1.4.2. Universalitas Dalam Hal Mengerti tentang manusia. (Kesatuan Pengertian
tentang Manusia)?
Kita bermaksud untuk mencari satu kesatuan pengertian tentang manusia. Kesatuan
pengertian yang dimaksud hendaknya memuat satu pemahaman utama tentang realitas
manusia. Tetapi masalahnya ialah bahwa ketika kita mengolah pengertian kita tentang
manusia dengan bertitik tolak dari pengalaman-pengalaman umum, ketika itu pula
pengertian kita sudah terkondisikan oleh lingkungan, sejarah dan kebudayaan kita. Karena
itu tak bisa pengertian yang kita olah itu ditetapkan begitu saja kepada lingkungan, sejarah
dan kebudayaan dari orang-orang lain di luar lingkungan, sejarah dan kebudayaan kita.
30
Disposisi negatif yang muncul dari usaha untuk menetapkan pengertian kita kepada
lingkungan kebudayaan lain adalah disposisi ethnosentrisme dan disposisi relativisme.
Disposisi ethnosentrisme adalah disposisi (sikap batin) yang memandang kebudayaan kita
sendiri, adat istiadat, pandangan hidup, institusi sosial, norma-norma hidup sebagai yang
sungguh-sungguh manusiawi dan benar. Karena itu kelompok sosial dari lingkungan
budaya dan pandangan hidup yang lain perlu dituntut untuk mengakui norma, nilai dan
ideologi yang kita miliki. Kelompok sosial lain perlu dituntun untuk menghayati norma,
nilai dan ideologi yang kita miliki. Disposisi ethnosentrisme ini memandang kebudayaan
sendiri lebih tinggi dari pada kebudayaan lain. Sementara itu, disposisi relativisme adalah
disposisi yang memandang sama saja semua pengertian dan pemahaman, baik pengertian
dan pemahaman yang berasal dari lingkungan kebudayaan sendiri, maupun pengertian dan
pemahaman yang berasal dari lingkungan kebudayaan lain. Tidak ada satu kebenaran
mutlak yang terkandung dalam pengertian dan pemahaman itu! Di satu pihak para penganut
paham relativisme bersikap toleran terhadap orang yang berpendirian lain, tetapi di lain
pihak para penganut paham itu bersikap acuh tak acuh dan kurang peduli akan tuntutan
kebenaran yang mungkin diperoleh dari kebudayaan sendiri atau dari kebudayaan orang
lain.
Kedua disposisi itu jelas tidak menjawabi persoalan apakah ada kesatuan pengertian
tentang manusia. Keduanya bertolak dari pengandaian yang keliru bahwa haruslah adn
perumusan satu kebenaran absolut melalui satu pengenalan objektif, sehingga perbedaan-
perbedaan antara subjek diperlunak untuk menonjolkan kebenaran absolut itu. Pada hal
kenyataannya, bahwa, meskipun terdapat begitu banyak subjek dalam arti kuantitatif,
semua subjek yang berbeda memiliki satu subjek, yaitu satu subjek transendental, subjek
yang mengatasi subjek-subjek konkret. Satu subjek yang transendental itu mengandaikan
pengetahuan objektif tentang kebenaran dan tentang pemahaman diri yang tidak dapat
direduksikan kepada subjek-subjek konkret.
Dari pertimbangan-pertimbangan yang disebutkan itu, tampak jelas bahwa untuk
mencari kesatuan pengertian tentang manusia diperlukan dialog terus menerus untuk
31
menemukan dan memecahkan kesulitan dalam soal pengertian dan pengetahuan tentang
manusia dan untuk memajukan proses pengenalan diri. Dialog semacam ini tidak akan
berdiri di atas dasar, norma, cara berpikir dan nilai dari satu pasangan-dialog, tetapi berdiri
di atas prinsip “kesetaraan dan kesederajatan” pasangan-bicara dengan kita. Prinsip ini
justru memungkinkan kita untuk saling memberi pengertian dan pengetahuan tentang
sesuatu hal termasuk tentang realitas manusia, karena pengertian dan pengetahuan objektif
universal tentang sesuatu hal termasuk tentang manusia bukanlah sesuatu yang telah
tersedia, tetapi harus digeluti.
32
2. DIMENSI-DIMENSI DASAR DARI MANUSIA SEBAGAI
REALITAS “ADA”.
Untuk menandai kekhasan keberadaan manusia di dalam dunia dan subjektivitasnya,
perlulah kita mengukur realitas manusia sebagai satu realitas “Ada” menurut beberapa
unsur hakiki manusia dalam seluruh rentangan sejarah hidupnya. Unsur-unsur hakiki tidak
lain dari pada dimensi-dimensi dasar tertentu yang telah tersedia, dimensi-dimensi dasar
yang memperlihatkan aspek-aspek tertentu pada manusia. Dimensi-dimensi dasar itu adalah
bahasa, sosialitas, kesejarahan dan kejasmanian manusia. Kita coba membahas keempat
dimensi dasar ini secara terpisah.
2.1. Bahasa.
“Manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang memiliki bahasa (Logos) dan
akal budi.” Kalimat ini yang berasal dari Aristoteles (Politik 1, 2 1253 a 10) dan yang
kemudian ditempa dalam bahasa Latin sebagai “homo est animal rationale” masih berlaku
hingga kini. Apa artinya kemampuan manusia untuk berbahasa itu? Untuk menjawab
pertanyaan ini ilmu bahasa pada umumnya dan filsafat bahasa memberi sumbangan
tertentu.
2. 1. 1. Peristiwa teriadinya bahasa dan sistem bahasa.
Di dalam pembicaraan dan percakapan yang bermacam-macam selalu muncul
elemen-elemen tetap: seluruh kalimat, ungkapan-ungkapan, kata-kata, akar kata dan bunyi
suara. Munculnya eleme-elemen ini menampakkan adanya banyak kombinasi, tetapi
kombinasi-kombinasi itu ditentukan oleh aturan-aturan tertentu. Dari pengamatan ini orang
melihat adanya kemungkinan untuk menemukan gudang persediaan yang memuat unsur-
unsur dan aturan-aturan yang dapat dipelajari untuk melukiskan proses pembentukan satu
bahasa. Di sana di dalam gudang persediaan itu orang dapat mempelajari bagaimana
tersusun sejumlah bentuk dan aturan, apakah sejumlah bentuk dan aturan ini didasarkan
33
pada salah satu sistem atau tidak. Dari dalam gudang persediaan ini yang disebut “bahasa”,
setiap pembicaraan dan percakapan dsb. dapat diartikan sebagai peristiwa-peristiwa tertentu
yang terwujud oleh karena penggunaan unsur-unsur dan aturan yang dimungkinkan oleh
gudang persediaan tadi. Dengan demikian ditemui perbedaan yang memberi dasar terhadap
ilmu bahasa, yaitu perbedaan antara sistem bahasa dan peristiwa terjadinya bahasa.
Unsur-unsur bahasa - orang dapat menyebutnya “tanda” dalam arti bahwa unsur-
unsur itu memiliki arti tertentu ketika orang menggunakannya atau ketika orang berbicara -
berada dalam satu hubungan yang sistematis paling kurang antara satu dengan yang lain.
Hubungan sistematis antara elemen yang satu dengan yang lain ini memiliki struktur yang
dapat diselidiki. Karena sistem bahasa berubah secara historis, maka orang harus
membedakan cara pandang yang bersifat sinkronistis yaitu cara pandang yang berhubungan
dengan keadaan satu bahasa pada satu waktu tertentu, dan cara pandang yang bersifat
diakronis, yaitu cara pandang yang melukiskan perubahan itu. Kedua cara pandang ini
membantu orang untuk mengenal perubahan bahasa itu sendiri, baik perubahan yang
bergantung kepada faktor-faktor luar maupun perubahan-perubahan yang berasal dari
faktor-faktor dalam bahasa itu sendiri. Karena itu perlulah orang membedakan struktur
dasar satu bahasa dari struktur faktis bahasa itu yang justru tertempa pada satu waktu
tertentu. Struktur dasar adalah struktur dalam, sedangkan struktur faktis adalah struktur
permukaan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Karena terdapat begitu banyak bahasa-
sejumlah bahasa mempunyai stntktur dasar yang berbeda dan di dalam bahasa yang berbeda
itu isi yang sama (pesan atau warta) diungkapkan dengan tanda yang sangat berbeda pula -
maka orang berusaha untuk menemukan struktur yang mendasari struktur dalam pada
semua bahasa dengan tujuan antara lain untuk menemukan basis netral bagi perbandingan
bahasa dan juga untuk datang lebih dekat kepada hakikat semua bahasa.
Penelitian terhadap unsur-unsur bahasa tadi menghantar kita kepada pemahaman
bahwa setiap bahasa merupakan satu sistem diferensiasi yang tersusun berlapis-lapis secara
hierarkis. Pesan yang berbeda-beda dapat dirumuskan dengan tanda yang sangat sedikit
jumlahnya pada jenjang pertama, lalu tanda yang relatif sedikit pada jenjang kedua, lalu
34
tanda-tanda yang agak banyak sampai kepada tanda-tanda yang sangat banyak dan
kompleks pada jenjang yang berikutnya dan seterusnya. Prinsip diferensiasi mengatakan
bahwa arti dari satu tanda tertentu terletak dalam perbedaan antara tanda yang satu dengan
tanda-tanda yang lain dalam satu sistem yang sama. Tanda-tanda itu berada pada tempat
tertentu sesuai dengan tandanya dalam sistem itu. Perbedaan itu terjadi sedemikian
sehingga terwujudlah pesan-pesan yang berbeda.
Setiap sistem bahasa merupakan satu lapisan hirarkis dari sistem-sistem. Kalau kita
memperhatikan dua fonem yang berbeda seperti fonem “m” dan fonem “k”, maka fonem itu
turut membentuk perbedaan arti bila “m” dihubungkan dengan kata “mata” dan “k” di
hubungkan dengan kata “kata”. Fonem-fonem yang membentuk kata “mata” dan “kata”
bukan hanya sekedar pengeluaran bunyi suara, tetapi merupakan unsur-unsur bunyi suara
yang dimiliki dalam satu sistem bahasa. Perbedaan fonem-fonem itu tidak semata-mata
terletak pada perbedaan akustik, tetapi perbedaan itu terjadi oleh karena adanya satu sistem
fonologis yang menjadi milik setiap bahasa. Fonem-fonem itu justru membangun satu
lapisan hierarkis yang paling bawah, dan pada gilirannya membentuk kata dan kalimat
dengan arti tertentu dalam satu sistem bahasa.
Arti memang termuat dalam tanda bahasa yang tidak berasal dari dirinya sendiri.
Begitu juga bahasa yang mengandung arti tidak mungkin berasal dari dirinya sendiri. Tanda
dan bahasa hanya terjadi dan tercipta. Peristiwa terjadinya bahasa ini dapat diamati melalui
prinsip diferensiasi yang disinggung sebelumnya. Prinsip diferensiasi itu hanya
menjelaskan bagaimana satu tanda memiliki satu arti tersendiri, tetapi tidak dapat
menjelaskan apakah satu tanda memiliki cuma satu arti saja. Tanda-tanda yang
mengungkapkan arti itu disebut tanda-tanda bahasa. Arti dari tanda-tanda bahasa itu diberi
berdasarkan situasi kontekstual kehidupan yang nyata. Situasi kontekstual kehidupan nyata
inilah yang merupakan peristiwa-peristiwa terjadinya bahasa yang hidup. Bahasa dan tanda-
tanda bahasa tersusun satu sama lain. Bahasa dilihat sebagai satu gudang persediaan yang
memungkinkan terciptanya tanda-tanda bahasa, dan dengan terciptanya tanda-tanda bahasa
inilah satu peristiwa terjadinya bahasa dapat dilukiskan.
35
2.1.2. Prestasi bahasa.
Apa yang menjadi prestasi bahasa dapatlah dibaca pada peristiwa terjadinya bahasa.
Tetapi apa yang terjadi sebetulnya dalam peristiwa terjadinya bahasa itu? Pertanyaan ini
biasanya berkaitan erat dengan “fungsi bahasa”. Di dalam fungsi bahasa kita dapat
membaca hasil kemampuan yang diperlihatkan oleh cara-cara berbahasa. Memang ada
banyak fungsi bahasa, tetapi di sini kita membataskan diri pada pembagian klasik yang
dibuat berdasarkan aspek-aspek pokok yang bersifat konstitutif, seperti pembagian Psikolog
Karl Bühler. Menurutnya bahasa memiliki tiga fungsi, yaitu bahasa sebagai simbol untuk
melukiskan fakta atau keadaan sesuatu hal; bahasa sebagai symptom untuk memaklumkan
keadaan batiniah si pembicara, dan bahasa sebagai sinyal untuk mengundang atau memberi
apel pada pasangan bicara agar pasangan bicara memberi reaksi tertentu. Fungsi-firngsi
yang disebut ini dapat dirumuskan secara lain, yaitu presentasi; komunikasi dan
pengungkapan diri.
a. Presentasi
Bahasa menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu. Sesuatu di sini berupa
barang, hal atau keadaan memiliki cara berada yang berbeda-beda. Bahasa menghadirkan
cara berada benda, barang atau keadaan semacam itu. Kita mengambil contoh sederhana
tentang fungsi ini. Meja yang berada di hadapan kita berwarna coklat. Keadaan meja itu
sudah tersedia dengan bentuk, warna dan coraknya. Dengan membahasakan “meja ini
coklat”, kita menghadirkan kembali cara berada meja ini dengan membuat batasan-batasan
yang didasarkan pada tanggapan indrawi kita seperti melihat, meraba dan sebagainya.
Dari contoh yang konkret ini kita beranjak kepada fungsi yang sama secara lebih
abstrak. Bahasa bukan hanya menghadirkan sesuatu yang ada, tetapi menghadirkan sesuatu
yang sudah tidak ada lagi dan sesuatu yang belum ada. Bahasa memungkinkan manusia
untuk membuat sesuatu yang tidak ada atau yang belum ada menjadi hadir di hadapannya.
Sesuatu yang dibahasakan itu adalah sesuatu yang sudah terjadi dan sesuatu yang belum
terjadi. Sesuatu yang sudah terjadi dengan bantuan “bahasa” diingat kembali seperti -
ceritera-ceritera tentang masa lampau satu bangsa atau satu suku. Sesuatu yang belum
36
terjadi dengan bantuan “bahasa” diantisipasi keberadaannya, seperti ramalan-ramalan dan
futurologi. Penilaian, pertimbangan, teori dan rencana serta proyek tentang sesuatu itu baik
sesuatu yang sudah terjadi maupun sesuatu yang belum terjadi melalui “bahasa” mengalami
keluasan, ketajaman dan objektivitasnya; dengan kata lain, bahasa justru menghadirkan
sesuatu itu secara luas, tajam dan objektif.
Akhirnya bahasa juga berfungsi untuk menghadirkan sesuatu yang tidak pernah
merupakan sesuatu yang real secara objektif. Fungsi bahasa seperti ini terlihat umpamanya
dalam syair-syair dan puisi. Di sana fungsi bahasa bukan untuk menyampaikan satu berita
atau informasi objektif tentang sesuatu. Realitas sesuatu hal dilukiskan dalam bahasa
figuratif, dalam ungkapan-ungkapan peribahasa, dalam perumpamaan-perumpamaan dan
pepatah-pepatah. Realitas yang sesungguhnya hanya dapat ditangkap dan dipahami tetapi
tidak ditunjuk secara matematis dan pasti. Bahasa-bahasa ilmiah tentu tidak memainkan
fungsi seperti ini.
b. Komunikasi.
Bahasa berfungsi untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada yang lain baik secara
verbal (dengan kata-kata dan ucapan) maupun secara non-verbal seperti isyarat-isyarat
yang dikembangkan untuk komunikasi para bisu-tuli. Sesuatu yang dikomunikasikan
melalui bahasa hendaknya sedapat mungkin identis dengan sesuatu itu dalam kenyataannya.
Tapi di sini haruslah diakui keterbatasan dari komunikasi verbal, bahwa kata yang
diucapkan tidak mengkomunikasikan kenyataan real secara penuh dan lengkap. Satu
pengalaman yang dikomunikasikan dan yang dibagi kepada orang lain dalam bahasa selalu
lebih sempit, jika dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya dalam pengalaman
orang bersangkutan.
Bahasa yang berfungsi untuk mengkomunikasikan sesuatu tidak hanya terbatas pada
komunikasi individual. Bahasa menjadi alat komunikasi dari kelompok-kelompok sosial.
Hal ini kentara dalam kontrak-kontrak kerja, kontrak perkawinan, kontrak negara, dalam
organisasi-organisasi sosial. Bahasa yang dipakai di sana sudah merupakan hasil dari
kesepakatan bersama dalam konteks sosial tertentu. Perumusannya dan terminologi-
37
terminologi yang dipakai di sana berasal dari hasil kesepakatan itu. Begitu juga perubahan
dan penciptaan bentuk-bentuk baru komunikasi haruslah melewati proses persetujuan dan
persepakatan itu. Fungsi komunikasi bahasa ini justru mengingatkan dan menyadarkan
manusia akan kenyataan bahwa bahasa termasuk dalam satu institusi sosial yang paling
mendasar, karena di dalam realitas sosial bahasa merupakan alat primer untuk menjalin dan
membentuk hubungan sosial. Interaksi sosial hanya berarti melalui komunikasi bahasa.
Kesewenang-wenangan individual dibatasi. Malah, setiap individu sudah tercabut dari
dunia dan bahasa pribadinya dan sedari kecil sudah terikat ke dalam bahasa ibu yang sudah
tersedia baginya. Begitu juga dalam hukum kemasyarakatan dan negara, setiap individu
sudah masuk ke dalam rumusan bahasa-bahasa yang sudah baku untuk memberi tuntunan
pada manusia apabila manusia masuk ke dalam bidang tertentu, seperti bidang hukum,
bidang kedokteran dan sebagainya.
Salah satu segi lain dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi adalah satu corak
khas komunikasi yang mencerminkan status sosial dalam lembaga kemasyarakatan.
Komunikasi seorang murid dengan gurunya berbeda dengan komunikasinya dengan
rekannya. Arti dan maksud yang sama dikomunikasikan dengan bahasa yang berbeda dalam
komunikasi itu. Begitu juga seorang yang berkasta rendah akan menyapa seseorang yang
berkasta tinggi dengan bahasa yang lain dari pada bahasa yang digunakan untuk menyapa
orang berkasta sama. Meskipun demikian corak khas ini tidak dapat menghilangkan fungsi
hakiki dari bahasa sebagai alat komunikasi melalui satu bahasa yang menjadi milik
bersama.
c. Pengungkapan diri.
Bahasa berfungsi sebagai alat untuk pengungkapan diri. Melalui bahasa seorang
anak pada usia awal berusaha mengungkapkan apa yang menjadi kehendak dan
keinginannya. Ia melatih untuk mengucapkan kata sebagai ekspresi pernyataan dirinya.
Begitu pula, baik orang yang berbicara maupun orang yang memberi reaksi terhadap
sesuatu hal menyangkut dirinya, menggunakan hahasa untuk mengeskpresikan kehendak
dan pikirannya. Pengungkapan diri melalui bahasa ini sering muncul secara spontan oleh
38
karena bakat alamiah, tetapi juga sering “dipelajari” melalui latihan-latihan bicara atau
disiplin-disiplin penuntun seperti latihan berpidato, menulis dan lain-lain.
