filsafat ilmu dan etika

33
BAB 1 PENDAHULUAN Kita tahu bahwa setiap manusia dibekali akal pikir dan logika oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai manusia kita harus memanfaatkannya dengan baik dan benar. Karena jika pemanfaatan kita salah, bisa menimbulkan masalah yang akan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dan sebaliknya, jika kita menggunakan akal pikir dan logika di jalan yang benar maka kita akan menghasilkan buah pikir yang sangat bernilai. Semakin banyak buah pikir yang kita tuangkan dalam karya tulis ilmiah maka semakin banyak pula wawasan yang berkembang. Hal ini adalah asal mula keragaman ilmu yang terbentuk di dunia. Buah pikir yang telah diakui dan dipahami oleh seluruh manusia di dunia disebut sebagai ilmu. Untuk bisa disebut ilmu, buah pikir harus melewati proses yang panjang. Salah satu caranya dengan melalui penelitian. Proses penelitian memakan waktu yang tidak sedikit. Konsep dasar filsafat ilmu adalah kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan fungsi serta kaitannya dengan implementasi kehidupan sehari-hari. Pembahasan filsafat ilmu juga mencakup sistematika, permasalahan, keragaman pendekatan dan paradigma (pola pikir) dalam pengkajian dan pengembangan ilmu. 1

Upload: rizky-kiky-kusumawardhani

Post on 24-Sep-2015

72 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Filsafat

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

Kita tahu bahwa setiap manusia dibekali akal pikir dan logika oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai manusia kita harus memanfaatkannya dengan baik dan benar. Karena jika pemanfaatan kita salah, bisa menimbulkan masalah yang akan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dan sebaliknya, jika kita menggunakan akal pikir dan logika di jalan yang benar maka kita akan menghasilkan buah pikir yang sangat bernilai. Semakin banyak buah pikir yang kita tuangkan dalam karya tulis ilmiah maka semakin banyak pula wawasan yang berkembang. Hal ini adalah asal mula keragaman ilmu yang terbentuk di dunia. Buah pikir yang telah diakui dan dipahami oleh seluruh manusia di dunia disebut sebagai ilmu. Untuk bisa disebut ilmu, buah pikir harus melewati proses yang panjang. Salah satu caranya dengan melalui penelitian. Proses penelitian memakan waktu yang tidak sedikit. Konsep dasar filsafat ilmu adalah kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan fungsi serta kaitannya dengan implementasi kehidupan sehari-hari. Pembahasan filsafat ilmu juga mencakup sistematika, permasalahan, keragaman pendekatan dan paradigma (pola pikir) dalam pengkajian dan pengembangan ilmu. Filsafat dan ilmu pada dasarnya adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Filsafat telah merubah pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Perubahan pola pikir tersebut membawa perubahan yang cukup besar dengan ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi, baik yang berkaitan dengan makro kosmos maupun mikrokosmos. Dari sinilah lahir ilmu-ilmu pengetahuan yang selanjutnya berkembang menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan sekaligus semakin aplikatif dan terasa manfaatnya.

BAB IIPEMBAHASAN

Dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dapat dipastikan bahwa kita tidak lepas dari yang namanya berpikir. Hanya saja tingkat berpikir masing-masing individu berbeda satu dengan yang lain. Ada individu yang bisa berpikir secara kritis namun ada juga individu yang proses berpikirnya lama. Berpikir merupakan suatu kegiatan yang sangat penting yang tidak boleh lepas dari kegiatan yang dilakukan manusia selama hidupnya. Karena tanpa berpikir manusia akan berada dalam suasana yang gelap dan hampa dengan banyak ketidaktahuan dalam dirinya. Tanpa proses berpikir manusia tidak akan dapat mengenali dirinya dan hakekat keberadaannya di dunia.

1. Model dan Kriteria Berpikir IlmiahPada dasarnya, ditinjau dari sejarah berpikir manusia, terdapat dua pola berpikir ilmiah. Yang pertama adalah berpikir secara rasional, dimana ide tentang kebenaran sebenarnya sudah ada. Pikiran manusia dapat mengetahui ide tersebut namun tidak menciptakannya. Dengan kata lain, ide tentang kebenaran yang menjadi dasar bagi pengetahuan diperoleh melalui cara berpikir yang rasional, terlepas dari pengalaman manusia.[footnoteRef:1] [1: Taat, Suhartono. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistomologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. 2010. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 137&138.]

Cara berpikir ilmiah yang kedua adalah empirisme. Berbeda dengan rasional, menurut orang-orang yang berpaham empirisme, pengetahuan tidak secara alami ada di benak kita melainkan harus diperoleh melalui pengalaman. Adapun kriteria metode berpikir ilmiah yaitu: berdasarkan fakta, bebas dari prasangka, menggunakan prinsip-prinsi analisis, menggunakan hipotesis, menggunakan ukuran objektif dan menggunakan teknik kuantitatif.

