filsafat astabrata: implementasi dalam kepemimpinan...

99

Click here to load reader

Upload: dinhdan

Post on 31-Jan-2018

258 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

i

FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN

SOEHARTO

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:

Syahrul Wilda

NIM:1111033100016

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H. / 2017 M.

Page 2: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

ii

LEMBAR PERSETUJUAN

Page 3: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Page 4: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Page 5: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

v

ABSTRAK

FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN

SOEHARTO

Ajaran Astabrata pada hakikatnya memuat ajaran-ajaran yang baik dan

bijak apabila diterapkan oleh setiap manusia dan pemimpin khususnya.

Berdasarkan data dan analisa penulis, Soeharto sebagai pemimpin yang lama

berkuasa di Indonesia sangat banyak menerapkan ajaran Astabrata dalam

bertindak, hanya sebagian kecil dari ajaran tersebut yang tidak diterapkannya.

Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menganalisa sejauh mana

keterikatan dan penerapan Soeharto dengan budaya Jawa selama memimpin

Indonesia, khususnya ajaran Astabrata yang juga menjadi gagasan utamanya

dalam menjalankan kepemimpinan.

Berdasarkan literatur dan referensi yang penulis dapat, dari delapan watak

Dewa yang ada dalam ajaran Astabrata, yaitu dewa Indra, Yama, Surya, Candra,

Bayu, Kuwera, dan Brama hanya dua yang belum diterapkan oleh Soeharto secara

sempurna, yaitu watak Dewa Indra tentang pemerataan kesejahteraan dan watak

Dewa Surya dalam sifat pemaaf.

Kata Kunci: Dewa, Kepemimpinan, Jawa, Soeharto, Astabrata.

Page 6: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

vi

KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum wr. wb.

Syukur atas nikmat Allah SWT yang terus mengiringi setiap langkah para

hamba-Nya dalam segala proses kehidupan. Karena-Nya penulis diberi

kemudahan selama penyusunan skripsi ini, sehingga dapat menyelesaikannya

dengan baik. Salawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan

pilihan, Nabi Muhammad Saw. Atas selesainya karya ilmiah ini tidak lepas dari

bantuan materil maupun moril dari berbagai pihak. Untuk itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Agus Darmaji, M. Fils., selaku Dosen Pembimbing yang selalu

memberikan arahan, motivasi dan membimbing penulis dengan baik,

hingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.

3. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku Ketua Program Studi Aqidah dan

Filsafat Islam dan Abdul Hakim Wahid, SHI.,MA., selaku Sekretaris

Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.

4. Drs. Nanang Tahqiq, MA., selaku dosen mata kuliah metode penelitian

yang telah mengajarkan pada penulis tentang ketelitian dan ketekunan.

5. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik.

6. Ayahanda Sanusi Saputra dan Ibunda Fatmadewita, kedua orang tua yang

selalu memberikan motivasi, serta doa selama penulis menjalankan

pendidikan di manapun penulis berada, serta adik-adik tercinta, Syahrul

Thaib, Raudhatul Jannah, Zaharatul Jannah, Annisatul Fauziah, Annisatul

Page 7: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

vii

Fitri, dan Muhammad Farhan. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan

rahmat dan kasih sayang kepada mereka.

7. Desy Yeni Verawati, wanita yang begitu terspesial yang telah banyak

membantu dan menemani perjuangan penulis untuk menyelesaikan studi

ini.

8. Sahabat dan uda-uda seperantauan yang berasal dari Minangkabau, Erikh,

Muhammad Hafiz, Muhammad Hanafi, Muhammad Ishaq, Hafiz Satria

Putra.

9. Sanak seperjuangan Gagah Kamek 2011 yan telah memberikan

kebersamaan dan dukungan kepada penulis, Rizan, Firdo, Capaik,

Momon, Zaim, Yolla, Dilla, Rifa, Andam, dll.

10. Seluruh sahabat Aqidah Filsafat 2011, baik yang sudah selesai ataupun

yang belum. Yang belum semoga cepat selesai.

11. Teman-teman seangkatan, al-Fatih dan el-Khansa yang masih tetap

kompak bersama-sama berjuang, Amir, Ghani, Hary, Aji, Ihsan Nita,

Ghina, Yayat, Siti, Nadia, dll.

12. Keluarga Ikatan Alumni Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek

Ciputat, Rasyid, Harry, Oktaviondri, dll yang telah banyak membantu

penulis selama masa studi.

13. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut membantu

dalam perjuangan penulis, terima kasih tak terhingga penulis sampaikan.

Semoga kita dirahmati Allah Swt. Amin.

Page 8: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

viii

Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan wawasan

pengetahuan bagi siapapun yang berkesempatan membacanya.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, 29 Maret 2017

Penulis

Page 9: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii

ABSTRAK .............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 8

D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 8

E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9

F. Metode Penelitian ...................................................................................... 10

G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 12

BAB II FILSAFAT KEPEMIMPINAN ASTABRATA ...................................... 14

A. Pengertian Filsafat Kepemimpinan ............................................................ 14

B. Pengertian Astabrata ..................................................................................... 18

C. Sejarah dan Perkembangan Ajaran Astabrata .............................................. 19

D. Konsep Kepemimpinan Astabrata ............................................................. 23

Page 10: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

x

BAB III RIWAYAT HIDUP DAN KEPEMIMPINAN PRESIDEN

SOEHARTO……………………………………………………………………..

33

A. Riwayat Hidup Soeharto ............................................................................ 33

B. Indonesia di Bawah Soeharto ..................................................................... 41

BAB IV KEPEMIMPINAN SOEHARTO BERDASARKAN FILSAFAT

ASTABRATA ....................................................................................................... 51

A. Soeharto dan Filsafat Astabrata ................................................................. 51

B. Analisis Kepemimpinan Soeharto Berdasarkan Filsafat Astabrata ........... 53

C. Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Islam ....................................................... 77

1. Kepemimpinan Perspektif al-Fārābī .......................................................... 78

2. Analisis Nilai-Nilai Kepemimpinan Islam dengan Astabrata pada

Soeharto……………………………………………………………………. 81

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 84

A. Kesimpulan ................................................................................................ 84

B. Saran-saran ................................................................................................. 85

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 86

Page 11: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Page 12: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

1

BAB I

PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Soeharto merupakan presiden yang paling lama menjabat dan berkuasa di

pemerintahan Indonesia yaitu selama 32 tahun. Masa pemerintahannya dikenal

sebagai Orde Baru. Menurut O.G Roeder banyak para kritikus yang mengenal

sebagai seorang yang otoriter, militeristik, ambisius namun murah senyum.1

Selama masa kepemimpinannya, Soeharto banyak meninggalkan jasa-jasa baik

dalam bidang politik, perokonomian, kesehatan, maupun pendidikan. Meskipun

pada akhir kepemimpinannya terjadi krisis ekonomi, kerusuhan nasional, sosial

dan politik.2

Kekuasaan yang dimiliki oleh Soeharto diterima dari Presiden Soekarno.

Melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS),

pada 12 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden hingga setahun

kemudian akhirnya dilantik menjadi presiden ke-2 Indonesia.3

Selama masa

pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas nasional sangat dijaga, sehingga

banyak kebijakan yang ditetapkan untuk mencapai tujuan tersebut seperti,

dwifungsi ABRI, pembatasan jumlah partai politik, menjadikan Pancasila sebagai

1O.G Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto. Penerjemah A. Bar Salim & A. Hadi

Noor (Jakarta: Gunung Agung, 1976), hal. 5. 2Thee Kian Wie,"Pembangunan Ekonomi:Pertumbuhan dan Pemerataan” dalam Taufik

Abdullah dan A.B Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi (Jakarta:

Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011), hal. 146. 3Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,

(Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 190.

Page 13: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

2

asas tunggal organisasi-organisasi masyarakat yang ada. Semua tentara dan

pegawai hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa, Partai

Golongan Karya (Golkar). Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada

masa itu bisa diberikan penilaian dari dua sisi, pertama memang kebijakan

tersebut dapat mencapai apa yang menjadi tujuan pemerintah masa itu, kedua

kebijakan tersebut sangat memberikan batasan kepada manusia Indonesia dalam

menyampaikan aspirasi ataupun sikap tidak setuju mereka dengan pemerintah,

dan bahkan juga ada pendapat yang mengatakan tindakan tersebut merupakan

kejahatan HAM. William Liddle, guru besar Departemen Ilmu Politik, Ohio State

University, Columbia sebagaimana dikutip M. Fadjroel Rahman mengatakan

sebagai mantan ketua Dewan Pembina Golkar pada Orde Baru, Golkar selalu

mendukung Soeharto 100 persen selama 32 tahun, tujuh kali masa jabatan

presiden, tak peduli apakah Soeharto telah melakukan kejahatan HAM sejak

1965-1998, mematikan demokrasi, menjajah Timor Timur ataupun menembak

dan memenjarakan mahasiswa serta rakyat.4

Akan tetapi, benarkah apa yang telah dilakukan oleh Soeharto merupakan

suatu kejahatan HAM dan menindas demokrasi, karena tak jarang kita temui

sekarang ini masih ada slogan-slogan yang merindukan kepemimpinan Soeharto

kembali. “Piye kabare? Enakan jamanku toh?” Kalimat dalam bahasa Jawa

tersebut sering kita temui di tempat-tempat publik dalam bentuk stiker, bahkan

sampai kepada kaos yang dipakai sehari-hari.

Gaya kepemimpinan Soeharto merupakan gabungan dari gaya

kepemimpinan proaktif-ekstratif dengan adaptif-antisipatif, yaitu gaya

4M. Fadjroel Rachman,”Jejak Langkah (daripada) Partai Golkar,” dalam Bagus Dharmawan

ed., Warisan (daripada) Soeharto, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008), hal. 527.

Page 14: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

3

kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai

sesuatu yang berdampak positif serta mempunyai visi yang jauh ke depan dan

sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian. Selain itu sebagai pribumi asli

Indonesia, keturunan Jawa, gaya kepemimpinan Soeharto juga dikenal dengan

istilah “gaya kepemimpinan Jawa” karena pada masa kepemimpinannya Soeharto

banyak mengadopsi budaya kekuasaan Jawa.

Budaya Jawa berpengaruh besar dalam politik pemerintahan tidak pernah

pupus sejak Indonesia memasuki kemerdekaan hingga kini. Presiden Soekarno

misalnya, pernah menerapkan prinsip bahwa seorang bapak adalah pemimpin bagi

anak-anaknya, sebagaimana raja-raja Jawa terhadap rakyat kebanyakan. Upaya

sistematis untuk menghidupkan kembali pola lama kekuasaan raja tradisional

diteruskan oleh pemerintah Soeharto dengan lebih intens.5

Sebagai bukti keterkaitan kepemimpinan Soeharto dengan budaya Jawa

adalah pendapat Wilson berikut. Wilson dalam artikelnya mengatakan bahwa

Soeharto pada masa Orde Baru menjalankan kekuasaannya berdasarkan filosofi

Astabrata.6 Selain itu seperti dikatakan oleh Denys Lombard “Soeharto sering

meminta nasehat pada dukun Jawa, dan istrinya telah memperkokoh pertalian

Soeharto dengan Mataram dan membawanya ke dalam lingkaran keraton

Mangkunegaraan.”7 Bukti lain adalah Astabrata sering dijadikan sebagai bahan

5Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia; Mengupas Semiotika Orde

Baru Soeharto (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 81. 6Wilson, "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati," dalam Robertus Robet & Todung

Mulya Lubis, ed., Politik Hukuman Mati di Indonesia (Serpong: CV. Marjin Kiri, 2016), hal. 10. 7Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris.

Penerjemah Winarsih Arifin (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 71.

Page 15: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

4

dalam penataran Pancasila serta dipahatkan dalam relief di dinding lobi gedung

utama Sekretariat Negara di Jakarta.8

Kepemimpinan Jawa bersifat sinkretis, artinya konsep-konsep yang diambil

adalah konsep-konsep yang berasal dari agama yang memiliki pengaruh pada pola

pikir di Jawa, khususnya Islam dan Hindu. Pola pikir Islam biasanya diambil dari

ajaran-ajaran tasawuf yang mengedepankan aspek wara’(menjauhi kemewahan

dunia) dan hidup sederahana seperti seorang sufi yang meninggalkan kehidupan

dunia untuk mencapai kebahagiaan sejati. Sedangkan pengaruh Hindu di

antaranya Gung Binatara (besar seperti dewa), Ambeg Paramarta (bagaikan

dewa), Panatagama (pemimpin itu merupakan penata agama), Astabrata (ajaran 8

sifat dewa).9

Berdasarkan pemaparan di atas tentang kepemimpinan Soeharto dan budaya

kepemimpinan Jawa, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang

gaya kepemimpinan Soeharto secara lebih mendalam dan memandangnya dari sisi

filsafat kepemimpinan Astabrata.

Astabrata diyakini sebagai ajaran tentang kode etik kepemimpinan sejak

dulu hingga saat ini, ajarah Astabrata sangat populer dalam kehidupan masyarakat

Jawa. Astabrata dikenali masyarakat melalui tradisi tulis dan tradisi lisan. Tradisi

tulis yang memuat Astabrata dapat ditemukan pada karya tulis atau karya sastra

Jawa tradisional (zaman istana atau masa kerajaan). Sebagai contoh, pada masa

8Bambang Wiwoho, “Falsafah Kepemimpinan Astabrata” artikel diakses pada 15 Januari

2016 dari www.teropongsenayan.com/27216-falsafah-kepemimpinan-hasta-brata 9Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang Membangun

Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal. 6.

Page 16: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

5

pemerintahan kraton Surakarta telah digubah sastra Jawa bertuliskan huruf Jawa

yang memuat ajaran Astabrata.10

Dalam kitab-kitab bertuliskan huruf Jawa, nama Astabrata dapat ditemukan

dalam beberapa naskah. Pertama, nama Astabrata terdapat dalam Ramayana

Kakawin seperti dalam bait berikut:11

(Hyang Indra Yama Surya Candra, Bayu, Kuwera Baruna, Agni nahan

wolu, Sirata ma angga sang Bhupati, Matang nira ninisthi Astabrata.)

(Hyang Endra, Yama Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, dan

Brahma(Agni), yaitu namanya dewa delapan.

Dewa delapan itu menyatu dalam pribadi raja, maka dewa itu disebut

Astabrata.)

Nama Astabrata juga terdapat dalam naskah Serat Nitisuri zaman sastra

Jawa pertengahan. Kutipannya sebagai berikut:12

(Salwir bawane kang sinung wadi

Ing naya mong jagad jaga-jaga

Arjuning rat saestine

Astagina ginelung

kang ginulang-gulang ing pangling,

reh Sang Ramawijaya,

wijiling pamuwus

warah ring Sang Wibisana

sananing Astaguna guniteng sari

sarehning Astabrata)

(Semua yang telah diberi pelajaran,

Diberi tahu pengetahuan rahasia menjaga dunia,

Agar mulia dan sejahtera

Yang selalu diinginkan hati adalah delapan hal,

Maka selalu dipelajari dan dibicarakan setiap hari

Apakah yang disebut delapan hal itu?

Yaitu nasihat pelajaran Sri Ramawijaya

Kepada Arya Wibisana,

Tentang tata cara menjalankan negara,

Yaitulah yang disebut ajaran Astabrata)

10

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma

Raja ( Yogyakarta: Adiwacana, 2006), hal. 50. 11

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 51. 12

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 51

Page 17: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

6

Selain itu nama Astabrata juga terdapat dalam naskah-naskah lain seperti

Serat Rama Jarwa, Pakem Makutharama, atau dalam kitab Babad Sangkala.

Sementara itu dalam tradisi lisan, Astabrata dikenali masyarakat melalui naskah

pakem wayang dan pementasan wayang purwa (wayang kulit).13

Selain itu Astabrata juga diajarkan melalui sastra tulis dan seni pertunjukan.

Untuk seni pertunjukan terdapat dua jenis tradisi seni pertunjukan yang menjadi

medium pengajaran nilai-nilai Astabrata, yakni seni pertunjukan berupa naskah

dan seni pertunjukan dalam bentuk pegelaran wayang kulit. Dalam sastra tulis

wayang, ajaran Astabrata terdapat dalam buku Pakem Makutharama yang ditulis

oleh Siswaharsoyo. Nilai-nilai Astabrata disampaikan oleh tokoh bernama

Begawan Kesawasidi kepada Arjuna. Tampaknya ajaran Kesawasidi kepada

Arjuna tersebut berasal dari kitab Babad Sangkala. Hal itu terlihat dari tokoh

simbolik yang dicontohkan yang memiliki watak kepemimpinan. Dalam kitab

Babad Sangkala watak kepemimpinan tidak lagi diambil dari watak delapan dewa

sebagaimana terdapat dalam kitab Kakawin Ramayana, Serat Nitisruti, dan Serat

Rama karya Yasadipura di Surakarta, melainkan diambil dari delapan watak

benda-benda alam.14

Ada beberapa alasan mengapa penulis ingin melakukan penelitian ini.

Pertama, karena Soeharto merupakan seorang pemimpin yang cukup lama

memimpin Indonesia, ada pendapat yang mengatakan pada masa Soeharto

Indonesia menjadi makmur dan damai, sehingga bisa dikatakan beliau merupakan

sosok pemimpin yang baik, tetapi tak sedikit juga yang mengatakan bahwa beliau

13

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 51-52. 14

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 53-54.

Page 18: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

7

otoriter dan membunuh demokrasi. Kedua, Filsafat kepemimpinan Astabrata

mengatur tentang kebaikan raja atau pemimpin yang disamakan dengan kebaikan

Dewa dalam agama Hindu. Dengan begitu, dapat diartikan bahwa pada sosok

pemimpin yang baik juga melekat kebaikan para Dewa. Salah satu yang dikatakan

kebaikan dewa dan harus dimiliki oleh raja dalam Astabrata adalah kemampuan

untuk membasmi semua kejahatan demi menjaga negara yang tentram. Bisa

dikatakan salah satu tindakan Soeharto untuk menjaga ketentraman Indonesia

pada masa Orde Baru, sama dengan salah satu teori dalam Astabrata tersebut,

sehingga bisa mempertahankan kekuasaannya yang begitu lama. Ketiga, penulis

mengangkat tokoh Soeharto karena ia merupakan seorang tokoh keturunan Jawa,

dan Astabrata merupakan filsafat kepemimpinan berdasarkan budaya Jawa.

Sebagaimana kita ketahui sejauh ini pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya

merupakan orang Jawa, maka penulis ingin mengetahui seberapa besar pengaruh

filsafat kepemimpinan Astabrata bagi seseorang, dan bisakah ajaran filsafat

kepemimpinan Astabrata menjadi pegangan bagi seorang pemimpin.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis berusaha mengangkat permasalahan

tersebut dalam satu pembahasan skripsi dengan judul: “Filsafat Astabrata:

Implementasi Dalam Kepemimpinan Soeharto”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam skripsi ini penulis memfokuskan diri pada konsep filsafat Astabrata

yang delapan, serta menghubungkannya dengan gaya kepemimpinan presiden

Soeharto. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah yang

akan dibahas pada skripsi ini, yakni:

1. Bagaimana filsafat kepemimpinan berdasarkan filsafat Astabrata?

Page 19: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

8

2. Bagaimana kepemimpinan Soeharto berdasarkan filsafat kepemimpinan

Astabrata?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendiskripsikan sifat-sifat seorang pemimpin berdasarkan filsafat

kepemimpinan Astabrata.

2. Mendeskripsikan kepemimpinan Soeharto berdasarkan filsafat

kepemimpinan Astabrata.

3. Menganalisa relevansi kepemimpinan Soeharto dengan ajaran-ajaran

Astabrata.

4. Upaya memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu

(S1).

D. Manfaat Penelitian

Selain untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1), penelitian ini juga

dilakukan untuk memberikan manfaat pada khayalak. Serta dapat menambah

wawasan tentang filsafat kepemimpinan Astabrata yang merupakan salah satu

filsafat asli Jawa. Penulis juga hendak menghadirkan bahwa Indonesia ataupun

Nusantara memiliki corak filsafat tersendiri. Yang berbeda dari filsafat lain, baik

Barat maupun Timur bagi para akademisi secara umum dan di Fakultas

Ushuluddin secara khusus.

