fe no barbital
DESCRIPTION
fenobarbitalTRANSCRIPT
Fenobarbital sudah lama dipasarkan pada tahun 1912 oleh perusahaan Bayer dengan
menggunakan merek luminal. Dan digunakan oleh dokter di Jerman untuk membunuh
anak yang lahir dengan deformitas, yang saat itu merupakan kebijakan Nazi, Jerman. Dulu
juga digunakan untuk penyakit kuning dan profilaxis pada kejang demam
Fenobarbital (fee-no-BAR-bih-tal) adalah obat anti-epilepsi yang mempunyai sejarah
panjang. Obat ini pertama kali digunakan sebagai obat anti-epilepsi pada tahun 1912.
Fenobarbital digunakan untuk pengobatan epilepsi tonik-klonik, epilepsi kompleks atau
parsial simpel pada orang dewasa dan anak-anak. Fenobarbital juga digunakan untuk
epilepsi miklonik (myclonic). Obat ini pernah menjadi obat first line, namun sekarang
menjadi obat second-line karena efek samping yang ditimbulkannya — yaitu efek
penenang, depresi dan agitasi.
Fenobarbital merupakan obat antiepilepsi atau antikonvulsi yang efektif. Toksisitasnya
relatif rendah, murah, efektif, dan banyak dipakai. Dosis antikonvulsinya berada di bawah
dosis untuk hipnotis. Ia merupakan antikonvulsan yang non-selektive. Manfaat terapeutik
pada serangan tonik-klonik generalisata (grand mall) dan serangan fokal kortikal.
FENOBARBITAL
Berdasarkan masa kerjanya, turunan barbiturate dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Turunan barbiturat dengan masa kerja panjang (6 jam atau lebih)
Contohnya : barbiturat, metarbital, fenobarbital
2. Turunan barbiturat dengan masa kerja sedang (3-6 jam)
Contoh : alobarbital, amobarbital, aprobarbital, dan butabarbital berguna
untuk mempertahankan tidur dalamjangka waktu yang panjang
3. Turunan barbiturat dengan masa kerja pendek (0,5-3 jam)
Contoh : sekobarbital, dan pentobarbital, yang digunakan untuk menimbulkan tidur
untuk orang yang sulit jatuh tidur.
4. Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (<0,5 jam)
Contoh : thiopental yang digunakan untuk anestesi umum.
Barbiturat sejak lama digunakan sebagai hipnotika dan sedative, tetapi penggunaanya
sejak tahun 1980-an telah sangat menurun karena adanya obat-obat dari kelompok
benzodiazepine yang lebih aman. Yang merupakan pengecualian adalah fenobarbital yang
memiliki sifat antikonvulsif. Barbital digunakan sebagai obat pereda untuk siang hari
dalam dosis yang lebih rendah dari dosisnya sebagai obat tidur, yakni ½ -1/6 kalinya.
Fenobarbital (Luminal) merupakan senyawa organik kejang pertama yang efektif.
Senyawa ini memiliki toksisitas yang relative rendah, tidak mahal, dan masih merupakan
salah satu obat yang efektif dan lebih banyak digunakan untuk kejang.
Hubungan struktur-aktivitas. Rumus struktur fenobarbital (asam 5-fenil-5-etilbabiturat)
hubungan struktur aktifitas barbiturate telah banyak diteliti. Aktivitas kejang maksimal
diperoleh jika satu substituent pada posisi 5 berupa gugus fenil. Turunan 5,5-difenil
mempunyai potensi kejang lebih lemah dibandingkan dengan fenobarbital tetapi hampir
tanpa aktivitas hipnotik. Sebaliknya, asam 5,5-dibenzil barbiturat menyebabkan konvulsi.
Sifat-sifat kejang, kebanyakan barbiturat mempunyai sifat kejang. Namun, kapasitas
beberapa senyawa barbiturat untuk memberikan kerja kejang yang maksimal pada dosis
yang lebih rendah dari dosis yang diperlukan untuk hypnosis menentukan kegunaan
klinisnya sebagai obat kejang, contohnya fenobarbital. Fenobarbital aktif pada
kebanyakan uji anti kejang pada hewan tetapi relative tidak selektif. Obat ini
menghambat ekstensi tonik tungkai belakang pada hewan berkaki empat pada
elektrosyok maksimal, kejang klonik yang dipicu oleh pentilentetrazol, dan kejang kindled.
