artikel after marcos, now for the soeharto billions

19
1 Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions: Sikap Pemerintah Indonesia dan Dampak Terhadap Hubungan Indonesia-Australia Tahun 1986-1994 Dian Vinnie Fabyola dan Toebagus Lutfi Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Permasalahan mengenai kemunculan artike After Marcos, Now For The Soeharto Billion yang ditulis oleh David Jenkins pada 10 April 1986 telah memberikan pengaruh besar bagi hubungan antara Indonesia dan Australia. Beragam respon ditunjukkan oleh Pemerintah dan Rakyat Indonesia karena artikel tersebut dinilai telah menghina Presiden Soeharto. Munculnya artikel tersebut memberikan ekses kepada Pemerintah Australia, seperti Pembatalan kunjungan para menteri Indonesia, penutupan ALKI, dan pembatasan kunjungan masyarakat Australia. Penulisan skripsi ini menunjukkan bahwa diperlukannya kesepahaman diantara negara bertetangga agar terhindar dari kesalahpahaman yang dapat mengakibatkan rapuhnya hubungan diplomatik. Kesepahaman dapat dilakukan dengan cara seperti diskusi, pertemuan antar tokoh, serta diplomasi budaya. Kata Kunci: Media Massa, David Jenkins, The Sydney Morning Herald, Pers Liberal, Pemerintah Orde Baru After Marcos, Now For The Soeharto BillionsArticle: Attitudes of Indonesian Government and Impact towards Indonesia-Australia Relationship 1986-1994 Abstract The problem arose from the Sydney Morning Heralds article titled After Marcos, Now For The Soeharto Billion written by David Jenkins on April 10th, 1986 had triggered great impact towards Indonesia-Australia bilateral relationship. Responses came from both government and the people of Indonesia due to despising content, which insulted Indonesian President, Soeharto. The article then gave many excesses to the Australian government, such as the cancelation of several Indonesian Minister visits, the closing of Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), and numerous Australian tourists ban. This thesis figures that mutual understandings are needed in a bilateral relationship between both neighboring countries to lessen the chance of ruining the diplomatic ties. The understanding can be reached by holding discussions, meetings, and even engaging cultural diplomacy. Keywords: Mass Media, David Jenkins, The Sydney Morning Herald, Liberal Press, New Order Government Pendahuluan Di balik hubungan baik yang terjadi antara Indonesia dan Australia, terdapat beberapa peristiwa yang mencerminkan ketidakmenentuan hubungan Indonesia dan Australia yang didominasi oleh pengaruh media massa. Pengaruh tersebut antara lain pengusiran Warwick Beutler dari Indonesia karena adanya reportase Australian Broadcasting Commission (ABC) yang dinilai mendiskreditkan Indonesia dalam permasalahan Timor Timur pada tahun 1974, sehingga Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Upload: others

Post on 09-Nov-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

1

Artikel “After Marcos, Now For The Soeharto Billions”: Sikap Pemerintah Indonesia dan Dampak Terhadap Hubungan Indonesia-Australia

Tahun 1986-1994

Dian Vinnie Fabyola dan Toebagus Lutfi

Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Permasalahan mengenai kemunculan artike After Marcos, Now For The Soeharto Billion yang ditulis oleh David Jenkins pada 10 April 1986 telah memberikan pengaruh besar bagi hubungan antara Indonesia dan Australia. Beragam respon ditunjukkan oleh Pemerintah dan Rakyat Indonesia karena artikel tersebut dinilai telah menghina Presiden Soeharto. Munculnya artikel tersebut memberikan ekses kepada Pemerintah Australia, seperti Pembatalan kunjungan para menteri Indonesia, penutupan ALKI, dan pembatasan kunjungan masyarakat Australia. Penulisan skripsi ini menunjukkan bahwa diperlukannya kesepahaman diantara negara bertetangga agar terhindar dari kesalahpahaman yang dapat mengakibatkan rapuhnya hubungan diplomatik. Kesepahaman dapat dilakukan dengan cara seperti diskusi, pertemuan antar tokoh, serta diplomasi budaya.

Kata Kunci: Media Massa, David Jenkins, The Sydney Morning Herald, Pers Liberal, Pemerintah Orde Baru

“After Marcos, Now For The Soeharto Billions” Article: Attitudes of Indonesian Government and Impact towards Indonesia-Australia Relationship 1986-1994

Abstract

The problem arose from the Sydney Morning Herald’s article titled After Marcos, Now For The Soeharto Billion written by David Jenkins on April 10th, 1986 had triggered great impact towards Indonesia-Australia bilateral relationship. Responses came from both government and the people of Indonesia due to despising content, which insulted Indonesian President, Soeharto. The article then gave many excesses to the Australian government, such as the cancelation of several Indonesian Minister visits, the closing of Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), and numerous Australian tourists ban. This thesis figures that mutual understandings are needed in a bilateral relationship between both neighboring countries to lessen the chance of ruining the diplomatic ties. The understanding can be reached by holding discussions, meetings, and even engaging cultural diplomacy.

Keywords: Mass Media, David Jenkins, The Sydney Morning Herald, Liberal Press, New Order Government

Pendahuluan

Di balik hubungan baik yang terjadi antara Indonesia dan Australia, terdapat beberapa

peristiwa yang mencerminkan ketidakmenentuan hubungan Indonesia dan Australia yang

didominasi oleh pengaruh media massa. Pengaruh tersebut antara lain pengusiran Warwick Beutler

dari Indonesia karena adanya reportase Australian Broadcasting Commission (ABC) yang dinilai

mendiskreditkan Indonesia dalam permasalahan Timor Timur pada tahun 1974, sehingga

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 2: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

2

memunculkan paradigma negatif terhadap pers Australia bagi Indonesia.1

Pada tahun yang sama, perhatian Pers Australia menguat selama adanya perang saudara di

Timor Timur sejak 18 Agustus 1974 hingga Desember 1975.2 Tingginya pemberitaan Indonesia di

dalam pers Australia juga terjadi karena hilangnya lima wartawan Australia yakni Greg Shackleton,

Gary Cunningham, Tony Stewart, Malcolm Rennie dan Brian Peters (yang dikenal dengan

peristiwa Balibo) di tempat peliputan pada Oktober 1975.3 Hal tersebut mengakibatkan tiga cabang

Australian Journalist’s Association (AJA) dari New South Wales, Victoria, dan Australia Selatan

tidak memberikan persetujuan atas undangan AJA pada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)

untuk menghadiri konferensi tahunan yang diadakan oleh AJA.

Peristiwa munculnya artikel yang ditulis oleh David Jenkins tentang keluarga Presiden

Soeharto yang dimuat di harian The Sydney Morning Herald (SMH) edisi 10 April 1986 juga

merupakan salah satu permasalahan yang muncul di antara hubungan Indonesia dan Australia. Hal

tersebut sempat membuat Bob Hawke mengubah hubungan kedua negara dari special relationship

ke common relationship pada tahun 1986-1988.4 Artikel yang menjadi pokok pembahasan dalam

skripsi ini dinilai menghina Presiden Soeharto dan kerabatnya secara pribadi. Berdasarkan

rangkaian peristiwa tersebut, maka pers merupakan salah satu hal yang mempengaruhi pasang surut

hubungan Indonesia dan Australia. Namun di antara Pers Indonesia dan Pers Australia terdapat

perbedaan sistem dan pelaksanaan dari pers itu sendiri.

