filosofi ilmu pengetahuan dan etika penelitian
TRANSCRIPT
ETIKA ILMU PENGETAHUAN
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan ilmiah dan
teknologi mengubah banyak sekali kehidupan manusia dan memunculkan
masalah-masalah etis yang tidak pernah terduga sebelumnya. Masyarakat modern
telah menjadi sebuah tempat di mana tak seorang pun bertanggung jawab untuk
berbagai hasil percobaan teknologi. Ia bahkan berbicara tentang organized
irresponsibility, yaitu suatu situasi ketika secara sistemik tidak seorang pun dapat
bertanggung jawab atas bencana yang terjadi. Para politisi misalnya, menolak
bertanggung jawab karena mereka tidak menghasilkan teknologi tersebut dan
paling jauh hanya bertanggung jawab secara tidak langsung untuk
pengembangannya. Sementara para ilmuwan dan teknolog mengklaim bahwa
tugas mereka semata-mata melaksanakan penelitian dan menciptakan
kemungkinan-kemungkinan teknologi baru. Mereka menyatakan bahwa mereka
tidak bertanggung jawab mengenai penerapan teknologi ciptaan mereka.
Sementara para tokoh bisnis yang memasarkan teknologi menyatakan bahwa
mereka tidak ikut menentukan apa yang terjadi dan tidak terjadi, maka pasar yang
menjadi penentu dan konsumenlah yang mempunyai kata akhir mengenai apa
yang dipilih. Apakah ini berarti seluruh beban jatuh ke pundak pengguna? Satu
hal yang utama adalah bagaimana membawa lingkungan teknologis kembali ke
wilayah tanggung jawab manusia, sebuah lingkungan tempat manusia bisa
mengklaim kembali kebebasan individu, sekaligus menentukan tanggung
jawabnya. Jika ribuan tahun lalu manusia berjuang membebaskan diri dari
lingkungan alamiah lewat penemuan teknologi sederhana (api, bajak, dan lain-
lain), kini tantangan utama manusia modern adalah pembebasan dari lingkungan
teknologis.
AMBIVALENSI KEMAJUAN ILMIAH
Kemajuan yang dicapai berkat ilmu dan teknologi memiliki akibat positif
dan juga banyak akibat negatif. Penggunaan teknologi tanpa batas akhirnya
membahayakan kelangsungan hidup itu sendiri. Yang dibawa oleh teknologi
bukan saja kemajuan, melainkan juga kemunduran, bahkan kehancuran, jika
manusia tidak segera tahu membatasi diri.
Sejak setelah Perang Dunia II, perkembangan dan penerapan teknologi
senantiasa diikuti dengan dua pandangan yang saling bertentangan. Pandangan
optimis menekankan keyakinan bahwa kita mampu mengontrol teknologi yang
dihasilkan. Kitalah yang memberikan nilai-nilai di dalam menentukan teknologi
apa yang akan dipergunakan, dan bagaimana. Teknologi ibarat alat pasif yang
dapat dipergunakan untuk kebaikan maupun kejahatan. Visi optimistik ini menjadi
bagian dominan dari kebudayaan teknologis-kapitalis, yang nyata sekali di dalam
setiap iklan-iklan pemasaran barang-barang kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar
problem kehidupan manusia sehari-hari seakan-akan bisa diselesaikan lewat
teknologi. Visi ini memang memahami bahwa teknologi mengandung bukan
hanya konteks material yang dapat ditransfer begitu saja dari satu masyarakat ke
masyarakat, dari satu kebudayaan ke kebudayaan, melainkan juga mengandung
konteks sosio-kultural. Namun, dampak sosio-kultural muncul sebagai akibat
pemakaian dan pengembangan tak bertanggung jawab.
Manusia didefinisikan sebagai Homo Faber, yaitu pembuat dan pemakai
alat, atau Homo Sapiens, yaitu si bijak atau si pemikir, dan terakhir Homo
Symbolicum, yaitu si pencipta dan pengguna simbol. Apapun definisi manusia itu,
semuanya menunjukkan sentralitas pengetahuan dan teknologi di dalam kegiatan
manusia. Laju perkembangan teknologi demikian pesat sehingga melahirkan
bukan hanya kemudahan tetapi juga berbagai masalah yang tidak pernah
terbayangkan sebelumnya. Kecanggihan teknologi informasi telah memungkinkan
bentuk-bentuk komunikasi yang secara virtual mengecilkan dunia, tetapi itupun
tidak tanpa diikuti oleh problem etis.
Teknologi (modern) dapat menimbulkan kerugian tanpa satu orang dapat
ditunjuk melakukan kesalahan. Bahkan ketika ketelitian, kecermatan, sudah
dijalankan, bencana besar atau kecil bisa saja berlangsung. Pandangan optimis
terhadap teknologi cenderung menaruh beban tanggung jawab di pundak
pengguna, sementara yang berpandangan pesimis cenderung mengecilkan beban
tanggung jawab tersebut. Seringkali bahkan pengguna individu di sebuah wilayah,
khususnya negara berkembang, dihadapkan pada tiadanya pilihan sama sekali,
atau pilihan dan tindakan sebagai pengguna individu di wilayah tertentu tidak
berpengaruh sama sekali terhadap sistem teknologi yang demikian sinambung dan
perpetual, yang ditentukan oleh pengguna lain di negara-negara maju.
Kemajuan teknologi seringkali justru membuat kita melakukan hal-hal
bodoh dengan cara yang cerdik. Menghadapi situasi ini, satu-satunya sikap kritis
yang pada akhirnya tetap harus dipertahankan adalah bahwa sangat tidak realistik
untuk berpikir bahwa teknologi, di dalam menawarkan solusi terhadap situasi
problematik, betapapun maju dan canggihnya teknologi tersebut, tidak
mempunyai efek samping, yang akan menimbulkan masalah baru. Di lain pihak,
kita juga tidak bisa meremehkan ketergantungan kita ke teknologi modern.
Sikap utama yang harus dibentuk di dalam adalah kesadaran bahwa
teknologi tetap harus terikat ke aspirasi kita sebagai umat manusia, dengan impian
dan cita-cita akan masa depan yang lebih baik di dalam kebudayaan teknologi.
Sebuah imperatif yang harus dipegang adalah, tidak pernah seorang manusia pun
boleh dijadikan tujuan di luar dirinya sendiri.
MASALAH BEBAS NILAI
Pada saat-saat tertentu dalam perkembangannya ilmu dan teknologi
bertemu dengan moral. Nilai moral yang utama adalah: apakah ilmu itu bebas
nilai. Ternyata penelitian ilmiah yang amat terspesialisasi menjadi usaha yang
semakin mahal, sehingga ketersediaan dana yang besar sangat dibutuhkan. Yang
membiayai penelitian ilmiah tentu sudah mempunyai maksud dan harapan
tertentu. Sehingga pada zaman ini perkembangan ilmu dan teknologi hampir tidak
dapat dipisahkan lagi dari kepentingan bisinis dan politik/militer.
Ilmu pada dirinya sendiri tidak langsung berhubungan dengan nilai-nilai
moral. Masalahnya tujuan ilmu sekarang ini bukan lagi sekedar menjawab
bagaimana-mengapa, atau semata memenuhi semangat ingin tahu. Ilmuwan pun
tak bisa lagi naif mengumandangkan, 'kami hanya mencari kebenaran'.
Mereka dengan rendah hati harus mengakui, di balik karya yang
menampilkan daya agung memahami alam, tersembunyi tangan kuat ekonomi,
politik, atau militer. Ilmuwan tak dapat berkarya tanpa dana untuk penelitian
mereka yang mahal. Einstein pernah berkata, 'ilmuwan adalah orang yang secara
ekonomi paling tidak bebas'; sukses Wilmut didukung Pharmaceutical Proteins
Ltd. yang mengharap penerapan komersialnya.
Ilmu menjawab mengapa, tetapi ilmu dan terutama teknologi, terikat pada
konteks. Ketika dimensi pragmatik memasuki wilayah ilmu, yang mungkin terjadi
adalah pencampuran asas kebenaran dengan manfaat. Ketika itulah muncul
pertanyaan, untuk siapa? Sering untuk siapa melegitimasi proyek keilmuan yang
ujungnya kepentingan politik atau militer. Tak terbayangkan kalau manusia klon
terlaksana atas nama untuk siapa yang eksklusif.
TEKNOLOGI YANG TAK TERKENDALI
Saat ini banyak sekali dana, tenaga dan perhatian dikerahkan untuk
menguasai daya-daya alam melalui ilmu dan teknologi namun hanya sedikit yang
dilakukan untuk mereflekfsikan serta mengembangkan kualitas etis dari usaha-
usaha raksasa itu.
Implisit di belakang pandangan ini adalah bahwa pengembangan dan
pemakaian teknologi harus diikuti dengan kontrol terhadap siapa-nya. Contohnya
adalah di dalam pemakaian energi nuklir. Weinberg mengamati bahwa
pengembangan teknologi nuklir untuk kepentingan militer menciptakan
kelompok-kelompok yang menentukan negara mana yang boleh dan tidak boleh
mengembangkan teknologi ini. Sebuah paranoia sosial tumbuh bersama
munculnya kelompok-kelompok pemilik dan penjaga keahlian senjata nuklir.
Pengontrolan terhadap teknologi memunculkan pengontrolan terhadap semua
orang yang dinilai tidak memiliki nilai-nilai dan tujuan yang sama.
Contoh sederhana terlihat dari pengamatan terhadap lingkungan kerja yang
memperlihatkan bagaimana teknologi komputer meningkatkan kontrol manajerial
terhadap pekerja, baik di kantor maupun industri. Tampilan kerja (kecepatan,
efisiensi, kesalahan, ketidakcermatan, dan lain-lain) dapat dimonitor terus
menerus, dan tercatat dengan rinci. Efisiensi meningkat, namun kontrol terhadap
sesama manusia diperketat dan seringkali menghilangkan sentuhan manusiawi.
Persoalan memang, ketika problem bersifat manusiawi juga diselesaikan lewat
pendekatan teknologis. Ideal masyarakat bebas dan terbuka yang dicita-citakan
melalui pengembangan teknologi, justru menjadi kebalikannya.
Dengan landasan inilah kritik teknologi hendak menunjukkan
ketidakberdayaan kita berhadapan dengan teknologi yang ironisnya adalah buah
pikir kita sendiri. Teknologi boleh jadi adalah hasil manusia, namun
perkembangannya telah menjadi demikian otonom melampaui kemampuan
manusia individu atau kolektif, untuk mengontrolnya. Teknologi modern
berperilaku seperti sebuah ekosistem. Campur tangan di satu titik akan
memunculkan konsekuensi di bagian lain.
TANDA-TANDA YANG MENIMBULKAN HARAPAN
Kondisi yang ideal adalah pemikiran etis mendahului dan mengarahkan
perkembangan ilmiah-teknologi. Walaupun sulit untuk dilakukan namun sudah
banyak munculnya komisi-komisi etika. Sudah dimulai keikutsertaan etika dalam
penelitian-penelitian ilmiah, misalnya dalam Komisi Bioetika Nasional.
Pemerintah Indonesia membentuk Komisi Bioetika Nasional (KBN) pada
tanggal 12 Oktober 2004 yang terdiri atas 33 anggota berkantor di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Para anggotanya adalah ahli di bidang
kedokteran, biologi dan ilmu-ilmu hayati lain, hukum, etika, teologi, agama, ilmu
sosial, dan lain-lain. KBN dibentuk berdasarkan surat keputusan bersama tiga
menteri: Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Kesehatan, dan Menteri
Pertanian. Dalam surat keputusan bersama ini KBN diberi tiga tugas. Pertama,
memajukan telaah masalah yang terkait dengan prinsip-prinsip bioetika. Kedua,
memberi pertimbangan kepada pemerintah mengenai aspek bioetika dalam
penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berbasis pada ilmu-ilmu hayati. Ketiga, menyebarluaskan pemahaman umum
mengenai bioetika.
Dengan demikian, Indonesia bergabung dengan negara-negara yang sudah
memiliki sebuah komisi bioetika. Sudah sejak dasawarsa 1970-an hampir setiap
presiden Amerika Serikat membentuk komisi macam itu walaupun istilah bioetika
baru dipakai di dalam nama komisi-komisi terakhir. Presiden Bill Clinton
mendirikan National Bioethics Advisory Commission (1995). Presiden George W
Bush dalam periode pertama pemerintahannya membentuk The President’s
Council on Bioethics (2001). Di Eropa banyak negara memiliki suatu komisi
bioetika. Namun, ada juga negara yang menganggap tidak perlu membentuk
komisi bioetika khusus karena sudah memiliki organ-organ lain yang
memungkinkan tujuan dimaksudkan tercapai.
Tujuan komisi-komisi macam itu adalah menjadi think tank untuk
pemerintah di bidang ilmu dan teknologi biomedis serta pelayanan kesehatan
dalam arti yang paling luas dan dalam hal itu terutama menyoroti aspek-aspek
etisnya. Di samping itu komisi-komisi diharapkan akan memajukan serta
menyosialisasikan pemikiran bioetika dalam masyarakat dan menjalin hubungan
dengan forum-forum internasional di bidang yang sama.
K. Bertens dalam tulisannya Bioetika dan Globalisasinya menerangkan
bahwa bioetika adalah refleksi etis atas pertanyaan-pertanyaan baru yang
ditimbulkan oleh life sciences dan teknologi biomedis sejak kira-kira pertengahan
abad ke-20. Perkembangan yang begitu cepat dan kadang-kadang sungguh
revolusioner mengundang kalangan ilmiah untuk juga memikirkan implikasi-
implikasi etisnya.