Mekanisme kerja
Mekanisme kerja menghambat kejang kemungkinan melibatkan potensiasi penghambatan
sinaps melalui suatu kerja pada reseptor GABAA, rekaman intrasel neuron korteks atau
spinalis kordata mencit menunjukkan bahwa fenobarbital meningkatkan respons terhadap
GABA yang diberikan secara iontoforetik. Efek ini telah teramati pada konsentrasi
fenobarbital yang sesuai secara terapeutik. Analisis saluran tunggal pada out patch
bagian luar yang diisolasi dari neuron spinalis kordata mencit menunjukkan bahwa
fenobarbital meningkatkan arus yang diperantarai reseptor GABA dengan meningkatkan
durasi ledakan arus yang diperantarai reseptor GABA tanpa merubah frekuensi ledakan.
Pada kadar yang melebihi konsentrasi terapeutik, fenobarbital juga membatasi
perangsangan berulang terus menerus; ini mendasari beberapa efek kejang fenobarbital
pada konsentrasi yang lebih tinggi yang tercapai selama terapi status epileptikus.
Sifat Farmakokinetik
Fenobarbital diabsorbsi secara lengkap tetapi agak lambat; kosentrasi puncak dalam
plasma terjadi beberapa jam setelah pemberian suatu dosis tunggal. Sebanyak 40%
sampai 60% fenobarbital terikat pada protein plasma dan terikat dalam jumlah yang
sama diberbagai jaringan, termasuk otak. Sampai 25 % dari suatu dosis dieliminasi
melalui eksresi ginjal yang tergantung PH dalam bentuk tidak berubah; sisanya
diinaktivasi oleh enzim mikrososm hati. Sitokrom P450 yang paling bertanggung jawab
adalah CYP2C9, dengan sedikit metabolism oleh CYP2C19 dan 2El. Fenobarbital
menginduksi enzim uridin difosfa glukuronosil transferase(UGT) dan sitokrom P450
subfamili CYP2C dan 3 A. obat-obat yang dimetabolisme oleh enzim-enzim ini dapat
terurai lebih cepat jika diberikan bersama fenobarbital; yang penting, kontrasepsi oral
dimetabolisme oleh CYP3A4.
Toksisitas
Sedasi merupakan efek yang tidak diharapkan dari fenobarbital yang paling sering terjadi
yang tampak pada semua pasien pada awal terapi. Tingkat sedasi yang terjadi berbeda-
beda tetapi selama pengobatan kronis berkembang toleransi terhadap efek ini.
Nistagmus dan ataksia terjadi pada dosis belebih. Fenobarbital kadang-kadang
menyebabkan kondisi mudah marah dan hiperaktivitas pada anak-anak, serta agitasi dan
kebingungan pada lanjut usia.
Ruam yang mirip scarlet atau morbili, mungkin disertai dengan manifestasi alergi obat
lainnya, terjadi pada 1% sampai 2% pasien. Dermatitis eksfoliatif jarang terjadi.
Hipoprotrombinemia yang disertai hemoragia teramati pada bayi baru lahir yang ibunya
menggunakan fenobarbital selama kehamilan; vitamin K efektif untuk penanganan atau
profilaksis. Anemia megaloblastik yang berespons terhadap folat dan osteomalasia yang
berespons terhadap vitamin D dosis tinggi terjadi selama terapi epilepsy dengan
fenobarbital jangka panjang, seperti yang terjadi selama pengobatan dengan fenitoin.
Konsentrasi obat dalam plasma, selama terapi jangka panjang pada orang dewasa,
konsentrasi fenobarbital dalam plasma rata-rata 10µg/ml dengan dosis sehari 1 mg/kg;
pada anak-anak besarnya 5 sampai 7µg/ml dengan dosis 1 mg/kg. meskipun tidak ada
hubungan yang pasti antara hasil terapeutik dan konsentrasi obat dalam plasma,
biasanya disarankan konsentrasi plasma 10 sampai 35µg/ml untuk mengendalikan
kejang; kadar minimal untuk pencegahan konvulsi demam adalah 15µg/ml.
Hubungan antara konsentrasi fenobarbital dalam plasma dan efek merugikan beragam
sesuai dengan perkembangan toleransi. Sedasi, nistagmus dan ataksia biasanya tidak
terjadi pada konsentrasi dibawah 30 µg/ml selama terapi jangka panjang, tetapi efek-efek
merugikan mungkin tampak selama beberapa hari pada konsentrasi yang lebih rendah
saat dimulai terapi atau setiap dilakukan peningkatan dosis. Konsentrasi yang lebih besar
dari 60µl/mg mungkin menyebabkan intoksikasi nyata pada individu yang tidak toleran.