Pers Indonesia meggabungkan teori the libertarian, dan the social responsibility, kemudian

teori tersebut dikembangkan menjadi teori Pers Pancasila, yakni pers yang bebas dan bertanggung

jawab. Tujuan dileburnya kedua teori ini adalah agar konsep yang ada pada Pancasila, yakni

keseimbangan antara hak dan kewajiban dapat diseimbangkan. Kebebasan sebagai hak dan

tanggung jawab sebagai kewajiban.5 Berbeda dengan Sistem Pers Indonesia, pers yang dianut oleh

Australia adalah pers yang liberal. Paham ini menjadi falsafah seluruh media massa yang ada di

Australia. Menurut konsep kebebasan pers liberal, pers memiliki kebebasan absolut. Pers tidak

dilarang dan dibatasi oleh pihak manapun dalam menulis apapun yang memang dalam pandangan

mereka patut untuk ditulis, kecuali fitnah pribadi dan hasutan dimasa perang.6

Teori Pers Liberal menyatakan bahwa berita adalah apa saja yang menurut pandangan

wartawan layak untuk disampaikan kepada pembaca.7 Di dalam artikel tersebut, David Jenkins

1 Alatas:Berita di Luar Memojokkan”, Jawa Pos, 16 November 1991, hlm. 1 2 Rodney Tiffen, The News from Southeast Asia, (Singapore:Institute of Southeast Asian Studies, 1978), hlm. 162 3 Hellen Hill, The Timor Story, Timor Information Service, (Australia:Fitzroy, 1975), hlm. 13 4 Ikrar Nusa Bhakti, “Kilas Balik Hubungan Indonesia-Australia 1995 dan Prospeknya di Masa Datang”, Profil Indonesia, Jakarta, 1996, hlm. 296 5 Bambang Sadono, Penyelesaian Delik Pers Secara Politisi, (Jakarta:Sinar Harapan, 1993), hlm. 21 6 F.Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers; Analisis Deskriptif Sistem Pers di berbagai Negara, (Jakarta:Gramedia, 1990), hlm. 56 7 Alisom Broinowski, Australia, Asia, and the Media, (Canberra:Center for The Study of Australiam-Asian Relations,

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 3: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

3

menjelaskan bahwa di dalam sektor pembangunan bangsa, Soeharto memang memiliki program

yang baik, seperti swadaya pangan, namun di sisi lain Soeharto melakukan korupsi, serta

penanaman saham di berbagai sektor untuk kepentingannya sendiri.8

Perbedaan pemahaman mengenai ideologi Pers antara Pers Indonesia dan Pers Australia

memicu adanya konflik dan kemarahan Pemerintah Indonesia, khususnya karena artikel jurnalis

SMH yang berjudul After Marcos, Now for the Soeharto Billion pada 10 April 1986. Kemunculan

artikel tersebut mengakibatkan respon negatif dari berbagai pihak di dalam Pemerintah Indonesia.

Australia tidak hanya menerima keluhan dan protes keras dari Pemerintah Indonesia karena

Pemerintah Indonesia juga melakukan beberapa tindakan peneguran konkret ke Australia. Pers

Australia merupakan pihak yang merasakan dampak negatif secara langsung akibat munculnya

artikel David Jenkins. Dampaknya adalah pelarangan kedatangan wartawan Australia untuk meliput

di Indonesia, terutama meliput kedatangan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan.

Beberapa tokoh Indonesia juga membatalkan kunjungannya ke Australia, seperti Menteri

Riset dan Teknologi Indonesia, Professor B.J. Habibie yang memutuskan untuk membatalkan

kunjungan sehari sebelum kunjungan tersebut terjadi serta Maria Carrascalao yang merupakan

Gubernur Timor Timur yang membatalkan kunjungannya untuk membicarakan permasalahan

Timor Timur.9

Perbedaan pemahaman antara Pers Indonesia dan Australia sulit untuk diredam. Hal ini bukan

hanya semata-mata karena adanya perbedaan bahasa, sejarah, sistem sosial, tradisi, ras, suku, dan

agama, namun para pelaku jurnalis antara kedua negara kurang memiliki kesadaran akan adanya

perbedaan sistem dan landasan pers di antara kedua negara. Kurangnya sensitifitas dari jurnalis

masing-masing negara, menunjukkan rasa pengertian yang cukup minim antar pemerintah dan

jurnalis dikedua negara tersebut.10 Oleh sebab itu penulis tertarik untuk membahas permasalahan

tersebut dalam penulisan skripsi ini.

Permasalahan yang diangkat dalam penulisan jurnal ini adalah adalah sejauh mana pengaruh

artikel yang ditulis oleh David Jenkins dan dimuat di dalam surat kabar SMH pada tanggal 10 April

1986 mempengaruhi hubungan diplomatik Indonesia dan Australia. Pemberitaan tersebut membuat

pertikaian antara kedua negara semakin memuncak dan dampak yang ditimbulkan juga bukan

hanya respon dari Pemerintah Indonesia dan ekses yang diterima bagi Pemeritah Australia, namun

juga berdampak terhadap hubungan diplomatik antara kedua negara.

Tujuan penulisan dari jurnal ini adalah untuk mempelajari bagaimana dampak yang

1982), hlm. 28 8 David.T Hill, Pers di Masa Orde Baru, (Jakarta:Gramedia, 2011), hlm. 89 9 Philip Khitley, dkk, Australia di Mata Indonesia: Kumpulan Artikel Pers Indonesia 1973-1988. (Jakarta:PT Gramedia, 1989), hlm. 308 10 Hadi Soesastro, dan Tim McDonald (ed.), Indonesia-Australia Relations: Diverse, Cultures, Converging Interests, (Jakarta:CSIS, 1995), hlm. 294

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 4: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

4

ditimbulkan dari diterbitkannya artikel David Jenkins yang dimuat di dalam Koran SMH dengan

judul After Marcos, Now for the Soeharto Billions pada tanggal 10 April 1986 bagi hubungan antara

Indonesia dan Australia. Topik ini menjelaskan bagaimana perbedaan pemahaman, fungsi, dan

idelogi antara pers Australia dan Indonesia dapat menimbulkan permasalahan diplomatik antara,

antara Indonesia dan Australia. Penelitian ini juga diharapkan dapat mengungkap bagaimana

penyelesaian dari permasalahan pemberitaan pers Australia.

Berdasarkan topik ini, penulis berharap agar penulisan jurnal ini dapat bermanfaat agar

penulis dapat menguraikan bagaimana pasang surut hubungan Australia dan Indonesia, khususnya

pada masa Pemerintahan Orde Baru. Kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi hubungan bilateral

Australia dan Indonesia karena permasalahan ini memunculkan pemahaman antar kedua negara,

baik pemerintah, pers, bahkan masyarakat masing-masing negara mengenai karakteristik kedua

negara. Penelitian juga bertujuan untuk mendeskripsikan, memberikan penjelasan terhadap data

penelitian yang bersifat apa adanya, tanpa memberikan kesimpulan yang berkenaan dengan betul-

salah atau baik-buruk terhadap sikap dan tindakan Pers Australia dan respon Pemerintah Indonesia

yang berpengaruh terhadap pasang surutnya hubungan diplomatik Indonesia dan Australia.

Tinjauan Teoritis

Dalam meneliti permasalahan antara Pemerintah Indonesia dan Australia, teori mengenai Pers

Australia dan Pers Indonesia perlu diketahui agar dapat diketahui motif dari diterbitkannya artikel

After Marcos, Now For The Soeharto Billions. Kebebasan pers yang berlaku di Australia

merupakan pengaruh dari negara Liberal seperti Amerika Serikat dan Inggris. Berdasarkan konsep

kebebasan pers yang dianut Australia, maka pers memiliki kebebasan yang mutlak, absolut, dan

menyampaikan fakta yang ada tanpa adanya tekanan dari pihak manapun, termasuk negara.11

Pers berfungsi sebagai pengawas (watchdog), atau sebagai lembaga keempat (the fourth

estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Keberadaan pers sebagai pengawas

pemerintah memunculkan sikap kritis terhadap pemerintah, bahkan terkadang sering dianggap

memusuhi pemerintah. Di dalam sistem Pemerintahan Australia, pemerintah dan pers merupakan

kedua komponen yang tidak memiliki hubungan yang terikat. 12 Dalam pengaplikasian segala kerja,

pers di Australia hanya patuh pada aturan yang didasarkan pada kode etik jurnalistik sesuai dengan

ketetapan AJA (Australian Journalist Association) dan sistem D-Notes atau (D-Notices) yakni

sistem sensor diri (self cencorship) oleh pers.13

Berbeda dengan Pers Australia, landasan dari Pers Indonesia merupakan Pancasila dan

11 T.C. Bray, A Newspaper Role in Modern Society, (St. Lucia:University of Queensland Press, 1965), hlm. 14 12 Henry Mayer, The Press in Australia. (Australia:Landsdowne, 1964), hlm. 4 13 Western. J.W., The Mass Media in Australia, ( Queensland:University of Queensland Press,1971), hlm. 67

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 5: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

5

Undang-Undang Dasar 1945 yang dijalankan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hakikat

dari pers Indonesia memiliki inti bahwa pers harus dijalankan dengan atmosfer yang bebas dan

bertanggung jawab guna mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang

demokratis dengan mekanisme interaksi positif antara pers, pemerintah, dan masyarakat.14

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam peneliatian ini adalah metode sejarah. Cara-cara serta prosedur

penelitian yang diterapkan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode sejarah yang

merupakan proses menganalisis sumber-sumber sejarah melalui tahap-tahap heuristik, kritik

sumber, interpretasi, dan historiografi.

