kekejaman struktural soeharto

69
Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(1/9) Received on Wed Aug 12 09:30:38 MET DST 1998 ---------------------------------------------------------- PENGANTAR: Dr. Hermawan Sulistiyo membutuhkan waktu 13 tahun untuk menyelesaikan disertasinya tentang pembantaian dan kekejaman massal yang terjadi di daerah Jawa Timur pada tahun 1965-66 sebagai kelanjutan dari peristiwa G30S. Disertasi itu dijadikannya buku berjudul "The Forgotten Years". Tepat sekali judul buku Dr. Sulistyo itu mencerminkan keadaan kita sekarang. Seolah- olah kita sekarang telah melupakan pembantaian besar-besaran oleh ABRI dan bangsa sendiri terhadap bangsa sendiri --sebagian terbesar dari mereka tidak tahu apa-apa dan tidak berdosa. Pembantaian itu memakan korban sekurang-kurangnya 500 ribu orang, kalau tidak hendak dikatakan jauh lebih banyak lagi. Seolah-olah kita membenarkan apa yang pernah menggemparkan dunia itu, dengan dalih "penumpasan PKI dan Komunisme yang jahat dan anti-Tuhan". Kekejaman itu telah mengantarkan bangsa Indonesia memasuki era Orde Baru, dan kemudian terbukti telah menjadi bagian dari struktur dan sistem kekuasaan Orde Baru sampai tumbangnya di tahun 1998. Orde Baru itu sendiri berdiri sebagai hasil penggulingan kekuasaan Presiden Sukarno dan sekaligus penumpasan PKI. Dalih

Upload: antox19

Post on 18-Jun-2015

1.017 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kekejaman Struktural Soeharto

Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(1/9)

Received on Wed Aug 12 09:30:38 MET DST 1998

----------------------------------------------------------

PENGANTAR:

Dr. Hermawan Sulistiyo membutuhkan waktu 13 tahun untuk menyelesaikan disertasinya

tentang pembantaian dan kekejaman massal yang terjadi di daerah Jawa Timur pada

tahun 1965-66 sebagai kelanjutan dari peristiwa G30S. Disertasi itu dijadikannya buku

berjudul "The Forgotten Years".

Tepat sekali judul buku Dr. Sulistyo itu mencerminkan keadaan kita sekarang. Seolah-

olah kita sekarang telah melupakan pembantaian besar-besaran oleh ABRI dan bangsa

sendiri terhadap bangsa sendiri --sebagian terbesar dari mereka tidak tahu apa-apa dan

tidak berdosa.

Pembantaian itu memakan korban sekurang-kurangnya 500 ribu orang, kalau tidak

hendak dikatakan jauh lebih banyak lagi. Seolah-olah kita membenarkan apa yang pernah

menggemparkan dunia itu, dengan dalih "penumpasan PKI dan Komunisme yang jahat

dan anti-Tuhan".

Kekejaman itu telah mengantarkan bangsa Indonesia memasuki era Orde Baru, dan

kemudian terbukti telah menjadi bagian dari struktur dan sistem kekuasaan Orde Baru

sampai tumbangnya di tahun 1998. Orde Baru itu sendiri berdiri sebagai hasil

penggulingan kekuasaan Presiden Sukarno dan sekaligus penumpasan PKI. Dalih

Page 2: Kekejaman Struktural Soeharto

langsung yang digunakan waktu itu adalah "penumpasan G30S yang melakukan upaya

kudeta terhadap pemerintahan yang sah."

Namun -- sebagaimana diajukan dalam tesis David Johnson, Center for Defense

Information, AS, (lihat artikel "[SP] Bukan G30S/PKI melainkan G30S/Soeharto #1-#4"

yang ditayangkan kemarin dalam MILIS-SPIRITUAL) -- justru Soeharto-lah yang

dicurigai merupakan dalang G30S, bekerja sama dengan CIA. Faktanya KASAD Jenderal

Ahmad Yani bersama kelima jenderal

Pahlawan Revolusi lainnya telah dibantai oleh kesatuan-kesatuan G30S yang berasal dari

Kostrad, sedangkan Soeharto sendiri, Panglima Kostrad waktu itu, secara aneh "lolos"

dari kekejaman G30S.

Betapa kejamnya pembunuhan-pembunuhan bermotif politik itu terungkap secara grafis

dalam artikel #9; begitu sadis, sebaiknya tidak dibaca oleh mereka yang berhati lembut.

(Sekalipun di sini artikel itu tidak jelas sumbernya, namun barang siapa yang telah

menginjak usia remaja atau dewasa pada tahun 1965 itu pasti masih ingat apa yang

didengarnya -- atau bahkan mungkin dilihatnya sendiri -- di kampungnya pada waktu

itu.)

Sukar dibayangkan bahwa selama 3 dasawarsa bangsa Indonesia telah dikelabui oleh

suatu rezim yang berkuasa dengan dalih "melaksanakan Pancasila secara murni dan

konsekuen" serta keabsahan konstitusional, namun tangannya berlumuran darah. Ada

suatu penolakan psikologis dalam diri kita, suatu rasa tidak percaya, bahwa selama ini

ternyata kita telah hidup dan menghirup kenikmatan di bawah bayang-bayang dosa dan

Page 3: Kekejaman Struktural Soeharto

kutukan. Ada perasaan sedikit-banyak ikut bersalah di dalam ketidaktahuan dan

keawaman kita.

"Kekerasan muncul karena demokrasi dibungkam," kata Romo Mangunwijaya.

Dan demokrasi dibungkam dengan menyelewengkan Pancasila; Pancasila hanya

digunakan sebagai slogan dan penghias bibir belaka. Itu adalah sifat politis dan struktural

dari Orde Baru.

Serangkaian tulisan ini bertemakan kekerasan dan kekejaman yang merajalela pada era

Orde Baru, terdiri dari:

* "Pancasila Ditunggangi dan Diselewengkan" oleh Kartaprawira (#2);

* "September to Remember", Publikasi 29/1997, Laboratorium Studi Sosial Politik

Indonesia (#3);

* "Pembunuhan 3 Juta Orang dan Kup terhadap Presiden Sukarno", dimuat dalam Pijar,

23 September 1997 (#4);

* "Tak Ada Konsep Seragam dalam Pembunuhan Massal '65", wawancara dengan r.

Hermawan Sulistyo, penulis "The Forgotten Years", Suara INDEPENDEN, o

11/III/September 1997 (#5);

* "Rekayasa Soeharto pada Peringatan 30 September", oleh : Sutandi astraprawira (#6);

* "Beringas di Balik Mitos Kekeluargaan", Topik Utama, Suara INDEPENDEN, o

11/III/September 1997 (#7);

* "Orde Baru Itu Lahir dari Kekerasan", wawancara dengan YB angunwijaya, Topik

Utama, Suara INDEPENDEN, No 11/III/September 1997 #8);

Page 4: Kekejaman Struktural Soeharto

* "Pembantaian Setelah G30S", Topik Utama, Suara INDEPENDEN, No 1/III/September

1997 #9).

Pengungkapan di dalam milis ini dimaksudkan untuk membuka mata kita elebar-lebarnya

akan apa yang terjadi di masa lampau yang belum terlalu auh. Suatu peristiwa mahahebat

yang menimbulkan luka yang dalam pada bangsa kita, luka yang sampai sekarang belum

selesai, menurut Dr Sulistyo. Dan luka itu hanya bisa kita harapkan sembuh -- bukan

dengan ditutup-tutupi -- melainkan dengan dibuka lebar-lebar, dikaji, dihayati secara

berani dan terus terang, diakui bersama, sehingga tidak akan terulang kembali di

kemudian hari. Demikian Romo Mangunwijaya.

Page 5: Kekejaman Struktural Soeharto

Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(2/9)

Received on Wed Aug 12 09:31:09 MET DST 1998

----------------------------------------------------------

Memperingati GESTAPU/GESTOK 1965

PANCASILA DITUNGGANGI DAN DISELEWENGKAN

==========================================

Oleh Kartaprawira

Re: LPSI ONLINE EDISI, 04 Oktober 1997

PENYEGARAN PENGAMALAN PANCASILA

(Memperingati Kesaktian Pancasila 1 Oktober 1965)

Mengapa 1 Oktober dijadikan Hari Kesaktian Pancasila? Peristiwa G30S

memang suatu peristiwa bersejarah yang perlu diteliti secara tuntas,

obyektif dan tanpa apriori untuk ditarik pelajaran-pelajaran tertentu

bagi rakyat Indonesia. Sebab dalam peristiwa itu ternyata banyak

adegan-adegan yang perlu dibongkar secara transparan, jelas dan tuntas

demi keadilan, misalnya:

- Tersangkutnya Mayjen Suharto (kini presiden RI) dalam peristiwa G30S,

berhubung dia telah mengetahui sebelumnya akan adanya gerakan tersebut.

Page 6: Kekejaman Struktural Soeharto

Dia sangat bertanggung jawab terjadinya malapetaka tersebut, sebab tidak

melaporkan kepada Presiden Soekarno. Dengan demikian logis kalau dia

juga harus bertanggung jawab atas kematian jenderal-jenderal di

Lubangbuaya. Apa latar belakangnya?

- Mengapa mayjen Suharto tidak mematuhi perintah Presiden Soekarno

(Pangti) 1 Oktober 1965 untuk menghentikan semua gerakan militer?

Mengapa Mayjen Suharto memboikot pengangkatan Pranoto Reksosamodro

sebagai Pangad? Mengapa Aidit yang dituduh sebagai organisator G30S

dibunuh, sehingga tidak dapat diambil kesaksiannya yang diperlukan dalam

pengadilan mengenai G30S? Dari beberapa misal tersebut dapatlah diambil

kesimpulan bahwa peristiwa G30S belumlah tuntas jelas.

Tapi mengapa Pancasila dihubung-hubungkan dengan peristiwa G30S, kalau

peristiwa G30S-nya sendiri belum tuntas jelas? Bukankah belum jelas juga

apakah G30S anti Pancasila? Maka adalah suatu tanda tanya besar mengapa

tanggal 1 Oktober dijadikan "Hari Kesaktian Pancasila", disamping

penghapusan hari Lahirnya Pancasila' 1 Juni. Apakah ini juga bukan

rekayasa lagi untuk menjadikan Pancasila sebagai topeng atau kuda

tunggangan demi maksud-maksud politik tertentu?

Rakyat Indonesia telah belajar dari kegagalan-kegagalan perjuangan nenek

moyangnya melawan kolonialisme. Berkat rahmat Tuhan, dengan menyandang

Pancasila rakyat Indonesia yang bermacam-macam sukunya, agamanya dan

Page 7: Kekejaman Struktural Soeharto

bahasanya telah bersatu padu berjuang untuk mendirikan Negara Indonesia

Merdeka dan berhasil mempertahankannya dari usaha kaum kolonialis

Belanda yang ingin menjajah kembali. Dengan dijiwai Pancasila pula

rakyat Indonesia telah berhasil mempertahankan keutuhan negara Indonesia

dari bahaya perpecahan. Satu demi satu pemberontakan-pemberontakan

(Republik Maluku Selatan, PRRI-Permesta, DI-TII dan lain-lainnya)

berhasil dipatahkan. Dan akhirnya pada tahun 1962 Irian Barat dapat

direbut kembali meski melalui perjuangan fisik dan diplomasi yang berat.

Hal-hal tersebut diatas membuktikan kesaktian Pancasila.

Tapi toh tidak perlu pada hari jatuhnya RMS dijadikan Hari Kesaktian

Pancasila? Tapi toh tidak perlu hari runtuhnya PRRI-Permesta dijadikan

Hari Kesaktian Pancasila? Tapi toh tidak perlu hari direbutnya kembali

Irian Barat dijadikan Hari Kesaktian Pancasila? Jawaban mengapa 1

Oktober dijadikan Hari Kesaktian Pancasila adalah rekayasa penguasa

untuk menunggangi Pancasila demi kepentingan-kepentingan politik.

Memang benarlah apa yang ditulis LPSI bahwa tekad pelaksanaan Pancasila

secara murni dan konsekwen itu "perlu dipertanyakan terus menerus agar

tetap segar dan tidak sekedar jadi slogan politik sementara isinya tidak

pernah tersentuh". Dan benarlah tulisan kritis LPSI mengenai pengamalan

Pancasila yang ditelaah dari sisi kebijakan penguasa dalam menangani

bencana kebakaran hutan dan kebijakan dalam lapangan transportasi yang

Page 8: Kekejaman Struktural Soeharto

tidak sesuai dengan Pancasila.

Tapi kami berpendapat bahwa banyak persoalan-persoalan prinsipiil yang

merupakan penyelewengan Pancasila tidak mendapat perhatian LPSI. Padahal

penyelewengan Pancasila tersebut mempunyai dampak yang sangat

membahayakan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Disini kiranya perlu

kami ulang kembali beberapa bagian apa yang pernah kami tulis mengenai

hal tersebut(#).

Kita tidak boleh menutup mata bahwa di samping kesaktian yang telah

terbukti, ternyata dalam perjalanan sejarah selanjutnya, pusaka sakti

Pancasila tidak sepenuhnya berhasil digunakan. Malah ada kesan dia

disimpan dalam lemari kaca sebagai perhiasan belaka. Dan Pancasila hanya

dijadikan label dalam segala move politik penguasa, demi untuk

kepentingan-kepentingannya yang sesungguhnya jauh dari bau-baunya

hakekat Pancasila. Sehingga hal itu mengakibatkan timbulnya keresahan,

kegoncangan, dan kesenjangan dalam masyarakat. Akibatnya akhir-akhir ini

(1996-97) di banyak tempat di Indonesia timbul kerusuhan-kerusuhan yang

mengakibatkan korban jiwa, raga dan harta-benda (Situbondo, Tasikmalaya,

Rengasdengklok, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Ujungpandang dan

lain-lainnya). Dengan adanya pembakaran gereja-gereja dan tempat ibadah

lainnya, telah membuktikan tentang adanya bahaya yang mengancam ajaran

toleransi antar-agama yang terkandung dalam Sila Ketuhanan Yang Maha

Esa. Dengan adanya bentrokan fisik antara orang-orang Dayak dan

Page 9: Kekejaman Struktural Soeharto

orang-orang Madura di Kalimantan Barat yang mengorbankan ratusan

(mungkin ribuan) nyawa juga membuktikan adanya bahaya yang mengancam

atas ajaran kerukunan antar-sukubangsa yang terkandung di dalam Sila

Persatuan Indonesia (Nasionalisme). Meskipun demikian tidaklah berarti

bahwa Pancasila telah kehilangan kesaktiannya. Bagaimana mungkin bisa

dimanfaatkan kesaktiannya, kalau Pancasila diselewengkan, dipenjara

dalam almari kaca, hanya labelnya sajalah yang ditempelkan dimana-mana?

Yang sangat tidak terpuji adalah ucapan Menteri Agama Dr. Tarmizi Taher.

di Surabaya (17 Juni '97) dihadapan 500 kyai, yang di atas mimbar dengan

keras mengucapkan: 'Halal darah dan nyawa para perusuh' dengan diikuti

pekikan Allahu Akbar. Tarmizi Taher jelas tidak berjiwa pancasilais,

sebab dengan mudah menggunakan pendekatan 'pembasmian' (bertentangan

dengan jiwa Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab) terhadap sesama

bangsa sendiri (bertentangan dengan jiwa Sila Persatuan Indonesia atau

Nasionalisme). Bahkan dalam ajaran Islampun dimungkinkan adanya

pendekatan-pendekatan lainnya. Apakah Tarmizi tidak akan terusik

jiwanya, kalau para perusuh itu ternyata juga muslimin, seperti terjadi

dimana-mana sekarang ini? Suatu kebodohan besar kalau dia menyimpulkan

bahwa para perusuh itu PASTI orang komunis atau anak-cucunya yang mau

balas dendam. Saya kira Tarmizi sebagai menteri harus masih banyak

belajar mengenai hakekat Pancasila dan lebih bijak dalam mengeluarkan

pikirannya. Apakah ucapan Tarmizi di Surabaya tersebut tidak bisa

Page 10: Kekejaman Struktural Soeharto

dinilai sebagai provokasi untuk lebih memperkeruh situasi yang sangat

rawan dewasa ini, untuk membakar rasa permusuhan antar-ummat? Apakah

ucapan Tarmizi tersebut secara tidak langsung tidak bertujuan untuk

menyelewengkan hakekat Pancasila?