Karena dapat terjadi toksisitas yang signifikan terhadap perilaku walaupun tidak ada
tanda-tanda toksisitas terlihat, maka kecenderungan untuk terus memberikan
fenobarbital dosis tinggi yang berlebihan pada pasien harus dihindari, terutama pada
anak-anak. Konsentrasi fenobarbital dalam plasma boleh ditingkatkan diatas 30 sampai
40µg/ml hanya jika peningkatan tersebut dapat diterima dengan memadai dan hanya jika
hal itu membantu pengendalian kejang secara bermakna.
Interaksi obat
Interaksi antara fenobarbital dan obat lain biasanya melibatkan induksi sistem enzim
mikrosom hati oleh fenobarbital. Konsentrasi fenobarbital dalam plasma dapat
ditingkatkan sebanyak 40 % selama penggunaanya yang bersaman dengan asam
valproat. Fenobarbital mengurangi kadar carbamazepin, lamotrigin, tiagabin, dan
zonisamide dalam darah; phenobarnital mungkin megurangi konsentrasi ethosuximide
dalam darah; konsentrasi Fenobarbital dalam darah meningkat oleh oxcarbazepin, juga
kadar metabolit aktif oxcarbazepin dalam darah menurun; kadar Fenobarbital dalam
darah seringkali meningkat oleh fenitoin, kadar fenitoin dalam darah seringkali berkurang
tetapi dapat meningkat; efek sedasi meningkat saat barbiturate diberikan dengan
primidone; kadar Fenobarbital dalam darah meningkat oleh valproat, kadar valproat
dalam darah menurun; kadar Fenobarbital dalam darah mungkin berkurang oleh
vigabatrin.
Pengunaan terapeutik
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang tonik-klonik menyeluruh dan
kejang parsial. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan
fenobarbital obat yang penting untuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta
kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi
pengunaanya sebagai obat utama.
Golongan barbiturat, sangat efektif sebagai anti konvulsi, paling sering digunakan karena
paling murah terutama digunakan pada serangan grand mal. Biasanya untuk pemakaian
lama dikombinasi dengan kofein atau efedrin guna melawan efek hipnotiknya. Tetapi tidak
dapat digunakan pada jenis petit mal karena dapat memperburuk kondisi penderita.
Contoh fenobarbital dan piramidon.
Efek samping
Penggunaan fenobarbital dapat menimbulkan efek hipnotik-sedatif. Hipnotika atau obat
tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan faali
untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur, pusing, ataksia dan pada anak-
anak mudah terangsang. Efek samping ini dapat dikurangi dengan penambahan obat-
obat lain dan pada umumnya, diberikan pada malam hari.
KEJANG
Indikasi utama dari Fenobarbital adalah untuk pengobatan Kejang.
Kejang adalah gerakan otot tonik atau klonik yang involuntar yang merupakan serangan
berkala, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan.
Kejang tidak secara otomatis berarti epilepsi. Dengan demikian perlu ditarik garis
pemisah yang tegas : manakah kejang epilepsi dan mana pula kejang yang bukan eplepsi.
Istilah “kejang” bersifat generic, dan dapat dipergunakan penjelasan-penjelasan lain yang
lebih spesifik sesaui karakteristik yang diamati. Kejang dapat terjadi hanya sekali atau
berulang. Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolism yang
terjadi bertahun-tahun disebut epilepsy . bangkitan motorik generalisata yang
menyebabkan hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik yang sering
disebut kejang.
Tetanus, histeri, dan kejang demam bukanlah epilepsi walaupun ketiganya menunjukkan
kejang seluruh tubuh. Cedera kepala yang berat, radang otak, radang selaput otak,
gangguan elektrolit dalam darah, kadar gula darah yang terlalu tinggi, tumor otak, stroke,
hipoksia, semuanya dapat menimbulkan kejang.
Pada tahun 1981, The International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu sistem
klasifikasi internasional kejang epileptik yang membagi kejang menjadi dua kelompok
besar yaitu Kejang Parsial sederhana (fokal atau lokal) dan Kejang Generalisata. Kejang
parsial kemudian dibagi lagi menjadi Parsial Sederhana, Parsial Kompleks, dan Parsial
yang menjadi Generalisata sekunder.