Tahap yang pertama ialah tahap pengumpulan data atau heuristik. Pada tahap heuristik

dilakukan upaya untuk menemukan sumber sejarah yang tersebar dan terdiversifikasi. Sumber

sejarah yang dikumpulkan adalah sumber sejarah yang berhubungan dengan makalah ini.Pada tahap

ini, penulis melakukan pengumpulan sumber-sumber sejarah berupa sumber primer yang terdiri dari

arsip-arsip pemerintah, surat kabar sejaman, serta berbagai bentuk dokumentasi fisik yang

tersimpan dalam situs resmi Arsip Nasional Pemerintah Australia dan Perpustakaan Nasional

Australia. Selain buku, penulis juga melakukan wawancara sebagai bentuk pencantuman sejarah

lisan dalam penulisan skripsi ini. Narasumber yang diwawancarai adalah Prof. Dr. Hasjim Djalal,

M.A dan Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti, Ph.D.

Tahapan kritik sumber dilakukan dengan alasan memilih atau menyeleksi dan

mengelompokkan sumber-sumber yang telah diperoleh. Kritik sumber adalah upaya untuk

mendapatkan otensitas dan kredibilitas sumber. Di dalam kritik sumber ini, penulis mengkaji lebih

dalam lagi sumber-sumber yang relevan dengan penulisan skripsi ini dan keabsahan dari sumber-

sumber ini benar-benar di uji dalam tahap ini, seperti kebenaran bahwa memang artikel atau koran

yang digunakan merupakan koran sejaman, bisa dilihat dari bahan koran dan tinta dalam artikel

tersebut.

Tahap selanjutnya merupakan tahap interpretasi dari bahan-bahan yang terkumpul setelah

dikritik yang kemudian dituangkan dalam historiografi. Interpretasi adalah proses pemberian makna

terhadap data-data yang telah di kritik sehingga jelas validitas dan relevansinya. Historiografi

adalah rekonstruksi imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan

menempuh proses heuristik, kritik sumber, dan interpretasi. Pada tahap ini, penulis mencoba

menganalisa permasalahan antar kedua negara mengenai pemberitaan yang dilakukan oleh Pers

Australia mengenai Pemerintah Indonesia, terutama pada tahap ini, penulis mencoba menganalisa 14 F. Rachmadi, Op.Cit., hlm. 198

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 6: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

6

permasalahan antar kedua negara mengenai artikel David Jenkins.

Hasil Penelitian

Artikel berjudul After Marcos, Now for the Soeharto Billions yang ditulis oleh David

Jenkins pada 10 April 1986 menjadi awal merenggangnya hubungan Indonesia dan Australia pada

tahun 1986. David Jenkins adalah jurnalis SMH yang pernah membuat kerengangan dalam

hubungan diplomatik Australia dengan Indonesia.15 Artikel After Marcos, Now for The Soeharto

Billion membuat David Jenkins dilarang masuk Indonesia. David Jenkins merupakan wartawan

profesional asal Australia yang datang ke Indonesia pada akhir tahun 1960. Saat berdomisili di

Jakarta, David pernah menjabat sebagai wakil Melbourne Herald pada tahun 1969-1970 dan

kemudian bekerja di Far Eastern Economic Review (FEER) sejak tahun 1976-1984.

Beberapa poin penting yang diuraikan dalam isi artikel After Marcos, Now Soeharto

Billions yaitu: (1) Perbandingan rezim Ferdinand Marcos dengan rezim Presiden Soeharto; (2)

Penjabaran mengenai sumber kekayaan yang dimiliki oleh keluarga Presiden Soeharto beserta rekan

bisnisnya; dan (3) Cara yang digunakan Soeharto dan rekan bisnisnya untuk menumpuk kekayaan.

Pada bagian awal artikel tersebut, David Jenkins menyampaikan bahwa selama 20 tahun

kepemimpinan Presiden Soeharto, rakyat Indonesia memiliki rasa ingin tahu terhadap harta yang

dimiliki oleh Presiden Soeharto beserta keluarga dan kerabatnya

Menurut Jenkins, Soeharto dan Marcos memiliki beberapa kesamaan. Keduanya sama-sama

memimpin negara ketika negaranya mengalami resesi. Pada saat sebelum dipimpin oleh Ferdinand

Marcos16, negara Filipina yang sedang mengalami kemunduran dalam bidang ekonomi dipimpin

oleh Diosdado Macapagal.17 David Jenkins menyatakan bahwa di balik prestasi gemilang Presiden

Soeharto, keburukan yang Soeharto miliki adalah merebaknya korupsi dalam keuangan negara

Indonesia yang serupa dengan Ferdinand Marcos. Hal tersebut merupakan titik lemah dari

Pemerintahan Presiden Soeharto, terlebih dengan banyaknya kerabat Presiden Soeharto yang sukses

di dunia bisnis, walaupun sebenarnya orang-orang yang tidak begitu ahli di dunia bisnis.

15 Ali Ahron Mukin, “Indonesia dan Australia diambang masalah”, Tempo, dalam http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/07/12/BK/mbm.20100712.BK134031.id.html, diakses pada tanggal 29 April 2014 pukul 10.23 WIB. 16 Ferdinand Edralin Marcos adalah Presiden kesepuluh Filipina yang menjabat selama 21 tahun. Marcos menjadi presiden dari 30 Desember 1965 hingga 25 Februari 1986. Marcos bergabungdalam partai Nacionalista dan mencalonkan diri untuk menjadi presiden. Imelda juga ikut berpartisipasi dalam kampanye presidennya. Bekerjasama dengan Fernando Lopez sebagai calon wakil presidennya mengalahkan saingan politiknya Diosdado Macapagal pada pemilu tahun 1965. (Gordy Slack, Ferdinand Marcos, (Halethorpe:Chelsea House, 1987), hlm. 1-4) 17 Keat Gin Ooi, Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, Volume 1, (California:ABC-CLIO, 2004), hlm. 808

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 7: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

7

David Jenkins secara berturut-turut juga menjelaskan tentang keterlibatan orang-orang

terdekat Presiden Soeharto dalam berbagai urusan bisnis. Pihak-pihak yang terkait, antara lain:

(1)Ny. Tien Soeharto turut disamakan dengan Imelda Marcos, istri Ferdinand Marcos. Sebutan Ibu

Tien sebagai Madame Tien Percent muncul karena partisipasi Ibu Tien di dalam kegiatan bisnis,

namun kebanyakan masyarakat Indonesia menyebut Ibu Tien sebagai “Fifi” sebagai kependekan

fifty percent.18 (2) Putra dan Putri Presiden Soeharto, Sigit Harjojudanto dan Siti Hardijanti yang

diberitakan telah mengakusisi sepertiga bunga pada bank pribadi terbesar milik negara (sebuah

institusi dengan aset mencapai 27 juta dolar Amerika).

