fentanyl ds

37
Refrat FARMAKOLOGI OBAT OBATAN OPIOID DAN HIPNOTIK SEDATIF Disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik senior di Bagian Anestesiologi dan Reanimasi di RSMH Palembang Desfri Anggraini, S.Ked Gunawan Eka Putra, S.Ked Roykhan Prayudianto, S.Ked Pembimbing : dr. Fredi Heru Irwanto, SpAn BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI RUMAH SAKIT MOH. HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2010 ii LEMBAR PENGESAHAN Refrat Ilmu Anestesiologi dan Reanimasi dengan judul : Farmakologi Obat-Obatan Opioid dan Hipnotik Sedatif Oleh : Desfri Anggraini, S.Ked Gunawan Eka Putra, S.Ked Roykhan Prayudianto, S.KEd Pembimbing : Dr. Ferdi Heru Irwanto, Sp.An Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang, Agustus 2010 Pembimbing dr. Fredi Heru Irwanto, Sp.An iii DAFTAR ISI

Upload: welly-husain

Post on 13-Aug-2015

162 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ok

TRANSCRIPT

Page 1: Fentanyl Ds

Refrat

FARMAKOLOGI OBAT

OBATAN OPIOID DAN HIPNOTIK SEDATIF

Disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik senior di Bagian Anestesiologi dan Reanimasi di RSMH Palembang

Desfri Anggraini, S.Ked Gunawan Eka Putra, S.Ked Roykhan Prayudianto, S.Ked

Pembimbing : dr. Fredi Heru Irwanto, SpAn

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI RUMAH SAKIT MOH. HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2010 ii

LEMBAR PENGESAHAN

Refrat Ilmu Anestesiologi dan Reanimasi dengan judul :

Farmakologi Obat-Obatan Opioid dan Hipnotik Sedatif

Oleh : Desfri Anggraini, S.Ked Gunawan Eka Putra, S.Ked Roykhan Prayudianto, S.KEd Pembimbing : Dr. Ferdi Heru Irwanto, Sp.An Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang, Agustus 2010 Pembimbing dr. Fredi Heru Irwanto, Sp.An iii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................. i Lembar Pengesahan ........................................................................................ ii Daftar Isi........................................................................................................... iii Abstrak ............................................................................................................ iv Abstract ........................................................................................................... v BAB I. PENDAHULUAN I. 1

Page 2: Fentanyl Ds

.

Latar Belakang .................................................................................. 1 I. 2

Tujuan ............................................................................................... 1 BAB II. FARMAKOLOGI OBAT-OBATAN OPIOID II. 1

Struktur Opioid ................................................................................. 3 II. 2

Mekanisme Kerja .............................................................................. 3 II. 3

Preparat Opioid ................................................................................. 5 BAB III. FARMAKOLOGI OBAT-OBATAN HIPNOTIK-SEDATIF III. 1

Benzodiazepin ................................................................................ 19 III. 2

Barbiturat ........................................................................................ 30 III. 3

Nonbarbiturat-Nonbenzodiazepin ................................................... 36 BAB IV. KESIMPULAN ................................................................................ 53 Daftar Pustaka .................................................................................................. 55 iv

ABSTRAK

Opioid menunjukkan semua substansi eksogen, alami atau buatan, yang mengikat secara spesifik reseptor opioid dan menimbulkan beberapa gejala agonis seperti morfin. Opioid bekerja pada reseptor opioid di presinaps dan postsinaps di sistem saraf pusat (SSP) terutama batang otak dan medula spinalis. Terdapat tiga jenis reseptor opioid, yakni reseptor mu, kappa, dan delta.

Contoh preparat opioid adalah morfin, meperidin, fentanil, sulfentanil, kodein, dan tramadol.

Page 3: Fentanyl Ds

1

Hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas

moderate

yang memberikan efek menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat memberikan efek mengantuk dan yang dapat memberikan onset serta mempertahankan tidur.

Obat-Obatan hipnotik sedatif terbagi menjadi tiga jenis yakni golongan benzodiazepin, barbiturat, dan bukan keduanya.

2

Obat golongan benzodiazepin berkerja pada reseptor

gamma-aminobutyric acid.

Efek farmakologi benzodiazepin merupakan akibat aksi

gamma-aminobutyric acid

sebagai

neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine meningkatkan kepekaan reseptor gamma-aminobutyric acid terhadap neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Contoh preparat benzodiazepin antara lain midazolam, alprazolam, diazepam, clobazam.

3

Obat-obatan barbiturat bekerja pada neurotansmiter penghambat (

gamma-aminobutyric acid)

pada sistem saraf pusat. Aktifasi reseptor ini meningkatkan konduktase klorida transmembran, sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel postsi

Page 4: Fentanyl Ds

na

ps. Contoh obat-obatan golongan barbiturat antara lain tiopental dan phenobarbital.

4

Beberapa obat lain yang bukan jenis barbiturat dan banzodiazepin yang sering digunakan sebagai obat sedasi dan hipnotik antara lain: propofol, ketamin, dextromethorphan.

5

v

ABSTRACT

Opioid show all exogenous substances, natural or artificial, which

specifically binds the opioid receptor and cause some agonists symptoms such as

morphine. Opioids acting on opioid receptors in presinaps and postsinaps in the

central nervous system (CNS), particularly the brain stem and spinal cord. There

are three types of opioid receptors, namely mu, kappa, and delta. Examples of

opioid preparations are morphine, meperidine, fentanyl, sulfentanil, codein, and

tramadol.

