etika dan ilmu pengetahuan

34
KAITAN ANTARA ETIKA dan ILMU PENGETAHUAN PENDAHULUAN Sejauh ini hampir semua kemampuan pemikiran (thought) manusia didominasi oleh pendekatan filsafat. Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir selalu digunakannya untuk menyingkap tabir ketidaktahuan dan mencari solusi masalah kehidupan. Akan tetapi, sebelum sampai pada pembicaraan ilmu pengetahuan, seharusnya yang harus dibicarakan terlebih dahulu ialah mengenai bagaimana proses berpikir manusia (thinking process) sehingga dapat menghasilkan pengetahuan pada manusia. Pengetahuan pada manusia secara garis besar terbagi kedalam dua bagian. Pertama, konsepsi (tassawur) yaitu pengetahuan sederhana dan kedua, pembenaran (thasdiq) yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian . Artinya, proses berpikir yang manusia lakukan melalui dua tahapan yang saling melengkapi yaitu; pengetahuan yang pertama kali muncul berupa konsepsi (tassawur) atau pengetahuan sederhana dan seterusnya manusia melalui pikirannya melakukan pembenaran (thasdhiq) atau dari pengetahuan sederhana (tassawur) sampai kepada ilmu pengetahuan, pengetahuan sederhana itu diberi pembenaran sesuai dengan keyakinan manusia yang diyakininya. Selanjutnya, untuk memahami pengetahuan sebagai sesuatu yang natural (alamiah) dari sudut pandang manusia diperlukan uraian psikologi, yaitu penjelasan atau uraian tentang proses mental yang bersifat subjektif yang

Upload: abiemb5

Post on 20-Jun-2015

1.079 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Etika Dan Ilmu Pengetahuan

TRANSCRIPT

Page 1: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

KAITAN ANTARA ETIKA dan ILMU PENGETAHUAN

PENDAHULUAN

Sejauh ini hampir semua kemampuan pemikiran (thought) manusia didominasi

oleh pendekatan filsafat. Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir

selalu digunakannya untuk menyingkap tabir ketidaktahuan dan mencari solusi masalah

kehidupan. Akan tetapi, sebelum sampai pada pembicaraan ilmu pengetahuan,

seharusnya yang harus dibicarakan terlebih dahulu ialah mengenai bagaimana proses

berpikir manusia (thinking process) sehingga dapat menghasilkan pengetahuan pada

manusia. Pengetahuan pada manusia secara garis besar terbagi kedalam dua bagian.

Pertama, konsepsi (tassawur) yaitu pengetahuan sederhana dan kedua, pembenaran

(thasdiq) yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian . Artinya, proses

berpikir yang manusia lakukan melalui dua tahapan yang saling melengkapi yaitu;

pengetahuan yang pertama kali muncul berupa konsepsi (tassawur) atau pengetahuan

sederhana dan seterusnya manusia melalui pikirannya melakukan pembenaran

(thasdhiq) atau dari pengetahuan sederhana (tassawur) sampai kepada ilmu

pengetahuan, pengetahuan sederhana itu diberi pembenaran sesuai dengan keyakinan

manusia yang diyakininya. Selanjutnya, untuk memahami pengetahuan sebagai sesuatu

yang natural (alamiah) dari sudut pandang manusia diperlukan uraian psikologi, yaitu

penjelasan atau uraian tentang proses mental yang bersifat subjektif yang dikaitkan

dengan hal-hal empirik yang bersifat objektif, dari hal itu diharapkan dapat

berpengaruh pada penguasaan manusia terhadap data konkrit sehingga dapat

mendukung pada pembenaran pengetahuan.

Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran

ilmu pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan

proses sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan

proses pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement)

yang dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan. Dalam pembangungan

ilmu pengetahuan juga diperlukan beberapa tiang penyangga agar ilmu pengetahuan

dapat menjadi sebuah paham yang mengandung makna universalitas. Beberapa tiang

penyangga dalam pembangunan ilmu pengetahuan itu sebenarnya berupa penilaian

yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi . Perlunya penilaian dalam

Page 2: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

pembangunan ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan

terhadap ilmu pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara umum. Sampai

sejauh ini, didunia akademik panutan pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada

proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah

mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses

berpikir yang ada diluar dunia ilmiah. Dengan alasan itu berpikir ilmiah dalam ilmu

pengetahuan harus mengikuti cara filsafat pengetahuan atau epistemologi, sementara

dalam epistemologi dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh

pengetahuan secara ilmiah disebut filsafat ilmu.