Kejang parsial dimulai disuatu daerah diotak, biasanya korteks serebrum. Gejala kejang
ini bergantung pada lokasi focus diotak. Sebagai contoh, apabila focus terletak dikorteks
sementara apabila focus motorik, maka gejala utama mungkin adalah kedutan otot;
sementara, apabila focus terletak dikorteks sensorik, maka pasien mengalami gejala-
gejala sensorik termasuk baal, sensasi seperti ada yang merayap dan menusuk-nusuk.
Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik, karena dikorteks sensorik
terdapat beberapa representase motorik. Adapun yang termasuk kejang generalisata
yaitu Lena (Tipikal atau Atipikal), mioklonik, klonik, tonik, tonik-klonik dan atonik.
Kejang Generalisata melibatkan seluruk korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai
dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi dikedua hemisfer
tanpa tanda-tanda bafwa kejang berawal sebgai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak
mengetahui keadaan sekelililingnya saat mengalami kejang. Bisa bermula dari talamus
dan struktur subkortikal lainnya. Pada EEG ditemukan kelainan secara serentak pada
kedua hemisfer. Kejang generalisata memberikan manifetasi bilateral pada tubuh dan ada
gejala penurunan kesadaran. Kejang generalisata diklasifikasikan menjadi atonik, tonik,
klonik, tonik klonik atau kejang.
Kejang tonik adalah kekakuan kontraktur pada otot-otot, termasuk otot pernafasan
dengan karakteristik peningkatan mendadak tonus otot(menjadi kaku, kontraksi) wajah
dan tubuh bagian atas fleksi lengan dan ekstensi tungkai, mata dan kepala mungkin
berputar pada satu sisi, dan dapat menyebakan henti nafas.
Kejang klonik berupa gemetar yang bersifat lebih lama dengan karakteristik gerakan
menyentak, repetitive, tajam, lambat, dan tunggal atau multiple dilengan, tungkai atau
torso.
Jika keduanya muncul secara bersamaan maka disebut kejang tonik klonik (dahulu
disebut grand mal) diawali dengan hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin
bersuara menagis, akibat ekspirasi paksa yang disebakan oleh spasme toraks atau
abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya , mengalami gerakan tonik kemudian klonik
dan inkontinensia urin disertai disfungsi outonom. Fase ini berlangsung beberapa detik.
Sebagian kejang yang lain sulit dikelompokkan pada salah satunya dimasukkan sebagai
kejang tidak terklasifikasi (Unclassified Kejang). Cara pengelompokan ini masih diterima
secara luas.
FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI KEJANG
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. lesi otak
tengah, thalamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik,
sedangkan lesi diserebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Ditingkat membrane sel, focus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi,
termasuk yang berikut:
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan
- Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan secara
berlebihan
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebakan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gamma-
aminobutirat (GABA).
- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau elektrolit,
yang menggangu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi
neuron. Gagngguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolic yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energy akibat hiperaktifitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolic secara drastic meningkat lepas muatan listrik sel-sel saraf
motorik meningkat menjadi 1000/detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga
respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul dicairan serebrospinal selama dan
setelah kejang.
Secara fisiologis, suatu kejang merupakan akibat dari serangan muatan listrik terhadap
neuron yang rentan di daerah fokus epileptogenik. Diketahui bahwa neuron-neuron ini
sangat peka dan untuk alasan yang belum jelas tetap berada dalam keadaan
terdepolarisasi. Neuron-neuron di sekitar fokus epileptogenik bersifat GABA-nergik dan
hiperpolarisasi, yang menghambat neuron epileptogenik. Pada suatu saat ketika neuron-
neuron epileptogenik melebihi pengaruh penghambat di sekitarnya, menyebar ke struktur
korteks sekitarnya dan kemudian ke subkortikal dan struktur batang otak. Dalam keadaan
fisiologik neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial membrannya
direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Pada keadaan patologik,
gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat menurunkan potensial membran neuron,
sehingga neuron melepaskan muatan listriknya dan terjadi kejang.
PENYAKIT-PENYAKIT NEUROLOGIS YANG MENYEBABKAN KEJANG
Penyakit-penyakit yang menyebabkan kejang dapat dikelompokkan secara sederhana
menjadi penyebab kejang epileptik dan penyebab kejang non-epileptik. Penyakit epilepsi
akan dibahas tersendiri sementara kelompok non-epileptik terbagi lagi menjadi penyakit
sistemik, tumor, trauma, infeksi, dan serebrovaskuler.