2. Hubungan Pemikiran Ilmiah dengan IlmuBerfikir merupakan suatu proses, karena itu berfikir merupakan satu seri atau beberapa seri, langkah atau beberapa tindakan yang diharapkan memperoleh hasil yang berguna bagi kehidupan bersama. Manusia berfikir karena manusia mempunyai gagasan/ ide/ cita-cita atau karena ada masalah yang perlu dipecahkan. Kalau sudah berfikir keras dan tidak menghasilkan sesuatu yang tidak diharapkan, beberapa kemungkinan dapat terjadi. Kemungkinan pertama ada langkah berfikir yang salah, kurang tepat, kurang fokus pada tujuan yang ada atau karena materi yang dibahas kurang relevan, sehingga tidak menggambarkan satu kebulatan yang utuh dalam meneliti ilmu. Sebab lain dapat terjadi karena kurang menguasai proses berfikir itu sendiri. Berfikir ilmiah adalah pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya, suatu cara yang berdisiplin dimana seseorang tak kan membiarkan ide dan konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun kesemuanya itu diarahkan pada satu tujuan tertentu. [footnoteRef:2] [2: Taat, Suhartono. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistomologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. 2010. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 143.]

Pengetahuan mengantar manusia untuk mengetahui berbagai masalah yang dihadapi, yang terkait dengan kebenaran, kesalahan, kekurangan, kebaikan, keburukan, kejujuran, dan sebagainya. Menghadapi pilihan-pilihan tersebut, manusia dituntut untuk berfikir dan bekerja cerdas, sehingga mampu memecahkan masalah yang dihadapinya secara jernih. Jika dapat ditemukan ilmu baru dapat diartikan proses atau seri berfikir yang benar telah dilalui. Dengan demikian ciri utama ilmu selain bersifat komprehensif, yang disebut logika, dapat dipastikan alur pemikiran yang benar telah dilalui, atau proses yang logis sudah berlangsung. Disamping itu, metode berpikir sudah sesuai dengan tuntutan ilmu pengetahuan yang ada dan telah bekerja dengan baik pula. Dengan demikian ilmu pengetahuan sangat bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia, oleh karena itu, diharapkan manusia yang memiliki pemikiran jernih memihak pada keadilan, kejujuran dan kebenaran. 3. Hubungan Proses Berpikir Ilmiah dengan Keragaman IlmuIlmu merupakan pengetahuan yang diperoleh dari suatu proses tertentu. Untuk bisa melewati proses ini dibutuhkan penguasaan sarana berpikir yang memadai. Sering sekali upaya dalam meningkatkan mutu keilmuan tidak bisa terjadi karena kurang dikuasainya suatu ilmu dengan baik. Atau bisa saja terjadi, pendidikan sarana itu sudah memadai, tetapi integrasi keseluruhan dari sarana tersebut sebagai kesatuan belum terjadi. Sarana yang diperlukan yaitu berupa pengetahuan yang mendukung prosedur keilmuan. Dengan demikian sarana berpikir ini harus dikaitkan dengan prosedur keilmuan.Sejak pertama kali manusia mulai mempelajari kehidupannya maka mulailah manusia mengembangkan kebudayaannya. Kebudayaan adalah struktur yang dibangun manusia sebagai hasil dari kegiatan belajar. Salah satu produk utama dari upaya manusia dalam mempelajari kehidupannya adalah pengetahuan. Pengetahuan disini diartikan sangat luas, mencakup berbagai hal yang kita tahu, sebagai hasil dari kegiatan belajar. Ada kiranya masuk akal pada saat pertama kali pengetahuan berkembang tidak seperti sekarang yang tebagi dalam beberapa cabang pengetahuan. Pengetahuan dalam jaman dulu menyatu, artinya, belum terdapat kriteria-kriteria yang membedakan satu dengan yang lainnya. Intuisi memegang peranan penting terutama sebagai cara berpikir yang menyatukan tubuh pengetahuan secara utuh. Tidak berisifat analitis, melainkan langsung kepada pemahaman suatu persoalan tanpa melalui jalur proses yang panjang.Makin pandai seorang manusia maka pengetahuan yang dikumpulkannya pun makin bertambah pula. Dahulu kala pandangan nenek moyang kita, yang menyatukan pengetahuan tentang apa adanya dengan apa yang seharusnya adalah sangat bijaksana. Pengetahuan tentang apa adanya yang kemudian berkembang dan mendewasa menjadi ilmu memang tidak bisa dilepaskan dari cara bagaimana sebaiknya kita mempergunakan ilmu tersebut. Ilmu tidak dapat dipisahkan dengan moral dalam tahap penggunaannya. Sebab ilmu selain dapat membawa berkat, juga dapat membawa kutukan pada manusia jika tidak dimanfaatkan dengan baik dan benar.4. Filsafat tentang Berbagai Disiplin IlmuFilsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Karena semua hal yang membutuhkan jawaban akan terjawab jika dikaitkan dengan ilmu filsafat ini. Semakin berkembangnya dunia ilmu pengetahuan, maka semakin beragamnya ilmu saat ini. Setiap disiplin ilmu pengetahuan membutuhkan filsafat sehingga pada hakikatnya jumlah filsafat tentang berbagai disiplin ilmu itu sebanyak jumlah disiplin ilmu yang ada. Pada masa kini, ada begitu banyak ilmu pengetahuan yang berkembang. Ilmu-ilmu itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok sebagai berikut:1. ilmu-ilmu deduktif (ilmu-ilmu formal)2. ilmu-ilmu induktif (ilmu-ilmu empiris)3. ilmu-ilmu reduktif (sejarah, dsb.).[footnoteRef:3] [3: Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat. 1996. KANISIUS. Yogyakarta. 74.]