Teori Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge atau ilmu) adalah bagian yang esensial- aksiden

manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah)

adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-

nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan "barangkali" keunggulannya

dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini

tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin

diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan

dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu

benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-

pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam

realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu

maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu

yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu

yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam

pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan.

Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world

view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari

kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.

Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-

masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu

tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa

Page 3: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu tentang

ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah).

Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu

sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam

kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa

pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti,

Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-

nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan

"Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di

bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh

perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka

hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam

segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka

telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi

mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran

sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah

hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan

pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari

alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan

berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun

secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran

rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul

Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste

Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon

dengan Sensualismenya.

Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena

dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan,

meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan

terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan

agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai

ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al

Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi.

Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.

Page 4: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

Filsafat

Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari

dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama

kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. Dia menggunakan kata ini karena

dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas

pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia

memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.

Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri

mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang

mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka

katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis,

artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap

benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan

seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa

kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam

upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin

dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka

yang sok pandai. Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan

lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil

yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.

Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia.

Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis.

Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu

pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang

ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2)

urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik.

Peran Filsafat Ilmu Dalam Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan ilmiah) harus diperoleh dengan

cara sadar, melakukan sesuatu tehadap objek, didasarkan pada suatu sistem, prosesnya

menggunakan cara yang lazim, mengikuti metode serta melakukannya dengan cara

berurutan yang kemudian diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang

Page 5: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

kebenaran ilimiahnya (kesahihan). Dengan demikian pendekatan filsafat ilmu

mempunyai implikasi pada sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur,

harus memenuhi aspek metodologi, bersifat teknis dan normatif akademik. Pada

kenyataannya filsafat ilmu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu,

perkembangannya seiring dengan pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh

karena itu filsafat sains modern yang ada sekarang merupakan output perkembangan

filsafat ilmu terkini yang telah dihasilkan oleh pemikiran manusia.

Filsafat ilmu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran yang dipakai

dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh pemikir dalam filsafat ilmu yang telah

mempengaruhi pemikiran sains modern yaitu Rene Descartes (aliran rasionalitas) dan

John Locke (aliran empirikal) yang telah meletakkan dasar rasionalitas dan empirisme

pada proses berpikir.

Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai alat penggali

empiris sehingga terselenggara proses “create” ilmu pengetahuan. Akumulasi

penelaahan empiris dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui

metodologi diharapkan dapat menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan

menjadi semakin rasional. Akan tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah

adalah justru terletak pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir

rasional, sehingga dalam pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran

membedakan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang rasional.

Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya merupakan sebagian dari

berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir rasional ini menyebabkan

ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat dipercaya secara keilmuan

melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Kalau

sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara rasional, maka dengan

meningkatnya intensitas penelitian maka kecenderungan berpikir rasional ini akan

beralih pada kecenderungan berpikir secara empiris. Dengan demikian penggabungan

cara berpikir rasional dan cara berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam

penelitian ilmiah hakikatnya merupakan implementasi dari metode ilmiah.

Berdasarkan terminologi, empiris mempunyai pengertian sesuatu yang

berdasarkan pemerhatian atau eksperimen, bukan teori , atau sesuatu yang berdasarkan

pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang

telah dilakukan).

Page 6: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

Dengan demikian sesuatu yang empiris itu sangat tergantung kepada fakta

(sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan), hanya saja fakta yang dibuktikan melalui

penginderaan dalam dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah diamati,

melainkan penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian pengamatan pada

fakta disebabkan oleh pengamatan manusia yang tidak sempurna sehingga

mengakibatkan semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang mungkin

berubah dengan berubahnya pengamatan.

Rasional mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan taakulan, menurut

pertimbangan atau pikiran yang wajar, waras atau sesuatu yang dihasilkan menurut

pikiran dan timbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal,

menurut rasio, menurut nisbah (patut). Dengan demikian rasionalitas mencakup dua

sumber pengetahuan, yaitu; pertama, penginderaan (sensasi) dan kedua, sifat alami

(fitrah) . Implikasi dari sensasi dan fitrah di atas bisa berpengaruh pada bentuk

pemahaman rasional sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak

hanya didapatkan dari proses penginderaan saja, karena proses penginderaan hanya

merupakan upaya memahami empirikal. Sementara, pemahaman rasional mengandung

makna bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan pengetahuan-

pengetahuan yang tidak muncul dari hasil penginderaan saja.

Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir

rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan

itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah

tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak

dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra

rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin

kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan

dogma dalam ilmu pengetahuan.

Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap benar dan

seharusnya dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian atau pokok

ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan

diragukan. Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran pada sesuatu masa yang

dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan kesadaran yang ada atau

model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir . Dari terminologi di atas dogma dan

paradigma sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma merupakan kata

Page 7: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

lain dari paradogma atau dogma primer. Dogma primer ialah prinsip dasar dan landasan

aksiom yang kadar kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah self

evident atau benar dengan sendirinya. Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya

paradigma dalam membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada

kebutuhan adanya rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila

pengetahuan yang dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional,

empirikal dan objektif maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau

tidak mempunyai kesahihan. Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan

konsistensi yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya.

Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat

diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu

pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat

kepada kehidupan dunia. Oleh karena itu kita tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan

dapat berkembang oleh dirinya sendiri, jika kita memilih berpikir seperti itu maka

sebenarnya kita telah berupaya memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan

menjawab permasalahan kehidupan. Hal ini perlu dipahami secara bijak karena

permasalahan kehidupan saat ini sudah mencapai pada suatu keadaan yang kritis, yaitu

krisis yang kompleks dan multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang

berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian jika kita mempertanyakan

penyesuaian apa yang dapat dilakukan ilmu pengetahuan dengan kenyataan kehidupan

(realitas), maka perubahan paradigma ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk

mengatasi krisis yang cukup serius.

Tingkatan Aksiologi Pengetahuan

Dalam filsafat ilmu, menurut Bertrand Russel, tahap ini disebut juga tahap

manipulasi. Dalam tahap ini, ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam

untuk tujuan pengertian dan pemahaman (ontologi dan epistemologi), melainkan juga

untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dengan alam untuk mengontrol dan

mengarahkan proses-proses alam yang terjadi. Konsep ilmiah tentang gejala alam

sifatnya abstrak menjelma bentuk jadi kongkret berupa teknologi, misalnya.

Teknologi yang dapat diartikan sebagai penerapan konsep-konsep ilmiah untuk

memecahkan persoalan-persoalan praktis, dalam perjalan dan pencapaian-

pencapaiannya, justru menimbulkan masalah lain. Eksesnya yang dapat disebutkan

Page 8: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

misalnya dehumanisasi, degradasi eksistensi kemanusiaan, dan pengrusakan

lingkungan hidup. Sejarah kehidupan manusia memang telah mencatatkan bahwa

Perang Dunia I dan II merupakan ajang pemanfaatan hasil temuan-temuan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Penggunaannya secara destruktif ini menimbulkan

kontroversi. Pada satu sisi hal itu menimbulkan efek kehancuran pada manusia dan

alam, sementara pada sisi lainnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

kemudian banyak dimanfaatkan dalam peperangan dan kehancuran alam adalah bagian

dari rangkain perjalan ilmu untuk mengunkap hakikat gejala alam dan manusia.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sering melupakan faktor-faktor

manusia. Misalnya, manusia mesti menyesuaikan diri terhadap teknologi-teknologi

baru.

Akhirnya, eksistensi manusia terpinggirkan dalam kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi.

Bencana-bencana yang ditimbulkan oleh pamanfaatan ilmu pengetahuan dan

teknologi (science and technology) antara kerusakan ekologi. Banyak yang dapat

disebutkan tentang kehancuran ekologi: kontaminasi air, udara, tanah, dampak rumah

kaca, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan, pengrusakan hutan, akumulasi limba-

limba toksik, penipisan laporan ozon pada atmosfir bumi, kerusakan ekosistem

lingkungan hidup, dan lain-lain. Lebih-lebih lagi, musuh kemanusiaan, yaitu perang.

Perang Dunia I dan II yang meluluhlantakkan Eropa dan sejumlah kawasan di Asia dan

Pasifik menggoreskan luka kemanusiaan. Berapa korban manusia berguguran akibat

bom atom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki, Jepang.

Atau kawasan Asia Tengah, yaitu Afganistan yang menjadi ajang ujicoba

penemuan mutakhir teknologi perang buatan Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang

Rusia).