Sebagai contoh problem-problem baru yang muncul berhubungan dengan
pengembangan Intensive Care Unit (ICU) yang memakai alat-alat canggih seperti
respirator, mulai dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Dengan teknologi baru ini
dimungkinkan bahwa fungsi pernapasan dan peredaran darah diambil alih oleh
mesin. Bila mesin dihentikan, pasien langsung meninggal karena ia tidak lagi bisa
bernapas secara spontan. Namun, jika pasien hanya bernapas dengan bantuan
mesin, apakah dapat dikatakan bahwa ia masih "hidup" dalam arti yang
sebenarnya? Perbatasan antara hidup dan mati menjadi kacau. Permasalahan ini
agak cepat mengakibatkan munculnya pengertian baru tentang kematian, yaitu
mati otak: manusia adalah mati jika seluruh otaknya mati atau tidak memiliki
aktivitas lagi. Kalau pasien dengan kondisi itu sudah sungguh mati otak, kita
boleh mengambil organ-organnya untuk ditransplantasi pada pasien lain yang
membutuhkan. Demikian memang prosedurnya dalam transplantasi jantung,
umpamanya.
Selain mengubah definisi kematian itu sendiri, pemakaian alat bantu hidup
dalam ICU menimbulkan banyak masalah etis baru lagi. Misalnya, kalau kita
menghentikan alat bantu hidup seperti respirator, apakah kita tidak membunuh
pasien? Atau, sebaliknya, kita menyiksa pasien terminal dengan memakai terus
alat-alat bantu hidup itu, sedang pasien sudah tidak dapat disembuhkan
dengannya? Pertanyaan-pertanyaan ini memang menyangkut hubungan dokter-
pasien, tetapi dalam perspektif baru yang tidak dibayangkan sebelumnya.
Karena itu, bioetika dapat dipandang sebagai perluasan etika kedokteran
yang tradisional. Dengan demikian, di satu pihak ada kesinambungan dengan
tradisi etika kedokteran sejak zaman Hippokrates, tapi di lain pihak ada juga
perspektif baru, bukan saja karena menyoroti masalah-masalah baru, melainkan
juga karena ditandai ciri-ciri baru yang akan dibahas lagi lebih lanjut.
Peranan praktis bioetika tentu akan lebih berbobot kalau didukung oleh
peranan akademis yang kuat. Di Indonesia sudah tidak dapat dihindarkan, kita
bertemu dengan bioetika di bidang praktis. Namun, bioetika dalam arti akademis
belum mendapat banyak perhatian. Meski demikian, kalau perguruan tinggi giat
mengembangkan ilmu-ilmu biomedis, kita tidak boleh menutup mata untuk aspek-
aspek etisnya. Mempelajari aspek-aspek ini secara serius, dengan sendirinya
berarti terjun dalam bioetika.
DIMENSI ETIS DAN DIMENSI PRAGMATIS
Ilmu pada dirinya sendiri tidak langsung berhubungan dengan nilai-nilai
moral. Masalahnya tujuan ilmu sekarang ini bukan lagi sekedar menjawab
bagaimana-mengapa, atau semata memenuhi semangat ingin tahu. Ilmuwan pun
tak bisa lagi naif mengumandangkan, 'kami hanya mencari kebenaran'. Ilmu
menjawab mengapa, tetapi ilmu dan terutama teknologi, terikat pada konteks.
Ketika dimensi pragmatik memasuki wilayah ilmu, yang mungkin terjadi adalah
pencampuran asas kebenaran dengan manfaat. Ketika itulah muncul pertanyaan,
untuk siapa? Sering untuk siapa melegitimasi proyek keilmuan yang ujungnya
kepentingan politik atau militer. Tak terbayangkan kalau manusia klon terlaksana
atas nama untuk siapa yang eksklusif.
Bagaimanapun, kekhawatiran atas dampak etis tidak mengizinkan atas
nama apapun, metode keilmuan dicampuri; menyangkut metode, ilmu adalah
otonom. Masyarakat berhak khawatir dan ikut memutuskan ketika temuan
keilmuan dicantumkan dalam penerapan, karena itulah saat ilmu berjumpa nilai-
nilai moral. Namun, adakah masyarakat didengar? Dunia memerlukan kemauan
keras bersama yang memungkinkan secara kongkret diputuskan, batas yang masih
dan tidak boleh dilampaui, demi kemanusiaan itu sendiri. Namun putusan obyektif
yang tidak emosional memerlukan ilmuwan yang bersedia memberi informasi
sebenarnya.
Manusia dan benda-benda masuk ke dalam sistem terintegrasi dan
mempunyai fungsi yang sama, yaitu sebagai elemen di dalam sebuah sistem
komprehensif. Pertanyaannya, apakah gambaran tentang manusia yang secara
moral mempunyai tanggung jawab otonom sudah selesai karena ia melepas
tanggung jawab sebagai bagian dari sistem kolektif terintegrasi, dan dengan begitu
memberikan sepenuhnya kontrol moral dan pemanduannya ke sistem itu?
Sistem etika yang berkembang menjadi etika adaptasi, di mana adaptif
terhadap lingkungan menjadi keseluruhan dasar pertimbangan. Norma tindakan
manusia diasalkan ke pertimbangan rasional infrastruktur kolektif. Sistem itu
sendiri mengandung di dalamnya nilai-nilai dan seluruh paradigma yang
ditentukan oleh kepentingan mereka yang paling menguasai jaringan secara
komprehensif.
Jika ditinjau, pengembangan dan perubahan teknologi tidak lepas dari
kegiatan saling berhubungan yang melibatkan prosedur pengambilan keputusan
dan evaluasi. Khususnya dalam memilah dan mengenali situasi problematik.
Pengenalan ini menyangkut keyakinan sekelompok orang bahwa saat yang tepat
telah tiba untuk menyelesaikan situasi problematik tersebut. Selanjutnya ada
harapan, kebutuhan, tujuan, dan kepentingan yang berkaitan dengan sifat solusi
yang diterima; baru setelah itu ditentukanlah sarana, metode, dan prosedur atau
orientasi terhadap solusi yang mungkin sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN LOGIKA
Oleh: Hasan Baharun, Mpi
Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran mengenai apa dan bagaimana
pembentukan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta landasan, sifat dan
fungsinya bagi kehidupan manusia.
Sedangkan menurut the Liang Gie, filsafat ilmu adalah segenap pemikiran
reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut
landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan
manusia.
Filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran
ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu
keseluruhan. Dengan demikian filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat
yang mengkaji dasar dan hakekat ilmu untuk mencapai kebenaran dan kenyataan
yang tidak akan habis difikirkan dan tidak selesai diterangkan.
Filsafat ilmu memberikan kerangka dasar dalam berolah ilmu agar proses
dan produk keilmuan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah
moral, etika dan kesusilaan.
Logika berasal dari bahasa Yunani, dari kata sifat logike yang
berhubungan dengan kata benda logos yang berarti 'perkataan' atau 'kata' sebagai
manifestasi dari pikiran manusia. Dengan demikian terdapatlah suatu jalinan yang
kuat antara pikiran dan kata yang dimanifestasikan dalam bahasa. Secara
etimologis dapatlah diartikan bahwa logika itu adalah ilmu yang mempelajari
pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.
Logika adalah ilmu yang merumuskan tentang hukum-hukum, asas-asas,
aturan-aturan atau kaidah-kaidah tentang berpikir yang harus ditaati supaya kita
dapat berpikir tepat dan mencapai kebenaran. Atau dapat pula didefinisikan
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas akal atau rasio
manusia dipandang dari segi benar atau salah. Dari sini dapat diketahui bahwa
tugas logika adalah memberikan penerangan bagaimana orang seharusnya
berpikir, dan obyek forma logika adalah mencari jawaban tentang bagaimana
manusia dapat berpikir dengan semestinya.
Dari definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa, dilihat dari
metodenya dapat dibedakan atas logika tradisional dan logika modern. Logika
tradisional adalah logika Aristiteles, dan logika dari logika logikus yang lebih
kemudian, tetapi masih mengikuti sistem logika Aristoteles. Para logikus sesudah
Aristoteles tidak membuat perubahan atau mencipta sistem baru dalam logika
kecuali hanya membuat komentar yang menjadikan logika Aristoteles lebih elegan
dengan sekedar mengadakan perbaikan-perbaikan dan membuang hal-hal yang
tidak penting dari logika Aristoteles. Logika modern tumbuh dan dimulai pada
abad VIII. Mulai abad ini ditemukan sistem baru, metode baru yang berlain
dengan sistem logika Aristoteles.
Apabila logika tersebut dilihat dari obyeknya akan dikenal sebagai logika
formal dan logika material. Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua
bentuk yang berbeda, yakni cara berfikir dari umum ke khusus dan cara berfikir
dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam
logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak adanya
pertentangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-
rumus, patokan-patokan berfikir benar. Cara berfikir induktif dipergunakan dalam
logika material, yang mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dengan
kenyataan. Ia menilai hasil pekerjaan logika formal dan menguji benar tidaknya
dengan kenyataan empiris. Cabang logika formal disebut juga logika minor,
logika materia disebut logika mayor. Hal inilah yang merupakan inti daripada
logika
Proses berfikir yang ada pada diri manusia adalah berdialog dengan diri
sendiri dalam batin dengan manifestasinya adalah mempertimbangkan
merenungkan, menganalisis, menunjukan alasan-alasan, membuktikan sesuatu,
menggolong-golongkan, membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti
sesuatu jalan fikiran, mencari kausalitasnya, membahas secara realitas dan
sebagainya.
Dengan berpikir, merupakan suatu bentuk kegiatan akal atau rasio manusia
dengan mana pengetahuan yang kita terima melalui panca indera diolah dan
ditujukan untuk mencapai suatu kebenaran.
Aktivitas berpikir adalah berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan
manifestasinya yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis,
manunjukkan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, menggolong-golongkan,
membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalam pikiran,
mecari kausalitasnya, membahas secara realitas dan lain-lain.
Di dalam aktivitas berpikir itulah ditunjukkan dalam logika wawasan
berpikir yang tepat atau ketepatan pemikrian/kebenaran berpikir yang sesuai
dengan penggarisan logika yang disebut berpikir logis.
Agar supaya pemikiran dan penalaran kita dapat berdaya guna dengan
membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang benar, valid dan sahih, ada 3 (tiga)
syarat pokok yang harus dipenuhi:
1. Pemikiran haruslah berpangkal pada kenyataan atau kebenaran.
2. Alasan-alasan yang dikemukakan haruslah tepat dan kuat.
3. Jalan pikiran haruslah logis.
Berkaitan dengan hal tersebut, logika dapat disistematisasikan menjadi
beberapa golongan tergantung dari mana kita meninjaunya. Dilihat dari segi
kualitasnya, logika dapat dibedakan menjadi logika naturalis, yaitu kecakapan
berlogika berdasarkan kemampuan akan bawaan manusia. Akal manusia yang
normal dapat bekerja secara spontan sesuai dengan hukum-hukum logika dasar.
Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat membedakan bahwa
sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan
yang bertetangan tidaklah sama.
Kemampuan berlogika naturalis pada tiap-tiap orang berbeda-beda
tergantung dari tingkatan pengetahuannnya. Kita dapati para ahli pidato politikus
dan mereka yang terbiasa bertukar pikiran dapat mengutarakan jalan pikiran
dengan logis, meskipun barangkali mereka belum pernah membuka buku logika
sekalipun. Tetapi dalam menghadapi yang rumit dan dalam berfikir manusia
banyak dipengaruhi oleh kecenderungan pribadi, disamping bahwa pengetahuan
manusia terbatas mengakibatkan tidak mungkin terhindar dari kesalahan. Untuk
mengatasi kenyataan yang tidak dapat ditanggulangi oleh logika naturalis,
manusia menyusun hukum-hukum, patokan-patokan, rumus-rumus berfikir lurus.
Logika ini disebut logika artifisialis atau logika ilmiah yang bertugas membantu
logika naturalis. Logika ini memperluas, mempertajam serta menunjukkan jalan
pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien, mudah dan aman sehingga
tercapai tujuan dari apa yang diinginkan.
Dari hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa logika adalah salah satu
cabang atau bagian dari filsafat ilmu yang mempelajari tentang aktivitas akal atau
rasio manusia dipandang dari segi benar atau salah. Atau dengan kata lain, filsafat
ilmu sebagai penopang dalam kerangka menggunakan rasio guna berpikir agar
suapaya tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah etika, moral dan kesusilaan.
Dengan kata lain hubungan filsafat ilmu dengan logika adalah filsafat ilmu
sebagai tolak ukur atau alat penilaian dari proses menggunakan rasio.
MODEL LOGIKA
Secara historis, istilah logika pertama kali digunakan oleh Zeno dari
Citium, kaum sofis Skortes dan Plato harus dicatat sebagai perintis lahirnya
logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprotus dan kaum Stoa.
Dalam perjalanannya, istilah logika dapat disistematisasikan menjadi
beberapa golongan tergantung dari mana kita meninjuanya. Dilihat dari segi
kualitasnya, logika dapat dibedakan menjadi logika naturalis, yaitu kecakapan
berlogika berdasarkan kemampuan akan bawaan manusia. Akal manusia yang
normal dapat bekerja secara spontan sesuai dengan hukum-hukum logika dasar.
Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat membedakan bahwa
sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan
yang bertentangan tidaklah sama.
Sedangkan apabila dilihat dari metodenya dapat dibedakan atas logika
tradisional dan logika modern. Logika tradisional adalah logika Aristoteles, dan
logika dari logika logikus yang lebih kemudian, tetapi masih mengikuti sistem
logika Aristoteles. Para logikus sesudah Aristoteles tidak membuat perubahan
atau mencipta sistem baru dalam logika kecuali hanya membuat komentar yang
menjadikan logika Aristoteles lebih elegan dengan sekedar mengadaka perbaikan-
perbaikan dan membuang hal-hal yang tidak penting dari logika Aristoteles.
