fenomena penyelenggaraan pendidikan khusus dalam era otonomi daerah

15
 FENOMENA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS DALAM ERA OTONOMI DAERAH Penyelenggaraan pendidikan khusus di era otonomi daerah sungguh merupakan sebuah fenomena yang hampir pasti membuat setiap pemerintah daerah mengurut dada. Betapa tidak, ada dua konsekuensi logis yang hendaknya menjadi perhatian utama. Pertama, pengelolaan pendidikan khusus memerlukan penanganan khusus dengan berbagai konsekuensinya. Kedua, penyelenggaraan pendidikan khusus membutuhkan pembiayaan yang cukup besar seiring dengan dikeluarkannya kebijakan baru pendidikan khusus sementara kesiapan daerah masih sangat beragam dan bahkan cenderung lemah. Berbagai permasalahan yang dihadapi baik dari sisi manajemen, pembiayaan maupun penerapannya membutuhkan kesigapan pemerintah daerah dengan menunjukkan dan mewujudkan  political will yang memadai. Solusi yang dilakukan selama ini masih pada tataran pemerataan akses bahkan belum sepenuhnya tercapai dan belum mengarah pada peningkatan kualitas dan tata kelola yang baik. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan pendidikan Indonesia, sejak 40 tahun yang lalu (ketika rencana pembanguan lima tahun pertama disusun), bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya yang memiliki keseimbangan perilaku, pengetahuan dan keahlian. Dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat disebutkan bahwa “setiap penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”. Tentunya aspek -aspek tersebut mencakup pula aspek pendidikan yang menjadi kebutuhan semua orang. Demikian pula dalam Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 17 Tahun 2010 dikatakan bahwa Mentri menetapkan kebijakan untuk menjamin peserta didik memperoleh akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus, dan/atau peserta didik di daerah khusus. Fenomena ini juga telah dituangkan dalam Rencana Strategis Depdiknas tahun 2010   2014 bahwa pembangunan pendidikan di Indonesia hendaknya menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial, ataupun kendala geografis, yaitu layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak terjangkau. Keberpihakan diwujudkan dalam bentuk penyelenggaraan sekolah khusus, pendidikan layanan khusus ataupun pendidikan nonformal dan informal, pendidikan dengan sistem guru kunjung, pendidikan jarak jauh dan bentuk pendidikan khusus lain yang sejenis sehingga menjamin terselenggaranya pendidikan yang demokratis, merata dan berkeadilan serta berkesetaraan gender. Rencana strategis itu sesuai dengan Pasal 28

Upload: iksan-zulkarnen

Post on 13-Jul-2015

321 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 1/15

 

FENOMENA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS DALAM ERA

OTONOMI DAERAH

Penyelenggaraan pendidikan khusus di era otonomi daerah sungguh merupakan sebuahfenomena yang hampir pasti membuat setiap pemerintah daerah mengurut dada. Betapa tidak,

ada dua konsekuensi logis yang hendaknya menjadi perhatian utama. Pertama, pengelolaanpendidikan khusus memerlukan penanganan khusus dengan berbagai konsekuensinya. Kedua,penyelenggaraan pendidikan khusus membutuhkan pembiayaan yang cukup besar seiring dengan

dikeluarkannya kebijakan baru pendidikan khusus sementara kesiapan daerah masih sangat

beragam dan bahkan cenderung lemah. Berbagai permasalahan yang dihadapi baik dari sisimanajemen, pembiayaan maupun penerapannya membutuhkan kesigapan pemerintah daerah

dengan menunjukkan dan mewujudkan  political will yang memadai. Solusi yang dilakukan

selama ini masih pada tataran pemerataan akses bahkan belum sepenuhnya tercapai dan belum

mengarah pada peningkatan kualitas dan tata kelola yang baik.

I. PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 

Pengembangan pendidikan Indonesia, sejak 40 tahun yang lalu (ketika rencana

pembanguan lima tahun pertama disusun), bertujuan untuk membangun manusia Indonesia

seutuhnya yang memiliki keseimbangan perilaku, pengetahuan dan keahlian. Dalam UU Nomor

4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat disebutkan bahwa “setiap penyandang cacat mempunyai

hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”. Tentunya aspek -aspek tersebut

mencakup pula aspek pendidikan yang menjadi kebutuhan semua orang. Demikian pula dalam

Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 17 Tahun 2010 dikatakan bahwa Mentri menetapkan kebijakan untuk 

menjamin peserta didik memperoleh akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang orang

tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus, dan/atau

peserta didik di daerah khusus. Fenomena ini juga telah dituangkan dalam Rencana Strategis

Depdiknas tahun 2010  –  2014  bahwa pembangunan pendidikan di Indonesia hendaknya

menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental,

hambatan ekonomi dan sosial, ataupun kendala geografis, yaitu layanan pendidikan untuk 

menjangkau mereka yang tidak terjangkau. Keberpihakan diwujudkan dalam bentuk 

penyelenggaraan sekolah khusus, pendidikan layanan khusus ataupun pendidikan nonformal dan

informal, pendidikan dengan sistem guru kunjung, pendidikan jarak jauh dan bentuk pendidikan

khusus lain yang sejenis sehingga menjamin terselenggaranya pendidikan yang demokratis,

merata dan berkeadilan serta berkesetaraan gender. Rencana strategis itu sesuai dengan Pasal 28

Page 2: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 2/15

 

Konvensi Hak Anak-anak, Pasal 26 Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Pendidikan untuk Semua

( Education for All / EFA) UNESCO.