Page 20: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

9

E. Tinjauan Pustaka

Sebagai seorang mantan presiden Indonesia, pembahasan tentang

kepemimpinan Soeharto menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji. Di UIN

Jakarta beberapa mahasiswa telah menulis tentangnya. Di antaranya adalah Dudi

Maududi dalam skripsinya Islam dan Soeharto: Analisis Kebijakan Politik

Pemerintahan Soeharto Terhadap Islam Politik (Skripsi, Pemikiran Politik Islam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005). Dalam skripsinya tersebut Dudi Maududi

membahas keadaan Islam politik pada masa Soeharto yang terpinggirkan

berdasarkan ketetapan dan kebijakan pemerintahan Soeharto. Penyebab

terpinggirkannya Islam politik pada masa itu; pertama, umat Islam pada masa itu

berpandangan bahwa partai Islam satu-satunya kendaraan untuk mencapai tujuan

politik. Sehingga, Soeharto berpandangan hal tersebut sebagai suatu ancaman

politik, dan harus disingkirkan. Kedua, sumber daya manusia dari kalangan Islam

Politik belum siap bersaing dengan kelompok lain. Akibatnya, Soeharto memilih

kelompok lain sebagai partner dalam menjalankan pemerintahannya dengan

tujuan memperbaiki kehidupan masyarakat dalam bidang politik dan ekonomi.

Kemudian, Saiman Vidiananda dengan skripsinya Nasionalisme Pancasila

dalam Perspektif Soeharto (Skripsi, Pemikiran Politik Islam UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2008). Dalam skripsinya dijelaskan bahwa menurut

Pancasila bagi Soeharto merupakan suatu pandangan hidup yang digali dan

ditetapkan oleh para pendiri bangsa. Konsep pemikiran Soeharto tentang

Nasionalisme Pancasila sangat menciptakan terbentuknya suatu kehidupan yang

adil, makmur, demokratis. Dengan Nasionalisme Pancasila inilah bangsa

Indonesia dapat bersama-sama meraih kemerdekaan.

Page 21: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

10

Selanjutnya, Yuanita Rusalia Harneni dengan judul Tinjauan Islam tentang

Etika Politik Soeharto (Skripsi, Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2009). Dalam skripsinya, ia membahas etika politik Soeharto yang sangat

dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Jawa yang dipelajarinya saat masih kecil,

dikatakannya Soeharto tidak peduli dengan etika politik modern, kalaupun ada

diterapkan hanya pada segi formalnya saja, adapun esensi hukum yang diterapkan

Soeharto tetap mengacu pada etika budaya Jawa.

Skripsi yang terakhir adalah karya Nita Setiawati tentang Politik Hukum

Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik (Studi Terhadap Undang-

undang No. 8 Tahun 1985) (Skripsi, Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2006). Skripsi tersebut membahas tentang bentuk konfigurasi politik pada

masa Soeharto yang menunjukkan pemerintahan yang otoriter dan sentralistik.

Pemerintahan Soeharto juga telah melahirkan politik hukum demokrasi yang tidak

adil dan tidak demokratis. Ditandai dengan lahirnya undang-undang nomor 8

tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan mengenai penerapan Pancasila

sebagai asas tunggal bagi seluruh partai politik dan organisasi kemasyarakatan.

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah penulis teliti dan uraikan di atas,

maka skripsi yang penulis ini merupakan sesuatu yang berbeda dengan tulisan-

tulisan sebelumnya yang juga membahas tentang Soeharto.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teknik library research

(studi kepustakaan). Teknik ini berupaya untuk mengumpulkan data-data terkait

permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini melalui berbagai literatur, baik

primer maupun sekunder. Literatur primer yang penulis gunakan tentang filsafat

Page 22: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

11

Astabrata adalah buku Sang Pemimpin Menurut Astabrata, Wulang Reh,

Tripama, Dasa Darma Raja karya Pardi Suratno terbitan Adiwacana di

Yogyakarta pada tahun 2006. Sementara sumber primer tentang Soeharto adalah

buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang ditulis oleh Ramadhan

K.H dan G. Dwipayana merupakan autobiografi dari wawancara langsung

Soeharto, yang diterbitkan oleh Citra Lamtoro Gung Persada di Jakarta pada

1989.

Sedangkan literatur sekunder yang penulis gunakan di antaranya adalah

Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi ditulis oleh

beberapa orang penulis yang mayoritas merupakan para sarjana dari luar negeri

dan Donald K. Emmerson sebagai editornya, para penulis dalam buku ini

membahas bagaimana kondisi Indonesia pada masa Soeharto, pra Soeharto dan

pasca Soeharto, diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama bekerja sama

dengan The Asia Foundation pada tahun 2001.

Indonesia dalam Arus Sejarah karya Daud Aris Tanudirjo yang diterbitkan

oleh Ichtiar Baru Van Hoeve di Jakarta pada tahun 2011.

Sri Wintala Achmad dengan bukunya yang berjudul Falsafah

Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX dan Jokowi terbitan Araska

Publisher di Yogyakarta pada 2013, buku ini selain memaparkan falsafah

kepemimpinan tokoh yang menjadi judul buku di atas juga memaparkan falasafah

kepemimpinan raja-raja jawa dahulu.

Ada juga buku Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau:

Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX yang pada awalnya

Page 23: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

12

merupakan tesis karya Soemarsaid Moertono dan kemudian diterbitkan oleh

Yayasan Obor Indonesia pada tahun 1985 di Jakarta.

Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dan analitis.

Deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberikan gambaran yang

jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan skripsi ini. Sementara analitis

dipakai agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis

sehingga mengena pada inti permasalahan.

Panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Akademik tahun

2011/2012 Program Strata Satu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang disusun

oleh Tim Penyusun Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sedangkan mengenai transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu pada

sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan oleh HIPIUS

(Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin).

G. Sistematika Penulisan

Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah penulis dalam

menganalisa materi penulisan, maka penulis menggambarkan sistematika

penulisan skripsi ini sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang uraian permasalahan

secara global dan menyeluruh mengenai materi, konteks, arah, dan ruang lingkup

pembahasan yang terdiri dari; latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

Page 24: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

13

Bab II, penulis membahas tentang riwayat hidup Soeharto, pemerintahan

Orde Baru dan sangat memfokuskan pada tulisan tentang keadaan Indonesia di

bawah pimpinan Soeharto.

Bab III, penulis mendeskripsikan tentang filsafat kepemimpinan Astabrata

yang mencakup: pengertian filsafat kepemimpinan, sejarah dan perkembangan

ajaran Astabrata, dan delapan sifat pemimpin berdasarkan filsafat kepemimpinan

Astabrata.

Bab IV yang merupakan inti pembahasan penulis dari skripsi ini, berisi

tentang bagaimana kepemimpinan Soeharto berdasarkan filsafat Astabrata.

Bab V berisi tentang penutup dari skripsi yang berisi kesimpulan dari

pembahasan dengan memberikan jawaban atas rumusan masalah yang telah

dicantumkan pada bab Pendahuluan.

Page 25: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

14

BAB II

FILSAFAT KEPEMIMPINAN ASTABRATA

BAB II FILSAFAT KEPEMIMPINAN ASTABRATA

A. Pengertian Filsafat Kepemimpinan

Untuk memahami apa itu filsafat kepemimpinan Astabrata, penulis

mengambil acuan terlebih dahulu kepada apa itu pengertian filsafat, apa itu

pengertian kepemimpinan. Hal ini sangatlah penting sehingga penulis tidak

melenceng terlalu jauh untuk memahami apa itu filsafat kepemimpinan Astabrata

yang juga merujuk kepada beberapa sumber lain nantinya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata benda “falsafah” dengan

“gagasan dan pandangan mendasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat;

pandangan hidup.” Kata kerja ”berfalsafah” diartikan dengan “ memikirkan

dalam-dalam tentang sesuatu; mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang dalam,

yang dijadikan pandangan hidup.”1 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga

ditemukan kata benda lain “filsafat” yang diartikan “teori tentang kebenaran; ilmu

yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.”2 Jadi sebenarnya

dalam bahasa Indonesia “filsafat” memiliki arti yang lebih luas dari “falsafah”,

dan kata “falsafah” merupakan salah satu arti kata “filsafat”.

Kata filsafat berasal dari kata Yunani philosophia, philos atau philei yang

berarti cinta atau suka, dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan atau hikmah

1Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,(Jakarta:PT

Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal 387. 2Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 392.

Page 26: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

15

(wisdom), jadi philosophia berarti cinta akan kebijaksanaan. Maksudnya orang-

orang yang berfilsafat akan berusaha untuk menjadi bijaksana.3

Selain itu kata philosophy juga mempunyai banyak arti lain, diantaranya:

1) Mencintai dan memajukan kebijaksanaan dengan menggunakan sarana

intelektual dan moral disiplin-diri; 2) Investigasi terhadap sebab-sebab dan

hukum-hukum yang mendasari realitas; 3) Penyelidikan terhadap keadaan segala

sesuatu berdasarkan pemikiran logis daripada metode-metode empiris; 4) Ilmu

pengetahuan yang terdiri atas logika, etika, estetika, metafisika, dan

epistemologi.4

Namun, pengertian secara etimologi ini tidak dianggap cukup untuk

memahami filsafat, sehingga harus memperhatikan konsep dan definisi yang

dibuat para filsuf dengan masing-masing sudut pandangnya. Di antara pandangan

tersebut yaitu, Plato memberikan istilah dengan dialetika yang berarti seni

berdiskusi untuk mencapai pengetahuan kebenaran asli. Filsafat adalah

pengetahuan yang meliputi kebenaran, di dalamnya terkandung ilmu-ilmu

metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika (Aristoteles). Menurut

al-Farabi filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari

segala yang ada, Descartes mengatakan filsafat merupakan kumpulan segala

pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikannya.

Menurut Francis Bacon, filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu. Bagi

Imanuel Kant, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dari segala

pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan: 1) Apa yang dapat kita

3 Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat (Jakarta: Wijaya, 1978), hal. 9

4Abdul Azis, “Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam” pada Seminar “Bill of

Human Rights: On Falsafa of Leadership in Interreligious Perspectives” (Ciputat, 20 September

2016), hal. 2.

Page 27: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

16

kerjakan (metafisika), 2) Apa yang seharusnya kita kerjakan (etika), 3) Sampai di

mana harapan (agama), 4) Apakah yang dinamakan manusia (antropologi).5

Konsep dan defenisi yang diajukan para filsuf itu banyak sekali dan

berbeda-beda, namun dari semua perbedaan itu dapat diambil garis besarnya,

bahwa: Filsafat adalah proses berpikir secara radikal, sistematik, dan universal

terhadap segala yang ada dan mungkin ada. Dengan kata lain, berfilsafat berarti

berpikir secara radikal (mendasar, mendalam, sampai ke akar-akarnya), sistematik

(teratur, runtut, logis, dan tidak serampangan), untuk mencapai kebenaran

universal (umum, terintegral, serta tidak khusus dan tidak parsial).6

Tetapi menurut penulis, sesuai dengan pembahasan skripsi ini lebih tepat

mengartikan filsafat dengan apa yang disebut Bahasa Indonesia dengan falsafah

yaitu, gagasan dan pandangan mendasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat

tentang kehidupan.

Sementara untuk kata “kepemimpinan”, Kamus Besar Bahasa Indonesia

menjelaskannya berasal dari kata “pimpin” diartikan (dalam keadaan) dituntun,

dibimbing, jari berpegangan (bergandengan) tangan. “Memimpin” antara lain

diartikan: mengetuai, mengepalai, membimbing, memandu, melatih supaya dapat

mengerjakan sendiri. Sedangkan “kepemimpinan” diartikan: perihal pemimpin,

cara memimpin.7

Kata “kepemimpinan” sepadan dengan bahasa Inggris leadership dan

dalam Bahasa Arab imamah. Secara etimologis, kata kerja to lead berasal dari

kata Inggris lama leden, atau loaden yang berarti “membuat berlangsung,

5Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX &

Jokowi (Yogyakarta: Araska, 2013), hal. 20-21. 6

Ali Maksum, Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme

(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hal. 11. 7Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 1074.

Page 28: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

17

membimbing, menunjukan jalan” dan dari bahasa Latin ducere yang berarti

“menghela, menyeret, menarik; mengarahkan, membimbing. Kata lead

mempunyai beberapa arti, di antaranya: membimbing dengan tangan, memimpin

ke tempat mana saja, memimpin sebagai kepala atau komandan, memperlihatkan

cara mencapai, menularkan suatu tata krama. Leader didefinisikan; seorang yang

memimpin, seorang yang bergerak lebih dahulu, ketua partai atau fraksi.8

Terdapat beberapa tokoh yang memberikan definisi tentang pengertian

kepemimpinan, di antaranya Swansburg (1995), kepemimpinan merupakan proses

untuk mempengaruhi aktivitas suatu kelompok yang terorganisasi dalam usahanya

mencapai penetapan dan pencapaian tujuan. George Terry (1986), kepemimpinan

adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja dengan suka

rela di dalam mencapai tujuan kelompok. Sementara Sullivan dan Decker

menyebutkan, kepemimpinan merupakan penggunaan keterampilan seseorang di

dalam mempengaruhi orang lain untuk melaksanakan sesuatu dengan sebaik-

baiknya selaras dengan kemampuannya.9

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka penulis memberikan definisi

kepemimpinan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan istilah “filsafat kepemimpinan” dalam

tulisan ini, penulis mengutip pendapatnya Abdul Azis yang disampaikan pada

seminar internasional tentang “Filsafat Kepemimpinan dalam Perspektif Agama-

Agama di Indonesia” pada 20 September 2016, yaitu:

8 Abdul Azis,“Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam,” hal. 3.

9 Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa, hal. 22-23.

Page 29: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

18

Proses berpikir dengan cara radikal, rasional, menggali dasar-dasar yang

paling hakiki, guna menemukan kebenaran tentang kepemimpinan dalam

semua orientasi dan perspektifnya. Ke dalam “falsafah kepemimpinan” ini,

termasuk menemukan gagasan yang berada di balik berbagai teori

kepemimpinan, dan mengenali paradigma di balik pemikiran-pemikiran

falsafi tentang kepemimpinan. Penjelasan bagian terakhir ini penting,

mengingat falsafah kepemimpinan tidak terlepas dari kontek kelahirannya.

Hal ini berarti, perspektif falsafah kepemimpinan tidak terbatas kepada apa

yang telah diurai di atas, melainkan dapat diperluas dengan perspektif

keyakinan agama, perspektif kultural, perspektif wilayah geografis dan

seterusnya.10

B. Pengertian Astabrata

Nama atau kata Astabrata berasal dari dua kata, yakni asta dan brata. Kata

astha merupakan kosa kata dalam bahasa Jawa kuno atau Sanskerta. Kata astha

berarti “delapan.” Sementara itu kata brata merupakan kosa kata Jawa baru yang

berasal dari kosa kata Jawa kuno. Kata brata berarti “laku”. Kata “laku” dapat

juga disejajarkan dengan sikap, tindakan, atau sejenisnya. Kata laku dapat juga

disejajarkan dengan kata watak atau sifat. Dengan demikian Astabrata dapat

dimaknai “delapan laku” atau “delapan watak” atau “delapan sifat”. Kata asta

juga dekat dengan kata astha yang berarti membawa atau memegang. Dari kata

asta dapat dibentuk menjadi ngasta artinya memegang. Jika dihubungkan dengan

makna Astabrata, nama Astabrata dapat berarti tindakan atau laku memegang;

dan yang dipegang adalah negara. Jadi Astabrata dapat diartikan sebagai delapan

syarat dalam memegang negara atau pemerintahan.11

Berdasarkan definisi filsafat kepemimpinan yang telah dijelaskan di atas,

ajaran Astabrata bisa dikategorikan sebagai suatu kontek filsafat kepemimpinan,

berdasarkan pemaparan di atas bahwa filsafat kepemimpinan juga bisa berasal

dari perspektif keyakinan agama dan kultural.

10

Abdul Azis,“Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam,” hal. 4. 11

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal 54.

Page 30: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

19

C. Sejarah dan Perkembangan Ajaran Astabrata

Kisah lahirnya ajaran Astabrata bisa diketahui dalam cerita wayang kulit

atau wayang purwa, khususnya dalam cerita Ramayana.12

Kisah tentang lahirnya

ajaran Astabrata tidak ditemukan dalam Ramayana di negara India, tetapi bisa

ditemukan di cerita Ramayana Kakawin atau Ramayana Jawa Kuna. Oleh sebab

itu sekalipun konsep ajaran tersebut telah ada dalam naskah agama Hindu di

India, namun cerita tentang lahirnya ajaran tersebut semata-mata merupakan

kreativitas pujangga Jawa. Ajaran Astabrata terdapat dalam beberapa karya sastra

Jawa, antara lain kitab Nitisruti, Serat Rama Jarwa, Babad Sangkala, Serat

Pakem Makutharama, dan Serat Partawigena.13

Cerita-cerita dalam ajaran tersebut menggambarkan nasehat Rama kepada

adiknya Bharata untuk memimpin kerajaan Ngayodya dan kepada Wibisana

ketika ragu-ragu untuk memimpin kerajaan Ngalengka setelah perang Brubuh.

Nasehat yang disampaikan Rama kepada Bharata dan Wibisana inilah yang

disebut dengan Astabrata pada sastra Jawa. 14

Sementara dalam cerita Mahabarata, ajaran Astabrata ini biasa

disampaikan kepada seorang satria dalam lakon-lakon tertentu, misalnya dalam

Wahyu Makutharama yang menceritakan diterimanya wahyu kearifan

kepemimpinan Rama Wijaya ini kepada Arjuna. Lakon ini dikenal dengan sebutan

Rama Nitik.15

12

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 55. 13

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 65. 14

Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang

Membangun Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal.

61. 15

Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal 61.

Page 31: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

20

Sejak ajaran Astabrata menjadi populer, penyebarannya menjadi

berkembang melalui berbagai media, seperti buku terbitan, siaran radio,

sarasehan, seminar, dan berbagainya. Bahkan kisah atau inti ajaran Astabrata

menjadi pahatan relief atau diorama pada museum Purnabakti Taman Mini

Indonesia Indah (TMII). Ajaran Astabrata juga pernah dikutip dalam pidato

presiden Soeharto dalam salah satu acara penting di istana Bogor.16

Pada awalnya, Astabrata dalam Serat Rama Jarwa karya Yasadipura

terkait dengan ajaran kepemimpinan yang berkiblat pada watak delapan dewa,

sebagaimana ajaran Astabrata dalam agama Hindu tentang etika perilaku

(pemimpin) ke delapan Dewa tersebut adalah:

1. Dewa Indra.

2. Dewa Surya.

3. Dewa Bayu.

4. Dewa Kuwera.

5. Dewa Baruna.

6. Dewa Yama.

7. Dewa Candra.

8. Dewa Brama.

Di antara delapan Dewa di atas terdapat satu perbedaan antara ajaran

Astabrata Jawa dengan Astabrata Hindu, dalam agama Hindu terdapat watak

Dewa Agni yang dijadikan teladan bagi seorang pemimpin dan tidak terdapat

watak Dewa Brama.17

16

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 65-66. 17

K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu (Surabaya:

Paramita, 2006), hal. 60.

Page 32: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

21

Sesuai dengan perubahan cara pikir Jawa, orientasi watak kepemimpinan

itu menjadi bergeser kepada watak benda-benda alam. Pergeseran itu diawali

tatkala kelahiran ajaran Astabrata dimuat di dalam Babad Sangkala. Kemudian

teladan watak kepemimpinan pada benda-benda alam itu semakin mengental

dalam sosialisasi ajaran Astabrata melalui pagelaran wayang purwa, seperti dalam

ajaran Makutharama.18

Watak benda-benda alam yang menjadi teladan kepemimpinan berikutnya

adalah:

1. Watak bumi.

2. Watak air atau samudra.

3. Watak api.

4. Watak angin.

5. Watak matahari.

6. Watak rembulan.

7. Watak lintang atau bintang.

8. Watak mendhung atau awan.

Mengenai pergeseran orientasi tersebut terdapat ahli budaya yang

mengatakan telah terjadinya pergeseran pemanfaatan ajaran Astabrata. Jika

dahulu Astabrata diperuntukan para penguasa atau pemimpin, maka pergeseran

orientasi kepada benda-benda alam menunjukkan bahwa ajaran Astabrata telah

menjadi ajaran kerakyatan. Implikasinya tidak hanya pemimpin yang perlu

18

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 66.