Jika dilihat dari obyeknya dikenal sebagai logika formal dan logika
material. Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang
berbeda, yakni cara berfikir dari umum ke khusus dan cara berfikir dari khusus ke
umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal
yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak adanya pertentangan) dalam
pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-
patokan berfikir benar.
Logika formil Aristoteles dikenal dengan nama syllogisme. Syllogisme
adalah suatu bentuk penarikan kesimpulan atau konklusi secara deduktif dan tidak
langsung yang kesimpulan atau konklusinya ditarik dari dua buah premis yang
disediakan sekaligus. Yang penting kita ketahui dari syllogisme dan bentuk-
bentuk inferensi atau penalaran deduktif yang lain adalah bahwa masalah-masalah
kebenaran dan ketidakbenaran pada premis-premis yang selalu diambil adalah
yang benar. Ini berarti bahwa konklusi memang sudah didasari oleh kondisi
kebenaran. Jadi syllogisme hanya mempersoalkan 'kebenaran formal' (kebenaran
bentuk) tanpa mempersoalkan 'kebenaran material' (kebenaran isi).
Sebuah syllogisme terdiri atas 3 (tiga) buah proposisi, yaitu dua buah
proposisi yang diberikan atau disajikan dan sebuha proposisi yang ditarik dari
kedua proposisi yang disajikan itu. Proposisi yang disajikan disebut 'premis
mayor' dan 'premis minor' dan kesimpulan yang ditarik disebut 'konklusi'.
Disamping logika tersebut ada pula logika deduktif yaitu bertolak dari
asumsi umum (teori) menuju ke pembuktian secara khusus (fakta empiris).
Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang berlawanan dengan penalaran
induktif. Deduksi adalah penalaran atau cara berpikir yang bertolak dari
pernyataan-pernyataan yang bersifat umum, menarik kesimpulan yang bersifat
khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya memakai pola berpikir
yang disebut syllogisme. Syllogisme tersusun dari dua buah pernyataan (premise)
dan sebuah kesimpulan (konklusi).
Logika induktif yaitu berdasarkan fenomena khusus (fakta empiris),
menuju kekesimpulan secara umum (teori yang berlaku umum). Induksi sangat
erat hubungannya dengan metode ilmiah (scientific method), bahkan merupakan
dasar daripada metode ilmiah.
Induktif atau logika induktif adalah penarikan kesimpulan dari kasus-kasus
individual nyata (khusus) menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Penalaran ini
diawali dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang
lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi dan diakhiri dengan
pernyataan yang bersifat umum
HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DAN PENELITIAN
Dalam kaitannya dengan hubungan filsafat ilmu dan penelitian, terdapat
tiga komponen dasar yang erat kaitannya dengan penelitian yaitu: ontologi,
epistimologi, dan aksiologi.
Dalam pembahasan ontologi, epistimologi dan aksiologi dikaitkan dengan
logika yang digunakan untuk pembuktian, baik mengenai kenyataan, kebenaran
dan tingkat kepastian, dapat dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat ilmu yaitu,
empirisme dan rasionalisme/rasionalisme menghendaki kebenaran empiric logic,
etik dan transcendental/metafisik, memunculkan logika penomenologik.
Pada logika positivistic menghendaki perencanaan riset yang rigor/ketat,
rinci, terukur, terkontrol dan penetapan data yang konkrit yang teramati,
memunculkan jenis penelitian kuantitatif. Logika phenomenologik menghendaki
perancanaan riset yang longgar dan luwes, sebab data yang dicari tidak pasti,
sangat tergantung pada fenomena yang dijadikan sasaran risetnya, memunculkan
jenis penelitian kualitatif.
Ontologi
Sebagai komponen dasar filsafat, ontologi memiliki obyek telaah yaitu
yang ada. Studi tentang yang ada pada dataran studi filsafat pada umumnya
dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi ketika kita membahas yang ada
dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tetantang yang ada yang tidak
terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas yang ada yang
universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Sedangkan yang merupakan obyek formal ontologi adalah hakekat seluruh
realitas. Bagi pendekatan kuantitaif, realita tampil dalam kuantitas atau jumlah,
telaahnya akan menjadi telaah monisme, paralenisme, atau pluralisme. Bagi
pendekatan kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme,
idialisme, naturalisme atau hylomorphisme. Dalam hal ini ada tiga tingkatan
abstraksi dalam ontologi, yaitu: abstraksi fisik, abstraksi bentuk dan abstraksi
metafisik.
Epistimolgi
Istilah epistimologi berasal dari kata episteme yang bebarti pengetahuan
dan logos yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti teori. Secara
etimologis, berarti teori pengetahuan. Epistimologi merupakan cabang filsafat
yang mempersoalakan atau menyelidiki tentang asal, susunan, metode, serta
kebenaran pengetahuan. Jadi epistimologi merupakan cabang atau bagian dari
filsafat yang membahas maslaah-masalah pengetahuan.
Epistimologi atau teori pengetahuan, membahas secara menadalam
segenap proses yang terlihat alam usaha kita untuk memperoleh pengetauan. Ilmu
merupakan pengetahuan yang didapat melalaui proses tertentu yang dinamakan
metode keilmuan.
Sebagai komponen dasar selanjutnya adalah epistimologi yaitu
pembahasan tentang bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan.
Bagaimana tata cara memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan ini dipengaruhi
oleh ontologi yang dipilihnya. Epistimologi dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian yaitu epistimologi subyektif dan epistimologi pragmatik. Epistimologi
subyektif memberikan implikasi pada standar rasional tentang hal yang duyakini.
Menggunakan standar rasional bearti bahwa sesuatu yang diyakini sebagai benar
itu tentunya memiliki sifat reliabel (ajek).
Sejarah mengatakan bahwa tokoh epistimologi prakmatig adalah Wiliams
Jams dan juga John Dewey yang menyarankan agar pencarian pada yang kekal
hendaknya diganti dengan pencermatan realistik mengkritik ide palsu, diganti
dengan pencermatan eksperimental dan empirik, menggunakan means mencari ins
untuk selanjutnya menjadi means. Hal ini merupakan bukti bahwa ontology
merupakan bagian penting dari filsafat.
Dalam perjalanan keilmuan yang terjadi pada masa dahulu, membuktikan
bahwa ilmuwan terdahulu menampilkan tesis dan teori yang secara berkelanjutan
disanggah atau dimodifikasi atau diperkaya oleh ilmuwan berikutnya. Kebenaran-
kebenaran yang ditampilkan berupa tesis atau teori yang bersifat kondisional
sejauh medianya demikian, sampelnya itu, desainnya demikian dan seterusnya.
Dengan demikian kebenaran yang diperoleh dengan cara kerja demikian adalah
kebenaran epistimologik. Ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang dengan
metodologi yang kita kenal sekarang ini lebih banyak menjangkau kebenaran
epistimologik, belum menjangkau kebenaran substantif hakiki, yang merupakan
esensi dari keilmuan itu sendiri.
Aksiologi
Komponen dasar selanjutnya dalam filsafat adalah aksiologi yaitu
pembahasan tentang bentuk ilmu yang dihasilkan dari penelitian. Inipun
dipengaruhi oleh ontologi yang digunakan. Ontologi yang memahami sesuatu itu
tunggal penelitiannya jenis kuantitatif, maka ilmu yang dibentuknya disebut
nomotetik dan bebas nilai (value).
Menurut Scheler ada empat jenis values dalam aksiologi. Pertama, value
sensual, dalam tampilan seperti menyenangkan dan tak menyenangkan. Kedua,
nilai hidup seperti edel (agung) atau gemein (bersahaja). Ketiga, nilai kejiwaan
seperti nilai estetis, nilai benar salah, dan nilai instrinsik ilmu. Keempat nilai
religius, seperti yang suci, yang sakral. Dari telaah yang dilakukan oleh Scheler
tentang etik kontras dengan Kant. Kant berbicara sollen (kemestian), sedangkan
Scheller memandang bahwa kemestian itu sesuatu yang dibuat-buat.
HUBUNGAN FILSAFAT ILMU, LOGIKA DAN PENELITIAN
Dari kajian tentang filsafat ilmu, logika dan penelitian, dapat diketahui
bahwa antara filsafat ilmu, logika dan penelitian memiliki hubungan yang sinergi.
Filsafat ilmu yang membahas tentang ontologi, epistimologi dan aksiologi
dikaitkan dengan logika yang digunakan untuk pembuktian, baik mengenai
kenyataan, kebenaran dan tingkat kepastian, dapat dikelompokkan menjadi dua
aliran filsafat ilmu yaitu empirisme dan rasionalisme atau realisme yang
merupakan aliran yang berbeda.
Dalam filsafat rasionalisme atau realisme lebih menekankan pada cara
berfikir positivistik paradigma kuantitatif. Berfikir positivistik adalah bersifat
spesifik berpikir tentang empiris yang teramati, yang teratur, dan dapat dieliminasi
serta dimanupulasikan dari satuan besarnya.
Penelitian berusaha untuk mencapai kebenaran atau menemukan teori-teori
ilmiah. Penelitian dalam konteks ini dapat dipahami sebagai proses epistemologis
untuk mencapai kebenaran. Sumber kebenaran semata-mata berasal dari realitas
empiris-sensual, demikian pandangan positivisme. Sunarto (1993) menjelaskan,
August Comte yang dianggap sebagai peletak dasar positivisme memperkenalkan
“hukum tiga jenjang” perkembangan intelektual manusia, yakni: jenjang teologi,
metafisika, dan positivis. Hal ini tercermin dari cara manusia menjelaskan
berbagai gejala sosial ekonomi. Manusia pada jenjang pertama mengacu kepada
hal-hal yang bersifat adikodrati; pada jenjang kedua mengacu kepada kekuatan-
kekuatan metafisik, dan pada jenjang ketiga mengacu pada deskripsi dan hukum-
hukum ilmiah. Positivisme tidak mengakui–atau setidaknya menganggap rendah--
hal-hal yang di luar empiris-sensual manusia.
Bertolak dari hukum-hukum ilmiah, positivisme menekankan bahwa
obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan bahwa kajian harus mengarah kepada
kepastian dan kecermatan. Menurut Comte, sarana yang dapat dilakukan untuk
melakukan kajian ilmiah ialah: pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan
metode historis. Positivisme, menurut Muhadjir (2000)–yang guru besar filsafat
ilmu dan metode penelitian–tidak mempertentangkan antara logika induktif atau
deduktif, melainkan lebih menekankan fakta empiris yang menjadi sumber teori
dan penemuan ilmiah.
Berbeda dengan positivisme, rasionalisme menekankan bahwa ilmu
berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi
secara logik. Karena itu, yang penting bagi rasionalisme ialah ketajaman dalam
pemaknaan empiri. Muhadjir (2000) menegaskan, pemahaman intelektual dan
kemampuan argumentatif perlu didukung data empirik yang relevan, agar produk
ilmu yang berlandaskan rasionalisme betul-betul ilmu, bukan fiksi. Bagi
rasionalisme fakta empirik bukan hanya yang sensual, melainkan ada empirik
logik, empirik teoritik, dan empirik etik. Misalnya: ruang angkasa, peninggalan
sejarah masa lampau, dan jarak sekian tahun juta cahaya, semuanya merupakan
realitas tetapi tidak mudah dihayati secara sensual melainkan dapat dihayati secara
teoritik. Karena itu, rasionalisme mengakui realitas empirik teoritik dan empiris
logik (Muhadjir, 2000: 81-2).
Dalam aliran positivistik logik sangat menolak terhadap etik transendental
yang berada di kawasan metafisik. Para penganut neo-kantian dikenal sebagai
epistimologi positivistik yang menolak segala bentuk etik transenden. Salah satu
prinsip utama dalam positivisme adalah penerapan prinsip variabilitas terhadap
sesuatu sebagai benar. Apakah sesuatu dideskripsikan sebagai benar dalam
menggunakan proposisi atau bentuk lain, perlu diverifikasi benar salahnya.
Sesuatu deskripsi yang benar mungkin sekali dikembangkan menjadi hukum,
yang diharapkan dapat memberikan inferensi, memprediksikan untuk kasus lain,
atau kasus mendatang.
Berbeda dengan aliran empirik logik yang pada akhirnya memunculkan
logika phenomologik. Dalam berfikir dalam phenomologi antrophologi mengarah
kearah mencari esensi, mencari sifat generatif, mencari kesimpulan idiografik, dan
filsafat yang memberikan landasan adalah phenomologi Hussert. Realisme
metafisik Popper berangkat dari filsafat positivistik analitik. Bertemu dengan
filsafat phenomologi Hussert antara lain pada pengakuan tentang kebenaran
obyektif universal. Yang obyektif universal tersebut menurut Hussert dan juga
Popper merupakan suatu abstraksi yang tidak dapat dibuktikan. Pembuktiannya
sebatas pada kasus.
PENELITIAN KUANTITATIF VS KUALITATIF
Dalam penelitian, terdapat dua hal yang berbeda, yaitu penelitian
kuantitatif dan penelitian kualitatif. Kedua jenis ini akan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Penelitian kuantitatif.
Dalam penelitan kuantitatif diasosiasikan, dengan istilah pengukuran
yang bersifat normative, yaitu dengan menentukan formula statistik dan
kuesioner. Menurut Noeng Muhajir tentang penelitian kuantitatif yaitu:
pertama, penelitian kuantitatif bersumber pada wawasan filsafat
positivisme, filsafat mengembangkan metodologi atas dasar logika
induktif, artinya bahwa ilmu bergerak dari fakta khusus fenomena ke
generalisasi teoretik. Kedua, pola pikir kuantitatif adalah mengejar yang
teratur yang teramati, yang empirik sensual, menggunakan logika
matematis dan membuat generalisasi, dimana generalisasi tersebut
dikonstruksikan dari strata keragaman individual. Ketiga, metodologi
kuantitatif menuntut adanya rancangan penelitian yang
menspesifikasikan obyeknya secara eksplisit dieliminasikan dari obyek-
obyek lain yang tidak teliti. Keempat, metodologi kuantitatif
mengembangkan teknik analisis dengan membatasi pada tata pikir
logika, korelasi, kausalitas, interaksi, intervalisasi dan kontinuasi,
kelima, Tujuan dari penelitian kuantitatif dengan pendekatan
positivisme adalah untuk menyusun ilmu nomotheuk, yakni ilmu yang
berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Kebenaran dicari lewat
hubungan kausal linier sebab akibat. Teori kebenarannya adalah teori
korespondensi, bahwa sesuatu itu benar bila ada ke sesuaian antara
pernyataan verbal dengan realita empiric (empiric sensual).