Pada akhirnya ilmuan memang tiba pada opsi-opsi: apakah ilmu pengetahuan

netral dari segala nilai atau justru batas petualangan dan prospek pengembangan ilmu

pengetahuan tidak boleh mengingkari suatu nilai, seperti nilai moral, religius, dan

ideologi. Ilmu pengetahuan sudah sangat jauh tumbuh dan berkembang untuk dirinya

sendiri, sementara teknologi atau ilmu pengetahuan terapan lain terus bergulir

mengikuti logika dan perspektifnya sendiri—dalam hal ini tak ada nilai-nilai lain yang

diizinkan memberikan kontribusi. Kecemasan tertinggi di tengah kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi terjadi ketika ilmu kedokteran berhasil menyelesaikan

Page 9: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

proyek eksperimennya mengembangkan janin dengan metode yang disebut “bayi

tabung”.

Lalu kemudian ternyata masih ada yang lebih mutakhir dari pada “bayi tabung”

itu, yakni suksesnya para ilmuan merampungkan eksperimen kloningnya. Yang terakhir

ini mengubah hakikat manusia secara dramatis; ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh

manusia mampu menciptakan manusia juga. Bahkan, ilmu pengetahuan yang

diproyeksi untuk membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan

hidupnya, justru berkembang dimana ilmu pengetahuan dan atau teknologi itu sendiri

mengkreasikan tujuan-tujuan hidup itu sendiri.

Pertentangan Aksiologis: Ilmuwan dan Humanis

Kalangan humanis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan etis yang

penting. Antara lain pertanyaan itu adalah: untuk apa sebenarnya ilmu harus

dipergunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan ini

tidak urgen bagi ilmuan dan tidak merupakan tanggung jawab bagi perkembangan ilmu

pengetahuan itu sendiri. Penelaahan tujuan ilmu pengetahuan itu dikembangkan dan

diterapkan, untuk tulisan ini, cukup penting.

Karena ide dasar penerapan hasil-hasil ilmu pengetahuan adalah untuk

meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan manusia. Seperti disebutkan

sebelumnya, ekspektasi besar manusia pada ilmu pengetahuan bahwa itu dapat

membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Namun yang

terjadi kemudian adalah absuditas (paradoks): bahwa ilmu pengetahuan justru

membiaskan kehancuran dan malapetaka bagi alam dan manusia (kehancuran itu telah

disebutkan pada pragraf sebelumnya).

Adakah ini berarti bahwa gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

sebaiknya cukup sampai di sini? Atau boleh dilanjutkan tetapi menurut konsideran dari

otoritas-otoritas tertentu (bukan otoritas administratif dan institusi keagamaan atau

ideologi)? Akan tetapi, bila ruang gerak prospek ilmu pengetahuan dan teknologi ini

dipagari, berarti kita telah melangkah mundur hingga pada jamannya Galileo atau

Socrates. Konsekuensinya, kemandirian ilmu pengetahuan untuk berkembang terkebiri,

sementara problem yang muncul sesungguhnya tidak bersumber pada pencapaian ilmu

pengetahuan dan teknologi itu.

Page 10: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

Untuk sementara, dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis terbentuknya

pengetahuan perlu diungkit kembali untuk mempetakan persoalan yang ditimbulkan

oleh pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut dasar-dasar ini,

suatu pengetahuan merupakan hasil kontemplasi yang menguak hakikat realitas alam

dan manusia sebagai suatu obyek empiris (tahap ontologis). Ketika realitas yang

berbentuk obyek itu berusaha dipahami dan dimengerti (diketahui), maka itulah tahap

epistemologis. Intervensi kepentingan manusia dan nilai-nilai etika, moral, dan agama

tidak ditemukan dalam tahap ini dan memang tidak relevan ditempatkan dalam proses

itu. Ketika ada pertanyaan tentang manfaat pengetahuan itu bagi kehidupan manusia,

berarti yang dimaksudkan adalah tahap aksiologis dari pengetahuan itu. Dalam tahap

ini, persitwa alam dan manusia tidak lagi bergerak secara orisinal menurut

kecenderungan alamiahnya, tetapi sudah merupakan proses yang artikulatif dan

manipulatif. Dalam artian bahwa, kepentingan manusia sudah dapat berinfiltrasi ke

dalam penerapan pengetahuan itu.

Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keilmuan suatu

pengetahuan yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal ini dimungkinkan

karena adanya kemampuan manusia melakukan artikulasi dan manipulasi terhadap

kejadian-kejadian alam untuk kepentingannya. Kepentingan manusia sangat ditentukan

oleh motif dan kesadaran yang pada manusia itu sendiri. Jadi, fokus persoalan ilmu

pengetahuan pada tingkat aksiologis ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka

tinjauan kita tentang manusia akan sangat membantu memahami dan menyusun

pengertian tentang bagaimana sebaiknya ilmu pengatahuan dan teknologi diteruskan

pengembangannya dalam tataran aksiologi. Sekaligus pula diperperterang kembali

bahwa pertentangan antara kalangan humanis dan ilmuan pada abad ini adalah berkisar

pada tingkatan aksiologis itu. Berbeda pada zamam Copernicus atau Galileo, di mana

ilmuan bertentangan dan saling mempertahankan keyakinan dengan kalangan gerja

pada tataran ontologis. Oleh karena itu, tuntutan kemanusiaan pada wilayah aksiologi

ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendapat permakluman secara luas.

Aspek Etika (Moral) Ilmu Pengetahuan

Kembali, kita akan fokus pada manusia sebagai manipulator dan artikulator

dalam mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri

daru Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian

Page 11: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama)

dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos

(destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar.

“Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani. Dalam agama,

ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).

Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka

dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat

pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya dalam

pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi

optimal, maka tentu—atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak

manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan—amatlah nihil

kebaikan yang diperoleh manusia, atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali

perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari

kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.

Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah

hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar

kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga

punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk

mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak

bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan

mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan

teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan

manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.

Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought

to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau

good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani.

Bernaung di bawah filsafat moral . Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan

kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan

mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada

dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang

pelaksananya (executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang subyek

Page 12: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

berhadap opsi baik atau buruk—yang baik itulah materi kewajiban ekskutor dalam

situasi ini.

Peran Etika (Moral) Dan Dilema Yang Muncul

Peranan moral akan sangat kentara ketika perkembangan ilmu terjadi pada saat tahap

peralihan dari kontemplasi ke tahap manipulasi. Pada tahap kontemplasi, masalah

moral berkaitan dengan metafisik keilmuan, sedangkan pada tahap manipulasi masalah

moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah itu sendiri. Dengan kata

lain ketika ilmu dihadapkan pada kenyataan, maka yang dibicarakan adakah tentang

aksiologi keilmuan.

Sebelum menentukan sejauhmana peran moral dalam penggunaan ilmu atau

teknologi, ada dua kelompok yang memandang hubungan antara ilmu dan moral.

Kelompok pertama, memandang bahwa ilmu itu harus bersifat netral, bebas dari nilai-

nilai ontologi dan aksiologi.

Dalam hal ini, fungsi ilmuwan adalah menemukan pengetahuan selanjutnya

terserah kepada orang lain untuk mempergunakan untuk tujuan baik atau buruk.

Kelompok pertama ini ingin melanjutkan tradisi kenetralannya secara total seperti pada

waktu Galileo. Kelompok kedua, berpendapat bahwa kenetralan terhadap nilai

hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan

pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Hal

ini ditegaskan oleh Charles Darwin bahwa kesadaran kita akan moral dalam

penggunakan ilmu kita sejogyanya menggunakan pikiran kita.

Analisa perkembangan selanjutnya dengan apa yang sudah terjadi, kelompok

yang mengedepankan nilai moral mengkhawatrirkan terjadinya de-humanisasi, di mana

martabat manusia menjadi lebih rendah, manusia akan dijadikan obyek aplikasi

teknologi kelimuan.

Hal ini berkaitan peristiwa yang terjadi selama ini, yaitu : (1) Secara faktual

telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya

Perang Dunia II. (2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan sangat esoterik (hanya

diketahui oleh orang-orang tertentu saja) sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui

ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan. (3) Ilmu telah

berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat

Page 13: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

mengubah manusia dan kemanusiaannya yang paling hakiki seperti pada revolusi

genetika dan teknik perubahan sosial.

Persoalan baru yang muncul saat menerapkan nilai moral ialah konflik yang

menimbulkan dilema nurani mana yang baik, benar, yang mana yang tidak dan mana

yang selayaknya.