Pengungkapan diri melalui bahasa tidak hanya terbatas pada ungkapan kata-kata,
karena dimensi bahasa lebih luas dari kata-kata. Misalnya, manusia dapat mengungkapkan
rasa sakitnya dengan muka yang menggeliat sambil menjerit jerit, mengeluh dan berteriak-
teriak. Bahasa kesakitan ini ditunjuk dengan ekspresi diri yang sama, tetapi ucapan-ucapan
jeritan sering berbeda-beda seperti wau, hei, ai, sakit...dsb. Seruan-seruan ini tidak
mengandung susunan gramatis yang jelas. Meskipun susunan kata dan kalimat tidak
mengikuti pola kalimat serta tata aturan bahasa tertentu, tetapi seruan-seruan itu turut
mempertegas fungsi bahasa tubuh yang menunjuk kepada pengungkapan diri dalam situasi
kesakitan. Sering situasi kesakitan dan kesedihan dipoles dengan kata-kata dan kalimat-
kalimat yang indah dan teratur rapih, seperti nyanyian ratapan (cf. Jes. 38, 10-16), puisi
atau bahasa syair, tarian-tarian yang diiringi oleh bahasa-bahasa puitis dsb. Semuanya
memperlihatkan cara pengungkapan diri baik secara perorangan seperti penyair, pemikir,
penulis dsb. maupun secara kolektif seperti tarian-tarian adat, nyanyian-nyanyian rakyat
dsb. Dalam budaya modern yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknik, alat-alat
ungkapan lewat tarian, nyanyian, puisi, drama, pantun dsb. sudah menciut dan berkurang,
karena alat pengungkapan sekarang sudah dimonopoli oleh bahasa-bahasa ilmiah yang
berisikan hasil pengamatan objektif.
2.1.3. Bahasa sebagai alat dan pengantara.
Bahasa sebagai alat untuk menghadirkan diri menyentuh realitas manusia itu
sendiri. Bahasa merupakan bagian yang hakiki dari realitas manusia sebagai manusia yang
“berbahasa”. Apabila manusia sadar akan realitas dirinya sebagai realitas yang memiliki
bahasa, maka dia akan mengembangkan realitas dirinya ini dengan menjalankan fungsi
bahasa sebagai “pengantara atau jembatan” secara tepat dan benar. Apa yang dimaksudkan
dengan “menjalankan fungsi bahasa sebagai pengantara atau jembatan secara tepat dan
benar? Yang dimaksudkan dengan fungsi pengantara atau jembatan dari bahasa adalah
fungsi bahasa yang menjadi penghubung antara realitas diri sendiri dan realitas yang berada
39
di luar dirinya. Bahasa menjadi jembatan antara realitas diri dan realitas di luar diri. Di
sinilah letak fungsi bahasa sebagai alat pengantara.
Ada beberapa situasi yang membahayakan fungsi bahasa sebagai alat pengantara.
Dalam hal menipu. Dalam hal menipu, bahasa tidak menjadi pengantara kebenaran.
Bahasa tidak mengungkapkan kebenaran realitas diri yang mau disalurkan kepada orang
lain. Kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang digunakan di sana menyembunyikan dan
mengelabui realitas diri yang sesungguhnya. Dalam konteks ini muncul persoalan bahwa
bagaimana kita dapat yakin bahwa bahasa yang disusun secara teratur dan bagus sungguh
menghadirkan kebenaran seutuhnya.
Dalam cara bicara yang melantur-lantur. Cara bicara yang melantur-lantur adalah cara
bicara dengan menggunakan kata-kata yang tidak mengungkapkan isi dan maksud yang
jelas. Kata-kata sangat sering dibebani dengan arti-arti sampingan yang bersifat banal atau
dengan istilah-istilah asing yang mengaburkan isi pembicaraan. Dalam situasi ini, fungsi
bahasa sebagai pengantara atau jembatan menjadi kabur.
Bahasa asing. Pengalaman dengan satu pembicaraan yang diarahkan kepada saya dalam
bahasa asing dapat diciptakan dalam dua situasi yang berbeda: hal itu bergantung kepada
apakah saya mengerti bahasa asing itu secara salah atau secara tepat. Kalau saya tidak
cukup menguasai bahasa asing itu, maka arti dan maskud yang mau saya ungkapkan lewat
bahasa sebagai jembatan atau pengantara tidak ditangkap atau dimengerti secara baik. Itu
berati bahwa dalam situasi penggunaan bahasa asing ini, fungsi bahasa sebagai pengantara
terganggu. Sebaliknya bila saya mengerti sangat baik bahasa asing, maka saya perlahan-
lahan menjadi sadar bahwa isi atau sesuatu yang dibicarakan dalam bahasa asing hanya
dapat diterjemahkan secara “tidak memuaskan atau tidak mencukupi” ke dalam isi atau
sesuatu yang dibicarakan dari bahasa saya sendiri. Dalam situasi ini, fungsi bahasa sebagai
jembatan atau pengantara hanya dapat dipahami menurut pola penafsiran yang berkaitan
dengan lingkungan hidup masyarakat yang menggunakan bahasa asing itu.
Sebagai kesimpulan, karena bahasa merupakan bagian yang hakiki dari manusia,
maka dia secara hakiki pula membentuk dunia manusia, baik dunia manusia dalam
40
komunikasi dengan dirinya dan dengan sesamanya maupun dunia manusia dalam
komunikasinya dengan dunia sekitarnya.
2.2. Sosialitas.
Dimensi dasar lain dari realitas manusia adalah sosialitas. Realitas “Ada”nya
manusia termasuk realitas sosial. Filsafat berusaha untuk merefleksikan realitas sosial ini.
Di sini tidaklah dimaksudkan untuk merefleksikan struktur kehidupan bersama dalam
masyarakat, tetapi arti dari realitas “Ada” sebagai satu kebersamaan antar individu dan
sebagai pusat pertemuan antar individu. Karena cara hidup bersama dalam satu kehidupan
bermasyarakat berbeda dari satu budaya ke budaya lain dan juga berbeda dari satu masa ke
masa yang lain, maka dalam refleksi filosofis ini coba dicapai satu rumusan abstrak dari
umum tentang bentuk-bentuk lahiriah dari realitas sosial ini. Di dalam refleksi ini kita
menyebut ungkapan “sosialitas”; hal ini tidak lain dari pada hidup dan berada dalam satu
kebersamaan, dalam satu masyarakat, dalam satu kelompok, dalam satu kontak satu sarna
lain, pendeknya cara-cara berada yang menunjukkan kehidupan bersama dalam satu
masyarakat, dalam satu kelompok atau dalam satu kontak satu dengan yang lain.
2.2.1. Fenomen sosial.
Adalah satu fakta universal bahwa setiap orang hidup dalam satu relasi dengan
manusia yang lain. Sebelum kita mempertanyakan arti dan makna dari relasi sosial ini,
baiklah kita menyadari bahwa relasi sosial itu beraneka ragam benhiknya dan tak terhitung
jumlahnya. Dari kesadaran akan fakta ini terbuktilah bahwa relasi sosial yang beraneka
ragam bentuk ini bukanlah satu hal tambahan yang muncul kemudian. Bukan demikian.
Hampir semua relasi sosial itu ternyata berkembang dengan sendirinya dari satu tata tertib
sosial tertentu yang sudah ada. Tata tertib sosial yang sudah ada itulah yang disebut sistem
sosial. Di dalam sistem sosial itu sudah terdapat satu struktur stabil yang di dalamnya relasi
dan interaksi sosial terjalin. Struktur sosial yang stabil ini menjadi tempat terciptanya relasi
dan interaksi sosial dari setiap individu.
Sistem-sistem sosial yang meliputi berbagai macam relasi dan interaksi sosial
dapatlah kita sebutkan seperti keluarga, kekerabatan, persahabatan, desa, kelompok kerja,
41
perusahan, tetangga, paroki, kecamatan, negara dsb. Setiap orang terlibat dalam berbagai
macam relasi sosial dalam sistem-sistem sosial yang disebutkan ini. Ia adalah anggota satu
keluarga, dan pada waktu yang sama ia merupakan anggota dari salah satu masyarakat desa;
ia juga adalah anggota persekutuan gereja. Bila ia seorang pegawai negri, ia pada waktu
yang sama menjadi anggota satu perkumpulan pegawai pemerintah, dan rupa-rupa
organisasi lainnya. Untuk memahami perbedaan bentuk relasi seseorang dengan
perkumpulan sosial yang ia miliki pada waktu yang sama ini, perlulah kita mengamati cara
khas macam apa yang ia kembangkan dalam membentuk jalinan sosial di dalam organisasi
itu. Cara khas itu tampil biasanya dalam dua tipe ideal yang terbentuk dari dua kutub yang
saling berlawanan, yaitu relasi sosial yang tumbuh secara kodrati seperti keluarga dan relasi
sosial yang dibangun secara sengaja seperti persekutuan buruh, relasi sosial dalam satu
sistem yang stabil seperti anggota sebuah desa dan yang tidak stabil, relasi sosial yang
mempunyai tujuan dari dirinya sendiri dan yang bertujuan rasional, relasi sosial yang
dibangun berdasarkan persahabatan dan yang berdasarkan struktur hirarkis. Cara khas
dalam mengembangkan jalinan sosial ini dapat saja memperlihatkan perbedaan apakah
jalinan sosial yang satu ini bersifat kodrati atau buatan, bersifat stabil atau tidak stabil dan
sebagainya.
Relasi sosial tidak terjadi di dalam satu ruang tanpa udara, dalam arti bahwa relasi
sosial itu bagaimanapun juga selalu memuat harapan-harapan dan memperlihatkan peranan-
peranan yang dimainkan seseorang dalam kehidupan bersama. Dan harapan dan peranan itu
bisa terbaca pada bagaimana caranya seseorang membentuk jalinan sosial itu, entah dalam
cara yang relatif berlangsung lama seperti seorang bapa, seorang guru, seorang pedagang
dsb, entah dalam satu cara yang sementara seperti wasit, kepala desa, gubernur, camat,
presiden. Pendeknya, relasi sosial yang memuat harapan dan yang memperlihatkan
peranan-peranan bukanlah tanpa bentuk. Relasi itu selalu mengambil bentuk-bentuk
tertentu yang merujuk kepada pertanyaan pokok ini: dengan siapa, kapan, atas cara apa,
kemampuan dan keinginan macam apa relasi sosial seseorang dibentuk? Bentuk-bentuk
hubungan sosial yang merujuk kepada pertanyaan ini ditempa oleh dua aspek mendasar dari
relasi sosial, yaitu secara objektif sudah ada “pola” tingkah laku sosial yang diikuti oleh
42
setiap individu dan secara subjektif struktur tingkah laku individu sendiri yang turut
memberi warna terhadap relasi sosialnya. Bentuk-bentuk relasi sosial itu mengandaikan
bagaimana si individu berhubungan dengan manusia lain dan serempak pula bagaimana
yang lain berhubungan dengan dirinya. Di dalam bentuk hubungan sosial ini pulalah
kualitas hubungan sosial itu bisa diukur: apakah diskriminatif, setara, benci, acuh tak acuh,
cinta, enggan, malu dsb. Dengan demikian segala sesuatu yang berhubungan dengan fakta
sosial seperti yang dilukiskan dalam pokok ini merupakan fenomen sosial yang menuntun
kita untuk mengerti realitas sosial.
2.2.2. Sosiobiologi, Sosiologi dan Filsafat Sosial.
Baik Sosiobiologi, maupun Sosiologi dan Filsafat Sosial menggeluti manusia
sebagai satu realitas sosial. Sosiobiologi dan Sosiologi sebagai ilmu empiris memusatkan
perhatian pada penelitian terhadap gejala-gejala faktis yang tampak pada realitas sosial
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan Filsafat Sosial menggeluti secara
kritis-filosofis hakikat, makna, teori pengetahuan sosial, struktur-dalam dari realitas sosial
itu. Kesulitannya ialah bahwa tidak ada batas yang tajam antara ketiga sistem pengetahuan
itu. Filsafat sosial yang merefleksikan realitas sosial tidak mungkin tidak mempunyai
hubungan dengan Sosiobiologi dan Sosiologi, begitu juga Sosiologi yang berbicara juga
tentang tingkah laku manusia umpamanya tidak mungkin tidak menyentuh kenyataan faktis
tingkah laku lahiriah manusia dalam relasi sosial itu, begitu juga sebaliknya. Karena itu,
pentinglah di sini untuk membuat pembatasan yang jelas antara ketiga sistem pengetahuan
itu yang sama-sama membicarakan tema yang sama, yaitu tema tentang fenomen sosial.
Sosiobiologi adalah satu teori pengetahuan tentang fenomen sosial dengan bertolak
dari Biologi. Dengan kata lain, Sosiobiologi merupakan satu interpretasi ilmiah tentang
populasi dan asal usul tingkah laku biologis baik yang terdapat pada hewan maupun yang
terdapat pada manusia. Populasi di sini tidak lain dari pada kumpulan individu-individu
yang tercipta dalam satu ruang lingkup geografis tertentu oleh karena perkawinan dan
perkembangbiakan. Dalam penelitian sosiobiologis binatang-binatang yang berasal dari
43
induk yang sama memiliki separuh dari gen-gennya yang sama (Chromosom). Bukan hanya
binatang yang berasal dari induk yang sama, juga turunan dari binatang-binatang yang
bersangkutan. Turunannya yang dalam kategori kekerabatan manusia seperti keponakan,
kemanakan, juga mewarisi seperempat gen-gen dari gen induk yang sama, sedangkan
turunan tingat ke dua dalam kekerabatan manusia seperti cucu masih mewarisi
seperdelapan gen-gen yang sama dengan induk sebelumnya. Penelitian sosiobiologis ini
menunjukkan juga bahwa tingkah laku binatang dalam konteks kehidupan kelompok secara
genetis sudah terprogram sedemikian rupa sehingga arah tingkah laku mereka bisa menuju
ke dalam diri (egosentris) dan bisa juga kepada yang lain. Peneliti tingkah laku singa
berkesimpulan bahwa seekor singa jantan pada umumnya membunuh anak singa yang tidak
berasal dari darahnya sendiri (egosentris) dan melindungi anak singa yang berasal dari
darahnya (altruistis), meskipun anak-anak singa itu berasal dari induk yang sama. Penelitian
sosiobiologis ini diterapkan juga dalam penelitian terhadap gen-gen dan tingkah laku
biologis pada manusia. Dapatlah dipastikan bahwa saudara-saudari kandung memiliki di
dalam dirinya separuh gen-gen yang dimiliki orang tuanya, dan kemanakan dan keponakan
memiliki seperempat dari gen-gen orang tua, sedangkan di dalam diri cucu masih tertinggal
seperdelapan gen-gen yang becasal dari nenek dan kakeknya. Juga dalam tingkah laku
biologis sudah terdapat reaksi genetis yang bersifat egosentris dan altruistis seperti yang
diamati dalam tingkah laku seorang ibu terhadap anak kandungnya dan terhadap anak
tirinya atau juga sebaliknya. Penelitian sosiobiologis memusatkan perhatian pada penelitian
gen-gen dan tingkah laku yang merupakan warisan kodrati, dan pengembangan lebih lanjut
dari ilmu ini bisa ditemui dalam Biochemi, Genetik dan Fisika.
Kelemahan dari penellitian sosiobiologis ini ialah bahwa titik tolak penelitiannya
berasal dari premisa filosofis yang memandang asal-usul dan tingkah laku sosial manusia
sebagai yang diwariskan secara biologis semata-mata dari nenek moyangnya. Kodrat sosial
manusia tidak lain dari pada kodrat biologisnya. Karena itu, asal usul dan tingkah laku
sosial manusia sudah terprogram secara genetis tanpa muatan rohaniah-kultural yang turut
membentuknya. Kelemahan ini diisi oleh satu disiplin ilmu lain yang melihat bahwa realitas
44
sosial yang tercermin dalam tingkah laku sosial tidak semata-mata diwariskan, tetapi
dibentuk secara “kultural” melalui kemampuan “belajar” manusia. Disiplin ilmu ini adalah
Sosiologi. Sosiologi meneliti, fakta-fakta sosial yang terlihat dalam hubungan sosial,
tingkah laku sosial, struktur sosial, bentuk-bentuk tingkah laku sosial, pendeknya realitas
sosial yang dijiwai oleh semangat dan roh yang tidak bersifat material. Dengan demikian,
premisa filosofis yang mendasari penelitian sosiologis bukanlah satu filsafat materialisme,
melainkan satu filsafat sosial yang terbuka terhadap berbagai macam pendekatan dan
berbagai macam tematisasi filsafiah terhadap realitas sosial. Beberapa aliran Sosiologi
justru merupakan contoh keanekaragaman pendekatan dan tematisasi terhadap fakta sosial
itu seperti teori konflik Karl Marx dan pengikut-pengikutnya, teori positivisme Augus
Comte, teori pemberian arti terhadap struktur masyarakat yang ideal (Popper dan H.Albert)
analisa terhadap tingkah laku sosial yang berkuasa dalam kaitannya dengan satu masyarakat
yang baik (Adorno, Habermas) dsb.
Penelitian biologis ini dapat menghantar kita kepada pemahaman terhadap Filsafat
Sosial. Dengan adanya penelitian sosiologis, kita dapat memperoleh kesimpulan-
kesimpulan teoretis yang menyumbangkan lahirnya beberapa teori ilmu pengetahuan sosial.
Teori-teori ini menyentuh apa yang dapat menjadi sasaran pergelutan Filsafat Sosial seperti
yang sudah kita sebut sebelumnya. Sasaran pergelutan Filsafat Sosial tersebut berhubungan
dengan kompleksitasnya masalah yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan
berikut. Sejauh mana aku termasuk dalam dunia orang lain atau sejauh mana dunia orang
lain termasuk dalam aku? Sejauh mana masyarakat membentuk satu unsur konstitutif untuk
setiap individuum atau sebaliknya? Apa yang menjadi persyaratan untuk terciptanya satu
tingkah laku sosial secara berhasil? Pertanyaan-pertanyaan ini membantu untuk memberi
arah terhadap penelitian-penelitian empiris dari disiplin Sosiologi sendiri.
2.2.3. Kritik terhadap posisi-posisi ekstrem.
Satu persoalan Filsafat Sosial yang mau dipecahkan ialah persoalan tentang “aku,
engkau dan kita”. Sejauh mana “engkau dan kita” sama-sama termasuk dalam “aku”?
45
Untuk menjelaskan hal ini terdapat dua model yang memperlihatkan dua posisi utama. Dua
posisi utama ini merujuk kepada pemikiran J.J. Rousseau tentang pengertian Individualisme
dan Kolektivisme.
a. Individualisme dan kritik terhadap Individualisme.
Individualisme merupakan satu bentuk kehidupan bersama yang dibangun
berdasarkan atas persetujuan dari individu-individu yang bergabung di dalamnya dengan
tujuan tertentu yang mau dicapai secara bersama-sama dari para anggotanya. Dia bukan
satu bentuk kehidupan bersama yang bersifat kodrati seperti keluarga. Kalau pun tidak ada
persetujuan yang dirumuskan, bentuk kehidupan bersama ini tetap ditafsir sebagai satu
kumpulan individu-indvidu yang tercipta seakan-akan ada kesepakatan antara mereka untuk
ada bersama-sama di satu tempat. Realitas “Ada” sebagai satu realitas sosial dan nilai dari
kebersamaan model ini bersifat sekunder, sebab nilai utamanya adalah individuum.
Argumentasi ontologis dan ethis dapat mendukung konsep Individualisme itu. Argumentasi
ontologis dari konsep Individualisme ini adalah bahwa realitas yang sesungguhnya adalah
individu. Individu-individu merupakan realitas “Ada” yang bersifat awali dan hakiki,
sedangkan kehidupan bersama dan masyarakat hanya dibangun di atas hubungan antara
individu yang satu dan individu yang lain, dan bentuk hubungan itu bersifat sekunder dan
aksidental. Argumentasi ethis yang mendasari konsep Individualisme ini ialah bahwa
individu sebagai pribadi merupakan nilai tertinggi. Setiap orang mempunyai hak untuk
menentukan dirinya dan berkuasa atas dirinya. Hak pribadi diutamakan di atas hak-hak
yang lain.