Page 33: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

22

meneladani delapan sifat dewa atau watak alam tersebut melainkan juga seluruh

rakyat tanpa terkecuali.19

Selain itu, menurut penulis pergeseran orientasi ini juga tidak lepas dari

perubahan pola pikir dan kepercayaan masyarakat Jawa. Orang Jawa yang

dahulunya bersifat animisme dan dinamisme telah bergeser kepada kepercayaan

terhadap agama-agama tertentu. Pada masa kerajaan di Jawa dahulu agama juga

sangat berpengaruh terhadap kekuasaan, sehingga hal ini juga memberikan

pengaruh kepada hukum, filsafat, dan sastra yang berkembang pada waktu itu.

Meskipun mengalami pergeseran, simbolisasi benda alam sebagai watak

panutan di atas sebagian besar memiliki kesejajaran makna dengan simbol dewa

dalam pemikiran sebelumnya. Benda-benda alam itu sebagian besar merupakan

nama lain yang identik dengan nama para dewa yang diharapkan jadi teladan

kepemimpinan tersebut. Air adalah nama lain dari Baruna, rembulan dari Candra,

angin dari Bayu, api dari Brama, matahari dari Surya, Kuwera sebagai Dewa

kekayaan, lautan atau air simbol dari Dewa Baruna.20

Untuk memperjelas pembahasan tentang konsep kepemimpinan Astabrata

penulis tidak bisa menghindarkan diri untuk masih mengambil landasan dari

watak dewa-dewa yang pernah ada dalam Astabrata meskipun konsepnya sendiri

mengalami pergeseran kepada watak benda-benda alam. Selain karena

keterbatasan referensi yang penulis dapat, hal ini juga tidak menjadi kendala

karena landasan uraian ini adalah dari perspektif budaya, bukan dari keyakinan

seperti yang diyakini oleh masyarakat Jawa dahulu.

19 Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 69. 20

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 68.

Page 34: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

23

D. Konsep Kepemimpinan Astabrata

Ajaran kepemimpinan Astabrata baik yang digambarkan oleh konsep

delapan dewa atau delapan simbol alam merupakan suatu kesatuan konsep yang

integral. Artinya, kedelapan watak itu harus menyatu pada diri seorang pemimpin.

Tidak dibenarkan seorang pemimpin hanya mengambil sebagian teladan tersebut,

sebab jika satu saja tertinggal maka negara yang dipimpinnya akan cacat.21

Apabila delapan watak tersebut dapat menyatu dalam diri seorang pemimpin

watak tersebut disebut wolu-woluning ngatunggal (delapan dalam satu).22

1. Konsep kepemimpinan Dewa Indra

Dalam teks Astabrata dalam Serat Rama yang telah diterjemahkan,

dijelaskan bahwa dewa Indra merupakan dewa yang dengan bau-bauan

menghujani bumi, derma dananya menghambur merata ke seluruh dunia kepada

seluruh hambanya baik yang besar maupun yang kecil, tanpa membeda-

bedakan.23

Dalam agama Hindu, Indra merupakan dewa yang paling penting di langit.

Mempunyai senjata halilintar dan mengendarai kereta yang kecepatannya

menyamai pikiran. Keberaniannnya sangat mempesona, Dia merupakan dewa

yang membantai raksasa Vrtra dan melepaskan air yang disanderanya. Indra

seringkali disamakan sebagai Tuhan Tertinggi. Kasih sayang dan welas asihnya

sangat disanjung. Dalam beberapa pahatan di kuil-kuil Indra dilukiskan dalam

21

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi

tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal.

174. 22

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 70. 23

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 174.

Page 35: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

24

wujud manusia dengan empat lengan, yang mengendarai gajah surgawi

(Airavata).24

Dengan meneladani dewa Indra, seorang pemimpin diharapkan mampu

melindungi rakyat-rakyat kecil dan sangat memerlukan bantuan. Para pemimpin

hendaklah mampu dan berani memberikan perlindungan kepada rakyat kecil,

sehingga perlindungan yang diberikan dapat menimbulkan kebahagian dan

kesejahteraan bagi rakyat banyak.25

2. Konsep kepemimpinan Dewa Surya

Dalam etika Hindu, Surya merupakan pengendalian diri sesuai dengan

sifat-sifat atau perilaku dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan yang

memberikan sinarnya tanpa pilih kasih. Matahari juga meniadakan kegelapan dan

memberi kekuatan kepada alam semesta. Umat Hindu khususnya para pemimpin

harus dapat meniru sifat-sifat baik matahari. Mereka harus memberikan perhatian

terhadap sesamanya tanpa pilih kasih. Pemimpin harus mampu memberikan

bimbingan dan pendidikan agar manusia terhindar dari kegelapan tanpa pilih kasih

atau membeda-bedakan pangkat dan golongannya.26

Sementara dalam teks Astabrata yang telah diterjemahkan, Dewa atau

Batara Surya memiliki watak ambeg paramarta (berwatak halus), menurunkan

segala yang harum, restunya menanamkan rasa suasana yang sejuk. Batara Surya

selalu bersikap halus dan santun kepada siapapun. Maka siapapun yang berselisih

pendapat dengannya tetap menaruh rasa simpati dan malu/pakewuh. Batara Surya

24

I Wayan Maswinara, Dewa-Dewi Hindu (Surabaya: Paramita, 2007), hal. 9. 25

K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian untuk

Memperbaiki Tingkah Laku (Surabaya: Paramita, 2006), hal. 53. 26

K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, hal. 52-53.

Page 36: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

25

sangat pandai mengambil hati terhadap semua pihak. Karena perangainya yang

halus dan lembut semua orang tak terasa tengah dirayu oleh Batara Surya, bahkan

musuh sekalipun dapat dirangkulnya tanpa merasa dikalahkan. Dengan demikian

siapapun yang melakukan kejahatan dapat dijinakkannya.27

3. Konsep Kepemimpinan Dewa Candra

Dewa Candra atau bulan menggambarkan sifat bulan yang memancarkan

sinarnya dengan sangat lembut. Bulan memberikan sinar terang di malam gelap.

Umat Hindu atau para pemimpin dalam agama Hindu hendaklah selalu bersikap

lemah lembut, ramah tamah, murah senyum dan tidak mudah marah. Pemimpin

juga harus menciptakan ketenangan dan ketentraman dalam lingkungannya.

Selain itu pemimpin juga harus dapat membantu rakyatnya yang dalam kesusahan

(kegelapan).28

Hampir sama dengan ajaran Hindu di atas, dalam teks Astabrata Jawa

watak Dewa Candra atau bulan merupakan seseorang yang memerintah dengan

harum manis, semua tindakan dan perilakunya manis sehingga menyejukkan

seluruh hati pegawai/bawahan dan rakyatnya. Selain itu Dewa Candra juga selalu

penuh ampun dan disayangi oleh para pandita.29

4. Konsep Kepemimpinan Dewa Bayu (Angin)

Angin atau udara merupakan suatu yang memberikan kehidupan kepada

manusia. Tanpa udara manusia tidak bisa hidup. Tiupan angin juga memberikan

kesejukan kepada manusia yang dapat menghindarkannya dari rasa gerah

27

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 233. 28

K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, hal. 53. 29

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 233.

Page 37: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

26

kepanasan. Dalam ajaran etika Hindu dengan menirukan sifat angin, para

pemimpin hendaklah dapat mendorong seseorang untuk hidup rukun, hidup

dengan penuh toleransi atau timbang rasa, sehingga dijauhkan dari silang sengketa

yang dapat menimbulkan perkelahian sampai mati. Pemimpin juga harus dapat

menciptakan suasana sejuk, suasana yang selalu segar, sehingga terjalin suatu

kerjasama yang baik.30

Dewa Bayu atau watak angin merupakan dewa yang selalu meneliti dan

menyelidiki seluruh sepak terjang dan perilaku seluruh rakyatnya, seperti halnya

sifat angin yang mampu menelusup ke segala tempat dan situasi. Dalam

menyelidiki perilaku rakyatnya seorang pemimpin yang meneladani watak dewa

Bayu sangat berhati-hati dan hampir tidak kelihatan meskipun sedang melakukan

pengawasan terhadap rakyatnya. Batara Bayu mampu mengetahui segala

kejahatan dan kebaikan dari seluruh rakyatnya.31

Dengan watak angin, pemimpin setidaknya akan dapat (a) mengetahui

derajat keberhasilan Negara dalam membangun rakyatnya, (b) mengetahui

kekurangan pemerintahan yang telah dipimpinnya, (c) mengetahui penilaian

rakyat atas kepemimpinannya, (d) memahami dan merasakan susah dan

senangnya rakyat, (e) mengetahui tingkat kesejahteraan rakyat di seluruh

penjuru.32

30

K. M Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, hal. 53. 31

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 234. 32

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 94.

Page 38: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

27

5. Konsep Kepemimpinan Dewa Baruna

Dalam ungkapan masyarakat Jawa, sering terdengar ungkapan pentingnya

seorang pemimpin memiliki ati segara (hati lautan, artinya sabar). Maksudnya

seorang pemimpin perlu memiliki watak menerima segala persoalan dengan

lapang dada. Dewa Baruna dalam Serat Nitisruti, dan Serat Rama Jarwa

merupakan simbol dari air. Dewa Baruna kemanapun ia pergi selalu membawa

nagapasa, senjata yang sangat sakti. Sikap itu merupakan perlambangan bahwa

seorang pemimpin harus siap siaga dalam menjalankan tugas menjaga keamanan

dan kedamaian Negara. Dalam menjalankan tugasnya Dewa Baruna bekerja sama

dengan Dewa Yama sebagai penegak hukum dan keadilan. Dalam hal ini Dewa

Baruna berperan sebagai penangkap pelaku kejahatan dan Dewa Yama sebagai

pengadil.33

Sementara itu dalam etika pengendalian diri Hindu, Dewa Baruna

merupakan sosok yang patut dicontoh untuk selalu berusaha menegakkan keadilan

dan kebenaran, selalu waspada atas kemungkinan terjadinya kejahatan dan selalu

menghukum yang berbuat salah. Para pemimpin hendaknya selalu menghormati

peraturan dan ketentuan yang berlaku dan tidak mencoba untuk melanggarnya.

Mereka juga harus selalu waspada terhadap segala kejahatan yang akan muncul,

serta berani bertindak tegas dalam menghadapinya. Di samping itu pemimpin juga

harus berani menegakkan kebenaran dengan menghukum orang-orang yang salah.

33

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 99-100.

Page 39: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

28

Sebaliknya, pemimpin juga harus mampu melindungi orang-orang yang tidak

bersalah terutama orang-orang kecil.34

Berdasarkan pemaparan di atas terdapat persamaan dan perbedaan tentang

sikap Dewa Baruna dalam ajaran Astabrata Jawa dan ajaran Astabrata Hindu.

Secara garis besar kedua ajaran tersebut menggambarkan Dewa Baruna sebagai

penegak keadilan dan selalu waspada. Tapi dalam ajaran Astabrata Jawa Dewa

Baruna hanyalah sebatas penangkap pelaku kejahatan sedangkan dalam ajaran

Hindu Dewa Baruna juga yang memberikan hukuman.

Sesuai dengan pergeseran yang terjadi pada ajaran Astabrata, Dewa

Baruna bergeser dengan watak air dan samudra, dengan meneladani watak air

pemimpin diharapkan menjadi sumber kehidupan bagi masyarakatnya

sebagaimana air merupakan sumber kehidupan. Tidak ada makhluk hidup yang

tidak memerlukan air, sama halnya dengan pemimpin yang selalu dibutuhkan

dalam suatu masyarakat, suku bangsa, dan suatu bangsa.35

Sedangkan samudra adalah kawasan air yang sangat luas. Samudra adalah

muara dari semua sungai yang memasuki lautan dengan membawa apa saja.

Semua itu diterima oleh lautan dan tidak pernah menolaknya. Ajaran yang

terkandung dari sifat samudra ini adalah seorang pemimpin harus dapat menerima

segala tindakan, persoalan, dan segala hal yang terjadi di negaranya. Dalam

menjalankan kepemimpinan itu ia harus menerima semuanya dengan lapang hati

dan keluasan akal budinya, seluas permasalahan yang dihadapinya. Pemimpin

tidak boleh menaruh rasa marah, dengki, dan benci sewaktu dicela dan dikritik

34

K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 63-64. 35

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 100.

Page 40: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

29

oleh rakyatnya. Seorang pemimpin harus menyadari bahwa di dunia senantiasa

ada dua hal yang saling berlawanan: senang dan susah, menyanjung dan

menghina, sepaham dan berselisih, baik dan buruk, membangkang dan taat, damai

dan rusuh. Kedua hal yang saling bertolak belakang itu menjadi isen-isening

jagat (isi dunia) yang akan tetap ada sepanjang masa.36

Sebaliknya, samudra juga memberi limpahan yang bermanfaat seperti

binatang laut yang cantik dan mempesona hati. Limpahan yang bermanfaat dan

binatang cantik itu dapat diibaratkan sebagai perilaku bawahan atau rakyat yang

baik. Akan tetapi, seorang pemimpin tidak harus mabuk pujian, tidak suka

disanjung yang semuanya itu dapat membuat dirinya terlena dalam menjalankan

kewajiban negara.37

6. Konsep Kepemimpinan Dewa Yama

Dewa Yama merupakan dewa yang disimbolkan sebagai penjaga negara

agung dalam ajaran Astabrata. Pekerjaan Dewa Yama adalah selalu menindak

seluruh pelaku kejahatan tanpa pandang bulu meskipun terhadap kerabat sendiri.

Siapapun yang terbukti melakukan kesalahan maka harus diberikan hukuman.

Dewa Yama juga bekerja melacak segala pelaku kejahatan kemanapun

bersembunyi dan menghabisinya sampai benar-benar habis walaupun dengan cara

membunuhnya demi menjaga keamanan negara. Bahkan terhadap segala sesuatu

yang berpotensi menimbulkan kejahatan dan kerusuhan pada negara diusir dari

negara tersebut.38

36

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 103. 37

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 104. 38

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal 175.

Page 41: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

30

Jadi, watak yang perlu diambil seorang pemimpin dengan mempelajari

watak Dewa Yama adalah selalu memegang teguh keadilan dan kebenaran serta

menghukum orang-orang yang bersalah. Seorang pemimpin hendaklah berlaku

adil dalam menerapkan hukum, menjaga kebenaran, dan berani bertindak tegas

untuk menjatuhkan hukuman kepada siapa saja yang berbuat salah dan

mengganggu keamanan negaranya.39

7. Konsep Kepemimpinan Dewa Kuwera

Dewa Kuwera atau disebut juga Dewa Dhana merupakan contoh yang

diteladani umat Hindu untuk menjaga dan mempergunakan harta benda/kekayaan

dengan sebaik-baiknya demi untuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia,

dalam tata cara pengendalian diri. Kekayaan atau harta benda yang dimiliki

hendaklah dipakai untuk tujuan baik, tidak dipakai untuk menyombongkan diri.

Sebaiknya harta itu dipergunakan untuk membantu orang lain yang kekurangan

agar tercipta masyarakat yang sejahtera. Namun kekayaan juga hendaknya selalu

dijaga serta dimanfaatkan agar dapat berkembang dan menghasilkan. Para

pemimpin hendaklah dapat menjaga dan memelihara harta benda yang

dipercayakan kepadanya sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakatnya.40

Sementara dalam ajaran Astabrata pemimpin berwatak Dewa Kuwera

disejajarkan dengan pemimpin berwatak bumi dengan filosofinya bumi sebagai

sosok yang dapat menampung seluruh makhluk hidup dan Dewa Kuwera adalah

Dewa yang menyangga bumi. Seorang pemimpin harus memiliki watak mampu

39

K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 62. 40

K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 65.

Page 42: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

31

menampung seluruh rakyat dengan perangai dan keinginan masing-masing

(beraneka ragam) sebagaimana bumi harus ikhlas diinjak oleh siapapun, entah

orang baik atau jahat, orang berpangkat ataupun rakyat jelata, dan sebagainya.

Semua makhluk (atau semua orang) memiliki hak untuk hidup di atas bumi dan

bumi harus lapang dada menerima tugas dan kewajibannya dalam melayani semua

orang dengan berbagai status dan perangainya.41

Bumi juga mempunyai sifat kuat sentosa dan suci. Dengan demikian

dalam ajaran Astabrata seorang pemimpin harus memiliki sikap teguh, tidak

mudah putus asa dalam menghadapi persoalan seberat apapun persoalannya

sebagaimana bumi yang kuat dan tidak goyah membawa beban apapun

diatasnya.42

Sifat suci bumi maksudnya seorang pemimpin harus bersifat jujur dalam

memimpin pemerintahannya, mengatakan suatu hal sesuai kebenaran sehingga

rakyat dapat memperoleh kepastian dari sikap dan ucapan pemimpin. Dalam

pelaksanaan pemerintahan, pemimpin harus benar-benar mewujudkan segala

ucapannya dalam tindakan nyata.

Dalam Serat Rama, Dewa atau Hyang Kuwera merupakan pemimpin yang

mampu menyediakan pangan berlebih terhadap mereka yang dipercayakannya

mengatur negara. Sehingga para pembantunya tidak perlu lagi bekerja untuk

memenuhi kebutuhannya karena telah disediakan oleh raja atau pemimpin

mereka.43

41

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal 76. 42

K. M Suhardana, Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu, hal. 73. 43

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal 177.

Page 43: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

32

8. Konsep Kepemimpinan Dewa Brama

Sikap yang perlu diteladani seorang pemimpin dari Dewa Brama adalah

bagaimana Dewa Brama selalu mengusahakan kebahagiaan rakyatnya dengan

mengajak seluruh rakyatnya bekerja bersama-sama hingga tidak ada seorangpun

yang tertinggal, menurut penulis dalam bangsa Indonesia bisa disamakan dengan

gotong royong. Selanjutnya, Dewa Brama juga disimbolkan sebagai Dewa yang

menjaga keamanan negara dengan selalu menindak musuh negara dan

menyebabkan musuh negara selalu menjadi ketakutan. Pemimpin juga hendaknya

selalu menghancurkan musuh negara sampai habis layaknya Dewa Brama.44

Demikianlah Astabrata atau delapan watak yang harus dimiliki oleh

seorang Raja pada masa lampau, menurut penulis meskipun ajaran tersebut lahir

pada masa lampau dan tertulis pada teks-teks Jawa lama namun ajaran Astabrata

bersifat universal, bisa diterapkan di mana saja sepanjang masa.

Meskipun ajaran kepemimpinan di atas ada warna dari agama Hindu

tentang kehebatan para dewa, oleh orang Jawa dijadikan idealisme. Memimpin

rakyat dapat dianggap akan sukses apabila penguasaan karakter dewa mendarah

daging dalam dirinya. Hal ini sekaligus akan membuka peluang kewibawaan

seorang pimpinan. Pimpinan yang memiliki kepribadian dewa tertentu secara

otomatis dianggap lebih memiliki legitimasi. Pimpinan demikian pada gilirannya

akan membahagiakan rakyatnya secara keseluruhan.

44

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal 178.

Page 44: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

33

BAB III

RIWAYAT HIDUP DAN KEPEMIMPINAN PRESIDEN SOEHARTO

BAB III RIWAYAT HIDUP DAN KEPEMIMPINAN PRESIDEN

SOEHARTO

A. Riwayat Hidup Soeharto

Sebelum membahas tentang kepemimpinan pada masa presiden Soeharto

maka penulis merasa perlu untuk membahas sedikit tentang riwayat hidup

Soeharto. Dalam meriwayatkan kehidupan Soeharto penulis membaginya menjadi

tiga bagian utama, yakni; 1) Masa kecil dan masa sekolah; 2) Karir dalam

kemiliteran; 3) Karir sebagai presiden Republik Indonesia.