(3) Liem Sioe Liong19, yang juga memiliki nama lain Soedono Salim merupakan seorang

pebisnis keturunan Indonesia-Tionghoa, dikabarkan memiliki kerajaan bisnis dalam bidang

penggilingan tepung dan pembuatan semen bernilai 2-3 miliar dolar Amerika. (4) Kerabat presiden,

Probosutedjo. Menurut Jenkins, Probosutedjo telah berbagi dengan Liem Sioe Liong untuk

monopoli impor cengkeh, yang merupakan bahan utama untuk membuat rokok. (5) Sigit dan

adiknya, Bambang, berkompetisi untuk memperebutkan keuntungan bisnis, sehingga Soeharto

harus memisahkan mereka. Menurut sumber dari Indonesia yang terpercaya, Soeharto menyuruh

Sigit untuk bersekolah di London untuk menjadi tenaga kesehatan.20

(6) Saudara tiri Presiden Soeharto, Sudwikatmono memiliki empat persen saham di

perusahaan tepung Liem Sioe Liong serta lima persen saham di perusahaan semen Liem.21 (7)

Sukamdani Sahid Gitosardjono, dikatakan telah terlibat investasi bernilai 300 juta dolar Amerika

pada bisnis pabrik semen dan memiliki kepentingan yang sangat besar di bisnis perhotelan, kayu,

tekstil, penerbitan, dan distribusi pupuk.

Pada kolom berikutnya David Jenkins mencoba menguraikan cara yang digunakan oleh

keluarga dan kerabat presiden dalam membangun kekayaan mereka. Menurut Jenkins, sebagian

besar kekayaan yang dimiliki oleh keluarga Presiden Soeharto berasal dari hubungan bisnis dengan

Liem Sioe Liong, seorang pebisnis berumur 69 tahun yang pada saat itu yang terkenal di kalangan

pebisnis Cina sebagai “Liem Botak” . Jenkins juga menyatakan bahwa Liem Sioe Liong adalah

seorang cukong22 yang juga merupakan kroni dari Soeharto. Menurut David Jenkins, pada masa

18 David Jenkins, “After Marcos, Now For The Soeharto Billions”, The Sydney Morning Herald, 10 April 1986 19 Liem Sioe Liong tidak lahir di Indonesia, ketika berusia 21 tahun, ia bermigrasi dari provinsi Fujian di Cina ke Jawa Tengah untuk mengadu nasib. Liem Sioe Liong memulai karirnya sebagai pedagang kelontong, menjual berbagai keperluan sehari-hari dengan sistem kredit. (Ahmad. D Habir, “Konglomerat: Antara Pasar dan Keluarga”, dalam Donald K. Emmerson (ed.). Indonesia Beyond Soeharto: Negara Ekonomi, Masyarakat Transisi. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 346) 20 David Jenkins, Op.Cit., “After Marcos, Now For The Soeharto Billions”, 1986 21 Ahmad. D Habir, “Konglomerat: Antara Pasar dan Keluarga”, dalam Donald K. Emmerson (ed.). Op.Cit., hlm. 322 22 Arti kata cukong menunjuk kepada Cukong adalah menunjuk kepada pengusaha-pengusaha pemilik perusahaan besar di Indonesia. Kata ini sendiri berasal dari bahasa Hokkian yang lazim dilafalkan di Indonesia oleh suku Tionghoa-Indonesia. (sumber : http://www.bahasaindonesia.net/cukong, diakses pada tanggal 21 November 2014, pukul 19:01 WIB)

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 8: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

8

Orde Baru para Jenderal Indonesia memiliki cukong pribadi untuk mengatur keuangannya,

termasuk mengatur bisnis yang mereka miliki dan menjadi penasihat keuangan para jendral

tersebut. Sebagai upah atas jasa para cukong, pemerintah menyediakan kredit dan memberikan

perlindungan militer terhadap para cukong.

Di dalam artikelnya, David Jenkins mengatakan bahwa kebaikan Soeharto terhadap Liem

Sioe Liong membuat pebisnis Tionghoa tersebut mampu memiliki usaha di sektor perbankan, baja,

pengiriman, pabrik, properti, supermarket, perdagangan, dan pembuatan film, bahkan hingga ke

ranah internasional. Menurut Jenkins, kekerabatan antara Liem Sioe Liong dan Soeharto sudah

terjalin sejak Soeharto belum menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Liem Sioe Liong

memasok keperluan perang seperti makanan, pakaian, obat-obatan, dan perlengkapan militer ke

pasukan gerilyawan Indonesia.

Bantuan Liem Sioe Liong terhadap Soeharto membuat nama baik Soeharto sebagai tentara

semakin cemerlang dan hal ini membuat adanya ketergantungan Soeharto terhadap Liem Sioe

Liong untuk berbalas budi. Saat Soeharto naik menjadi presiden, peran dan pengaruh Liem Sioe

Liong di Indonesia juga ikut terangkat. David Jenkins mengatakan bahwa dalam beberapa hal

kesukseksan Liem Sioe Liong dikarenakan adanya keistimewaan dari pemerintah yang luar biasa

bagi bisnisnya. Hal tersebut terlihat dari kemudahan Liem Sioe Liong dalam memperoleh kredit,

baik di usaha perbankan maupun pabrik semen milik Liem Sioe Liong.23

Pada bagian berikutnya, Jenkins menjabarkan bisnis apa saja yang dimiliki oleh Liem Sioe

Liong akibat adanya monopoli yang dilakukan oleh Presiden Soeharto, antara lain24: (1) Tembakau.

Pada tahun 1968, PT. Mega yang dimiliki oleh Liem Sioe Liong, dan PT. Mercu Buana yang

dimiliki oleh adik tiri Soeharto, Probosutedjo merupakan satu-satunya perusahaan yang memiliki

hak eksklusif untuk mengimpor cengkeh dari Madagaskar dan Zanzibar. (2) Tepung Terigu. Pada

tahun 1968, pabrik tepung dengan nama PT. Bogasari yang dimiliki oleh Liem Sioe Liong memiliki

hak ekslusif untuk mengelola pabrik tepung di bagian barat Indonesia, wilayah yang dipadati

penduduk Indonesia sebanyak 80 persen. Pada tahun 1982, PT. Bogasari mengambil alih

manajemen PT. Prima yang mengelola pabrik tepung di Indonesia bagian timur. PT. Bogasari juga

telah membeli empat kapal kargo besar untuk mengimpor gandum dari Australia, Amerika, dan

Kanada. David Jenkins juga menyatakan bahwa selama tahun 1970-1971, Liem Sioe Liong telah

mengajukan kredit pada Bank Indonesia untuk keperluan PT. Bogasari. Menurut David Jenkins,

dalam waktu satu tahun setelah Soeharto naik sebagai presiden, Liem Sioe Liong sudah memegang

kunci monopoli di bidang tembakau dan tepung, baik melalui keluarga dan kerabat Soeharto

bergabung di bisnis Liem maupun sebaliknya.

23 Nawaz B.Moody, Indonesia Under Soeharto. (New Delhi:Sterling Publishers Private Limited, 1987), hlm. 138. 24 David Jenkins, “After Marcos, now for the Soeharto Billions”, Op.Cit.

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 9: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

9

(3) Semen. PT. Indocement merupakan perusahaan penghasil semen. Kepemilikan saham

Liem sebanyak 45%. Sudwikatmono memegang 5% dari saham tersebut. Selain itu pabrik semen

perusahaan tersebut berada di daerah Cibinong, tepatnya 80 KM dari Jakarta dan dibuat oleh

Presiden Soeharto pada tahun 1975. Pada tahun 1983, PT Indocement mendapatkan investasi

sebesar 800 juta dolar Amerika, termasuk dari Soekamdani Gitosardjono yang merupakan salah

satu keluarga Ibu Tien, istri dari Presiden Soeharto dengan kepemilikan 5% saham.

(4) Perbankan. Liem Sioe Liong juga memiliki bisnis di ranah perbankan dengan kepemilikan

atas Bank BCA. Keluarga Soeharto juga memiliki saham di dalam BCA. Sigit Harjojudanto dan Siti

Hardijanti yang merupakan putra dan putri Soeharto masing-masing memiliki 16 persen saham di

BCA. Keterkaitan keluarga Presiden Soeharto dan Liem Sioe Liong juga tergambar dari adanya

kepemilikan 10% saham Sudwikatmono yang merupakan adik tiri Soeharto di dalam bank terbesar

ke-12 di California, Hibernia Banshares Corporation. (5) Baja. Berdasarkan penuturan David

Jenkins, grup perusahaan milik Liem Sioe Liong telah bergabung dalam pabrik baja, Krakatau Steel

Group dengan memberikan modal sebesar 800 juta dolar Amerika. Dalam akhir uraiannya pada

artikel ini, David Jenkins menyimpulkan bahwa kerajaan bisnis bernilai miliaran dolar milik Liem

Sioe Liong dan keluarga Soeharto telah tumbuh subur dan pembenaran tentang nasib baik yang

sederhana seperti yang dikatakan oleh Probosutedjo, tidak lagi menjadi penjelasan yang rasional.