Kelainan metabolik
Kelainan metabolic, sebagai kelainan yang mendasari kejang, mencakup diantaranya
hiponatremia dan hiponatremia. Gejala neurologik perubahan natrium serum terjadi
akibat peningkatan atau penurunan volume cairan intrasel neuron dan berkaitan dengan
kadar absolute kurang dari 125mEq/L atau lebih dari 150 mEq/L tetapi yang lebi penting
berkorelasi dengan kecepatan terjadinya perubahan tersebut.
Hiponatremia
Hiponatremia terjadi bila :
a) Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi
b) Ketidakmampuan menekan sekresi ADH (mis : pada kehilangan cairan melalui
saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH = Syndrom of
Inappropriate ADH-secretion). Hiponatremia dengan gejala berat (mis : penurunan
kesadaran dan kejang) yang terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari ektrasel
masuk ke intrasel yang osmolalitas-nya lebih tinggi digolongkan sebagai hiponatremia
akut (hiponatremia simptomatik). Sebaliknya bila gejalanya hanya ringan saja (mis :
lemas dan mengantuk) maka ini masuk dalam kategori kronik (hiponatremia
asimptomatik).
Langkah pertama dalam penatalaksanaan hiponatremia adalah mencari sebab terjadinya
hiponatremia melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Langkah selanjutnya adalah pengobatan yang tepat sasaran dengan koreksi Na
berdasarkan kategori hiponatremia-nya.
Hipernatremia
Hipernatremia terjadi bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik misalnya pada orang
dengan usia lanjut atau penderita diabetes insipidus. Oleh karena air keluar maka volume
otak mengecil dan menimbulkan robekan pada vena menyebabkan perdarahan lokal dan
subarakhnoid. Langkah penatalaksanaan berikutnya ialah mencoba menurunkan kadar Na
dalam plasma ke arah normal. Pada diabetes insipidus, sasaran pengobatan adalah
mengurangi volume urin. Bila penyebabnya adalah asupan Na berlebihan maka
pemberian Na dihentikan.
Intoksikasi
berbagai bahan toksik dan obat dapat menyebabkan kejang. Beberapa obat, kejang
merupakan manifestasi efek toksik. Beberapa obat yang dapat menimbulkan efek kejang
yaitu aminofilin, obat antidiabetes, lidokain, fenotiazin, fisostigmin dan trisiklik.
Penyalahgunaan zat seperti alkohol dan kokain dapat juga menyebabkan kejang.
Penegakan diagnosa pasti penyebab keracunan cukup sulit karena diperlukan sarana
laboratorium toksikologi sehingga dibutuhkan autoanamnesis dan alloanamnesis yang
cukup sermat serta bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian. Selanjutnya pada
pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun. Penemuan klinis
seperti ukuran pupil mata, frekuensi napas dan denyut jantung mungkin dapat membantu
penegakan diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Pemeriksaan penunjang berupa analisa toksikologi harus dilakukan sedini mungkin
dengan sampel berupa 50 ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan, feses. Pemeriksaan
lain seperti radiologis, laboratorium klinik, dan EKG juga perlu dilakukan. Adapun standar
penatalaksanaan dari intoksikasi yaitu stabilisasi, dekontaminasi, eliminasi, dan
pemberian antidotum. Sementara gejala yang sering menjadi penyerta atau penyulit
adalah gangguan cairan, elektrolit, dan asam-basa ; gangguan irama jantung ;
methemoglobinemia ; hiperemesis ; distonia ; rabdomiolisis ; dan sindrom antikolinergik.
6
Tumor otak
Sel-sel tumor bukan epileptogenik, tetapi sel-sel neuron di sekitarnya yang terganggu
fungsi dan metabolismenya dapat menjadi focus epileptik. Apakah suatu neoplasma otak
menimbulkan kejang bergantung pada jenis, kecepatan pertumbuhan, dan lokasi
neoplasma tersebut.
Kira-kira 10% dari semua proses neoplasmatik di seluruh tubuh ditemukan pada susunan
saraf dan selaputnya, 8% di antaranya berlokasi di ruang intrakranial dan 2% sisanya di
ruang kanalis spinalis. Dengan kata lain 3-7 dari 100.000 orang penduduk mempunyai
neoplasma saraf primer. Urutan frekuensi neoplasma intrakranial yaitu : Glioma (41%),
Meningioma (17%), Adenoma hipofisis (13%), Neurilemoma / neurofibroma (12%),
Neoplasma metastatik dan neoplasma pembuluh darah serebral.