1. Masa Kecil dan Masa Sekolah

Soeharto dilahirkan pada tanggal 8 Juni tahun 1921, di rumah orang tuanya

yang sederahana, di desa Kemusuk, dusun terpencil, di daerah Argomulyo,

Godean, sebelah barat kota Yogyakarta. Ayah beliau bernama Kertosudiro

merupakan seorang ulu-ulu, petugas desa pengatur air yang bertani di atas tanah

lungguh, tanah jabatan selama beliau memikul tugas tersebut. Ibunya bernama

Sukirah merupakan isteri kedua dari Kertosudiro, Soeharto merupakan anak

ketiga dari Kertosudiro, dari isteri yang pertama Kertosudiro mempunyai dua

anak. Hubungan kedua orang tua Soeharto kurang serasi hingga akhirnya tak lama

setelah Soeharto dilahirkan mereka bercerai. Beberapa tahun kemudian Sukirah

menikah lagi dengan seorang yang bernama Atmopawiro, pernikahan ini

melahirkan tujuh anak, dan ayahnya menikah lagi dan mendapatkan empat anak.1

Soeharto bukanlah seorang keturunan ningrat, ayahnya hanyalah seorang ulu-ulu

yang tidak memiliki lahan sejengkalpun. Belum sampai empat puluh hari setelah

1Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya

(Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 6.

Page 45: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

34

kelahirannya, Soeharto dibawa ke rumah mbah Kromodiryo karena ibunya sakit

dan tidak bisa menyusui. Setelah berumur empat tahun Soeharto diambil lagi oleh

ibu Sukirah.2

Selain ayah, ibu, dan mbah Kromodiryo seorang tokoh yang juga

memberikan banyak pengaruh pada perkembangan Soeharto adalah

Prawirowihardjo, suami dari bibi Soeharto yang tinggal di daerah Wuryantoro.

Prawirowihardjo merupakan orang tua angkat Soeharto. Kertosudiro khawatir

anaknya mendapatkan pendidikan yang kurang baik jika tetap tinggal di daerah

Godean. Karena itu Soeharto diserahkan kepada Prawirowihardjo.

Prawirowihardjo merupakan seorang mantri tani di Wuryantoro. Latar

belakang Soeharto dari keluarga petani dari desa Kemusuk menanamkan benih-

benih simpati kepada petani dan dari Prawirowihardjo beliau banyak

mendapatkan pengetahuan pada bidang pertanian secara teoritis dan praktis.

Kehidupan dengan keluarga Prawirowihardjo ini sangat besar pengaruhnya

kepada Soeharto, seperti penuturan beliau:

“Keprihatinan hidup yang saya alami, pendidikan keluarga yang menjunjung

tinggi warisan nenek moyang, pendidikan kebangsaan sewaktu di sekolah

lanjutan rendah, pendidikan agama waktu mengaji, rasanya besar

pengaruhnya dalam pembentukan watak saya. Saya juga diberi latihan

spritual oleh ayah angkat saya seperti puasa tiap hari Senin dan Kamis dan

tidur di tritisan. Semua anjurannya saya kerjakan dengan tekun dan penuh

keyakinan. Ada satu anjuran yang belum saya kerjakan, yaitu tidur di bawah

pawuhan, di bekas tempat bakaran sampah.

Pada masa itu saya ditempa mengenal dan menyerap budi pekerti dan filsafat

hidup yang berlaku di lingkungan saya. Mengenal agama dan cara hidup

Jawa. Pada masa itulah saya mengenal ajaran tiga, “aja”,”aja kagetan”, “aja

gumunan”,“aja dumeh”(jangan kagetan, jangan heran, jangan mentang-

mentang), yang kelak jadi pegangan hidup saya, yang jadi penegak diri saya

dalam menghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri saya.

Saya ingat terus akan ajaran leluhur, “hormat kalawan Gusti, guru, ratu lan

wong atuwo karo”, (hormat kepada Tuhan yang Maha Esa, guru, pemerintah,

2Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 8-9.

Page 46: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

35

dan kedua orang tua. Sampai jadi presiden saya tidak merasa berubah dalam

hal ini. Saya junjung tinggi ajaran itu dan saya percaya akan kebenarannya.”3

Setelah dengan Prawirowihardjo, untuk melanjutkan sekolah lanjutan rendah

(Schakel School,) Soeharto tinggal di Wonogiri bersama Hardjowijono teman

ayahnya seorang pensiunan pegawai kereta api. Ketika bersama Hardjowijono,

Soeharto memiliki ketertarikan kepada seorang kiai yang bernama Darjatmo. Dari

kiai Darjatmo inilah Soeharto bisa mengerti apa itu samadi dan apa itu kebatinan,

belajar filsafat hidup, agama dan kepercayaan.4

Soeharto menamatkan

pendidikannya pada tahun 1939 dan selanjutnya memasuki dunia militer.

2) Karir dalam Kemiliteran

Awal langkah Soeharto memasuki dunia militer terjadi ketika beliau masih

berumur sembilan belas tahun, tepatnya pada tahun 1940. Soeharto diterima

sebagai siswa di sekolah militer di Gombong (Jawa Tengah). Setelah menjalani

latihan dasar selama enam bulan, Soeharto lulus dari sekolah militer itu dengan

prediket terbaik serta mendapatkan pangkat Kopral.

Pada 1942 setelah Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Jepang, Soeharto

mendaftar sebagai Keibuho, polisi. Setelah lulus dari Keibuho dengan predikat

terbaik lagi Soeharto dianjurkan oleh Kepala Polisi, opsir Jepang untuk

mendaftarkan diri pada PETA.5 Pada masa latihan di PETA ini terasa hidup

patriotisme, kecintaan Soeharto untuk membela tanah air. Di PETA, karir

Soeharto juga melonjak pesat, sesudah menjabat sebagai Komandan Resimen

3Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 13.

4 O.G Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, (Jakarta : Gunung Agung, 1976),

hal. 167. 5 Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 22.

Page 47: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

36

dengan pangkat Mayor, Soeharto diangkat sebagai Komandan Batalyon dengan

pangkat Letnan Kolonel.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Soeharto beserta teman-teman militer

lainnya di PETA membentuk suatu kelompok yang kemudian jadi anggota Badan

Keamanan Rakyat (BKR) yang pembentukannya diumumkan oleh pemerintah RI.

Soekarno menyerukan agar bekas PETA, Heiho, Kaigun, KNIL dan para pemuda

lainnya untuk bergabung dan mendirikan BKR-BKR ditempatnya masing-masing.

Secara resmi Soeharto tercatat sebagai Tentara Republik Indonesia pada tanggal 5

Oktober 1945 bersamaan dengan lahirnya Tentara Keamanan Rakyat.6

Semasa terjadi serangan umum di Yogyakarta pada Maret 1949, atas saran Sri

Sultan Hamengkubuwono IX pada Jendral Soedirman memerintahkan agar

Soeharto melakukan serangan umum dan merebut kembali Yogyakarta dari

tangan Belanda. Pasca serangan umum tersebut karir Soeharto dalam kemiliteran

semakin meningkat. Ketika berusia 32 tahun Soeharto diangkat sebagai

Komandan Resimen Infantri 15. Bertepatan 3 Juni 1956, Soeharto menjabat

sebagai Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro Semarang.

Kemudian pada tahun 1967 Soeharto mendapatkan pangkat Kolonel.7 Selain itu

jabatan-jabatan penting yang diduduki Soeharto dalam dunia militer adalah:

1. Komandan Brigade Garuda dengan tugas menumpas pemberontakan

Andi Azis di Sulawesi.

2. Komandan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS)

sektor kota Makasar dengan tanggung jawab meredam kekacauan

yang dilakukan eks KNIL/KL.

6Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 28.

7Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX &

Jokowi (Yogyakarta: Araska, 2013), hal. 116.

Page 48: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

37

3. Deputi I kepala staf Angkatan Darat dengan pangkat Brigadir Jendral

pada tahun 1960.

4. Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum Angkatan Darat)

dan Panglima Kohandad (Komando Pertahanan Angkatan Darat), dan

Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Perancis dan Bonn,

Jerman pada 1961.

5. Panglima Komando Mandala pembebasan Irian Barat dan Deputi

Wilayah Indonesia Timur di Makasar pada 1962.

6. Mendapatkan pangkat Mayor Jendral dan diangkat menjadi Panglima

Kostrad (Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat) pada 1963.

7. Diangkat menjadi Panglima Kopkamtib sesudah dapat melakukan

pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai kaum

komunis pada tahun 1965. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 27

Maret 1968 secara resmi Soeharto diangkat menjadi presiden Republik

Indonesia yang kedua.8

3) Karir sebagai Presiden Republik Indonesia

Jumat, 11 Maret 1966 di Istana Merdeka sedang diadakan sidang Kabinet

Yang Disempurnakan, Soeharto adalah satu-satunya menteri yang tidak hadir

dalam sidang tersebut. Saat itu Soeharto telah menjabat sebagai menteri/Panglima

Angkatan Darat. Sementara itu di luar istana mahasiswa melakukan demo dengan

maksud membatalkan sidang. Baru sekitar 15 menit sidang berlangsung Bung

Karno terpaksa meninggalkan ruangan sidang karena nota dari Brigjen Sabur

tentang adanya pasukan yang tak dikenal mengepung istana, Bung Karno pun

8 Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa, hal. 117.

Page 49: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

38

pergi menuju Bogor.9 Di tengah situasi yang rumit tersebutlah presiden Soekarno

diketahui mengeluarkan perintah yang dikenal dengan nama SUPERSEMAR.

SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) bisa disebut sebagai salah

satu ujung tombak peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Setelah

diberikan perintah tertanggal 11 Maret 1966 oleh presiden Soekarno, Soeharto

pun langsung bertindak. Perintah-perintah yang tertulis pada SUPERSEMAR

adalah:

1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya

keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi.

2. Menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan

Presiden/Panglima Tertinggi/Pimpinan Besar Revolusi.

3. Melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.10

Setelah menerima perintah tersebut Soeharto langsung mengambil

beberapa langkah taktis, salah satunya dengan pembubaran PKI pada 12 Maret

1966, langkah tersebut menimbulkan reaksi keras dari presiden Soekarno yang

memerintahkan Soeharto agar segera mencabut keputusannya, karena menurut

Soekarno, Surat Perintah Sebelas Maret tidak terkait dengan masalah politik,

hanya sebatas masalah keamanan. Akan tetapi Soeharto tetap teguh pendirian, ia

menolak mencabut keputusan tersebut. Karena menurut penulis ini merupakan

sikap dari Soeharto dalam mengartikan perintah pada poin yang pertama, yaitu

9Julius Pour, “Supersemar Antara Dongeng dan Kenyataan,” dalam Bagus Dharmawan

ed., Warisan (daripada) Soeharto, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008), hal. 45. 10

Saleh As'ad Djamhari, "Lahirnya Orde Baru," dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian,

ed., Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

2011), hal. 19.

Page 50: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

39

“mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan

dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi.”

Menurut Saleh As‟ad Djamhari, dosen luar biasa Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, lahirnya Surat Perintah 11 Maret

1966 merupakan babak akhir dari pertarungan politik Soekarno melawan

Soeharto yang dimulai sejak Oktober 1965 dengan pokok permasalahan

penyelesaian peristiwa G-30-S dan akibatnya. Presiden Soekarno tidak pernah

memberikan penyelesaian yang tegas. Setiap penyelesaiannya digantung dengan

janji solusi politik. Oleh karena ingin mempertahankan status quo akibat dari janji

solusi politik yang tak kunjung tiba, Presiden Soekarno ditinggalkan oleh

Angkatan Bersenjata, terutama Angkatan Darat yang sejak semula mencurigainya

sebagai pembela PKI. Sikap Angkatan Darat kemudian diikuti oleh sejumlah

partai politik dan organisasi massa. Tanpa disadari oleh Soekarno, penundaan

situasi politik berarti memberikan ruang dan waktu yang seluas-luasnya kepada

Soeharto melakukan konsolidasi untuk mengubah imbangan kekuatan

(equilibrium) melalui hubungan persahabatan dengan partai-partai dan rakyat.

Selain itu Soeharto melakukannya melalui operasi sosial politik yang sistematis

serta operasi militer yang intensif terhadap sisa kekuatan PKI yang dianggap

sebagai dalang kudeta G-30-S.11

Untuk selanjutnya, meskipun Soekarno mencoba bangkit kembali melalui

pidatonya yang berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” pada 17

Agustus 1966 namun masyarakat memandangnya dengan biasa-biasa saja. Media

massa tidak terlalu antusias menanggapi pidato tersebut, pandangan masyarakat

11

Saleh As'ad Djamhari, "Lahirnya Orde Baru,” hal. 20-21.

Page 51: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

40

telah berubah, popularitas Soekarno telah menurun drastis. Begitu banyak

tekanan, dan penghinaan yang diberikan kepada Soekarno, pembantunya banyak

yang diadili karena dianggap sebagai penghianat bangsa. Selain itu Soekarnopun

dituntut untuk melengkapi pertanggungjawabannya kepada MPRS sampai batas

waktu 1967.12

Di tengah situasi nasional yang tidak stabil pada waktu itu ada pertanyaan

dan dorongan dari beberapa orang kepada Soeharto, pertanyaannya adalah;

Apakah surat perintah itu hanya satu “instruksi” Presiden kepada Soeharto

ataukah satu “pemindahan kekuasaan eksekutif yang terbatas?” Tapi Soeharto

menjawab.

Menurut saya, perintah itu dikeluarkan di saat negara dalam keadaan

gawat di mana integritas presiden, ABRI, dan rakyat sedang berada dalam

bahaya, sedangkan keamanan, ketertiban, dan pemerintahan berada dalam

keadaan berantakan. Saya tidak akan sering menggunakan

SUPERSEMAR tersebut, lebih-lebih kalau surat perintah itu belum

diperlukan. Mata pedang akan menjadi tumpul apabila selalu digunakan.13

Adapun tuntutan kepada Soeharto waktu itu adalah agar beliau segera

tampil ke depan, ada politisi yang tidak sabar agar adanya perubahan dan

terjadinya pergantian kepemimpinan, bahkan ada yang mengusulkan kepada

Soeharto agar mengoper begitu saja kekuasaan negara. Usul tersebut langsung

ditolak Soeharto dengan jawaban:

“Kalau caranya begitu, lebih baik saya mundur saja, cara-cara seperti itu

bukan cara yang baik. Merebut kekuasaan dengan kekuasaan militer tidak

akan menimbulkan stabilitas yang langgeng. Saya tidak akan mewariskan

sejarah yang menunjukan bahwa di Indonesia ini pernah terjadi perebutan

kekuasaan dengan kekuatan militer. Saya tidak mempunyai sedikitpun

12

Saleh As'ad Djamhari, "Lahirnya Orde Baru," hal. 25. 13

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 173.

Page 52: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

41

pikiran di benak saya untuk melakukan coup atau gerakan yang bernoda.

Gerakan serupa itu menurut saya tidak akan berhasil.14

Tetapi setelah satu tahun konflik politik tersebut berjalan Soeharto pun

diangkat menjadi pejabat Presiden berdasarkan surat yang dikirimkan Soekarno

kepada Soeharto melalui Mr. Hardi dari PNI. Ada dua surat yang dikirimkan, satu

“Surat Penugasan” dan satunya lagi “nota pribadi”.

Nota pribadi itu berisi penjelasan rancangan naskah “Surat Penugasan” ,

bahwa hal-hal yang tercantum dalam “Surat Penugasan” itu akan dinyatakan di

depan Sidang Badan Pekerja MPRS. Sedangkan isi “Surat Penugasan” tersebut

menyebutkan bahwa Presiden menugaskan khusus kepada pemegang Surat

Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) 1966 untuk memegang Pimpinan Pemerintah

sehari-hari dengan dibantu oleh segenap aparatur pemerintahan, khususnya bagi

panglima Angkatan Bersenjata. Diterangkan juga bahwa dalam melaksanakan

tugas itu, pemegang SUPERSEMAR harus selalu mengadakan konsultasi yang

erat dengan Presiden sehingga wewenang dan tugas kewajiban sebagaimana

terkandung dalam ketetapan MPRS 1966 dapat dilaksanakan dengan sempurna.

Secara resmi Soeharto menjabat sebagai pejabat Presiden pada 20 Februari 1967,

dan resmi sebagai presiden Republik Indoneia kedua pada Maret 1968 setelah

diadakan sidang MPRS yang dipimpin oleh Abdul Haris Nasution.15

B. Indonesia di Bawah Soeharto

1. Bidang Ekonomi

Prioritas utama Soeharto saat pertama kali diangkat sebagai Presiden

Republik Indonesia adalah memperbaiki kondisi perekonomian nasional, yang

14

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, h. 185. 15

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, h. 187.

Page 53: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

42

begitu anjlok pada sekitar tahun 1960-1965an yang juga disebabkan oleh situasi

politik pada waktu itu. Kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah

Orde Baru pada dasarnya merupakan cerminan dari dinamika pergulatan ekonomi

politik pembangunan yang berkembang dalam “komunitas politik” negeri ini. Bisa

dikatakan cita-cita besar rezim Orde Baru adalah penataan kembali seluruh

kehidupan bangsa dan negara serta menjadikan pemerintahan Orde Lama sebagai

titik acuan koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang pernah terjadi.

Perbedaan mendasar langkah yang dilakukan pemerintahan Soeharto

dengan pemerintahan sebelumnya adalah dengan tidak menganggap komitmen

mereka terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai ideologi. Mereka menganggap

dirinya pragmatis rasional yang mencoba untuk mengakhiri keterpesonaan bangsa

Indonesia terhadap suatu ideologi. Karena menurut mereka ideologi dapat

membangkitkan gerak hati primitif dan berbahaya yang tak menuju konflik sosial

dan akan membelotkan rakyat Indonesia dari persatuan yang dibutuhkan untuk

meraih modernitas. Pemerintahan Soeharto merumuskan modernitas bukan

sebagai suatu hasil utopis melainkan sebagai tujuan langkah-langkah yang

inkremental (berkembang sedikit demi sedikit) dan praktis: menstabilkan harga,

memperbaiki prasarana fisik, membuat pertanian lebih produktif, mendorong

industri, memperluas lapangan kerja, memperbaiki pendidikan, dan meningkatkan

penghasilan per kapita.16

Soeharto sangat menyadari keterbatasan pengetahuannya di bidang

ekonomi, sehingga dia bersedia bekerja sama dengan beberapa ahli yang latar

belakangnya berbeda. Soeharto banyak melibatkan pakar ekonomi lulusan

16

Robert Cribb, "Bangsa: Menciptakan Indonesia" dalam Donald K. Emmerson, ed,.

Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta; PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2001), hal 57-58.

Page 54: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

43

Universitas Indonesia dan University of California Berkeley, Amerika Serikat,

Soeharto memasukan beberapa ahli pada susunan kabinetnya. Itu merupakan salah

satu upaya Soeharto dalam membangun kembali perokonomian nasional.

Para pakar ekonomi yang diminta Soeharto untuk memperbaiki ekonomi

Indonesia pada waktu itu adalah: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad

Sadli, Soebroto, dan Emil Salim. Widjojo Nitiastro ditunjuk sebagai ketua dari

tim ini yang mendapat julukan ”Mafia Berkeley ” hampir selama dua dasawarsa.17

Pembangunan ekonomi pemerintah Orde Baru bertumpu pada bantuan luar

negeri dan penanaman modal, baik domestik maupun asing. Di sisi lain lembaga-

lembaga keuangan internasional dan penanaman modal asing bersedia

mengucurkan bantuan dana atau menanamkan modal bila iklim sosial politik

Indonesia dinilai kondusif. Tidak ada jalan bagi pemerintahan Orde Baru selain

memulihkan keadaan perokonomian melalui kegiatan-kegiatan pembangunan.

Strategi pembangunan yang dipilih Orde Baru Soeharto saat itu adalah dengan

menerapkan konsep pertumbuhan ekonomi. Untuk meningkatkan perokonomian

semua harus berkorban. Soeharto percaya bahwa satu-satunya jalan untuk

meningkatkan taraf hidup rakyat adalah dengan membuka diri pada pasar dunia.