UUD 1945, Pasal 28B, Ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak 

untuk mengembangkan diri sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, mendapat pendidikan dan

memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk meningkatkan mutu

hidupnya bagi kesejahteraan manusia, dan dalam Pasal 31, Ayat (1) menyatakan bahwa setiap

warga negara Indonesia mempunyai hak untuk mendapat pendidikan. UU Pendidikan No.

20/2003, Pasal 5 (tentang Hak-hak dan Kewajiban Warga Negara), Sub-Ayat 1 menjamin setiap

warga negara Indonesia mendapat pendidikan, dan Sub-Ayat 2 menyebutkan bahwa warga

negara berkebutuhan khusus (ABK) (cacat fisik, emosi, kecerdasan dan/atau sosial) berhak 

mendapat pendidikan khusus. Demikian pula halnya dengan anak-anak berbakat luar biasa

(ABLB) yang dalam tataran biasa membutuhkan perhatian lebih sesuai dengan potensi rahmat

Tuhan yang dimilikinya.

Hal mendasar dari UUD dan UU adalah bahwa sekolah harus memenuhi kebutuhan siswa

dengan tidak mempermasalahkan ketidakmampun atau keterbatasan mereka. Filosofi sistem

legal ini telah mengakomodir bahwa setiap manusia memiliki perbedaan yang unik. Hal ini

menunjukkan bahwa martabat, keragaman dan perbedaan potensi dan perilaku tidak diacuhkan,

dan setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang secara utuh, mengembangkan dunianya

dan mengaktualisasikan dirinya secara kreatif.Kesejatian cita-cita dan harapan yang tertuang dalam berbagai undang-undang dan

peraturan tersebut selanjutnya diuji selama era desentralisasi. Mampukah daerah (provinsi dan

kabupaten/kota) menunaikan amanat-amanat luhur yang terkandung di dalam undang-undang

maupun peraturan tersebut khususnya dalam penanganan pendidikan khusus? Seberapa besar

otonomi yang diberikan pusat kepada daerah? Seberapa siap daerah menjunjung tinggi amanat

otonomi yang diembannya untuk memajukan daerahnya dalam bidang pendidikan khusus?

Kesulitan-kesulitan apa yang dihadapi daerah dalam menunaikan undang-undang dan peraturan

tersebut? Dan masih banyak lagi pertanyaan (keraguan) lain yang menghantui pelaksanaan

desentralisasi pendidikan khusus di negeri ini.

Satu hal yang perlu diingat bahwa pendidikan adalah tangung jawab pemerintah dan

masyarakat hanya “membantu”. “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem

pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam

Page 3: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 3/15

 

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Dengan

demikian, Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah di Daerah hendaknya menjunjung tinggi

amanat ini.

 Namun, melihat kondisi terkini pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” di

beberapa daerah dibutuhkan seperangkat alat dan cara yang sistematis dan berkelanjutan untuk 

mewujudkannya. Dibutuhkan kesabaran dan waktu yang cukup untuk merealisasikannya.

Sampai saat ini Pemerintah menyelenggarakan dua jenis sekolah untuk memenuhi kebutuhan

warga negara Indonesia yang berkebutuhan khusus, yaitu (1) sekolah yang menyediakan

pendidikan khusus atau sekolah luar biasa, yang dikenal dengan sekolah-sekolah mainstreaming 

dan segregasi dan (2) sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan inklusi.

Data terakhir jumlah siswa yang tercatat memasuki sekolah luar biasa saat ini sebanyak 

57.449 orang yang diselenggarakan oleh 3,623 sekolah khusus dari berbagai tingkatan mulai

dari SD sampai SMA. Para siswa ini diajar dan dibimbing oleh 15.615 orang guru yang terdiri

dari 8.516 guru negeri dan selebihnya 7.099 guru-guru swasta. Pemerintah Pusat melalui

kerjasama dengan UNESCO hanya dapat memberikan beasiswa kepada 2750 orang siswa. Lalu

bagaimana dengan siswa lainnya? Bagaimana dengan asumsi bahwa masih dua kali lipat

 jumlahnya anak-anak ABK usia sekolah yang belum mengenyam pendidikan sama sekali di

seluruh pelosok negeri ini khususnya di daerah-daerah remote area? Semua itu menjadi bahan

renungan yang harus ditangani secara arif, adil dan bertanggung jawab oleh Pemerintah Daerah.Fenomena lain ketika merujuk pada statistik anak-anak ABLB (Anak Berbakat Luar

Biasa). Ketika UU Sistem Pendidikan Nasional memutuskan  bahwa “Pemerintah dan/atau

pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua

 jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional,”

pemerintah serta-merta menyelenggarakan pendidikan bertajuk Sekolah Standar Nasional (SSN),

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dengan terlebih dahulu melewati tahap rintisan.