Harus kita akui bahwa sila Demokrasi (Musyawarah-mufakat) belum berjalan

seperti apa yang diinginkan. Dewasa ini banyak suara protes yang

menuntut pelaksanaan demokrasi, baik di forum-forum ilmiah maupun dalam

forum gerakan-gerakan unjuk rasa. Bahkan penguasa Orba sendiri dalam

padato-pidatonya banyak menyinggung masalah yang berhubungan dengan

pengembangan demokrasi (lepas apakah itu keluar dari hati nuraninya

ataukah hanya untuk lamis-lamis saja). Itu semua membuktikan bahwa

jalannya demokrasi tidak beres, pincang, tidak berkembang, sehingga

perlu dibenahi supaya berjalan wajar dan lancar sesuai dengan tuntutan

hakekat Pancasila. Dewasa ini dengan nyata bahwa 5 paket UU politik dan

pelaksanaan Dwifungsi ABRI telah merupakan perangkat politik yang

jelas-jelas menjegal realisasi sila Demokrasi, sehingga dapat dikatakan

demokrasi tidak berjalan. Misalnya, sistim kepartaian yang membatasi

hanya 3 partai saja (Golkar, PPP, PDI). Ini berarti orang yang tidak

mendukung ketiga partai tersebut (karena tidak setuju dengan programnya)

kehilangan hak demokrasinya. Sedang UU tentang susunan dan keanggotaan

MPR jelas-jelas menjamin apa saja yang dikehendaki penguasa dalam

kaitannya dengan pemilihan presiden dan pembentukan GBHN. Juga

Page 11: Kekejaman Struktural Soeharto

pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI telah memungkinkan adanya pemerintahan yang

totaliter-otoriter-militeristik.

Sangat memprihatinkan adalah kenyataan realisasi sila Keadilan Sosial,

yang tergambar sebagai makin melebarnya jurang pemisah antara sikaya dan

simiskin, yang menjadi sumber dari segala keresahan di dalam masyarakat.

Benarlah teori 'rumput kering' Amien Rais, dimana kesenjangan sosial ini

diumpamakan sebagai rumput kering. Siapa saja yang melempar api

kepadanya maka akan terbakarlah rumput tersebut dan terjadilah

malapetaka yang tragis. Sedang api tersebut bisa berasal dari

macam-macam pembakar, tidak mesti dari bensin yang disulut, tapi bisa

juga dari puntung rokok. Jelasnya api penyulutnya itu bisa dari

perselisihan etnis, agama, politik, dan apa saja. Seandainya kue hasil

pembangunan itu bisa mengucur ke bawah, ke rakyat, mungkin kesenjangan

sosial sedikit demi sedikt bisa diatasi.

Tapi sampai sekarang kue pembangunan tersebut hanya dinikmati para

lapisan atas. Padahal untuk membiayai terciptanya 'kue pembangunan' ini

telah dikeruk habis-habis kekayaan rakyat (minyak, gas, hutan, emas

dll.) ditambah dengan hutang luar negeri yang berjumlah lebih dari 200

milyar USD. Maka jelaslah 'pemerataan' yang pada tahun-tahun silam ramai

dibicarakan di Indonesia (berkat udara perestroikanya Gorbacev yang

sempat mengalir ke Indonesia), sukar diharapkan realisasinya. Ada suatu

anggapan bahwa lapisan atas dengan sengaja berusaha melupakan katakunci

Page 12: Kekejaman Struktural Soeharto

'pemerataan', yang sejak dulu (sebelum adanya perestroikanya Gorbacev)

telah merupakan salah satu tujuan dari Sila Keadilan Sosial.

Pembangunan yang berwujud gedung-gedung tinggi megah, obyek-obyek

rekreasi mewah, jalan-jalan aspal halus dan sebagainya, tidaklah

membantu meringankan derita puluhan juta orang yang hidup disekitar

garis kemiskinan. Kiranya bagi mereka perlu adanya bantuan konsumptif

(yang langsung bisa dimanfaatkan), disamping adanya bantuan produktif

(yang bisa membantu untuk membuka sesuatu usaha di bidang produksi).

Sudah waktunya Indonesia mengambil pelajaran kebijaksanaan pemerintah

negara-negara Eropah yang melaksanakan teori 'solidaritas sosial',

misalnya Nederland, Jerman, Swedia, Denmark, Belgia dan lain-lainnya. Di

Nederland misalnya, seseorang yang penghasilannya sebatas 'gajih

minimum', berhak mendapat bantuan-bantuan tertentu, misalnya bantuan

subsidi sewa rumah, tunjangan anak-anak dll. Sedang orang yang karena

sesuatu hal tidak mempunyai nafkah (belum/tidak mendapatkan pekerjaan)

menerima uang tunjangan sosial sebanyak f.1330,- tiap bulan bagi orang

yang hidup sendirian, sedang bagi orang yang hidup berkeluarga jumlah

yang diterima lebih banyak lagi (sebesar gaji minimum). Selain itu

mereka masih mendapat tunjangan-tunjangan lainnya, misalnya subsidi sewa

rumah, uang vakansi tahunan dan lain-lainnya.

Ketika saya berkesempatan berbincang-bincang dengan seorang sahabat,

dosen IAIN yang pernah tugas belajar di Nederland, dia dengan mata

Page 13: Kekejaman Struktural Soeharto

menyala-nyala mengomentari hal tersebut diatas: "Betul-betul

kebijaksanaan yang Islami, padahal Nederland bukanlah negara Islam, dan

tidak mempunyai Pancasila. Sungguh luar biasa!". Kalau dia tahu bahwa

peraturan tersebut berlaku tidak hanya terhadap warganegaranya saja,

tapi juga terhadap orang asing yang mempunyai izin mukim tetap (waktu

tak terbatas), maka dia akan lebih memuji lagi. Mengapa Indonesia yang

kaya raya dengan kekayaan alamnya yang berlimpah-limpah (apalagi punya

banyak orang supra-kaya), dan mempunyai Pancasila, tidak bisa

melaksanakan kebijaksanaan jaminan sosial untuk membantu orang-orang

yang hidup di sekitar garis kemiskinan? (Tentu saja tidak usah sama

sehebat Nederland).

Juga jalannya sila Perikemanusiaan (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab)

masih perlu diluruskan. Adalah wajar bahwa setiap perbuatan yang melawan

hukum harus ditindak sesuai peraturan hukum yang berlaku. Tapi jelas

tidak wajar bahwa didalam negara hukum Indonesia telah terjadi puluhan

ribu orang bertahum-tahun meringkuk di dalam tahanan tanpa proses hukum

yang ada. Adalah sukar diterima oleh akal sehat bahwa orang yang menjadi

korban penyerbuan (di gedung DPP PDI jalan Diponegoro) malah diseret ke

pengadilan dan dijatuhi hukuman. Sedang para penyerbunya dibiarkan

bebas, seakan-akan tidak melakukan sesuatu yang bersifat kriminal,

seakan-akan sah-sah saja mereka membunuh, menganiaya orang, melakukan

pengrusakan gedung dan isinya. Dimana sila Kemanusiaan Yang Adil dan

Page 14: Kekejaman Struktural Soeharto

Beradab? Bukankah didalam buku Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila (Ketetapan MPR No.II/MPR/1978) mengenai Sila Kemanusiaan Yang

Adil dan Beradab kita diharuskan "mengembangkan sikap saling mencintai

sesama manusia, sikap tenggang rasa dan 'tepa slira', serta sikap tidak

semena-mena terhadap orang lain"?

Suatu pertanyaan yang meskipun utopis perlu juga kami teriakkan demi

pelampiasan desakan hati nurani: "Bisakah MPR/DPR (1997-2002)berbuat

sesuatu demi pelurusan pengamalan Pancasila secara murni dan konsekwen?

Berani dan mampukah MPR/DPR memperjuangkan aspirasi rakyat yang

'diwakili', sesuai dengan tuntutan filsafat/dasar negara Pancasila.

---------

#) Kartaprawira, 'Pancasila: Pusaka Sakti Untuk Perdamaian, Persatuan dan

Kemakmuran',

Indonesia-l, 25 Juni 1997.

Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(3/9)

=============================================================

Publikasi 29/1997

LABORATORIUM STUDI SOSIAL POLITIK INDONESIA

Motto: Membela Pancasila dan UUD'45

Page 15: Kekejaman Struktural Soeharto

Email: [email protected], [email protected]

============================================================

SEPTEMBER TO REMEMBER

30 September datang dan pergi lagi. Walaupun ritus apa yang dinamakan

'Hari Kesaktian Pancasila' masih diteruskan, makin terasa kehampaan

upacara-upacara serta kegiatan resmi lainnya yang diselenggarakan dalam

rangka hari yang dikaitkan dengan apa yang dinamakan pemberontakan

"G30S/PKI". Kian tampak bahwa hari itu tak ada kaitannya dengan

Pancasila, tak ada hubungannya pula dengan kesaktian.

Generasi manusia di kemuidian hari akan mencatat bahwa versi yang

disuguhkan oleh pemerintah Orba dengan bekerja sama dengan vested

interest asing mengenai segala sesuatu yang terjadi sekitar "G30/PKI",

merupakan salah satu 'cover up story' yang paling besar dalam sejarah

politik pada abad ke-20 ini. Walaupun fakta-faktanya belum tersingkap

semua dan masih ada serentetan pertanyaan yang belum terjawab mengenai

peristiwa ini, banyak orang kian yakin bahwa PKI bukan biang keladi

peristiwa itu, malah jadi korbannya.

Logika adalah sesuatu yang inheren dalam pikiran manusia, meskipun

kemampuan untuk menggunakannya berbeda-beda derajatnya pada setiap

orang. Logika itu bisa dilumpuhkan sementara dengan berbagai cara, tapi

tidak untuk selama-lamanya. Pada kenyataan inilah dapat kita temukan

Page 16: Kekejaman Struktural Soeharto

salah satu penjelasan mengapa rencana menyelenggarakan seminar Nawaksara

beberapa waktu yang lalu dibatalkan oleh pemrakarsanya sendiri, yakni

penguasa tertinggi Orba. Yang perlu ditegaskan dalam konteks ini adalah

bahwa prakarsa itu timbul karena Soeharto masih mampu menyadari bahwa

dirinya mendapat sorotan utama negatip dalam analisa orang yang

menggunakan logika.

Menyingkap kabut misteri yang menyelubungi "G30S" merupakan suatu hal

yang akan mendamaikan hati kita dalam berhadapan dengan sejarah. Tanpa

itu kita tak bisa lepas dari asap maharaksasa yang ditimbulkan oleh rekayasa.

Bagi orang yang berbalik pikirannya mengenai peristiwa tragis itu, mudah

tergoda untuk menyangsikan tuduhan-tuduhan Orba terhadap PKI mengenai

peristiwa Madiun yang juga terjadi dalam bulan September (1948). Ini

juga hasil proses penalaran logis.

Beberapa waktu yang lalu, dalam majalah Tiras, wartawan senior Rosihan

Anwar menulis sesuatu tentang peristiwa Madiun, dengan judul 'Wild

West'. Sorotannya khusus ditujukan terhadap prolog peristiwa itu. Tentu

diperlukan logika dan obyektivitas sebelum menerima atau menolak

kebenaran tulisan itu.

Mengenai peristiwa "G30S" ada seorang saksi mahkota yang tak pernah

diberi kesempatan untuk memberikan kesaksiannya. Ia cepat-cepat dibunuh

atas perintah Jendral Soeharto, jauh sebelum ia membubarkan PKI dengan

Page 17: Kekejaman Struktural Soeharto

menggunakan Supersemar. Nama saksi ini adalah D.N. Aidit, pemimpin utama

PKI.

Lain halnya dengan kasus apa yang dinamakan "pemberontakan PKI" di

Madiun 1948. Kira-kira 10 tahun yang lalu saya membaca sebuah brosur

yang berisi pleidooi D.N. Aidit mengenai peristiwa itu. Berjudul

"Menggugat peristiwa Madiun", brosur itu diterbitkan dan dijual bebas,

bahkan dicetak sampai ampat kali pada jaman pra-Orba. Kali terakhir di

tahun 1964. Sayang buku itu pinjaman, dan pemiliknya kini entah di mana.

Demi obyektivitas, baik sekali kalau tulisan itu dimuat di forum

Apakabar ini. Siapa yang punya naskah itu?

Kita perlu mendengar apa yang dikatakan oleh Rosihan Anwar dan

orang-orang lain. Tapi kita perlu juga mendengar kisah yang diceritakan

oleh orang PKI sendiri. Karena itu, berilah kesempatan kepada Aidit

untuk bicara. Dua-duanya, begitu juga tulisan-tulisan lain mengenai hal

yang sama, perlu disikapi secara ilmiah.

PEMBUNUHAN 3 JUTA ORANG DAN

KUP TERHADAP PRESIDEN SUKARNO.

Dini hari tanggal 1 Oktober 1965, 32 tahun yang lalu Gerakan 30

September melancarkan aksinya terhadap "Dewan Jenderal". Aksi yang

semula direncanakan tanggal 30 September oleh penanggungjawabnya diubah

menjadi 1 Oktober 1965. Sesudah peristiwa tersebut setiap tanggal 1

Page 18: Kekejaman Struktural Soeharto

Oktober selalu diperingati oleh penguasa orde baru-Suharto keberhasilan

menggunakan G30S sebagai alasan untuk menindas dan menghancurkan,

membunuh 3 juta orang PKI, progresif dan rakyat biasa, menggulingkan

Presiden Sukarno, merebut kekuasaannya dan menawannya hingga meninggal.

Peristiwa besar ini mempunyai pengaruh yang besar dan dalam, bukan hanya

pada waktu itu tetapi juga sampai sekarang, bukan hanya secara nasional

tetapi juga internasional. Ia mengubah jalan, arah revolusi, sejarah

Indonesia, dari arah mencapai Indonesia merdeka yang demokratis menjadi

Indonesia yang militeris fasistis. Namun sampai hari ini di Indonesia

masih belum jelas benar apakah peristiwa itu sebenarnya, siapakah aktor

yang berdiri dibelakangnya dan apakah peranan Jenderal Suharto.

Dalam menelaah peristiwa besar ini tidak dapat melepaskan dari situasi

politik secara Internasional yaitu 'Perang Dingin' waktu itu, situasi

politik regional dan dalam negeri Indonesia, pertentangan antara partai

politik, golongan, kelas-kelas, perseorangan dengan kepentingan,

karakter, ambisi, posisinya masing-masing yang berbeda dan bertentangan

satu sama lainnya yang mempunyai pengaruh sangat dalam terhadap

terjadinya peristiwa G30S.

Banyak orang, dari berbagai kelompok kepentingan memainkan peranan

berbeda bahkan bertentangan satu sama lain. Salah satu peranan besar

yang mempunyai pengaruh menentukan bangsa ini ialah peran Jenderal

Suharto, Presiden RI sekarang ini.

Page 19: Kekejaman Struktural Soeharto

Peran apakan yang dimainkan oleh Jenderal Suharto, terutama pada malam

menjelang 1 Oktober 1997 tersebut, maka marilah kita simak kembali

pembelaan kolonel Latief didepan Mahkamah Militer Tinggi II Jawa Bagian

Barat pada tahun 1978.