Artikel tersebut ditanggapi berbeda oleh kedua negara. Perbedaan respon tersebut karena

adanya perbedaan paradigma antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia mengenai

sistem pers yang disebabkan karena adanya perbedaan budaya di antara kedua negara tersebut.

Pemerintah Indonesia, para politikus, dan ABRI menilai tulisan itu merupakan penghinaan terhadap

Kepala Negara. Artikel tersebut menuai protes keras dari Dubes Indonesia untuk Australia, August

Marpaung25, Harmoko selaku Menteri Penerangan Indonesia26, Menteri Luar Negeri Mochtar

Kusumaatmadja, Panglima ABRI yang juga merupakan Menteri Pertahanan dan Keamanan RI,

Jendral L.B. Moerdani27, Hasjim Djalal yang merupakan Kepala Departemen Penelitian dari

Kementrian Luar Negeri28, M. Kharis Suhud selaku Ketua DPR/MPR RI29, H. Amin Iskandar yang

merupakan anggota DPR RI, dan Fraksi ABRI (F-ABRI) di DPR.

Berdasarkan artikel di dalam harian SMH pada tanggal 7 Mei 1986, salah satu pihak dari

keluarga Presiden Soeharto yang juga merupakan Pembina Utama Hippi, Probosutedjo memberikan

25 “Marpaung Temui Bill Hayden: RI Protes Keras”, Kompas, 15 April 1986, hlm. 1, kolom 7-8 26 Menpen Harmoko:Tulisan Jenkins-Jurnalisme Alkohol”, Merdeka, 22 April 1986. Di dalam artikel tersebut Harmoko sangat menghargai sikap pers Indonesia yang cenderung mengkritisi artikel tersebut dan sikap pers Indonesia yang tidak menghendaki cara-cara jurnalisme Australia yang terlampau bebas dan tidak bertanggung jawab. 27 Phillip Kitley, dkk, Op.Cit., hlm. 320 28 “Envoy Urges and To Ban On Press”, The Canberra Times , Rabu 3 Februari 1988, hlm. 4, dalam http://www.trove.nla.gov.au, diakses pada 23 Oktober 2014, pukul 14.12 WIB 29 “Kharis Suhud:Pers Australia Agar Tidak Hanya Menulis Hal Buruk Tentang Indonesia”, Kompas, Rabu, 14 Agustus 1991

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 10: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

10

perlawanan terhadap segala tuduhan yang disampaikan David Jenkins. Probosutedjo menyatakan

bahwa tidak ada yang bisa dibandingkan antara Presiden Soeharto dan Presiden Filipina, Ferdinand

Marcos. Presiden Soeharto tidak pernah menjadikan anggota keluarganya menjadi pimpinan daerah

di Indonesia, dan tidak pernah memberikan hak keistimewaan atas jabatannya terhadap keluarganya

seperti yang dilakukan oleh Ferdinand Marcos. 30

Kemunculan artikel yang membahas mengenai monopoli Presiden Soeharto akhirnya menuai

protes dan demonstrasi dari 200 anggota Indonesia National Youth Committee untuk menyuarakan

keberatan akan munculnya artikel yang ditulis oleh David Jenkins. Kecaman terhadap Pemerintah

Australia ditunjukkan dengan tindakan konkret yang dilakukan oleh L.B Moerdani yaitu menutup

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), yakni Selat Sunda dan Selat Lombok.31 Kecaman juga

disampaikan oleh Harmoko dan disambut dengan adanya protes dari Persatuan Wartawan Indonesia

(PWI) yang memaksa agar dihentikannya kunjungan Wartawan Australia ke Indonesia.32

Ketika kunjungan Presiden Amerika Ronald Reagan di Bali pada 22 April 1986, tindakan

konkret yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja adalah melarang

adanya kunjungan para jurnalis Australia ke Indonesia. Selain adanya larangan untuk meliput

kunjungan Ronald Reagan, Pemerintah Indonesia menyatakan larangan untuk wartawan Australia

dalam meliput pertandingan Piala Thomas di Jakarta pada saat itu. 33 Kebijakan pelarangan masuk

Indonesia tidak hanya dialami oleh para wartawan dan pelaku media Australia saja, namun turis

Australia juga sempat mengalami pelarangan masuk kurang lebih 2 jam.34 180 wisatawan asal

Australia ditolak untuk berkunjung ke Bali dengan ditangguhkannya ketentuan bebas visa bagi turis

Australia. Sebuah pesawat terbang yang sedang mengudara ke Bali pun terpaksa berputar kembali

ke Australia karena adanya kebijakan penangguhan bebas visa tersebut.35

Pelarangan ini tidak hanya terjadi di Bali, namun juga di beberapa bandara internasional di

Indonesia lainnya. Empat Warga Negara Australia gagal mencapai Medan dan akhirnya

mendarat di Kuala Lumpur, dua di antaranya adalah Vorwood Walter dan Steven Harris yang

merupakan jurnalis Australia.36

Proses di bandara menjadi berbelit-belit akibat adanya kebijakan

tersebut terhadap Warga Negara Australia tersebut. Pesawat Royal Australian Air Force (RAAF)

juga dilarang untuk mendarat di Indonesia.37

Menteri Riset dan Teknologi Indonesia pada masa itu, Professor B.J. Habibie

30 Muklis Ali, “Soeharto Family In Counter-Attack”, The Sydney Morning Herald, 7 Mei 1986 31 Wawancara dengan Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti, tanggal 13 April 2015 di Gedung Widya Graha, lantai 3, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta Selatan. 32 ”PWI condemus Sydney paper news article”, Jakarta Post, 16 April 1986, hlm. 3, kolom 5 33 Phillip Kitley, dkk, Op.Cit., hlm. 320 34 “Siapa Dilarang Masuk?”. Tempo. 3 Mei 1986 35 APP, “Indonesian Minister To Visit”, ”. The Canberra Times. Senin 20 Juni 1988. 36 AAP, “Indonesia Calls For Cooling-Off Period”, The Canberra Times. Jumat 25 April 1986. 37 Frank Cranston, “Hawkish, Jibe Just Business Rivalry?”, The Canberra Times, Jumat 2 Juni 1989, hlm. 8

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 11: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

11

memutuskan untuk membatalkan kunjungan sehari sebelum kunjungan tersebut terjadi. Kunjungan

yang dilakukan oleh Habibie bertujuan untuk mempromosikan kerja sama bilateral antara

Indonesia dan Australia, terutama dalam bidang industri pesawat terbang.38

Menteri Luar Negeri

Australia Bill Hayden menyatakan kekecewaannya atas pembatalan kunjungan B.J Habibie karena

menurut Pemerintah Australia kunjungan tersebut penting untuk konsolidasi lebih lanjut hubungan

kedua negara. Bill Hayden mengatakan bahwa Pemerintah Australia tidak punya kontrol

terhadap pers Australia dan juga berharap agar perwakilan Pers Australia yang bekerja di Indonesia

tetap diizinkan bekerja39

Tindakan serupa B.J Habibie juga dilakukan oleh Gubernur Timor Timur, Maria

Carrascalao.40

Kunjungan Maria Carrascalao pada awalnya dilaksanakan dengan tujuan untuk

membahas permasalahan Timor Gap antara Indonesia dan Australia. Namun, Maria Carrascalao

akhirnya memutuskan untuk membatalkan kunjungan diplomatiknya ke Canberra sebagai

tanggapan atas munculnya artikel yang membahas mengenai korupsi yang dilakukan oleh

keluarga Presiden Soeharto.