Upaya peningkatan kualitas pendidikan ini demikian mahal. Untuk melayani siswa SSN

dan RSBI di Indonesia Pemerintah Pusat dengan dibantu Pemerintah Daerah pada tahun 2010

harus menyiapkan anggaran sekurang-kurangnya Rp. 23.100.000.000 untuk 165 SD RSBI; Rp.

80.100.000.000 untuk 267 SMP RSBI; Rp. 300  –  Rp. 600 juta per sekolah untuk 321 SMA

RSBI, Rp. 13.800.000.000 untuk 138 SMK RSBI yang ditambah dengan anggaran 1 – 2 miliar

untuk SMK Investasi. Jika ditotal maka anggaran pendidikan unggulan tersebut mencapai angka

Page 4: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 4/15

 

yang fantastis mencapai satu sampai dua miliar rupiah. Angka ini memang tidak ada apa-apanya

bila dibandingkan dengan upaya negeri ini mengejar ketertinggalan kualitasnya.

Permasalahan kemudian muncul, apakah dengan desentralisasi pendidikan khusus ini dapat

dilaksanakan dengan baik? Lalu bagaimana dengan daerah yang pada kenyataannya sedang

menjerit karena income per kapitanya rendah?

B. Permasalahan 

Mempersempit ruang pembahasan makalah ini, maka akan diajukan beberapa

permasalahan yang diharapkan dapat terjawab melalui pembahasan nantinya. Permasalahan-

 permasalahan berikut ini sesungguhnya bila “ingin” dipilah-pilah maka akan melahirkan anak 

permasalahan lain yang sesungguhnya tidak kalah kompleks fenomenanya ketika disandingkan

dengan PP nomor 32 tahun 2004, PP Nomor 17 Tahun 2010 dan UU Nomor 20 Tahun 2003.

1. Bagaimanakah fenomena penyelenggaraan pendidikan khusus setelah bergulirnya Otonomi

Daerah?

2. Permasalahan-permasalahan apa yang paling dominan dalam melaksanakan pendidikan khusus

dan solusi apa saja yang sementara ini diambil oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

dalam memecahkan masalah-masalah tersebut?

II. PEMBAHASAN 

A.  Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus

Sejarah otonomi daerah lahir sebagai bentuk koreksi atas corak pemerintahan dan hubungan

antara pusat‐daerah yang sentralistik, eksploitatif serta jauh dari nilai‐nilai demokrasi yang saat

ini menjadi mainstream sistem politik yang berlaku di dunia. Konsep awal otonomi daerah

muncul pada tahun 1903 melalui undang undang desentralisasi di bawah pemerintah kolonial

Belanda. Undang-undang Otonomi Daerah waktu itu dikenal sebagai  Decentralisatie Wet 1903

dan merupakan amandemen terhadap Regeringsreglement 1854 (RR 1854). Tiga pasal tambahan

yakni pasal 68a, 68b, dan 68c berisi empat hal yaitu:

1. Bahwa Hindia Belanda akan dibagi ke dalam satuan-satuan daerah;

2. Pemerintahan daerah tersebut akan dilaksanakan oleh pejabat tinggi (hoofdamtenaren);

3. Gubernur jenderal sebagai penguasa dari pejabat tersebut, dan4. Kekuasaan sipil adalah kekuasaan tertinggi di daerah

Page 5: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 5/15

 

Ide pemekaran daerah dari awal sejarah kemunculannya sebenarnya merupakan niatan untuk 

menata kembali daerah-daerah agar diperoleh suatu sistem pemerintahan yang efektif dan efisien

dengan mendekatkan pelayanan publik ke rakyat. Ujung dari penataan ini tidak lain adalah suatu

kesejahteraan rakyat yang lebih merata di semua daerah termasuk di dalamnya pemerataan

pendididikan yang bermutu. Pertanyaanya kemudian adalah bagaimana bentuk ideal pendidikan

di era otonomi daerah?

Otonomi daerah berimplikasi langsung bagi manajemen pendidikan yaitu desentralisasi

pendidikan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1

menyatakan desentralisasi adalah penyerahan sebagian wewenang pengurusan pendidikan

pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu Huda

mengartikan desentralisasi sebagai delegations of responsibilities and powers to authorities at 

the lower levels. Desentralisasi merupakan pendelegasian tanggung jawab dan kekuasaan dari

tingkat atas kepada tingkat bawah.

Pendidikan tersebut di dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 disebutkan adalah hak dasar

kemanusiaan yang harus dapat dinikmati secara layak dan merata oleh setiap masyarakat.

Pengertian hak dasar kemanusiaan yang termaktub dalam UU ini merupakan hak asasi yang

secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng semenjak seseorang

dilahirkan ke dunia. Hak asasi kemanusiaan ini mengandaikan pemenuhannya hanya bisa dicapaidan terpenuhi dengan perlindungan, penghormatan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau

dirampas oleh siapapun. Maka Negara sebagai institusi resmi wajib melaksanakannya,

memfasilitasi dan meniadakan segala penghalangnya. Untuk itu, pendidikan yang bermutu,

semestinya mampu dinikmati oleh semua elemen masyarakat bangsa Indonesia. Kebijakan

pendidikan di Indonesia semestinya mendukung atas terjaminnya hak-hak asasi warganya

utamanya dalam hal perolehan pendidikan bermutu khususnya dalam konteks otonomi daerah.