2. Penelitian kualitatif.
Adapun jenis penelitian kualitatif tidak menggunakan statistik atau
pengukuran angka, menurut Kirk dan Miller adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung
pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam
peristilahanya. Penelitian ini cenderung menggunakan pendekatan
interpretive.
Dalam penelitian kualitatif, Lexsy Moleong mengemukakan berbagai
ciri dalam pendekatan penelitian kualitatif ini, yaitu: latar alamiah,
manusia sebagai alat (instrument), analisis data secara induktif,
deskiptif, kepala kualitatif mendefinisikan validitas, realibilitas, dan
obyektivitas, desain bersifat sementara dan lain-lain.
Perbedaan antara kualitatif dengan kuantitatif menjadi tidak nampak.
Demikian halnya perbedaan antara paradigma ilmiah dengan paradigma alamiah
menjadi hilang, setidaknya semakin menipis. Karena itu, kedua penelitian
kuantitatif dan kualitatif saling melengkapi satu sama lain yang sama-sama
diperlukan.
MENENTUKAN JENIS PENELITIAN KUANTITATIF ATAU
KUALITATIF
Setelah diadakan pembedaan secara konseptual antara penelitian
kuantitatif dan penelitian kualitatif, dapat diketahui bahwa antara pendekatan
kuantitatif dan kualitatif mengandung perbedaan antara keduanya, bahwa
penelitian kualitatif itu berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan,
mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, mengadakan analisis data secara
induktif, sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat
deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, membatasi studi dengan
fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan
penelitiannya bersifat sementara dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua
belah pihak peneliti dan objek penelitian, dan bertumpu pada pendekatan
fenomenologi.
Dalam melakukan analisis deskriptif kuantitatif peneliti mencari jumlah
frekuensi dan mencari persentasenya, dan analisis lain yang juga masih bersifat
deskriptif adalah analisis deskriptif kualitatif yang tujuan akhirnya memberikan
predikat kepada variable yang diteliti sesuai dengan tolak ukur yang sudah
ditentukan, penelitian evaluasi merupakan jenis penelitian yang banyak
menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif ini, langkah yang dilalui adalah
mengadakan pengukuran secara kuantitas terhadap variable, kemudian baru
mentransfer harga kuantitas tersebut menjadi predikat.
Sedangkan dalam melakukan penelitian kualitatif dilakukan pada latar
alamiah atau konteks dari suatu keutuhan, hal ini dilakukan, menurut Lincoln dan
Guba, karena ontology alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan
sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteks.
Menurut mereka hal tersebut didasarkan atas bebrapa asumsi yaitu: tindakan
pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus
mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks untuk keperluan pemahaman.
Konteks yang menentukan dalam menentapkan apakah suatu penemuan
mempunyai arti bagi konteks lainya, yang berarti bahwa suatu fenomena harus
diteliti dalam keseluruhan pengaruh lapangan.
PARADIGMA PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF
Dalam bidang kajian penelitian, pada hakekatnya wahana untuk
menemukan kebenaran atau lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk
mengejar kebenaran dilakukan oleh para filosof, peneliti, maupun oleh para
praktisi melalui model-model tertentu. Paradigma, menurut Bogdan dan Biklen
adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep
atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.
Ada bermacam-macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu
pengetahuan adalah scientific paradigm (paradigma keilmuan), namun untuk
memudahkan penulis menerjemahkannya secara harfiah sebagai paradigma ilmiah
dan naturalistik paradigm atau paradigma alamiah. Paradigma ilmiah bersumber
dari pandangan postivisme, sedangkan pandangan alamiah bersumber pada
padangan fenomenologis sebagai yang telah dikemukakan.
Paradigma dalam kaitannya dengan penelitian pada hakekatnya merupakan
wahana untuk menemukan kebenaran atau lebih membenarkan suatu kebenaran,
ada bermacam-macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan
adalah scientific paradigma keilmuan, paradigma ilmiah dan naturalistik
paradigma atau paradigma alamiah. Paradigma ilmiah bersumber pandangan
positivisme, sedangkan pandangan alamiah bersumber pada pandangan
fenomenologi.
Dalam kaitannya dengan penelitian kuantitatif terkait secara khas dengan
proses induksi enumeratif (induksi yang ditarik atas dasar penghitungan) salah
satu tujuan utamanya adalah menemukan beberapa banyak dan jenis manusia apa
saja dalam populasi umum dan populasi induk yang mempunyai karaktristik
khusus yang ditemukan ada dalam populasi sampel. Tujuannya adalah
menyimpulkan sistem karaktristik atau hubungan antara ubahan dengan populasi
induk.
Sedangkan dalam penelitian kualitatif konsep dan kategori, bukan kejadian
atau frekuensinya, dengan kata lain penelitian kualitatif tidak meneliti suatu lahan
kosong tetapi ia menggalinya. Disamping itu sepanjang penelitian kualitatif
mempunyai tujuan yang bersifat teoritis, bukan deskriptif, ini khususnya dalam
studi kasus yang menggunakan metode kualitatif, maka pengujuan teorinya yang
lebih penting.
Paradigma penelitian kualitatif di antaranya diilhami falsafah rasionalisme
yang menghendaki adanya pembahasan holistik, sistemik, dan mengungkapkan
makna di balik fakta empiris sensual. Secara epistemologis, metodologi penelitian
dengan pendekatan rasionalistik menuntut agar obyek yang diteliti tidak
dilepaskan dari konteksnya; atau setidaknya obyek diteliti dengan fokus atau
aksentuasi tertentu, tetapi tidak mengeliminasi konteksnya. Meminjam istilah
Moleong (1989), penelitian kualitatif bertolak dari paradigma alamiah. Artinya,
penelitian ini mengasumsikan bahwa realitas empiris terjadi dalam suatu konteks
sosio-kultural, saling terkait satu sama lain. Karena itu, setiap fenomena sosial
harus diungkap secara holistik.
Perbedaan yang paling esensial dari kedua penelitian tersebut adalah
dalam tradisi kualitatif, peniliti harus menggunakan diri sebagai instrumen
mencapai wawasan-wawasan imajinatif kedalam dunia sosial responden, peneliti
diharapkan fleksibel dan reflektif tetapi tetap mengambil jarak. Konsekuensi dari
pendekatan ini adalah metode penelitian kualitatif per excellence merupakan
observasi partisipatoris.
Sedangkan pada tradisi kuantitatif instrumen tersebut adalah alat
teknologis yang telah ditentukan sebelumnya dan tertata dengan baik sehingga
tidak banyak memberi peluang bagi fleksibilitas, masukan imajinatif dan
refleksifitas, misalnya: apabila masalah yang diteliti telah ditentukan dengan jelas
dan pertanyaan yang diajukan kepada para responden memerlukan jawaban yang
tidak ambigu, maka metode kuantitatif seperti kuesioner boleh jadi memang tepat
digunakan dalam kondisi seperti ini.
Berkaitan dengan logika penelitian menurut paradigma kuantitatif, adalah
persoalan generalisasian, sedang dalam penelitian kualitatif yang tidak didasarkan
pada sample statistic, masalah kegeneralisasian tidak muncul dengan model yang
sama, pertanyaan-pertanyaannya agak berbeda, perhatianya berkisar pada
replikasi temuan-temuan dalam kasus-kasus lain yang serupa atau inferensi-
inferensi biasanya bersifa teoritis atau kausal kecuali jika tentu saja kasus-kasus
dipilih menurut sampel probabilitas.
Sedangkan logika penelitian menurut paradigma kuantitatif, perlu juga
diajukan pertanyaan-pertanyaan menyangkut kelompok-kelompok pembanding
keputusan-keputusan, disini biasanya tidak begitu berkembang dengan pertanyaan
teoritis sentral dari penelitisn dan lebih sering menyangkut variasi-variasi yang
diharapkan dalam populasi umum ynag ingin diamati peneliti dalam pengujian
hipotesis.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Kirk dan Miller memberi definisi
bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial,
yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam
kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasanya dan
dalam peristiwanya. Sedangkan Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi
kualitatif sebagai prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati secara
cermat dan detail.
Dalam metode kualitatif, Lexy Moleong mengemukakan bahwa penelitian
kualitatif di dasarkan pada: pondasi penelitian, paradigma penelitian, perumusan
masalah, tahap-tahap penelitian, tehnik penelitian, kriteria dan tehnik pemeriksaan
data, analisia dan penafsiran data.
Sedangkan ciri dari penelitian kuantitatif menurut Abdullah Kadjar
memiliki beberapa ciri yaitu: dapat menyokong pengguna metode kualitatif,
menggunakan logika positivisme dan menghindari sifat-sifat subyektif,
menggunakan pengukuran yang terkendali, obyektif, dapat dipandang dari sudut
pandang (visi) orang luar atau peneliti, berwawasan verifikasi, penegas,
penyederhanaan, inferensial dan hipotesis deduktif, berorientasi pada tujuan akhir,
terpercaya, data merupakan replika, mengeneralisasikan sebagai studi kasus,
bersifat khusus dan bertitik tolak pada anggapan bahwa realitas itu stabil.
Menurut Noeng Muhadjir metodologi penelitian kuantitatif ringkasnya
yaitu: penelitian kuantitatif bersumber pada wawasan filsafat positivisme, pola
fakir kuantitatif empris sensual, menuntut adanya rancangan kerangka teoritis,
karena secara onologis, realitas menuntut positivisme dapat dipecah-pecah, dapat
dipelajari secara independen, dieliminasikan dari obyek lain, dan dapat dikontrol,
mengembangkan teknik analisis dengan membatasi pada tata fakir logika,
korelasi, kausalitas, interaksi, intervaliasi dan kontinuasi, dengan pendekatan
positivisme yaitu untuk menyusun ilmu nomothetik (empiric sensual) dan hasil
penelitian harus bebas nilai, harus obyektif agar supaya hasil yang dicapai
maksimal
Berangkat dari hal tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa elemen
pokok didalam paradigma penelitian baik kualitatif atau kuantitatif menyangkut
tiga hal yaitu ontologi, epistemologi dan metodologi, dan asumsi-asumsi yang
digunakan akan menentukan jenis penelitian, bisa kuantitatif dan juga bisa
kualitatif.
MACAM-MACAM PARADIGMA PENELITIAN
Dari berbagai macam paradigma yang ada, paradigma penelitian dibagi
menjadi dua, yaitu positivistic dan non-positivistic. Paradigma positivistic
dipelopori oleh August Comte dalam pemikirannya, terutama dalam masalah-
masalah kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh Saint Simon. Menurut Simon
bahwa segala sesuatu terjadi berdasarkan hukum-hukum yang dapat dibuktikan
dengan observasi dan percobaan. Selanjutnya menurut Simon bahwa penjelasan
suatu masyarakat secara ilmiah dapat ditentukan dengan mengemukakan hukum
perubahan historis atas dasar induksi sebagai postulat.
Paradigma ini dikatakan positivisme, karena mereka beranggapan bahwa
yang dapat kita selidiki dan yang dapat kita pelajari hanyalah berdasarkan fakta-
fakta, yang berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif.
Apa yang kita ketahui itu hanyalah yang tampak saja, di luar itu kita tidak perlu
mengetahuinya, dan tidak perlu untuk diketahui. Positivisme membatasi
penyelidikan atau studinya hanya kepada bidang gejala-gejala saja, tidak kepada
studi yang lain.
Dari berbagai prosedur yang ada, prosedur ilmu pengetahuan tidak
memberi peluang untuk tidak menguji teori-teori secara langsung dalam
pengalaman. Ilmu pengetahuan harus diyakini, baik untuk mencapai generalisasi
deskriptif maupun memperoleh penjelasan-penjelasan yang dapat diversifikasi
secara langsung agar validitasnya terbukti. Dalam hal ini, positivisme sebagai
filsafat mengemukakan pandangannya, bahwa segala sesuatu yang terjadi
berdasarkan hukum-hukum yang dapat dibuktikan dengan observasi, eksperimen
dan verivikasi.
Berbeda dengan fenomenologi dalam kaitannya paradigma positivistic.
Fenomenologi lebih menunjukkan suatu metode filsafat dibanding dengan suatu
ajaran. Metode fenomenologis ini berasal dari Edmund Hussrl (1859-1938),
kemudian dikembangkan oleh Marx Scheler (1874-1928). Dalam pendidikan yang
pertama kali menerapkan metode fenomenologis adalah Langeveld. Paradigma
fenomenologi ini mengemukakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala
dengan menggunakan intuisi. Kenyataan atau realisasi tidak harus didekati dengan
argumen-argumen, konsep dan teori umum, maupun dengan menggunakan
pendekatan empiris, seperti dengan observasi dan eksperimen.
Paradigma positivistic yang menuntut segalanya serba konkrit, rinci dan
pasti, menjadi paradigma penelitian kuantitaif. Paradigma ini kemudian dikenal
dengan paradigma ilmiah (scientific paradigm). Sedangkan paradigma lain yang
menuntut pemahaman lebih mendalam untuk menguak makna dibalik fakta dan
menuntut kewajaran alamiah serta pemaknaan arti menurut subyek pelakunya,
lalu dikenal dengan paradigma alamiah (naturalistic paradigm), kemudian
paradigma ini menjadi ciri dari model kualitatif.