Terpilihnya Gareth Evans sebagai Menteri Luar Negeri Australia dan Ali Alatas sebagai

Menteri Luar Negeri Indonesia menyebabkan adanya perbaikan hubungan antara Indonesia dan

Australia karena kedua menteri tersebut memiliki visi yang sama untuk membina hubungan

bilateral dan mempromosikan perdamaian di Asia Tenggara yang ditunjukkan dengan adanya

penyelesaian masalah Kamboja, penyelenggaraan ASEAN Regional Forum, dan usaha memajukan

Asia Pasifik melalui APEC.41

Sejak surutnya hubungan kedua negara karena kemunculan artikel David Jenkins, Australia

berupaya untuk mengevaluasi kembali sasaran-sasaran kebijakan luar negerinya terhadap

Indonesia. Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia merumuskan empat sasaran

kebijakan terhadap Indonesia pada tahun 1988-1996 yang kemudian dilaksanakan oleh Gareth

Evans.42

Dalam menjalin hubungan baik di era yang baru dengan bangsa Asia terutama Indonesia,

Australia membangun suatu strategi diplomasi multidimensional approach yang digagas oleh Bob

Hawke dan Gareth Evans, melalui penekanan-penekanan baru pada kerjasama ekonomi, sosial-

38 Kosasih Drajat, Op.Cit. Lihat juga AAP, Op.Cit., Senin 20 Juni 1988 39 “Marpaung Temui Bill Hayden: RI Protes Keras”, Kompas, 15 April 1986, hlm. 1, kolom 7-8 40 Op.Cit, Sinar Harapan, 23 April 1986 41 Ikrar Nusa Bhakti, “Kilas Balik Hubungan Indonesia-Australia 1995 dan Prospeknya di Masa Datang”, Op.Cit., hlm. 302 42 Wawancara dengan Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti, tanggal 13 April 2015 di Gedung Widya Graha, lantai 3, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta Selatan.

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 12: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

12

budaya, dan pertahanan-keamanan.43

Dalam menjaga kepentingan negaranya, Australia tidak

hanya mengandalkan cara-cara diplomasi dan politik militer belaka, tetapi juga melalui

perdagangan, investasi, kebudayaan, serta melalui program-program bantuan luar negerinya.

Dalam bidang pertahanan dan keamanan, Jenderal Peter Gration dari Australia melakukan

kunjungan ke Indonesia untuk menemui Panglima ABRI Jenderal TNI Try Sutrisno yang dilakukan

pada November 1988 dan dibalas oleh Jenderal Try Sutrisno pada Juli 1989.44

Dari segi perdagangan, sejak 1988-1991 ekspor berbagai komoditi Indonesia ke

Australia telah meningkat hingga 90 persen karena hubungan baik antara Menlu Ali Alatas dan

Menlu Gareth Evans.45

Menurut Hadi Soesastro, perdagangan antara Indonesia dan Australia

meningkat dua kali lipat selama tahun 1988-1993, meningkat dari satu miliar dolar Amerika

Serikat di tahun 1988 ke angka tiga miliar dolar Amerika di tahun 1993.46

Grafik 1. Grafik Perdagangan Indonesia dan Australia tahun 1972-1992

keterangan: - - - - - - - - - - - - Ekspor Australia dari Indonesia ——————— Impor Australia ke Indonesia

43 Ikrar Nusa Bhakti, “Kunjungan Keating Memperkukuh Hubungan Bertetangga.”, Op.Cit., hlm. 4 44

Desmon Ball, “Indonesia and Australia: Strange Neighbours or Partners in Regional Resilience”, Jakarta:CSIS, 1995, hlm. 131, dalam Tim Mcdonald dan Hadi Soesastro, Op.Cit. Sejak tahun 1995, Indonesia juga mulai ikut dalam latihan militer bilateral dan multilateral di daratan Australia yang bersandi Kangaroo 1995. (Ikrar Nusa Bhakti, “Kilas Balik Hubungan Indonesia-Australia 1995 dan Prospeknya di Masa Datang”, Op.Cit., hlm. 305) 45 Ikrar Nusa Bhakti, “Kunjungan Keating Memperkukuh Hubungan Bertetangga.”, Op.Cit. 46Gareth Evans, “Australia and Indonesia:Partnerhip in Diversity”, hlm. 5, dalam Hadi Soesastro dan Tim McDonald (ed.), Op.Cit.

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 13: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

13

Kunjungan-kunjungan antarnegara banyak dilakukan sejak terpilihnya kedua Menteri

Luar Negeri dari kedua negara tersebut. Presiden Soeharto pun menyatakan bahwa keterbukaan

dan dialog mengenai berbagai masalah merupakan hal penting bagi peningkatan hubungan

baik bagi Indonesia danAustralia.47 Pada Juli 1988, Menteri Koordinator Politik dan Kebijakan

Keamanan, Laksamana Sudomo melakukan kunjungan ke Australia setelah dua tahun pemboikotan

hubungan antara kedua negara sejak tahun 1986. Kedatangan Laksamana Sudomo berhubungan

dengan adanya Expo 88 yang merupakan pameran kebudayaan Indonesia-Australia di

Queensland.48

Selain Laksamana Sudomo, Menteri Pariwisata Susilo Sudarman juga hadir dalam

acara tersebut. Kedatangan tersebut bersifat tidak resmi, namun dengan adanya kunjungan tersebut,

hubungan antara Indonesia dan Australia mulai mendapat pencerahan ke arah yang lebih baik.

Dalam usaha perbaikan hubungan antar kedua negara, Pers Australia pun mendapatkan angin

segar dari Pemerintah Indonesia. Larangan kunjungan wartawan Australia ke Indonesia akhirnya

dicabut pada tahun 1988, setelah dua tahun mengalami pemboikotan oleh Pemerintah Indonesia.

Selain itu pada tahun 1991, usaha perbaikan hubungan antara Indonesia dengan Australia

membuahkan hasil dengan dibukanya Biro Pers Australia. Wartawan ABC diizinkan membuka

kembali kantornya di Jakarta setelah ditutup selama sepuluh tahun. Hanya Wartawan ABC yang

diizinkan membuka kembali kantornya di Jakarta dan diperkirakan terdapat lebih dari 100 kali

kunjungan dilakukan oleh wartawan Australia ke Indonesia setelahnya. 49

David Jenkins akhirnya dapat berkunjung ke Indonesia setelah pelarangannya dihapus yang

dibuktikan dengan kunjungan David Jenkins pertama kali ke Indonesia untuk meliput Konferensi

APEC di Jakarta pada 1994.50 Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Penerangan Harmoko karena

adanya pertimbangan bahwa para wartawan dan media massa Australia telah memahami nilai dari

Sistem Pers Indonesia.51

Pada tanggal 21-24 April 1992, Perdana Menteri Australia Paul Keating melakukan

kunjungan pertamanya sejak Keating menjabat. Dalam kunjungannya, Keating menekankan

perlunya kedua negara untuk meningkatkan hubungan komersil karena hal ini akan berdampak

pada pembinaan hubungan-hubungan lainnya.52

Kunjungan yang dilakukan oleh Paul Keating

memicu kunjungan lainnya yang dilakukan oleh menteri, pejabat senior, dan pebisnis dari kedua

47 “Keterbukaan dan Dialog Indonesia-Australia Untuk Tingkatan Hubungan Baik”, Kompas, Rabu 25 September 1991, hlm. 16 48 AAP, “Indonesian Minister To Visit”, Op.Cit. 49 “Mungkinkah Pers Australia-Indonesia Berbulan Madu”, Op.Cit. 50 Dahlan Iskan, “Dialog Antarpimred Australia-Indonesia (2), Bagaimana Tentang Pemberitaan Miring?”, Op.Cit. 51 PN/HAR, “Harmoko: Mereka Memahami Sistem Nilai Kita, David Jenkins:Mantiri Orang yang Sangat Baik”, Merdeka. 14 Juli 1995, hlm. 2 52 Ibid.

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 14: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

14

negara, terlebih ketika diadakannya Australia-Indonesia Ministerial Forum pada November 1992.53

Selain itu, dalam kunjungan ini, kedua negara menandatangani Perjanjian Persetujuan Penghapusan

Pajak Berganda (Double Tax Agreement).