Dalam konteks otonomi daerah, pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan khusus dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah digagas dan diawali dengan diberlakukannya UU

Nomor 22 tahun 1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah, berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan pemerintah

Pusat kepada pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan Bidang Pendidikan.

Pelimpahan wewenang ini diteruskan dengan dikeluarkan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang

Page 6: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 6/15

 

Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang bertujuan

memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem

pembiayaan daerah yang adil, trasparan dan bertanggung jawab. Sementara itu, secara umum

diyakini desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini

dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan

dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung

diatur oleh pemerintah pusat.

Sejatinya, adanya UU otonomi daerah dan UU perimbangan keuangan pusat-daerah ini

semakin membantu dan memberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk seluas-luasnya

mengelola pendidikan dan pendidikan khusus sebaik mungkin. Secara eksplisit kewenangan dan

alokasi dana pendidikan ini disebutkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

 Nasional pasal 29: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan

dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) pada sektor

 pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.

Realisasi dari UU ini tentunya mengarah pada tanggung jawab pemerintah daerah yang

semakin meningkat dan semakin luas, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah

daerah dengan legitimasi UU ini diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam

berbagai tahap pembangunan pendidikan; sejak mulai tahap perumusan kebijakan, perencanaan,

pelaksanaan sampai pada tingkat pengawasan di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakanpendidikan nasional. Pengaturan otonomi daerah dalam bidang pendidikan secara tegas

dinyatakan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 yang mengatur tentang pembagian kewenangan

pemerintah pusat dan provinsi. Semua urusan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat

dan provinsi tersebut sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota.

Otonomi daerah yang berimplikasi pada otonomi pendidikan ini dibangun atas dasar filosofi

bahwa masyarakat di setiap daerah merupakan fondasi yang kuat dalam pengembangan kualitas

sumber daya manusia (SDM) secara nasional. Sisi moralnya adalah bahwa orang-orang

daerahlah yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri.

Penyelenggaraan otonomi daerah semestinya mendorong terjadinya proses otonomi pendidikan

di tingkat daerah. Adanya Otonomi daerah dan otonomi penyelenggaraan pendidikan daerah

bertujuan agar pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan lebih sesuai dengan konteks

kebutuhan daerah yang bermutu dan adil.

Page 7: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 7/15

 

Pada dasarnya otonomi daerah adalah kesempatan emas bagi pemerintah daerah untuk 

membangun dan mengatur pendidikan sebaik dan sesuai dengan kebutuhan yang ada di daerah,

disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan yang ada di daerah. Pemerintah daerah sebagai

pengambil kebijakan umum pendidikan harus memulainya dari adanya political will yang kuat

guna menjamin pemerataan kesempatan bagi seluruh anak dan semua lapisan masyarakat untuk 

mendapatkan pendidikan bermutu sebagai hak mereka. Peran ini bisa dilakukan melalui

perumusan kebijakan umum, pelayanan teknis, dan memonitor program secara regular akan

kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.

Dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat disebutkan bahwa “setiap

penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan

 penghidupan”;.Tentunya aspek -aspek tersebut mencakup pula aspek pendidikan yang menjadi

kebutuhan semua orang. Terkait dengan peluang untuk memperoleh pendidikan, UU Nomor 20

Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga

negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Pada pasal 5

ayat 2 warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau

sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Penjelasan tentang pendidikan khusus ini disebutkan pada pasal 32 ayat 1, pendidikan

merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti

proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensikecerdasan. Meskipun demikian pada pasal 51 dijelaskan bahwa anak penyandang cacat fisik 

dan atau mental diberikan kesempatan bersama dalam aksebilitas dalam memperoleh pendidikan

biasa. Pasal ini memberi peluang pada anak yang penyandang cacat fisik (anak kebutuhan

khusus) untuk memilih mengikuti pendidikan khusus sebagaimana disebutkan pada pasal 5 ayat

2 atau mengikuti pendidikan sebagaimana anak-anak yang biasa (tidak cacat).

Sebelum bergulirnya otonomi daerah, pendidikan khusus semata-mata mengandalkan

anggaran pusat baik melalui DAU maupun berupa pinjaman dan hibah. Sedangkan setelah

bergulirnya otonomi daerah, pembiayaan pendidikan khusus mengacu pada UU nomor 33 tahun

2004. Namun demikian, menurut SMERU bahwa proporsi dana yang dikelola pemerintah pusat

tetap masih besar, walaupun dengan kecenderungan yang terus menurun dalam kategori

pendidikan secara umum dan meningkat tajam dalam kategori pendidikan khusus. Peningkatan

ini disinyalir dengan ditetapkannya kebijakan membangun lokal-lokal pendidikan khusus baru

Page 8: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 8/15

 

baik untuk sekolah luar biasa maupun sekolah-sekolah unggulan seperti SSN, RSBI, dan SBI

sebelum mereka diharapkan dapat mandiri. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, belanja

pemerintah pusat di luar pembayaran bunga dan hutang masih mencapi 80%, kemudian semakin

menurun semenjak tahun 2001 atau tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah sekitar 5  – 10%

pertahunnya dan anggaran pendidikan khusus meningkat hampir 80% per tahun.