Suharto Diminta Sebagai Saksi a de Charge

Seperti diketahui, sesudah hampir 13 tahun kolonel Latief ditahan (ia

mulai ditahan 11 Oktober 1965) maka dihadapkanlah dia ke Mahkamah

Militer Tinggi (Mahmilti) II Jawa Bagian Barat pada tahun 1978.

Dalam jawaban kolonel Latief terhadap tanggapan Oditur militer tinggi

pada eksepsi tertuduh & pembela tanggal 6 Mei 1978, antara lain

dikemukakan bahwa Jenderal Suharto terlibat di dalamnya dan dua

persoalan pokok:

(a) Jenderal Suharto terlibat langsung dalam G.30-S (tahu lebih dulu

persoalan G.30-S);

(b) Jenderal Suharto kemudiannya memimpin langsung penggulingan Presiden

Sukarno dan pemerintahannya, tanpa saya ikut di dalamnya.

Mengenai keterlibatan langsung Jenderal Suharto dalam G.30-S, seperti

dikemukakan Kolonel Latief di atas menjadi lebih jelas dengan membaca

surat kolonel Latief tertanggal 9 Mei 1978 yang ditujukan kepada Ketua

Mahmilti II Jawa Bagian Barat mengenai permohonan tambahan saksi. Saksi

yang dimaksudnya saksi a de charge.

Page 20: Kekejaman Struktural Soeharto

Sebagai alasan dari pengajuan tambahan saksi-saksi tsb, kolonel Latief

antara lain mengatakan: "...demi terciptanya hukum yang adil dan tidak

memihak, sesuai dengan UU No 14 thn 1970 pasal 5, dengan ini saya

mengajukan saksi-saksi tambahan untuk diajukan di depan sidang ini:

1. Bapak Jenderal Suharto

2. Ibu Tien Suharto

3. Bapak RM Suharyono, ayah Ibu Tien Suharto

4. Ibu RM Suharyono

5. Ibu kolonel Suyoto

6. Ibu Dul, tamu Ibu Tien Suharto

7. Bapak Dul, tamu Ibu Tien Suharto

8. Ny Suharti, istri saya pada waktu itu

9. Subagiyo anak buah Bapak Jenderal Suharto asal Yogyakarta yang

melaporkan adanya Dewan Jenderal dan Gerakan tanggal 1 Oktober 1965

10. Tuan Brackman yang mewancarai Bapak Jenderal Suharto

11. Wartawan Der Spiegel Jerman Barat yang pernah mewancarai Bapak

Jenderal Suharto.

Tentang tahunya Jenderal Suharto lebih dulu persoalan G.30-S, dapat

diketahui dari "Laporan tentang Dewan Jenderal pada Jenderal Suharto",

yang disampaikan kolonel Latief, diantaranya sbb:

Disini perlu saya ungkapkan dimuka sidang Mahmilti ini agar persoalannya

lebih jelas.

Page 21: Kekejaman Struktural Soeharto

Dua hari sebelum peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, saya beserta keluarga

mendatangi ke rumah keluarga Bapak Jenderal Suharto di rumah

jl.H.Agusalim, yang waktu itu beliau masih menjabat sebagai Panglima

Kostrad, disamping acara keluarga, saya juga bermaksud: "menanyakan

dengan adanya info Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan kepada beliau".

Oleh beliau sendiri justru memberitahukan kepada saya, bahwa sehari

sebelum saya datang ke rumah beliau, ada seorang bekas anak buahnya

berasal dari Yogyakarta, bernama Soebagiyo, memberitahukan tentang adanya

info Dewan Jenderal AD yang akan mengadakan coup d'etat terhadap kekuasaan

Pemerintahan Presiden Sukarno.

Tanggapan beliau akan diadakan penyelidikan. Oleh karena itu tempat/ruangan

tsb banyak sekali tamu, maka pembicaraan dialihkan dalam soal-soal lain,

antara lain soal rumah.

Saya datang ke rumah Bapak jenderal Suharto bersama istri saya dan tamu

istri saya berasal dari Solo, Ibu kolonel Suyoto dan dalam perjamuan di

ruangan beliau ada terdapat Ibu Tien Suharto, orang tua suami istri Ibu

Tien, tamu Ibu Tien Suharto berasal dari Solo bersama Bapak Dul dan Ibu

Dul, juga termasuk putera bungsu laki-laki Bapak Jenderal Suharto, yang

kemudian harinya ketimpa sup panas.

Jenderal Suharto Berdalih

Selain daripada itu, sesuai laporan seorang penulis bernama Brackman,

menulis tentang wawancara dengan Jenderal Suharto, sesudah peristiwa 1

Page 22: Kekejaman Struktural Soeharto

Oktober 1965, kira-kira pada tahun 1968. Diterangkan bahwa dua hari

sebelum 1 Oktober 1965, demikian kata Jenderal Suharto: anak laki-laki

kami yang berusia 3 tahun mendapat kecelakaan di rumah, ia ketumpahan

sup panas dan cepat-cepat dibawa ke rumah sakit. Banyak kawan-kawan yang

datang menjenguk anak saya di malam tanggal 30 September 1965. Saya juga

berada di situ. Lucunya kalau ingat kembali. Saya ingat kolonel Latief

datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya.

Saya terharu atas keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang

penting dalam kup yang kemudian terjadi. Kini menjadi jelas bagi saya

bahwa Latief ke rumah sakit malam itu bukanlah untuk menengok anak saya,

melainkan sebenarnya untuk mengecek saya. Rupanya ia hendak membuktikan

bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya diam

di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke

rumah.

Adalagi sebuah wawancara dari surat kabar Der Spiegel Jerman Barat pada

bulan Juni 1970 yang menanyakan bagaimana Suharto tidak termasuk dalam

daftar Jenderal-Jenderal yang harus dibunuh, Suharto menjawab:

"Kira-kira jam 11 malam itu, kolonel Latief dari komplotan Pucht datang

ke rumah sakit untuk membunuh saya, tapi nampaknya ia tidak melaksanakan

berhubung kekawatirannya melakukan di tempat umum".

Dari dua versi keterangan tsb diatas yang saling bertentangan satu sama

lain, yaitu yang satu hanya "mencek" dan yang satu "untuk membunuh",

Page 23: Kekejaman Struktural Soeharto

saya kira Hakim Ketua sudah bisa menilai dari dua keterangan tsb dan

akan timbul pertanyaan tentunya: mengapa Latief datang pada saat yang

sepenting itu? Mungkinkah Latief akan membunuh Jendral Suharto pada

malam itu?

Mungkinkah saya akan berbuat jahat kepada orang yang saya hormati, saya

kenal semenjak dahulu yang pernah menjadi komandan saya? Logisnya,

seandainya benar saya berniat membunuh Bapak Jenderal Suharto, pasti

perbuatan saya itu adalah merupakan suatu blunder yang akan menggagalkan

gerakan tanggal 1 Oktober 1965 itu.

Dari dua versi keterangan tersebut menunjukkan bahwa Bapak Jenderal

Suharto berdalih untuk menghindari tanggungjawabnya dan kebingungan.

Yang sebenarnya bahwa saya pada malam itu datang di samping memang

menengok putranya yang sedang terkena musibah, sekaligus untuk "saya

melaporkan akan adanya gerakan pada besok pagi harinya untuk

menggagalkan rencana coup d'etat dari Dewan Jenderal, di mana beliau

sudah tahu sebelumnya".

Memang saya berpendapat, bahwa satu-satunya adalah beliaulah yang saya

anggap loyal terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno dan saya kenal

semenjak kecil dari Yogyakarta siapa sebenarnya Bapak Jenderal Suharto

ini. Saya datang atas persetujuan Brigjen Supardjo sendiri bersama

Letkol Untung. Dengan tujuan sewaktu-waktu akan meminta bantuan beliau.

Saya mempercayai kepemimpinan beliau. Seandainya berhasil menggagalkan

Page 24: Kekejaman Struktural Soeharto

usaha coup d'etat Dewan Jendral beliaulah sebagai tampuk pimpinan,

sebagai pembantu setia Presiden Sukarno itu... Beliau yang kami harapkan

akan menjadi pembantu setia Presiden/Mandataris MPR/Panglima tertinggi

Bung Karno, menjadi berubah memusuhinya.

Permintaan saksi tambahan (a de charge) dari Kolonel Latief ini ditolak

Ketua Mahmilti dengan alasan "tidak relevan". Sedang menurut Kolonel

Latief saksi a de charge yang diajukannya adalah penting dan sangat

relevan dalam perkara yang dituduhkan padanya, karena saksi Jenderal

Purn Suharto harus turut bertanggungjawab dalam perkara ini.

Dalih Jenderal Suharto yang bohong itu, yang kepada Brackman menyatakan

kedatangan Latief 30 September malam hanya "untuk mengecek", kepada Der

Spiegel "untuk membunuh", menjadi lebih lengkap dengan cerita dalam

otobiografinya, di mana dikatakan ia bukan bertemu dengan Latief di

RSPAD, melainkan hanya melihat dari ruangan di mana anaknya dirawat, di

mana ia berjaga bersama Ibu Tien, dan Latief jalan di koridor melalui kamar itu.

"Peran" Jenderal Suharto Dalam Operasi G.30-S

Menjadi tanda-tanya: mengapa setelah Kolonel Latief memberi laporan

bahwa besok paginya 1 Oktober 1965 akan dilancarkan operasi guna

menggagalkan rencana coup d'etat Dewan Jenderal, Jenderal Suharto tidak

mencegah, tidak melaporkan kepada atasannya, baik kepada A Yani,

Nasution maupun kepada Presiden Sukarno?

Page 25: Kekejaman Struktural Soeharto

Operasi G.30-S dini hari 1 Oktober 1965 tidak akan terjadi, sekiranya

Jenderal Suharto mencegahnya atau melarangnya, misalnya dengan segera

menangkap Kolonel Latief dan komplotannya! Juga operasi itu tidak akan

terjadi sekiranya Jenderal Suharto melaporkan kepada Jenderal A Yani,

atau kepada Nasution bahkan kepada Presiden Sukarno! Dengan demikian

tidak akan terbunuh 6 Jenderal itu. Peranan Jenderal Suharto sangat

menentukan dalam hal berlangsung atau tidak berlangsungnya operasi

G.30-S di pagi 1 Oktober 1965 itu.

Satu-satunya kemungkinan Jenderal Suharto berkepentingan terbunuhnya

Jenderal Yani. Dengan terbunuhnya Jenderal Yani terbuka peluang bagi

dirinya untuk menjadi orang pertama dalam AD. Karena ada semacam

konsensus di kalangan AD bahwa bila A Yani berhalangan, otomatis

Panglima Kostrad penggantinya. Panglima Kostrad ketika itu ialah dirinya

Jenderal Suharto.

Memang pada waktu itu di AD terdapat 3 golongan perwira tinggi, yaitu

golongan yang berorientasi kiri, tengah dan kanan. Yani cs adalah

perwira tinggi anti-kiri tetapi setia pada Presiden Sukarno dan pernah

memimpin penumpasan terhadap PRRI/Permesta-Pemberontak militer yang

didukung AS/CIA.

Karena peran Jenderal Yani menumpas PRRI/Permesta inilah maka AS/CIA

tidak senang dengan kelompok Yani cs, dan berkepentingan mengenyahkan.

Jenderal Suharto termasuk kelompok kanan yang anti-kiri maupun secara

Page 26: Kekejaman Struktural Soeharto

terselubung anti-Sukarno dan karena itu berkepentingan sesuai ambisi

terselubungnya menggulingkan Presiden Sukarno.

Peluang itu benar-benar digunakan secara maksimal oleh Jenderal Suharto.

Setelah besok paginya ia mendengar Jenderal A Yani terbunuh, ia segera

mengangkat dirinya menjadi pimpinan AD tanpa sepengetahuan

Presiden/Pangti ABRI Sukarno. Padahal pengangkatan seseorang menjadi

Kepala Staf adalah hak prerogatif Presiden/Pangti ABRI. Karena jabatan

itu adalah jabatan politik.

Setelah ia mengangkat dirinya sebagai pemimpin AD, maka tindakan

selanjutnya yang ia lakukan ialah mencegah Jenderal Pranoto Reksosamudro

memenuhi panggilan Presiden/Pangti ABRI untuk datang ke Halim, guna

menerima jabatan sebagai caretaker atau pengganti sementara almarhum A

Yani. Terus disusul dengan langkah memberi petunjuk kepada Presiden

Sukarno melalui Kolonel KKO Bambang Widjanarko agar setiap perintah yang

akan dikeluarkan harus disalurkan melalui dirinya. Juga supaya Presiden

Sukarno segera meninggalkan Halim sebelum tengah malam 1 Oktober 1965,

karena Halim akan diserbu pasukan Kostrad dan RPKAD (Lihat buku "G.30-S

Pemberontakan PKI", hal: 146).

Kenyataan ini menunjukkan bahwa sejak 1 Oktober 1965 kekuasaan secara de

facto berada di tangan Jenderal Suharto. Yang tinggal pada Presiden Sukarno

hanya kekuasaan de jure belaka.

Page 27: Kekejaman Struktural Soeharto

Soebandrio Melibatkan Aidit (PKI)

Untuk menutupi dalang yang sesungguhnya dari G.30-S ialah Jenderal

Suharto sendiri, maka Jenderal Suharto memfitnah PKI sebagai dalang

G.30-S. Hal itu dimungkinkan karena sejak awal Soebandrio (orangnya

Syahrir-PSI) berusaha melibatkan pimpinan PKI, Aidit, untuk dapat

dihancurkan. Hal ini dapat diketahui dari pemeriksaan atas diri Presiden

Sukarno, baik yang dilakukan Mayjen (purn) Sunarso selaku ketua Teperpu,

maupun yang dilakukan Achmad Durmawel sebagai Oditur militer yang

menjadi penuntut dalam pengadilan Soebandrio, seperti yang diberitakan

Forum Keadilan No 14 thn ke-III, 27 Desember 1994.

Menurut Forum Keadilan Mayjen (purn) Sunarso pada tgl 9 Sept 1966

mengajukan pertanyaan secara tertulis kepada Presiden Sukarno dan

jawaban baru diberikan Presiden Sukarno tanggal 16 Agust 1966. Di antara

yang ditanyakan: Apakah benar Bapak memanggil kembali Aidit dari Moskow,

untuk mengumpulkan bahan penyusunan teks pidato 17 Agust 1965?

Menjawab pertanyaan tersebut Presiden Sukarno mengatakan: "Saya telah

memanggil Nyoto, Menteri Negara diperbantukan pada Presidium Kabinet

Dwikora untuk turut menyumbang pendapatnya dalam penyusunan pidato saya

tanggal 17 Agust 1965". Menurut kebiasaan saya, dalam penyusunan pidato

itu saya minta sumbangan dari belbagai pihak, antara lain agama,

nasionalis dan komunis.

Page 28: Kekejaman Struktural Soeharto

Berbeda dengan pemeriksaan yang dilakukan Mayjen (purn) Sunarso, maka

pemeriksaan yang dilakukan Durmawel, sebagai Oditur militer yang menjadi

penuntut dalam pengadilan Soebandrio, tergolong pro justicia. Durmawel

menyerahkan pertanyaan tertulis melalui Sekretaris Presiden. Sebelum

mengajukan pertanyaan itu, Durmawel menanyakan lebih dulu kepada

Presiden Sukarno untuk diperiksa. Saya katakan (kata Durmawel)

keterangan ini akan saya gunakan sebagai kesaksian dalam perkara

Soebandrio.

Kesaksian Presiden Sukarno itu kemudian dibacakan dalam sidang

Soebandrio. Menurut Durmawel pembacaan itu sama nilainya dengan

kehadiran Bung Karno di pengadilan.