Kritik terhadap konsep Individualisme seperti yang disebut di atas ialah bahwa
penafsiran individualistis itu telah mengabaikan struktur-dalam dari setiap bentuk
kehidupan bersama, struktur-dalam yang tidak boleh direduksi atau diperkecil nilainya. Di
dalam bentuk kehidupan bersama itu tidak hanya terdapat individu-individu, tetapi
persetujuan dan kesepakatan yang sudah mengikat indvidu-individu untuk berada bersama
dalam satu cara hidup bersama. Hubungan antara individu yang satu dengan individu yang
lain dalam bentuk kehidupan ini bersifat “hakiki”; dengan kata lain, hubungan “aku”
46
sebagai satu individu dengan “engkau” telah terikat secara hakiki menjadi “kita” oleh
karena persetujuan dan kesepakatan. Karena itu, kebersamaan di sana bukanlah terdiri dari
individu-individu yang bebas mutlak, tapi yang terikat satu sama lain melalui hak dan
kewajiban sebagai konsekuensi dari persetujuan dan kesepakatan mereka. Di dalam konteks
ini bagaimana pun juga terdapat fenomen otoritas yang berfungsi untuk mengatur hak dan
kewajiban para anggota yang terlibat dalam persekutuan bersama. Hak dan kewajiban yang
sudah diatur itu menunjukkan satu bentuk kehidupan sosial yang hanya bertumbuh dalam
kebersamaan dan bukannya bertumbuh oleh karena jasa setiap individu. Otoritas sosial
yang mempunyai fungsi itu bukanlah satu yang muncul kemudian, tetapi sudah ada secara
hakiki, ketika tercipta bentuk kehidupan bersama ini.
b. Kolektivisme dan kritik terhadap kolektivisme.
Kolektivisme bertolak dari pemahaman bahwa keselunrhan tidak dimengerti sebagai
yang terdiri dari bagian-bagian. Keseluruhan itu merupakan satu yang absolut dan tidak
terbagi dalam bagian-bagian; keseluruhan ada lebih dahulu dari bagian-bagian. Model dasar
dari paham ini adalah organisme yang dilihat sebagai satu tubuh yang memiliki anggota-
anggotanya. Masyarakat dalam arti ini menjadi satu “korpus sosial atau satu organ sosial”.
Argumentasi ontologis dan ethis dapat mendasari pemahaman Kolektivisme ini.
Argumentasi ontologisnya ialah bahwa realitas sosial sebagai realitas “Ada” tidak dapat
diasalkan dari kumpulan individu-individu yang berdiri terisolir satu dengan yang lain.
Realitas sosial ini memiliki hukumnya sendiri. Dia memiliki adanya sendiri dan tidak
berasal dari realitas “Ada” setiap individu. Memang bisa dimengerti bahwa individu-
individu itu merupakan unsur-unsur penting dari satu masyarakat, tetapi kedudukan dan
keberadaan masyarakat lebih diutamakan dari pada individu. Dengan demikian,
argumentasi etisnya mendukung pemahaman ontologis itu, yaitu bahwa kesejahteraan
bersama mendahului kepentingan diri. Bila kesejahteraan bersama tercapai, maka
kesejahteraan dan pemenuhan diri juga terjamin.
Kritik terhadap kolektivisme terletak dalam kritik melawan interpretasi
Kolektivisme yang menempatkan hakikat kebersamaan lebih tinggi dan lebih bernilai dari
47
pada individu-individu yang tergabung di dalamnya. Pandangan Kolektivisme justru tidak
memberi ruang kebebasan untuk setiap individu. Akibatnya ialah bahwa individu yang
bergabung di dalamnya tidak memiliki keputusan penuh untuk menentukan diri. Hak-hak
individu diatur sejalan dengan tuntutan kehidupan bersama. Konsensus bebas tidak terjamin
baik, karena peraturan kehidupan bersama sudah tercipta lebih dahulu. Dalam paham
Kolektivisme ini para pemegang kuasa atau autoritas harus berusaha memenangkan setiap
individu yang bergabung di dalamnya untuk mengidentifisir diri mereka dengan bentuk
hidup bersama yang diterimanya. Hal ini tentu bukanlah satu hal yang mudah, karena setiap
individu memiliki kemauan dan kehendak bebas untuk menerima atau menolak tuntutan
hidup bersama itu. Tuntutan setiap individu untuk memiliki kebutuhan dasar dan hak dasar
di dalam bentuk kehidupan bersama bukanlah satu hal yang tidak hakiki. Tetapi paham
Kolektivisme kurang memungkinkan pemenuhan tuntutan individu itu, karena tuntutan
masyarakat yang terwujud dalam hukum dan peraturan masyarakat lebih tinggi dari pada
tuntutan individu. Paham Kolektivisme ini mempunyai dampak negatif juga terhadap dunia
pendidikan. Pendidikan anak dalam konteksnya, lalu menjadi satu pendidikan yang
membatasi kebebasan dan ekspresi anak dengan berbagai macam peraturan dan hukum
yang dianuti masyarakat. Anak dipaksa untuk taat dan tunduk buta tanpa punya kuasa untuk
melawan apa yang diajarkan guru. Anak dilihat sebagai objek pendidikan, dan bukannya
subjek yang dicintai dalam proses pendidikan itu.
Kedua model yang disebut itu hanya menyadarkan manusia akan hakikat sosial dari
manusia sendiri. Sedari mula manusia sudah menyandang realitas sosial ini sebagai satu
yang hakiki dalam hidupnya. Realitas ini hendaknya diwujudkan sedemikian sehingga
setiap individu dalam penghayatan akan realitas sosialnya senantiasa bertumbuh mandiri
menuju pencapaian jati diri yang utuh bersama dengan yang lain.
2.2.4. Aku dan Yang Lain.
Secara objektif ungkapan “Aku dan Yang Lain” menunjukkan adanya satu
hubungan antara “aku” sebagai satu realitas dengan yang lain sebagai satu realitas yang
lain. Entah hubungan ini bersifat berat sebelah, entah hubungan ini bersifat seimbang, entah
48
hubungan ini bersifat timbal balik, tapi hubungan semacam ini tetap berakar dalam
hubungan antara realitas yang berbeda. Hubungan ini mempunyai makna yang berbeda
dengan hubungan yang dibentuk berdasarkan fungsi dan posisi subjek yang mewakili Kata
Ganti Diri, sebab ketika “aku” bercakap-cakap dan berbicara dengan “engkau”, aku dan
engkau merupakan satu Kata Ganti Diri yang menduduki posisi dan memainkan fungsi
tertentu; keduanya membentuk satu hubungan tertentu dalam konteks realitas mereka yang
berbeda. Bentuk hubungan seperti ini belum mencerminkan hubungan yang sesungguhnya
antara “Aku dan Yang Lain”. Hubungan yang sesungguhnya antara “Aku dan Yang Lain”
adalah hubungan yang mengatasi hubungan subjek-objek, dalam arti bahwa Yang Lain
menjadi sasaran dan objek yang berhadapan dengan aku atau aku sebagai objek yang
berhadapan dengan yang lain. Hubungan yang sesungguhnya itu adalah hubungan yang
bersifat antar-subjek dan antar-personal. Karena itu, di bawah ini perlu dibicarakan tentang
pemahaman akan arti “Intersubjektivitas, interpersonalitas dan Yang Lain.”
a. Intersubjektivitas dan interpersonalitas.
Berbicara tentang intersubjektivitas berarti berbicara tentang kebenaran dan tentang
objektivitas. Kebenaran tidak terlepas dari pengenalan subjek akan kebenaran. Tetapi
karena pengenalan akan kebenaran dapat saja berbeda dari subjek yang satu dengan subjek
yang lain, maka setiap pengenalan harus diuji apakah pengenalan itu sesuai dengan
kebenaran objektif atau tidak. Kebenaran objektif adalah kebenaran yang ada dalam dirinya
sendiri dan menjadi sasaran rujukan pernyataan yang benar. Kebenaran yang objektif
menjadi prinsip dan tuntutan yang berlaku untuk semua subjek agar dalam setiap
pernyataan subjek kebenaran itu sendiri menjadi tolok ukur untuk semua tanggapan dan
pikiran subjektif. Intersubjektivitas terwujud dalam pengenalan dan pengakuan semua
subjek akan kebenaran objektif itu.
Intersubjektivitas tidak berarti soal hubungan antara subjek yang satu dengan
subjek yang lain. Intersubjektivitas adalah keterkaitan atau jalinan antara subjek yang satu
dengan subjek yang lain di atas dasar satu subjek transendental, yaitu satu subjek ideal
yang berdiri melampaui pengenalan, pengalaman dan kepentingan subjek-subjek konkret.
49
Semua subjek yang mempunyai kemampuan “mengenal” mengambil bagian dalam subjek
ideal ini. Dengan demikian, ketika subjek menjalankan kegiatan untuk mengenal
kebenaran, pengenalannya dengan sendirinya memuat ide tentang subjek ideal ini yang
mengenal kebenaran objektif. Dari subjek ideal ini bergantunglah subjek-subjek konkret,
karena subjek ideal itu merupakan kesatuan batiniah untuk semua subjek konkret.
Kalau demikian, bagaimana hubungan antara intersubjektivitas dan interpersonalitas
dapat dijelaskan? Interpersonalitas hanya menjadi mungkin, apabila intersubjektivitas
terwujud. Intersubjektivitas dalam arti di atas tidak lain dari pada interpersonalitas.
Maksudnya, hubungan antar subjek tidak sekedar hubungan antar subjek-subjek konkret,
tetapi hubungan antar pribadi yang tersirat dalam setiap subjek. Subjek sendiri mewakili
pribadi. Dengan demikian, interpersonalitas mengandaikan intersubjektivitas. Ideal dari
hubungan antar subjek dalam kehidupan bersama adalah hubungan antar pribadi (persona)
atau interpersonalitas. Subjek-subjek yang terlibat dalam percakapan, dalam pertemuan,
dalam diskusi, dalam kesempatan-kesempatan khusus dan sebagainya sedapat mungkin
mencerminkan hubungan antar pribadi atau interpersonalitas itu.
b. Yang Lain.
Kita bertolak dari pengalaman konkret. Dalam kehidupan bersama, kenyataannya
ialah bahwa diri saya berhubungan dengan orang pertama, orang kedua, orang ketiga,
pendeknya diri saya menjalin kontak dengan begitu banyak orang. Yang lain di sini
mewakili orang pertama, orang kedua, orang ketiga. Tetapi Yang Lain adalah diri saya
sendiri, ketika orang lain berhadapan dengan saya. Aku menyebut mereka sebagai “Yang
Lain”, dan sebaliknya mereka menyebut “Aku” sebagai “Yang Lain” pula.
Apa yang menjadi milik dari “Yang Lain”? Ciri khas macam mana yang dimiliki
oleh, “Yang Lain”. Untuk menunjukkan kekhasan dari “Yang Lain”, kita beranjak dari
pengalaman diri kita sendiri. Kita mengalami diri ketika kita menyatakan “aku” dalam
relasi kita dengan diri kita sendiri dan dalam relasi kita dengan yang lain. Dengan menyebut
“aku”, kita memperlihatkan dunia “aku” dan mengalaminya “dari dalam”. Pengalaman
50
diriku bukanlah satu pengalaman yang lengkap, karena, semakin kita mengalami diri,
semakin kita tahu sedikit sekali tentang diri kita. Kita tidak mengenal siapa kita, siapa
“aku” sesungguhnya. Usaha untuk mengenal diri hanya mungkin apabila kita berjumpa
dengan “Yang Lain”. Dengan kata lain, aku hanya dapat mengenal diriku, ketika aku yang
tahu sedikit sekali tentang diriku berhadapan dengan “Yang Lain” yang menjelma dalam
tubuhnya, dalam perkataannya dan dalam tingkah lakunya. Dengan demikian terjalin
hubungan “Aku dan Yang Lain”. Tetapi hubungan ini adalah satu hubungan yang sama
sekali tidak lengkap, karena “Yang Lain” juga tidak tampil seluruhnya; ia hanya menjelma
sedikit dalam penampilan-penampilan lahiriah yang disebutkan itu. “Yang Lain” dalam
pengalamanku akhirnya menjadi “Yang Lain” sama sekali, begitu juga “Yang Lain” ketika
berhadapan denganku menyebut “Aku” sebagai “Yang Lain” sama sekali juga.
Hubunganku dengan diriku sendiri dan dengan “Yang Lain” memperlihatkan ciri
khas tertentu. Hal itu bergantung kepada cara kita menilai. Satu fakta yang tak dapat
disangkal ialah bahwa setiap orang mencintai dirinya. Aku mencintai diriku. Sesuatu yang
paling dekat dengan diriku adalah diriku sendiri, hidupku, cintaku, kegemaranku, pikiran
dan perasaanku, pendeknya “duniaku”. Pengalaman awalku terhadap “Yang Lain”
mencerminkan penilaianku terhadap “Yang Lain”. Yang Lain ternyata tidak tampil ramah
terhadapku. Dalam lubuk hati terdalamku, aku melihat “Yang Lain” atau sebagai ancaman
terhadap duniaku atau sebagai pemenuhan duniaku. Karena itu, aku sedapat mungkin
menaklukkan “Yang Lain” agar Yang Lain bertindak baik terhadapku dan tidak menipuku.
Aku menghendaki agar Yang Lain menghargai dan menerimaku. Begitu juga, perspektif
seperti ini menjadi perspektif “Yang Lain” juga, ketika Yang Lain itu berhadapan
denganku. Yang Lain dapat saja melihatku sebagai ancaman atau sebagai pemenuhan
dirinya. Yang Lain ingin menaklukkanku agar aku bertindak baik terhadap Yang Lain dan
tidak menipunya. Dalam usaha untuk membangun satu relasi yang saling menghargai dan
menerima ini perlu ada ruang “kepercayaan” yang harus ditempa, agar Yang Lain dapat
masuk dengan leluasa ke dalam duniaku dan begitu juga “aku” dapat masuk ke dalam
51
dunia Yang Lain dengan leluasa pula. Kepercayaan mengandaikan keberanian, ketrampilan
dan risiko.
Aku dan Yang Lain sebetulnya berdiri di atas basis yang sama yaitu Selbst atau
Diri. Aku adalah Diriku sendiri dan Yang Lain adalah Dirinya sendiri. Hubungan “Aku dan
Yang Lain” hanya memperkokoh jati diri masing-masing, yaitu bahwa Yang Lain tetap
menjadi Yang Lain sama sekali, ketika dia berhadapan denganku (Diriku menjadi Yang
Lain sama sekali untuk dia) atau ketika aku berhadapan dengan Yang Lain (Dirinya
menjadi Yang Lain sama sekali untuk aku).
1.2.3. Kesejarahan atau Historisitas
Bila kita berbicara tentang kesejarahan atau historisitas sebagai salah satu dimensi
dasar dari realitas manusia, maka refleksi kita terarah kepada dua hal ini. Di satu pihak
kesejarahan atau historisitas dipandang sebagai faktor penghalang setiap usaha manusia
untuk menetapkan satu pengertian tentang realitas manusia yang tidak terikat pada waktu.
Pikiran dan pemikiran manusia senantiasa terikat erat dengan situasi historis. Manifestasi
pikiran dan pemikiran manusia juga tampil sangat berbeda dalam perjalanan sejarah.
Adalah satu hal yang sangat sulit untuk menemukan satu pemikiran tentang manusia
terlepas dari konteks historisnya. Di pihak lain, historisitas atau kesejarahan ini dilihat
sebagai satu faktor pendukung, karena di dalam historisitas terlaksana realisasi diri manusia
yang khas untuk menempatkan diri manusia ke dalam masa sekarang ini melalui hubungan
antara masa sekarang dengan masa depan dan masa lampau. Manusia adalah satu hakikat
yang hidup dalam sejarah atau satu hakikat yang menyejarah. Dengan kenyataan ini, kita
ingin mendekati beberapa tema yang menyangkut historisitas seperti kesejarahan dari
penulisan sejarah, ide tentang waktu objektif dan waktu subjektif dan kesejarahan atau
historisitas itu sendiri.
2.3.1. Kesejarahan dari penulisan sejarah.
Ilmu Sejarah sebagai satu ilmu yang meneliti, menulis dan melukiskan sejarah
adalah sama seperti ilmu pengetahuan empiris yang lain. Dia harus tunduk pada hukum
52
objektivitas. Karena itu ideal dari penulisan sejarahnya adalah bahwa pemberitaan tentang
sesuatu yang sudah terjadi di masa lampau harus sesuai dengan apa yang sudah terjadi
sebagaimana adanya. Penulisan sejarah bukanlah satu penulisan ceritera dongeng atau
legenda. Tetapi masalahnya ialah bahwa apa yang diteliti dan ditulis tidak menghadirkan
objektivitas seluruhnya dari apa yang sudah terjadi sebagaimana adanya. Penulis sejarah
bagaimanapun juga tidak mengenal seluruhnya apa yang sudah terjadi. Dengan demikian
penulisan sejarah bukanlah satu pekerjaan yang sekali dibuat. Sejarah tentang apa yang
sudah terjadi di masa lampau selalu perlu dikonstniksi lagi dan ditulis ulang.
Ada dua alasan mengapa sejarah harus selalu ditulis ulang dan metode
pendekatannya harus senantiasa diperbaharui. Alasan pertama ialah bahwa dengan
penemuan sumber-sumber baru seperti penemuan arsip-arsip atau penyingkapan arti dari
banyak teka-teki yang menyangkut huruf dan bahasa serta penemuan alat-alat baru dalam
menulis sejarah, diperkayalah pengetahuan sejarah. Pengetahuan tentang sesuatu hal atau
peristiwa di masa lampau dengannya diperluas dan membutuhkan pengkajian ulang.
Dengan penemuan-penemuan seperti itu ternyata bahwa ada beberapa periode atau
penggalan sejarah tertentu dilupakan, dikesampingkan atau tidak mendapat perhatian
seperlunya. Penulisan dan pengkajian ulang peristiwa sejarah itu menghindari kesimpulan-
kesimpulan yang ditarik secara gegabah atau secara tergesa-tegesa karena sumber-sumber
tentang itu kurang sekali atau sempit. Alasan yang kedua adalah bahwa setiap sumber
tertulis yang berisikan tentang peristiwa masa lampau tidak pernah selesai menyampaikan
sesuatu. Sumber itu memuat semacam satu objektivitas yang tidak terkait pada waktu.
Karena sumber-sumber itu memuat kenyataan dan tidak pernah selesai disingkapkan, maka
kegiatan penafsiran terhadapnya menjadi penting dan harus dijalankan secara terus
menerus. Kenyataannya ialah bahwa sumber-sumber tertulis itu juga merupakan hasil dari
satu penafsiran terhadap kenyataan masa lampau, lalu sumber ini juga kemudian perlu
ditafsir lagi sesuai dengan problem-problem baru yang aktual. Karena itu sering kita
menemukan bahwa penafsiran terhadap sumber-sumber tertulis itu dapat menggeserkan
tekanan tertentu sesuai dengan problem-problem baru. Hal itu bergantung kepada si penulis
,
53
sejarah yang hidup dalam epoche tertentu dengan persoalan tertentu. Tentang satu tema
yang sama, seorang penulis sejarah di masa lampau melihat dan menafsirnya secara lain
dari pada penulis sejarah yang melihat hal itu menurut problem aktual sekarang.