Fenomena lain yang terus menjadi perhatian terhadap penyelenggaraan pendidikan khusus

adalah ketersediaan sarana-prasarana, tenaga pendidik khusus (guru pembimbing khusus), tenaga

psikolog dan dokter, sistem informasi manajemen, benchmarking, dan bahkan biaya sosialisasi

dan monev. Hal ini menjadi perlu diperhatikan mengingat penanganan pendidikan khusus

memerlukan penanganan khusus karena memang memiliki ciri-ciri khusus yang

membedakannya dengan pendidikan reguler lainnya. Jalan tengah yang diambil pemerintah saat

ini adalah mengoptimalkan penyelenggaraan sekolah-sekolah inklusi pada setiap tingkatannya.

B. Permasalahan-Permasalahan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Khusus 

Jika ditelusuri sebenarnya persoalan yang sering dijumpai, kendala akses pendidikan bagi

anak berkebutuhan khusus ini bukan karena faktor kecacatannya yang disandang, tetapi lebih

pada faktor di luar diri penyandang cacat itu sendiri. Meskipun secara yuridis telah ada peraturan

yang mengatur dan memberikan peluang akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini,

tetapi peluang itu belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh para penyandang cacat. Pada era

otonomi daerah kewenangan di bidang pendidikan berada di tangan daerah.

Desentralisasi pendidikan dalam arti melimpahkan kewenangan penyelenggaraan ke daerah

merupakan suatu bentuk perubahan kewenangan. Perubahan tersebut membawa konsekuensi

timbulnya berbagai permasalahan pendidikan khusus yang perlu dicermati dan diantisipasi

dengan berbagai upaya pencegahannya agar proses desentralisasi dapat berjalan dengan

semestinya. Burhanuddin menyatakan permasalahan tersebut mencakup 1) berhubungan dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), 2) masalah yang terkait dengan substansi

manajemen pendidikan khusus, 3) sumber daya manusia, 4) dana dan sarana prasarana

pendidikan khusus, 5) partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan khusus, 6)

partisipasi peserta didik, 7) berhubungan dengan peraturan perundang-undangan, dan 8)

berkaitan dengan konsekuensi disintegrasi keutuhan berbangsa dan bernegara.

Page 9: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 9/15

 

Sejalan dengan konsep tersebut, sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa kurangnya

 jumlah tenaga pendidikan psikolog, rendahnya kualitas sekolah dan pelayanan, dan tidak 

meratanya tenaga guru pembimbing dan guru pembimbing khusus, belum sadarnya masyarakat

tentang pendidikan khusus masih merupakan permasalahan besar yang dihadapi dunia

pendidikan khusus di Indonesia.

Berhubungan dengan iptek yang diadopsi dari luar negeri sebagai dampak globalisasi akan

menimbulkan pergeseran struktural, nilai, dan sikap ilmiah masyarakat. Struktur masyarakat

pertanian bergeser menuju ke struktur masyarakat industri yang mempengaruhi pola kehidupan

dan tuntunan masyarakat terhadap dunia pendidikan khusus. Perkembangan iptek menuntut

adanya tenaga yang bukan saja mampu mengadopsi iptek, melainkan mampu mengadaptasikan

dan mengembangkannya. Taraf pendidikan masyarakat (civil society) dituntut lebih tinggi agar

mampu mengantisipasi perubahan dan profesional dalam melaksanakan tugasnya.

Masalah yang terkait dengan substansi manajemen pendidikan khusus terletak pada kesiapan

dan kemapanan masing-masing daerah dalam menyambut pelaksanaan kebijakan desentralisasi

pendidikan yang tidak sama. Permasalahan relevansi pendidikan khusus selama ini diarahkan

pada kurangnya kepercayaan pemerintah kepada daerah untuk menata sistem pendidikan khusus

yang sesuai dengan kondisi objektif di daerah masing-masing. Situasi ini memicu terciptanya

pengangguran lulusan akibat tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah terlebih lagi

pada alumni pendidikan khusus (SLB) dengan segala keterbatasannya.Sumber daya manusia (SDM) yang kurang profesional menghambat pelaksanaan sistem

pendidikan nasional. Penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan

menjadikan pelaksanaan pendidikan khusus tidak profesional. Banyak tenaga kependidikan yang

latar belakang pendidikannya tidak relevan di dunia kerja yang ditekuninya.

Dana dan sarana prasarana pendidikan khusus merupakan permasalahan yang dapat muncul

dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Dana masyarakat yang digunakan untuk 

membiayai pendidikan khusus belum semaksimal mungkin dialokasi secara proporsional sesuai

dengan kemampuan daerah. Terserapnya dana masyarakat ke pusat membuat daerah makin

menjadi tidak berdaya membiayai penyelenggaraan pendidikan khusus. Sarana dan prasarana

pendidikan khusus sangat bergantung pengadaannya kepada pemerintah pusat sementara

pendistribusiannya belum terjamin merata atau sampai ke tujuannya sehingga kemandirian dan

rasa turut bertanggung jawab daerah kurang.