Inti dari kasaksian Bung Karno yang dikejar Durmawel adalah soal siapa

yang memanggil DN Aidit pulang dari Moskow. Karena menurut analisanya,

kepulangan Aidit di tengah isu sakitnya Bung Karno adalah dalam rangka

mempersiapkan G.30-S. Artinya siapa yang berinisiatif memanggil Aidit,

itulah yang tahu tentang rencana G.30-S. Ternyata Bung Karno tidak

memanggil Aidit. Kesaksian itu bagi Durmawel adalah kartu truf yang

melicinkan jalan bagi vonis seumur hidup untuk Soebandrio.

Keterangan Durmawel berarti bahwa Soebandrio-lah yang tahu tentang

rencana G.30-S dan berusaha melibatkan Aidit sebagai pimpinan PKI dalam

peristiwa yang akan terjadi. Ya, Soebandrio sebelum itu juga telah

mensuplai PKI dengan dokumen palsu Gilchrist supaya PKI kebakaran

Page 29: Kekejaman Struktural Soeharto

jenggot dan mendahului langkah Dewan Jenderal yang hendak melakukan kup

(Lihat Dr Sulastomo dan Eckky Sahrudin dalam majalah Sinar 17 Juni 1995,

hal 11).

Bahwa Aidit dilibatkan Soebandrio dalam peristiwa G.30-S, adalah sejalan

dengan pedapat Anthoni Dake (Tempo 6 Oktober 1990) bahwa peristiwa

G.30-S itu dilatar belakangi oleh sikap Bung Karno yang sangat tak sabar

melihat oposisi beberapa perwira tinggi AD terhadap program revolusinya.

Ia kemudian memerintahkan Letkol Untung untuk membereskan mereka. Aidit

yang mengetahui rencana itu setelah ia kembali dari RRC 7 Agustus 1965.

Inilah yang membuat PKI terlibat dan karena tak ada pilihan lain

mengingat PKI sangat tergantung kepada Presiden Sukarno.

Sejalan dengan usaha Soebandrio melibatkan Aidit, agar PKI dapat

dihancurkan, maka Kamaruzzaman (alias Syam) bekas kader Wijono dan Johan

Sjahruzah (yang kemudian menjadi tokoh PSI) di zaman Jepang, yang telah

berhasil memasuki Biro Chusus PKI di bawah pimpinan Aidit mengusulkan

supaya Untung, bekas anak buah Suharto di Jawa Tengah, yang menjadi

Ketua Dewan Revolusi. Kamaruzzaman tetap dengan usulnya itu meskipun

Kolonel Latief mengusulkan supaya yang menjadi Ketua itu seorang Jenderal.

Kamaruzzaman mudah mendekati Aidit, karena di tahun 1950, tatkala Aidit

dan Lukman hendak muncul kepermukaan di Jakarta setelah peristiwa

Madiun, Kamaruzzaman membantu kemunculannya di Tanjung Priok, sebagai

penumpang gelap pada kapal yang baru datang dari Vietnam. Hal itu

Page 30: Kekejaman Struktural Soeharto

dimungkinkan karena Kamaruzzaman ketika itu adalah pimpinan Sarekat

Buruh Perkapalan dan Pelayaran di Tanjung Priok.

Kamaruzzaman ini diawal revolusi pernah menjadi anak buah Suharto dalam

kelompok Pathok Yogya sewaktu melakukan penyerbuan ke sebuah tangsi

tentara Jepang di Kota Baru. Pada tahun 1951 dia salah seorang dari 9

kader pilihan PSI yang mendapat pendidikan/latihan khusus dan kemudian

pada tahun 1954 menjadi informan Kodam V Jaya.

Dengan dijadikannya Untung sebagai Ketua Dewan Revolusi memudahkan bagi

Jenderal Suharto menuduh PKI yang mendalangi G.30-S, karena Untung

dikenalnya sebagai perwira yang berhaluan kiri. Itu juga dinyatakan Yoga

Sugama dalam bukunya "Memori Jenderal Yoga" (hal: 49), bahwa ia

mengetahui Untung perwira yang berhaluan kiri.

Kamaruzzaman yang dipercayai Aidit inilah yang mempecundangi Aidit dalam

gerakan. Menurut Manai Sophiaan dalam bukunya "Kehormatan bagi yang

berhak" Syam membuat ketentuan bahwa persoalan yang akan disampaikan

kepada Aidit tidak boleh disampaikan langsung, melainkan harus lewat

dirinya. Syamlah yang akan menyampaikan kepada Aidit.

Ternyata berbagai pertimbangan militer yang harus disampaikan kepada

Aidit, tidak disampaikan oleh Syam, sehingga banyak hal yang tidak bisa

dikoordinasikan dengan baik. Semua pertimbangan, hanya Syam sendiri yang

menampung dengan akibatnya, setelah gerakan dimulai terjadi kesimpang

Page 31: Kekejaman Struktural Soeharto

siuran (hal:82). Semua itu dilakukan Syam untuk bosnya yang lain,

Suharto dan PSI.

Peranan Nasution Mengantarkan Suharto ke Kekuasaan De Jure

Seperti diketahui sejak 1 Oktober 1965 kekuasaan de facto sudah berada

di tangan Jenderal Suharto. Langkah berikut yang diayunkan Suharto

setapak demi setapak ialah merebut kekuasaan de jure. Untuk tujuan

itulah maka tanggal 11 Maret 1966 pasukan Kostrad dan RPKAD (tanpa

memakai identitas) mengepung Istana Merdeka, dimana sedang berlangsung

Sidang Kabinet Dwikora dibawah pimpinan Presiden Sukarno.

Menurut Frans Seda pengepungan Istana Merdeka itu adalah berdasarkan

strategi Suharto untuk membikin panik sidang Kabinet dan kemudian

menangkap Soebandrio (Lihat pengakuan Frans Seda, Kemal Idris, Sarwo

Edhi dalam Tempo 15 Maret 1986).

Sesuai dengan strategi Suharto, setelah Presiden Sukarno menerima

laporan adanya pasukan liar di sekitar Istana, maka untuk keamanannya,

Presiden Sukarno diterbangkan ke Bogor. 3 orang Jenderal suruhan Suharto

mengikuti Presiden Sukarno ke Bogor dengan membawa pesan agar Jenderal

Suharto diberi kekuasaan lebih besar. Hasilnya lahir Surat Perintah 11

Maret (Supersemar). Jadi, Supersemar adalah buah pengepungan Istana oleh

pasukan liar.

Page 32: Kekejaman Struktural Soeharto

Supersemar itu mereka anggap sebagai "Pelimpahan kekuasaan", padahal

hanya pelimpahan "tugas pengamanan" (Lihat pidato kenegaraan Presiden

Sukarno 17 Agustus 1966). Dengan meyalah tafsirkan Supersemar, mereka

bubarkan PKI, mereka tangkap sejumlah Menteri, mereka tangkap dan ganti

DPRGR/MPRS dari PKI, PNI, Partindo dan pendukung Presiden Sukarno

lainnya dan digantinya dengan kelompok pendukung Suharto. DPRGR yang

"tidak konstitusional" itulah yang menuduh Presiden Sukarno melanggar

GBHN, karena tidak membubarkan PKI dan menuntut MPRS supaya

melangsungkan sidang Istimewa guna menyingkirkan Bung Karno dari

kedudukannya sebagai Presiden.

Sesungguhnya yang melanggar GBHN adalah DPRGR sendiri, karena GBHN yang

berlaku ketika itu ialah GBHN-Manipol, GBHN yang memegang prinsip

persatuan berdasarkan Nasakom. Membubarkan PKI sama artinya dengan

menentang GBHN-Manipol, apalagi tidak ada bukti bahwa PKI yang

mendalangi G.30-S seperti yang dikemukakan Dewi Sukarno dalam tabloid

Detik No 030 th 1993.

Begitu pula MPRS yang lahir dari Dekrit Presiden Sukarno kembali ke UUD

1945 tanggal 5 Juli 1959 tidaklah sama fungsinya dengan dengan MPR,

seperti dikatakan Presiden Sukarno dalam amanat negaranya tanggal 10

November 1960. Presiden Sukarno mengatakan bahwa fungsi MPRS itu sama

dengan lembaga-lembaga negara yang lain, yaitu sebagai alat revolusi dan

Page 33: Kekejaman Struktural Soeharto

tidak berwenang merubah UUD 1945 serta memilih Presiden dan Wakil

Presiden.

Menurut JK Tumakaka bahwa MPRS tsb adalah semacam Komite Nasional. Ini

sesuai dengan pasal IV aturan peralihan UUD 1945, artinya berkedudukan

sebagai pembantu Presiden. Karena itu pulalah Ketua dan Wakil-wakil

ketuanya berkedudukan sebagai Menteri ex-officio (masyarakat Pancasila,

secercah pengalaman bersama Bung Karno", hal: 191-194).

Namun demikian Jendral Nasution sebagai ketua MPRS (yang sudah

diordebarukan) menerima usul DPRGR (yang pernah direvisi berdasarkan

penyalah-tafsirkan Supersemar) untuk mengadakan Sidang Istimewa MPRS.

Melalui pidato pembukaan Sidang Istimewa MPRS tertanggal 7 Maret 1967,

Jenderal Nasution secara berselubung "mendekritkan" perubahan kedudukan

MPRS dari sebagai pembantu Presiden menjadi sepenuhnya seperti MPR.

Padahal belum ada pemilihan umum untuk memilih MPR seperti yang

ditetapkan UUD 1945. Nampaknya Jenderal Nasution tidak mau kalah hebat

dari Presiden Sukarno yang mendekritkan kembali ke UUD 1945, maka ia

mendekritkan kembali ke MPR, padahal MPRnya belum pernah ada.

"Pendekritan" Jenderal Nasution itu tercermin dengan pidatonya, yang

antara lain mengatakan: "Sidang Umum I, II dan III berbeda dengan Sidang

Umum IV (Sidang Istimewa ini-pen). Tiga Sidang Umum tadi berdasarkan

Penpres dan wewenangnya pada azasnya masih dibatasi kepada penentuan

Page 34: Kekejaman Struktural Soeharto

GBHN...dengan Sidang Umum IV telah kembali ke MPRS, maupun Presiden, DPR

kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pemerintahan pada posisi dan wewenang

menurut UUD 1945 dan bukan lagi menjadi pembantu Presiden/PBR

sebagaimana hakikat sebelum itu" (Memenuhi Panggilan Tugas, jilid 7,

hal: 163-164).

"Dekrit" Nasution, yang ketua MPRS (bukan Presiden) itu sangat

bertentangan dengan pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi:

"Sebelum MPR, DPR, DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaan

dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional". MPR

seperti yang dimaksud pasal IV itu belum terbentuk, belum ada pemilihan.

Yang ada hanya MPRS, hasil Dekrit 5 Juli 1959 dari Presiden Sukarno.

Dengan "Dekrit" Nasution yang merubah kedudukan MPRS menjadi MPR, yang

bertentangan dengan pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, MPRS menarik

mandat dari Presiden Sukarno serta segala kekuasaan pemerintahan yang

diatur dalam UUD 1945 dan mengangkat Jenderal Suharto sebagai pejabat

Presiden.

"Dekrit" Nasution itulah yang telah melapangkan jalan bagi keberhasilan

kudeta merayap dari Jenderal Suharto dari kekuasaan secara de facto yang

dimulai 1 Oktober 1965 menjadi kekuasaan secara de jure tanggal 12 Maret

1967.

Page 35: Kekejaman Struktural Soeharto

Sebenarnya usaha untuk meminggirkan Presiden Sukarno dan menaikkan

Jenderal Suharto telah diusulkan oleh Nasution kepada Suharto 12 Maret

1966, melalui usulnya supaya Suharto membentuk Kabinet Darurat

berdasarkan wewenang yang diberikan Supersemar. Jenderal Suharto tak

berani melaksanakan usul Nasution itu, karena Suharto menganggap "Itu

wewenang Bung Karno, bukan wewenang saya" (Lihat keterangan Nasution

dalam Tempo 15 Maret 1986, hal: 19).

Adanya kerjasama Nasution-Suharto ini mudah dimengerti, karena Nasution

sangat berdendam kepada Presiden Sukarno, karena "kudetanya" 17 Oktober

1952, yang telah menghadapkan moncong meriam ke Istana Merdeka,

dipatahkan Presiden Sukarno. Sesungguhnya dengan "kudetanya" yang gagal

itu Nasution dapat diajukan ke pengadilan, namun Presiden Sukarno tidak

menempuh jalan itu. Ide persatuannya terlalu kuat, tidak menghendaki

perpecahan. Ironisnya Presiden Sukarnolah yang kemudian "diadili" dan

"dijatuhkan" oleh Jenderal Nasution, setelah ia berkedudukan sebagai

ketua MPRS.

Menurut Manai Sophiaan sepuluh tahun lamanya Amerika mengupayakan

penggulingan Sukarno... kerja keras Amerika ini akhirnya menjadi

sempurna setelah ketua MPRS Jenderal`AH Nasution menanda-tangani

Ketetapan MPRS No XXXIII/MPRS/1967, yang mencabut semua kekuasaan

pemerintahan negara dari tangan Presiden Sukarno, bahkan melarangnya

melakukan kegiatan politik untuk akhirnya dijebloskan ke dalam tahanan.

Page 36: Kekejaman Struktural Soeharto

Bung Karno dituduh terlibat G.30-S PKI (Kehormatan bagi yang berhak,

hal: 215).

Kebenaran Akan Mengalahkan Kebohongan

Sungguhpun begitu gamblangnya isi pembelaan Kolonel Latief di depan

Mahmilti II Jawa Bagian Barat pada tahun 1978 bahwa Jenderal Suharto

terlibat langsung dalam G.30-S dan kemudian menggulingkan Presiden

Sukarno, namun penguasa orde baru terus-menerus mempropagandakan bahwa

yang menjadi dalang G.30-S adalah PKI.

Dalam hal melakukan propaganda yang demikian, Jenderal Suharto dengan

orde barunya berpegangan kepada ajaran Goebbles, yaitu: "Ulangi" (NASRUN).

Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(5/9)

Received on Wed Aug 12 09:32:22 MET DST 1998

Suara INDEPENDEN, No 11/III/September 1997

TOPIK UTAMA

Dr. Hermawan Sulistyo, penulis "The Forgotten Years":

"TAK ADA KONSEP SERAGAM DALAM PEMBUNUHAN MASSAL '65"

Ia tolak anggapan, bahwa pembunuhan massal tahun 1965-1966 di Jawa Timur dilakukan

secara sistematis oleh tentara saja. Dalam "The Forgotten Years", desertasi yang baru

diselesaikannya di Arizona State, Amerika Serikat, ia kemukakan sejumlah faktor

penyebab yang saling tumpang-tindih. Yang ingin ia katakan, persoalan itu tidaklah

Page 37: Kekejaman Struktural Soeharto

sesederhana konflik antara tentara dengan PKI. Sebab, "tentara yang ada di Jawa Timur

itu tentara yang semuanya PKI." Kiranya harus diakui bahwa tragedi itu, dalam banyak

hal disebabkan pertentangan sesama masyarakat sendiri. Benar bahwa di Jawa Tengah,

pembantaian itu sepenuhnya adalah operasi militer, tapi di Bali dan Jawa Timur, sungguh

berbeda. Khusus Jawa Timur, konflik sosial-politik yang terjadi sudah berkepanjangan.

"Selama satu dekade penuh, orang bertarung tiap hari, wajar saja kalau bunuh-bunuhan,"

ujar mantan dosen Unas yang perlu 13 tahun mengumpulkan data untuk desertasinya.

G30S baginya, hanya menjadi satu faktor pemicu pembantaian itu. Ia juga menjelaskan

mengapa PKI sebagai partai besar bisa dengan mudah kalah. Ikuti selengkapnya,

wawancaranya dengan Suara INDEPENDEN:

-----------------------------

* Apa yang membedakan hasil penelitian Anda tentang pembunuhan massal '65 dengan

yang selama ini diyakini secara umum?

