fenomena penyelenggaraan pendidikan khusus dalam era otonomi daerah
TRANSCRIPT
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 1/15
FENOMENA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS DALAM ERA
OTONOMI DAERAH
Penyelenggaraan pendidikan khusus di era otonomi daerah sungguh merupakan sebuahfenomena yang hampir pasti membuat setiap pemerintah daerah mengurut dada. Betapa tidak,
ada dua konsekuensi logis yang hendaknya menjadi perhatian utama. Pertama, pengelolaanpendidikan khusus memerlukan penanganan khusus dengan berbagai konsekuensinya. Kedua,penyelenggaraan pendidikan khusus membutuhkan pembiayaan yang cukup besar seiring dengan
dikeluarkannya kebijakan baru pendidikan khusus sementara kesiapan daerah masih sangat
beragam dan bahkan cenderung lemah. Berbagai permasalahan yang dihadapi baik dari sisimanajemen, pembiayaan maupun penerapannya membutuhkan kesigapan pemerintah daerah
dengan menunjukkan dan mewujudkan political will yang memadai. Solusi yang dilakukan
selama ini masih pada tataran pemerataan akses bahkan belum sepenuhnya tercapai dan belum
mengarah pada peningkatan kualitas dan tata kelola yang baik.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengembangan pendidikan Indonesia, sejak 40 tahun yang lalu (ketika rencana
pembanguan lima tahun pertama disusun), bertujuan untuk membangun manusia Indonesia
seutuhnya yang memiliki keseimbangan perilaku, pengetahuan dan keahlian. Dalam UU Nomor
4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat disebutkan bahwa “setiap penyandang cacat mempunyai
hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”. Tentunya aspek -aspek tersebut
mencakup pula aspek pendidikan yang menjadi kebutuhan semua orang. Demikian pula dalam
Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 17 Tahun 2010 dikatakan bahwa Mentri menetapkan kebijakan untuk
menjamin peserta didik memperoleh akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang orang
tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus, dan/atau
peserta didik di daerah khusus. Fenomena ini juga telah dituangkan dalam Rencana Strategis
Depdiknas tahun 2010 – 2014 bahwa pembangunan pendidikan di Indonesia hendaknya
menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental,
hambatan ekonomi dan sosial, ataupun kendala geografis, yaitu layanan pendidikan untuk
menjangkau mereka yang tidak terjangkau. Keberpihakan diwujudkan dalam bentuk
penyelenggaraan sekolah khusus, pendidikan layanan khusus ataupun pendidikan nonformal dan
informal, pendidikan dengan sistem guru kunjung, pendidikan jarak jauh dan bentuk pendidikan
khusus lain yang sejenis sehingga menjamin terselenggaranya pendidikan yang demokratis,
merata dan berkeadilan serta berkesetaraan gender. Rencana strategis itu sesuai dengan Pasal 28
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 2/15
Konvensi Hak Anak-anak, Pasal 26 Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Pendidikan untuk Semua
( Education for All / EFA) UNESCO.
UUD 1945, Pasal 28B, Ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak
untuk mengembangkan diri sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, mendapat pendidikan dan
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk meningkatkan mutu
hidupnya bagi kesejahteraan manusia, dan dalam Pasal 31, Ayat (1) menyatakan bahwa setiap
warga negara Indonesia mempunyai hak untuk mendapat pendidikan. UU Pendidikan No.
20/2003, Pasal 5 (tentang Hak-hak dan Kewajiban Warga Negara), Sub-Ayat 1 menjamin setiap
warga negara Indonesia mendapat pendidikan, dan Sub-Ayat 2 menyebutkan bahwa warga
negara berkebutuhan khusus (ABK) (cacat fisik, emosi, kecerdasan dan/atau sosial) berhak
mendapat pendidikan khusus. Demikian pula halnya dengan anak-anak berbakat luar biasa
(ABLB) yang dalam tataran biasa membutuhkan perhatian lebih sesuai dengan potensi rahmat
Tuhan yang dimilikinya.
Hal mendasar dari UUD dan UU adalah bahwa sekolah harus memenuhi kebutuhan siswa
dengan tidak mempermasalahkan ketidakmampun atau keterbatasan mereka. Filosofi sistem
legal ini telah mengakomodir bahwa setiap manusia memiliki perbedaan yang unik. Hal ini
menunjukkan bahwa martabat, keragaman dan perbedaan potensi dan perilaku tidak diacuhkan,
dan setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang secara utuh, mengembangkan dunianya
dan mengaktualisasikan dirinya secara kreatif.Kesejatian cita-cita dan harapan yang tertuang dalam berbagai undang-undang dan
peraturan tersebut selanjutnya diuji selama era desentralisasi. Mampukah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) menunaikan amanat-amanat luhur yang terkandung di dalam undang-undang
maupun peraturan tersebut khususnya dalam penanganan pendidikan khusus? Seberapa besar
otonomi yang diberikan pusat kepada daerah? Seberapa siap daerah menjunjung tinggi amanat
otonomi yang diembannya untuk memajukan daerahnya dalam bidang pendidikan khusus?