1

Sedative hypnotics is the term for drugs that can depressed the central

nervous system. Sedatives are substances that have a moderate activity that

provides a calming effect, whereas hypnotics are substances that can give the

effect of drowsiness and who can provide and maintain sleep onset. Sedative

hypnotics drugs are divided into three types namely type benzodiazepines,

barbiturates, and nonbarbiturates-nonbenzodiazepines.

2

Page 5: Fentanyl Ds

Benzodiazepine drugs work on gamma-aminobutyric acid receptor.

Benzodiazepine pharmacological effects are due to the action of gamma-

aminobutyric acid as a inhibitory neurotransmitter in the brain. Benzodiazepine

increase the sensitivity of gamma-aminobutyric acid receptors on inhibiting

neurotransmitters that open chloride channels and happened hiperpolarisasi post

synaptic cell membrane and promote post-synaptic cell membrane can not be

excited. Examples of such preparations benzodiazepine midazolam, alprazolam,

diazepam, clobazam.

3

Barbiturate drugs acting on neurotansmiter inhibitors (gamma-

aminobutyric acid) on the central nervous system. Activation of this receptor to

increase chloride transmembrane konduktase, resulting in cell membrane

hiperpolarisasi postsinaps. Examples of classes of drugs including barbiturates are

thiopental and phenobarbital.

4

Several other drugs are not the type of barbiturate

and banzodiazepin which is often used as a sedative and hypnotic drugs like

propofol, ketamine, dextromethorphan.

5

1

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Opioid menunjukkan semua substansi eksogen, alami atau buatan, yang mengikat secara spesifik reseptor opioid dan menimbulkan beberapa gejala agonis seperti morfin.

Page 6: Fentanyl Ds

Opiate

adalah istilah yang digunakan untuk obat-obatan yang berasal dari opium. Kata

opium

berasal dari bahasa Yunani untuk sari buah opium.

1

Sementara hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas

moderate

yang memberikan efek menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat memberikan efek mengantuk dan yang dapat memberikan onset serta mempertahankan tidur.

2

Penggunaan klinis kedua golongan obat-obatan ini telah digunakan secara luas seperti untuk tatalaksana nyeri akut dan kronik, tindakan anestesia, penatalaksanaan kejang, serta insomnia. Pentingnya penggunaan obat-obatan ini dalam tindakan anestesi memerlukan pemahaman mengenai farmakologi obat-obatan kedua obat. Hal tersebut yang mendasari penulisan mengenai farmakologi obat-obatan opioid dan hipnotik sedatif.

2

I.2 Tujuan

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini antara lain untuk memenuhi salah satu penilaian kognitif pada masa Kepaniteraan Klinik di bagian Anestesiologi dan Reanimasi di RSMH Palembang. Selain itu, tujuan penulisan tinjauan pustaka ini juga untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan bagi orang lain yang membacanya terutama mengenai farmakologi obat-obatan opioid dan hipnotik sedatif. 2

BAB II FARMAKOLOGI OBAT-OBATAN OPIOID

Kata

opium

berasal dari bahasa Yunani untuk sari buah opium.

Opiate

Page 7: Fentanyl Ds

adalah istilah yang digunakan untuk obat-obatan yang berasal dari opium. Penggunaan istilah opioid untuk menunjukkan semua substansi eksogen, alami atau buatan, yang mengikat secara spesifik reseptor opioid dan menimbulkan beberapa gejala agonis seperti morfin. Opioid khusus menimbulkan analgesi tanpa kehilangan sensasi rabaan, proprioseptik ataupun kesadaran. Opioid dibagi menjadi opioid agonis, opioid agonis-antagonis dan opioid antagonis.

1

Tabel 1. Contoh Obat Opioid

Dikutip dari :

Opioid Agonists and Antagonists.

In :

Pharmacology & Physiology in Anestetic Practice 4

th

edition

. 88

Opioids

Opioid Agonis

-

Antagonis

Opioid Antagonis

Morphine

Morphine 6

Page 8: Fentanyl Ds

-

glucorinide

Meperidine

Sufentanil

Fentanil

Alfentanil

Ramifenttanil

Codeine

Tramadol

Hydromorphine

Methadone

Heroin

Pentazocaine

Page 9: Fentanyl Ds

Butophanol

Nalbuphine

Nalorphine

Dezocine

Naloxone

Naltrexone

Nalmefene

3

II.1 Struktur Opioid

1

Bentuk alkaloid dari opium dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni: A.

Phenanthrene : morfin, codein, dan thebaine B.