Page 10: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 10/15

 

Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan khusus sangat kurang kecuali

dalam hal pendanaan. Masyarakat hanya menyerahkan peserta didik ke lembaga pendidikan

khusus dengan membayar dana pendidikan dan menyerahkan pendidikan peserta didik kepada

lembaga. Peran masyarakat dalam mendidik menjadi kurang karena mengandalkan lembaga

pendidikan. Perlu adanya komunikasi efektif antara lembaga pendidikan dan orangtua untuk 

mendidik peserta didik agar mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan bersama.

Berkaitan dengan partisipasi peserta didik dipengaruhi oleh kesiapan dan motivasi keluarga

terutama yang berlatar belakang pendidikan, sosial, dan ekonominya tergolong rendah. Tingkat

partisipasi peserta didik mengikuti program pendidikan terutama pendidikan dasar dipengaruhi

oleh faktor tersebut.

Berkaitan dengan peraturan perundang-undangan dalam pendidikan, Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menentukan secara umum tentang hak dan kewajiban

pemerintah dan pemerintah daerah, pengelolaan pendidikan, dewan pendidikan, dan komisi

sekolah. Sistem sentralisasi, dekonsentrasi, dan desentralisasi dalam pemerintahan mempunyai

implikasi langsung terhadap penyelenggaraan sisdiknas terutama yang berkaitan dengan masalah

kebijakan, manajemen, mutu, kontrol, dan sumber-sumber dana pendidikan khusus.

Penyelenggaraan sisdiknas untuk masa mendatang selain telah memiliki perangkat pendukung

perundang-undangan nasional, tetapi juga dihadapkan kepada sejumlah faktor yang menjadi

tantangan dalam penerapan otonomi pendidikan khusus di daerah, tipe dan kualitas kematangansumber daya manusia yang diperlukan oleh daerah setempat, perkembangan iptek,

perkembangan dunia industri, dan tingkat perkembangan setiap daerah. Hal ini mengisyaratkan

perlunya pemikiran dan kajian yang lebih matang dalam menyiapkan situasi lokal dan sekolah

agar desentralisasi penyelenggaraan sisdiknas dapat dilaksanakan.

Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan khusus berkaitan dengan konsekuensi

disintegrasi keutuhan berbangsa dan bernegara. Hal ini ditegaskan oleh Fiske yang menyatakan

bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang berkembang yang menerapkan otonomi

di bidang pendidikan khusus, otonomi berpotensi memunculkan masalah perbenturan

kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi

dalam pengelolaan pendidikan, ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak 

dan ruang partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas

pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh masyarakat.

Page 11: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 11/15

 

Pendidikan khusus merupakan upaya sosialisasi generasi muda yang diharapkan terbentuk 

dan menjadi warga negara yang berwawasan kebangsaan (Pancasila). Apabila konten kurikulum

atau pengalaman belajar bervariasi dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya visi peserta didik 

yang berbeda-beda dan bahkan bertentangan, yang dapat menumbuhkan persepsi dan sikap

separatisme. Asumsi tersebut perlu adanya sikap dan usaha pencegahan agar tidak terjadi

ketimpangan dalam pelaksanaan desentralisasi. Dengan adanya pertukaran pelajar antardaerah

diharapkan dapat menyeimbangkan ketimpangan yang ada.

C. Solusi Sementara dalam Penyelenggaraan Pendidikan Khusus di Era Otonomi 

Hasil dari otonomi daerah dan otonomi pendidikan adalah output yang cerdas secara

nasional dan arif dalam tingkatan lokal. Output yang cerdas dan arif ini secara umum akan

membentuk tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik, berhasil dan produktif sesuai dengan

konteks dimana ia berada. Dan melalui pendidikan khusus yang mengerti lokalitas (yang sesuai

dengan kebutuhan daerah) menjadi satu-satunya media pembentuk masyarakat beradab), yang

menjadikan manusia berada pada piramida tertinggi dalam pola relasi kehidupan di dunia

(khalifatullah fil Ardh) berguna dan bernilai sesuai dengan konteks kedaerahan dan kebutuhan

masyarakatnya.

Menurut pemikiran penulis, ada beberapa unsur yang mesti terpenuhi dalam

penyelenggaraan otonomi daerah dan otonomi pendidikan khusus, yaitu: Pertama, pemerintah

baik pusat/daerah, sebagai pengambil kebijakan pendidikan, sudah sepatutnya menanggung

biaya minimal pendidikan yang diperlukan anak usia sekolah/madrasah tingkat dasar dan

lanjutan baik negeri maupun swasta yang diberikan secara individual kepada siswa. Kedua,

masyarakat sebagai stakeholder  pendidikan setempat semestinya berpartisipasi aktif dalam

perumusan kurikulum muatan lokal, yang akan membantu mendiagnosis kebutuhan-kebutuhan

pendidikan sesuai dengan konteks lokalitas. Ketiga, sekolah-sekolah  – baik negeri/swasta,

hendaknya diberdayakan potensinya melalui bantuan dan subsidi dalam rangka meningkatkan

mutu pembelajaran siswa dan optimalisasi daya tampung yang tersedia. Keempat, daerah-daerah

yang membutuhkan pembangunan gedung sekolah baru dan ruang kelas baru hendaknya

diprioritaskan untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Kelima, memberikan perhatian khusus bagi

anak usia sekolah dari keluarga miskin, masyarakat terpencil, kumuh dan masyarakat daerah

yang sedang mengalami konflik dan bencana alam; dengan memberikan beasiswa pendidikan

Page 12: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 12/15

 

kepada mereka. Keenam, partisipasi semua pihak untuk ikut serta menangani penuntasan wajib

belajar (wajar) 9 tahun.