Sebelum peneliti menyusun desain, harus memilih paradigma penelitian
terlebih dahulu. Perlu dijelaskan, bahwa paradigma itu terdiri dari tiga elemen,
yaitu elemen ontologi, elemen epistimologi dan elemen metodologi. Ketiga
elemen tersebut harus sinkron, karena tiap paradigma mempunyai pandangan
tersendiri tentang ontologi, epistimologi dan metodologinya. Dapat dipahami
bahwa satu paradigma menghendaki metodologi tertentu yang paling tepat.
Positivistic menghendaki model penelitian kuantitatif, sedangkan paradigama
non-positivistic bisa menggunakan model penelitian kualitatif. Namun dalam
perkembangannya, semakin jelas penggunaan paradigma ini menjadi ciri suatu
model penelitian.
Dalam setiap model penelitian, yaitu model penelitian kuantitatif bertujuan
mengetahui hubungan sebab-akibat. Hal ini mengakibatkan jenis penelitian ini
harus berangkat dari teori yang diterjemahkan ke dalam proposisi (pernyataan
yang dapat diuji kebenarannya), kemudian diturunkan menjadi hipotesis yang
dilakukan pengujian berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan. Karena itu,
peneliti kuantitatif berpendirian reduksionis, yakni hanya mencari fokus kecil di
antara berbagai fenomena sosial yang sesuai dengan teori yang hendak
dibuktikannya.
Sebaliknya penelitian kualitatif, ia mengembangkan perspektif yang akan
digunakan untuk memahami dan menggambarkan realitas. Karena itu, peneliti
kualitatif berpendirian ekspansionis, tidak reduksionis. Ia tidak menggunakan
proposisi yang berangkat dari teori melainkan menggunakan pengetahuan umum
yang sudah diketahui serta tidak mungkin dinyatakan dalam bentuk proposisi dan
hipotesis. Karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak terdapat hipotesis tentatif
yang hendak diuji berdasarkan data lapangan.
PERBEDAAN PENDEKATAN PENELITIAN KUANTITATIF DAN
KUALITATIF
Ada hal mendasar yang membedakan antara pendekatan penelitian
kuantitif dengan penelitian kualitatif. Dalam penelitan kuantitatif diasosiasikan
dengan istilah pengukuran yang bersifat normative, yaitu dengan menentukan
formula statistik dan kuesioner, dan cenderung dengan menggunakan angka-
angka.
Dalam penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivistik-ilmiah.
Segala sesuatu dikatakan ilmiah bila dapat diukur dan diamati secara objektif yang
mengarah kepada kepastian dan kecermatan. Karena itu, paradigma ilmiah-
positivisme melahirkan berbagai bentuk percobaan, perlakuan, pengukuran dan
uji-uji statistik. Menurut Noeng Muhajir penelitian kuantitatif dapat dilihat dari
ciri-cirinya sebagai berikut, yaitu:
1. Penelitian kuantitatif bersumber pada wawasan filsafat positivisme,
filsafat mengembangkan metodologi atas dasar logika induktif, artinya
bahwa ilmu bergerak dari fakta khusus fenomena ke generalisasi
teoritik. Hal ini karena ilmu benar (valid) adalah ilmu yang dibangun
dari kenyataan empiris.
2. Pola pikir kuantitatif adalah mengejar yang teratur yang teramati, yang
empirik sensual, menggunakan logika matematis dan membuat
generalisasi, dimana generalisasi tersebut dikonstruksikan dari strata
keragaman individual.
3. Metodologi kuantitatif menuntut adanya rancangan penelitian yang
menspesifikasikan objeknya secara eksplisit dieliminasikan dari objek-
objek lain yang tidak teliti. Demikian juga kerangka teoritis perlu
dirumuskan sespeksifik mungkin, sebab secara ontologism, realitas
menurut positivisme dapat dipecah-pecah, dapat dipelajari secara
independen, dieliminasikan dari objek lain dan dapat dikontrol.
4. Metodologi kuantitatif mengembangkan teknik analisis dengan
membatasi pada tata pikir logika, korelasi, kausalitas, interaksi,
intervalisasi dan kontinuasi.
5. Tujuan dari penelitian kuantitatif dengan pendekatan positivisme adalah
untuk menyusun ilmu nomotheuk, yakni ilmu yang berupaya membuat
hukum dari generalisasinya. Kebenaran di cari lewat hubungan
kausallinier sebab akibat. Teori kebenarannya adalah teori
korespondensi, bahwa sesuatu itu benar bila ada kesesuaian antara
pernyataan verbal dengan realita empiric (empiric sensual).
6. Hasil penelitian harus bebas nilai, harus objektif, dapat berlaku kapan
dan dimana saja (bebas waktu dan tempat). Agar hasil penelitian dapat
diperoleh secara objektif, subjektif dan objek yang diteliti harus
terpisah.
7. Langkah penelitian: penetapan obyek yang spesifik terpisah dari
totalitas, penyususnan kerangka teoritis sesuai dengan kekhususan
objek studi, merumuskan problematika penelitiannya, merumuskan
hipotetis, menentukan instrumen pengumpulan data, menentukan teknik
sampling, menentukan teknik analisis.
Berangkat dari asumsi di atas, maka dapat diketahui bahwa, secara garis
besar proses penelitian terdiri dua tahapan yakni tahap teoritis dan tahap empiris.
Hal itu karena pada hakekatnya penelitian merupakan usaha untuk menjembatani
dunia konseptual dengan dunia empiris. Pada tahap teoritis peneliti menyusun
kerangka pemikiran yang akan digunakan untuk menghubungkan kenyataan yang
akan diteliti dengan alam pemikiran peneliti. Selanjutnya dengan berpedoman
kepada kerangka pemikiran yang akan digunakan untuk menghubungkan pada
tahap empiris, peneliti mengabstraksikan gejala-gejala empiris sehingga menjadi
konsep, kemudian menggeneralisasikan konsep sehingga menjadi konsepsional
dengan dunia empiris itu peneliti melakukan penerapan dua sistem logika yakni
logika induktif dan logika deduktif.
Berbeda dengan penelitian kualitatif yang tidak menggunakan statistik
atau pengukuran angka, akan tetapi hanya dinyatakan dengan bentuk sistematika
analisa terhadap berbagai hal. Menurut Kirk dan Miller adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-
orang tersebut dalam bhasanya dan dalam peristilahanya. Penelitian ini cenderung
menggunakan pendekatan interpretive, menurut Lexsy Moleong ada beberapa ciri
pendekatan ini:
1. Latar alamiah.
Artinya melakukan pada latar alamiah atau pada konteks dari satu
keutuhan (entity), hal ini dimaksudkan agar kenyataan sebagai satu
keutuhan tidak akan dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya,
karena tindakan pengamatan mempengaruhi obyek yang dilihat, dan
konteks sangat menentukan penetapan apakah suatu penemuan
mempunyai arti bagi konteks lainnya, ini berarti bahwa suatu fenomena
harus diteliti secara keseluruhan yang terkait dengan pengaruh
lapangan.
2. Manusia sebagai alat (instrument).
Hal ini dilakukan karena jika memanfaatkan alat yang bukan manusia
dan mempersiapkannya terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan
dalam penelitian klasik, maka tidak mungkin untuk mengadakan
penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada dilapangan.
3. Analsis data secara induktif.
Analisis induktif digunakan karena ada beberapa pertimbangan, karena
proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda
sebagai yang terdapat dalam data, karena lebih dapat membuat
hubungan peneliti dengan responden menjadi eksplisit dan lain-lain.
4. Deskiptif.
Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka,
dokumen dan sebagainya dideskripsikan sehingga dapat memberikan
kejelasan terhadap kenyataan atau realitas.
5. Kualitatif mendefinisikan validitas, realibilitas, dan obyektivitas.
6. Desain bersifat sementara dan lain-lain.
Berangkat dari perbedaan yang sangat esensial antara penelitian kuantitatif
dengan peneiltian kualitatif maka dapat diketahui bahwa landasan berfikir
penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan positivistic adalah falsafah
positivisme dengan memanfaatkan metode kuantitatif. Jika dideskripsikan dengan
langkah-langkah yang terstruktur teramati, yang memori sensual, membuat
generalisasi, mengakomodasi deskripsi verbal, menggantikan angka atau
menggabungkan olahan statistik dengan olahan verbal.
Disamping pendekatan positivistic, terdapat pula pendekatan rasionalistik,
adalah metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan filsafat rasionalisme
dan tidak sekedar menggunakan rasio. Pendekatan ini juga mengejar diperolehnya
generalisasi atau hukum-hukum baru. Bedanya positivistic karena ia bertitik tolak
dari grand concept.
Dari hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa penelitian kualitatif
disebut sebagai paradigma alamiah, karena penelitian ini menggunakan teknik
kualitatif, yakni pengungkapan realitas tanpa melakukan pengukuran yang baku
dan pasti. Peneliti berusaha menggambarkan fenomena sosial secara holistik tanpa
perlakuan manipulatif. Keaslian dan kepastian merupakan faktor yang sangat
ditekankan. Karena itu, kriteria kualitas lebih ditekankan pada relevansi, yakni
signifikasi dan kepekaan individu terhadap lingkungan sebagaimana adanya.
Sebaliknya penelitian kuantitatif disebut sebagai paradigma ilmiah lebih
ditekankan pada validitas internal dan eksternal, reliabilitas instrumen dan
objektivitas.
DESAIN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATATIF &
MACAM-MACAM DESAIN PENELITIAN
Dalam upaya mendesain penelitian kuantitatif dan kualitatif, maka ada
beberapa langkah yang perlu dijawab untuk melakukan penelitian dengan
menggunakan kedua pendekatan tersebut. Menurut Norman dan Yvona, setiap
desain harus menjawab empat pokok pertanyaan yang sangat erat kaitannya
dengan pembentukan desai penelitian, yaitu:
1. Bagaimana menghubungkan desain dengan paradigma?
Dalam upaya menghubungkan desain dengan paradigma, maka
diperlukan data yang menggunakan perspektif teoritik tertentu, kita bisa
mengenal pola pikir yang digunakan dalam menyusun proposisi dan
pola hubungan antar konsep dalam fenomena yang dihadapi. Dari pola
pikir dan pola hubungan antar konsep inilah, bisa ditentukan data
(variable) apa saja yang akan dicari guna dijadikan sebagai pedoman
penelitian.
2. Apa dan siapa yang akan diteliti?
Pertanyaan ini berusaha untuk menjawab tentang objek kajian yang
akan diteliti oleh peneliti yang berkaitan dengan tujuan penelitian.
Mengenai apa dan siapa ini, bisa berupa benda-benda, individu, bisa
kelompok, bisa lembaga dan sebagainya. Bila siapa yang menjadi
sumber data, maka bisa ditentukan populasi, sampel, responden,
informannya sesuai dengan model penelitian dan kebutuhannya di
lapangan.
3. Strategi apa yang akan digunakan dalam meneliti?
Berkaitan dengan strategi yang akan digunakan oleh peneliti untuk
meneliti objek kajiannya, maka dalam hal ini terdapat beberapa macam
strategi penelitian yang dapat digunakan agar supaya hasil penelitiannya
valid dan dapat diverifikasi. Di bawah ini terdapat strategi penelitian
sekaligus desain penelitiannya yang kami kutip dari Prof. Drs. H. M.
Kasiram, M.Sc sebagai berikut:
Dari paradigma ilmiah, muncul beberapa strategi penelitian antara lain:
Strategi penelitian Desain penelitian
Deskriptif Desain diskriptif
Korelasi Desain korelasi
Kausal Desain kausal
Komparatif Desain komparatif
Eksperimen Desain eksperinmental
Quasi eksperimental Desain quasi eksperimental
Action research Desain action research
4. Metode apa yang akan digunakan?
Setelah kita mendesaian penelitian yang akan kita lakukan, maka
langkah selanjutnya adalah, maka berdasarkan sumber data dan
variable/data yang akan diacari, maka dengan mudah pula ditentukan
metode pengumpulan datanya, instrumen pengumpulan data, dan
sekaligus metode analisis data yang akan digunakan dalam proses
pelaksanaan penelitiannya.
Desain yang ada tersebut akan memberikan kemudahan dalam proses
mencari dan menganalisa data, sehingga peneliti tidak akan menemukan kesulitan
yang berarti dalam pelaksanaan penelitiannya kelak.
MENGGABUNGKAN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF
Berbicara mengenai upaya penggabungan antara penelitian kuantitaif dan
penelitian kualititaif, maka nantinya akan didapatkan suatu titik temu yang
berkaitan dengan pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti, yang
pada akhirnya memberikan kemudahan kepada para peneliti. Biasanya, peneliti
kuantitatif biasanya tidak puas dengan hasil analisis statistik. Misalnya dengan
data yang dikumpulkan dengan kuesioner, analisis statistik dilakukan untuk
menemukan hubungan antara dua atau lebih variabel. Ternyata hasilnya tidak
memuaskan karena tidak ada hubungan. Peneliti meragukan hasilnya karena
hipotesisnya tidak teruji, untuk itu ia lalu mengadakan wawancara mendalam
untuk melengkapi penelitiannya. Hal ini mengindikasikan bahwa peneliti berusaha
menggabungkan dua karakteristik penlitian yang berbeda, yaitu kuantitatif dan
kualitatif.
Begitu juga sebaliknya terjadi, peneliti kualitatif sering menggunakan data
kuantitatif, namun yang sering terjadi pada umumnya tidak menggunakan analisis
kuantitatif bersama-sama. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedua pendekatan tersebut
dapat diguinakan apabila desainnya adalah memanfaatkan satu paradigma
sedangkan paradigma lainya hanya sebagai pelengkap saja.