** Selama ini, hanya ada dua versi mengenai pembunuhan-pembunuhan massal '65.

Pertama, versi mereka yang menang; bahwa PKI itu jahat. Oleh karena itu pembunuhan-

pembunuhan itu dibenarkan. Bahkan, dipuji sebagai langkah penyelamatan bangsa.

Kedua,versi sebaliknya; bahwa pembunuhan adalah tindakan sistematik yang dilakukan

oleh negara yang diwakili tentara pada kelompok yang memiliki hak hukum sah, yaitu

PKI. Nah, kita tidak punya versi alternatif selain dari dua ini. Karena dalam proses

pembentukan ingatan kolektif bangsa ini, kita dibiasakan menerima tanpa ada pertanyaan

lagi. Padahal, fakta sejarah itu ditafsirkan untuk kepentingan masing-masing. Ternyata,

tidak sesederhana itu.

Page 38: Kekejaman Struktural Soeharto

Misalnya, tentang asumsi bahwa semua tentara adalah lawan PKI. Kasus yang saya

temukan di Jawa Timur, ternyata, tentara yang ada semuanya PKI. Pada Pemilu tahun

1955, di beberapa batalyon, PKI menang. Tentara kan banyak yang bersimpati pada PKI.

* Apa lagi yang Anda temukan?

** Bahwa tak ada satu konsep yang seragam, atau cetak biru, yang bisa dikenakan secara

nasional pada pembunuhan massal '65. Studi di Jawa Tengah menunjukkan,

(pembantaian itu dilakukan melalui) operasi militer, penuh. Tentara masuk, lalu perang

lawan orang yang kalah. Di Bali,

operasi militer ditambah konflik lokal. Di Jawa Timur, mayoritas disebabkan oleh konflik

sosial-politik berkepanjangan, yang sudah bertahun-tahun. Satu dekade penuh, orang

bertarung tiap hari. Wajar saja kalau bunuh-bunuhan. Ketanpa-adaan blue print ini yang

membedakan kasus di Indonesia dengan genosida di Kamboja.

* Di Jawa Timur, kelompok mana yang saling konflik dan apa penyebabnya?

** Antara buruh-buruh yang afiliasinya PKI dengan petani-petani yang afiliasinya NU.

Sebabnya: perbedaan afiliasi politik yang tumpah-tindih dengan orientasi kultural, dan

dengan kepentingan ekonomi. Tumpang-tindih lagi dengan lifestyle. Ini terasa sekali,

karena seluruh kawasan perkebunan di sana punya ciri-ciri wilayah perambahan, frontier

area. Misalnya, pabrik-pabrik gula dan kantong-kantong persentuhan industri dan agraria.

Suatu wilayah baru yang terbuka, yang biasanya diasosiasikan dengan sifat-sifat sekuler.

Ini wilayah yang secara kultural, potensial konfrontatif.

Page 39: Kekejaman Struktural Soeharto

Satu lagi sebab penting: retorika politik di tingkat nasional, diterjemahkan secara harafiah

oleh massa politik. Di berbagai koran partai, Harian Rakyat milik PKI, koran NU dan

koran-koran daerah, ditulis ketua partai menyebut "ganyang". "Ganyang" itu

diterjemahkan harafiah di tingkat bawah, berarti "bunuh". Dan pembunuhan itu terjadi

hampir tiap minggu. Bukan pasca '65 saja. Dari tahun lima puluhan, sudah ada. Semua

pelaku yang saya wawancarai bilang, "Biasa saja kalau mati dua puluh, tiga puluh..."

* Adakah konflik agama juga menjadi sebab?

** Sama sekali bukan. Karena PKI-nya banyak orang Islam juga. Para korban, banyak

yang sebelum dibunuh, minta shalat dulu. Habis sembahyang disembelih.

* Bagaimana dengan pertentangan kelas?

** Saya melihat, ada kesalahan PKI dalam menganalisis massa pedesaan.

Konsep Marxisme itu kan pertentangan kelas. Dengan kacamata yang tajam, dan

gampang dilihat, ada konflik kelas antara petani dan tuan tanah, dan sebagainya. Itu

diambil mentah-mentah. Kemudian dijadikan dasar strategi kampanye nasional. Nah,

studi saya menunjukkan, yang terjadi sebaliknya. Ketika kampanye dimulai, terutama

dengan adanya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) tahun 1960 dan UUPBH

(Undang-undang Pokok Bagi Hasil) tahun yang sama, yang terjadi konflik pada lapisan

yang sama. Antara buruh pabrik gula dan kelas petani yang orientasinya pesantren. Sama-

sama bukan pemilik modal. Dan terjadinya, bukan antara buruh yang

unskilled, tapi buruh kelas menengah yang paling aktif. Serikat Buruh Gula yang

Page 40: Kekejaman Struktural Soeharto

berorientasi ke PKI, semua aktifisnya di level menengah. Buruh semi-skilled, setengah

berkeahlian. Lawan mereka adalah petani-petani kelas menengah.

* Konflik itu bisa demikian tajam, apakah mereka saling merugikan?

** Ada beberapa kasus. Misalnya, dengan UUPA, ada pembagian tanah.

Padahal, kepemilikan tanah itu, sulit dibedakan antara kepemilikan pribadi kyai dengan

kepemilikan pesantren sebagai institusi. Itu, salah satu faktor yang membuat marah para

kyai.

* Apakah mereka juga tertindas secara ekonomi?

** Kalau berbicara tentang deprivasi ekonomi -teori yang menganggap sumber utama

konflik semacam itu adalah ketertindasan ekonomi dan alienasi ekonomi-, studi saya

menemukan yang sebaliknya. Makin miskin, makin mereka tidak ikut. Yang ikut, justru

mereka yang secara ekonomi relatif survive, kelas menengahnya.

* Siapa yang paling banyak jadi korban?

** Yang berafiliasi dengan PKI. Umumnya kalau aktif, tidak bawa bendera PKI. Tapi,

onderbouw-nya. Misalnya, Serikat Buruh Gula dan Pemuda Rakyat. Buruh ini ada juga

yang bukan anggota PKI. Tapi, karena secara organisatoris di bawah naungan PKI, jadi

korban juga.

* Mengapa PKI paling banyak jadi korban?

Page 41: Kekejaman Struktural Soeharto

** PKI, meskipun secara nasional disiapkan menjadi partai pelopor yang militan, dalam

prakteknya tidak siap bertarung. Mereka tidak pernah dilatih tentara, bergerilya atau

erang-perangan. Apalagi dipersenjatai. Jadi, ketika konflik memuncak, mereka tidak siap.

* Yang paling banyak mengeksekusi?

** Istilah saya vigilante group, kelompok kewaspadaan - dalam tanda petik. Bukan juga

Ansor. Kyai Mahrus dari NU, salah satu yang paling berpengaruh di Kediri, sempat

bilang, "Jangan diteruskan bunuh-bunuhan ini." Tapi, perintahnya nggak diikuti.

Vigilante group ini, pemuda-pemuda yang sebelumnya sudah bertarung. Mereka

gabungan dari macam-macam kelompok. Operasinya pun jangan dibayangkan sistematis.

Kadang-kadang, 3 orang pergi nangkep 10 orang. Diikat dan dibunuh. Senjatanya

seadanya saja. Pentungan, clurit, pacul...

* Daerah mana saja yang Anda teliti?

** Sekitar Kabupaten Jombang dan Kediri, yang tertinggi intensitasnya.

Perhitungan saya di Jombang, korbannya sekitar 5000-an. Kediri, 13.000-an. Saya

dapatkan dari jumlah desanya, sekitar 300-an. Tiap desa, aktifis PKI-nya 25 sampai 40.

Jadi, satu kabupaten bisa dapat angka antara 8000 sampai 13.000. Dan, bila daerah yang

intensitas konfliknya tertinggi saja jumlah korbannya seperti itu, saya kira secara

nasional, jumlahnya sekitar 400.000. Mereka bilang, maksimal membunuh 40 orang, "Itu

sudah kami habisi."

* Peristiwa 30 September apakah juga memicu?

Page 42: Kekejaman Struktural Soeharto

** Betul, sebagai faktor pemicu. Karena peristiwa di Jakarta itu, mengubah

keseimbangan lokal, dan membuat orang melakukan serangan mendadak, pre-emptive

strike. Penjelasannya begini: Sebelum 30 September ada keseimbangan nasional yang

diciptakan Bung Karno (keseimbangan

antara Angkatan Darat dengan PKI-red.). Setelah peristiwa itu, terjadi kevakuman hingga

5 Oktober. Usai penguburan jenderal-jenderal itu, terjadi titik balik. Di level nasional,

keseimbangan mulai bergeser ke "kanan" (tentara). PKI yang di level bawah tak

disiapkan untuk bertarung, hanya menunggu. Nah, saat itulah, lawan-lawannya

melakukan serangan lebih dulu. Di Kediri, tanggal 13 Oktober. Tapi, konflik ini sama

sekali bukan baru. Musuhnya pun musuh lama. Ibarat kita sedang berantem, tiba-tiba

dihentikan karena ada kejadian di luar ring. Semua menunggu. Begitu terjadi perubahan

keseimbangan di pusat, PKI digebug duluan. Karena menunggu, ya tidak siap. Habis.

Kata pengurus PKI itu, "Lho kami ini 'nunggu, dan nggak ada perintah. Kalau kami

diperintah berantem ya berantem."

* Lawan-lawan PKI di situ merasa menang secara moril, begitu tahu perubahan

keseimbangan di pusat?

** Nggak juga. Ketika pertama, NU, Masyumi dan sebagainya menyerang, mereka

sendiri juga tidak yakin menang. Karena melihat kekuatan PKI sebelumnya. Kodimnya

saja takut. Tentaranya kan juga banyak yang PKI.

Batalyon Ronggolawe dan Madiun itu, PKI-nya menang (dalam pemilu 1955).

Tentara waktu itu berpolitik, punya afiliasi politik.

* Apa hikmah kejadian ini untuk konteks sekarang?

Page 43: Kekejaman Struktural Soeharto

** Bahwa penyelesaian politik dengan kekerasan itu harganya mahal sekali. Lalu,

meskipun bentuknya luka-luka, ini adalah bagian dari sejarah kita. Bicara tentang

400.000 korban, artinya kita bicara juga tentang jutaan orang yang membuat ada korban.

Bila sudah jutaan orang, itu bukan sekedar persoalan pemerintah dengan masyarakat. Tak

sesederhana state versus society. Ini persoalan bangsa yang lebih kompleks, luka-luka

bangsa yang dalam sekali, dan belum selesai.

Peristiwa ini sampai ke tingkat tertentu, harus tetap dibuka dan dipelajari. Kalau tidak

kita tak akan pernah belajar. Dengan mudah, orang bisa dicap PKI. PKI kan partai sah

waktu itu. Hanya saja, mereka kalah dalam percaturan politik. Seandainya PKI menang,

sejarah yang sekarang akan lain.

REKAYASA SOEHARTO PADA PERINGATAN 30 SEPTEMBER

Oleh : Sutandi Sastraprawira

Kelompok Arief Kusno alias Romo Imam Mahdi Prawironegoro sejak Juli 1997

lalu sudah diincar yang berwajib di Malang. Dan baru tanggal 26

September, mereka digebuk karena diduga telah menghimpun kekuatan dan

melakukan aktifitas militer ilegal.

Dalam penggerebegan petugas menemukan bukti, selain mereka telah

melakukan aktifitas militer misalnya upacara militer dan latihan

baris-berbaris, petugas juga menemukan sejumlah senjata, pakaian militer

dan lain-lain. Aktivitas mereka dilakukan di sebuah rumah besar milik

salah seorang pengusaha real estate di Jl. Simpang Borobudur 31 C

Page 44: Kekejaman Struktural Soeharto

Malang, para anggota kelompok ini akhirnya dituduh telah melakukan

kegiatan makar terhadap pemerintah yang sah.

Kelompok Imam Mahdi yang beranggotakan kurang lebih 60 pengikut ini

semuanya sudah digulung dan ditahan pihak berwajib dan mereka dituduh

dengan sengaja menghimpun kekuatan dan menamakan dirinya titisan Bung

Karno. Dan memang di antara anak buahnya terdapat anggota ABRI yang

berpangkat Letkol dan Letjen, salah satunya adalah Letjen Bagaskoro

alias Letkol Kuncoro Nazar.

Memang, penampilan Imam Mahdi hampir sempurna seperti Bung Karno, selalu

menenteng tongkat komando lengkap dengan pakaian kebesarannya berwarna

putih memakai kopiah songkok, berkacamata hitam, tubuhnya tegap, nada

dan bicaranya tegas seperti Ir Soekarno semasa hidupnya. Jika hal ini

diskenariokan untuk sebuah permainan sinetron, maka publik Indonesia

benar-benar akan terkesima. Sebab, sungguh hebat sang sutradara bisa

mendapatkan tokoh yang sangat persis dengan Bung Karno semasa hidupnya.

Di Jawa Timur, di mana Menpen Jenderal Hartono masih punya link, memang

dibuat gempar dengan adanya peristiwa ini. Malah para pengikut Imam

Mahdi, atau Romo Yoso ini dikhabarkan sudah menyebar sampai ke Jember

dan lain-lain. Juga seluruh tanah air menjadi terheran-heran karena

sudah kurun waktu 27 tahun Bung Karno wafat, masih saja ada hal-hal yang

menggelikan.

Page 45: Kekejaman Struktural Soeharto

Menurut pengakuan Romo Yoso kepada yang berwajib, ia mendapatkan ilham

langsung dari Bung Karno dan diberinya nama Arief Kusno Saputro. Dan

menurutnya, Bung Karno pada tahun 1970-an pernah pesan kepadanya untuk

meneruskan perjuangannya. Ketika ditanya petugas, mereka mengaku telah

melakukan penyusunan pasukan dan sebagainya bahkan telah mendapatkan

bantuan dari negara jiran 600 juta dan juga dari para simpatisannya.

REKAYASA MURAHAN YANG GAGAL

Dari sumber yang sangat dapat dipercaya, Soeharto sangat gusar dengan

pernyataan-pernyataan Megawati beberapa waktu silam. Waktu itu Megawati

mengeluarkan statement "jangan coba-coba menggoyang saya", beberapa

waktu kemudian ia mengeluarkan pernyataan lagi "jangan coba-coba

menyingkirkan saya".

Pernyataan-pernyataan itu dianggap sebuah tantangan kepada pemerintah.

Maka bersamaan waktunya memperingati 30 September diciptakan sedemikian

rupa kondisi seakan-akan bahaya laten tetap ada termasuk bahaya akan

pengikut-pengikut Soekarno masih besar (yang dimaksud adalah pengikut

Megawati). Bahkan menurut laporan-laporan intelijen, kekuatan Mega

semakin besar terutama di kalangan pemuda.

Seperti yang dilaporkan menteri Hayono Isman ketika Nawaksara akan

diseminarkan, bahwa di kalangan pemuda nampaknya masih tertanam melekat

Page 46: Kekejaman Struktural Soeharto

ketokohan Soekarno yang makin diresapi adalah pemimpin besar yang ideal

karena tidak mempunyai apa-apa sampai akhir hayatnya.

Mendengar laporan ini Soeharto langsung memerintahkan agar dilaksanakan

seminar pidato Nawaksara. Tetapi telah diketahui bahwa ada bagian-bagian

pidato Bung Karno itu kalau diputar kembali justru akan menghancurkan

nama Soeharto sebagai presiden, maka akhirnya rencana tersebut

dibatalkan.

BERTUJUAN MENGHANCURKAN KEKUATAN MEGAWATI

Melalui alat-alatnya, Soeharto (baca: Hartono, Amir Santoso, Din

Syamsudin) memerintahkan adanya rekayasa lagi sejak gagalnya boneka

Soerjadi menjadi ketua DPP PDI yang ternyata hancur lebur dengan hanya

memperoleh 11 suara untuk PDI dalam pemilu yang lalu. Mereka mencari

jalan lain supaya kekuatan Mega pada umumnya dan nama harum Bung Karno

pada khususnya dapat dirusak sebelum sidang umum Maret tahun depan.