Benzylisoquinolines : papaverin, noscapine

II.2 Mekanisme Kerja

Page 10: Fentanyl Ds

1

Opioid bekerja pada reseptor opioid di presinaps dan postsinaps di sistem saraf pusat (SSP) terutama batang otak (gray matter periakuduktus batang otak, amigdala, korpus striatum, dan hipothalamus) dan medula spinalis (substansia gelatinosa) dan pada jaringan perifer. Pada jaringan perifer opioid berikatan dengan reseptor opioid endogen (endorfin, enkefalin, dan dinorfin) kemudian mengaktifkan sistem antinosiseptif. Di presinaps, opioid menurunkan sekresi neurotransmiter inhibisi sehingga mencegah aktivasi reseptor (asetilkolin, dopamin, norefinefrin, substansi P). Efek biokimia opioid adalah meningkatkan penghantaran kalium (sehingga terjadi hiperpolarisasi), inaktivasi kanal kalsium, atau keduanya yang menghambat efek pelepasan neurotransmiter. Efek utama opioid adalah penurunan transmisi kolinergik pada ujung saraf memberikan efek analgesia dan efek samping lainnya. Namun opioid tidak berpengaruh pada stimulasi berulang pada ujung saraf ataupun konduksi rangsang berulang dari saraf perifer Terdapat tiga jenis reseptor opioid, yakni reseptor mu (MOR), kappa (KOR), dan delta (DOR). Reseptor opioid merupakan gianine (G) protein-coupled receptor yang merupakan 80% dari keseluruhan reseptor muskarinik, adrenergik, GABA, dan somatostatin. 4

Tabel 2. Klasifikasi Reseptor Opioid

Dikutip dari : Pharmacology & Physiology in Anestetic Practice 4

th

edition Chapter. Opioid Agonists and Antagonists Hal. 89

Mu

1

Mu

2

Delta

Page 11: Fentanyl Ds

Kappa

Efek

Anlagesia

(sup

r

a

spinal dan

spinal)

Euphoria

Potensi

disalahgunakan

rendah

Miosis

Bradikardi

Hipotermia

Page 12: Fentanyl Ds

Retensi

urin

Anlagesia (spinal)

Depresi ventilasi

Efek

ketergantungan

Konstipasi

Analgesi

(supraspinal)

Dysphoria, sedasi

Page 13: Fentanyl Ds

Miosis

Diuresis

Analgesia

(supraspinal dan

spinal)

Depresi ventilasi

Efek

ketergantungan

Konstipasi

Retensi urin

Agonis

Page 14: Fentanyl Ds

Endorf

in

Morfin

Opioid sintetik

Endorfin

Morfin

Opioid sintetik

Dinorfin

Enkefalin

Antogonis

Naloxone

Naltrexon

Nalmefene

Page 15: Fentanyl Ds

Naloxone

Naltrexon

Nalmefene

Naloxone

Naltrexon

Nalmefene

Naloxone

Naltrexon

Nalmefene

Ketiga dari resptor opioid menghambat adenil siklase, menurunkan konduksi kanal kalsium, membuka gerbang potasium. Efek dari ketiga reseptor tersebut menurunkan aktifitas neuron. Reseptor opioid ini juga memodulasi

phosphoinositide-signaling cascade

dan phospholipase. Pencegahan influks kalsium mencegah sekresi substansi P pada beberapa neuron.

5

II.3 Preparat Opioid A.

Page 16: Fentanyl Ds

Morfin

1

Morfin adalah bentuk pertama agonis opioid dan pembanding bagi opioid lainnya. Pada manusia, morfin menghasilkan analgesi, euforia, sedasi, dan mengurangi kemampuan untuk berkonsentrasi, nausea, rasa hangat pada tubuh, rasa berat pada ekstrimitas, mulut kering, dan pruritus, terutama di wilayah kulit sekitar hidung. Morfin tidak menghilangkan penyebab nyeri, tetapi meningkatkan ambang nyeri dan mengubah persepsi berbahaya yang dialami tidak sebagai nyeri. Efek analgesia akan optimal apabila morfin diberikan sebelum stimulus nyeri timbul.

Gambar 1. Struktur Kimia Morfin

1.

Farmakokinetik Morfin

Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian IM, dengan onset antara 15 -30 menit dan efek tertinggi antara 45-90 menit serta durasinya sekitar 4 jam. Morfin tidak diserap secara baik melalui pemberian oral. Morfin biasa diberikan secara IV selama masa operasi. Efek puncak setelah pemberian morfin IV lebih lambat dibandingkan dengan opioid lain seperti fentanyl, dan alfentanyl, yaitu sekitar 15-30 menit. Pemberian cepat IV tidak memeiliki pengaruh farmakologis karena lambatnya obat menembus sawar darah otak. Konsentrasi CSF puncak morfin 6

antara 15-30 menit setelah pemberian IV dan menurun lebih lambat dibandingkan konsentrasi plasma. Analgesia cukup mungkin membutuhkan rumatan konsentrasi plasma morfin paling tidak 0,05µg/ml. Pada pasien yang dipindahkan biasanya membutuhkan analgesia post operatif yang cukup, dengan dosis morfin total antara 1,3-2,7 mg/jam. Hanya sebagian kecil pemberian morfin dapat mencapai CNS. Diperkirakan <0,1% morfin yang diberikan IV memasuki CNS pada waktu puncak konsentrasi plasma. Penyebab lambatnya penetrasi morfin ke CNS antara lain: a.

Kelarutan lemak yang rendah. b.

Tingginya derajat ionisasi pada pH fisiologis. c.

Page 17: Fentanyl Ds

Ikatan protein. d.

Konjugasi cepat dengan asam glukoronat. Induksi dengan karbon dioksida akan meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan pengiriman morfin ke otak Berbeda dengan CNS, morfin akan terakumulasi dengan cepat pada ginjal, hati dan otot skeletal. Morfin, tidak mengalami jalur pengambilan pertama ke paru secara berarti seperti pada fentanyl.