Keputusan Paul Keating untuk melakukan kunjungan pertama ke Indonesia dilandasi oleh

besarnya kepentingan Australia terhadap Indonesia. Keating menganggap Indonesia sebagai negara

tetangga Asia terdekat yang amat penting.54

Secara geografis, Indonesia merupakan negara paling

dekat dengan Australia, oleh sebab itu sangat penting bagi Australia untuk menjalin hubungan

dengan Indonesia serta banyak hal yang mampu dimanfaatkan oleh Australia di dalam Indonesia,

jika Australia mampu menjalin hubungan yang baik. Pemboikotan yang dialami Pers Australia menyebabkan minimnya pertukaran informasi

antara Indonesia dan Australia, terutama informasi mengenai perekonomian Indonesia. Hal ini

mengakibatkan kurangnya minat para pengusaha kedua negara untuk meningkatkan arus bolak

balik perdagangan dan investasi kedua negara. Penyelesaian dari permasalahan ini adalah dengan

diadakannya pertemuan AIBC yang diadakan oleh Gareth Evans dan Dubes Indonesia Sabam

Siagian di Australia.55

Berdirinya organisasi dan diadakannya pertemuan-pertemuan tersebut

diharapkan sedikit demi sedikit membuka mata para pengusaha kedua negara untuk meningkatkan

kerja sama perdagangan dan investasi mereka. Hal ini berdampak pada tahun 1990, yaitu ketika

ekspor Australia ke Indonesia meningkat dua kali lipat sejak tahun 1988.56

Pembatalan

kunjungan Gubernur Timor Timur, Maria Carrascalao pada tahun 1986 akhirnya dibahas pada

25 Oktober 1988 dalam pertemuan antara Gareth Evans dan Ali Alatas. Australia dan Indonesia

mengukuhkan kesepakatan mengenai zona perbatasan laut antara provinsi Timor Timur dan

Australia bagian Utara yang dikenal sebagai Timor Gap.57

Kunjungan Menristek B.J. Habibie tahun 1995 ke Australia juga dilakukan untuk

menggantikan kunjungan yang dibatalkan pada tahun 1986, serta memperkokoh hubungan

Indonesia dan Australia, khususnya dalam pengembangan industri pesawat terbang yang sempat

tertunda. Kunjungan Habibie pada akhirnya menghasilkan dua Memorandum of Understanding

(MoU). Nota kesepakatan pertama merupakan perjanjian yang bersangkutan dengan hal-hal ilmu

pengetahuan dan teknologi (Iptek), termasuk pertukaran pakar, kerja sama proyek, dan hal lainnya.

Nota kesepakatan yang kedua merupakan persetujuan bagi kedua negara untuk meneruskan kerja 53 Richard Woolcott AC,“Australia-Indonesia Bilateral Relations”, hlm. 29, dalam Hadi Soesastro dan Tim McDonald (ed.), Op.Cit. 54 Ikrar Nusa Bhakti, “Kunjungan Keating Memperkukuh Hubungan Bertetangga.”, Op.Cit. 55 Wawancara dengan Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti, tanggal 13 April 2015 di Gedung Widya Graha, lantai 3, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta Selatan. 56 “Pengusaha Australia Harus Dekatkan Diri Ke Indonesia”, Op.Cit. 57 “Indonesia dan Australia selesaikan masalah Timor Gap”, Angkatan Bersenjata, 26 Oktober 1988, hlm. 1, kol 1-3

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 15: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

15

sama Iptek yang berada di bawah Committee on Science and Technology Australia-lndonesia

(COSTAI).58

Banyak usaha yang dilakukan oleh kedua negara untuk memperbaiki hubungan bilateral,

seperti diskusi, pertemuan antar tokoh, serta berbagai bentuk diplomasi, termasuk diplomasi

budaya dengan adanya pertukaran informasi budaya antara kedua negara rasa pengertian di

antara kedua negara pun dapat tercapai.

Bentuk pengaplikasian aktivitas kebudayaan antara kedua negara adalah Dibentuknya

Australia-Indonesia Institute pada 1989 dengan tujuan mengkokohkan hubungan antar pribadi

warga negara Australia dan Indonesia. Lembaga ini bergerak dalam kegiatan pertukaran pemuda,

kerja sama perfilman, pertukaran kunjungan kesenian, pemberian beasiswa, peningkatan studi

Indonesia di Australia dan studi Australia di Indonesia.59

Selain itu, diperiode berikutnya didirikan

Pusat Kajian Australia (PKA) di Universitas Indonesia pada tanggal 23 September 1991.60

Berdirinya PKA tersebut diharapkan dapat memberikan pemikiran bagi penyelesaian berbagai

masalah dan peningkatan kerja sama Indonesia-Australia di berbagai bidang.

Bentuk diplomasi budaya lain yang dilakukan oleh Pemerintah Australia adalah

mendatangkan Rebecca Gilling yang merupakan salah satu aktris Australia pemeran karakter

Stephanie Harper dalam serial Return to Eden pada Januari 1987 ke Jakarta.61

Serial tersebut

merupakan program televisi terpopuler di Indonesia, sehingga kesuksesan tersebut dimanfaatkan

Australia dengan baik.62

Media Indonesia menggambarkan Rebecca Gilling sebagai glamour

diplomat63.

Kesimpulan

Sistem Pers Australia memiliki pemahaman yang diilhami oleh adanya kebebasan dan hak

individu, seperti hak hidup, bertindak, dan berpendapat yang tidak dapat diganggu gugat oleh pihak

manapun, termasuk negara. Hal tersebut berbeda dengan pengaplikasian pers Indonesia yang

mengedepankan pemahaman bahwa pers harus berada dalam atmosfer yang bebas dan bertanggung

jawab guna mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis

dengan mekanisme interaksi positif antara pers, pemerintah, dan masyarakat. 58 “Habibie ‘Menemukan’ Australia”, Kompas, 1 Juni 1995, hlm. 7, kolom 1-5 59 Wawancara dengan Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti, tanggal 13 April 2015 di Gedung Widya Graha, lantai 3, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta Selatan. 60 Ikrar Nusa Bhakti, “Kilas Balik Hubungan Indonesia-Australia 1995 dan Prospeknya di Masa Datang”, Op.Cit., hlm. 307) 61 “Stephanie dan Bill Morrison”, Pelita. 28 Januari 1987, hlm. 7, kolom 5-7 62 “Indonesia hail ‘glamour diplomat’”, The Canberra Times, Rabu 28 Januari 1987, hlm. 5, dalam http://trove.nla.gov.au, diakses pada 23 Oktober 2014, pukul 14.12 WIB 63 “Indonesia hail ‘glamour diplomat’”, Op.Cit.

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 16: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

16

Perbedaan pemahaman mengenai landasan dan sistem pers menyebabkan munculnya

permasalahan antara Indonesia dan Australia mengenai diterbitkannya artikel After Marcos, Now

for the Soeharto Billions. Pemerintah Indonesia menilai artikel tersebut telah menghina Presiden

Soeharto selaku kepala pemerintahan. Namun, Pers Australia merasa bahwa kebebasan dalam

berpendapat tidak dapat dibatasi selama apa yang ditulis merupakan kebenaran. Artikel tersebut

ditulis oleh satu jurnalis Australia, David Jenkins. Motif dari diterbitkannya tulisan tersebut karena

budaya Pers Australia yang bebas dalam menyampaikan pendapat dan kritik. Selain itu adanya

kecurigaan Australia terhadap Pemerintah Indonesia dalam permasalahan Timor Timur juga

membuat Pers Australia banyak mengkritisi kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia melalui

media massa.

Di dalam artikel tersebut, David Jenkins menyatakan perbandingan antara rezim Ferdinand

Marcos dengan rezim Presiden Soeharto, aset-aset yang telah dimiliki oleh Presiden Soeharto dan

kerabatnya, serta bagaimana Presiden Soeharto dan kerabatnya menimbun kekayaan melalui jabatan

Presiden Soeharto sebagai Kepala Negara Indonesia. David Jenkins juga menyatakan bahwa

kekayaan yang diperoleh Presiden Soeharto dan kerabatnya didapatkan dari monopoli yang

Presiden Soeharto lakukan.