Cara perlukisan sejarah senantiasa berubah. Perubahan perlukisan sejarah ini
mencerminkan adanya perubahan dalam cara-cara untuk mengerti masa sekarang secara
lebih tepat. Apakah orang menemukan masa sekarang yang penuh dengan problem-
problem? Apakah orang mengalami masa sekarang secara tidak menyenangkan? Apakah
orang terpaksa harus menerima situasi sekarang yang tidak bisa dielakkannya? Bila
perubahan dalam cara-cara perlukisan sejarah terjadi, maka kita dapat berbicara tentang
kemajuan dalam pengetahuan historis. Kemajuan ini dalam kaca mata sejarawan bukanlah
menunjuk kepada dunia fisika yang memiliki struktur peraturannya, tetapi menunjuk
kepada jaringan yang beranekaragam dari semua peristiwa konkret. Peristiwa-peristiwa
konkret ini bisah dilihat dari berbagaimacam pendekatan ilmiah (psikologis, sosiologis,
ekonomis, politis dsb.). Tetapi untuk seorang sejarawan, jaringan yang beranekaragam dari
peristiwa-peristiwa konkret ini coba ditempatkan ke dalam satu situasi historis masa lampau
yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa-peristiwa konkret ini. Usaha untuk
menempatkan jaringan peristiwa-peristiwa konkret ini dijalankan melalui tematisasi bagian-
bagian tertentu dari peristiwa-peristiwa itu dalam situasi historis tertentu atau juga
tematisasi titik tolak pendekatan tertentu dalam konteks historis tertentu. Justru usaha inilah
yang menempatkan setiap penulisan sejarah dan penulis sendiri ke dalam satu latar
belakang sejarah dan ideologi sejarah tertentu yang mewarnai penulisannya. Dengan itu kita
berkesimpulan bahwa penulisan sejarah tentang satu hal berbeda dari penulis yang satu
dengan penulis yang lain, dan kenyataan ini merangsang setiap sejarawan untuk senantiasa
bersikap kritis terhadap penulisan sejarah yang dibuat oleh orang lain atau juga
menjalankan kritik-diri terhadap penulisan sejarah yang dibuat sendiri.
Kesejarahan menjadi sasaran penulisan sejarah. Kesejarahan sendiri tentu berbeda
dengan sejarah. Kesejarahan tidak lain dari pada segala sesuatu yang terjadi di masa lampau
sebagaimana adanya; segala sesuatu itu menyangkut satu bangsa, agama, situasi sosial,
54
kebudayaan, singkatnya keseluruhan kemanusiaan dengan segala macam aspeknya. Sejarah
adalah di satu pihak usaha untuk menghadirkan kembali realitas di masa lampau secara
objektif mungkin dan di pihak lain satu bentuk hidup yang menjadi tanggung jawab budaya
sendiri. Kesejarahan merupakan keseluruhan realitas masa lampau yang terkristalisir dalam
sejarah. Manusia menulis sejarah dan bukan menulis kesejarahan. Motif dasar penulisan
sejarah ini adalah minat dasar terhadap segala sesuatu yang sudah terjadi untuk
menghadirkannya kembali ke dalam masa sekarang dengan tujuan untuk mengatasi
persoalan-persoalan tertentu masa sekarang atau untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang
tidak dimiliki pada masa sekarang. Tanpa minat dasar itu tidak ada usaha untuk menulis
sejarah.
2.3.2. Ide tentang waktu objektif dan waktu subjektif.
Penelitian ilmiah tentang peristiwa masa lampau merupakan satu cara untuk
menyoroti masa sekarang yang terbuka terhadap masa depan dan masa sekarang yang sudah
terbentuk oleh masa lampau. Sejarah sendiri dimungkinkan oleh kesejarahan atau
historisitas dari penghayatan realitas manusia sebagai satu realitas “Ada” dan dalam ukuran
historis tertentu sejarah itu diperlukan oleh historisitas penghayatan manusia ini.
Bila peristiwa masa lampau diamati dan diteliti, maka itu berarti bahwa kita
menempatkan peristiwa masa lampau ke dalam kesadaran kita. Peristiwa masa lampau yang
dihadirkan kembali pada masa sekarang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh satu ide
tentang waktu objektif, yaitu satu perjalanan waktu yang mengikuti garis-garis yang diberi
ciri khas sebagai yang terjadi lebih awal, lebih kemudian, kemudian sekali atau yang paling
akhir, pendeknya satu struktur dasar waktu yang di dalamnya peristiwa-peristiwa “terjadi
satu sesudah yang lain”. Struktur dasar dari waktu objektif ini dapat ditentukan secara
pasti menurut hukum fisika, khususnya Astronomi, dan waktu seperti ini adalah waktu
kodrati karena perjalanan waktu didasarkan pada peredaran dan ritme alam seperti siang,
malam, hari, minggu, bulan, tahun dan musim. Waktu kodrati masih lagi dilengkapi dengan
waktu hasil kesepakatan yang berisikan peristiwa-peristiwa tertentu sebagai titik referensi
untuk pembagian waktu. Penanggalan dan kalender dibuat atas dasar peristiwa-peristiwa
55
tertentu ini yang disepakati sebagai satu penentuan dan perhitungan waktu, misalnya
peristiwa kelahiran Yesus, peristiwa Hijrah Nabi Muhammad, peristiwa kemerdekaan
bangsa Indonesia dan lain-lain. Pembagian waktu yang berdasarkan atas peristiwa-peristiwa
tertentu itu bisa juga memperlihatkan satu periode, satu epoche atau zaman seperti
pembagian sejarah Indonesia atau sejarah satu bangsa. Waktu hasil kesepakatan yang
berdasarkan peristiwa penting tertentu itu disebut sebagai waktu sejarah. Pembagian waktu
seperti ini masih tetap didasarkan pada waktu kodrat dan merupakan kosekuensi yang tak
terulang dari perjalanan waktu kodrati. Gambaran waktu yang dikaitkan dengan waktu
kodrati ini menjadi perhatian para pakar sejarawan.
Tetapi bagaimanapun juga gambaran waktu seperti itu hanya mungkin ada, karena
ia didasarkan pada satu cara awal kesejarahan yang terkait sangat erat dengan karakter
Subjek dari manusia itu sendiri. Si penulis sejarah sendiri juga merupakan bagian dari
kesejarahan, hidup dalam sejarah dan turut memberi karakter terhadap kesejarahan itu
sendiri. Konsep inilah yang menghantar kita kepada ide tentang waktu subjektif, yaitu
kesejarahan yang melekat pada subjek itu sendiri. Tanpa subjek, tidak ada gambaran
tentang waktu. Kenyataan ini dapat dijelaskan lebih lanjut tentang arti waktu berikut ini.
Tidak dapat disangkal bahwa waktu merupakan kesatuan antara masa lampau, masa
sekarang dan masa depan. Pernyataan ini dapat dimengerti menurut tiga arti mendasar yang
berbeda.
Pertama. Waktu merupakan keseluruhan dari semua momen atau saat, momen
masa lampau, momen sekarang dan momen yang akan datang. Keseluruhan ini merupakan
kesatuan dari satu gambaran tentang waktu itu sendiri, yaitu masa lampau dan masa depan
disintesekan dengan masa sekarang menjadi satu waktu. Waktu adalah sintese masa lampau
dan masa depan dengan masa sekarang. Tapi bagaimana ini dapat dijelaskan? Waktu
lampau merupakan satu yang sudah tidak terjadi lagi atau satu yang terlupa, tapi
dibangkitkan kembali oleh “kenangan” dan melalui kenangan, waktu lampau dihantar
untuk masuk ke dalam masa sekarang. Waktu lampau adalah masa sekarang yang
menghadirkan kembali masa lampau. Begitu juga masa depan. Masa depan adalah sesuatu
56
yang belum terjadi, tetapi dihadirkan lebih dahulu melalui “antisipasi” dan dihantar masuk
ke dalam masa sekarang. Masa depan adalah masa sekarang yang mengantisipasi sesuatu
yang belum terjadi. Dengan gambaran ini, masa sekarang mendapat tekanan istimewa.
Kedua dimensi yang lain, yaitu masa lampau dan masa depan, tersintese dalam masa
sekarang. Tetapi mengapa masa sekarang mendapat tekanan istimewa dalam gambaran
waktu yang demikian? Alasanya ialah Subjek sendiri atau waktu yang terikat erat dengan
subjek. Waktu Sekarang adalah Kekinian dari Subjek yang sedang ingat akan sesuatu,
subjek yang sedang berantisipasi dan subjek yang sedang menyibukkan diri dengan sesuatu.
Waktu sekarang adalah aktivita subjek. Hal ini berarti ganda. Di satu pihak, masa sekarang
merupakan titik tolak untuk dua dimensi yang berjalan bertolak belakang, yaitti dimensi
masa lampau dan masa depan. Masa lampau dan masa depan berakar pada masa sekarang.
Masing-masingnya, baik masa lampau maupun masa depan, adalah masa sekarang yang
terhayati dari subjek. Dengan kata lain, tanpa subjek ketiga masa itu tidak punya arti. Di
pihak lain di dalam Subjek terdapat jelas korelasi antara masa lampau dan kenangan
akannya, masa depan dan antisipasi akannya, masa sekarang dan kepasrahan atau
penyerahan diri ke dalamnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan Agustinus dalam
Confessiones XI, 14 dst., bahwa masa lampau, masa depan dan masa sekarang hanya ada
untuk satu “hakikat” yang mampu ingat, mampu berantisipasi dan yang mampu memberi
perhatian. Penjelasan di atas menghantar kita kepada kesimpulan bahwa waktu bukanlah
produk dari kegiatan subjek, tapi waktu tidak bisa ada tanpa subjek.
Kedua. Bagaimana masa depan, masa sekarang dan masa lampau selalu ada di
dalam satu kesatuan: antisipasi untuk masa depan, perhatian untuk masa sekarang dan
kenangan untiik masa lampau? Kita mengambil contoh sebuah melodi. Satu melodi
merupakan satu kesatuan yang tersusun dari setiap nada. Bila kita mendengar beberapa
nada dari satu melodi yang kita kenal, maka pada waktu yang sama kita “terarah tetap pada
atau menaruh perhatian pada” nada itu dan serempak “mengharapkan” munculnya nada-
nada lain yang membangun melodi itu. Dengan mendengar, memperhatikan dan
mengharapkan, terciptalah satu gambaran keseluruhan dari melodi itu. Keseluruhan itulah
yang adalah peristiwa melodi sendiri. Keseluruhan peristiwa itu sendiri menempati masa
57
sekarang yang meliputi peralihan nada yang satu ke nada yang lain. Dengan demikian masa
sekarang adalah momen ketika setiap nada terdengar pada saat itu di dalam perwujudan
melodi itu, tapi juga keseluruhan peristiwa melodi. Keseluruhan itu mencakup juga
antisipasi menuju pemenuhan keseluruhan melodi dan sekaligus juga momen dari sebagian
nada yang sudah terdengar. Dari contoh ini kegiatan “menaruh perhatian” yang dijalankan
pada masa sekarang mendasari kenangan akan satu peristiwa yang sudah terjadi dan
antisipasi akan satu peristiwa yang akan terjadi. Tindakan itu dilihat sebagai korelasi yang
membangun satu kesatuan antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan. Tindakan
itu sendiri adalah bentuk batiniah atau bentuk dalam dari peristiwa-peristiwa yang berjalan
secara objektif di hadapan seluruh perhatian dan kesadaran manusia.
Ketiga. Arti ketiga dikaitkan dengan persoalan: Apakah bentuk waktu untuk satu
perlukisan objektif tentang sesuatu yang terjadi sudah selalu dan hanis merupakan waktu
batiniah (waktu objektif) dari peristiwa yang terjadi. Memang terdapat perbedaan antara
waktu yang termasuk dalam proses yang digambarkan secara objektif dan waktu yang
termasuk dalam peristiwa-peristiwa subjek. Bila waktu itu termasuk dalam peristiwa
subjek, maka bagaimanapun juga waktu termasuk dalam kehidupan subjek sebagaimana
tersedia dalam kesadaran subjek sendiri. Kita mengambil contoh ketika kita berhadapan
dengan sebuah drama di atas panggung. Drama itu mencerminkan perjalanan hidup kita
yang terdiri dari fase awal, tengah dan akhir. Perjalanan hidup itu merupakan satu
keseluruhan. Tetapi kita bukan hanya memperhatikan fase hidup kita sendiri, melainkan
momen-momen hidup yang sering kita lupa atau tidak kita sadari justru masuk dalam
perhatian orang lain. Mereka turut memberi gambaran terhadap sejarah hidup kita. Dengan
demikian kita melihat bahwa ada perbedaan antara waktu sebagai bentuk gambaran (baik
gambaran yang saya buat sendiri maupun gambaran yang dibuat orang lain tentang saya)
dan waktu sebagai bentuk kehidupan yang memiliki struktur dan realitasnya sendiri yang
terpisah dari subjek. Persoalannya ialah bahwa sejauh mana saya menghidupi waktuku.
Sejauh saya memiliki kemungkinan dan dapat rtirjudkan kemungkinan itu, maka sejauh itu
58
pula saya mengalami masa depan. Dan sejauh saya tahu bahwa saya atas cara tertentu sudah
ada dan kemungkinan-kemungkinan tertentu sudah terwujud dalam diri saya, sejauh itu
pula saya mengalami masa lampau. Begitu pula, sejauh saya menggenggam dan menangkap
kemungkinan-kemungkinan tertentu, sejauh itu saya mengalami masa sekarang. Masa
depan saya adalah kemungkinan bagi saya, masa lampau adalah satu keharusan, dan masa
sekarang adalah kenyataan yang tidak lengkap.
2.3.3. Kesejarahan sendiri atau historisitas.
Kesejarahan menandai pengertian dasar tentang manusia dan dunianya. Kesejarahan
dalam arti ini adalah kesejarahan dalam arti antropologis. Selain itu, kesejarahan menandai
juga karakter dari satu budaya yang khas. Dalam arti yang kedua, kesejarahan adalah
kesejarahan dalam arti budaya. Kita cuma membahas kesejarahan dalam arti antropologis.
Kesejarahan dalam arti antropologis memperlihatkan “dialektika” kesejarahan sendiri:
dialektika antara masa lampau dan masa depan dengan masa sekarang. Ungkapan
“kesejarahan” dari realitas manusia dimaksudkan kenyataan bahwa manusia yang hidup di
saat ini tidak hanya memiliki masa lampau di belakangnya dan masa depan di hadapannya,
tetapi juga selalu mengembangkan satu hubungan bagaimana ia memiliki masa lampau di
belakangnya, masa depan di hadapannya dan masa sekarang di dalamnya. Hubungan itu
terdiri dari tanggapan-tanggapan, pertimbangan, penilaian serta keputusan-keputusan dan
kegiatan konkret sekarang entah secara sadar atau tidak, entah secara bebas atau tidak.
Hubungan itu menyangkut baik sejarah kehidupan individual maupun kolektif.
Kita hidup dalam masa sekarang ini. Masa sekarang ini pada hakikatnya merupakan
satu aktus atau kegiatan yang memiliki masa lampau dan masa depan. Dari ini dapatlah
dibedakan dua hal: menempatkan penghayatan masa sekarang ke dalam gambaran masa
lampau atau masa depan dan merintangi penghayatan masa sekarang dengan
menghilangkan masa lampau atau masa depan. Dalam hal pertama, manusia
memindahkan atau memasukkan diri ke dalam masa lampau atau masa depan. Ia tidak
hidup dalam masa sekarang. Orang hidup dalam khayalan dan menecnukan nilai hidupnya
di masa lampau (pengalaman nostalgia) atau di masa depan (impian masa depan). Sejauh
59
hal ini mempunyai pengaruh positif terhadap tindakan masa sekarang, sejauh itu pula ia
menemukan nilai masa sekarang yang punyai arti. Tetapi apabila khayalan itu tetap ada
tanpa punya hubungan yang berarti dengan masa sekarang, maka sebetulnya masa lampau
atau masa depan menutupi realitas hidup yang sekarang. Orang lari kepada dunia khayalan.
Pada hal, masa sekarang merupakan masa yang konkret dan penting; ia punya nilai yang
berbeda dengan masa lampau dan masa depan. Karena itu keputusan untuk menghayati
masa sekarang secara tepat dan bijaksana adalah keputusan untuk memanfaatkan
kesempatan dan kemungkinan yang sudah berbeda dengan yang sebelumnya dan yang akan
datang. Masa sekarang akhirnya menjadi medium perbuatan dan hidup konkret seseorang,
ketika seseorang memutuskan untuk mengisinya secara menguntungkan atau
membahagiakan. Dalam hal kedua, masa sekarang yang sejati tidak hanya ditentukan oleh
pembedaannya dengan masa lampau dan masa depan, tetapi juga oleh kenyataan bahwa
masa lampau dan masa depan “terputus”dari penghayatan terhadap masa sekarang. Masa
sekarang yang sejati kehilangan masa lampau dan masa depan. Itu berarti bahwa dengan
kehilangan dimensi itu semua perbuatan yang konkret senantiasa berada dalam atau masuk
ke dalam sesuatu yang baru; perbuatan itu turut memberi arti baru terhadap masa lampau
dan masa depan. Ungkapan “kehilangan masa lampau” tidak lain dari pada satu fenomen
yang menunjukkan bahwa masa lampau terputus dari penghayatan terhadap masa sekarang,
atau dengan kata lain, untuk menghayati masa sekarang masa lampau tidak diperlukan.
Manusia memberi penilaian negatif terhadap pengalaman masa lampaunya yang buruk dan
tidak mau mengintegrirnya ke dalam kehidupannya yang sekarang. Dengan pengalaman
masa lampau yang buruk, ia seakan-akan memulai “nol” untuk satu hidup baru. Bila ia
melihat kenyataan masa lampau itu dengan mata positif, maka ia mulai berpikir dan
merenung kembali untuk melangkah maju dengan perasaan terbuka. Begitu juga, ungkapan
“kehilangan masa depan” dimaksudkan fenomen yang menunjukkan bahwa hubungan
antara masa sekarang dan masa depan menjadi terputus, atau dengan kata lain, untuk
menghayati masa sekarang masa depan tidak diperlukan. Manusia tidak memiliki masa
depan; ia kehilangan harapan. Masa sekarang menjadi satu masa yang tertutup.
60
Konsekuensinya ialah bahwa manusia tidak menemukan arti terhadap hidup, kerja dan
perjuangannya di masa sekarang. Konsekuensi lebih lanjut juga ialah bahwa hubungan
masa depan dengan masa lampau terputus, karena tidak ada jembatan antara masa lampau
dan masa depannya.
Dialektika kesejarahan di sini dapatlah disimpulkan dari kenyataan bahwa di dalam
diri subjek, hubungan antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan dikembangkan,
dan masing-masingnya hanya punya arti apabila masa sekarang meresapi dua dimensi yang
lain dan serempak pula diresapi oleh dua dimensi yang lain. Masa sekarang tidak punya arti
tanpa masa lampau dan masa depan, begitu juga masa lampau dan masa depan tidak punya
arti tanpa masa sekarang.
2.4. Kejasmanian
Ide penuntun yang menentukan penafsiran kita tentang fenomen antropologis
“kejasmanian” adalah ide tentang, subjektivitas. Subjektivitas adalah penghayatan relasi
terhadap diri sendiri dan serempak relasi terhadap yang lain. Yang lain bisa berupa manusia
lain, makhluk hidup lain atau bisa juga benda-benda lain. Sejauh yang lain itu, misalnya
manusia lain, tetap berada sebagai yang lain, sejauh itu pula yang lain tetap berada sebagai
yang lain untuk saya. Tetapi ada sesuatu yang tidak jelas baik bila dilihat dari yang lain
maupun dilihat dari sudut saya; hal itu adalah tubuh. Untuk mengartikan kejasmanian
tubuh, kita perlu bertolak dari “subjektivitas”.