2.

Metabolisme Morfin

Morfin dimetabolisme melalui dua jalur, yaitu hepatik dan ekstra hepatik. Morfin dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepatik sedangkan jalur ekstra hepatik lebih banyak terjadi di ginjal. Sekitar 75-85% dari morfin yang diberikan akan menjadi morfin 3 glukoronat dan 5-10% menjadi morfin 6 glukoronat (rasio 9:1). Sekitar 5% morfin akan mengalami demetilasi menjadi normomorfin dan sebagian kecil diproses menjadi kodein. Metabolit morfin akan dieliminasi melalui urin, sekitar 7-10% diekskresikan melalui empedu. Morfin 3 glukoronat dapat dideteksi dalam urin setelah 72 jam pemberian. Sejumlah kecil morfin (1-2%) ditemukan dalam urine tanpa perubahan. 7

Morfin 3 glukoronat merupakan metabolit yang inaktif. Efek analgesia dan depresi napas ditimbulkan oleh morfin 6 glukoronat melalui aktivasi reseptor µ. Gangguan ventilasi karbon dioksida dipengaruhi oleh morfin dan morfin 6 glukoronat. Metabolisme ginjal memegang peranan utama dalam metabolisme morfin. Hal ini menjelaskan mengapa tidak terjadi penurunan klirens morfin plasma pada pasien cirrhosis hepatis atau pada fase anhepatik pasien transplantasi hati. Hal ini dimungkinkan karena terjadinya peningkatan metabolisme morfin di ginjal pada pasien dengan gangguan hati. Sebaliknya pada pasien gagal ginjal, ekskresi morfin glukoronat akan terganggu dan menyebabkan akumulasi metabolit morfin dan depresi napas yang tak terduga pada dosis opioid kecil. Ikatan morfin glukoronat juga dapat dirusak oleh monoamin oksidase inhibitor yang akan menyebabkan efek morfin yang berlebihan bila kedua obat diberikan bersamaan.

3.

Waktu Paruh Morfin

Setelah pemberian intravena, morfin 3 glukoronat akan lebih lambat dieliminasi. Sedangkan penurunan konsentrasi plasma morfin lebih disebabkan oleh metabolisme. Hanya sebagian kecil morfin yang akan diekskresikan melalui urin tanpa dimetabolisme. Konsentrasi plasma morfin lebih tinggi pada orang tua dibandingkan dewasa muda. Pada bayi berumur kurang dari 4 hari, klirens morfin akan menurun dan waktu paruhnya menjadi lebih panjang dibandingkan pada bayi yang lebih tua. Hal ini menunjukkan

Page 18: Fentanyl Ds

bahwa depresi napas lebih sensitif pada neonatus dibandingkan pada anak-anak. Pada pasien dengan gagal ginjal, konsentrasi plasma dan CSF morfin dan metabolitnya akan lebih tinggi sehingga memerlukan perhatian khusus. Konsentrasi morfin pada kolostrum ibu-ibu yang mendapat morfin hanya sedikit dan tidak signifikan pada pemberian air susu ibu ke bayi. 8

Morfin menunjukkan potensi analgesik yang lebih tinggi dan durasi lebih lama pada wanita dibandingkan pada laki-laki. Konsumsi morfin post operasi pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Sebaliknya, morfin menurunkan renspon ventilasi terhadap karbon dioksida pada perempuan sedangkan efek yang sama tidak ada pada laki-laki. Morfin tidak mengganggu ambang batas apneu dan menurunkan kepekaan akan hipoksia pada perempuan sedangkan pada laki-laki sebaliknya.

4.

Efek Samping Morfin

Efek samping morfin juga terdapat pada agonis opioid lain, walaupun insiden dan besarnya tidak sama. Efek samping morfin dijelaskan berdasarkan sistem dan gejala yang ditimbulkannya. a.

Sistem kardiovaskuler Efek samping pada sistem kardiovaskuler dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme berbeda. Kelainan pada penggunaan morfin dapat terjadi karena respon dari sistem simpatik. Morfin akan menurunkan pengaruh sistem simpatik pada jaringan perifer sehingga terjadi penurunan venous return,

cardiac output

dan tekanan darah. Morfin juga dapat menyebabkan bradikardi akibat peningkatan aktivitas vagal sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Morfin menimbulkan efek depresi langsung pada SA node dan memperlambat konduksi impuls jantung melalui AV node. Penggunaan opioid (morfin) sebagai premedikasi dan sebelum induksi (fentanyl) bertujuan menurunkan denyut jantung selama penggunaan gas anestesi inhalasi. Penurunan tekanan darah dan pelepasan histamin karena opioid sangat bervariasi kejadian dan derajatnya. Untuk meminimalisir beratnya pelepasan histamin karena morfin dan penurunan tekanan darah dapat dilakukan, (a) pembatasan kecepatan infus morfin menjadi 5 mg/menit, (b) pesien diposisikan dalam keadaan supine atau kepala lebih rendah, dan (c) optimisasi cairan 9

intravasculer. Sedangkan pada penggunaan fentanyl dan sufentanyl tidak terjadi pelepasan histamin. b.