Pembagian tumor dalam kelompok benigna dan maligna tidak berpengaruh secara mutlak
bagi tumor intrakranial oleh karena tumor benigna secara histologik dapat menduduki
tempat yang vital, sehingga menimbulkan kematian dalam waktu singkat. Simptomatologi
tumor intrakranial dapat dibagi dalam :
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranial yang meninggi
Selain menempati ruang, tumor intrakranial juga menimbulkan perdarahan setempat.
Penimbunan katabolit di sekitar jaringan tumor menyebabkan jaringan otak bereaksi
dengan menimbulkan edema yang juga bisa diakibatkan penekanan pada vena sehingga
terjadi stasis. Sumbatan oleh tumor terhadap likuor sehingga terjadi penimbunan juga
meningkatkan tekananintrakranial. TIK yang meningkat menimbulkan gangguan
kesadaran dan menifestasi disfungsi batang otak yang dinamakan (a) sindrom unkus /
kompresi diensefalon ke lateral ; (b) sindrom kompresi sentral restrokaudal terhadap
batang otak ; dan (c) herniasi serebelum di foramen magnum. Sebelum tahap stupor atau
koma tercapai, TIK yang meninggi sudah menimbulkan gejala-gejala umum.
2. Gejala-gejala umum akibat tekanan intrakranial yang meninggi salah satunya adalah
kejang. Kejang merupakan manifestasi pertama tumor intrakranial pada 15% penderita.
Meningioma pada konveksitas otak sering menimbulkan kejang sebagai gejala dini.
Kejang umum dapat timbul sebagai manifestasi tekanan intrakranial yang melonjak
secara cepat, terutama sebagai menifestasi glioblastoma multiforme. Kejang tonik yang
sesuai dengan serangan rigiditas deserebrasi biasanya timbul pada tumor di fossa kranii
posterior dan secara tidak tepat dinamakan oleh para ahli neurologi dahulu sebagai
“cerebellar fits”.
Trauma
Kejang dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus segera diatasi karena akan
menyebabkan hipoksia otak dan kenaikan tekanan intrakranial serta memperberat edem
otak. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi
sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB
secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
Infeksi
Kejang dapat terjadi akibat fase akut atau sekuele dari infeksi sususnan saraf pusat (SSP)
yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau parist. Perlu dicatat bahwa kejang biasanya
merupakan gejala klinis pertama pada abses serebrum. Infeksi merupakan penyebab
sekitar 3% kasus epilepsy. Infeksi pada susunan saraf dapat berupa meningitis atau abses
dalam bentuk empiema epidural, subdural, atau abses otak.
Serebrovaskuler
Insufisiensi serebrovasekuler arteriosklerosis dan infark serebrum merupakan kausa
utama kejang pada pasien dengan penyakit vascular, dan hal ini tampaknya meningkat
seiring dengan meningkatnya populasi orang berusia lanjut. Infark besar dan infark dalam
yang meluas kestruktur-struktur subkorteks lebih besar kemungkinan menimbulkan
kejang berulang.
Stroke mengacu kepada semua gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat
pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke
biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. CVA
(Cerebralvascular accident) dan serangan otak sering digunakan secara sinonim untuk
stroke. Konvulsi umum atau fokal dapat bangkit baik pada stroke hemoragik maupun
strok non-hemoragik. Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel
yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena
asfiksia dan anoxia)
Kejang demam
Kejang tonik-klonik demam yang sering disebut Kejang demam hanya mengenai bayi usia
6 bulan sampai anak usia 5 tahun. Teori menyarankan bahwa kejang ini disebabkan
olehhipertermia yang muncul secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau
bakteri. Terjadi pada hari pertama demam, serangan pertama jarang sekali terjadi pada
usia < 6 bulan atau > 3 tahun. Gejala: anak tidak sadar, kejang tampak sebagai gerakan-
gerakan seluruh tangan dan kaki yang terjadi dalam waktu sangat singkat. Umumnya
TIDAK BERBAHAYA, tidak menyebabkan KERUSAKAN OTAK. Orang tua sering sulit
membedakan antara menggigil dengan kejang. Pada saat anak menggigil, anak tidak
kehilangan kesadaran, tidak berhenti napasnya. Anak menggigil karena suhu demamnya
akan meningkat. Orang tua juga sering sulit membedakan antara kejang demam/steup
dengan kejang akibat infeksi otak. Kejang akibat demam bersifat generalized (melibatkan
seluruh tubuh), berlangsung sekejap, setelah kejang, anak segera sadar. Kejang akibat
infeksi otak berlangsung lama, berulang-ulang, lehernya kaku, dan anak tetap tidak sadar
sekalipun kejang sudah berhenti. Sebaiknya orang tua menghitung lamanya kejang
dengan watch stop. Tidak jarang, akibat penampilannya yang menakutkan, maka orang
tua merasa kejangnya lama meski sebenarnya hanya berlangsung dalam detik atau
menit. Dosis fenobarbital yang dianjurkan untuk demam kejang yaitu 8-10 mg/Kg BB pada
hari pertama dan selanjutnya dapat diberikan 4-5 mg/Kg BB.