2.4.1. Prapengertian tentang kejasmanian dengan bertolak dari bahasa.
Bila kita berbicara tentang tubuh jasmani, kita perlu memiliki gambaran tentang satu tubuh
jasmani yang tidak terpisah-pisahkan dari anggota-anggota tubuh yang lain. Seluruh
anggota tubuh membangun satu tubuh jasmani yang hidup, yaitu satu figur tubuh jasmani
yang hidup-hidup. Itulah letak realitas tubuh jasmaniah. Karena itu, gambaran kita tentang
realitas itu menjadi berarti apabila kita menganalisa realitas itu melalui prapengertian
tentangnya. Prapengertian ini memberi kita arah jelas yang dapat kita tematisir menurut
bahasa, yaitu a). Bahasa metaforis tubuh; b). penangkapan figur jasmaniah melalui bahasa;
61
c). ruang lingkup pemahaman tentang “tubuh”; d). problematika metodologis tentang
misteri kejasmanian: seberapa jauh tubuh merupakan satu fenomen?
a). Bahasa Metaforis tentang tubuh.
Kita menemukan begitu banyak kata yang mengungkapkan bagian-bagian dari
tubuh, bahkan gerak-gerik tubuh. Kata-kata itu menunjuk kepada berbagai macam realitas
yang memperlihatkan fungsi dan cara beradanya. Kita menyebut beberapa contoh. Kata-
kata yang menunjuk kepada bagian-bagian tubuh: tangan, kepala, bahu, dada, hati dsb. dan
kata-kata yang menunjuk kepada gerak-gerik tubuh: lari, berdiri, tidur, jalan, duduk dsb.
Kata-kata yang memiliki arti dasar ini dapat saja berarti banyak, jika kata-kata itu dipakai
dalam arti metaforis. Contoh: kepala suku, kepala pasukan, kepala pemerintahan dsb; begitu
juga gerak-gerik tubuh mempunyai arti metaforis seperti misalnya melarikan diri,
memperdirikan rumah, meniduri perempuan, menjalani hukuman, mendudukkan perkara
dsb. Kata-kata yang mengungkapkan arti metaforis disebut bahasa metaforis (meta-phora:
pengalihan). Di dalam bahasa metaforis arti dasar tentang tubuh sama sekali tidak hilang,
meskipun artinya sudah menunjuk kepada kenyataan atau barang lain. Arti yang berbeda-
beda itu dalam bahasa metaforis tubuh sama sekali tidak hanya memperlihatkan adanya
struktur analogi antara arti dasar dan arti-arti lain yang diperoleh dari bahasa metaforis
tubuh, juga tidak hanya memperlihatkan betapa mudahnya arti dasar dari kata tertentu
untuk tubuh dapat dialihkan ke dalam arti lain melalui bahasa metaforis, tetapi juga
mempertegas bahwa justru di dalam perbedaan-perbedaan arti yang diperoleh dari bahasa
metaforis arti dasarnya tetap menjadi prinsip kesatuannya.
b). Penangkapan figur jasmaniah melalui bahasa.
Dengan bertolak dari analisa bahasa, kita dapat menangkap satu kesatuan antara
tubuh dan roh. Setiap kata merupakan susunan dari fonem-fonem (bunyi suara: setiap huruf
mewakili satu bunyi suara tertentu) dan monem (kesatuan terkecil yang punya arti tertentu
dan yang turut membentuk fonem-fonem). Bila orang mengtingkapkan bunyi suara tertentu,
maka orang terus menangkap arti yang terkandung dalam bunyi suara itu; demikian
halnya juga ketika orang mengucapkan satu kata sebagai hasil bentukan bunyi suara itu.
62
Orang langsung menangkap arti yang terkandung dalam kata itu. Kesatuan antara tanda
yang menunjukkan arti dan arti yang terkandung di dalamnya begitu erat sehingga
menghilangkan tanda berarti menghilangkan artinya. Keduanya merupakan satu mata uang
dengan sisi yang berbeda: Kesatuan seperti inilah yang dapat kita bayangkan tentang
kesatuan tubuh dan roh. Bila kita menyebut nama seorang yang kita kenal seperti presiden
“Abdurahman Wahid”, maka nama ini menunjuk kepada satu figur jasmaniah yang
sekaligus juga mencerminkan elemen rohaniah yang melekat pada figur jasmaniah orang
itu.
Pertanyaan lebih lanjut tentang “tubuh” ialah bahwa apakah “tubuh” merupakan
satu-fenomen dan sejauh mana “tubuh” merupakan satu fenomen? Tubuh memang jelas
merupakan satu fenomen seperti benda-benda lain. Orang bisa memandang tubuh dan
berbicara tentang tubuh sebagai sesuatu yang memiliki ukuran “besar, tinggi, rendah,
pendek dsb.”, dan juga sebagai sesuatu yang tampak indah, jelek, tampan, cantik dsb. Yang
pertama merupakan fenomen ukuran fisik, dan yang kedua merupakan fenomen estetis.
Tetapi bagaimana “tubuh” itu menjadi satu fenomen? Bila orang berkata dalam ungkapan
“dia adalah orang yang ringan tangan”, maka ungkapan “ringan tangan” sebagai bagian dari
tubuh menunjukkan perbuatan dan sikap dari keseluruhan manusia yang suka menolong
sesama. Fenomen “tubuh” – dalam hal ini “ringan tangan” – mengungkapkan sikap suka
menolong, meskipun dalam fakta fisis tidak ada gejala itu. Si pengamat mengatakan orang
yang demikian sebagai orang yang “ringan tangan”, ketika dia memperoleh pengalaman
akan sikap atau perbuatan manusia yang “ringan tangan” itu dan ketika dia bertemu dengan
orang bersangkutan yang berada di sana dengan figur tubuh tertentu. Fenomen “tubuh”
akhimya menunjuk kepada kehadiran keseluruhan pribadi tertentu.
2.4.2. Reduksi tubuh (der Leib) kepada badan (der Korper).
Dalam pemakaian bahasa sehari-hari tidak ada pembedaan tajam dan tetap antara
tubuh dan badan. Arti keduanya sering dicampur baurkan dalam pemakaian. Misalnya,
tubuhnya mengandung penyakit atau badannya penuh dengan penyakit. Meskipun
63
demikian, keduanya menunjuk kepada realitas yang berbeda. Badan merupakan bagian dari
ruang yang dapat diukur dalam Geometri atau dapat dipelajari dalam dunia fisik. Badan
terbentuk dari berbagai macam sel-sel, molekul-molekul dan zat-zat kimiawi lainnya, dan
unsur-unsur ini membangun satu figur atau raut muka yang tetap atau dapat berubah sesuai
dengan usia. Gejala-gejala badan, strukturnya dan bentuk badan dapat diteliti, diamati dan
ditafsir dalam dunia ilmu pengetahuan seperti geometri, antropologi ragawi, fisika, biologi,
ilmu kimiawi dsb. Hakikat badan adalah satu hakikat kodrati yang menjadi objek penelitian
ilmu pengetahuan. Tubuh merupakan keseluruhan manusia yang tampak dalam struktur
jasmaniahnya. Tetapi pengertian ini sering hilang karena tubuh sering diidentikan dengan
badan. Pengertian tubuh direduksikan kepada pengertian badan.
Beberapa pemikir yang berbicara tentang kejasmanian manusia memberi
pemahaman kepada kita bahwa reduksi tubuh kepada badan dapat dicermati dalam
pemikiran filsafiah mereka. Descartes mengerti tubuh dan badan dalam konteks materi.
Hakikat dari materi adalah merentang atau keluasan (rex extensa) dan gerakan. Sifat
kerentangan dan gerakan dari materi itu dapat diamati dalam matematika dan geometri.
Segala sifat khas itu hanya masuk dalam dunia indra kita dan mempenganihi dunia indra
kita, tetapi tidak bisa ditangkap ke dalam satu sistem rasional kita. Kita hanya dapat
memandang, mengamati dan menangkapnya dalam hal raut muka, bentuk, warna, bau, dsb.
Tidak heran bahwa Descartes membedakan dua cara penerimaan atau tanggapan yang
berkenaan dengan tubuh manusia: memandang dengan pikiran (imaginare) dan menanggapi
dengan indra (sentire). Materi dipertentangkan dengan Roh (Geist). Tidak ada satu ruang
kosong untuk materi, tetapi tidak punya sifat khas batiniah di dalam materi, yaitu sifat khas
atau daya yang menjadi prinsip penyatuan dari dalam. Gerakan materi hanya berjalan secara
mekanis seperti angin puting beliung (Cf. Emerich Coreth, p. 30.). Dalam konteks
pemahaman tentang materi ini, tubuh dan badan termasuk dalam materi yang bergerak
secara mekanis, tetapi katena ada unsur jiwa (kesadaran atau res cogitans), maka terjalin
hubungan antara jiwa-badan yang mempunyai penjelasan tersendiri menurutnya. Satu
kesimpulan yang ditarik dari konsep Descartes ialah bahwa bagaimanapun juga tubuh
64
dan badan diidentikan dengan mesin yang berfungsi secara mekanis, dan kedua-duanya
berhubungan dengan jiwa (jiwa-badan) dalam satu hubungan timbal balik dengan pusatnya
pada otak.
Kritik terhadap pemikiran Descartes terletak dalam pemisahan yang tajam antara
“adanya” manusia dengan realitas materi yang dikenakan pada tubuh dan badan manusia.
Faktor budi pada manusia yang memiliki kemampuan kritis untuk melihat dirinya dan
menyadari dirinya memperlihatkan adanya perbedaan jelas bahwa gerakan dan rentangan
yang terdapat dalam materi sama sekali tidak sama dengan gerakan dan rentangan pada
tubuh manusia. Gerakan dan proses rentangan pada tubuh manusia selalu berada dalam
kombinasi atau hubungan dengan jiwa. Hubungan itu begitu intim dalam diri manusia,
sehingga tidak mungkin tipe motorik dan mekanis pada materi diidentikan dengan tipe
motorik dan mekanis pada tubuh manusia. Bagaimana hubungan yang saling
mempengaruhi tubuh dan jiwa dapat dijelaskan secara rasional, Descartes tidak
menjelaskannya secara tepat. Meskipun demikian, sumbangan luar biasa dari paham
Descartes untuk perkembangan ekplorasi terhadap tubuh manusia luar biasa. Penelitian
terhadap tubuh manusia sebagai satu materi membawa kemajuan di bidang obat-obatan
yang digunakan untuk penyembuhan penyakit-penyakit tubuh.
Paham Descartes tentang jiwa-badan mempengaruhi juga paham filsafiah Spinoza
tentang tubuh manusia. Dalam pandangan Spinoza paham dualistis jiwa-badan pada
Descartes dijelaskan secara lain dan agak lunak. Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu
“Substansi” yang merangkum seluruh realitas (Anton Bakker, p. 96 bdk. Coreth, p. 43-44
Substansi itu hanyalah Allah saja. Substansi itu memiliki atribut-atribut yang dari
padanya keluarlah modus-modus (cara-cara berada). Modus-modus itu berparalel satu
sama lain secara mekanis. Tubuh merupakan satu modus rentangan atau perluasan,
sedangkan jiwa juga merupakan satu modus berpikir. Tubuh dan jiwa memiliki kegiatan
yang tidak punya sangkut paut satu dengan yang lain, tetapi paralel secara otomatis di
bawah satu substansi yang mempersatukan keduanya. Pandangan Spinoza berhaluan
monistis dalam konsepnya tentang jiwa-badan, tetapi kritik yang ditujukan kepada
65
Descartes berlaku juga untuk Spinoza. Reduksi realitas tubuh kepada badan masih nyata
dalam konsep jiwa-badannya. Tubuh dan badan adalah sama dalam arti bahwa keduanya
merupakan materi itu sendiri sebagai satu modus dari substansi yang satu.
2.4.3. Reintegrasi badan ke dalam tubuh.
Reintegrasi badan ke dalam tubuh terwujud melalui “aku sebagai subjek”. Di dalam
aku, keduanya terbentuk dalam satu kesatuan yang erat. Hal ini digambarkan sebagai
seorang pelaut yang berada dalam kapal lautnya. Si pelaut bersatu erat dengan kapalnya,
tapi memiliki distansi dengan kapalnya. Dia bisa mengamati-amati kapalnya apakah ada
beberapa bagian kapal yang telah rusak. Atau juga satu kesatuan antara tubuh dan badan di
dalam aku sebagai subjek digambarkan sebagai subjek yang merasa lapar, sakit atau haus
dsb. Perasaan lapar, sakit dan haus ditangkap melalui pernyataan atau tanggapan tubuh.
Kodrat tubuh mengajarkan bahwa si subjek merasa lapar, haus atau sakit. Dengan
demikian, rasa lapar atau sakit itu menjadi satu sinyal atau tanda agar si subjek mengambil
tindakan yang perlu untuk menjawabinya. Si subjek memperoleh pengenalan bahwa
badannya sakit, meskipun dia sendiri bukan seorang dokter. Reintegrasi itu dimungkinkan
oleh salah satu gejala yang disebut “Mekanisme badan sebagai spiritualisme
tekhnomorfis”.
Aku sebagai subjek memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kekuasaan
kodrat materi yang melekat pada badan kita. Kekuasaan kodrat materi ini merupakan satu
kekuatan gelap yang menguasai manusia. Kekuatan ini dengan sendirinya berjalan secara
mekanis sesuai dengan hukum kodrat materi itu sendiri. Dengan demikian badan kita yang
adalah kodrat alamiah tidak luput dari proses mekanis material yang dapat saja berbahaya
dan dapat saja berguna. Itulah hukum mekanisme alam yang merupakan bagian integral
dari manusia. Tetapi berkat kemampuan dan kehendak manusia, teknik dan ilmu
pengetahuan yang secara langsung berhubungan dengan kodrat alamiah badan kita, dapat
dikembangkan untuk membebaskan mekanisme kodrat material alamiah yang mengancam
hidup manusia. Ketika teknik dan ilmu pengetahuan tercipta untuk pembebasan itu, ketika
itu pula teknik dan ilmu itu jatuh ke dalam proses mekanis-material yang berfungsi menurut
hukum kodrat materi juga. Teknik itu sendiri tidak memiliki hakikat, tetapi hasil dari proses
66
aku sebagai subjek dalam mengenal dan membebaskan diri dari genggaman mekanisme
materi yang melekat pada badan. Proses mekanisme materi pada badan ini hanya mungkin
didasarkan pada satu elemen rohaniah yang berdiri di luar kerja materi. Seandainya tidak
ada elemen ini, maka mekanisme itu berjalan buta, dan manusia tidak mungkin
menciptakan teknik dan instrumen yang dapat mengubah proses mekanisme. Dikatakan
bahwa mekanisme itu sendiri adalah spiritualisme yang tekhnomorfis, karena perubahan-
perubahan bentuk dan teknik yang dihasilkan oleh kesanggupan subjek melahirkan
mekanisme material alamiah baru, dan hal ini pun hanya menjadi mungkin oleh karena
kesanggupan subjek itu yang dikarakterisir dengan kesanggupan rohaniah.
2.4.4. Realitas Kejasmanian (Leiblich-Sein).
Realitas kejasmanian berlaku hanya untuk pengertian realitas tubuh dan bukan
untuk pengertian badan, karena realitas tubuh berkaitan erat dengan subjek dan
subjektivitas. Realitas tubuh menghadirkan seluruh kepribadian subjek. Hal ini berarti
bahwa realitas tubuh bersifat unik dan individual, sedangkan realitas badan yang disamakan
dengan benda dan mesin dapat saja bersifat kolektif. Realitas tubuh hanya merupakan
realitas “aku sebagai subjek yang menjasmani”.
Untuk mentematisir secara filsafiah realitas kejasmanian yang ditujukan kepada
realitas tubuh, perlulah diperhatian dua bidang ini, yaitu di bidang perlukisan terhadap cara-
cara bagaimana realitas tubuh dialami, dan di bidang pemberian arti ontologis terhadap
pengalaman realitas yang demikian.
Dimensi kejasmanian dalam ruang.
Berbicara tentang dimensi kejasmanian dalam ruang berarti berbicara tentang cara-
cara bagaimana realitas tubuh atau realitas kejasmanian dialami. Realitas kejasmanian yang
berada dalam waktu sudah dibicarakan dalam tema tentang historisitas. Di sini kita
mentematisir realitas kejasmanian yang berada dalam ruang.
Ruang dialami bukan sebagai sesuatu yang mutlak dan yang memiliki satu kesatuan.
Ruang dialami sebagai yang banyak. Ruang berhubungan dengan sesuatu yang ada di
67
dalamnya atau sesuatu yang dapat ada di dalamnya. Ruang ada untuk sesuatu. Dengan
demikian, bila sesuatu itu adalah aku sebagai subjek, maka ruang itu ada untuk aku sebagai
subjek. Perlukisan tentang ruang untuk subjek lalu tidak sama dengan perlukisan ilmiah
tentang ruang seperti dalam Geometri dan Physik, karena perlukisan ruang dalam Geometri
dan Physik tidak mengenal ruang atas, ruang bawah, kiri, kanan, luas, sempit, dekat atau
jauh. Ruang dalam Geometri dan Physik tidak dibedakan dari ruang yang satu dan ruang
yang lain. Ruang semacam ini berada di luar pembedaan ruang, di dalam dan di luar.
Pemahaman ruang seperti,ini tidak sama dengan pemahaman ruang satu subjek.
Pemahaman ruang satu subjek berarti pemahaman tentang cara bagaimana si subjek
berada dan hidup dalam ruang. Bagi si subjek – tentu bagi kita semua sebagai subjek –
setiap titik pusat yang dapat membangun satu hubungan bertolak dari titik pijak yang
dilambangkan dengan titik nol, tempat dia berdiri dan berada. Titik pijak ini memungkinkan
adanya satu sistem koordinasi semua dimensi, karena titik pijak itu sendiri mengarah ke
banyak dimensi. Dimensi-dimensi yang keluar dari titik pijak tempat berdirinya si subjek
bisa saja mengarah ke atas, ke bawah, ke kanan, ke kiri, ke dalam dan ke luar. Arah-arah
yang berbeda-beda, bahkan arah-arah yang saling bertentangan seperti kiri dan kanan, atas
dan bawah, justru mempunyai arti mendasar untuk pembentukan ruang, karena dengan
adanya arah-arah itu si subjek mulai membuka satu ruang gerak yang bebas dan juga
mengukur ruang gerak itu, baik ruang gerak yang menyentuh luasnya maupun isinya.
Realitas kejasmanian si subjek memang mengorganisir arah gerak yang berbeda-beda itu
dan serempak pula memberi arah atau orientasi keberadaan jasmaniahnya.
Bila kita berpikir tentana ruang, maka kita pertama-tama terfiksir pada kesadaran
kita akan ruang yang kita alami, ruang yang kita rasakan atau juga ruang yang kita ukur.
Kita dapat mengalami ruang sebagai yang sangat luas atau juga yang sangat sempit. Kita
dapat mengalami ruang sebagai yang berbentuk segi empat atau ruang yang bersudut-sudut.
Bukan hanya ruang yang kita alami secara konkret, tetapi juga ruang yang dapat kita
bayangkan dalam imaginasi kita, misalnya satu ruang yang kita bayangkan sebagai ruang
gerak ideal bila kita berdoa atau bekerja atau juga hidup. Pendeknya, terdapat banyak ruang
68
yang di dalamnya kita hidup. Banyak ruang yang kita alami mengandaikan batas-batas
pengalaman akan ruang saya dan ruang hidupmu. Batas-batas ini baik bersifat fisis seperti
bilik saya dan bilikmu, atau ruang ibadat kristen dan ruang ibadat muslim, maupun juga
bersifat simbolik seperti ruang hidup pribadi saya yang tidak dimasuki oleh siapapun dan
ruang hidup pribadimu yang tidak bisa saya masuki, atau ruang hidup keluarga yang satu
dengan yang lain dsb. Batas-batas ruang ini baik yang bersifat fisis maupun simbolis
menunjukkan bahwa di dalam batas-batas itu ruang tersebut hanyalah milik dari subjek
yang mengalaminya.