Investasi seluas-luasnya termasuk membujuk modal asing dengan menawarkan

berbagai fasilitas menjadi prioritas untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.18

Pembangunan ekonomi Orde Baru berlandaskan Trilogi Pembangunan

(stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan) memang membawa

hasil nyata, pendapatan rata-rata orang Indonesia yang hanya 50 dollar AS pada

17

Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan" dalam Taufik

Abdullah dan A.B Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi (Jakarta:

PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2011), hal. 154. 18

Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia; Mengupas Semiotika

Orde Baru Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 108.

Page 55: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

44

1965 perlahan-lahan naik menjadi 500 dollar AS pada 1980. Di antara 1968 dan

1981, perokonomian Indonesia tumbuh lebih dari 7 persen setahun.19

Akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat dan hampir berkelanjutan selama

tiga dasawarsa, maka pemerintahan Soeharto berhasil menjadikan Indonesia

menjadi kelompok negara berpenghasilan menengah-bawah (lower middle income

countries) yang sebelumnya Indonesia hanya berada pada kelompok negara

berpenghasilan rendah (low income countries) pada awal 1990-an. Selama kurun

waktu ini juga kemiskinan absolut telah berkuarang di Indonesia, lebih dari 60%

jumlah penduduk pada tahun 1965 sampai hampir 16% pada tahun 1996.20

Selain itu, pemerintahan Soeharto juga berhasil memakmurkan Indonesia

dari segi pertanian, petani-petani dari desa mendapatkan perhatian yang lebih dari

pemerintah, sehingga dengan suksesnya pertanian juga memberikan dampak

terhadap keberhasilan pertumbuhan industri.

Salah satu bentuk perhatian pemerintah pertanian adalah Repelita I

(1969/1970-1973-1974) yang memberikan prioritas utama pada pembangunan

sektor pertanian, khususnya subsektor pangan. Menurut para ahli prioritas kepada

pembangunan sektor pertanian sangat perlu segera diambil oleh pemerintah,

karena mayoritas penduduk Indonesia waktu itu adalah petani sehingga

meningkatkan pendapatan dan daya beli petani.

Dalam prakteknya, prioritas pada pembangunan pertanian terutama

ditunjukan kepada swasembada beras. Prioritas ini didasarkan atas pertimbangan

pemerintah Orde Baru bahwa pasokan beras yang mencukupi sangat penting bagi

19

Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan" dalam Donald K.

Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 191. 20

Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan", hal. 147.

Page 56: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

45

stabilitas politik dan sosial. Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga

(Repelita III, 1979/1980-1983/1984) tujuan swasembada beras diperluas menjadi

swasembada pangan.21

Upaya intensif pemerintah Orde Baru meningkatkan produksi beras

membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Indikator yang dipakai untuk

mengukur keberhasilan ini adalah bobot padi yang dihasilkan per hektarnya.

Keberhasilan program intensifikasi beras juga tercermin dengan tercapainya

swasembada beras pada 1985. Keberhasilan pemerintah Orde Baru mencapai

swasembada beras diakui oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang

pada tahun 1985 itu memberikan piagam penghargaan kepada presiden

Soeharto.22

Berkat kinerja ekonomi yang mengesankan, Indonesia pada tahun 1993

digolongkan sebagai salah satu “ekonomi Asia yang berkinerja tinggi” (High-

Performing Asian Economies, HPAEs) oleh Bank Dunia dalam bukunya yang

terkenal The East Asian Miracle.23

Namun, di samping keberhasilan yang begitu pesat tersebut masih banyak

kritikan yang datang terhadap pemerintahan Orde Baru soal pemerataan. Model

pembangunan ekonomi trickle down effect justru menimbulkan kesenjangan

ekonomi karena pertumbuhan ekonomi hanya terpusat di pulau Jawa. Sedangkan

daerah di luar Jawa hanya sedikit yang merasakan hal tersebut.

Kebijakan dan strategi pembangunan pemerintah Orde Baru Soeharto

memang lebih mengutamakan kepentingan pusat ketimbang daerah. Itu

merupakan salah satu “warisan” kerajaan-kerajaan lama (Jawa). Setiap wilayah

21

Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan", hal. 158. 22

Thee Kian Wie, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan", hal. 158. 23

Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan," hal. 192.

Page 57: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

46

atau daerah yang berada di luar pusat kekuasaan “wajib” mempersembahkan dan

menyerahkan upeti kepada penguasa (raja) di pusat kekuasaan. Pembangunan

yang menomorsatukan kepentingan pusat kerajaan atau keraton otomatis

mendorong arus besar perpindahan modal dan manusia dari daerah ke pusat. Kue

pembangunan justru lebih banyak dinikmati pemerintah pusat ketimbang

pemerintah daerah. Tak pelak, pertumbuhan tanpa pemerataan pun memunculkan

gelombang kekecewaan dan ketidakpuasan di sejumlah daerah.24

2. Bidang Politik dan Sosial

Gagasan dan tindakan Soeharto berikutnya adalah membenahi bidang

politik dan pemerintahan. Orde Baru Soeharto meyakini bahwa pembangunan

ekonomi tidak dapat terwujud tanpa adanya stabilitas politik. Hampir semua

aktivitas politik pada masa Orde Baru mendapatkan kontrol yang ketat dari

pemerintah. Untuk itu Soeharto melakukan penyederhanaan partai berdasarkan

persamaan golongan. Ada tiga golongan yang masuk dalam pandangan Soeharto,

yakni golongan nasionalis, golongan agama, dan golongan karya. Soeharto

mengharuskan seluruh partai menyatukan diri berdasarkan persamaan golongan.

Maka lahirlah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang terdiri dari PNI, IPKI, dan

Partindo untuk golongan nasionalis. Partai Persatuan Pembangunan yang

merupakan gabungan dari partai-partai Islam (NU, Parmusi, PSSI, dan Perti)

untuk golongan agama, dan Golkar untuk Golongan Karya.25

Selanjutnya, Soeharto menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal yang

harus dipegang oleh semua orang Indonesia untuk menghilangkan konflik

24

Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 109. 25

Abdul Syukur, “Hubungan Masyarakat dan Negara” dalam Taufik Abdullah dan A.B

Lapian, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: PT. Ichtiar Baru

van Hoeve, 2011), hal. 60.

Page 58: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

47

ideologi. Setiap partai politik diharuskan menganut ideologi yang sama yakni

Pancasila. Jika ada yang menolak azas Pancasila tersebut maka itu dianggap

sebagai potensi adanya ancaman. Sebagai contoh hukuman cekal (cegah dan

tangkal) yang diberikan kepada pimpinan dan anggota “petisi 50” pada tahun

1980.26

Soeharto selalu mengidentifikasikan oposisi sebagai sesuatu yang

membahayakan kepentingan nasional dan merongrong stabilitas. Suara kelompok-

kelompok yang kritis kadangkala dihadapi dengan tindak represi. Menurut

Soeharto sikap kritis yang merupakan salah satu bentuk cara kontrol sosial

seharusnya ditempuh dengan cara-cara yang tidak menimbulkan keonaran dan

mengusik stabilitas nasional.27

Terkait dengan peristiwa ini, Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden

No. 10 tahun 1982 tentang Penataran Kewaspadaan Nasional pada 26 Juni 1982.

Soeharto juga secara khusus menugaskan kepada Panglima Kopkamtib Laksmana

Sudomo untuk menyelenggarakan penataran kewaspadaan nasional bagi para

pejabat eselon I di departemen-departemen dan instansi pemerintah lainnya.

Penataran tersebut dilakukan karena bangkitnya ancaman bahaya laten

komunisme/marxisme/leninisme.28

Selanjutnya hal yang juga patut diperhatikan untuk menjaga keamanan dan

stabilitas nasional adalah permasalahan sosial rakyat Indonesia. Karena Indonesia

merupakan negara kepulauan yang begitu luas, terdiri dari berbagai etnik suku,

agama, dan ras. Diantara suku-suku yang ada di Indonesia adalah Jawa, Sunda,

26

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, h. 346. 27

Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 115. 28

Abdul Syukur, “Hubungan Masyarakat dan Negara,” hal. 62.

Page 59: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

48

Melayu, Bugis, Batak, Minangkabau, Ambon, Madura, Betawi, Minahasa, Bajau,

Makassar, dll. Sementara keragaman bangsa Indonesia dari segi ras terdapat

warga negara Indonesia yang keturunan India, Arab, Cina, dan Eropa. Hubungan

antara empat ras ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu.

Keragaman pada bangsa Indonesia ini bisa menjadi sumber konflik,

terlebih lagi pada masa pemerintah Hindia Belanda melakukan diskriminasi

tentang lapisan masyarakat (stratifikasi sosial) meskipun pada akhirnya

pemerintah Indonesia menghapus diskriminasi sosial ini. Setiap warga negara

dilarang mempersoalkan perbedaan tersebut. Pada masa Orde Baru, pemerintah

menggiatkan program transmigrasi yang memindahkan penduduk pulau Jawa ke

seluruh wilayah Indonesia.29

Tulang punggung yang menjaga stabilitas politik dan sosial pada masa

pemerintahan Soeharto adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, mereka

dilibatkan dalam tata kelola negara melalui dwifungsi ABRI. Dalam Dwifungsi

ABRI, ABRI berperan sebagai stabilisator dan dinamisator bagi bangsa Indonesia.

Peran angkatan bersenjata merupakan sesuatu yang vital bagi Orde Baru

dan cara kerjanya. ABRI menjaga dominasi negara atas masyarakat. ABRI

membenarkan intervensi militer di bidang politik sipil berdasarkan konsep

Dwifungsi ABRI, yaitu ABRI berperan sebagai alat negara dan juga sebagai

kekuatan sosial politik. Dalam buku otobiografinya Soeharto mengatakan, “ABRI

bukan semata-mata Angkatan Bersenjata bayaran. ABRI adalah juga pengisi

kemerdekaan, berhak dan merasa wajib ikut menentukan haluan negara dan

jalannya pemerintah. Inilah sebab pokok pada masa Orde Baru ABRI mempunyai

29

Abdul Syukur, “Hubungan Masyarakat dan Negara,” hal. 65.

Page 60: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

49

dua fungsi. Konsep Dwifungsi ABRI sebenarnya bukanlah murni gagasan

Soeharto atau pemerintahan pada masa itu, konsep ini telah lama dikembangkan

oleh Jendral Besar A.H Nasution di era sistem Demokrasi Terpimpin. Saat itu

militer telah masuk ke dalam wilayah politik praktis, dan kehadirannya tidak

terelakan karena sebagai pengimbang kekuatan komunis, yakni Partai Komunis

Indonesia yang telah mendapat ruang politik dan berpengaruh pada masa presiden

Soekarno.30

Berdasarkan kebijakan pemerintah pada waktu itu maka secara legal dan

institusional, ABRI telah menjadi satu kekuatan yang memiliki peran politik

sebagai halnya partai politik, selain tugasnya sebagai pertahanan dan keamanan

negara. Akan tetapi keputusan ini sangat sulit dipahami bagi mereka yang kritis

atau mengerti cara berpikir akademis pada masa itu, muncul kekhawatiran bahwa

ABRI akan “terperosok” ke dalam lingkaran kepentingan politiknya daripada

melindungi rasa aman dan kebebasan rakyat dalam berpolitik.

Soeharto pun tahu dengan kekhawatiran sebagian pihak tersebut, namun ia

menepis:

”Saya tidak menutup mata terhadap kekhawatiran di sementara kalangan

di luar negeri bahkan di dalam negeripun masih ada yang

mengkhawatirkan bahwa dwifungsi ABRI serta perannya sebagai

stabilisator dan dan dinamisator, suatu waktu akan melahirkan pemerintah

yang militeristis, otoriter, atau totaliter. Kekhawatiran semacam itu tidak

beralasan. Sejarah membuktikan bahwa dalam saat yang sulit sekalipun ,

dalam saat negara dan bangsa kita dihadapkan kepada bahaya yang

mengancam keselamatan Pancasila, ABRI tidak pernah berpikir dan

bertindak militeristis.” Soeharto begitu yakin ABRI tidak akan tergelincir

30

Firdaus Syam, “Militer dan Dwifungsi” dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed.,

Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,

2011), hal. 32.

Page 61: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

50

kepada militerisme, otoriterisme, dan totaliterisme karena semuanya itu

lurus bertolak belakang dengan Demokrasi Pancasila.31

31

G. Dwipayana, Ramadhan KH. Soeharto, hal. 460.

Page 62: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

51

BAB IV

KEPEMIMPINAN SOEHARTO BERDASARKAN FILSAFAT

ASTABRATA

BAB IV KEPEMIMPINAN SOEHARTO BERDASARKAN FILSAFAT

ASTABRATA

A. Soeharto dan Filsafat Astabrata

Dari awal berdiri negara Indonesia, budaya Jawa selalu berpengaruh besar

terhadap politik dan pemerintahan, selain karena pusat pemerintahan berada di

pulau Jawa menurut penulis hal ini tidak terlepas dari keberhasilan-keberhasilan

kerajaan Jawa dahulu dalam mempersatukan Nusantara sehingga budaya Jawa

masih memiliki pengaruh besar dalam politik dan pemerintahan. Politik memiliki

keterkaitan dengan budaya dan identitas. Pimpinan politik akan membawa

identitas masing-masing. Ketika identitas itu tidak dapat dikelola secara baik akan

muncul egoisme. Semua gejala tersebut dapat dilihat bahwa sedikit banyak proses

kultural politik dalam sistem politik Indonesia saat ini telah terbentuk oleh sebuah

sistem politik dan kekuasaan tradisional Jawa. Misalnya dalam konteks

pelaksanaan pembangunan sekarang ini yang selalu berorientasi ke pusat dengan

budaya "mohon petunjuk" sebelum suatu program dilaksanakan telah

membuktikan bahwa sistem politik dan kekuasaan tradisional Jawa telah merasuki

sistem politik pemerintahan Orde Baru.

Bagi orang Jawa, pemimpin haruslah seorang yang alus (berbudi halus),

elegan, bertutur kata lembut, sopan, mudah beradaptasi dan reaktif, dengan

kekuatan dari dalam sehingga mampu memberikan perintah secara tidak langsung

dan sopan, yang dipermukaan tampak seperti merendahkan diri. Emosi-emosi

Page 63: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

52

seperti kebahagiaan, kesedihan, kecewa, penyerahan, harapan, dan rasa kasihan

tidak seharusnya diperlihatkan di muka umum, Soeharto adalah seorang

pemimpin yang terampil dalam mendemonstrasikan sikap alus ini, terutama dalam

hal penguasaan diri.1

Pada bab sebelumnya penulis telah menjelaskan keterkaitan Soeharto

dengan filosofi budaya Jawa, dan bagaimana Soeharto memegang teguh filosofi

tersebut dalam kehidupannya. Seperti ajaran “tiga ojo”, ojo kagetan, ojo

gumunan, ojo dumeh (jangan kagetan, jangan heran, jangan mentang-mentang)

yang diakui Soeharto sebagai pegangannya dalam menghadapi persoalan-

persoalan yang bisa mengguncangkan hidupnya. Sebagai orang Jawa, Soeharto

tentu tidak bisa lepas dari filosofi Jawa selama kepemimpinannya khususnya

dengan ajaran Astabrata. Ada beberapa argumen yang mengatakan Soeharto

menjadikan Astabrata sebagai acuan dalam kepemimpinannya, di antaranya

adalah: sebagaimana Wilson mengatakan dalam artikelnya bahwa Soeharto pada

masa Orde Baru menjalankan kekuasaannya berdasarkan filosofi Astabrata.2

Selain itu patung yang menggambarkan delapan kuda yang menarik kereta perang

dan diatasnya terdapat Prabu Kresna yang memegang sais dan Arjuna yang

memegang busur panah. Patung ini diilhami oleh kisah Barata Yudha dan

dianggap menggambarkan filosofi kepemimpinan Astabrata yang dijalankan oleh

Soeharto yang terkenal gemar menjunjung nilai-nilai budaya Jawa.3 Bukti lain

adalah Astabrata sering dijadikan sebagai bahan dalam penataran Pancasila serta

1Yuanita Rusalia Harneni, “Tinjauan Islam tentang Etika Politik Soeharto,” (Skripsi S1

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009), hal. 45-46. 2Wilson, "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati," dalam Robertus Robet & Todung

Mulya Lubis, ed., Politik Hukuman Mati di Indonesia (Serpong: CV. Marjin Kiri, 2016), hal. 10. 3Wilson,”Politik Hukuman Mati di Indonesia,” hal. 11.

Page 64: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

53

dipahatkan dalam relief di dinding lobi gedung utama Sekretariat Negara di

Jakarta.4

B. Analisis Kepemimpinan Soeharto Berdasarkan Filsafat Astabrata

Pada bagian ini, yang merupakan pokok utama pembahasan skripsi ini penulis

akan memberikan analisa tentang kepemimpinan Soeharto secara teori dan praktik

dengan watak kedelapan Dewa sebagai pemimpin yang diajarkan dalam

Astabrata.

1. Watak Dewa Indra

Dalam ajaran Astabrata, dewa Indra merupakan dewa yang menjadi simbol

bagi pemimpin dalam mensejahterakan rakyatnya secara merata, seperti dalam

teks Astabrata berikut:

Adapun tingkah laku Batara Indra:

Ialah yang dengan bau-bauan menghujani bumi ini

Derma dananya menghambur tersebar

Merata ke seluruh dunia

Kepada semua hambanya baik yan besar maupun yang kecil

Tanpa membeda-bedakan orang

Itulah tingkah laku Indra5

Sebagai seorang pemimpin bangsa, Soeharto memiliki gagasan sendiri tentang

kesejahteraan, yaitu keberhasilan pembangunan ekonomi dan pemerataan

4Bambang Wiwoho, “Falsafah Kepemimpinan Astabrata” artikel diakses pada 15 Januari

2016 dari www.teropongsenayan.com/27216-falsafah-kepemimpinan-hasta-brata 5Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi

tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal.

174.

Page 65: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

54

terciptanya keadilan sosial. Pembangunan ekonomi yang dilaksanakannya

bertujuan untuk membuat rakyat sejahtera lahir dan batin.6 Menurut penulis secara

konsep, pemikiran Soeharto ini sangat sinkron dengan ajaran kepemimpinan yang

disimbolkan Dewa Indra dalam Astabrata. Jika dilihat secara praktekpun selama

kepemimpinan Soeharto permasalahan ekonomi merupakan suatu prioritas utama

untuk memulihkan keadaan Indonesia, sebagaimana juga sudah penulis paparkan

pada bab II.

Bagaimana keberhasilan Soeharto dalam meningkatkan perekonomian

Indonesia telah penulis paparkan pada bab II, yang secara garis besar di bawah

kepemimpinan Soeharto Indonesia berhasil meningkatkan perekonomian Nasional

dari perkisaran tahun 1968-1981. Pada saat itu perekonomian Indonesia tumbuh di

atas tujuh persen pertahunnya.7

Namun meskipun berhasil mencapai keberhasilan yang begitu pesat dalam

bidang ekonomi, pemerintahan Soeharto masih mendapatkan kritik dari berbagai

pihak soal pemerataan. Istilah “Jawa Sentris” mungkin sudah tidak asing lagi

terdengar untuk mengungkapkan kesenjangan kesejahteraan sosial dan

ketidakadilan ekonomi pada masa Soeharto memimpin Indonesia. Sebagian besar

masyarakat, terutama penduduk desa di daerah luar pulau Jawa dan kawasan

Timur Indonesia yang seharusnya juga mendapat kesejahteraan yang sama dengan

masyarakat di pulau Jawa hanya mendapat remah-remah kue pembangunan.8

6Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya

(Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 349-350. 7

Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan" dalam Donald K.

Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 191. 8Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia; Mengupas Semiotika Orde

Baru Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 108.