IKTERUS
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin
dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang
menandakan terjadinya gangguan fungsional dari hepar, sistem biliary, atau sistem
hematologi. Ikterus dapat terjadi baik karena peningkatan bilirubin indirek ( unconjugated
) dan direk ( conjugated ) mia. Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus
dikeluarkan oleh oleh tubuh. Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari degredasi
hemoglobin darah dan sebagian lagi berasal dari hem bebas atau dari proses eritropoesis
yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang
menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi
dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut
dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui
membrane biologic seperti placenta dan sawar darah otak.
Fenobarbital meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. Pemberian obat ini akan
mengurangi timbulnya ikterus fisiologik pada bayi neonatus, kalau diberikan pada ibu
dengan dosis 90 mg/24 jam beberapa hari sebelum kelahiran atau bayi pada saat lahir
dengan dosis 5 mg/kgBb/24 jam. Pada suatu penelitian menunjukan pemberian
fenobarbital pada ibu untuk beberapa hari sebelum kelahiran baik pada kehamilan cukup
bulan atau kurang bulan dapat mengkontrol terjadinya hiperbilirubinemia.
Dari berbagai penyebab kejang diatas mekanisme kerja fenobarbital yaitu menstimulir
pelepasan GABA (gamma- aminobutiric acid) yang teradapat praktis diseluruh otak dalam
yang berhubungan langsung dengan serangan kejang. Obat-obat yang memperkuat
system penghambatan yang diatur oleh GABA berdaya antikonvulsi.
Fenobarbital juga mencegah timbulnya pelepasan muatan listrik abnormal dari
pangkalnya (focus) dalam SSP.
EPILEPSI
Epilepsi adalah Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme
yang terjadi bertahun-tahun. Status epilpetikus adalah suatu kejang berkepanjangan
atau serangkaian kejang repetitive tanpa pemulihan kesadaran antartikus. Pada dasarnya,
epilepsy dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu:
1 1. Bangkitan umum (epilepsi umum) yang terdiri dari:
Bangkitan tonik-klonik (epilepsy grand mal)
Ditandai dengan kehilangan kesadaran, dilanjutkan kejang – kejang, keluar air liur
berbusa dan sering disertai nafas mengorok pada saat serangan epilepsi umum.
a. Bangkitan lena (epilepsy petit mal atau absences)
Terjadi gangguan kesadaran secara mendadak ( absence ). Pada jens epilepsi ini
penyandang akan tampak diam tanpa reaksi untuk beberapa saat, kemudian melanjutkan
aktifitasnya semula setelah sadar.
b. Bangkitan lena tidak khas (atypical absences)
Bangkitan mioklonik (epilepsy mioklonik)
Bangkitan klonik
Bangkitan tonik
Bangkitan atonik
Bangkitan infantil (spasme infantil)
Bangkitan parsial atau fokal atau local (epilepsy parsial atau fokal)
Bangkitan parsial sederhana
Bangkitan parsial kompleks
Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum misalnya bangkitan tonik-
klonik, bangkitan tonik atau bangkitan klonik saja.
Epilepsi psikomotor atau epilepsy lobus temporalis merupakan bangkitan parsial
kompleks atau bangkitan parsial yang berkembang menjadi epilepsy umum bila fokusnya
terletak di lobus temporalis anterior.
c. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II)
Mekanisme Kerja Antiepilepsi
Terdapat 2 mekanisme antikonvulsan yang penting:
2 Dengan mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuro epileptik
dalam fokus epilepsi.
3 Dengan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuro normal akibat
pengaruh dari fokus epilepsi
Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil barbiturate, merupakan senyawa organic pertama yang
digunakan dalam pengobatan antikonvulsan. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas
bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat
antikonvulsan pilihan karena cukup efektif, murah. Dosis efektifnya relative rendah. Efek
sedative, dalam hal ini dianggap sebagai efek samping, dapat diatasi dengan pemberian
stimulant sentral tanpa mengurangi efek antikonvulsinya.