Ilmu yang memiliki pengaruh terbesar adalah ilmu astronomi, ilmu fisika, dan ilmu matematika. Hubungan ketiga ilmu tersebut bukanlah hanya erat melainkan berkesinambungan. Jika salah satu ilmu tidak difungsikan maka ilmu yang ada tidak akan bermakna benar dan baik.Bahwa pemikiran dalam ketiga bidang ilmu pengetahuan tersebut merupakan poros dapat ditunjukkan oleh pengaruhnya, yang mendasari pemikiran social-politik, juga merupakan teladan yang diikuti oleh pengembangan pemikiran ilmu pengetahuan lainnya.[footnoteRef:4] [4: Santoso, Slamet Iman. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. 1977. SINAR HUDAYA. Jakarta. 6.]

5. Prinsip Metodologis dalam Penalaran Berfikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Rene Descater dengan karyanya Discourse on Method, risalah tentang metode dengan tahapan tertentu dan sistematik. Pembenaran disini bertolak pada prinsip keraguan metodis (skeptis metodis) Alfred Jules Ayer, tentang verifikasi, pembenaran terhadap teori yang sudah ada.[footnoteRef:5] [5: Supriyanto, Stefanus. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prestasi Pustaka]

Karl Raimund Popper, tentang falsifikasi. Teori ilmiah selalu bersifat hipotetik (dugaan sementara), tak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tetap. Di dalam buku filsafat ilmu diterangkan juga macam-macam berfikir.

Berpikir InovatifBerpikir inovatif adalah merupakan hasil akhir dari suatu proses berpikir kreatif. Ada empat kemampuan dasar dalam diri manusia yang harus selalu diasah dan dikembangkan. Kemampuan pertama adalah kemampuan analisis, yaitu kebiasaan berpikir analisis, artinya kemampuan manusia untuk bisa mengurai dari suatu makna menjadi makna yang lebih kecil dan mencoba memahami esensi atau hakikat, materi serta sifat yang menyusun makna tersebut. Kemampuan kedua ialah judgment yaitu kemampuan Kemampuan ketiga adalah manusia untuk memutuskan yang mana dari hasil analisi tersebut perlu disimpan dalam memori, dan yang mana harus dilupakan.kemampuan kita untuk melakukan pengorganisasian hasil-hasil keputusan (judgment) saat ini dan keputusan sebelumnya menjadi satu pengelompokan.Kemampuan keempat adalah kemampuan membuat sintesa baru, berupa ide/kerangka pikir kreatif (pengetahuan baru) dan inovatif (pengetahuan baru yang memiliki nilai tambah dari pengetahuan sebelumnya).

Berpikir ReflektifPenulis didalam buku filsafat ilmu mencoba menjelaskan dengan alur berpikir Filsuf Descartes, berpikir filsafat dan berpikir pragmatis dalam pemecahan masalah.1) Alur Berpikir Reflektif (Descartes)a. Pemahaman MasalahSadar masalah. Sadar adanya masalah yang perlu dilakukan penyelesaian, penjelasan.Pembatasan masalah. Masalah harus dipersempit, karena pengetahuan itu berasal dari kumpulan pengetahuan yang tidak sempurna.Pernyataan masalah (Problem statement) yang perlu diselidiki.Kita menjadi sadar akan suatu masalah, membatasi sebaik mungkin masalah tersebut dan menunjukkan apa yang perlu diselidiki. Masalah tentang alamyang dapat ditangkap oleh indera kita.Masalah adalah kesenjangan (Gap) dari apa yang seharusnya (What should be) dan apa yang ada (what it is). Untuk membatasi dan mempersempit masalah, maka diambil kesenjangan yang menjadi perhatian (concern) dan tanggung jawabnya (responsibility)b. Meragukan dan Menguji Secara RasionalUpaya mengembangkan ide kreatif dilakukan melalui:1) Olah pikir, menggunakan akal budi.2) Cipta talen berdasarkan pengalaman.3) Olah rasa dan batin menggunakan intuisi/instink menjadi ide kreatif4) Meragukan apa yang disebut masalah dan mencoba memberikan jawaban yang benar melalui tanggapan rasional maupun akal sehat (common sense)

c. Memeriksa Penyelesaian TerdahuluMenguji barang dan mempertimbangkan penyelesaian yang telah diajukan sebelumnya melalui:1) Deduksi atau koherensi, dengan penelusuran teori yang sudah ada.2) Analisis, judgment, pengorganisasian dan sintesa.

d. Menyarankan HipotesisHipotesis adalah hubungan variabel (bahan) yang dapat berupa konsep, prinsip, kaidah, dalil, proposisi yang masih perlu diuji:1) Hubungan asimetris (cause effect relationship: hubungan sebab akibat).2) Hubungan simetris (hubungan timbal balik atau fungsional).e. Pengujian Konsekuensi (Verifikasi Hipotesis)Verifikasi terhadap penjabaran hasil (hipotesis) yang telah dilakukan. Verifikasi adalah upaya melakukan pengamatan lebih banyak untuk membenarkan hipotesis atau mengingkarinya. Verifikasi secara langsung melalui pengamatan empirik dan verifikasi secara tidak langsung melalui pemahaman sejumlah metode. Hasil pengujian yang membenarkan dan memperkuat pengetahuan yang sudah ada disebut verifikasi, sedangkan hasil pengujian yang menolak teori yang ada disebut klasifikasi.f. Menarik KesimpulanPenarikan kesimpula mengenai masalah dan pengujian dapat menghasilkan beberapa kesimpulan:1) Masalah yang tak ada maknanya untuk pengembangan pengetahuan.2) Ada makna tetapi sulit dijawab (pengetahuan saat ini tidak memadai atau tidak tersedia)3) Dijawab dengan mengiyakan (verifikasi) atau mengingkari, menolak (falsifikasi)4) Dijawab secara deskriptif.5) Dijawab dengan konsep baru.