Pernapasan Semua agonis opioid akan menimbulkan depresi pernapasan dengan semakin besarnya dosisnya dan jenis kelamin dari pasien. Agonis opioid bekerja pada reseptor µ

2

Page 19: Fentanyl Ds

yang menekan pusat pernapasan di batang otak. Tingkat depresi napas yang ditimbulkan seiring dengan analgesik yang didapatkan dan pengurangan terhadap depresi napas juga akan mengurangi analgesik yang didapatkan. Opioid mendepresi pernapasan dengan mengurangi reaksi pusat pernapasan terhadap karbon dioksida dan pergeseran kurva respon karbon dioksida ke kanan. Opioid juga mengganggu pusat pernapasan di pons dan medula sehingga menyebabkan pernapasan yang pendek dan dalam. Opioid juga menekan aktivitas silia dari jalan napas sesuai dengan dosis yang diberikan. Resistensi jalan napas meningkat baik karena efek langsung morfin pada otot polos bronkus juga karena pelepasan histamin. c.

Penekanan batuk Opioid menekan batuk melalui gangguan pada pusat batuk yang berbeda dengan pusat pernapasan. Penekanan batuk terberat terjadi pada opioid yang mengalami subsitusi besar pada posisi karbon nomor 3 (kodien). Penekanan batuk dihasilkan juga oleh isomer opioid dektrotatory (dekstromethorphan) yang tidak memiliki efek analgesia. d.

Sistem saraf Opioid harus digunakan secara hati-hati pada pasien trauma kepala karena (a) hubungannya dengan kesulitan sadar, (b) miosis yang ditimbulkan, dan (c) penekanan pernapasan yang akan meningkatkan tekanan intra kranial jika PaCO

2

meningkat. Cedera kepala juga dapat merusak sawar darah otak sehingga meningkatkan sensitivitas otak terhadap opioid. 10

Pemberian dosis besar dan cepat opioid secara intravena menyebabkan kekakuan otot dada dan perut. Hal ini dapat mengganggu ventilasi paru dan penekanan jalan napas yang mengganggu venous return. Penghambatan pelepasan stria gamma aminobutyric acid dan peningkatan produksi dopamin merupakan penyebab peningkatan tonus otot skeletal. Miosis disebabkan oleh eksitasi pada sistem saraf otonom pada komponen nukleus Edinger-Westphal pada saraf occulomotor. Efek ini dapat dilawan dengan pemberian atropin dan keadaan hipoksemia arterial yang besar. e.

Sedasi Pemberian dosis kecil morfin menyebabkan sedasi sebelum onset analgesia terjadi. Karenanya, tidur tidak dapat menjadi patokan kecukupan dosis analgesia yang diberikan. f.

Sistem biliar Opioid menyebabkan spasme otot polos biliaris dan menyebabkan peningkatan tekanan intabiliar yang dihubungkan dengan stress epigastrik atau kolik biliar. Nyeri ini sangat mirip dengan iskemik miokard. Naloxone dapat mengurangi nyeri akibat spasme biliar tapi tidak pada iskemik miokard, sedangkan nitrogliserin akan menghilangkan nyeri akibat keduanya. Glucagon 2 mg IV dapat

Page 20: Fentanyl Ds

mengurangi spasme biliar namun tidak mengurangi efek analgesik dari opioid seperti pada pemberian naloxone. Pada dosis analgesik, fentanyl, morfin, meperidine dan pentazocine meningkatkan tekanan intra biliar sebanyak 99%, 53%, 61% dan 15%. g.

Traktus gastrointestinal Pemberian morfin, meperidine dan fentanyl akan menyebabkan spasme otot polos saluran pencernaan yang dapat menyebabkan konstipasi, kolik biliar dan perlambatan pengosongan lambung. h.

Nausea dan vomitting Opioid akan menimbulkan mual dan muntah karena stimulasi langsung pada wilayah pemicu kemoreseptor di dasar ventrikel keempat. Efek mual muntah 11

juga dapat ditimbulkan oleh stimulasi reseptor dopamin karena peningkatan sekresi dan perlambatan pengosongan isi saluran cerna. i.

Sistem genitourinarius Morfin meningkatkan tonus dan aktivitas peristaltik ureter. Hal ini menyebabkan terjadinya keadaan urinary urgency pada pasien. Namun pada keadaan yang sama tonus spingter vesika meningkat sehingga terjadi kesulitan pengosongan urin. Efek morfin dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik. j.

Perubahan kulit Morfin menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit. Kulit wajah, leher dan dada biasanya menjadi merah dan panas. Hal ini disebabkan oleh pelepasan histamin. k.

Plasenta Morfin dapat melewati plasenta dan masuk ke dalam aliran darah neonatus. Karenanya depresi pada neonatus dapat terjadi pada pemberian opioid selama persalinan. Pemberian morfin memiliki efek yang lebih besar daripada pemberian meperidine. Pada pemberian yang lama dapat terjadi adiksi intrauterin pada bayi.

5.

Interaksi obat

Efek depresi napas beberapa opioid akan diperberat oleh amfetamin, fenotiazine, MAO inhibitor dan antidepresant trisiklik. Obat simpatomimetik akan meningkatkan analgesik yang dihasilkan oleh opioid. Sistem kolinergik dan obat yang memacu sistem kolinergik seperti physostigmine akan meningkatkan analgesia opioid dan sebaliknya atropin akan mengurangi analgesia.