Dari sebagian besar uraian metodologi tampaknya sepakat bahwa
sepanjang dua paradigma yang berbeda dianggap ada, perbedaan yang terpenting
adalah cara masing-masing memperlakukan data. Dalam tradisi kualitatif peneliti
harus menggunakan diri mereka sebagai instrumen, mengikuti asumsi-asumsi
kultural sekaligus mengikuti data konsekuensi dari pendekatan ini adalah metode
penelitian kualitatif merupakan observasi partisipatoris (pengamatan terlibat).
Dalam tradisi kuantitatif instrumen tersebut adalah alat teknologis yang telah
ditentukan sebelumnya dan tertata dengan baik sehingga tidak banyak memberi
peluang bagi fleksibelitas, masukan imajinatif dan refleksitas. Teknik kuantitatif
seperti wawancara mendalam lebih dibutuhkan. Dari upaya proses penggabungan
kedua jenis penelitian tersebut, antara kuantitatif dengan kualitatif, dapat
dijelaskan bahwa perbedaan antara kedua paradigma itu terkait dengan tingkat
pembentukan pengetahuan dan proses penelitian. Penggabungan dua metode yang
berbeda dalam sebuah rangkaian penelitian memunculkan persoalan gerak antara
paradigma-paradigma pada tingkat epistemologi dan teori dalam praktisnya.
Dalam proses penggabungan pendekatan dan metode disusun menurut
beberapa faktor: pertama, menyangkut arti penting yang diberikan kepada masing-
masing pendekatan dalam keseluruhan proyek. Kedua, menyangkut urutan waktu,
jangka waktu untuk mana kedua metode ditempuh secara simultan. Jelaslah
bahwa konstribusi metode kualitatif terhadap perumusan masalah teoritis yang
dikaji oleh survey menuntut dilakukannya survey lapangan secara intensif
sebelum survey. Disamping itu, jika tujuan survey lapangan kualitatif untuk
memperjelas dan memperluas temuan survey, maka hal itu harus dilakukan
setelah survey. Ketiga juga terkait dengan urutan waktu dan menyangkut tahap
dalam proses penelitian saat kedua metode digunakan atau dihentikan. Misalnya,
kedua metode dapat diakses ke dalam proyek pada tahap pembuatan desain, tetapi
hanya satu metode yang diperhitungkan dalam penulisan laporan penelitian.
Keempat yang menentukan pemakaian metode menyangkut pembagian
keterampilan dalam tim penelitian.
Dari proses penggabungan tersebut, tergantung kepada individu peneliti
dalam menggunakan dan melaksanakan penelitiannya, apakah lebih cenderung
kepada penelitian kuantitif atau lebih cenderung kepada penelitian kualitatif dalam
menganalisa data yang didapat dari hasil penelitiannya.
Dari kedua penggabungan jenis penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa
kehadiran dan keberadaan dua paradigma yang berbeda mengesankan adanya
sesuatu yang menjadi pedoman para peneliti, terutama bagi praktek-praktek
mereka. Ini tidaklah mengherankan karena kumpulan teks-teks metodologi yang
mengesankan keberadan dua paradigma tersebut. Bahwa terminologi yang lebih
tua usianya dan digunakan lebih luas dijumpai dalam literatur yang menyebut
strategi ini sebagai “triangulasi” yaitu:
1. Metode-metode ganda.
Dalam metode ganda atau tringulasi ini bisa terjadi antara metode atau
bisa juga didalam metode. Pedekatan mencakup metode yang sama
yang digunakan pada kesempatan yang berbeda, sementara metode
berarti pemakaian metode yang berbeda dalam kaitan dengan obyek
studi sama, masalah yang substantif. Oleh karena itu dalam kasus
terakhir observasi partisipatoris dalam lingkup ruang kelas bisa
digabungkan dengan survey kuesioner para siswa dan guru, pendekatan
di dalam metode dapat mencakup pengulangan metode yang sama pada
jumlah kesempatan dan bias pula menghasilkan penilaian yang berbeda
tentang situasi pada saat-saat yang berbeda.
2. Peneliti-peneliti gabungan.
Peneliti gabungan disni dimaksudkan bahwa personel yang melakukan
tahapan penelitian ini dilakukan oleh kemitraan atau kelompok bukan
oleh orang perorang, organisasi penelitian adalah bagian penting dari
strategi penelitian individu-individu yang berbeda dan gabungan orang
membawa perspektif yang berbeda kedalam penelitian. Sebagai misal
menurut Stacey (1960) mengomentari studi pertamanya tentang
Banbury, menunjukan bahwa tiga peneliti yang tergabung dalam tim
peneliti mencerminkan tiga kelas sosial yang berbeda kelas merupakan
kunci utama studi Banbury kelas atas, kelas menengah dan kelas
pekerja.
3. Sekumpulan data gabungan.
Dari beberapa sekumpulan data gabungan, kumpulan data yang berbeda
disamping bisa diperoleh melalui penerapan metode-metode yang
berbeda, juga melalui penggunaan metode yang sama pada waktu yang
berbeda atau sumber-sumber yang berbeda. Data bisa dikumpulkan
pada titik-titik waktu yang berbeda dan konteks situasi ataupun latar
yang bervariasi, disamping itu data kadang-kadang terkait dengan
tingkat-tingkat analisa sosial yang berbeda, tingkat individual, tingkat
interaktif dan kolektif yang berbeda pula.
4. Teori-teori gabungan.
Peneliti dalam melaksanakan penelitiannya bisa menggunakan teori-
teori gabungan, analisa data awal, bersama dengan wawasan-wawasan
dari proses penelitian itu sendiri, bisa menghasilkan sejumlah
kemungkinan teori dan hipotesis tentang masalah yang diteliti. Ini pada
gilirannya dapat diuji pada data, jika tidak pengujian penelitian
sebelumnya dapat menuntun peneliti untuk menguji sejumlah hipotesis
yang logis dan mungkin kontras dengan temuan-temuannya.
Antara penelitian kualitatif dengan kuantitatif seakan-akan terdapat
perbedaan paradigmatif yang tidak ada titik temu. Tapi sebenarnya antara kedua
penelitian itu tidak terdapat perbedaan yang cukup jauh. Justru sebaliknya kini
antara keduanya saling mendekat dan melengkapi satu sama lain. Tata pikir logika
penelitian positivisme-kuantitatif yang meliputi tata pikir korelasi, sebab akibat,
dan tata pikir timbal-balik atau interaktif, seperti nampak dalam model-model uji
statistik inferensial, menurut Muhadjir, dapat ditempatkan dalam sebuah grand
theory artau grand concept agar data empirik sensual dapat dimaknai dalam
cakupannya yang lebih luas.
Apa yang dimaksud dengan grand theory, sesungguhnya tiada lain ialah
teori-teori besar yang menjadi kunci analisis untuk memahami fenomena sosial,
baik statika maupun dinamika sosial. Ini merupakan logika makro yang menjadi
pijakan analisis. Penelitian kuantitatif hanya menggunakan logika mikro, seperti
korelasi dan hubungan sebab akibat, sedangkan penelitian kualitatif seringkali
tertarik pada logika makro. Karena itu, Muhadjir mengusulkan agar logika mikro
kuantitatif ditempatkan dalam kerangka logika makro. Di antara logika makro itu
ialah: Pertama, pola pikir historik atau proses perkembangan. Kedua, pola pikir
yang terkait dengan sistematisasi pengetahuan, seperti pola pikir sistemik,
fungsional, pragmatik dan pola pikir kontekstual. Ketiga, pola pikir yang
mengarah dari kutub statika sosial seperti struktur sosial kepada dinamika sosial.
Keempat, pola pikir yang menggambarkan keterkaitan antara berbagai fenomena
dengan asumsi bahwa suatu fenomena terkait dengan fenomena yang lain.
Penempatan tata pikir mikro yang bersifat korelasional dan eksperimental
dalam sebuah konteks grand theory, barangkali akan lebih jelas jika dirinci untuk
masing-masing bentuk penelitian kuantitatif positivistik. Sudah diketahui umum
bahwa bentuk penelitian kuantitatif terdiri dari penelitian deskriptif, korelasional
dan eksperimen, walaupun dalam pengembangannya terjadi perbedaan pendapat.
Masing-masing bentuk penelitian tersebut kita tempatkan dalam logika penelitian
kualitatif.
Berangkat dari hal tersebut di atas, dapat kita pahami bahwa di dalam
penggabungan antara kedua metode itu membutuhkan kecermatan dan ketepatan
seperti diperlukan pada setiap tahap proses penelitian, dari tahap pembuatan
desain sampai penulisan, misalnya, karena desain penelitian kualitatif sering
menggunakan strategi sampling non probilitas maka penting diperjelas pada
tahapan pembuatan desain, mengapa dan kapan saatnya menggunakan sampel-
sampel probalitas dan konsekuensi jenis data yang dihasilkan dari keputusan
tersebut, sehingga dapat menjaga terhadap kualitas dan validitas hasil penelitian.
KARAKTERISTIK DISAIN KUALITATIF
Berkaiatan dengan karakteristik yang dimiliki oleh setiap penelitian,
apakah itu penelitian kuantitaif ataupun kualitatif, dalam hal ini penelitian
kualitatif memiliki sejumlah ciri-ciri yang membedakannya dengan penelitian
jenis lainnya. Dari hasil penelaahan kepustakaan ditemukan bahwa Bogdan dan
Biklen mengajukan lima buah ciri yang membedakan antara penelitian kualitatif
dengan penelitian kuantitaif. Sedangkan Lincoln dan Guba mengulas sepuluh
buah ciri penelitian kualitatif. Uraian di bawah ini merupakan hasil pengkajian
dan sintesis kedua versi tersebut. Adapun ciri-ciri dari desain penelitian kualitiatif
yaitu:
1. Latar alamiah.
Dalam latar alamiah ini, penelitian kualitatif melakukan penelitian pada
latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Hal ini
dilakukan, menurut Lincoln dan Guba (1985: 39), karena ontologi
alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagi keutuhan
yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya. Menurut
mereka hal tersebut didasarkan atas beberapa asumsi bahwa:
a. Tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu
hubungan penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan dalam
konteks untuk keperluan pemahaman.
b. Konteks sangat menentukan dalam menetapkan apakah suatu
penemuan mempunyai arti bagi konteks lainnya, yang berarti bahwa
suatu fenomena harus diteliti dalam keseluruhan pengaruh lapangan.
c. Sebagian struktur nilai kontekstual bersifat determinatif terhadap apa
yang akan di cari dlaam proses penelitiannya.
Dari beberapa uraian tersebut di atas, akan dapat membawa peneliti
untuk memasuki dan melibatkan sebagian waktunya apakah di sekolah,
keluarga, tetangga, dam lokasi lainnya untuk meneliti masalah
pendidikan atau sosiologi. Peneliti yang mengadakan penelitian
terhadap mahasiswa kedokteran, misalnya mengikuti mahasiswa
sebagai subjek penelitiannya ke dalam ruang kuliah, laboratorium,
rumah sakit, dan tempat-tempat yang biasanya di gunakan oleh mereka
untuk berkumpul seperti kafetaria, asrama, tempat-tempat pertemuan
dan sebagainya.
2. Manusia sebagai alat (instrument).
Pada pelaksanaan penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan
bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal ini
dilakukan karena, jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan
mempersiapkan terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam
penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan
penyesuaian terhadap kenyataan-kenyatan dilapangan. Selain itu, hanya
“manusia sebagi alat” sajalah yang dapat berhubungan dengan
responden atau objek lainnya, dan hanya manusia sebagai alat sajalah
yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek lainnya dan
hanya manusialah yang mampu memahami kenyataan-kenyataan di
lapangan. Oleh karena itu pada waktu mengumpulkan data di lapangan,
peneliti berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan. Penulis
menamakan cara pengumpulan data demikian “pengamtan berperan
serta atau participant-observation”.
3. Metode Kualitatif.
Dalam pelaksanaan penelitian, penelitian kualitatif menggunakan
metode kualitatif dalam analisa datanya. Metode kualitatif ini
digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan
metode kualitatif apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; Kedua,
metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara
peneliti dengan responden; dan Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih
dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama
dan terhadap pola nilai-nilai yang dihadapi oleh peneliti.
4. Analisis data secara Induktif.
Dalam proses pelaksanaan analisis data yang diperoleh oleh peneliti,
maka analisis yang harus digunakan oleh peneliti adalah analisis data
secara induktif. Analisis data induktif ini digunakan karena beberapa
alasan, pertama, proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-
kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data. Kedua, analisis
induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti–responden menjadi
eksplisit, dapat dikenal, dan accountable. Ketiga, analisis demikian
lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat menbuat
keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan kepada suatu
latar lainnya. Keempat, analisis induktif lebih dapat menemukan
pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan. Kelima,
analisis demikian dapat memperhitungan nilai-nilai secara eksplisit
sebagai bagian dari struktur analitik.
5. Teori dari dasar (grounded theory).
Pada pelaksanaan penelitian kualitiatif, biasanya yang sering dilakukan
oleh para peneliti pada bidang penelitian kualitatif lebih menghendaki
arah bimbingan penyusunan teori subsantantif yang bersal dari data.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal:
a. Tidak ada teori apriori yang dapat mencakupi kenyataan-kenyataan
ganda yang mungkin akan dihadapi.
b. Penelitian ini mempercayai apa yang dilihat sehingga ia berusaha
untuk sejauh mungkin menjadi netral.
c. Teori-teori dari dasar lebih dapat responsif terhadap nilai-nilai
kontekstual.