Pengalaman ruang seperti di atas baik secara fisis maupun dalam imaginasi tidak
lagi terbatas pada kehadiran fisis dalam arti kehadiran badan saya di satu tempat.
Pengalaman ruang si subjek mencakup juga kehadiran seluruh dimensi kejasmanian subjek.
Meskipun badan saya berada di tempat ini, tetapi pengalaman saya akan ruang jauh lebih
luas dari ruang tempat badan saya berada. Hal ini kentara misalnya, ketika saya
merencanakan untuk membuat satu perjalanan ke tempat lain. Ketika saya membuat
rencana itu, pengalaman saya akan ruang sudah melibatkan juga ruang tempat tujuan
perjalanan saya. Dimensi kejasmanian saya sudah lebih luas dari ruang tempat badan saya
berada.
Ruang dikaitkan dengan pengalaman subjek di dalam tubuhnya. Subjek berada
dalam tubuhnya. Melalui tubuhnya si subjek mengalami bahwa dia bergerak dari satu titik
pusat tertentu menuju arah-arah tertentu. Tetapi titik pusat itu tidak berada secara otomatis.
Dia tercipta melalui proses belajar dan latihan agar si subjek mempunyai satu sistem ruang
gerak yang dapat menampilkan dirinya secara transparan. Melalui tubuh jasmaniah, di
dalam tubuh jasmaniah dan dengan tubuh itu si subjek dapat menyembunyikan diri, tetapi
juga dapat mengungkapkan diri secara jelas. Juga si subjek yang sakit payah dan si subjek
yang sehat walafiat dapat memperlihatkan pengalamannya di dalam tubuh kejasmaniannya
secara transparan. Subjek yang sakit berada di dalam tubuh yang tampak kurus, pucat dsb.,
sedangkan subjek yang sehat walafiat berada di dalam tubuh yang tampak segar, bugar,
kuat dsb. Pengalaman subjek di dalam tubuhnya termasuk pengalaman subjek sebagai
69
pengalaman akan ruang. Tubuh subjek merupakan satu tempat atau ruang yang harus selalu
sudah diterimanya untuk dapat menerima ruang-ruang lain. Karena si subjek pada akhirnya
berada di dalam tubuhnya sedemikian sehingga dia sendiri adalah tubuhnya sendiri, maka
dia dapat berada di dalam banyak ruangan.
Pemberian arti ontologis terhadap realitas kejasmanian.
Salah satu cabang ilmu pengetahuan yang menyibukkan diri dengan tubuh manusia
adalah ilmu pengetahuan obat-obatan atau farmasi. Perkembangan pengetahuan di bidang
ini begitu pesat sehingga penyakit-penyakit yang dulunya dipandang sebagai penyakit
turunan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan kini dengan bantuan obat-obatan dapat
dengan mudah disembuhkan. Tetapi betapapun canggihnya perkembangan pengetahuan
obat-obatan, pengetahuan semacam ini hanya berhenti pada usaha untuk mengobati tubuh
yang sakit. Objek dari ilmu pengetahuan obat-obatan adalah satu organisme yang sakit atau
tubuh jasmaniah yang sakit; itu berarti bahwa tubuh jasmaniah yang demikian dapat diteliti,
diraba, dipegang, dioperasi, disuntik, ditambal dsb.; pendeknya, satu tubuh jasmaniah yang
diperlakukan sebagai satu benda, satu mesin atau juga satu kumpulan unsur kimiawi. Teori-
teori tentang pengobatan dan tentang struktur fisis tubuh jasmaniah tidak mengungkapkan
korelasi antara tubuh jasmaniah itu dengan keseluruhan subjek yang menyandang tubuh
jasmaniahnya. Teori-teori itu hanya merupakan teori fisio-biologis yang belum menyentuh
dimensi realitas kejasmanian sebagai satu realitas “ada” secara jasmaniah dari realitas
manusia.
Pemahaman di atas berakar pada filsafat Descartes yang masih menonjolkan
dualisme antara “res extensa” yang dikenakan pada tubuh jasmaniah dan “res cogitans”
yang ditujukan kepada kesadaran. Ilmu pengetahuan alam, terutama ilmu obat-obatan dan
biologi, belum berhasil mengkonstruksikan hubungan antara keduanya itu. Masih tinggal
satu problem filosofis yang harus direfleksikan. Problem filosofisnya terletak dalam usaha
untuk mentematisir satu bidang yang merupakan campuran antara res extensa dan res
cogitansnya; problem itu tidak lain dari pada menyentuh apa yang menjadi hakikat terdalam
yang dapat mempersatukan kedua unsur itu. Di sinilah letak pentingnya ontologi yang
70
berasaha untuk merefleksikan satu inti sari yang menjadi basis untuk rex extensa dan res
cogitans. Inti sari itu ditemukan dalam fenomen “aku sebagai subjek yang
mengkonstitusikan diri”.
Aku sebagai subjek mengkonstitusikan dirinya melalui satu realitas kejasmanian dalam dua
aspek, yaitu aku sebagai “yang mempunyai tubuh” (das Leib-Haben) dan aku sebagai “yang
adalah tubuh (das Leib-Sein). Aku sebagai yang mempunyai tubuh berakar di dalam aku
sebagai yang adalah tubuh. Yang pertama – sebagai yang mempunyai tubuh – berhubungan
dengan tubuh dalam fungsi fisio-biologisnya, sedangkan yang kedua – aku yang adalah
tubuh – berhubungan dengan seluruh realitas subjek yang adalah realitas tubuh jasmaniah.
Justru di dalam satu kesatuan antara “aku sebagai yang mempunyai tubuh” dan “aku
sebagai yang adalah tubuh” terletak realitas kejasmanian subjek. Penetapan arti ontologis
terhadap realitas kejasmanian dibuat dan direfleksikan dalam usaha untuk mensistematisir
satu kesatuan antara aku sebagai subjek yang mempunyai tubuh dan yang adalah tubuh.
71
3. ELEMEN ROHANIAH DARI PERWUJUDAN KEBERADAAN
MANUSIA.
Kerohanian manusia merupakan satu kemampuan konstitutif dalam relasi manusia
baik dalam relasi manusia dengan dirinya maupun dalam relasi manusia dengan dunia di
luarnya. Kemampuan konstitutif dalam relasi ini ditandai dengan apa yang disebut
“kesadaran dan kebebasan”; kedua unsur inilah yang mau dibahas dalam seluruh bab ini.
3.1. Kesadaran rohaniah.
3.1.1. Fenomen Kesadaran.
Langkah untuk menafsirkan fenomen kesadaran diawali dengan pengalaman akan
fenomen kesadaran itu sendiri. Pengalaman menunjukkan bahwa kesadaran merupakan satu
fakta atau kenyataan, yaitu bahwa kesadaran itu sendiri memang ada. Kita memang tidak
langsung mentematisir fenomen ini; kita hanya memahaminya dengan cara menanalisa
pengalaman “ketidaksadaran”, menganalisa struktur tanggapan kesadaran dan menganalisa
penolakan terhadap kesalahan penafsiran.
Pengalaman “ketidaksadaran” dan keajaiban kesadaran.
Manusia mengalami bahwa dia tidak sadar, ketika dia sedang tidur, atau ketika dia
sedang dibius untuk menjalani satu operasi tubuh atau juga ketika dia jatuh pingsan dengan
tidak sadarkan diri. Dalam keadaan yang demikian, dia tidak tahu apa-apa tentang segala
sesuatu yang melingkupinya. Dari keadaan dan tingkah laku yang tidak sadar, orang lain
mengalami bahwa dia memang tidak sadar. Dengan pengalaman seperti ini, kita belum bisa
menjelaskan hakikat dari kesadaran, tetapi kita dapat menunjukkan fenomen kesadaran
dengan menyaksikan terjadinya peralihan dari keadaan tidak sadar kepada keadaan sadar.
Peralihan itu dapat kita alami langsung ketika kita terjaga dari tidur nyenyak atau ketika
kita mengalami bahwa orang yang jatuh pingsan tiba-tiba menjadi sadar lagi. Kita
mengalami sesuatu secara sadar. Dengan pengalaman ini, kita dapat merumuskan apa itu
kesadaran.
72
Kesadaran pada dasarnya merupakan satu cara hidup manusia. Dia mirip dengan kekuasaan
dan tampil secara tidak menonjol. Sebagaimana udara penting untuk pernapasan kita, begitu
juga kesadaran penting untuk hidup kita. Kesadaran tidak dapat ditangkap dengan indra,
dan munculnya di hadapan kita seakan-akan muncul dari ketiadaan.
Di sanalah justru letak keajaiban kesadaran. Kesadaran merupakan sesuatu yang
sangat mengagumkan. Mengapa dikatakan demikian? Apa yang dapat kita tangkap dan
amati adalah isi-isi kesadaran dan bukannya kesadaran sendiri. Isi-isi kesadaran itu berbeda
satu dengan yang lain dan terdiri dari berbagai macam hal. Misalnya, saya sadar akan
kehadiran seseorang yang berada berhadapan dengan saya. Kehadiran seseorang di hadapan
saya merupakan isi dari kesadaran saya. Begitu juga, saya sadar bahwa saya sedang
membaca buku. Isi kesadaran saya adalah kegiatan saya dalam membaca buku. Isi
kesadaran tidak lain dari pada sasaran atau objek-objek kesadaran. Isi-isi kesadaran ini
selain berasal dari saya dan disatukan oleh aku sebagai subjek, juga dapat ditemui dalam
subjek-subjek yang lain. Dengan demikian ada isi-isi kesadaran yan, saya miliki dan isi-isi
kesadaran yang dimiliki oleh subjek yang lain. Di sinilah komunikasi dan hubungan antara
isi-isi kesadaran subjek yang satu dengan subjek yang lain terbentuk, dan pada akhirnva isi-
isi kesadaran itu menjadi satu kesadaran kolektif yang dapat diamati sebagai satu fenomen
kesadaran. Justru di sinilah letak keajaibannya bahwa isi-isi kesadaran itu dapt ditematisir,
tetapi si subjek tidak dapat menangkap secara jelas kesadaran itu sendiri.
Bila isi-isi kesadaran itu dapat ditangkap, pertanyaan kita ialah bahwa apa itu
realitas sesungguhnya. Apakah realitas itu adalah keseluruhan segala sesuatu sebagaima
adanya dan berhubungan satu sama lain tanpa keterkaitannya dengan kesadaran si subjek,
atau segala sesuatu yang berhubungan dengan kesadaran si subjek? Dengan kata lain,
apakah realitas itu adalah objek di dalam dirinya (realitas an sich) atau objek yang masuk
dalam kesadaran subjek? Pertanyaan ini menjadi tugas ontologi untuk mensistematisirnya,
tetapi dalam hubungan dengan filsafat antropologi pertanyaan-pertanyaan itu merupakan
alat bantuan manusia untuk menggeluti persoalan kesadaran, atau lebih luas dikatakan,
pertanyaan-pertanyaan itu berkaitan dengan persoalan dunia si subjek yang sadar. Kita
73
tidak bisa menangkap seluruh realitas an sich di luar diri si subjek; realitas itu hanya masuk
perlahan-lahan atau si subjek menjadi sadar perlahan-lahan akan realitas di luar. Dalam
proses “menjadi sadar perlahan-lahan” realitas yang sesungguhnya menurut filsafat
manusia adalah realitas yang ada untuk si subjek. Realitas ini tidak pernah berada di luar
subjek, dan dengan demikian menjadi sadar terhadapnya adalah satu proses kesadaran
untuk mengalami realitas itu, menanggapinya dan mengamatinya. Proses menjadi sadar ini
hanya bisa berfitngsi sebagai penggambaran terhadap satu kesadaran yang bersifat formal.
Di sinilah letak keagungan dan keajaiban kesadaran bahwa proses menjadi sadar diberi
bentuk oleh adanya realitas kesadaran. Dengan kata lain, “menjadi sadar dan sadar akan”
(bewußt-werden dan bewußt-sein atau to become conscious dan to be cunscious) bersatu
erat, dan kedua elemen itu memperlihatkan satu cara berada dari realitas kesadaran itu
sendiri.
Struktur tanggapan kesadaran.
Kita bertolak dari satu objek yang ditanggapi oleh kesadaran si subjek. Tanggapan
kesadaran itu bersifat visual, yaitu ketika si subjek melihat sesuatu benda, ia memberi
tanggapan visual terhadap benda itu secara sadar. Si subjek melihat sebuah objek, misalnya
sekuntum bunga mawar yang sedang mekar. Ketika si subjek melihat dan menyaksikan hal
itu, si subjek menjadi sadar akan objek yang berhadapan dengan subjek. Itulah bentuk
pertama kesadaran. Dengan cara ini, si subjek berada dekat dengan objek dan menjadi sadar
akan adanya objek. Di dalam proses “menjadi sadar” akan objek, kesadaran si subjek
muncul. Bila tidak ada objek yang berhadapan dengan subjek, maka tentu tidak ada
tanggapan kesadaran. Begitu juga sebaliknya, bila tidak ada intensionalitas (kesadaran yang
bersifat intensional) kesadaran, maka tidak terjadi juga proses menjadi sadar akan objek
yang berhadapan dengan subjek. Objek yang ditanggapi dan kesadaran yang bersifat
intensional merupakan dua elemen yang konstitutif dalam proses “menjadi sadar”. Dari
proses ini dapatlah tercipta hubungan yang berkembang menjadi satu refleksi kesadaran diri
si subjek.
74
Tetapi kesadaran diri subjek tidak hanya berhenti pada refleksi subjek tentang
objek yang berhadapan langsung dengan dirinya. Refleksi kesadaran diri subjek dapat
menyentuh ingatan atau kenangan si subjek akan objek yang sudah dilihatnya dulu.
Misalnya, si subjek telah melihat kapal tertentu itu di pelabuhan. Si subjek sekarang ingat
bahwa dia melihat kapal tertentu itu di pelahuhan itu. Isi kesadaran di satu pihak adalah
kapal itu dulu dan di lain pihak adalah perbuatan melihat kapal itu dulu. Kapal dan
perbuatan melihat kapal itu dulu merupakan satu hubungan yang dibangun di atas dasar
refleksi kesadaran atas objek kapal yang ditanggapi, tetapi refleksi kesadaran ini adalah
refleksi kesadaran atas satu realitas objek yang sudah menjadi pusat perhatian utama di
dalam diri subjek sendiri.
Proses refleksi kesadaran atas realitas objek yang sudah mendapat perhatian utama
di dalam diri subjek hanya menjadi mungkin, karena ada sesuatu unsur hakiki awali yang
termasuk dalam kesadaran itu sendiri. Unsur awali itu adalah satu gejala “ada dekat dengan
dirinya sendiri” (das Bei-sich-sein). Apa yang dimaksukan dengan “ada dekat dengan
dirinya sendiri”? Dalam tata urutan waktu, kesatuan dengan sesuatu objek yang sudah
ditanggapi selalu terjadi lebih dahulu dari pada perbuatan tanggapan atau perbuatan
melihat. Bila kita rujuk kepada contoh di atas, maka kesatuan subjek dengan kapal yang
ditanggapi secara visual terjadi atau terbentuk lebih dahulu dari pada perbuatan melihat
kapal itu. Tetapi dalam tata urutan realitas subjek sebagai realitas “ada”, perbuatan
tanggapan didasarkan pada “ada dekat dengan dirinya” dari subjek yang menanggapi objek,
karena si subjek sendiri memasukkan diri baik ke dalam objek yang dapat ditanggapi
maupun dalam refleksi dirinya sendiri.
Gejala “berada dekat dengan dirinya sendiri” merupakan akar kesadaran. Realitas
gejala ini dari dirinya sendiri bukan sesuatu yang sadar, bukan juga termasuk dalam ciri-ciri
khas phisis dan psikis tertentu yang dimiliki si subjek. Kesadaran diri terisi oleh realitas
gejala ini, dan bersama dengannya kesadaran diri merupakan bentuk tertentu dari kesadaran
yang dalam keseluruhannya hanya dapat dimungkinkan oleh realitas “berada dekat dengan
dirinya”. Dengan kata lain, realitas “berada dekat dengan dirinya” memungkinkan semua
75
kesadaran yang konkret. Dia sendiri bukanlah objek dari proses “menjadi sadar”, melainkan
objek dari satu pengenalan atau pengetahuan abstrak-spekulatif yang bergerak maju
secara halus dari sesuatu yang didasari kepada sesuatu yang mendasari (Bdk. Teori
pengetahuan menurut Platon, cf. Coreth, pp. 73 dst.)
Penolakan terhadap interpretasi yang keliru.
Di dalam proses tanggapan terdapat kesatuan antara objek yang ditanggapi dan
subjek yang menanggapi, atau kesatuan antara objek dan subjek. Dengan menyebutkan kata
“tanggapan” tersirat korelasi pengertian antara subjek yang menanggapi dan objek yang
ditanggapi. Korelasi ini terjadi dalam satu peristiwa ketika subjek berhadapan dengan objek
dan membangun sahi kesatuan identitas yang mengagumkan, yaitu identitas subjek
sebagaimana adanya dan identitas objek sebagaimana adanya. Persoalannya ialah bahwa
sejauh mana identitas keduanya dapat dikenal sebagaimana-mestinya dalam relasi subjek-
objek itu? Subjek yang menanggapi selalu melibatkan objek yang menjadi sasaran
keterarahan kesadaran subjek, dan objek yang ditanggapi selalu melibatkan kegiatan
tanggapan si subjek. Untuk mengerti sesungguhnya dan menafsir identitas subjek dan
identitas objek, kita perlu menanggalkan hubungan antara subjek dan objek, karena baik
subjek maupun objek mempunyai cara tertentu dalam membangun relasi satu sama lain.
Tetapi kita terjebak dalam apa yang disebut sebagai kekeliruan pemberian arti atau
kekeliruan interpretasi yang objektivistis dan subjektivistis. Dalam terminologi umum kita
tersandung dalam apa yang disebut objektivisme dan subjektivisme.
Objektivisme merupakan satu proses pemahaman dan penafsiran bahwa objek yang
ditanggapi subjek itu adalah objek dalam realitasnya yang sesungguhnya. Hal ini sangat
kentara dalam teori-teori ilnu pengetahuan, terutama dalam physika, kimiawi dan
physiologi. Teori-teori ilmu pengetahuan tentang tanggapan si subjek terhadap objek,
terutama biologi, fisika, kimiawi dsb. seperti penjelasan optik seluibungan dengan fungsi
mata. Penjelasan biologis tentang struktur tubuh dan fungsi-fungsi organ tubuh, hanya
menjelaskan fungsi dan proses kerja organ-organ tubuh, tetapi tidak menjelaskan realitas
objektif yang termuat dalam tanggapan si subjek itu sendiri. Kita mengambil contoh
76
tentang seorang yang melihat “sebatang pohon pisang”. Ketika pengalaman indrawi
subjek, misalnya matanya, berhadapan dengan realitas “pisang”, lensa mata yang
mengandung gelombang sinar terarah kepada realitas pohon “pisang” dan lensa ini
membangun jaringan dengan sistem saraf sentral di otak, kemudian realitas pisang itu
terproyeksi ke dalam keseluruhan tanggapan indrawi si subjek yang pada gilirannya
membentuk kesan-kesan dan gambaran tentang realitas “pisang”. Hasil kerja tanggapan
optik dan hasil berfungsinya seluruh sistem saraf dan kerja organ tubuh ketika berhadapan
dengan realitas pisang pada akhirnya membentuk gambaran tentang “pisang”. Dengan
demikian pengetahuan objektif tentang pisang adalah realitas pisang yang sudah masuk
dalam proses tanggapan subjek dan bukannya realitas pisang itu sendiri.