2. Berpikir Reflektif (Supriyanto)Berpikir reflektif merupakan perpaduan dari berpikir filsafat, pragmatis danproses berpikir kreatif. Ketiga pola berpikir tersebut merupakan dasar berpikir kita dalam mempelajari Filsafat Ilmu.Ada beberapa prosedur untuk berpikir reflektif saat ini, yaitu:A. Esensi perenungan filsafat ilmuFilsafat membawa kepada pemahaman sesuatu dan tindakan melalui pilar filsafat ontologi, epistemologi dan aksiologi.Masalah (what) juga perlu dipersempit dan dipertajam, sehingga jelas apa yang menjadi masalah yang mau diselesaikan.Analisis pertama dengan inderawi (empiris) kita mencari penyebab masalah dengan riset atau pengumpulan data di lapangan. Analisi kedua dengan menelusuri pustaka untuk mencari penyebab masalah dan cara penyelesaian dari khasanah ilmiah maupun dari penelitian yang mendahului. Dari hasil analisis pertama dan kedua dapat disimpulkan jawaban sementara tentang akar penyebab masalah. Langkah berikutnya menyusun upaya penyelesaiannyayang paling mungkin untuk dilaksanakan.

3. Berpikir Pragmatis dalam Pemecahan MasalahDalam pemecahan masalah, kita harus paham benar masalah yang ingin kita selesaikan (What); kedua tentang penyebab masalah (Why) dan ketiga solusi pemecahan berdasarkan hasil analisi kedua dan/atau panduan dengan teori yang telah ada sebelumnya serta kecerdasan kita (How).

6. Perkembangan Metode IlmuTahap Perkembangan IlmuIlmu dapat ditinjau dari sekumpulan pengetahuan ilmiah, dan/atau sekumpulan aktivitas ilmiah, dan/atau metode ilmiah yang dipergunakan untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah. Berikut ini merupakan perkembangan untuk mendapatkan pengetahuan, dimulai dari yang tidak ilmiah menjadi metode ilmiah.1. Common sense (akal sehat) Berakar pada tradisi menjadi kebiasaan dan pengulangan (landasan kurang kuat). Cenderung kabur dan samar-samar Pengetahuan tidak teruji, karena kesimpulan biasanya ditarik dengan asumsi yang tidak diuji dulu. Didukung metode trial dan error serta pengalaman.2. SeniApplied art yang mempunyai kegunaan langsung pada kehidupan badaniah dan Fine art yang dapat memperkaya kegunaan spiritual. Sifat seni adalah deskriptif dan fenomologis serta ruang lingkupnya terbatas. Seni bersifat subyektif, individual dan personal. Oleh karena itu seni mencoba memberi makna sepenuhnya terhadap suatu objekRasionalismeKelemahan logika deduktif ini, sering pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai dengan fakta, sehingga sering diragukan bagi kelompok induktivisme.3. Empirisme Jumlah observasi harus besar. Observasi harus diulang-ulang pada variasi kondisi yang luas. Keterangan observasi yang sudah diterima, tidak boleh bertentangan dengan hukum universal yang menjadi kesimpulannya.4. FalsifikasionismeNamun suatu fakta/fenomena baru dapat menolak teori yang sudah ada atau menggagalkan teori yang sudah ada. Kondisi ini dikenal dengan sebutan falsifikasi. Karl Popper pada tahun 1919-20an menjelaskan metode yang dapat digunakan untuk membantah dan menguji sebuah teori, dengan mendefinisikan kejadian atau genomena apa yang tidak mungkin terjadi, jiks pernyataan ilmiah tersebut memang benar.5. RelativismePada relativisme, teori dikatakan baik harus dinilai relatif dari segi standar yang diterima oleh masyarakat, sedangkan standar itu secara tipikal akan berlainan sesuai dengan kultur dan hitoris masyarakat masing-masing. 6. Pragmatis7. Filsafat IlmuFilsafat meletakkan dasar-dasar pengetahuan. Landasan berpikir filsafat menggunakan metode analisi dan sintesis. Analisi pengetahuan yang dihasilkan dari berpikir rasionalisme dan empirisme, kemudian dilakukan suatu sintesis baru merupakan kajian Filsafat Ilmu.