Maka, dikerahkanlah tatacara rekayasa baru melalui Yogi S Memet dan

Hartono agar momentum peringatan 30 September ini diumumkan adanya

kekuatan pasukan-pasukan yang masih tetap mengancam negara dan datangnya

dari eks pengikut-pengikut Bung Karno.

Bayangkan saja, pasukan-pasukan gadungan ini sudah enam bulan yang lalu

dibiarkan melakukan aktivitasnya dan baru sekarang ditangkapi dan di

diumumkan, diekspose besar-besaran oleh orangnya Soeharto dengan tuduhan

Page 47: Kekejaman Struktural Soeharto

makar. Apa tidak aneh dan lucu, jika sudah diumumkan oleh polisi bahwa

sudah enam bulan dibuntuti kenapa tidak ditangkap enam bulan yang lalu?

Para tokoh yang tersangkut paut dengan rekayasa ini tergugah hatinya

tidak sampai hati merusak nama baik Bung Karno, di saat-saat seperti ini

menceritakan kepada kita, yang jelas akan mengkambinghitamkan nama harum

Bung Karno yang arahnya menjurus untuk menghancurkan Mega.

Rekayasa ini sekaligus juga dimaksudkan untuk mengkondisikan supaya

diberlakukan SOB, situasi negara dalam keadaan darurat perang. Hal

tersebut diciptakan supaya pemerintah secara gampang melakukan

penangkapan-penangkapan dan penahanan-penahanan tanpa batas demi

mempertahankan kekuasaan Soeharto.

Tapi ternyata hal yang berbeda telah terjadi. Alam telah menurunkan

azabnya. Berbagai bencana telah menimpa bangsa ini. Mulai dari krisis

ekonomi, asap kebakaran dari hutan yang dibakar, tewasnya 234 penumpang

pesawat Garuda yang jatuh di Sibolangit, kelaparan di Irian Jaya yang

menelan korban lebih dari 351 orang, sampai berbagai kecelakaan akibat

tabrakan di jalan-jalan serta gempa bumi di Sulawesi Selatan.***

BERINGAS DI BALIK MITOS KEKELUARGAAN

Puluhan tahun setelah pembunuhan massal 1965, potensi keberingasan masih saja

mengancam. Penyebabnya, bukan semata-mata datang dari pemegang kuasa dan senjata.

Page 48: Kekejaman Struktural Soeharto

Seperti peristiwa saling bantai di Sanggau Ledo, keberingasan juga dibuahi oleh

masyarakat sendiri. Seharusnya, keadaan ini tak perlu jadi kian memburuk, andaikan

sistem demokrasi sebagai sarana mengelola konflik, berjalan dengan baik.

Time edisi 17 Desember 1966: “Dipersenjatai berbagai pisau ukuran besar yang disebut

parang, kelompok-kelompok muslim mendatangi rumah-rumah milik para komunis,

membunuh seluruh keluarganya dan menguburkan mayat-mayatnya secara sembarangan.

Pembunuhan itu begitu keterlaluannya, di beberapa tempat di Jawa Timur, sampai-

sampai kepala-kepala para korban ditancapkan di tiang-tiang dan kemudian dipamerkan

ke seluruh desa...”

Demikianlah rekaman situasi mencekam dari peristiwa pembantaian massal 1965, yang

dikutip salah satu majalah terkemuka di dunia itu. Peristiwa yang sayangnya, sampai kini

tak pernah dibuka tuntas. Sehingga, masyarakat Indonesia tak pernah belajar, mengambil

hikmah di balik itu. Yang muncul akhirnya, hanyalah cerita-cerita serba hitam-putih.

Pemerintah Orde Baru, memang berkepentingan untuk menutupi kisah tragis ini. Sebab,

dari ketidaktahuan masyarakat, akan mudah membentuk mitos mereka adalah

“penyelamat Pancasila”, yang telah menyingkirkan “musuh negara”. Meskipun, ketika itu

PKI adalah partai yang sah, dan pernah mengikuti pemilu.

Tentu ada pula kepentingan lain, apalagi kalau bukan untuk mencegah “bocornya” versi-

versi alternatif Peristiwa ‘65. Versi-versi yang umumnya, mendukung asumsi keterlibatan

Angkatan Darat mengkudeta Presiden Soekarno.

Ketiadaan sikap berterus terang akan sejarah ini, akibatnya terkadang membuat mereka

yang punya sikap kritis juga terjebak dalam pilihan hitam-putih. Mereka tidak lagi

Page 49: Kekejaman Struktural Soeharto

berusaha mencari sejarah yang apa adanya, tapi lebih menyukai mencari versi sejarah

yang “anti-mitos”

Perang „mitos“ ini yang membuat kebanyakan orang melihat, peristiwa pembunuhan

massal 1965 itu sebagai persoalan struktural semata-mata. Persoalan negara lawan

masyarakat, state versus society. Seperti dalam sebuah artikel bernada kritis yang beredar

di internet kira-kira setahun lalu, disebutkan, „orang-orang Islam dukungan tentara dan

para pelajar ‚dimobilisasi’ untuk melawan PKI, dan tentara telah melatih dan

mempersenjatai kelompok Islam... »

Kenyataannya, seperti terungkap dalam penelitian selama belasan tahun Dr. Hermawan

Sulistyo tentang pembunuhan massal 1965 di Jombang dan Kediri, persoalan ketika itu

begitu rumit. Yang ia temukan di Jawa Timur, malah tak ada mobilisasi oleh tentara.

Rakyat bergerak sendiri, bukan dipersenjatai, dengan membawa clurit, pentungan

ataupun golok. Pembantaian itu terjadi, karena sejak lama telah ada konflik yang

penyebabnya tumpang tindih (lihat: wawancara Hermawan Sulistyo, „Tak Ada Konsep

Seragam dalam Pembunuhan Massal ‚65“). Konflik itu, kemudian mendapatkan

momentum pemicu dari meletusnya peristiwa G30S yang menyudutkan posisi PKI.

Dengan kejatuhannya di tingkat nasional, maka para kader PKI di Jawa Timur yang “tak

siap bertarung”, akhirnya “digasak” oleh musuh-musuh lamanya.

Sekali lagi, persoalannya memang tidak sederhana. Bahwa di Jawa Tengah dan Bali,

pembantaian massal itu umumnya dilakukan oleh tentara, itu memang sudah faktanya.

Tapi, untuk kasus Jawa Timur, tentaranya bahkan banyak yang PKI. Seperti di Batalyon

Ronggolawe dan Madiun, ketika itu.

Nah, jika memang persoalannya tak melulu bisa diasalkan dari kesalahan pemerintah,

Page 50: Kekejaman Struktural Soeharto

secara tidak langsung, bukankah ini merupakan pengakuan akan adanya sesuatu yang tak

beres dalam masyarakat Indonesia? Harus diakui bahwa tak cuma penguasa yang

bersenjata saja, di dalam masyarakat Indonesia pun masih banyak yang ‘sakit’. Sebab,

jika tidak, sulit membayangkan angka korban yang diperkirakan mencapai 500.000 jiwa

itu.

Bukti bahwa “penyakit” itu memang ada dalam masyarakat, sebenarnya, dapat dilihat

dari berbagai peristiwa saling bantai sebelum dan sesudah Pembunuhan Massal ‘65 itu.

Di jaman Hindia-Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka, tanggal 9 Oktober 1740,

pernah terjadi peristiwa yang juga tak kalah tragisnya di Batavia -kini sudah jadi Jakarta.

Ketika itu pun, kanal-kanal dipenuhi bangkai serta darah tumpah ruah di mana-mana.

Para tentara, pelaut, warga Belanda serta budak-budak memenuhi jalan-jalan. Mereka tak

saja membunuh orang dewasa dan

anak-anak, tapi juga merampok para korban yang umumnya adalah orang-orang Cina.

Diperkirakan, 5000 orang tewas.

Penyebabnya, karena Gubernur Jenderal Valckenier melakukan usaha pendeportasian

paksa orang-orang Cina yang menganggur ke Ceylon (Sri Lanka). Namun, geng-geng

Cina di luar Batavia menduga yang terjadi adalah penenggelaman di Laut Jawa.

Akibatnya, mereka mempersenjatai diri dan menyerang pos-pos penjagaan. Kerusuhan

pun meletus, tak lama setelah pemerintah menggeledah semua rumah orang Cina.

Keadaan tak bisa dikontrol pemerintah Hindia-Belanda sendiri. Apalagi ternyata, ada

konflik antara Kanselir Baron van Imhoff -yang kala itu berusaha meredakan amarah

orang Cina dengan Gubernur Jenderal Valckenier.

Contoh lain yang paling segar dalam ingatan, adalah „Peristiwa Sanggau Ledo“.

Page 51: Kekejaman Struktural Soeharto

Penyebabnya, sungguh sepele. Gara-gara sejumlah pemuda Madura yang ingin menonton

orkes dangdut di Ledo, dengan kasar menarik-narik tangan gadis Dayak untuk ikut

mereka. Sehingga membuat para pemuda Dayak marah. Lalu terjadi perkelahian.

Peristiwa yang terjadi di Bulan September 1996 itu pun terus berbuntut. Apalagi, ketika

Desember 1996, dua orang Dayak ditusuk oleh pemuda Madura. Tak pelak lagi, aksi anti

Madura meletus di Ledo dan Sanggau Ledo, yang segera meluas menjadi perang antar

suku di seluruh Kalbar. Dua ribu orang, diperkirakan tewas. Sebagian besar orang

Madura.

Sebetulnya, benih-benih pertikaian di antara kedua suku ini, sudah berlangsung lama.

Sangat laten. Sedari awal, penyulutnya muncul dari masyarakat sendiri. Sejak tahun

1968, pertikaian Dayak-Madura ini dimulai. Camat Sungai Pinyuh Kabupaten Pontianak

bernama Sani dibunuh oleh seorang Madura di Anjungan. Penyebabnya, cuma lantaran

Sang Camat tidak mau melayani urusan pembuatan keterangan tanah pada hari Minggu.

Mulai saat itulah, setiap terjadi peristiwa kecil saja, saling bunuh tak dapat terelakkan.

Setidaknya, di pertengahan tahun 70-an, letupan di antara keduanya makin sering terjadi.

Selain peristiwa tahun 1996, kejadian besar lainnya terjadi tahun 1979, di Kabupaten

Sambas. Dimulai tak lama setelah seorang petani Madura membunuh petani Dayak.

Sebabnya, ia tersinggung, sesudah ditegur lantaran mengambil rumput di tanah milik

petani Dayak tadi tanpa ijin. Perang pun berkobar. Puluhan jiwa melayang. Sempat pula

didirikan „tugu perdamaian“ di Salamantan, atas prakarsa pemerintah. Namun, tugu itu

ternyata bukan obat mujarab. Tahun 1983 dan 1993, perang masih juga berkobar.

Page 52: Kekejaman Struktural Soeharto

Bahwa benih-benih keberingasan ini, masih tertanam pada alam bawah sadar masyarakat

dapat dilihat dari berbagai peristiwa „kecil“ sepanjang tahun 1995 dan 1996. Hanya

karena isu dan sebab sepele kerusuhan dengan mudahnya meletus. Boleh dibilang, tahun-

tahun itu adalah rekor terjadinya kerusuhan. Mulai dari pembakaran toko-toko dan gereja,

25 November 1995 di Pekalongan; pengeroyokan hingga tewas oleh sejumlah pemuda

Katholik pada pemuda lainnya yang dianggap menodai air suci, sehari setelah Natal 1995

di Nusa Tenggara Timur; pembakaran 25 gereja dan terbunuhnya 5 warga di Situbondo,

10 Oktober 1996; pembakaran terhadap 14 pos polisi, 13 gereja, 4 pabrik dan 89

bangunan lainnya di Tasikmalaya, 26 Desember 1996; hingga pembakaran 4 gereja dan 2

vihara di Rengasdengklok, 30 Januari 1996. Betapa mudahnya orang terpicu, lalu

melakukan penghancuran.

Lalu apa hikmah semua ini? „Ini persoalan bangsa yang lebih kompleks, luka-luka

bangsa yang dalam sekali,“ ujar Hermawan Sulistyo. Dengan itu ia mengingatkan agar

semua pihak tak terbiasa menyederhanakan masalah. Mungkin, dengan menyadari

kehadiran benih-benih tak sehat ini, akan ada keinginan semua pihak untuk berusaha

membangun kultur yang lebih baik, yang minimal harus dimulai dari diri sendiri. Bahwa

masyarakat -dan mungkin kita sendiri- juga bisa salah, bukan cuma penguasa.

Bukan berarti, tak perlu lagi membenahi persoalan struktural seperti demokratisasi. Justru

itu yang lebih penting. Bukankah keberingasan itu dimungkinkan terjadi, karena ada

ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem? Setiap kali rakyat digusur tanahnya, kehilangan

mata pencahariannya, sistem tak berpihak pada mereka. Makanya, tak perlu heran bila

terjadi peristiwa pembakaran kantor polisi seperti di Pameungpeuk, baru-baru ini. Jika

Page 53: Kekejaman Struktural Soeharto

rakyat sudah tak percaya pada sistem, tak ada jalan lain memang, selain memakai cara

mereka sendiri. Tak peduli betapa pun mahal harga yang harus dibayar.

„Demokrasi adalah sarana mengelola konflik yang sehat,“ demikian ucap Arief Budiman,

suatu kali. Kiranya, memang itulah prioritas utama yang harus segera diwujudkan, agar

tak makin banyak darah yang bergelimang, akibat keberingasan ini.

Sayangnya, penguasa memang tak pernah mau belajar. Peristiwa berdarah sudah semakin

banyak, tapi pendekatan kekuasaan malah makin menjadi-jadi. Bukannya memberikan

ruang gerak bagi demokrasi, malah memberi kekuasaan tanpa batas pada presiden dengan

Tap MPR VI yang kontroversial itu. Mimpi buruk ini, kapankah berakhir?

"ORDE BARU ITU LAHIR DARI KEKERASAN"

Keprihatinan Mangun, tentang gejala meruyaknya kekerasan massa, dapat ditemui di

hampir setiap karyanya. Tokoh ini pula, yang tak henti-henti menyarankan agar Tragedi

65 dipelajari secara tuntas, agar tak terulang di masa depan. Mangun berpendapat,

kekerasan di masa Orde Baru ini lebih sistematis, dibanding Orde Lama. Intensitasnya

pun makin tinggi. Ia menunjuk macetnya demokrasi, sebagai sebab uneg-uneg

masyarakat menumpuk; dan siap meledak kapan saja, seperti lahar gunung berapi yang

lama terpendam. Berikut cuplikan bincang-bincang Suara INDEPENDEN dengan romo

yang juga novelis itu, di rumahnya. Termasuk soal Kalimantan Barat, yang dinilainya

belum selesai.

Page 54: Kekejaman Struktural Soeharto

· Setelah kekerasan massal tahun 1965, ternyata masih saja terjadi kekerasan antar

masyarakat...

** Ya, kekerasan setelah tahun 1965 agaknya melebihi jaman Orla. Tapi memang

kekerasan itu gejala umum, semua negara, semua negeri ada kekerasan. Hanya saja, ada

kekerasan yang dapat dikekang oleh adat istiadat. Kalau „kekerasan gaya modern

internasional“ itu kan karena manusia terlepas dari kerangka adat istiadat lama, tapi

belum menemukan adat istiadat baru. Orang itu kalau lepas dari suatu kerangka terus

mudah mengikuti egoisme, hawa nafsu.

· Kekerasan itu terjadi karena faktor struktural atau kultural?