Kesulitan-kesulitan apa yang dihadapi daerah dalam menunaikan undang-undang dan peraturan
tersebut? Dan masih banyak lagi pertanyaan (keraguan) lain yang menghantui pelaksanaan
desentralisasi pendidikan khusus di negeri ini.
Satu hal yang perlu diingat bahwa pendidikan adalah tangung jawab pemerintah dan
masyarakat hanya “membantu”. “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 3/15
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Dengan
demikian, Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah di Daerah hendaknya menjunjung tinggi
amanat ini.
Namun, melihat kondisi terkini pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” di
beberapa daerah dibutuhkan seperangkat alat dan cara yang sistematis dan berkelanjutan untuk
mewujudkannya. Dibutuhkan kesabaran dan waktu yang cukup untuk merealisasikannya.
Sampai saat ini Pemerintah menyelenggarakan dua jenis sekolah untuk memenuhi kebutuhan
warga negara Indonesia yang berkebutuhan khusus, yaitu (1) sekolah yang menyediakan
pendidikan khusus atau sekolah luar biasa, yang dikenal dengan sekolah-sekolah mainstreaming
dan segregasi dan (2) sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan inklusi.
Data terakhir jumlah siswa yang tercatat memasuki sekolah luar biasa saat ini sebanyak
57.449 orang yang diselenggarakan oleh 3,623 sekolah khusus dari berbagai tingkatan mulai
dari SD sampai SMA. Para siswa ini diajar dan dibimbing oleh 15.615 orang guru yang terdiri
dari 8.516 guru negeri dan selebihnya 7.099 guru-guru swasta. Pemerintah Pusat melalui
kerjasama dengan UNESCO hanya dapat memberikan beasiswa kepada 2750 orang siswa. Lalu
bagaimana dengan siswa lainnya? Bagaimana dengan asumsi bahwa masih dua kali lipat
jumlahnya anak-anak ABK usia sekolah yang belum mengenyam pendidikan sama sekali di
seluruh pelosok negeri ini khususnya di daerah-daerah remote area? Semua itu menjadi bahan
renungan yang harus ditangani secara arif, adil dan bertanggung jawab oleh Pemerintah Daerah.Fenomena lain ketika merujuk pada statistik anak-anak ABLB (Anak Berbakat Luar
Biasa). Ketika UU Sistem Pendidikan Nasional memutuskan bahwa “Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional,”
pemerintah serta-merta menyelenggarakan pendidikan bertajuk Sekolah Standar Nasional (SSN),
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dengan terlebih dahulu melewati tahap rintisan.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan ini demikian mahal. Untuk melayani siswa SSN
dan RSBI di Indonesia Pemerintah Pusat dengan dibantu Pemerintah Daerah pada tahun 2010
harus menyiapkan anggaran sekurang-kurangnya Rp. 23.100.000.000 untuk 165 SD RSBI; Rp.
80.100.000.000 untuk 267 SMP RSBI; Rp. 300 – Rp. 600 juta per sekolah untuk 321 SMA
RSBI, Rp. 13.800.000.000 untuk 138 SMK RSBI yang ditambah dengan anggaran 1 – 2 miliar
untuk SMK Investasi. Jika ditotal maka anggaran pendidikan unggulan tersebut mencapai angka
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 4/15
yang fantastis mencapai satu sampai dua miliar rupiah. Angka ini memang tidak ada apa-apanya
bila dibandingkan dengan upaya negeri ini mengejar ketertinggalan kualitasnya.
Permasalahan kemudian muncul, apakah dengan desentralisasi pendidikan khusus ini dapat
dilaksanakan dengan baik? Lalu bagaimana dengan daerah yang pada kenyataannya sedang
menjerit karena income per kapitanya rendah?
B. Permasalahan
Mempersempit ruang pembahasan makalah ini, maka akan diajukan beberapa
permasalahan yang diharapkan dapat terjawab melalui pembahasan nantinya. Permasalahan-
permasalahan berikut ini sesungguhnya bila “ingin” dipilah-pilah maka akan melahirkan anak
permasalahan lain yang sesungguhnya tidak kalah kompleks fenomenanya ketika disandingkan
dengan PP nomor 32 tahun 2004, PP Nomor 17 Tahun 2010 dan UU Nomor 20 Tahun 2003.
1. Bagaimanakah fenomena penyelenggaraan pendidikan khusus setelah bergulirnya Otonomi
Daerah?
2. Permasalahan-permasalahan apa yang paling dominan dalam melaksanakan pendidikan khusus
dan solusi apa saja yang sementara ini diambil oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dalam memecahkan masalah-masalah tersebut?