Pengaruh terhadap pemberian arti yang keliru terhadap objek, atau objektivisme
dalam terminologi di atas, dapat kita simak dari filsafat empirisme David Hume (1711-
1776). Hume berpendapat bahwa isi kesadaran itu bersumber pada apa yang disebutnya
“kesan-kesan dan ide-ide” (cf. Harry Hamersma: Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern dan
Emerich Coreth, p.70 dst.). Kesan-kesan adalah hasil rekaman pengalaman indrawi yang
langsung ketika subjek menanggapi sebuah objek yang dilihat, dipegang atau diraba atau
dirasa secara langsung. Ide-ide bukanlah hasil dari satu pengertian yang diolah oleh akal
budi, tetapi gambaran lebih lanjut yang berasal dari pengenalan indrawi. Gambaran ini
sebetulnya diciptakan kembali oleh karena ingatan (kumpulan kesan) si subjek dan
kemampuan kesadaran untuk menciptakan gambaran. Kesadaran sendiri adalah deretan
kontinu dari kesan-kesan. Kemampuan untuk menciptakan gambaran terealisir dalam
pembentukan kombinasi dan asosiasi. Kombinasi merupakan gambaran tentang satu objek,
gambaran yang tersusun dari kumpulan ide-ide, sedangkan asosiasi merupakan gambaran-
gambaran yang dimunculkan oleh karena adanya gambaran-gambaran lain. Pertanyaan kita
ialah bahwa apakah objek dalam arti realnya dapat dirumuskan seobjektif mungkin?
Lawan dari objektivisme adalah subjektivisme. Subjektivisme merupakan satu
proses pemahaman dan penafsiran bahwa realitas objek yang ditanggapi bukanlah objek
dalam arti sesungguhnya, tapi semata-mata gambaran subjek tentang objek. Gambaran
77
tentang objek ini hanyalah peristiwa psikis di dalam diri subjek, peristiwa psikis yang
membangun satu realitas objek yang mirip dengan realitas objek sebagaimana adanya.
Dengan demikian objek yang benar sama sekali berbeda dengan objek yang ditanggapi
subjek. Ada dua argumentasi subjektif yang membenarkan atau mempertegas pendirian itn.
Pertama, objek yang ditanggapi subjek sesungguhnya terjebak di dalam penipuan indrawi
(kamuflase pengalaman indrawi), dan dari itu disimpulkan bahwa sudah ada pembauran
antara gambaran yang dihasilkan oleh pengalaman indrawi tentang objek itu dan objek yang
digambarkan dalam refleksi budi. Hal inilah yang membuat kita ragu-ragu untuk
memperlihatkan apa objek itu dalam realitas sesungguhnya. Idealnya bahwa kita coba
menghilangkan balutan-balutan atau penipuan indrawi untuk mencapai realitas objek
sesungguhnya. Tapi apakah hal ini mungkin? Kedua, ketika objek itu ditanggapi oleh
subjek, ketika itu pula objek itu bergantung kepada cara-cara bagaimana organ-organ
indrawi kita menanggapinya. Organ-organ indrawi kita sudah secara physis-biologis
teroganisir dan terkonsolidir untuk memberi respons terhadap objek yang ditanggapi itu.
Dengan cara ini, kita perlu membedakan cara-cara penampilan realitas objektif dalam
organ-organ indrawi kita dari cara-cara realitas objektif yang dijamin dalam organ-organ
indrawi kita. Dengan kata lain, ada beda antara cara organ-organ indrawi dalam menangkap
realitas objektif dan cara-cara realitas objektif untuk terserap dalam organ-organ indrawi.
Dua argumen ini memang tajam, tetapi bisa menghantar orang untuk bersikap skeptis
bahwa apa ada realitas objek sesungguhnya atau apa ada realitas objek in sich.
Untuk menjembatani objektivisme dan subjektivisme, kita merujuk kepada satu
fenomen kesadaran yang mampu membuat refleksi tentang hubungan antara objek yang
ditanggapi dengan subjek yang menanggapi. Objek yang ditanggapi dan subjek yang
ditanggapi harus dipahami sebagai yang identik. Kesatuan identitas antara kedua dalam
refleksi kesadaran bisa membawa kesimpulan bahwa objek yang ditanggapi dan subjek
yang menanggapi adalah identik. Hal ini dijelaskan demikian, bahwa kesadaran sendiri
besifat immanen dan transenden. Kesadaran bersifat imanen, ketika kesadaran itu yang
dilengkapi dengan organ-organ indrawi melekat dan terikat pada objek yang berhadapan
78
dengannya. Ketika itu, kesadaran memberi tempat atau membiarkan diri diisi oleh objek
yang ditanggapi. Ia menjadi satu dengan objek yang ditanggapi. Tetapi ketika dia immanen
di dalam objek, ketika itu pula kesadaran membebaskan diri dari keterikatannya dengan
objek yang ditanggapi. Inilah sifat transendennya, yaitu bahwa kesadaran mampu untuk
keluar dari kurungan objek yang ditanggapi; ia mentransendir objek yang ditanggapi itu.
3.1.2. Dimensi-dimensi kesadaran.
Beberapa fenomen kesadaran yang disebut sebelumnya perlu dilengkapi lagi dengan
menyebutkan beberapa dimensi kesadaran. Dimensi-dimensi ini adalah spontanitas dan
rezeptivitas dalam kesadaran; kesadaran teoretis dan kesadaran praktis; jenjang-jenjang
kesadaran; kesadaran diri dan kesadaran terhadap yang lain. Kita coba menjelaskan
dimensi-dimensi itu pada bagian berikutnya.
Spontanitas dan rezeptivitas dalam kesadaran.
Proses tanggapan terhadap objek dan pengetahuan tentang objek itu berjalan
bersamaan. Pengetahuan tentang objek itu tidak mungkin ada bila tidak ada tanggapan,
begitu juga tanggapan hanya bisa dipahami melalui pemahaman dan pengenalan terhadap
objek. Proses tanggapan dan pengenalan dilukiskan sebagai satu proses kesadaran untuk
menerobos masuk ke dalam realitas objek yang sesungguhnya. Realitas objek sebagaimana
adanya tampil atau masuk ke dalam daya tanggap dan pengenalan si subjek. Di dalam
proses ini terjadilah apa yang disebut “rezeptivitas” (passivitas) dan “spontanitas”
(aktivitas).
Rezeptivitas adalah proses penerimaan kesadaran terhadap realitas objek yang
berhadapan dengan subjek. Proses ini lebih menonjolkan keadaan pasif dari kesadaran,
karena sebelum subjek mengenal objek, objek itu sudah mengimbas kesadaran melalui
satu bentuk tertentu. Rezeptivitas menunjuk kepada kesadaran yang terkena imbas secara
tidak terelakkan (pasif) oleh objek. Ketika kesadaran terkena imbas oleh objek, pada
waktu yang sama secara spontan kesadaran menjadi aktif untuk membuat penentuan,
menetapkan pembedaan dan memberi arti terhadap objek yang ditanggapi. Dalam proses
79
selanjutnya objek akhirnya menjadi pusat perhatian kesadaran, dan untuk selanjutnya objek
itu diolah dan direfleksikan oleh kesadaran. Kegiatan kesadaran inilah yang disebut
“spontanitas”. Pengertian tentang kebenaran dan kepalsuan atau tentang keadekuatan dan
ketidakadekuatan terletak di dalam usaha kedua kemampuan itu, yaitu rezeptivitas dan
spontanitas, untuk mereproduksikan dan merekonstruksikan realitas objek di dalanl
kesadaran sesuai atau tidak sesuai dengan realitas objek sebagairnana adanya.
Untuk menjelaskan rezeptivitas dan spontanitas dalam kesadaran, kita boleh
merujuk kepada filsafat pengetahuan Immanuel Kant dalam karya Kant “Kritik Budi
Murni” (Kritik der reinen Vernunft, singkatannya “KrV”). Kant dalam uraian filsafiah
tentang ajaran-ajaran pokok transendental yang dituangkan dalam tema “estetika
transendental dan logik transendental” berpendapat bahwa pengenalan manusia terhadah
sesuatu memiliki tiga kemampuan utama: pertama, kemampuan rezeptivitas atau
keindrawian; kedua, kemampuan spontanitas atau daya nalar; ketiga, kemampuan akal budi
murni. Rezeptivitas adalah kemampuan subjek untuk menerima gambaran dengan cara
bagaimana si subjek terimbas oleh objek-objek. Objek-objek yang mengimbasi subjek
terjadi melalui pandangan atau penglihatan subjek, dan ketika subjek memandang objek,
pada saat yang sama secara serempak kemampuan kedua, yaitu daya nalar, menciptakan
“pengertian”. Ada satu kesatuan fungsional yang harus ada antara daya rezeptivitas dan
daya nalar. Kemampuan rezeptivitas didasarkan pada satu persyaratan a priori yang muncul
dalam bentuk murni, yaitu ruang dan waktu, sedangkan kemampuan spontanitas didasarkan
pada budi murni yang menghantar manusia dalam refleksi lebih lanjut untuk membuat
kesimpulan-kesimpulan. Kemampuan ketiga sebetulnya kemampuan budi untuk membuat
kesimpulan. Memang ada ulasan panjang lebar dari Kant tentang hubungan antar,
rezeptivitas, spontanitas dan daya akal budi untuk membuat kesimpulan, tetapi untuk pokok
kita di sini, dimensi kesadaran subjek itu memuat daya rezeptivitas melalui pengalaman
indrawi, daya spontanitas dan daya penyimpulan melalui pengenalan budi. Heideggcr
kemudian menjabarkan pengertian subjek menurut Kant ke dalam tiga karakter: aku
80
mengalami (merasa); aku berpikir; aku bermoral (Cf. Heidegger, Martin: Die
Grundprobleme der Phänomenologie, p.172-219.)
Kemampuan rezeptivitas dan spontanitas dapat dipahami dalam proses kegiatan
“tanya-jawab”. Bila kita bertanya tentang sesuatu hal, maka pertanyaan kita sendiri sudah
mengandaikan adanya bahan atau objek atau sesuatu hal yang ingin diketahui. Pertanyaan
sendiri mendapat arah tertentu, dan ke arah itu, sebuah jawaban diharapkan. Jawaban-
jawaban terhadap pertanyaan itu berupa kemungkinan-kemungkinan atau hipotese-hipotese.
Ada hipotese-hipotese yang kebenarannya teruji dalam jawaban-jawaban pasti, tetapi ada
hipotese-hipotese yang tetap tinggal sebagai kemungkinan yang tidak terealisir. Yang
pertama lebih menyangkut hipotese yang dapat ditarik dari pengalaman-pengalaman
konkret, sedangkan yang kedua lebih menyangkut hipotese yang melekat pada objek sendiri
yang sebagiannya tak dapat terjangkau oleh subjek; dengan kata lain, dalam hipotese jenis
kedua tinggal curna pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab oleh si subjek. Pertanyaan
lebih menunjukkan kemampuan rezeptivitas subjek, karena objek terimbas pada subjek dan
memukau subjek untuk ingin tahu tentang objek, sedangkan jawaban lebih menunjukkan
kemampuan spontanitas subjek, karena objek yang terimbas pada subjek mau dipahami dan
dijelaskan. Proses tanya jawab ini secara ontologis tetap berjalan sejauh subjek ada dan
bergiat.
Kesadaran Teoretis dan Kesadaran Praktis.
Kesadaran teoretis dan kesadaran praktis termasuk juga dalam dimensi-dimensi
yang berasal dari kesadaran sendiri. Kesadaran teoretis lebih berhubungan dengan
pengetahuan dan pengenalan, sedangkan kesadaran praktis lebih berkaitan dengan baik-
buruknya sesuatu untuk subjek. Kesadaran teoretis berasal dari kegiatan subjek untuk
memperoleh pengetahuan dan pengenalan akan sesuatu. Dasar dari pengetahuan dan
pengenalan ini menurut Aristoteles adalah tanggapan indrawi, terutama pengalaman yang
dihasilkan oleh kegiatan “melihat dan mendengar”. Pengetahuan dan pengenalan termuat di
dalam tanggapan indrawi, terutama ketika si subjek memandang atau mendengar sesuatu.
Kesadaran teoretis yang berpusat pada kegiatan subjek untuk tahu tentang sesuatu tidak
81
selamanya berorientasi pada kegunaan dan tujuan dari pengetahuan itu. Kegiatan untuk
mengetahui dan mengenal objek berjalan otonom, dalam arti bahwa proses pencaharian
pengetahuan dan pencapaian pengetahuan yang benar tidak bergantung pada apakah
pengetahuan itu punya manfaat atau tidak. Proses ini lebih tertuju kepada usaha untuk
mengenal dan mengatahui “mengapa” (alasan, dasar, sebab) sesuatu terjadi dan dialami.
Kesadaran teoretis merupakan kegiatan kesadaran untuk mengetahui dan mengenal hakikat
sesuatu, dengan kata lain untuk mengetahui dan mengenal “apa itu sesuatu di dalam
dirinya”.
Di samping kesadaran teoretis terdapat pula kesadaran praktis. Kesadaran praktis
berorientasi pada usaha untuk mengalami apakah sesuatu itu baik atau buruk untuk saya,
berkenan atau tidak berkenan untuk saya. Kesadaran praktis tidak mempersoalkan apakah
sesuatu ada sebagaimana adanya. Dalam kesadaran semacam ini muncullah kemungkinan-
kemungkinan dan kewajiban-kewajiban untuk mempertanyakan apakah sesuatu itu berguna
dan bermanfaat untuk saya. Si subjek ketika berhadapan dengan objek tidak berdiri sebagai
penonton saja, tetapi terlibat di dalam objek, malah mengalami objek sebagai satu
kesempatan, ancaman, tawaran atau juga sebagai satu situasi yang berbahaya. Si subjek
menjadi sadar akan tertimpanya objek ke atas dirinya. Kualitas sesuatu yang disadari tidak
terletak di dalam realitas objek sebagaimana adanya, tetapi di dalam baik-buruknya atau
berkenan tidaknya objek itu untuk diri si subjek.
Kesadaran praktis, yang memiliki kutub objektif dan subjektif seperti pada
kesadaran teoretis, bergiat dalam dua cara yang mendasar; dua cara ini dalam situasi konret
meresap satu sama lain. Dua cara itu adalah cara teknis-praktis (pragmatis) dan cara moral-
praktis. Cara teknis-praktis – disebut juga kesadaran teknis-praktis – berhuhungan dengan
teknik “know-how”. Di dalam cara “know-how” ini realitas objek diketahui untuk tujuan
tertentu di masa depan. Pengetahuan terhadapnya dengan tujuan tertentu itu melibatkan alat
untuk mencapai tujuan dan cara-cara untuk merealisir tujuan itu. Dengan demikian, melalui
kesadaran teknis-praktis, si subjek perlu menanggapi situasi, memahami kesanggupan diri
untuk bertindak secara tepat agar tujuannya dapat tercapai sesuai dengan harapan dan
keinginan. Kesadaran teknis-praktis diperluas dan dikembangkan melalui usaha untuk
82
memperoleh pengetahuan dan menerapkan pengetahuan untuk tujuan tertentu. Cara moral-
teknis – disebut juga kesadaran moral-teknis – berhubungan dengan penilaian terhadap
tujuan perbuatan yang hendak dicapai. Kesadaran semacam ini mengambil bentuk dasar
dalam apa yang disebut “suara hati”; suara hati berfungsi untuk menawarkan, mengundang,
memerintahkan dan melarang subjek bertindak.
Baik kesadaran teknis-praktis maupun kesadaran moral-praktis dapat
mengungkapkan diri dalam kalimat-kalimat atau pernyataan-pernyataan yang menurut
strukturnya tidak memperlihatkan perbedaannya dengan kalimat-kalimat atau pernyataan-
pernyataan teoretisnya. Hal ini tidak berarti bahwa orang mengabaikan adanya perbedaan
antara kalimat-kalimat teoretis dan kalimat-kalimat praktis. Kalimat-kalimat teoretis lebih
mengungkapkan pengetahuan dan pemahaman teoretis, sedangkan kalimat-kalimat praktis
lebih menonjolkan pengetahuan dan pemahaman akan hal-hal praktis. Bisa saja terjadi
bahwa seorang yang mempunyai pengetahuan intelektual yang tinggi tentang hal-hal
tertentu secara teoretis, tidak mampu bergaul secara luwes dengan orang-orang sekitar atau
tidak mampu mengerti hal-hal praktis seperti memperbaiki mobil yang rusak. Seorang yang
ahli di bidang biologi dan obat-obatan secara teoretis, tetapi tidak pandai untuk membuat
operasi atau menyembuhkan orang sakit. Contoh-contoh yang disebut di atas mau
menunjukkan kepada kita bahwa ada orang yang trampil dalam bidang kesadaran teknis-
praktis, tetapi belum tentu maju di bidang kesadaran teoretis, atau juga berkembang di
bidang kesadaran moral-teknis. Karena itu penting sekali adanya pendidikan kesadaran
dalam dimensi-dimensi itu menuju pembentukan satu budaya kesadaran yang bersifat
seimbang antara kesadaran teoretis dan kesadaran praktis-teknis dan kesadaran praktis-
moral.
Jenjang-jenjang penyadaran.
Pada bagian sebelumnya, kita sudah membicarakan soal struktur kesadaran.
Psikoanalisa, khususnya psikologi Jung dan Freud, menemukan satu struktur dasar untuk
psike atau jiwa manusia, yaitu psike tak-sadar dan psike yang sadar. Kesadaran manusia
83
menurut mereka berakar pada psike tak-sadar. Baik psike tak-sadar maupun psike yang
sadar (kesadaran) memang merupakan dimensi rohaniah kesadaran manusia dan memberi
satu dimensi esensial pada realitas manusia sebagai satu realitas “ada”. Dimensi ini disebut
saja sebagai “aku sebagai subjek yang sadar”.
Dalam pokok ini, kita menyoroti kegiatan kesadaran dalam arti sempit, yaitu terbatas pada
proses kegiatan psike yang sadar. Kegiatan yang paling sentral dari kesadaran dalam level
ini adalah kegiatan “mengerti” dan kegiatan “menghendaki”. Dalam ungkapan sederhana,
soal mengerti adalah soal “tahu dan paham”, sedangkan soal “menghendaki” adalah soal
“mau”. Mengerti dan menghendaki meliputi semua unsur yang terdapat dalam diri subjek:
unsur badaniah, otak, pencernaan, naluri, nafsu-nafsu, afektivitas, ingatan, imaginasi, akal
budi, ide, cinta, bahasa dsb. Semua aspek ini memiliki satu inti, suatu cakrawala atau satu
struktur pokok yang menempatkan semuanya ke dalam satu perspektif. Dalam refleksi
filosofis, coba diselidiki apa yang menjadi struktur dasar pengertian dan struktur dasar
kehendak. Mana saja unsur-unsur yang mewujudkan kegiatan pengertian secara hakiki dan
mana saja unsur-unsur yang mewujudkan kegiatan kehendak secara hakiki, terutama bila
kegiatan keduanya bersentuhan dengan soal pengertian yang benar dan yang salah atau juga
kehendak yang baik dan kehendak yang jahat. Di dalam epistemologi (filsafat pengetahuan)
direfleksikan unsur normatif yang menjadi pemberi arah untuk kegiatan pengertian dan di
dalam filsafat moral direfleksikan unsur normatif yang menjadi pemberi arah untuk
kegiatan kehendak.
Pengertian dan penghendakan itu merupakan inti sari dari kegiatan kesadaran.