Page 21: Fentanyl Ds

12

B.

Meperidine

1

Meperidine adalah agonis opioid sintetik pada reseptor mu dan kappa yang diturunkan dari fenilpiperidine. Ada beberapa analog dari meperidine termasuk fentanyl, sufentanyl, alfentanyl dan remifentanyl. Secara struktur, meperidine mirip dengan atropin dan memiliki efek anti spasmodik yang ringan. Namun, secara farmakalogi efek meperidine sama dengan morfin.

1.

Farmakokinetik

Potensi meperidine sekitar sepersepuluh dari morfin, dimana dosis 80-100 mg IM meperidine sama dengan 10 mg morfin. Durasi kerja meperidine sekitar 2-4 jam, lebih pendek daripada morfin. Pada dosis analgesik yang sama, meperidine memiliki efek samping yang sama dengan morfin. Meperidin diserap lebih baik melalui saluran cerna dibandingkan morfin, walaupun hanya setengahnya yang efektif dibandingkan dengan pemberian IM.

2.

Metabolisme

Metabolisme di hati memegang peranan besar, 90% obat akan mengalami demetilasi menjadi normeperidine dan dihidrolisis menjadi asam meperidinic. Ekskresi melalui urin tergantung pada pH, pada pH yang asam meperidine akan lebih banyak diekskresikan secara utuh. Normeperidine memiliki waktu paruh 15 jam (35 jam pada gagal ginjal) dan dapat dideteksi pada urin hingga 3 hari setelah pemberian. Metabolit ini memiliki efek analgesia separuh daripada meperidine namun menimbulkan stimulasi pada CNS. Toksisitas normeperidine berupa myoklonus dan kejang timbul pada pasien dengan pemberian lama obat dan pada pasien gagal ginjal.

Page 22: Fentanyl Ds

Waktu paruh meperidine berkisar 3-5 jam bergantung kepada metabolisme di hepar. Gangguan di hepar akan menyebabkan waktu paruh yang lebih lama daripada meperidine. Sekitar 60% meperidine terikat pada protein plasma sehingga pada pasien tua akan terjadi penurunan ikatan protein plasma dan meningkatkan efek kerja meperidine. 13

3.

Penggunaan Klinis

Meperidine digunakan sebagai analgesik selama proses persalinan dan post operasi. Meperidine akan bekerja secara baik apabila diberikan secara intra tekal. Konsentrasi analgesik palsma meperidine sangat bervariasi diantara pasien. Konsetrasi plasma meperidine sekitar 0,7 µg/mL akan memberikan analgesia yang cukup pada post operasi. Dosis total yang diberikan antara 12-36 mg/jam. Meperidine juga efektif mencegah menggigil akibat penggunaan oksigen yang berlebihan. Efek ini karena stimulasi reseptor kappa dan agonis reseptor alpha

2

yang membantu efek anti menggigil. Keuntungan lain meperidine adalah pemberian oral. Namun meperidine tidak memiliki efek anti diare dan antitussif seperti morfin. Sehingga penggunaan meperidine pada bronkoskopi kurang baik. Meperidine tidak boleh diberikan dalam dosis besar karena efek inotropic negatif pada jantung dan pelepasan histamin.

4.

Efek Samping

Efek samping yang timbul antara lain hipotensi ortostatic akibat kompensasi reflek saraf simpatik. Meperidin lebih sering meningkatkan denyut jantung daripada bradikardi. Delirium dan kejang juga terjadi akibat akumulasi normeperidine di dalam CNS. Serotonin sindrom (hipertensi tidak stabil, takikardi, diaforesis, hipertermi, confusion, delirium dan hiperreflek) dapat terjadi bila meperidine diberikan pada pasien yang mendapat obat-obatan antidepressant (MAO inhibitor, fluoxetine). Efek depresi napas dan tranport melewati plasenta meperidine lebih berat dibandingkan morfin. Namun efek konstipasi dan retensi urin lebih rendah dibanding morfin. Meperidine lebih memiliki efek seperti atropin dibandingkan morfin. Midriasis, mulut kering, peningkatan denyut jantung lebih banyak terjadi pada meperidine. Efek otonom karena ketergantungan meperidine lebih rendah dibandingkan morfin. Namun waktu toleransinya lebih pendek dibandingkan morfin. 14

C.

Page 23: Fentanyl Ds

Fentanyl

1

Fentanyl adalah opioid sintetik turunan fenilpiperidine yang secara struktur mirip dengan meperidine. Sebagai analgesik, fentanyl lebih kuat 75-125 kali morfin.

Gambar 2. Struktur Kimia Fentanil

1.

Farmakokinetik

Dosis tunggal fentanyl secara IV memiliki onset yang lebih cepat dan durasi yang lebih pendek daripada morfin. Onset fentanyl yang cepat menunjukkan kelarutan lemak yang lebih tinggi dan durasi yang pendek menunjukkan distribusi yang cepat ke jaringan yang tidak aktif dibandingkan dengan morfin.

2.