Dosis dewasa yang biasa digunakan ialah 2×100 mg sehari. Untuk mengendalikan
epilepsy disarankan kadar plasma optimal, berkisar antara 10-40 µg/ml. kadar plasma
diata 40 µg/ml sering disertai gejala toksik yang nyata. Penghentian pemberian
fenobarbital harus secara bertahap guna mencegah kemungkinan meningkatnya
frekuensi bengkitan kembali, atau malahan bangkitan status epileptikus.
Epilepsi bukan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi, tetapi merupakan gangguan
kronik pada otak akibat gangguan atau infeksi terdahulu yang menyerang otak. Tanda
yang paling sederhana dan mudah dikenali bagi penyandang epilpsi adalah tiba – tiba
kejang dengan mengeluarkan air liur berbusa dari dalam mulut. Gangguan ini muncul
sebagai serangan dan terjadi berulang – ulang yang disebabkan terlepasnya muatan
listrik abnormal sel – sel saraf otak yang bersifat reversible dengan berbagai penyebab.
Gejala yang timbul secara tiba – tiba akan menghilang secara tiba – tiba pula.
Penyebab yang dapat memicu terjadinya epilepsi, antara lain :
4 Trauma yang dapat menyebabkan cedera otak atau perdarahan otak.
5 Infeksi pada otak atau selaput otak yang disebabkan oleh virus atau bakteri.
6 Kejang demam yang sering terjadi pada anak – anak.
7 Tumor otak
8 Kelainan pembuluh darah
9 Keracunan timbal ( Pb) atau kamper
10 Gangguan keseimbangan hormon
Rangsangan – rangsangan tertentu mempermudah serangan epilepsi :
1. Faktor sensoris
Cahaya yang berkedip – kedip, bunyi – bunyi yang mengejutkan, air panas.
2. Faktor sistemis
Demam, pemyakit infeksi, obat – obatan, kelelahan fisik
3. Faktor mental
Stress, gangguan emosional
Penanganan pertama bila berada dekat dengan penderita yang mengalami serangan
epilepsi :
1. Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lain dari benda keras, tajam atau panas
2. Longgarakan pakaian, bila mungkin miringkan kepala kesamping untuk mencegah
sumbatan jalan nafas.
3. Biarkan kejang berlangsung, jangan memasukkan benda keras diantara gigi karena
dapat mengakibatkan gigi patah.
4. Biarkan istirahat setelah kejang, karena penderita akan bingung atau mengantuk
setelah kejang.
5. laporkan adanya serangan pada kerabat dekat penderita epilepsy ( penting untuk
pemberian pengobatan dari dokter ).
6. Bila serangan berulang dalam waktu singkat atau mengalami luka berat, segera
larikan ke rumah sakit.
Fenobarbital (Luminal) merupakan senyawa organik kejang pertama yang efektif.
Senyawa ini memiliki toksisitas yang relative rendah, tidak mahal, dan masih merupakan
salah satu obat yang efektif dan lebih banyak digunakan untuk kejang.
Indikasi utama dari fenobarbital adalah untuk pengobatan kejang. Penyakit-
penyakit yang menyebabkan kejang dapat dikelompokkan secara sederhana menjadi
penyebab kejang epileptik dan penyebab kejang non-epileptik. Penyakit epilepsi akan
dibahas tersendiri sementara kelompok non-epileptik terbagi lagi menjadi penyakit
metabolis, tumor, trauma, infeksi, ikterus, dan serebrovaskuler.
DAFTAR PUSTAKA
11 A.Price Sylvia dan M.Wilson Lorraine. “Patofisiologi volume 2 edisi 6”. 2006.
Penerbit Kedokteran EGC. Jakarta.
12 Ganiswarna. “Farmakologi Terapan Edisi IV”. 2006. Penerbit Kedokteran EGC.
Jakarta.
13 Tjay Hoan Tan Drs dan Raharja Kirana Drs. 2008. “Obat-Obat Penting Edisi 6”.
Gramedia. Jakarta.
14 Gilman, A. G. “Dasar Farmakologi Terapi Volume I”. 2007. Penerbit Kedokteran
EGC. Jakarta.
Tim penyusun : Khairiyah, Ningsih Husen, Danesra Tandi Karrang