** Orde Baru itu lahir dari kekerasan dan memang metodenya adalah kekerasan, paksaan.

Tidak sekeras, misalnya, Hitler, atau Stalin tapi toh intinya itu kekerasan. Lain dengan

revolusi atau Orde Lama generasi ‚28 memang ada kekerasan tapi bukan „struktural“.

Jadi revolusi waktu itu pun selalu mencari jalan damai. Hanya karena Belanda

mempergunakan kekerasan maka dilawan. Tapi secara struktural, revolusi dan Orde

Lama itu sendinya, prinsipnya berunding, perdamaian, non violence. Perjuangan

perintisan kemerdekaan jaman Jepang pun tidak ada kekerasan.

· Bagaimana menjelaskan kekerasan masyarakat yang terjadi sejak ‘65 hingga akhir akhir

ini? Kenapa masyarakat Indonesia mampu melakukan itu?

** Karena bangsa Indonesia itu tidak mempunyai suatu struktur dan sistem mengajukan

pendapat pribadi atau mengeluarkan uneg-uneg itu tidak ada. Ya masyarakat dan negara.

Masyarakat juga terkekang, kalau ada yang punya pendapat lain dengan teman-teman di

kampung ya dipukuli. Jadi dari segi masyarakat, pergaulan sehari hari, berpendapat lain

Page 55: Kekejaman Struktural Soeharto

itu musuh. Agama juga begitu, „Kalau bukan agama saya berarti musuh.“ Kalau negara

dan masyarakat saling memperkuat suasana ketakutan yang timbul dari kekerasan fisik

maupun psikis, lalu suatu ketika meledak, atau orang lari. Banyak orang lari; daripada

mengamuk, minggat. Sekarang yang lari itu siapa? Kaum yang punya duit, ijasah tinggi,

punya kemampuan itu lari ke luar negeri; yang tidak suka sama Orde Baru itu ya lari.

· Negara sering menyatakan bahwa bangsa Indonesia itu bangsa yang cinta damai « toto

tentren karto raharjo »...

** Itu kan watak bangsa, suka damai. Tapi itu lain dari struktur politik. Cinta damai itu

setiap bangsa, setiap orang. Bangsa kita itu memang cinta damai, tapi cinta damai ini

sering dikacaukan dengan “cinta mengalah”. Jadi, kalau tidak berani, terus mengalah,

dongkol tapi diam. Itu sering disebut cinta damai tapi sebenarnya bukan itu cinta damai.

Terus menghindari konflik atau ya, “jangan ramailah, jangan bikin heboh”, itu belum

tentu cinta damai. Jadi cinta damai bagi bangsa kita itu sebetulnya ideal. Tapi

kenyataannya banyak orang yang mengamuk, terutama akhir-akhir ini.

· Ada kepentingan negara dengan jargon “cinta damai” itu?

** Ya, mestinya begitu. RI itu dulu, jaman revolusi dan Orla, tidak pakai kekerasan.

Bahwa ada orang yang keras, itu memang ada, tapi tidak struktural, tidak sistematis,

karena ada arus top down dan bottom up. Jadi kalau top down melulu, pasti ada

kekerasan. Dan kekerasan itu tidak hanya kekerasan brutal, fisik, tapi juga ada kekerasan

batin, mental.

Kalau ada suatu suasana di mana masyarakat takut, dan ketakutan itu tidak hanya di

kalangan bawah tapi juga kalangan menengah, kalangan atas, itu indikator paling jelas

Page 56: Kekejaman Struktural Soeharto

ada kekerasan struktural. Di Orde Lama orang tidak takut. Ada orang menderita, orang

lapar, orang menggerutu, orang protes, orang maki-maki Soekarno, tapi tidak takut.

Revolusi juga begitu. Jaman Belanda itu takut dan sejak tahun 1965. Dan yang takut

bukan orang kecil saja; semua pegawai negeri itu semua kan takut, walaupun menteri

atau dirjen ya takut, gubernur takut, panglima pun takut, profesor juga takut. Nah, itu

indikator bahwa iklim kekerasan merajalela.

· Amok itu sebenarnya gejala apa?

** Amok ya karena orang tidak berani; ketakutan yang menumpuk.. menumpuk..

menumpuk. Gambaran paling tepat itu seperti gunung berapi itu. Laharnya menumpuk..

menumpuk, kelihatannya „damai, indah“; tapi 10 tahun kemudian meledak. Kalau

masyarakat itu seperti Gunung Merapi ini, laharnya bisa keluar, seperti gunung di Hawai,

ya tidak meletus. Tapi kalau tersumbat seperti Kelud, Semeru, Galunggung; nah, di

situlah maka meledak.

· Betulkah Amok itu gejala khas Melayu?

** Di mana-mana amok itu ada. Di Inggris juga ada orang menembaki anak-anak TK, di

Australia juga ada orang yang menembaki orang mandi di pantai. Itu jika orang sedang

frustrasi, seperti vulkan yang menumpuk, tersumbat, tidak ada outlet. Jadi, demokrasi itu

mencegah ledakan amok, itu demokrasi. Kalau tidak demokratis, ya mesti ada amok.

· Apakah tragedi 30 September 1965 itu tergolong amok?

** ‘65 itu ya amok, jelas itu. Jadi jaman Orla itu sampai Soekarno menjadi diktator itu

orang mengeluarkan pendapat tidak takut. Tapi sesudah PKI kuasa, sejak konstituante

dibubarkan, ‘59 , itu orang mulai takut. Karena PKI memang keras, walaupun yang keras

Page 57: Kekejaman Struktural Soeharto

tidak hanya PKI, semua pihak keras. Di situlah mulainya terjadi kekerasan.

· Pihak mana lagi yang keras?

** Ya banyak, yang non-PKI juga keras, Soekarno kemudian juga jadi keras, ada

Manikebu, LEKRA, itu kan kekerasan juga. Jadi sejak Soekarno jadi diktator -selalu

diktator, ketakutan dan kekerasan itu suatu tritunggal. Selalu ada diktator, ketakutan dan

kekerasan. Nah, mulai Soekarno jadi diktator, PKI banyak (melakukan) intimidasi, partai

lain juga intimidasi, sama saja terus ketakutan merayap di kalangan masyarakat.

Sehingga seperti yang dikatakan Aidit itu, “Republik kita hamil tua”. Hamil tua apa, tidak

jelas. Tapi memang betul istilah Aidit itu. Ternyata ya itu, meledak kekerasan ‘65.

· Apa ada kesamaan background antara kekerasan massal ‘65 dengan yang baru-baru ini

terjadi beruntun?

** Itu agak lain. Kebanyakan amok akhir-akhir ini rekayasa, bukan massa.

Bukan penduduk asli di situ; datang dengan truk-truk itu kan orang luar. Kalau amok ‘65

itu kan massa di situ sendiri yang membunuh kawannya sendiri. Tapi yang akhir-akhir ini

kan tidak; yang membakar itu kan bukan orang di situ, didatangkan.

· Seperti Kalbar kan penduduk setempat...

** Lha, itu mungkin. Yang jelas itu Dayak (Sangau Ledo). Kalau Dayak itu memang

psikologi massa. Itu mengamok sungguh, frustrasi, trance. Orang sudah tidak sadar

berbuat apa. Seperti kerasukan. Kalau Dayak yang membunuh Madura itu sungguh

kerasukan, bukan dari luar. Itu memang perselisihan antara Dayak dan Madura. Itu

sejarahnya memang mengerikan. Jadi di sana itu kalau ada proyek yang mengambil

biasanya selalu orang Madura, atau orang Banjar atau orang Jawa. Orang Dayak itu

Page 58: Kekejaman Struktural Soeharto

tersingkir.

Suatu ketika ada seorang kepala desa Dayak, yang entah bagaimana kebetulan mendapat

proyek, tapi kemudian dicemburui. Suatu ketika dia, anaknya dan sopirnya bepergian di

jalan, mereka dihadang oleh pihak yang mencemburui itu. Anak dan sopirnya kemudian

diculik dan disembunyikan, tapi sopirnya masih sempat melihat bagaimana bosnya itu

dipukul dan dianiaya. Anak dan sopir ini kemudian disuruh pergi tapi nasib kepala desa

ini sudah tidak jelas. Ini kan sudah lama ada api dalam sekam. Rakyat kemudian

menuntut,yaitu paling tidak ABRI harus mengembalikan jenazah kepala desa yang

dibunuh.

Tentu saja ABRI kemudian mencari korban itu. Saya punya sahabat-sahabat pastor di

sana, ABRI datang minta tolong. Sudah ketemu jenazahnya. Nah jenazah itu akan

dikembalikan ke keluarga korban. Keluarga ini sudah didatangi oleh ribuan orang Dayak,

berkumpul di desa korban. Mereka menuntut supaya jenazah ini dikembalikan. Nah,

ABRI minta tolong (pada pastor-pastor) karena tahu situasi gawat, bagaimana

mengembalikan jenazah ini. Pastor sebagai pimpinan agama supaya meredakan suasana.

Lalu disiapkan. Ada 10 pastor mempersiapkan ini. Kemudian menentukan hari untuk

mengambil jenazah. Pada hari „H“, pastor dan beberapa suster naik mobil berangkat ke

tempat ABRI seperti yang sudah disepakati. Sesampai di sana, ada berita dari ABRI itu

bahwa jenazah sudah dipulangkan ke desa. Nah, pastornya terkejut. „Waduh gawat,

sungguh gawat,“ gitu. Kemudian rombongan pastor ini dengan mobil ngebut ke desa itu.

Persis pada saat rombongan pastor ini sampai di desa itu, peti jenazah kepala desa itu

sedang dibuka oleh penduduk Dayak.

Ketika penduduk membuka peti, ternyata mayatnya penuh lumpur, belum dibersihkan,

Page 59: Kekejaman Struktural Soeharto

tangannya sudah tidak ada, kepalanya sudah putus tapi dijahit lagi, dan yang gawat itu

kemaluannya hilang. Sudah; ribuan yang datang itu, pastor sudah tidak mampu untuk

menguasai situasi. Ketika itu kepala keluarga masih bisa mengekang perasaan, kemudian

dia pidato, „Inilah jenazah Ayahanda kepala desa sudah datang, tapi jelas bahwa kami

orang-orang Dayak sudah tidak dianggap sebagai lelaki!“ Langsung ribuan orang itu

menjadi semacam trance sambil mengeluarkan bunyi, „uuu..uuu... uuu..“; itu ribuan.

Trance itu bagi kepercayaan Dayak adalah ketika nenek moyang datang dan manjing

(merasuk) kembali pada penduduk (istilahnya „Tariu“). Kalau sudah demikian, orang

Dayak sudah lupa segala-galanya, tidak kenal takut, tidak takut mati, terus mengamuk.

Mengamuknya luar biasa, berhari-hari. Sampai polisi dan tentara tidak berani.

Gereja mencoba meredakan itu tapi para panglima bilang, „Ini bukan urusan gereja, ini

urusan Dayak.“ Trance ini bahkan sampai menjalar ke daerah Serawak Malaysia, dan

penduduk sana juga ikut kesurupan dan membantu, tapi distop oleh Malaysia sendiri dan

ABRI dengan menutup perbatasan. Tapi ya pasti ada yang menyusup. Terus berhari-hari,

berminggu-minggu terus terjadi pembunuhan, ribuan, ribuan rumah terbakar.

Tapi masjid tidak ada yang dibakar, dan kalau menemukan Al Quran di rumah orang

Madura, maka Al Quran tersebut dikumpulkan di masjid. Jadi mereka tidak menyentuh

barang-barang yang keramat, masjid aman, mushola aman, kitab-kitab Al Quran ya

diamankan di masjid. Tapi rumah semua dibakar, habis, dibunuh habis. Mereka itu bisa

mencium siapa orang yang Madura. Bis-bis distop, masuk dalam bis, diciumi

penumpangnya, „Wah ini Madura!“ diambil lalu dibunuh. Sesudah ‚65, ya ini yang

besar-besaran. Lalu Kopassus didatangkan, tapi tidak mampu mengatasi. Kemudian

mendatangkan bantuan 3 ribu tentara dari Sumatera, terus agak reda sedikit. Tapi ini

Page 60: Kekejaman Struktural Soeharto

belum selesai.

· Apa maksudnya belum selesai?

** Jadi ada 3 tahap, perdamaian (perdamaian pertama itu bagi orang Dayak tidak ada

artinya, hanya formalitas saja), tahap kedua juga belum, tahap ketiga yang trance itu juga

belum. Jadi trance, kesurupan nenek moyang berdasarkan kepercayaan orang Dayak itu

namanya „Tariu“. Kalau sudah „Tariu“ itu roh-roh nenek moyang manjing (merasuk) di

situ, mereka mengamuk dan tidak kenal takut. Teman-teman pastor itu cerita mereka

melihat, „Waduh..sudah, menutup mata tidak bisa lihat, tidak tega“. Orang-orang biasa

itu terus membunuh, minum darah memenggal kepala, makan hati enak saja pada saat itu.

Nah, fase „Tariu“ itu sekarang belum klikmaks. Fase pertama perdamaian itu, bagi orang

Dayak tidak berarti apa-apa.

Nah, sekarang mereka berhenti karena ada pemilu tapi mereka tetap membuat senjata,

senapan-senapan. Mereka membuat sendiri senapan itu dan yang dicari sebagai bahan

senapan itu pipa-pipa setir mobil itu menjadi senapan yang besar. Dan pelurunya diambil

dari Malaysia, katanya ada peluru khusus yang besar. Mereka terus produksi senapan.

Nah, „Tariu“ ini belum.

Makanya saya pikir, pembakaran hutan di Kalimantan itu apa ya betul hanya dilakukan

oleh perusahaan-perusahaan pemegang HPH?

· Anda mengaitkan kebakaran hutan dengan „tariu“?

** Itu harus diinvestigasi. Apa betul itu seperti kata presiden „Bukan penduduk asli tetapi

perusahaan-perusahaan!“ Biasanya kan kalau secara resmi dibantah itu kan biasanya ada

udang di balik batu. Kok dibantah. Level presiden lho ini, bahwa ada kebakaran hutan itu

Page 61: Kekejaman Struktural Soeharto

tidak oleh penduduk asli. Lha ini bagi kita, „Jangan-jangan justru oleh penduduk asli.“

Tapi bukan karena mereka berladang pindah-pindah sebagai nomad, itu mereka sudah

tahu caranya. Tapi mungkin pembalasan dendam, kemarahan. Jadi mungkin pembalasan

dendam dengan membakar perkebunan-perkebunan itu.

Secara politis, kalau hal ini dinyatakan karena „Tariu“ itu, sungguh membahayakan dan

SARA dan juga memalukan. Lebih baik kalau perusahaan-perusahaan itu yang dijadikan

kambing hitam saja, netral. Keterangan resmi memang begitu, yang membakar itu

perusahaan atau clearing hutan. Tapi saya pikir, kalau perusahaan-perusahaan besar itu,

ya apa mereka sebodoh itu dalam membakar hutan. Karena mereka sudah berpengalaman

berpuluh-puluh tahun membakar hutan, apa ya seperti ini sampai jalan, sungai pun penuh

dengan asap. Jangan-jangan yang membakar hutan itu penduduk (orang Dayak) yang

„Tariu“. Mereka itu kan sudah berpuluh-puluh tahun dendam karena perkebunan-

perkebunan dari konsesi-konsesi HPH. Makanya ketika dijelaskan oleh koran bahwa

presiden mengatakan bahwa yang membakar itu bukan penduduk, malah saya curiga, kok

sampai presiden, wong Sarwono saja belum ngomong, kok presiden sudah mendekritkan

bahwa itu bukan penduduk.

· Sarwono menyebut beberapa perusahaan sebagai pihak yang telah melakukan

pembakaran, tapi anehnya perusahaan itu menurutnya tak bisa dilacak alamatnya....