Metabolisme

Fentanyl dimetabolisme oleh N-demethylation menjadi norfentanyl, hydroxyproprionil-fentanyl dan hidroxyproprionyl-fentanyl. Norfentanyl mirip dengan normeperidine dan merupakan metabolit utama pada tubuh. Metabolit ini diekskresikan melaui ginjal dan dapat dideteksi dalam urin hingga 72 jam pemberian. Aktivitas farmakologis metabolit fentanyl sangat minimal. 15

3.

Waktu paruh

Walaupun secara klinis fentanyl memiliki durasi yang pendek, namun waktu paruhnya lebih panjang dibandingkan morfin. Hal ini disebabkan volume distribusi fentanyl lebih besar daripada morfin. Setelah pemberian IV, fentanyl tersebar secara cepat ke jaringan. Lebih dari 80% obat akan hilang dari plasma dalam waktu <5 menit. Namun waktu paruh yang panjang terjadi karena adanya pengambilan kembali fentanyl yang telah ada di jaringan. Pemanjangan waktu paruh juga terjadi pada orang tua karena aktivitas metabolisme di hati menjadi lambat.

4.

Page 24: Fentanyl Ds

Jalur kardiopulmonal

Semua opioid mengalami penurunan konsentrasi plasma setelah melewati jalur kardiopulmonal. Namun fentanil akan mengalami penurunan konsentrasi plasma yang sangat besar akibat tingginya perlekatan obat terhadap jalur kardiopulmonal. Jalur kardiopulmonal ini juga yang menyebabkan eliminasi fentanyl dari plasma menjadi lebih lama.

5.

Penggunaan klinis

Dosis penggunaan klinis fentanil cukup lebar. Dosis kecil fentanil, 1-2 µg/kg IV menyebabkan analgesia, dosis 2-20 µg/kg IV sebagai tambahan anestesi inhalasi. Penggunaan fentanil sebagai analgesik sebelum operasi membantu pengurangan dosis opioid yang digunakan sebagai anlgesik post operasi. Penggunaan fentanil dosis 1,5-3 µg/kg IV 5 menit sebelum induksi akan mengurangi dosis isoflurane atau desflurane dengan hanya 60% N

2

O yang dibutuhkan untuk memblok respon saraf simpatis. Dosis besar fentanil, 50-150 µg/kg IV dapat digunakan sebagai obat tunggal anestesi. Keuntungan penggunaan fentanil sebagai obat tunggal yaitu, (a) kurangnya efek depresi miokard, (b) tidak terjadinya pelepasan histamin, (c) tidak ada stress terhadap pembedahan. Kerugian 16

yang didapat yaitu, (a) tidak dapat mencegah respon simpatis terhadap nyeri, (b) kemungkinan pasien sadar, (c) depresi napas post operasi. Fentanyl juga diberikan secara transmukosal dengan dosis 5-20 µg/kg. Tujuannya untuk mengurangi kecemasan preoperasi dan membantu induksi anestesi teutama pada anak-anak. Sebagai premedikasi, fentanyl juga dapat diberikan secara transdermal sebelum operasi dan dibiarkan hingga 24 jam post operasi untuk mengurangi dosis opioid yang digunakan sebagai analgesia. Pemberian secara transdermal dengan dosis 75-100 µg/jam akan mencapai konsentrasi puncak setelah 18 jam.

6.

Efek samping

a.

Kardiovaskuler Fentanyl dalam dosis besar tidak mendorong terjadinya pelepasan histamin sehingga tidak menimbulkan terjadinya hipotensi. Namun efek bradikardi lebih tinggi dibanding morfin yang dapat menurunkan

Page 25: Fentanyl Ds

cardiac output

dan mengganggu tekanan darah. b.

Kejang Kejang dapat timbul pada pemberian cepat IV fentanil, sufentanil dan alfentanil. Walaupun dalam pemeriksaan EEG tidak ditemukan adanya aktivitas kejang. c.

Tekanan Intracranial Pemberian fentanil dan sufentanil pada pasien cedera kepala akan menaikkan sedikit ICP (6-9 mmHg) dan juga diikuti penurunan tekanan arteri rata-rata dan tekanan perfusi otak.

7.

Interaksi obat

Konsentrasi analgesik fentanil akan mempotensiasi efek midazolam dan menurunkan dosis propofol yang dibutuhkan. Kombinasi opioid-benzodiazepine 17

menunjukkan sinergi antara hypnosis dan depresi napas. Namun keuntungan kombinasi ini lebih besar dibandingkan kerugian yang didapat.

D.

Kodein

1

Kodein merupakan hasil substitusi grup metil pada grup hidroksil di karbon nomor 3 morfin. Jumlah grup metil dibatasi oleh first-pass hepatic metabolism dan jumlah yang diberikan secara oral. Waktu paruh setelah pemberian oral atau IM antara 3-3,5 jam. Sekitar 10% akan demetilisasi di hati menjadi morfin yang menimbulkan efek analgesia pada pemberian kodein. Sebagian besar kodein dimetilisasi menjadi norcodeine yang inaktif. Kodein adalah obat antitussif oral yang efektif dengan dosis 15 mg. Bila diberikan sebanyak 60 mg maka kodein akan memiliki efek analgesia yang setara dengan 650 mg aspirin dan 120 mg kodein IM setara dengan 10 mg morfin. Kodein menimbulkan sedasi minimal, nausea, vomitting dan konstipasi. Namun kodein tidak memiliki efek depresi pernapasan.