Artikel tersebut memunculkan respon dari Pemerintah Indonesia, seperti kritik dari beberapa

politisi Indonesia seperti Probosutedjo, August Marpaung, L.B. Moerdani, Mochtar

Kusumaatmadja, Harmoko, Hasjim Djalal, Amin Iskandar, Sumrahadi P, dan M. Kharis Suhud.

Kemunculan artikel tersebut juga memunculkan beberapa ekses bagi Pemerintah Australia, di

antaranya adalah (1) pembatalan kunjungan beberapa tokoh Indonesia seperti B.J. Habibie dan

Maria Carrascalao; (2) pelarangan kunjungan ke Indonesia bagi Turis Australia; dan (3) pelarangan

peliputan bagi Wartawan Australia untuk meliput kedatangan Presiden Ronald Reagan di Bali, serta

Piala Thomas di Jakarta; (4) protes dan demonstrasi dari 200 anggota Indonesia National Youth

Committee di depan Kedutaan Australia; (5) protes dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang

memaksa agar dihentikannya kunjungan Wartawan Australia ke Indonesia; dan (6) ditutupnya tiga

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).

Terdapat beberapa penyelesaian yang dilakukan oleh pihak Indonesia dan Australia untuk

menyelesaikan perselisihan antara kedua negara, yaitu membangun pilar-pilar pengokoh hubungan

yang tidak hanya mengandalkan hubungan diplomatik saja, melainkan melalui aktivitas, melainkan

melalui aktivitas berupa aktivitas komersial (perdagangan dan investasi), kebudayaan, hubungan

luar negeri dan pertahanan-keamanan sejak tahun 1988 atau strategi diplomasi yang dikenal dengan

multidimensional approach yang digagas oleh PM Bob Hawke dan Menlu Gareth Evans.

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 17: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

17

Saran

Penyelesaian paling mendasar dari permasalahan antara Indonesia dan Australia adalah

adanya rasa saling memahami dari masing-masing negara. Persepsi Australia yang menganggap

Indonesia sebagai sebuah ancaman bagi keamanannya merupakan hal yang sah dan wajar. Jika

dilihat dari landasan Pers Australia yang menganut paham liberal, persepsi semacam itu bisa

dimunculkan lewat pers dengan gaya yang bebas.

Selain itu, Indonesia juga harus memahami bahwa Australia merupakan negara liberal yang

menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Ada baiknya Indonesia tidak tersinggung oleh apa yang

disampaikan oleh Pers Australia, seperti yang diungkapkan oleh L.B. Moerdani. Begitu pula dengan

Australia, jika Australia benar-benar mengharapkan hubungan harmonis dengan Indonesia, maka

perlu diperlihatkan sikap yang lebih peka dalam memahami kultur Indonesia yang masing

mengedepankan sopan santun dalam berpendapat.

Daftar Referensi Surat Kabar: “Alatas:Berita di Luar Memojokkan”. Jawa Pos. 16 November 1991.

“Envoy Urges and To Ban On Press”, The Canberra Times, Rabu 3 Februari 1988,

“Habibie ‘Menemukan’ Australia”. KOMPAS. 1 Juni 1995

“Kharis Suhud:Pers Australia Agar Tidak Hanya Menulis Hal Buruk Tentang Indonesia”. Kompas.

Rabu, 14 Agustus 1991

“Marpaung Temui Bill Hayden: RI Protes Keras”. Kompas. 15 April 1986.

“Menpen Harmoko:Tulisan Jenkins-Jurnalisme Alkohol”. Merdeka. 22 April 1986 ”PWI condemus Sydney paper news article”, Jakarta Post, 16 April 1986

“Siapa Dilarang Masuk?”. Tempo. 3 Mei 1986

“Stephanie dan Bill Morrison”. Pelita. 28 Januari 1987.

Ali, Muklis. “Soeharto Family In Counter-Attack”. The Sydney Morning Herald. 7 Mei 1986

Bhakti, Ikrar Nusa. “Kunjungan Keating Memperkukuh Hubungan Bertetangga.”. Kompas. Senin, 20

April 1992

Jenkins, David. “After Marcos, Now For The Soeharto Billions”, The Sydney Morning Herald, 10 April 1986

PN/HAR. “Harmoko: Mereka Memahami Sistem Nilai Kita, David Jenkins:Mantiri Orang yang

Sangat Baik”.Rabu 30 April 1986

Sumber Lisan:

Wawancara dengan Prof. Dr. Hasjim Djalal, M.A pada tanggal 20 April 2015 di Menara Sudirman

(Gedung B Lantai 7), Jl. Jenderal Sudirman Kav. 60, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 18: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

18

Wawancara dengan Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti, Ph.D pada tanggal 13 April 2015 di Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (Gedung Widya Graha Lantai 3), Jl. Jenderal Gatot Subroto Kav. 10,

Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Buku: Bray, T.C. (1965). A Newspaper Role in Modern Society. St. Lucia:University of Queensland.

Broinowski, Alisom. (1982). Australia, Asia, and the Media. Canberra:Center for The Study of

Australiam-Asian Relations.

Emmerson, Donald K. (ed.). (2001). Indonesia Beyond Soeharto: Negara Ekonomi, Masyarakat

Transisi. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.

Hill, David.T. (2011). Pers di Masa Orde Baru. Jakarta:Gramedia.

Hill, Hellen. (1975). The Timor Story, Timor Information Service. Australia:Fitzroy.

JW, Western. (1971). The Mass Media in Australia. Queensland:University of Queensland Press.

Khitley, Philip, dkk. (1989) Australia di Mata Indonesia: Kumpulan Artikel Pers Indonesia 1973-

1988. Jakarta:PT Gramedia.

Mayer, Henry. (1964). The Press in Australia. Australia:Landsdowne.

Moody, Nawaz B. (1987). Indonesia Under Soeharto. New Delhi:Sterling Publishers Private

Limited.

Ooi, Keat Gin. (2004). Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor,

Volume 1. California:ABC-CLIO.

Rachmadi, F. (1990). Perbandingan Sistem Pers; Analisis Deskriptif Sistem Pers di berbagai

Negara. Jakarta:Gramedia.

Sadono, Bambang. (1993). Penyelesaian Delik Pers Secara Politisi. Jakarta:Sinar Harapan.

Slack, Gordy. (1987). Ferdinand Marcos. Halethorpe:Chelsea House.

Soesastro, Hadi dan Tim McDonald (ed.), (1995). Indonesia-Australia Relations: Diverse, Cultures,

Converging Interests, Jakarta:CSIS.

Tiffen, Rodney. (1978). The News from Southeast Asia. Singapore:Institute of Southeast Asian

Studies.

Jurnal

Bhakti, Ikrar Nusa. “Kilas Balik Hubungan Indonesia-Australia 1995 dan Prospeknya di Masa

Datang”, Profil Indonesia. Jakarta. 1996.

Sumber Dalam Jaringan:

http://www.bahasaindonesia.net/cukong, diakses pada tanggal 21 November 2014, pukul 19:01

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015

Page 19: Artikel After Marcos, Now For The Soeharto Billions

19

WIB

Ali Ahron Mukin, “Indonesia dan Australia diambang masalah”. Tempo. dalam

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/07/12/BK/mbm.20100712.BK134031.id

.html, diakses pada tanggal 29 April 2014 pukul 10.23 WIB

AAP.“Indonesia Calls For Cooling-Off Period”,The Canberra Times. Jumat 25 April 1986, diakses dari trove.nla.gov.au/ndp/del/arti.cle/143072 pada 16 September 2014, pukul 20.54 WIB)

AAP. “Indonesian Minister To Visit”. The Canberra Times. Senin 20 Juni 1988, diakses dari trove.nla.gov.au/ndp/del/arti.cle/659072 (diakses pada 16 September 2014, pukul 20.54 WIB)

“Indonesia hail ‘glamour diplomat’”. The Canberra Times. Rabu 28 Januari 1987, diakses dari

http://trove.nla.gov.au/ndp/del/page/4888613, pada 7 April 2015, pukul 19.00 WIB

Artikel after ..., Dian Vinnie Fabyola, FIB UI, 2015