Filsafat, sesuai ciri dasarnya sebagai, prinsip dan landasan berpikir bagi setiap usaha manusia di dalam mengenal dan mengembangkan eksistensinya, melakukan tugasnya dengan bertitik tolah pada beberapa ciri pemikiran, yaitu:1. Berpikir Radikal (radix = akar). Artinya, ciri berpikir filsafat yang ingin menggali dan menyelami kenyataan atau ide sampai keakar-akarnya, untuk menemukan dan mengangkat dasar-dasar pemikirannya secara utuh ke permukaan. Melalui cara pemikiran yang demikian itu, diperoleh suatu hasil berpikir yang mendasar dan mendalam, serta sebuah pertanggunganjawaban yang memadai di dalam membangun pemikiran filsafat dan pikiran keilmuan itu sendiri. Ciri pemikiran dimaksud, mengisyaratkan bahwa orang tidak perlu terburu-buru mengambil kesimpulan pemikiran sebelum menemukan hakikat kebenarannya secara fundamental, dan dengan demikian, ia tidak muda terjebak ke dalam pemikiran yang sesat dan keliru atau kejahatan. Berpikir radikal menunjukkan bahwa filsafat sebagai sebuah proses dan hasil pemikiran, selalu berusaha melatakkan dasar dan strategi bagi pemikiran itu sendiri sehingga bertahan menghadapi ujian kritis atau tantangan (ujian) zaman dengan berbagai arus pemikiran baru apa pun.2. kreatif-inovatif. Artinya, pemikiran filsafat bukanlah pemikiran yang melanggengkan atau memandegkan dirinya di dalam berbagai keterkungkungan dogma atau ideologi yang beku dan statis. Justru, ia selalu berusaha membangun kejataman budi untuk mampu mengeluarkan diri kebekuan inspirasi, mampu mengkritisi, memperbaiki, menyempurnakan, dan mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan penemuan-penemuan (invention) dan gagasan-gagasan baru yang lebih brilian, terbuka, dan kompetitif dalam merespons tuntutan zaman serta kemajuan-kemajuan yang penuh kejutan dan pergolakan, baik pada tataran ide maupun moral. Ciri pikiran filsafat tersebut mengandaikan sebuah kekuatan transformasi dan seni mengolah budi (kecerdasan) guna mampu melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual.3. Berpikir Sistematis dan analitis. Artinya, ciri berpikir filsafat selalu berpikir logis (terstruktur dan teratur berdasarkan hukum berpikir yang benar). Pemikiran filsafat tidak hanya melepaskan atau menjejerkan ide-ide, penalaran, dan kreatifitas budi secara serampangan (sporadis). Justru, pemikiran filsafat selalu berusaha mengklasifikasi atau menggolong-golongkan, mensintesa (mengkompilasi) atau mengakumulasikan, serta menunjukkan makna terdalam dari pikiran, merangkai dan menyusunnya dengan kata (pengertian), kalimat (keputusan), dan pembuktian (konklusi) melalui sistim-sistim penalaran yang tepat dan benar. Pemikiran filsafat selalu bergerak selangkah demi selangkah, dengan penuh kesadaran (pengujian diri), berusaha untuk mendudukan kejelasan isi dan makna secara terstruktur dengan penuh kematangan dalam urutan prosedur atau langkah berpikir yang tertib, tertanggung jawab, dan saling berhubungan secara teratur.4. Berpikir Universal. Artinya, pemikiran filsafat selalu mencari gagasan-gagasan pemikiran yang bersifat universal, yang dapat berlaku di semua tempat. Pemikiran filsafat tidak pernah akan berhenti dalam sebuah kenyataan yang terbatas, ia akan menerobos mencari dan menemukan gagasan-gagasan yang bersifat global dan menjadi rujukan pemikiran umum. Pikiran-pikiran yang bersifat partikular dan kontekstual (bagian-bagian yang terpisah menurut konteks ruang dan waktu) diangkat dan ditempatkan (disintesakan) dalam sebuah bagian yang utuh dan universal, sebagai sebuah kenyataan eksistensisal yang khas manusiawi.5. Komprehensif dan holistik. Artinya, pemikiran filsafat selalu bersifat menyeluruh dan utuh. Baginya, keseluruhan adalah lebih jelas dan lebih bermakna daripada bagian-perbagian. Holistik artinya, berpikir secara utuh, tidak terlepas-lepas dalam kapsul egoisme (kebenaran) sekoral yang sempit. Cara berpikir filsafat yang demikian perlu dikembangkan mengingat hakikat pemikiran itu sendiri adalah dalam rangka manusia dan kemanusiaan yang luas dan kaya (beraneka ragam) dengan tuntutan atau klaim kebenarannya masing-masing, yang menggambarkan sebuah eksistensi yang utuh. Baginya, pikiran adalah bagian dari fenomena manusia sebab hanya manusia lah yang dapat berpikir, dan dengan demikian ia dapat diminta pertanggungjawaban terhadap pikiran maupun perbuatan-perbuatan yang diakibatkan oleh pikiran itu sendiri. Pikiran merupakan kesatuan yang utuh dengan aneka kenyataan kemanusiaan (alam fisik dan roh) yang kompleks serta beranekaragam. Pikiran, sesungguhnya tidak dapat berpikir dari dalam pikiran itu sendiri, sebab bukan pikiran itulah yang berpikir, tetapi justru manusia lah yang berpikir dengan pikirannya. Jadi, tanpa manusia maka pikiran tidak memiliki arti apa pun. Manusia, karenanya, bukan hanya berpikir dengan akal atau rasio yang sempit, tetapi juga dengan ketajaman batin, moral, dan keyakinan sebagai kesatuan yang utuh.6. Berpikir Abstrak. Berpikir abstrak adalah berpikir pada tataran ide, konsep atau gagasan. Maksudnya, pemikiran filsafat selalu berusaha meningkatkan taraf berpikir dari sekedar pernyataan-pernyataan faktual tentang fakta-fakta fisik yang terbatas pada keterbatasan jangkuan indera manusia untuk menempatkannya pada sebuah pangkalan pemahaman yang utuh, integral (terfokus), dan saling melengkapi pada tataran yang abstrak melalui bentukbentuk ide, konsep, atau gagasan-gagasan pemikiran. Baginya, sebuah fakta fisik selalu terbatas pada apa adanya karena sifatnya terbatas menurut sebuah penampakan inderawi yang sejauh dapat dilihat, didengar, atau diraba. Justru, pikiran tersebut harus lebih ditingkatkan pada taraf-taraf berpikir abstraktif dalam bentuk konsep atau gagasan-gagasan, dengan menggunakan ide, kata, kalimat, dan kreatifitas budi sehingga orang mampu memberi arti, memahami, menangkap, membedakan, dan menjelaskannya aneka pencerapan inderawi tersebut dalam sebuah pemikiran yang tersusun secara sistematis. Pemikiran