Disinilah, etika memainkan peranannya, etika berkaitan dengan “apa yang

seharusnya” atau terkait dengan apa yang baik dan tidak baik untuk kita lakukan serta

apa yang salah dan apa yang benar. Menurut J.Osdar, oleh filsuf Yunani kuno,

Aristoteles, kata etika dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Kata moral punya arti

sama dengan kosakata etika. Kata moral berasal dari bahasa Latin, yakni mos

(jamaknya mores). Artinya kebiasaan, adat. Di sini kata moral dan etika punya arti

sama.

Dari pemahaman tersebut, maka etika menjadi acuan atau panduan bagi ilmu

dalam realisasi pengembangannya. Untuk mengatasi konflik batin dikemukakan teori-

teori etika yang bermaksud untuk menyediakan konsistensi dan koheren dalam

mengambil keputusan–keputusan moral. Teori–teori etika tersebut adalah :

1. Konsekuensialisme. Teori ini menjawab “apa yang harus kita lakukan”, dengan

memandang konsekuensi dari bebagai jawaban. Ini berarti bahwa yang harus

dianggap etis adalah konsekuensi yang membawa paling banyak hal yang

menguntungkan, melebihi segala hal merugikan, atau yang mengakibatkan

kebaikan terbesar bagi jumlah orang terbesar. Manfaat paling besar daru teori

ini adalah bahwa teori ini sangat memperhatikan dampak aktual sebuah

keputusan tertentu dan memperhatikan bagaimana orang terpengaruh.

Kelemahan dari teori ini bahwa lingkungan tidak menyediakan standar untuk

mengukur hasilnya.

2. Deontologi, berasal dari kata Yunani deon yang berarti “kewajiban”. Teori ini

menganut bahwa kewajiban dalam menentukan apakah tindakannya bersifat etis

atau tidak, dijawab dengan kewajiban-kewajiban moral. Suatu perbuatan

bersifat etis, bila memenuhi kewajiban atau berpegang pada tanggungjawab,

Jadi yang paling penting adalah kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan, karena

hanya dengan memperhatikan segi-segi moralitas ini dipastikan tidak akan

menyalahkan moral. Manfaat paling besar yang dibawakan oleh etika

deontologis adalah kejelasan dan kepastian. Problem terbesar adalah bahwa

Page 14: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

deontologi tidak peka terhadap konsekuensi-konsekuensi perbuatan. Dengan

hanya berfokus pada kewajiban, barangkali orang tidak melihat beberapa aspek

penting sebuah problem.

3. Etika Hak. Teori ini memandang dengan menentukan hak dan tuntutan moral

yang ada didalamnya, selanjutnya dilema-dilema ini dipecahkan dengan

hirarkhi hak. Yang penting dalam hal ini adalah tuntutan moral seseorang yaitu

haknya ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Teori hak ini pantas dihargai

terutama karena terkanannya pada nilai moral seorang manusia dan tuntutan

moralnya dalam suatu situasi konflik etis. Selain itu teori ini juga menjelaskan

bagiaman konflik hak antar individu. Teori ini menempatkan hak individu

dalam pusat perhatian yang menerangkan bagaimana memecahklan konflik hak

yang bisa timbul.

4. Intuisionisme, teori ini berusaha memecahkan dilema-dilema etis dengan

berpijak pada intuisi, yaitu kemungkinan yang dimiliki seseorang untuk

mengetahui secara langsung apakah sesuatu baik atau buruk. Dengan demikian

seorang intuisionis mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk berdasarkan

perasaan moralnya, bukan berdasarkan situasi, kewajiban atau hak. Dengan

intuisi kita dapat meramalkan kemungkinan-kemunginan yang terjadi tetapi kita

tidak dapat mempertanggungjawabkan keputusan tersebut karena kita tidak

dapat menjelaskan proses pengambilan keputusan.

Etika menjadi acuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena penghormatan

atas manusia. Sebagaimana dikemukakan, fisuf Jerman, Imanuel Kant, penghormatan

kepada martabat manusia adalah suatu keharusan karena manusia adalah satu-satunya

makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya, tidak boleh ditaklukkan untuk tujuan

lain.

Problematika Etika dan Tanggungjawab Ilmu Pengetahuan

Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai

yang letaknya di luar ilmu pengetahuan , dapat diungkapkan juga dengan rumusan

singkat bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas . Namun demikian jelaslah

kiranya bahwa kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama

dengan ketidakterikatan mutlak. Patutlah kita menyelidiki lebih lajut bagaimana

kebebasan ini.

Page 15: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal: kemungkinan

untuk memilih dan kemampuan atau hak subjek bersangkutan untuk memilih sendiri.