Setelah melaksanakan penelitian dengan menggunakan analisis
induktif, berarti bahwa pencarian data bukan dimaksudkan untuk
membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian
diadakan. Analisis ini lebih merupakan pembentukan abstraksi
berdsarkan bagian-bagian yang telah dikumpulkan, kemudian
dikelompok-kelompokan. Jadi, penyusunan teori di sini berasal dari
bawah ke atas, yaitu dari sejumlah bagian yang banyak data yang
dikumpulkan dan yang saling berhubungan. Jika peneliti merencanakan
untuk menyusun teori arah penyusunan teori tersebut akan menjadi jelas
sesudah ada data dikumpulkan. Jadi peneliti dalam hal ini menyusun
atau membuat gambaran yang makin menjadi jelas sementara data
dikumpulkan dan bagian-bagiannya diuji.
6. Deskriptif.
Data diskriptif adalah data yang tidak nampak. Data ini biasanya
dikumpulkan dan dioleh dengan berupa kata-kata, gambar dan bukan
angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode
kualitatif. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi
kunci terhadap apa yang sudah diteliti oleh peneliti yang berkaitan
dengan obyek dan tujuan penelitiannya. Dengan demikian, laporan
penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran
penyajian laporan tersebut.
Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan
lapangan, foto, video tape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan
dokumen resmi lainnya. Pada penulisan laporan demikian, peneliti
menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam
bentuk aslinya. Hal itu hendaknya dilakukan seperti orang merajut
sehingga setiap bagian ditelaah satu demi satu. Pertanyaan dengan kata
tanya “mengapa”, alasan apa, dan bagaimana terjadinya akan senantiasa
dimanfaatkan peneliti. Dengan demikian peneliti tidak akan
memandang bahwa sesuatu itu sudah memang demikian keadaannya.
7. Lebih mementingkan proses dari pada hasil.
Berkaitan dengan penelitian karakteristik pada penelitian kualitatif,
dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan penelitian kualitatif lebih
banyak mementingkan aspek proses dari pada hasil. Hal ini disebabkan
oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas
apabila diamati dalam proses. Bogdan dan Biklen memberikan contoh
seorang peneliti yang menelaah sikap guru terhadap jenis siswa tertentu.
Peneliti mengamatinya dalam hubungan sehari-hari, kemudian
menjelaskan tentang sikap yang diteliti.
8. Adanya batas yang ditentukan fokus.
Pada karaketristik penelitian kualitatif ditetapkannya mengenai batasan-
batasan dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai
masalah dalam penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal:
a. Batas menentukan kenyataan ganda yang kemudian mempertajam
fokus.
b. Penetapan fokus dapat lebih dekat dihubungkan oleh interaksi antara
peneliti dan fokus.
Dengan kata lain, bagaimanapun penetapan fokus sebagai masalah
penelitian penting artinya dalam usaha menemukan batas penelitian.
Dengan hal itu dapatlah peneliti menemukan lokasi penelitian yang
memudahkan seorang peneliti dalam melakukan tugas penelitiannya.
9. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data.
Apapun jenis penelitiannya, pasti akan dibutuhkan beberapa kriteria
yang berkaitan dengan jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
Penelitian kualitatif meredefisikasikan validitas, reliabilitas, dan
objektifitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazim digunakan
dalam penelitian klasik. Menurut Lincoln dan Guba hal itu disebabkan
oleh: Pertama, validitas internal cara lama telah gagal karena hal itu
menggunakan isomorfisme antara hasil penelitian dan kenyataan
tunggal di mana penelitian dapat dikonvergensikan. Kedua, validitas
eksternal gagal karena tidak taat asas dengan aksioma dasar dari
generalisasinya; Ketiga, kreteria realibilitas gagal karena
mempersyaratkan stabilitas dan keterlaksanaan secara mutlak dan
keduanya tidak mungkin digunakan dalam paradigma yang didasarkan
atas dasar desain yang dapat berubah-rubah; Keempat, kreteria
objektifitas gagal karena penelitian kualitatif justru memberi
kesempatan interaksi antara peneliti-responden dan peranan nilai dalam
prose penelitiannya.
10. Desain yang bersifat sementara.
Konsep dalam penelitian kualitatif ini menyusun desain yang secara
terus menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak
menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku
sehingga tidak dapat diubah lagi. Hal itu disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama, tidak dapat dibayangkan sebelumnya tentang kenyataan-
kenyataan ganda di lapangan; Kedua, tidak dapat diramalkan
sebelumnya apa yang akan berubah karena hal itu akan terjadi dalam
interaksi antara peneliti dengan kenyataan; Ketiga, bermacam sistem
nilai yang terkait berhubungan dengan cara yang tidak dapat
diramalkan dalam waktu yang relatif singkat.
11. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.
Karakteristik desain penelitian kualitatif lebih menghendaki agar
pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan
disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, susunan kenyataan dari
merekalah yang akan diangkat oleh peneliti; Kedua, hasil penelitian
bergantung pada hakikat dan kualitas hubungan antara pencari dan
yang dicari; Ketiga, konfirmasi hipotesis kerja akan menjadi lebih
baik verifikasinya apabila diketahui dan dikonformasikan oleh orang-
orang yang ada kaitannya dengan yang diteliti oleh peneliti pada
bidang garapannya.
TAHAPAN RISET KUALITATIF
Dalam tahapan riset penelitian kualitatif, sekalipun prosesnya dilakukan
secara induktif, tidak berarti peneliti tanpa memiliki perspektif. Ia dapat memilih
permasalahan penelitian, pendekatan sebagai perspektif dalam memahami gejala
sosial keagamaan karena memahami berbagai teori; atau setidaknya ia membaca
hasil-hasil penelitian yang memiliki kedekatan dengan penelitian yang dilakukan.
Penelitian harus dilakukan melalui beberapa tahapan. Salah satu tahapan
penting, menurut Moleong ialah menyusun rancanan penelitian. Isi rancangan
penelitian sebenarnya tidak ada yang baku. Akan tetapi secara umum rancangan
tersebut berisi: (1) latar belakang masalah, (2) tinjauan pustaka, (3) pemilihan
lapangan penelitian (jika akan penelitian lapangan), (4) penentuan jadwal
penelitian, (5) rancangan pengumpulan data, dan (6) rancangan prosedur analisis
data. Studi kepustakaan diharapkan akan menghasilkan: (a) rumusan masalah dan
fokus penelitian, (b) pertanyaan-pertanyaan penelitian, dan (c) signifikasi
penelitian.
Usaha mempelajari penelitian kualitatif tidak terlepas dari usaha mengenal
tahap-tahap penelitian. Tahap-tahap penelitian kualitatif dengan salah satu ciri
pokoknya peneliti menjadi sebagai alat penelitian, menjadi berbeda dengan tahap-
tahap penelitian non-kualititif. Khususnya analisa data ciri khasnya sudah dimulai
sejak awal pengumpulan data. Hal itu sangat membedakannya dengan pendekatan
yang menggunakan eksperimen.
Menurut Bogdan dalam Lexy J Moleong (2003: 85) bahwa terdapat tiga
tahapan dalam riset kualitatif yakni: (1) pra lapangan, (2) kegiatan lapangan (3)
analisis intensif. Sedangkan menurut Kirk dan Miller (1986) menyatakan adanya
empat tahapan, yaitu: (1) invensi (2) temuan, (3) penafsiran, (4) eksplanasi;
Lofland (1984) mengajukan 11 tahap, yaitu: (1) mulai dari tempat anda berada,
(2) menilai latar penelitian, (3) masuk lapangan, (4) bersama lapangan, (5)
mencatat dengan hati-hati (loging data), (6) memikirkan satuan, (7) mangajukan
pertanyaan, (8) menjadi tertarik, (9) mengembangkan analisis, (10) menulis
laporan dan, (11) membimbng akibat.
Sedangkan menurut Janice dalam Norman dan Yvonna (1994: 220-232)
terdapat enam tahap dalam menyusun rancangan riset kualitatif yakni:
1. The stage of reflection.
2. The stage of planning.
3. The stage of entry.
4. The stage of productive data collection.
5. The stage of withdrawal.
6. The stage of writing.
Dalam tema ini, penulis hanya membatasi pembahasan secara singkat pada
tahapan riset yang dikemukakan oleh Bogdan dengan disentesiskan dengan uraian
dari sumber lain.
1. Tahap pra lapangan.
Dalam tahap pra lapangan ini, terdapat enam kegiatan yang harus
dilakukan oleh peneliti dan dalam tahapan ini pula ditambah dengan satu
pertimbangan yang perlu dipahami, yaitu etika penelitian lapangan. Kegiatan dan
pertimbangan tersebut diuraikan berikut ini:
a. Menyusun rancangan penelitian.
Dalam proses penyusunan rancangan suatu penelitian kualitatif biasanya
dinamakan dengan usulan penelitian, paling tidak berisi (1) latar belakang
masalah dan alasan pelaksanaan penelitian (2) kajian kepustakaan yang
menghasilkan (3) pemilihan lapangan penelitian (4) penentuan jadwal
penelitian (5) pemilihan alat penelitian (6) rancangan pengumpulan data (7)
rancangan prosedur analisis data (8) rancangan perlengkapan (9) rancangan
pengecekan kebenaran data.
b. Memilih lapangan penelitian.
Untuk memilih lapanan penelitian, cara terbaik yang perlu diperhatikan
dalam penentuan lapangan penelitian ialah dengan jalan mempertimbangkan
teori substantif; pergilah dan jajakilah lapangan untuk melihat apakah
terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang berada di lapangan.
Keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga, perlu pula
dijadikan pertimbangan dalam menentukan lokasi penelitian.
c. Mengurus perizinan.
Mengurus perizinan sangat diperlukan sekali dalam upaya melaksanakan
penelitian. Dalam mengurus perizinan ini harus mencantumkan tujuan dan
manfaat dari penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Dengan kata lain
peneliti mencantumkan keinginannya untuk mengadakan penelitian. Izin
penelitian ini diperlukan dalam rangka untuk kepentingan kelancaran
penelitian yang akan dilakukan, biasanya izin ini akan dikeluarkan oleh
instansi terkait atau badan yang memiliki kewenangan atas hal tersebut
bahkan izin itu dimintakan di lokasi dimana akan penelitian itu dilakukan.
Karena itu peneliti juga perlu mengetahui siapa yang paling berhak
mengeluarkan izin tersebut.
Syarat lainnya yang perlu dimiliki oleh peneliti adalah terbuka, jujur
bersahabat, simpatik dan empatik, objektif dalam menghadapi konflik, tidak
pandang bulu, berlaku adil dan sikap positif lainnya.
d. Menjajaki dan menilai keadaan lapangan.
Hal ini dimaksudkan agar supaya peneliti tidak bertindak ceroboh dan
sesuka hati. Penjajakan dan penilaian lapangan akan terlaksana dengan baik
apabila peneliti sudah membaca terlebih dahulu dari kepustakaan atau
mengetahui melalui orang dalam hal situasi dan kondisi daerah tempat
penelitian dilakukan. Maksud dan tujuan penjajakan dan penilaian lapangan
adalah berusaha mengenal segala unsur lingkungan sosial, fisk dan keadaan
alam lainnya. Jika penelitiatelah mengenalnya, maksud dan tujuan lainnya
ialah untuk membuat peneliti mempersiapkan diri, mental maupun fisik,
serta menyiapkan perlengkapan yang diperlukan.
e. Memilih dan memanfaatkan informan.
Memilih dan memanfaatkan informan yang ada sangat berguna sekali dalam
membantu proses penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Kegunaan
informan bagi peneliti adalah membantu agar secepatnya dan tetap seteliti
mungkin dapat membenamkan diri dalam konteks setempat terutama bagi
peneliti yang belum mengalami latihan etnografi. Selain itu pemanfaatan
informan agar dalam waktu yang relatif singkat dapat diketahui informasi
yang banyak.
Upaya untuk menemukan informan yang baik dan dapat dipertanggung
jawabkan dapat dilakukan dengan cara, melalui keterangan orang yang
berwewenang, melalui wawancara pendahuluan yang dilakukan oleh
peneliti. Dalam hal tertentu, informan perlu direkrut seperlunya dan diberi
tahu tentang maksud tujuan penelitian jika mungkn dilakukan.
f. Menyiapkan perlengkapan penelitian.
Penyiapan perlengkapan penelitian harus dilakukan sesegera mungkin,
dengan harapan agar supaya kebutuhan dari peneliti dapat terpenuhi secara
keseluruhan. Peneliti hendaknya menyiapkan tidak hanya perlengkapan
fisik, tetapi segala macam perlengkapan penelitian yang diperlukan. Yang
penting ialah peneliti sejauh mungkin sudah menyiapkan segala alat dan
perlengkapan penelitian yang diperlukan sebelum ia terjun ke dalam kancah
penelitian.
g. Persoalan etika penelitian.
Etika merupakan hal yang paling esensial dalam penelitian, karena baik
buruknya hasil penelitian ditentukan oleh faktor ini. Salah satau ciri utama
dari penelitian adalah orang sebagai alat mengumpulkan data. Hal itu
dilakukan dalam pengamatan berperan serta, wawancara mendalam,
pengumpulan dokumen, foto, dan sebagainya. Seluruh metode itu pada
dasarnya menyangkut hubungan peneliti dengan orang atau subjek
penelitian. Karena itu, penting kiranya bagi setiap peneliti untuk memahami
kondisi sosio-cultural tempat dimana penelitian itu dilakukan sehingga
sikap etik harus menyertai peneliti yang disesuaikan dengan kondisi
tersebut.
2. Tahap pekerjaan lapangan.
a. Memahami latar penelitian dan persiapan diri.
Pemahaman teradap latar penelitian diperlukan untuk memasuki pekerjaan
di lapangan, peneliti perlu memahami latar penelitian terlebih dahulu.
Disamping itu ia perlu mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun
mental disamping ia harus mengingat persoalan etika sebagai yang telah
diuraikan sebelumnya. Peneliti hendaknya mengenal adanya latar terbuka
dan latar tertutup. Disamping itu, peneliti hendaknya tahu menempatkan
diri, apakah ia sebagai peneliti yang dikenal atau tidak.
b. Memasuki lapangan.