II. PEMBAHASAN
A. Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus
Sejarah otonomi daerah lahir sebagai bentuk koreksi atas corak pemerintahan dan hubungan
antara pusat‐daerah yang sentralistik, eksploitatif serta jauh dari nilai‐nilai demokrasi yang saat
ini menjadi mainstream sistem politik yang berlaku di dunia. Konsep awal otonomi daerah
muncul pada tahun 1903 melalui undang undang desentralisasi di bawah pemerintah kolonial
Belanda. Undang-undang Otonomi Daerah waktu itu dikenal sebagai Decentralisatie Wet 1903
dan merupakan amandemen terhadap Regeringsreglement 1854 (RR 1854). Tiga pasal tambahan
yakni pasal 68a, 68b, dan 68c berisi empat hal yaitu:
1. Bahwa Hindia Belanda akan dibagi ke dalam satuan-satuan daerah;
2. Pemerintahan daerah tersebut akan dilaksanakan oleh pejabat tinggi (hoofdamtenaren);
3. Gubernur jenderal sebagai penguasa dari pejabat tersebut, dan4. Kekuasaan sipil adalah kekuasaan tertinggi di daerah
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 5/15
Ide pemekaran daerah dari awal sejarah kemunculannya sebenarnya merupakan niatan untuk
menata kembali daerah-daerah agar diperoleh suatu sistem pemerintahan yang efektif dan efisien
dengan mendekatkan pelayanan publik ke rakyat. Ujung dari penataan ini tidak lain adalah suatu
kesejahteraan rakyat yang lebih merata di semua daerah termasuk di dalamnya pemerataan
pendididikan yang bermutu. Pertanyaanya kemudian adalah bagaimana bentuk ideal pendidikan
di era otonomi daerah?
Otonomi daerah berimplikasi langsung bagi manajemen pendidikan yaitu desentralisasi
pendidikan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1
menyatakan desentralisasi adalah penyerahan sebagian wewenang pengurusan pendidikan
pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu Huda
mengartikan desentralisasi sebagai delegations of responsibilities and powers to authorities at
the lower levels. Desentralisasi merupakan pendelegasian tanggung jawab dan kekuasaan dari
tingkat atas kepada tingkat bawah.
Pendidikan tersebut di dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 disebutkan adalah hak dasar
kemanusiaan yang harus dapat dinikmati secara layak dan merata oleh setiap masyarakat.
Pengertian hak dasar kemanusiaan yang termaktub dalam UU ini merupakan hak asasi yang
secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng semenjak seseorang
dilahirkan ke dunia. Hak asasi kemanusiaan ini mengandaikan pemenuhannya hanya bisa dicapaidan terpenuhi dengan perlindungan, penghormatan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau
dirampas oleh siapapun. Maka Negara sebagai institusi resmi wajib melaksanakannya,
memfasilitasi dan meniadakan segala penghalangnya. Untuk itu, pendidikan yang bermutu,
semestinya mampu dinikmati oleh semua elemen masyarakat bangsa Indonesia. Kebijakan
pendidikan di Indonesia semestinya mendukung atas terjaminnya hak-hak asasi warganya
utamanya dalam hal perolehan pendidikan bermutu khususnya dalam konteks otonomi daerah.
Dalam konteks otonomi daerah, pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan khusus dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah digagas dan diawali dengan diberlakukannya UU
Nomor 22 tahun 1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan pemerintah
Pusat kepada pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan Bidang Pendidikan.
Pelimpahan wewenang ini diteruskan dengan dikeluarkan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 6/15
Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang bertujuan
memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem
pembiayaan daerah yang adil, trasparan dan bertanggung jawab. Sementara itu, secara umum
diyakini desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini
dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan
dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung
diatur oleh pemerintah pusat.
Sejatinya, adanya UU otonomi daerah dan UU perimbangan keuangan pusat-daerah ini
semakin membantu dan memberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk seluas-luasnya
mengelola pendidikan dan pendidikan khusus sebaik mungkin. Secara eksplisit kewenangan dan
alokasi dana pendidikan ini disebutkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 29: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.
Realisasi dari UU ini tentunya mengarah pada tanggung jawab pemerintah daerah yang
semakin meningkat dan semakin luas, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah
daerah dengan legitimasi UU ini diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam
berbagai tahap pembangunan pendidikan; sejak mulai tahap perumusan kebijakan, perencanaan,
pelaksanaan sampai pada tingkat pengawasan di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakanpendidikan nasional. Pengaturan otonomi daerah dalam bidang pendidikan secara tegas
dinyatakan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 yang mengatur tentang pembagian kewenangan
pemerintah pusat dan provinsi. Semua urusan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat
dan provinsi tersebut sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota.