Supaya terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan bukan penentuan dari luar.

Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom,

tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan.

Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun

penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk

memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem,

bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan

bersifat universal.

Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan

memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.

Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan

“menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik

bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh

eksistensi manusia.

Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu di cegah

perkembangannya, karena sudah jamaknya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman,

lebih lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa

manusia sekarang hidup dalam kondisi sosio-tekhnik yang semakin kompleks.

Khususnya ilmu pengetahuan – berbentuk tekhnologi – pada masa sekarang tidak lagi

sekedar memenuhi kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi

keinginan manusia. Sehingga seolah-olah sekarang ini tekhnologilah yang menguasai

manusia bukan sebaliknya.

Kita yakin adanya kenyataan bahwa antara ilmu pengetahuan theoria dengan

penerapan praksisnya sukar sekali dipisahkan. Tetapi jelas karena sudah menyangkut

relasi antar manusia yang bersifat nyata, dan bukan sekedar perbincangan teoritik

“awang-awang” harus dikendalikan secara moral. Sebab ilmu pengetahuan dan

penerapannya yang – yang berupa tekhnologi – apabila tidak tepat dalam mewujudkan

nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia akan dapat menimbulkan

ketidakadilan karena ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, pengurangan

kualitas manusia karena martabat manusia justru direndahkan dengan menjadi budak

teknologi, kerisauan social yang mungkin sekali dapat memicu terjadinya penyakit

Page 16: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

sosial seperti meningkatnya tingkat kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak

terkendali, pelacuran dan sebagainya. Terjadi pula fenomena depersonalisasi,

dehumanisasi, karena manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk

spiritual. Bahkan dapat memicu konflik-konflik sosial- politik, karena menguasai ilmu

pengetahuan (tekhnologi) dapat memperkuat posisi politik atau sebaliknya orang yang

berebut posisi politik agar dapat menguasai aset ilmu dan tekhnologi. Semuanya

mengisyaratkan pentingnya etika yang mengatur keseimbangan antar ilmu pengetahuan

dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan, antara industriawan selaku

produsen dengan konsumen. Dalam bahasa Jacob lebih lanjut dikatakan bahwa ilu

pengetahuan jangan sampai merugikan manusia dan lingkungan serta tidak boleh

menimbulkan konflik internal maupun politik.

Tanggungjawab ilmu pengetahuan menyangkut juga tanggungjawab terhadap

hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dimasa lalu, sekarang,

maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan-keputusan bebas manusia

dalam kegiatannya.

Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat

mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut

tanggungjawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkan dalam perubahan

tersebut akan merupakan perubahan yang baik, yang seharusnya ; baik bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu sendiri maupun bagi

perkembangan eksisitensi manusia secara utuh. Dalam bahasa Melsen : Tanggungjawab

dalam ilmu pengetahuan menyangkut problem etis karena menyangkut ketegangan-

ketegangan antara realitas yang ada dan realitas yang seharusnya ada.

Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat

manusia rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, kedua

mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan

dipelajari. Ilmu pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang

menyadari keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah

manusia secara mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat bergua bagi manusia.

Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak

hanya mengekor secara membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu

pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat

Page 17: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

rumit ini. Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak

untuk merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.

Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang

tepat. Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa saja yang

diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang dapat

diperbuat” olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus diperbuat dan apa

yang seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia yang utuh. Pada

dasarnya mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai

kepada rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana

keputusan tindakan manusia dibidang ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas

sering dipandang banyak orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan

kesulitan apabila harus diterapkan begitu saja terhadap masalah manusia konkret.

Realitas permasalahan manusia yang bersifat konkret-empirik seolah-olah mempunyai

“kekuasaan” untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep abstrak menjabarkan

kriteria-kriteria baik buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai

dengan daerah yang ditanganinya.

Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling bertautan. Tidak

ada pengetahuan yang pada akhirnya tidak terbentur pertanyaan, “apakah sesuatu itu

baik atau jahat”. “Apa” yang dikejar oleh pengetahuan, menjelma menjadi

“Bagaimana” dari etika.

Etika dalam hal ini dapat diterangkan sebagai suatu penilaian yang

memperbincangkan bagaimana tekhnik yang mengelola kelakuan manusia. Dengan

demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada sejumlah kaidah dari

perorangan, mengenai yang halal dan yang haram. Tetapi berkembag menjadi sesuatu

etika makro yang mampu merencanakan masyarakat sedemikian rupa sehingga

manusia dapat belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang

dibangkitkannya sendiri.