Karena kegiatan keduanya melibatkan semua unsur dalam diri subjek, maka prosesnya
berjalan secara berjenjang sesuai dengan empat taraf dalam perkembangan subjek, mulai
dari kesadaran yang samar-samar menuju kepada taraf kesadaran yang paling cerah. Empat
taraf itu adalah taraf anorganis atau fisiko-kemis; taraf biotos atau vegetatif; taraf psikis
atau sensitif; taraf formal-manusiawi kesadaran (Antropologi Metafisik, Anton Baker, p.
188-200). Pada taraf anorganis atau fisiko-kemis, kegiatan-kegiatan dalam diri subjek
mengikuti garis-garis aksi-reaksi fisiko kemis. Proses ini meliputi dunia atom-atom, kerja
84
molekul-molekul seperti proses fisiko-kemis dalam mata, telinga, otak dan kelenjar-
kelenjar yang dimiliki si subjek. Pada taraf biotos atau vegetatif, kegiatan-kegiatan berjalan
seperti kegiatan dalam dunia tumbuh-tumbuhan. Proses kegiatannya berpusat pada aksi-
reaksi pada bidang sel-sel yang membawa hidup, jaringan dan organ tubuh, seperti
peredaran darah, urat syaraf, pernafasan, lebih-lebih reaksi-reaksi biotis dalam panca indra
ketika berhadapan dengan dunia di luar dirinya. Dalam taraf psikis atau sensitif, kegiatan-
kegiatan berpusat pada aksi-reaksi naluri, persepsi dan nafsu-nafsu seperti yang ditemukan
pada binatang. Kegiatan kesadaran terjadi dalam proses instinktif dan emosional yang
sudah berdiri melampaui reaksi-reaksi panca indra. Daya hidup sensitivitas digiatkan.
Dalam taraf formal-manusiawi kesadaran, kegiatan-kegiatan terarah kepada refleksi dan
penghendakan. Refleksi lebih merupakan kegiatan, “cipta”, yaitu kegiatan pemahaman.
Pikiran, akal, budi, intelek tidak boleh dipisahkan dari kegiatan pemahaman. Penghendakan
lebih merupakan kegiatan “karsa”, yaitu kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan
keutamaan-keutamaan seperti cinta, kebaikan, kelembutan hati, kesetiaan dsb. dan yang
dapat menghasilkan kejahatan-kejahatan seperti benci, iri hati, ketakutan, cemburu dsb.
Kegiatan dalam taraf keempat inilah yang menjadi kekhasan manusia.
Keempat taraf itu dalam proses kegiatan kesadaran tidak berjalan secara terpisah,
tetapi berjalan dalam satu kesatuan. Kegiatan dalam taraf yang paling rendah, yaitu
kegiatan anorganis atau fisiko-kernis melibatkan juga kegiatan dalam taraf tertinggi, yaitu
kegiatan formal-manusiawi kesadaran; begitu juga kegiatan kesadaran dalam taraf tertinggi
mengikutsertakan juga kegiatan dalam taraf yang lebih rendah. Meskipun demikian, setiap
kegiatan kesadaran yang dilakukan oleh subjek yang sadar menonjolkan satu kegiatan yang
dominan dalam taraf tertentu. Keempat taraf itu dalam proses kesadaran manusia
merupakan bagian yang integral dari realitas manusia sebagai satu subjek yang sadar.
Fungsi-fungsi dari masing-masing bidang dari taraf yang paling rendah sampai yang paling
tinggi dapat dikatakan sebagai fungsi yang saling berintegrasi. Bila melihat seorang yang
sedang senyum, maka kegiatan kesadarannya melibatkan seluruh kontraksi otot dan bentuk
muka yang membentuk satu senyuman dan sekaligus juga memantulkan perasaan dan
85
kesadaran dalam taraf yang tertinggi. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa kegiatan
kesadaran subjek memuat hubungan yang intrinsik antara taraf-taraf itu, dalam arti bahwa
taraf yang paling tinggi hanya dapat berfungsi semaksimal dan seoptimal karena dia berakar
dalam taraf yang paling rendah, dan taraf yang paling rendah hanya dapat berfungsi
semaksimal dan seoptimal karena dia diresapi dan dijiwai oleh taraf yang paling tinggi.
Mana dari keempat taraf itu dianggap paling penting? Itu bergantung pada sudut pandangan
si subjek yang sadar. Taraf yang paling rendah dapat saja dipandang sebagai yang paling
penting, karena dia merupakan landasan untuk kegiatan pengertian dan kehendak. “Tetapi
juga taraf yang paling tinggi dapat saja dipandang sebagai yang paling penting karena dia
menjiwai dan mewarnai segala taraf yang lain dan memberi ciri manusiawi kepada semua
taraf yang lain.
Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain.
Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain mengandaikan adanya subjek-
subjek yang sadar. Kesadaran dari diri yang lain sebetulnya bentuk kesadaran diri dalam
arti tertentu, yaitu ketika subjek yang lain memandang dirinya dalam relasinya dengan
subjek di luar dirinya. Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain hanya terwujud
dalam satu relasi dan komunikasi antar kesadaran, dan relasi dan komunikasi ini
dimungkinkan oleh intensionalitas kesadaran itu sendiri. Kesadaran sendiri bersifat terbuka
dan terarah, dan dalam disposisi yang demikian kegiatannya dapat mentransendir diri untuk
keluar dari dirinya dan membangun komunikasi dengan subjek lain di luarnya. Dalam
relasi dan komunikasi antar subjek, kegiatan keempat taraf dalam subjek berjalan secara
menyatu.
Pengertian dan penghendakan yang merupakan inti dari kegiatan kesadaran
berfungsi secara khas dalam relasi dan komunikasi antar subjek itu. Pengertian lebih
terarah kepada kegiatan untuk memahami yang lain, sedangkan penghendakan lebih terarah
kepada kegiatan untuk menghargai yang lain. Dengan kata yang lain, kegiatan pengertian
dan penghendakan dalam relasi dan komunikasi dengan yang lain berpusat pada kegiatan
untuk “mengakui dan menerima yang lain”. Ketika aku menyadari diriku, ketika itu pula
86
aku mengakui dan menerima subjek yang lain. Mengerti dan menerima diriku berarti
mengerti dan menerima diri yang lain. Karakter-karakter khas yang mernberi warna pada
relasi seperti ini dapat ditemui dalam satu relasi dan dalam satu komunikasi yang bersifat
timbal-balik, bersifat saling memuat dan saling mengkonstitusikan diri dalam relasi subjek-
objek, bersifat universal dan singular, bersifat bersatu dalam perbedaan dan perhedaan
dalam persatuan.
Komunikasi yang bersifat timbal-balik berarti bahwa subjek yang satu dan subjek
yang lain berdiri sejajar sebagai partner yang saling memberi response terhadap satu sama
lain. Yang satu bertindak sebagai agen yang aktif dan yang lain berlaku sebagai penerima
yang pasif, tetapi pada gilirannya yang satu berlaku sebagai penerima yang pasif dan yang
lain bertindak sebagai agen yang aktif. Hubungan timbal-balik mencerminkan huhungan
yang saling mengakui dan saling menerima. Hubungan ini dikarenakan oleh kesadaran
masing-masing yang memiliki sifat intensional, imanen-transenden, reseptif dan spontan,
aktif dan pasif.
Komunikasi yang bersifat saling memuat dan saling mengkonstitusikan diri dalam
relasi subjek-objek berarti bahwa subjek yang lain diakui dan diterima sebagai realitas
objek yang lain sama sekali dengan seluruh arti dan harga dirinya ketika berhadapan
dengan aku sebagai subjek, dan pada gilirannya otonomitas yang lain dengan seluruh
realitas dirinya hanya dapat saya akui dan terima ketika saya terlibat secara aktif
menangkap, mengerti dan menghargai subjek yang lain dan ketika itu pula subjek yang lain
mengakui dan menerima diri saya sebagai realitas objek yang lain dari padanya. Dalam
komunikasi ini, aku sebagai subjek mengkonstitusikan keberadaan yang lain sebagai
subjek, dan dalam hubungan subjek dengan subjek, karakter hubungan subjek-objek
saling termuat: aku menerima yang lain sebagai realitas objek sebagaimana adanya dan
begitu pula dia sebagai subjek yang lain menerima saya sebagai realitas objek sebagaimana
adanya saya.
Komunikasi yang bersifat universal dan singular berarti bahwa subjek-subjek yang
membangun relasi dan komunikasi tetap memiliki karakter universal dan singular. Dalam
87
komunikasi singularitas setiap subjek tetap ada; keunikannya diakui dan bertahan. Begitu
pula dalam relasi itu, ketermasukan si subjek dalam keseluruhan kemanusiaan diterima dan
dipertahankan. Ketika subjek mengakui dan menerima subjek yang lain, ketika itu pula
subjek mengakui dan menerima keunikan masing-masing dan serentak pula menerima dan
mengakui ketermasukan masing-masing subjek dalam keseluruhan realitas kemanusiaan.
Komunikasi yang bersifat bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan
berarti bahwa komunikasi yang dibangun antar subjek mencerminkan kesatuan antara
mereka dengan tidak menghilangkan perbedaan antara mereka. Perbedaan lebih
menekankan otonomitas, kemandirian, jati diri yang unik, sedangkan kesatuan lebih
menonjolkan saling ketermuatan antara subjek dengan objek atau kesatuan dalam identitas.
Saling mengakui dan menerima antar subjek berarti saling mengintegrasikan diri ke dalam
satu kesatuan yang lebih penuh dengan tidak melenyapkan jati diri yang unik dari masing-
masing.
Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain dipahami dalam relasi dan
komunikasi antara subjek, relasi dan komunikasi antar pribadi. Pengembangan dan
pemenuhan relasi seperti ini dapat menghantar kepada pemahaman tentang komunikasi
subjek-subjek konkret kepada subjek transendental yang memiliki juga satu kesadaran
imanen-transenden, dan dalam bahasa religius subjek transendental itu dikenakan kepada
realitas ilahi.
3.1.3 Pengandaian ontologis kesadaran.
Di dalam kesadaran realitas “ada” (das Sein atau Being) menjadi sadar sendiri.
Realitas “ada” sendiri menjadi sumber kesadaran. Realitas “ada” menjadi sadar, aktif dan
bergiat. Heidegeer mencirikan realitas “ada” itu sebagai “yang menampakkan diri” dan
sekaligus “yang menyembunyikan diri”. Ia hadir tetapi juga tersembunyi. Baru di dalam
eksistensi manusia, realitas “ada” menjadi hadir dan menampakkan diri. Tugas filsafat
adalah untuk menemukan secara konkret makna realitas “ada” dan membiarkan realitas
“ada” berbicara, karena realitas “ada” ini merupakan satu kebenaran.
88
Kesadaran termasuk dalam realitas “ada”. Tetapi dia tidak identik dengan realitas,
“ada”, karena manusia sebagai subjek yang sadar cuma modus dari “yang ada” dan disebut
sebagai “Das Dasein”, yang berarti bahwa realitas “ada” hadir di sana, di dalam dunia.
Manusia adalah realitas “ada” yang sedang hadir di sana di dalam dunia dan mampu untuk
sadar akan realitas adanya (eksistensi) dan bertanya tentang makna realitas adanya sebagai
manusia. Justru inilah letak pengandaian ontologis kesadaran, yaitu bahwa kesadaran hanya
ada karena berasal dari realitas “ada”. Kesadaran bersama dengan segala macam kegiatan
dan tingkatan kesadaran merupakan eksplisitasi yang nyata dari realitas “ada”. Kesadaran
subjek memiliki kemampuan untuk menempatkan seluruh subjek ke bawah realitas “ada”.
Dia berada di dalam lingkungan realitas “ada”.
Pertanyaan pokok ialah bahwa bagaimana si subjek berada dalam lingkungan
realitas “ada” seperti itu supaya jati diri kesadaran dengan segala macam kegiatan dan
tingkatannya dapat terealisir di dalam lingkungan realitas “ada” itu? Jawabannya ialah
bahwa harus ada satu prinsip yang secara hakiki melandasi subjek untuk termasuk ke dalam
lingkungan realitas “ada”; atau untuk menjadikan realitas “ada” sebagai milik subjek.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa realitas ada berkarakter ganda, yaitu
menampakkan diri dan serempak menyembunyikan diri. Tugas si subjek adalah untuk
mengusahakan agar realitas ada menjadi semakin tampak dalam diri subjek dan serempak
pula untuk mempertahankan agar realitas ada tetap tersembunyi. Kenyataannya bahwa si
subjek selalu berada dalam satu perspektif yang terbatas baik dalam kegiatan kesadaran
teoritis menyangkut pengetahuan dan pengenalan maupun dalam kegiatan kesadaran praktis
menyangkut etika dan keyakinan. Tetapi karena setiap subjek adalah satu hakikat yang
mempunyai kemampuan untuk menempatkan diri ke dalam realitas “ada”, maka dia juga
mempunyai kemampuan untuk menembus masuk melihat realitas “ada” melalui perspektif
yang terbatas itu, bahkan melalui perspektif-perspektif yang dangkal dan tak berarti
sekalipun. Dalam proses untuk melihat secara lebih mendalam realitas “ada” melalui
perspektif keberadaan manusia, manusia sebagai subjek justru berusaha selalu untuk
memberi makna terhadap realitas “ada”.
89
3.2. Kebebasan kehendak.
3.2.1. Isi ungkapan “kebebasan kehendak”.
Ada begitu banyak diskusi tentang ada tidaknya kebebasan. Orang sering
mencampuradukkan pengertian kebebasan dengan kehendak bebas (kebebasan kehendak)
Pada mulanya kata “bebas” mengandung arti sosial. Kata sifat “bebas” dan kata benda
“kebebasan” menunjuk kepada status atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. Kata itu
dikenakan untuk kelompok bangsawan dan tuan-tuan penguasa dalam masyarakat. Mereka
adalah kelompok elit masyarakat. Mereka bertindak bebas, dalam arti bahwa mereka
bertindak sesuai dengan apa yang mereka inginkan, sernentara rakyat biasa, khususnya para
budak, “harus” bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan atasan atau majikannya. Dari
sana terciptalah pengertian kebebasan sebagai “menjadi tuan atas diri sendiri dengan
mengikuti hukumnya sendiri”.
a. Pengertian yang berbeda tentang kebebasan.
Kata “kebebasan” menandakan adanya kuasa subjek untuk bertindak. Dalam
pengertian ini kebebasan memiliki tiga arti yang dapat kita bedakan. Pertama kebebasan
berarti bertindak menurut kemauan dan kehendak sendiri, dengan kata lain bisa bertindak
sesuka hati. Bila kita berkata kepada seseorang: “Anda bebas menaruh sepeda anda di
tempat ini”, itu berarti bahwa dia boleh bertindak menurut apa yang dia kehendaki untuk
menempatkan sepedanya di tempat ini. Dia mempunyai hak untuk bertindak. Tidak ada satu
hukum moralis atau satu ketentuan yuristis yang membatasi perbuatannya. Kebebasan pers,
kebebasan beragama, kebebasan berkoalisi, kebebasan berorganisasi dsb. termasuk dalam
bidang ini.
Kedua, kebebasan berarti kebebasan bertindak. Orang yang bebas tidak merasa
terhalang untuk melakukan apa yang sudah menjadi tekadnya untuk dilakukan. Paksaan
lahiriah dan paksaan batiniah tidak lagi dialami oleh orang yang bersangkutan. Kebebasan
merupakan satu pelepasan dari tekanan lahiriah atau juga dari tekanan batiniah, atau juga
dari tekanan yang bersifat legal seperti penjara atau juga tekanan yang bersifat ilegal seperti
90
korban perang pada rakyat sipil. Dalam arti ini untuk orang yang meringkuk dalam penjara
atau untuk orang yang ditangkap dalam perang dsb. kebebasan dialami sebagai tindakan
pelepasan tekanan itu. Dengan tindakan pelepasan tekanan itu, orang yang bersangkutan
menjadi orang yang bebas.
Ketiga, kebebasan berarti kehendak atau kemauan. Kehendak perlu kita bedakan
dari keharusan dan keinginan. Keharusan tampil dalam dua bentuk, yaitu keharusan yang
bersyarat dan keharusan yang tak bersyarat. Keharusan bersyarat secara relatif dapat
dihadapkan dengan kemauan. Contoh: Saya harus membayar pajak. Jika saya tidak
membayar pajak, maka saya akan dikena denda karena saya tidak mempunyai andil untuk
membangun kesejahteraan bersama. Keharusan di sini tidak berasal dari kehendakku, tetapi
dari satu kerugian yang bakal menimpa saya jika saya tidak membayar pajak. Keharusan
tak bersyarat selalu dipertentangkan dengan kehendak. Contoh: Saya harus mengendarai
mobil di sebelah kiri di Indonesia. Keharusan yang demikian berada di luar lingkungan
kekuasaan kehendak saya. Tidak ada jalan lain selain harus bertindak demikian. Keinginan
berbeda dari kehendak. Keinginan merupakan tahap pendahulu menuju kehendak.
Keinginan bermain dengan kemungkinan-kemungkinan untuk berusaha mencapai sesuatu
atau untuk mengusahakan sesuatu yang dapat dicapai. Bila sesuatu itu berkenan untuk saya,
saya ingin memperolehnya, dan sesuatu yang ingin diperoleh itu belum tentu sesuatu yang
dapat dicapai dalam realitas hidup. Keinginan memang tidak sama dengan kehendak, tetapi
kehendak adalah sesuatu yang lebih dari pada keinginan semata, meskipun dalam bahasa
sehari-hari, kehendak dan keinginan disamakan. Kehendak selalu berhubungan dengan
perbuatan yang punya arti untuk subjek entah langsung atau tidak langsung, dan kehendak
itu tampaknya menuntun perbuatan saya. Kehendak yang asli selalu mengarah kepada
perbuatan sejauh kehendak itu sama sekali tidak terkena paksaan.
Dengan demikian, kehendak pada tingkat tertentu mempunyai sisi ganda. Di satu
pihak, kehendak merupakan sikap keberpalinganku yang aktif ke arah satu nilai atau
sebaliknya, sikap keberpalinganku yang aktif untuk menjauhi satu nilai. Di dalam
keterbukaanku yang terarah ke nilai yang merebut perhatianku justru terciptalah keputusan
91
yang merupakan perbuatan kehendak itu sendiri. Di pihak lain, kehendak merupakan
gerakan otomatis tubuh yang mengungkapkan atau menyalurkan satu keputusan, misalnya
mengacungkan tangan ke atas untuk mengungkapkan kehendak untuk mulai berbicara, dsb.
Kehendak ini bukanlah satu perbuatan, tetapi berhubungan dengan tindakan atau perbuatan.
Atas cara ini, sava tidak lagi mempunyai sikap kesediaan yang diantarai oleh kehendak,
karena sikap kesediaan ini tidak menghantar saya kepada perbuatan. Kehendak adalah satu
modifikasi langsung dari cara saya berada baik secara aktif maupun secara pasif; dia tidak
pernah merupakan satu tindakan aktif yang langsung, tetapi cuma alat bantuan, sama seperti
kedudukannya dalam kalimat hanya sebagai kata kerja “bantu” (wollen, müssen, können,
sollen).
b. Kebebasan Kehendak.
Apa yang dimaksudkan dengan kebebasan kehendak? Kebebasan kehendak adalah
satu kemampuan prinsipiil dalam diri manusia untuk mengambil keputusan sendiri atau
menentukan sikap tertentu, dan kemampuan ini keluar dari kesadaran bebas atau
persetujuan bebas yang mengarah semata-mata kepada kebaikan. Kebebasan kehendak
sering diartikan sebagai pilihan bebas (kebebasan untuk memilih), kebabasan untuk
bersikap sewenang-wenang, putusan bebas, atau juga kebebasan psikologis dsb. Tidak ada
keseragaman terminologi dalam bidang filsafat.