Hal ini bukan merupakan tugas ringan dan tidak mengkin dapat diselesaikan dalam waktu

singkat. Pemerintah daerah perlu melakukan adaptasi terhadap program yang sudah ada

sebelumnya dan juga harus melakukan inovasi program agar penyandang cacat terfasilitasi

dengan baik sebagaimana warga masyarakat pada umumnya. Langkah antisipatif perlu segera

dilakukan mengingat banyaknya persoalan di sekitar layanan bagi anak berkebutuhan khusus

untuk dapat mengakses pendidikan.

Meskipun bukan sebuah solusi yang cepat, tetapi beberapa langkah berikut dapat membantu

anak dengan kebutuhan khusus untuk lebih cepat mengakses layanan pendidikan:

1. Membuat aturan regulasi UU yang terkait dengan penyediaan layanan bagi anak-anak 

berkebutuhan khusus.

2. Mengalokasikan dana khusus dari APBN ataupun APBD bagi pendidikan anak berkebutuhan

khusus.

3. Memberikan dukungan bagi tersedianya secara lebih luas berbagai informasi untuk para

penyandang cacat. Misalnya untuk penyandang cacat tuna netra seperti jasa layanan yang lebih

diperluas dalam bentuk naskah berhuruf  braile, kaset audio, komputer suara, voice synthesizer ,

huruf cetak, ukuran besar dan kontras tajam serta dengan tanda-tanda yang mudah diraba jari

tangan, peningkatan tersedianaya alat peralatan bantu bagi warga yang kurang lihat (low vision)yang terjangkau harganya.

4. Penyediaan sarana umum pendidikan yang dapat diakses secara mandiri oleh anak berkubutuhan

khusus misalnya perpustakaan dan gedung kuliah.

5. Mendorong adanya empati bagi para pembuat kebijakan terhadap mereka yang berkebutuhan

khusus.

Sementara itu, Fasli Jalal mengemukakan bahwa untuk meningkatkan mutu pembelajaran

siswa berkebutuhan khusus, maka perlu dilaksanakan beberapa kebijakan sebagai berikut:

1. Siswa berkebutuhan khusus akan terpenuhi kebutuhannya dengan melaksanakan semua kebijakan

yang sesuai dengan kerangka kerja yang telah dibahas pada Bab III (Kebijakan Umum dan

Strategis) dan Bab IV (Kebijakan tentang Budget); semua permasalahan akan mengacu pada

kebijakan ini untuk pelaksanaan lebih lanjut.

Page 13: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 13/15

 

2. Kementerian akan mengawasi dan mengembangkan pelaksanaan (1) sekolah yang menyediakan

pendidikan luar biasa atau sekolah luar biasa, (2) sekolah umum yang melaksanakan program

pendidikan inklusif.

3. Mendorong siswa berkebutuhan khusus untuk mendapat pendidikan setinggi mungkin,

setidaknya menyelesaikan pendidikan dasar.

4. Pertimbangan dan Keputusan apakah masuk sekolah luar biasa atau sekolah inklusi harus

diserahkan kepada siswa itu sendiri. Setiap anak berkebutuhan khusus harus diberi kebebasan

memilih jenis sekolah yang bermanfaat bagi mereka. Informasi yang memadai mengenai sekolah

khusus atau sekolah umum akan disediakan. Setiap anak perlu diinformasikan dan dipandu untuk 

mengerti jenis dan tingkat kecacatan mereka supaya mereka dapat berhasil dengan pendidikan

mereka.

5. Untuk menghadapi tantangan mendidik anak-anak dengan kebutuhan yang beragam yang

 jumlahnya terus meningkat, guru-guru sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusif akan

disiapkan untuk menguasai pembelajaran dan kurikulum yang mengakomodir semua siswa.

Mereka akan disiapkan untuk melaksanakan beberapa strategi pendidikan yang saling berkaitan,

seperti mengelompokkan siswa yang beragam, mengembangkan pembelajaran, dan kurikulum

inklusif yang menekankan pada kelebihan siswa.

6. Menyediakan guru, sumber daya, dan fasilitas sesuai dengan skala prioritas.

7. Kompetensi guru dan tenaga pendidikan akan ditingkatkan melalui pelatihan pendidikanberdasarkan hasil penilaian dan akreditasi.

8. Sama dengan sekolah umum, peningkatan mutu sekolah luar biasa dan sekolah yang

melaksanakan pendidikan inklusif akan dilakukan berdasarkan mutu pencapaian Standar

Pendidikan Nasional. Alokasi dana penyediaan guru dan tenaga pendidikan, pendidikan dan

latihan, infrastruktur, fasilitas dan perlengkapan akan disesuaikan.

Semua kebijakan sudah tentu memerlukan kerjasama, kolaborasi dan kontribusi dari semua

pihak yang terkait untuk melaksanakannya. Perhatian, kerjasama dan kontribusi apapun yang

diberikan kepada siswa-siswa berkebutuhan khusus di Indonesia sangat diharapkan. Solusi yang

dapat diambil dari permasalahan ini adalah otonomi kurikulum menjadi alternatif yang harus

dilakukan. Rintisan kurikulum muatan lokal yang selama ini memiliki perimbangan persentase

lebih kecil daripada kurikulum nasional belum cukup mewadahi situasi, kondisi, dan kebutuhan

daerah.