Terkait dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika hanya menyebut

peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara kritis mengajukan

pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil tekhnologi

moderen dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan

kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar

memberikan isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam

Page 18: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

peristiwa aktual dan factual manusia, sehingga terjadi hubungan timbale balik dengan

apa yang sebenarnya terjadi. Etika seperti itu berdasarkan “interaksi” antara keadaan

etika sendiri dengan masalah-masalah yang mem-“bumi”.

PENUTUP

Page 19: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

Berbicara etika sama artinya dengan berbicara tentang moral atau susila,

mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan

lurus. Penilaian moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakuknya, timbul pula

perbedaan penafsiran. Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik

berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika, tetapi

juga tidak bisa serta merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban

pengambilan keputusan. Meski demikan, teori etika memberikan kerangka analisis bagi

pengembangan ilmu agar tidak melanggar penghormatan terhadap martabat

kemanusiaan.

Selain itu, pengembangan ilmu harus memperhitungkan perasaan moral dan

bukannya berdasarkan situasi, kewajiban dan hak. Pengembangan ilmu harus berpijak

pada proyeksi tentang kemungkinan yang secara etis dapat diterima oleh masyarakat

atau individu-individu manusia selaku pengguna atau penerima hasil pengembangan

ilmu (teknologi). Apa yang baik dan buruk dari hasil pengembangan ilmu harus dapat

dipertanggungjawabkan pihak yang mengembangkan ilmu (ilmuwan ataupun penemu).

Sebagaimana namanya, “intiusionisme” memang tidak bisa menjelaskan proses

pengambilan keputusan, karena berpijak pada intuisi. Ini dapat dimaknai, ilmuwan

secara pribadi, menjadi penentu pertimbangan moral dari pengembangan ilmu tersebut.

Page 20: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

DAFTAR PUSTAKA

Charis Zubeir, Ahmad. 2002. Kajian Filsafat Ilmu; Dimensi Etik dan Asketik

Ilmu Pengetahuan Manusia. Lembaga Studi Filsafat Islam; Yogyakarta

Van Melsen, A. G. M.1992. Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita Terj. Dr.

K. Bertens, PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Ed. ke 2. Jakarta: Balai Pustaka

As-Shadr, Muhammad Baqir.1995. Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali.

Bandung: Penerbit Mizan.

Kamus Dewan. 1994. Ed. ke 3. Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa.

Rosenthal, Franz. 1997. Keagungan Ilmu Terj. Syed Muhamad Dawilah Syed

Abdullah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Jujun S, Suriasumantri.,2003, “Filsasfat Ilmu”, sebuah pengantar populer.

Pustaka Sinar Harapan: Jakarta

Soewardi, Herman, 1999, “Roda Berputar Dunia Bergulir” Kognisi Baru Tentang

Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi, Bakti Mandiri, Bandung.

Page 21: Etika Dan Ilmu Pengetahuan

Berbicara etika sama artinya dengan berbicara tentang moral atau susila,

mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik

dan lurus. Penilaian moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakuknya,

timbul pula perbedaan penafsiran. Timbulnya dilema-dilema nurani yang

mengakibatkan konflik berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral,

kemudian muncul teori etika, tetapi juga tidak bisa serta merta menjadi

pegangan untuk mempertanggungjawaban pengambilan keputusan. Meski

demikan, teori etika memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu

agar tidak melanggar penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.

Selain itu, pengembangan ilmu harus memperhitungkan perasaan moral

dan bukannya berdasarkan situasi, kewajiban dan hak. Pengembangan ilmu

harus berpijak pada proyeksi tentang kemungkinan yang secara etis dapat

diterima oleh masyarakat atau individu-individu manusia selaku pengguna atau

penerima hasil pengembangan ilmu (teknologi). Apa yang baik dan buruk dari

hasil pengembangan ilmu harus dapat dipertanggungjawabkan pihak yang

mengembangkan ilmu (ilmuwan ataupun penemu). Sebagaimana namanya,

“intiusionisme” memang tidak bisa menjelaskan proses pengambilan keputusan,

karena berpijak pada intuisi. Ini dapat dimaknai, ilmuwan secara pribadi,

menjadi penentu pertimbangan moral dari pengembangan ilmu tersebut.