Page 66: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

55

Menurut Anne Booth, pimpinan Orde Baru memilih dan menjalankan kebijakan

yang dampaknya lebih menguntungkan kawasan Barat ketimbang Timur atau

Utara. Pilihan ini dianggap tidak mengherankan karena pemerintah pusat sendiri

bermarkas di Jakarta, ibukota yang terletak di Jawa dan struktur pemerintahan

Soeharto telah sangat memusatkan kekuasaan di tangan pusat bukan di pemerintah

daerah.9

Kebijakan dan strategi pembangunan pemerintahan Soeharto yang lebih

mengutamakan kepentingan pusat ketimbang daerah dianggap sebagai salah satu

“warisan” kerajaan-kerajaan lama (Jawa). Setiap wilayah atau daerah yang berada

di luar pusat kekuasaan “wajib” mempersembahkan dan menyerahkan upeti

kepada penguasa di pusat kekuasaan. Pembangunan yang menomorsatukan

kepentingan pusat kerajaan atau keraton otomatis mendorong arus besar

perpindahan modal dan manusia dari daerah ke pusat. Pertumbuhan tanpa

pemerataan seperti inilah yang menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan di

sejumlah daerah.10

Mengenai pemerataan yang belum terwujud ini Soeharto sendiri secara jujur

mengakuinya, tetapi keadilan sosial ini tetap merupakan suatu cita-citanya selama

memimpin Indonesia.11

Menurut penulis meskipun pemerataan kesejahteraan

belum terwujud pada masa pemerintahan Soeharto, tetapi sebagai seorang

pemimpin Soeharto sangat menerapkan ajaran kepemimpinan Astabrata,

khususnya watak pemimpin yang disimbolkan oleh Dewa Indra tentang

kesejahteraan dan keadilan sosial. Meskipun masih terdapat perbedaan dan

9Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan" hal. 205.

10Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 109.

11Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 349-350.

Page 67: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

56

kepincangan sosial Soeharto tetap menegaskan bagaimana hasil pembangunan

yang sangat nyata selama kepemimpinannya, kesejahteraan rakyat yang jauh lebih

baik daripada waktu sebelum pelaksanaan pembangunan pada masanya. Selain itu

arah kebijaksanaan pembangunan yang berlandaskan kepada GBHN (Garis Besar

Haluan Negara) akan terus bergerak menuju terwujudnya keadilan sosial.12

2. Watak Dewa Yama

Dalam menganalisa kepemimpinan Soeharto berdasarkan watak Dewa Yama,

penulis memfokuskan diri pada sikap Soeharto selaku pemimpin menjaga

keamanan Nasional dan penerapan hukum pada masa kepemimpinannya karena

sebagaimana telah penulis paparkan pada bab sebelumnya, Dewa Yama

merupakan teladan yang patut ditiru oleh seorang pemimpin agar bisa menjaga

keutuhan dan keamanan negara.

Masa kepemimpinan Soeharto, pernah diterapkan kebijakan operasi

penembakan langsung kepada para penjahat kaliber yang waktu itu dikenal

dengan istilah “Petrus” (Penembakan Misterius) dan hukuman mati. Bagi

Soeharto langkah ini diterapkan pada masanya semata-mata hanya untuk

memberikan perlindungan kepada rakyat dan menumpas semua kejahatan yang

sudah melampaui batas perikemanusiaan.13

Pelaksanaan “Petrus” mendapat protes

dari sebagian pihak karena para penjahat itu dihukum tanpa melalui proses

12

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 351-351. 13

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 389-390.

Page 68: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

57

peradilan, dan dianggap melanggar HAM. Namun justru sebagian besar rakyat

merasakan manfaat langsung dari adanya “Petrus” ini.14

Untuk berbagai macam kritik yang datang tersebut, Soeharto mengatakan

bahwa mereka yang mengkritik tidak mengerti masalah yang sebenarnya.

Soeharto hanya saja ingin bertindak tegas terhadap para pelaku kejahatan dan

memang harus dengan kekerasan tindakan tegas itu dilaksanakan. Tetapi

kekerasan yang itu bukan lantas dengan penembakan begitu saja, hanya kepada

para penjahat yang melawanlah penembakan itu dilakukan. Selain itu para

penjahat tersebut menurut Soeharto tidak hanya melakukan pelanggaran hukum,

tetapi juga melanggar batas-batas perikemanusiaan. Sebagai contoh, seorang yang

sudah tua dirampas hartanya, kemudian masih dibunuh. Bagi Soeharto ini

dianggap sudah melampaui batas kemanusiaan.15

Lalu berkaitan dengan peristiwa “Petrus” ini, ada penjahat yang setelah

ditembak mayatnya ditinggalkan begitu saja, Soeharto mengatakan tindakan

demikian itu dilakukan untuk memberi shock therapy (terapi goncangan) supaya

banyak yang mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bertindak

tegas dan mengatasinya. Dengan tujuan bisa menumpas semua kejahatan yang

sudah melampaui batas. Dan mengikis habis semua kejahatan-kejahatan yang

menjijikkan.16

Kebijakan selanjutnya yang juga mendapatkan kritik pada masa

kepemimpinan Soeharto adalah permasalahan penerapan hukuman mati di

14

Dewi Ambar Sari dan Lazuardi Sange, Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto,

(Jakarta: Jakarta Citra, 2006), hal. 191. 15

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 351-351. 16

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 390.

Page 69: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

58

Indonesia. Wilson mengatakan bahwa hukuman mati merupakan suatu bentuk

hukuman yang kejam di Indonesia. Bentuk dan cara pelaksanaan hukuman mati

memang berubah dalam kurun ratusan tahun. Tetapi pada dasarnya filosofis

hukuman mati sama saja sejak dari zaman kerajaan-kerajaan Nusantara hingga

pasca kemerdekaan, yaitu untuk menegakkan superemasi ekonomi-politik dan

superemasi moral penguasa untuk melakukan “kontrol” atas tertib sosial dan tertib

politik, dan pada zaman Orde Baru Soeharto atas nama “stabilitas nasional”.17

Menurut penulis, tindakan Soeharto menerapkan kebijakan seperti di atas

merupakan representasi dari sikap Dewa Yama membasmi para penjahat yang

mengganggu ketentraman negara. Dalam teks Astabrata diuraikan cara Dewa

Yama menindak penjahat sebagai berikut:

Itu dinda, yang harus jadi tindakanmu

Terhadap semua hamba yang menghuni bumi ini

Adapun tingkah lakumu

Menghukum tindak yang menyakiti

Seluruh penjahat dalam negara terkikis punah

Tak peduli walaupun sanak-kerabat sendiri

Jika ia penjahat, dibunuhlah ia

Siapapun yang berbuat laknat

Diburu dan diusut sampai porak poranda

Di tempat sembunyi dilacak

Ditangkap dan dihabisi nyawanya

Sampah negara diusahakan habis musnah

Itulah Batara Yama

17

Wilson,“Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati,” hal. 1.

Page 70: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

59

Caranya menjaga negara agung18

Pada petikan di atas secara jelas dinyatakan untuk menjaga suatu “negara

agung”, maka seorang penguasa atau pemimpin dibenarkan untuk membunuh,

menghabisi nyawa seseorang hingga tak berbekas. Selanjutnya cara yang dapat

diambil seorang pemimpin melalui watak Dewa Yama untuk menjaga sebuah

negara selain dengan menghilangkan kejahatannya adalah dengan “menyuruh

pergi siapa yang berbuat salah”, dalam hal ini penulis mengartikannya bagaimana

seorang pemimpin harus bisa menghapuskan sesuatu yang berpotensi melakukan

kesalahan atau kejahatan yang dapat mengganggu keamanan dan kedaulatan

negara.

Stabilitas nasional merupakan syarat penting bagi Soeharto untuk

pelaksanaan pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga

kekuatan-kekuatan yang berpotensi menentang pemerintah akan ditindak tegas,

dalam hal ini yaitu sikap yang menyimpang dari Demokrasi Pancasila yang

diterapkan Soeharto terlebih lagi penyimpangan terhadap apa yang telah

disepakati oleh wakil-wakil rakyat yang akan menjadi langkah bersama ke

depannya dalam jangka waktu 5 tahun.19

Pada masa pemerintahan Soeharto dapat

dilihat bagaimana pemerintah Orde Baru waktu itu menyikapi gerakan petisi 50,

permasalahan PKI, dan kontrol sosial yang ketat.

Pada tahun 1980 hukuman cekal (cegah dan tangkal) diberikan kepada

pimpinan dan anggota petisi 50 karena tindakan oposisi terhadap pemerintah.

Namun tindakan yang dilakukan Soeharto sangat jauh berbeda dengan yang

18

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 175. 19

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 346-347.

Page 71: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

60

digambarkan oleh Dewa Yama yang menyuruh pergi atau mengusir siapa yang

dekat pada berbuat salah, Soeharto malahan mencegah para pelakunya untuk

keluar dari Indonesia, menurut penulis hal ini karena Soeharto mencegah akan

datangnya kekuatan dari luar negeri (Barat) yang akan mengganggu

pemerintahannya. Soeharto sendiri menganggap oposisi yang dilakukan oleh

anggota petisi 50 oposisi ala Barat, yang tidak sesuai dengan Demokrasi

Pancasila.20

3. Watak Dewa Surya

Frans Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa mengatakan bahwa

kekuasaan yang sebenarnya dalam budaya Jawa nampak dalam ketenangan. Sikap

tenang di sini memiliki kaitan erat dengan suatu sifat yang bagi orang Jawa

merupakan inti dari kemanusiaan yang beradab dan sekaligus menunjukan

kekuatan batin. Seorang penguasa atau dalam pembahasan penulis lebih tepat

menggunakan kata pemimpin, haruslah seorang yang bersikap alus. Alus (halus)

pertama-tama berarti suatu permukaan halus dalam arti fisik, tetapi dalam hal

kekuasaan dan penguasaan lebih tepat dipakai arti lembut, luwes, sopan, beradab,

peka, dan sebagainya. Kehalusan di sini bukanlah sebuah kelemahan, akan tetapi

merupakan sesuatu kekuatan. Karena orang yang halus ia berarti dapat

mengontrol dirinya sendiri.21

Seorang pemimpin sejati tidak akan berbicara dengan suara keras agar

didengar, tidak pula marah-marah. Apabila ia memberikan perintah ia tidak akan

memberikannya secara langsung. Cukup dalam bentuk sindiran, usul, anjuran;

20

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 346. 21

Frans Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan

Hidup Jawa, (Jakarta:PT. Gramedia, 1991), hal.102.

Page 72: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

61

sebagai perintah yang halus. Begitu pula ia tak memberi larangan secara kasar.

Suatu ucapan kritis, pertanyaan yang sopan kepada lawan, senyuman toleran

sudah cukup untuk menunjukan kehendaknya yang kuat seperti besi. Orang yang

sungguh-sungguh berwibawa tidak perlu menggarisbawahi kewibawaannya

dengan usaha-usaha lahiriah.22

Menurut penulis penjelasan Frans Magnis Suseno tentang sifat penguasa

dalam budaya Jawa di atas merupakan pemaparan yang hampir sama dengan

watak Dewa Surya dalam ajaran Astabrata yang menjelaskan pemimpin sebagai

seorang yang berwatak ambeg pramata, selalu bersikap halus dan santun kepada

siapapun.

Menurut penulis, watak alus pada diri Soeharto dapat dilihat dari berbagai

peristiwa, kesaksian dan beberapa penjelasan tentang Soeharto. Pada peristiwa

perpindahan kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde Baru, sangat tampak

bagaimana Soeharto bisa bersikap tenang dan tidak terburu-buru untuk

menduduki status sebagai kepala negara meskipun sudah ada desakan kepadanya

di tengah situasi politik dan nasional pada waktu itu.23

Selanjutnya sikap tenang, halus,bahkan masih menghormati lawannya

(Soekarno) dapat dilihat dari penuturan Soeharto berikut:

Lalu saya dihadapkan lagi kepada para mahasiswa yang tentunya tidak

sendirian. Saya menyatakan dengan nada tenang di depan mereka, bahwa

Bung Karno masih Presiden kita yang sah, sesuai dengan Undang-Undang

Dasa 1945. Kita mesti menghormatinya.24

22

Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, hal 102-103. 23

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 187. 24

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 179.

Page 73: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

62

Pada masa konflik politik dan ajakan kepada Soeharto yang terus berganti

tersebut akhirnya Soekarno menyetujui pengalihan kekuasaan pemerintahan

kepada Soeharto pada tanggal 20 Februari 1967 karena menyatakan diri tidak

sanggup lagi melakukan tugasnya sebagai kepala negara.25

Dan setelah itu

Soeharto bisa mempertahankan kepemimpinannya lebih kurang selama 32 tahun.

Menurut penulis rangkaian peristiwa di atas merupakan sikap Soeharto yang

sesuai dengan teladan yang digambarkan oleh watak Dewa Surya dalam teks

Astabrata berikut:

Apa yang kau kehendaki, dengan jalan yang halus

Menghisapnya dirasakan tanpa sakit

Terisaplah apa yang kau kehendaki

Tidak tergesa-gesa dalam semua usaha

Si musuh pun dapat diluluhkan hatinya

Dan tidak merasa bahwa hatinya kau masuki

Karena usahamu dirasakan tiada congkak-rasa.26

4. Watak Dewa Candra

Hal yang dapat diperhatikan dari seorang pemimpin berdasarkan watak Dewa

Candra adalah bagaimana cara seorang pemimpin dalam bersikap dan

memberikan perintah kepada bawahan atau pembantunya. Menurut penulis

terdapat tiga sifat yang menjadi teladan dalam sosok Dewa Candra, ketiga sifat

tersebutlah yang akan penulis paparkan dalam menganalisis kepemimpinan

Soeharto berdasarkan watak Dewa Candra.

25

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 188. 26

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 176.

Page 74: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

63

1. Pemaaf (Penuh Ampun, itu sarananya memenuhi dunia ini)

2. Memerintah dengan santun, ramah, dan manis. (Agar enaklah hati seluruh

negeri, memerintahlah ia dengan harum dan manisnya, tiap katanya manis

didengar, muka dan tindakannya manis (dilihat), penuh ketawa, senyumnya

mencampuri tiap perilaku, tindakannya tiada sulit, hanya enaklah didengar

semua perintahnya)

3. Mencintai dan dicintai oleh agamawan. (Hatinya penuh damai terhadap seisi

buana, sampai ke lubuk berbaik hati, lebih-lebih harum manis serta kasih

sayang para pendeta kepadanya)

1. Watak Pemaaf pada Soeharto

Sifat pemaaf haruslah dimiliki oleh seorang pemimpin dalam ajaran

Astabrata, dan sifat ini merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki agar

seseorang menjadi pemimpin yang ideal atau sejati. Menurut penulis, Soeharto

yang begitu kental dengan kultur Jawa terkhususnya ajaran Astabrata selama

menjalankan kepemimpinan Orde Baru pasti sangat tahu dengan ajaran Astabrata

yang disimbolkan dengan Dewa Candra.

Akan tetapi dalam praktik kepemimpinannya Soeharto bukanlah seorang yang

pemaaf, bahkan Tjipta Lesmana menyebut Soeharto sebagai seorang pendendam

karena kebiasaannya memberikan hukuman kepada pembantunya yang dinilainya

telah melakukan kesalahan. Malah jika kesalahan itu dinilai fatal, Soeharto akan

sulit untuk memaafkannya. Dendam kesumat bisa terjadi terhadap orang itu.27

27

Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa.

(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009) hal. 137.

Page 75: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

64

Beberapa kasus yang menggambarkan Soeharto memberikan hukuman

ataupun dendam kepada para pembantunya adalah sebagai berikut, pertama kasus

M. Jusuf, jendral TNI M. Jusuf merupakan menteri yang memiliki jabatan

rangkap pada masa kepemimpinan Soeharto, Menteri Pertahanan-Keamanan dan

Panglima Angkatan Bersenjata yang diangkat pada Maret 1978. Belum sampai

dua tahun setelah dilantik nama jendral M. Jusuf sangat popular di Indonesia

sehingga lahir isu bahwa M. Jusuf memiliki agenda politik sendiri. Dan Soeharto

merupakan orang yang paling tidak suka jika ada pembantunya yang popular dan

lebih popular darinya.28

Dalam kultur Jawa, raja memang tidak boleh disaingi atau tersaingi oleh

siapapun. Dalam kepemimpinan Jawa, penguasa hanya satu orang, yang lain

hanya pembantu yang harus bekerja dengan loyalitas. Gagasan pluralitas

kekuasaan tidak ada dalam paham politik Jawa, segala kekuasaaan dan hukum

bersumber dari pribadi raja. Jangankan sosok, ide suatu hukum yang berada di

atas pribadi penguasa tidak dikenal dalam paham politik Jawa.29

Menurut beberapa pihak, kepopuleran M. Jusuf tersebutlah yang

menyebabkan Soeharto menggantinya dengan Letnan Jendral TNI L.B Moerdani,

Soeharto tahu bahwa jendral yang terlalu berkuasa dan popular dapat menjadi

ancaman serius bagi kelangsungan kekuasaannya.30

Kedua, Pengunduran diri Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia pada

21 Mei 1998 dan naiknya B.J Habibie untuk menggantikannya, bisa dikatakan

awal mula kebencian Soeharto kepada Habibie. Setelah posisinya digantikan,

28

Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal 112-113. 29

Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, hal 108. 30

Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 114-115.

Page 76: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

65

Soeharto tidak pernah bersedia ditemui oleh Habibie, Soeharto merasa bahwa

Habibielah yang telah berkhianat untuk menjatuhkannya. Bukan hanya Soeharto,

bahkan keluarganyapun dilarang mengizinkan Habibie menginjakan kaki di

kediamanannya di jalan Cendana. Setiap kali Habibie meminta bertemu dengan

Soeharto selalu ditolak dengan berbagai alasan. Bahkan tatkala Soeharto dalam

keadaan kritis, 15 Januari 2008 Habibie dan istrinya yang datang menjenguk tetap

ditolak oleh keluarga Soeharto untuk menemuinya. Akhirnya Habibie hanya

berdoa di ruang sebelah kamar Soeharto dirawat.31

Ketiga, Harmoko juga bisa dipastikan sebagai orang yang menjadi sasaran

kemarahan dan rasa sakit hati Soeharto. Sama dengan Habibie, di mata Soeharto,

Harmoko juga merupakan seorang pengkhianat. Kebencian Soeharto kepada

Harmoko bisa diketahui melalui percakapan Soeharto dengan Nurcholis Madjid

(Cak Nur) pada 18 Mei 1998, ketika itu Soeharto merasa tertarik pada gagasan

reformasi Cak Nur yang dipaparkan sehari sebelumnya di markas besar ABRI.

Kepada Soeharto, Nurcholis menyampaikan gagasannya tentang reformasi, dan

dalam reformasi tersebut Cak Nur mengatakan bahwa Soeharto harus lengser.

Menanggapi gagasan tersebut, Soeharto menanggapinya sambil tertawa dan

mengatakan, “Saya kan sudah lama ingin itu. Ini kan gara-gara Harmoko dan

Fraksi Karya Pembangunan.”32

Percakapan antara Cak Nur dan Soeharto itu terjadi ketika desakan agar

Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sudah sangat besar. Penyebab

mendasar yang menyebabkan kemarahan Soeharto kepada Harmoko adalah

31

Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 124-126. 32

Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 128-129.

Page 77: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

66

karena dukungan yang diberikan Harmoko selaku ketua umum Golkar agar

Soeharto kembali bersedia dicalonkan sebagai presiden Indonesia pada pemilu

1987. Karena rakyat masih menginginkan Soeharto memimpin pada waktu itu.

Namun tak sampai setengah tahun setelah dilantik sebagai Presiden Indonesia

untuk kelima kalinya, Harmoko jugalah yang menyampaikan pernyataan sikap

fraksi Golkar agar Soeharto mengundurkan diri.33

Padahal Soeharto dalam buku autobiografinya bisa diketahui sudah

menampakkan sikap yang tidak begitu yakin atau mantap untuk kembali

memimpin Indonesia dikarenakan tugas yang begitu berat.34

Dan meskipun

Golkar sudah resmi kembali mencalonkan Soeharto, Soeharto tetap meminta

Golkar kembali mempertimbangkan kembali keputusan tersebut, apakah benar

keputusan tersebut karena aspirasi rakyat?35

Menurut Sardjono sebagaimana dikutip oleh Tjipta Lesmana, pernyataan

Soeharto tersebut memang tidak dapat dipastikan apakah keluar tulus dari hatinya

atau hanya sebatas sikap pura-pura, karena orang Jawa juga terkenal dengan sikap

ethok-ethok.36

33

Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 133. 34

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,

hal. 466. 35

Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 131. 36

Ethok-ethok merupakan prinsip kepura-puraan dalam gaya berbahasa orang Jawa. Pola

perilaku kepura-puraan ini biasa dilakukan oleh penutur asli Jawa agar mampu mengendalikan diri

dan situasi sehingga tidak menimbulkan keributan. Budaya Jawa mengunggulkan sikap dan

perilaku yang tenang serta menghundari keributan sekalipun cuma bersifat verbal. (Lihat Herudjati

Purwoko, Wacana Komunikasi: Etiket dan Norma Wong-Cilik Abangan di Jawa, hal. 72-73).