Page 14: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 14/15

 

Berangkat dari pembahasa tersebut maka inferensi yang dapat ditarik untuk mengatasi

berbagai masalah pendidikan khusus yang demikian kompleks adalah segera memunculkan,

meneguhkan, dan mengaplikasikan political will pemerintah pusat dan daerah untuk 

menjalankan sepenuhnya amanat pendidikan khusus yang tertuang dalam undang-undang.

III. PENUTUP 

A.  SIMPULAN 

Pada bagian akhir tulisan ini dapat disimpulkan tiga poin penting yang menjadi mainstream

pembahasan dalam makalah ini.

1. Bahwa penyelenggaraan pendidikan khusus di era otonomi daerah saat ini masih terus

melanjutkan upaya pendidikan khusus pada era sebelum otonomi daerah. Namun demikian,

banyak aspek yang belum dilaksanakan dengan baik bila disandingkan dengan apa yang

seharusnya ada sebagaimana tertuang dalam UU tentang Pemerintahan Daerah. Majoritas

pemerintah daerah masih membutuhkan arahan, dukungan dan tuntunan dari Pemerintah Pusat

dalam hal penanganan Pendidikan Inklusi, SLB, pengelolaan sekolah-sekolah unggulan (SSN,

RSBI, SBI dan bentuk-bentuk sekolah unggulannya). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

sebagian besar pemerintah daerah masih belum siap melaksanakan otonomi daerah yang efektif 

dalam penyelenggaraan pendidikan khusus.2. Bahwa penyelenggaraan pendidikan khusus di era otonomi daerah membawa konsekuensi yang

tidak mudah. Berbagai permasalahan muncul dan kadang berkembang menjadi besar.

Permasalahan tersebut adalah kesiapan daerah dalam melaksanakan pendidikan khusus secara

umum, kekurangan finansial yang disebabkan oleh PAD yang tidak sama, manajemen

pendidikan khusus yang belum sepenuhnya didukung SDM berkualitas, budaya masyarakat yang

belum melihat kebutuhan anak-anak akan pendidikan khusus yang sama pentingnya dengan

pendidikan lainnya jika dikaitkan dengan pemenuhan hak-hak anak. Permasalahan utama ini

selanjutnya berimplikasi pada munculnya permasalahan-permasalahan operasional lainnya

seperti: tenaga Psikolog, GPK (Guru Pembimbing Khusus), sarana prasarana yang memadai,

kesadaran masyarakat yang mampu melihat kesamaan hak dan potensi anak untuk berkembang

dan permasalahan-permasalahan dalam tataran sekolah dan dinas pendidikan.

Page 15: Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah

5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 15/15

 

3. Bahwa solusi yang sementara ini diambil oleh pemerintah adalah mengeluarkan berbagai

kebijakan politik tentang penyelenggaraan pendidikan khusus, melaksanakan pendidikan inklusi

dengan tetap menyelenggarakan program segregasi dan mainstreaming untuk Anak-anak 

Berkebutuhan Khusus (ABK) dan sekolah-sekolah berkualitas unggulan bagi ABLB (Anak 

Berbakat Luar Biasa), menyiapkan kurikulum berdiferensiasi bagi pendidikan khusus, sokongan

dana yang lebih besar setiap tahunnya selama tiga tahun sampai sekolah tersebut menjadi

sekolah unggulan mandiri dan menumbuhkan sedikit-demi sedikit peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pendidikan khusus.

B.  REKOMENDASI 

Berdasarkan pembahasan dan simpulan di atas maka dapat direkomendasikan dua poinberikut:

1. Penyelenggaraan otonomi daerah yang efektif dalam pengelolaan pendidikan khusus sangat

perlu dilakukan. Alasannya, hak-hak anak dalam mendapatkan pendidikan yang layak hanya

dapat dicapai bila rantai birokrasi yang demikian panjang diputus dan diperpendek. Pemerintah

daerah seyogyanya memahami, mengakomodir, menyegerakan pelayanan terhadap anak-anak 

berkebutuhan khusus ini karena berbagai alasan terhadap masa perkembangan anak. Dengan

demikian, penulis merekomen-dasikan dalam tulisan ini agar desentralisasi pengelolaan

pendidikan khusus harus segera ditangani secara efektif dan efisien.

2. Penyelenggaraan pendidikan khusus baik SLB, Inklusi maupun pendidikan unggulan tetap

dilaksanakan namun dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Pemerintah daerah seharusnya membuat grand design pengelolaan pendidikan khusus

dan mewujudkan  political will yang berterima sehingga tidak terjadi berbagai ketimpangan

dalam pelaksanaannya. Selain itu, pendidikan khusus sebaiknya ditangani secara arif dan

profesional oleh orang-orang yang memang memahami pendidikan khusus dan menghindari

unsu-unsur politis yang justru memberikan peluang bagi semakin terpuruknya kualitas

pengelolaan pendidikan khusus.

**** Wallahu’alam..!!