Ketika seorang peneliti telah memasuki lapangan, maka hendaknya peneliti
membina hubungan berupa raport, dalam arti hubungan antara peneliti dan
subjek yang diteliti melebur menjadi satu sehingga seolah-olah tidak ada
lagi dinding pemisah di antara keduanya. Dengan demikian subjek dengan
sukarela dapat menjawab pertanyaan atau memberikan informasi yang
diperlukan oleh peneliti.
3. Tahap analisa data.
Tahapan akhir dari prosedur penelitian ini adalah analisa data. Analisa data
menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam
suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Analisis data bermaksud pertama-
tama mengorganisasikan data. Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari
catatan lapangan dan komentar peneliti, gambar, foto, dokumen berupa laporan,
biografi, artikel. Analisa dalam hal ini mengatur urutan data, memberikan kode
dan mengkategorikannya. Analisa ini bertujuan menemukan tema dan hipotesis
kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif.
Dari sini dapat ditarik suatu benang merah bahwa analisa data itu
dilakukan dalam suatu proses. Proses berarti pelaksanaannya sudah mulai
dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif, yaitu
sesudah meninggalkan lapangan. Dalam hal ini dianjurkan agar analisa data dan
penafsirannya secepat mungkin dilakukan oleh penulis, jangan sampai menjadi
kadaluwarsa, karena dikhawatirkan data-data yang ada akan hilang atau
berantakan, sehingga sangat memungkinkan kualitas data penelitiannya akan
menjadi berkurang dan bahkan tidak sesuai dengan target atau tujuan dari
penelitian yang dilakukan semula.
DAFTAR PUSTAKA
Bertran Russel, 1974, History of Western Philosophy, London, George Allen dan
Unwin.
___________, 1982, Partisipant Opservation in Organizational Setting, Syracuse,
N.Y,; Syracuse Universiti Press.
___________. dan Sari Knopp Biklen, 1982, Qualitative Research of Education:
An introductions to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Burhanuddin Salam, 1997, Logika Materil : Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rineka
Cipta, Jakarta.
_______________, 1988, Logika Formal (Filsafat Berpikir), Bina Aksara, Jakarta.
I.R. Poedjawijatna, 1986, Logika : Filsafat Berpikir, Bina Aksara, Jakarta.
Julia Brannen, 1996, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif,
Pustaka Pelajar Offset Yogyakarta.
___________, 1997, Memadu Metode Penelitan Kualitatif dan Kuantitatif,
Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda. Pustaka Pelajar.
Sudarto, 1997, Metodologi Penelitian Filsafat, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Lexy J. Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Lincoln, Yvonna Sebagai, dan Egon G. Guba, 1985, Naturalistic Inquiry Beverly
Hills : Sage Publications.
M. Kasiram, 2003, Strategi Penelitian Tesis Program Magister By Research, PPS
UIIS Malang.
Sudarto, 1997, Metodologi Penelitian Filsafat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suharsimi Arikunto, 2000, Manajemen Penelitian. Rineka Cipta.
Sumartoyo Harjosatoto dan Endang Daruni Asydi, Pengantar Logika Moder, jilid
I, Yogyakarta, Karya Kencana, 1979.
The Liang Gie, 2000, Pengantar Filasafat Ilmu. Liberty, Yogyakarta.
Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2001, Fakultas filsafat UGM. Filsafat ILmu. Liberty.
Yogyakarta.
PERCOBAAN
Percobaan atau disebut juga eksperimen (dari Bahasa Latin: ex-periri yang
berarti menguji coba) adalah suatu set tindakan dan pengamatan, yang dilakukan
untuk mengecek atau menyalahkan hipotesis atau mengenali hubungan sebab
akibat antara gejala. Dalam penelitian ini, sebab dari suatu gejala akan diuji untuk
mengetahui apakah sebab (variabel bebas) tersebut mempengaruhi akibat
(variabel terikat). Penelitian ini banyak digunakan untuk memperoleh
pengetahuan dalam bidang ilmu alam dan psikologi sosial.
WILHELM WUNDT, PERINTIS PENELITIAN PERCOBAAN
Penelitian eksperimen semula diambil dari Ilmu Alam dan dimulai dalam
studi ilmu psikologi. Wilhelm M. Wundt, seorang psikolog dari Jerman,
memperkenalkan metode eksperimen ke dalam studi psikologi. Wundt mendirikan
sebuah laboratorium eksperimen dan dijadikan sebagai contoh oleh para ilmuwan
sosial. Akhir abad 18, Jerman sebagai pusat pengetahuan berhasil mengundang
para ilmuwan sosial dari seluruh dunia untuk mempelajari metode tersebut.
Menjelang tahun 1900, peneliti dari Amerika dan berbagai universitas di
dunia mendirikan laboratorium psikologi untuk melakukan penelitian eksperimen.
Kelahiran penelitian eksperimen dalam ilmu sosial telah mengubah pendekatan
ilmu sosial yang filosofis, introspektif, dan integratif menjadi interpretif. Pada
masa Perang Dunia II, penelitian eksperimen mulai banyak digunakan dalam
bidang sosial untuk menjelaskan studi mengenai mental manusia dan kehidupan
sosial secara objektif dan tidak bias.
Perluasan penggunaan metode eksperimen pada era ini ditandai dengan:
1. Behaviorisme, yang menekankan pada studi mengenai pengukuran
tingkah laku sebagai ekspresi mental seseorang.
2. Kuantifikasi, yang menekankan penghitungan fenomena sosial dengan
angka-angka. Dalam ilmu sosial, penghitungan berbasis angka banyak
diterapkan dalam statistika sosial.
3. Perubahan dalam subjek penelitian. Penelitian eksperimen pada
awalnya menekankan peneliti profesional sebagai subjek dari penelitian
tersebut. Namun dalam perkembangannya, subjek penelitian
eksperimen berupa orang-orang awam yang belum dikenalnya,
sehingga objektifitas dari hasil penelitian tersebut lebih terjamin.
4. Aplikasi praktis. Penelitian eksperimen diterapkan secara praktis dalam
berbagai hal untuk menguji hubungan sebab akibat.
Tahun 1950 dan 1960, metode penelitian eksperimental ini sudah banyak
digunakan dalam peneliti sebagai cara untuk menguji hipotesa dengan standard
error yang kecil. Memasuki tahun 1970, penelitian eksperimen semakin banyak
digunakan untuk mengevaluasi penelitian. Dan sampai saat ini, penelitian
eksperimen merupakan penelitian yang banyak digunakan karena sifatnya yang
logis, sederhana, konsisten, memerlukan sedikit biaya, dan secara jelas
menggambarkan hubungan sebab akibat antar gejala.
KARAKTERISTIK
Penelitian percobaan setidaknya memiliki 3 (tiga) ciri utama, yakni:
1. Secara khas menggunakan kelompok kontrol sebagai garis dasar untuk
dibandingkan dengan kelompok yang dikenai perlakuan eksperimental.
2. Menggunakan sedikitnya dua kelompok percobaan.
3. Berfokus pada keabsahan ke dalam (internal validity).
Contoh: dalam sebuah penelitian yang menguji mengenai pengaruh
tayangan kriminalitas terhadap tingkat agresifitas anak, terdapat dua kelompok
yang masing-masing beranggotakan 15 orang. Kelompok pertama dimasukkan ke
dalam sebuah ruangan selama beberapa waktu dan sengaja hanya diberikan
tayangan kriminalitas, sedangkan kelompok kedua dibiarkan untuk memilih
menonton tayangan apa saja. Setelah beberapa waktu, dapat dibandingkan hasil
percobaan yang telah kita lakukan terhadap kelompok pertama dan kelompok
kedua.
Secara garis besar, langkah yang ditempuh dalam penelitian percobaan
adalah:
1. Menetapkan topik penelitian.
2. Menyempitkannya dalam pertanyaan penelitian.
3. Mengembangkan hipotesa.
4. Merancang desain penelitian eksperimen yang baik.
5. Menetapkan berapa jumlah kelompok.
6. Menentukan kapan dan bagaimana memasukkan stimulus.
7. Menentukan kapan melakukan pengukuran variable terikat.
8. Membuat analisa dan kesimpulan akhir.
HAL-HAL YANG PERLU DISIAPKAN
Langkah awal melakukan penelitian percobaan adalah dengan menentukan
kelompok mana yang menjadi kelompok eksperimen (kelompok yang diberi
stimulus), kelompok mana yang menjadi kelompok kontrol (kelompok yang tidak
diberi stimulus), apa stimulus yang diberikan, dan cara pengambilan sampel
tersebut. Cara pengambilan sampel tersebut dibedakan menjadi pembagian acak
(random assignment) dan pencocokkan (matching). Pembagian acak berarti
membagi sampel yang telah dipilih menjadi dua kelompok secara acak, tanpa
berdasar pada urutan tertentu dengan tujuan pembandingan. Pencocokkan berarti
membagi sampel tersebut berdasarkan kesamaan karakteristik tertentu.
Pengambilan berdasarkan pencocokkan ini jarang dilakukan karena sulitnya
peneliti untuk menemukan kesamaan antara subjek-subjek penelitian.
Setelah membagi ke dalam dua kelompok tersebut, peneliti
membandingkan hasil percobaan antara kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Sebelum melakukan percobaan, pihak peneliti akan melakukan test awal
(pretest) untuk mengamati gejala variable terikat sebelum diberikan stimulus.
Setelah percobaan berakhir, pihak peneliti akan melakukan test akhir (posttest)
untuk membandingkan adanya pengaruh variable sebab terhadap variable akibat.
Dari sana, hubungan sebab akibat antar gejala akan teruji.
JENIS
Secara garis besar, penelitian percobaan (eksperimen) terbagi menjadi
penelitian laboratorium (laboratory experiment) dan penelitian lapangan (field
experiment). Masing-masing penelitian tersebut memliki kelebihan dan
kelemahan tersendiri.
PENELITIAN LABORATORIUM
Penelitian laboratorium merupakan penelitian yang dilakukan dalam
ruangan tertutup, dimana kelompok eksperimen dijauhkan dari variable
pengganggu sebab dapat memengaruhi hasil dari pengujian hubungan sebab
akibat.
Kelebihan penelitian ini adalah hasil dari penelitian ini lebih dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya karena hanya memfokuskan pada
pengujian hubungan sebab dan akibat.
Kelemahan penelitian laboratorium adalah penelitian ini belum tentu dapat
diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari.
PENELITIAN LAPANGAN
Penelitian lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dalam ruangan
terbuka, dimana kelompok eksperimen masih dapat berhubungan dengan faktor-
faktor luar.
Kelebihan penelitian lapangan adalah hasil penelitian ini dapat
diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Kelemahan penelitian lapangan adalah tingkat kepastian hubungan sebab
akibat tidak sebesar pada penelitian laboratorium karena sulitnya untuk
mengontrol variabel-variabel pengganggu.
TIPE-TIPE DESAIN
Ada beberapa tipe desain yang biasa digunakan oleh para peneliti dalam
penelitian eksperimen, yakni:
1. Tipe desain klasik (classical experimental design).
Dalam tipe ini, pembagian dua kelompok subjek penelitian dilakukan
secara pembagian acak (random assignment). Pada kelompok
eksperimen, pertama-tama dilakukan pengamatan awal, lalu diberikan
stimulus, dan untuk mengetahui hasilnya dilakukan pengamatan akhir.
Pada kelompok kontrol, dilakukan pengamatan di awal dan di akhir,
tanpa diberikan stimulus tertentu.
2. Tipe pengamatan akhir (two group posttest only).
Dalam tipe ini, pembagian dua kelompok subjek penelitian dilakukan
secara pembagian acak (random assignment). Pada kelompok
eksperimen langsung diberikan stimulus dan pengamatan akhir, tanpa
dilakukan pengamatan awal. Pada kelompok kontrol, pengamatan
hanya diberikan satu kali saja.
3. Tipe empat kelompok (solomon four group).
Tipe ini merupakan penggabungan dari tipe desain klasik dan tipe
pengamatan akhir. Dalam tipe ini, terdapat dua kelompok eksperimen
dan dua kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen pertama,
dilakukan pengamatan terlebih dahulu, lalu diberikan stimulus, dan
dilakukan pengamatan akhir. Untuk kelompok kontrol pertama,
dilakukan pengamatan awal dan pengamatan akhir. Pada kelompok
eksperimen kedua, langsung diberikan stimulus dan pengamatan akhir
tanpa pengamatan awal. Untuk kelompok kontrol kedua, pengamatan
hanya diberikan satu kali saja.
ETIKA
Dalam melakukan sebuah penelitian percobaan, terdapat etika dan aturan-
aturan yang harus diperhatikan oleh sang peneliti karena menyangkut kebebasan
dan hak asasi subjek penelitian. Berikut adalah etika penelitian percobaan:
1. Kebebasan bagi publik untuk mengakses hasil penelitian.
2. Menjaga kerahasiaan (privacy) subjek penelitian.
3. Mengirimkan hasil penelitian kepada subjek.
4. Memberikan hal subjek dan meminta persetujuan terlebih dahulu untuk
kesediaan menjadi subjek penelitian, dengan memberitahukan
konsekuensi yang muncul dalam penelitian.
5. Memberitahukan secara jujur dan jelas kepada subjek tentang prosedur
penelitian yang telah dilakukan. Hal ini dilakukan setelah penelitian
percobaan (eksperimen) selesai dilakukan.
6. Memberikan terapi atau bantuan pemulihan kepada subjek yang
mengalami akibat negatif, baik secara fisik atau psikis dari penelitian,
sampai kembali sehat seperti semula.
7. Penelitian yang melibatkan binatang harus memperhatikan akibat
negatif yang mungkin dialami binatang, seperti indera melemah,
menyendiri, serta memar atau luka fisik.