Otonomi daerah yang berimplikasi pada otonomi pendidikan ini dibangun atas dasar filosofi
bahwa masyarakat di setiap daerah merupakan fondasi yang kuat dalam pengembangan kualitas
sumber daya manusia (SDM) secara nasional. Sisi moralnya adalah bahwa orang-orang
daerahlah yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri.
Penyelenggaraan otonomi daerah semestinya mendorong terjadinya proses otonomi pendidikan
di tingkat daerah. Adanya Otonomi daerah dan otonomi penyelenggaraan pendidikan daerah
bertujuan agar pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan lebih sesuai dengan konteks
kebutuhan daerah yang bermutu dan adil.
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 7/15
Pada dasarnya otonomi daerah adalah kesempatan emas bagi pemerintah daerah untuk
membangun dan mengatur pendidikan sebaik dan sesuai dengan kebutuhan yang ada di daerah,
disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan yang ada di daerah. Pemerintah daerah sebagai
pengambil kebijakan umum pendidikan harus memulainya dari adanya political will yang kuat
guna menjamin pemerataan kesempatan bagi seluruh anak dan semua lapisan masyarakat untuk
mendapatkan pendidikan bermutu sebagai hak mereka. Peran ini bisa dilakukan melalui
perumusan kebijakan umum, pelayanan teknis, dan memonitor program secara regular akan
kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
Dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat disebutkan bahwa “setiap
penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan”;.Tentunya aspek -aspek tersebut mencakup pula aspek pendidikan yang menjadi
kebutuhan semua orang. Terkait dengan peluang untuk memperoleh pendidikan, UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Pada pasal 5
ayat 2 warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Penjelasan tentang pendidikan khusus ini disebutkan pada pasal 32 ayat 1, pendidikan
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensikecerdasan. Meskipun demikian pada pasal 51 dijelaskan bahwa anak penyandang cacat fisik
dan atau mental diberikan kesempatan bersama dalam aksebilitas dalam memperoleh pendidikan
biasa. Pasal ini memberi peluang pada anak yang penyandang cacat fisik (anak kebutuhan
khusus) untuk memilih mengikuti pendidikan khusus sebagaimana disebutkan pada pasal 5 ayat
2 atau mengikuti pendidikan sebagaimana anak-anak yang biasa (tidak cacat).
Sebelum bergulirnya otonomi daerah, pendidikan khusus semata-mata mengandalkan
anggaran pusat baik melalui DAU maupun berupa pinjaman dan hibah. Sedangkan setelah
bergulirnya otonomi daerah, pembiayaan pendidikan khusus mengacu pada UU nomor 33 tahun
2004. Namun demikian, menurut SMERU bahwa proporsi dana yang dikelola pemerintah pusat
tetap masih besar, walaupun dengan kecenderungan yang terus menurun dalam kategori
pendidikan secara umum dan meningkat tajam dalam kategori pendidikan khusus. Peningkatan
ini disinyalir dengan ditetapkannya kebijakan membangun lokal-lokal pendidikan khusus baru
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 8/15
baik untuk sekolah luar biasa maupun sekolah-sekolah unggulan seperti SSN, RSBI, dan SBI
sebelum mereka diharapkan dapat mandiri. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, belanja
pemerintah pusat di luar pembayaran bunga dan hutang masih mencapi 80%, kemudian semakin
menurun semenjak tahun 2001 atau tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah sekitar 5 – 10%
pertahunnya dan anggaran pendidikan khusus meningkat hampir 80% per tahun.
Fenomena lain yang terus menjadi perhatian terhadap penyelenggaraan pendidikan khusus
adalah ketersediaan sarana-prasarana, tenaga pendidik khusus (guru pembimbing khusus), tenaga
psikolog dan dokter, sistem informasi manajemen, benchmarking, dan bahkan biaya sosialisasi
dan monev. Hal ini menjadi perlu diperhatikan mengingat penanganan pendidikan khusus
memerlukan penanganan khusus karena memang memiliki ciri-ciri khusus yang
membedakannya dengan pendidikan reguler lainnya. Jalan tengah yang diambil pemerintah saat
ini adalah mengoptimalkan penyelenggaraan sekolah-sekolah inklusi pada setiap tingkatannya.
B. Permasalahan-Permasalahan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Khusus
Jika ditelusuri sebenarnya persoalan yang sering dijumpai, kendala akses pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus ini bukan karena faktor kecacatannya yang disandang, tetapi lebih
pada faktor di luar diri penyandang cacat itu sendiri. Meskipun secara yuridis telah ada peraturan
yang mengatur dan memberikan peluang akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini,
tetapi peluang itu belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh para penyandang cacat. Pada era
otonomi daerah kewenangan di bidang pendidikan berada di tangan daerah.