abstraktif, berusaha membebaskan orang dari cara berpikir terbatas dengan hanya menunjukkan untuk makin mendewasakan pemikiran itu pada kemampuan memahami dan menjelaskan. Pemikiran absatrak beruaha mengangkat pikiran pada tataran kemampuan berimajinasi, membangun kohenrensi, dan korelasi secara utuh dan terstruktur guna menunjukkan peta keutuhannya, dengan segala fenomenanya secara detail sehingga dapat dijelaskan secara lengkap dan sempurna.7. Berpikir Spekulatif. Ciri pemikiran ini merupakan kelanjutan dari ciri berpikir abstrak yang selalu berupaya mengangkat pengalaman-pengalaman faktawi ketaraf pemahaman dan panalaran. Melalui itu, orang tidak hanya berhenti pada informasi sekedar menunjukkan apa adanya (in itself), tetapi lebih meningkat pada taraf membangun pemikiran dan pemahaman tentang mengapa dan bagaimananya hal itu dalam berbagai dimensi bentuk pendekatan. Pemikiran filsafat yang berciri spekulatif memungkinkan adanya transendensi untuk menunjukkan sebuah perspektif yang luas tentang aneka kenyataan. Tegasnya, melalui ciri pemikiran filsafat yang spekulatif dimaksud, orang tidak sekedar hanya menerima sebuah kenyataan (kebenaran) secara informatif, sempit, dan dangkal, tetapi dengan sikap kritis, dan penuh imajinasi untuk memahami (verstending) dan mengembangkannya secara luas dalam berbagai khasana pemikiran yang beraneka. Berfilsafat adalah berfikir dengan sadar, yang mengandung pengertian secara teliti dan teratur, sesuai dengan aturan dan hukum yang ada. Berpikir secar filsafat harus dapat menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam semesta secara utuh sehingga orang dimungkinkan untuk mengembangkannyadalam berbagai aspek pemikiran dan bidang keilmuan yang khas.8. Berpikir secara reflektif. Maksudnya, filsafat selalu berpikir dengan penuh pertimbangan dan penafsiran guna penemuan makna kebenaran secara utuh dan mendalam. Ciri pemikiran filsafat yang reflektif ini, hendak ditunjukkan bahwa pemikiran filsafat tidak cenderung membenarkan diri, tetapi selalu terbuka membiarkan diri dikritik dan direnungkan secara berulang-ulang dan makin mendalam, untuk sambil mencari inti terdalam dari pemikiran dimaksud, juga menemukan titik-titik pertautannya secara utuh dengan inti kehidupan manusia yang luas dan problematis. Berpikir reflektif memungkinkan proses internalisasi (pembathinan) setiap pemikiran filosofis, sehingga pikiran itu sendiri bukan hanya mampu mencerminkan isi otak, tetapi isi kehidupan secara utuh menjadi sebuah gaya kehidupan yang khas.9. Berpikir humanistik. Ciri pemikiran filsafat ini hendak letakkan hakikat pemikiran itu pada nilai dan kepentingan-kepentingan kemanusiaan sebagai titik orientasi, pengembangan, dan pengendalian pemikiran itu sendiri. Maksudnya, pemikiran dan segala anak pinaknya, baik dalam bentuk pengetahuan, ilmu, atau teknologi harus dapat menunjukkan sebuah pertanggungjawaban pada sebuah tugas kemanusiaan yang nyata. Bagi filsafat, pikiran atau pengetahuan itu adalah pikiran yang khas manusia, bahkan pikiran seorang anak manusia untuk sebuah tugas kemanusiaan. Ciri pemikiran filsafat, karenanya memiliki dasar, sumber dan tanggung jawab kemanusiaan yang diemban. Berpikir humanistik bukan saja berpusat pada manusia, tetapi sesungguhnya menyentuh sebuah tanggungjawab manusiawi. Inti kemanusiaan itulah yang menjadi dasar dan sumber aktual bagi proses berpikir maupun penerapan hasil pikiran itu sendiri.10. Berpikir kontekstual. Ciri pemikiran ini hendak menunjukkan bahwa pikiran bukan sekedar sebuah ide, tetapi sebuah realitas eksistensi dengan konteksnya yang nyata dan jelas. Maksudnya, setiap pemikiran filsafat, selalu bertumbuh dan berkembang dalam konteks hidup manusia secara nyata. Pikiran filsafat karenanya, merupakan bagian dari cara berpikir dan cara bertindak manusia atau masyarakat dalam menyiasati dan memecahkan masalah-masalah kehidupannya secara nyata. Pemikiran kontekstual mengandaikan kejeniusan lokal (local genius) dalam membangun sebuah struktur keberadaan. Pemikiran filsafat juga mencirikan sebuah pemikiran yang fungsional dalam menyiasati serta membangun tanggungjawab budaya maupun sosial kemasyarakatannya.11. Berpikir eksistensial. Ciri pemikiran filsafat ini bermaksud menunjukkan bahwa pikiran itu adalah pikiran manusia, karenanya, setiap pemikiran selalu mengandaikan harapan, kecemasan, kerinduan, keprihatinan dan aneka kepentingan manusia sebagai sebuah manifestasi eksistensial. Pikiran itu sendiri adalah sebuah tanda keberadaan atau fenomena eksistensi, dengan pikirannya, manusia membudayakan diri dan memenuhi kodrat eksistensialnya sebagai eksistensi yang bermartabat. Berpikir eksistensial, mengandaikan sebuah ciri pemikiran yang khas, yang bukan saja berpikir dalam kerangka keilmuan, tetapi justru pemikiran dalam rangka pengembangan eksistensi jati diri dan kehidupan secara utuh.12. Berpikir kontemplatif. Ciri pemikiran filsafat ini diarahkan untuk menajamkan kepekaan diri, ketajaman bathin, serta kemampuan mengenal kekuatan dan kelemahan, dan kesadaran otodidik dalam diri. Melalui pemikiran kontemplatif dimaksud, setiap pemikir, filsuf, atau ilmuwan mampu menasihati dan membimbing diri (menangani diri) dengan penuh kerendahan hati, kesabaran, dan kesetiaan. Ciri berpikir kontemplatif mampu membimbing para subyek (pemikir) sedemikian rupa, sehingga mampu melalukan koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas segala cara berpikir maupun hasil pemikiran itu sendiri sehingga tidak terjebak dalam keangkuhan, sikap ideologis, dan pembenaran diri menjadi kekuatan serba oke, yang secara buta mentukangi aneka kebohongan dan kejahatan. Berpikir kontemplatif membimbing orang untuk makin memiliki sebuah jangkar keberadaan dan fondasi eksistensi yang kokoh sebagai pribadi (personal), maupun sebagai bangsa dan masyarakat yang beradab dan bermartabat.[footnoteRef:6] [6: Suriasumantri, J.S.. Ilmu dalam Perspektif. 1995.Yayasan Obor Indonesia.Jakarta.]