Menurut penulis dengan sikap ethok-ethok ini dalam konteks kekuasaan maka akan menampilkan

seorang sebagai penguasa sejati, seperti Soeharto yang menampilkan diri dengan sikap tidak yakin

dan tenang menjelang pemilu 1987, tetapi tetap mendapatkan dukungan untuk kembali menjadi

penguasa/pemimpin bangsa Indonesia. Dalam budaya Jawa sikap tenang merupakan perilaku yang

menandakan kesejatian kekuasaan penguasa.

Page 78: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

67

Rangkaian peristiwa tersebutlah yang membuat Soeharto marah kepada

Harmoko, dan sampai mengeluarkan pernyataan “Ini kan gara-gara Harmoko dan

Fraksi Karya Pembangunan” ketika berbincang dengan Cak Nur. Ketika

mengumumkan pengunduran dirinya di Credential Room Istana Merdeka,

Soeharto tidak ingin acara tersebut dihadiri oleh pimpinan DPR/MPR, dan

Harmoko adalah orang yang menjabat sebagai ketua DPR/MPR pada waktu itu.

Hampir sama seperti kemarahan Soeharto kepada Habibie, Harmokopun juga

tidak pernah memperoleh kesempatan untuk berkomunikasi dan bertemu sampai

Soeharto meninggal.37

Selain contoh kasus tiga tokoh di atas, sejarah Orde Baru juga mencatat

banyak mantan jendral populer yang kemudian mendadak hilang dari peredaran

karena popularitasnya atau ada indikasi melawan kekuasaan Soeharto. Seperti

Jendral (Marinir) Ali Sadikin, Letnan Jendral Sarwo Edhie Wibowo (Komandan

Jendral RPKAD yang namanya juga populer dalam menumpas PKI pasca-

Gerakan 30 September), Jendral Widodo (Kepala Staf Angkatan Darat yang

dipecat secara mendadak), Jendral Soemitro (Panglima Kopkamtib yang karier

militernya habis pasca-“Malari”), Letnan Jendral Kemal Idris (Panglima Kostrad

yang kemudian sering mengkritik Soeharto), dan Jendral Benny Moerdani

(Panglima Angkatan Bersenjata dan orang kepercayaan Soeharto yang akhirnya

juga disisihkan).38

Beberapa contoh kasus di atas jelas sekali bahwa Soeharto memang

mempunyai kebiasaan menghukum pembantunya yang dinilai telah melakukan

37

Tjipta Lesmana. Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 135-136. 38

Tjipta Lesmana. Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 115.

Page 79: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

68

kesalahan. Malahan jika kesalahan itu dinilai fatal, Soeharto akan sangat sulit

untuk memaafkannya. Dengan demikian menurut penulis, Soeharto bukanlah

seorang pemimpin yang mempunyai sifat pemaaf seperti yang diteladankan oleh

Dewa Candra dalam ajaran Astabrata. Dalam ajaran Astabrata, Dewa Candra

digambarkan sebagai sosok yang penuh ampun, itu sarananya memenuhi dunia

ini.39

2. Memerintah dengan santun, ramah, dan manis

Meskipun memiliki watak pendendam terhadap para pembantunya yang

dianggap bersalah, Soeharto berdasarkan kesaksian para menteri pembantu

kabinet pada masa Orde Baru tetap merupakan sosok seorang pemimpin yang

santun, lembut, penuh wibawa, tidak keras dalam berbicara tetapi memiliki bobot

ketika berbicara dengan menterinya. Sebagaimana kesaksian Muladi (mantan

Wakil Ketua Komisi Hak Asasi Manusia masa Soeharto) yang disampaikan

kepada Tjipta Lesmana mengatakan, Soeharto jika menolak usulan menterinya dia

tidak mengatakannya secara langsung, tetapi dia menolaknya dengan cara yang

halus, dan biasanya para menterinya paham dengan sikap Soeharto tersebut.40

Menurut Tjipta Lesmana, komunikasi politik Soeharto sangat tertib, satu arah,

singkat, dan tidak bertele-tele, kecuali dalam situasi tertentu. Hal ini sesuai denga

kebiasaan Soeharto untuk melihat segala sesuatu berjalan “tertib, aman, dan

terkedali.” Selain itu juga sangat kental dengan kultur Jawa: banyak kepura-

puraan (impression management), tidak to the point dan amat santun.41

39

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, hal.

176. 40

Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 52. 41

Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 52&55.

Page 80: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

69

O. G Roeder seorang penulis Belanda menjulukinya sebagai The Smiling

General (Jenderal yang selalu tersenyum) karena Soeharto merupakan seorang

penguasa atau pemimpin yang sangat handal menyembunyikan sesuatu dibalik

senyumannya, Soeharto mengikuti prinsip penggunaan kata-kata yang samar-

samar dan cara-cara tidak langsung yang merupakan warisan kebudayaan Jawa.42

Usman Hamid dalam tulisan pengantarnya pada buku Teror Orde Baru:

Penyelewengan Hukum & Propaganda 1965-1981 juga menuliskan kesaksian

Ismid Hadad yang pernah bertemu dengan Soeharto di istana pada tahun 1980-an,

Soeharto adalah seorang penguasa yang memiliki karisma pribadi yang kuat

dengan senyuman khas gaya keramahan Jawa dan wajah Soeharto adalah wajah

yang ramah dan penuh perbawa.

Menurut penulis, selain ajaran tiga ojo yang menjadi pegangan bagi Soeharto

untuk memberikan ketenangan dalam menghadapi berbagai permasalahan, sikap

yang selalu ramah, murah senyum, dan penuh ketawa yang semuanya terdapat

dalam ajaran Astabrata juga diterapkan oleh Soeharto dalam kepemimpinannya.

Sebagai contoh adalah ketika Soeharto menghadapi peristiwa skandal Bapindo

(Bank Pembangunan Indonesia). Rabu, 16 Februari 1994, Ketua Dewan

Pertimbangan Agung, Sudomo, mengahadap Presiden Soeharto. Dalam pertemuan

itu Sudomo melaporkan referensi yang diberikannya kepada pimpinan Bapindo

sehubungan dengan kredit sebesar Rp. 1,3 triliun yang dikucurkannya kepada

seorang pengusaha yang bernama Eddy Tansil, adik kandung Hendra Rahardja

(pemilik Bank Harapan Sentosa yang sudah bangkrut). Kasus ini sangat

menghebohkan karena menyeret sejumlah pejabat tinggi, termasuk Sudomo yang

42

O.G Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, hal 4-6.

Page 81: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

70

pernah menjadi Panglima Kopkamtib. Namun setelah ditanya oleh wartawan

tentang tanggapan presiden Soeharto, Sudomo menjawab: “Pak Harto hanya

tertawa.”43

Beberapa tokoh di atas menyampaikan kesaksiannya tentang Soeharto yang

memiliki sifat ramah, santun, lembut, selalu tersenyum, dan juga dipenuhi tawa.

Tapi kebanyakan dari mereka juga sepakat bahwa terkadang hanya Soehartolah

yang mengetahui apa makna dibalik senyuman dan tawa tersebut. Namun dalam

kehidupan orang Jawa yang ideal, apalagi yang berlatar kelompok priyayi atau

bangsawan sikap demikian merupakan cara menyimpan rapat-rapat emosi dengan

ekspresi wajah yang tenang. Orang Jawa tidak akan memperlihatkan raut wajah

senang atau sedih yang berlebihan, jarang tertawa terbahak-bahak atau menangis

tersedu-sedu.44

Dalam prinsip komunikasi Jawa tindakan tenang dan

mengendalikan diri merupakan cara untuk menghindari keributan dan konflik, dan

sangat sesuai dengan prinsip hidup orang Jawa yang mengunggulkan sifat rukun

(damai).45

Menurut penulis inilah bentuk penerapan ajaran Astabrata pada

kepemimpinan Soeharto kepada para pembantu kabinetnya pada masa Orde Baru

“Agar enaklah hati seluruh negeri, memerintahlah ia dengan harum dan manisnya,

tiap katanya manis didengar, muka dan tindakannya manis (dilihat), penuh

ketawa, senyumnya mencampuri tiap perilaku, tindakannya tiada sulit, hanya

43

Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, hal. 58. 44

Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, hal. 152-151. 45

Herudjati Purwoko, Wacana Komunikasi: Etiket dan Norma Wong-Cilik Abangan di

Jawa, hal. 76-77.

Page 82: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

71

enaklah didengar semua perintahnya” yang jika dilihat secara garis besar juga

merupakan representasi dari prinsip hidup rukun dalam budaya Jawa.

3. Disayangi oleh para tokoh agama

Dalam ajaran Astabrata, seorang pemimpin yang baik pasti akan dicintai oleh

pandita (pendeta), tetapi dalam konteks kepemimpinan Soeharto menurut penulis

akan lebih tepat menggambarkan bagaimana sikap pemuka agama yang resmi di

Indonesia pada masa Soeharto, dan untuk kasus ini penulis hanya mengambil

bagaimana sikap NU terhadap Soeharto karena NU sebagai ormas Islam terbesar

di Indonesia dianggap dapat mewakili bagaimana sikap-sikap pemuka agama

Islam lainnya.

Semasa Orde Baru, banyak pesantren dan figur kiai yang memperoleh

perlakuan istimewa dari pemerintah untuk dijadikan pilar penyangga kekuasaan

Soeharto. Sejumlah kiai masuk dalam daftar calon legislatif untuk meraih suara.

Banyak pula program pemerintah seperti Keluarga Bencana (KB) sosialisasinya

memanfaatkan karisma kekuatan komunikasi kiai.46

Selanjutnya sikap Abdurrahman Wahid selaku ketua umum Nahdlatul Ulama

tentang penerimaan Pancasila sebagai falsafah negara maupun sebagai satu-

satunya asas bagi organisasi massa apapun di Indonesia. Dalam penjelasannya

Wahid menyatakan Pancasila merupakan kendaraan terbaik untuk memberikan

legetimasi nasional bagi setiap perilaku politik yang diperankan organisasinya.

Dukungan yang disampaikan Gus Dur ini disampaikan setelah sepuluh tahun

46

Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran

Radikal dan Akomodatif, (Jakarta: LP3ES, 2004), hal. 47.

Page 83: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

72

sejak Presiden Soeharto menyampaikan gagasannya yang pertama di depan MPR

16 Agustus 1982.47

Selain itu tokoh-tokoh NU yang juga kerap mendukung Soeharto adalah

Achmad Siddiq, Tolchah Mansur, Syaifuddin Zuhri, Idham Chalid, dan

Mohammad Dahlan. Dengan sikap tokoh-tokoh NU yang mendukung Soeharto

tersebut, menurut Asep Saeful Muhtadi sikap keagamaan NU pada dasarnya dapat

dilacak sampai pada pemikiran al-Ghazali tentang Islam dan manusia. Dalam hal

ini NU tidak bersikap antithesis terhadap suatu nilai yang dianut masyarakat.

Karena itu suatu sistem atau nilai dalam masyarakat senantiasa mempunyai

potensi untuk dikembangkan agar sejalan dengan tujuan pokok syari‟at Islam

sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan akidah Islam.48

5. Kepemimpinan Soeharto Berdasarakan Watak Dewa Bayu

Dewa Bayu dalam ajaran kepemimpinan Astabrata juga merupakan simbol

dari angin, sikap utama yang patut diteladani seorang pemimpin pada watak Dewa

Bayu adalah tindakan yang selalu mengawasi gerak-gerik dalam negara dengan

teliti dan rinci, hal ini bertujuan agar pemimpin mengetahui kekurangan

pemerintahan yang telah dipimpinnya, memahami dan merasakan susah dan

senangnya rakyat, dan mengetahui tingkat kesejahteraan rakyat di seluruh

penjuru.49

Dalam mengawasi negara seorang pemimpin sangat berhati-hati dan

47

Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, hal. 136. 48

Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, hal 146-148. 49

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 94.

Page 84: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

73

hampir tidak kelihatan seperti halnya angin yang mampu menelusup ke segala

tempat dan situasi.50

Dalam konteks saat ini, maka seorang pemimpin perlu mengangkat orang-

orang atau pemimpin di bidang tertentu untuk memikul tugas dan tanggung jawab

penyelidikan dan penjaringan untuk pengumpulan informasi yang akurat dan

memadai. Dalam sistem pemerintahan Indonesia tugas-tugas seorang pemimpin

yang sejalan dengan watak Dewa Bayu adalah seperti tugasnya Intelijen Negara.51

Soeharto berdasarkan kebijakan dwifungsi ABRI memposisikan ABRI

sebagai pengawas penduduk melalui komando teritorial yang meliputi seluruh

negara dari Jakarta sampai ke pulau terpencil, termasuk setiap desa. Perwira yang

berdinas aktif rata-rata menempati posisi juga sebagai anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) dengan tetap memiliki tanggung jawab kepada atasannya

dan terus menerus sampai ke pusat pemerintahan. Perwira yang aktif ataupun

sudah pensiun diangkat memangku jabatan di pemerintahan sipil dengan alasan

perlindungan dan pengawasan.

6. Watak Dewa Baruna

Peran angkatan bersenjata merupakan suatu yang vital bagi pemerintahan

Soeharto dan cara kerjanya. ABRI menjaga dominasi negara atas masyarakat.

Pada masa Soeharto ABRI membenarkan intervensi militer di bidang politik sipil

menurut doktrin dwifungsi. Menurut gagasan itu angkatan bersenjata memiliki

dua peran yang saling berkaitan: membela negara tidak hanya dari ancaman

militer konvensional yang berasal dari luar negeri, tetapi juga dari bahaya dalam

50

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 234. 51

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 92.

Page 85: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

74

negeri yang berciri apapun, seperti militer, politik, ekonomi, sosial, budaya, atau

ideologis.52

Hampir sama dengan penilaian William Liddle di atas, bagi Soeharto ABRI

memang merupakan fondasi utama yang menjaga stabilitas nasional sebagai

stabilitator dan dinamisator.53

Pada praktiknya angkatan bersenjata melalui

ketetapan dwifungsi ABRI pada masa Soeharto bisa menempatkan tenaga militer

baik yang aktif maupun pensiunan di DPR, MPR, dan DPR tingkat provinsi dan

kabupaten sebagai eksekutif dan staf di pemerintahan pusat, provinsi, dan

kabupaten. Serta dalam posisi kekuasaan formal maupun informal Golkar.54

Jika dalam ajaran Astabrata Dewa Baruna digambarkan selalu membawa

nagapasa, suatu senjata yang sangat sakti sebagai perlambangan seorang

pemimpin yang selalu siap siaga dalam menjalankan tugas dan keamanan negara,

maka menurut penulis ABRI pada masa itulah yang merupakan nagapasanya

Soeharto, terutama dengan konsep dwifungsi ABRI yang memberikan ABRI

keleluasaan yang begitu luas untuk menjaga keamanan dan kedamaian negara.

Bagi Soeharto kewaspadaan dan keamanan tidak boleh dikendorkan demi

kemakmuran, tetapi bukan berarti juga kewaspadaan keamanan itu berlebih-

lebihan sehingga membatasi ruang gerak.55

52

R. William Liddle, ”Rezim Orde Baru,” dalam Donald K. Emmerson, ed., Indonesia

Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2001), hal. 73-74 53

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 459. 54

R. William Liddle,” Rezim Orde Baru,” hal. 74. 55

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 463.

Page 86: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

75

7. Watak Dewa Kuwera

Dengan meneladani sikap kepemimpinan Dewa Kuwera, permasalahan pokok

yang penulis analisa dengan kepemimpinan Soeharto adalah bagaimana Soeharto

memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya, meskipun dalam teks Astabrata tersebut

dibatasi hanya kepada para pembantu seorang pemimpin tetapi jika ditarik lebih

umum, memenuhi kebutuhan pangan rakyat tentu juga memenuhi kebutuhan

pangan para pembantu pemimpin, dan bagaimana Soeharto bersikap dalam

memuji ataupun menegur para pembantunya dalam pemerintahan. Karena

berdasarkan ajaran Astabrata dalam serat Yasadipura Dewa Kuwera digambarkan

sebagai seorang pemimpin yang mempercayai pembantunya tetapi juga tidak

pernah melupakan kebutuhan jasmani mereka, tidak berlebihan dalam

menyanjung dan tidak terlalu menyalahkan pegawainya jika berbuat salah.56

Sebagai seorang pemimpin yang berlatar belakang dari keluarga petani,

Soeharto sangat mengerti tentang kebutuhan pangan di Indonesia dan bagaimana

kebutuhan pangan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kemakmuran

dan kestabilan sebuah negara. Hal ini bisa dilihat pada kebijakan pemerintahan

Soeharto di awal-awal Orde Baru yang memfokuskan peningkatan pertumbuhan

produksi beras. Prioritas ini didasarkan atas pertimbangan pemerintah Orde Baru

bahwa pasokan beras yang mencukupi sangat penting bagi stabilitas politik dan

sosial. Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga (Repelita III,

1979/1980-1983/1984) tujuan swasembada beras diperluas menjadi swasembada

pangan.57

56

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 177. 57

Thee Kian Wie,"Pembangunan Ekonomi,” hal. 158.

Page 87: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

76

Selain itu juga tak jarang Soeharto ketika berkunjung ke daerah-daerah

pedesaan langsung terjun kepada para petani dan berkomunikasi langsung tentang

pertanian sebagaimana ditulis oleh August Parengkuan dalam tulisannya Kepala

Negara Menyelusup ke Desa-Desa.58

Bukti nyata keberhasilan Soeharto dalam memenuhi kebutuhan pangan adalah

penghargaan yang diberikan oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada

tahun 1985 kepada Soeharto karena keberhasilan pemerintah Orde Baru mencapai

swasembada beras.

8. Watak Dewa Brama

Gerakan pemasyarakatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila) pada masa Soeharto, merupakan kegiatan yang bertujuan untuk

meningkatkan pendidikan politik bagi rakyat Indonesia, dengan harapan

warganegara memiliki kesadaran yang tinggi akan hak dan kewajibannya sebagai

negara dan dengan demikian seluruh warganegara akan ikut serta secara aktif

dalam kehidupan kenegaraan dan pembangunan.59

Secara bertahap Soeharto membentuk badan-badan yang ditugasinya untuk

memikirkan bahan penataran, memberi arahan dan melaksanakan penataran itu

baik pada tingkat nasional maupun tingkat daerah. Penataran P4 ini pada mulanya

dimulai dari pegawai negeri dan anggota ABRI karena merupakan aparat

pelaksana penyelenggara pemerintahan negara, dan selanjutnya baru ke

masyarakat luas seperti anggota partai politik dan Golongan Karya, alim ulama

58

Julius Pour, Warisan (daripada) Soeharto, hal. 84. 59

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 336.

Page 88: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

77

dan rohaniawan, pemuda, mahasiswa, karyawan, pengusaha, wanita, para

wartawan, para artis, dan lain sebagainya.60

Dari program P4 di atas, menurut penulis ini merupakan langkah Soeharto

sebagai pemimpin dalam mengajak seluruh warganegara bersama-sama dalam

membangun bangsa Indonesia. Hal ini serupa dengan pekerjaan Dewa Brama

dalam Astabrata yang mengajak seluruh rakyatnya bekerja bersama-sama dengan

pejabat negara untuk kebahagiaan rakyat itu sendiri.61

Dewa Brama juga digambarkan sebagai teladan pemimpin dalam

menghancurkan musuh negara dengan sikap gagah berani, tetapi untuk analisa

tentang menghadapi musuh negara ini menurut penulis sama dengan analisa

kepemimpinan Soeharto berdasarkan watak Dewa Yama dan Baruna, yang

keduanya sama-sama mengupayakan keamanan dan kestabilan negara.

C. Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Islam

Pada sub bab ini, fokus utama pembahasan penulis adalah menganalisa

kepemimpinan Soeharto dari sudut pandang ajaran Islam dan mengemukakan

persamaan atau perbedaan ajaran-ajaran kepemimpinan dalam Islam dengan

ajaran kepemimpinan Astabrata. Soeharto sebagai seorang pemimpin negara

merupakan seorang yang beragama Islam, sehingga sangat penting untuk

mengetahui bagaimana Soeharto bisa menerima dan memposisikan ajaran

Astabrata pada dirinya yang notabenenya berasal dari ajaran Hindu. Ajaran

kepemimpinan Islam yang penulis paparkan sebagai perbandingan dengan

Astabrata adalah nilai-nilai kepemipinan perspektif al-Fārābī, karena al-Fārābī

60

Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana, Soeharto, hal. 337. 61

Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabrata, hal. 235.

Page 89: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

78

merupakan seorang pemikir Muslim yang memiliki gagasan kepemimpinan dalam

karyanya Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fādilah, Tahşīl al-Sa’ādah, Fuşūl Muntaza’ah,

dll.

1. Kepemimpinan Perspektif al-Fārābī

Bagi al-Fārābī pemimpin yang sesungguhnya adalah pemimpin yang

tujuan utama dari segala apa yang dilakukannya dapat memberi manfaat kepada

diri dan para warga dalam meraih kebahagiaan. Ini merupakan tugas pemimpin.

Untuk itu pemimpin negara utama haruslah orang yang paling sejahtera di antara

yang lain karena dia akan menjadi sebab kesejahteraan warga kota.62

Kemudian al-Fārābī juga memahami pemimpin sebagai orang yang diikuti

atau diterima. Dalam arti diterima dengan alasan bahwa dia adalah orang yang

memiliki kesempurnaan tujuan. Apabila perbuatan-perbuatan, keutamaan-

keutamaan, dan reaktifitas pemimpin tidak seperti yang dikehendaki oleh

masyarakat, maka kepemimpinannya tidak bisa diterima. Dengan kata lain

pemimpin adalah orang yang paling utama. Semua itu tidak mungkin terjadi

apabila dia tidak memiliki ilmu-ilmu teoritis dan keutamaan berpikir sebagaimana

yang dimiliki oleh seorang failasuf.63

Bagi al-Fārābī, agar semua komunitas manusia ini memperoleh

kebahagiaan sejati, pemimpin utama dalam melaksanakan tugasnya bisa

mempergunakan dua metode, yaitu pengajaran dan pembentukan karakter.

Metode pengajaran dilakukan dengan memperkenalkan kebajikan teoritis, dengan

harapan orang dapat memahami teori-teori dan melaksanakannya sesuai dengan

62Al-Fārābī, Fuşūl Muntaza’ah (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), hal. 47. 63

Al-Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah (Hyderabad: Majlīs Dā‟irah al-Ma‟ārif al-„Utsmaniyyah,

1349H.), hal. 43.

Page 90: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

79

ketentuan-ketentuan teoritis normatif tersebut. Sedangkan pembentukan karakter

adalah metode memperkenalkan kebajikan moral dan seni praktis dengan

membiasakan bangsa dan penduduk untuk melakukan tindakan-tindakan yang

bersumber dari keadaan lingungan sekitar yaitu dengan cara membangkitkan

tekad untuk melakukan tindakan-tindakan (utama) baik secara persuasif maupun

paksaan pada diri mereka.64

Laksana sebuah rumah tangga, pemimpin adalah pengajar dan pembentuk

karakter semua anggota keluarga itu. Dia harus mengajari dan membentuk

karakter semua anggota keluarga, mulai dari yang masih anak-anak sampai

beranjak dewasa. Sebagian dari mereka ada yang memerlukan didikan secara

lemah lembut dan penuh pengertian, sementara yang lain ada yang harus kerja

keras dan paksaan. Demikian halnya dengan masyarakat ada yang cukup dengan

lemah lembut tapi ada juga yang mesti keras dan paksa untuk mengarahkan

mereka menjadi warga yang baik. Tujuan dari itu semua adalah kebahagiaan

tertinggi.65

Bagi al-Fārābī, pemimpin negara harus memiliki ilmu-ilmu teoritis dan

dapat merealisasikan dalam kepemimpinannya sehingga kepercayaan masyarakat

terhadap dirinya semakin kuat. Pemimpin tida hanya pandai tebar pesona tetapi

mewujudkan gagasan-gagasannya secara nyata. Karakter demikian ini biasanya

dimiliki oleh orang-orang yang memahami filsafat secara baik, dia adalah filsuf

sejati.66

Bagi al-Fārābī pemimpin utama itu laksana jantung manusia.Jantung

adalah organ utama dalam tubuh manusia.Dia harus ada dalam kondisi prima

64

Al-Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah, hal. 29. 65

Al- Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah, hal. 31-32. 66

Al- Fārābī, Tahşīl al-Sa’ādah, hal. 44.

Page 91: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

80

sebelum anggota-anggota tubuh vital lainnya. Anggota-anggota tubuh lain lain

dalam beraktifitas selalu di bawah koordinasi dan otoritas jantung. Demikian juga

pemimpin negara utama. Dia adalah unsur paling utama dan menentukan bagi

pemimpin-pemimpin di bawahnya dan seterusnya yang memiliki kapasitas dalam

posisi memimpin dan dipimpin.67

Apa yang terjadi pada pemimpin utama pasti akan berimbas kepada

pemimpin-pemimpin lain di bawahnya. Pemimpin utama adalah yang secara

natural paling mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan paling mulia di antara

pemimpin-pemimpin di bawahnya, yang secara hirarkis melakukan pekerjaan-

pekerjaan yang kemuliaannya di bawah kemuliaan pimpinan utama sampai pada

jajaran yang hanya dapat melakukan pekerjaan yang tingkat kemuliaannya sedikit.

Sebab utama adanya peringkat kepemimpinan itu adalah bahwa pemimpin

utama adalah laksana seorang raja dalam kota (negara) utama dengan semua

kawasan lainnya. Pemimpin utama cendrung untuk tidak memperdulikan hal-hal

yang bersifat materi, sedangkan yang lain tidak demikian. Pemimpin utama fokus

kepada satu tujuan utama, yaitu mengabdi kepada Sebab Pertama, tunduk kepada-

Nya dan mencukupan diri hidup untuk-Nya. Pemimpin-pemimpin di bawahnya

mengikuti apa yang dilaukan pemimpin utama namun tidak terlalu fokus pada

tujuan utama, demikian seterusnya.68

Konsep kepemimpinan al-Fārābī yang bersifat simbolis dan falsafi ada

kesesuaian dengan doktrin-doktrin agama yang menganalogikan negara sebagai

tubuh manusia, sebagaimana hadist Rasulullah di bawah ini:

67 Al- Fārābī, Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fādilah (Beirut: Dar al-Masyriq, 2002) Cet. Ke-8,

hal. 118. 68

Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, hal.121.

Page 92: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

81

Perumpamaan kaum Mukmin dalam kasih sayang dan belas kasih serta

cinta adalah seperti satu tubuh. Jika satu bagian anggota tubuh sakit maka

akan merasa sakit seluruh tubuh dengan tida bisa tidur dan merasa demam

(H.R. Bukhari Muslim).

2. Analisis Nilai-Nilai Kepemimpinan Islam dengan Astabrata pada Soeharto

Pada bab pertama, penulis telah menjelaskan bahwa salah satu ciri

kepemimpinan Jawa bersifat sinkretis, artinya konsep-konsep yang diambil adalah

konsep-konsep yang berasal dari agama yang memiliki pengaruh pada pola pikir

di Jawa, khususnya Islam dan Hindu.69

Orang Jawa pada masa Hindu memiliki konsep tentang organisme negara,

raja atau ratulah yang menjadi eksponen mikrokosmos, negara. Bahwa pandangan

tentang alam yang yang terbagi dalam mikrokosmos (dunia manusia) dan

makrokosmos (dunia supra manusia) adalah sesuatu yang pokok bagi pandangan

dunia orang Jawa. Dalam pandangan ini terkandung dua faktor yang penting bagi

pemahaman orang Jawa mengenai kehidupan negara: pertama, adanya kesejajaran

antara makrokosmos dan mikrokosmos, dan kedua, adanya pengaruh timbal-balik

antara makrokosmos dan mikrokosmos.70

Karena pemahaman kesejajaranantara makrokosmos dan mikrokosmos

raja pada masa Jawa atau Hindu dahulu disamasuaikan dengan Dewa.71

Hal ini

tentu sangat bertentangan dengan ajaran Islam apabila memposisikan seorang raja

atau pemimpin sejajar dengan Tuhan/Allah dan dalam konsep kepemimpinan al-

Fārābī juga telah ditegaskan bahwa memang ada hierarki dalam kepemimpinan,

69

Suwardi Endaswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang

Membangun Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), hal.

6. 70

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 33. 71

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 34.

Page 93: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

82

tetapi seorang pemimpin utama tidaklah sejajar dengan Sebab Pertama melainkan

bertugas mengabdi kepada-Nya dan mencukupkan hidup hanya untuk-Nya.72

Identifikasi (penyamasuaian) raja dengan Dewa di Jawa tidak berlaku lagi

pada masa Jawa Islam, karena ajaran Islam secara terang-terangan menolak

penyamasuaian antara manusia dengan Tuhan. Teologi Islam menempatkan Raja

dalam kedudukan yang tidak setinggi atau semulia sebelumnya, hanya sebagai

kalipatullah.73

Ajaran Astabrta yang memuat delapan kebaikan yang ditentukan bagi raja

atau pemimpin untuk memimpin suatu kerajaan atau negara memuat kebajikan

yang disamakan dengan kebaikan delapan Dewa dalam pantheon Hindu. Soeharto

sebagai seorang Muslim selama kepemimpinannya menerapkan ajaran ini, tetapi

hal yang perlu digaris bawahi di sini menurut penulis adalah bagaimana penulis

memandang Soeharto yang hanya menerapkan ajaran-ajaran Astabrata sebatas

untuk mengatur masalah-masalah kebijaksanaan negara, yang meliputi kasih hati

yang pemurah maupun kekerasan yang tiada kenal ampun dan tidak melupakan

arti penting harta benda maupun daya kecerdasan.74

Secara garis besar, kebaikan-kebaikan pemimpin yang diatur dalam

Astabrata menurut penulis memiliki kesamaan dengan gagasan al-Fārābī tentang

seorang pemimpin yang utama, diantaranya:

1. Bagi al-Fārābī pemimpin haruslah seorang yang paling sejahtera, karena

dia akan menjadi sebab kesejahteraan bagi warga kota, sama halnya dengan

kebaikan Dewa Indra dan Kuwera dalam Astabrata yang mengharuskan

pemimpin untuk mensejahterakan rakyatnya secara merata.

72

Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, hal.121 73

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 34. 74

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara, hal. 52.

Page 94: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

83

2. Bagi al-Fārābī pemimpin negara harus memiliki ilmu-ilmu teoritis agar

mendapat kepercayaan dari masyarakat, karakter ini hanya dimiliki oleh seorang

failasuf. Dalam Astabrata pemimpin juga haruslah seorang yang memiliki

pandangan yang teliti dan pikiran yang dalam seperti sifat Dewa Bayu dan

Baruna.

3. Bagi al-Fārābī agar semua komunitas memperoleh kebahagiaan sejati,

pemimpin utama dalam melaksanakan tugasnya bisa menggunakan dua metode,

yaitu pengajaran dan pembentukan karakter. Hal ini bisa dilakukan secara

persuasi maupun secara paksaan. Konsep ini menurut penulis bisa disamakan

dengan kebaikan Dewa Surya, Candra yang lebih mengutamakan kelembutan dan

kasih sayang dan Dewa Yama dan Baruna dalam bertindak tegas dalam menjaga

negaranya untuk kebahagiaan rakyatnya.

Selanjutnya, pada akhir bab ini penulis bisa menegaskan bahwa meskipun

pada awalnya ajaran Astabrata berasal dari ajaran agama Hindu di India namun

untuk penerapannya di Jawa dan Indonesia secara umum telah memisahkan antara

kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya dengan konsepnya sebagai

ajaran sebuah agama. Terlebih setelah Islam masuk ke Jawa konsep penyesamaan

antara raja/pemimpin dengan Dewa telah dihapuskan.

Soeharto pun dalam menerapkannya hanya memandang Hasta

Brata(Astabrata) sebagai sebuah wejangan (nasehat) atau pandangan hidup Orang

Jawa bukan ajaran Hindu.

Page 95: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

84

BAB V

PENUTUP

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Filsafat kepemimpinan Astabrata merupakan ajaran kepemimpinan Jawa

kuno yang mencontohkan agar seorang pemimpin bersikap layaknya dewa-dewa yang

ada dalam naskah Astabrata. Karena dalam budaya kepemimpinan Jawa pemimpin

adalah titisan dewa di muka bumi.

Dalam menjalankan kepemimpinannya Soeharto sangat banyak terpengaruh

oleh ajaran Astabrata, seperti dalam permasalahan hukum, keamanan negara,

stabilitas nasional yang sangat kental dengan ajaran Dewa Yama. Namun, menurut

penulis masih belum secara keseluruhan ajaran Astabrata dapat diterapkan Soeharto

secara baik, seperti:

Pertama, permasalahan kesejahteraan secara merata yang merupakan teladan

Dewa Indra bagi seorang pemimpin tetapi penulis juga sepakat bagaimana pandangan

Nurcholish Madjid tentang ketidakmerataan kesejahteraan pada masa Orde Baru,

Nurcholish Madjid mengibaratkannya sebagai sebuah dilema pembagiaan kue yang

baru akan membesar jika kuenya dibagi secara cepat dan merata kepada seluruh

rakyat masing-masing hanya akan mendapat bagian yang sangat kecil, tetapi jika

dibagikan hanya kepada segelintir kelompok tertentu (dalam permasalahan ini daerah

pusat) maka kelompok lain akan bersusah payah menjemputnya ke pusat.

Page 96: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

85

Kedua, watak pemaaf seorang pemimpin pada Dewa Surya tidak diteladani

oleh Soeharto, hal ini bisa dilihat dari sikap-sikap Soeharto kepada pembantu ataupun

orang dekatnya jika telah dianggap melakukan kesalahan.

Secara keseluruhan ajaran Astabrata benar-benar telah diterapkan oleh

Soeharto selama memimpin Indonesia, karena memang Soeharto sendiri juga

membaca wejangan-wejangan (nasehat-nasehat) dalam ajaran Astabrata bahkan juga

menyampaikannya kepada orang-orang dekat atau pembantunya dalam pemerintahan,

sebagaimana keterangan Rudini (Kepala Staf Angkatan Darat) pada masa Soeharto

bahwa Soeharto pernah mengeluarkan buku wejangan yang berjudul Hasta Brata.

B. Saran-saran

Dengan penulisan skripsi ini, penulis memberikan saran kepada semua pihak

yang membaca tulisan ini, khususnya kepada jurusan Aqidah Filsafat bahwa bangsa

Indonesia atau dahulunya bernama Nusantara memiliki corak filsafat tersendiri yang

berbeda dengan konsep yang ada di Barat ataupun Islam, tetapi tetap tidak lepas dari

gagasan dasar filsafat secara umum, yaitu berfikir secara mendalam agar mencapai

kebijaksanaan.

Selain itu, menurut penulis filsafat Nusantara masih sangat layak untuk

dipelajari di lingkungan kampus UIN Syarif Hidayatullah untuk memperkaya

wawasan dan kematangan berfikir.

Page 97: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

86

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Sri Wintala. Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi.

Yogyakarta: Araska, 2013.

Akhmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Azis, Abdul. “Falsafah Kepemimpinan dalam Perspektif Islam” pada seminar Bill of Human

Rights: On Falsafa of Leadership in Interreligious Perspectives, Ciputat, 20

September 2016.

Booth, Anne, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan." Dalam Donald K. Emmerson,

ed. Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2001: hal. 185-358.

Cribb, Robert, "Bangsa: Menciptakan Indonesia." Dalam Donald K. Emmerson, ed.

Indonesia Beyond Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2001: hal. 3-64.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2008.

Djamhari, Saleh As'ad, "Lahirnya Orde Baru." Dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed.

Indonesia dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru

Van Hoeve, 2011: hal. 2-27.

Endaswara, Suwardi. Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-Butir Nilai yang Membangun

Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2013.

Fārābī, Al. Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fādilah . Beirut: Dar al-Masyriq, 2002.

-------------. Fuşūl Muntaza’ah . Beirut: Dār al-Masyriq, 1993.

-------------. Tahşīl al-Sa’ādah. Hyderabad: Majlīs Dā‟irah al-Ma‟ārif al-„Utsmaniyyah,

1349H.

Harneni, Yuanita Rusalia. “Tinjauan Islam tentang Etika Politik Soeharto.” Skripsi S1

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009.

K.H, Ramadhan dan Dwipayana, G. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989.

Lesmana, Tjipta. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa. Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Page 98: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

87

Liddle, R. William,”Rezim Orde Baru.” Dalam Donald K. Emmerson, ed. Indonesia Beyond

Soeharto:Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2001: hal. 65-122.

Magnis Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup

Jawa. Jakarta:PT. Gramedia, 1991.

Maksum, Ali. Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Yogyakarta:

Ar-Ruzz Media, 2016.

Maswinara, I Wayan. Dewa-Dewi Hindu. Surabaya: Paramita, 2007.

Moertono, Soemarsaid. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi

tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1985.

Muhtadi, Asep Saeful. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Radikal

dan Akomodatif. Jakarta: LP3ES, 2004.

Pour, Julius. “Supersemar Antara Dongeng dan Kenyataan.” Dalam Bagus Dharmawan, ed.

Warisan (daripada) Soeharto. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008: hal. 43-

47.

Rachman, M. Fadjroel. ”Jejak Langkah (daripada) Partai Golkar.” Dalam Bagus Dharmawan

ed., Warisan (daripada) Soeharto. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008: hal.

527-537.

Sari, Dewi Ambar dan Sange, Lazuardi. Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto.

Jakarta: Jakarta Citra, 2006.

Suhardana, K. M. Upawasa, Tapa, dan Brata Berdasarkan Agama Hindu. Surabaya:

Paramita, 2006.

Suratno, Pardi. Sang Pemimpin Menurut Astabrata, Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma

Raja. Yogyakarta: Adiwacana, 2006.

Syam, Firdaus, “Militer dan Dwifungsi.” Dalam Taufik Abdullah dan A.B Lapian, ed.

Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru

van Hoeve, 2011: hal. 28-53.

Syukur, Abdul, “Hubungan Masyarakat dan Negara.” Dalam Taufik Abdullah dan A.B

Lapian, ed. Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT.

Ichtiar Baru van Hoeve, 2011: hal. 54-77.

Page 99: FILSAFAT ASTABRATA: IMPLEMENTASI DALAM KEPEMIMPINAN SOEHARTOrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34726/2/SYAHRUL... · pemerintahan Soeharto, keamanan dan stabilitas

88

Wie, Thee Kian, "Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan." Dalam Taufik

Abdullah dan A.B Lapian, ed. Indonesia dalam Arus Sejarah:Orde Baru dan

Reformasi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2011: hal. 146-163.

Wilson, "Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati." Dalam Robertus Robet & Todung

Mulya Lubis, ed. Politik Hukuman Mati di Indonesia. Serpong: CV. Marjin Kiri,

2016: hal. 1-55.

Wiwoho, Bambang. “Falsafah Kepemimpinan Astabrata.” Artikel diakses pada 15 Januari

2016 dari www.teropongsenayan.com/27216-falsafah-kepemimpinan-hasta-brata