Desentralisasi pendidikan dalam arti melimpahkan kewenangan penyelenggaraan ke daerah
merupakan suatu bentuk perubahan kewenangan. Perubahan tersebut membawa konsekuensi
timbulnya berbagai permasalahan pendidikan khusus yang perlu dicermati dan diantisipasi
dengan berbagai upaya pencegahannya agar proses desentralisasi dapat berjalan dengan
semestinya. Burhanuddin menyatakan permasalahan tersebut mencakup 1) berhubungan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), 2) masalah yang terkait dengan substansi
manajemen pendidikan khusus, 3) sumber daya manusia, 4) dana dan sarana prasarana
pendidikan khusus, 5) partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan khusus, 6)
partisipasi peserta didik, 7) berhubungan dengan peraturan perundang-undangan, dan 8)
berkaitan dengan konsekuensi disintegrasi keutuhan berbangsa dan bernegara.
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 9/15
Sejalan dengan konsep tersebut, sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa kurangnya
jumlah tenaga pendidikan psikolog, rendahnya kualitas sekolah dan pelayanan, dan tidak
meratanya tenaga guru pembimbing dan guru pembimbing khusus, belum sadarnya masyarakat
tentang pendidikan khusus masih merupakan permasalahan besar yang dihadapi dunia
pendidikan khusus di Indonesia.
Berhubungan dengan iptek yang diadopsi dari luar negeri sebagai dampak globalisasi akan
menimbulkan pergeseran struktural, nilai, dan sikap ilmiah masyarakat. Struktur masyarakat
pertanian bergeser menuju ke struktur masyarakat industri yang mempengaruhi pola kehidupan
dan tuntunan masyarakat terhadap dunia pendidikan khusus. Perkembangan iptek menuntut
adanya tenaga yang bukan saja mampu mengadopsi iptek, melainkan mampu mengadaptasikan
dan mengembangkannya. Taraf pendidikan masyarakat (civil society) dituntut lebih tinggi agar
mampu mengantisipasi perubahan dan profesional dalam melaksanakan tugasnya.
Masalah yang terkait dengan substansi manajemen pendidikan khusus terletak pada kesiapan
dan kemapanan masing-masing daerah dalam menyambut pelaksanaan kebijakan desentralisasi
pendidikan yang tidak sama. Permasalahan relevansi pendidikan khusus selama ini diarahkan
pada kurangnya kepercayaan pemerintah kepada daerah untuk menata sistem pendidikan khusus
yang sesuai dengan kondisi objektif di daerah masing-masing. Situasi ini memicu terciptanya
pengangguran lulusan akibat tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah terlebih lagi
pada alumni pendidikan khusus (SLB) dengan segala keterbatasannya.Sumber daya manusia (SDM) yang kurang profesional menghambat pelaksanaan sistem
pendidikan nasional. Penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan
menjadikan pelaksanaan pendidikan khusus tidak profesional. Banyak tenaga kependidikan yang
latar belakang pendidikannya tidak relevan di dunia kerja yang ditekuninya.
Dana dan sarana prasarana pendidikan khusus merupakan permasalahan yang dapat muncul
dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Dana masyarakat yang digunakan untuk
membiayai pendidikan khusus belum semaksimal mungkin dialokasi secara proporsional sesuai
dengan kemampuan daerah. Terserapnya dana masyarakat ke pusat membuat daerah makin
menjadi tidak berdaya membiayai penyelenggaraan pendidikan khusus. Sarana dan prasarana
pendidikan khusus sangat bergantung pengadaannya kepada pemerintah pusat sementara
pendistribusiannya belum terjamin merata atau sampai ke tujuannya sehingga kemandirian dan
rasa turut bertanggung jawab daerah kurang.
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 10/15
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan khusus sangat kurang kecuali
dalam hal pendanaan. Masyarakat hanya menyerahkan peserta didik ke lembaga pendidikan
khusus dengan membayar dana pendidikan dan menyerahkan pendidikan peserta didik kepada
lembaga. Peran masyarakat dalam mendidik menjadi kurang karena mengandalkan lembaga
pendidikan. Perlu adanya komunikasi efektif antara lembaga pendidikan dan orangtua untuk
mendidik peserta didik agar mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan bersama.
Berkaitan dengan partisipasi peserta didik dipengaruhi oleh kesiapan dan motivasi keluarga
terutama yang berlatar belakang pendidikan, sosial, dan ekonominya tergolong rendah. Tingkat
partisipasi peserta didik mengikuti program pendidikan terutama pendidikan dasar dipengaruhi
oleh faktor tersebut.
Berkaitan dengan peraturan perundang-undangan dalam pendidikan, Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menentukan secara umum tentang hak dan kewajiban
pemerintah dan pemerintah daerah, pengelolaan pendidikan, dewan pendidikan, dan komisi
sekolah. Sistem sentralisasi, dekonsentrasi, dan desentralisasi dalam pemerintahan mempunyai
implikasi langsung terhadap penyelenggaraan sisdiknas terutama yang berkaitan dengan masalah
kebijakan, manajemen, mutu, kontrol, dan sumber-sumber dana pendidikan khusus.