7. Filsafat adalah Berpikir IlmiahDalam menghadapi berbagai masalah hidup di dunia ini, manusia akan menampilkan berbagai alat untuk mengatasinya. Alat itu adalah pikiran atau akal yang berfungsi di dalam pembahasannya secara filosofis tentang masalah yang dihadapi. Pikiran yang dapat masuk dalam bidang filsafat adalah pikiran yang senantiasa bersifat ilmiah. Jadi pikiran itu adalah yang mempunyai kerangka berpikir ilmiah-filsafat, karena itu tidak semua berpikir itu diartikan sebagai berpikir filsafat. Seperti disebut Prof. Mulder, berpikir ilmiah itu mengandung khasiat-khasiat tertentu, yaitu mengabstrahir pokok persoalan, bertanya terus sampai batas terakhir yang beralasan dan berelasi.[footnoteRef:7] Maka dari itu setiap manusia sudah mempunyai pikiran filsafat. [7: Supriyanto, Stefanus. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prestasi Pustaka]

8. Dimensi ilmu Dimensi ilmu sepatutnya dianggap termasuk dalam ilmu, peranan atau pentingnya ilmu dalam suatu kerangka tertentu, dan sifat atau ciri perluasan yang dapat ditambahkan berdasarkan pertimbangan. Untuk keperluan penelaahan terhadap ilmu, sudut tinjauan dari arah luar merupakan suatu hampiran studi tertentu atau suatu perspektif dalam analisis. Hampiran atau perspektif ini dapat berasal dari berbagai cabang ilmu khusus yang dapat mengambil konsep ilmu sebagai sasaran ilmu penelaahannya. Tampak sejumlah dimensi ilmu yang sejalan dengan ilmu-ilmu yang bersangkutan, yaitu:1. Ilmu ekonomi: dimensi ekonomik dari ilmuMembahas ilmu sebagai suatu kekuatan produktif yang langsung sebagaimana dianut oleh negara-negara sosialis atau sebagai a major factor in the maintenance and development of production (suatu faktor utama dalam mempertahankan dan mengembangkan produksi) dikemukakan oleh Bernal.[footnoteRef:8] [8: J.D Bernal, Science in History, Volume 1: The Emergence of Science, 1979, p. 31]