E.

Page 26: Fentanyl Ds

Tramadol

1

Tramadol merupakan analgesik yang bekerja secara sentral dengan berikatan pada reseptor mu dan berikatan lemah pada reseptor kappa dan delta. Potensi analgesik tramadol 5-10 kali lebih lemah daripada morfin. Tramadol dengan dosis 3 mg/kg dapat diberikan secara oral, IM atau IV untuk mengatasi nyeri sedang hingga berat. Keuntungan pemberian tramadol adalah tidak adanya depresi napas, dan tidak menyebabkan ketergantungan pada obat serta memiliki toksisitas organ yang rendah. Selain itu, efek perlambatan pengosongan lambung juga lebih rendah dibanding opioid lain dan efek sedasi yang minimal. 18

Kerugian penggunaan tramadol antara lain interaksinya dengan antikoagulan koumadin dan kemungkinan terjadinya kejang pada pasien epilepsi. Tramadol juga mendorong timbulnya mual dan muntah pada pemberian perioperatif.

19

BAB III FARMAKOLOGI OBAT-OBATAN HIPNOTIK-SEDATIF

Obat-obatan hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas

moderate

yang memberikan efek menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat memberikan efek mengantuk dan yang dapat memberikan onset serta mempertahankan tidur.

2

Secara klinis obat-obatan sedatif-hipnotik digunakan sebagai obat-obatan yang berhubungan dengan sistem saraf pusat seperti tatalaksana nyeri akut dan kronik, tindakan anestesia, penatalaksanaan kejang, serta insomnia. Obat-obatan sedatif hipnotik diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yakni:

1.

Benzodiazepin 2.

Barbiturat 3.

Page 27: Fentanyl Ds

Golongan obat nonbarbiturat

nonbenzodiazepin

2

III.1 Benzodiazepin

3

Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi sekaligus, yaitu anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan amnesia retrograde. Benzodiazepine banyak digunakan dalam praktik klinik. Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, rendahnya toleransi obat dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati.

Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi. Dalam masa perioperative, midazolam telah menggantikan penggunaan diazepam. Selain itu, benzodiazepine memiliki antagonis khusus yaitu flumazenil.

20

A.

Struktur Kimia Benzodiazepin

3

Benzodiazepine disusun sebuah ring benzene bergabung menjadi sebuah diazepine ring yang berisi tujuh molekul.

Gambar 3. Struktur Kimia Benzodiazepin

Page 28: Fentanyl Ds

1.

Mekanisme Kerja

3

Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal. Efek sedatif timbul dari aktivasi reseptor GABA

A

sub unit alpha-1 yang merupakan 60% dari resptor GABA di otak (korteks serebral, korteks serebelum, thalamus). Sementara efek ansiolotik timbul dari aktifasi GABA sub unit aplha-2 (Hipokampus dan amigdala). Perbedaan onset dan durasi kerja diantara benzodiazepine menunjukkan perbedaan potensi (affinitas terhadap reseptor), kelarutan lemak (kemampuan 21

menembus sawar darah otak dan redistribusi jaringan perifer) dan farmakokinetik (penyerapan, distribusi, metabolisme dan ekskresi). Hampir semua benzodiazepine larut lemak dan terikat kuat dengan protein plasma. Sehingga keadaan hipoalbumin pada cirrhosis hepatis dan chronic renal disease akan meningkatkan efek obat ini. Benzodiazepin menurunkan degradasi adenosin dengan menghambat tranportasi nuklesida. Adonosin penting dalam regulasi fungsi jantung (penurunan kebutuhan oksigen jantung melalui penurunan detak jantung dan meningkatkan oksigenasi melalui vasodilatasi arteri korener) dan semua fungsi fisiologi proteksi jantung

2.

Efek Samping

3

Kelelahan dan mengantuk adalah efek samping yang biasa pada penggunaan lama benzodiazepine. Sedasi akan menggangu aktivitas setidaknuya selama 2 minggu. Penggunaan yang lama benzodiazepine tidak akan mengganggu tekanan darah, denyut jantung, ritme jantung dan ventilasi. Namun penggunaannya sebaiknya hati-hati pada pasien dengan penyakit paru kronis. Penggunaan benzodiazepine akan mengurangi kebutuhan akan obat anestesi inhalasi ataupun injeksi. Walaupun

Page 29: Fentanyl Ds

penggunaan midazolam akan meningkatkan efek depresi napas opioid dan mengurangi efek analgesiknya. Selain itu, efek antagonis benzodiazepine, flumazenil, juga meningkatkan efek analgesik opioid.

3.

Contoh Preparat Benzodiazepin a.

Midazolam

3

Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin imidazole yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini 22

telah menggantikan diazepam selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu affinitas terhadap reseptor GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada obat ini lebih kuat diabanding efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama beberapa jam. Larutan midazolam dibuat asam dengan pH < 4 agar cincin tidak terbuka dan tetap larut dalam air. Ketika masuk ke dalam tubuh, akan terjadi perubahan pH sehingga cincin akan menutup dan obat akan menjadi larut dalam lemak. Larutan midazolam dapat dicampur dengan ringer laktat atau garam asam dari obat lain.

1)

Farmakokinetik

Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak. Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya 50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta hepatik yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat. Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan lebih pendek dibanding diazepam.