Penyelenggaraan sisdiknas untuk masa mendatang selain telah memiliki perangkat pendukung
perundang-undangan nasional, tetapi juga dihadapkan kepada sejumlah faktor yang menjadi
tantangan dalam penerapan otonomi pendidikan khusus di daerah, tipe dan kualitas kematangansumber daya manusia yang diperlukan oleh daerah setempat, perkembangan iptek,
perkembangan dunia industri, dan tingkat perkembangan setiap daerah. Hal ini mengisyaratkan
perlunya pemikiran dan kajian yang lebih matang dalam menyiapkan situasi lokal dan sekolah
agar desentralisasi penyelenggaraan sisdiknas dapat dilaksanakan.
Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan khusus berkaitan dengan konsekuensi
disintegrasi keutuhan berbangsa dan bernegara. Hal ini ditegaskan oleh Fiske yang menyatakan
bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang berkembang yang menerapkan otonomi
di bidang pendidikan khusus, otonomi berpotensi memunculkan masalah perbenturan
kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi
dalam pengelolaan pendidikan, ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak
dan ruang partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas
pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh masyarakat.
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 11/15
Pendidikan khusus merupakan upaya sosialisasi generasi muda yang diharapkan terbentuk
dan menjadi warga negara yang berwawasan kebangsaan (Pancasila). Apabila konten kurikulum
atau pengalaman belajar bervariasi dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya visi peserta didik
yang berbeda-beda dan bahkan bertentangan, yang dapat menumbuhkan persepsi dan sikap
separatisme. Asumsi tersebut perlu adanya sikap dan usaha pencegahan agar tidak terjadi
ketimpangan dalam pelaksanaan desentralisasi. Dengan adanya pertukaran pelajar antardaerah
diharapkan dapat menyeimbangkan ketimpangan yang ada.
C. Solusi Sementara dalam Penyelenggaraan Pendidikan Khusus di Era Otonomi
Hasil dari otonomi daerah dan otonomi pendidikan adalah output yang cerdas secara
nasional dan arif dalam tingkatan lokal. Output yang cerdas dan arif ini secara umum akan
membentuk tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik, berhasil dan produktif sesuai dengan
konteks dimana ia berada. Dan melalui pendidikan khusus yang mengerti lokalitas (yang sesuai
dengan kebutuhan daerah) menjadi satu-satunya media pembentuk masyarakat beradab), yang
menjadikan manusia berada pada piramida tertinggi dalam pola relasi kehidupan di dunia
(khalifatullah fil Ardh) berguna dan bernilai sesuai dengan konteks kedaerahan dan kebutuhan
masyarakatnya.
Menurut pemikiran penulis, ada beberapa unsur yang mesti terpenuhi dalam
penyelenggaraan otonomi daerah dan otonomi pendidikan khusus, yaitu: Pertama, pemerintah
baik pusat/daerah, sebagai pengambil kebijakan pendidikan, sudah sepatutnya menanggung
biaya minimal pendidikan yang diperlukan anak usia sekolah/madrasah tingkat dasar dan
lanjutan baik negeri maupun swasta yang diberikan secara individual kepada siswa. Kedua,
masyarakat sebagai stakeholder pendidikan setempat semestinya berpartisipasi aktif dalam
perumusan kurikulum muatan lokal, yang akan membantu mendiagnosis kebutuhan-kebutuhan
pendidikan sesuai dengan konteks lokalitas. Ketiga, sekolah-sekolah – baik negeri/swasta,
hendaknya diberdayakan potensinya melalui bantuan dan subsidi dalam rangka meningkatkan
mutu pembelajaran siswa dan optimalisasi daya tampung yang tersedia. Keempat, daerah-daerah
yang membutuhkan pembangunan gedung sekolah baru dan ruang kelas baru hendaknya
diprioritaskan untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Kelima, memberikan perhatian khusus bagi
anak usia sekolah dari keluarga miskin, masyarakat terpencil, kumuh dan masyarakat daerah
yang sedang mengalami konflik dan bencana alam; dengan memberikan beasiswa pendidikan
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 12/15
kepada mereka. Keenam, partisipasi semua pihak untuk ikut serta menangani penuntasan wajib
belajar (wajar) 9 tahun.
Hal ini bukan merupakan tugas ringan dan tidak mengkin dapat diselesaikan dalam waktu
singkat. Pemerintah daerah perlu melakukan adaptasi terhadap program yang sudah ada
sebelumnya dan juga harus melakukan inovasi program agar penyandang cacat terfasilitasi
dengan baik sebagaimana warga masyarakat pada umumnya. Langkah antisipatif perlu segera
dilakukan mengingat banyaknya persoalan di sekitar layanan bagi anak berkebutuhan khusus
untuk dapat mengakses pendidikan.