2. Linguistik: dimensi linguistik dari ilmuCharles Morris menyatakan ilmu adalah suatu bahasa, yakni sebagai a body of signs with certain specific relations to one another, to object, and to practice.[footnoteRef:9] (seperangkat tanda-tanda dengan hubungan-hubungan spesifik tertentu satu dengan lain, obyek-obyek, dan praktek), sedang Richard Schlegel berkata science merupakan a construction of language.[footnoteRef:10] (suatu konstruksi bahasa). [9: Charles W. Morris, Science Empirism, dalam Otto Neurath, et al., Enclyclopedia and Unified Science, 7th impression, 1970, p. 70] [10: Richard Schlegel, Inquiry into Science: Its Domain and Limits, 1972, p.7]

3. Matematik: dimensi matematis dari ilmuMenekankan segi kuantitatif dan proses kuantifikasi dalam ilmu. Definisi dalam McGraw-Hill Dictionary of Scientific and Technical Terms tampaknya menonjolkan dimensi matematis dari science: A branch of study in which facts are observed and classified and usually quantitatives laws are formulated and verified , involves the application of mathematical reasiong and data analysis to natural phenomena.[footnoteRef:11] (Suatu cabang studi yang didalamnya fakta-fakta diamati dan digolong-golongkan dan biasanya kaidah-kaidah kuantitatif dirumuskan dan dibuktikan, mencakup penerapan penalaran matematis dan analisis data atas fenomena alamiah). [11: Daniel N. Lapedes, ed., McGraw-Hill Dictionary of Scientific and Thechnical Terms, 1974. P. 1305]

4. Ilmu politik: dimensi politik dari ilmuDapat membahas ilmu dari sudut tinjauan pemerintahan atau sebagai faktor kekuasaan dalam negara. Perincian Haberer tentang ilmu sebagai ideologi da uraiannya mengenai politicalization dalam science jelas menitikberatkan dimensi politik.[footnoteRef:12] [12: Joseph H. Haberer,Politization in Science, Science, Volume 178, 1972, p. 713-724]

5. Psikologi: dimensi psikologis dari ilmuC. H. Waddington mengarang buku The Scientific Attitude (1941) berpendapat bahwa ilmu bukanlah suatu kumpulan muslihat, melainkan suatu sikap terhadap dunia ini (an attitude to the world). Sedangkan Arthur Koestler dalam bukunya The Act of Creation (1964) yang membahas kreativitas ilmiah dengan konsep-konsep psikologi dan berkesimpulan bahwa penemuan ilmiah (scientific dicovery) dapat dibandingkan dengan penciptaan seni(artistic creation).[footnoteRef:13] [13: Pendapat Wadington dan Koestler ini diungkapkan dalam Bernard Dixon, What is Science for?, 1973, p. 25&33]

6. Sosiologi: dimensi sosiologis dari ilmuDianggap sebagai social institution, social activity, atau menurut Haberer sebagai suatu jaringan kebiasaan dan peranan (a network of habits and roles) yang menghimpun, menguji, dan menyebarkan pengetahuan.[footnoteRef:14] Dari perspektif sosiologis pula orang berbicara tentang scientific research community.[footnoteRef:15] (masyarakat penelitian ilmiah) [14: Seperti catatan nomor 5] [15: Michael Mulkay, Sociology of the Scientific Research Community, dalam Ina Spiegel-Rosing & Derek de Solla Price, eds., Science, Technology and Society: A Cross-Disciplinary Perspective, 1972, chapter 4]

BAB IIIPENUTUP

Pemikiran ilmiah atau alur pikir ilmiah adalah pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya, suatu cara yang berdisiplin, dimana seseorang tidak akan membiarkan ide dan konsep yang dipikirkannya berjalan tanpa arah yang jelas, namun semuanya akan diarahkan pada suatu tujuan tertentu yaitu pengetahuan. Model pemikiran ilmiah pada dasarnya ditinjau dari segi sejarah berpikir manusia, ada dua model pemikiran ilmiah yaitu berpikir secara rasional dan empirisme.Paling asasi adalah produk kegiatan berpikir lewat suatu cara berpikir tertentu.Dengan metode ilimiah sebagai paradigma maka ilmu dibandingkan dengan berbagai pengetahuan lainnya dapat dikatakan berkembang dengan sangat cepat. Salah satu faktor yang mendorong perkembangan ini adalah faktor sosial dari komunikasi ilimiah dimana penemuan individual segera didapat dan dikaji oleh anggota masyarakat ilmuwan lainnya.Ilmu memandang kebenarannya sebagai tujuan yang mungkin dapat dicapai namun tak pernah sepenuhnya tangkapan kita sampai. Meskipun kita berusaha brsikap seobjektif mungkin, namun tidak dapat dipungkiri bahwa persepsi kita tidak pernah lepas dari faktor subjektifitas. Dalam perspektif inilah maka penelitian terhadap ilmu tidaklah ditentukan oleh keaslian teorinya sepanjang zaman melainkan terletak dalam kemampuan memberikan jawaban terhadap masalah dalam tahap peradaban tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad. 2010. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika ilmu Pengetahuan.Yogyakarta: Pustaka Belajar.Gie, The Liang. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: LibertyKeraf, Sonny. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.Santoso, Slamet Iman. 1977. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Sinar Hudaya.

Suhartono, Suparlan. 2004. Dasar-Dasar Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruzz MediaSupriyanto, Stefanus. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prestasi Pustaka.Suriasumantri, Jujun. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik. Jakarta: PT Gramedia.

21