** Makanya itu, karena kok presiden sendiri langsung mengatakan bahwa ini bukan

penduduk. Lho.. bagi saya dalam kaitan dengan „Tariu“ tadi, rupa-rupanya ya

pembalasan dendam orang Dayak. Kalau perusahaan ya aneh, bunuh diri itu namanya.

Lagian kayunya dijual kan masih bisa, kok dibakar. Ya saya tidak mengatakan pasti, tapi

Page 62: Kekejaman Struktural Soeharto

saya curiga.

· Apa tindakan untuk menghilangkan kekerasan massa?

** Ya, demokratisasi itu ditangani serius. Orang bisa bicara, ketakutan-ketakutan itu

harus dihilangkan. Jangan sampai takut mengutarakan pendapat, itu satu satunya jalan

menggemboskan insting-insting yang terpendam, yang mendongkol itu. Orang itu kalau

sesak harus berteriak, kalau berteriak tidak boleh, ya membunuh nantinya.

· Bagaimana kalau lebih mengefektifkan lembaga perwakilan rakyat?

** Kalau sistem politiknya berubah ya bisa. Kalau sistemnya begini ya tidak bisa, wong

semua takut kok. Kalau semua takut ya bagaimana? Jadi harus struktur yang efektif

menghilangkan ketakutan. Kalau orang takut terus, ya ndongkol terus, wong takut.

· Apakah aparat militer yang kuat selalu meredam gejolak kejengkelan masyarakat?

** Tidak mungkin, 200 juta orang kok. Kalau ketel dikompor masih bisa, tapi kalau

masyarakat itu tidak seperti ketel. Masyarakat itu kalau sudah out of control, sudah habis.

Seperti orang mengamuk, bisanya kalau sudah membunuh ini-ini lalu sadar kemudian dia

nangis.

PEMBANTAIAN SETELAH G-30S

Orde Baru lahir dengan genangan darah dan airmata. Inilah sejarah hitam pembantaian

massal yang menumpuk ketakutan. Tapi sampai kapan ketakutan mampu ditahan?

-----------------------------

Page 63: Kekejaman Struktural Soeharto

Tahun 1965 bagi Indonesia sungguh menyayat hati. Apa yang kita rayakan sebagai hari

“Kesaktian Pancasila” sesungguhnya adalah saling bunuh saudara sebangsa. Terlepas dari

siapa yang benar ; Soekarno? Soeharto? TNI AD? PKI? atau partai dan ormas saat itu?

Peristiwa itu berbuntut ajal yang tak pasti jumlahnya. Mereka dituduh PKI, sebagian

memang PKI, tapi sebagian lain tak tahu apa-apa, termasuk ibu-ibu dan anak-anak.

Berapa yang mati? Angka resmi pertama yang diumumkan di akhir 1965 adalah 78.832

jiwa. Perinciannya; korban di pihak PKI di Bali 12.500, Jawa Timur 54.000, Jawa

Tengah 10.000, Sumatra Utara 2.000, sementara korban non PKI yang dibunuh orang-

orang PKI tercatat 328 orang. Itu hasil Komisi Pencari Fakta dengan anggota 9 orang

yang dibentuk Soekarno. Tapi dari wawancara John Hughes tahun 1968 dengan salah

satu anggota Komisi, angka yang benar adalah 780.000 jiwa (baca: tujuh ratus delapan

puluh ribu jiwa). Oei Tjoe Tat, Menteri Negara d/p Presidium Kabinet yang juga anggota

Komisi, saat ditanya Bung Karno usai penyampaian laporan resmi menjawab 500.000

atau 600.000 korban.

Memang angka resmi baru kemudian muncul setelah Kantor Berita Antara menyatakan

ada 500.000 orang yang mati. Laksamana Soedomo dalam wawancara resmi tahun 1977

dengan wartawan Newsweek, Bernard Krisher, mengaku ada setengah juta korban

dibunuh. Begitu banyak orang PKI yang mati dilatari dendam warga non PKI karena aksi

sepihak, kampanye PKI yang begitu provokatif, hingga penculikan dan pembunuhan

terencana oleh aktivis PKI. Di samping itu, pemuda-pemuda anti PKI dilatih dua-tiga hari

oleh Pasukan RPKAD yang dipimpin Sarwo Edhie, lalu dilepas untuk menggerakkan

Page 64: Kekejaman Struktural Soeharto

masyarakat di bawah gerakan Komite Aksi Pengganyangan.

Pembunuhan massal

Seperti mendapat pembenaran dengan maraknya demonstrasi anti PKI dan berita-berita

media massa yang menyiarkan betapa kejamnya PKI membunuhi para jendral. Koran-

koran terbitan Angkatan Darat, seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, koran

Kristen Sinar Harapan, dan koran umum seperti Duta Masyarakat dan Mingguan Berita,

menyiarkan kekejian PKI dan ormas-ormasnya yang membunuhi para jendral dengan

silet, sabit, sundutan rokok, dengan diiringi tarian cabul para Gerwani sampai memotong

alat vital korban. Sedangkan menurut otopsi dokter yang diperintahkan Soeharto, para

jendral mati karena tembakan, sama sekali tak ada luka pukulan atau akibat senjata tajam,

sedangkan lebam di kulit diakibatkan benturan saat korban dijatuhkan ke sumur Lobang

Buaya (Anderson, 1987). Tapi dendam dan pengkondisian anti PKI terlanjur menyulut

pembantaian. Cara-cara yang digunakan sering di luar nalar, sampai Mayjen Achmadi -

Menteri Penerangan yang juga anggota Komite Pencari Fakta- mengucap, “Wah terlalu,

kok bangsaku bisa begitu kejam”. Di Jakarta, menurut pelaku, mereka menjerang air

dalam drum sampai mendidih. Seorang aktivis IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia)

diikat dengan kepala di bawah lantas dicelupkan ke air yang menggelegak itu. Saat

diangkat, kulitnya melepuh, sebagian terkelupas matang, dan kedua bola matanya

meletup. Sebuah keluarga, suami-isteri dan anak-anak, semuanya dibunuh. Jenazah

seluruh keluarga ditusuk dengan sebatang bambu, masuk dari dubur dan keluar pada

kerongkongan, kemudian diarak berkeliling untuk tontonan umum.

Di Jawa Tengah, menurut fakta yang ditemukan H.J. Princen, 800 orang dibunuh massal

dengan pukulan batang-batang besi ke kepala. Pembantaian itu terjadi setelah dua bulan

Page 65: Kekejaman Struktural Soeharto

penggulungan atas orang-orang yang dinyatakan sebagai komunis, yang sebelumnya

dijebloskan dalam kamp-kamp tahanan di Purwodadi, Gundi dan Kuwu.

Interogator dari Batalyon 404 dan 409 menggunakan listrik untuk menstroom alat vital

para tahanan demi mengorek info gerakan bawah tanah PKI. Saksi mata mengatakan

pada Princen bahwa Let.Kol. Tedjo Suwarno adalah orang yang memerintahkan

pembantaian massal di Purwodadi. Para pemuka umat diancam agar tidak lapor ke

Semarang. TNI AD membantah bahwa telah terjadi pembantaian massal di Jawa Tengah.

Panglima Kodam VII (kini IV) Mayjen. Surono mengatakan bahwa para tahanan

ditembak saat hendak melarikan diri. Sementara yang lainnya mati karena bunuh diri

dipenjara.

Massa PKI di Jawa Tengah dan DIY memang cukup besar. Di Yogya, Kol. Katamso dan

Let.Kol. Sugijono mati dibantai PKI. Oleh sebab itu Kol. Sarwo Edhie Wibowo meminta

Soeharto agar pasukannya (RPKAD) dikonsentrasikan di Jawa Tengah. Sarwo Edhie

terkenal berdarah dingin. Ia pernah memerintah langsung eksekusi atas perempuan-

perempuan yang dituduh Gerwani. Ketika penduduk desa kasak-kusuk tak puas atas

pembunuhan itu, seluruh desa disukabumikan.

Di Jawa Timur, Gatot Lestario (tokoh PKI) sebelum dieksekusi sempat membeberkan

pembelaan di pengadilan (banyak eksekusi kasus PKI tanpa pengadilan) betapa

„inovatif“, „kreatif“ dan „kompetitif“ para algojo terhadap korban-korban mereka.

“Sadisme dan penyiksaan tak manusiawi yang tak terperikan,” gugat Gatot, “Menyertai

pembantaian-pembantaian massal. Keluarga-keluarga secara keseluruhan dihabisi, di

mana anak-anak satu demi satu dibunuh di depan mata orang tuanya hingga akhirnya tiba

Page 66: Kekejaman Struktural Soeharto

giliran sang ayah. Seorang perempuan dibunuh dalam keadaan hamil. Perempuan-

perempuan dengan anak-anak di pinggul mereka dibunuh di pesisir-pesisir sungai. Ada

kompetisi dilakukan dalam pembunuhan, siapa yang terbaik membelah dalam sekali

bacok dari atas ke bawah akan memperoleh hadiah ekstra (ini terjadi di Singosari).

Banyak pembunuhan terjadi di pesisir-pesisir sungai, agar dengan demikian orang tak

perlu lagi menggali kuburan. Kepala-kepala yang telah dipenggal digantungkan di pasar-

pasar, di depan rumah, di pinggir jalan, beberapa di antaranya dilabur dengan kapur.

Mayat-mayat perempuan dengan bayi susuannya mengapung di Kali Brantas dan di

sungai Bengawan Solo, di Bojonegoro banjaran mayat-mayat diikat satu menjadi rakit.

Pada sebuah jembatan di lingkungan Babat yang telah berfungsi sebagai rumah potong

manusia, aliran dari gumpalan-gumpalan darah membuktikan betapa banyak orang yang

telah dibunuh di situ. Sejumlah korban dibunuh secara perlahan-lahan, dengan cara

memotong anggota-anggota badannya satu demi satu, yang lainnya dipaksa terjun ke

dalam parit untuk ditanam di situ hidup-hidup...”

Di Jawa Barat, menurut John Hughes (Indonesian Upheaval) dan Robert Cribb (The

Indonesian Killings), kekerasan massa tidak merajalela kecuali di Indramayu, antara

Subang dan Cirebon. Meski dekat dengan pusat kekuasaan, pendukung PKI di daerah ini

relatif sedikit. Hanya di Indramayu PKI punya massa karena wilayah ini selalu miskin.

Alasan lain, dendam terhadap orang-orang PKI tidak begitu terasa di Jawa Barat. Meski

bukan berarti tak ada kebengisan, seperti pengiriman kepala tanpa badan seorang tokoh

PKI kepada keluarganya di rumah.

Di Aceh, pengganyangan dikomandani Kolonel Ishak Djuarsa. Semua orang PKI di Aceh

binasa, tidak hanya kader-kader tapi juga seluruh keluarga, bahkan para pembantu-

Page 67: Kekejaman Struktural Soeharto

pembantu rumah mereka. Di Medan, kantor SARBUPRI/SOBSI diserang saat ada rapat.

Gedung tingkat tiga itu disiram bensin dan dibakar. Para aktivis serikat buruh yang panik

mencoba menyelamatkan diri. Tapi begitu keluar dari pintu, mereka segera disambut

dengan berondongan peluru atau keroyokan orang ramai. Melihat tak ada lagi jalan

keluar kecuali maut, sebagian menyelimuti tubuh dengan bendera serikat buruh atau

spanduk merah dengan menyerukan slogan „Hidup SARBUPRI, Hidup SOBSI,“ lalu

terjun ke jilatan api. Tindakan itu makin menyulut kemarahan penyerbu yang banyak di

antaranya adalah aktivis Pemuda Pancasila, sehingga korban yang terbakar itu diseret dari

api, kepalanya dipenggal dan ditendang-tendang bagai bola mainan.

Di Bali, pembunuhan massal berlangsung tak kalah mengerikan. „Teror massa“, sebuah

term yang populer di Rusia jaman Stalin, justru dirasakan orang-orang PKI. Mereka

dengan perasaan takut dan tiada harapan menyerahkan diri untuk diapakan saja oleh

penguasa. Hal ini dilakukan untuk menghindari siksa aniaya oleh massa lawan politiknya.

Sebulan setelah peristiwa 1 Oktober 1965, Gubernur Bali, Sutedja (tokoh PKI) masih

berkuasa. Ketika ditanya Bung Karno di hadapan Sabur, Chaerul Saleh, dan pejabat lain,

apakah dia PKI? Sutedja menjawab bahwa itu hanya fitnah belaka. Para pejabat Bali yang

punya sangkut paut dengan PKI mulai cuci tangan. Saat itu kabar tentang pembantaian di

Jawa Tengah dan Timur telah santer terdengar di Bali.

Rakyat menunggu ABRI. Tapi rupanya pimpinan ABRI di Bali, khususnya Pangdam

Sjafiuddin pun menunggu siapa yang akan menang di Jakarta. Sebetulnya istri Sjafiuddin

sendiri adalah simpatisan Gerwani. Ketua DPRGR I Gusti Media, Ketua Bamumas I

Gede Puger, Ketua Lembaga Pariwisata Ida Bagus Komjang juga tokoh-tokoh PKI.

Page 68: Kekejaman Struktural Soeharto

Namun ketika gelagat Bung Karno kalah kian menguat, para pejabat itu mulai

menghilangkan jejak. Dan pembunuhan, adalah jalan paling cepat dan aman sebab orang

mati tidak akan bisa bersaksi. Orang-orang Nasakom yang berkuasa di Bali ingin

menunjukkan bahwa merekalah yang paling anti PKI dan paling Pancasilais.

Wedagama (tokoh PNI) menghasut rakyat bahwa membunuh PKI dibenarkan oleh Tuhan

dan tidak akan disalahkan hukum. Wijana, yang mengaku masih kerabat Bung Karno,

menyatakan bahwa mengambil barang-barang PKI bukanlah pekerjaan yang melanggar

peraturan. Pembakaran rumah orang PKI dianjurkan sebagai warming up. Dan akhirnya

pembunuhan itu pun berlangsung di seluruh pelosok Pulau Dewata. Menurut Soe Hok

Gie yang menggunakan nama samaran Dewa dalam tulisannya di Mahasiswa Indonesia

(Des’67), pembunuhan massal di Bali telah memakan korban sedikitnya 80.000 jiwa.

Korban material tak terhitung. Sementara itu pemerkosaan terhadap mereka yang dituduh

anggota Gerwani merajalela. Widagda, tokoh PNI adik Wedastra Suyasa yang jadi

anggota DPRGR Pusat, diketahui umum telah memperkosa belasan wanita yang

dituduhnya Gerwani.

Anak Agung Made Agung, Kepala Djawatan Penerangan Bali diculik dan dibunuh.

Terbukti kemudian pembunuhan itu direncanakan wakilnya yang ingin menduduki

jabatan kepala. Sedangkan Lie Lie Tjien, pengusaha yang jadi kasir PKI, selamat jiwa

dan hartanya karena menyogok Widjana birokrat Bali Utara. Saingan Lie Tjien, Tjan Wie

difitnahnya hingga gudang kopi milik tauke itu diserbu massa dan ratusan ton kopi

dibuang berserakan di jalan-jalan Singaraja. Tjan Wie pun jadi gila setelah peristiwa itu.

Page 69: Kekejaman Struktural Soeharto

Begitulah..., fitnah, pemerkosaan dan pembunuhan massal terjadi di berbagai pelosok

tanah air. Indonesia yang „hamil tua“ akhir-nya melahirkan Orde Baru dengan genangan

air mata dan darah. Siapa yang salah, barangkali bukan pertanyaan yang relevan sebab

tak menyelesaikan persoalan. Yang terjadi adalah amok.

“Amok ya karena orang tidak berani, ketakutan yang menumpuk... menumpuk...

menumpuk.

Kelihatannya damai, indah, tapi 10 tahun kemudian meledak,” ujar Romo Mangunwijaya.