Meskipun bukan sebuah solusi yang cepat, tetapi beberapa langkah berikut dapat membantu
anak dengan kebutuhan khusus untuk lebih cepat mengakses layanan pendidikan:
1. Membuat aturan regulasi UU yang terkait dengan penyediaan layanan bagi anak-anak
berkebutuhan khusus.
2. Mengalokasikan dana khusus dari APBN ataupun APBD bagi pendidikan anak berkebutuhan
khusus.
3. Memberikan dukungan bagi tersedianya secara lebih luas berbagai informasi untuk para
penyandang cacat. Misalnya untuk penyandang cacat tuna netra seperti jasa layanan yang lebih
diperluas dalam bentuk naskah berhuruf braile, kaset audio, komputer suara, voice synthesizer ,
huruf cetak, ukuran besar dan kontras tajam serta dengan tanda-tanda yang mudah diraba jari
tangan, peningkatan tersedianaya alat peralatan bantu bagi warga yang kurang lihat (low vision)yang terjangkau harganya.
4. Penyediaan sarana umum pendidikan yang dapat diakses secara mandiri oleh anak berkubutuhan
khusus misalnya perpustakaan dan gedung kuliah.
5. Mendorong adanya empati bagi para pembuat kebijakan terhadap mereka yang berkebutuhan
khusus.
Sementara itu, Fasli Jalal mengemukakan bahwa untuk meningkatkan mutu pembelajaran
siswa berkebutuhan khusus, maka perlu dilaksanakan beberapa kebijakan sebagai berikut:
1. Siswa berkebutuhan khusus akan terpenuhi kebutuhannya dengan melaksanakan semua kebijakan
yang sesuai dengan kerangka kerja yang telah dibahas pada Bab III (Kebijakan Umum dan
Strategis) dan Bab IV (Kebijakan tentang Budget); semua permasalahan akan mengacu pada
kebijakan ini untuk pelaksanaan lebih lanjut.
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 13/15
2. Kementerian akan mengawasi dan mengembangkan pelaksanaan (1) sekolah yang menyediakan
pendidikan luar biasa atau sekolah luar biasa, (2) sekolah umum yang melaksanakan program
pendidikan inklusif.
3. Mendorong siswa berkebutuhan khusus untuk mendapat pendidikan setinggi mungkin,
setidaknya menyelesaikan pendidikan dasar.
4. Pertimbangan dan Keputusan apakah masuk sekolah luar biasa atau sekolah inklusi harus
diserahkan kepada siswa itu sendiri. Setiap anak berkebutuhan khusus harus diberi kebebasan
memilih jenis sekolah yang bermanfaat bagi mereka. Informasi yang memadai mengenai sekolah
khusus atau sekolah umum akan disediakan. Setiap anak perlu diinformasikan dan dipandu untuk
mengerti jenis dan tingkat kecacatan mereka supaya mereka dapat berhasil dengan pendidikan
mereka.
5. Untuk menghadapi tantangan mendidik anak-anak dengan kebutuhan yang beragam yang
jumlahnya terus meningkat, guru-guru sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusif akan
disiapkan untuk menguasai pembelajaran dan kurikulum yang mengakomodir semua siswa.
Mereka akan disiapkan untuk melaksanakan beberapa strategi pendidikan yang saling berkaitan,
seperti mengelompokkan siswa yang beragam, mengembangkan pembelajaran, dan kurikulum
inklusif yang menekankan pada kelebihan siswa.
6. Menyediakan guru, sumber daya, dan fasilitas sesuai dengan skala prioritas.
7. Kompetensi guru dan tenaga pendidikan akan ditingkatkan melalui pelatihan pendidikanberdasarkan hasil penilaian dan akreditasi.
8. Sama dengan sekolah umum, peningkatan mutu sekolah luar biasa dan sekolah yang
melaksanakan pendidikan inklusif akan dilakukan berdasarkan mutu pencapaian Standar
Pendidikan Nasional. Alokasi dana penyediaan guru dan tenaga pendidikan, pendidikan dan
latihan, infrastruktur, fasilitas dan perlengkapan akan disesuaikan.
Semua kebijakan sudah tentu memerlukan kerjasama, kolaborasi dan kontribusi dari semua
pihak yang terkait untuk melaksanakannya. Perhatian, kerjasama dan kontribusi apapun yang
diberikan kepada siswa-siswa berkebutuhan khusus di Indonesia sangat diharapkan. Solusi yang
dapat diambil dari permasalahan ini adalah otonomi kurikulum menjadi alternatif yang harus
dilakukan. Rintisan kurikulum muatan lokal yang selama ini memiliki perimbangan persentase
lebih kecil daripada kurikulum nasional belum cukup mewadahi situasi, kondisi, dan kebutuhan
daerah.
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 14/15
Berangkat dari pembahasa tersebut maka inferensi yang dapat ditarik untuk mengatasi
berbagai masalah pendidikan khusus yang demikian kompleks adalah segera memunculkan,
meneguhkan, dan mengaplikasikan political will pemerintah pusat dan daerah untuk
menjalankan sepenuhnya amanat pendidikan khusus yang tertuang dalam undang-undang.
III. PENUTUP
A. SIMPULAN
Pada bagian akhir tulisan ini dapat disimpulkan tiga poin penting yang menjadi mainstream
pembahasan dalam makalah ini.
1. Bahwa penyelenggaraan pendidikan khusus di era otonomi daerah saat ini masih terus
melanjutkan upaya pendidikan khusus pada era sebelum otonomi daerah. Namun demikian,
banyak aspek yang belum dilaksanakan dengan baik bila disandingkan dengan apa yang
seharusnya ada sebagaimana tertuang dalam UU tentang Pemerintahan Daerah. Majoritas
pemerintah daerah masih membutuhkan arahan, dukungan dan tuntunan dari Pemerintah Pusat
dalam hal penanganan Pendidikan Inklusi, SLB, pengelolaan sekolah-sekolah unggulan (SSN,
RSBI, SBI dan bentuk-bentuk sekolah unggulannya). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
sebagian besar pemerintah daerah masih belum siap melaksanakan otonomi daerah yang efektif
dalam penyelenggaraan pendidikan khusus.2. Bahwa penyelenggaraan pendidikan khusus di era otonomi daerah membawa konsekuensi yang
tidak mudah. Berbagai permasalahan muncul dan kadang berkembang menjadi besar.
Permasalahan tersebut adalah kesiapan daerah dalam melaksanakan pendidikan khusus secara
umum, kekurangan finansial yang disebabkan oleh PAD yang tidak sama, manajemen
pendidikan khusus yang belum sepenuhnya didukung SDM berkualitas, budaya masyarakat yang
belum melihat kebutuhan anak-anak akan pendidikan khusus yang sama pentingnya dengan
pendidikan lainnya jika dikaitkan dengan pemenuhan hak-hak anak. Permasalahan utama ini
selanjutnya berimplikasi pada munculnya permasalahan-permasalahan operasional lainnya
seperti: tenaga Psikolog, GPK (Guru Pembimbing Khusus), sarana prasarana yang memadai,
kesadaran masyarakat yang mampu melihat kesamaan hak dan potensi anak untuk berkembang
dan permasalahan-permasalahan dalam tataran sekolah dan dinas pendidikan.
5/12/2018 Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dalam Era Otonomi Daerah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/fenomena-penyelenggaraan-pendidikan-khusus-dalam-era-otonomi-daerah 15/15
3. Bahwa solusi yang sementara ini diambil oleh pemerintah adalah mengeluarkan berbagai
kebijakan politik tentang penyelenggaraan pendidikan khusus, melaksanakan pendidikan inklusi
dengan tetap menyelenggarakan program segregasi dan mainstreaming untuk Anak-anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) dan sekolah-sekolah berkualitas unggulan bagi ABLB (Anak
Berbakat Luar Biasa), menyiapkan kurikulum berdiferensiasi bagi pendidikan khusus, sokongan
dana yang lebih besar setiap tahunnya selama tiga tahun sampai sekolah tersebut menjadi
sekolah unggulan mandiri dan menumbuhkan sedikit-demi sedikit peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan khusus.
B. REKOMENDASI
Berdasarkan pembahasan dan simpulan di atas maka dapat direkomendasikan dua poinberikut:
1. Penyelenggaraan otonomi daerah yang efektif dalam pengelolaan pendidikan khusus sangat
perlu dilakukan. Alasannya, hak-hak anak dalam mendapatkan pendidikan yang layak hanya
dapat dicapai bila rantai birokrasi yang demikian panjang diputus dan diperpendek. Pemerintah
daerah seyogyanya memahami, mengakomodir, menyegerakan pelayanan terhadap anak-anak
berkebutuhan khusus ini karena berbagai alasan terhadap masa perkembangan anak. Dengan
demikian, penulis merekomen-dasikan dalam tulisan ini agar desentralisasi pengelolaan
pendidikan khusus harus segera ditangani secara efektif dan efisien.
2. Penyelenggaraan pendidikan khusus baik SLB, Inklusi maupun pendidikan unggulan tetap
dilaksanakan namun dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pemerintah daerah seharusnya membuat grand design pengelolaan pendidikan khusus
dan mewujudkan political will yang berterima sehingga tidak terjadi berbagai ketimpangan
dalam pelaksanaannya. Selain itu, pendidikan khusus sebaiknya ditangani secara arif dan
profesional oleh orang-orang yang memang memahami pendidikan khusus dan menghindari
unsu-unsur politis yang justru memberikan peluang bagi semakin terpuruknya kualitas
pengelolaan pendidikan khusus.
**** Wallahu’alam..!!